134
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi Oleh: Lusia Lero Maya Sari 058114109 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2009 i

EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN …

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI

KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Lusia Lero Maya Sari 058114109

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2009

i

EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI

KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Lusia Lero Maya Sari NIM: 058114109

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2009

ii

Persetujuan Skripsi

EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS PADA PENGOBATAN KASUS TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RINI

KALASAN SLEMAN PERIODE JULI 2007-JUNI 2008

Oleh :

Lusia Lero Maya Sari NIM: 058114109

Skripsi ini telah disetujui oleh:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

iii

iv

v

Tuhan, Engkau yang buatku kuat lewati semua Engkau pertolonganku, tempat harapanku Tuhan, kupercaya janji-Mu dalam hidupku

Kau beri kemenangan Tuhan, Kau selalu setia didalam hidupku

Kau berharga bagiku, Kaulah jaminanku dalam hidupku (Maria Shandi)

Kupersembahkan skripsi ini bagi:

Tritunggal Mahakudus

Bapa dan Mama tercinta; Kakak-kakakku tersayang

Sahabat-sahabat yang kukasihi; Komunitas Sant’ Egidio

Almamaterku

vi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena

hanya dengan rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Therapy Problems Pada Pengobatan Kasus

Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode

Juli 2007-Juni 2008” ini dengan baik.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana farmasi pada program studi Ilmu Farmasi, Jurusan Farmasi,

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukanlah sesuatu hal yang

mudah, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing pertama, yang

telah setia membimbing penulis serta banyak memberikan saran, dan dukungan

dalam proses penyusunan skripsi.

2. dr.Fenty, M.Kes., Sp.PK. selaku dosen pembimbing kedua, yang telah setia

membimbing penulis serta banyak memberikan saran, dan dukungan dalam

proses penyusunan skripsi.

3. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi dan dosen penguji yang

telah memberikan saran dan masukan yang berharga dalam proses penyusunan

skripsi ini.

vii

4. Drs. Mulyono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan

masukan yang berharga dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Direktur Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman yang telah memberikan ijin

bagi penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rini.

6. Kepala dan staf Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman

dan para perawat atas bantuan yang diberikan selama penulis melakukan

pengambilan data penelitian.

7. Ayahanda Alexander Bati dan Ibunda Xaveriana Maru tercinta yang telah

membesarkan dan mendidik penulis, selalu memberikan kasih sayang, perhatian,

pengorbanan serta doa yang tulus sepanjang hidup penulis.

8. Saudara dan saudari penulis yang tercinta, Kak Chris, Kak Selvi dan keluarga,

Kak Manzhie, Kak Stevin, Kak Vera dan keluarga, buat semua dukungan,

perhatian, kasih sayang dan doa yang tulus bagi penulis, tanpa kalian semua hidup

penulis terasa tidak berwarna, karena kalian guru hidup terbaik yang penulis

miliki. Penulis sangat bersyukur akan ini semua. Terimakasih kak.

9. Cory selaku teman seperjuangan penulis dalam menghadapi segala tantangan

hidup, terimakasih buat doa, perhatian, dukungan dan persahabatan kita.

10. Bon-bon, Jesmon, Weli, Sisca, Tara, Melda, Fani, Sarah, Flora, yang setia

memberi dukungan, perhatian, pengorbanan untuk mengantarkan dan

meminjamkan penulis buku serta memberikan semangat di kala penulis merasa

patah semangat dan putus asa. Terimakasih teman.

viii

11. Teman-teman kelas B 2005, kelompok praktikum D 2005, dan FKK 2005 selaku

teman-teman seperjuangan di Fakultas Farmasi, terimakasih buat perhatian dan

persahabatan kita selama ini. Perpisahan bukan akhir segalanya. Reuni masih

menanti.

12. Semua teman Kost Canna yang masih bertahan hingga saat ini, Ivon, Widya, Lia,

Mba Nana, Mba Nur, Mba Tinul, Fani dan mereka yang telah pergi Mba Marta

dan Mba Uthe selaku teman penulis, yang setia memberi bantuan di kala penulis

kesulitan, dan yang bisa memberi kegembiraan dalam melewati hari-hari yang

menjemukkan di kost.

13. Keluarga besar Komunitas Sant’ Egidio khususnya di Yogyakarta, selaku sahabat

dan saudara-saudari dari penulis, yang telah mengajarkan makna hidup yang

sebenarnya. Kita semua satu Bapa, tapi beda ayah. Tuhan tahu apa yang kita buat

dan Dia setia menyertai kita. Terimakasih buat semua pengalaman hidup yang

sangat berwarna, layaknya Pelangi.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Keterbatasan pikiran, waktu, dan tenaga membuat penulisan skripsi ini tidak

sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

agar skripsi ini lebih baik lagi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat untuk

menambah ilmu pengetahuan.

Penulis

ix

x

INTISARI

Tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif Salmonella typhi, yang merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara yang sedang berkembang dengan angka mortalitasnya >10%. Hal ini terjadi karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Gejala-gejalanya adalah demam, nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan.

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pengobatan Pasien Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini dengan melihat profil kasus tifoid berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin; pola pengobatan kasus tifoid yang meliputi kelas terapi, golongan dan jenis obat, mengevaluasi DTPs melalui penelusuran pustaka dengan menggunakan metode Subjective-Objective-Assessment-Rekomendasi dan menggolongkan outcome kasus tifoid. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif, dengan menggunakan bahan penelitian yaitu lembar rekam medik kasus tifoid.

Jumlah kasus yang diteliti adalah 45 kasus. Kasus terbanyak adalah kelompok dewasa (17 - <65 tahun) sebanyak 40 kasus (89%), dan jenis kelamin terbanyak perempuan sebanyak 24 kasus (53%). Kelas terapi terbanyak adalah obat antiiinfeksi golongan antibakteri (Tiamfenikol) dan obat gizi dan darah (100%). Jenis DTPs yang terjadi, yaitu: dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan potensial interaksi obat sebanyak 28 kasus. Outcome kasus tifoid yaitu sembuh 9 kasus (20%), membaik 34 kasus (76%), dan belum sembuh 2 kasus (4%).

Kata Kunci : Drug Therapy Problems, tifoid

xi

ABSTRACT

Typhoid is an acute systemic infection disease that caused by bacteria gram-negative, Salmonella typhi, which is an important health problem in many developed countries and the mortality is more than 10%. Those things are caused by the lateness of diagnostic, cure and treatment. It’s symptoms are fever, headache, malaise, anorexia, nausea, myalgia, stomach pain and throat inflammation.

The purpose of this research is to evaluate Drug Therapy Problems (DTPs) at the treatment of typhoid patients at instalation ward at Panti Rini Hospital by observation on typhoid case profile based on age distribution and sex, pattern of typhoid treatment case include therapy class, groups and kind of drugs, evaluate DTPs through library research by using Subjective-Objective-Assesment and Recommendation method and classify the outcome of those typhoid case. This research is a non experimental one with descriptive and evaluative design and retrospectifly characterized, by using medical record of typhoid cases as research materials.

This reseach included 45 cases, most of the case came from adults group (17 - <65 years) that are about 40 cases (89%), and the most sex are women about 24 cases (53%). Most of the therapy class are antiinfection drugs, antibacterial groups (Tiamfenikol) and nutrient and blood drugs.

The kind of DTPs that happenned are 10 cases of too low dosage and 28 cases of potential interaction drugs. The outcome of typhoid case are recovered 9 cases (20%), getting better 34 cases (76%) and not yet recovered 2 cases (4%).

Key words : Drug Therapy Problems, typhoid

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………..…………………..………………. ……..

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………… ……..

HALAMAN PENGESAHAN…...……………..…………………………………

HALAMAN PERSEMBAHAN………………..……………………..…………..

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..................................

PRAKATA………………..……………………..…… …………………………...

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………..………………….. ……..

INTISARI………………..……………………..………………………….. ……..

ABSTRACT………………..……………………..…… …………………………...

DAFTAR ISI………………..……………………..……………………….. ……..

DAFTAR TABEL………………..……………………..…………………............

DAFTAR GAMBAR………………..……………………..……………………...

DAFTAR LAMPIRAN………………..……………………..……………………

BAB I. PENDAHULUAN………….……………………………………………..

A. Latar Belakang…………………………………………………………….

1. Perumusan masalah……………………………………………………

2. Keaslian penelitian…………………………………………………….

3. Manfaat penelitian…………………………………………………….

B. Tujuan Penelitian………………………………………………………….

1. Tujuan umum………………………………………………………….

ii

iii

iv

v

vi vii

x

xi

xii

xiii

xvii

xxii

xxiii

1

1

3

3

4

4

4

xiii

2. Tujuan khusus…………………………………………………………

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA…………………………………….............

A. Tifoid……………………………….……………………………………...

1. Definisi………………………………………………………………...

2. Etiologi………………………………………………………………...

3. Patogenesis………………..…………………………………………...

4. Jalur masuknya bakteri ke dalam tubuh……………….……………....

5. Peran Endotoksin……………………………………………………...

6. Respon Imunologik...…………………………………………………

7. Manifestasi Klinik………………………...…………………………...

8. Diagnosis………………………………………………………………

9. Pencegahan……………………………………………………………

B. Penatalaksanaan Terapi Tifoid…………………………………………….

1. Tatalaksana secara umum……………………………………………..

2. Terapi Antimikrobial………………………………………………….

C. Drug Therapy Problems…………………………………………………..

D. Keterangan Empiris……………………………………………………….

BAB III. METODE PENELITIAN…………………………………..…………...

A. Jenis dan Rancangan Penelitian……………………………………….......

B. Definisi Operasional………………………………………………………

C. Subjek Penelitian………………………………………………………….

5 6

6

6

7

7 8

9

9

10

12

14 15 15 16 22 24 25 25 26 27

xiv

D. Bahan Penelitian…………………………………………………………..

E. Lokasi Penelitian…………………………………………………………..

F. Tata Cara Penelitian……………………………………………………….

1. Tahap perencanaan…….………………………………………………

2. Tahap pengumpulan data…………………………………...……........

3. Tahap penyelesaian data………………………………………………

G. Tata Cara Analisis Hasil…………………………………………………..

H. Kesulitan Penelitian……………………………………………………….

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………

A. Profil Kasus Penderita Tifoid……………………………………………...

1. Berdasarkan distribusi umur…………………………………………..

2. Berdasarkan jenis kelamin………………….…………………………

B. Pola Pengobatan Kasus Penderita Tifoid………………………….………

1. Kelas Terapi Obat…………..…………………………………………

2. Golongan dan Jenis Obat………………………………………….......

a. Obat Antiinfeksi………………………………………………...…

b. Obat yang bekerja pada sistem neuromuskular…………………...

c. Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan……………….

d. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan……………….

e. Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler…….……………...

f. Obat gizi dan darah……………………………………………......

27 28 28 28 28 29 30 32 33 34 34 35 36 36 38 38 40 41 43 44 45

xv

g. Obat Hormonal…………………………………………………….

h. Obat lain-lain……………………………………………………...

C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)………………………….……..

1. Dosis terlalu rendah…………………………………………………...

2. Interaksi obat…………………………………………………………..

D. Outcome Kasus Penderita Tifoid………………………………………….

E. Rangkuman Pembahasan………………………………………………….

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………... …….

A. Kesimpulan………………………………………………………………..

B. Saran………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… ……..

LAMPIRAN……………………………………………………………………….

BIOGRAFI PENULIS……………………………………………………... ……..

46 47 48 49 50 55 56 59 59 60 61 63 111

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel I Rekomendasi Terapi Antibiotik............................................... 17 Tabel II Kategori dan Penyebab Umum Drug Therapy Problems........ 23 Tabel III Distribusi Kelas Terapi Obat pada kasus penyakit tifoid di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.........................................................................

37

Tabel IV Golongan dan Jenis Obat Antiinfeksi yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008............................................

38

Tabel V Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem neuromuskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.........................................................................

40

Tabel VI Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008..........................................................................................

41

Tabel VII Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008..........................................................................................

43

Tabel VIII Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.........................................................................

44

Tabel IX Golongan dan Jenis Obat Gizi dan darah yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008....................................

45

Tabel X Golongan dan Jenis Obat Hormonal yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.............................................

46

Tabel XI Golongan dan Jenis Obat lain-lain yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008.............................................

47

Tabel XII Kasus DTPs Dosis Terlalu rendah pada Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008........................................

49

Tabel XIII Kasus DTPs Interaksi obat pada Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008..................................................................

50

xvii

Tabel XIV Kajian DTPs Kasus 1 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007.........................................................................

65

Tabel XV Kajian DTPs Kasus 2 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

66

Tabel XVI Kajian DTPs Kasus 3 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

67

Tabel XVII Kajian DTPs Kasus 4 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

68

Tabel XVIII Kajian DTPs Kasus 5 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

69

Tabel XIX Kajian DTPs Kasus 6 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

70

Tabel XX Kajian DTPs Kasus 7 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

71

Tabel XXI Kajian DTPs Kasus 8 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

72

Tabel XXII Kajian DTPs Kasus 9 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

73

Tabel XXIII Kajian DTPs Kasus 10 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

74

Tabel XXIV Kajian DTPs Kasus 11 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

75

Tabel XXV Kajian DTPs Kasus 12 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

76

Tabel XXVI Kajian DTPs Kasus 13 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

77

Tabel XXVII Kajian DTPs Kasus 14 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

78

xviii

Tabel XXVIII Kajian DTPs Kasus 15 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007.........................................................................

79

Tabel XXIX Kajian DTPs Kasus 16 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

80

Tabel XXX Kajian DTPs Kasus 17 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

81

Tabel XXXI Kajian DTPs Kasus 18 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

82

Tabel XXXII Kajian DTPs Kasus 19 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

83

Tabel XXXIII Kajian DTPs Kasus 20 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

84

Tabel XXXIV Kajian DTPs Kasus 21 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

85

Tabel XXXV Kajian DTPs Kasus 22 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

86

Tabel XXXVI Kajian DTPs Kasus 23 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

87

Tabel XXXVII Kajian DTPs Kasus 24 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

88

Tabel XXXVIII Kajian DTPs Kasus 25 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

89

Tabel XXXIX Kajian DTPs Kasus 26 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

90

Tabel XL Kajian DTPs Kasus 27 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

91

Tabel XLI Kajian DTPs Kasus 28 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

92

xix

Tabel XLII Kajian DTPs Kasus 29 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007.........................................................................

93

Tabel XLIII Kajian DTPs Kasus 30 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

94

Tabel XLIV Kajian DTPs Kasus 31 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

95

Tabel XLV Kajian DTPs Kasus 32 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

96

Tabel XLVI Kajian DTPs Kasus 33 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

97

Tabel XLVII Kajian DTPs Kasus 34 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

98

Tabel XLVIII Kajian DTPs Kasus 35 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

99

Tabel XLIX Kajian DTPs Kasus 36 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

100

Tabel L Kajian DTPs Kasus 37 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

101

Tabel LI Kajian DTPs Kasus 38 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

102

Tabel LII Kajian DTPs Kasus 39 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 .........................................................

103

Tabel LIII Kajian DTPs Kasus 40 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

104

Tabel LIV Kajian DTPs Kasus 41 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

105

Tabel LV Kajian DTPs Kasus 42 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

106

xx

Tabel LVI Kajian DTPs Kasus 43 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

107

Tabel LVII Kajian DTPs Kasus 44 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

108

Tabel LVIII Kajian DTPs Kasus 45 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 ........................................................................

109

xxi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Distribusi Umur...................................................

35

Gambar 2 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Jenis Kelamin.......................................................

36

Gambar 3 Persentase Kejadian DTPs pada Pengobatan Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008.........................................................................

48

Gambar 4 Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Outcome...............................................................

55

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I ABBREVIATIONS………………………….........................…64

Lampiran II Kajian DTPs 45 kasus.........................................................65-109

Lampiran III Surat Keterangan Penelitian di Rumah Sakit Panti Rini

Kalasan Sleman.........................................................................110

xxiii

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Tifoid atau demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut

yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini masih merupakan

masalah kesehatan yang penting di berbagai negara yang sedang berkembang.

Besarnya angka pasti kasus tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang luas. Diperkirakan angka

kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia.

Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19

tahun mencapai 91% kasus demam tifoid dan kultur darah positif demam tifoid

adalah 1026 dari 100.000 kasus per tahun (Soedarmo, Gama, Hadinegoro, Satari,

2008).

Di negara maju, angka mortalitas < 1% sedangkan di negara berkembang,

angka mortalitasnya >10%, umumnya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,

dan pengobatan. Di Indonesia, rata-rata kejadian demam tifoid dari 900.000 kasus

pertahun lebih dari 20.000 kasus meninggal dunia (Anonim, 2003a). Munculnya

komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau pendarahan hebat, meningitis,

endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas tinggi

(Soedarmo et al., 2008).

1

2

Pengobatan demam tifoid dapat dilakukan dengan terapi suportif maupun

terapi antimikrobial. Terapi suportif penting dalam manajemen penyakit demam

tifoid seperti hidrasi oral maupun intravena, penggunaan obat antipiretik, dan

pemberian nutrisi, sedangkan terapi antimikrobial merupakan petunjuk terapetik

untuk pengobatan demam tifoid untuk semua kelompok umur. Dalam hal ini harus

ditekankan, bagaimanapun strategi terapi untuk anak dibawah remaja, seperti

pemilihan antibiotik, penyesuaian dosis dan durasi terapi, boleh jadi berbeda dari

dewasa (Anonim, 2003b).

Ketepatan terapi dalam pengobatan pasien tifoid mendorong dilakukannya

evaluasi terkait penggunaan obat salah satunya dengan melakukan evaluasi DTPs

untuk melihat adanya suatu permasalahan atau kejadian yang tidak diharapkan atau

yang kemungkinan akan dialami pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat,

sehingga mengganggu tujuan terapi yang diinginkan (Cipolle, Strand, dan Morley,

2004).

Rumah Sakit Umum Pratama Panti Rini adalah salah satu rumah sakit

swasta yang terletak di Jalan Solo Km.12,5 Tirtomartani, Kalasan Sleman Yogyakarta

55571 yang merupakan cabang dari Rumah Sakit Panti Rapih, yang sebelumnya

bernama Rumah Bersalin dan Balai Pengobatan yang diresmikan menjadi suatu

Rumah Sakit pada tanggal 10 Juni 1993, dengan tujuan untuk meningkatkan

pelayanan kesehatan seluruh warga masyarakat khususnya warga yang berekonomi

lemah yang tinggal di pedesaan kawasan Yogyakarta Timur dan Jawa Tengah bagian

barat Daya (Anonim, 2008a).

3

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini karena penyakit tifoid

termasuk dalam 15 penyakit terbesar yang terjadi di Rumah Sakit Panti Rini, selain

itu belum pernah dilakukan penelitian seperti ini sebelumnya.

1. Perumusan Masalah

Masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

a. Seperti apakah profil kasus penderita tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan

distribusi umur dan jenis kelamin?

b. Seperti apakah pola pengobatan kasus penderita tifoid yang meliputi kelas

terapi, golongan dan jenis obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008?

c. Apakah ada DTPs yang meliputi: terapi obat tanpa indikasi, perlu

tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse

drug reaction, dosis terlalu tinggi?

d. Seperti apakah outcome kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008?

2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, evaluasi DTPs pada pengobatan

pasien tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode

bulan Juli 2007 - Juni 2008 belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai tifoid yang

pernah dilakukan adalah Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak di

Rumah Sakit Panti Rapih Periode Januari 2000-Desember 2001 (Triana,2003) dan

4

Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Tahun 2004 (Restiarti, 2005). Perbedaan dengan

penelitian ini yaitu dilakukan evaluasi DTPs terhadap pengobatan pasien tifoid di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta bulan Juli 2007-Juni 2008.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Dapat menjadi referensi untuk mendeskripsikan DTPs yang terjadi pada

pengobatan pasien tifoid di Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman.

b. Manfaat Praktis

Dapat memberi informasi serta masukan bagi praktek kefarmasian di

Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman dalam meningkatkan kualitas

pengobatan pasien tifoid.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi DTPs pada

pengobatan pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Kalasan Sleman.

5

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui profil kasus penderita tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan

distribusi umur dan jenis kelamin.

b. Mengetahui pola pengobatan kasus penderita tifoid yang meliputi kelas

terapi, golongan dan jenis obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.

c. Mengevaluasi DTPs yang meliputi: terapi obat tanpa indikasi, perlu

tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse

drug reaction, dosis terlalu tinggi.

d. Mengetahui outcome kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tifoid

1. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi). Penyakit ini ditandai dengan panas

berkepanjangan, disebabkan adanya bakteremia dan invasi bakteri sekaligus

berkembang biak ke dalam sel fagosit mononuklear dari organ hati, limpa, kelenjar

limfe usus dan Peyer’s patch (Soedarmo et al., 2008). Plak Peyer atau Peyer’s

patch merupakan bercak kecil berbentuk oval yang menonjol pada folikel limfoid

mukosa usus halus yang berkumpul menjadi satu (Kumala, Komala, Santoso,

Sulaiman dan Rienita, 1998).

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan

demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama

dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh

spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam

tifoid maupun demam paratifoid. Demam paratifoid yang disebabkan oleh Salmonella

enteriditis terdiri dari 3 bioserotipe yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S.

Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii) (Soedarmo et al., 2008).

6

7

1. Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain yang adalah bakteri

Gram-negatif, berbentuk batang, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak

membentuk spora, fakultatif anaerob (bisa menyesuaikan diri pada keadaan tertentu

yang tidak membutuhkan oksigen). Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari

oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen

(K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida

kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik (Soedarmo et al., 2008).

2. Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan empat proses kompleks mengikuti

ingesti organisme yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2)

bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus

limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial

(3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang

meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya

elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo et al., 2008).

Periode inkubasi, gejala, dan keparahan penyakit bergantung pada jumlah

dari organisme. Bahan yang diperlukan dalam inokulasi untuk infeksi diperkirakan

kurang dari 1000 organisme, dan tingkat infeksi ini rendah pada pasien dengan

aklorhidia (pH lambung > 4). Jika organisme melewati barrier asam lambung, invasi

8

mukosal akan dimulai. Setelah penetrasi, terjadi translokasi mikroorganisme pada

folikel limfoid usus dan mesenterik nodus limfa dan juga pada sel-sel

retikuloendotelial dari hati dan limfa, oleh karena itu kemampuan organisme untuk

selamat dan berkembangbiak dalam sel-sel fagositik mononuklear dari folikel

limfoid, hati dan limfa memainkan suatu alur instrumental dalam patogenesis. Ketika

jumlah kritik organisme tercapai, maka bakteri akan dilepaskan dalam aliran darah

dan gejala demam enterik akan ditunjukkan (DiPiro, 2005).

3. Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh

melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak

bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus

halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan

menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyenum. Sel-sel M, sel epitel khusus

yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi.

Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe

mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di

organ hati dan limpa. S. typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit

mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya

ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka S. typhi

akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi

sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi

9

tempat yang disukai oleh S. typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung

empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi

baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi

organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui

tinja (Soedarmo et al., 2008).

4. Peran Endotoksin

Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut

terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui

pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi

makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe

mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah

yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam,

depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem

imunologik (Soedarmo et al., 2008).

5. Respon Imunologik

Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik di

tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme

imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap S. typhi

tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan.

Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid.

Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella

serotipe typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier, sejumlah besar basil

10

virulen melewati usus tiap hatinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki

epitel pejamu (Soedarmo et al., 2008)

6. Manifestasi Klinik

Masa inkubasi dapat berlangsung 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid

sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus

sampai dengan berat sehingga harus di rawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor

galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.

Pada era pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus

demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart (grafik

tahap kenaikan suhu) yang ditandai dengan demam yang dating tiba-tiba, kemudian

naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu

pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun

perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses

jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak yang melaporkan demam lebih

tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi harinya. Pada saat demam tinggi,

pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran

berkabut (delirium) atau penurunan kesadaran (obtundasi) mulai apati (tanpa perasaan

atau emosi) sampai koma (Soedarmo et al., 2008).

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,

malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan (Soedarmo

et al., 2008). Onset gejala berlangsung sedikit demi sedikit. Gejala-gejala nonspesifik

11

yang umum terjadi adalah demam, headache, malaise, anoreksia dan myalgia.

Demam bisa mencapai 104˚F (40˚C). Gejala lain yang ditemukan perasaan dingin

disertai badan menggigil, nausea (rasa tidak nyaman pada lambung dan perut),

muntah, batuk, kelelahan, dan sakit tenggorokan. Gejala-gejala akan turun secara

perlahan dalam 4 minggu (DiPiro, 2005).

Pada kasus klinis yang berat, pada saat demam tinggi akan tampak sakit

berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok

hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala

gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pemeriksaan fisik sangat

penting dilakukan. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi dan pada sebagian pasien

lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.

Kadang pula dijumpai rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah

dengan ukuran 1-5 mm, yang dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan

punggung pada orang kulit putih. Sering pula bronkitis, dan bradikardia yang sering

terjadi pada orang dewasa dan relatif jarang dijumpai pada anak-anak (Soedarmo et

al., 2008).

Hepatomegali (pembesaran hati), splenomegali (pembesaran limpa) atau

anemia normokromik kadang juga ditemukan. Leukopenia merefleksikan penurunan

relatif leukosit polimorfonuklear. Jumlah sel darah putih berada dalam rentang dari

1.200-20.000 sel/mm3. Satu dari tiga pasien menunjukan peningkatan jumlah enzim-

enzim hati dan alkalin fosfatase dalam serum (DiPiro, 2005).

12

7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan

gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan

kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.

Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua

minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien

lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses,

kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi

sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90%

kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek

sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang

diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik (Soedarmo et al.,

2008).

Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi

aglutinasi terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang banyak dipakai untuk

membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin

≥ 1/40 dengan memakai uji Widal slide agglutination (prosedur pemeriksaan

membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila

hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak

menyingkirkan dugaan tersebut. Pusat penelitian kesehatan menyepakati, apabila titer

O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali

maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan

13

paska imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi agglutinin dipakai pada deteksi

pembawa kuman (karier) S. typhi (Soedarmo et al., 2008).

Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat

dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat

timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

(Soedarmo et al., 2008).

Uji serologik Widal memiliki moderate sensitifitas dan spesifisitas. Hasil

negatif yang ditimbulkan bisa dikarenakan penggunaan terapi antibiotik sebelumnya.

Di sisi lain, ikatan antara antigen O dan H dari S. typhi dengan serotipe Salmonela

lainnya dan adanya reaksi silang epitop dengan Enterobacteriacae yang dapat

menyebabkan hasil positif palsu. Uji ini masih digunakan, mengingat metode

diagnostik lain sangat mahal (Anonim, 2003a).

Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk

mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah,

serum dan urin bahkan DNA S. typhi dalam darah dan feses. Polymerase chain

reaction telah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella serotipe typhi secara

spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.

Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah, walaupun

laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang

tidak salah satupun dipakai secara luas (Soedarmo et al., 2008).

Tes diagnostik baru yang sedang berkembang yang dengan cepat, mudah

dan dapat dipercaya dibandingkan tes Widal dan slide-aglutinasi untuk demam tifoid

14

adalah tes IDL Tubex®, yang dapat mendeteksi antibodi IgM O9 dalam beberapa

menit. IDL Tubex® mempunyai sensitivitas dan spesifisitas >95% mendeteksi S.

typhi. Sensitivitas ditunjukkan dengan pemisahan partikel yang terwarnai secara

cepat didalam larutan dan spesifisitas ditunjukkan dengan pendeteksian antibodi

hanya dari satu antigen tunggal S. typhi. Antigen O9 spesifik, karena hanya

ditemukan dalam serogrup salmonella D tapi tidak pada organisme lainnya. Antigen

O9 mampu menstimulasi sel B tanpa bantuan sel T dan konsekuensinya respon anti-

O9 berlangsung dengan cepat. Selain itu juga terdapat tes Typhidot® yang mampu

mendeteksi antibodi spesifik IgM dan IgG yang melawan antigen S. typhi (Anonim,

2003a).

8. Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,

maka setiap individu harus memperlihatkan kualitas makanan dan minuman yang

mereka konsumsi. S. typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57˚C

untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57˚C beberapa menit secara

merata juga dapat mematikan kuman S. typhi. Penurunan endemisitas suatu negara /

daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan

pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Pada

anak, imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid

(Soedarmo et al., 2008).

15

B. Penatalaksanaan Terapi Tifoid

1. Tatalaksana secara umum

Dalam menyeleksi terapi antimikrobial didasarkan pada beberapa faktor

yaitu sebagai berikut :

a. Menentukan dengan jelas cara penyebaran infeksi yang dapat menyebabkan

beberapa tingkatan penyakit (misalnya keparahan penyakit, penyakit autoimun).

b. Identifikasi bagian yang terinfeksi.

c. Secara langsung tanda dan gejala oleh dokter menjadi sumber yang penting.

Karena beberapa patogen yang diketahui berhubungan dengan bagian yang

terinfeksi, dengan terapi dapat secara langsung melawan organisme tersebut.

d. Tambahan tes laboratorium, meliputi bakteri gram positif atau negatif (bintik

gram), serologi, dan tes kepekaan antimikrobial, secara umum mengidentifikasi

patogen utama.

e. Meskipun beberapa antimikrobial secara potensial dapat dipertimbangkan,

spektrum aktifitasnya, kemanjuran secara klinik, profil efek samping, disposisi

farmakokinetik dan pertimbangan harga akhirnya merupakan pedoman untuk

pemilihan terapi.

f. Setiap agen obat yang dipilih, dosisnya harus didasarkan pada berat badan pasien,

bagian yang terinfeksi, rute eliminasi dan faktor-faktor lainnya (Kimble et al.,

2005).

Terapi suportif penting didalam tatalaksana demam tifoid, seperti hidrasi

oral atau intravena, penggunaan obat antipiretik, dan pemenuhan kebutuhan nutrisi

16

dan transfusi darah jika diperlukan. Lebih dari 90% pasien dapat diobati di rumah

dengan antibiotika oral, perawatan yang terpercaya, dan tindakan lanjutan pengobatan

untuk komplikasi atau kegagalan respon terapi. Bagaimanapun, pasien yang muntah

terus menerus, diare berat dan distensi abdominal membutuhkan perawatan di rumah

sakit dan terapi antibiotik secara parenteral (Anonim,2003a).

Untuk beberapa kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan

cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul komplikasi

dapat dilakukan dengan seksama (Soedarmo et al., 2008).

2. Terapi Antimikrobial

Kemanjuran, ketersediaan dan harga adalah kriteria penting dalam

menyeleksi antibiotika lini pertama yang digunakan di negara-negara berkembang.

Perlu ditekankan bahwa strategi terapi untuk anak, seperti pemilihan antibiotik,

pengaturan dosis dan durasi terapi boleh jadi berbeda dengan dewasa (Anonim,

2003a).

Demam enterik yang disebabkan oleh serotipe typhi disebut demam tifoid,

namun bila disebabkan oleh serotipe lainnya, ini diartikan sebagai demam paratifoid.

Berikut adalah rekomendasi terapi antibiotik untuk demam enterik (tifoid maupun

paratifoid) menurut DiPiro (2005).

17

Tabel I. Rekomendasi Terapi Antibiotik

Bakteri patogen Agen lini pertama Agen alternatif Salmonela Demam enterik Siprofloksasin 500 mg secara

oral dua kali sehari selama 3-14 hari (ofloksasin dan pefloksasin memiliki kemanjuran yang sama)

Azitromisin 1000 mg secara oral sehari, diikuti 500 mg sehari selama 5 hari; atau sefiksim, sefotaksim, dan sefurok-sim; atau kloramfenikol 500 mg empat kali sehari secara oral atau IV selama 14 hari

a. Flurokuinolon

Fluorokuinolon merupakan golongan kuinolon terbaru yang memiliki cincin

piperazin yang berdekatan dengan substituen 6-fluoro yang mampu meningkatkan

aktivitas melawan bakteri gram negatif. Fluorokuinolon bekerja dengan menghambat

DNA girase sehingga menghambat lepasnya untai-untai DNA yang terbuka pada

proses superkoil (Neal, 2005).

Fluorokuinolon penetrasi mencapai jaringan, membunuh Salmonella typhi

pada tingkat stasioner intraseluler didalam monosit/makrofag dan mencapai

konsentrasi zat aktif yang lebih tinggi dalam kantung empedu daripada obat-obat

lainnya. Fluorokuinolon menghasilkan respon terapetik yang cepat, seperti

menghilangkan demam dan gejala-gejala dalam 3-5 hari, dan rendahnya laju karier

setelah pengobatan (Anonim,2003a).

Fluorokuinolon secara luas dianggap optimal untuk mengobati demam tifoid

pada dewasa. Golongan ini relatif murah, ditoleransi dengan baik dan lebih cepat dan

terpercaya efektif daripada obat-obat lini pertama, seperti kloramfenikol, ampisilin,

amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Kebanyakan isolat masih sensitif.

18

Bagaimanapun kelompok organisme dalam spesies (strains) yang multi drug resistant

(MDR), menurunkan pemilihan antibiotik di banyak daerah. Ada dua kategori

resisten obat yaitu: resisten terhadap antibiotik seperti kloramfenikol, ampisilin dan

trimetoprim-sulfametoksazol (MDR strains) dan resisten terhadap obat-obat

fluorokuinolon. Beberapa daerah di Asia juga melaporkan adanya isolat yang resisten

terhadap sefalosporin generasi ketiga.

Keberadaan fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin, fleroksasin,

perfloksasin, pefloksasin) sangat aktif dan kemanjurannya juga sama (kecuali

norfloksasin yang bioavailabilitas oral tidak adekuat dan tidak digunakan pada

demam tifoid). Siprofloksasin, ofloksasin, perfloksasin, dan fleroksasin secara umum

efektif, selain itu siprofloksasin, ofloksasin dan perfloksassin juga tersedia untuk

penggunaan intravena (Anonim,2003a).

b. Kloramfenikol

Kloramfenikol masih merupakan lini pertama pada pengobatan penderita

demam tifoid. Kloramfenikol memiliki aktifitas antimikrobial yang luas, menghambat

bakteri aerob dan anaerob gram positif dan gram negatif, juga bersifat bakteriostatik

terhadap Enterobacteriaceae sedangkan Salmonella typhi termasuk dalam famili ini.

Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat aktivitas peptidil transferase dari

subunit ribosom 50S yang berperan dalam sintesis protein bakteri (Brody, et al.,

1994).

Dosis yang dianjurkan untuk dewasa adalah 500 mg yang diberikan empat

kali dalam sehari selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun.

19

Kelemahan penggunaan kloramfenikol adalah tingginya angka kejang, waktu

pengobatan yang lama (10-14 hari) dan frekuensi penemuan tingkat karier pada

dewasa (Anonim,2003a). Di Indonesia beredar pula dengan nama Tiamfenikol

(Anonim, 2000).

c. Penisilin

Golongan penisilin bekerja dengan mekanisme aksi menghambat sintesis

atau merusak dinding sel bakteri. Dalam terapi demam tifoid, jenis obat ampisilin dan

amoksisilin (sering disebut golongan aminopenisilin) juga digunakan, karena aktif

melawan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif termasuk spesies Salmonella

(Brody, et al., 1994).

Dosisnya 50-100 mg/kgBB/hari secara oral, intramuskular, atau intravena

yang terbagi dalam tiga atau empat dosis. Ampisilin memberikan respons perbaikan

klinis yang kurang apabila dibandingkan Kloramfenikol (Anonim,2003a). Dosis

amoksisilin untuk dewasa diberikan 250-500 mg setiap 8 jam atau 500-875 mg dua

kali sehari. Dosis ampisilin dewasa peroral yaitu 250-500 mg tiap 6 jam (Lacy, et al.,

2006).

d. Trimetoprim-sulfametoksazol

Kombinasi Trimetoprim-sulfametoksazol merupakan obat yang efektif

melawan infeksi saluran kemih, pernapasan dan gastrointestinal, namun juga

merupakan terapi efektif dalam melawan infeksi Salmonella sistemik (tifoid).

Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase yang

berperan dalam sintesis asam nukleat bakteri. Bersama sulfametoksasol menghasilkan

20

aksi yang sinergistik dan meningkatkan aktifitas melawan bakteri tertentu (Brody, et

al., 1994).

Trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMZ) digunakan secara oral atau

intravena pada dewasa dengan dosis 160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali

sehari atau pada anak-anak 4 mg TMP/kg dan 20 mg SMZ/kg selama 14 hari

(Anonim,2003a).

e. Sefalosporin

Sefalosporin terdiri dari empat generasi atau turunan sebagai berikut:

(i) Sefalosporin generasi satu

Aktif melawan bakteri gram positif dan beberapa bakteri gram negatif.

Termasuk di dalamnya adalah obat sefalotin, sefazolin, sefadroksil,

sefaleksin, sefprozil, sefradin dan lorakarbef.

(ii) Sefalosporin generasi kedua

Aktif melawan bakteri gram positif namun lebih banyak gram negatif.

Termasuk didalamnya adalah obat sefamandol, sefuroksim, sefonisid,

sefoksitin, dan sefotetan.

(iii) Sefalosporin generasi ketiga

Aktif melawan bakteri gram negatif tapi kurang melawan bakteri gram

positif. Termasuk didalamnya adalah obat sefotaksim, seftriakson, sefiksim,

seftrisoksim, sefoperazon, seftazidim (Brody, et al., 1994).

21

(iv) Sefalosporin generasi keempat

Aktif melawan bakteri aerob gram negatif. Bila digabungkan dengan

sefalosporin generasi ketiga akan meningkatkan stabilitas dari hidrolisis

oleh plasmid dan kromosomal yang diperantarai β-laktamase. Termasuk

didalamnya adalah obat sefepim (Limbird, H., Ruddon, M., Gilman, 1996).

Mekanisme aksi sefalosporin yaitu dengan menghambat sintesis dinding sel

bakteri. Sefalosporin generasi ketiga (seperti seftriakson, sefiksim, sefotaksim, dan

sefoperazol) dan azitromisin juga obat yang efektif untuk tifoid (DiPiro, 2005).

Sefalosporin generasi ketiga yang digunakan biasanya Sefiksim oral (15-20

mg/kg/hari untuk dewasa, 100-200 mg dua kali sehari), obat lain seperti sefodoksim

juga baik melawan demam tifoid (Anonim,2003a).

Jika antibiotik intravena dibutuhkan, seperti golongan sefalosporin dapat

diberikan dengan dosis sebagai berikut: seftriakson, 50-70 mg/kg/hari (2-4 gram/hari

untuk dewasa) dalam satu atau dua dosis; sefotaksim, 40-80 mg/kg/hari (2-4

gram/hari untuk dewasa) dalam dua atau tiga dosis; sefoperazon, 50-100 mg/kg/hari

(2-4 gram/hari untuk dewasa) dalam dua dosis (Anonim,2003a).

f. Azitromisin

Azitromisin termasuk golongan makrolida yang bekerja dengan cara

menghambat sintesis protein bakteri karena berikatan dengan subunit 50S dan

menghambat proses translokasi (Neal, 2005).

Azitromisin dosis 500 mg (10 mg/kg) diberikan satu kali sehari selama 7

hari juga efektif mengobati demam tifoid pada dewasa dan anak-anak dengan

22

menurunkan demam dengan waktu yang sama dengan kloramfenikol. Dosis 1 gram

perhari selama 5 hari juga efektif bagi dewasa (Anonim,2003a).

Dewasa dan anak-anak dengan demam enterik yang berat ditandai dengan

delirium, obtundation, stupor, koma atau syok diberikan deksametason 1 mg/kg

setiap 6 jam untuk 24 atau 48 jam (DiPiro, 2005). .

Tiga macam vaksin melawan S.typhi yang telah dilisensi oleh negara

Amerika Serikat adalah: vaksin parenteral heat-phenol-inactivated (vaksin

tifoid,USP), vaksin oral (Ty21a, Vivotif Berna) dan vaksin polisakarida parenteral

(ViCPS, Typhim Vi). Ketiga vaksin ini mampu menjaga imunitas selama 3-5 tahun.

Vaksin parenteral inaktif lebih banyak sebabkan efek samping dibandingkan dua

vaksin lainnya namun perlindungannya bisa lebih lama. Vaksin Ty21a dan Vi

direkomendasikan bagi para pengunjung di daerah penyakit endemic dan kelompok

resiko tinggi (DiPiro, 2005).

C. Drug Therapy Problems (DTPs)

Identifikasi Drug Therapy Problems merupakan fokus penentuan dan

keputusan akhir yang dibuat dalam tahapan proses pelayanan pasien. Drug Therapy

Problems merupakan konsekuensi dari kebutuhan akan obat yang kurang tepat, yang

juga merupakan pusat dalam pharmaceutical care practice. Drug Therapy Problems

adalah suatu permasalahan atau kejadian yang tidak diharapkan atau yang

kemungkinan akan dialami pasien selama proses terapi akibat penggunaan obat,

sehingga mengganggu tujuan terapi yang diinginkan. Setiap praktisi tenaga kesehatan

23

bertanggungjawab untuk membantu pasien yang memerlukan tenaga profesional

dalam hal mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah yang dialami

pasien. Identifikasi Drug Therapy Problems merupakan pharmaceutical care yang

membuat diagnosis medis untuk pelayanan medis (Cipolle, Strand dan Moley, 2004).

Tabel II. Kategori dan Penyebab Umum Drug Therapy Problems (DTPs) (Cipolle, et.al., 2004)

No. Jenis DTPs Penyebab Umum DTPs

1 Unnecessary drug therapy

• Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan saat itu • Banyaknya produk obat yang digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan

terapi obat tunggal • Kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat • Terapi obat diberikan untuk mengobati adverse reaction yang dihubungkan

dengan obat lain • Penyalahgunaan obat, merokok, dan penggunaan alkohol dapat menjadi masalah

2 Need for additional drug therapy

• Kondisi medis membutuhkan terapi obat pada awalnya • Pencegahan terapi obat dibutuhkan untuk mengurangi resiko berkembangnya

kondisi baru • Kondisi medis membutuhkan farmakoterapi tambahan untuk mencapai efek

sinergis atau adiktif

3 Ineffective drug

• Obat yang digunakan tidak lebih efektif untuk mengatasi masalah medis • Kondisi medis yang sukar disembuhkan dengan produk obat • Bentuk sediaan dari produk obat yang tidak tepat • Produk obat bukanlah produk yang efektif untuk indikasi yang dialami

4 Dosage too low

• Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan • Interval dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan • Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia • Durasi terapi obat yang terlalu pendek untuk menghasilkan respon yang

diinginkan

5 Adverse drug reaction

• Produk obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis

• Produk obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor resiko • Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak

berhubungan dengan besarnya dosis • Cara pengaturan frekuensi dan jumlah obat (dosage regimen) yang terlalu cepat

untuk diberikan atau terlalu cepat berubah • Produk obat menyebabkan reaksi alergi • Produk obat cenderung kontraindikasi dengan faktor resiko

6 Dosage too high

• Dosis terlalu besar • Frekuensi pemakaian obat terlalu singkat • Durasi terapi obat terlalu panjang • Terjadi interaksi obat yang menghasilkan reaksi toksik dari produk obat • Dosis obat diberikan terlalu cepat

7 Noncompliance

• Pasien tidak mengerti akan perintah • Pasien memilih untuk tidak menggunakan obat • Pasien lupa untuk menggunakan obat • Produk obat terlalu mahal untuk pasien • Pasien tidak dapat menelan atau memakai sendiri obat secara tepat • Produk obat tidak tersedia untuk pasien

24

Untuk mengidentifikasi, menentukan dan mencegah terjadinya Drug

Therapy Problems, seorang praktisi kesehatan harus mengerti bagaimana Drug

Therapy Problems dapat muncul pada proses pengobatan pasien. Pasien yang

mengalami Drug Therapy Problems biasanya mempunyai tiga komponen utama,

yaitu :

a. Peristiwa yang tidak diinginkan atau resiko terhadap terapi yang diterima pasien

b. Terapi obat (obat dan/atau regimen dosis)

c. Hubungan yang terjadi (atau kemungkinan terjadi) antara peristiwa yang tidak

diinginkan pasien dengan terapi obat (Cipolle et al., 2004).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi DTPs yaitu tidak butuh terapi

obat (unnecessary drug therapy), butuh tambahan terapi obat (need for additional

drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage

too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi

(dosage too high) pada pengobatan pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini periode bulan Juli 2007- Juni 2008.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan rancangan penelitian

Penelitian mengenai Evaluasi Kejadian DTPs pada pengobatan Pasien

Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007 - Juni 2008

merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang

bersifat retrospektif. Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang

observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subjek menurut keadaan apa

adanya (in nature), tanpa adanya manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya,

2001). Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena penelitian hanya bertujuan

melakukan eksplorasi deskriptif atau membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu

keadaan secara objektif, kemudian melakukan penilaian terhadap gambaran tersebut

(Notoatmodjo, 2005) kemudian mengevaluasi data dari lembaran rekam medik

berdasarkan studi pustaka kemudian dijabarkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini

menggunakan data secara retrospektif dengan melakukan penelusuran dokumen

terdahulu, yaitu melalui lembar rekam medik pasien tifoid di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007- Juni 2008.

25

26

B. Definisi Operasional

1. Demam tifoid atau tifoid adalah yang menunjukkan tes Widal positif tifoid atau

paratifoid atau keduanya atau dengan kata lain berdasarkan diagnosa dokter

positif tifoid atau paratifoid atau keduanya.

2. Profil kasus penderita tifoid meliputi distribusi umur dan jenis kelamin.

3. Pola pengobatan kasus penderita tifoid digambarkan melalui kelas terapi obat,

golongan dan jenis obat yang digunakan berdasarkan buku acuan Informatorium

Obat Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,

2007/2008.

4. Drug Therapy Problems (DTPs) adalah suatu keadaan yang tidak diinginkan yang

dialami oleh pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat sehingga dapat

mengganggu tercapainya tujuan terapi. DTPs dalam penelitian ini meliputi tidak

butuh terapi obat, butuh tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis

terlalu rendah, efek obat merugikan dan interaksi obat, dan dosis terlalu tinggi.

Interaksi obat diklasifikasikan menurut Cipolle,et al (1998).

5. Outcome adalah gambaran keadaan pasien saat meninggalkan Rumah Sakit Panti

Rini Kalasan Sleman setelah di rawat inap. Sembuh menunjukkan bahwa kasus

meninggalkan rumah sakit setelah melewati masalah-masalah perawatan pada

saat kasus dirawat atau dengan keadaan tidak lagi menunjukkan gejala-gejala

penyakit dan keluhan-keluhan. Membaik menunjukkan bahwa kasus

meninggalkan rumah sakit dengan keadaan yang sudah cukup baik, walaupun

masih ada beberapa gejala yang belum pulih secara total. Belum sembuh

27

menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit dengan keadaan belum

pulih, yang mana masalah-masalah perawatan belum tertangani secara tuntas,

sebagai contoh karena keinginan kasus ataupun keluarga untuk meninggalkan

rumah sakit secepat mungkin.

6. Lembar rekam medik adalah catatan medik pasien yang berisi tentang data nomor

rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis utama, diagnosis

lain, riwayat sakit pasien, riwayat alergi, lama perawatan, instruksi dokter, catatan

keperawatan, catatan penggunaan obat yang meliputi jenis obat, dosis obat, aturan

pakai obat yang diberikan selama terapi, dan hasil laboratorium yang didapatkan

di bagaian rekam medik Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang digunakan adalah kasus dengan kategori remaja

hingga geriatri yaitu yang berumur diatas 11 tahun yang di rawat di instalasi rawat

inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman pada periode Juli 2007 - Juni 2008.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medik kasus tifoid

atau demam tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman

pada periode Juli 2007 - Juni 2008.

28

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rini,

Jalan Solo Km. 12,5 Tirtomartani Kalasan Sleman Yogyakarta.

F. Tata Cara Penelitian

Ada tiga tahapan yang dijalani dalam penelitian ini, yaitu tahap

perencanaan, tahap pengumpulan data dan tahap penyelesaian data.

1. Tahap perencanaan

Pada tahap ini dimulai dengan menentukan dan menganalisis masalah yang

akan digunakan sebagai bahan penelitian, kemudian dilakukan analisis situasi yaitu

survei jumlah kasus tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan

Sleman pada periode Juli 2007 - Juni 2008 dan mengurus perijinan untuk melihat data

rekam medik kasus tersebut.

2. Tahap pengumpulan data

Pada tahap pengumpulan data diawali dengan melakukan penelusuran data

kasus tifoid selama periode Juli 2007-Juni 2008 kemudian dilakukan pengumpulan

data rekam medik dan mencatat data kedalam lembar laporan.

a. Proses pencarian data diperoleh dengan melihat laporan instalasi rekam medik,

yang memuat laporan mengenai jumlah kasus tifoid pada Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Selanjutnya dilakukan

pengambilan data dari lembar rekam medik.

29

b. Pencatatan data kedalam lembar laporan dilakukan dengan melihat data yang

tertera pada data rekam medik kasus tifoid tersebut. Data yang diambil meliputi

data nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, diagnosis masuk, diagnosis

utama, diagnosis lain, riwayat sakit pasien, riwayat alergi, lama perawatan,

instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat yang meliputi

jenis obat, dosis obat, rute pemakaian obat, aturan pakai obat yang diberikan

selama terapi, dan hasil laboratorium.

3. Tahap Penyelesaian data

a. Pengolahan data

Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel umum dengan

beberapa keterangan yang meliputi keterangan identitas kasus terkait umur,

jenis kelamin, diagnosis, keluhan masuk, lama perawatan, nama dan dosis

obat, lama pemakaian obat dan outcome kasus tifoid. Dari tabel ini

kemudian disajikan dalam bentuk diagram yang menampilkan distribusi

umur, jenis kelamin, dan outcome kasus. Kemudian pola pengobatan kasus

tifoid yang meliputi distribusi kelas terapi, golongan dan jenis obat serta

evaluasi mengenai Drug Therapy Problems yang dijabarkan menggunakan

metode Subjective, Objective, Assessment and Recommendation disajikan

dalam bentuk tabel.

b. Evaluasi data

Pola pengobatan kasus tifoid yang meliputi distribusi kelas terapi, golongan

dan jenis obat digambarkan berdasarkan buku acuan Informatorium Obat

30

Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,

2007/2008. Evaluasi pengobatan tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini dilakukan dengan mengidentifikasi Drug Therapy Problems

(DTPs) yang terjadi berdasarkan penelusuran pustaka Drug Information

Handbook 14th edition (Lacy et.al., 2006), British National Formulary 48,

Drug Interaction Fact (Tatro, 2006), Informatorium Obat Nasional

Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7,

2007/2008. Evaluasi dilakukan secara kasus per kasus.

G. Tata Cara Analisis Hasil

Untuk tata cara analisis hasil dilakukan sebagai berikut :

1. Profil kasus penderita tifoid

a. Persentase distribusi umur kasus dikategorikan ke dalam tiga kelompok

yaitu kelompok remaja (12-16 tahun), dewasa (17 - < 65 tahun) dan geriatri

(≥ 65 tahun), yang dihitung dengan cara membagi jumlah kasus pada tiap

kelompok usia dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.

b. Persentase jenis kelamin dikelompokkan menjadi jenis kelamin laki-laki dan

perempuan, dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap

kelompok jenis kelamin dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian

dikalikan 100%.

31

2. Pola pengobatan kasus tifoid

a. Persentase kelas terapi obat dikelompokkan menjadi delapan kelas terapi,

dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus yang mendapat obat

pada kelas terapi tertentu dengan jumlah keseluruhan kasus dalam penelitian

kemudian dikalikan 100%.

b. Persentase jenis obat yang digunakan pada masing-masing kelas terapi

dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap jenis zat aktif

dalam kelas terapi tertentu dengan jumlah keseluruhan kasus yang

mendapat jenis obat pada kelas terapi tersebut kemudian dikalikan 100%.

3. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) diawali dengan penghitungan

persentase terjadinya DTPs dan tidak terjadinya DTPs dari keseluruhan kasus

yang dianalisis kemudian dilakukan pembahasan masing-masing kasus dengan

menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment and Recommendation

karena penelitian bersifat retrospektif. Bagian Subjective diterangkan mengenai

jenis kelamin, usia, diagnosis masuk, diagnosis utama, diagnosis lain (bila ada),

keluhan utama, penyakit yang pernah diderita, riwayat penyakit keluarga,

riwayat alergi, keadaan umum, dan outcome kasus. Bagian Objective

digambarkan dengan tabel mengenai data laboratorium maupun tanda vital yang

dilengkapi dengan pemberian terapi selama perawatan, sedangkan DTPs akan

dijabarkan pada Assessment yang kemudian akan dipecahkan melalui

Rekomendasi. Sesudah dilakukan pembahasan tiap kasus, kemudian dirangkum

yaitu dengan mengelompokkan kasus yang terjadi pada keenam parameter

32

DTPs beserta jenis obat disertai penilaian dan Recommendation terhadap

terjadinya Drug Therapy Problems.

4. Outcome kasus tifoid terbagi dalam tiga golongan yaitu sembuh, membaik dan

belum sembuh, yang persentase tiap golongan dihitung dengan cara membagi

jumlah kasus pada tiap golongan outcome dengan jumlah keseluruhan kasus

kemudian dikalikan 100%.

H. Kesulitan Penelitian

Selama pengumpulan data hingga penyelesaian data, peneliti menemui

beberapa kesulitan, antara lain: kurangnya pengalaman peneliti dalam membaca

tulisan dokter maupun perawat pada lembar rekam medik, dan terdapat beberapa

istilah maupun lokal terminologi dalam lembar rekam medik yang tidak dimengerti

oleh peneliti. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi dengan bantuan perawat

maupun petugas administrasi rekam medik di Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit

Panti Rini Kalasan Sleman.

Kesulitan lain juga dihadapi peneliti saat melakukan evaluasi data. Hal ini

dikarenakan terdapat beberapa data yang tidak lengkap dalam lembar rekam medik,

seperti dosis obat, catatan perjalanan penyakit pasien, dan beberapa data

laboratorium. Kesulitan yang dihadapi dalam penelitian ini juga diakibatkan karena

penelitian dilakukan secara retrospektif dimana peneliti tidak dapat mengamati

perkembangan kondisi pasien yang sebenarnya berkaitan dengan analisis DTPs yaitu

terjadinya efek samping obat dan kepatuhan penggunaan obat oleh kasus.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian yang diangkat dengan judul “Evaluasi Drug Therapy Problems

pada Pengobatan Pasien Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Periode Juli 2007- Juni 2008” ini terbagi dalam empat kategori yang memuat tentang

profil kasus penderita tifoid, pola pengobatan kasus penderita tifoid, evaluasi Drug

Therapy Problems (DTPs) dan outcome kasus penderita tifoid di instalasi rawat inap

Rumah Sakit Panti Rini.

Profil kasus penderita tifoid dibagi dalam 2 subkategori yang dibagi

berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin. Pada pola pengobatan kasus penyakit

tifoid terbagi dalam 3 subkategori yang memuat tentang pembagian obat berdasarkan

kelas terapi, golongan dan jenis obat. Pada evaluasi DTPs akan diterangkan dengan

menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment, and Recommendation yang

ditampilkan dalam bentuk tabel. Pada outcome kasus penderita tifoid akan terbagi

dalam 3 subkategori yaitu sembuh, membaik dan belum sembuh yang menunjukkan

keadaan kasus saat keluar rumah sakit.

Pada penelitian ini, evaluasi dilakukan pada 45 kasus penderita tifoid yang

dirawat di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rini Kalasan, Sleman.

33

34

A. Profil Kasus Penderita Tifoid

Profil kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap rumah sakit

Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 terbagi dalam 2 subkategori yang dibagi

berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin.

1. Berdasarkan Distribusi Umur

Pembagian berdasarkan distribusi umur bertujuan untuk menggambarkan

dan membandingkan profil kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap

rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Penelitian ini dilakukan pada

pasien tifoid dengan kategori remaja hingga geriatri yaitu yang berumur diatas 11

tahun. Berdasarkan pengamatan, kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat

inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ternyata adalah kasus remaja

dengan umur mulai dari 14 tahun hingga geriatri 75 tahun. Dalam penelitian ini, umur

dikategorikan kedalam 3 kelompok yaitu kelompok remaja (12-16 tahun), dewasa

(17- < 65 tahun) dan geriatri (≥ 65 tahun). Seperti yang terlihat pada gambar 1,

persentase kasus penderita tifoid pada kelompok umur remaja yaitu 3 kasus (7%),

kelompok dewasa yaitu 40 kasus (89%) dan kelompok geriatri yaitu 2 kasus (4%).

Dan dari hasil tersebut terlihat kelompok umur dewasa merupakan kelompok umur

terbesar penderita penyakit tifoid.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita tifoid terbesar

pada kelompok umur dewasa. Berdasarkan WHO (2003), di Indonesia kelompok

penderita tifoid berada dalam range umur 3-19 tahun, yang mana kategori dewasa

juga termasuk didalamnya, selain itu di beberapa negara juga terjadi pada kelompok

35

dewasa diatas 35 tahun. Tifoid yang terjadi pada kelompok dewasa kemungkinan

disebabkan karena kurangnya perhatian akan kualitas makanan dan minuman yang

dikonsumsi.

Persentase kasus penderita tifoid berdasarkan distribusi umur

7%

89%

4%

Remaja Dewasa Geriatri

Gambar 1. Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Distribusi Umur

2. Berdasarkan Jenis Kelamin

Pembagian berdasarkan jenis kelamin bertujuan untuk menggambarkan dan

membandingkan profil kasus penderita tifoid yang dirawat di instalasi rawat inap

rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Dan kasus penderita tifoid yang

dirawat di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008

adalah kasus yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan

perempuan. Seperti pada gambar 2, dari 45 kasus terdapat 21 kasus (47%) berjenis

kelamin laki-laki dan 24 kasus (53%) berjenis kelamin perempuan.

36

Pada penelitian ini tidak dapat dihubungkan antara jenis kelamin dan

penyakit tifoid karena penyakit tifoid dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki

selama tidak adanya perhatian akan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi.

Gambar 2. Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap

Persentase kasus penderita tifoid berdasarkan jenis kelamin

47%

53% Laki-lakiPerempuan

Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan Jenis Kelamin

B. Pola Pengobatan Kasus Penderita Tifoid

Pola pengobatan kasus penyakit tifoid di instalasi rawat inap rumah sakit

Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 merupakan gambaran pengobatan yang dapat

dibagi dalam 3 subkategori yang meliputi kelas terapi obat, golongan obat dan jenis

obat yang digunakan.

1. Kelas Terapi Obat

Dari obat-obat yang digunakan oleh kasus penderita tifoid di instalasi rawat

inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 dapat dibagi dalam beberapa

kelas terapi berdasarkan acuan pustaka Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000

37

dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008 yaitu obat antiinfeksi,

obat yang bekerja pada sistem neuromuskular, obat yang bekerja pada sistem saluran

pencernaan, obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan, obat yang bekerja

pada sistem kardiovaskuler, obat gizi dan darah, obat hormonal dan obat lain-lain

(Tabel II).

Tabel III. Distribusi Kelas Terapi Obat pada kasus penyakit tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008

No. Kelas Terapi Obat Jumlah kasus (n = 45)

Persentase (%)

1. Obat Antiinfeksi 45 100 2. Obat gizi dan darah 45 100 3. Obat yang bekerja pada sistem

neuromuskular 44 97,8

4. Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan

38 84,4

5. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan

9 20

6. Obat yang bekerja pada kardiovaskular

5 11,1

7. Obat Hormonal 5 11,1 8. Obat lain-lain 1 2,2

Berdasarkan tabel kelas terapi diatas, obat antiinfeksi dan obat gizi dan

darah menduduki peringkat teratas dengan persentase 100% dalam pengobatan

penyakit tifoid di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni

2008. Obat antiinfeksi merupakan obat pilihan yang digunakan dalam pengobatan

karena penyakit tifoid tergolong penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

Demikian pula obat gizi dan darah juga diperlukan dalam pengobatan penyakit tifoid

untuk memenuhi asupan nutrisi, meningkatkan sistem imun tubuh pasien yang

terserang bakteri, dan juga membantu dalam proses pemulihan kesehatan.

38

2. Golongan dan Jenis Obat

Golongan obat yang diberikan untuk kasus penyakit tifoid disajikan menurut

kelas terapi dan jenisnya. Perincian mengenai golongan obat dan jenis obat dari setiap

kelas terapi obat yang diberikan pada kasus akan dijabarkan satu persatu.

a. Obat Antiinfeksi

Tabel IV. Golongan dan Jenis Obat Antiinfeksi yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus

(61) Prosentase

(%) I. Antibakteri

Amoksisilin 6 9,8 1 Penisilin Amoksisilin trihidrat dan K-klavulanat

1 1,6

Sefuroksim 2 3,2 Sefotaksim 1 1,6 Sefprozil 1 1,6 Seftriakson 1 1,6

2 Sefalosporin

Sefadroksil 1 1,6 Pefloksasin 15 24,6 Siprofloksasin 2 3,2 Ofloksasin 1 1,6

3 Kuinolon

Levofloksasin 2 3,2 4 Kloramfenikol Tiamfenikol 23 37,7

II. Antivirus

1 Antiprotozoa Metronidazol 1 1,6

2 Methisoprinol 4 6,6 Obat Antiinfeksi yang digunakan adalah obat golongan antibakteri dan

antivirus. Golongan antibakteri sendiri terdiri dari beberapa sub-golongan yaitu

penisilin, sefalosporin, kuinolon dan kloramfenikol. Untuk golongan antivirus terdiri

dari sub-golongan antiprotozoa dan sub-golongan lain. Golongan yang paling banyak

39

digunakan adalah golongan kloramfenikol dengan jenis obat tiamfenikol (37,7%) dan

sesudahnya menyusul golongan kuinolon dengan jenis obat pefloksasin (24,6%).

Berdasarkan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 (Anonim, 2000),

golongan kloramfenikol merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang bersifat

bakteriostatik terhadap kuman yang peka seperti beberapa strain Salmonella, namun

juga bisa bersifat toksik. Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein

kuman dengan cara berikatan pada ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan

rantai peptida.

Berdasarkan WHO (2003), golongan kloramfenikol merupakan obat

alternatif atau obat cadangan yang efektif mengobati penyakit tifoid. Dalam

Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 juga disebutkan bahwa jenis obat

tiamfenikol dipakai sebagai substitusi kloramfenikol karena dianggap lebih aman,

namun tidak terdapat bukti yang memadai.

Berdasarkan WHO (2003), golongan kuinolon merupakan obat pilihan dan

merupakan terapi optimal dalam pengobatan penyakit tifoid. Golongan kuinolon

bekerja dengan menghambat DNA gyrase sehingga sintesis DNA kuman terganggu.

Dalam British Journal of Pharmacology (Anonim, 2001), disebutkan bahwa jenis

obat pefloksasin merupakan agen antiinfeksi spektrum luas yang secara aktif

melawan bakteri gram negatif dan gram positif.

Oleh sebab itu, dalam pengobatan penyakit tifoid yang disebabkan oleh

bakteri negatif Salmonella sp., penggunaan antibakteri dari golongan kloramfenikol

40

dengan jenis obat tiamfenikol maupun golongan kuinolon dengan jenis obat

pefloksasin sangat tepat.

b. Obat yang bekerja pada sistem neuromuskular

Tabel V. Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem neuromuskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus

(84) Prosentase

(%) I. Analgesik

Parasetamol 35 41,7 Parasetamol dan asetil sistein

10 11,9

Metampiron 22 26,2

1 Analgesik - antipiretik

Metampiron dan diazepam

10 11,9

Ketoprofen 1 1,2 Meloksikam 1 1,2 Celekoksib 1 1,2 Tinoridine HCl 1 1,2

2 Analgesik-antiinflamasi (antireumatik)

Natrium diklofenak 1 1,2 II. Antimigren Flunarizin 1 1,2 III. Ansiolitik Diazepam 1 1,2

Golongan obat yang digunakan pada sistem neuromuskular adalah golongan

analgesik yang terdiri dari sub-golongan analgesik-antipiretik dan analgesik-

antiinflamasi (antireumatik), golongan antimigren dan golongan ansiolitik.

Dan golongan obat yang banyak digunakan pada sistem neuromuskular

adalah golongan analgesik – antipiretik dengan jenis obat yaitu parasetamol (41,7%)

dan metampiron (26,2%). Berdasarkan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000,

parasetamol digunakan unutk mengobati nyeri ringan sampai sedang, juga untuk

menurunkan demam. Parasetamol kurang mengiritasi lambung sehingga secara umum

41

lebih disukai khususnya pada orang lanjut usia. Metampiron merupakan turunan

Dipiron yang berguna dalam meredakan nyeri hebat yang berhubungan dengan sakit

kepala.

Dalam pengobatan penyakit tifoid, penggunaaan obat analgesik-antipiretik

sangat diperlukan karena pasien tifoid sering menunjukkan gejala-gejala non-spesifik

yang umum terjadi seperti demam, sakit kepala dan nyeri otot.

c. Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan

Tabel VI. Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran pencernaan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah

kasus (83) Prosentase

(%) I. Antitukak 1 Antasida Al(OH)3, Mg(OH)2 dan simetikon 14 16,9 2 Antagonis

reseptor-H2 Ranitidin HCl 21 25,3

3 Khelator dan senyawa kompleks

Sukralfat 1 1,2

Lansoprazol

2 2,4 4 Penghambat pompa proton

Omeprazol 1 1,2 II. Antispasmodik

Mebeverin HCl 2 2,4 Klordiazepoxid dan klidinium Br 2 2,4

1 Antispasmodik lain

Fenilpropiletilamin dan klordiazepoksid

1 1,2

III. Antidiare 1 Adsorben dan

obat pembentuk massa

Attapulgit dan pektin 3 3,6

2 Dioktahedral smectite 1 1,2 IV. Antiemetik , regulator GIT

Dimenhidrinat 1 1,2 Ondansetron HCl 2 2,4 Metoklopramid HCl 15 18,1

1

Domperidon 2 2,4

42

Tabel V. Lanjutan V. Digestan Enzyplex® 3 3,6 VI. Hepatik protektor, kolelitolitik

Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat

10 12,0 1

Asam Ursodeoksikolik 2 2,4

Golongan obat yang digunakan pada sistem saluran pencernaan adalah

golongan antitukak yang terdiri dari sub-golongan antasida, antagonis reseptor-H2,

khelator dan senyawa kompleks, dan penghambat pompa proton. Golongan

berikutnya adalah golongan antispasmodik; antidiare yang terdiri dari sub-golongan

adsorben dan pembentuk massa dan sub-golongan lain; antiemetik, regulator GIT;

digestan dan golongan hepatik protektor, kolelitolitik.

Golongan dan jenis obat yang paling banyak digunakan adalah obat

golongan antitukak, sub-golongan antagonis reseptor-H2 dengan jenis obat ranitidin

hidroklorida (sebesar 25,3%) dan berikutnya adalah obat golongan antiemetik,

regulator GIT dengan jenis obat metoklopramid hidroklorida (sebesar 18,1%).

Ranitidin hidroklorida menyembuhkan tukak lambung dan tukak duodenum

dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat hambatan reseptor H2.

Indikasi lain menunjukkan bahwa ranitidin hidroklorida juga digunakan untuk

mengatasi refluks esofagitis, dispepsia episodik, dan kondisi lain dimana

pengurangan asam lambung akan bermanfaat. Metoklopramid hidroklorida sering

digunakan untuk mengobati mual dan muntah, terutama pada gangguan saluran cerna

yang dialami oleh pasien. Dalam pengobatan penyakit tifoid, ranitidin hidroklorida

43

dan metoklopramid hidroklorida digunakan untuk mengobati gejala mual dan

muntah yang sering dialami oleh pasien.

d. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan

Tabel VII. Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus

(13) Prosentase

(%) I. Ekspektoran 1 Difenhidramin

kombinasi Sanadryl ekspektoran®

7 53,8

2 Sanadryl DMP ® 1 7,7 II. Antitusif Kodein fosfat 2 15,4

III. Antihistamin 1 Antihistamin non-

sedatif Cetirizin HCl 1 8,3

2 Antihistamin sedatif Difenhidramina-HCl 1 8,3

Golongan obat yang digunakan pada sistem saluran pernapasan adalah

golongan ekspektoran, antitusif, dan antihistamin. Golongan antihistamin terbagi

dalam dua sub-golongan yaitu antihistamin non-sedatif dan antihistamin sedatif.

Golongan yang paling banyak digunakan adalah golongan ekspektoran

dengan jenis obat Sanadryl ekspektoran® yang mengandung difenhidramin HCl,

ammon Cl, k-guaiakolsulfonat, natrium sitrat, dan mentol (sebesar 53,8%) dan

selanjutnya adalah golongan antitusif dengan jenis obat kodein fosfat (sebesar

15,8%).

Jenis obat Sanadryl ekspektoran® yang mengandung difenhidramin

kombinasi bekerja untuk mengatasi batuk dan kongesti pada saluran napas dan

tenggorokan, sedangkan jenis obat kodein fosfat bekerja untuk mengatasi batuk

44

kering atau batuk yang disertai nyeri. Dalam Informatorium Obat Nasional Indonesia

2000 (Anonim, 2000), dikatakan bahwa penggunaan antitusif memberikan manfaat

klinis dalam mengatasi batuk kering yang sangat mengganggu tidur.

Berdasarkan DiPiro (2005) salah satu gejala non-spesifik yang ditunjukkan

oleh penderita tifoid adalah batuk. Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ini,

ditemukan beberapa kasus mengalami batuk berdahak dan batuk kering tertentu yang

mengganggu saat tidur, sehingga pemberian terapi dengan ekspektoran dan antitusif

untuk kasus-kasus tertentu dirasa sudah tepat.

e. Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular

Tabel VIII. Golongan dan Jenis Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus (5) Prosentase

(%) I. ACE inhibitor Captopril 1 20 II. Golongan lain Adenosin trifosfat,

vit.B1, B6, B12, E 4 80

Golongan obat yang digunakan pada sistem kardiovaskular adalah golongan

Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor dan golongan lain. Golongan lain

yang paling banyak digunakan pada sistem kardiovaskular adalah jenis obat

Enerplus® yang mengandung adenosin trifosfat, vitamin B1, B6, B12, dan vitamin E

(sebesar 80%). Obat ini bekerja untuk mengatasi astenia muskular, gangguan

metabolik pada otot jantung dan kelelahan fisik. Dalam penelitian pengobatan

penyakit tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni

45

2008 ini, ditemukan empat kasus mengalami badan lemas atau kelelahan fisik

sehingga diberi pengobatan dengan obat ini.

Golongan ACE inhibitor dengan jenis obat captopril (sebesar 20%) bekerja

dengan cara menghambat Angiotensin-Converting Enzyme sehingga mencegah

terjadinya perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II yang menyebabkan

meningkatnya aktivitas renin, yaitu suatu enzim yang berperan dalam pengaturan

tekanan darah. Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat inap

Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ini, ditemukan satu kasus

penderita hipertensi.

f. Obat gizi dan darah

Tabel IX. Golongan dan Jenis Obat Gizi dan darah yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah

kasus (66) Prosentase

(%) I. Vitamin Vitamin C 2 3 II. Multivitamin/dengan mineral

Imunos® 8 12,1

Becom-C ® 5 7,6 Megazing® 2 3

1

Lycoxy® 1 1,5 III. Elektrolit dan mineral

Ringer Laktat 40 60,6 Dekstrose 5% 1 1,5 KAEN 3A 1 1,5 KAEN 3B 4 6,1

1 Infusan

Asering 3 4,5

46

Golongan obat yang termasuk dalam obat gizi dan darah adalah golongan

vitamin, multivitamin/dengan mineral, dan elektrolit dan mineral. Golongan yang

terbanyak digunakan adalah golongan elektrolit dan mineral dengan sub-golongan

infusan dengan jenis ringer laktat (sebesar 60,6%). Golongan kedua terbanyak adalah

multivitamin/dengan mineral dengan jenis obat Imunos® yang mengandung

echinacea, zinc picolinat, selenium, dan asam askorbat (sebesar 12,1%).

Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat inap Rumah

Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ini, penggunaan golongan elektrolit dan

mineral dengan sub-golongan infusan serta penggunaan golongan

multivitamin/dengan mineral sangat membantu dalam proses pemulihan memenuhi

asupan nutrisi, meningkatkan sistem imun tubuh pasien yang terserang bakteri, dan

juga membantu dalam proses pemulihan kesehatan.

g. Obat Hormonal

Tabel X. Golongan dan Jenis Obat Hormonal yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus (5) Prosentase

(%) Metilprednisolon 3 60* I. Kortikosteroid Deksametason 1 20

II. Estrogen dan progesterone dan preparat sintetiknya

Norethisteron 1 20

Golongan obat hormonal yang digunakan adalah golongan kortikosteroid

dengan jenis obat metilprednisolon dan deksametason, dan golongan estrogen dan

47

progesteron dan preparat sintetiknya. Golongan terbanyak yang digunakan adalah

golongan kortikosteroid dengan jenis obat metilprednisolon (sebesar 60%).

Berdasarkan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 (Anonim, 2000),

golongan kortikosteroid memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid

sehingga memperlihatkan efek yang beragam yang meliputi efek terhadap

metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid; efek terhadap keseimbangan air dan

elektrolit, dan efek terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh.

Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat inap Rumah Sakit

Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008 ini, jenis obat metilprednisolon bekerja

dengan cara menekan reaksi radang yang kemungkinan diderita oleh kasus.

h. Obat lain-lain

Tabel XI. Golongan dan Jenis Obat lain-lain yang Diterima Kasus Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

periode Juli 2007-Juni 2008 No Golongan obat Jenis obat Jumlah kasus Prosentase

(%)

1 Coctail (Campuran obat batuk-flu)

Ambroxol, Pseudoefedrin, triprolidin hidroklorida, OBH dan sirup timi

1 100

Dalam penelitian yang dilakukan terdapat penggunaan campuran obat batuk

dan flu yang terdiri dari campuran jenis obat ambroxol, pseudoefedrin, triprolidin

hidroklorida, obat batuk hitam dan sirup timi. Penggunaan obat ini ditujukan pada

pasien yang menunjukkan gejala batuk dan flu. Dosis yang digunakan untuk

mencampur obat-obat tersebut berdasarkan rekomendasi dokter, sehingga

48

kelemahannya tidak tercantum dalam rekam medik besar dosis yang digunakan untuk

masing-masing obat.

C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)

Pada proses evaluasi DTPs pengobatan tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008, jenis DTPs yang ditemukan dalam

penelitian ini adalah dosis terlalu rendah dan potensial interaksi obat.

Berdasarkan hasil evaluasi terjadinya DTPs, dari 45 kasus yang dianalisis

terdapat 15 kasus (33%) yang tidak terjadi DTPs dan 30 kasus (67%) terjadi DTPs.

Persentase Kejadian DTPs

33%

67%

tidak terjadi DTPsterjadi DTPs

Gambar 3. Persentase Kejadian DTPs pada Pengobatan Tifoid

di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008

Pada masing-masing kasus yang telah dibahas melalui penelusuran pustaka

dengan metode Subjective, Objective, Assessment and Recommendation kemudian

49

akan dirangkum menjadi masing-masing kategori DTPs yaitu dosis terlalu rendah dan

interaksi obat dalam penggunaan obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008.

1. Dosis terlalu rendah

Tabel XII. Kasus DTPs Dosis Terlalu rendah pada Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008

Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi 2,3,10, 14, 15, 17,18, 26,41

Pefloksasin Dosis pefloksasin yang diterima kasus terlalu rendah hanya sekali sehari. Dosis yang dianjurkan adalah dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari (Anonim, 2008b).

Penggunaan peflok-sasin dinaikkanmenjadi dua kali seharisehingga dosistercapai.

31 Sefuroksim (inj.)

Dosis yang diterima kasus terlalu rendah hanya 750 mg dua kali sehari. Dosis injeksi Sefuroksim adalah 750 mg tiap 8 jam atau 3 kali sehari (Lacy, et al, 2006 dan Anonim, 2008b).

Menaikkan dosisinjeksi Sefuroksimmenjadi 750 mg tigakali sehari sehinggadosis terapi tercapai.

Terjadinya DTPs dosis terlalu rendah dapat menyebabkan efek terapi yang

diharapkan kurang optimal. Berdasarkan MIMS (Anonim, 2008b), dosis pemberian

antibiotik Pefloksasin adalah dua kali satu tablet (400 mg) per-hari, namun pada

kasus 2, 3, 10, 14, 15, 17, 18, 26, dan 41, pefloksasin hanya diberikan satu kali per-

hari.

Berdasarkan Drug Information Handbook (Lacy, et al, 2006) dan MIMS

(Anonim, 2008b), dosis pemberian antibiotik Sefuroksim injeksi adalah 3 kali 1

ampul (750 mg) per-hari, namun pada kasus 31, Sefuroksim injeksi hanya diberikan

dua kali per-hari.

50

2. Interaksi obat

Tabel XIII. Kasus DTPs Interaksi obat pada Kasus Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Periode Juli 2007-Juni 2008

Kasus Jenis Obat Penilaian Rekomendasi 3,5,8,9 12,15,21,24,25,27,28,31,39

Metoklopramid hidroklorida-parasetamol

Pemberian metoklopramid hidroklorida bersama parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus (Anonim, 2004 dan Anonim, 2008b).

Mengatur waktu pemberian metoklopramid hidroklorida dan parasetamol agar tidak bersamaan. Metoklopramid hidroklorida bisa diberikan 30 menit sebelum makan. Dan parasetamol diberikan setelah makan.

6,11, 14,17,20,41

Pefloksasin-antasida

Pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin (Anonim, 2004 dan Anonim, 2008b). Menurut Drug Interaction Facts (Tatro, D.S., 2006), signifikansinya 2 artinya tingkat keparahan penyakitnya moderate yang berarti efeknya mampu memperburuk keadaan klinis pasien.

Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. Pemberian antasida 6 jam sebelum atau 2 jam sesudah pemberian obat pefloksasin.

6 Siprofloksasin-antasida

Pemberian Siprofloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi siprofloksasin (Anonim, 2004 dan Anonim, 2008b). Menurut Tatro (2006) signifikansinya 2.

Mengatur waktu pemberian siprofloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. Pemberian antasida 6 jam sebelum atau 2 jam sesudah pemberian obat siprofloksasin.

8,44,45 Diazepam-Ranitidin

Pemberian diazepam bersama ranitidin bisa menaikkan atau menurunkan efek dari diazepam. Menurut Tatro (2006) signifikansinya 5 artinya bahwa efeknya ringan.

Mengatur waktu pemberian diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan. Bisa dilakukan secara bergiliran, dengan terus memonitor respon klinis dari pasien.

10,19 Domperidon-parasetamol

Penggunaan bersama domperidon dan parasetamol akan meningkatkan absorpsi parasetamol (Anonim, 2004).

Mengatur waktu pemberian domperidon dan parasetamol-asetil sistein agar tidak bersamaan. Domperidon dapat diberikan 15 menit sebelum makan, sedangkan parasetamol diberikan setelah makan.

18 Pefloksasin- Sukralfat

Pemberian obat Pefloksasin bersamaan dengan Sukralfat akan menurunkan absorpsi dari pefloksasin. Menurut Tatro (2006), signifikansinya 2.

Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan sukralfat agar tidak bersamaan, jika tidak dapat dihindarkan maka sukralfat diberikan 6 jam sesudah pefloksasin.

51

Tabel XIII. Lanjutan Kasus DTPs Interaksi obat 18 Ranitidin

hidroklorida- Sukralfat

Penggunaan ranitidin Hidroklorida bersamaan dengan sukralfat akan menurunkan absorpsi dari ranitidin Hidroklorida (Anonim, 2008b).

Mengatur waktu pemberian ranitidin Hidroklorida dan sukralfat agar tidak bersamaan. Sukralfat diberikan 2,5 jam sesudah penggunaan ranitidin.

18 Ketoprofen-Pefloksasin

Penggunaan bersama ketoprofen (AINS) dengan pefloksasin (kuinolon) akan meningkatkan resiko terjadinya kejang (Anonim, 2004).

Mengatur waktu pemberian ketoprofen dan pefloksasin agar tidak bersamaan. Pefloksasin diberikan 2-4 jam setelah penggunaan Ketoprofen.

18 Ketoprofen- ranitidin

Penggunaan ketoprofen dengan ranitidin akan menimbulkan efek berubahnya efek terapi dari ketoprofen. Menurut Tatro (2006), signifikansinya 5 artinya keberbahayaannya relatif ringan.

Tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.

29

Metronidazol- Diazepam

Metronidazol dapat meningkatkan efek dari golongan Benzodiazepin tertentu (Diazepam) (Lacy, et al, 2006).

Mengatur waktu pemberian Metronidazol dan metampiron-diazepam agar tidak bersamaan. Metampiron-diazepam diberikan 6 jam setelah penggunaan Metronidazol.

30,41 Ranitidin Hidroklorida- antasida

Penggunaan Ranitidin Hidroklorida bersama antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan efek dari Ranitidin HCl. Menurut Tatro (2006), signifikansinya 5 artinya keberbahayaannya relatif ringan dan ada kemungkinan bisa terjadi, namun data buktinya terbatas.

Tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.

34 Levofloksasin -Tinoridine Hidroklorida

Penggunaan Levofloksasin bersama Tinoridine Hidroklorida (golongan AINS) kemungkinan akan meningkatkan resiko terjadinya kejang (Anonim, 2004 dan Anonim, 2008b).

Mengatur waktu pemberian Levofloksasin dan Tinoridine HCl agar tidak bersamaan. Tinoridine hidroklorida diberikan 6-8 jam setelah penggunaan Levofloksasin.

36 Kodein fosfat - siprofloksasin

Penggunaan Kodein fosfat (analgesik opioid) dengan siprofloksasin harus dihindari, karena dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi siprofloksasin dalam plasma (Anonim, 2004).

Hentikan penggunaan kodein karena menyebabkan interaksi, memilih obat batuk lain.

36 Kodein fosfat - Diazepam

Penggunaan Kodein fosfat (analgesik opioid) bersama obat Diazepam (ansietas dan hipnotik) akan meningkatkan efek sedatif (Anonim, 2004).

Hentikan penggunaan kodein karena menyebabkan interaksi, memilih obat batuk lain.

52

Terjadinya DTPs interaksi obat dapat menyebabkan terapi menjadi tidak

optimal, misalnya dengan adanya penurunan absorpsi suatu obat oleh obat lain dan

menurunnya kadar plasma suatu obat karena berinteraksi dengan obat lain. Pada

beberapa kasus, interaksi obat yang terjadi dapat menimbulkan efek yang merugikan

seperti potensi terjadinya kejang maupun peningkatan efek sedatif. Kejang berpotensi

terjadi bila terjadi interaksi antara obat golongan Anti Inflamasi Non Steroid dengan

obat golongan kuinolon seperti terlihat pada kasus 18 dan 34. Pada kasus 18, waktu

paruh ketoprofen adalah 2-4 jam sehingga pengatasannya dapat dilakukan dengan

pemberian pefloksasin 2-4 jam setelah penggunaan ketoprofen. Pada kasus 34,

pengatasannya dengan memberikan tinoridin hidroklorida 6-8 jam setelah

penggunaan levofloksasin. Peningkatan efek sedatif selain itu dapat terjadi bila ada

interaksi antara kodein fosfat dan diazepam seperti pada kasus 36.

Kasus DTPs interaksi obat yang terjadi merupakan DTPs yang bersifat

potensial, artinya DTPs tersebut berpotensi terjadi. Pada penelitian ini DTPs interaksi

obat paling banyak adalah interaksi antara metoklopramid hidroklorida dan

parasetamol, yaitu sebanyak 13 kasus. Berdasarkan British National Formulary

(Anonim, 2004) dan MIMS (Anonim, 2008b), efek dari interaksi kedua obat tersebut

adalah peningkatan absorpsi parasetamol. Pengatasannya dapat dilakukan dengan

memberikan metoklopramid hidroklorida 30 menit sebelum makan dan parasetamol

diberikan setelah makan.

Obat lain yang mempunyai kemungkinan berinteraksi jika diberikan

bersamaan adalah pefloksasin dan antasida yang mengandung aluminium dan

53

magnesium. Pada penelitian ini DTPs interaksi obat pefloksasin dan antasida terjadi

sebanyak 6 kasus. Berdasarkan British National Formulary dan MIMS, efek dari

interaksi keduanya adalah penurunan absorbsi pefloksasin. Berdasarkan Drug

Interaction Facts, signifikansi interaksi adalah 2 yang menunjukkan bahwa tingkat

keparahan penyakitnya moderate yang berarti efeknya mampu memperburuk keadaan

klinis pasien. Demikian pula interaksi antara obat siprofloksasin dengan antasida

yang terjadi pada kasus 6. Pengatasannya dapat dilakukan dengan pemberian antasida

6 jam sebelum atau 2 jam sesudah pemberian obat golongan Kuinolon.

Interaksi yang berpotensi terjadi penurunan absorbsi suatu obat oleh obat

lain yaitu interaksi antara diazepam dan ranitidin yang dapat menurunkan efek dari

diazepam, yang terjadi pada kasus 8, 44, dan 45. Menurut Drug Interaction Facts

signifikansinya 5 artinya bahwa efeknya ringan, pengatasannya dengan mengatur

waktu pemberian diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan, yang mana

pemberiannya bisa dilakukan secara bergiliran, dengan terus memonitor respon klinis

dari pasien.

Interaksi antara pefloksasin dan sukralfat, yang berefek penurunan absorbsi

dari pefloksasin dan berdasarkan Drug Interaction Facts, signifikansi interaksinya

adalah 2. Interaksi ini terjadi pada kasus 18. Pengatasannya dapat dilakukan dengan

memberikan sukralfat 6 jam setelah penggunaan pefloksasin, bila penggunaan

keduanya tidak dapat dihindari.

Interaksi lain yaitu antara ranitidin dan sukralfat, pada kasus 18 yang

menyebabkan penurunan absorbsi ranitidin. Karena waktu paruh ranitidin adalah 2,5

54

jam, maka pengatasannya dengan memberikan sukralfat 2,5 jam setelah penggunaan

ranitidin. Interaksi lain yang juga menyebabkan penurunan absorbsi ranitidin yaitu

interaksi antara ranitidin dan antasida pada kasus 30 dan 41. Pada kasus 18,

penggunaan ketoprofen dengan ranitidin akan menimbulkan interaksi yaitu

berubahnya efek terapi dari ketoprofen.

Menurut Drug Interaction Facts interaksi ranitidin-antasida, ketoprofen-

ranitidin memiliki nilai signifikansi 5 artinya keberbahayaannya relatif ringan dan ada

kemungkinan bisa terjadi, namun data buktinya terbatas. Oleh karena relatif kurang

berbahaya, maka tidak diperlukan intervensi klinis. Selain itu interaksi yang terjadi

antara kodein fosfat dan siprofloksasin juga berefek penurunan konsentrasi

siprofloksasin dalam plasma, seperti yang terjadi pada kasus 36.

Interaksi yang berpotensi terjadi peningkatan absorbsi suatu obat oleh obat

lain yaitu interaksi antara domperidon dan parasetamol, yang berefek peningkatan

absorbsi parasetamol, seperti yang terjadi pada kasus 10 dan 19. Pengatasannya dapat

dilakukan dengan memberikan domperidon 15 menit sebelum makan, sedangkan

parasetamol-asetil sistein dapat diberikan setelah makan.

Interaksi lainnya yaitu antara metronidazol dan diazepam, yang berdasarkan

Drug Information Handbook dapat meningkatkan efek dari diazepam, yang terjadi

pada kasus 29. Waktu paruh metronidazol adalah 6 jam sehingga pengatasannya

dengan memberikan metampiron-diazepam 6 jam setelah penggunaan metronidazol.

55

D. Outcome Kasus Penderita Tifoid

Dalam penelitian pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat inap Rumah

Sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008, dilakukan penggolongan outcome kasus

penderita tifoid. Outcome menunjukkan gambaran keadaan pasien saat meninggalkan

rumah sakit setelah di rawat inap.

Berdasarkan penelitian, dari keempat puluh lima kasus terdapat tiga

golongan outcome yaitu sembuh sebanyak 9 kasus (dengan persentase sebesar 20%),

membaik sebanyak 34 kasus (sebesar 76%) dan belum sembuh sebanyak 2 kasus

(sebesar 4%).

Persentase kasus penderita tifoid berdasarkan outcome

20%

76%

4%

Sembuh Membaik Belum sembuh

Gambar 4. Persentase Kasus Penderita Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007-Juni 2008 berdasarkan

Outcome

Sembuh menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit setelah

melewati masalah-masalah perawatan pada saat kasus dirawat atau dengan keadaan

tidak lagi menunjukkan gejala-gejala penyakit dan keluhan-keluhan. Membaik

56

menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit dengan keadaan yang sudah

cukup baik, walaupun masih ada beberapa gejala yang belum pulih secara total.

Belum sembuh menunjukkan bahwa kasus meninggalkan rumah sakit dengan

keadaan belum pulih, yang mana masalah-masalah perawatan belum tertangani secara

tuntas. Kadang keadaan ini terdesak karena keinginan kasus ataupun keluarga untuk

meninggalkan rumah sakit secepat mungkin.

E. Rangkuman Pembahasan

Pada penelitian Evaluasi Drug Therapy Problems pada Pengobatan Pasien

Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Periode Juli 2007- Juni 2008,

jumlah kasus yang diteliti sebanyak 45 kasus. Profil kasus penderita tifoid

berdasarkan distribusi umur menunjukkan bahwa persentase kasus penderita tifoid

pada kelompok umur remaja yaitu 3 kasus (7%), kelompok dewasa yaitu 40 kasus

(89%) dan kelompok geriatri yaitu 2 kasus 4%. Berdasarkan jenis kelamin,

menunjukkan bahwa terdapat 21 kasus (47%) berjenis kelamin laki-laki dan 24 kasus

(53%) berjenis kelamin perempuan.

Pada pola pengobatan kasus penyakit tifoid berdasarkan kelas terapi,

menunjukkan bahwa obat antiinfeksi dan obat gizi dan darah menduduki peringkat

teratas dengan persentase 100% dalam pengobatan penyakit tifoid di instalasi rawat

inap rumah sakit Panti Rini periode Juli 2007-Juni 2008. Berdasarkan golongan dan

jenis obat, golongan antiinfeksi yang paling banyak digunakan adalah golongan

57

kloramfenikol dengan jenis obat tiamfenikol (37,7%) dan sesudahnya menyusul

golongan kuinolon dengan jenis obat pefloksasin (24,6%).

Golongan obat yang banyak digunakan pada sistem neuromuskular adalah

golongan analgesik – antipiretik dengan jenis obat yaitu parasetamol (41,7%) dan

metampiron (26,2%). Golongan dan jenis obat yang paling banyak digunakan adalah

obat golongan antitukak, sub-golongan antagonis reseptor-H2 dengan jenis obat

ranitidin hidroklorida (sebesar 25,3%) dan berikutnya adalah obat golongan

antiemetik, regulator GIT dengan jenis obat metoklopramid hidroklorida (sebesar

18,1%).

Golongan yang paling banyak digunakan obat pada sistem saluran

pernapasan adalah golongan ekspektoran dengan jenis obat Sanadryl ekspektoran®

yang mengandung difenhidramin HCl, ammon Cl, K-guaiakolsulfonat, natrium sitrat,

dan mentol (sebesar 53,8%) dan selanjutnya adalah golongan antitusif dengan jenis

obat kodein fosfat (sebesar 15,8%). Golongan lain yang paling banyak digunakan

pada sistem kardiovaskular adalah jenis obat Enerplus® yang mengandung Adenosin

trifosfat, vitamin B1, B6, B12, dan vitamin E (sebesar 80%). Golongan obat terbanyak

yang termasuk dalam obat gizi dan darah adalah golongan elektrolit dan mineral

dengan sub-golongan infusan dengan jenis Ringer laktat (sebesar 60,6%) dan

selanjutnya adalah golongan multivitamin/dengan mineral dengan jenis obat Imunos®

yang mengandung Echinacea, zinc picolinat, selenium, dan asam askorbat (sebesar

12,1%).

58

Golongan obat hormonal yang paling banyak digunakan adalah golongan

kortikosteroid dengan jenis obat metilprednisolon (sebesar 60%). Golongan yang

termasuk dalam obat lain yaitu campuran obat batuk dan flu yang terdiri dari

campuran jenis obat ambroxol, pseudoefedrin, triprolidin hidroklorida, obat batuk

hitam dan sirup timi.

Dari hasil evaluasi terjadinya DTPs, 15 kasus (31%) tidak terjadi DTPs dan

30 kasus (69%) terjadi DTPs. Pada masing-masing kasus didapatkan hasil bahwa

adanya pemakaian obat dengan dosis yang terlalu rendah sebanyak 10 kasus dan

potensial interaksi obat sebanyak 28 kasus. Kategori DTPs terkait kepatuhan pasien

(compliance) tidak dapat dilakukan karena penelitian yang dilakukan bersifat

retrospektif sehingga penggunaan obat oleh pasien tidak dapat diteliti.

Berdasarkan penelitian, dari keempat puluh lima kasus terdapat tiga

golongan outcome yaitu sembuh sebanyak 9 kasus (sebesar 20%), membaik sebanyak

34 kasus (sebesar 76%) dan belum sembuh sebanyak 2 kasus (sebesar 4%).

59

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap data pengobatan pasien tifoid di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni

2008 maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Profil kasus penderita tifoid berdasarkan distribusi umur paling banyak terjadi

pada kelompok dewasa (17 - < 65 tahun) sebesar 89% dan berdasarkan jenis

kelamin paling banyak terjadi pada perempuan sebesar 53%.

2. Pola pengobatan kasus tifoid menggunakan delapan kelas terapi obat, yaitu obat

antiinfeksi, obat yang bekerja pada sistem neuromuskular, obat yang bekerja pada

sistem saluran pencernaan, obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan,

obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler, obat gizi dan darah, obat hormonal

dan obat lain-lain. Kelas terapi yang paling banyak digunakan adalah obat

antiinfeksi dan obat gizi dan darah.

3. Pada kasus penyakit tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

Kalasan Sleman periode Juli 2007-Juni 2008, Drug Therapy Problems yang

terjadi adalah sebagai berikut :

a. dosis terlalu rendah sebanyak 10 kasus

b. potensial interaksi obat sebanyak 28 kasus

59

60

1. Outcome kasus tifoid meliputi sembuh sebanyak 9 kasus (20%), membaik

sebanyak 34 kasus (76%) dan belum sembuh sebanyak 2 kasus (4%).

A. Saran

Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman perlu meninjau kembali tes diagnostik

penyakit tifoid yang lebih baik pendeteksiannya terhadap antigen Salmonella

typhi.

2. perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai Drug Therapy Problems pada kasus

tifoid secara prospektif pada pasien rawat inap.

61

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, DepKes RI, Jakarta Anonim, 2001, British Journal of Pharmacology, 1310-1316,

http://www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/121663243/HTMLSTART, diakses tanggal 9 Juni 2009

Anonim, 2003a, Background Document: The diagnosis, treatment, and prevention of

typhoid fever, 19-23, World Health Organization, http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_V&B_03.07.pdf , diakses tanggal 9 Juni 2009

Anonim, 2003b, Typhoid Fever , World Health Organization, http://www.who.int,

diakses tanggal 15 Oktober 2008 Anonim, 2004, British National Formulary 52, BMJ Publishing Group, Great Britain Anonim, 2008a, Evaluasi Mutu Rumah Sakit Panti Rini,

http://badanmutu.or.id/index.php?id=60, diakses tanggal 30 Agustus 2008 Anonim, 2008b, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008, CMP

Medica Asia Pte LTd, Singapore Brody, T.M., Larner J., Minneman K.P., Neu H.C., 1994, Human Pharmacology

Molecular to Clinical, second edition, 617-695, Mosby Year Book, Missouri

Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C., 2004, Pharmaceutical Care Practice

The Clinicians’s Guide, Second Edition, hal.172-173,178-179, McGraw-Hill, New York

DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2005,

Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach , 6th ed., 2044-2046, McGraw-Hill, New York

Hardman, J.G., Limbird L.E., Molinoff P.B., Ruddon R.W., Gilman A.G., 1996, The

Pharmacological Basis Of Therapeutics, Ninth edition, 1073, The McGraw-Hill Companies, New York

62

Kimble, M.A.K., Young, L.Y., Kradjan, W.A., Guglielmo, B.J., Alldredge,B.K., Corelli, R.L., 2005, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, eight edition, 561, Lippincott Williams & Wilkins, USA

Kumala P., Komala S., Santoso A.H., Sulaiman J.R dan Rienita, Y., 1998, Kamus

saku Kedokteran Dorland, edisi 25, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., dan Lance L.L., 2006, Drug

Information Handbook, 14th Ed., Lexi-comp, Ohio Notoatmodjo S., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, 138-143, PT Rineka Cipta,

Jakarta Praktiknya, A.W., 2001, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan

Kesehatan, 10,16, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Soedarmo, S.S.P., Gama,H., Hadinegoro,S.R.S., Satari, H.I., 2008, Buku Ajar Infeksi

dan Pediatrik Tropis, edisi kedua, 338-345, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta

Tatro, D.S., 2006, Drug Interaction Facts, Facts & Comparison, Wolters Kluwer, St.

Louis

LAMPIRAN

63

64

LAMPIRAN I

ARTI SINGKATAN

CM compos mentis

Ig imunoglobulin (IgG, IgM)

i.m. intramuskular

i.v. intravena

LYM% perbandingan limfosit terhadap keseluruhan WBC (%)

LYM# [W-SCC] WBC-small cell count

MCH mean corpuscular hemoglobin

MCHC mean corpuscular concentration

MCV mean corpuscular volume

MDR multi-drug resistant

MXD% perbandingan dari penjumlahan basofil,eosinofil dan monosit

terhadap keseluruhan WBC (%)

NEUT% perbandingan neutrofil (sel besar) terhadap keseluruhan WBC

(%)

NEUT# [W-LCC] WBC-large cell count

PLT platelet

PDW platelet distribution width

P-LCR platelet- large cell ratio

SGOT serum glutamic-oxaloacetic transaminase

SGPT serum glutamic-piruvic transaminase

Ty.H antigen Salmonella typhi jenis flagel

Ty.O antigen Salmonella typhi jenis somatik

Vi virulen (antigen)

WBC white blood cells

65

LAMPIRAN II

Tabel XIV. Kajian DTPs Kasus 1 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 1. No. RM 14 62 91 (17/08/07 - 20/08/07) Subjective Perempuan/19 tahun. DM: Febris hari ke V. DU: Tifoid. Keluhan masuk : riwayat panas sudah 5 hari, pusing, mual, muntah, nyeri perut. Keadaan umum : CM, akral hangat, badan terasa pegal-pegal, sempat merasa nyeri ulu hati. Keadaan pulang : membaik Objective

Tanggal periksa (agustus 2007) Parameter

17 Nilai normal

WBC 2,1↓ 4 – 11x 103 /µL PLT 102↓ 150-450x103 /µL

MXD% 25,2 ↑ 0-8% LYM # 0,6↓ 1-3,7x103 /µL NEUT # 1↓ 1,5-7x103 /µL LYM% 29,5 19-48% NEUT% 45,3 40-74%

Tes Widal (17/08) Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80

TD: 90/50 mmHg Nadi : 88x/menit Suhu tubuh : 17/08 36˚C 18/08 (36,2; 36,6; 37) ˚C 19/08 36˚C 20/08 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 17 18 19 20

Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg √

Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I √

Parasetamol 3x500 mg √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone 3x1 √ √ Thiamfenikol 3x500 mg √ √ Infus RL 15 tetes/menit √ √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien mengeluhkan pusing dan nyeri perut, diberikan terapi parasetamol-asetil sistein dan

parasetamol. 2. Untuk mengatasi mual dan muntah, diberikan terapi antasida yang mengandung Al(OH)3,

Mg(OH)2 + simethicone. 3. Pasien teridentifikasi mengalami infeksi bakteri dari hasil tes Widal, dan telah diberikan terapi

antibiotik Thiamfenikol. Rekomendasi -

Tabel XV.Kajian DTPs Kasus 2 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap

66

RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 – Juni 2008

Kasus 2. No. RM 14 53 55 (13/07/07 – 16/07/07) Subjective Laki-laki/38 tahun. DM: Febris hari ke III dd tifoid, Dengue Fever. DU: Tifoid. Keluhan masuk : riwayat panas sudah 4 hari, pusing, muntah, tidak nafsu makan. Keadaan umum : CM, badan lemas, akral hangat, diare, batuk. Keadaan pulang : membaik Objective

Tanggal periksa (Juli

2007) Parameter 13

Nilai normal

WBC 5,1 4 – 11x 103 /µL MCHC 32,5 ↓ 33-37 pg LYM% 37 19-48% NEUT% 49,6 40-74% MXD% 13,4 ↑ 0-8%

Tes Widal (13/07) Para ty.BH : 1/60

TD: 100/80 mmHg Nadi : 96x/menit Suhu tubuh : 13/07 37˚C 14/07 (37; 38; 37; 36)˚C 15/07 (37,5; 36,5;

37;36,5)˚C 16/07 36,8˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 13 14 15 16

Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg √ √ √ √

Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ Diocthahedral smectite 3x1 (isi 3 g/sachet) √ √

Infus RL √ √ √ √ Assessment Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari penggunaannya yaitu pada tanggal 15 hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. Rekomendasi Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai.

Tabel XVI. Kajian DTPs Kasus 3 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap

67

RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008 Kasus 3. No. RM 14 48 39 (01/07/07 - 04/07/07)

Subjective Laki-laki/41tahun. DM: Febris, Parotitis, Tifoid. DU: Demam Tifoid. Keluhan masuk : tubuh masih panas sejak pemeriksaan awal tanggal 26/06 hingga sekarang, pusing, nyeri kepala, batuk, mual. Keadaan umum : CM, wajah memerah, tidak nafsu makan. Keadaan pulang : sembuh Objective

Tanggal periksa (Juli

2007) Parameter 1

Nilai normal

Kreatinin darah 1,2↑ Yaffe pria 0,6-1,1

mg/dL P-LCR 12,9↓ 15-25% MXD% 12,2↑ 0-8% WBC 5,7 4 – 11x 103 /µL

LYM% 21,1 19-48% NEUT% 66,7 40-74%

Tes Widal (01/07) Para ty.AH : 1/80 Para ty.BH : 1/320

Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80

TD: 120/80 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 01/07 (36; 36,4; 36;37,3)˚C 02/07 (36,2; 37; 38; 36;

37,7)˚C 03/07 (36,5; 36,5; 36,5; 36,4;

36,5) ˚C 04/07 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Agustus 2007) Nama obat

01 02 03 04 Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ Methisoprinol 3x500 mg √ √ √ √ Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg √ √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ √ Ranitidin HCl 50 mg/1amp (injeksi 2 ml)/12 jm √ √

Asam askorbat 1 g/5 ml (injeksi 5 ml) √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2 ml) √ √

Metampiron Na 500 mg/ml 3x1amp (injeksi 2 ml) √ √

Infus RL √ √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama

parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat. 2. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari

penggunaannya hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan. 2. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai.

68

Tabel XVII.Kajian DTPs Kasus 4 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 4. No. RM 14 64 69 (24/08/07 - 27/08/07) Subjective Laki-laki/20 tahun. DM: Febris hari ke IV dd malaria, infeksi virus. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan meriang, pusing, batuk, tenggorokan sakit untuk menelan. Keadaan umum : CM, badan pegal-pegal. Keadaan pulang : membaik Objective

Tanggal periksa (Agustus 2007) Parameter

26 Nilai normal

Urin (bakteri) + -

SGPT 79,1↑ pria s/d 42 IU/L MCV 79,2↓ 81-99 fL MCH 24,9↓ 27-31 fL

MCHC 31,4↓ 33-37 pg WBC 8,1 4 – 11x 103 /µL

NEUT% 64,2 40-74% LYM% 18,4↓ 19-48 % MXD% 17,4↑ 0-8% MXD# 1,4↑ 0-1,2 x103 /µL

Tes Widal (25/07) Ty.H : 1/640 Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/80

TD: 120/80 mmHg Nadi : 96x/menit Suhu tubuh : 24/08 (39,3; 37,2) ˚C 25/08 (37,2; 37,5; 36,5)˚C 26/08 (36,4; 36,5; 37;

36)˚C 27/08 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 24 25 26 27

Parasetamol 3x500 mg √ √ √ Amoksisilin 3x500 mg √ Sanadryl ekspektoran® 3x 1½ cth √ √ √ Megazing® 1x1 √ √ √ Methisoprinol 3x500 mg √ √ √ Amoksisilin trihidrat, K-clavulanat 3x 625 mg √ √ √ Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1 √ √ √ Infus RL √ √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien mengeluh badan meriang dan pusing, diberikan terapi Parasetamol. 2. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberi terapi Amoksisilin dan Amoksisilin trihidrat -

K-clavulanat. 3. Pasien mengalami batuk dan tenggorokan sulit menelan, diberi terapi Sanadryl ekspektoran® . 4. Hasil laboratorium menunjukkan SGPT meningkat yang menunjukkan ada gangguan hati yang

kemungkinan disebabkan oleh virus, sehingga diberikan Methisoprinol. 5. Untuk memproteksi hati diberikan Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® . 6. Untuk mengatasi badan pegal-pegal, diberikan Megazing® . Rekomendasi -

69

Tabel XVIII. Kajian DTPs Kasus 5 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 5. No. RM 14 64 58 (24/08/07 - 27/08/07)

Subjective Perempuan /21 tahun. DM: Observasi febris hari III. DU: Tifoid. Keluhan masuk : panas sudah tiga hari, pusing, mual, muntah. Keadaan umum : pasien pingsan, teraba panas, perut kadang sakit. Keadaan pulang : membaik Objective

Tanggal periksa (Agustus 2007) Parameter

26 Nilai normal

SGOT 33,5↑ wanita s/d 31 IU/L

SGPT 33↑ wanita s/d 32 IU/L

WBC 1,9↓ 4-11 x103 /µL MCHC 32,8 ↓ 33-37 pg P-LCR 14,5↓ 15-25% MXD% 8,1↑ 0-8% LYM# 0,6 ↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 1,1↓ 1,5-7 x103 /µL LYM% 32,7 19-48% NEUT% 59,2 40-74%

Tes Widal (26/08) Para ty.BH : 1/80 TD: 110/70 mmHg Nadi : 120x/menit Suhu tubuh : 24/08 (38;38,3;39,3; 38,7;

37,5)˚C 25/08 (36,5; 37,2; 38,2;

37; 37; 37) ˚C 26/08 (36,8;36;37,8;36)˚C 27/08 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 24 25 26 27

Parasetamol 3x500 mg √ √ √ Metoklopramid HCl 3x10 mg (k/p) √ √ √ √ Methisoprinol 3x500 mg √ √ √ Tiamfenikol 3x500 mg √ Enzyplex® 3x1 √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml) √

Infus RL 30 tts/menit √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

70

Tabel XIX. Kajian DTPs Kasus 6 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Klasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 6. No. RM 14 58 46 (01/08/07 - 05/08/07) Subjective Perempuan /32 tahun. DM: Observasi febris hari ke X, malaise, tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Pusing sudah 10 hari, batuk, nafsu makan kurang, punggung terasa panas. Keadaan umum : Badan lemas. Riwayat penyakit: Maag. Reaksi alergi : debu. Keadaan pulang : membaik Objective

Tanggal periksa (Agustus 2007) Parameter

1 Nilai normal

SGPT 45,7 ↑ wanita s/d 32 IU/L HDL-

Kolesterol 46↓ wanita > dari 65 mg/dL

Kreatinin darah 1,1↑ wanita 0,5-0,9

mg/dL MCHC 32,5 ↓ 33-37 pg P-LCR 11,8↓ 15-25% WBC 6,2 4-11 x103 /µL

LYM% 34,3 19-48% NEUT% 60,1 40-74%

Tes Widal (01/08) Ty.O : 1/80 Para ty.BH : 1/80 Para ty.CO : 1/160

TD: 120/80 mmHg Nadi : 80x/menit RR: 20x/mnt Suhu tubuh : 01/08 (36;36,5;36,7;36)˚C 02/08 (36; 36,8; 36) ˚C 03/08 (36,8; 36,6; 37,9)˚C 04/08 (36,5; 37) ˚C 05/08 (36,4; 37) ˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Agustus 2007) Nama obat 01 02 03 04 05

Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I √ √ √ √

Mebeverin HCl 3x135 mg √ √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ Dimenhidrinate 3x1 √ √ Siprofloksasin 2x500 mg √ √ Omeprazol 1x20 mg √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1 amp (injeksi 2 ml) √ √ √ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Ondansetron HCl 2x1 amp (injeksi 4 mg/2 ml) (k/p) √ √

Difenhidramina-HCl 2cc (injeksi i.m) √ Infus Dekstrosa 5% √ √ √ √ √

Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida

yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)

2. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Siprofloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi siprofloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)

Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. 2. Mengatur waktu pemberian siprofloksasin dan antasida agar tidak bersamaan.

71

Tabel XX. Kajian DTPs Kasus 7 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 7. No. RM 13 98 90 (17/08/07 - 18/08/07)

Subjective Laki-laki /75 tahun. DM: Tifoid, Hipertensi. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Bila malam hari tubuh terasa panas, menggigil. Keadaan pulang : membaik Objective

Tanggal periksa (Agustus 2007) Parameter

18 Nilai normal

HGB 11,7↓ 12-16,5 g/dL HCT 33,7↓ 37-47 % RDW 50,8↑ 35-47 fL PDW 8,8↓ 9-13 fL

P-LCR 8,1↓ 15-25% MXD% 14,4↑ 0-8% WBC 5,6 4-11 x103 /µL

LYM% 30,4 19-48% NEUT% 55,2 40-74%

Tes Widal (17/08) Ty.O : 1/320 Para ty.CO : 1/80

TD: 160/90 mmHg Nadi : 100x/menit Suhu tubuh : 18/08 (36,5; 36; 36,5; 37;

37,4;36) ˚C 19/08 (36,4; 35,5) ˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Agustus

2007)

Nama obat

18 19 Tiamfenikol 3x500 mg √ √ Parasetamol 3x500 mg √ Becom-C® 1x1 √ √ Captopril 2 x 12,5 mg √ √ Infus RL √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan tubuh terasa panas dan menggigil, sehingga diberi Parasetamol. 3. Untuk mengatasi hipertensi yang diderita, pasien diberi terapi Captopril. 4. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien diberi multivitamin yaitu Becom-C. Rekomendasi -

72

Tabel XXI. Kajian DTPs Kasus 8 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 8. No. RM 14 67 22 (03/09/07 - 05/09/07) Subjective Perempuan /45 tahun. DM: Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan teraba tidak panas, sedikit pusing, sering berkeringat dingin disertai mual. Keadaan umum: CM, mual, muntah sekali. Keadaan pulang : membaik Objective

Tanggal periksa

(September 2007) Parameter 03

Nilai normal

WBC 2,8↓ 4-11 x103 /µL HGB 11,7↓ 12-16,5 g/dL MCV 74,9↓ 81-99 fL MCH 23,7↓ 27-31 fL

MCHC 31,6 ↓ 33-37 pg PLT 98↓ 150-450x103 /µL PDW 14,1 ↑ 9-13 fL MPV 11,2↑ 7,2-11,1 fL

P-LCR 33,3 ↑ 15-25% MXD% 29,2↑ 0-8% LYM% 45,2 19-48% NEUT% 25,6↓ 40-74 % NEUT# 0,7↓ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (03/09) Ty.H : 1/160 Para ty.CH : 1/640 Para ty.CO : 1/320

TD: 140/70 mmHg Suhu tubuh : 04/09 (36,2; 36,5; 36,5)˚C 05/09 36,7 ˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (September 2007) Nama obat 03 04 05

Metampiron 3x500 mg √ √ Diazepam 3x2 mg √ √ Ranitidin 2x 150 mg √ Metoklopramid 3x10 mg √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ Parasetamol 3x500 mg √ Becom-C® 2x1 √ Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 1 amp (injeksi 2 ml) √

Infus RL √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol

akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat. 2. Berdasarkan Drug Interaction Facts, pemberian Diazepam bersama Ranitidin bisa menaikkan atau menurunkan

efek dari Diazepam. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts signifikansinya 5). Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan. 2. Mengatur waktu pemberian diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan.

73

Tabel XXII. Kajian DTPs Kasus 9 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 9. No. RM 14 67 37 (04/09/07 - 06/09/07)

Subjective Perempuan /25 tahun. DM: Observasi typhoid febris dengan vomitus hari kedua. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Pusing, muntah, sudah 2 hari panas. Keadaan umum: CM, mual, muntah sekali, perut mulas, badan gemetar, dada sesak. Keadaan pulang : sembuh Objective

Tanggal periksa

(September 2007) Parameter 04

Nilai normal

WBC 5,9 4-11 x103 /µL MCHC 32,4 ↓ 33-37 pg P-LCR 14,3 ↓ 15-25% LYM% 13,1↓ 19-48 % NEUT% 80,4 ↑ 40-74 % LYM# 0,8↓ 1-3,7 x103 /µL

Tes Widal (04/09) Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80

TD: 100/60 mmHg Nadi : 76x/menit Suhu tubuh : 04/09 (38; 36; 36; 36,5)˚C 05/09 (36; 36; 37;37) ˚C 06/09 (36; 36,8) ˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (September 2007)

Nama obat

04 05 06 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ Metoklopramid HCl 3x10 mg √ √ Attapulgit, pektin 3x 2 (k/p) √ √ Tiamfenikol 3x500 mg √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)

Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Infus RL 15 tts/mnt √ √ Infus KAEN 3A √

Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

74

Tabel XXIII. Kajian DTPs Kasus 10 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 10. No. RM 14 68 51 (07/09/07 - 10/09/07)

Subjective Laki-laki /32 tahun. DM: Febris hari ke-5, tifoid. DU: Tifoid. DK: Tifoid, Hepatitis. Keluhan masuk : Badan panas, pusing berat, mual, muntah, kedinginan. Keadaan umum: CM, tak ada nafsu makan. Keadaan pulang : membaik. Objective

Tanggal periksa

(September 2007) Parameter 07

Nilai normal

SGOT 184,2↑ pria s/d 37 IU/L SGPT 97,4↑ pria s/d 42 IU/L WBC 3,8 ↓ 4-11 x103 /µL PLT 103↓ 150-450x103 /µL

MXD% 10,2↑ 0-8 % LYM% 37,5 19-48 % NEUT% 52,3 40-74 %

Tes Widal (07/09) Ty.H : 1/1280

TD: 100/70 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 07/09 37,5˚C 08/09 (36,5; 36,5;36,8;

36,8; 36,8) ˚C 09/09 (36,5; 36,6) ˚C 10/09 (36; 37,5) ˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (September 2007) Nama obat 07 08 09 10

Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg √ √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg √ √ √ Domperidon 3x10 mg √ √ √ Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1

√ √ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Infus RL 15 tts/mnt √ √ √ √

Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam

hari. Dari penggunaannya yaitu pada tanggal 10 hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah.

2. Berdasarkan British National Formularium, penggunaan bersama Domperidon dan parasetamol akan meningkatkan absorpsi parasetamol. Potensial DTPs : Interaksi obat.

Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian domperidon dan parasetamol-asetil sistein agar tidak bersamaan.

75

Tabel XXIV. Kajian DTPs Kasus 11 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 11. No. RM 14 83 30 (27/10/07 - 29/10/07)

Subjective Perempuan /21 tahun. DM: Febris 1 minggu duga tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, pusing, mual, muntah, sakit perut. Keadaan umum: CM, badan teraba hangat. Keadaan pulang : membaik. Objective

Tanggal periksa (Oktober 2007) Parameter

27 Nilai normal

WBC 8 4-11 x103 /µL HGB 11,8↓ 12-16,5 g/dL MCV 77,8 ↓ 81-99 fL MCH 24,7 ↓ 27-31 fL

MCHC 31,8 ↓ 33-37 pg P-LCR 11,8 ↓ 15-25% MXD% 12,6 ↑ 0-8 % LYM% 27 19-48 % NEUT% 60,4 40-74 %

Tes Widal (24/10) Ty.H : 1/80 Ty.O : 1/40 Para ty.AH : 1/40 Para ty.BH : 1/160 Para ty.BO : 1/20

TD: 110/70 mmHg Nadi : 84x/menit Suhu tubuh : 27/10 (37,2; 36,7) ˚C 28/10 (37; 37; 37) ˚C 29/10 36,5˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Oktober 2007)

Nama obat

27 28 29 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I

√ √

Infus RL 30 tts/mnt √ √

Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2) Rekomendasi Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan.

76

Tabel XXV. Kajian DTPs Kasus 12 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Klasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 12. No. RM 14 82 17 (24/10/07 - 27/10/07)

Subjective Perempuan /20 tahun. DM: Febris hari ke-3, cephalgia, tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Badan panas, pusing, nafsu makan menurun, mual, muntah lebih dari 10x. Keadaan umum: CM, badan lemas. Keadaan pulang : membaik. Objective

Tanggal periksa (Oktober 2007) Parameter

24 Nilai normal

WBC 8,3 4-11 x103 /µL MCHC 32,2 ↓ 33-37 pg LYM% 17,7↓ 19-48 % NEUT% 74,7 ↑ 40-74 %

Tes Widal (24/10) Ty.H : 1/320 Ty.O : 1/160

Para ty.BH : 1/80 Para ty.BO : 1/320 Para ty.CO : 1/160

TD: 100/60 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 24/10 (37,5; 36,7; 37,4;

36) ˚C 25/10 (37; 38; 37,7; 37;

36,5) ˚C 26/10 (36; 37,2; 37,5;

37,8; 35,4) ˚C 27/10 36,3˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Oktober 2007) Nama obat 24 25 26 27

Parasetamol 3x500 mg (k/p) √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I

√ √ √ √

Amoxicilin 3x500 mg √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg

√ √ √ √

Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/8 jam

√ √ √

Infus RL 300 cc √ √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

77

Tabel XXVI. Kajian DTPs Kasus 13 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 13. No. RM 14 74 86 (05/10/07 - 08/10/07)

Subjective Laki-laki /30 tahun. DM: Febris sudah seminggu, tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan panas, pusing, batuk, pilek, pendengaran telinga sebelah kiri berkurang, mual, kadang muntah. Keadaan umum: CM, akral hangat, perut kembung. Keadaan pulang : membaik. Objective

Tanggal periksa (Oktober 2007) Parameter

05 Nilai normal

SGPT 53,2 ↑ pria s/d 42 IU/L WBC 7,4 4-11 x103 /µL

Tes Widal (01/10) Ty.H : 1/320

TD: 90/60 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 05/10 36˚C 06/10 (36; 36; 36) ˚C 07/10 (36; 36; 36,3; 36;

36,6; 36) ˚C 08/10 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Oktober 2007) Nama obat 05 06 07 08

Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ Ambroxol, pseudoefedrin, triprolidin hidroklorida + OBH dan sirup timi 3x cth II

√ √

Parasetamol 3x500 mg (k/p) √ √ √ Chlordiazepoxid 5 mg, clidinium Br 2,5 mg; 2x1

√ √ √

Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I

√ √

Infus RL 15 tts/mnt √ √ √ √ Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan terasa panas dan pusing, sehingga diberi Parasetamol. 3. Mengatasi batuk yang diderita pasien, diberikan terapi campuran obat batuk cair. 4. Mengobati mual, muntah, diberikan antasida yang mengandung Al(OH)3, Mg(OH)2 +

simethicone 5. Untuk terapi simptomatik tukak lambung dan kembung, diberikan antispasmodik yaitu

Chlordiazepoxid - clidinium Bromida. Rekomendasi -

78

Tabel XXVII. Kajian DTPs Kasus 14 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 14. No. RM 14 82 83 (26/10/07 - 30/10/07) Subjective Perempuan /36 tahun. DM: Febris sudah 5 hari, tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Seminggu panas, pusing, batuk, mual, muntah. Keadaan umum: CM, akral hangat, badan lemas. Keadaan pulang: membaik. Objective

Tanggal periksa (Oktober 2007) Parameter

26 Nilai normal

SGOT 80,6↑ wanita s/d 31 IU/L SGPT 104,6↑ wanita s/d 32 IU/L MCHC 32,1 ↓ 33-37 pg PDW 15,4 ↑ 9-13 fL MPV 11,4 ↑ 7,2-11,1 fL

P-LCR 35,8↑ 15-25% WBC 8,9 4-11 x103 /µL

LYM% 31,2 19-48 % NEUT% 64,6 40-74 %

Tes Widal (26/10) Ty.H : 1/80 Para ty.CO : 1/80

TD: 90/60 mmHg Nadi : 76x/menit Suhu tubuh : 26/10 (39,5; 39,3; 36,5;

36,2; 37,9; 38,3)˚C 27/10 (36,2; 36; 36,5; 37,2;

38,2) ˚C 28/10 (36; 36,8; 37,5; 36,4;

37,6;37,4)˚C 29/10 (37,2; 36,9; 36,5;

36,6) ˚C 30/10 36,3˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Oktober 2007) Nama obat

26 27 28 29 30 Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ √ √ Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg

√ √ √ √ √

Enerplus® 1x1 √ √ √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x cth I

√ √ √ √ √

Sanadryl ekspektoran® 3x 2 cth √ √ √ √ √ Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 2x1

√ √ √ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp √ Infus RL √ √ √ √ √

Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida

yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)

2. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari penggunaannya yaitu hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah.

Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. 2. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai.

79

Tabel XXVIII. Kajian DTPs Kasus 15 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 15. No. RM 14 89 42 (19/11/07 - 23/11/07) Subjective Laki-laki /24 tahun. DM: Febris hari ke-3 dan vomitus. DU: Tifoid. Keluhan masuk : badan panas, mual, muntah-muntah. Keadaan umum: CM, akral hangat, badan lemas. Keadaan pulang : membaik. Objective

Tanggal periksa

(November 2007) Parameter 19

Nilai normal

SGOT 101,7 ↑ pria s/d 37 IU/L SGPT 101,3 ↑ pria s/d 42 IU/L WBC 7 4-11 x103 /µL MCV 73,8 ↓ 81-99 fL MCH 23 ↓ 27-31 fL

MCHC 31,2 ↓ 33-37 pg LYM% 13,3↓ 19-48 % NEUT% 82,4 ↑ 40-74 % LYM# 0,9↓ 1-3,7 x103 /µL

Tes Widal (20/11) Ty.H : 1/320 Ty.O : 1/160 Para ty.AO : 1/160 Para ty.BH : 1/160

TD: 120/60 mmHg Nadi : 96x/menit Suhu tubuh : 19/11 (39,2; 38,5; 38,5;

36,9; 37,5; 37,8; 38,2)˚C

20/11 (37; 38; 38,5; 38; 38,4)˚C

21/11 (37,7; 37,5; 37,5; 36) ˚C

22/11 (36; 36,6; 37,2) ˚C 23/11 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (November 2007) Nama obat

19 20 21 22 23 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ √ Enerplus® 1x1 √ √ √ √ √ Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1

√ √ √ √ √

Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ Metil prednisolon 3x4 mg √ √ √ Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/8 jam

Infus RL 20 tts/mnt √ √ √ Infus KAEN (KN3B) 30 tts/mnt √ √ √

Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari

penggunaannya yaitu hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. 2. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama

Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

80

Tabel XXIX. Kajian DTPs Kasus 16 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 16. No. RM 14 89 51 (19/11/07 - 23/11/07) Subjective Perempuan /14 tahun. DM: Demam tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, ulu hati dan perut perih, pusing, muntah, kadang-kadang batuk. Keadaan umum: CM, teraba panas, badan lemas. Keadaan pulang: sembuh. Objective

Tanggal periksa

(November 2007) Parameter 19

Nilai normal

WBC 6,3 4-11 x103 /µL HGB 11,9↓ 12-16,5 g/dL MCH 25,2 ↓ 27-31 fL

MCHC 30,4 ↓ 33-37 pg MXD% 8,1↑ 0-8 % LYM% 29,7 19-48 % NEUT% 62,2 40-74 %

Tes Widal (19/11) Ty.H : 1/1280 Para ty.BH : 1/320 Para ty.BO : 1/160 Para ty.CO : 1/160

TD: 100/50 mmHg Nadi : 82x/menit RR : 16x/mnt Suhu tubuh : 19/11 (40; 38,6; 37,3) ˚C 20/11 (37,5; 37,2; 37,4; 38;

39,2) ˚C 21/11 (38,5; 37; 37,5; 37,5;

36,6) ˚C 22/11 (37,6; 37; 36,8;

36,2)˚C 23/11 37˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (November 2007) Nama obat

19 20 21 22 23 Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ √ √ Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 +simethicone (sirup 100 ml) 3x 2 cth

√ √ √ √ √

Metilprednisolon 3x2 mg (½ tab)

√ √ √

Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (inj.2 ml)/12 jm

√ √ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp √ Infus RL √ √ √ Infus KAEN (KN3B) 20 tts/mnt √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan terasa panas dan pusing, sehingga diberi Parasetamol dan juga Metampiron

Na. 3. Keluhan muntah diatasi dengan obat antitukak, sehingga diberikan antasida yang mengandung Al(OH)3,

Mg(OH)2 +simethicone dan Ranitidin HCl. Rekomendasi -

81

Tabel XXX. Kajian DTPs Kasus 17 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat

Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008 Kasus 17. No. RM 14 49 04 (11/11/07 - 14/11/07)

Subjective Perempuan /17 tahun. DM: Observasi febris +trombositopenia; DHF, Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, pusing, perut terasa mual. Keadaan umum: CM, teraba dingin, gemetar. Keadaan pulang: membaik. Objective

Tanggal periksa

(November 2007) Parameter 19

Nilai normal

WBC 5,5 4-11 x103 /µL HCT 36,4↓ 37-47 %

MCHC 32,7 ↓ 33-37 pg PLT 95↓ 150-450x103 /µL PDW 16 ↑ 9-13 fL MPV 11,2 ↑ 7,2-11,1 fL

P-LCR 34,5↑ 15-25% LYM% 27,9 19-48 % NEUT% 66,6 40-74 %

Tes Widal (19/11) Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/320 Para ty.CO : 1/320

TD: 100/80 mmHg Nadi : 88x/menit Suhu tubuh : 11/11 (36,7; 38,3; 39,2;

38,9; 38; 39)˚C 12/11 (37,5; 37,2; 37,4;

37) ˚C 13/11 (38; 36,9; 36,2;

36,5) ˚C 14/11 (36; 36)˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (November 2007) Nama obat

11 12 13 14 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ Tiamfenikol 3x500 mg √ √ AlOH, MgOH, simeticon 3x2 cth (suspensi 100 ml)

√ √ √ √

Becom-C® 1x1 √ √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ √ Metil prednisolon 3x4 mg √ √ Infus RL 20 tts/mnt √ √ √ √

Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam

hari. Dari penggunaannya yaitu hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. 2. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama

dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)

Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan.

82

Tabel XXXI. Kajian DTPs Kasus 18 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat

Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008 Kasus 18. No. RM 14 91 03 (24/11/07 - 30/11/07)

Subjective Laki-laki /53 tahun. DM: Observasi Febris 1 minggu dan dispepsia. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Pusing, mual, badan lemas kurang lebih seminggu, tidak ada nafsu makan, sesak, muntah. Keadaan pulang : membaik. Objective

Tanggal periksa

(November 2007) Parameter 24

Nilai normal

SGOT 101,9 ↑ pria s/d 37 IU/L WBC 13,7↑ 4-11 x103 /µL MCV 70,5 ↓ 81-99 fL MCH 20,9 ↓ 27-31 fL

MCHC 29,6 ↓ 33-37 pg LYM% 12↓ 19-48 % MXD% 10,3↑ 0-8 % NEUT% 77,7 ↑ 40-74 % MXD# 1,4↑ 0-1,2 x103 /µL NEUT# 10,7↓ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (24/11) Ty.H : 1/1280 Para ty.CO : 1/80

TD: 100/70 mmHg Nadi : 112x/menit Suhu tubuh : 24/11 (36,9; 36,3)˚C 25/11 (36,7; 36,5)˚C 26/11 (36; 36,3; 37,6)˚C 27/11 (36,5;36)˚C 28/11 (36,5; 36; 36,5)˚C 29/11 (35,6; 36,4)˚C 30/11 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (November 2007) Nama obat 24 25 26 27 28 29 30

Sucralfat 3x10 cc (500 mg/ml) √ √ √ √ √ √ √ Enerplus® 1x1 √ √ √ √ √ √ Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ √ √ √ Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg (k/p)

√ √ √ √

Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/8 jam

Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (injeksi 2 ml)/12 jm

√ √ √ √ √ √ √

Ondansentron HCl 4 mg/amp 1 amp √ Ketoprofen 50 mg/ml 1 amp √ Infus KAEN 3B 20 tts/mnt √ √ √ √ √ √

Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari penggunaannya

yaitu hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. 2. Pemberian obat Pefloksasin bersamaan dengan Sukralfat akan menurunkan absorpsi dari pefloksasin. Potensial

DTPs:Interaksi obat.. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2) 3. Berdasarkan MIMS, penggunaan ranitidin HCl bersamaan dengan sukralfat akan menurunkan absorpsi dari ranitidin

HCl. Potensial DTPs : Interaksi obat. 4. Berdasarkan British National Formularium, penggunaan bersama Ketoprofen (AINS) dengan pefloksasin (kuinolon)

akan meningkatkan resiko terjadinya kejang. Potensial DTPs: Interaksi obat. 5. Pada Drug Interaction Facts, penggunaan Ketoprofen dengan Ranitidin akan menimbulkan efek berubahnya efek

terapi dari Ketoprofen. Potensial DTPs : Interaksi obat.. (Signifikansinya 5) Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan sukralfat agar tidak bersamaan. 3. Mengatur waktu pemberian ranitidin HCl dan sukralfat agar tidak bersamaan. 4. Mengatur waktu pemberian ketoprofen dan pefloksasin agar tidak bersamaan. 5. Cukup aman karena keberbahayaannya relatif ringan sehingga tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.

83

Tabel XXXII. Kajian DTPs Kasus 19 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 19. No. RM 14 90 63 (23/11/07 - 25/11/07)

Subjective Perempuan /19 tahun. DM: Observasi Febris hari ke-5. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, mual, sedikit pusing. Keadaan pulang : membaik. Objective

Tanggal periksa

(November 2007) Parameter 23

Nilai normal

SGOT 57,3↑ wanita s/d 31 IU/L

WBC 3,5↓ 4-11 x103 /µL MCHC 32,2 ↓ 33-37 pg

PLT 147↓ 150-450x103 /µL MXD% 8,7↑ 0-8 % LYM% 36,1 19-48 % NEUT% 55,2 40-74 %

Tes Widal (23/11) Ty.O : 1/80 Para ty.CO : 1/80

TD: 100/60 mmHg Nadi : 78x/menit Suhu tubuh : 23/11 (37,8; 36;36,2;

36,6; 36,7; 36,6)˚C 24/11 (36,5; 36,6;36,5) ˚C 25/11 36,6˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (November 2007)

Nama obat

23 24 25 Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p) √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg (k/p)

√ √

Domperidon 3x10 mg √ √ Attapulgit, pektin 3x 2 tab √ √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

√ √ √

Infus RL 15 tts/mnt √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium, penggunaan bersama Domperidon dan parasetamol akan meningkatkan absorpsi parasetamol. Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian domperidon dan parasetamol agar tidak bersamaan.

84

Tabel XXXIII. Kajian DTPs Kasus 20 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 20. No. RM 14 94 93 (25/11/07 - 28/11/07) Subjective Perempuan /27 tahun. DM: Febris susp Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan panas, pusing, mual. Keadaan pulang : membaik. Objective

Tanggal periksa

(November 2007) Parameter 25

Nilai normal

WBC 1,19↓ 4-11 x103 /µL RBC 3,39↓ 3,8-5,8 x106/ µL HGB 9,2↓ 12-16,5 g/dL HCT 29,5↓ 37-47 %

MCHC 31,2 ↓ 33-37 pg PLT 141↓ 150-450x103 /µL

P-LCR 29,9↑ 15-25% LYM# 0,4↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 1,4↓ 1,5-7 x103 /µL LYM% 22,5 19-48 % NEUT% 70,3 40-74 %

Tes Widal (25/11) Ty.O : 1/160 Para ty.CO : 1/160

TD: 90/50 mmHg Nadi : 106x/menit Suhu tubuh : 25/12 (39,5; 36,5;36,2) ˚C 26/12 (36,5;37;36,3;37)˚C 27/12 (37; 37,2; 37; 36)˚C 28/12 37˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (November 2007) Nama obat

25 26 27 28 Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ √ Echinacea, zinc picolinat 3x1 √ √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x 10 cc

√ √ √

Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (injeksi 2 ml)

√ √ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2) Rekomendasi Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan.

85

Tabel XXXIV. Kajian DTPs Kasus 21 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 21. No. RM 14 96 03 (09/12/07 - 11/12/07) Subjective Laki-laki /19 tahun. DM: Febris dan vomitus. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Sakit perut sudah 2 minggu, pusing, demam, muntah ± 10 kali. Keadaan pulang : belum sembuh. Objective

Tanggal periksa

(Desember 2007) Parameter 09

Nilai normal

Natrium (Na) 146↑ 136-145 mmol/L

Klorida (Cl) 113↑ 97-111 mmol/L WBC 10,9 4-11 x103 /µL MCV 78,7 ↓ 81-99 fL MCH 25,1 ↓ 27-31 fL

MCHC 31,9 ↓ 33-37 pg P-LCR 14,1 ↓ 15-25% LYM% 6,1↓ 19-48 % NEUT% 90,8 ↑ 40-74 % LYM# 0,7↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 9,9↓ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (09/12) Para ty.BO : 1/80

TD: 120/70 mmHg Nadi : 84x/menit Suhu tubuh : 09/12 (37,4; 36,7; 37;

36,7; 35,8) ˚C 10/12 (37; 37) ˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Desember 2007)

Nama obat

09 10 Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg

√ √

Enerplus® 1x1 √ √ Tiamfenikol 3x500 mg √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

Infus RL 15 tts/mnt √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian Metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

86

Tabel XXXV. Kajian DTPs Kasus 22 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 22. No. RM 15 03 55 (31/12/07 – 03/01/08) Subjective Perempuan /16 tahun. DM: Febris hari ke-7, Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, batuk, pusing sudah 6 hari. Keadaan pulang : sembuh. Objective

Tanggal periksa

(Desember 2007) Parameter 31

Nilai normal

SGOT 108,9↑ wanita s/d 31 IU/L

SGPT 88,8↑ wanita s/d 32 IU/L

WBC 5,8 4-11 x103 /µL MCH 26,6 ↓ 27-31 fL

MCHC 31,4 ↓ 33-37 pg LYM% 10,1↓ 19-48 % NEUT% 85 ↑ 40-74 % LYM# 0,6↓ 1-3,7 x103 /µL

Tes Widal (31/12) Ty.H : 1/160 Ty.O : 1/80 Para ty.BH : 1/160 Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80 TD: 100/70 mmHg Nadi : 68x/menit Suhu tubuh : 31/12 (38,5; 37,8; 37,5;

40; 36,4) ˚C 01/01 (38; 38,8; 37,4;

36,6) ˚C 02/01 (37; 37; 37,5; 37,5;

37) ˚C 03/01 36,4˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Desember ’07-Januari‘08)

Nama obat

31 01 02 03 Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg

√ √

Tiamfenikol 3x500 mg √ √ √ √ Sanadryl DMPP

® 3x 1½ cth

√ √ √ √

Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1

√ √

Infus RL 12 tts/mnt √ √ √ √ Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan terasa panas dan pusing, sehingga diberi Parasetamol- asetilsistein. 3. Untuk mengobati batuk, diberikan terapi Sanadryl DMPP

®. 4. Hasil laboratorium menunjukkan adanya gangguan hati sehingga pasien diterapi dengan obat

untuk memproteksi hati yaitu Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat®. Rekomendasi -

87

Tabel XXXVI. Kajian DTPs Kasus 23 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 23. No. RM 15 02 40 (30/12/07 – 03/01/08)

Subjective Laki-laki /17 tahun. DM: Febris. DU: Tifoid. DL: Dengue fever. Keluhan masuk : Panas, batuk, pusing, pilek. Keadaan pulang : sembuh. Objective

Tanggal periksa

(Desember 2007) Parameter 30

Nilai normal

WBC 3,7↓ 4-11 x103 /µL MCHC 31,9 ↓ 33-37 pg

PLT 134↓ 150-450x103 /µL MXD% 11,7↑ 0-8 % LYM% 26,7 19-48 % NEUT% 61,6 40-74 %

Tes Widal (30/12) Ty.O : 1/320

TD: 90/60 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 30/12 (36,5; 36,9; 37; 38;

37)˚C 31/12 (37; 36,8; 36,5) ˚C 01/01 (36,5; 36,5) ˚C 02/01 (36,4; 36,5; 36,7;

36) ˚C 03/01 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Desember ’07-Januari‘08)

Nama obat

30 31 01 02 03 Parasetamol 3x500 mg √ √ √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ √ √ Echinacea, zinc picolinat 3x1 √ √ √ √ √ Kodein fosfat 2x10 mg √ √ √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml) √ Infus RL 20 tts/mnt √ √ √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Pefloksasin. 2. Pasien mengeluhkan badan terasa panas dan pusing, sehingga diberi Parasetamol. 3. Untuk mengobati batuk kering, diberikan terapi kodein fosfat. 4. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, maka pasien diberikan Echinacea,zinc picolinat /

Imunos®. 5. Untuk mencegah terjadinya mual dan muntah, pasien diberi terapi Ranitidin hidroklorida. Rekomendasi -

88

Tabel XXXVII. Kajian DTPs Kasus 24 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 24. No. RM 14 95 84 (08/12/07 – 12/12/07) Subjective Perempuan /47 tahun. DM: Vomitus. DU: Tifoid. DL: PID (Pelvic Female Inflammatory Disease). Keluhan masuk : Mual, muntah, demam, pusing. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Desember 2007) Parameter 09

Nilai normal

SGPT 49,0↑ wanita s/d 32 IU/L Urine

Sedimen Leukosit Eritrosit Bakteri

++

> 500 50-70 +++

+

0-6 0-1 -

Hasil radiologi PID - WBC 18,8↑ 4-11 x103 /µL HGB 9,8↓ 12-16,5 g/dL HCT 33,3 ↓ 37-47 % MCV 73↓ 81-99 fL MCH 21,5↓ 27-31 fL

MCHC 29,4 ↓ 33-37 pg LYM% 9,9↓ 19-48 % MXD% 11,6↑ 0-8% NEUT% 78,5↑ 40-74 % MXD# 2,2↑ 0-1,2 x103 /µL NEUT# 14,7↑ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (08/12) Ty.H : 1/80 Para ty.BO : 1/160

TD: 100/70 mmHg Nadi : 95x/menit Suhu tubuh : 08/12 38,5˚C 09/12 (38,5; 37; 37,2; 39,2)

˚C 10/12 (38,4; 36,3; 36; 36,5;

37,2;37,2)˚C 11/12 (37,9; 36; 36; 36,5;

37,2; 37,2) ˚C 12/12 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Desember 2007) Nama obat 08 09 10 11 12

Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ √ √ Amoksisilin 3x500 mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2 ml)

√ √ √ √ √

Sefuroksiminj. 1x750 mg √ √ √ Infus RL √ √ √ √ √

Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat.

Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

89

Tabel XXXVIII. Kajian DTPs Kasus 25 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 25. No. RM 14 94 34 (04/12/07 – 06/12/07)

Subjective Perempuan /27 tahun. DM: Febris hari ke-4, vomitus. DU: Febris Tifoid. Keluhan masuk : Mual, muntah, pusing-pusing, batuk. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Desember 2007) Parameter 04

Nilai normal

WBC 4,9 4-11 x103 /µL HGB 11,8↓ 12-16,5 g/dL MCH 26,9↓ 27-31 fL

MCHC 31,7 ↓ 33-37 pg MXD% 10,4↑ 0-8 % LYM% 23,6 19-48 % NEUT% 66 40-74 %

Tes Widal (04/12) Para ty.BO : 1/80

TD: 80/60 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 04/12 (36,6; 36,5) ˚C 05/12 (36,2; 36,5; 35,5;

37) ˚C 06/12 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Desember 2007)

Nama obat

04 05 06 Parasetamol 3x500mg √ √ √ Amoksisilin 3x500 mg √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x 1 cth

√ √ √

Metoklopramid HCl 10 mg 3x1

Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2 ml)

√ √

Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)

Infus RL 20 tts/mnt √ √ √

Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

90

Tabel XXXIX. Kajian DTPs Kasus 26 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 26. No. RM 15 05 04 (04/01/08 – 08/01/08)

Subjective Laki-laki /40 tahun. DM: Tifoid fever. DU: Febris Tifoid. Keluhan masuk : Panas, pusing, kadang sakit perut. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa (Januari 2008) Parameter

04 Nilai normal

WBC 4,6 4-11 x103 /µL MCV 77,2↓ 81-99 fL MCH 23,5↓ 27-31 fL

MCHC 30,4 ↓ 33-37 pg MXD% 11,2↑ 0-8 % LYM% 28,8 19-48 % NEUT% 60 40-74 %

Tes Widal (04/01) Ty.O : 1/80 Para ty.AH : 1/160 Para ty.BH : 1/80 Para ty.BO : 1/160 Para ty.CO : 1/320

TD: 120/80 mmHg Nadi : 84x/menit Suhu tubuh : 04/01 (37,7; 37,4; 37,5;

38,2; 37,5; 38,3; 38; 37,8) ˚C

05/01 (37,4; 37,2; 36; 37; 37,8; 37,3) ˚C

06/01 (37,4; 36,5; 36,5; 36,8) ˚C

07/01 (36,5; 36,4) ˚C 08/01 36,5˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Januari 2008) Nama obat 04 05 06 07 08

Pefloksasin 1x400 mg √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ √ Enzyplex® 3x1 √ √ √ √ √ Pefloksasin 2x400 mg √ √ Lansoprazol 30 mg 1x1 √ √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/ 12 jm

√ √ √

Sefotaksim inj. 2x1 gram √ √ √ Infus RL √ √ √ √

Assessment Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari penggunaannya pada tanggal 04 dan 05 hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. Rekomendasi Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai.

91

Tabel XL. Kajian DTPs Kasus 27 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 27. No. RM 15 15 92 (10/02/08 – 12/02/08)

Subjective Laki-laki /21 tahun. DM: Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, pusing, mual, lemas. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa (Februari 2008) Parameter

10 Nilai normal

Kalium (K) 3,3↓ 3,5-5,1 mmol/L

Tes Widal (10/02) Ty.H : 1/160 Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/80

Para ty.CO : 1/160 TD: 110/80 mmHg Nadi : 80x/menit Suhu tubuh : 10/02 37 ˚C 11/02 (37; 37; 36; 37;

36,8) ˚C 12/02 37˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Februari 2008)

Nama obat

10 11 12 Tiamfenikol 3x500mg √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p) √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg

√ √

Flunarizin 5 mg 2x1 √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2ml)

√ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

Infus RL 20 tts/mnt √ Infus KAEN 3B √ √

Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

92

Tabel XLI. Kajian DTPs Kasus 28 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 28. No. RM 14 12 36 (25/02/08 – 27/02/08)

Subjective Laki-laki /24 tahun. DM: Observasi febris hari ke-4, obs. Chest pain . DU: Tifoid fever. DL: Bronchitis. Keluhan masuk : Panas, pusing, batuk, dada nyeri bila batuk. Riw.penyakit: Tifoid (Mei 2007). Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa (Februari 2008) Parameter

25 Nilai normal

WBC 14,6↑ 4-11 x103 /µL P-LCR 14,5 ↓ 15-25% LYM% 14,4↓ 19-48 % MXD% 8,1↑ 0-8% NEUT% 77,5↑ 40-74 % NEUT# 11,3↑ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (25/02) Para ty.BO : 1/160 TD: 90/40 mmHg Nadi : 92x/menit RR : 20x/mnt Suhu tubuh : 25/02 (37; 38,5; 37)˚C 26/02 (37,8; 37; 37; 36)˚C 27/02 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Februari 2008)

Nama obat

25 26 27 Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ Meloksikam 15 mg 1x1 (k/p) √ √ √ Sanadryl ekspektoran® 3x 2 cth

√ √

Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2ml)

Infus RL √ √ √

Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

93

Tabel XLII. Kajian DTPs Kasus 29 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 29. No. RM 15 16 55 (09/02/08 – 12/02/08)

Subjective Perempuan /50 tahun. DM: Tifoid . DU: Tifoid. Keluhan masuk : Panas, diare lebih dari 10x, tidak muntah, nyeri ulu hati. Keadaan pulang : Sembuh. Objective

Tanggal periksa (Februari 2008) Parameter

09 Nilai normal

SGOT 103,5↑ wanita s/d 31 IU/L

SGPT 101,9↑ wanita s/d 32 IU/L

Trigliserida 201↑ s/d 150 mg/dL WBC 5,8 4-11 x103 /µL MCV 80,6↓ 81-99 fL

MXD% 11,6↑ 0-8% LYM% 23,1 19-48 % NEUT% 65,3 40-74 %

Tes Widal (09/02) Ty.H : 1/1280

Ty.O : 1/80 TD:100/70 mmHg Nadi : 84x/menit Suhu tubuh : 09/02 36,6˚C 10/02 (36,6; 37; 36) ˚C 11/02 (36,3; 37,2; 36) ˚C 12/02 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Februari 2008) Nama obat 09 10 11 12

Metronidazol 3x500 mg √ √ √ √ Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg (k/p)

√ √

Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1

√ √ √

Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (injeksi 2 ml)

√ √ √ √

Infus RL √ √ √ Assessment Berdasarkan Drug Information Handbook, Metronidazol dapat meningkatkan efek dari golongan Benzodiazepin tertentu (Diazepam). Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian Metronidazol dan metampiron-diazepam agar tidak bersamaan.

94

Tabel XLIII. Kajian DTPs Kasus 30 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 30. No. RM 15 29 28 (25/03/08 –28/03/08)

Subjective Laki-laki /23 tahun. DM: Observasi febris hari ke-5. DU: Tifoid fever. Keluhan masuk : Lima hari panas, pusing, mual, batuk. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Maret 2008) Parameter 25

Nilai normal

WBC 2,8↓ 4-11 x103 /µL PLT 124↓ 150-450x103 /µL PDW 13,5 ↑ 9-13 fL

P-LCR 28,1↑ 15-25% LYM% 48,9↑ 19-48 % MXD% 13,1↑ 0-8% NEUT% 38↓ 40-74 % NEUT# 1↓ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (25/03) Para ty.BH :1/80

Para ty.CO : 1/320 TD:110/70 mmHg Nadi : 78x/mnt Suhu tubuh : 25/03 (37,8; 37,4; 37; 38;

36)˚C 26/03 (37; 37,2; 36,7;

36,4; 36,3) ˚C 27/03 (36,2; 36,8; 36,5;

36,2) ˚C 28/03 36,5˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Maret 2008) Nama obat 25 26 27 28

Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ Becom-C® 1x1 √ √ √ √ Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone susp. 3x2 cth

√ √ √ √

Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ √ Ranitidin HCl 50 mg/amp(injeksi 2 ml) 1amp / 12 jam

√ √

Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √

Assessment Berdasarkan Drug Interaction Facts, penggunaan Ranitidin HCl bersama antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan efek dari Ranitidin HCl. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Signifikansinya : 5) Rekomendasi Karena keberbahayaan relatif ringan, dan ada kemungkinan dapat terjadi namun bukti datanya terbatas, sehingga tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.

95

Tabel XLIV. Kajian DTPs Kasus 31 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 31. No. RM 14 95 30 (02/03/08 –05/03/08) Subjective Laki-laki /33 tahun. DM: Observasi Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Ulu hati sakit, lemas, sedikit mual. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Maret 2008) Parameter 02

Nilai normal

Urine Sediment :

bakteri + -

Kreatinin darah 1,2↑ Yaffe pria normal 0,6-1,1 mg/dL

Kolesterol total 249↑ Kolorimetri s/d 220 mg/dL

WBC 8,4 4-11 x103 /µL MCHC 32,8 ↓ 33-37 pg

PLT 130↓ 150-450x103 /µL PDW 14,7 ↑ 9-13 fL

P-LCR 29,8↑ 15-25% LYM% 7,6↓ 19-48 % NEUT% 87,7↑ 40-74 % LYM# 0,6↓ 1-3,7 x103 /µL

Tes Widal (02/03) Ty.H : 1/80 Para ty.AH : 1/80 Para ty.CO : 1/80

TD:110/70 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 02/03 (37;38;36,5;37,4)˚C 03/03 (36,3; 36,8; 36,7; 36,8)

˚C 04/03 (36,2; 36,7;36,4) ˚C 05/03 (36,5; 36,7)˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Maret 2008) Nama obat 02 03 04 05

Parasetamol 3x500mg √ √ Lutein, licopen,vit.E, vit.C, Zn, beta karoten, selenium yeast 2x1

√ √ √

Mebeverin HCl 135 mg 3x1 √ √ Chlordiazepoxid 5 mg, Clidinium bromide 2,5 mg 2x1

√ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2ml)

Sefuroksiminj. 750 mg/12 jam √ √ √ √ Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)/ 12 jam

√ √ √ √

Infus RL √ √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol

akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs : Interaksi obat.. 2. Berdasarkan Drug Information Handbook, dosis injeksi Sefuroksimadalah 750 mg tiap 8 jam atau 3 kali

sehari. Dari penggunaannya hanya 750 mg dua kali sehari. Sehingga DTPs: Dosis terlalu rendah. Rekomendasi 1. Mengatur waktu pemberian metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan. 2. Menaikkan dosis injeksi Sefuroksimmenjadi 750 mg 3 kali sehari sehingga efek terapi tercapai.

96

Tabel XLV. Kajian DTPs Kasus 32 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 32. No. RM 15 11 37 (24/03/08 –26/03/08)

Subjective Perempuan /36 tahun. DM: Tifoid. DU: Tifoid. DD: Leptospirosis. Keluhan masuk : Mual, nyeri dan bintik merah dikaki, batuk, lemas. Keadaan umum : CM, kaki kiri bengkak. Keadaan pulang: Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Maret 2008) Parameter 24

Nilai normal

SGPT 32,9↑ wanita s/d 32 IU/L Kreatinin

darah 1,0 0,5-0,9 mg/dL

Urine

Protein Leukosit Eritrosit Bakteri

+ 5-10 4-6 +

-

0-6 0-1 -

WBC 9,9 4-11 x103 /µL MCHC 32,8 ↓ 33-37 pg P-LCR 12,2↑ 15-25% LYM% 14,8↓ 19-48 % MXD% 8,8↑ 0-8% NEUT% 76,4↑ 40-74 % NEUT# 7,5↑ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (24/03) Ty.H : 1/80 Para ty.BH : 1/160 Para ty.BO : 1/80

TD:130/70 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 24/03 (38; 36,8; 36) ˚C 25/03 (36,5; 35,8; 36) ˚C 26/03 (36,5; 36,5) ˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Maret 2008) Nama obat 24 25 26

Parasetamol 3x500mg √ √ √ Celekoksib 2x200 mg √ √ √ Sefprozil 500 mg 2x1 √ √ √ Natrium diklofenak salep 2x1 √ √ √

Infus RL 15 tts/mnt √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Suhu tubuh pasien yang tinggi pada hari pertama, diatasi dengan memberikan Parasetamol sebagai obat

analgesik-antipiretik. 2. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, dan juga kemungkinan mengalami infeksi pada

kulit, sehingga diberi terapi Sefprozil. 3. Untuk mengatasi peradangan pada kaki yang ditandai dengan rasa nyeri, kemerahan dan terjadinya

pembengkakan, maka diberikan terapi dengan Celekoksib secara peroral, dan Natrium diklofenak secara topikal.

Rekomendasi -

97

Tabel XLVI. Kajian DTPs Kasus 33 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 33. No. RM 15 35 89 (18/04/08 –21/04/08)

Subjective Perempuan /51 tahun. DM: Febris hari ke-4. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Observasi febris hari-4, pusing, akral hangat. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa

(April 2008) Parameter 18

Nilai normal

SGOT 100,1↑ wanita s/d 31 IU/L

SGPT 100,2↑ wanita s/d 32 IU/L

PLT 93↓ 150-450x103 /µL PDW 14↑ 9-13 fL

P-LCR 30,1↑ 15-25%

Tes Widal (18/04) Ty.H : 1/80

Para ty.AH : 1/160 TD:140/90 mmHg Nadi : 88x/mnt Suhu tubuh : 18/04 (37; 37; 36,5;36) ˚C 19/04 (36; 36; 36) ˚C 20/04 (36;35,8;36;36,5)˚C 21/04 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (April 2008) Nama obat 18 19 20 21

Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ Echinacea, zinc picolinat 3x1

√ √ √ √

Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat® 3x1

√ √ √ √

Seftriakson Inj. 2x1g √ √ √ Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu injeksi Seftriakson. 2. Pasien mengeluhkan pusing dan akral teraba hangat, sehingga diberi Parasetamol. 3. Pasien mengalami ganggguan hati sehingga diterapi dengan obat untuk memproteksi hati

yaitu Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat®. 4. Sebagai suplemen penunjang untuk menstimulasi sistem imun terhadap infeksi akut diberikan

Echinacea-zinc picolinat. Rekomendasi -

98

Tabel XLVII. Kajian DTPs Kasus 34 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 34. No. RM 15 36 54 (21/04/08 –24/04/08) Subjective Laki-laki /14 tahun. DM: Febris hari ke-2. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Badan panas, merasa lemas dan letih, kejang, tidak diare. Riw.Penyakit: Kejang. Reaksi alergi: Obat Ampicillin. Keadaan pulang: Membaik. Objective

Tanggal periksa

(April 2008) Parameter 21

Nilai normal

WBC 6,7 4-11 x103 /µL PDW 13,1↑ 9-13 fL

MXD% 10,2↑ 0-8% LYM% 31,2 19-48 % NEUT% 58,6 40-74 %

Tes Widal (23/04) Ty.O : 1/80 Para ty.AO : 1/80

Para ty.BH : 1/160 Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO : 1/80

TD: 130/60 mmHg Nadi : 84x/mnt RR : 18x/mnt Suhu tubuh : 21/04 (39,5; 37,8) ˚C 22/04 (38; 37,6; 37,3; 37,4;

37,6;38,5)˚C 23/04 (38,4; 37,3;37,2; 37;

37,5) ˚C 24/04 (37; 36,4; 37,5; 37;

36) ˚C 25/04 36,8˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (April 2008) Nama obat 21 22 23 24 25

Sefadroksil 2x500 mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ √ √ Cetirizin diHCl 10 mg 1x1 √ √ √ √ Echinacea, zinc picolinat 2x1 √ √ √ √ Tinoridine HCl 50 mg 3x1 √ √ √ Levofloksasin 500 mg 1x1 √ Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, penggunaan Levofloksasin bersama Tinoridine HCl (golongan AINS) kemungkinan akan meningkatkan resiko terjadinya kejang. Potensial DTPs : Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian Levofloksasin dan Tinoridine HCl agar tidak bersamaan.

99

Tabel XLVIII. Kajian DTPs Kasus 35 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 35. No. RM 15 42 22 (11/05/08 –13/05/08)

Subjective Laki-laki /38 tahun. DM: Febris hari ke-4, susp. tifoid. DU: Tifoid. DL: Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Keluhan masuk : Badan panas, perut kadang sakit (nyeri epigastric), rasa tidak nyaman pada dada sebelah kiri, kadang batuk. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Mei 2008) Parameter 11

Nilai normal

Kalium (K) 3,4↓ 3,5-5,1 mmol/L WBC 7,5 4-11 x103 /µL

P-LCR 28,4↑ 15-25% LYM% 28,2 19-48 % NEUT% 64,6 40-74 %

Tes Widal (11/05) Para ty.BH : 1/80 TD:160/90 mmHg Nadi : 100x/mnt Suhu tubuh : 11/05 (36,9;37; 37,2) ˚C 12/05 (36,7; 37; 37) ˚C 13/05 37˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Mei 2008) Nama obat 11 12 13

Tiamfenikol 3x500mg √ √ √ Lansoprazol 30 mg 1x1 √ √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p) √ √ √ Enzyplex® 3x1 √ √ √ Sanadryl ekspektoran® 3x10 cc √ √ √ Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp

Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)

Infus Asering 20 tts/mnt √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan panas dan nyeri, sehingga diberi injeksi Metampiron Na

kemudian diberi Parasetamol. 3. Keluhan batuk diatasi dengan Sanadryl ekspektoran®. 4. Gangguan pada epigastric diatasi dengan pemberian terapi injeksi Ranitidin HCl, kemudian

diberi Lansoprazol. 5. Untuk membantu meringankan rasa kembung dan sebah akibat gangguan pencernaan, diberi

terapi Enzyplex®. Rekomendasi -

100

Tabel XLIX. Kajian DTPs Kasus 36 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 36. No. RM 15 39 02 (02/05/08 –08/05/08) Subjective Laki-laki /75 tahun. DM: Tifoid. DU: Tifoid fever. Keluhan masuk : Pusing, batuk, badan panas, lemas. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa (Mei

2008) Parameter 02

Nilai normal

SGOT 51,6↑ pria s/d 37 IU/L SGPT 43,8↑ pria s/d 42 IU/L

Ureum darah 63↑ Berthelot normal 10-50 mg/dL

Kreatinin darah 1,2↑ Yaffe pria normal

0,6-1,1 WBC 9,4 4-11 x103 /µL HCT 36,4↓ 37-47 %

Tes Widal (02/05) Ty.H : 1/160 Ty.O : 1/80 Para ty.BH : 1/160

TD:100/60 mmHg Nadi : 88x/mnt RR : 20x/mnt Suhu tubuh : 02/05 (37,1; 38) ˚C 03/05 (36,5; 37,5; 37; 38,6;

38,5) ˚C 04/05 (36;36;37,8;37,4)˚C 05/05 (37,5; 39,2;38,2;36;

37,5) ˚C 06/05 (36,3; 39; 36,8;

36,3)˚C 07/05 (37,8; 38,5;36,5;36) ˚C 08/05 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Mei 2008) Nama obat 02 03 04 05 06 07 08

Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg (k/p)

√ √ √ √ √ √

Echinacea, zinc picolinat 3x1 √ √ √ √ √ √ √ Ofloksasin 200 mg 2x1 √ √ √ √ Metampiron Na dan diazepam 3x1 (k/p)

√ √ √

Metampiron dan diazepam 3x500 mg (k/p)

√ √ √ √ √ √

Codein fosfat 3x10 mg √ √ √ √ √ Metampiron Na 500 mg/ml 1amp

√ √

Infus Siprofloksasin 2x500 mg

√ √ √ √

Infus RL √ √ √ √ √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan British National Formularium, penggunaan Kodein fosfat (analgesik opioid) dengan

siprofloksasin harus dihindari, karena dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi siprofloksasin dalam plasma. Potensial DTPs : Interaksi obat.

2. Berdasarkan British National Formularium, penggunaan Kodein fosfat (analgesik opioid) bersama obat Diazepam (ansietas dan hipnotik) akan meningkatkan efek sedatif. Potensial DTPs : Interaksi obat.

Rekomendasi 1&2Hentikan penggunaan kodein karena menyebabkan interaksi, memilih obat batuk lain.

101

Tabel L. Kajian DTPs Kasus 37 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 37. No. RM 15 42 15 (10/05/08 –12/05/08)

Subjective Perempuan /26 tahun. DM: Febris hari ke-3. DU: Tifoid fever. Keluhan masuk : Badan panas, menggigil, badan terasa lemas, pegal-pegal. Keadaan pulang : Belum sembuh. Objective

Tanggal periksa

(Mei 2008) Parameter 10

Nilai normal

WBC 13,4↑ 4-11 x103 /µL MCV 80,8↓ 81-99 fL MCH 26,5↓ 27-31 fL

MCHC 32,7 ↓ 33-37 pg LYM% 6,5↓ 19-48 % NEUT% 89,6↑ 40-74 % LYM# 0,9↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 12↑ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (10/05) Ty.H : 1/160 Ty.O : 1/80

TD:90/60 mmHg Nadi : 92x/mnt Suhu tubuh : 10/05 (38,6; 37; 37,5) ˚C 11/05 (37; 37,5; 37,6;

37,8; 38,8; 37,8) 12/05 37,8˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Mei 2008) Nama obat 10 11 12

Parasetamol 3x500mg (k/p)

√ √

Amoksisilin 3x500mg √ √ Megazing® 1x1 √ √ Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp

Infus RL √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu Amoksisilin. 2. Pasien mengeluhkan badan panas, menggigil, sehingga diberi injeksi Metampiron Na

kemudian diberi Parasetamol. 3. Untuk mengatasi badan pegal-pegal, diberi terapi multivitamin yaitu Megazing®. Rekomendasi -

102

Tabel LI. Kajian DTPs Kasus 38 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 38. No. RM 15 40 85 (10/05/08 –13/05/08) Subjective Perempuan /21 tahun. DM: Febris hari ke-6. DU: Tifoid. Keluhan masuk : Tidak ada keluhan. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Mei 2008) Parameter 10

Nilai normal

HbsAg (-) -

SGOT 108,6↑ wanita s/d 31 IU/L

SGPT 148,6↑ wanita s/d 32 IU/L

WBC 2,0↓ 4-11 x103 /µL PLT 116↓ 150-450x103 /µL PDW 13,9↑ 9-13 fL

MXD% 19,6↑ 0-8% LYM% 35,9 19-48 % NEUT% 44,5 40-74 % LYM# 0,7↓ 1-3,7 x103 /µL NEUT# 0,9↓ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (10/05) Para ty.CO : 1/80 TD:110/70 mmHg Nadi : 60x/mnt Suhu tubuh : 10/05 (36,7;36,1;36,3;

37,5) ˚C 11/05 (36; 36; 36,3; 37) ˚C 12/05 (36; 36,8; 36,2; 37) ˚C 13/05 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Mei 2008) Nama obat 10 11 12 13

Thiamphenicol 3x500 mg √ √ √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p)

Methisoprinol 500 mg 2x1 √ √ √ √ Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg (k/p)

√ √

Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat 2x1

√ √ √ √

Asam Ursodeoksikolik 250 mg 2x1

√ √

Infus RL 15 tts/mnt √ √ √ √ Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Tiamfenikol digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. 2. Parasetamol dan parasetamol-asetil sistein digunakan untuk mengatasi demam dan pusing

bila dirasakan pasien. 3. Adanya gangguan hati diobati dengan Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat dan asam

ursodeoksikolik. Rekomendasi -

103

Tabel LII. Kajian DTPs Kasus 39 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 39. No. RM 15 41 09 (06/05/08 –10/05/08)

Subjective Perempuan /17 tahun. DM: Demam Tifoid. DU: Tifoid. DL: Dengue fever. Keluhan masuk: Badan panas, mual, tidak muntah, pusing. Keadaan pulang : Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Mei 2008) Parameter 06

Nilai normal

SGOT 146,7↑ wanita s/d 31 IU/L

SGPT 127,8↑ wanita s/d 32 IU/L

Tes Widal (06/05) Ty.H : 1/80 Para ty.CO : 1/80

TD:130/80 mmHg Nadi : 152x/mnt Suhu tubuh : 06/05 (40,2; 39) ˚C 07/05 (37; 37,2; 36,7) ˚C 08/05 (36,4; 37; 36) ˚C 09/05 (36; 36,6;36,4;36,7)

˚C 10/05 36,3˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Mei 2008) Nama obat 06 07 08 09 10

Thiamphenicol 3x500 mg

√ √ √ √ √

Parasetamol dan asetil sistein 3x500 mg

√ √ √ √

Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat 3x1

√ √ √ √ √

Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x 1 cth

√ √ √

Norethisteron 5 mg 3x1 √ √ √ Metoklopramid HCl 10 mg/amp 3x1amp (injeksi 2ml)

√ √ √ √ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1 amp

Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √ √ Assessment Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Metoklopramid HCl bersama Parasetamol akan meningkatkan absorbsi parasetamol di usus halus. Potensial DTPs: Interaksi obat. Rekomendasi Mengatur waktu pemberian Metoklopramid HCl dan parasetamol agar tidak bersamaan.

104

Tabel LIII. Kajian DTPs Kasus 40 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 40. No. RM 15 42 57 (12/05/08 –15/05/08) Subjective Perempuan /19 tahun. DM: Tifoid fever, Dengue fever (hari ke-5). DU: Tifoid. DK: Tifoid, DHF. Keluhan masuk: Perut perih sudah 5 hari, pusing, panas, mulut terasa pahit, pendarahan hidung. Keadaan pulang: Sembuh. Objective

Tanggal periksa

(Mei 2008) Parameter 06

Nilai normal

SGOT 162,5↑ wanita s/d 31 IU/L

SGPT 131,9↑ wanita s/d 32 IU/L

WBC 4,9 4-11 x103 /µL HCT 49,7 ↑ 37-47 % PLT 71↓ 150-450x103 /µL

P-LCR 25,9↑ 15-25% MXD% 33,7↑ 0-8% LYM% 23,2 19-48 % NEUT% 43,1 40-74 % MXD# 1,7↑ 0-1,2 x103 /µL

Tes Widal (06/05) Ty.H : 1/320 Ty.O : 1/320 Para ty.BO : 1/160

TD: 90/60 mmHg Nadi : 92x/mnt Suhu tubuh : 12/05 (37,2; 36,3) ˚C 13/05 (36; 36; 37) ˚C 14/05 (36; 36; 36; 36) ˚C 15/05 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Mei 2008) Nama obat 12 13 14 15

Levofloksasin 500 mg 1x1 √ √ √ Ranitidin HCl 150 mg 2x1 √ √ √ Echinacea, zinc picolinat, selenium, asam askorbat 1x1

√ √ √

Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat 3x1

√ √ √

Asam Ursodeoksikolik 250 mg 2x1

√ √ √

Infus RL 30 tts/mnt √ √ √ √ Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri berdasarkan hasil tes widal, diberikan terapi Levofloksasin. 2. Untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan, pasien diberikan Ranitidin hidroklorida. 3. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, maka pasien diberikan Echinacea,zinc picolinat, selenium,

asam askorbat / Imunos®. 4. Sebagai hepatoprotektif diberikan Curcuma xanthorrhizae, kolin bitartrat. 5. Asam Ursodeoksikolik diberikan untuk membantu mengatasi gangguan hepar yang dialami pasien. Rekomendasi -

105

Tabel LIV. Kajian DTPs Kasus 41 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 41. No. RM 15 47 57 (01/06/08 –04/06/08) Subjective Perempuan /27 tahun. DM: Febris hari ke-4 + melena, DD DHF, Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Panas, mual, muntah, pusing, nyeri epigastrium. Keadaan pulang: Membaik. Objective

Tanggal periksa (Juni

2008) Parameter 01

Nilai normal

WBC 3,8↓ 4-11 x103 /µL MCV 76↓ 81-99 fL MCH 24,2↓ 27-31 fL

MCHC 31,9 ↓ 33-37 pg PDW 8,8↓ 9-13 fL

P-LCR 10,9↓ 15-25% LYM% 48,4↑ 19-48 % MXD% 11,5↑ 0-8% NEUT% 40,1 40-74 %

Tes Widal (01/06) Para ty.BO : 1/320 Para ty.CO : 1/320

TD: 80/60 mmHg Nadi : 64x/mnt Suhu tubuh : 01/06 (36,4; 36; 36,2; 37;

36,3)˚C 02/06 (36,5; 37; 37; 37; 35,5;

37,9 38)˚C 03/06 (35,8; 36; 37; 36,8;

36) ˚C 04/06 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Juni 2008) Nama obat 01 02 03 04

Pefloksasin 1x400 mg √ √ √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p)

√ √ √

Al(OH)3, Mg(OH)2 + simethicone (sirup 100 ml) 3 x 1 cth

√ √ √ √

Echinacea, zinc picolinat 2x1

√ √ √ √

Ranitidin HCl 50 mg/amp 2x1amp (injeksi 2ml)

√ √

Infus Asering 20 tts/mnt √ √ √ √ Assessment 1. Berdasarkan MIMS, dosis Pefloksasin adalah 1 tablet dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Dari

penggunaannya hanya satu kali sehari. Sehingga DTPs : Dosis terlalu rendah. 2. Berdasarkan British National Formularium dan MIMS, pemberian Pefloksasin bersama dengan

antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan absorpsi pefloksasin. Potensial DTPs : Interaksi obat.. (Menurut Drug Interaction Facts, signifikansinya 2)

3. Berdasarkan Drug Interaction Facts, penggunaan Ranitidin HCl bersama antasida yang mengandung aluminium dan magnesium akan menurunkan efek dari Ranitidin HCl. Sehingga Potensial DTPs : Interaksi obat.. (Signifikansinya : 5)

Rekomendasi 1. Penggunaan pefloksasin dinaikkan menjadi dua kali sehari sehingga dosis tercapai. 2. Mengatur waktu pemberian pefloksasin dan antasida agar tidak bersamaan. 3. Karena keberbahayaan relatif ringan, dan ada kemungkinan dapat terjadi namun bukti datanya

terbatas, sehingga tidak dibutuhkan intervensi secara klinis.

106

Tabel LV. Kajian DTPs Kasus 42 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 42. No. RM 10 45 43 (15/01/08 –17/01/08)

Subjective Laki-laki /64 tahun. DM: Febris hari ke-3 dan ISPA. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Panas, batuk berdahak, sedikit pusing. Keadaan pulang: Sembuh. Objective

Tanggal periksa (Januari 2008) Parameter

15 Nilai normal

WBC 5,8 4-11 x103 /µL MCHC 32,8 ↓ 33-37 pg RDW 47,8↑ 35-47 fL PDW 8,9↓ 9-13 fL

P-LCR 14↓ 15-25% MXD% 12,8↑ 0-8% LYM% 23,5 19-48 % NEUT% 63,7 40-74 %

Tes Widal (15/01) Ty.H : 1/160 Para ty.AH : 1/320 Para ty.BH : 1/80

TD: 120/70 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 15/01 (37,3; 36,7;36;

37,3; 37,7; 36,8)˚C 16/01 (36,7; 37,7; 37) ˚C 17/01 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Januari 2008) Nama obat 15 16 17

Amoksisilin 3x500mg √ Sanadryl ekspektoran® 3x 10cc

√ √

Pefloksasin 2x400 mg √ √ √ Parasetamol 3x500mg √ √ Vitamin C injeksi 1x1 gram

√ √ √

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

Infus Asering 20 tts/mnt √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu Amoksisilin, kemudian

diberi Pefloksasin. 2. Pasien mengeluhkan badan panas dan sedikit pusing sehingga diberi Metampiron Na

kemudian diberi Parasetamol. 3. Untuk mengatasi batuk berdahak diberi terapi Sanadryl ekspektoran®. 4. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien diberi injeksi Vitamin C. Rekomendasi -

107

Tabel LVI. Kajian DTPs Kasus 43 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 43. No. RM 12 36 14 (01/01/08 –03/01/08)

Subjective Perempuan /27 tahun. DM: Demam Tifoid DD.Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Panas, batuk, lemas. Keadaan pulang: Sembuh. Objective

Tanggal periksa (Januari 2008) Parameter

01 Nilai normal

WBC 3,9↓ 4-11 x103 /µL MCHC 31,3 ↓ 33-37 pg

PLT 128↓ 150-450x103 /µL PDW 14,7↑ 9-13 fL

P-LCR 33,8↑ 15-25% LYM% 48,5↑ 19-48 % MXD% 14↑ 0-8% NEUT% 37,5↓ 40-74 %

Tes Widal (01/01) Ty.H : 1/80 Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/80 Para ty.CO :1/160

TD: 140/80 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 01/01 (37; 36,5) ˚C 02/01 (37; 36,4; 37,1;

36,7; 36,4)˚C 03/01 37˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Januari 2008) Nama obat 01 02 03

Thiamphenicol 3x500 mg √ √ Parasetamol 3x500mg (k/p)

√ √

Sanadryl ekspektoran® 3x 2 cth

Echinacea, zinc picolinat, selenium, asam askorbat 1x1

√ √

Infus RL 30 tts/mnt √ √ √

Assessment Terapi yang diberikan sudah tepat. 1. Pasien terinfeksi bakteri sehingga diberikan terapi antibiotik yaitu Tiamfenikol. 2. Pasien mengeluhkan badan panas, diberi Parasetamol. 3. Untuk mengatasi batuk berdahak diberi terapi Sanadryl ekspektoran®. 4. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien diberi Imunos®. Rekomendasi -

108

Tabel LVII. Kajian DTPs Kasus 44 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 44. No. RM 00 54 25 (18/04/08 –21/04/08)

Subjective Laki-laki /43 tahun.. DM: Febris hari ke-4. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Tidak panas, pusing, abdominal pain (perut mulas, perih), sedikit mual. Keadaan pulang: Membaik. Objective

Tanggal periksa

(April 2008) Parameter 18

Nilai normal

WBC 3,4↓ 4-11 x103 /µL MXD% 17,2↑ 0-8% LYM% 36,7 19-48 % NEUT% 46,1 40-74 %

Tes Widal (18/04) Ty.H : 1/160 TD: 140/80 mmHg Nadi : 80x/mnt Suhu tubuh : 18/04 (37; 36,3; 36,9; 35,5)

˚C 19/04 (36,2; 36,5;36,5; 36;

35,8; 36,6)˚C 20/04 (36,3; 36,5; 35,7)˚C 21/04 36˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (April 2008) Nama obat 18 19 20 21

Parasetamol 3x500mg (k/p) √ √ √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg

√ √ √ √

Deksametason 0,5 mg 2x1 √ √ √ √ Amoxicilin 3x500 mg √ √ Thiamphenicol 3x500 mg √ √ √ Becom-C® 1x1 √ √ √ Attapulgit, pektin 3x 2 √ √ √ Fenilpropiletilamin 30 mg, klordiazepoksid 5 mg 3x1

√ √

Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml) hari pertama dilanjutkan tiap 12 jam

√ √ √ √

Infus RL √ √ √ √

Assessment Berdasarkan Drug Information Handbook dan Drug Interaction Facts, pemberian Diazepam bersama Ranitidin bisa menurunkan efek dari Diazepam. Potensial DTPs: Interaksi obat. (Signifikansinya 5). Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metampiron-diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan.

109

Tabel LVIII. Kajian DTPs Kasus 45 Pada Pengobatan Penyakit Tifoid di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Kalasan Sleman periode bulan Juli 2007 - Juni 2008

Kasus 45. No. RM 10 74 67 (01/06/08 –03/06/08)

Subjective Laki-laki /33 tahun. DM: Observasi febris DD.Tifoid. DU: Tifoid. Keluhan masuk: Pusing, mual, leher kaku. Keadaan pulang: Membaik. Objective

Tanggal periksa

(Juni 2008) Parameter 01

Nilai normal

WBC 8,9 4-11 x103 /µL LYM% 11,2↓ 19-48 % NEUT% 85,6↑ 40-74 % NEUT# 7,6↑ 1,5-7 x103 /µL

Tes Widal (01/06) Ty.O : 1/80 Para ty.BO : 1/80

TD: 120/80 mmHg Nadi : 84x/mnt Suhu tubuh : 01/06 37,2˚C 02/06 (36,7; 36,5;37,2) ˚C 03/06 37,2˚C

Penatalaksanaan

Tanggal (Juni 2008) Nama obat 01 02 03

Thiamphenicol 3x500 mg √ √ Metampiron dan diazepam 3x500 mg

√ √

Ranitidin HCl 150 mg 2x1 √ √ Metoklopramid HCl 10 mg 3x1 (k/p)

√ √

Metoklopramid HCl 10 mg/amp 1amp (injeksi 2ml)

Metampiron Na 500 mg/ml 1amp (injeksi 2 ml)

Ranitidin HCl 50 mg/amp 1amp (injeksi 2 ml)

Infus RL √ √ √

Assessment Berdasarkan Drug Information Handbook dan Drug Interaction Facts, pemberian Diazepam bersama Ranitidin menurunkan efek dari Diazepam. Potensial DTPs : Interaksi obat. (Signifikansinya 5). Rekomendasi Mengatur waktu pemberian metampiron-diazepam dan ranitidin agar tidak bersamaan.

110

LAMPIRAN III Surat Keterangan Penelitian di Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman

111

BIOGRAFI PENULIS

Lusia Lero Maya Sari merupakan anak keenam dari

pasangan Alexander Bati dan Xaveriana Maru, lahir di

Kupang pada tanggal 15 Juni 1986. Pendidikan awal di

mulai di Taman Kanak-Kanak Maria Goreti Kupang

pada tahun 1991-1992.

Dilanjutkan ke jenjang pendidikan di Sekolah Dasar

Santo Yoseph III pada tahun 1992-1998. Selanjutnya ke jenjang pendidikan Sekolah

Menengah Pertama Katolik Frater Kupang pada tahun 1998-2001. Kemudian naik ke

jenjang pendidikan Sekolah Menengah Umum Katolik Giovanni Kupang pada tahun

2001-2004. Selanjutnya pada tahun 2005 melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan menyelesaikan masa

studi pada tahun 2009. Penulis pernah menjadi penyuluh tentang “ Pentingnya Pola

Makan yang Sehat dengan Mengkonsumsi Buah-buahan untuk Menjaga Kekebalan

Tubuh” dalam kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat, di dusun Ngemplak dan

Ngaglik Sleman (2007).