Upload
iqbalardiwibowo
View
233
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Encapsulation Metformin with chitosan nano particle for diabetes mellitus type II
Citation preview
ENKAPSULASI METFORMIN DENGAN CHITOSAN NANO PARTIKEL
SEBAGAI OBAT ANTIDIABETES TIPE II
Usulan Penelitian
MOCHAMMAD IQBAL ARDI WIBOWO
MUHAMMAD GUFRON
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ENKAPSULASI METFORMIN DENGAN CHITOSAN NANO PARTIKEL
SEBAGAI OBAT ANTIDIABETES TIPE II
MOCHAMMAD IQBAL ARDI WIBOWO
MUHAMMAD GUFRON
Usulan Penelitian
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PRAKATA
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puja puji serta syukur penulis ucapkan pada Allah SWT yang telah
menjadi motivasi terbesar penulis untuk menyelesaikan usulan penelitian ini
dengan menciptakan dunia dan semesta alam yang melimpah akan ilmu
pengetahuan ini. Tak lupa pula shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah menjadi panutan serta pemimpin di dunia ini sehingga penulis
dapat termotivasi dan lancar dalam penyelesaian usulan penelitian ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan pada Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim,
MS dan Ibu Dr. Pipih Suptijah, MBA atas bantuan dan bimbingannya sehingga
penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini sebaik mungkin. Penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sangat besar pada kedua orang tua penulis atas
doa dan motivasinya untuk kelancaran serta kesuksesan penulis. Penulis juga
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Iqbal, Rama, teman-teman
Teknologi Hail Perairan (angkatan 43, 44, 45 dan 46) serta karyawan Departemen
Teknologi Hail Perairan yang setia membantu dan memberikan semangat kepada
penulis.
Penulis sadar bahwa penulisan usulan penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan yang diharapkan, oleh karena itu saran dan kritik yang dapat
membuat usulan penelitian ini menjadi lebih baik sangat diharapkan oleh penulis.
Penulis berharap penelitian ini akan berjalan dengan baik dan lancar.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bogor, Januari 2012
DAFTAR ISI PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................................ 1
Rumusan Masalah ........................................................................................................... 3
Tujuan Penelitian ............................................................................................................ 3
Manfaat Penelitian .......................................................................................................... 3
Hipotesis Penelitian ........................................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 4
Diabetes Melitus ............................................................................................................. 4
Pengobatan Diabetes Melitus .......................................................................................... 7
Metformin ....................................................................................................................... 7
Hewan Coba .................................................................................................................. 10
Nano Partikel Chitosan ................................................................................................. 11
Enkapsulasi ................................................................................................................... 14
BAHAN DAN METODE ................................................................................................. 14
Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................................... 14
Bahan dan Alat .............................................................................................................. 14
Metode Pembuatan Nano Partikel Chitosan .....................Error! Bookmark not defined.
Tahapan pengujian dan menganalisis karakteristik nano chitosan................................ 15
Proses Enkapsulasi (Hsio dkk, 2003; Chang dan Chiu, 2003) ...................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 17
LAMPIRAN ...................................................................................................................... 20
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan peradaban manusia terus berkembang dan menjadi
peradaban yang berteknologi tinggi. peradaban yang tinggi tersebut memiliki
banyak keunggulan sifat dan beberapa keuntungan dalam memudahkan
kepentingan manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari cara atau mekanisme dalam
kehidupan sehari-hari yang serba praktis dan tersedia. Perkembangan ini juga
memiliki banyak efek negatif dalam kehidupan manusia, salah satu efek diantara
banyak efek negatif dalam kehidupan manusia dalam perkembangan peradaban
ialah masalah penurunan kesehatan.
Banyak penyakit yang muncul dikarenakan dari perkembangan
kehidupan manusia yang berkembang cepat dan serba praktis. Diantaranya ialah
penyakit kanker dan Diabetes mellitus. Penyakit kanker dan infeksi merupakan
salah satu ancaman utama terhadap kesehatan masyarakat. Meskipun usaha
pengobatan kanker secara intensif telah dilakukan namun hingga saat ini belum
ditemukan obat yang dapat mengatasi kanker secara memuaskan. Hal ini
disebabkan karena rendahnya selektifitas obat-obat anti kanker yang digunakan
atau karena patogenesitas penyakit itu sendiri belum jelas benar. Di lain pihak
masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai ramuan tradisional yang
dinyatakan sebagai obat kanker (Meiyanto dan Sugiyanto, 1997).
Diabetes melitus merupakan penyakit akibat gangguan metabolisme tubuh
yang dicirikan tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) disertai gangguan
pada metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai dampak dari menurunnya
fungsi insulin (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2005). Penderita
diabetes mellitus mengalami peningkatan pada produksi radikal bebas sehingga
sistem pertahanan antioksidan terganggu yang berujung pada terjadinya kerusakan
seluler pada sel β pankreas (Winarto 2007). Tekanan darah yang baik bagi
penderita diabetes mellitus adalah kurang dari 130/80 mmHg, sedangkan indeks
massa tubuhnya harus dijaga normal yang berkisar 18,5-22,9 kg/m2. Menurut
survei yang di lakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah penderita
Diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang, jumlah
tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di dunia, sedangkan urutan di atasnya
2
adalah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta).
Diperkirakan jumlah penderita Diabetes mellitus akan meningkat pada tahun 2030
yaitu India (79,4 juta), Cina (42,3 juta), Amerika Serikat (30,3 juta) dan Indonesia
(21,3 juta). Jumlah penderita Diabetes Mellitus tahun 2000 di dunia termasuk
Indonesia tercatat 175,4 juta orang, dan diperkirakan tahun 2010 menjadi 279,3
juta orang, tahun 2020 menjadi 300 juta orang dan tahun 2030 menjadi 366 juta
orang (Darmono 2007).
Metformin adalah obat yang membantu menurunkan kadar gula darah dalam
tubuh dengan mengurangi jumlah gula yang diproduksi oleh hati, serta secara
bersamaan meningkatkan kemampuan penyerapan gula dari otot-otot. Metformin
juga telah ditunjukkan untuk mengurangi LDL (low-density lipoprotein, atau
"buruk") kadar kolesterol.Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, metformin
merupakan salah satu dari dua obat yang ada antidiabetik oral dan satu-satunya
yang telah terbukti dapat mencegah komplikasi kardiovaskular diabetes.
Metformin biasanya dijual di bawah nama merek Glucophage, Glucophage XR,
Glumetza, Fortamet dan Riomet. Sebelum mengkonsumsi metformin, dianjurkan
mulai dengan dosis rendah untuk memungkinkan tubuh untuk mendapatkan
digunakan untuk obat. Saat ini tidak ada pedoman dosis yang ditetapkan. Dokter
hanya meresepkan dosis berdasarkan toleransi dan kebutuhan individu.
Penggunaan metformin yang direkomendasikan tidak melebihi 2.550 mg per hari
untuk orang dewasa dan 2.000 mg per hari untuk anak-anak.
Metformin diperkirakan 50%-60% bioavalabilitasnya oral, kelarutannya
dalam lipid rendah, dan volume distribusinya pada cairan tubuh. Metformin
mempunyai t½ 1,5-3 jam, tak terikat protein plasma, tidak dimetabolisme, dan
dieksresi oleh ginjal sebagai senyawa aktif. Kerja metformin pada
glukoneogenesis di hati di duga mengganggu pengambilan asam laktat oleh hati.
Pada pasien insufisiensi ginjal (terjadi akumulasi Metformin) dapat meningkatkan
risiko asidosis laktat sehingga dapat berakibat fatal. Absorpsi metformin relatif
lambat dan dapat diperpanjang jadi sekitar 6 jam. Obat ini diekskresikan dalam
urin dengan kecepatan klirens ginjal yang tinggi yaitu 450 ml/menit. Eliminasi
awal metformin adalah cepat dengan waktu paruh bervariasi antara 1.7 dan 3 jam.
Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan tersebut ialah dengan cara
3
mikroenkapsulasi metformin dengan suatu penyalut. Penyalut yang telah
digunakan adalah chitosan (Sugita 2010).
Chitosan adalah polisakarida alami yang memiliki sifat nontoksik,
biokompatibel, dan biodegradabel, hanya saja dalam bentuk gel bersifat rapuh
sehingga perlu dimodifikasi. Modifikasi chitosan dapat dilakukan baik secara
kimia maupun fisika dan berguna untuk meningkatkan sifat reologinya.
Modifikasi kimia chitosan yang pernah dilakukan adalah dengan menambahkan
glutaraldehida sebagai agen penautsilang dan polimer alami atau sintetis sebagai
bahan saling tembus (interprenetrating agent). Polimer alami yang ditambahkan
adalah sejenis hidrokoloid, diantaranya gom guar, alginat, karboksimetilselulosa
(CMC) dan gom xantan, sedangkan polimer sintetis diantaranya polivinil alkohol
(PVA). Modifikasi chitosan dengan penaut silang glutaraldehida yang telah
diujicobakan untuk sistem pengantaran obat metformin baik melalui kajian
disolusi secara in vitro maupun difusi adalah chitosan-gom guar, chitosan-CMC,
chitosan-alginat dan chitosan-gom guar-alginat. Kinerja membran chitosan
termodifikasi tersebut melalui uji difusi memberikan gambaran bahwa mekanisme
pelepasan ketoprofen diawali dengan proses pembengkakan (swelling) membran
saat membran kontak dengan cairan, selanjutnya pembukaan pori sehingga obat
terlepas (Sugita 2010).
Rumusan Masalah
Metformin yang digunakan untuk penyembuhan diabetes selama ini
masih memiliki efek samping yang berbahaya pada tubuh pemakainya. Chitosan
Nanopartikel yang memiliki kemampuan menghilangkan senyawa tak stabil dan
antidiabetes diharapkan dapat menghilangkan efek samping metformin dan
menambahkan aktivitas antidiabetes.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan antidiabetes dari
enkapsulasi Nano Chitosan-Metformin terhadap tikus galur Sparague dawley.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai jalan keluar terhadap
potensi obat-obatan yang selama ini digunakan namun masih memiliki efek
samping yang dapat membahayakan tubuh dengan cara membuat enkapsulasi
4
nano chitosan. Manfaat lain yang didapatkan ialah penambahan mutu dari
aktivitas antidiabetes metformin yang ditambah kemampuan antidiabetes dari
nano chitosan.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah penambahan enkapsulasi nano chitosan
pada metformin akan dapat menetralisir efek samping dari penggunaan metformin
dan menambah kemampuan dari aktivitas antidiabetes metformin.
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes Melitus
Indonesia adalah salah satu negara dengan penderita diabetes terbanyak di
dunia. Banyaknya penderita diabetes di Indonesia karena gaya hidup masyarakat
yang tidak memperhatikan pola hidup sehat, seperti mengkonsmsi gizi seimbang
dan berolah raga cukup. Jumlah penderita diabetes pun semakin meningkat karena
penyakit ini dapat dilanjutkan ke keturunan. Menurut survei yang di lakukan oleh
organisasi kesehatan dunia (WHO), data pada tahun 2000 negara dengan jumlah
penderita Diabetes mellitus tertinggi di dunia adalah India sebanyak 31,7 juta,
Cina 20,8 juta, Amerika Serikat 17,7 juta, dan Indonesia terdapat 8,4 juta orang.
Diperkirakan jumlah penderita Diabetes mellitus akan meningkat pada tahun 2030
yaitu India (79,4 juta), Cina (42,3 juta), Amerika Serikat (30,3 juta) dan Indonesia
(21,3 juta). Jumlah penderita Diabetes Mellitus tahun 2000 di dunia termasuk
Indonesia tercatat 175,4 juta orang, dan diperkirakan tahun 2010 menjadi 279,3
juta orang, tahun 2020 menjadi 300 juta orang dan tahun 2030 menjadi 366 juta
orang (Darmono 2007).
Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit kelainan metabolik
kronis secara serius yang memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan yang
ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah. Salah satu penyebab diabetes
melitus yaitu ditandai dengan menurunnya hormon insulin yang diproduksi oleh
sel beta pulau Langerhans dalam kelenjar pankreas. Insulin merupakan hormon
yang berperan dalam metabolisme glukosa khususnya sebagai perantara
masuknya glukosa di dalam darah ke sel-sel jaringan tubuh lainnya seperti otot
dan jaringan lemak (Garret & Grisham 2002).
5
Diabetes melitus merupakan penyakit akibat gangguan metabolisme tubuh
yang dicirikan tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemia) disertai gangguan
pada metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai dampak dari menurunnya
fungsi insulin. Diabetes melitus salah satu penyakit degeneratif yang bersifat
kronis. Penyakit ini dapat menimbulkan kerusakan pada semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai keluhan atau komplikasi, seperti komplikasi kronik pada
mata, ginjal, pembuluh darah dan lain-lain (Dirjen Bina Kefarmasian & Alat
Kesehatan 2005). Penderita diabetes mellitus mengalami peningkatan pada
produksi radikal bebas sehingga sistem pertahanan antioksidan terganggu yang
berujung pada terjadinya kerusakan seluler pada sel β pankreas (Winarto 2007).
Tekanan darah yang baik bagi penderita diabetes mellitus adalah kurang dari
130/80 mmHg, sedangkan indeks massa tubuhnya harus dijaga normal yang
berkisar 18,5-22,9 kg/m2 (WHO 2010).
Hiperglikemia merupakan keadaan saat konsentrasi kadar gula dalam
darah melewati batas normal. Keadaan ini dapat terjadi akibat adanya defisiensi
insulin sehingga penyerapan glukosa ke dalam sel menjadi terhambat (Ohta 2002).
Kadar gula dalam darah normal kurang dari 100 mg/dL, sesaat setelah makan
kadar gula dalam darah dapat meningkat hingga 120 mg/dL dan dapat kembali
normal 2 jam setelah makan (Soegondo 2004).
Gejala umum yang timbul pada diabetes melitus diantaranya, sering haus,
sering buang air kecil, kesemutan, penglihatan mulai terganggu, banyak makan
akan tetapi berat badan menurun, cepat merasa lelah, dan sering mengantuk
(Purwakusumah 2003). Penyakit diabetes melitus dapat disebabkan oleh beberapa
faktor diantaranya pola makan, obesitas, faktor genetik, bahan kimia dan obat-
obatan, serta infeksi pada pankreas (Wijayakusuma 2004).
Diabetes melitus terbagi menjadi dua tipe yaitu diabetes tipe I (Insulin
Dependent Diabetes Melitus) dan diabetes tipe II (Insulin Independent Diabetes
Melitus). DM tipe I dapat didefinisikan sebagai tipe diabetes yang tergantung pada
insulin. Dibetes tipe I ini sel pankreasnya mengalami kerusakan sehingga sel-sel
β-pankreas tidak dapat menseksresikan insulin atau jika dapat mensekresi insulin,
maka insulin yang disekresikan hanya berjumlah sedikit. Kerusakan pada sel-sel
β-pankreas disebabkan adanya peradangan, karena hal inilah penderita DM tipe I
selalu bergantung pada adaanya insulin. Berbeda dengan DM tipe I, DM tipe II
6
merupakan tipe diabetes yang tidak tergantung pada insulin. Hal ini terjadi bukan
karena sel β-pankreas yang rusak namun karena jumlah insulin yang dihasilkan
menurun. Penurunan tersebut disertai defisiensi insulin hingga resistensi insulin
(Murray 2003). DM tipe II ini umumnya disebabkan oleh obesitas atau kelebihan
berat badan. Pengobatan terhadap diabetes tipe ini dilakukan dengan pengaturan
pola makan dan olahraga, namun dapat pula diobati dengan obat-obat antidiabetes
tertentu (Matsumoto et al. 2002).
Menurut Wijayakusuma (2004), selain DM tipe I dan II terdapat pula satu
tipe diabetes melitus yang terjadi pada saat kehamilan. Penyakit tersebut
umumnya dialami oleh wanita hamil dan akan kembali normal setelah melahirkan.
Seorang wanita hamil membutuhkan lebih banyak insulin untuk mempertahankan
metabolisme karbohidrat. Jika tidak menghasilkan lebih banyak insulin, wanita
hamil dapat menderita penyakit diabetes yang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan metabolisme glukosa (karbohidrat) dan metabolisme lainnya yang
terjadi dalam tubuh.
Gagalnya secara wajar gula darah masuk ke dalam sel menyebabkan
kandungan gula darah di dalam cairan darah menjadi meningkat. Beberapa
anjuran untuk dilakukan bagi penderita diabetes tipe-1 untuk mengontrol
kandungan gula darah didalam carian darahnya adalah: melakukan diet,
khususnya terhadap makanan yang mengandung banyak glucosa; melakukan
latihan fisik secara teratur, dan terapi insulin sebagai solusi kurangnya suplai
insulin oleh sel-β. Diabetes tipe-2 sangat dipengaruhi oleh factor obesitas.
Obesitas dapat menyebabkan meningkatnya resistansi reseptor insulin pada
membran sel. Oleh karena itu diabetes tipe-2 erat kaitannya dengan faktor
keturunan dan budaya yang berkembang di lingkungannya. Seseorang dapat
mengalami salah satu tipe diabetes di atas dan dapat pula mengalami sekaligus
keduanya. Beberapa cara penyelesaian telah dilakukan untuk dapat mengatasi atau
menyembuhkan penderita, namun hasil yang diperoleh belum mencapai titik yang
paling optimum. Oleh karena itu beberapa alternatif pengembangan sedang
diinvestigasi yang salah satunya adalah melibatkan nanoteknologi (Zhirno dan
Cavin, 2011; Mishra et al., 2008).
7
Pengobatan Diabetes Melitus
Pengobatan diabetes melitus umumnya dilakukan dengan pengaturan
diet, pemberian obat antidiabetik oral, dan terapi insulin. Akan tetapi pemberian
obat-obat antidiabetik oral dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya.
Efek tersebut dapat berupa gangguan mekanisme dalam tubuh hingga kematian
(Tuyet & Chuyen 2007). Pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian
obat yang paling umum dilakukan karena mudah, murah dan aman. Umumnya
pemberian obat antidiabetik oral hanya dilakukan untuk penderita DM tipe II, obat
tersebut terbagi menjadi dua jenis, diantaranya obat sintetik dan obat tradisional
(Mathur & Shiel 2003).
Obat sintetik yang memiliki aktivitas antidiabetik dibagi menjadi 4 kelas
menurut mekanisme kerjanya. Pertama, golongan sulfonylurea yang memiliki
mekanisme kerja utama pada peningkatan insulin. Obat dari golongan ini banyak
digunakan dalam pengobatan diabetes adalah glimepiride. Kedua, golongan
biguanida yang dapat mengurangi produksi glukosa hati sehingga dapat
meningkatkan sensitivitas periferal dan mengurangi penyerapan glukosa
intestinal, contoh obat golongan ini adalah glucophage, diabex, glucotica, dan
lain-lain. Ketiga, golongan inhibitor α-glukosidase salah satunya adalah acarbose.
Obat ini dapat menghambat enzim spesifik yang menguraikan pati dalam usus
halus sehingga menunda penyerapan glukosa hasil pemecahan karbohidrat di
dalam usus. Keempat, merupakan insulin eksogen yang berperan dalam
meningkatkan sensitivitas insulin secara tidak langsung dan menekan produksi
gula hati . obat lainnya yang sering digunakan dalam terapi diabetes adalah
pioglitazon, yang termasuk ke dalam golongan thiazolidinedione. Pioglitazone
bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan target, seperti
menurunkan glukoneogenesis di hati (Tuyet & Chuyen 2007).
Metformin
Metformin adalah satu-satunya obat antidiabetes yang telah meyakinkan
ditunjukkan untuk mencegah komplikasi kardiovaskular diabetes. Ini membantu
mengurangi kolesterol LDL dan trigliserida, dan tidak terkait dengan peningkatan
berat badan. Pada 2010, metformin merupakan salah satu dari hanya dua obat
antidiabetik oral di Daftar Organisasi Kesehatan Dunia Model Obat Esensial
9
(glibenklamid). Metformin menyebabkan efek samping sedikit (yang paling
umum adalah gangguan pencernaan) dan berhubungan dengan risiko rendah
hipoglikemia. Asidosis laktat (penumpukan laktat dalam darah) dapat menjadi
perhatian serius dalam overdosis dan ketika itu diresepkan untuk orang dengan
kontraindikasi, tetapi sebaliknya, tidak ada risiko yang signifikan.
Pertama disintesis dan ditemukan untuk mengurangi gula darah pada tahun
1920, metformin dilupakan selama dua dekade berikutnya sebagai penelitian
dialihkan ke insulin dan obat antidiabetes lain. Minat metformin muncul kembali
di akhir 1940-an setelah beberapa laporan bahwa hal itu bisa menurunkan kadar
gula darah pada orang, dan pada tahun 1957, Perancis dokter Jean Sterne
diterbitkan percobaan klinis pertama metformin sebagai pengobatan untuk
diabetes. Ini diperkenalkan ke Britania Raya pada 1958, Kanada pada tahun 1972,
dan Amerika Serikat pada tahun 1995. Metformin sekarang diyakini menjadi obat
antidiabetes paling banyak diresepkan di dunia,. Di Amerika Serikat saja, lebih
dari 48 juta resep diisi pada tahun 2010 untuk formulasi generiknya.
Metformin adalah terutama digunakan untuk diabetes tipe 2 Namun
semakin banyak digunakan dalam sindrom ovarium polikistik (PCOS), non-
alkohol penyakit hati berlemak (NAFLD) dan pubertas dini, tiga penyakit lain
yang fitur resistensi insulin , ini indikasi masih dianggap eksperimental. Manfaat
metformin pada NAFLD belum ekstensif dipelajari dan mungkin hanya
sementara;. meskipun beberapa percobaan terkontrol acak telah menemukan
peningkatan yang signifikan dengan penggunaan, bukti masih cukup.
Penggunaan utama untuk metformin dalam pengobatan mellitus tipe,
diabetes 2 terutama pada orang gemuk. Dalam kelompok ini, lebih dari 10 tahun
pengobatan, metformin mengurangi komplikasi diabetes dan kematian secara
keseluruhan sekitar 30% bila dibandingkan dengan insulin dan sulfonilurea
(glibenclamide dan klorpropamid) dan sekitar 40% bila dibandingkan dengan
kelompok hanya diberikan saran diet. Perbedaan ini diselenggarakan pada orang
yang diikuti selama lima sampai 10 tahun setelah penelitian.
Sejak kontrol glukosa intensif dengan metformin muncul untuk
mengurangi risiko yang berkaitan dengan diabetes endpoint pada orang gemuk
dengan diabetes, dan berhubungan dengan berat badan kurang. dan serangan
hipoglikemik lebih sedikit dibandingkan insulin dan sulphonylureas, mungkin
10
menjadi terapi lini pertama farmakologis pilihan dalam kelompok ini. Selain itu,
metformin itu tidak berpengaruh pada berat badan: Selama periode pengobatan 10
tahun, kelompok metformin diperoleh sekitar 1 kg, sama seperti kelompok nasihat
diet, sedangkan kelompok sulfonilurea naik 3 kg, dan kelompok insulin, 6 kg.
Sebagai metformin affords tingkat yang sama kontrol gula darah terhadap insulin
dan sulfonilurea, tampaknya menurunkan angka kematian terutama melalui
serangan jantung menurun, stroke dan komplikasi kardiovaskular lainnya.
Metformin memiliki risiko hipoglikemia lebih rendah dibandingkan
dengan sulfonilurea, meskipun telah jarang terjadi selama latihan intens, defisit
kalori, atau bila digunakan dengan agen lain untuk glukosa darah yang lebih
rendah. Metformin juga tidak berhubungan dengan penambahan berat badan, dan
sederhana mengurangi kadar LDL dan trigliserida.
Gambar 1. Susunan biokimia metformin (Murfida 2001)
Hewan Coba
Tikus putih yang biasanya dijadikan percobaan terdiri atas lima macam
yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague-Dawley dan Wistar. Tikus
percobaan memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah nokturnal, yaitu
aktivitasnya malam hari dan tidur pada siang hari, tidak mempunyai gall blader
(kantung empedu), tidak dapat mengeluarkan isi perut (muntah), dan tidak pernah
berhenti tumbuh, walaupun kecepatan pertumbuhannya akan menurun setelah 100
hari (Muchtadi 1989).
11
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) tikus yang digunakan untuk
percobaan memiliki berat badan 35-40 g setelah berumur empat minggu dan berat
badan dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi bergantung pada galur. Galur
sprague-dawley paling besar, hampir sama dengan tikus liar. Smith dan
Mangkoewidjojo juga menuliskan ada dua sifat yang membedakan tikus dari
hewan percobaan lainnya yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi
yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung dan tidak
mempunyai kantung empedu.
Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jenis
Sparague-Dawley berjenis kelamin jatan dengan berat badan sekitar 150-250 g.
Tikus Sparague-Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena
kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa,
sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat
mempengaruhi hasil penelitian. Tikus normal memiliki kadar glukosa sebesar 60-
100 mg/dl (Safitri 2005).
Tikus diadaptasi terlebih dahulu selama 7 hari, hal ini bertujuan agar tikus
terbiasa dengan lingkungan penelitian dan mengembalikan kondisi hewan coba
dari stres karena pemindahan dan transportasi. Selain itu pada masa adaptasi
dilakukan pengamatan terhadap kondisi kesehatan tikus hingga layak digunakan
untuk penelitian. Ransum yang diberikan selama masa adaptasi merupakan
ransum standar. Ransum standar dan air diberikan secara ad libitum, yang berarti
tikus-tikus tersebut diberi keleluasaan makan dan minum kapan saja (Safitri
2005).
Nano Partikel Chitosan
Nanomaterial adalah suatu materi yang ukurannya berada pada kisaran 1-
100 nanometer (nm). Materi ini dapat dalam bentuk kristal yang atomatomnya
tersusun secara teratur maupun dalam bentuk non-kristal (Kumar et al., 2005).
Ditemukan bahwa perilaku materi yang berukuran nanometer sangat berbeda
dibanding dengan perilaku pada ukuran yang lebih besar (bulk). Perbedaan yang
sangat dramatis terjadi pada sifat fisika, kimia dan sifat biologinya. Perbedaan
yang terjadi memberikan manfaat yang sangat besar sehingga membawa material
12
berukuran nanometer sebagai material unggul pada berbagai bidang terapan,
termasuk biologi dan farmasi (Sigma-Aldrich 1999).
Proses sintesa nanomaterial dapat dilakukan secara top down maupun
secara bottom up (Kumar et al., 2005). Secara top down, material yang berukuran
besar digiling (grinding) sampai ukurannya berorde nanometer. Alat penggiling
paling popular adalah ball mill. Di samping itu dilakukan dengan cara evaporasi.
Material berukuran besar dipanaskan sampai pada temperatur uapnya sehingga
terevaporasi menghasilkan partikel-partikel berukuran nanometer. Nanomaterial
yang dihasilkan pada kedua cara di atas distabilisasi dengan menggunakan larutan
kimia seperti polyvinyl alcohol (PVA) atau polyethilene glycol (PEG) sehingga
membentuk nanokoloid yang stabil. Sayangnya, cara evaporasi berbiaya tinggi
karena menggunakan peralatan yang mahal. Secara bottom up sintesa
nanomaterial dilakukan dengan mereaksikan berbagai larutan kimia dengan
langkah-langkah tertentu yang spesifik sehingga terjadi suatu proses nukleasi yang
menghasilkan nukleus-nukleus sebagai kandidat nanpartikel setelah melalui
proses pertumbuhan. Laju pertumbuhan nukleus dikendalikan sehingga
menghasilkan nanopartikel dengan distribusi ukuran yang relatif homogen.
Gambar 2. Skema proses pembentukan nanomaterial secara bottom up (Kumar et
al., 2005).
12
Chitosan adalah biopolimer alami hasil modifikasi dari kitin, yang
merupakan struktur utama komponen dari pena cumi, dinding sel dari beberapa
jamur, karapas udang dan cangkang kepiting. Kitin dan chitosan memiliki sifat
spesifik yang ramah lingkungan dan mudah terdegradasi, serta memiliki afinitas
tinggi dan non-toksisitas. Chitosan memiliki efek yang kuat pada pertanian,
seperti bertindak sebagai sumber karbon untuk mikroba dalam tanah,
mempercepat proses transformasi materi organik menjadi anorganik materi dan
membantu sistem akar tanaman untuk menyerap lebih banyak unsur hara yang ada
di tanah. Chitosan diserap ke akar setelah diurai oleh bakteri dalam tanah. Selain
itu, efek chitosan terhadap tanaman dapat mengatur sistem kekebalan tubuh
tanaman, menginduksi enzim ekskresi resisten, mengaktifkan sel-sel dan
kemampuan tahan serangga (Suchada, 2008).
Menurut Mohanraj (2006), kebanyakan nanopartikel dibuat dengan tiga
metode, yaitu dispersi polimer, polimerisasi monomer, dan proses gelasi ionik
disperse polimer merupakan teknik umum yang digunakan untuk membuat
nanopartikel biodegradable dari PLA (poly lactic acid). PLG (poly D, L-
glycolide), PLGA (poly-D, L-actide-co-glycolide), dan PCA (poly-cyanoacrylate).
Teknik disperse polimer ini dapat digunakan dalam berbagai cara, antara
lain metode evaporasi pelarut, dan metode difusi pelarut. Dalam metode evaporasi
pelarut, pelarut dan obat masing-masing dilarutkan dalam pelarut organic.
Campuran larutan polimer dan obat tersebut kemudian di emulsifikasi dalam
larutan yang mengandung surfaktan untuk membentuk emulsi minyak dalam air
(o/w). setelah emulsi yang terbentuk stabil, pelarut kemudian diuapkan. Untuk
metode polimerisasi, monomer di polimerisasi untuk membentuk nanopartikel
dalam larutan berair. Suspense nanopartikel selanjutnya dipisahkan dari penstabil
dan surfaktan yang digunakan dengan ultrasentrifugasi dan partikel disuspensikan
kembali dalam medium yang isotonis.
Metode yang paling umum dalam pembuatan nanopartikel menurut
Mohanraj (2006) adalah melalui proses gelasi ionic. Banyak penelitian difokuskan
untuk membuat nanopartikel dari polimer yang biodegradable seperti chitosan,
gelatin, dan sodium alginate. Salah satu contoh metode gelasi ionik ini adalah
mencampurkan polimer chitosan dengan polianion sodium tripolifosfat yang
13
menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino chitosan dengan
muatan negative tripolifosfat.
Menurut Haskell (2005), nanopartikel dapat dibuat dengan 4 metode, yaitu
emulsifikasi, pemecahan, pengendapan, dan difusi emulsi. Metode emulsifikasi
menggunakan bahan dasar cairan / larutan dan energy mekanik atau ultrasonic
diberikan untuk mengurangi ukuran partikel (umumnya < 300nm). Metode ini
memiliki keuntungan, yaitu menggunakan peralatan yang umum, sepeti
homogenizer. Sedangkan kelemahan metode ini antara lain pengisian obat ke
dalam nanopartikel rendah, serta memerlukan energy tinggi untuk dekomposisi
kimia. Metode pemecahan menggunakan bahan dasar padatan yang dipecah
dengan cara menggiling butiran-butiran padatan. Metode ini memiliki kelebihan
antara lain cocok untuk senyawa yang kelarutannya rendah, sedangkan
kekurangan metode ini antara lain pemecahan partikel padayan memerlukan
energy dan waktu yang lebih besar daripada bahan cairan / larutan, dapat
menghasilkan panas, kondisi proses berbeda-beda dari satu obat ke obat lainnya,
dan ukuran partikel yang dihasilkan terbatas, yaitu lebih besar dari 100 nm.
Metode pengendapan dilakukan dengan mengendalikan kelarutan bahan di
dalam larutan melalui perubahan pH, suhu, atau pelarut. Endapan yang dihasilkan
dari kondisi sangat jenuh memiliki banyak partikel berukuran kecil. Metode ini
memiliki kelebihan antara lain dapat menghasilkan partikel lebih kecil dari 100
nm dan pemakaian energy sangat rendah. Akan tetapi, kekurangan metode ini
adalah pengisian obat ke dalam nanopartikel rendah dan memerlukan penguapan
banyak pelarut. Metode yang terakhir adalah difusi emulsi yang merupakan
gabungan dari metode emulsifikasi dan pengendapan. Dalam metode ini, emulsi
yang mengandung obat dihasilkan terlebih dahulu melalui penggunaan pelarut
dengan volatilitas yang tinggi.
Setelah preparasi, fase yang mengandung obat dihilangkan melalui
evaporasi, yang berlanjut pada pengendapan obat dalam droplet emulsi. Tidak
seperti metode pengendapan langsung dimana pembentukan partikel terjadi di
seluruh larutan, dalam metode ini pengendapan terbatas pada fase yang
mengandung obat sehingga droplet berperan sebagai cetakan (template) untuk
pembentukan nanopartikel. Metode difusi emulsi memiliki kelebihan antara lain
proses pengendapan dapat dikendalikan secara merata sehingga lebih efektif
14
menghasilkan nanopartikel, sedangkan kekurangan metode ini adalah prosesnya
lebih rumut karena banyak tahapan yang dilakukan, biaya lebih besar, serta
memerlukan kemampuan khusus untuk pemilihan pelarutan yang sesuai.
Enkapsulasi
Enkapsulasi merupakan teknik untuk menyalut suatu senyawa (dapat
berupa padatan, cairan, maupun gas) dengan suatu polimer. Enkapsulasi ini
merupakan cara baru yang digunakan dalam sistem pengangkutan obat dalam
tubuh. Enkapsulasi senyawa obat dibentuk dalam ukuran yang sangat kecil untuk
memaksimumkan khasiat obat secara lebih aman (Wukirsari 2006). Babstov et al.
(2002) dalam Wukirsari (2006) menyatakan bahwa enkapsulasi dalam ukuran
kecil memiliki beberapa keuntungan, antara lain melindungi suatu senyawa dari
penguraian dan mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif. Proses enkapsulasi
memungkinkan pengubahan bentuk suatu senyawa dari cair menjadi padat dan
juga memisahkan senyawa-senyawa yang berbahaya jika berinteraksi satu sama
lain. Senyawa aktif suatu obat yang memerlukan proses enkapsulasi adalah
senyawa adalah senyawa dengan paruh waktu eleminasi yang singkat, obat yang
harus diminum secara teratur (Wukirsari 2006), dan obat yang memiliki efek
negatif terhadap sistem pencernaan (Wukirsari 2006).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksananakan mulai bulan Februari hingga bulan
Juni 2011 di Laboratorium Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor
(IPB), Kampus IPB Dramaga, Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun wungu,
akuades, etanol 30%, etanol 70%, etanol 96%, enzim α-glukosidase, p-nitrofenil-
α-D-glukopiranosa (p-NPG), larutan bufer fosfat (pH 7), serum bovine albumin,
acarbose (glukobay), dimetilsulfoksida (DMSO), HCl 2N, H2SO4 2 M, dan
Na2CO3.
15
Alat-alat yang dipakai adalah corong kaca, kertas saring, penangas air,
neraca analitik, maserator, corong pisah, pipet mikro, pipet volumetrik, pipet tetes,
labu Erlenmeyer, tabung reaksi, microplate dan ELISA reader.
Tahapan pengujian dan menganalisis karakteristik nano chitosan
Uji stabilitas ukuran partikel dengan PSA (Partikel Size Analizer) untuk
mengetahui potensial Zeta, distribusi partikel, dan diameter nano chitosan.
Selanjutnya nano chitosan yang paling stabil dilakukan pengeringan dengan spray
dryer dan oven. Tahap terakhir menganalisis karakterisasi nanopartikel yang
dihasilkan melalui SEM untuk mengetahui karakteristik dan morfologi
nanopartikel chitosan serta keadaan missel yang memiliki stabilitas yang konstan.
Kemudian setiap harinya dilakukan uji stabilitas nano chitosan dengan
menggunakan mikroskop. Setelah itu, dilakukan uji FTIR untuk mengetahui DD
(derajat deasetilasi) nano chitosan tersebut.
Proses Enkapsulasi (Sugita, dkk. 2010)
Sebanyak 250 mL larutan chitosan 2.25% (b/v) dalam larutan asam asetat
1% (v/v) ditambahkan dengan 40 mL larutan karagenan 0,625% sambil diaduk.
Setelah itu, sebanyak 7.50 mL tripoliposfat 4,5% (v/v) ditambahkan ke dalam
larutan chitosan-karagenan sambil diaduk hingga homogen. Sebanyak 250 mL
larutan metformin 1.00% (b/v) dalam air dicampurkan ke dalam larutan chitosan-
karagenan tersebut sehingga nisbah bobot chitosan metformin 2 : 1. Setelah itu, 5
mL Tween-80 dengan ragam konsentrasi 0.4% di dalam pelarut air ditambahkan
dan campuran diaduk dengan magnetic stirrer dengan lamanya waktu pengadukan
(40-60) menit. Nanopartikel dibentuk menggunakan alat pengering semprot (spray
dryer). Enkapsulasi Nano khitosan-Metformin yang terbentuk lalu dibagi menjadi
3 kelompok. Pembagian kelompok ini berdasarkan pembagian konsentrasinya
kemudian akan dilakukan uji kualitas nano partikel.
16
Tabel 2. Formulasi Enkapsulasi Nano Chitosan-Metformin
Formulasi
Larutan 1 : Chitosan 2,25% (b/v), Karagenan 0,725% (b/v) tripoliposfat 4,5%
(v/v)
Larutan 2 : Metformin 1.00% (b/v) dalam air
Tabel 3. Pembagian Konsentrasi Formula Nano Chitosan-Metformin
Formula Konsentrasi Nano
Khitosan-Metformin (b/v)
A
B
C
2.25
3.00
3.50
Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Nano Chitosan
Gambar 4. Diagram Alir Pembuatan Metformin Time Release
Nano Chitosan (cair)
Emulsifikasi dengan
penambahan Karagenan
Penambahan Metformin
Metformin Time Release
Spray Dryer / Freeze Dryer
17
DAFTAR PUSTAKA
Babstov V, Shapiro Y, Kvitnitsky E,penemu; Tagra Biotechnologies Ltd. 30 Sep
2002. Method of microencapsulation. US patent 6 932 984.
[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005.
Gerakan Nasional Minum Temulawak. Jakarta : BPOM RI.
Darmono. 2007. Perpustakaan Sekolah: Pendekatan Suatu Aspek Manajemen dan
Tata Kerja. Jakarta : Gramedia Widiasmara Indonesia.
Garret, R.H. and Grisham, C.M. 1995. Biochemistry. Saunders College Pub. Fort
Wort; Nelson D.L. and Cox, M.M. 2000. Lehninger Principles of
Biochemistry. 3rd ed., Worth Publisher, New York
Haskell R.2005. Nanotechnology for drugs delivery. Exploratory Formulation
Pfizer, Inc.
Kumar, V., A.K. Abbas, N. Fausto, S.L. Robbins and R.S. Cotran. 2005.
Pathologic Basic of Disease. Ed. 7. Elsevier Saunders. Philadelphia.
Mathur R, Shiel WC. 2003. Diabetes Melitus. http://www.medicine.com/diabet
melitus/article.htm [28 Juli 2005].
Matsumoto K et al. 2002. A novel method for the assay of α-glucosidase
inhibitory activity using a multi-channel oxygen sensor. J Anal Sci 18:1351-
1359.
Meiyanto, E. , dan Sugiyanto, 1997, Uji Sitotoksik Beberapa Fraksi Etanol Daun
Gynurra precumbens (Lour) terhadap Larva Udang, Majalah Farmasi
Indonesia, hal 8, 42-49.
Mishra, M., Kumar, H., Singh, R.K., dan Tripathi, K., 2008. Diabetes and
nanomaterials. Digest Journal of Nanomaterials and Biostructures, Vol. 3
No. 3, hal. 109-113.
Mohanraj VJ and Y Chen. 2006. Nanoparticles- A review. Tropical Journal of
Pharmaceutical Research 5 (1):561-573.
Muchtadi. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Murfida L. 2001.
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W., 2003, Biokimia
Harper, Edisi 25, Penerbit EGC, Jakarta.
Ohta T et al. 2002. Α-Glucasidase inhibitory activity of a 70% methanol extract
from ezoishige (Palvetia Bibingtoniide Tonii) and its effect on the evaluation
of blood glucose level in rats. J Biosci Biotechnol Biochem 66:1552-1554.
18
Purwakusumah ED. 2003. Tumbuhan sebagai sumber biofarmaka. Di dalam
Pelatihan Tanaman Obat Tradisional, 3-4 Mei 2003. Bogor: Pusat Studi
Biofarmaka Lembaga Penelitian IPB.
Safitri M. 2005. Uji fitokimia dan toksisitas ekstrak air daun sirih merah sebagai
penurun glukosa darah pada tikus putih hiperglikemik [laporan penelitian].
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Sigma, 1999, Biohemicals And Reagents For Life Science Research, 723, 1873,
Sigma Aldrich co., Singapore.
Suchada, P., Trankler, J., Cholada, K., dan Scholl, W. 2003. The Role of Formal
and Informal Sectors in Solid Waste Management of Developing Countries.
Ninth International Waste Management and Landfill Symposium.
Soegondo S. 2004. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Di
dalam: Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Sebagai panduan
penatalaksanaan diabetes mellitus bagi dokter maupun educator. Jakarta:
Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas
Kedokteran UI.
Tuyet T, Chuyen NV. 2007. Antihyperglikemic activity of an aqueous extract
from flower buds of Cleistocalyx operculatus (Roxb.) Merr and Perry. Biosci
Biotechnol Biochem 71: 69-76.
Wijayakusuma H. 2004. Atasi Diabetes Melitus dengan Tanaman Obat. Jakarta:
Puspa Sehat.
Winarto. 2007. Pengaruh minyak buah merah (Pandanus conoideus Lam.)
terhadap gambaran sel β pankreas dan efek hipoglikemik glibenklamid pada
tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur wistar diabetik [tesis].
Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Wukirsari, T. 2006. Enkapsulasi Ibuprofen dengan Penyalut Alginat-Chitosan.
Skripsi. Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
WHO. 2010. Definition, diagnosis and classification of diabetes melitus and it’s
complications. Geneva: WHO Publishing.
Zhirnov, V.V. dan Cavin, R.K., 2011. Microsystems for Bioelectronics: The
Nanomorphic Cell. Elsevier Inc., Oxford, UK
21
Lampiran 1 Diagram Alir Percobaan In Vivo Aktivitas Antidiabetes pada
Enkapsulasi Nano Chitosan-Metformin.
Lampiran 2. Formulasi Enkapsulasi Nano Chitosan-Metformin
Formulasi
Larutan 1 : Chitosan 2,25% (b/v), Karagenan 0,725% (b/v) tripoliposfat 4,5%
(v/v)
Larutan 2 : Metformin 1.00% (b/v) dalam air
Lampiran 3. Pembagian Konsentrasi Formula Nano Chitosan-Metformin
Formula Konsentrasi Nano
Khitosan-Metformin
(b/v)
A
B
C
2.25
3.00
3.50
22
Matrix crosslinking by acidification of calcium carbonate
Metformin
Carageenan / dextran Sulphate blend
Calcium carbonate
Dispersing in oil emulsifying agent
Emuslifying Agent
Crosslinked matrix
Addition of primary and secondary coats
Secondary coat (bovine serum albumin)
Primary coat (Chitosan, PEG, Calcium chloride)
Lampiran 3 Proses pembentukan nanopartikel chitosan-enhanced
carageenan dextran sulphate
24
Lampiran 5. Usulan Kebutuhan Dana
Tabel 1. Biaya pengadaan bahan habis pakai
No Keterangan Jumlah Satuan
Harga
satuan
(Rp)
Total harga
(Rp)
1 Kitosan 1 kg kg 800.000 800.000
2 Metformin 10 strip strip 6000 60.000
3 Tikus putih 30 ekor ekor 15.000 450.000
4 Karagenan 1 kg kg 200.000 200.000
5 Alloxan 100 gr gr 120.000 1.200.000
6 Asam asetat 1% 1 liter liter 100.000 100.000
7 Tripoliphospat 4,5% 100 gr gr 100.000 100.000
8 Tween 80 1 liter liter 100.000 100.000
Total biaya bahan habis pakai 3.010.000
Tabel 2. Biaya peralatan
No Keterangan Jumlah Satuan
Harga
satuan
(Rp)
Total
harga
(Rp)
1 Gelas ukur (100 ml) 1 buah 250.000 250.000
2 Gelas ukur (10 ml) 1 buah 100.000 100.000
3 Suntikan 6 buah 5.000 30.000
4 Pipa tetes 5 buah 5.000 25.000
5 Gelas spray 3 buah 200.000 600.000
6 Beaker glass 5 buah 60.000 300.000
Total biaya peralatan dan pengujian 1.305.000
25
Tabel 3. Biaya penyewaan
No Keterangan Jumlah Satuan
Harga
satuan
(Rp)
Total
harga
(Rp)
1 Laboratorium THP 500.000 500.000
2 Laboratorium FKH 500.000 500.000
3 Magnetic stirrer 3 kali 150.000 450.000
4 Spray dryer 3 kali 80.000 240.000
5 Destilator 1 kali 100.000 100.000
6 Pengujian SEM 3 kali 600.000 1.800.000
Total biaya peralatan dan pengujian 3.590.000
Tabel 5. Biaya penunjang
No Keterangan Total harga (Rp)
1 Pembuatan proposal 300.000
2 Pembuatan laporan 380.000
3 Dokumentasi 200.000
Total biaya penunjang 880.000
26
Tabel 6. Biaya Perjalanan
Tabel 7. Rancangan Biaya. Total Program
No. Sasaran Biaya Jumlah (Rp.)
1. Biaya pengadaan bahan habis pakai 3.010.000
2. Biaya peralatan 1.305.000
3. Biaya penyewaan 3.590.000
4. Biaya penunjang 880.000
5. Biaya Perjalanan 800.000
Total (Rp.) 9.585.000
No Keterangan Total harga (Rp)
1 Pembelian Chitosan 100.000
2 Pembelian tikus putih 150.000
3
Pembelian tripoliphospat, asam
asetat, metformin dan twin 200.000
4 Pembelian alat-alat 200.000
5 Transport pengujian SEM 150.000
Total biaya perjalanan 800.000