Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ETIKA POLITIK DAN KEKUASAAN
(Studi atas Pemilihan Ketua DPD RI Periode 2017-2019,
Oesman Sapta Odang)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Muhammad Mardhiyulloh
11141120000045
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
ETIKA POLITIK DAN KEKUASAAN
(Studi atas Pemilihan Ketua DPD RI Periode 2017-2019,
Oesman Sapta Odang)
Pemilihan Ketua DPD RI merupakan bagian dari pemilihan pimpinan
DPD RI, tercakup di dalamnya pemilihan wakil ketua I dan wakil ketua II.
Terdapat sesuatu yang berbeda pada pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019
dengan pemilihan-pemilihan periode sebelumnya, yaitu kebiasaan memilih ketua
DPD RI dari kalangan independen atau non partisan, sedangkan kali ini memilih
ketua DPD RI Oesman Sapta Odang dengan status rangkap jabatan sebagai wakil
ketua MPR RI periode 2014-2019 dan juga ketua umum partai Hanura. Selain itu,
pemilihan tersebut juga sebagai wujud perubahan Tata Tertib DPD RI No. 1
Tahun 2014 yang mengatur masa jabatan pimpinan selama lima tahun menjadi
No. 1 Tahun 2016 dan No. 1 Tahun 2017 dengan aturan dua tahun enam bulan.
Secara otomatis periode pimpinan DPD RI 2014-2019 berubah menjadi periode
2014-2017 dan terpaksa berakhir pada April 2017. Namun demikian, Mahkamah
Agung (MA) melalui putusannya No. 38P/HUM/2016 dan 20P/HUM/2017
membatalkan perubahan Tata Tertib DPD RI tersebut dan mengembalikannya
pada Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2014. Akan tetapi, pemilihan tersebut tetap
berlangsung dengan diwaranai kericuhan yang berdampak terhadap buruknya citra
moral DPD RI.
Skripsi ini mengkaji dinamika politik sebenarnya yang terjadi pada
pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019, juga membedah fenomena
tersebut dan status rangkap jabatan Oesman Sapta Odang dari sudut pandang etika
politik, juga membongkar sumber-sumber kekuasaan Oesman Sapta Odang
sebagai Ketua DPD RI terpilih. Penulis menggunakan dua teori utama yaitu teori
etika politik untuk menjelaskan ada atau tidaknya pelanggaran etika yang terjadi,
dan teori kekuasaan untuk menerangkan perilaku anggota DPD RI dalam merebut
atau mempertahankan kekuasaan pimpinan DPD RI serta menganalisa sumber
kekuasaan yang dimiliki Oesman Sapta Odang. Penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa pemilihan tersebut sesuai dengan prosedur yang mengikat,
juga tidak ada undang-undang atau peraturan Tata Tertib DPD RI yang melarang
status rangkap jabatan Oesman Sapta Odang sebagai wakil ketua MPR RI dan
ketua umum partai Hanura.
Kata kunci: Etika Politik, DPD RI, Oesman Sapta Odang.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah
SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam dicurakan kepada Nabi Muhammad
SAW, rasul yang telah membawa umatnya semua dari kegelapan pada masa yang
terang benderang hingga saat ini.
Skripsi yang berjudul etika politik kekuasaan (Studi atas Pemilihan Ketua
DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang)” disusun dalam rangka
memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjanan Sosial (S.Sos) pada
Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari betul dalam penyusunan skripsi ini belumlah sempurna,
dan masih banyak kekurangan. Tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai
pihak, penulis menyadari betul penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staf dan jajarannya.
2. Prof. Dr. Zulkifli, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan
jajarannya.
3. Dr. Iding Rasyidin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan,
kritikan dan dorongannya selama ini.
vii
4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan
dorongannya selama ini.
5. Dr. Idris Thaha, M.Si, selaku dosen pembimbing dalam penelitian ini,
Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan dorongannya selama
penelitian ini.
6. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Ilmu Politik yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama kuliah.
7. H. Ahmad Nawardi, S.Ag, Gede Pasek Suardika, S.H., M.M dan Asip
Irama, S.H yang telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.
8. Orang tua tercinta Dedi Abdul Aziz, Almh. Nurhayati dan Dewi
Rahmawati, serta keempat adik (Siti Kurniati Ningsih, Achmad
Munajat, Nur Fajriyah Ramadhani dan Misbahul Munir) yang selalu
memberikan doa, dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
9. Kakek tersayang, Alm. K.H. M. Komaruddin, Nalih dan nenek tercinta
Almh. N.E. Komala Ningsih, Suanah, serta paman dan bibi tersabar
Ubaidillah dan Nurdiana, serta keluarga besar Alm. K.H. M.
Komaruddin yang tidak dapat disebutkan seluruhnya. Terima kasih atas
do’a dan ketulusannya memotivasi penulis dan sudah menjadi tempat
berbagi cerita selama ini.
10. Teman Seperjuangan Ilmu Politik B 2014, M. Aprijal, Hisyam, Guntur,
Alvin Esa Priatna, Hammardhan, M. Faried, Reno, Barri, Najem,
Aufarmario, Rizky Ikhwani, Fahmil, Rizky Sinulingga, Milla, Anita,
Wova, Nafi, Harumbi, dan lainnya, Terimakasih atas kenangan terindah
semasa kuliah.
11. Kawan seperjuangan selama bimbingan, Mahlizar, Yasser, Rudi
Saputra, Annisa, Milla, dan Yayas.
12. Sahabat terbaik, M. Fariz Ardian, Rizky Fr. Rachman Reilli, Imam
Irfan Hakim, Ainun Najib, Reza Syahputra, Nurhilyah Ailah dan Intan
Afrida Rafni.
viii
13. Sahabat Sependakian, Rachman Reilli, Guntur, Satria, Halim, Oman,
Dimas, Titah, Iko, Syifa, dan lainnya.
14. Keluarga besar kelompok KKN Cognition 80, Siska Andrianika, Ai
Aisha Safitri, Fachri, Arul, Yasmin, Hamdy, Husein, Lubby, Malla,
Hyda, Tyas, Ela, Wulan, Diana, Aji.
15. Teman-teman volunteer Asian Games 2018, Randi, Rayhan, Maulana,
Bimo, Dhani, Gheffiro, Reza, Arul, Karin, Nadya, Firdha, Tyas,
Jasmine, Sabil, Ratna, dan Iqbal.
16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-satu, terima kasih atas
semangat dan dukungan yang diberikan baik berupa doa, moril maupun
materiil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Tanpa adanya mereka, penulis tidak yakin penelitian ini dapat selesai
dengan baik. Penulis berterima kasih dengan sepenuh hati, semoga Allah SWT
membalas kebaikan mereka. Namun demikian, penulis bertanggungjawab penuh
atas segala kekurangan dalam penelitian ini, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ciputat, 12 Januari 2019
Muhammad Mardhiyulloh
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................... iv
ABSTRAKSI .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xii
BAB I .............................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah ............................................................................. 1
B. Pertanyaan Masalah ............................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 8
C. 1. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8
C. 2. Manfaat Penelitian ....................................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 8
E. Metodologi Penelitian .......................................................................... 12
E. 1. Pendekatan Penelitian Kualitatif ................................................ 12
E. 2. Sumber dan Jenis Data ................................................................ 13
E. 3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 14
E. 4. Teknik Analisa Data .................................................................... 15
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 16
BAB II ............................................................................................................ 18
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL ....................................... 18
A. Teori Etika Politik ................................................................................ 18
A. 1. Definisi Etika Politik ................................................................... 18
A. 2. Dimensi Etika Politik .................................................................. 25
A. 3. Urgensi Etika Politik dalam Lembaga Politik ............................. 27
B. Kekuasaan dalam Politik ...................................................................... 29
B. 1. Definisi Kekuasaan ...................................................................... 29
x
B. 2. Konsep Meraih Kekuasaan .......................................................... 32
B. 3. Hakikat dan Sumber Kekuasaan .................................................. 34
C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan ............................................... 36
BAB III ........................................................................................................... 39
GAMBARAN UMUM DPD RI DAN OESMAN SAPTA ODANG .......... 39
A. DPD RI dalam Semangat Demokrasi Indonesia ................................ 39
A. 1. Sejarah Pembentukan DPD RI .................................................... 39
A. 2. DPD RI dalam Bingkai Masa Depan Indonesia .......................... 42
A. 3. DPD RI: Keterbatasan Fungsi, Tugas, dan Wewenang .............. 43
A. 4. Kinerja DPD RI ........................................................................... 45
B. Pimpinan sebagai Simbol Utama DPD RI ........................................... 50
B. 1. Pimpinan DPD RI: Artikulasi dan Fungsi ................................... 50
B. 2. Aspek Historis dan Politik: Pemilihan Pimpinan DPD RI .......... 52
B. 3. Profil Pimpinan DPD RI Periode 2014-2017 dan 2017-2019 ..... 55
C. Tapak Langkah Politik Oesman Sapta Odang ..................................... 58
C. 1. Oesman Sapta Odang: Dari Pengusaha menjadi Politisi ............. 58
C. 2. Politik dalam Perjalanan Hidup Oesman Sapta Odang ............... 62
C. 2. 1. Wakil Ketua MPR RI ........................................................... 63
C. 2. 2. Ketua Umum Partai Hanura ................................................. 65
C. 2. 3. Ketua DPD RI ...................................................................... 66
C. 3. Kontroversi dan Kasus-kasus ...................................................... 68
BAB IV ........................................................................................................... 70
ETIKA POLITIK DAN DINAMIKA PEMILIHAN KETUA DPD RI
PERIODE 2017-2019, OESMAN SAPTA ODANG ................................... 70
A. Dinamika Pemilihan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta
Odang ................................................................................................... 70
B. Analisis Etika Politik terhadap Pemilihan Ketua DPD RI periode 2017-
2019, Oesman Sapta Odang ................................................................. 80
B. 1. Etika Pemilihan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta
Odang ................................................................................................... 80
xi
B. 2. Sudut Pandang Dimensi Etika Politik ......................................... 84
B. 2. 1. Dimensi Tujuan .................................................................... 86
B. 2. 2. Dimensi Sarana ..................................................................... 88
B. 2. 3. Dimensi Aksi Politik ............................................................ 89
C. Sumber Kekuasaan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta
Odang ................................................................................................... 91
C. 1. Sumber Wibawa .......................................................................... 92
C. 2. Sumber Kharisma ........................................................................ 94
C. 3. Sumber Wewenang ...................................................................... 96
BAB V ............................................................................................................. 99
PENUTUP ...................................................................................................... 99
A. Kesimpulan .......................................................................................... 99
B. Saran ..................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 103
xii
DAFTAR TABEL
Tabel III. A.4.1. Rekaptulasi Hasil Kerja DPD RI Periode I 2004-2009 … 46
Tabel III. A.4.2. Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode 2209-2014… . 47
Tabel III. A.4.3. Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode 2014-2019
Sampai Dengan Sidang Paripurna Ke-8, Kamis, 9 Maret
2017 …………………………………………………….. 47
Tabel III. B.2.1. Pemilihan Pimpinan DPD RI Periode 2014-2017……… 54
Tabel III. B.3.1. Komposisi Pimpinan DPD RI Periode 2014-2017……… 56
Tabel III. B.3.2. Komposisi Pimpinan DPD RI Periode 2017-2019 …….. 57
xiii
DAFTAR SINGKATAN
Alkel : Alat Kelengkapan
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APHTN-HAN: Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara - Hukum Administrasi
Negara
Basarnas : Badan Search And Rescure Nasional
BKPRMI : Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia
BPK : Badan Pemeriksa Keuangan
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
Dapil : Daerah Pemilihan
DI : Darul Islam
DPC : Dewan Pimpinan Cabang
DPD RI : Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
DPP : Dewan Pimpinan Pusat
DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
GAPENSI : Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia
Gerindra : Gerakan Indonesia Raya
GKR : Gusti Kanjeng Ratu
Golkar : Golongan Karya
Hanura : Hati Nurani Rakyat
HIPMI : Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
HKTI : Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
Jokowi : Joko Widodo
xiv
KADIN : Kamar Dagang dan Industri Indonesia
KADINDA : Kamar Dagang dan Industri Daerah
KIH : Koalisi Indonesia Hebat
KKI : Konsil Kedokteran Indonesia
KMP : Koalisi Merah Putih
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
Letjen : Letnan Jendral
MA : Mahkamah Agung
MD3 : MPR, DPR, DPD dam DPRD
MENKO : Menteri Koordinator
MK : Mahkamah Konstitusi
MPR RI : Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Nasdem : Nasional Demokrat
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NRI : Negara Kesatuan Indonesia
NTB : Nusa Tenggara Barat
OPM : Organisasi Papua Merdek
Ormas : Organisasi Masyarakat
OSO : Oesman Sapta odang
PAN : Partai Amanat Nasional
PEMDA : Pemerintah Daerah
Perda : Peraturan Daerah
PERMESTA : Perjuangan Rakyat Semesta
PILKADA : Pemilihan Kepala Daerah
PKB : Partai Kebangkitan Bangsa
PKS : Partai Keadilan Sejahtera
xv
PNS : Pegawai Negeri Sipil
POLHUKAM : Politik Hukum dan Keamanan
POLRI : Polisi Republik Indonesia
PPD : Partai Persatuan Daerah
PPP : Partai Pembangunan Indonsia
PRRI : Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
RAPBN : Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Ranperda : Rancangan Peraturan Daerah
RIS : Republik Indonesia Serikat
RUU : Revisi Undang-Undang
TII : Tentara Islam Indonesia
TNI : Tentara Nasional Indonesia
UIN : Universitas Islam Negeri
USA : United State of America
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
UUDS : Undang-Undang Dasar Sementara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini mengkaji tentang kepekaan seorang politisi terhadap etika
ketika dihadapkan dengan kekuasaaan. Fokus utama kajiannya terkait dengan
fenomena kericuhan yang terjadi pada proses pemilihan ketua Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI)1 periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang.
Hal tersebut mengindikasikan adanya ketidaksadaran moral di dalam diri anggota
DPD RI. Oleh karena itu, etika hadir untuk menjadi kompas tindakan tersebut
agar searah dengan nilai-nilai kebaikan.
DPD RI sebagai wakil dari daerah di Indonesia sudah seharusnya menjaga
marwah dan kehormatannya di muka publik dengan menjunjung tinggi etika di
setiap tindakannya. Etika menjadi hal utama yang perlu diperhatikan oleh mereka
yang ingin mencapai suatu kekuasaan atau ketika berkuasa. Selama ini, tidak
sedikit dari mereka yang ketika dihadapkan oleh kekuasaan, mereka seakan-akan
lupa dengan etika dan moralitas.
Dalam beberapa tahun ke belakang, terhitung sejak awal periode 2014-
2019, DPD RI seringkali mendapatkan sorotan dari publik yang terdiri dari
masyarakat, pengamat politik dan kalangan intelektual atas capaian kinerja DPD
RI selama ini. Mereka beranggapan, DPD RI lebih sering memunculkan polemik
ke depan publik dibandingkan dengan kinerjanya dalam memperjuangkan aspirasi
1 Lembaga legislatif Indonesia yang terbentuk dari hasil amandemen UUD 1945, atas
alasan kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan hubungan pusat dan daerah.
2
daerah kepada pusat. DPD RI dipandang sebagai lembaga legislatif yang
keberadaannya dipertanyakan sampai saat ini.
Realitas politik yang menjelaskan kurangnya kepercayaan publik atas
penurunan kualitas moral anggota DPD RI dapat dilihat dari rekam jejak
perkembangan lembaga ini. Penulis mencatat tensi politik di dalam internal DPD
RI meningkat dimulai sejak setahun sebelum puncak terjadinya keributan pada
proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, tensi politik tinggi dilengkapi
dengan ketidakmampuan dalam mengontrol diri menjadi pemicu terjadinya
kericuhan. Hal yang demikian itu disebabkan oleh ide perubahan Tata Tertib
DPD RI terkait masa jabatan pimpinan DPD RI yang semula lima tahun menjadi
dua tahun enam bulan. Ironisnya ketua DPD RI periode 2014-2019 Irman Gusman
ikut menambahkan catatan buruk etika DPD RI dengan ditetapkan sebagai
terpidana kasus korupsi kuota gula impor.
Citra moral buruk yang ditujukan kepada DPD RI seolah-olah tidak bisa
dihindarkan lagi. Pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 yang diciptakan
dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik sekaligus mengurangi pandangan
buruk terhadap DPD RI justru dinodai dengan kericuhan yang terjadi selama
proses pemilihan. Sebagian anggota DPD RI dengan tanpa rasa malu melakukan
hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh pejabat publik, seperti halnya
melontarkan kata-kata kasar sampai kepada bentrokan fisik. Pemicu terjadinya hal
tersebut adalah perbedaan tafsiran hukum keputusan Mahkamah Agung (MA)
3
terkait masa jabatan pimpinan DPD RI yang sah. Hukum menjadi salah satu hal
utama bagi sumber kekuasaan karena erat kaitannya dengan sebuah wewenang.2
Secara aspek historis, masa jabatan ketua dan wakil ketua DPD RI
berlangsung selama lima tahun, mengikuti siklus pemilihan umum. Pemilihan
pimpinan DPD RI periode 2017-2019 sebagai bentuk pengaplikasian dari pada
aturan masa jabatan pimpinan yang baru yakni selama dua tahun enam bulan. Hal
tersebut didasari dengan perubahan Tata Tertib DPD RI terkait masa jabatan
pimpinan, yang kemudian dibatalkan berdasarkan pada putusan Mahkamah
Agung Nomor 38P/HUM/2016 dan 20P/HUM/2017 yang pada akhirnya berujung
pada polemik yang mencederai kualitas moral anggota DPD RI.3
Pemicu terjadinya polemik lain adalah status rangkap jabatan Oesman
Sapta Odang selaku ketua DPD RI terpilih periode 2017-2019 yang juga masih
aktif menjabat sebagai wakil ketua MPR RI periode 2014-2019 ditambah dengan
jabatan sebagai ketua partai Politik Hati Nurani Rakyat (Hanura) menggantikan
Wiranto pada 22 Desember 2016.4 Hal tersebut merupakan fenomena langka dan
baru pertama terjadi di tubuh DPD RI, tercatat sejak periode 2004-2009, 2009-
2014, dan 2014-2019.
Pada periode 2004-2009, Ginandjar Kartasasmita bersama Irman Gusman
dan Laode Ida terpilih sebagai ketua, wakil ketua I dan wakil ketua II DPD RI
2 Abu Bakar Ebyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2016) hal. 19-
180. 3 DPD RI, “Putusan MA Akhirnya Menghentikan Rencana” http://www.dpd.go.id, 31
Maret 2017. 4 Nabilla Tashandra, “Oesman Sapta Odang Terpilih Menjadi Ketua DPD”,
http://nasional.kompas.com, 04 April 2017.
4
dengan masing-masing mewakili keterwilayahan di Indonesia, selanjutnya pada
periode 2009-2014, kursi kepemimpinan berganti dengan Irman Gusman sebagai
ketua, Laode Ida sebagai wakil ketua I dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai
wakil ketua II DPD RI. Lima tahun berselang tepatnya pada periode 2014-2019
Irman Gusman terpilih kembali menjadi ketua DPD RI bersama dengan Gusti
Kanjeng Ratu Hemas sebagai wakil ketua DPD RI I dan Farouk Muhammad
sebagai wakil ketua DPD RI II.
Ketiga periode tersebut, menghasilkan tiga nama ketua DPD RI yakni
Ginandjar Kartasasmita (satu priode), Irman Gusman (dua periode) dan
Muhammad Saleh sebagai pengganti Irman Gusman yang terjerat kasus korupsi
gula impor. Masing-masing dari ketua itu tidak ada yang merangkap jabatan lain,
baik di dalam lembaga negara ataupun partai politik. Oesman Sapta Odang
sebagai ketua DPD RI pertama yang berstatus rangkap jabatan sebagai wakil
ketua MPR RI dan ketua partai politik Hanura.
Berkat perjuangan Oesman Sapta Odang pada awal pembentukan DPD RI,
menjadikan dirinya disegani oleh anggota DPD RI lain, sehingga mampu
menghantarkan dirinya mengisi kursi ketua DPD RI meskipun ketika pemilihan
dirinya masih bestatus aktif sebagai wakil ketua MPR RI. Namun demikian, hal
tersebut berdampak pada asumsi negatif publik terhadap DPD RI. Publik, melalui
masyarakat umum, intelektual dan pengamat politik, mereka mempertanyakan
akan legalitas pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode
5
2017-2019, dan mereka juga mempersoalkan etika politik yang mengikat status
rangkap jabatan tersebut.5
Etika politik itu sendiri merupakan wujud kepekaan nalar politik suatu
bangsa yang bernegara. Etika sebagai sumber dari logika-logika yang berkembang
pada ranah publik tentang bersih atau kotor, baik atau buruk suatu tindakan politik
demi terbangunnya kohesi sosial.6 Bagi lembaga DPD RI, etika tersebut
terumuskan ke dalam kode etik, sebagaimana termaktub secara rinci di dalam Tata
Tertib DPD RI. Kode etik itu merefleksikan nilai-nilai moral yang berfungsi
menuntun tindakan baik anggota DPD RI dengan tujuan demi menciptakan
lembaga negara yang bermartabat, moralis, kredibel dan melindungi anggotanya
dari nafsu kekuasaan yang dapat menyalahgunakan wewenang dan kewajiban
untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan daerah.7
Bahkan dampak apabila kepentingan daerah sudah tidak dapat diakomodir
oleh DPD RI, hal tersebut dapat menghidupkan kembali pengalaman traumatis
yang pernah terjadi beberapa tahun silam, seperti pemberontakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, Perjuangan Rakyat
Semesta (PERMESTA) di Sulawesi, dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) di Aceh dan Jawa Barat pada era Orde Lama, kemudian disusul dengan
adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Gerakan Papua Merdeka yang
tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada era Orde Baru, yang
5 A15, “Polemik Rangkap Jabatan Pejabat Publik” https://pinterpolitik.com, 26 Mei 2017. 6 A. Bakir Ihsan, Etika dan Logika Berpolitik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009)
hal. 21. 7 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Arsitektur Histori, Peran
dan Fungsi DPD RI terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013)
hal. 165-166.
6
pada akhirnya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).8
Karena itu, demi mencegah terjadinya pemberontakan di daerah tersebut,
DPD RI patut mengedepankan etika dalam setiap tindakannya karena etika itu
berkaitan dengan integritas lembaga itu sendiri. Sedikitnya, terdapat tiga pakta
integritas yang harus diperhatikan oleh calon pimpinan DPD RI9. Pertama,
mewujudkan penyelenggaraan lembaga negara yang berwibawa, baik, dan bersih
dengan menaati peraturan Tata Tertib dan kode etik. Kedua, tidak melakukan
politik uang baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk
penyuapan atau gratifikasi dan janji-janji yang dilakukan sendiri atau melalui
orang lain. Ketiga, bersedia diberhentikan sementara oleh Badan Kehormatan
sesuai ketentuan mekanisme yang berlaku apabila ternyata ditemukan terjadinya
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada hal pertama dan kedua.
Konflik yang terjadi pada proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-
2019 ini cukup mengancam integritas lembaga yang beranggotakan empat orang
dari setiap provinsi di Indonesia. Fenomena itu menjadi bukti relevansi yang kuat
antara etika politik dan kekuasaan. Politisi yang sudah keracunan dengan
kekuasaan, maka ia cenderung bertindak kotor dan mengabaikan etika. Mereka
akan saling bertarung, saling membunuh satu sama lain sampai tercapai
kepentingan yang dituju, bahkan menghalalkan segala cara seperti layaknya
8 A.M. Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan
NKRI,(Jakarta: The Fatwa Center, 2016) hal. 17-18. 9 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPD RI, pasal 50 ayat (8).
7
serigala yang saling memangsa. Thomas Hobbes menyebutnya dengan homoest
hominilupus. 10
Untuk itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menganalisa
dinamika sebenarnya pada proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,
Oesman Sapta Odang, demi mencari kepastian ada atau tidaknya pelanggaran
etika politik yang terjadi. Untuk menganalisa hal itu, penulis menggunakan teori
etika politik dan kekuasaan untuk menunjukkan relevansi antara keduanya dengan
memfokuskan kajian pada kode etik DPD RI dan sumber-sumber kekuasaan yang
dimiliki oleh Oesman Sapta Odang.
B. Pertanyaan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan
masalah agar penelitian ini berjalan dengan terukur dan sistematis.
1. Bagaimana dinamika pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,
Oesman Sapta Odang?
2. Bagaimana pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta
Odang dilihat dari sudut pandang etika politik?
3. Apa saja sumber kekuasaan yang dimiliki Oesman Sapta Odang sebagai
ketua DPD RI periode 2017-2019?
10 Eko Handoyo, dkk, Etika Politik, (Semarang: Widya Karya Press, 2016) hal. 23.
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C. 1. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan yang diuraikan sebelumnya,
maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Untuk menggali pengetahuan perihal etika politik DPD RI secara lebih
komperhensif ketika dihadapkan dengan kekuasaan.
b. Untuk mengungkap sumber kekuasaan yang dimiliki Oesman Sapta Odang
sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019.
C. 2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini, dapat menjadi bahan
pengembangan studi ilmu politik tentang keparlemenan Indonesia
terkhusus pada lembaga politik DPD RI.
b. Menambah wawasan bagi pembaca pada umumnya dan penulis secara
pribadi tentang moralitas lembaga DPD RI secara lebih eksplisit.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini berfokus pada nilai etis pemilihan ketua DPD RI periode
2017-2019, Oesman Sapta Odang dengan mengupas dari dinamika politik
pemilihan, dimensi etika politik serta sumber-sumber kekuasaan yang dimilikinya.
Terdapat beberapa literatur kepustakaan terdahulu yang menjadi acuan peneliti
untuk melakukan penelitian yaitu di antaranya:
9
Pertama, penelitian Wibi Andrino.11 Pada penelitian ini disinggung
mengenai beberapa hal yang bersangkutan dengan peran Badan Kehormatan DPD
RI dalam menegakkan pelanggaran yang terjadi di dalam tubuh DPD RI, dan
dipaparkan pula hambatan-hambatan yang dialami dalam peroses penegakan
aturan kode etik DPD RI, baik itu hambatan eksternal yaitu berupa peraturan
perundang-undang maupun hambatan internal. Dalam penelitian ini juga disajikan
solusi untuk menyelesaikan hambatan-hambatan tersebut dengan tujuan
mengefektivitaskan peran Badan Kehormatan DPD RI atas pelanggaran kode etik
yang dibuat oleh anggota DPD RI. Fokus utama kajian ini terletak pada
kedudukan Badan Kehormatan DPD RI di dalam Lembaga DPD RI dengan
mengupas aturan-aturan hukum yang menjadi landasan formil Badan
Kehoramatan DPD RI dalam menciptakan DPD RI yang elitis namun etis.
Kedua, penelitian Abdul Rauf Alauddin Said.12 Penelitian ini
memfokuskan bahasan tentang eksistensi DPD RI dalam melaksanakan fungsi
ketatanegaraan Indonesia yang dilihat dari pasal 22D Ayat (3) UUD NKRI 1945,
UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dan
Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yang semuanya secara
khusus mengatur tata cara menjalankan fungsi-fungsi DPD RI. Dan ditambah
dengan beberapa faktor yang mendasari ketimpangan wewenang antara DPD RI
dan DPR RI di dalam keparlemenan Indonesia.
11 Wibi Andrino, “Kedudukan dan Implementasi Badan Kehormatan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia dalam Penegakan Kode Etik”, (Tesis S2 Pascasarjana Universitas
Gajah Mada, 2017) hal. 71-74. 12 Abdul Rauf Alauddin Said, “Kajian Normatif Terhadap Fungsi Pengawasan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, (Tesis S2
Universitas Gajah Mada, 2017) hal. 122-123.
10
Ketiga, penelitian Fikri Abdullah.13 Penelitian ini membahas bahwa
sampai saat ini DPD RI belum memiliki kedudukan hukum yang amat kuat
sehingga berimbas pada tumpulnya peranan DPD RI dalam mengawal legislasi.
Oleh sebab itu, DPD RI mengirimkan beberapa permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi mengenai kewenangan dalam proses legislasi, yang kemudian lahirlah
putusan Putusan MK 93/PUU/-X/2013. Putusan tersebut sedikitnya mengubah
dan memperbaharui sistem ketatanegaraan, dan terlihat mengganti sistem
bikameral keparlemenan menjadi sistem triparti, bukan lagi hanya DPR RI dan
DPD RI dalam program legislasi nasional akan tetapi juga Presiden.
Keempat, penelitian Sri Andriyani.14 Penelitian ini membahas secara
eksplisit tentang kewenangan legislasi DPD RI pasca berlakunya UU MD3 No. 1
Tahun 2014. DPD RI sudah dapat dikatakan setara dengan DPR dan Presiden
dalam hal pengajuan RUU mengenai beberapa sektor di antaranya, otonomi
daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pengembangan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Di dalam penelitian tersebut
juga dikemukakan bahwa putusan tersebut dianggap inkostitusional karena DPD
RI sendiri tidak diikutsertakan dalam pembahasan serta materiilnya yang bertolak
belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
13 Fikri Abdullah, “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Legislasi Rancangan
Undang-Undang Otonomi Daerah Analisis Putusan MK 93/PUU/-X/203”, (Skripsi S1 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014) hal. 101-102. 14 Sri Andriyani, “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD”, (Skripsi S1 UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015) hal. 63-64.
11
Kelima, penelitian Gusti Ramli.15 Penelitian ini membahas tentang
efektifitas peran DPD RI yang dilihat dari hasil keputusan yang telah dicapai sejak
awal terbentuk sampai dengan 2009. Kebijakan yang dikeluarkan DPD RI kerap
kali buntu dan tidak bermuara pada keputusan yang mengikat sehingga
berimplikasi pada kurang tercapainya tujuan DPD RI itu sendiri yaitu
memperjuangkan kepentingan daerah di tingkat pusat. Hal tersebut bersumber
pada keterbatasan wewenang yang dimiliki DPD RI yang tertuang dalam UUD
1945. Selain itu, fungsi anggaran dan pengawasan DPD RI juga tidak luput dari
keterbatasan sehingga DPD RI sebagai lembaga legislatif tidak mampu berperan
untuk mengontrol tindakan lembaga eksekutif dengan kewenangan yang serba
terbatas.
Penelitian terdahulu yang mengkaji tentang DPD RI cukup terbilang
signifikan. Ada yang memfokuskan pada kedudukan DPD RI di dalam
keparlemenan Indonesia dengan mengupas aturan-aturan hukum yang menjadi
landasan formil DPD RI dalam memperkuat checks and balances. Terdapat pula
yang memfokuskan pada aspek wewenang DPD RI dan juga realitas politik DPD
RI. Akan tetapi dari sekian banyak penelitian yang ada, menurut penulis bidang
hukum menjadi bidang yang banyak diteliti dibandingkan bidang politik, dan
yang khusus menggali tentang etika politik DPD RI masih cukup sulit dijumpai.
Karenanya, penulis tertarik memfokuskan penelitan pada aspek etika politik DPD
RI dihubungkan dengan kekuasaan.
15 Gusti Ramli, “Efektifitas Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam Demokrasi
Indonesia” (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2009) hal. 104.
12
E. Metodologi Penelitian
Penulisan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu
yang menggunakan latar alamiyah (natural), dengan tujuan menafsirkan fenomena
yang terjadi yang bersangkutan dengan masalah penelitian.16 Pada umumnya,
metode ini memiliki tempat khusus dalam penelitian ilmu sosial tanpa sedikit pun
mengesampingkan metode kuantitatif. Metode kualitatif ini nantinya penulis
fungsikan untuk menggali dan menganalisa data-data yang berkaitan dengan
masalah penelitian, dengan alasan dapat mengetahui secara komprehensif
mengapa Oesman Sapta Odang terpilih sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019.
Selain itu, penilaian etika politik terhadap pemilihan tersebut.
E. 1. Pendekatan Penelitian Kualitatif
Pendekatan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analitis, yakni dengan
menjelaskan kasus yang menjadi topik pembahasan dalam penelitian dan dengan
tujuan untuk mendapatkan deskripsi tentang variabel-variabel dalam pokok
masalah melalui interprestasi yang berdasarkan konsep dan teori.17
Penelitian deskriptif kualitatif berfungsi untuk menerangkan fenomena-
fenomena sosial secara natural, sebagaimana adanya, tidak ada manipulasi, tidak
ada paksaan dan bersifat terbuka. Deskripsi data yang ditulis secara rinci dan
padat akan menentukan kualitas penelitian itu sendiri. Untuk itu, penulis
16 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007) hal. 5. 17 H. Abdurrahman dan Soejono, Metode Penelitian; Suatu Pemikiran dan Penerapan,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005) hal. 21.
13
melakukan penjaringan data secara lebih kritis pada proses pemilihan ketua DPD
RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang. Data dan fakta tersebut didapat
dengan cara melakukan pengamatan terhadap fenomena terjadi, wawancara
terhadap responden yang relevan serta dokumentasi.
E. 2. Sumber dan Jenis Data
Peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data sekunder dan primer
dalam penelitian ini, dengan tujuan agar mempermudah dalam menganalisis data.
E. 2.1. Data Primer
Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subyek
penelitian sebagai sumber informasi yang dicari dengan menggunakan alat ukur
tertentu.18 Dalam penelitian ini, penulis mengambil data primer di lapangan
melalui proses wawancara mendalam terhadap anggota DPD RI yang ikut serta
pada pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang.
Wawancara itu sendiri merupakan bentuk komunikasi timbal balik antara dua
orang, di dalamnya terlibat seseorang yang ingin memperoleh informasi dari
seseorang yang dituju, dengan cara melontarkan pertanyaan-pertanyaan secara
terstruktur berdasarkan tujuan tertentu.
E. 2.1. Data Sekunder
Adapun data sekunder didefinisikan sebagai data yang diperoleh dari pihak
lain secara tidak langsung dari subyek penelitian. Data tersebut diambil melalui
18 Syaifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal. 91.
14
penelusuran di berbagai tempat,19 yang di dalamnya memuat dokumen tertulis
yang berkaitan dengan fokus penelitian seperti halnya jurnal, buku, artikel, serta
pemberitaan dari media cetak maupun elektronik yang berkaitan penuh dengan
pokok masalah yang akan dibahas.20
E.3. Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan obyek terpenting dalam suatu penelitian, karena dengan
adanya data penelitian maka dapat ditemukan hasil dari penelitian tersebut. Dalam
penelitian ini, data diperoleh dari berbagai sumber yang kemudian dikumpulkan
menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yakni: wawancara, observasi
dan dokumentasi.
E.3.1. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan melontarkan
pertanyaan-pertanyaan kepada responden berdasarkan pada paduan wawancara
yang disusun secara terstruktur dan detail. Langkah awal yang dilakukan oleh
penulis pada teknik ini adalah dengan menentukan informan yang dianggap cukup
representatif. Langkah selanjutnya mengklasifikasikan pertanyaan ke dalam dua
bagian yaitu khusus dan umum. Menyusun pertanyaan tersebut berurutan dari
yang pokok sampai kepada pertanyaan yang bersifat pelengkap. Dan langkah
19 Tempat-tempat yang menjadi sumber literature selama proses pengumpulan data
dilakukan yaitu di antaranya: Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan DPR RI dan DPD RI, dan komplek
MPR/DPR/DPD/DPRD RI. 20 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004) hal. 180.
15
terakhir adalah melontarkan pertanyaan atau melakukan komunikasi dengan
responden yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.
Penulis menggunakan teknik purposive sampling dalam melakukan
wawancara kepada narasumber terkait demi menemukan data yang sesuai dengan
keperluan peneliti. Oleh karena itu, penulis melakukan wawancara dengan Ahmad
Nawardi selaku anggota DPD RI daerah pemilihan Jawa Timur, Gede Pasek
Suardika selaku anggota DPD RI daerah pemilihan Bali sekaligus sebagai wakil
ketua umum partai Hanura, dan Asip Irama, yang merupakan salah satu anggota
partai Hanura.
E. 3.2. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung
ditujukan kepada subyek penelitian melalui buku, jurnal, majalah, surat kabar,
internet, dan lain-lain yang di dalamnya memuat data yang berkaitan dengan
kebutuhan penelitian. Penulis membaca dan menelaah literatur sesuai dengan
penelitian mengenai DPD RI dan Oesman Sapta Odang, kemudian mengenai
dinamika politik pada pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 dan aturan
etika yang mengikat di dalamnya, serta menelaah bahan dokumen lainnya yang
berkaitan dengan penelitian.
E.4. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara dan dokumentasi. Susunan analisis
penelitian ini bersandar pada pedoman umum dengan harapan mendapat hasil
16
yang optimal dan juga dapat disejajarkan sebagai sebuah karya ilmiah yang telah
diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis
data pada saat pengumpulan data berlangsung dan juga seusai pengumpulan data.
Apabila data yang diperoleh belum cukup memuaskan setelah dianalisi, maka
penulis melanjutkan mencari data dan dianalisis kembali sampai data dianggap
kredibel dan sesuai dengan kebutuhan.
F. Sistematika Penulisan
Dalam mempermudah memahami isi penelitian, maka penulis memecah
skripsi ini menjadi lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bab. Adapun
sistematika penulisannya sebagai berikut:
Pada Bab I, penulis fokus menjelaskan alasan penentuan masalah dan
dasar-dasar pelaksanaan penelitian. Proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-
2019 diwarnai dengan kericuhan antar anggota DPD RI yang disebabkan oleh pro
kontra dasar hukum pemilihan dan status rangkap jabatan ketua DPD RI terpilih,
Oesman Sapta Odang sebagai wakil ketua MPR RI dan ketua partai politik
Hanura. Peristiwa tersebut memicu reaksi negatif publik dan menjadi titik temu
antara etika politik dan kekuasaan.
Pada Bab II, penulis menjelaskan secara mandalam teori etika, politik dan
etika politik, hal tersebut digunakan untuk membahas mengenai tindakan
ketatanegaran anggota DPD RI atau Oesman Sapta Odang berbasis pada nilai-
nilai kebaikan dan norma sosial. Bab ini juga menjelaskan tentang teori kekuasaan
17
dengan beberapa konsep untuk meraihnya bersama dengan sumber-sumber
kekuasaan, wibawa, kharisma dan wewenang.
Pada Bab III, penulis mengawalinya dengan pembahasan tentang sejarah
singkat pembentukkan DPD RI, peraturan-peraturan terkait dengan fungsi, tugas/
wewenang, kinerja dan kode etik. Juga memaparkan pengertian pimpinan dan
rekam jejak proses pemilihan pimpinan DPD RI sejak periode 2004-2009 sampai
2014-2019, mencakup aturan dan mekanisme pemilihannya. Bab III, penulis juga
menggambarkankan secara umum biografi dan perjalanan politik Oesman Sapta
Odang, termasuk kontroversi-kontroversi yang ia perbuat.
Pada Bab IV, penulis memaparkan hasil penelitian yang diperoleh dari
proses pengumpulan data wawancara dan dokumentasi dengan menjelaskan
dinamika yang terjadi pada proses pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,
Oesman Sapta Odang. Memaparkan secara mendalam keterkaitannya terhadap
etika politik berdasarkan pada teori dan kode etik DPD RI. Juga menjelaskan
faktor-faktor keterpilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI dengan
bersandar pada sumber kekuasaan.
Pada Bab V, penulis memberikan kesimpulan atas pembahasan skripsi
mulai dari Bab I sampai Bab IV, bahwa pemilihan ketua DPD RI periode 2017-
2019 adalah legal dan etis, karena sesuai dengan aturan hukum dan kode etik DPD
RI yang mengikat. Juga tidak ada larangan terhadap status rangkap jabatan ketua
DPD RI sebagai wakil ketua MPR RI atau ketua partai politik. Oesman Sapta
Odang memenuhi syarat berkuasa sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019.
18
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
Fenomena kericuhan yang terjadi pada pemilihan ketua DPD RI peiode
2017-2019 memunculkan reaksi negatif publik terhadap moralitas wakil-wakilnya
di parlemen, yang berimbas pada degradasi kepercayaan secara masif. Untuk
menganalisa kejadian tersebut, pada Bab II penulis membentuk kerangka dan
konsep penelitian dengan menggunakan dua teori utama yaitu teori etika politik
dan kekuasaan sebagai pisau analisis. Keduanya kemudian dipertajam dengan
teori dimensi etika politik Paul Ricour yaitu tujuan, sarana dan aksi politik untuk
mengetahui kualitas etika aktor politik yang bersangkutan, dan juga menggunakan
teori sumber-sumber kekuasaan untuk mengkaji syarat bertindak Oesman Sapta
Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019.
A. Teori Etika Politik
A. 1. Definisi Etika Politik
A. 1.1. Etika
Pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019
merupakan dalam rangka menormalisasikan citra positif publik terhadap etika atau
moral lembaga DPD RI, yang sebelumnya tercoreng oleh kasus penangkapan
ketua DPD RI periode 2014-2017, Irman Gusman sebagai pelaku korupsi kuota
gula impor. Pemilihan ini sekaligus sebagai wujud keseriusan DPD RI dalam
meningkatkan peran memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah. Perilaku
korupsi yang tidak terpuji itu mengharuskan DPD RI untuk lebih berbenah diri
dan meletakkan etika di setiap tindakan anggotanya. Hal tersebut guna
19
menciptakan lembaga negara yang bermartabat, terhormat dan terhindar dari
perilaku buruk yang menyimpang.
Secara etimologis, kata etika itu berasal dari bahasa Yunani kuno yakni
ethos. Dalam bentuk tunggal diartikan sebagai tempat tinggal yang biasa, padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaaan, sikap dan cara
berpikir. Secara jamak, kata ethos berubah menjadi ta etha yang artinya adalah
adat kebiasaan. Aristoteles kemudian menjadikan arti tersebut sebagai landasan
filsafat moral. Kata etika selalu dihubungkan dengan kata moral. Kata moral itu
sendiri secara etimologis memiliki arti yang sama dengan etika yakni kebiasaan,
adat. Namun yang membedakan dari keduanya adalah asal bahasa yang
digunakan. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno sedangkan moral berasal dari
bahasa Latin, mos dalam bentuk tunggal dan mores dalam bentuk jamak.1
Sedangkan secara terminologis, kata etika dapat diartikan menjadi tiga arti
dasar yakni: Pertama, etika dalam artian nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur perilakunya
terhadap sekitarnya. Misalnya, etika agama Budha, etika Protestan, dan etika suku
Indian. Hal tersebut sama dimaknai dengan nilai atau norma dalam beragama/
bersuku. Kedua, etika diartiakan sebagai kumpulan asas atau nilai moral atau yang
disebut juga dengan kode etik, seperti kode etik rumah sakit, kode etik perguruan
tinggi, ataupun kode etik lembaga politik negara. Ketiga, etika berarti ilmu yang
tentang baik atau buruk. Sebagai ilmu, etika mencari keterangan (benar) sedalam-
1 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1993) hal. 4.
20
dalamnya. Ia mencari ukuran mana yang susila itu, artinya tindakan manusia
manakah yang baik. Hal ini ada yang menyebutnya dengan filsafat kesusilaan. 2
Dalam uraian K. Bertens sebelumnya, makna etika berisikan tentang
alasan-alasan mengenai moralitas, sedangkan moral itu sendiri merupakan ajaran-
ajaran suatu nilai, keduanya memiliki arti yang sedikit berbeda. Etika lebih
mengarah pada hal-hal yang berbau aturan tentang baik atau buruknya perilaku
seseorang atau kelompok terhadap realitas kehidupan yang ada. Atau dapat
dikatakan juga etika adalah cara untuk mengetahui begaimana seseorang
seharusnya bertindak. Etika sebagai cabang ilmu filsafat yang kritis dan sistematis
merefleksikan masalah-masalah moral, yaitu masalah-masalah yang berkaitan
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang menentukan baik-buruknya perilaku
manusia, atau prinsip-prinsip yang mendasari benar-salahnya tindakan manusia
sebagai manusia.3
Nilai buruk suatu hal dapat diukur dari seberapa baiknya hal tersebut.
Sama seperti memahami kata indah dan jelek atau sehat dan sakit. Sesuatu akan
dikatakan jelek apabila ia tidak mencerminkan nilai keindahan di dalamnya. Maka
jika sesuatu tindakan baik maka etislah tindakan itu dan apabila tindakan itu buruk
maka tidak etislah itu.4 Para filusuf seperti Aristoteles, Spencer, Hume dan
Thomas Aquinas turut memberikan pandangannya tentang arti kata baik. Bagi
Aristoteles baik itu adalah apa yang mengembangkan manusia. Spencer
2 Ibid., hal. 6. 3 Sudarminta, Nilai-nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1992) hal. 12. 4 Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah laku, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) hal. 37-38.
21
memandang baik sebagai apa yang searah dengan evolusi. Menurut Hume, baik
adalah apa yang diinginkan dan menurut Thomas Aquinas yang baik adalah apa
yang ada dalam hukum kodrat.
Terlepas dari pada itu semua,tokoh lain yang bersebrangan pandangan dari
pada sekian tokoh tersebut adalah Goorge Edward Moore. Ia berpandangan bahwa
apa yang telah diutarakan oleh filusuf tersebut tentang arti kata baik adalah
kekeliruan, baginya kata baik tidak dapat didefiniskan karena baik tidak terdiri
atas bagian-bagian yang membentuk kata baik. Bagian-bagian yang membentuk
tersebut misalnya definisi kuda. Kuda adalah hewan besar, mamiliki empat kaki,
kepala terangkat, memiliki buntut, dapat berlari cepat, dan lain sebagainya.
Bagian-bagian yang disebutkan tadi sama dengan kuda akan tetapi apabila
dikombinasikan maka akan menghasilkan kuda.5
Etika hadir untuk mencari ukuran baik, buruk atau jahat. Namun bagi
Moore etika bukan lah hal yang selalu berkaitan dengan baik ataupun buruk.
Pengertian itu hanya akan menjebak pada pengertian keadaan fisik, pisikis dan
metafisik yang dipengaruhi oleh penalaran seseorang terhadap agama atau adat
tertentu. Menurutnya etika merupakan suatu hal yang sifatnya primer (simple) dan
bukan terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang membentuk
dirinya dan oleh karenanya etika tidak dapat dianalisa.6
5 Franz Magnis-Suseno, Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-26, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2000) hal. 21. 6 Ibid., hal. 20.
22
A. 1.2. Politik
DPD RI sebagai lembaga politik negara, terkandung di dalamnya konsep-
konsep politik yang berkaitan satu sama lain, seperti kekuasaan, kepentingan,
kebijakan dan lain sebagainya. Dalam kasus pemilihan ketua DPD RI periode
2017-2019, lembaga tersebut memperlihatkan bagaimana kekuasaan diperebutkan
dalam pentas politik melalui praktik-praktik yang beberapa kali menimbulkan
konflik kepentingan dan juga kekerasan.
Term Politik itu sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno yakni politicos
atau dalam bahasa Latin yaitu politicus yang artinya adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan masyarakat. Satu pendapat bahwa politicos/politicus berakar
kata polis yang sering digunakan dalam mengistilahkan negara kota.7 Politik
berarti suatu tindakan yang dilakukan oleh masyarakat kota dalam suatu sistem
politik yang disebut dengan negara. Politik dengan negara sudah menjadi satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya membicarakan politik
sama halnya membicarakan negara.
Politik adalah segala usaha masyarakat untuk mengatur negara
menyangkut sistem partai, sistem pembagian kekuasaan, sistem pembagian daerah
dan sebagainya.8 Politik itu segala hal mengenai kekuasaan, dan bagaimana
memupuk dan mempertahankan kekuasan itu. Pelaku dalam politik itu disebut
politikus, politikus haruslah cerdik dan bijaksana dalam berperilaku dan
7 Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) hal. 4. 8 AI. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1990) hal. 77.
23
menjalankan tujuan-tujuanya. Kebohongan terkadang menjadi alat untuk
mencapai tujuan tersebut dengan cara menyembunyikan kesalahan, dan ini
sebagai bukti kecerdikan yang tak dapat dibantah.
Di samping definisi-definisi politik yang dipaparkan sebelumnya yang
bersifat normatif dan pragmatis karena ditinjau dari satu unsur politik tertentu,
Miriam Budiardjo menarik kesimpulan bahwa politik adalah usaha untuk
menentukan peraturan-peraturan hidup yang sesuai dan dapat diterima oleh
masyarakat pada umumnya, dengan tujuan membawa kehidupan masyarakat ke
arah yang lebih harmonis dan berkeadilan. Sedikitnya terdapat lima konsep-
konsep pokok yang dapat digunakan untuk menganalisa istilah politik itu sendiri.
Konsep-konsep pokok tersebut adalah konsep kenegaraan (state), kekuasaan
(power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid) dan
yang terakhir, pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).9
A. 1.3. Etika Politik
Etika politik adalah pola tingkah laku ketatanegaraan seseorang atau
penguasa dalam hidup bernegara. Dilihat dari wilayah etika terapan, etika politik
tergolong ke dalam etika terapan yang menyangkut pada masalah-masalah profesi
atau yang disebut juga sebagai professional manusia. Ia membahas dari segi
pekerjaan misalnya profesi sebagai politisi seperti anggota MPR RI, DPR RI,
DPD RI dan lain sebagainnya. Contoh lain dari pada etika terapan profesi itu
sendiri seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika guru. kesemua etika tersebut
9 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2014)
hal. 14-17.
24
mendapat banyak sekali perhatian dari publik kerena perkembangannya yang
cukup signifikan.10
Etika dan politik merupakan dua bidang yang berbeda satu sama lain.
Menurut Machiavelli yang dikutip oleh Franz Magnis-Suseno11 bahwa etika atau
norma-norma moral sering kali tidak berlakukan pada tempatnya dalam urusan
politik. Melainkan keberhasilan dan pencapaian yang menjadi perhitungannya.
Machiavelli hanya mengenal kaidah etika politik, bahwa yang baik adalah apa
saja yang memperkuat kekuasaan raja. Dan apa yang melayani tujuan itu maka
harus dibenarkan. Tidak ada manfaatnya mempersoalkan legitimasi moral
kekuasaan. Yang menentukan ialah teknik merebut dan mempertahankannya tidak
terpenting itu brutal, licik atau tidak beretika.12 Hal tersebut inilah yang mungkin
tergambarkan pada pemilihan ketua DPD RI 2017.
Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, maka setiap anggota DPD RI
terikat dengan etika politik atau etika profesi. Kericuhan yang terjadi pada
pemilihan ketua dan wakil ketua DPD RI periode 2017-2019 yang diakibatkan
oleh ketidaksepahaman dasar hukum, menjadi hal yang harus
dipertanggungjawabkan secara moral oleh setiap anggota DPD RI, tidak
terkecuali Oesman Sapta Odang dengan status rangkap jabatannya.
Moralitas dalam politik dipengaruhi oleh sistem politik dan kultur politik
yang berkembang. Sistem politik yang selalu memberikan ruang bagi terjadinya
perilaku korup, kolusi, nepotisme akan mempengaruhi perilaku seorang politisi.
10 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Grajafindo Persada, 2006) hal.
676. 11 Franz Magnis-Suseno, Kuasa & Moral, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000) hal.
8. 12 Magnis-Suseno, Kuasa & Moral, hal. 8.
25
Baik politisi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan sampai kepada
pejabat-pejabat tingkat desa. Perlunya etika dalam kehidupan berpolitik untuk
memberikan kontrol sosial yang lebih ketat dalam proses pembentukan karakter
seorang pemimpin yang moralis. Budaya menyingkirkan etika dalam politik
adalah budaya yang dapat menimbulkan kekuasaan yang despotik yang sarat akan
kekerasan. Tidak ada pilihan lain untuk melawan budaya tersebut kecuali dengan
nilai-nilai moral yang menanamkan rasa saling menghormati antar sesama
manusia.13
A. 2. Dimensi Etika Politik
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa etika politik merupakan
masalah perilaku politikus yang berhubungan dengan ketatanegaraan. Pada
hakikatnya, etika politik juga mencakup hal-hal yang berhubungan dengan praktik
institusi politik, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, dan ekonomi. Proses
pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 termasuk ke dalam dua hal tersebut,
yang melibatkan perilaku Oesman Sapta Odang, anggota DPD RI dan praktik
lembaga negara DPD RI, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.14
Sebelum melihat dimensi etika politik lebih jauh, perlu dipahami bahwa
etika politik dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu aspek individual yang
membahas masalah kualitas moral manusia sebagai individu, terhadap dirinya
sendiri, terhadap tuhan dan juga terhadap sosial. Dan etika sosial yang membahas
masalah norma-norma moral antar sesama manusia dalam tatanan sosial, hukum,
13 Pahmi Sy. Politik Pencitraan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010) hal. 184. 14 Franz Magnis-Soseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1987) hal. 13.
26
dan juga institusi karena pada kenyataanya setiap manusia merupakan makhluk
sosial.15
Setelah mengetahui aspek etika politik maka hal penting selanjutnya yang
perlu diketahui adalah dimensi-dimensi etika politik. Terdapat tiga dimensi dalam
etika politik, ketiganya adalah pertama, tujuan politik; kedua sarana yang
memungkinkan pencapaian tujuan, dan yang ketiga; aksi politik sebagai penentu
kualitas moral pelaku.16 Sejauh ini ketiga dimensi tersebut memiliki kekhasan
tersendiri dalam menunjukan etika politik manusia terhadap manusia dan juga
manusia terhadap sosial secara efektif.
Dimensi yang pertama, tujuan politik, berakar pada konsep kesejahteraan
dan kedamaian hidup masyarakat yang didasari oleh kebebasan dan keadilan
sosial. Refleksifitasnya adalah melalui upaya penerapan kebijakan umum dalam
manajemen publik. Ketegasan dalam tujuan politik yang terangkum dalam
kebijakan publik akan menunjukkan kualitas etika pelaku. Dimensinya terletak
pada keterampilannya dalam membuat kebijakan umum yang terukur dan
akuntabilitasnya. Dalam konteks pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,
dimensi tersebut dapat dilihat dari tujuan majunya Oesman Sapta Odang sebagai
ketua DPD RI periode 2017-2019 ditambah dengan kebijakan yang ia dikeluarkan
semenjak terpilih sebagai ketua DPD RI.
Dimensi etika politik yang kedua, sarana yang memungkinkan tercapainya
tujuan politik. Di dalam dimensi ini terumuskan sistem dan prinsip-prinsip dasar
15 Franz Magnis-Soseno, Etika Politik, hal. 13. 16 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2014) hal. 33.
27
praktik penyelenggaraan bagi institusi sosial. Dimensi sarana ini mengandung
dua pola normatif yang disertai sanksi. Pertama, tatanan politik seperti hukum dan
institusi yang dituntut mengedepankan prinsip solidaritas dan ditata secara politik
menurut prinsip keadilan agar tujuan politik yang dibawa tercapai sesuai dengan
koridor etis. Poin moral pada ini terletak pada peran etika dalam menguji dan
mengkritisi legitimasi keputusan-keputusan, institusi-institusi dan praktik-praktik
politik. Apabila dihubungkan dengan kasus penelitian, dimensi etika politik
tersebut tergambar dalam kode etik lembaga DPD RI yang menjadi kritik atas
praktik-praktik kekuasaan politik.
Tahapan selanjutnya yang menjadi dimensi etika politik ketiga ialah aksi
politik. Pada dimensi ini etika identik dengan tindakan rasional yang bermakna.
Politikus memegang peran sentral sebagai sosok yang menentukan rasionalitas
politik yang diantaranya adalah tindakan dan kualitas moral pelaku. Tindakan
dapat dikatakan rasional apabila pelaku memahami inti permasalahan yang ada,
pemahaman itulah yang nantinya menentukan kualitas moral pelaku. Dalam
konteks pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, seluruh anggota DPD RI
menjadi subjek kualitas moral itu sendiri.17
A. 3. Urgensi Etika Politik dalam Lembaga Politik
DPD RI merupakan bagian dari lembaga negara yang berkedudukan
sebagai perwakilan daerah di Indonesia. Para politisi yang berprofesi sebagai
anggota ataupun ketua DPD RI pastinya terikat dengan kode etik profesi, dalam
17 Ibid., hal. 35-37.
28
hal tersebut ialah kode etik DPD RI. Bukan hanya DPD RI saja yang terikat
dengan kode etik, melainkan lembaga negara lainnya juga memiliki kode etik
masing-masing yang mengatur tingkah laku dalam menjalankan profesinya.
Seperti halnya kode etik DPR, kode etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
kode etik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kode etik lembaga lainnya.18
Kode etik merupakan wujud dari etika itu sendiri yang di dalamnya
terdapat aturan atau norma-norma dalam menjalankan profesi tertentu demi
menjaga martabat dan kehormatan dari pandangan buruk publik. Keberadaannya
dianggap penting untuk mengatur etika melalui ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati sebelumnya. Dalam lembaga politik, kode etik tersebut berarti
menyangkut tentang etika seseorang atau kelompok dalam berlembaga politik. Di
dalam Lembaga DPD RI, Badan kehormatan adalah badan yang dibentuk untuk
menegakkan kode etik tersebut dan merupakan alat kelengkapan DPD RI yang
sifatnya tetap.
Kebutuhan akan adanya kompas yang mengarahkan lembaga politik negeri
ke arah yang lebih bermoral sudah tidak dapat dibantahkan lagi, dan kompas
tersebut berupa kode etik. Meskipun pada dasarnya sudah diatur di dalam undang-
undang tentang Tata Tertib suatu lembaga, kode etik tetaplah diperlukan di setiap
internal lembaga politik. Fungsinya untuk mencegah terjadinya kesalahan praktik
politik dan mencegah terjadinya konflik internal. Kedua fungsi ini menuntun
lembaga politik ke arah yang lebih bermoral dan lebih professional.
18 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hal. 683.
29
Di tingkat atas, elit-elit politik semakin sensitif dan mudah terbawa emosi
akibat orientasi kekuasaan yang begitu dominan dibandingkan tanggungjawab
dalam ranah publik. Etika dan logika politik elit seolah telah mati terbawa arus
kekuasaan, oleh karenanya, para elit yang bertengger di lembaga-lembaga politik
perlu diawasi perilaku politiknya agar lebih bertanggungjawab pada tugasnya
serta terhindar dari penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi pada runtuhnya
martabat dan kehormatannya sendiri. Untuk itu maka badan kehormatan selaku
penegak kode etik perlu bersifat proaktif dan sensitif terhadap tindakan yang
diduga menyimpang dari kode etik. Dengan ditegakkannya kode etik, maka
kepercayaan publik pun akan meningkat dan memberikan citra positif terhadap
lembaga politik.
B. Kekuasaan dalam Politik
B. 1. Definisi Kekuasaan
Lembaga DPD RI merupakan wujud dari pada konsep Trias Politika yang
membagi kekuasaan dalam negara menjadi tiga bagian, yaitu eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Sebagai lembaga legislatif. DPD RI memiliki kekuasaan untuk
melakukan pengawasan dan keseimbangan dengan cara membuat peraturan dan
juga undang-undang. Peran tersebut dilaksanakan bersama-sama oleh DPR RI di
dalam parlemen di bawah naungan MPR RI.19
Kekuasaan itu sendiri merupakan suatu istilah yang bersumber pada kata
kuasa. Kata kuasa memiliki arti sebagai kemampuan atau kesanggupan;
19 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2014) hal. 281.
30
kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (mewakili, memerintah,
mengurus dan sebagainya); orang yang diberi wewenang untuk mengurus,
mampu, sanggup, kuat; berpengaruh (yang ada pada diri seseorang karena
jabatanya). Dari definisi singkat tersebut istilah kekuasaan dapat disimpulkan
menjadi empat arti, yakni: kemampuan, kewenangan, pengaruh dan otoritas.20
Sementara secara realitas kekuasaan adalah suatu fenomena misterius yang tidak
dapat diukur, ditimbang, ataupun dilihat melaui pancaindera.21
Selain dari pada itu, ilmuwan lain pun memiliki pandangan sendiri
mengenai arti kekuasaan. Miriam Budiardjo memandang kekuasaan sebagai
kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku
seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dan tujuan pelaku
kekuasaan.22 Hal serupa diungkapkan Muh. Kusnardi dari Mac Iver23, ia
merumuskan kekuasaan sebagai the capacity to control the behavior of others either
directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means atau dalam bahasa
Indonesia adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik
secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan
mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.
Filusuf Italia yang pemikirannya sangat identik dengan kekuasaan,
Machiavelli, mendefinisikan kekuasaan ke arah yang lebih kontroversial yaitu
kekuasaan sebagai lawan dari moralitas, dipisahkannya kekuasaan dari moralitas
20 Teguh Arafah, Terma Kekuasaan Dalam Al Qur’an, (Tangerang Selatan: Young
Progressive Muslim, 2016) hal. 69. 21 Koespartono, Kekuasaan, (Jakarta: Erlangga, 1987) hal. 1. 22 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1977) hal. 35. 23 Muh. Kusnardi, Ilmu Negara, (Jakarta: Media Pratama, 2000) hal. 116.
31
karena demi mencapai tujuan etis yakni menstabilkan negara. Menghalalkan
segala cara hanya diperuntukan demi kesejahteraan negara.24 Seseorang dalam
berhadapan dengan kekuasaan terkadang perlu melakukan tindakan yang tidak
terpuji, khianat, kikir, bengis, dengan alasan kebaikan untuk kekuasaanya. Oleh
karnanya, dalam mencapai tujuan yang baik, cara apapun dapat digunakan
termasuk cara keji yang berbenturan dengan moral.
Sedangkan menurut pakar sosiolog modern, Soryono Sukanto mengutip
dari pernyataan Max Weber, ia mengartikan kekuasaan sebagai kesempatan dari
seseorang atau kelompok untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat akan
kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkan terhadap tindakan-
tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan tertentu. Dari sekian banyak
bentuk dan definisi kekuasaan yang dipaparkan oleh para tokoh tersbut, di sisi lain
ada yang menjadikan kekuasaan sebagai konsep untuk mengatur dan
mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik, dan hal tersebut dinamakan
dengan kekuasaan politik.25
Kekuasaan politik adalah bagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya pada
pengendalian orang lain dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan
aktivitas negara di bidang administratif (eksekutif), legislatif, dan yudikatif.
Dalam tulisannya, Miriam Budiardjo memecah kekuasaan politik menjadi dua
macam yakni: Pertama, kekuasaan politik yang terwujud dalam negara (kekuasaan
negara) seperti lembaga-lembaga pemerintahan Majelis Permusyawaratan Rakyat
24 Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, ( Jakarta: Gramedia, 1987) hal. 39. 25 Arafah, Terma Kekuasaan Dalam Al Qur’an, hal. 72-73.
32
(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
presiden dan lain-lain. Kedua, kekuasaan politik yang ditujukan kepada negara
seperti partai politik, organisasi masyarakat berdasarkan agama, ekonomi yang
kesemuanya itu dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan di suatu negara.26
Jika melihat definisi kekuasaan tersebut, maka pemilihan ketua DPD RI
merupakan bagian dari kontestasi politik yang memperbutkan kekuasaan tertinggi
DPD RI.
B. 2. Konsep Meraih Kekuasaan
Dalam ilmu politik, kekuasaan bagaikan akar dalam pohon. Kekuasaan
merupakan pondasi awal dalam menjalankan sistem politik itu sendiri. Di era
modern dikenal beberapa pemikir barat yang memberikan sumbangan pemikiran
terhadap kekuasaan seperti Hobbes, Machiavelli dan Karl Max. Hobbes dan
Machiavelli lebih memfokuskan pada aspek jasmani. Menurut Hobbes kekuatan
fisiklah yang menentukan seseorang dapat meraih kekuasaan. Siapa yang lebih
kuat dalam pertarungan maka ialah yang menang dan menjadi penguasa.
Cara kebinatangan ini sesuai dengan konsep homo homini lupus atau
manusia sebagai serigala terhadap manusia lainnya. Mereka akan saling bertikai
melawan satu sama lain (bellum omnium contra omnes). Pertarungan sesama
manusia dalam berebut kekuasasan ini diperhebat oleh tiga faktor: Pertama, sifat
alamiah manusia untuk meraih kebahagiaan tertinggi, Kedua. Kesetaraan manusia,
dan Ketiga, agama. Menurut Hobbes, pertarungan sesama manusia adalah suatu
26 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2004)
hal. 38.
33
hal yang wajar, karena pada hakikatnya setiap manusia memiliki sifat
kebinatangan yang terpendam diri dan seketika dapat timbul diakibatkan
kekuasaan.27
Sama seperti Hobbes, Machiavelli menjadikan fisik sebagai tumpuan
kekuasaan. Seorang penguasa haruslah memiliki fisik yang kuat dan memiliki
pengetahuan tentang yang dikuasai. Ia dapat mempergunakan segala alat yang
memberikan keuntungan pada dirinya, bila perlu alat yang digunakan
bertentangan dengan moral kemanusiaan. Sebagaimana sebelumnya, Machiavelli
mengasumsikan bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan menghalakan segala
cara atas tujuan kebaikan bersama. Dan pada akhirnya asumsi ini yang menjadi
kritikan para pemikir barat lainnya.28
Tindakan menghalalkan segala cara yang dipercayai oleh Machiavelli
sebagai jurus jitu memperoleh, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan
sangat bersebrangan sekali dengan semangat penegakan moralitas. Terdapat
beberapa alasan mendasar yang dapat membuat tindakan menghalalkan segala
cara itu dapat diterima dari sudut pandang moralitas atau etika politik. Pertama,
tujuan yang baik. Kedua, tindakan tersebut berakibat pada kebaikan bukan pada
kejelekan, walaupun terdapat sedikit kejelakan akan tetapi kejelekan tersebut
dapat ditolerir. Ketiga, alasan yang proporsional dalam menentukan sebab
akibatnya. Keempat, keseimbangan antara dua akibat yang ada. Jikalau akibat
baik lebih besar maka tidak melawan moralitas dan sebaliknya, apabila akibat
27 Muh. Kusnardi, Ilmu Negara, hal. 64-65. 28 Ibid., hal. 65.
34
yang dihasilkannya adalah kejelekan maka hal tersebut melawan moralitas dan
melanggar etika.29
Peristiwa pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 dapat dikategorikan
sebagai implementasi konsep Thomas Hobbes tersebut. Dengan membuat aturan
hukum baru sebagai landasan mengganti pimpinan DPD RI yang lama dengan
yang baru. Selain itu, dari segi ekonomi pun menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi Oesman Sapta Odang mudah meraih kekuasaan.
Karl Marx adalah seorang filsuf yang melihat kekuasaan politik dari segi
ekonomi tersebut. Menurutnya golongan masyarakat dengan kelas ekonomi kuat
akan mudah meraih kekuasaan dibandingkan dengan kelas ekonomi bawah,
karena mereka mempunyai alat produksi. Oleh sebab itu, ia hadir untuk
menentang hal tersebut melalui konsep kesamarataan kekuasaan (penghapusan
kelas dalam masyarakat).30 Akan tetapi menurut Magnis31, pemikiran Marx
sangatlah utopis dan tidak logis. Marx tidak memiliki wawasaan lebih akan negara
sebagai kekuatan primer. Sebab, ia menjadikan kekuasaan politik hanya menjadi
kekuasaan ekonomis saja.
B. 3. Hakikat dan Sumber Kekuasaan
Ketika zaman romawi kuno sumber kekuasaan itu selalu identik dengan
perwujudan para dewa atau roh nenek moyang yang kental dengan kesaktian dan
keluhurannya, berbeda pada masa kini yang menjadi sumber utama kekuasaan dan
29 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hal. 119-120. 30 Kusnardi, Ilmu Negara, hal. 66. 31 Franz Magnis-Soseno, Etika Politik, hal. 272.
35
wewenang kepemimpinan tersebut terletak pada warga masyarakat itu sendiri.
Sejauh mana masyarakat memberikan kepercayaan sepenuhnya terhadap
pemimpin yang menurutnya layak mengatur kehidupan pribadi maupun
kelompok.
Kepercayaan tersebut berbentuk dukungan yang bersifat absah melalui
prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang, karena
hukum merupakan landasan wewenang kekuasaan dan juga sebagai salah satu
komponen terpenting dalam kekuasaan. Seseorang yang hendak berkuasa
sejatinya selalu mengedepankan komponen-komponen dalam kekuasaan atau
istilah lainnya ialah syarat-syarat untuk menjadi penguasa. Komponen tersebut
terdiri dari pertama, wibawa; Kedua wewenang; Ketiga, Kharisma. Komponen-
komponen tersebut sama pentingnya dan saling menyelaraskan satu sama lain.32
Ketiga kompenen tersbut nanti akan menjadi parameter penulis untuk mengkaji
faktor keterpilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-
2019.
Kewibawaan seseorang tergantung pada tingkat popularitas yang
dimilikinya. Dan popularitas itu sendiri merupakan kapasitas, keahlian, dan
keterampilan seseorang dalam memecahkan beragam masalah yang berkaitan
dengan apa yang akan ia kuasai pada umumnya. Dan juga karena ia memiliki
sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan-keyakinan yang dianut oleh
sebagian besar warga masyarakatnya. Komponen yang tidak kalah pentingnya
32 Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1984) hal. 138.
36
juga adalah Kharisma. Komponen kharisma ini pada dasarnya berupa garis
keturunan para raja (penguasa terdahulu) yang oleh sebagian orang masih
menyakini akan adanya sifat-sifat spiritual yang terdapat dalam diri seseorang.
Meskipun pada saat ini, realitasnya komponen kharisma tersebut semakin pudar
dimakan oleh arus modernisasi. Lepas dari pada itu semua, seorang penguasa juga
tidak boleh mengabaikan kemampuan lainnya. Dalam hal ini kemampuan tersebut
berupa kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik, dan untuk mengorganisasi
orang banyak dengan mengadakan sanksi.33
Jika ingin merebut kekuasaan di dalam suatu negara, maka langkah yang
mutlak diperhatikan ialah menentukan berat penderitaan yang anggap perlu
dibebankan pada rakyat. Dan apabila kekuasaan telah digapai, maka cara
mempertahankannya dengan adalah dengan memusnahkannya sama sekali dengan
membumihanguskan negara dan memberantas seluruh keluarga penguasa yang
lama. Tujuannya agar tidak ada lagi benih-benih pemberontakan. Cara kedua
adalah dengan melakukan kolonisasi besar-besaran dengan menempatkan pasukan
di wilayah koloni serta menjalin hubungan yang baik dengan negara-negara
tetangga.34
C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan
Etika dan politik memang merupakan suatu bidang yang berbeda.
Keduanya memiliki wilayah masing-masing dalam keilmuwan. Akan tetapi etika
33 Ibid., hal. 139-140. 34 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004) hal. 133.
37
digunakan sebagai pembatasan perilaku para penguasa untuk bertindak secara
baik dengan tujuan memberikan pendidikan politik yang sehat antara penguasa
dan yang dikuasai (rakyat), dengan penguasa yang menjadi teladan dalam
mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Etika mengandung nilai-nilai positif di dalamnya yang akan membawa
setiap pengikutnya pada rasa hormat yang tinggi. Dalam masyarakat modern
sekarang ini, rasa malu tersebut perlahan memudar akibat demitologisasi agama,
atau orang manyingkap apa yang tak dapat disingkap. Pudarnya rasa malu
beriringan dengan pudarnya rasa bersalah atau kesadaran akan kesalahan. Hal
yang semacam ini terjadi dalam banyak bidang kehidupan dan termasuk ke dalam
bidang politik.35
Hubungan antara etika dan kekuasaan cukup beragam, tergantung pada
kosep kekuasaan yang kita lihat. Hubungan tersebut dapat berupa konflik dan juga
dialog. Perspektif Hobbes menggolongkan hubungan tersebut ke dalam dialog.
Perspektif ini menuntut setiap tindak kekuasaan dengan pengawasan moral. Yang
pada akhirnya akan menarik dukungan suara atau persetujuan dari sekian banyak
anggota masyarakat, maka dengan kata lain inilah yang dinamakan dengan
legitimasi etis. Sedangkan Machiavelli menafsirkan hubungan etika dengan
kekuasaan tersebut dengan konflik. Tokoh yang satu ini tidak terlalu
mempersoalkan moralitas pada kekuasaan politik. karena menurutnya, kekuasaan
/ politik tidak semestinya ditempuh dengan cara-cara beretika. Pandangannya ini
35 Eddy Kristiyanto, Etika Politik dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit
kanisius, 2001) hal. 211.
38
merupakan sebuah pembelaan terhadap emansipasi politik, yang artinya
kekuasaan sudah selayaknya dipisahkan dari bayang-bayang moral dan juga
teologi. Oleh karena itu, kekuasaan yang diperoleh dengan melegalkan segala cara
menimbulkan konflik antar manusia, seperti kekerasan, terorisme, radikalisme dan
lain sebagainya.36
36 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hal. 265-267.
39
BAB III
GAMBARAN UMUM DPD RI DAN OESMAN SAPTA ODANG
Setelah menjelaskan tentang teori etika politik dan kekuasaan pada bab
sebelumnya. Pada Bab III, penulis menjelaskan secara mendalam gambaran
umum DPD RI dan Oesman Sapta Odang. Bahasan ini diawali dengan penjelasan
sejarah pembentukan DPD RI sejak awal masa Reformasi hingga periode 2017-
2019, yang dilengkapi dengan visi misi dan fungsi, tugas dan wewenang. Bab ini
juga membahas kode etik DPD RI yang menjadi standar aturan moral DPD RI.
Juga membahas secara singkat tapak langkah Oesman Sapta Odang sejak menjadi
pengusaha hingga menjadi politisi.
A. DPD RI dalam Semangat Demokrasi Indonesia
A. 1. Sejarah Pembentukan DPD RI
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) merupakan
lembaga negara yang baru lahir di awal masa Reformasi melalui persetujuan
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ketiga yang bertepatan pada 9 November
2001. Sesuai dengan namanya, DPD RI didesain untuk mewakilkan kepentingan-
kepentingan daerah bukan kepentingan-kepentingan rakyat, karena hal itu telah
diwakili secara konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
DPD RI itu sendiri dibentuk dalam rangka mengubah sistem keparlemenan
Indonesia menjadi dua kamar (bicameralism), dengan alasan demi membangun
mekanisme check and balances yang efektif dan demi memberikan wadah
terhadap kepentingan daerah yang tidak cukup terwakili oleh satu lembaga
40
parlemen (DPR RI).1 Berkaca dengan keterangan itu, maka secara garis besar
pembentukan DPD RI dapat dikatakan sesuai dengan kebutuhan keparlemenan
Indonesia. Karena sejalur dengan konsentrasi pembangunan negara yang bukan
hanya bertumpu pada kepentingan rakyat melainkan juga pada kepentingan
daerah.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia lembaga yang mewakili daerah
seperti DPD RI pun pernah bersinar pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS).
Ia memiliki kedudukan yang sejajar dengan DPR RI, dan keanggotaannya
mempresentasikan wakil dari tiap-tiap negara bagian. Akan tetapi, lembaga ini
hilang seiring dengan berlakunya UUDS 1950 sampai dibentuknya MPRS setelah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.2
Di awal era Reformasi, cita-cita membentuk badan legislasi teritori
kembali tumbuh sebagai respon positif terhadap sistem politik Indonesia yang
terlalu sentralistik di eral sebelumnya. Melalui semangat persatuan dan kesatuan,
lembaga yang mewakili daerah itu resmi terbentuk pada 2001 dengan tugas dan
wewenang yang masih terbatas. Dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, DPD
RI hanya memberikan pertimbangan terhadap DPR sebagai pemegang kekuasaan
legislatif yang sesungguhnya. Atas dibentuknya DPD RI, maka lembaga parlemen
di Indonesia saat ini terdiri dari tiga bagian: Pertama, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketiga, Dewan
1 A.M. Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan
NKRI, (Jakarta: The Fatwa Center, 2016) hal.. 3. 2 BPKK DPD RI, Deskripsi Perjuangan DPD RI: Menuju Amandemen UUD 1945,
(Jakarta: Sekjen DPD RI, 2016) hal. 7.
41
Perwakilan Daerah (DPD). MPR sebagai induk keparlemenan Indonesia, dengan
DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan kepentingan rakyat dan DPD RI
sebagai lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah.
Rangkaian ide-ide yang memprakarsai terbentuknya DPD RI ini tidak
dapat dilepaskan pada apa yang telah digambarkan sebelumnya di Amerika
Serikat, yang terdiri dari Senate (senat) sebagai perwakilan dari negara bagian dan
House of Representatives sebagai perwakilan dari seluruh rakyat (DPR). Di
Inggris disebut juga dengan House of Lord (Dewan para bangsawan yang
memiliki setiap wilayah kerajaan, karena Inggris merupakan negara yang sampai
saat ini masih melestarikan elemen-elemen kerajaan dalam negara. Di Malaysia
Lembaga Senat dikenal dengan istilah Dewan Negara sedangkan di Belanda
dikenal dengan sebutan Este Kamer, dan masih banyak lagi istilah senat di negara
lain.3
Ide pembentukan DPD RI berangkat dari keinginan untuk meningkatkan
keikutsertaan daerah pada jalannya politik dan pengelolaan negara. kepentingan
daerah yang sebelumnya sedikit mendapat perhatian dari pemerintah pusat, kini
dapat disalurkan melalui lembaga yang berfungsi khusus merepresentasikan
kepentingan daerah. Keberadaan DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
tidak dilepaskan dari pelembagaan fungsi representasi. Dalam rangka
pelembagaan fungsi representasi tersebut, sekurang-kurangnya terdapat tiga
sistem perwakilan yang diterapkan oleh berbagai macam negara yang menganut
3 A.M. Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan
NKRI, hal. 3.
42
sistem politik demokrasi yaitu; Pertama, sistem perwakilan politik (political
representative), Kedua, sistem perwakilan teritorial (territorial representative),
Ketiga, sistem perwakilan fungsional (fungsional representative). Dari ketiga
sistem tersebut maka penulis berpandangan bahwa apa yang diterapkan pada DPD
RI merupakan wujud dari sistem perwakilan teritorial (territorial representative).4
A. 2. DPD RI dalam Bingkai Masa Depan Indonesia
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) didirikan bukan
tanpa sebab, DPD RI didirikan dengan alasan dan tujuan tertentu yang berdampak
baik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). DPD RI juga memiliki
visi dan misi yang tajam, yang membatu mewujudkan tujuan dan cita-cita
Indonesia di masa depan. Visi DPD RI tersebut adalah menjadikan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai lembaga perwakilan yang mampu
secara optimal dan akuntabel memperjuangkan aspirasi daerah untuk mewujudkan
tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.5
Sedangkan misi DPD RI adalah pertama, memperkuat DPD RI melalui
amandemen UUD 1945. Kedua, mengoptimalkan pelaksanaan fungsi legislasi,
pengawasan dan penganggaran sesuai kewenangan yang ditetapkan oleh UUD
1945 dan undang-undang. Ketiga, memperkuat kapasitas pelaksanaan fungsi
representasi yang mencakup penampungan dan penindaklanjutan aspirasi daerah
4 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekjen dan
Kepaniteraan MK RI, 2006) hal. 39-44. 5 BPKK DPD RI, Deskripsi Perjuangan DPD RI: Menuju Amandemen UUD 1945, hal.
13.
43
dan pengaduan masyarakat serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang
kelembagaan DPD RI dalam rangka akuntabilitas publik. Keempat, meningkatkan
hubungan dan kerja sama dengan lambaga-lembaga negara/ pemerintah di dalam
negeri dan lembaga perwakilan negara-negara sahabat termasuk masyarakat
parlemen internasional. Kelima dan yang terakhir, meningkatkan kinerja dan
kapasitas kelembagaan baik yang menyangkut tampilan perorangan para anggota
DPD RI maupun pelaksanaan fungsi kesektariatan jendral termasuk tunjangan
fungsional/ keahlian.6
A. 3. DPD RI: Keterbatasan Fungsi, Tugas, dan Wewenang
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki fungsi dan wewenang yang
sangat berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun keduanya
sama-sama bagian dari lembaga legislatif Indonesia. Jika DPR memiliki fungsi
legislasi, anggaran, dan pengawasan seperti yang tertulis pada pasal 20A ayat (1)
UUD 1945. Maka terhadap ketiga fungsi yang dimaksud, DPD RI hanya
memilikinya secara terbatas.
Seperti yang diatur pada pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) dan pasal 23F
Ayat (1) UUD 1945, DPD RI hanya dapat menyusun dan mengajukan Rancangan
Undang-Undang (RUU) tertentu kepada DPR yang berhubungan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan pusat dan daerah. Setelah mengajukan RUU kepada
6 Ibid., hal. 17.
44
DPR RI, kemudian DPD RI dapat ikut membahas RUU tersebut. DPD RI juga
dapat memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, agama dan RAPBN. DPD RI dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya kepada DPR. Dan terakhir, DPD RI dapat memberikan
pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan Anggota BPK.7
Dengan apa yang diatur pada pasal 22D dan 23F UUD 1945, terlihat jelas
bahwa DPD RI hanya dibekali tugas dan wewenang yang terbilang sempit jika
dibandingkan dengan DPR yang tugas dan wewenangnya sudah sampai pada
tahap memutuskan undang-undang. Perbedaan inilah yang dijadikan DPD RI terus
berjuang menyetarakan tugas dan wewenangnya dengan DPR, karena perbedaan
tersebut akan berimbas pada eksistensi DPD RI itu sendiri di mata publik.
Melihat formulasi tersebut maka dapat dikatakan bahwa kehadiran DPD
RI sangat bertolak belakang dengan latar belakang pemikiran pembentukan DPD
RI dan pada awal perubahan UUD 1945. Pembentukan DPD RI juga dapat dinilai
hanya sebagai pemenuhan hasrat sementara demokrasi. Meskipun demikian,
keterbatasan tugas dan wewenang ini tidak bisa dijadikan alasan oleh anggota
DPD RI untuk menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah kepentingan
daerah. Konsistensi anggota DPD RI dalam mengadvokasi kebijakan pro- daerah
adalah sebuah keharusan yang bersifat mutlak dan tidak dapat terhalang oleh
keterbatasan apapun termasuk wewenang.
7 Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan NKRI,
hal. 28.
45
A. 4. Kinerja DPD RI
Kehadiran DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia telah
memberikan banyak warna kebijakan nasional yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan dan mendorong terbentuknya sebuah konvensi baru dalam
kehidupan bernegara yang meneguhkan adanya dua lembaga dalam system
perwakilan Indonesia yaitu dengan diselenggarakannya sidang bersama antara
DPR RI dan DPD RI setiap tanggal 16 Agustus dengan agenda mendengarkan
Pidato Presiden RI dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia.
Dengan segala keterbatasan wewenang yang ada, DPD RI tetap berupaya
mengoptimalkan perannya dalam rangka mengagregasikan dan merealisasikan
kepentingan daerah di level kebijakan tingkat nasional. Hal ini sebagai wujud
pertanggung jawaban konstitusional secara moral, dan politis DPD RI kepada
bangsa dan negara, khususnya daerah dan masyarakat.
Berdasarkan pada fungsi, tugas dan wewenang, kinerja DPD RI dapat
terlihat pada pembahasan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan
DPR dan Pemerintah, seperti RUU Pemda, RUU Pilkada, RUU Desa, RUU
Kelautan, dan lainnya. Bahkan RUU Kelautan menjadi salah satu yang bersejarah
karena perjuangan fungsi legislasi DPD RI telah diakui dengan disahkannya RUU
Kelautan oleh DPR sebagai produk legislasi dari DPD RI. Pengakuan tersebut
terlihat pada konsideran mengingat UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang kelautan
yang memasukkan pasal 22D ayat (1) UUD 1945, yang merupakan salah satu
kewenangan DPD RI dalam mengajukan RUU tertentu kepada DPR.
46
Berkenaan dengan tugas pengajuan usul RUU sejak DPD RI resmi
terbentuk sampai saat ini, selama tiga periode berjalan yaitu periode I Tahun
2004-2009, Periode II Tahun 2009-2014, Periode III Tahun 2014-2019 DPD RI
telah menghasilkan 77 Rancangan Undang-Undang. Ke-77 Rancangan Undang-
Undang tersebut telah DPD RI sampaikan kepada DPR RI namun hingga kini
belum jelas tindak lanjunya. Hanya RUU Kelautan yang akhirnya berhasil
menjadi undang-undang atas inisiatif DPD RI.
Selain dari pada itu, berikut ini adalah rekapitulasi hasil kinerja DPD RI
terhitung sejak Periode 2004-2009, 2009-2014 sampai kepada pertengahan
periode 2014-2019 tepatnya pada Sidang Paripurna DPD RI ke-8:
Tabel III. A.4.1
Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode I 2004-20098
No Keputusan DPD RI Periode I
Tota
l 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Usul RUU berasal dari DPD RI - 2 2 6 9 19
2 Pandangan dan Pendapat DPD
RI - 3 23 33 21 12 92
3 Pertimbangan DPD RI - 2 1 2 2 7
4 Hasil Pengawasan DPD RI - 11 12 10 6 10 49
5 Pertimbangan DPD RI terkait
Anggaran - 6 6 6 6 5 29
6 Usul DPD RI untuk Prolegnas - - - - - - -
7 Rekomendasi DPD RI - - - - - - -
Total - 24 44 57 33 38 196
8 Dewan Perwakilan Daerah, Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Tahun Sidang 2016-2017, (Jakarta: DPD RI, 2017) hal. 33-34.
47
Tabel III. A.4.2
Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode II 2009-20149
No Keputusan DPD RI Periode II
To
tal
2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 Usul RUU berasal dari DPD RI - 3 7 9 10 9 38
2 Pandangan dan Pendapat DPD
RI - 26 17 42 25 35 145
3 Pertimbangan DPD RI - 1 3 2 1 2 9
4 Hasil Pengawasan DPD RI - 15 14 23 23 14 89
5 Pertimbangan DPD RI terkait
Anggaran 1 4 7 6 6 5 29
6 Usul DPD RI untuk Prolegnas - 1 1 1 1 - 4
7 Rekomendasi DPD RI - - - 2 2 1 5
Total 1 50 49 85 68 66 319
Tabel III. A.4.3
Rekapitulasi Hasil Kerja DPD RI Periode III 2014-2019 Sampai
Sidang Paripurna Ke-8, Kamis, 9 Maret 201710
No Keputusan DPD RI Periode III
Tota
l
2014 2015 2016 2017 2018 2019
1 Usul RUU berasal dari DPD RI - 10 10 - - - 20
2 Pandangan dan Pendapat DPD
RI - 2 11 - - - 13
3 Pertimbangan DPD RI - - 3 1 - 4
4 Hasil Pengawasan DPD RI 6 28 20 2 - - 56
5 Pertimbangan DPD RI terkait
Anggaran 1 6 5 - - - 12
6 Usul DPD RI untuk Prolegnas - 2 1 - - - 3
7 Rekomendasi DPD RI - - 2 2 - - 4
Total 7 48 52 5 - - 112
9 Ibid., hal. 33-34. 10 Ibid., hal. 33-34.
48
Usul Rancangan Undang-Undang atas inisiatif DPD RI dibahas secara
triparti atau tiga pihak yaitu bersama dengan DPR RI dan juga Pemerintah
sebelum pada akhirnya ditetapkan menjadi undang-undang. Adapun beberapa usul
RUU yang telah dihasilkan oleh DPD RI di antaranya: RUU tentang Pemilihan
Umum Kepala Daerah, RUU tentang Pemerintah Daerah, RUU tentang Desa,
RUU tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Wilayah Kepulauan, RUU tentang
Daerah Istimewa Yogyakarta, RUU tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Bali,
RUU tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 17
Tahun 2014, dan masih banyak lagi yang lainnya.11
A. 5. Kode Etik Sebagai Acuan Perilaku Moral DPD RI
Sebagai wujud semangat bernegara yang mengedepankan norma etika,
penulis berpendapat bahwa kode etik sangatlah dibutuhkan keberadaannya dan
sudah sepatutnya ditempatkan pada tiap-tiap lembaga negara. Tujuannya adalah
demi menciptakan lembaga negara yang bermartabat, moralis dan kredibel serta
melindungi setiap para anggotanya (politisi) dari nafsu kekuasaan yang dapat
mengancam persatuan dan kesatuan. Jika kode etik ditegakkan oleh setiap
lembaga negara dengan harapan tidak ada satupun pelanggaran etika yang terjadi,
maka harapan pada umumnya, etika publik tumbuh beriringan sebagaimana
mestinya.
11 Ibid., hal. 33-34.
49
Tidak hanya lembaga eksekutif yang tindakannya patut diawasi oleh
publik, lembaga legislatif seperti MPR, DPD, DPR, dan DPRD patut diwaspadai
setiap tindakan dan perilakunya. Dari setiap lembaga tersebut, masing-masing
memliki kode etik yang mengharuskan anggotanya memenuhi setiap ketentuan
yang ada. Materi kode etik biasanya berisikan tentang nilai-nilai moral, tugas dan
tanggungjawab terhadap negara. Kode etik membantu menjaga kehormatan
lembaga negara serta menuntun pada nilai-nilai etika yang benar. Oleh karenanya,
dibentuklah Badan Kehormatan selaku pemegang hak penegakan kode etik.
Di dalam lembaga DPD RI, Kode etik disusun oleh anggota DPD RI yang
dibentuk melalui peraturan DPD RI. Kode etik itu sendiri berbentuk larangan dan
sanksi. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 213 UU No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib DPD RI bahwa Anggota DPD RI dilarang merangkap
jabatan.12 Kedua, Anggota DPD RI dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat
struktural pada lembaga swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau
pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan tugas dan
wewenang DPD RI serta hak sebagai anggota. Ketiga, setiap anggota DPD RI
dilarang melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme serta dilarang
menerima gartifikasi. Keempat. Anggota DPD RI yang menerima gratifikasi wajib
hukumnya melaporkan kepada KPK sesuai peraturan perundang-undangan. Honor
12 Berdasarkan Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata tertib DPD RI pasal
213 ayat (1), merangkap jabatan yang dimaksud adalah merangkap jabatan sebagai pejabat nagara
lain, merangkap sebagai Hakim pada badan peradilan, atau merangkap jabatan sebagai Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegarai
pada badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Lainnya yang sumber
anggarannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
50
atas pemkiran dan tenaganya pada diskusi/ seminar tidak termasuk ke dalam
bentuk gratifikasi yang dimaksud.
Setiap anggota DPD RI yang memenuhi larangan tersebut, maka dianggap
telah melanggar kode etik dan akan dikenakan sanksi oleh Badan Kehormatan
DPD RI selaku penegak kode etik DPD RI. Sanksi tersbut berupa teguran lisan,
teguran tertulis atau bahkan diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Apabila benar terbukti melanggar ketentuan kode etik maka anggota DPD RI
dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota berdasarkan putusan hukum
pengadilan. Putusan hukum tersebut bersifat tetap dan tidak dapat ditolerir.
B. Pimpinan sebagai Simbol Utama DPD RI
B. 1. Pimpinan DPD RI: Artikulasi dan Fungsi
Pimpinan DPD RI merupakan salah satu dari alat kelengkapan DPD RI
yang bersifat kolektif kolegial, terdiri atas satu orang ketua dan dua orang wakil
ketua yang dipilih langsung oleh anggota DPD RI dalam sidang paripurna DPD
RI.13 Berdasarkan pada perubahan UU No. 17 Tahun 2014 tentang Undang-
Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD pasal 260 ayat (1) komposisi pimpinan
DPD RI bertambah menjadi empat orang, terdiri dari satu orang ketua dan tiga
orang wakil ketua. Pimpinan DPD RI dipilih berdasarkan suara terbanyak dengan
menjunjung tinggi prinsip mencerminkan keterwakilan wilayah, mendahulukan
musyawarah untuk mufakat dan memperhatikan keterwakilan perempuan. ketua
13 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Arsitektur Histori, Peran
dan Fungsi DPD RI Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013)
hal. 49.
51
dan wakil ketua DPD RI ditentukan berdasarkan pada jumlah suara, dengan
ketentuan mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara yang sah. Suara
terbanyak terpilih sebagai ketua dan suara terbanyak berikutnya terpilih sebagai
wakil ketua I, II, III berurutan dengan masing-masing jumlah suara.
Pimpinan berperan sebagai juru bicara parlemen dan koordinator bagi
seluruh anggota parlemen yang berkedudukan sejajar. Setiap keputusan di
parlemen diambil secara bersama-sama dengan pimpinan sebagai pengatur rapat
dan berperan pula sebagai wakil dari seluruh anggota parlemen ketika lembaga itu
berhubungan dengan lembaga lainnya. Secara umum, fungsi pokok pimpinan
DPD RI adalah mewakili DPD RI secara simbolis dalam berhubungan dengan
lembaga eksekutif, lembaga-lembaga negara lain, dan lembaga-lembaga
internasional.
Selain itu, pimpinan DPD RI berfungsi memimpin jalannya administratif
kelembagaan secara umum, termasuk memimpin sidang paripurna, menetapkan
sanksi atau rehabilitasi dalam hal adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan
oleh anggota DPD RI.14 Untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut, maka tugas-
tugas pimpinan DPD RI dapat dibagi kedalam tiga kategori yaitu pertama, tugas
dilingkungan internal pimpinan. Kedua, tugas di lingkungan internal DPD RI dan
ketiga, tugas di lingkungan eksternal DPD RI.
14 Dewan Perwakilan Daerah, Sewindu Senat DPD RI, (Jakarta: DPD RI, 2012) hal. 7.
52
B. 2. Aspek Historis dan Politik: Pemilihan Pimpinan DPD RI
Sejak resmi dibentuk pada 1 Oktober 2004, DPD RI telah mengalami
empat kali periode pergantian pimpinan yaitu periode 2004-2009, 2009-2014,
2014-2019 dan 2017-2019. Di masing-masing periode ini memiliki ketentuan dan
peraturan pemilihan pimpinan yang berbeda-beda. Pada periode 2004-2009,
pimpinan DPD RI dijabat oleh Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita sebagai ketua, Dr.
Laode Ida dan H. Irman Gusman S.E, MBA sebagai wakil ketua. Pemilihan ketua
harus melalui tiga putaran karena tidak meraih 50% suara dari 128 anggota DPD
RI yang hadir. Pada akhirnya, Ginandjar Kartasasmita terpilih sebagai ketua
dengan memperoleh suara sebanyak 72 suara dari pesaingnya Irman Gusman yang
memperoleh suara 54 suara. Irman Gusman yang gagal dalam perebutan posisi
ketua, kemudian terpilih menjadi wakil ketua karena memperoleh suara terbanyak
mewakili wilayah Indonesia Barat. Sedangkan jabatan wakil ketua untuk wilayah
Indonesia bagian Timur dimenangkan oleh Laode Ida dengan perolehan suara
sebanyak 73 suara.
Selanjutnya pada periode 2009-2014, pemilihan ketua dan wakil ketua
DPD RI dilakukan secara bersamaan dalam satu paket dengan menitikberatkan
pada prinsip tiga wilayah Indonesia yaitu Barat, Tengah dan Timur. Hal demikian
itu berdasarkan pada peraturan Tata Tertib DPD RI yang baru. Irman Gusman
berhasil memperoleh suara terbanyak dari wilayah barat dengan jumlah 88 suara
mengungguli Sultan Bachtiar Najamudin yang hanya memperoleh 25 suara.
Sedangkan untuk wilayah Indonesia Tengah di menangkan oleh Gusti Kanjeng
Ratu Hemas dengan meraih suara sebanyak 68 suara mengungguli A. M. Fatwa
53
yang hanya meraih 46 suara. Untuk wilayah Indonesia Timur Laode Ida kembali
meraih suara terbanyak dengan jumlah 57 suara mengungguli Farouk Muhammad
yang meraih 39 suara. Peraih suara dari masing-masing wilayah tersebut
kemudian merebutkan suara terbanyak untuk mengisi jabatan ketua DPD RI. Dan
jabatan ketua DPD RI dimenangkan oleh Irman Gusman dengan 81 suara, Laode
Ida 46 suara dan 3 suara abstain. Gusti Kanjeng Ratu Hemas tidak mendapat suara
karena mengundurkan diri untuk pemilihan ketua DPD RI. Dengan hasil tersebut
maka Irman Gusman resmi tepilih sebagai ketua DPD RI periode 2009-2014
ditemani Laode Ida sebagai wakil ketua I dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas wakil
ketua II.15
Pada pemilihan pimpinan DPD RI 2014-2017 masih menggunakan metode
voting dan prinsip yang sama dengan periode sebelumnya. Untuk wilayah
Indonesia Barat, Irman Gusman kembali meraih suara tertinggi dengan raihan 90
suara mengungguli Intswati Ayus dengan 22 suara. Untuk wilayah Indonesia
Tengah, Gusti Kanjeng Ratu Hemas meraih 64 suara, unggul 4 suara dari Oesman
Sapta Odang yang meraih 60 suara, setelah diputaran pertama keduanya sama-
sama meraih 61 suara. Untuk wilayah Indonesia Timur dimenangkan oleh Farouk
Muhammad yang maraih 49 suara, disusul oleh Nono Sampono 47 suara, Bahar
Ngitung 19 suara dan Gede Pasek Suardika 6 suara. Sedangkan untuk pemilihan
ketua DPD RI harus berlangsung selama dua putaran karena diputaran pertama
tidak ada suara yang mencapai lebih dari 50%, Irman Gusman 54 suara, Farouk
Muhammad 38 suara, dan GKR Hemas 34 suara. Sesuai dengan peraturan Tata
15 Dewan Perwakilan Daerah, Sewindu Senat DPD RI, (Jakarta: DPD RI, 2012) hal. 14-
18.
54
Tertib pemilihan ketua DPD RI maka suara terendah saat putaran pertama yakni
GKR Hemas otomatis dinyatakan kalah. Putaran kedua hanya menyisakan dua
kandidat. Dari 122 suara yang masuk, suara terbanyak diraih oleh Irman Gusman
atas Farouk Muhammad dengan raihan 66 suara berbanding 53 suara dan 3 suara
abstain.16
Tabel III. B.2.1
Pemilihan Pimpinan DPD RI Periode 2014-201717
No. Pemilihan Tahap Pertama
Pemilihan Tahap
Kedua Keterangan
Wilayah Nama Suara Nama Suara
1 Barat Irman Gusman 90
Irman Gusman 66 Ketua DPD RI Intswati Ayus 22
2 Tengah
Gusti Kanjeng
Ratu Hemas 64
Gusti Kanjeng
Ratu Hemas 0
Wakil ketua
DPD RI II Oesman Sapta
Odang 60
3 Timur
Farouk
Muhammad 49
Farouk
Muhammad 53
Wakil ketua
DPD RI I
Nono Sampono 47
Bahar Ngitung 19
Gede Pasek
Suardika 6
Berdasarkan pada perubahan Tata Tertib DPD RI yang menetapkan masa
jabatan pimpinan menjadi dua tahun enam bulan maka jabatan pimpinan
Muhammad Saleh, Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad resmi
berakhir pada 3 April 2017. Terdapat enam calon yang maju sebagai pimpinan
16 Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Irman Gusman Terpilih Kembali Jadi
Ketua DPD RI”, http://setkab.go.id, 19 November 2018. 17 Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Irman Gusman Terpilih Kembali Jadi
Ketua DPD RI”, http://setkab.go.id, 19 November 2018.
55
periode 2017-2019. Tiga calon dari wilayah Indonesia Barat yakni Abdul Aziz,
Darmayanti Lubis, Andi Surya. Satu calon dari wilayah Indonesia Tengah yakni
Oesman Sapta Odang, dan dua orang dari wilayah Indonesia Timur yakni Nono
Sampono dan Bahar Ngitung. Sebelum pemilihan berlangsung beberapa calon
mengundurkan diri dari bursa pencalonan pimpinan dan hanya menyisakan
Darmayanti Lubis dari wilayah Indonesia Barat, Oesman Sapta Odang dari
wilayah Indonesia Tengah dan Nono Sampono dari wilayah Indonesia Timur.
Oesman Sapta Odang terpilih menjadi ketua DPD RI secara aklamasi
mengalahkan pesaing-pesaingnya yang lebih menyerahkan jabatan ketua DPD RI
kepada dirinya karena alasan tertentu.
B. 3. Profil Pimpinan DPD RI Periode 2014 – 2017 dan 2017-2019
Berdasarkan pada peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib DPD RI pasal 48 ayat (1) dan pasal 49, pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu)
orang ketua dan 2 (dua) orang dari wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota
DPD secara langsung dalam sidang paripurna. Pimpinan yang dipilih tentunya
juga berdasarkan pada prinsip mencerminkan keterwakilan wilayah,
mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan memperhatikan keterwakilan
perempuan.18 Namun seiring berkembangnya peran DPD RI, komposisi pimpinan
DPD RI mengalami penambahan jumlah yakni empat orang pimpinan dengan
kompisisi satu orang orang ketua, dan tiga orang wakil ketua. Penambahan jumlah
18 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib pasal 48 ayat (1) dan pasal 49
ayat (1).
56
tersebut berdasarkan pada amanah perubahan Undang-Undang No. 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 260 ayat (1).
Tabel III. B.3.1
Komposisi Pimpinan DPD RI Periode 2014-201719
No. Jabatan Nama Daerah
Pemilihan Keterangan
1. Ketua
DPD RI
H. Irman Gusman, S.E,
MBA
Sumatera Barat
(Mewakili
Wilayah
Indonesia
Tengah)
Menjabat sebagai
ketua DPD RI
untuk yang kedua
kalinya secara
berurutan setelah
sebelumnya
menjabat pada
periode 2009-2014.
Kemudian menjadi
terpidana kasus
korupsi gula impor
dan diberhentikan
dari DPD RI.
2. ketua
DPD RI
H. Muhammad Saleh, S.E Bengkulu
(Mewakili
Wilayah
Indonesia Barat)
Menjabat sebagai
ketua DPD RI
menggantikan H.
Irman Gusman,
S.E. MBA yang
menjadi terpidana
kasus korupsi gula
impor.
3. Wakil
ketua
DPD RI
1
Gusti Kanjeng Ratu Hemas Yogyakarta
(Mewakili
Wilayah
Indonesia
Tengah)
Wakil ketua DPD
RI yang lahir di
Jakarta, 10 Oktober
1952. Untuk kali
kedua menjadi
wakil ketua DPD
RI setelah
sebelumnya
periode 2009-2014
juga menjabat
sebagai wakil ketua
DPD RI.
19 DPD RI, “Pimpinan DPD RI Periode 2014-2019”, http://www.dpd.go.id, 29 Oktober
2018.
57
4. Wakil
ketua
DPD RI
2
Prof. DR. Farouk
Muhammad
Nusa Tenggara
Barat (Mewakili
Wilayah
Indonesia Timur)
Selain sebagai
anggota DPD RI, ia
juga merupakan
Guru Besar bidang
kriminologi dan
Sistem Peradilan
Pidana yang lahir
di Bima, NTB 17
Oktober 1949.
Terpilih sebagai
anggota DPD RI
dengan total raihan
suara sebanyak
152.306 di Dapil
NTB.
Tabel III. B.3.2
Komposisi Pimpinan DPD RI Periode 2017-201920
No. Jabatan Nama Daerah
Pemilihan Keterangan
1. Ketua
DPD RI
Dr. H. Oesman Sapta
Odang
Kalimantan
Barat (Mewakili
Wilayah
Indonesia
Tengah)
Menjabat sebagai
ketua
menggantikan
Muhammad Saleh
yang menggantikan
sementara Irman
Gusman.
2. Wakil
ketua
DPD RI
1
Letjen TNI (Marinir) Purn.
Dr. Nono Sampono, M.Si
Maluku
(Mewakili
Wilayah
Indonesia
Timur)
Wakil ketua DPD
RI yang merupakan
salah satu tokoh
militer Indonesia
dan juga mantan
Kepala Basarnas
Indonesia.
20 DPD RI, “Pimpinan DPD RI Periode 2017-2019”, http://www.dpd.go.id, 29 Oktober
2018.
58
3. Wakil
ketua
DPD RI
2
Prof. Dr. Ir. Hj.
Darmayanti Lubis
Sumatera Utara
(Mewakili
Wilayah
Indonesia Barat)
Wakil ketua DPD
RI yang lahir di
Binjai, 6 Mei 1951,
total 622.168 suara
telah ia raih dari
Dapil Sumatera
Utara.
4. Wakil
ketua
DPD RI
3
Drs. H. Akhmad
Muqowam
Jawa Tengah
(Tambahan satu
pimpinan DPD
RI berdasarkan
pada amananah
UU No. 2 Tahun
2018 tentang
MPR, DPR,
DPD, dan
DPRD)
Politisi Senior yang
lahir di Salatiga, 1
Desember 1960
berhasil menjadi
anggota DPD RI
dengan total suara
948.673 suara di
Dapil Jawa
Tengah.
C. Tapak Langkah Politik Oesman Sapta Odang
C. 1. Oesman Sapta Odang: Dari Pengusaha Menjadi Politisi
Oesman Sapta Odang (OSO) adalah seorang tokoh politik nasional yang
belakangan ini santer diperbincangkan di kancah perpolitikan Indonesia, berkat
keberhasilannya dalam mengedepandakan aspirasi daerah. Sebelum terjun ke
dunia politik, ia banyak menghabiskan waktunya dengan menjadi seorang
pengusaha. Oesman Sapta Odang dapat dikatakan sebagai seorang pengusaha
handal dan sukses, tercatat mulai dari bisnis pertambangan, air mineral,
perikanan, perkebunan, properti sampai yang paling tenar adalah bisnis
transportasi dalam bentuk penyewaan jet pribadi telah ia geluti. Kemudian dari ke
sekian bisnis tersebut didirikanlah Oesman Sapta Odang Group (OSO Group)
59
yang di dalamnya terdiri dari perusahaan-perusahan yang bergerak di bawah
naungan Oesman Sapta Odang.21
Akan tetapi dari sekian bisnisnya yang sukses tersebut terdapat kisah pilu
ketika ia berusia 8 tahun harus menerima kenyataan bahwa ayahnya meninggal
dunia. Dan pada usia 12 tahun ia memberanikan diri berdagang rokok asongan
kesetiap para buruh di pelabuhan dekat tempat ia dibesarkan. Di usianya yang
menginjak 14 tahun, ia memutuskan untuk berhenti berdagang asongan dan
beralih menjadi kuli angkut barang. Dari kuli angkut barang kemudian ia
berdagang hasil-hasil pertanian seperti jahe, kol, sawi, bawang, kentang, cabai,
sampai kelapa untuk ia dagangkan ke luar pulau. Pengalaman berharga yang ia
temukan di masa kecil menghantarkan dirinya pada kesuksesan yang luar biasa
saat ini. Dan pada juni 2016 lalu, ia tercatat ke dalam 150 orang terkaya di
Indonesia versi majalah Globe Asia dengan jumlah kekayaan US$ 350 juta. 22 Ini
adalah bukti nyata semangat pantang menyerah dan optimisme yang ia kukuhkan
dalam diri demi membaca arah masa depan yang lebih baik.
Tepat pada Jumat, 18 Agustus 1950, Oesman Sapta Odang lahir di salah
satu desa di Kalimantan Barat yang bernama Sukadana. Ia dilahirkan dari
pasangan Odang dan Asnah Hamid. Keduanya memiliki latar belakang daerah
yang berbeda. Ayah Oesman Sapta Odang merupakan pria asal Palopo, Sulawasi
Selatan. Sedangkan ibunya, Asnah Hamid merupakan wanita asli Sulit Air, Solok,
21 Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), “Profil Ketua Umum Hanura”,
http://partaihanura.or.id,29 April 2018. 22 Robin Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua
MPR RI, Oesman Sapta Odang, (Jakarta: PT. Asasira, 2017) hal. 23.
60
Sumatera Barat. Perpaduan antara Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat inilah
yang kemudian menghasilkan Oesman Sapta Odang yang berkarakter tegas,
pekerja keras, pantang menyerah layaknya orang Sulawesi Selatan. Serta berjiwa
rantau dan berwirausaha layaknya orang Sumatera Barat.
Semasa muda, Oesman Sapta Odang gemar mengikuti berbagai organisasi,
mulai dari organisasi masyarakat, organisasi profesi sampai kepada organisasi
olahraga. Begaram prestasi telah ia gapai seperti juara pertama Balap Mobil
Nasional kelas 1300 cc di Jakarta pada 1974, Juara ketiga Balap Mobil
Internasional kelas 1600 cc di Thailand pada 1983. Runner up pada Kejuaraan
Balap Mobil Internasional 1300 cc di Penang, Malaysia pada 1984. Juara pertama
pada Kejuaraan Balap Mobil Internasional 1300cc di Batutiga, Malaysia pada
1984. Dinobatkan sebagai Doctor of Honoris Causa dari Senior University
International, Wyoming-Canada, USA atas dasar komitmen dan dedikasinya di
bidang pemberdayaan ekonomi rakyat di daerah pada 1999. Diangkat sebagai
keluarga besar Suku Dayak Kayan pada 2002 dengan nama Sangiang yang artinya
naga sakti di bawah air. dan yang masih baru-baru ini adalah gelar bangsawan
Bugis Makasar yang disematkan pada 2017. Serta masih banyak lagi prestasi dan
penghargaan lainnya.
Berkat usaha dan kegigihannya dalam menjalani setiap lika-liku hidup,
Oesman Sapta Odang akhirnya dipertemukan dengan sosok wanita cantik
kelahiran Makassar. Sosok tersebut ialah Serviati, wanita yang sekarang ini
menjadi istri setianya. Oesman Sapta Odang dan Serviati dipersatukan dalam janji
pernikahan pada 8 September 1972. Dari pernikahannya ini lahir empat orang
61
anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Anak sulungnya bernama Raja
Sapta Sermando. Anak kedua, Raja Sapta Aji. Ketiga, Raja Sapta Oktohari,
Keempat, Raja Sapta Ervian dan Anak bungsunya dan satu-satunya berjenis
kelamin perempuan ialah Putri Selaras Oesman. Uti Buncis (sapaan Putri Selaras
Oesman) menjadi salah satu anak Oesman Sapta Odang yang beruntung, memiliki
ayah yang berkarib dengan para tokoh-tokoh negara.23 pasalnya pada Jum’at, 8
September 2017 Uti Buncis melangsungkan pernikahan dengan pembalap gokar
dan mobil senior, Danindro Arioninditio. Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla turut serta menyaksikan acara sacral tersebut.
Di mata sang istri, Serviati, Oesman Sapta Odang merupakan sosok suami
yang istimewa karena sayang pada keluarga dan sangat menghromati orang tua.
Tingkat kesayangannya terhadap orang tua kadang melebihi rasa sayangnya
terhadap istri dan anak-anaknya. istrinya juga memaparkan bahwa Oesman Sapta
Odang bukan seorang ayah yang mendidik anak-anaknya dengan lemah lembut
akan tetapi dengan cara ketegasan dan kedisiplinan. Tujuannya adalah demi
menanamkan sifat mandiri pada setiap diri anak-anaknya. Hal yang demikian itu
dibuktikan dengan tidak dipermudahkan anak-anaknya terlibat dalam perusahan
yang dimiliki, sebelum teruji kemampuan dan profesionalismesnya.
Setelah malang melintang di dunia bisnis dan merasa cukup, Oesman
Sapta Odang memustuskan untuk melepas kepemimpinan usahanya (OSO Group)
kepada Tanri Abeng dan Jendral TNI George Toisutta dan anaknya sendiri, Raja
Sapta Oktohari. Tujuannya adalah agar dapat memfokuskan pengabdian sebagai
23 Ibid., hal. 126.
62
pejuang dan pemimpin politik. Oesman Sapta Odang juga aktif dalam berbagai
organisasi, pada periode 1977-1980 dan 1980-1983 ia menjadi ketua Himpunan
Pengusahan Muda Indonesia (HIPMI) Wilayah Kalimantan Barat, ketua Kamar
Dagang dan Industri Daerah (KADINDA) Provinsi Kalimantan Barat, 1983-1987,
1987-1992 dan 1998-2004, ketua Asosiasi Perdagangan Jeruk Wilayah
Kalimantan Barat, 1988, Anggota Dewan Penasehat Gabungan Pelaksana
Konstruksi Seluruh Indonesia (GAPENSI) Nasional 1989; ketua Kamar Dagang
dan Industri Indonesia (KADIN), bidang kerjasama perdagangan dan industri
Indonesia-Cina (Sebelum dan sesudah normalisasi hubungan antara Indonesia-
Cina), 1990-1994; ketua umum Asosiasi Koperasi Kelapa Indonesia, 2002-
sekarang; dan ketua umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesi (HKTI) 2010-
2017.24
C. 2. Politik dalam Perjalanan Hidup Oesman Sapta Odang
Bermodalkan segudang pengalaman di dunia bisnis, Oesman Sapta Odang
memantapkan diri terjun ke dunia politik. Langkah politiknya dimulai dari
menjadi Anggota MPR Fraksi Utusan Daerah dari Kalimantan Barat periode
1999-2004, ketika itu, ia menjadi ketua Forum Utusan Daerah MPR RI, masih
pada periode yang sama, ia juga menjadi ketua fraksi utusan daerah persiapan
MPR RI dan menjadi ketua fraksi utusan daerah MPR RI pada periode 2001-
2002, karir perpolitikkannya terus melonjak drastis sampai pada akhirnya ia
menjabat sebagai wakil ketua MPR RI periode 2002-2004.
24 Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI,
Oesman Sapta Odang, hal. 8.
63
Berangkat dari daerah, Oesman Sapta Odang menilai perlu adanya partai
yang berorientasi pada kepentingan daerah. Oleh karenanya, ia mendirikan Partai
Persatuan Daerah (PPD) pada 18 November 2002 setelah sebelumnya berdiskusi
dengan beberapa tokoh politik yang bernaung dalam Forum Utusan Daerah MPR
RI. PPD didirikan bukan atas dasar tidak percayanya terhadap sistem bikameral
tanah air, melainkan sebagai wadah pengembangan dan penggalian potensi daerah
itu sendiri. Pada 2011 PPD bubar akibat minimnya suara dan seringkali tidak lolos
verifikasi pemilu, membuat para anggotanya berpencaran ke partai politik lain.25
C. 2.1. Wakil Ketua MPR RI
Jabatan sebagai wakil ketua MPR RI dapat dikatakan sebagai karir politik
yang tak terlupakan bagi Oesman Sapta Odang. Karena jabatan ini merupakan
awal pintu keberhasilan dirinya di kancah perpolitikan nasional. Oesman Sapta
Odang pernah menjabat sebagai wakil ketua MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah
pada periode 2002-2004 bersama dengan Matori Abdul Djalil dari Fraksi PKB,
Husni Thamrin dari Fraksi PPP, Jusuf Emir Faisal dari Fraksi PBB, Hari Sabarno
dari Fraksi TNI/Polri, Nasri Adlani dari Fraksi Utusan Golongan. Kemudian
tergabung di dalamnya M. Amien Rais sebagai ketua MPR RI dari Fraksi PAN.
Penetapannya sebagai wakil ketua MPR RI dan pimpinan MPR RI lainnya
periode 1999-2004 berjalan sangat demokratis dan tidak ada satupun fraksi yang
walk out untuk menentang keputusan yang telah ditetapkan.26
25 Agustinus Handoko, “Bubarkan PPD, OSO Dirikan Partai Persatuan Nasional”.
https://nasional.kompas.com, 23 Januari 2012. 26 Sekretariat Jendral MPR RI, “MPR Lima Tahun ke Depan, Mengawal Pancasila, UUD
NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika,” Majelis, no. 10, Oktober 2014, hal. 14.
64
Setelah tiga belas tahun berselang, Oesman Sapta Odang kembali hadir di
bangku pimpinan MPR RI periode 2014-2019. Kali ini ia mewakili Fraksi DPD
RI yang sebelumnya adalah Fraksi Utusan Daerah. Sebutan nama fraksi yang
berubah, karena pada 2001 telah resmi didirikan DPD RI melalui perubahan
ketiga UUD 1945 sebagai lembaga yang anggotanya terdiri dari empat orang
utusan di setiap daerah di Indonesia. Untuk periode 2014-2019 pemilihan
pimpinan MPR RI melaui sistem pemungutan suara (voting), dengan ketentuan
jumlah suara yang banyak maka itulah pimpinan yang terpilih. Terdapat dua paket
pimpinan kala itu, paket A diusung dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang
terdiri dari PDI Perjuangan, partai Nasdem, PKB, PPP, Hanura dan kelompok
DPD RI. Sedangkan paket B diusung oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Di
dalamnya tergabung partai Gerindra, partai Golkar, PAN, PKS, partai Demokrat
dan kelompok DPD RI.
Menariknya dari kedua paket tersebut mengusung nama utusan kelompok
DPD RI yang sama yaitu Oesman Sapta Odang. Yang membedakan hanyalah
Oesman Sapta Odang di dalam paket A sebagai calon ketua MPR RI sedangkan di
paket B sebagai calon wakil ketua MPR RI. Pada akhirnya yang terpilih dan
memenangkan perolehan suara ialah paket B (Koalisi Merah Putih) dengan
jumlah 347 suara, sementara paket A (Koalisi Indonesia Hebat) maraup sebanyak
330 suara. Selisih 17 suara antara keduanya. Dan satu suara lainnya tidak sah dari
678 suara anggota MPR yang ikut dalam pemungutan. Dengan hasil tersebut
maka Oesman Sapta Odang gagal menjadi ketua MPR RI periode 2014-2019 akan
tetapi menjadi wakil ketua MPR RI bersama dengan Mahyudin dari Fraksi
65
Golkar, Evert Ernest Mangindaan dari Fraksi Demokrat, H. M. Hidayat Nur
Wahid dari Fraksi PKS. Tergabung di dalamnya Zulkifli Hasan dari Fraksi PAN
sebagai ketua MPR RI. Hal ini mengartikan bahwa gaya kepemimpinan politik
Oesman Sapta Odang cukup soft dan mampu menempatkan dirinya dengan baik
di tengah panasnya suhu persaingan politik antara KIH dan KMP ketika itu.27
C. 2. 2. Ketua Umum Partai Hanura
Perjalanan Oesman Sapta Odang menjadi ketua umum partai Hanura dapat
dikatakan imbas dari kebijakan Presiden Jokowi – Wakil Presiden Jusuf Kalla,
apabila ketua umum partai politik terpilih menjadi menteri dalam kabinet kerja,
maka harus mengundurkan diri dari kursi ketua umum partai. Wiranto yang ketika
itu menjabat sebagai ketua umum partai Hanura kemudian terpilih menjadi Menko
Polhukam menggantikan Luhut Binsar Panjaitan yang digeser menjadi Menko
Kemaritiman. Partai Hanura pada Rabu, 22 Desember 2016, memilih Oesman
Sapta Odang secara aklamasi sebagai ketua umum Hanura atas rekomendasi
Wiranto.
Terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai Ketum (Ketua Umum) Hanura
merupakan pilihan yang tepat dari sisi kualifikasi, khususnya aspek
keorganisasian. Selama menjabat sebagai ketua partai politik Hanura, Oesman
Sapta Odang dinilai cukup positif dalam membawa partai Hanura bersaing dengan
partai politik lainnya di pentas politik nasional. Ketua Bidang Organisasi DPP
Hanura, Benny Rhamdani berpendapat bahwa selama kepemimpinan Oesman
27 Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI,
Oesman Sapta Odang, hal. 160.
66
Sapta Odang, Partai Hanura mengalami kemajuan yang signifikan, terutama
dalam hal membangun kelembagaan partai. Sebelum Oesman Sapta Odang
memimpin Partai Hanura, DPC Hanura hanya sanggup mencapai 68% di tingkat
Kota/Kabupaten kemudian semenjak Oesman Sapta Odang menjadi ketua umum,
Partai Hanura sanggup mencapai 89%. Dan di tingkat ranting, Partai Hanura yang
sebelumnya hanya menjangkau 6% di bawah kepemimpinannya kini mencapai
36%.28
C. 2. 3. Ketua DPD RI
Perjalanan karir Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI dimulai
pada 4 April 2017 dengan segala gonjang-ganjing politik di dalamnya. Pelantikan
Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI berdasarkan pada Tata Tertib DPD
RI No. 3 Tahun 2017 yang menetapkan masa jabatan pimpinan DPD RI selama
dua tahun enam bulan tahun. Wakil daerah asal Kalimantan Barat ini terpilih
menjadi ketua DPD RI periode 2017-2019 menggantikan Mohammad Saleh yang
sebelumnya dipilih untuk menggantikan Irman Gusman yang telah ditetapkan
sebagai tersangka kasus suap kuota gula impor oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Sosok Oesman Sapta Odang dianggap layak menjadi ketua DPD RI oleh
beberapa kalangan anggota DPD RI lainnya. Jabatannya sebagai ketua partai
Hanura menjadi nilai utama ia terpilih menjadi ketua DPD RI dengan harapan
mampu menyetarakan fungsi dan wewenang DPD dengan DPR dan
28 Faisal Abdalla, “Partai Hanura Tegaskan Kepemimpinan OSO Baik”,
http://news.metrotvnews.com, 15 Januari 2018.
67
mempermudah sinergitas antara masing-masing lembaga parlemen. Oesman Sapta
Odang sendiri tidak menduga dirinya adalah sosok yang diidolakan oleh beberapa
anggota DPD RI menjadi pemimpin DPD RI selama dua tahun enam bulan tahun,
terhitung sejak 2017-2019. Kedua calon pimpinan DPD RI lainnya, Nono
Sampono dan Darmayanti Lubis bersepakat untuk menyerahkan sepenuhnya
posisi ketua DPD RI kepada Oesman Sapta Odang dan secara legowo menjadi
wakil ketua DPD RI periode 2017-2019.29
Apabila dilihat dari segi semangat kedaerahan dan pengalamannya,
Oesman Sapta Odang memang dinilai cukup layak mengisi bangku pimpinan
DPD RI. Namun sayangnya nilai tersebut berkurang akibat status rangkap jabatan
sebagai wakil ketua MPR dan ketua partai Hanura yang masih ia emban. Hal yang
demikian itu menimbulkan reaksi negatif dari berbagai pengamat politik dan
hukum. Beberapa dari mereka mencurigai pelantikan Oesman Sapta Odang
sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019 tidak melalui tahapan prosedural yang
jelas dan telah melabrak aturan hukum yang ada.
Pada sidang pertamanya sebagai ketua DPD RI, Oesman Sapta Odang
menuai banyak interupsi di awal persidangan oleh beberapa anggota DPD RI yang
merasa penetapan dirinya sebagai ketua DPD RI adalah tidak sah.30 Akan tetapi
hal yang demikian itu tidak berlangsung lama, dengan sikap tegas Oesman Sapta
Odang mengambil alih persidangan dan mengakhirinya dengan lancar. Di
29 Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI,
Oesman Sapta Odang, hal. 66. 30 Markus Junianto Sihaloho, “Sidang Pertama OSO Sebagai Ketua DPD Sempat Ricuh”
http://www.beritasatu.com, 11 April 2017.
68
samping segala pro kontra yang terjadi di awal kepemimpinannya, Oesman Sapta
Odang membuktikan bahwa pemilihan dirinya adalah suatu hal yang tepat.
terbukti selama menjabat sebagai ketua DPD RI, keharmonisan DPD RI dalam
berlegislasi berjalan dengan baik selama di bawah naungan kepemimpinan
Oesman Sapta Odang, tidak ada kegaduhan yang begitu berarti antar internal DPD
RI maupun dengan lembaga negara lain.
C. 3. Kontroversi dan Kasus-kasus
Sebagian politisi hampir tidak bisa terlepas dari yang dinamakan
kontroversi, mulai dari yang bersifatnya relatif sampai juga yang bersifat
normatif. Anggapan ini dapat dirasakan pada kasus pemilihan Oesman Sapta
Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019. Penetapan dirinya sebagai ketua
DPD RI terbilang penuh kontroversi, karena alasan legalitas hukum yang masih
menuai perdebatan di antara kalangan internal anggota DPD RI. Produk hukum
yang dimaksud tersebut adalah tentang aturan masa jabatan pimpinan DPD RI.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN) Indonesia, Mahfud MD, berpandangan bahwa pemilihan
pimpinan DPD RI 2017 adalah ilegal. Karena berlawananan dengan putusan
Mahkamah Agung (MA) No. 38P/HUM/2017 dan No. 20P/HUM/2017. Selain
itu, mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menyoroti perihal dominasi
69
anggota politik yang merangkap sebagai anggota DPD RI. Tercatat lebih dari 50%
anggota DPD RI yang berasal dari partai politik.31
Selain itu, yang tidak kalah menuai kontroversi adalah status rangkap
jabatan Oesman Sapta Odang sebagai pejabat negara aktif (ketua DPD RI periode
2017-2019 dan wakil ketua MPR RI periode 2014-2019) dan juga posisinya
sebagai ketua partai politik Hanura. Walaupun demikian, Oesman Sapta Odang
menganggap hal tersebut merupakan suratan takdir dari yang maha kuasa dan
lebih memilih untuk menyikapi dengan biasa.32
Pada 2018, Oesman Sapta Odang kembali terlibat dalam kontroversi. Hal
ini berkaitan dengan putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang
pengurus partai politik untuk maju sebagai anggota DPD RI pada pemilihan
umum 2019. Oesman Sapta Odang yang statusnya sebagai pengurus partai politik
(ketua partai Hanura) mengutarakan kekecewaannya dengan melontarkan kalimat
negatif terhadap MK saat sedang dalam acara talk show Kompas TV. Oesman
Sapta Odang mengatakan MK itu goblok, atas ucapan itu hakim MK melakukan
somasi terhadap dirinya dengan dalih telah merendahkan kehormatan, harkat,
martabat dan kewibawaan MK.33
31 Pranamya Dewati, “Mahfud MD Pemilihan Oesman Sapta Jadi Ketua DPD Ilegal”,
https://kumparan.com, 07 April 2017. 32 Simanullang, Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI,
Oesman Sapta Odang, hal. 70-71. 33 Elza Astari Retaduari, “Kontroversi OSO Goblokin MK”, https://news.detik.com, 01
Agustus 2018.
70
BAB IV
DINAMIKA DAN ETIKA POLITIK
PEMILIHAN KETUA DPD RI PERIODE 2017-2019,
OESMAN SAPTA ODANG
Etika didefinisikan sebagai ilmu yang mengatur tentang baik atau buruk
suatu tindakan. Sedangkan, etika politik diartikan sebagai pola tingkah laku
ketatanegaraan seseorang atau penguasa dalam hidup bernegara. DPD RI
merupakan bagian dari kekuasaan negara yang berwujud lembaga legislatif.
Kekuasaan dalam negara seringkali diperebutkan dengan cara mengsampingkan
moral dan norma. Seiring dengan maraknya peristiwa tersebut, etika politik sangat
dibutuhkan kehadirannya untuk mengontrol tindakan sosial demi menciptakan
karakter penguasa yang moralis. Bab kali ini, penulis membahas bagaimana
kemudian etika politik berfungsi terhadap proses pemilihan ketua DPD RI periode
2017-2019, Oesman Sapta Odang. Dengan tahapan menjelaskan dinamika
pemilihan secara lebih dalam bersama dengan sumber-sumber kekuasaan yang
menjadi syarat Oesman Sapta Odang bertindak sebagai ketua DPD RI.
A. Dinamika Pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD RI
Periode 2017-2019
Pemilihan ketua DPD RI merupakan bagian dari pada pemilihan pimpinan
DPD RI, keduanya terangkum menjadi satu dalam peristiwa yang terjadi secara
bersamaan. Pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 yang menentapkan
71
Oesman Sapta Odang sebagai ketua ditemani oleh Nono Sampono dan
Darmayanti Lubis sebagai wakil ketua DPD RI I dan II merupakan fenomena
politik yang menarik untuk diteliti. Lembaga yang anggotanya berasal dari wakil
daerah di Indonesia ini memperlihatkan betapa kerasnya kehidupan berpolitik, hal
tersebut tercermin dari konflik yang terjadi sepanjang jalannya proses pemilihan,
yang membuat DPD RI terbelah menjadi dua kubu. Terdiri dari kelompok yang
menginginkan adanya pergantian pimpinan baru dan kelompok yang memilih
untuk mempertahankan pimpinan yang lama (tidak ingin adanya pergantian
pimpinan).
Pada hakekatnya, perpecahan di antara dua kubu yang mengganggu
kekompakan internal DPD RI ini telah berlangsung sejak lama, yaitu sejak
periode ke dua DPD RI, begitupula keinginan perubahan masa jabatan pimpinan
DPD RI. Pakar hukum tata negara, Refly Harun1 berpendapat bahwa pemicu
terciptannya ide tersebut antara lain rasa ketidakpuasan terhadap kinerja
kepemimpinan Irman Gusman selama menjabat sebagai ketua DPD RI pada
periode 2009-2014, 2014-2017 dan wakil ketua DPD RI periode 2004-2009 dan
juga rasa ketidaksenangan terhadap masa kekuasaan pimpinan yang terlalu lama.
H. Ahmad Nawardi, salah seorang anggota DPD RI daerah pemilihan
Jawa Timur memberikan pendapatnya terkait masa kekuasaan pimpinan DPD RI
tersebut.
“Kekuasaan seseorang itu membuat kita itu kalau sudah lama berkuasa itu lupa.
Politik itu kan gitu, harus ada batasan. Di sini kalau lima tahun bagi kita, pikiran
1 Refly Harun “Legalitas Pimpinan DPD”, https://nasional.kompas.com, 28 April 2017.
72
kita dulu, jadi ketua itu lima tahun itu teralu lama kalau di lembaga ini,
seharusnya cukup dua tahun setengah. Berbeda dengan memimpin sebagai
Presiden, Gubernur, Bupati misalnya yang punya kekuasaan yang sangat luas
memimpin rakyat langsung sebagai eksekutif. Dia membahas anggaran, membuat
program, menciptakan pembangunan dan lain sebagainya. Kalau DPD kan tidak,
hanya memimpin lembaga kecil, menurut saya lembaga negara yang anggotanya
tidak terlalu banyak, hanya beberapa alat kelengkapan dan mempunyai
kewenangan yang tidak teralu kuat.”2
Akan tetapi ide perubahan masa jabatan pimpinan masih dapat
dikonsolidasikan dan dikoordinasikan oleh anggota DPD RI, dan masa jabatan
pimpinan tetap selama lima tahun. Memasuki periode ke tiga DPD RI, ide
perubahan tersebut terwujud melalui mekanisme voting yang dilaksanakan dalam
sidang paripurna luar biasa DPD RI pada 15 Januari 2016. Dari 63 suara yang ada,
di antaranya 17 suara mendukung masa jabatan pimpinan selama lima tahun, 44
suara mendukung selama dua tahun enam bulan dan 2 suara abstain. Hasil tersebut
menjadi dasar DPD RI menetapkan Tata Tertib No. 1 Tahun 2016 dan No. 1
Tahun 2017.3
Konflik yang terjadi pada pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-
2019 disebabkan oleh perbedaan pandangan legalitas hukum terkait masa jabatan
pimpinan DPD RI. Aturan yang dimaksud tersebut adalah putusan MA No.
38P/HUM/2016 yang membatalkan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2016,4 dan
No. 20P/HUM/2017 yang membatalkan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2016
No. 1 Tahun 2017 yang memberlakukan surut masa jabatan pimpinan DPD RI
2 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad
Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB. 3 Yuniati Setiyaningsih, “Analisis Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia” https://media.neliti.com, hal. 17. 4 Keputusan Mahkamah Agung No. 38P/HUM/2016 tentang Uji Materil terhadap
Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib.
73
2014-2019 menjadi dua tahun enam bulan atau berakhir pada April 2017.5
Keputusan MA itu bertujuan untuk menjelaskan bahwa Tata Tertib DPD RI yang
dimaksud bertentangan dengan pasal 260 ayat 1 Undang-Undang tentang MPR,
DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3).6
Pemilihan Ketua DPD RI periode 2017-2019 merupakan bagian dari
agenda sidang paripurna DPD RI ke-9 yang dilaksanakan pada 3-4 April 2017, hal
tersebut bersamaan dengan pemilihan wakil ketua DPD RI yang menjadi satu
kesatuan ke dalam pemilihan pimpinan DPD RI. Proses sampai dilantiknya
Oesman Sapta Odang oleh MA sebagai ketua DPD RI tidak terbilang mudah,
butuh waktu lama untuk bermusyawarah menyatukan pandangan dan pendapat
untuk sampai pada tahapan tersebut.
Pada saat setelah Gusti Kanjeng Ratu Hemas, ketua sidang mengetok palu
membuka sidang paripurna ke-9, persidangan sudah diwarnai dengan cuitan
interupsi dari beberapa anggota DPD RI, sebagian besar dari mereka merasa
janggal dengan agenda sidang yang direncanakan oleh ketua sidang. Berdasarkan
pada undangan sidang yang mereka terima pada 20 Maret 2017, tertulis bahwa
agenda sidang paripurna DPD RI 3 April 2017 adalah pemilihan pimpinan DPD
RI periode April 2017-September 2019. Namun Gusti Kanjeng Ratu Hemas
selaku ketua sidang dan salah seorang yang pro terhadap masa jabatan pimpinan
5 Keputusan Mahkamah Agung No. 20P/HUM/2017 tentang Uji Materil terhadap
Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib. 6 Yanzah Bagas Nugraha dan Dwi Andayani Budisetyowati. “Analisis Penyelesaian
Sengketa Internal Lembaga Negara Studi Kasus Pelantikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia,“ Jurnal Hukum Universitas Tarumanegara Vol. 1. No. 1, 2018, hal. 14.
74
selama lima tahun bersikukuh untuk melaksanakan sidang dengan agenda utama
penyampaian ikhtisar MA terkait Tata Tertib DPD RI. Perubahan agenda tersebut
buah dari rapat panitia musyawarah yang tidak selesai pada 2 April 2017 atau
sehari sebelum dilaksanakannya sidang paripurna.7
Kondisi persidangan semakin tidak terakomodir atas langkah yang diambil
oleh pimpinan sidang, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, yang menyebabkan sebagian
anggota DPD RI semakin lantang menyuarakan protes terhadap keputusan
pimpinan yang sepihak. Mereka menduga tersimpan agenda tersembunyi di balik
ini semua, yang sudah Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan kawan-kawan rencanakan
secara matang agar pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 batal.
Kelompok anggota DPD RI yang ingin adanya pembaharuan pimpinan
DPD RI menganggap undangan sidang dengan agenda pemilihan pimpinan DPD
RI yang tertulis di dalam keputusan panitia musyawarah DPD RI No. 5/Panmus
DPD/III/2016-20178 masih berstatus aktif dan tidak pernah dicabut sampai tiba
undangan dengan agenda baru. Mereka menolak keras perubahan agenda sidang
secara mendadak (satu hari sebelum sidang paripurna dilaksanakan). Karena
tindakan tersebut tidak sesuai dengan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2017 pasal
7 Risalah Sidang Paripurna DPD RI Ke-9 Masa Sidang III Tahun Sidang 2016-2107, hal.
4-7. 8 Keputusan panitia musyawarah DPD RI N0. 5/Panmus DPD/III/2016-2017 merupakan
keputusan yang ditandatangani langsung oleh pimpinan DPD RI Muhammad Saleh, Gusti Kanjeng
Ratu Hemas dan Farouk Muhammad pada 9 Maret 2017.
75
249,9 yang tidak memungkinkan panitia musyawarah melakukan perubahan
agenda sidang di bawah dua hari.
Selain itu, kelompok pembaharu menilai putusan MA No. 38P/HUM/2016
dan No. 20P/HUM/2017 tidak mengikat karena datang terlambat pada 30 Maret
2017, saat DPD RI telah mengagendakan sidang pada 9 Maret 2017. H. Ahmad
Nawardi dalam wawancaranya dengan penulis turut memberikan keterangan yang
sama terkait hal tersebut.
“Putusan MA itu turun ketika kita sudah mengagendakan pemilihan pimpinan
ketua DPD. Sudah mengagendakan, sehari sebelum pemilihan itu baru turun
putusan itu diputus. Di situlah terjadi perdebatan karena di tatib juga agenda
paripurna itu tidak bisa diubah kalau hanya sehari. Panmus (panitia musyawarah)
boleh mengubah minimal dua kai dua puluh empat jam, atau dua hari
sebelumnya, tidak boleh mendadak.”10
Pimpinan DPD RI periode 2014-2017 secara tertulis telah menyatakan
siap mengakhiri masa jabatannya pada 3 April 2017, Namun mereka berubah
haluan dengan cara mengajukan judicial review ke MA secara diam-diam tanpa
sepengetahuan anggota DPD RI dengan tujuan menggagalkan pemilihan pimpinan
DPD RI 2017-2019. Inkonsistensi pimpinan DPD RI ini yang menyebabkan
9 Berdasarkan Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib DPD RI pasal
249 bagian tata cara mengubah acara sidang atau rapat menjelaskan bahwa ayat (1) Alat
kelengkapan DPD dapat mengajukan usul perubahan kepada pimpinan DPD mengenai acara yang
telah ditetapkan oleh panitia musyawarah, baik mengenai perubahan waktu maupun mengenai
masalah baru, yang akan diagendakan untuk segera dibicarakan dalam rapat panitia musyawarah.
(2) Usul perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1), diajukan secara tertulis dengan menyebutkan
waktu dan masalah yang diusulkan paling lama tiga hari sebelum acara rapat yang bersangkutan
dilaksanakan. (3) Pimpinan DPD mengajukan usul perubahan, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), kepada panitia musyawarah untuk segera dibicarakan. (4) Panitia musyawarah membicarakan
dan mengambil keputusan tentang usul perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3). (5) Keputusan panitia musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengubah
acara sidang atau rapat dan memberitahukan perubahan acara sidang atau rapat tersebut kepada
seluruh anggota paling lambat dalam dua hari. (6) Apabila panitia musyawarah tidak dapat
mengadakan sidang, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (7). 10 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad
Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB.
76
kemarahan sebagian besar anggota DPD RI lain. Gede Pasek Suardika ikut
memberikan keterangan terkait hal tersebut.
“Mereka (pimpinan DPD RI periode 2017-2019) yang sudah memegang jabatan
tidak mau melepaskan jabatan dengan baik, meskipun itu sudah disahkan oleh
mereka sendiri, yang memimpin yang mengesahkan yang ikut mengetok palunya.
Tetapi kemudian setelah ini berjalan sambil menunggu tahapan dua tahun enam
bulan, mereka sudah membuat sebuah surat bahwa mereka akan menjabat pas
dengan masa jabatan yang itu, ada suratnya, SK No. 44 kalau tidak salah.
Kemudian diam-diam dilakukan judicial review ke MA tanpa sepengatahuan
semua. Jadi di situ terjadi kubu yang kalah dalam voting sebagian ini menggugat,
kemudian yang menjawab ini pimpinan yang dalam satu kubu. Ini kan tidak
muncul di publik, siasat tidak sehat ini tidak muncul di publik. Kemudian MA
pun membuat keputusan pun aneh, dalam waktu yang singkat dia langsung
mengeluarkan putusan itu, dan kemudian diperbaiki lagi putusan itu. Putsuan
yang sudah diberikan, yang sudah sah kemudian diperbaiki lagi karena di
dalamnya ada salah isi. Dan itu tidak pernah diketahui dan tidak pernah dibawa
ke peripurna, jadi inilah yang menyebabkan semakin marah anggota yang lain.”11
Inkonsistensi pimpinan DPD RI ini yang menyebabkan kemarahan
sebagian besar anggota DPD RI lain. Akan tetapi Gusti Kanjeng Ratu Hemas tetap
pada pendirian membacakan putusan MA dan membatalkan Tata Tertib DPD RI
No. 1 Tahun 2016 dan No. 1 2017 yang kemudian menutup dengan sekali ketokan
palu. Spontan sebagian banyak anggota DPD RI melakukan interupsi, mengecam
dan menolak tindakan Gusti Kanjeng Ratu Hemas karena keputusan tersebut
bersifat sepihak bukan berbasis pada kedaulatan forum.
Tindakan tersebut berbuntut pada mosi tidak percaya anggota DPD RI
terhadap kepemimpinan Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Tercatat terdapat lima puluh
empat anggota DPD RI menandatangi mosi tidak percaya. Di bawah kendali
Benny Rhamdani (anggota DPD RI daerah pemilihan Sulawesi Utara), mereka
11 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede
Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.
77
mendesak Farouk Muhammad untuk mengambil alih jalannya persidangan dan
segera mencabut keputusan Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang kontroversial.
Farouk Muhammad resmi memimpin persidangan dan mencabut putusan
sepihak Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Lobi-lobi politik tetap berlangsung alot
antara kedua belah pihak. Namun berdasarkan pada keputusan DPD RI No.
44/DPD RI/III/2016-2017 mengharuskan Farouk Muhammad untuk mundur dari
kursi kepemimpinan karena waktu telah lewat dari 3 April 2017. A.M. Fatwa dan
Riri Damayanti John Latif selaku anggota DPD RI tertua dan termuda
melanjutkan amanah Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2017 pasal 48 ayat (2)
dengan menjadi pimpinan sementara.
Persidangan sudah semakin cair, sebagian anggota DPD RI sudah dapat
mengontrol emosinya meskipun masih terdapat sedikit perdebatan. Mereka
sepakat bahwa agenda pertama adalah pemilihan pimpinan DPD RI 2017-2019
dan kedua pembacaan keputusan MA terkait Tata Tertib DPD RI dan bukan untuk
dikaji. Serangkaian peristiwa yang menimbulkan perpecahan di dalam internal
DPD RI, perlahan sudah menemui titik terang dan memasuki pada fase penentuan
pimpinan DPD RI yang baru.
Sesuai dengan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2017 pasal 50 dan pasal
49 menggariskan bahwa mekanisme pemilihan pimpinan DPD RI dilakukan
dengan mengedepankan prinsip musyawarah mufakat, keterwakilan wilayah
Timur, Tengah, Barat dan memperhatikan keterwakilan perempuan.12 Selain itu,
12 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib pasal 50 dan 49.
78
pemilihan juga harus melalui dua forum yaitu forum wilayah dan forum nasional,
serta melewati tiga tahapan yaitu, pertama wilayah masing-masing menguslkan
maksimal tiga nama. Kedua setiap anggota memilih satu nama dari masing-
masing wilayah untuk menghasilkan tiga nama tertinggi. Ketiga tiga nama terpilih
pada tahap kedua, dibawa ke forum nasional untuk menentukan ketua dan wakil
ketua.
Berdasarkan aturan tersebut, tahapan pertama berhasil terjaring enam
bakal calon terdiri dari tiga orang wilayah Barat yaitu Darmayanti Lubis (Sumatra
Utara), Andi Surya (Lampung), Abdul Aziz (Sumatera Selatan), satu orang
wilayah Tengah yakni Oesman Sapta Odang (Kalimantan Barat) dan dua orang
wilayah Timur yaitu Bahar Ngitung (Sulawesi Selatan) dan Nono Sampono
(Maluku). Tahapan kedua, nama-nama bakal calon pimpinan semakin mengerucut
dan menyisakan tiga nama. Darmayanti Lubis mewakli wilayah Barat, Oesman
Sapta Odang tetap pada posisinya menjadi calon tunggal dari wilayah Tengah dan
Nono mewakili wilayah Timur.13
Pada pemilihan tahap ketiga, Oesman Sapta Odang yang belum hadir di
persidangan diminta untuk datang dan segera melakukan musyawarah mufakat
bersama dengan Darmayanti Lubis dan Nono Sampono untuk memutuskan ketua
DPD RI dan wakil ketua DPD RI I dan II. Mereka bertiga sepakat untuk
menjadikan Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD RI, Nono Sampono
menjadi wakil ketua DPD RI I dan Darmayanti Lubis menjadi wakil ketua DPD
13 Risalah Sidang Paripurna DPD RI Ke-9 Masa Sidang III Tahun Sidang 2016-2107, hal.
92.
79
RI II. Menariknya tidak ada dari mereka yang menyinggung masalah kode etik
atau status rangkap jabatan Oesman Sapta Odang. Berselang tiga jam setelah
pemilihan pimpinan DPD yang berakhir pada Selasa, 4 April 2017, pukul 16.05
WIB, ketiga pimpinan terpilih mengucapkan sumpah sebagai ketua dan wakil
ketua dituntun oleh wakil ketua MA, Suwardi.
Di penghujung sidang, Oesman Sapta Odang memberikan sambutan
pertama sebagai ketua DPD RI terpilih periode 2017-2019 di hadapan anggota
DPD RI, mengucapkan rasa syukur yang sebanyak-banyaknya atas rahmat Allah
SWT, dan mengetok palu sebanyak tiga kali pertanda sidang paripurna resmi
ditutup, tepat pada Selasa, 4 April 2017 pukul 19.58 WIB.14 Secara prosedural
seluruh tahapan sudah terselesaikan, namun kekecewaan masih belum hilang dari
kelompok yang mendukung masa jabatan pimpinan selama lima tahun, khususnya
seperti yang diutarakan oleh wakil ketua DPD RI periode 2014-2017, Gusti
Kanjeng Ratu Hemas.
“Yang melakukan pemilihan ini tidak patuh pada hukum, tentang apa yang sudah
diputuskan oleh Mahkamah Agung karena harusnya dia menggunakan Tatib
Nomor 1 Tahun 2014, sehingga mereka melakukan dengan mengatakan bahwa
Tatib Nomor 1 Tahun 2017 itu masih berlaku. Jadi berarti tidak mematuhi apa
yang diputuskan oleh Mahkamah Agung”15
Sebagian dari kelompok yang kontra adanya pembaharuan pimpinan DPD
RI mempertanyakan sikap MA melantik pimpinan DPD RI periode 2017-2019
dan meduga bahwa MA yang diketuai oleh Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H, M.H
14 Risalah Sidang Paripurna DPD RI Ke-9 Masa Sidang III Tahun Sidang 2016-2107, hal.
112-113. 15 Frisca Clarissa, “Wawancara Kompas Petang dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas,
Wakil Ketua DPD RI periode 2014 - 2017 tentang Kontroversi Pimpinan Baru DPD RI ”,
https://www.youtube.com, 05 April 2017.
80
sudah ikut bermain politik, karena dalam hal ini bertindak tidak independen
menegakkan hukum. peristiwa semacam ini tentunya tidak diharapkan terjadi
karena akan mencederai marwah lembaga hukum itu sendiri. Lebih lanjut, Gusti
Kanjeng Ratu Hemas mengharapkan Mahkamah Agung bersikap adil dan tidak
berat sebelah terkait putusan masa jabatan pimpinan DPD RI.
“Jadi yaitu yang saya pertanyakan adalah kenapa justru Mahkamah Agung
melantik DPD yang tadi malam dilakukan, sehingga saya mempertanyakan
kepada Mahkamah Agung bahwa kami sendiri sebetulnya dengan keputusan
Mahkamah Agung, kami patuh pada hukum. Saya tentunya mengharapkan, saya
minta supaya Mahkamah Agung melakukan yang terbaik untuk apa yang sudah
diputuskan. Saya seharusnya tetap mengharap dan meminta Mahkamah Agung
sesuai dengan apa yang diputuskan itu sebetulnya tidak bisa melantik pimpinan
DPD yang tidak sah”.16
B. Analisis Etika Politik terhadap Pemilihan Ketua DPD RI periode 2017-
2019, Oesman Sapta Odang
B. 1. Etika Pemilihan Ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta
Odang
Dalam beberapa bulan pasca pelantikan pimpinan DPD RI periode 2017-
2019, muncul penilaian publik tentang pelanggaran etika yang dilakukan oleh
Oesman Sapta Odang atas status rangkap jabatanya sebagai ketua DPD RI, wakil
ketua MPR RI dan ketua umum partai Hanura. Tidak sedikit dari mereka
beranggapan hal tersebut sebagai langkah mundur suatu lembaga perwakilan
daerah. Mereka juga memandang DPD RI tidak sungguh-sungguh dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dalam merespon kepentingan-kepentingan
16 Frisca Clarissa, “Wawancara Kompas Petang dengan Gusti Kanjeng Ratu Hemas,
Wakil Ketua DPD RI periode 2014 - 2017 tentang Kontroversi Pimpinan Baru DPD RI”,
https://www.youtube.com, 05 April 2017.
81
daerah di Indonesia, dan bahkan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
partai politik dibandingkan kepentingan publik dan daerah.
Memilih Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI dan dengan
statusnya yang masih aktif sebagai wakil ketua MPR RI dapat memicu terjadinya
konflik kepentingan yang berujung pada tindakan korupsi. Selain itu, dualisme
jabatan pemerintah juga membawa potensi duplikasi anggaran. Jabatan sebagai
ketua DPD RI periode 2017-2019 pun dipandang bertentangan oleh hukum karena
tidak sesuai dengan putusan MA No. 38P/HUM/2016 dan No. 20P/HUM/2017.17
Melaui fenomena tersebut, etika hadir dengan tujuan agar tatanan
perpolitikan di suatu negara dapat berjalan dengan baik, bermartabat dan sesuai
dengan aturan moral yang mengikat atau yang disebut juga dengan kode etik.
Ahmad Nawardi, sebagai anggota DPD RI yang secara langsung ikut
melaksanakan pemilihan tersebut, menilai Oesman Sapta Odang tidak melanggar
etika politik apapun, ia maju terpilih sesuai dengan jalur hukum dan peraturan
Tata Tertib DPD RI.
“Itu kan tidak diatur di dalam undang-undang atau tatib, jadi tidak ada larangan
dia sebagai wakil ketua MPR dan ketua DPD, kemarin itu pak Oesman Sapta
Odang sempat menyatakan pengunduran diri dari MPR beberapa bulan yang lalu,
tetapi pada waktu itu anggota DPD tidak menyetujui kepengunduran diri itu. Jadi
tetap dia harus melakukan mekanisme lewat paripurna, menyatakan pengunduran
diri itu akan tetapi tidak disetujui pengunduran diri itu oleh anggota. Karena
anggota tidak ingin terjadi gejolak politik di internal lagi, ada perebutan pimpinan
MPR sehingga terjadi gejolak dinamika di internal lagi”.18
17 A15, “Polemik Rangkap Jabatan Pejabat Publik” https://pinterpolitik.com, 26 Mei
2017. 18 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad
Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB.
82
Anggapan mengenai Oesman Sapta Odang yang telah melanggar etika
politik selain telah ditegaskan oleh Ahmad Nawardi, diperjelas juga oleh Gede
Pasek Suardika. Ia menjelaskan bahwa Oesman Sapta Odang tidak melanggar
etika apapun, karena tidak diatur di dalam Tata Tertib DPD RI tentang hal
tersebut. Akan tetapi Oesman Sapta Odang sempat menyatakan keinginannya
untuk mundur dari jabatan wakil ketua MPR RI pada sidang paripurna DPD RI
namun anggota DPD RI menolak permintaan kemundurannya dengan alasan demi
efektifitas waktu kerja DPD RI.
“Tidak diatur di kode etik, di tatibnya tidak diatur, karena itu kan paripurna,
beliau sudah menyampaikan kemudurannya supaya tidak merangkap jabatan.
Akhirnya vote udah terus saja, biarkan saja, tanggung sudah akhir musim seperti
ini, toh juga yang mengganti mau ngapain di situ. Waktu sudah mau kampanye,
kita jadi berpikir tidak perlu ada pergantian.19
Di dalam kode etik DPD RI itu sendiri tidak ada aturan yang melarang
seorang anggota DPD RI menjabat sebagai anggota atau pengurus partai politik,
hanya saja dalam peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib
pasal 286 ayat (1) tertulis bahwa anggota DPD RI dilarang merangkap jabatan
sebagai pejabat negara lainya. Jabatan yang dimaksud di antaranya adalah hakim
pada badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota TNI / POLRI, pegawai
BUMN atau BUMD serta badan negara lain yang anggarannya bersumber dari
APBN / APBD.20
Berdasarkan aturan tersebut tertulis secara jelas larangan beberapa jabatan
yang dilarang bagi anggota DPD RI untuk merangkap. Tidak terdapat catatan
19 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede
Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB. 20 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib pasal 286 ayat (1).
83
khusus bagi yang merangkap jabatan sebagai anggota atau pimpinan MPR RI.
Kesekjenan DPD RI juga menjamin tidak ada duplikasi anggran bagi Oesman
Sapta Odang di DPD RI ataupun di MPR RI. Sekjen DPD RI, Sudarsono
Hardjosoekarto menjelaskan terkait hal tersebut.
“Kami kesekjenan DPD dan kesekjenan MPR sudah duduk bersama untuk
memetakan mana yang jadi bagian pengeluaran DPD dan mana pengeluaran
MPR. Jadi tidak ada duplikasi. Jadi dalam konteks pengelolaan dan penggunaan
Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN), ketua DPD yang sekaligus ketua
MPR, tidak perlu dikhawatirkan.”21
Selain itu pula, tidak ada larangan bagi anggota atau pengurus partai
politik menjadi anggota DPD RI. Hal tersebut berbasis putusan MK No. 10/PUU-
VI/2008 yang memperbolehkan anggota partai politik mengikuti pemilihan
anggota DPD RI pada pemilihan umum 2009. A.M. Fatwa selaku pimpinan
sidang paripurna pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI 2017-
2019 mendukung penuh diperbolehkannya anggota partai politik terlibat dalam
lembaga DPD RI.22
Berbasis pada kode etik DPD RI dan putusan MK No. 10/PUU-VI/2008,
maka status ketua umum partai politik yang dijabat ketua DPD RI periode 2017-
2019 terpilih, Oesman Sapta Odang bukan merupakan pelanggaran etika.
Dikatakan demikian, karena sudah sesuai dengan standar aturan hukum yang
mengikat, dan keterpilihannya dengan harapan mampu menguatkan peran DPD RI
secara lebih maksimal.
21 A15, “Polemik Rangkap Jabatan Pejabat Publik” https://pinterpolitik.com, 26 Mei
2017. 22 Fatwa, DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah dan NKRI,
hal. 13.
84
B. 2. Sudut Pandang Dimensi Etika Politik
Dalam ilmu politik teori-teori yang tercipta akan terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman sehingga membentuk suatu asumsi dalam proses-
proses ilmu politik. Hal yang demikian ini memberi sinyal positif bagi para
akademisi atau ilmuwan politik dalam menganalisa fenomena-fenomena politik
yang seringkali terjadi di ruang publik.
Ruang publik itu sendiri adalah ruang kebebasan politik yang mencakup
semua bentuk institusi politik dan lingkup yang memfasilitasi aktivitas warga
negara untuk secara bebas mengkomunikasikan diri dengan orang lain. Seperti apa
yang terjadi satu tahun belakangan ini pada institusi politik di Indonesia yakni
DPD RI. Banyak pengamat politik di Indonesia yang menganalisis perilaku politik
para politisi yang bernaung di bawah lembaga wakil daerah ini. Seperti yang
sedang ramai dianalisa oleh para pengamat politik belakang ini adalah dinamika
pemilihan pimpinan DPD RI periode 2017-2019 dan juga status rangkap jabatan
Oesman Sapta Odang atas keterpilihannya sebagai ketua DPD RI periode 2017-
2019. Penulis juga ikut menganalisis fenomena tersebut dengan meletakan teori
etika politik dan kekuasaan sebagai dasar penelitian.
Anggapan beberapa pihak mengenai adanya pelanggaran etika yang telah
dilakukan oleh Oesman Sapta Odang atas status rangkap jabatannya sebagai ketua
DPD RI, wakil ketua MPR RI dan ketua partai Hanura merupakan fenomena baru
dalam tubuh DPD RI. Sebab ketua DPD RI sebelumnya tidak ada yang
merangkap jabatan sebagai pimpinan MPR RI ataupun sebagai ketua partai
85
politik. Pada kasus Oesman Sapta Odang ini apabila ditinjau dari teori etika dan
kekuasaan maka memiliki jawaban tersendiri. Seperti pada kebanyakan peneliti
sebelumnya, kali ini penulis juga menggunakan tiga konsep dimensi etika politik
yakni tujuan, sarana dan aksi politik untuk menganalisis etika politik dari Oesman
Sapta Odang. Penulis juga menggunakan teori kekuasaan terdiri cara meraih
kekuasaan serta sumber-sumber kekuasaan, yang antara lain meliputi wibawa,
wewenang, dan kharisma.
Teori-teori tersebut merupakan alat pengukur penulis guna memperkuat
argumen tentang penelitian ini sehingga menjadi jawaban atas pertanyaan masalah
penelitian. Pengertian teori yang dipaparkan sebelumnya akan sangat erat
relevansinya dengan penelitian ini, bagaimana sebuah etika itu dipegang dan
dilaksanakan oleh seseorang dalam kasus ini adalah Oesman Sapta Odang sesuai
dengan keyakinannya sendiri sebagai sebuah batas dalam mengontrol baik atau
buruknya suatu tindakan. Berperannya sebagai politisi maka Oesman Sapta Odang
akan dikaji tindakan baik atau buruknya selaku politisi berdasarkan pada kode etik
profesi. Akan dikatakan beretika apabila suatu tindakan dinilai baik dan
berdampak positif serta bermanfaat bagi khalayak orang. Maka sebaliknya jika
tindakan tersebut buruk dan merugikan banyak orang, maka hal yang dilakukan
tersebut tidak termasuk ke dalam definisi etis.
Berbicara mengenai etika politik, sejatinya dihadapkan pula dengan etika
individual dan etika sosial. Etika politik tidak hanya mengkaji masalah perilaku
politikus saja, ia juga berkesinambungan dengan dengan praktik institusi sosial,
hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, dan ekonomi. Maka dalam
86
perjalanan penelitian ini penulis tidak hanya memfokuskan pada diri Oesman
Sapta Odang secara khusus tapi mellihat juga bagaimana peran institusi (DPD RI)
dalam merefleksikan etika politik itu sendiri. Individu dan institusi keduanya
merupakan dua dimensi etika yang saling mendukung, individu sebagai stabilitas
tindakan dari dalam diri pelaku sedangkan institusi sebagai stabilitas tindakan dari
luar diri pelaku.
Secara keseluruhan etika politik mempunyai tiga dimensi dasar, yaitu
tujuan, sarana dan aksi politik.23 Ketiga dimensi ini menjadi alat pengukur
pendukung penulis untuk mengkritisi dan mengkaji etika politik pada kasus
pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang.
B. 2. 1. Dimensi Tujuan
Tujuan adalah dimensi yang paling utama dalam etika politik. Dalam hal
ini dimensi moralnya terletak pada kemampuan menentukan arah yang jelas
melalui kebijakan umum dan akuntabilitas dalam upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat dalam hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan.
Pemilihan Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD RI periode 2017-2019 salah
satu tujuannya adalah untuk penguatan peran DPD RI itu sendiri. Sosok Oesman
Sapta Odang dinilai layak menjadi ketua DPD RI dengan segala latar belakang
yang ia miliki. Pemilihan dirinya sebagai jalan untuk memperkuat DPD RI.
Tujuan tersebut pada akhirnya tercapai ketika dirinya menjadi ketua DPD RI.
23 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Kompas, 2014) hal. 33.
87
Pemilihan Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI merupakan solusi
tepat dalam upaya mewujudkan tujuan dasar DPD RI, yakni mensejajarkan
wewenang dengan DPR RI demi memperjuangkan aspirasi daerah secara utuh.
Salah seorang anggota DPD RI daerah pemilihan Bali, Gede Pasek Suardika
menjelaskan apa saja perubahan yang terjadi dalam tubuh DPD RI semasa
kepemimpinan Oesman Sapta Odang.
“Ketika pergantian pimpinan itu terjadi, mulailah penguatan itu terjadi. Presiden
diundang hadir ini kita kuat, mereka mulai menghitung posisi DPD, kemudian
kita di DPR rapat triparti menjadi lebih bagus, kita juga kemudian pertemuan di
luar kota tiga lembaga ini terjadi, mulai diposisikan berubah dengan ada
kepemimpinan yang baru sampai terakhir revisi UU MD3 pun mulai juga
diperkuat posisi DPD, sehingga DPD hari ini diberikan kewenangan tambahan
untuk melakukan pemantauan dan evaluasi Ranperda dan Perda”.24
Sesuai dengan keterangan yang disampaikan oleh Gede Pasek Suardika,
DPD RI kini memiliki tambahan wewenang melalui perubahan UU No. 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana yang tertulis pada pasal
248 ayat (1) huruf J, bahwa DPD RI mempunyai wewenang dan tugas melakukan
pemantauan dan evaluasi atas ruu perda dan perda. Selain dari pada itu, DPD RI
kini juga mengalami penambahan komposisi pimpinan DPD RI yang sebelumnya
diisi oleh satu orang ketua dan dua orang wakil ketua kini menjadi satu orang
ketua dan tiga orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD RI
dalam Sidang Paripurna DPD RI sebagaimana yang termaktub dalam pasal 260
ayat (1). Tambahan wakil ketua DPD RI tersebut diisi oleh Drs. H. Akhmad
24 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede
Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.
88
Muqowam, salah seorang anggota DPD RI dari daerah pemilihan Jawa Tengah
yang resmi dilantik pada 26 Juli 2018.25
B. 2. 2. Dimensi Sarana
Setelah dilihat dari dimensi tujuan, selanjutnya etika politik akan diuji
berdasarkan sarana. Dimensi sarana yang dimaksud dalam teori ini adalah sarana-
sarana yang memungkinkan tercapainya tujuan tersebut. Letak moralitas pada
dimensi ini tertuju pada peran etika dalam mengkritisi legitimasi keputusan-
keputusan, institusi-institusi dan praktik-praktik politik. Dengan catatan harus
mengandung dua pola normatif yakni tatanan politik seperti hukum dan institusi
harus mengikuti prinsip solidaritas dan subsidiaritas, penerimaan pluralitas, dan
struktur sosial ditata berdasarkan prinsip keadilan; kedua kekyatan-kekuatan
politik ditata berdasarkan prinsip timbal balik.
Apabila mengacu pada kasus pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019,
Oesman Sapta Odang, dimensi ini mengkritisi bagaimana institusi dan hukum
terlibat pada pengambilan keputusan untuk membantu tercapainya tujuan Oesman
Sapta Odang menjadi ketua DPD RI. Penulis dalam hal ini menemukan fakta
bahwa institusi yang terkait yakni DPD RI telah merefleksikan segala bentuk
tindakan yang mengandung asas moralitas ke dalam bentuk kode etik DPD RI.
Kode etik ini merupakan aturan Tata Tertib yang menuntun perilaku DPD RI
kepada prinsip keadilan dan prinsip timbal balik.
25 DPD RI, “UU MD3 Tambah Kewenangan DPD RI”, http://www.dpd.go.id, 29
Oktober 2018.
89
Di dalam kode etik DPD RI yang termuat pada peraturan DPD RI pasal
213 ayat (1)26 tidak ada larangan anggota DPD RI merangkap jabatan menjadi
anggota atau pengurus partai politik serta tidak ada larangan seorang pimpinan
DPD RI merangkap jabatan menjadi pimpinan MPR RI. Sedangkan secara yuridis
atau hukum, Oesman Sapta Odang sah terpilih menjadi ketua DPD RI periode
2017-2019. Hal ini didasari oleh Tata tertib DPD RI No. 3 Tahun 2017 yang
mengatur masa pimpinan DPD RI menjadi dua tahun enam bulan, dan dengan
dipandu langsung pengambilan sumpah jabatan oleh wakil ketua MA Suwardi
sehingga melegalkan Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI periode 2017-
2019 beserta Nono Sampono dan Darmayanti Lubis menemaninya menjadi wakil
ketua DPD RI. Jika demikian, maka praktik-praktik institusi dan hukum sudah
termasuk ke dalam standar penilaian etis.
B. 2. 3. Dimensi Aksi Politik
Dimensi yang ketiga ini lebih menitikberatkan pada pelaku itu sendiri,
pelaku tersebut dalam penelitian ini ialah Oesman Sapta Odang. Dimensi
moralnya terletak pada penguasaan manajemen konflik yang dilakukan oleh
pelaku yang didasari oleh bela rasa dan keberpihakan kepada yang lemah atau
korban. Oesman Sapta Odang hadir ditengah-tengah rasa kebimbangan DPD RI
dalam menemukan pemimpin yang mampu membawa DPD RI ke arah yang lebih
26 Berdasarkan Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata tertib DPD RI pasal
213 ayat (1), merangkap jabatan yang dimaksud adalah merangkap jabatan sebagai pejabat nagara
lain, merangkap sebagai Hakim pada badan peradilan, atau merangkap jabatan sebagai Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegarai
pada badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Lainnya yang sumber
anggarannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
90
baik, setelah pemimpin sebelumnya dianggap belum mampu membawa perubahan
yang signifikan bagi DPD RI. DPD RI juga beberapa kali mengalami disintegrasi
karena sering terjadinya konflik internal.
Oleh sebab itu, memilih Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI
menjadi solusi terbaik bagi DPD RI. Ia maju sebagai ketua DPD RI karena
bertekad ingin memperjuangkan aspirasi daerah yang selama ini masih belum bisa
dilakukan oleh anggota DPD RI secara optimal karena keterbatasan wewenang
dan lemahnya pimpinan sebelumnya dalam melakukan bargaining dengan
lembaga yang lain. Melalui pemilihan ini maka cita-cita dan harapan anggota
DPD RI kembali terbuka lebar. Semangat membela dan menyuarakan aspirasi
daerah kembali menggelora, tidak ada lagi rasa kekecewaan terhadap pimpinan
yang dinilai hanya bertindak individualis karena mementingkan golongannya saja
bukan DPD RI secara keseluruhan. Gede Pasek Suardika, anggota DPD RI dan
juga wakil ketua DPP partai Hanura menyuarakan pandangannya terkait hal
tersebut.
“Pak Nono itu kan tentara, bekas paspamres juga jadi punya pengalaman
lapangan dan lain-lain. Pak Oesman Sapta pengusaha, tapi ia juga politisi dan dia
salah satu perintis pembentukan DPD dulu sejarahnya. Ibu Darmayanti seorang
pendidik, guru besar, professor doktor, jadi kita menganggap ini kombinasi yang
bagus untuk memberikan alternatif baru dibandingkan yang sebelumnya yang
tipikalnya lebih menurut banyak teman-teman menikmati kepemimpnan tetapi
tidak memperjuangkan untuk memperkuat DPD, ketika pergantian pimpinan
terjadi mulai lah penguatan itu terjadi.”27
27 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede
Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.
91
C. Sumber Kekuasaan Ketua DPD RI Periode 2017-2019, Oesman Sapta
Odang
Pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 ini memiliki warna-warni
politik tersendiri. Nama-nama yang sudah tercium bau kepemimpinannya ketika
sidang paripurna seperti Nono Sampono dan Darmayanti Lubis harus mengakui
keunggulan Oesman Sapta Odang yang terpilih sebagai ketua DPD RI periode
2017-2019. Nono Sampono yang mewakili wilayah timur harus rela menjadi
wakil ketua DPD RI I dan Darmayanti Lubis yang mewakili wilayah barat harus
menempati posisi sebagai wakil ketua DPD RI II. Hal uniknya adalah Oesman
Sapta Odang yang ketika sidang paripurna tidak hadir, akhirnya dengan secara
hormat diminta untuk hadir untuk menerima secara langsung keterpilihannya. Dan
tepat pada pukul 00.45 WIB Oesman Sapta Odang tiba dan pada pukul 02.00
Oesman Sapta Odang ditetapkan sebagai ketua DPD RI terpilih secara aklamasi.28
Dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata ada beberapa sumber
kekuasaan yang menjadi dasar Oesman Sapta Odang bertindak sebagai ketua DPD
RI periode 2017-2019 dan juga menjadi faktor keterpilihannya, tiga sumber
tersebut yakni wibawa, kharisma dan wewenang. Jika ingin secara kuat dan legal
menjadi penguasa, maka dituntun untuk memiliki sumber kekuasaan tersebut.
Ketua DPD RI terpilih Oesman Sapta Odang selaku obyek utama dalam penelitian
ini akan dikaji berdasarkan pada tiga sumber tersebut untuk mengetahui faktor-
faktor yang membuat dirinya legal menduduki kursi ketua DPD RI.
28 Nabilla Tashandra, “Oesman Sapta Odang Terpilih Menjadi Ketua DPD”,
https://nasional.kompas.com, 04 April 2017.
92
C. 1. Sumber Wibawa
Kewibawaan seseorang itu tergantung pada tingkat popularitas diri. Di
dalam pemilihan ketua lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah,
popularitas figur memainkan peran penting dalam menjadikan dirinya layak
dipilih untuk memegang tongkat kekuasaan DPD RI. Popularitas merupakan key
of success karena tercakup di dalamnya kapasitas, keahlian dan keterampilan diri
seseorang dalam mengatasi berbagai macam masalah sesuai dengan apa yang ia
kuasai pada umumnya.29
Popularitas Oesman Sapta Odang sudah tidak dapat diragukan lagi di
kalangan DPD RI, ia seolah sudah menjelma menjadi icon bagi DPD RI.
Kapasitasnya sebagai wakil daerah yang memperjuangkan aspirasi-aspirasi daerah
bisa dibilang sudah sangat mumpuni. Sebab di antara sekian banyak anggota DPD
RI periode 2014-2019, Oesman Sapta Odang termasuk orang yang paling senior
karena merupakan salah satu pencetus dibentuknya DPD RI yang sebelumnya
dikenal dengan istilah utusan daerah.
Selain itu yang membuat dirinya terpilih menjadi ketua DPD RI
mengalahkan pesaing-pesaingnya adalah karena Oesman Sapta Odang
mempunyai track record yang hampir tidak dimiliki oleh sebagian besar anggota
DPD RI lain yaitu ia pernah menjadi anggota MPR RI fraksi utusan daerah
periode 1999-2004 bersamaan dengan jabatan ketua forum utusan daerah MPR
RI. Pada periode yang sama ia juga menjabat sebagai ketua fraksi utusan daerah
29 Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hal. 139-140.
93
persiapan MPR RI, yang kemudian jabatan tersebut mengantarkannya menjabat
kembali menjadi ketua fraksi utusan daerah MPR RI pada tahun 2001-2002
sampai pada akhirnya ia dipilih untuk menjadi wakil ketua MPR RI dari fraksi
utusan daerah pada periode 2002-2004 dan wakil ketua MPR RI dari DPD RI
periode 2014-2019. serta perjuangan-perjuangan lainnya yang Oesman Sapta
Odang lakukan demi memperjuangkan kepentingan daerah di Indonesia.
Di sini terlihat betapa kayanya pengalaman kedaerahan yang Oesman
Sapta Odang miliki, ditambah lagi jabatan-jabatan lain di luar jabatan politik yang
pernah ia emban seperti ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)
Kalimantan Barat 1977-1980, ketua Kamar Dagang Industri Daerah (KADINDA)
Kalimantan Barat 1983-1987, 1987-1992, 1998-2004, ketua Asosiasi Perdagangan
Jeruk Kalimantan Barat 1988, ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN), ketua
Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) 2010- 2017. Semua itu
membuktikan bahwa dirinya cukup berwibawa sehingga dinilai mumpuni untuk
menahkodai DPD RI.
Selain itu, Oesman Sapta Odang juga aktif berkontribusi dalam
pembangun Masjid Agung Oesman Al-Khair di Sukadana, Kayong Utara, Masjid
Raya Mujahidin di Pontianak dan pernah juga menjadi ketua umum DPP Gebu
Minang 2016-2021. Hal ini disampaikan oleh wakil ketua DPP partai Hanura
yang sekaligus sebagai anggota DPD RI daerah pemilihan Provinsi Bali, Gede
Pasek Suardika.
“Beliau ini banyak sekali jabatannya, dulu HKTI beliau pegang, KADIN juga
pernah, kemudian KKI, Gebu Minang, banyak sekali dari urusan keagamaan
94
sampai urusan sosial dan olah raga. Ada lagi dewan pembina remaja masjid itu
beliau juga, BKPRMI beliau juga jadi pembina, beliau aja bangun masjid itu
sudah enam belas bangun masjid. Bikin masjid terapung yang di Sukadana,
masjid raya pokonya macam-macam. Kemarin di NTB juga sempat bantu bangun
masjid. Orang yang tahu beliau itu akhirnya mengajak beliau memegang berbagai
jabatan. Sekarang tinggal hanya aktifitas politik, aktifitas sosial budaya, aktifitas
keagamaan. Itu di rumahnya juga selalu mengundang anak yatim, penuh sampai
luar, istigotsah beliau bikin, macam-macam pokonya”. 30
C. 2. Sumber Kharisma
Untuk dapat menjadi seorang penguasa dibutuhkan pula unsur yang satu
ini yakni kharisma. pada hakikatnya kharisma merupakan garis keturunan para
raja terdahulu atau penguasa sebelumnya. Selain itu, karisma juga merupakan
kombinasi dari pesona dan daya tarik pribadi yang dicapai atas kontribusi yang
luar biasa sehingga mencapai suatu perubahan. Soekarno adalah salah satu contoh
tokoh negeri yang dipredikat sebagai pemimpin yang kharismatik atas
pencapaiannya dan perjuangannya membela dan memerdekakan Indonesia.31
Sebagaimana yang didefinisikan itu, Secara silsilah Oesman Sapta Odang
bukan berasal dari keturunan keluarga yang bermartabat seperti halnya penguasa
pada umumnya. Orang tuanya hanya seorang rakyat biasa, Ibunya Asnah Hamid
adalah seorang penjahit pakaian. Akan tetapi, menurut penilaian penulis sifat
kharismatik yang ada di dalam diri Oesman Sapta Odang itu justru terpancar dari
kontribusi dan perjuangannya dalam membuat suatu perubahan bagi negeri. Salah
satu bukti perjuangannya adalah dengan terbentuk DPD RI sebagai lembaga
keparlemanan Indonesia.
30 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede
Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB. 31 Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hal. 139-140.
95
Gede Pasek Suardika memiliki penilaian yang sama bahwa sosok Oesman
Sapta Odang adalah sosok yang berkharisma karena berani dalam bersikap dan
memiliki keterpengaruhan yang tinggi. Di usianya yang sudah tidak lagi muda dan
kehidupannya yang lebih dari kata cukup ia masih mau meluangkan waktu dan
tenaganya untuk berjuang mewujudkan aspirasi daerah serta menjauhkan DPD RI
dari jurang ketimpangan wewenang dengan DPR RI.
“Pengalamannya beliau melebihi jika dibanding dengan yang lain, beliau pernah
menjadi pimpinan MPR, kemudian beliau adalah perintis adanya DPD. Sehingga
kita harapkan dengan beliau memimpin kalau dikembalikan spirit DPD itu seperti
apa. Sehingga kita yang masih baru-baru yang masih muda-muda itu ingin
dipimpin dengan itu dan juga punya kepemimpinan yang kuat, berani, berani
nabrak siapapun kalau memang DPD diperlakukan dengan tidak semestinya. Kita
perlu kepemimpinan yang strong untuk melawan sebuah kondisi di mana kita
berusaha dikebiri, pemerintah juga merasa rese kalau ada DPD dalam membahas
undang-undang, karena semakin banyak orang semakin susah nanti membahas
undang-undang. DPR juga tidak mau disalip. Kalau DPD pemimpinnya
melempem akan susah, maka dari itu kita pilih pemimpin yang kira-kira berani
yang kuat yang punya jaringan luas, yang punya keterpengaruhan, akhirnya kita
pilih beliau”.32
Semangat dan tekad yang kuat ia kemas ke dalam konsep etos kerja 5-s
yaitu strategy, structure, skill, system, dan speed. Terbukti mengantarkan dirinya
pada pringkat 103 dari 150 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia
tahun 2016. Bahkan baru-baru ini anaknya, Raja Sapta Oktohari terpilih sebagai
ketua Asian Para Games 2018 yang diselenggarakan di Indonesia.
Tidak cukup sampai di situ, Oesman Sapta Odang juga aktif berkontribusi
dalam kegiatan amal dan sosial. Kebaikan-kebaikan itu dirasakan juga oleh
sebagian besar anggota partai Hanura seperti yang dituturkan langsung oleh Asip
Irama, anggota partai Hanura.
32 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali Gede
Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.
96
“Dia baik, dia banyak merangkul, terbukti banyak anggota DPD yang gabung,
Dia tegas sekali bahkan ia berhasil memimpin HKTI. Pak Oesman itu tokoh yang
luar biasa yang diyakini mampu oleh beberapa anggota DPD untuk memimpin
DPD, terbukti Presiden biasanya jarang hadir di acara ulang tahun DPD, tetapi
kemarin hadir. Ini kan hal yang luar biasa, beliau sangat dekat dengan Presiden
jadi pak Oesman layak untuk memimpin DPD”.33
C. 3. Sumber Wewenang
Setelah ditinjau dari sumber wibawa dan kharisma hal-hal yang menjadi
faktor terpilihnya Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI, maka selanjutnya
adalah sumber wewenang. Definisi wewenang itu sendiri adalah kekuasaan yang
formal, dengan adanya wewenang maka seseorang berhak bertindak memerintah
sesuai pada peraturan-peraturan yang menjadi landasan untuk bertindak.34
Presiden mendapatkan wewenang dari rakyat melalui jalur pemilihan umum
sedangkan pimpinan DPD RI yakni ketua dan wakil ketua mendapatkan
wewenang dari para anggota DPD RI yang memilih berdasarkan pada prinsip
keterwakilan wilayah, mendahulukan musyawarah mufakat dan memperhatikan
wilayah perempuan.
Dalam pemilihan pimpinan DPD RI 2017,Oesman Sapta Odang menjadi
sosok yang diidam-idamkan oleh sebagian besar anggota DPD RI sebagai ketua
dikarenakan mempunyai track record yang baik dalam membangun daerah dan
juga memiliki popularitas yang tinggi di masyarakat daerah dan juga di kalangan
elite politik dibandingkan dengan Nono Sampono dan Darmayanti Lubis yang
hanya menjadi Wakil DPD RI. Melalui Tata Tertib DPD RI Nomor 3 Tahun 2017,
Oesman Sapta Odang resmi terpilih secara aklamasi menjadi ketua DPD RI dan
33 Wawancara Pribadi dengan Anggota Partai Hanura Asip Irama pada Selasa, 11
September 2018, pukul 14.00 WIB. 34 Budiardjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, hal. 139-140.
97
berwewenang memimpin DPD RI ke arah yang lebih baik. Dalam sidang
paripurna, lebih dari 50% suara anggota DPD RI bulat memilih Oesman Sapta
Odang menjadi ketua DPD RI. Termasuk juga Nono Sampono dan Darmayanti
Lubis yang lebih menyerahkan amanah kepemimpinan kepada Oesman Sapta
Odang dan rela menjadi wakil ketua DPD RI. Ketiganya dilantik berdasarkan
pada Keputsan DPD RI No. 45/DPDRI/III//2016-2017 tentang pimpinan DPD RI
periode April 2017-2019. Keputusan ini sekaligus mencabut keputusan
sebelumnya tentang pimpinan DPD RI No. 02/DPD/I/2014-2015 dan No.
09/DPD/I/2016-2019.35
Peneliti melihat bahwa sumber wewenang ini tidak datang secara tiba-tiba,
butuh dialog, tarik ulur pendapat bahkan sampai terciptanya percikan konflik di
dalam internal DPD RI. Akan tetapi konflik, berbeda pendapat itu sudah menjadi
romantika dalam politik bukan suatu hal yang aneh jika itu terjadi. Apabila ditarik
ke belakang, asal mula munculnya ide perubahan masa jabatan pimpinan DPD RI
dari lima tahun mejadi dua tahun enam bulan yang kemudian dijadikan Tata
Tertib DPD RI No. 3 Tahun 2017 adalah karena adanya rasa kekecewaan yang
mendalam yang dialami oleh sebagian besar anggota DPD RI terhadap
kepemimpinan sebelumnya, sebab dianggap tidak memiliki kekuatan dalam
melakukan bargaining dengan lembaga lain. Inilah yang menjadi salah satu faktor
pendorong terpilihnya Oesman Sapta Odang menjadi ketua DPD RI beserta Nono
Sampono dan Darmayanti Lubis menjadi wakil ketua DPD RI.
35 Yanzah Bagas Nugraha dan Dwi Andayani Budisetyowati. “Analisis Penyelesaian
Sengketa Internal Lembaga Negara Studi Kasus Pelantikan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia,“ Jurnal Hukum Universitas Tarumanegara Vol. 1. No. 1, 2018, hal. 14.
98
Hal yang demikian ini seperti apa yang dikatakan oleh Anggota DPD RI
Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad Nawardi, S. Ag,
“Masa kepemimpinan Bapak Oesman Sapta Odang beserta Bapak Nono
Sampono dan Ibu Darmayanti Lubis banyak hal yang positif, di antaranya adalah
mepunyai power. Pak Oesman Sapta Odang mempunyai power terhadap teman-
teman di DPR misalnya bargaining, misalnya awal-awal pembahasan rancangan
undang-undang pemilu misalnya, DPD itu ingin diikembalikan dipilih oleh
DPRD mewakili DPD kembali pada zaman dahulu. Mewakili masyarakat,
mewakili ormas lalu dipilih oleh DPRD provinsi, sudah ada wacana dan masuk
ke dalam draf pada waktu itu tetapi atas kepiawaian Bapak Oesman Sapta Odang
ini, power yang dimiliki beliau bisa berbicara berkomunikasi dengan teman-
teman, ketua-ketua parpol. Kalau seperti itu kita akan kembali ke masa lalu, DPD
RI akan menjadi utusan golongan dan utusan daerah dan tidak ada pemilihan
dalam pemilu dan itu sama dengan ini lembaga negara akhirnya di bawah DPRD
provinsi. Di situlah kita perjuangkan Bapak Oesman Sapta Odang ada di garis
terdepan agar mencoret draf itu. Itulah salah satu kekuatan beliau, saya tidak
yakin kalau pimpinan lama bisa melakukan itu”. 36
Meskipun pemilihan tersebut menuai polemik, nyatanya keinginan
anggota DPD RI agar Oesman Sapta Odang terpilih menjadi ketua DPD RI adalah
rasa rindu akan sosok pemimpin yang mampu membangkitkan semangat DPD RI
seperti halnya ketika ia merintis DPD RI. Oesman Sapta Odang hadir sebagai
pemimpin yang memiliki nyali dan keberanian dalam membela DPD RI, sehingga
menjadi alasan anggota DPD RI meletakan harapan dan kepercayaan sepenuhnya
kepada Oesman Sapta Odang untuk memegang kendali DPD RI.
36 Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H. Ahmad
Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian bab-bab sebelumnya mengenai pemilihan ketua
DPD RI periode 2017-2019, Oesman Sapta Odang. Maka pada bab akhir ini
penulis menemukan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan.
Pertama, dinamika pemilihan ketua DPD RI periode 2017-2019 merupakan
bagian dari dinamika pemilihan pimpinan DPD RI. Pemilihan ini sah secara
konstitusional, hal itu berdasarkan pada peraturan Tata Tertib DPD RI No. 3
Tahun 2017 yang mengatur masa jabatan pimpinan selama dua tahun enam bulan.
Putusan Mahkamah Agung nomor 38P/HUM/2016 dan 20P/HUM/2017 tentang
pembatalan Tata Tertib DPD RI No. 1 Tahun 2016 dan No. 1 Tahun 2017
dianggap tidak mengikat oleh DPD RI karena putusan tersebut memiliki
kesalahan penulisan yang cukup fatal serta putusan tersebut dianggap tidak
berlaku karena datang di saat DPD RI telah mengagendakan pemilihan pimpinan
DPD RI periode 2017-2019 pada sidang paripurna ke-9.
Kedua, berbasis pada dimensi etika poltik yaitu tujuan, sarana dan aksi
politik. Pemilihan tersebut sudah memenuhi standar etis, yakni bertujuan baik
demi penguatan peran DPD RI yang selama ini dirasa masih lemah di bawah
kepemimpinan sebelumnya. Terbukti pasca Oesman Sapta Odang memimpin
DPD RI, lembaga ini mendapatkan tambahan wewenang yaitu DPD RI dapat
melakukan pemantauan dan evaluasi atas RUU peraturan daerah dan peraturan
100
daerah, melalui perubahan UU No. 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. Komposisi pimpinan DPD RI juga mengalami penambahan yang semula
hanya satu ketua dan dua wakil ketua kini menjadi satu ketua dan tiga wakil ketua.
Selain tujuan pemilihan tersebut, etika politik diukur dari sarana dan aksi
politik, hal lain yang membuat pemilihan ketua DPD RI ini tergolong etis adalah
sesuai dengan mekanisme yang telah diatur di Tata Tertib DPD RI, juga tidak ada
pelanggaran kode etik DPD RI yang tercipta. Kode etik DPD RI merupakan
refleksi nyata dari etika politik itu sendiri.
Rangkap jabatan sebagai ketua MPR RI dan ketua partai politik Hanura
bukan merupakan pelanggaran kode etik, karena tidak diatur di dalam peraturan
DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib. Rangkap jabatan yang dilarang
dalam kode etik DPD RI di antarnya adalah sebagai hakim pada badan peradilan,
pegawai negeri sipil (PNS), TNI / POLRI, pegawai BUMN / BUMD atau badan
lainnya yang sumber anggaran berasal dari negara. Berdasarkan putusan MK No.
10/PUU-VI/2008, DPD RI juga diperbolehkan diisi oleh anggota atau pengurus
partai politik. Tidak ada larangan tertulis terkait rangkap jabatan sebagai pimpinan
di keduanya.
Ketiga, Oesman Sapta Odang dinyatakan layak menjadi ketua DPD RI
karena memiliki sumber kekuasaan yang kuat, yang mendorong dirinya terpilih
menjadi ketua DPD RI periode 2017-2019. Sumber tersebut adalah wibawa,
kharisma, dan wewenang. Oesman Sapta Odang termasuk ke dalam sosok yang
berwibawa bagi sebagian besar anggota DPD RI, hal tersebut dikarenakan
popularitas dan track record ia miliki di dalam perpolitikan Indonesia. Hal
101
tersebut dapat dilihat dari jabatan yang pernah ia emban dahulu hingga saat ini
seperti ketua fraksi utusan daerah MPR RI 2001-2002, wakil ketua MPR RI 2002-
2004, wakil ketua MPR RI 2014-2019 dan ketua partai Hanura.
Selain berwibawa, Oesman Sapta Odang juga memiliki kharisma hal
tersebut dikarenakan perjuangannya dalam merintis terbentuknya DPD RI. Ia
merupakan salah satu sosok yang ikut serta dalam perjuangan pembentukan DPD
RI yang sampai saat ini menjadi bagian dari DPD RI. Selanjutnya sumber
wewenang yang dimiliki oleh Oesman Sapta Odang berasal dari anggota DPD RI
yang memilihnya secara aklamasi pada sidang paripurna 3 April 2017. Atas dasar
itu, mayoritas anggota DPD RI memilih Oesman Sapta Odang menjadi ketua
lembaga teritori karena dianggap memiliki keterpengaruhan dan relasi yang luas
terhadap lembaga lain untuk menjadikan peran DPD RI lebih kuat.
B. Saran
Penulis pribadi sangat menyayangkan atas apa yang terjadi di dalam
internal DPD RI pada pemilihan pimpinan periode 2017-2019. Kericuhan yang
terjadi seolah-olah memberikan konotasi negatif DPD RI kepada publik. Lembaga
DPD RI terlihat seperti belum dewasa dalam memainkan peran demokrasi di
Indonesia. Meskipun perdebatan dan perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah
dalam demokrasi akan tetapi sudah sewajarnya para wakil daerah ini untuk lebih
menjaga harkat dan martabatnya di depan publik.
Selain itu, penulis berpendapat perlu adanya keterangan tegas di dalam
peraturan Tata Tertib DPD RI ataupun MPR RI tentang rangkap jabatan pimpinan
lembaga legislatif guna mengurangi kesalahpahaman publik yang terbawa opini
102
media massa. Selanjutnya, jika terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai ketua
DPD RI adalah semata-mata sebagai jalan penguatan peran DPD RI itu sendiri,
penulis menyarankan agar kepentingan daerah tetap menjadi prioritas utama DPD
RI dalam bekerja, jangan sampai terdistorsi dengan kepentingan partai politik.
Selanjutnya pada penelitian ini terlihat jelas kesenjangan hubungan antar
lembaga negara yaitu DPD RI dengan Mahkamah Agung maupun Mahkamah
Konstitusi. Penulis menyarankan agar lembaga-lembaga ini mampu memperbaiki
hubungan kinerja masing-masing supaya tidak ada lagi putusan-putusan
Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi yang terkesan tumpang tindih
dengan peraturan DPD RI.
103
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Grajafindo Persada, 2006.
Abdurrahman, H dan Soejono. Metode Penelitian; Suatu Pemikiran dan
Penerapan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Agustino, Leo. Perihal Ilmu Politik, Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Arafah, Teguh. Terma Kekuasaan Dalam Al Qur’an. Tangerang Selatan: Young
Progressive Muslim, 2016.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekjen dan
Kepaniteraan MK RI, 2006.
Azwar, Syafiuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1993.
BPKK DPD RI. Deskripsi Perjuangan DPD RI: Menuju Amandemen UUD 1945.
Jakarta: Sekjen DPD RI, 2016.
Budiardjo, Miriam. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar
Harapan, 1984.
. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2014.
Dewan Perwakilan Daerah. Sewindu Senat DPD RI. Jakarta: DPD RI, 2012.
. Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Tahun Sidang 2016-
2017. Jakarta: DPD RI, 2017.
Ebyhara, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Politik. Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2016.
104
Fatwa, A.M. DPD RI Historis, Politik, dan Tanggung Jawab Terhadap Daerah
dan NKRI. Jakarta: The Fatwa Center, 2016.
Hadiwardoyo, AI. Purwa. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1990.
Handoyo, Eko, dkk. Etika Politik. Semarang: Widya Karya Press, 2016.
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas, 2014.
Ihsan, A. Bakir. Etika dan Logika Berpolitik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009.
Koespartono. Kekuasaan. Jakarta: Erlangga, 1987.
Kristiyanto, Eddy. Etika Politik dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
kanisius, 2001.
Kusnardi, Muh. Ilmu Negara. Jakarta: Media Pratama, 2000.
Machiavelli, Niccolo. Sang Penguasa. Jakarta: Gramedia, 1987.
Magnis-Soseno, Franz. Etika Politik. Jakarta: Gramedia, 1987.
. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
. Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-26. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000.
. Kuasa & Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.
105
Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah laku. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Simanullang, Robin. Sang Pejuang Politik Negara: Ketua DPD RI dan Wakil
Ketua MPR RI, Oesman Sapta Odang. Jakarta: PT. Asasira, 2017.
Sudarminta, Nilai-nilai Etis dan Kekuasaan Utopis. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1992.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Sy, Pahmi. Politik Pencitraan. Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Yusuf, M. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Arsitektur Histori,
Peran dan Fungsi DPD RI Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Tesis
Andrino, Wibi. “Kedudukan dan Implementasi Badan Kehormatan Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Penegakan Kode Etik”,
(Tesis S2 Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2017)
Said, Abdul Rauf Alauddin. “Kajian Normatif Terhadap Fungsi Pengawasan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia”, (Tesis S2 Universitas Gajah Mada, 2017)
Skripsi
Abdullah, Fikri. “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Legislasi
Rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah Analisis Putusan MK
93/PUU/-X/203”, (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
106
Andriyani, Sri. “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca
Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, DPRD”, (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015)
Ramli, Gusti “Efektifitas Peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dalam
Demokrasi Indonesia” (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 2009)
Jurnal
Nugraha, Yanzah Bagas dan Dwi Andayani Budisetyowati. “Analisis
Penyelesaian Sengketa Internal Lembaga Negara Studi Kasus Pelantikan
Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia”. Jurnal Hukum
Universitas Tarumanegara Vol. 1. No. 1, 2018.
Majalah
Sekretariat Jendral MPR RI, “MPR Lima Tahun ke Depan, Mengawal Pancasila,
UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika”. Majelis, no.
10. Oktober 2014.
Berita
A15. “Polemik Rangkap Jabatan Pejabat Publik”. https://pinterpolitik.com, 26
Mei 2017.
Abdalla, Faisal. “Partai Hanura Tegaskan Kepemimpinan OSO Baik”.
http://news.metrotvnews.com, 15 Januari 2018.
Clarissa, Frisca. “Wawancara Kompas Petang dengan Gusti Kanjeng Ratu
Hemas, Wakil Ketua DPD RI periode 2014 - 2017 tentang Kontroversi
Pimpinan Baru DPD RI ”. https://www.youtube.com, 05 April 2017.
Dewati, Pranamya. “Mahfud MD Pemilihan Oesman Sapta Jadi Ketua DPD
Ilegal”. https://kumparan.com, 07 April 2017.
107
DPD RI, “Putusan MA Akhirnya Menghentikan Rencana” http://www.dpd.go.id,
31 Maret 2017.
DPD RI. “UU MD3 Tambah Kewenangan DPD RI”, http://www.dpd.go.id, 29
Oktober 2018.
DPD RI. “Pimpinan DPD RI Periode 2014-2019”. http://www.dpd.go.id, 29
Oktober 2018.
Hakim. Rakhmat Nur. “Ini Putusan MA Soal Tata Tertib Terkait Kursi Pimpinan
DPD”. https://nasional.kompas.com, 06 April 2017.
Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. “Irman Gusman Terpilih Kembali
Jadi Ketua DPD RI”. http://setkab.go.id, 19 November 2018.
Handoko, Agustinus. “Bubarkan PPD, OSO Dirikan Partai Persatuan Nasional”.
https://nasional.kompas.com, 23 Januari 2012.
Harun, Refly. “Legalitas Pimpinan DPD”. https://nasional.kompas.com, 28 April
2017.
Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA). “Profil Ketua Umum Hanura”.
http://partaihanura.or.id, 29 April 2018.
Retaduari, Elza Astari. “Kontroversi OSO Goblokin MK”. https://news.detik.com,
01 Agustus 2018.
Sihaloho, Markus Junianto. “Sidang Pertama OSO Sebagai Ketua DPD Sempat
Ricuh”. http://www.beritasatu.com, 11 April 2017.
Tashandra, Nabilla. “Oesman Sapta Odang Terpilih Menjadi Ketua DPD”.
http://nasional.kompas.com, 04 April 2017.
108
Dokumen Resmi
Keputusan Mahkamah Agung No. 38P/HUM/2016 tentang Uji Materil terhadap
Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2016 tentang Tata Tertib
Keputusan Mahkamah Agung No. 20P/HUM/2017 tentang Uji Materil terhadap
Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib
Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.
Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib
Risalah Sidang Paripurna DPD RI Ke-9, Masa Sidang III Tahun Sidang 2016-
2017.
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur H.
Ahmad Nawardi pada Kamis, 13 September 2018, pukul 14.00 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Anggota DPD RI Daerah Pemilihan Provinsi Bali
Gede Pasek Suardika pada Jum’at, 19 Oktober 2018, pukul 20.00 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Anggota Partai Hanura Asip Irama pada Selasa, 11
September 2018, pukul 14.00 WIB.