Upload
fakrulnersmuda
View
113
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
anak
Citation preview
1
BAB I
1.1 Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di
masyarakat, karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Kehidupan sehari-
hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk
menjauhi penderita epilepsi. Bagi orang awam, epilepsi dianggap sebagai penyakit
menular (melalui buih yang keluar dari mulut), penyakit keturunan, menakutkan
dan memalukan (Baker, 2009).
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang
umur dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum
diperoleh gambaranbahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak
insiden terdapat padagolongan anak dan lanjut usia. Penelitian insidensi dan
prevalensi telah dilaporkan oleh berbagai negara, tetapi di Indonesia belum
diketahui secara pasti. Para peneliti umumnya mendapatkan insidens 20- 70 per
100.000 per tahun dan prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum.
Sedangkan pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di antaranya menderita
epilepsi. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan. Epilepsi merupakan masalah pediatrik yang besar dan lebih sering
terjadi pada usia dini dibandingkan usia selanjutnya (Djoenaidi, 2000).
World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju
berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per
100.000 ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi di negara
berkembang adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen. Kondisi tersebut di antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal,
serta post natal (WHO, 2001).
Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa.
Di Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada
kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU
dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada
2
anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 -
10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%)
(Soetomenggolo, 2009).
Akibat banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. Oleh karena
itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, terapi epilepsy dan asuhan
keperawatan pada anak epilepsy.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada anak dengan epilepsy?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada anak dengan epilepsy
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep medis epilepsy
2. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan anak dengan epilepsi
3
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Otak memiliki kurang lebih 15 millar neuron yang membangun subtansia
alba dan substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat komplek dan
sensitif, berfungsi sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas: gerakan
motorik, sensasi, berpikir dan emosi. Di samping itu, otak merupakan tempat
kedudukan memori dan juga sebagai pengatur aktivitas involuntar atau otonom.
sel-sel otak bekerja bersama-sama, berkomunikasi melalui signal-signal listrik.
Kadang-kadang dapat terjadi cetusan listrik yang berlebihan dan tidak teratur dari
sekelompok sel yang menghasilkan serangan atau seizure. Sistem limbik
merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan. Ekspresi aktivitas
otak abnormal dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis.
Neokorteks (area korteks yang menutupi permukaan otak), hipokampus, dan area
fronto-temporal bagian mesial sering kali merupakan letak awal munculnya
serangan epilepsi, Area subkorteks misalnya thalamus, substansia nigra dan
korpus striatum berperan dalam menyebarkan aktivitas serangan dan mencetuskan
serangan epilepsi umum. Pada otak normal, rangsang penghambat dari area
subkorteks mengatur neurotransmiter perangsang antara korteksdan area otak
lainnya serta membatasi meluasnya signal listrik abnormal. Penekanan terhadap
aktivitas inhibisi eksitasi di area tadi pada penderita epilepsi dapat memudahkan
penyebaran aktivitas serangan mengikuti awal serangan parsial atau munculnya
serangan epilepsi umum primer (Bate, 2012).
2.2 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya
bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang
terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara
paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis
dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung
secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran,
4
disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) (Pallgreno, 2006).
2.3 Etiologi
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu (Shorvon,
2005) :
1. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,
awitanbiasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan danditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih
kelompok ini makin kecil
2. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguanmetabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
kelainan neurodegeneratif.
3. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut
dan epilepsi mioklonik
2.4 Patofisiologi
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi (Widiastuti, 2001).
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin )
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan
Aspartat ) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan
juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
5
dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic
potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa
aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat
yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada
GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan
inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok
besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari
kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan
epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat
kurang optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat)
berlebihan.
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang
memadai (Budiarto, 2009).
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara
lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan
kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan
otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah
hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi
parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan
merupakan tempat asal epilepsi dapatan(Chadwick, 2000).
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena
efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.
Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan
pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau
6
lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,
gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan
epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam
hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal
serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang
mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama (Budiarto,
2009).
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membrane neuron
sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke
intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan
lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik
demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu
serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat
serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selainitu juga sistem-sistem
inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuronneuron tidak terus-
menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak (Aminoff, 2005).
2.5 KLASIFIKASI
Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindroma epilepsy (Price dan Wilson, 2006).
1. Berkaitan dengan letak fokus
1.1. Idiopatik (primer)
1.1.1 Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal
(Rolandik benigna )
1.1.2 Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
1.1.3 Primary reading epilepsy
1.2. Simtomatik (sekunder)
1.2.1 Lobus temporalis
1.2.2 Lobus frontalis
7
1.2.3 Lobus parietalis
1.2.4 Lobus oksipitalis
1.2.5 Kronik progresif parsialis kontinua
1.3. Kriptogenik
2. Umum
2.1. Idiopatik (primer)
2.1.1 Kejang neonatus familial benigna
2.1.2 Kejang neonatus benigna
2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4 Epilepsi absans pada anak
2.1.5 Epilepsi absans pada remaja
2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7 Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga
2.1.8 Epilepsi tonik kionik dengan serangan acak
2.2. Kriptogenik atau simtomatik
2.2.1 Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)
2.2.2 Sindroma Lennox Gastaut
2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4 Epilepsi absans miokionik
2.3. Simtomatik
2.3.1 Etiologi non spesifik
- Ensefalopati miokionik neonatal
- Sindrom Ohtahara
2.3.2 Etiologi / sindrom spesifik
- Malformasi serebral
- Gangguan metabolisme
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
- Epilepsi miokionik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
8
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Epilepsi berkaitan dengan situasi
4.1 Kejang demarn
4.2 Berkaitan dengan alkohol
4.3 Berkaitan dengan obat-obatan
4.4 Eklamsi
4.5 Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Yang
dimaksud sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya
sekumpulan gejala dan klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis serangan,
etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, dan berat penyakit . Dikenal 4
kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom epilepsi
dapat dikelompokkan sebagai berikut (Arcaid, 2004):
1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulan Serangan epilepsi pada anak
berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris, yaitu sebagian dari
manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching : mata berkedip
sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak, lengan
berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi
disebabkan oleh lesi organik struktural dan prognosis jangka panjangnya
buruk. Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada kelompok ini.
2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahun Pada kelompok ini sering terjadi
kejang demam, karena kelompok ini sangat peka terhadap infeksi dan
demam. Kejang demam bukan termasuk epilepsi, tetapi merupakan faktor
risiko utama terjadinyaepilepsi. Sindrom epilepsi yang sering terjadi pada
kelompok ini adalah sindrom Spasme Infantileatau Sindrom West dan
sindrom Lennox-Gestaut atau epilepsi mioklonik.
3. Kelompok umur 4 - 9 tahun Pada kelompok ini mulai timbul manifestasi
klinis dari epilepsi umum primer terutama manifestasi dari epilepsi
kriptogenik atau epilepsi karena fokus epileptogenik heriditer. Jenis
epilepsi pada kelompok ini adalah Petitmal, grand mal dan Benign
epilepsy of childhood with Rolandic spikes (BECRS). Setelah usia 17
9
tahun anak dengan BECRS dapat bebas serangan tanpa menggunakan
obat.
4. Kelompok umur lebih dari 9 tahun.
1) Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi fokal atau
epilepsi umum lesionik.
2) Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis atau epilepsi
psikomotor. Kecuali BECRS, pasien epilepsi jenis tersebut dapat tetap
dilanda bangkitan epileptik pada kehidupan selanjutnya. Epilepsi jenis
absence dapat muncul pada kelompok ini.
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis epilepsy (Wilkinson, 2005):
1. Kejang parsial simplek: serangan dimana pasien akan tetap sadar, pasien akan
mengalami berupa deja vu (perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang
sama sebelumnya), perasaan senang atau takut secara tiba-tiba, perasaan seperti
kebas, gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu,
halusinasi.
2. Kejang parsial (psikomotor) kompleks, Serangan mengenai bagian otak yang
lebih luas dan bertahan lebih lama, pasien hanya sadar sebagian dan
kemungkinan besar tidak mengingat waktu serangan, gejalanya meliputi
gerakan seperti mengunyah, gerakan yang sama berulang-ulang, berbicara
tidak jelas, menendang atau meninju, gerakan yang tidak jelas.
3. Kejang tonik klonik (epilepsy grandma): tipe kejang paling sering, tahap tonik
atau kaku diikuti tahap klonik, pasien dapat kehilangan kesadaran, otot
menegang, lidah tergigit, mengompol, pasien lemas, letih atau ingin tidur
setelah serangan kejang.
2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsy didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan EEG dan radiologis (PERDOSSI,2008):
1. Anamnesis:
1) Pola serangan
2) Lama serangan
10
3) Gejala sebelum, selama dan paska serangan
4) Frekuensi serangan
5) Faktor pencetus
6) Ada/tidak penyakit lain yang diderita
7) Usia saat serangan terjadinya pertama
8) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
9) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
10) Riwayat penyakit epilepsy dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
3. Pemeriksaan penunjang
1) EEG
2) Pemeriksaan radiologis
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan terapi epilepsy adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien. Prinsip terapi farmakologi yaitu (Kliegman, 2008):
1. Obat diberikan bila diagnosis epilepsy sudah dipastikan, terdapat minimal
dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga mengetahui tujuan
pengobatan dan kemungkinan efek sampinng.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai
dosis efektif mencapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma
ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. Bila penggunaan dosis maksimum obat tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan lini kedua. Bila lini kedua telah mencapai kadar terapi, maka
lini pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
5. Penambahan lini ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penambahan dosis maksimal kedua lini pertama.
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsy:
1. Meningkatan neurotransmitter inhibisi (GABA)
2. Menurunkan eksitasi melalui modifikasi konduksi ion Na, Ca, K, Cl atau
aktivitas neutransmitter.
11
Penghentian pemberian obat antiepilepsi:
1. Penghentian obat dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarga setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula,
setiap bulan dalam jangka 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu obat anti epilepsy, maka penghentian
dimulai dari satu obat yang bukan obat utama
Jenis obat sesuai lini
12
2.9 Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah
1. Perkembangan motorik
Seiring dengan perkembangan fisik yang beranjak matang, perkembangan
motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah
selaras dengan kebutuhan atau minatnya. Masa ini ditandai dengan kelebihan
gerak atau aktivitas. Anak cenderung menunjukkan gerakan-gerakan motorik yang
cukup gesit dan lincah.Oleh karena itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk
belajar keterampilan yang berkaitan dengan motorik, seperti menulis,
menggambar, melukis, mengetik, berenang, main bola dan atletik. Perkembangan
fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar,
baik dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan. Dengan kata lain,
perkembangan motorik sangat menunjang keberhasilan belajar anak di sekolah
13
dasar. Pada masa usia ini, kematangan perkembangan motorik umumnya sudah
dicapai, karena itu anak sudah siap untuk menerima pelajaran keterampilan.
2. Perkembangan intelektual
Intelektual merupakan salah satu aspek yang harus dikembangkan pada
anak. Intelektual sering kali disinonimkan dengan kognitif, karena proses
intelektual banyak berhubungan dengan berbagai konsep yang telah dimiliki anak
dan berkenaan dengan bagaimana anak menggunakan kemampuan berfikirnya
dalam memecahkan suatu persoalan. Dalam kehidupannya mungkin saja anak
dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang menuntut adanya pemecahan.
Menyelesaikan suatu persoalan merupakan langkah yang lebih kompleks pada diri
anak. Sebelum anak mampu menyelesaikan persoalan, anak perlu memiliki
kemampuan untuk mencari cara penyelesaiannya.
Faktor kognitif mempunyai peranan penting bagi keberhasilan anak dalam
belajar, karena sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan
masalah mengingat dan berfikir. Kedua hal ini merupakan aktivitas kognitif yang
perlu dikembangkan. Perkembangan struktur kognitif berlangsung menurut urutan
yang sama bagi semua anak. Setiap anak akan mengalami dan melewati setiap
tahapan itu, sekalipun kecepatan perkembangan dari tahapan-tahapan tersebut
dilewati secara relatif dan ditentukan oleh banyak faktor seperti : kematangan
psikis, struktur syaraf, dan lamanya pengalaman yang dilewati pada setiap tahapan
perkembangan. Mekanisme utama yang memungkinkan anak maju dari satu tahap
pemungsian kognitif ke tahap berikutnya oleh Piaget disebut asimilasi, akomodasi
dan ekuilibrium.
Piaget sebagai tokoh Psikologi Kognitif, memandang anak sebagai
partisipan aktif di dalam proses perkembangan. Piaget menyakini bahwa anak
harus dipandang seperti seorang ilmuwan yang sedang mencari jawaban dalam
upaya melakukan eksperimen terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi.
Misalnya anak ingin tahu apa yang terjadi bila anak mendorong piring keluar dari
meja. Hasil dari eksperimen miniatur anak menyebabkan anak menyusun “teori”.
Piaget menyebutnya teori itu sebagai “skema” (bila jamak disebut skemata)
tentang bagaimana dunia fisik dan sosial beroperasi. Anak membangun skema
berdasarkan eksperimen yang dilakukannya. Saat anak menemukan benda atau
14
peristiwa baru, anak berupaya untuk memahaminya berdasarkan skema yang telah
dimilikinya. Piaget menyebut hal itu sebagai proses asimilasi. Asimilasi
merupakan proses dimana stimulus baru dari lingkungan diintegrasikan pada
skema yang telah ada. Proses ini dapat diartikan sebagai suatu obyek atau ide baru
ditafsirkan sehubungan dengan gagasan atau teori yang telah diperoleh anak.
Asimilasi tidak menghasilkan perkembangan atau skemata, melainkan hanya
menunjang pertumbuhan skemata. Menurut Piaget, jika skema lama tidak tepat
untuk mengakomodasi peristiwa baru, maka anak seperti layaknya seorang
ilmuwan yang baik akan memodifikasi skema dan memperluas teorinya tentang
dunia. Piaget menyebut proses revisi skema ini sebagai akomodasi. (Piaget &
Inhelder, 1969 dalam Rita L. Atkinson, tt : 145).
Akomodasi merupakan proses yang terjadi apabila berhadapan dengan
stimulus baru. Anak mencoba mengasimilasikan stimulus baru itu tetapi tidak
dapat dilakukan karena tidak ada skema yang cocok. Dalam keadaan seperti ini
anak akan menciptakan skema baru atau mengubah skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan stimulus tersebut. Akomodasi dapat dikatakan sebagai
proses pembentukan skema baru atau perubahan skema yang telah ada. Asimilasi
dan akomodasi berlangsung terus sepanjang hidup. Jika anak selalu mengasimilasi
stimulus tanpa pernah mengakomodasikan, ada kecenderungan ia memiliki skema
yang sangat besar, sehingga ia tidak mampu mendeteksi perbedaan diantara
stimulus yang mirip. Sebaliknya jika anak selalu mengakomodasi stimulus dan
tidak pernah mengasimilasikannya, ada kecenderungan ia tidak pernah dapat
mendeteksi persamaan dari stimulus untuk membuat generalisasi. Oleh karenanya
harus terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi yang disebut
sebagai ekuilibrium. Ekuilibrium merupakan suatu keadaan yang seimbang
dimana anak (individu) tidak perlu lagi merubah hal-hal yang ada disekelilingnya
untuk mengadakan asimilasi dan juga tidak harus mengubah dirinya untuk
mengadakan akomodasi dengan hal-hal yang baru. Perkembangan intelektual atau
perkembangan kognitif dapat dipandang sebagai suatu perubahan dari suatu
keadaan seimbang ke dalam keseimbangan baru. Setiap tahap perkembangan
kognitif mempunyai bentuk keseimbangan tertentu sebagai fungsi dari
kemampuan memecahkan masalah pada tahap itu. Pada periode ini anak sudah
15
memiliki kemampuan dalam hal perhitungan (angka) seperti menambah,
mengurangi, mengalikan dan membagi. Di samping itu, pada akhir masa ini anak
sudah memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang
sederhana.
3. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomuniasi, dimana pikiran dan
perasaan dinyatakan dalam bentuk tulisan, lisan, isyarat atau gerak dengan
menggunakan kata-kata, kalimat bunyi, lambar, gambar atau lukisan. Dengan
bahasa semua manusia dapat mengenal dirinya, sesama manusia, alam sekitar,
ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral atau agama. Usia sekolah dasar merupakan
masa berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan
kata (vocabulary). Pada masa awal sekolah dasar (usia 6 tahun) anak sudah
menguasai sekitar 2500 kata, usia 8 tahun 20000 kata dan pada masa akhir (usia
11-12 tahun) telah menguasai sekitar 50000 kata (Abin Syamsudin M, 1991; Nana
Syaodih S, 1990). Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi
dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang
bersifat kritis (tentang perjalanan/petualangan, riwayat para pahlawan dsb). Pada
masa ini tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal
waktu dan sebab akibat. Oleh karena itu, kata tanya yang digunakannya yang
semula hanya “apa”, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan : “dimana”,
“darimana”, “ke mana”,“mengapa” dan “bagaimana”.
Faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak adalah :
1. Proses kematangan, dengan perkataan lain anak menjadi matang (organ-
organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
2. Proses belajar, yang berarti anak yang sudah matang untuk berbicara
mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru
ucapan.kata-kata yang didengarnya.
4. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam
berhubungan sosial atau merupakan suatu proses belajar untuk menyesuaikan diri
dengan normanorma kelompok, tradisi maupun moral agama. Perkembangan
16
sosial pada anak usia 8 tahun sudah mulai ditandai dengan adanya perluasan
hubungan di samping dengan keluarga juga dengan orang dewasa dan teman lain
di sekitarnya. Selain dari itu, pada usia ini anak mulai membentuk ikatan baru
dengan teman sebaya (peer group) atau dengan teman sekelas, sehingga ruang
gerak hubungan sosialnya menjadi lebih luas.
Pada usia sekolah dasar anak sudah mulai memiliki kesanggupan untuk
menyesuaikan diri dari sifat egosentris (berfokus pada diri sendiri) kepada sikap
yang kooperatif (bekerjasama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan
orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebayanya,
dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok
(gang). Anak merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam kelompoknya.
Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok
teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.
5. Perkembangan Emosi
Menginjak usia sekolah dasar, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan
emosi secara kasar tidak dapat diterima dalam masyarakat. Anak mulai belajar
untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan
mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasan).
Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua dalam mengendalikan emosinya
sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga
yang suasana emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung
stabil. Akan tetapi apabila kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan emosinya
kurang stabil dan kurang kontrol misalnya melampiaskan kemarahan dengan
sikap agresif, mudah mengeluh, kecewa atau pesimis dalam menghadapi masalah,
maka perkembangan emosi anak cenderung kurang stabil.
Pada anak usia 5-7 tahun sudah mulai tumbuh bahwa anak tidak harus
memahami orang lain saja, tetapi sudah mulai tumbuh pemahaman tentang dirinya
sendiri. Pada usia ini anak baru bisa memahami satu sifat atau satu kondisi tentang
dirinya. Misalnya anak mengatakan “saya senang matematika, atau saya tidak
suka olah raga). Beranjak pada usia 8 tahun, anak sudah mulai memiliki
pemahaman dua sifat secara bersama-sama, sambil dapat menjelaskan mengapa
suka dan tidak suka. Emosi-emosi yang secara umum dialami pada tahap
17
perkembangan usia sekolah dasar adalah marah, takut, cemburu, iri hati, kasih
sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan (rasa senang, nikmat atau bahagia).
Namun selain dari itu, pada usia 8 tahun anak juga sudah mampu menilai diri
sendiri dan konsep dirinya sudah lebih akurat dan realistis.
Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku
individu, termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang positif seperti perasaan
senang, bergairah, bersemangat, atau rasa ingin tahu akan mempengaruhi individu
untuk mengonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti
memperhatikan penjelasan guru, membaca buku, aktif dalam berdiskusi,
mengerjakan tugas dan disiplin dalam belajar. Sebaliknya apabila yang menyertai
proses itu adalah emosi negatif, seperti perasaan tidak senang, kecewa, tidak
bergairah maka proses belajar akan mengalami hambatan, dalam arti individu
tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar
anak akan mengalami kegagalan dalam belajarnya.
6. Perkembangan Moral
Moral (kata latinnya “moris”) merupakan suatu adat istiadat, kebiasaan,
peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas adalah
kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-
prinsip moral. Yang termasuk dalam katagori nilai-nilai moral adalah: (1) seruan
untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan,
memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (2) larangan mencuri,
berzina, membunuh meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dikatakan
bermoral apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara yakni :
1) Pendidikan langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah
laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau
orang dewasa lainnya. Di samping itu perlunya keteladanan orang tua,
guru dan orang dewasa lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral.
2) Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan
atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang
tua, guru, kiai, atau orang dewasa lainnya)
18
3) Proses coba-coba (trial and error), yaitu dengan cara mengembangkan
tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan
pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan sementara tingkah laku
yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
Penanaman nilai-nilai moral dimulai dari lingkungan keluarga dimana orang
tua memiliki andil yang besar untuk memberi pemahaman pada anak tentang
mana yang baik dan salah. Pada mulanya mungkin anak tidak mengerti konsep
moral ini, namun lambat laun anak akan dapat memahaminya. Ketika anak berusia
di bawah 6 tahun, perilaku yang ditunjukkannya didasari atas kepatuhannya
terhadap aturan orang tua atau orang dewasa lainnya, tetapi memasuki usia 6-8
tahun perkembangan moral anak sudah berubah, pada usia ini anak memiliki
kemampuan lebih dalam memahami dan merefleksikan nilai-nilai moral. Anak
sudah lebih mampu melaksanakan peraturan mana yang benar dan mana yang
salah. Selain itu, pada usia ini anak sudah dapat memahami perbedaan pendapat
dengan orang lain
2.10 Konsep Asuhan Keperawatan Epilepsi
2.10.1 Pengkajian
1. Biodata: angka epilepsy lebih tinggi di Negara berkembang, di negara
berkembang mencapai 100/100.000. di negara berkembang diantaranya
tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki lebih sedikit
daripada perempuan. Insidsn tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2
tahun (262/100.000 kasus).
2. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: kejang
2) Riwayat penyakit sekarang: kejang selama kurang lebih 20 detik dengan
mata melirik keatas, tangan kaku dan kaki kanan terangkat, lidah tergigit,
ngompol, saat kejang berhenti pasien tertidur.
3) Riwayat penyakit dahulu: kejang demam, meningitis, ensefalitis, trauma
kepala
4) Riwayat penyakit keluarga: ada keluarga menderita epilepsy
19
3. Pemeriksaan Fisik
B1: sesak, ada secret berlebih, ada sumbatan jalan napas
B2: takikardia, hipotensi, sianosis, hipertermia
B3: penurunan kesadaran, kejang, mata melirik keatas, lidah tergigit.
B4: ngompol
B5: BAB tanpa kontrol
B6: kekakuan otot.
2.10.2 Diagnosa keperawatan (NANDA, 2012):
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan penyempitan jalan
napas
2. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder
akibat kejang
3. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
kerusakan serebral
4. Kecemasan orang tua berhubungan dengan perubahan status kesehatan
anak
2.10.3 Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penyempitan
jalan napas
Tujuan: jalan napas efektif
Kriteria hasil:
Pasien tidak sesak, tidak ada suara ngorok, kedalaman napas normal
Intervensi:
1) Posisikan anak terlentang dengan kepala miring dan bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung
R/ membebaskan jalan napas
2) Berikan Oksigen sesuai indikasi
R/ mempertahankan perfusi jaringan intraserebral
3) Kolaborasi dengan dokter terapi anti konvulsi
R/ anti konvulsi dapat menurunkan kejang
4) Diskusikan dengan keluarga cara pertolongan pertama kejang di rumah
R/ meningkatka pengetahuan
20
2. Risiko Cedera
Tujuan: tidak terjadi cedera
Kriteria hasil: pasien tidak jatuh, px mengetahui tanda-tanda kejang
1) Diskusikan bersama orang tua perlunya pemantauan anak
R/ menurunkan cedera
2) Motivasi orang tua untuk rutin kontrol
R/ pengobatan teratur dapat mengendalikan kejang dan menurunkan
cedera
3) Jauhkan dari benda-benda tajam
R/ menurunkan cedera
3. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
Tujuan: tahap tumbuh kembang normal
Kriteria hasil: px mampu melewati perkembangan motoric halus, motoric
kasar, social dan bahasa sesuai usia.
1) Berikan waktu anak untuk bermain sendiri dan mengeksploitasi
lingkungan
R/ meningkatan perkembangan anak
2) Diskusikan bersama orang tua untuk merangsang perkembangan motoric
halus, motoric kasar, bahasa dan social
R/ menstimulasi perkembangan
3) Ingatkan orang tua untuk rutin kontrol ke ahli tumbuh kembang
R/ keteraturan dapat mempertahankan tumbuh kembang sesuai usia
4) Kolaborasi dengan ahli terapi wicara
R/menstimulasi perkembangan bahasa.
21
DAFTAR PUSTAKA
Aminoff, 2005. Clinical neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill
Baker, 2009. The stigma of epilepsy a European perspective. 41 (1): 98-104
Bate, 2012. Moleculer genetics of human epilepsies. Diakses http://www.ermm.cbcu.cam.uk pada 18 Juli 2013
Budiarto, 2009. Beberapa karakteristik kejang demam sebagai faktor risiko terjadinya epilepsy. Tesis. Semarang. Program pendidikan dokter spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK UNDIP
Kliegman, 2008. Treatment of epilepsy. Nelson Textbook of pediatrics. Philadelphia: Saunders Elsevier
PERDOSSI, 2008. Pedoman tatalaksana epilepsy. Jakarta: PERDOSSI
Price dan Wilson, 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed.6. Jakarta: EGC
Shorvon, 2005. Handbook of epilepsy treatment forms, causes and therapy in children and adult. 2nd ed. Amerika: Blackwell Publishing
Soetomenggolo, 2009. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: IDAI
WHO, 2009. Epidemiology, prevalence, incidence, mortality of epilepsy. Diakses www.who.in/inf-fs/en/fact165.html pada 18 Juli 2013
Widiastuti, 2001. Patofisiology of the epilepsy. Epilepsy. 1:8-13
Wilkinson, 2005. Essential neurology. 6th ed. USA: Blackwell Publishing