4
Cermin Dunia Kedokteran No. 53, 1988 48 ETIKA Dr. Drs. Rachmatsyah Said. Kode Etik KODE ETIK “Apa sih, kode etik?” demikian tanya seorang sejawat saya pada satu kesempatan, padahal kawan itu sudah belasan tahun yang lalu dilantik sebagai dokter. Terlintas dalam benak saya, pada saat itu, apakah selama sekian waktu ia tidak mau tahu atau memang benar-benar tidak tahu tentang hal itu? Saya hanyá berharap, mudah-mudahan tidak banyak dan para sejawat seperti sang kawan itu. Tulisan ini disusun dengan maksud untuk sekedar menyegarkan kembali pengertian tentang hal tersebut. SPESIALISASI DAN INTERDEPENDENSI Pada suatu waktu, pada saat tatanan masyarakat masih sederhana sekali, setiap orang mengerjakan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Mereka me- nanam tanaman untuk sumber makanan sendiri, membangun rumah sendiri, dan mendidik anak-anak mereka di rumah. Jika seseorang sakit, akan diobati di rumah dengan obat- obatan buatan sendiri. Jika ada sedikit kelebihan dari ke- butuhan mereka, akan disimpan untuk keperluan yang akan datang atau ditukar kepada tetangga yang terdekat. Beberapa generasi yang lalu orang-orang tidak memerlukan tukang leding, tukang listrik dan keahlian lain, padahal sekarang kita sangat tergantung kepada tukang dengan keahilan tertentu itu. Makin lama, kebutuhan pelayanan atau penyediaan ke- butuhan dirasakan makin meningkat, di lain pihak ada ke- terbatasan kemampuan manusia untuk menyediakan dan menyelenggarakan semua kebutuhan itu sendiri. Maka sedikit demi sedikit masing-masing kebutuhan itu diselenggarakan oleh orang tertentu. Sehingga, kebutuhan masyarakat ini di- selenggarakan oleh orang yang mengkhususkan diri dalam bidang tertentu untuk kesejahteraan bersama. Dengan spesia- lisasi kita akan mendapatkan pelayanan yang lebih tinggi kualitasnya yang dilakukan oleh tenaga-tenaga yang lebih ahli. Kita mampu meningkatkan standar hidup dan mendapat- kan kelonggaran yang tidak didapatkan sebelumnya. Dengan spesialisasi dan saling tukar pelayanan, kita mampu menyedia- kan lebih banyak pelayanan dan barang-barang, lebih banyak waktu luang yang tersedia untuk seluruh anggota masyarakat. Tanpa spesialisasi maka mustahil akan terwujud masyarakat yang modern. Tetapi, di samping spesialisasi ini membawa manfaat bagi perkembangan peradaban manusia, juga dapat berkembang hal- hal yang tidak menguntungkan bagi kepentingan masyarakat Pengantar Redaksi. Dimulai pada edisi nomor ini, Cermin Dunia Kedokteran akan membuka rubrik baru Rubrik Etika – yang akan membahas berbagai aspek Etika Kedokteran. Rubrik ini akan diisi oleh pengarang tamu - Dr. Drs. Rachmatsyah Said - seorang psikiater yang sekaligus juga sarjana ilmu filsafat dan mempunyai perhatian khusus dalam bidang Etik Kedokteran, bidang yang sampai saat ini belum terlalu banyak di- bicarakan. Masalah Etika ini sesungguhnya sudah harus mulai diperhatikan karena dengan kemajuan teknologi kedokteran masa kini, banyak hal yang semula tak terpikirkan, kini menjadi mungkin. Masalah transplantasi organ, bayi tabung dan penentuan saat kematian akan menjadi makin aktual untuk dibicarakan: belum lagi masalah kemung- kinan tuntutan masyarakat yang makin tinggi akan standar dan mutu pelayanan ke- sehatan. Semuanya menuntut agar profesi kedokteran selalu tanggap dan dapat mem- pertahankan mutu pelayanannya. Harapan kami adalah bahwa rubrik ini dapat menyumbangkan sesuatu yang dapat memperluas wawasan para sejawat, sekaligus mengharapkan tanggapan dan komentar yang bermanfaat bagi kita semua. Redaksi

Etika

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jkb

Citation preview

Page 1: Etika

Cermin Dunia Kedokteran No. 53, 1988 48

ETIKA

Dr. Drs. Rachmatsyah Said.

Kode Etik KODE ETIK

“Apa sih, kode etik?” demikian tanya seorang sejawat saya pada satu kesempatan, padahal kawan itu sudah belasan tahun yang lalu dilantik sebagai dokter. Terlintas dalam benak saya, pada saat itu, apakah selama sekian waktu ia tidak mau tahu atau memang benar-benar tidak tahu tentang hal itu? Saya hanyá berharap, mudah-mudahan tidak banyak dan para sejawat seperti sang kawan itu. Tulisan ini disusun dengan maksud untuk sekedar menyegarkan kembali pengertian tentang hal tersebut. SPESIALISASI DAN INTERDEPENDENSI

Pada suatu waktu, pada saat tatanan masyarakat masih sederhana sekali, setiap orang mengerjakan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Mereka me- nanam tanaman untuk sumber makanan sendiri, membangun rumah sendiri, dan mendidik anak-anak mereka di rumah. Jika seseorang sakit, akan diobati di rumah dengan obat-obatan buatan sendiri. Jika ada sedikit kelebihan dari ke-butuhan mereka, akan disimpan untuk keperluan yang akan datang atau ditukar kepada tetangga yang terdekat. Beberapa generasi yang lalu orang-orang tidak memerlukan tukang

leding, tukang listrik dan keahlian lain, padahal sekarang kita sangat tergantung kepada tukang dengan keahilan tertentu itu.

Makin lama, kebutuhan pelayanan atau penyediaan ke-butuhan dirasakan makin meningkat, di lain pihak ada ke-terbatasan kemampuan manusia untuk menyediakan dan menyelenggarakan semua kebutuhan itu sendiri. Maka sedikit demi sedikit masing-masing kebutuhan itu diselenggarakan oleh orang tertentu. Sehingga, kebutuhan masyarakat ini di-selenggarakan oleh orang yang mengkhususkan diri dalam bidang tertentu untuk kesejahteraan bersama. Dengan spesia-lisasi kita akan mendapatkan pelayanan yang lebih tinggi kualitasnya yang dilakukan oleh tenaga-tenaga yang lebih ahli. Kita mampu meningkatkan standar hidup dan mendapat-kan kelonggaran yang tidak didapatkan sebelumnya. Dengan spesialisasi dan saling tukar pelayanan, kita mampu menyedia-kan lebih banyak pelayanan dan barang-barang, lebih banyak waktu luang yang tersedia untuk seluruh anggota masyarakat. Tanpa spesialisasi maka mustahil akan terwujud masyarakat yang modern.

Tetapi, di samping spesialisasi ini membawa manfaat bagi perkembangan peradaban manusia, juga dapat berkembang hal- hal yang tidak menguntungkan bagi kepentingan masyarakat

Pengantar Redaksi.

Dimulai pada edisi nomor ini, Cermin Dunia Kedokteran akan membuka rubrik baru – Rubrik Etika – yang akan membahas berbagai aspek Etika Kedokteran.

Rubrik ini akan diisi oleh pengarang tamu - Dr. Drs. Rachmatsyah Said - seorang psikiater yang sekaligus juga sarjana ilmu filsafat dan mempunyai perhatian khusus dalam bidang Etik Kedokteran, bidang yang sampai saat ini belum terlalu banyak di-bicarakan.

Masalah Etika ini sesungguhnya sudah harus mulai diperhatikan karena dengan kemajuan teknologi kedokteran masa kini, banyak hal yang semula tak terpikirkan, kini menjadi mungkin. Masalah transplantasi organ, bayi tabung dan penentuan saat kematian akan menjadi makin aktual untuk dibicarakan: belum lagi masalah kemung-kinan tuntutan masyarakat yang makin tinggi akan standar dan mutu pelayanan ke-sehatan. Semuanya menuntut agar profesi kedokteran selalu tanggap dan dapat mem-pertahankan mutu pelayanannya.

Harapan kami adalah bahwa rubrik ini dapat menyumbangkan sesuatu yang dapat memperluas wawasan para sejawat, sekaligus mengharapkan tanggapan dan komentar yang bermanfaat bagi kita semua.

Redaksi

Page 2: Etika

Cermin Dunia Kedokteran No. 53, 1988 49

secara keseluruhan. Para spesialis itu, akhirnya, melihat masa-lah manusia secara segmentaris hanya dari bidangnya saja. Mereka hanya sedikit, atau sama sekali tidak, mengaitkan tugasnya dengan nilai moral bahwa pada hakekatnya bidang-nya itu adalah untuk kesejahteraan umat manusia, bukan hanya demi bidangnya saja. Pandangan seperti ini kadang- kadang menimbulkan sikap yang meremehkan masalah masalah sosial dan hubungan sosial. Para spesialis ini dapat mengembangkan sikap yang melihat semua masalah hanya dan pandangan bidang spesialisasinya saja. Kecenderungan bersikap segmentaris ini akan menimbulkan akibat yang tidak menguntungkan bagi masyarakat Pertama kelompok-kelom-pok tersebut dapat menyatakan bahwa bidangnya otonom dan independen, terlepas dan masyarakat. Di samping mereka mengembangkan kebutuhan yang wajar, mereka dapat me-ngembangkan aturan aturan atau prinsip pnnsip yang mungkin bertentangan dengan kebutuhan masyarakat Kedua sikap mereka dapat bertentangan atau tidak memperhatikan kritik-kritik dari luar kelompoknya, baik yang datang dari per-seorangan atau dari pemerintah Para guru akan berpikir karena mereka adalah spesialis dalam metode metode dan kebutuhan pendidikan maka kebijaksanaan pendidikan adalah urusan mereka Kelompok dokter cenderung menolak saran atau tekanan dari pasiennya dan dan pelayanan kesehatan masyarakat tentang metode pencegahan yang baru Para ahli hukum berpikir hanya mereka sajalah yang mempunyai ke-khususan dalam mengatur masalah aturan aturan lembaga peradilan dan mereka biasanya menganggap bahwa keinginan- keinginan perubahan yang berasal dari luar adalah idealisme yang tidak tepat. Kelompok ini biasanya lupa, bahwa pelayan-an mereka bermakna hanya jika dikaitkan dengan kesejahtera-an masyarakat secara keseluruhan. Kadang-kadang mereka tidak ingat, bahwa institusi atau bagian dan masyarakat tidak dapat menyusun keistimewaan khusus dalam menyusun standar mereka tanpa memperhatikan kepentingan atau tuntutan yang berada dalam masyarakat. Masyarakat ditandai adanya interdependensi.

Perkembangan yang terburuk, kelompok profesi dapat berkembang menjadi “persekongkolan yang melawan masya-rakat”. Yang terbaik, kelompok ini dapat meningkatkan ke- sejahteraan umat manusia dan selanjutnya mengembangkan peradaban manusia.

Makin tinggi tingkat spesialisasi suatu pengetahuan, makin tinggi ketrampilan, dan makin sedikit yang diketahui masyarakat tentang kualitas dan aspek tèknik dari kegiatan tersebut, maka makin besar kemungkinan timbulnya pe-nyalahgunaan. Konsekuensinya, perlu dikembangkan dan dipelihara suatu standar perilaku yang tinggi dalam cara berhubungan dengan masyarakat. Standar tersebut bukan hanya mengatur hubungan antara anggota profesi itu saja, tetapi yang lebih penting, bagaimana hubungannya demi untuk kesejahteraan masyarakat.

Jika ia seorang yang hedonis-egoistik, misalnya, maka motivasi tindakannya adalah untuk kepuasan pribadi dan memenuhi kebutuhan dirinya saja. Jika ia seorang dokter, Ia akan memberikan pelayanan yang hanya akan meningkat-kan pendapatannya saja. Mungkin ia akan bertindak ber-tentangan dengan prinsip kedokteran yang akan menurun-kan angka mobilitas dalam masyarakat. Jika ia seorang ahli hukum, ia akan menggunakan berbagai taktik untuk

memenangkan kasusnya. Ia akan memberikan pelayanan kepada penawar yang tertinggi dan akan membantu pelaku tindakan kriminal untuk melarikan diri jika ia sanggup mem- bayar.

Pada sisi lain, jika anggota profesi tersebut memang pada dasarnya mempunyai motivasi untuk mengembangkan kesejahteraan sosial dan masyarakat, dan Ia menerima dan berusaha hidup sesuai dengan standar moral yang tinggi, maka Ia akan merencanakan hidupnya dalam tugas sesuai dengan kemanusiaan. Jika Ia seorang dokter, ia memberi-kan pelayanan yang efisien dan akan melayani orang tidak mampu sama ramahnya dengan melayani orang kaya. Jika ia seorang ahli hukum, akan bertekad bahwa hukum harus ditegakkan dan kriminalitas harus diberantas. KELOMPOK PROFESI

Kelompok profesi terdiri dari kelompok orang tertentu yang mempunyai ketrampilan khusus, dan dengan ketrampil- annya itu ia dapat melakukan fungsi tertentu dalam masya-rakat yang lebih baik dan anggota masyarakat lain. Atau dapat juga dikatakan, kelompok profesi adalah kelompok tertentu yang anggota-anggotanya mempunyai pengetahuan khusus, dan dengan kemampuannya itu maka dapat memberi nasehat atau pelayanan kepada orang lain dalam bidang tersebut. Pengetahu-an khusus itu mereka dapatkan melalui pendidikan, atau pe-ngalaman, atau pendidikan dan pengalaman bersama-sama.

Ada beberapa karakteristik dari kelompok-kelompok profesi, yaitu: • Persiapan atau pendidikan khusus. Persiapan ini termasuk pengetahuan yang akurat yang merupakan dasar bagi tindakan profesi tersebut, dan kemampuan menerapkan pengetahuan-nya itu dalam praktek. Misalnya, seorang dokter harus me-ngetahui prinsip-pninsip ilmiah yang mendasari praktek ke-dokteran dan mempunyai ketrampilan untuk mengenal gejala- gejala penyakit tertentu dan dapat memberikan terapi yang tepat. • Keanggotaan yang tetap dan jelas. Semua kelompok profesi berusaha untuk menyingkirkan anggota amatir, seperti dokter gadungan. Keanggotaannya adalah selalu orang-orang yang bermaksud melakukan fungsinya atau tugasnya untuk men-capai kehormatan dan tidak menghadapinya sebagai suatu paksaan. Jika batas antara anggota amatir dan anggota profesi tidak jelas. maka standar profesi itu akan terancam sangat serius. Untuk menentukan hal ini, maka setiap anggota profesi harus mempunyai lisensi atau surat keterangan yang meng-izinkannya untuk praktek. • Motif kesediaan untuk bertugas. Kesediaan ini, yang ber-beda dengan motif untuk menumpuk uang, adalah khas bagi setiap profesi. Tujuan suatu pnofesi bukanlah untuk meng-hasilkan uang, tetapi untuk meningkatkan kesehatan atau pengetahuan atau hukum yang baik. Sudah barang tentu kegiatan profesi juga adalah suatu mata pencaharian. Anggota profesi tersebut memerlukan dan dibenarkan untuk men-dapatkan kompensasi yang memungkinkannya untuk dapat hidup layak, berpakaian cukup baik, mampu membeli buku dan berlangganan majalah serta koran, dan melengkapi alat alat agar ia dapat menjalankan profesinya dengan baik se-hingga dapat memberikan pengabdiannya kepada masya-rakat dengan baik. Tanpa hal ini. maka sulit bagi mereka untuk mencapai sukses.

Page 3: Etika

Cermin Dunia Kedokteran No. 53, 1988 50

Puluhan tahun yang lalu, Profesor Banting menemukan insulin yang dapat dipakai untuk mengobati pasien diabetes. Jika ia merahasiakan penemuannya itu dan hanya mengobati atau memberikannya hanya kepada orang-orang kaya saja, maka ia akan dapat menumpuk kekayaannya. Tetapi, justru se-baliknya, ia mengungkapkan penemuannya itu yang me-mungkinkan dipakai oleh para dokter di seluruh penjuru dunia. ini yang menunjukkan bahwa motif untuk melayani masyarakat adalah berbeda sekali dengan motif untuk me-ngumpulkan uang, yang sebenarnya mungkin jika dilakukan oleh kelompok profesi tersebut. MORAL, HUKUM DAN ETIKA PROFESI

Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulu tangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dan segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dan segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan ter-batas.

Itulah kekhususan norma moral. Ada banyak macam norma yang harus kita perhatikan. Ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Misal- nya, aturan bahwa bola tidak boleh disentuh dengan tangan, hanya berlaku kalau dan sewaktu kita main bola dan kita bukan kiper. Begitu kita berhenti main, aturan itu dapat kita lupakan. Begitu pula aturan agama hanya berlaku bagi anggota agama itu. Peraturan tata tertib di kampus universitas hanya berlaku selama kita berada di kampus itu. Norma- norma ini semua bersifat khusus.

Norma umum ada tiga macam: norma sopan santun, norma hukum dan norma moral. Norma-norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah manusia. Meskipun sikap lahiriah dapat mengungkapkan sikap hati dan karena itu mempunyai kualitâs moral, namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral. Orang yang melanggar norma kesopanan karena kurang mengetahui tata krama di daerah itu, atau karena dituntut oleh situasi (misalnya kita mendorong ibu bupati sampai jatuh ke sawah supaya tidak tertabrak oleh truk yang remnya blong) tidak melanggar norma-norma moral

Begitu pula halnya norma-norma hukum. Setiap masya-rakat mengenal hukum. Norma-norma hukum adalah norma- norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma, hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar. Orang yang melanggar norma hukum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sangsi. Tetapi norma hukum tidak sama dengan norma moral. Dapat terjadi bahwa demi tuntutan suara hati, jadi demi kesadaran moral, kita harus melanggar hukum. Kalaupun kita kemudian dihukum, hal itu tidak berarti bahwa kita ini orang buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum.

Norma-norma moral adalah tolok-ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilái. Itulah sebabnya penilaian moral selalu berbobot. Kita tidak dilihat dari salah

satu segi, melainkan sebagai manusia. Apakah seseorang adalah penjahit yang baik, warga negara yang selalu taat dan selalu bicara sopan belum mencukupi untuk menentukan apakah ia betul-betul seorang manusia yang baik. Barangkali ia seorang yang munafik. Atau ia mencari keuntungan. Apa-kah kita ini baik atau buruk itulah yang menjadi permasalah-an bidang moral.

Etika profesi memperhatikan masalah ideal dan praktek- praktek yang berkembang karena adanya tanggung jawab dan hak-hak istimewa dan anggota profesi tersebut. Etika profesi ini merupakan ekspresi dan usaha untuk menjelas-kan keadaan yang belum jelas dan masih samar-samar. Etika profesi merupakan penerapan nilai-nilai moral yang umum dalam bidang khusus ini. Dan ini lebih dikonkritkan lagi dalam kode etik. Kode etik merupakan hasil karya yang menyatakan kesadaran moral dan anggota profesi tersebut dalam masalah-masalah khusus. Kode etik merupakan kris-talisasi dan pandangan moral dan mejelaskan sikap perilaku dalam bidang tersebut. KODE ETIK

Suatu kode adalah suatu , kumpulan (=codex; bahasa Latin) peraturan dan, oleh dan untuk suatu kelompok orang yang berkarya dalam bidang tertentu. Untuk anggota profesi yang bekerja di lapangan, kode etik menjadi kekuatan pe-nuntun. Terutama untuk profesi kedokteran dan hukum yang telah menyusun standar yang tetap untuk dipakai oleh para anggotanya atau mereka akan kehilangan status profesi-nya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan perlunya kode etik itu ditulis. Pertama, kode etik penting sebagai kontrol sosial. Ini yang akan menegaskan kepada. anggota baru bagai- mana seharusnya bertindak sesuai dengan profesi dan untuk anggota lama agar tetap bertindak sesuai dalam batas garis yang seharusnya. Semakin kompleks masyarakat dan semakin banyak spesialisasi akan menimbulkan kesulitan untuk me-nentukan, apakah anggota profesi yang bersangkutan men-jalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Kemudian, se-andainya timbul pertentangan antar anggota profesi tersebut atau antara anggota profesi dengan anggota masyarakat, yang manakah yang harus dimenangkan?

Ke dua, kode etik profesi mencegah campur tangan masyarakat atau pemerintah terhadap masalah-masalah khusus dalam profesi tersebut. Jika dibutuhkan tingkat standar ter- tentu, siapakah yang berhak menentukan batas tindakan yang baik itu? Apakah hukum akan berusaha mengatur secara ter- perinci tentang tindakan dokter dalam melayani pasien atau dalam hubungannya dengan dokter lain? Ada tindakan ter-tentu dan manusia yang tidak memungkinkan hukum menjadi alat kontrol yang bermanfaat, juga prinsip moral yang umum sukar untuk diterapkan, sehingga diperlukan standar-standar dan perjanjian-perjanjian tertentu. Anggota profesi yang ber-sangkutanlah yang harus mengorganisir dan memantapkan standardisasi dan kelompoknya. Kode etik ini diperlukan untuk melindungi anggota tersebut dan sekaligus juga untuk melindungi anggota masyarakat dan tindakan anggota profesi yang tidak tepat.

Ke tiga, kode etik profesi penting untuk memelihara dan meningkatkan standar sikap dan tindakan anggota-anggotanya.

Page 4: Etika

Cermin Dunia Kedokteran No. 53, 1988 51

Kode etik disusun berdasarkan sesuatu yang dianggap sebagai sikap dan prosedur yang tepat. Dan ini lebih mudah lagi di- fahami dan lebih efektif lagi dijalankan oleh anggota profesi itu jika telah ditetapkan dan diperinci dengan jelas. Kode etik merupakan hasil kristalisasi pendapat dan keputusan yang dianggap terbaik dalam profesi tersebut. ini akan menghilang- kan salah faham atau pertentangan-pertentangan. ini juga memungkinkan kelompok tersebut untuk menekan anggota yang akan menurunkan martabat atau mencemarkan nama baik kelompok profesi tersebut.

Jadi, tampaklah bahwa kelompok profesi itu sendiri sebenarnya yang paling mengetahui tentang standar yang paling tepat, baik dalam hubungan antar anggota atau pun antara anggota profesi dengan anggota masyarakat. Jika timbul suatu pelanggaran terhadap kode etik ini, maka persatuan profesi itu sendirilah yang harus menindaknya. Sehingga dalam organisasi profesi itu harus ada badan kehormatan yang mempunyai wewenang untuk mengoreksi penyimpang-an-penyimpangan seperti itu. KODE ETIK KEDOKTERAN

Profesi kedokteran, secara langsung atau pun tidak, ter-ikat erat dengan keinginan-keinginan dan kesejahteraan masya-rakat. Untuk dapat menjadi anggota profesi ini harus disah-kan dengan surat izin dari pemerintah, tetapi masyarakat kedokteran ikut berperanan dalam menjaga standar dan mencegah orang-orang yang tidak memenuhi kualifikasi untuk berpraktek sebagai anggota profesi tersebut. Secara individual, yang paling mengenal dokter-dokter adalah kelompok dokter-dokter di daerah tersebut.

American Medical Association (AMA) didirikan pada 1847. Setahun kemudian mereka mensahkan kode etik. Kode etik ini, dengan sedikit perubahan, merupakan kode yang ditulis Dr. Thomas Percival dan dipublikasikan di Inggris sekitar 1803. Percival menulis kode ini sebagai serangkaian petunjuk untuk anaknya yang akan memasuki profesi ter-sebut. Kode ini mengandung ide-ide yang sudah berkembang sejak ribuan tahun, seperti hukum Hammurabi – kumpulan hukum tertua (2100 SM) yang masih bertahan – yang meng-ungkapkan masalah imbalan untuk dokter dan sangsi jika timbul cedera, dan Sumpah Hippokrates (460–359 SM?)

yang terkenal, yang juga menyusun tentang tugas seorang dokter. Dari waktu ke waktu kode etik itu selalu diperbaiki dan ditambah.

Vereniging van Jndische Artsen, cikal bakal Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berdiri pada tahun 1911. Organisasi ini terus berkembang, sedangkan Muktamar IDI yang pertama di- langsungkan di Jakarta pada tahun 1950. Kode Etik Kedokter-an Indonesia disusun oleh Musyawarah Kerja Susila Kedokter-an Nasional pada tahun 1969, dan mengalami perbaikan pada tahun 1983.

Sumpah Hippokrates yang menjadi acuan dan kode etik kedokteran di berbagai negara dan tingkat internasional berisi kewajiban-kewajiban moral, yang berdasarkan prinsip moral berbuat baik (beneficence), prinsip moral tidak merugikan (nonmaleflcence), dan prinsip kesetiakawanan. Kewajiban- kewajiban moral itu dibebankan kepada para dokter secara sukarela atas diri mereka sendiri, yang diperkuat dengan sumpah profesi mereka.

Kode-kode etik kedokteran tersebut mengatur. hubungan antara dokter dengan pasiennya sebagai hubungan antara dua insan. Yang satu (pasien) dengan keluhan penyakit yang membutuhkan pertolongan, dan yang lain (dokter) yang ber-usaha memberi pertolongan pengobatan. Karena menyadari, bahwa dalam hubungan ini si penderita adalah pihak yang lemah dan tidak berdaya sedangkan si dokter adalah pihak yang kuat dan berkuasa, maka untuk mengimbangi keadaan yang tidak seimbang ini disusunlah berbagai peraturan ke-wajiban dan larangan untuk sejauh mungkin melindungi si penderita terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh si dokter, jika sang dokter hanya berusaha untuk ke-pentingan pribadinya dengan merugikan kepentingan pen-derita.

KEPUSTAKAAN

1. Gani KS, K Bertens. Mengapa Etika Biomedis Itu Perlu? Diktat PPE Atma Jaya. Jakarta, 1986.

2. leuken A dkk. Ensikiopedi Etika Medis, Jakarta 1979. 3. Magnis-Suseno F. Etika Dasar, Masalah-masalah pokok Filsafat

Moral. Jakarta; 1987. hal. 18–20. 4. Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional.

Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta, 1969. 5 Titut H. Ethics For Today, New York: 1957; hal. 278–306.

RALAT: Dalam penerbitan Cermin Dunia Kedokteran No. 52, Tahun 1988, halaman 16, kolompenulis naskah, terdapat kesalahan cetak. Dr Soenarto, Laboratorium UPF THT Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/

Rumah Sakit Dr Kariadi, Semarang. Seharusnya berbunyi: Dr Soenarto, Laboratorium/UFF ilmu Pen vakit Dalam Fakultas Kedokteran Univer-

sitas Dipo Sakit Dr Kariadi, Semarang.