Upload
endy-hernowo
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
1/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
2/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan critical review jurnal berjudul Strategi Penataan Dan
Pengembangan Sektor Informal Kota Semarang dengan lancar. Selama proses penulisanpenulis banyak mendapatkan bantuan dari pihak-pihak lain sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dengan optimal. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini
yaitu:
1. Dosen Mata Kuliah Ekonomi Kota, Bapak Dr. Ir. Eko Budi Santoso, Lic.rer.reg. dan Ibu
Vely Kukinul Siswanto, ST, MT. MSc.
2. Orang tua yang selalu memberikan motivasi.
3. Teman-teman yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan makalah ini.
Seperti pepatah, tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu,
kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat saya harapkan, agar di
kemudian hari kami tidak melakukan kesalahan yang sama. Akhir kata, saya berharap agar
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Surabaya, 18 Maret 2015
Penulis
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
3/22
1
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor informal menjadi dikotomi yang terus diperdebatkan. Pedagang Kaki Lima
(PKL) adalah salah satu pelaku usaha ekonomi kerakyatan yang bergerak dalam usaha
perdagangan sektor informal.Kegiatan ekonomi ini merupakan perwujudan hak masyarakat
dalam berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Di Indonesia keberadaan Pedagang
Kaki Lima (PKL) jumlahnya mengalami peningkatan.
Sering kali pedagang kaki lima menjadi pihak yang salah karena berjualan di trotoar,
taman kota, jembatan penyeberangan, bahkan badan jalan. Pemerintah berulang kali
menertibkan lapak lapak pedagang kaki lima (PKL) yang ditengarai mengganggu arus lalu
lintas kota. Kadangkala, upaya penertiban ini mendapatkan perlawanan hingga terjadi
bentrok antara pedagang dengan aparat keamanan pemerintah.Tidak jarang para PKL
melakukan unjuk rasa dan memprotes kebijakan penertiban oleh pemerintah (Rukmana,
2008). Bentuk sektor informal dapat dipilah menjadi 2 (dua), yakni (a) sektor informal yang
bersifat legal yang biasanya menempati lokasi yang ditentukan oleh pemerintah daerah
setempat dan dibuka secara kontinu dan (b) sektor informal yang dilakukan secara illegal ,
menempati tempat usaha yang tidak ditentukan oleh pemerintah daerah setempat sebagai
lokasi sektor informal.
Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah yang memiliki pedagang
kaki lima dalam jumlah besar. Keberadaan Kota Semarang menjadi faktor penarik tersendiri
bagi masyarakat untuk bekerja di sektor informal ini. Hal ini menyebabkan jumlah pedagang
kaki lima/ sektor informal terus bertambah setiap tahunnya. Beberapa tahun belakangan
mulai marak pedagang kaki lima yang menggunakan mobil untuk berjualan sehingga
menambah kesemrawutan wajah kota. Penyebabnya adalah pedagang bermobil tersebut
parkir di sembarang tempat bahkan di lokasi yang dibilang terlarang untuk berjualan.
Bertambahnya pedagang kaki lima dapat mengakibatkan bertambahnya permasalahan di
Kota Semarang. Sebagai contohnya pedagang kaki lima di kawasan Perumnas Tlogosari
yang terus bertambah mengakibatkan terhambatnya arus lalu lintas di sekitar kawasantersebut. Pedagang kaki lima di kawasan Tlogosari menempati badan jalan termasuk untuk
pedagang bermobil sehingga menimbulkan kemacetan. Dampak negatif lain yang terjadi
yakni pedagang kaki lima menimbulkan kekumuhan sehingga merusak keindahan kota.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di kawasan Tlogosari, namun hampir secara keseluruhan di
Kota Semarang.
Dengan dilatar belakangi oleh pandangan positif, kiranya cukup bijaksana untuk
diangkat sebagai suatu kebijakan penataan ruang kota dengan mencoba melihat sektor
informal khususnya pedagang kaki lima. Di Kota Semarang terdapat beberapa lokasi
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
4/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
pedagang sektor informal yang potensial untuk ditata dan diharapkan mampu menjadi
magnet kunjungan masyarakat luas dan membentuk identitas kota.
Metode
Penelitian ini dilakukan menggunakan dua metode yaitu kuantitatif berdasarkan
sampel kuesioner dan kualitatif berdasarkan wawancara dan data sekunder. Penyebaran
form kuesioner dilakukan ke para pedagang Kaki lima sebanyak 271 responden dan para
konsumen PKL sebanyak 271 responden. Pendataan dilakukan pada konsentrasi PKL di
Kota Semarang yang berada di 8 Kecamatan.
Untuk memverifikasi hasil penelitian ke responden, peneliti menyelenggarakan focus
group discussion (FGD) dan mengundang perwakilan asosiasi PKL, LSM, Dinas Pasar,
Dinas Pariwisata Kota Semarang dan Bappeda Kota Semarang yang diselenggarakan pada
tahun 2012. PKL dalam penelitian ini termasuk dalam kategori street vendor yaitu
perdagangan informal yang telah memiliki lapak dan relatif menetap.Adapun PKL dalam
kategori hawker atau sering disebut dengan pasar tiban tidak menjadi obyek penelitian.
Pembatasan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa PKL dalam kategori street vendor
lebih masif menggunakan ruang sedangkan hawker bersifat nomaden dan tidaksecara
terusmenerus membutuhkan ruang khusus. dengan pertimbangan bahwa PKL dalam
kategori street vendor lebih masif menggunakan ruang sedangkan hawker bersifat nomaden
dan tidak secara terusmenerus membutuhkan ruang khusus.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Safaria, dkk (2003: 6) sektor informal dipandang sebagai kekuatan yang
semakin signifikan bagi perekonomian lokal dan global, seperti yang dicantumkan dalam
pernyataan visi WIEGO (Woman In Informal Employment Globalizing and Organizing) yaitu
mayoritas pekerja di dunia kini bekerja di sektor informal dan proporsinya terus
membengkak sebagai dampak dari globalisasi: mobilitas capital, restrukturisasi produksi
barang dan jasa, dan deregulasi pasar tenaga kerja mendorong semakin banyak pekerja ke
sektor informal. Menurut ILO (Internasional Labour organization) dalam Yustika (2000:193)yang dimaksud sektor informal adalah aktivitas-aktivitas ekonomi yang antara lain ditandai
dengan mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumber daya lokal, usaha milik sendiri,
operasinya dalam skala kecil, padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, ketrampilan
diperoleh dari luar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan
pasarnya bersifat kompetitif.
Kemudian menurut Hart ( dalam Manning, Eds. 1991: 76) mereka yang terlibat dalam
sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia kerja utama (prime age),
bependidikan rendah, upah yang diterima di bawah upah minimum, modal usaha rendah,
serta sektor ini memberikan kemungkinan untuk mobilitas vertikal. Menurut Breman ( dalam
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
5/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
Manning, Eds. 1991:142) sektor informal memiliki ciri-ciri sebagai berikut: padat karya,
tingkat produktivitas yang rendah, pelanggan yang sedikit dan biasanya miskin, tingkat
pendidikan formal yang rendah, penggunaan teknologi menengah, sebagian besar pekerja
keluarga dan pemilik usaha oleh keluarga, gampangnya keluar masuk usaha, serta
kurangnya dukungan dan pengakuan pemerintah.
Penggunaan istilah formal dan informal pada dasarnya untuk menggambarkan sifat
dualistik sistem ekonomi perkotaan. Sifat dualistik sistem ekonomi perkotaan di banyak
negara berkembang telah diakui sejak tahun 1950-an oleh para peneliti. Boeke (1953) di
dalam studinya tentang sistem ekonomi di Indonesia menggunakan terminologi ekonomi
prekapitalis ( precapitalistic economy ) dan ekonomi kapitalis (capitalistic economy ).
Semenjak konsep sektor informal digunakan pertama kali dalam studi di Ghana oleh
Hart (1973) kemudian konsep tersebut dipinjam oleh ILO/UNDP (International Labour
Organization/United Nations Development Programme) dalam laporannya tentang
Employment Mission to Kenya (ILO, 1972), konsep informal tersebut mulai mendapat tempat
yang penting dalam berbagai literatur studi pembangunan khususnya kebijakan yang
berhubungan dengan tenaga kerja. Menurut ILO/UNDP (ILO, 1972) perbedaan antara sektor
informal dan formal dapat dilihat sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik Sektor Informal dan Formal
No. Sektor Informal Sektpr Formal
1 Mudah dimasuki Sulit dimasuki
2 Tergantung pada sumberdaya lokal Tergantung pada sumberdaya dari luar
3 Sistem pemilikan keluarga Sistem pemilikan perusahaan
4 Beroperasi dalam skala kecil Beroperasi dalam skala besar
5 Padat tenaga kerja dan teknologi bersifat
adaktif
Padat modal dan sering menggunakan
teknologi import
6 Keterampilan dapat diperoleh di luar
sistem sekkolah formal
Memerlukan keterampilan yang berasal dari
sekolah, seringkali berasal dari luar negeri
7 Tidak teratur dan pasar yang bersifat
kompetitif
Pasar terpoteksi (melalui kuota, ijin
perdagangan)
Sumber: ILO, 1972
Jennifer Alexander dan Paul Alexander (1989) menjelaskan bahwa pasar-pasar
semakin ramai dan gerobak penjual barang kelontong semakin banyak, serta sektor non
pertanian berkembang dengan pesat sehingga penduduk Jawa yang terlibat dalam kegiatan
pertanian pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20 menunjukkan adanya kemunculan
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
6/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
ekonomi sektor informal. Pada dasawarsa 1940-an di Jakarta telah muncul usaha mandiri
berskal kecil seprti bengkel-bengkel reparasi sepeda, tukang loak dan penjual botol bekas.
Alat angkut becak sebagai sarana transportasi diperkenalkan di Jakarta pada tahun 1936
yang dari tahun ke tahun terus bertambah sampai era tahun 80-an.
BAB III REVIEW JURNAL
Ringkasan
Penataan sektor informal di Kota Semarang perlu dilakukan secara integratif dengan
mempertimbangkan rencana tata ruang yang telah disusun dan juga nilai-nilai estetika kota
dengan memperhatikan kelestarian lingkungan kota. Penataan pedagang kaki lima
merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh pedagang
kaki lima. Penataan pedagang kaki lima terdiri dari penguatan identitas pedagang kaki lima
sebagai ikon kota, penataan kapling PKL, pengaturan aktivitas PKL dan penataan parkir.
Pedagang kaki lima selain berdampak langsung pada perekonomian Kota Semarang juga
berpengaruh pada identitas kota. Pedagang kaki lima yang ada di Malioboro, menjadi ikon
Kota Yogyakarta yang menyediakan berbagai souvenir dan barang industri kreatif lainnya
sehingga mampu menarik pengunjung. Hal ini yang diterapkan pada strategi penataan
pedagang kaki lima di Kota Semarang yakni dengan penguatan identitas pedagang kaki
lima yang ada di Kota Semarang.
Penataan Kapling pedagang kaki lima bertujuan untuk menghasilkan suatu
keteraturan sehingga menghilangkankesan semrawut pada pedagang kaki lima. Selain
untuk mengurangi kesemrawutan, penataan kapling pedagang kaki lima bertujuan untuk
mempermudah pengelolaan pedagang tersebut. Penataan kapling pedagang kaki lima
dilakukan dengan cara konsolidasi lahan untuk menambah luasan lahan berjualan
pedagang kaki lima. Konsolidasi lahan merupakan
Konsolidasi lahan merupakan kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan
kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaansumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat terutama pedagang kaki
lima.
Pengaturan aktivitas pedagang kaki lima dilakukan dengan pengaturan waktu
maupun pengaturan fungsi jalan sehingga dapat digunakan sebagai lokasi berjualan
pedagang kaki lima. Pengaturan waktu berjualan pedagang kaki lima telah diterapkan di
Kota Semarang seperti pada Simpang Lima yang pedagangnya berjualan sore hingga pagi
hari. Sedangkan untuk pengaturan fungsi jalan dapat dilakukan di beberapa jalan lokal
maupun jalan lingkungan dengan mengalihfungsikan jalan untuk aktivitas jual beli pedagang
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
7/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
kaki lima pada malam hari, seperti pada jalan Tlogosari, lingkungan Kota Lama dan jalan
lain yang berpotensi untuk aktivitas pedagang kaki lima.
Peningkatan kualitas pedagang kaki lima dapat dilakukan dengan perbaikan
infrastruktur penunjang seperti sarana persampahan, jalan, air bersih, dan penerangan
sehingga mampu menunjang aktivitas pedagang kaki lima. Integrasi dengan pasar modern
merupakan salah satu upaya pengembangan pedagang kaki lima untuk mengatasi
keterbatasan lahan. Pedagang kaki lima dapat menggunakan lahan parkir maupun lahan
tertentu yang disediakan oleh pasar modern seperti mall, tempat belanja dsb.
Penyediaan lahan berjualan ini dapat dilakukan dengan sistem sewa sehinggatidak
mengganggu arus lalu lintas dan menjaga keteraturan kota.
Pengembangan pedagang kaki lima dilakukan dengan cara pengintegrasian
dengan pasar tradisional. Pedagang kaki lima yang dimaksudkan adalah pedagang
pada pasar kaget atau pasar tumpah seperti yang ada pada badan jalan tidak mengganggu
arus lalu lintas. Sebagai contohnya adalah pedagang di kawasan Jalan Kartini Kota
Semarang yang berjualan di pinggir jalan sehingga cukup menganggu arus lalu lintas. Hal ini
juga terjadi di daerah Mrican yang menimbulkan kemacetan terutama saat jam berangkat
dan pulang kerja. Pedagang yang memadati jalanan harus diintegrasikan dengan pasar
agar lokasi berjualannya tidak sembarangan.
Lokasi berjualan pedagang kaki lima yang sudah ada dan dinilai sesuai dengan
peraturan tetap dipertahankan. Pengoptimalan lokasi ini bertujuan agar aktivitas pedagang
yang sudah ada semakin berkembang secara positif sehingga diharapkan mampu
meningkatkan perekonomian masyarakat. Sebagai contoh, kawasan Simpang Lima, Menteri
Supeno maupun Kampung Semawis yang sudah berkembang dapat ditingkatkan dari segi
pengelolaannya.
Kritik
Jurnal berjudul Strategi Penataan dan Pengembangan Sektor Informal Kota
Semarang ini ditulis oleh P.M. Brotosunaryo, Hadi Wahyono, Sariffuddin yang merupakanstaf pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro. Penelitian ini
membahas sektor informal (pedagang kaki lima/PKL) dari sudut pandang pendekatan
perencanaan kota untuk menentukan strategi penataan dan pengembangan PKL di Kota
Semarang.
Sebenarnya pengembangan sektor informal sudah diatur dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031. Rencana pengaturan kegiatan sektor
informal itu meliputi:
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
8/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
Pengembangan pusat perbelanjaan direncanakan secara terpadu dengan kawasan
sekitarnya dan wajib memperhatikan kepentingan semua pelaku sektor perdagangan
dan jasa termasuk pedagang informal atau kegiatan sejenis lainnya.
Pembangunan fasilitas perdagangan berupa kawasan perdagangan terpadu,
pelaksana pembangunan/ pengembang diwajibkan menyediakan prasarana, sarana
dan utilitas, RTH, ruang untuk sektor informal dan fasilitas sosial
Pengembangan dan peningkatan kawasan perkantoran swasta diwajibkan
menyediakan ruang untuk sektor informal.
Setiap pengembangan kawasan industri diwajibkan menyediakan ruang bagi sektor
informal
Saat ini kondisi perpasaran Kota Semarang berkembang cukup pesat. Perkembangan
ini merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dibuatlah Masterplan
pengembangan sistem perpasaran Kota Semarang. Tujuan pengembangan sistem
perpasaran Kota Semarang ditetapkan sebagai berikut : mewujudkan perpasaran yang
berkualitas dalam mewujudkan Kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa
berkala internasional.
Kebijakan dan Strategi Pengembangan Perpasaran Kota Semarang yang berkaitan dengan
sektor informal meliputi :
1. Mengatur setiap pengembangan pasar modern agar menyediakan ruang untuk kegiatan
sektor informal.2. Mengatur muatan komoditas lokal disetiap pusat perbelajaan pasar modern.
Dalam jurnal ini, strategi penataan dan pengembangan sektor informal dirinci lebih
detail. Diantaranya yaitu penataan pedagang kaki lima terdiri dari penguatan identitas
pedagang kaki lima sebagai ikon kota, penataan kapling PKL, pengaturan aktivitas PKL dan
penataan parkir. Sedangkan pengembangan pedagang kaki lima dapat dilakukan dengan
empat langkah yakni peningkatan kualitas pedagang kaki lima, pengintegrasian pasar
modern dengan pedagang kaki lima, pengintegrasian pasar tradisional dengan pedagang
kaki lima, dan pengoptimalan lokasi berjualan yang eksisting. Strategi yang ditulis peneliti ini
sudah sangat baik dan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Semarang dalam
pengembangan sektor informal ke depannya.
Namun, data membuktikan bahwa sektor ekonomi informal ternyata memberikan
penghasilan yang menurut mereka cukup tinggi, dan karenanya sebagian besar dari mereka
tidak mau beralih ke profesi lain. Kondisi ini menyebabkan setiap usaha pemerintah untuk
mengatasi sektor ekonomi informal sering mendapat resistensi dari mereka.
Konsep partisipasi masyarakat merupakan salah satu konsep yang sering terlupakan
dalam perencanaan kota. Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
9/22
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
10/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
dan diharapkan mampu menjadi magnet kunjungan masyarakat luas dan membentuk
identitas kota.
Pendapatan Asli Daerah Kota Semarang salah satunya bersumber dari retribusi
PKL. Retribusi tersebut didapatkan dari sewa kios, retribusi persampahan dan sebagainya.
Retribusi yang ditarik dari sektor ekonomi informal dalam penggunaannya sebagian
seharusnya dikembalikan untuk program-program yang mampu membekali mereka dan
dapat merangsang mereka untuk lebih kreatif.
Sektor informal yang selama ini bagi sebagian orang dianggap lebih sering sebagai
beban yang mencemari keindahan dan ketertiban kota, justru perlu dilindungi, dibangun,
dikembangkan atau dibina sehingga dampak negatifnya bisa dihilangkan karena sektor ini
mampu menciptakan lapangan kerja. Sektor ini telah memberi andil dan ikut berperan dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai proses pembangunan ekonomi dan
perubahan sosial.
Kesimpulan
Keberadaan sektor informal di Kota Semarang mempunyai dampak positif dan
negatif bagi warga Kota Semarang. Dari berbagai aspek, peranan PKL terbukti potensial
yaitu disamping dapat menciptakan lapangan kerja, mereka mampu memberikan pelayanan
dengan harga murah, dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat khususnya konsumen
mengah ke bawah, serta memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui
retribusi. Namun demikian bagi masyarakat dampak negatif keberadaa PKL yang menonjol
adalah lingkungan menjadi kurang bersih dan tidak tertib. Pemaham PKL tentang
lingkungan masih sangat kurang, hal ini disebabkan mereka merasa belum memikirkan
kepentingan tersebut. Namun pengertian dan pemaham mereka sudah baik, perlu
sosialisasi dan motivasi terus menerus yang berkelanjutan.
Penataan pedagang kaki lima terdiri dari penguatan identitas pedagang kaki lima
sebagai ikon kota, penataan kapling PKL, pengaturan aktivitas PKL dan penataan parkir.
Sedangkan pengembangan pedagang kaki lima dapat dilakukan dengan empat langkahyakni peningkatan kualitas pedagang kaki lima, pengintegrasian pasar modern dengan
pedagang kaki lima, pengintegrasian pasar tradisional dengan pedagang kaki lima, dan
pengoptimalan lokasi berjualan yang eksisting.
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
11/22
i
PW 14-1308 EKONOMI KOTA
CRITICAL REVIEW
DAFTAR PUSTAKA
Muba Simanihuruk., 2005. Sektor Informal dan Pertumbuhan Kota (Ditinjau dari
Perspektif Teori Ekonomi Politik Kota). Universitas Sumatera Utara
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011. Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Semarang Tahun 2011 – 2031
Yuanita Nilla Sari., 2014. Tinjauan Yuridis Penertiban Pedagang Kaki Lima.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Drs. Y. Slamet, M.Sc. 1993. Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi.
Sebelas Maret University Press : Surakarta
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
12/22
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
13/22
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 71 - 80
*) Staf pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro SemarangTelp. 024-7460054,[email protected]
STRATEGI PENATAAN DAN PENGEMBANGAN SEKTOR
INFORMAL KOTA SEMARANG
P.M. Brotosunaryo, Hadi Wahyono, Sariffuddin*)
Abstrak
Penelitian ini membahas sektor informal (pedagang kaki lima/PKL) dari sudut pandang
pendekatan perencanaan kota untuk menentukan strategi penataan dan pengembangan PKLdi Kota Semarang. Penelitian ini mencakup 8 Kecamatan di Kota Semarang dengan
menyebarkan kuesioner sebanyak 271 di seluruh PKL dan pengunjung (konsumen) yang
kemudian diolah menggunakan statistik deskriptif. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan
pada tahun 2012 untuk memverifikasi hasil penelitian ke perwakilan asosiasi PKL, LSM dan
pemerintah daerah Kota Semarang. Responden (PKL) dalam penelitian ini adalah PKL yang
menetap (street vendor) sedangkan PKL yang tidak menetap (hawker) tidak menjadi obyek
penelitian.
Kata Kunci : pedagang kaki lima, penataan, pengembangan
Abstract
This article is aimed to discuss the presence of street vendors in the concept of urban
planning in order to develop appropriate strategies to manage street vendors in Semarang.
This research includes 8 sub districts in Semarang, spreading throughout questionnaire of
271(both of sellers and customers). Descriptive statistics is employed to analyze and to
explore the finding. In addition, the result of the study is verified by conducting FGD which
involved the association of street vendors, NGOs and the Local Government. Respondents of
this study were street vendors excluding hawkers
Keywords: street vendors, arrangement, development
Pendahuluan
Sektor informal menjadi dikotomiyang terus diperdebatkan. Sering kalipedagang kaki lima menjadi pihak yangsalah karena berjualan di trotoar, tamankota, jembatan penyeberangan, bahkanbadan jalan. Pemerintah berulang kalimenertibkan lapak-lapak pedagang kakilima (PKL) yang ditengarai menggangguarus lalu lintas kota. Kadangkala, upayapenertiban ini mendapatkan perlawananhingga terjadi bentrok antara pedagangdengan aparat keamananpemerintah.Tidak jarang para PKLmelakukan unjuk rasa dan memproteskebijakan penertiban oleh pemerintah
(Rukmana, 2008).
Di sisi lain, sektor informal menjadikantung penyelamat ekonomikerakyatan yang telah teruji dan tidakgoyah oleh krisis ekonomi (Setia M,Brata, 2010). Sejak krisis moneter padatahun 1998, sektor informal menjadisalah satu aktivitas terpenting yangmewarnai lingkungan perkotaan.BahkanBappenas mencatat bahwa sektorinformal berperan cukup penting dalampengembangan masyarakat danpembangunan nasional.Sektor informalini menjadi alternatif lapangan kerjaketiga progam pembangunan yangkurang mampu menyediakan peluangkerja di sektor formal (Firnandy, 2002,
Dimas, 2008).
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/view/16356http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/view/16356http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/view/16356http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/view/16356
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
14/22
Strategi Penataan dan Pengembangan
Sektor Informal Kota Semarang (Brotosunaryo, dkk )
72
Sektor informal menjadi salah satuaktivitas penting perkotaan yangmembentuk elemen kota (Nitisudarmo,2009, Yatmo, 2009). Kantung-kantungsektor informal banyak menempati
lokasi-lokasi strategis seperti kawasanperdagangan, permukiman, perkantoran,kawasan industri hingga fasilitas-fasilitasumum
Bentuk sektor informal dapatdipilah menjadi 2 (dua), yakni (a) sektorinformal yang bersifat legal yangbiasanya menempati lokasi yangditentukan oleh pemerintah daerahsetempat dan dibuka secara kontinu dan(b) sektor informal yang dilakukansecara illegal , menempati tempat usahayang tidak ditentukan oleh pemerintahdaerah setempat sebagai lokasi sektorinformal.
Kota Semarang merupakan ibukotaProvinsi Jawa Tengah yang memilikipedagang kaki lima dalam jumlah besar.Keberadaan Kota Semarang menjadifaktor penarik tersendiri bagimasyarakat untuk bekerja di sektor
informal ini. Hal ini menyebabkan jumlah pedagang kaki lima/ sektorinformal terus bertambah setiaptahunnya. Beberapa tahun belakanganmulai marak pedagang kaki lima yangmenggunakan mobil untuk berjualansehingga menambah kesemrawutanwajah kota. Penyebabnya adalahpedagang bermobil tersebut parkir disembarang tempat bahkan di lokasi yangdibilang terlarang untuk berjualan.
Bertambahnya pedagang kaki lima dapatmengakibatkan bertambahnya per-masalahan di Kota Semarang. Sebagaicontohnya pedagang kaki lima dikawasan Perumnas Tlogosari yang terusbertambah mengakibatkan terhambat-nya arus lalu lintas di sekitar kawasantersebut. Pedagang kaki lima di kawasanTlogosari menempati badan jalantermasuk untuk pedagang bermobilsehingga menimbulkan kemacetan.Dampak negatif lain yang terjadi yakni
pedagang kaki lima menimbulkankekumuhan sehingga merusakkeindahan kota. Kondisi ini tidak hanyaterjadi di kawasan Tlogosari, namunhampir secara keseluruhan di Kota
Semarang.Di sisi lain, keberadaan sektor
informal di Kota Semarang mampumenjadi suatu potensi, baik dari segisosial maupun segi ekonomi. Dari segisosial, masyarakat mampu mendapatkanlapangan pekerjaan sedangkan dari segiekonomi, keberadaan sektor informalmampu menambah pendapatan suatukota. Pendapatan Asli Daerah KotaSemarang salah satunya bersumber dariretribusi PKL. Retribusi tersebutdidapatkan dari sewa kios, retribusipersampahan dan sebagainya. Olehkarena itu, dibutuhkan kajian mengenaipenataan dan pengembangan sektorinformal yang didalamnya mencakupstrategi, model penataan danpengembangan PKL termasuk penataanparkir untuk mengoptimalkan potensisektor informal tersebut dan
mengurangi permasalahan yangditimbulkan sehingga keberadaan sektorinformal dapat meningkatkanperekonomian Kota Semarang sertamampu memperbaiki keindahan kota.
Terdapat dualistik pandanganterhadap keberadaan sektor informalperkotaan, pertama pandangan negatifterhadap sektor informal bahwa merekasering dianggap sebagai kelompok yangtidak diharapkan dalam pembangunan
kota, karena dianggap sebagai penyebabkemacetan lalu lintas, mengganggupejalan kaki yang berjalan di atastrotoar, mengganggu dan merusakpemandangan kota, terkadang memberipeluang munculnya tindak kriminal danmengundang praktek prostitusi, baiksecara terselubung maupun terbuka,dan kedua pandangan positif terhadapsektor informal antara lain mereka tidaktergantung pada sektor formal yangterbatas jumlahnya, mereka sanggup
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
15/22
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 71 - 80
73
menghidupi dirinya sendiri, merekadapat memberi masukan pendapatanbagi pemerintah kota setempat denganpenarikan retribusi serta pungutan jasaparkir bagi pengunjungnya, dan sektorinformal yang menjadi ciri khas kota-
kota besar di Indonesia apabila ditatadengan baik akan berpotensi besar danlayak untuk dijadikan obyek wisata yangmenjadi magnet kunjungan masyarakatluas dan membentuk identitas kota.
Dengan dilatar belakangi olehpandangan positif, kiranya cukupbijaksana untuk diangkat sebagai suatukebijakan penataan ruang kota denganmencoba melihat sektor informalkhususnya pedagang kaki lima. Di KotaSemarang terdapat beberapa lokasipedagang sektor informal yang potensialuntuk ditata dan diharapkan mampumenjadi magnet kunjungan masyarakatluas dan membentuk identitas kota
Metoda Analisa
Penelitian ini dilakukanmenggunakan dua metode yaitukuantitatif berdasarkan sampel
kuesioner dan kualitatif berdasarkanwawancara dan data sekunder.Penyebaran form kuesioner dilakukanke para pedagang Kaki lima sebanyak271 responden dan para konsumen PKLsebanyak 271 responden. Pendataandilakukan pada konsentrasi PKL di KotaSemarang yang berada di 8 Kecamatan(lihat tabel 1).
Untuk memverifikasi hasilpenelitian ke responden, peneliti
menyelenggarakan focus group discussion (FGD) dan mengundang perwakilanasosiasi PKL, LSM, Dinas Pasar, DinasPariwisata Kota Semarang dan BappedaKota Semarang yang diselenggarakanpada tahun 2012.
PKL dalam penelitian ini termasukdalam kategori street vendor yaituperdagangan informal yang telahmemiliki lapak dan relatifmenetap.Adapun PKL dalam kategorihawker atau sering disebut dengan pasartiban tidak menjadi obyekpenelitian.Pembatasan ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa PKL dalamkategori street vendor lebih masifmenggunakan ruang sedangkan hawkerbersifat nomaden dan tidaksecara terus-menerus membutuh-kan ruang khusus.
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik PKL
PKL di Kota Semarang tersebar dibeberapa ruas jalan baik jalan primer,sekunder maupun lingkungan. Menurutdata Dinas Pasar, jumlah PKL padatahun 2012 di 8 kecamatan di KotaSemarang berjumlah 9.998 unit. Berikutini dapat dilihat jumlah PKL yang ada diKota Semarang yaitu:
Tabel 1 Data Pedagang Kaki Lima Kota
Semarang Tahun 2012
Kecamatan Jumlah PKL
Pedurungan 493Tembalang 139Banyumanik 317Semarang Tengah 2.723
Semarang Utara 1.509Semarang Timur 2.075
Semarang Selatan 1.066Semarang Barat 1.676
9.998Sumber : Dinas Pasar Kota Semarang, 2012
Menurut barang yang diperdagangkan,PKL Kota Semarang terdiri dari 7 jenis,yaitu: makanan, sandang,perlengkapanrumah tangga, mainan
anak, perlengkapansekolah, elektronik,dan perlengkapanmobil/motor.
PKL Makanan/ Kuliner
PKL pangan merupakan jenis PKL yangmenjual makanan, minuman dan buah-buahan. PKL pangan merupakan jenisPKL yang paling banyak berjualan diKota Semarang. Keberadaannya hampirterdapat di semua ruas jalan baik jalanprotokol maupun jalan lokal di Kota
Semarang. Sebagian besar PKL pangandi Kota Semarang merupakan PKL yangbelum tertata dimana sebagian besar
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
16/22
Strategi Penataan dan Pengembangan
Sektor Informal Kota Semarang (Brotosunaryo, dkk )
74
diantara mereka sudah memiliki izinmelaui kelurahan setempat. Namun adabeberapa kawasan PKL yang sudahtertata seperti PKL di seputar SimpangLima dan Menteri Supeno (Taman KB).
Bentuk PKL pangan di Kota Semarangsangat bervariasi yaitu: PKL dengan menggunakan gerobak,
PKL ini dapat dijumpai di sepanjang jalan di Kota Semarang.
PKL dengan menggunakan tenda,PKL ini juga terdapat di sepanjang jalan di Kota Semarang.
PKL dengan menggunakan mediamotor dan mobil, bentuk mediaberdagang PKL ini sedang tren dandapat dijumpai di beberapa tempatseperti di sepanjang Jalan SoedartoUndip Tembalang dan jalanTlogosari Raya PerumahanTlogosari dll.
(Sumber: Observasi 2012)
Gambar 1Pedagang Buah di Kelurahan
Tembalang
Sandang
PKL sandang merupakan jenis PKL yangmenjual pakaian, sepatu, sandal danaksesoris pendukung lainnya. PKLsandang merupakan jenis PKL terdapatsepanjang jalan tertentu di KotaSemarang. Sebagian besar PKL sandangdi Kota Semarang merupakan PKL yangbelum tertata. Bentuk PKL sandang diKota Semarang sangat bervariasi yaitu:
PKL dengan cara menggelar barangdagangan, PKL ini dapat dijumpai disepanjang jalan di Kota Semarangterutama keberadaannya bertepatandengan keberadaan pasar
pagi/tumpah. Keberadaannya dapatdijumpai di Jalan Pemuda, di depanMasjid Agung Jawa Tengah (MAJT),Tlogosari, di muka Stadion Citarumdll.
PKL dengan menggunakan mediamobil, bentuk media berdagang PKLini sedang tren di sepanjang JalanSoedarto Undip Tembalang, di mukaMAJT, Tlogosari, di muka StadionCitarum dll.
Peralatan sekolah
PKL dengan jenis barangdaganganperalatan sekolah meliputi PKLyang memiliki jenis barang daganganseperti alat tulis, buku, dll. PKL inikeberadaannya tersebar ataupunmengelompok. Keberadaannya terdapatdi sepanjang jalan di Pasar Johar,Stadion, Lamper Lor dll. Salah satu
kawasan PKL yang menjal buku-bukubekas dan menjadi ikon yang sangatdikenal yaitu kawasan Stadion.Keberaadaannya sangat penting bagikaum pelajar dan mahasiswa yang inginmencari buku bekas dengan hargamurah.
Sumber: Observasi 2012
Gambar 2Pedagang Buku Bekas di Lamper Lor
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
17/22
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 71 - 80
75
Elektronik
PKL dengan jenis barang daganganelektronik dan pulsa hampir dapatditemukan di beberapa ruas jalan diKota Semarang. Barang yang dijual olehPKL ini meliputi hand phonebekas, kartu
perdana dan pulsa. Keberadaan PKL inibiasanya berlokasi di pinggir jalandengan lapak semi maupun nonpermanen atau dengan media sederhanaseperti meja kaca/kayu. Bentuk PKLelektronik di Kota Semarang sangatbervariasi yaitu: PKL dengan lapak semi maupun non
permanen, PKL ini dapat dijumpai disepanjang jalan di Kota Semarangseperti Jalan Ngesrep, Pedurungan,Citarum, dll.
PKL dengan menggunakan mediasederhana seperti meja kaca/kayu.
Perlengkapan Mobil dan Motor
PKL dengan jenis barang daganganperalatan mobil dan motor merupakansalah satu PKL yang memiliki barangdagangan yang jarang dijumpai/berada dikawasan tertentu. PKL dengan jenis
barang dagangan mobil dan motormeliputi PKL yang menjual peralatanperkakas peralatan motor dan mobil,helm dll. Bentuk PKL mobil dan motordi Kota Semarang sangat bervariasiyaitu: PKL dengan semi permanen, jenis
barang dagangan PKL ini meliputiBan, Velg dan peralatan lain yangberkaitan dengan mobil dan motor.Keberadaan PKL ini dapat dijumpai
di Kedung Mundu, Lamper, dll. PKL dengan menggunakan media
sederhana seperti rak kayu/tendakayu, media ini biasa digunakan olehPKL dengan barang dagangan sepertihelm, kaus tangan, penutup hidungdll. Keberadaan PKL ini dapatdijumpai di Taman KB, Pamularsih,Perintis Kemerdekaan, dan lain-lain.
Gambar 3
Penjual Onderdil Motor di Lamper
LorSumber: Observasi 2012
PKL Jenis lainnya
PKL yang ada di Kota Semarangcenderung menjual barang dagangandengan banyak variasi barang dagangan.Selain pengelompokan di atas, adabeberapa PKL yang memiliki variasibarang dagangan lain yang keberadaanya juga sangat dibutuhkan oleh masyarakatantara lain PKL tanaman hias dan jasa.
Keberadaan PKL bunga dan tanamanhias merupakan PKL yang berada dalam
suatu kawasan tertentu. KeberadaanPKL bunga dan tanaman hias biasanyamengelompok dan menjual barangdagangan dengan menggunakan dasaranatau bangunan semi permanen.Salahsatu contoh PKL bunga dan tanamanhias yaitu PKL Pasar Kembang (dekatRSUP Karyadi) dan PKL di Lamper Lordll.
Sumber: Observasi 2012
Gambar 4Pedagang Bunga dan Tanaman Hiasdi Lamper Lor
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
18/22
Strategi Penataan dan Pengembangan
Sektor Informal Kota Semarang (Brotosunaryo, dkk )
76
PKL penyedia jasa merupakan salah satuPKL yang tidak menjual barang tertentumelainkan menyediakan jasa yangditawarkan. PKL dengan jenis barangdagangan jasa meliputi PKL yang
menyediakan jasa bengkel dan tambalban, stel peleg, plat nomor dan cap,permak pakaian, sol sepatu, jasa tukangmas, jualan logam mulia, tukang kuncidan lain-lain. Keberadaan PKL tersebutterdapat di sepanjang ruas jalan di KotaSemarang. Khusus PKL yangmenyediakan jasa logam muliakeberadaanya terdapat di kawasanKecamatan Semarang Tengah yaitu disepanjang Jalan Pemuda, Gajah Mada,Mataram, Dr. Cipto dll.
Sumber: Observasi 2012
Gambar 5 Jasa Tambal Ban di Kecamatan
Tembalang
Penataan Pedagang Kaki Lima
Penataan sektor informal di KotaSemarang perlu dilakukan secara
integratif dengan mempertimbangkanrencana tata ruang yang telah disusundan juga nilai-nilai estetika kota denganmemperhatikan kelestarian lingkungankota. Penataan pedagang kaki limamerupakan salah satu upaya untukmengoptimalkan potensi yang dimilikioleh pedagang kaki lima. Penataanpedagang kaki lima terdiri daripenguatan identitas pedagang kaki limasebagai icon kota, penataan kapling PKL,
pengaturan aktivitas PKL dan penataanparkir.
Penguatan Identitas sebagai Ikon Kota
Pedagang kaki lima selain berdampak
langsung pada perekonomian KotaSemarang juga berpengaruh padaidentitas kota. Pedagang kaki lima yangada di Malioboro, menjadi ikon KotaYogyakarta yang menyediakan berbagaisouvenir dan barang industri kreatiflainnya sehingga mampu menarikpengunjung. Hal ini yang diterapkanpada strategi penataan pedagang kakilima di Kota Semarang yakni denganpenguatan identitas pedagang kaki limayang ada di Kota Semarang. Di KotaSemarang yang menjadi identitas kotaSemarang adalah beberapa titik lokasiseperti: Kampung Semawis,terkenal dengan
kawasan Pecinan. Masyarakatketurunan Tionghoa biasanyaberkumpul di kawasan Pecinanuntuk aktivitas jual beli barangmaupun jasa yang bercirikan
oriental. Hal ini menyebabkankawasan ini menjadi salah satu dayatarik bagi pengunjung dengan tujuanuntuk membeli barang jasa ataupunsekedar berekreasi ke wilayah ini.
Barito, terletak di KecamatanSemarang Timur dengankarakteristik penjualan barangonderdil, peralatan mobil maupunperalatan dapur. Masyarakat kotaSemarang sudah familier dengan
kawasan ini sehingga konsumen yangmembutuhkan barang barangtersebut dapat langsung datang dilokasi pedagang ini.
Stadion Diponegoro, kawasan initerkenal di masyarakat, khususnyabagi kalangan pelajar dan mahasiswakarena jenis barang yang dijual dilokasi ini merupakan barang yangspesifik yakni segala jenis buku mulaidari buku lama, buku bekas maupunbuku dalam kondisi baru dengan
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
19/22
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
20/22
Strategi Penataan dan Pengembangan
Sektor Informal Kota Semarang (Brotosunaryo, dkk )
78
lima pada malam hari. Hal ini jugaditerapkan pada aktivitas pedagang kakilima di Kota Semarang seperti dikawasan Tlogosari, dimana keberadaanpedagang kaki lima membawa
kesemrawutan pada lingkungan.Pengaturan aktivitas pedagang kaki limadilakukan dengan pengaturan waktumaupun pengaturan fungsi jalan sehinggadapat digunakan sebagai lokasi berjualanpedagang kaki lima. Pengaturan waktuberjualan pedagang kaki lima telahditerapkan di Kota Semarang sepertipada Simpang Lima yang pedagangnyaberjualan sore hingga pagi hari.Sedangkan untuk pengaturan fungsi jalandapat dilakukan di beberapa jalan lokalmaupun jalan lingkungan denganmengalihfungsikan jalan untuk aktivitas jual beli pedagang kaki lima pada malamhari, seperti pada jalan Tlogosari,lingkungan Kota Lama dan jalan lainyang berpotensi untuk aktivitaspedagang kaki lima.
Sumber: Analisis, 2012
Gambar 7Konsep Penataan Aktivitas PKL
Penataan Parkir
Parkir merupakan salah satu komponenpenunjang keberlangsungan aktivitaspedagang kaki lima. Dengan penataanparkir diharapkan dapat mengurangihambatan samping lalu lintas sehinggamengurangi kemacetan. Penataan parkirdibutuhkan hampir di setiap lokasiberjualan pedagang kaki lima karena
kondisi eksistingnya, banyak lokasiberjualan pedagang kaki lima tidakmemiliki lahan parkir. Lahan parkiruntuk pengunjung pedagang kaki limadapat disediakan dengan memanfaatkan
halaman perkantoran dan bangunan luasyang sudah tidak digunakan saat soreatau malam hari (hanya aktif hingga sorehari).
Pengembangan Pedagang Kaki Lima
Pengembangan pedagang kaki limadilakukan untuk meminimalisasi dampaknegatif dari keberadaan pedagang kakilima itu sendiri. pengembanganpedagang kaki lima dapat dilakukandengan 4 langkah yakni peningkatankualitas pedagang kaki lima,pengintegrasian pasar modern denganpedagang kaki lima, pengintegrasianpasar tradisional dengan pedagang kakilima, dan pengoptimalan lokasi berjualanyang eksisting.
Peningkatan Kualitas PKL
Peningkatan kualitas pedagang kaki lima
dapat dilakukan dengan perbaikaninfrastruktur penunjang seperti saranapersampahan, jalan, air bersih, danpenerangan sehingga mampu menunjangaktivitas pedagang kaki lima.Peningkatan kualitas pedagang kaki lima juga dapat dilakukan dengan manajemenatau pengelolaan usaha sehingga mampumeningkatkan pendapatan pedagangkaki lima tersebut.
Integrasi Pasar Modern dengan PKLIntegrasi dengan pasar modernmerupakan salah satu upayapengembangan pedagang kaki limauntuk mengatasi keterbatasan lahan.Pedagang kaki lima dapat menggunakanlahan parkir maupun lahan tertentuyang disediakan oleh pasar modernseperti mall, tempat belanja dsb.Penyediaan lahan berjualan ini dapatdilakukan dengan sistem sewa sehingga
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
21/22
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 71 - 80
79
tidak mengganggu arus lalu lintas danmenjaga keteraturan kota.
Integrasi Pasar Tradisional dengan PKL
Pengembangan pedagang kaki limadilakukan dengan cara pengintegrasian
dengan pasar tradisional. Pedagang kakilima yang dimaksudkan adalah pedagangpada pasar kaget atau pasar tumpahseperti yang ada pada badan jalan tidakmengganggu arus lalu lintas. Sebagaicontohnya adalah pedagang di kawasan Jalan Kartini Kota Semarang yangberjualan di pinggir jalan sehingga cukupmenganggu arus lalu lintas. Hal ini jugaterjadi di daerah Mrican yangmenimbulkan kemacetan terutama saat jam berangkat dan pulang kerja.Pedagang yang memadati jalanan harusdiintegrasikan dengan pasar agar lokasiberjualannya tidak sembarangan.
Pengoptimalan Lokasi Penjualan Eksisting
Lokasi berjualan pedagang kaki limayang sudah ada dan dinilai sesuai denganperaturan tetap dipertahankan.Pengoptimalan lokasi ini bertujuan agar
aktivitas pedagang yang sudah adasemakin berkembang secara positifsehingga diharapkan mampumeningkatkan perekonomianmasyarakat. Sebagai contoh, kawasanSimpang Lima, Menteri Supeno maupunKampung Semawis yang sudahberkembang dapat ditingkatkan dari segipengelolaannya.
Relokasi Pedagang Kaki Lima
Relokasi pedagang kaki lima merupakansalah satu strategi yang digunakanapabila lokasi eksisting yang digunakanuntuk berjualan pedagang kaki limatidak layak untuk digunakan. Relokasipedagang kaki lima harusmemperhatikan berbagai aspek mulaidari proses pemindahan hingga dampakakibat dipindahkannya pedagang kakilima tersebut, baik bagi penjual itusendiri maupun bagi konsumen.Pemindahan lokasi pedagang kaki limayang kurang efektif akan berdampaklangsung bagi perekonomian pedagang
tersebut. Sebagai contoh, pemindahanpedagang kaki lima di KecamatanSemarang Timur ke Stadion Citarumkurang berhasil karena pedagang disekitarnya yakni Kecamatan SemarangTengah tidak ikut dipindahkan sehingga
menimbulkan suatu kecemburuan.Pemindahan lokasi ini harus terintegrasiantar wilayah untuk memperlancarproses relokasi.Pemindahan pedagang kaki lima kelokasi baru bertujuan agar pedagangberjualan di lokasi yang sesuai dan layak.Lokasi yang sesuai yakni lokasi yangdiperbolehkan berdasar rencana tatabangunan dan lingkungan serta rencanatata ruang sehingga keberadaanpedagang kaki lima dianggap tidakmenyalahi aturan dan menimbulkanpermasalahan yang lebih banyak. Adanyalarangan berjualan seperti pada wilayahSegitiga Emas (Pandanaran- Pemuda-Thamrin) serta larangan berjualan pada jalan protokol. Hal ini terjadi padapedagang kaki lima di wilayah JalanUsman Janatin yang berjualan di bawah jalan layang akhirnya dipindahkan.
Pemindahan lokasi pedagang kaki limake lokasi baru yang layak apabila dilihatdari segi lingkungan dan infrastruktur.Seperti pedagang kaki lima di Jalan MpuTantular yang terkena rob hampirsetiap hari sehingga membutuhkanpemindahan ke lokasi baru.
Kesimpulan
Perencanaan sektor informalsebagai bagian dari perencanaan kota
Semarang sangat penting dilakukan.Terdapat hubungan harmonis antarapedagang PKL dan warga masyarakatSemarang terutama dalam pemenuhankebutuhan sehari-hari dan perludiakomodasi di dalam perencanaanpenataan ruang Kota Semarang.Pemahaman mengenai mutu lingkunganbagi pedagang kaki lima sangatlahpenting, namun dalam penelitian initidak terlalu di bahas. Oleh karena itu,dalam penelitian selanjutnya perluadanya penelusuran mengenai persepsi
8/16/2019 EKOT 2015_Endy Hernowo_3613100029
22/22
Strategi Penataan dan Pengembangan
Sektor Informal Kota Semarang (Brotosunaryo, dkk )
80
pedagang kaki lima terhadap mutulingkungan hidup perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA
Brata, Aloysius Gunadi. 2010.“Vulnerability of Urban InformalSector: Street VendorsInYogyakarta, Indonesia”.Theoretical and EmpiricalResearches in Urban Management.No. 5 (14) 47 – 58
Dimas, Harlan. 2008. “Street Vendors:Urban Problem and EconomicPotential”. Working Paper inEconomics and DevelopmentStudies (WoPEDS). Department ofEconomics, Padjajaran Universityavailable at:http://www.equitablepolicy.org/wpaper/200803.pdf diakses pada tanggal19 November 2013
Firnandy. 2002. “Studi Profil Pekerja di
Sektor Informal dan ArahKebijakan ke Depan”. Available at:http://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdf. Diakses pada tanggal 19 November2013
Nitisudarmo, Suparwoko. 2009. “The
Role of The Informal Sector inContributing to The UrbanLandscape in Yogyakarta – Indonesia Concerning on TheUrban Heat Island Issue”.Proceeding Real Corp. Available at:http://www.corp.at/archive/CORP2009_3.pdf diakses pada tanggal 19November 2013
Rukmana, Deden. 2008. “PKL danInformalitas Perkotaan”.Available at
http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/. Diakses pada tanggal 18November 2013
Setia M, Resmi. 2013. Ekonomi InformalPerkotaan: Sebuah kasus tentang
pedagang kaki lima di Kota Bandung .Available athttp://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight. Diaksespada tanggal 18 November 2013
Yatmo, Yandi Andri. 2009. “Perceptionof Street Vendors as „Out of Place‟Urban Elements at Day Time andNight Time”. Journal ofEnvironmental Psychology (29) 467 – 476
http://www.equitablepolicy.org/wpaper/200803.pdfhttp://www.equitablepolicy.org/wpaper/200803.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.corp.at/archive/CORP2009_3.pdfhttp://www.corp.at/archive/CORP2009_3.pdfhttp://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.akatiga.org/index.php/hasil-penelitian/item/294-ekonomi-infromal-perkotaan-sebuah-studi-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung?highlight=WyJla29ub21pIiwiaW5mb3JtYWwiLCJwZXJrb3RhYW4iLCJzZWJ1YWgiLCJrYXN1cyIsInRlbnRhbmciLCJwZWRhZ2FuZyIsImtha2kiLCJsaW1hIiwiZGkiLCJrb3RhIiwiYmFuZHVuZyIsImVrb25vbWkgaW5mb3JtYWwiLCJla29ub21pIGluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsImluZm9ybWFsIHBlcmtvdGFhbiIsInBlcmtvdGFhbiBzZWJ1YWgiLCJzZWJ1YWgga2FzdXMiLCJrYXN1cyB0ZW50YW5nIiwia2FzdXMgdGVudGFuZyBwZWRhZ2FuZyIsInRlbnRhbmcgcGVkYWdhbmciLCJ0ZW50YW5nIHBlZGFnYW5nIGtha2kiLCJwZWRhZ2FuZyBrYWtpIiwicGVkYWdhbmcga2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIiwia2FraSBsaW1hIGRpIiwibGltYSBkaSIsImxpbWEgZGkga290YSIsImRpIGtvdGEiLCJkaSBrb3RhIGJhbmR1bmciLCJrb3RhIGJhbmR1bmciXQ==http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/http://www.corp.at/archive/CORP2009_3.pdfhttp://www.corp.at/archive/CORP2009_3.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.bappenas.go.id/files/4213/5027/5937/13profil-pekerja-di-sektor-informal-dan-arah-kebijakan-ke-depan__20081123002641__12.pdfhttp://www.equitablepolicy.org/wpaper/200803.pdfhttp://www.equitablepolicy.org/wpaper/200803.pdf