Upload
syahnaz-mardiah-alkatiri
View
22
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PBL respirasi
Citation preview
1. EmfisemaPengertian:Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal yaitu adanya pelebaran
rongga udara pada asinus yang sifatnya pemanen. Pelebaran ini
disebakan karena adanya kerusakan dinding asinus. Ketika
membicarakan emfisema, penyakit ini selalu dikaitkan dengan kebiasaan
merokok. Oleh karena itu beberapa kali menyamakan antara emfisema
dan bronkitis kronik
Epidemiologi:Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita
emfisema.Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis
yang dapat menimbulkan gangguan aktifitas.Emfisema terdapat pada 65%
laki-laki dan15% wanita. Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang.
Nawas dkk melakukan penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan
Jakarta dan mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26 %, kedua
terbanyak setelah tuberkulosis paru (65 %). Di Indonesia belum ada data
mengenai emfisema paru
Etiologi:Pajanan terhdap debu batubara merupakan penyebab terjadinya
emfisema. Penentuan apakah memang menyebabkan emfisema pada
pekerja tambang batubara adalah debu batabara masih diragukan sebab
sebagian besar pekerja tersebut adalah perokok. Penyebab ini adalah
pemajanan terhadap kadmium
Patogenesis:Kerusakan alveoli disebabkan oleh adanya protolisis (degradasi) elastin
oleh enzim elastase yang disebut protoase. Elastin adalah komponen
jaringan ikat yang meliputi kira – kira 25% jaringan ikat di paru. Dalam
kadaan normal, terdapat keseimbangan antara degradasi dan sintesis
elastinatau keseimbangan antara protoase yang mendegradasi jaringan
paru dan protoase-inhibitor yang menghambat kerja protoase. Pada
perokok, jumlah protoase meningkat. Makrofag dan leukosit ini
mengandung elastase dalam jumlah yang tinggi. Denagn banyaknya
elastase di paru, banyak jaringan paru yang didegradasi.
Manifestasi klinik: Sesak nafas saat melakukan kegiatan yang disertai batuk
Sputum yang banyak dan bervariasi dari beberapa mL mukus jernih
dan cairan sampai material purulen dengan jumlah yang besar
Sesak nafas yang tampak jelas pada penyakit yang telah parah
Penderita menunjukkan hyperiflated lug dengan berkurangnya
ekspansi dada saat inspirasi
Perkusi hipersonor dan napas pendek
Pemeriksaan penunjang
Radiologi : diafragma datar dan letak rendah, sinus frenicus costalis tumpul.
Ruang retrosternal melebar, volume bertambah besar dan penipisan vesikuler
dan hiperlusen
Pemeriksaan fisis: thorax hiperinhalasi, harus diwaspadai sebab biaa dijumpai
pada asma bronchial. Hiperinflasi menimbulkan barrel chest, suara ketuk
hipersonor da suara napas menurun
Penatalaksanaan: Edukasi untuk penderita dan keluarga
Berhenti merokok
Terapi oksigen
Brokodilator
Antikolinergik (ipratropium bromide, 40mcg sehari 3-4)
Golongan xianthine (ainophyline/theophyline sehari 3x10
Fenoterol 200 mcg sehari 3-4 kali
Nutrisi
Referensi : . Soemantri S, Bronkhilis Kronik dan Emfisema Paru dalam : Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1990; Hal 754-761.
2. Asma bronkialPengertian:Gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi
Epidemiologi:
anak laki-laki lebih sering daripada perempuan,
setelah pubertas, perempuan sedikit lebih sering, sekitar 8% dari populasi
orang dewasa di Amerika Serikat memiliki tanda dan gejala yang konsisten
dengan diagnosis asma (300 juta di seluruh dunia),
biasanya terjadi sejak kecil
prevalensi meningkat lebih dari 45% sejak akhir 1970-an,
peningkatan cepat terjadi pada negara yang baru mengadopsi gaya hidup
industrial.
Penelitian menunjukkan bahwas asma pada dewasa (20-70thn) di Indonesia
pada tahun 1993 didapatkan prevalensi 9,2 % pada laki laki dan 6,6% pada
perempuan.
Etiologi:Hiperaktivitasbronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan napas dan
gejala oernapasan (mengi dan sesak)
Patogenesis:Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus.
Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologi
saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan
udara distal ditempat terjadinya obstruktif terjebak tidak bisa ekspirasi,
selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas volume residu
fungsional (KRF). Dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi
mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar
saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot – otot bantu napas.
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang
besar, sedang maupun kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan
dibanding mengi.
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata diseluruh bagian paru
pada daerah – daearah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah
kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penururn
PO2 mungkin menjadi berlebihan sehingga PCO2 menurun yang
kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang
lebih berat lagi banyak saluran napas alveolus tertutup oleh mukus
sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya petukaran gas. Hal ini
menyebabkan hipoksemia dan kerja otot – otot pernapasan bertambah
berat serta terjadi peningkatan produksi CO2
Manifestasi klinikGejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat
hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan napas dapat reversible secara
spontan maupun dengan pengobatan. Gejala – gejala asma antara lain:
Bising mengi (wheezing) yang terdengar atau tanpa stetoskop
Batuk produktif seperti tekanan
Napas atau dada seperti tertekan, gejalanya bersifat paroksimal
yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari.
Komplikasi ASMA: pnumotorax, emfisema subkutis. Atelektasis.
Aspergilosis bronkopulmonar alergik, gagal napas,bonkhiti, faktor iga
Pengobatan:
Obat β- adrenergik , menyebabkan relaksasi otot polos bronkhial dan
memodulasi inhibisi pelepasan mediator. Obat ini antara lain
epinephrine, isoproterenol , dan beberapa β2- adrenergik yang lebih
selektif seperti metaproterenol , terbutaline, isoetharine , albuterol,
bitolterol dan pirbuterol
Theophylline (methylxantine) , merelaksasi otot polos bronkhial.
Mekanisme kerjanya tidak diketahui tetapi theophyline tampaknya
menginhibisi pelepasan Ca intraselular, menurunkan kebocoran
mikrovaskular ke mukosa saluran pernapsan, menginhibisi respons
lambat terhadap alergen dan menginhibisi pelepasan mediator dari sel
mast.
Kortikosteroid, menginhibisi penarikan leukosit polimorfonuklear ke
tempat reaksi alergi , menstimulasi sintesis reseptor β2, dan
menghambat sintesis leukotriene. Yang sangat penting, kortikosteroid,
khususnya jika diberikan melalui aerosol , menghambat respon lambat
terhadap alergen inhalasi dan hiperresponsivitas bronkial yang terjadi
selanjutnya.
Cromolyn Sodium , digunakan secara profilaktik , tampaknya
menginhibisi pelepasan mediator dan menurunkan hipersentivitas
saluran pernafasan.
Agen anti kolinergik, menghambat jalur kolinergik yang menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan. Obat ini memberikan efek bronkodilator
tambahan pada pasien yang telah mendapatkan agen β2 inhalasi
untuk asma akut.
Referensi : Prof. Dr. H.TabraniRab.Ilmu Penyakit Paru. Penerbit Trans Info
Media.Jakarta .2010. hal 402-408
3. BRONKHITIS KRONIK
Definisi
Bronkhitis kronik adalah batuk berulang dan berdahak selama lebih dari 3
bulan setiap tahun dalam periode paling sedikit 3 tahun sebab utamanya
adalah merokok, berbagai penyakit akibat pekerjaan, polusi udara, dan
usia tua. Terutama laki-laki.Hipersekresi dan tanda-tanda adanya
penyumbatan saluran napas yang kronik merupakan tanda dari penyakit
ini
Epidemiologi:
Bronkitis kronik didapatkan lebih banyak pada laki-laki daripada wanita.
Mungkin ini disebabkan penyebab utama sampai saat ini adalah merokok,
dan laki-laki lebih banyak yang merokok dibandingkan wanita. Di Asia
jumlah perokok kira-kira 50%, sedangkan di Indonesia jumlah perokok
menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga 1996 adalah 53% laki-laki dan
4% wanita.
Saat ini diperkirakan 20% laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, dan
pada wanita dewasa lebih sedikit. Namun karena wanita yang merokok
terus meningkat maka angka bronkitis kronik pada wanita akan meningkat.
Menurut Balter MS dalam Suyono S (2001), pada bukan perokok terdapat
15% yang menderita batuk kronik dengan sputum, meningkat menjadi 33%
pada perokok dengan pipa dan cerutu, sedangkan pada perokok sigaret
yang mengonsumsi setengah sampai satu pak rokok, akan mengalami
batuk kronik sebanyak 40-50%, dan akan meningkat menjadi 70-80% pada
yang mengonsumsi rokok dua bungkus atau lebih.
Di Amerika Serikat kira-kira 10-25% penduduk menderita simple chronic
bronchitis, lebih banyak terdapat pada laki-laki di atas 40 tahun. Di Inggris
bronkitis kronik terdapat pada 17% laki-laki dan 8% wanita. Diperkirakan
didapatkan 30.000 kematian karena bronkitis kronik setiap tahun,
merupakan angka kematian terbanyak ketiga pada laki-laki dengan usia di
atas 65 tahun.
Patologi
Pada bronchitis kronik terjadi hipertrofi kelenjar mucus dari
trakeobronkhial, dimana dapat menyebabkan penyempitan pada saluran
bronkus, sehingga diameter bronkus ini menebal lebih dari 30-40% dari
tebalnya dinding bronkus yang normal.Sekresi dari sel goblet bukan saja
bertambah dalam jumlahnya akan tetapi juga lebih kental sehingga
menghasilkan substansi mukosa purulen. Keadaan ini juga disertai
bronkeostatis dan atelektasis yang diakibatkan oleh
penyumbatan.Permukaan bronkus senantiasa terinfeksi, oleh karna
mekanisme untuk membersihkan bronkus melalui silia maupun dengan
mekanisme sekresi menjadi hilang, sehingga paru selalu diinfeksi oleh
kuman Haemophilus Influenza dan Streptococcus pneumonia yang
menghasilkan mukus yang purulen pada setiap eksaserbasi.
GejalaKlinis
Batuk terutama pada pagi hari pada perokok
Sputum kental dan mungkin juga purulen, terutama bila terinfeksi
oleh haemophillus influenza. Pada tingkat permulaan didapatkan
adanya dispne yang sesaat.
Dispne makin lama makin berat dan sehari penuh, terutama pada
musim dimana udara dingin dan berkabut. Selanjutnya sesak napas
terjadi bila bergerak sedikit saja dan lama kelamaan dapat terjadi
sesak napas yang berat, sekalipun dalam keadaan istirahat.
Pada sebagian pasien justru datangnya pada malam hari, terutama
pada pasien yang berusia tua sehingga menyebabkan tidur pasien
menjadi terganggu.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Faal paru
FEV1 kurang dari 75 & dalam keadaan kronik bukan saja FEV1 yang
berkurang, akan tetapi VC juga. Pemeriksaan paru dengan MBBB
menunjukkan terdapatnya penurunan faal paru
2. Pemeriksaan Radiologi
Pada bronchitis kronik tampak adanya bronkovaskular dan pelebaran dari
arteri pulmonalis disamping itu ukuran jantung juga mengalami
pembesaran.Dengan pemeriksaan fluoroskopi dapat dinilai kecepatan aliran
udara pada waktu ekspirasi.Infeksi pada bronkiolus ditandai dengan adanya
bercak-bercak pada bagian tengah paru.
3. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya korpulmonale dan hipertrofi
pulmonale.
4. Pemeriksaan Bronkoskopi
Dapat ditemukan adanya obstruksi dan kolaps pada alveoli dan kadang
kadang dapat meliputi bronkus yang besar.Pada bronchitis kronik tampak
karena mukosa yang merah dan hipersekresi.
5. Pemeriksaan Darah Rutin
Dapatditemukan adanya peninggian hematokrit dan eritema,serta hipoksemia
kronik.
Pengobatan/penatalaksanaan
1. Berhenti merokok
Usaha menghentikan rokok adalah suatu tindakan yang berat, walupun
melalui program yang terorganisir angka kekambuhan dapat mencapai 80
%
2. PemberianVaksin Influenza
Untuk mencegah terjadinya influenza yang dapat memperburuk COPD,
terutama pada masa epidemik, dapat pula digunakan amantadin dan
rimantadin yang dapat memperpendek pengaruh kuman influenza.
3. Bronkodilator
Bronkodilator yang sering diberikan yakni beta-2 agonis (epinefrin,
albuterol, bitolterol, isoetarim, metaproteranol,terbutali) antikolinergik
4. Teofilin
Untuk meningkatkan faal paru dan mencegah keletihan.
5. Kortikosteroid
Diberikan dalam bentuk oral dengan dosis tunggal prednison 40 mg/hari
paling sedikit selama 2 minggu.
6. Antibiotik untuk mencegah infeksi, digunakan antibiotic spektrum yang
luas
7. Pemberian Oksigen dalam jangka waktu lama
Referensi : Prof. Dr. H.TabraniRab.Ilmu Penyakit Paru. Penerbit Trans Info
Media.Jakarta .2010. hal 418-421