Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Unggul dalam IPTEK Kokoh dalam IMTAQ
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KARDIOGENIK
SYOK PASIEN STEMI SAAT DILAKUKAN INTERVENSI KORONER
PERKUTAN PRIMER ( IKPP ) DI RUMAH SAKIT JANTUNG
HARAPAN KITA JAKARTA
Disusun Oleh:
SUPRIYANI
NPM : 2011727177
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN 2013
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
Penelitian, Maret 2013
Supriyani
Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kardiogenik Syok Pasien STEMI saat dilakukan Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP) Di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta Tahun 2013
7 bab ( 76 halaman) + 3 tabel + lampiran
Abstrak
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindrom koroner akut yang paling berat yang dapat mengakibatkan kardiogenik syok. Strategi pengobatan sangat berkaitan dengan masa awitan dan memerlukan tatalaksana yang tepat dan cepat.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP. Metoda penelitian yang di gunakan adalah Retrospektif dengan pendekatan Case Control yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data dari catatan medik pasien STEMI yang dilakukan IKPP di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita pada bulan Januari –desember 2011 dan januari – oktober 2012. Sampel berjumlah 122 responden dan analisa dilakukan secara bertahap yaitu univariat dan bivariat dan menggunakan Chi Square untuk melihat hubungan variabel independen dan dependen. Hasil penelitian didapatkan bahwa luas infark dan adanya arritmia sebagai faktor yang paling berhubungan dengan kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakkan IKPP (p=0.001).
Daftar pustaka : 35 ( 2003 – 2012) Kunci: STEMI terjadi kardiogenik syok saat dilakukan IKPP
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohiim
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rakhmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini
dengan judul ”Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kardiogenik syok pada
pasien STEMI saat dilakukan IKPP di Ruang Diagnostik Invasif dan Intervensi Non
Bedah di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Laporan penelitian ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan
pendidikan S1 Keperawatan pada Program Sarjana Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Berhubung dengan keterbatasan waktu, sarana, dan kemampuan peneliti menyadarai
bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini masih banyak kekurangan. maka
dengan senang hati peneliti mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Dalam kesempatan ini peneliti telah banyak memperoleh bimbingan, bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati peneliti
menyampampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Muhammad Hadi,SKM, Mkes selaku Ka Program Studi Ilmu Keperawatan
FKK-UMJ,sekaligus pembimbing kedua, penelitian yang telah banyak member
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan usulan penelitian ini.
vi
2 .Ibu Yani Sofiani, M.kep,Sp KMB selaku pembimbing penelitian yang telah banyak
member bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan penelitian ini
3. Ibu Hj.Tri Kurniati,Skp,Mkes selaku penguji yang selalu memberikan saran yang
berharga untuk perbaikan skripsi penelitian ini
4. Ibu Eni Widiastuti,Skep.Mkep. selaku penguji yang telah memeberikan masukan
yang berarti terhadap perbaikan skripsi penelitian
5. Bapak Dr. Hananto Sp.JPK selaku Direktur Utama Rumah Sakit Jantung dan
Pembuluh darah Harapan Kita Jakarta beserta staf yang telah memberikan
kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian
6. Rekan-rekan kerja UPF Diagnostik Invasif dan Intervensi Non Bedah dan teman-
teman mahasiswa PSIK, Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberikan
bntuan dan motivasi dalam penyusunan laporan penelitian ini.
7. Suami, dan anak-anakku tercinta Aliya, Alfath, Fath Thya yang telah memberikan
doa serta dukungan dengan penuh kesungguhan dan kesabaran
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan dan motivasi kepada penulis
Semoga Allah SWT membalas budi baik yang telah membantu dalam penyusunan
laporan penelitian ini. Akhirnya semoga laporan hasil penelitian ini berguna baik bagi
peneliti khususnya maupun pembaca lain pada umumnya.
Jakarta, Maret 2012
Peneliti
vii
DAFTAR ISI
JUDUL PENELITIAN.....................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................................iii
ABSTRAK ......................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR .....................................................................................................v
DAFTAR ISI ...................................................................................................................vii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................4
C. Pertanyaan Penelitian .................................................................................4
D. Tujuan Penelitian .......................................................................................5
E. Manfaat Penelitian .....................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindroma Koroner Akut ..............................................................................7
B. ST Elevasi Miocard Infark (STEMI) ..........................................................11
C. Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) / Intervensi Koroner
Perkutan Primer ( IKPP) ..........................................................................14
D. Kardiogenik Syok ......................................................................................17
viii
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti ......................................................37
B. Kerangka Konsep ........................................................................................38
C. Hipotesis ....................................................................................................39
D. Definisi Operasional ..................................................................................40
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian ........................................................................................42
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................................42
C. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................43
D. Jenis Data dan Instrumen penelitian ...........................................................44
E. Etika Penelitian ..........................................................................................44
F. Pengolahan Data ........................................................................................45
G. Analisa Data ...............................................................................................46
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Analisa Univariat ..........................................................................................49
B. Analisa Bivariat ............................................................................................51
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian ................................................................................58
B. Interpretasi dan Hasil diskusi ......................................................................58
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................................74
B. Saran .............................................................................................................76
ix
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................77
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel Penelitian (Variabel Independen dan
Dependen) ....................................................................................................40
Tabel 5.1. Analisis Univariat Variabel Penelitin ...........................................................50
Tabel 5.2. Analisis Bivariat Variabel Peelitian ..............................................................52
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) termasuk bagian dari penyakit kardiovaskular dan
merupakan penyakit yang menjadi “wabah” di dunia modern saat ini. Laporan
World Health Organization (WHO) pada September 2009 menyebutkan bahwa
penyakit PJK merupakan penyebab kematian pertama saat ini. Pada tahun 2004
diperkirakan 17,1 juta orang meninggal akibat PJK. Angka ini merupakan 29 % dari
penyebab kematian global dengan perincian 7,2 juta meninggal karena PJK dan
sekitar 5,7 juta orang meninggal karena stroke (Santoso, 2010 dalam Yahya, 2010).
Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) tahun 2007 di
Indonesia yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
menyebutkan bahwa penyebab kematian utama di Indonesia adalah stroke yaitu
sebesar 26,9 % dari seluruh penyebab kematian, sedangkan kematian akibat PJK
sebesar 9,3 %. Dengan demikian apabila kedua penyakit tersebut digabung sebagai
penyakit jantung dan pembuluh darah, maka penyakit kardiovaskuler tetap menjadi
penyebab utama kematian di Indonesia yaitu sebesar 36,2 % dari seluruh penyebab
kematian (Yahya, 2010).
2
Angka tersebut juga dibuktikan dengan meningkatnya kunjungan PJK di Rumah
Sakit jantung Harapan Kita sebagai salah satu rujukan berbasis Nasional.
Berdasarkan data Rekam Medis di RS Jantung Nasional Harapan Kita, PJK
mengalami peningkatan pada 2010 sebesar 23.1% dan tahun 2011 menjadi 47.1%.
Salah satu komplikasi pada PJK yang bersifat mengancam jiwa yaitu Sindrom
Koroner Akut (SKA). Wasid 2007, menyebutkan Sindrom Koroner Akut (SKA)
adalah suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark
Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau
tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena
adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tidak stabil.
ST elevasi (STEMI) didefinisikan adanya aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak ateroskelrosis yang sudah ada
sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus secara cepat pada lokasi injuri vascular
(Jurnal Kardiologi Indonesia), 2011. Prinsip penatalaksanaan STEMI adalah
mengembalikan aliran darah koroner dengan trombolitik atau Intervensi Koroner
Perkutan Primer (IKPP). (Jurnal Kardiologi Eropa), 2011, menyebutkan IKPP
adalah tindakan reperfusi segera pada pasien yang mengalami serangan jantung,
yang disebabkan adanya penyumbatan. dengan tujuan mencegah perluasan infark,
sehingga dapat meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel. Walaupun
tindakan IKPP merupakan indikasi kelas I untuk STEMI tetap mempunyai resiko
diantaranya adalah aliran pembuluh koroner menjadi lambat/ (No reflow), arritmia
dan kardiogenik syok.
3
Kardiogenik syok merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri terjadi bila
ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. dan ditandai dengan tekanan darah
sistolik < 90 mm Hg selama 1 jam dengan laju nadi ≥ 100 x/mt : 1). Tidak responsif
terhadap pemberian cairan saja. 2). Sekunder untuk disfungsi jantung, atau 3).
Terkait dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks jantung < 2,2 L / min per m2
dan tekanan baji paru-kapiler > 18 mm, atau juga dapat diartikan pasien dengan
peningkatan tekanan darah sistolik > 90 mm Hg dalam 1 jam setelah pemberian
agen inotropik (Fauci AS, et al, 2008).
Di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta pada bulan Januari –
Desember 2011 pasien STEMI yang dilakukan IKPP sebanyak 277 pasien dan
terjadi kardiogenik syok 32 pasien. Pada bulan Januari – September tahun 2012
pasien STEMI yang dilakukan IKPP sebanyak 223 pasien dan terjadi kardiogenik
syok 29 pasien, Pasien STEMI yang dilakukan IKPP menunjukan peningkatan,
yang dilihat dari data rekam medis RS Jantung Harapan Kita yang diambil pada
periode yang tidak sama pada bulan Januari – Desember 2011 dan bulan Januari -
September 2012, sebanyak 500 pasien dengan perkiraan 25 pasien setiap bulannya.
Disini peneliti mengambil data secara retrospektif dari data rekam medis RS
Jantung Harapan Kita bulan Januari - Desember 2011, bulan Januari - September
2012 pada STEMI yang dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok. Terdapat banyak
faktor faktor yang berubungan dengan STEMI saat dilakukan IKPP terjadi
kardiogenik syok antara lain: Umur, ras, keturunan, merokok ,DM, hiperlidemia,
4
hipertensi, inaktifitas, stress, gagal jantung, riwayat infark, lamanya onset serangan,
luas infark, arritmia, door to balon ≥ 90 menit< 90 menit.
B Perumusan Masalah
Prevalensi pasien STEMI yang dilakukan IKPP pada bulan Januari – Desember
2011 berjumlah 277 pasien dan bulan Januari - September 2012 berjumlah 223
pasien, dengan perkiraan 25 pasien STEMI yang dilakukan IKPP setiap bulan.
Dimana salah satunya tindakan pasien STEMI adalah IKPP. IKPP adalah tindakan
reperfusi segera dengan tujuan mencegah perluasan infark, walaupun IKPP
merupakan indikasi kelas I tetap mempunyai resiko salah satunya adalah
kardiogenik syok. Jurnal Kardiologi Eropa tahun 2011 menyebutkan STEMI dapat
dipengaruhi oleh umur, merokok, DM, hipertensi, dislipidemua, stress, gagal
jantung, riwayat infark, lamanya onset serangan, arritmia, door to balon ≥ 90 menit
< 90 menit.
C. Pertanyaan Penelitian.
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka muncul pertanyaan yang
berkaitan dengan penelitian yaitu:
1. Apakah faktor jenis kelamin, Umur, Diabetus Mellitus, Dislipidemia, merokok,
pada pasien STEMI yang dilakukan IKPP berhubungan terhadap kejadian
kardiogenik syok.
2. Apakah adanya arritmia pada pasien STEMI yang dilakukan IKPP
berhubungan terhadap kejadian kardiogenik syok..
5
3. Apakah luas infark pada pasien STEMI yang dilakukan IKPP berhubungan
dengan kejadian kardiogenik syok.
4. Apakah door to ballon ≥ 90 menit < 90 menit pada pasien STEMI yang
dilakukan tindakan IKPP berhubungan terhadap kejadian kardiogenik syok.
D. Tujuan
1. Tujuan Umun
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui yang berhubungan
dengan faktor-faktor kejadian kardiogenik syok pada pasien STEMI saat
dilakukan tindakan IKPP.
2. Tujuan Khusus
a. Gambaran demografi, hemodinamik dan luas infark, pada pasien
STEMI yang dilakukan IKPP dengan kardiogenik syok di Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita tahun 2012.
b. Diketahuinya hubungan jenis kelamin, pada pasien STEMI saat dilakukan
IKPP dengan kardiogenik syok.
c. Diketahuinya hubungan umur pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP
dengan kardiogenik syok.
d . Diketahuinya hubungan merokok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP
dengan kardiogenik syok.
e. Diketahuinya hubungan Dislipidemia pada pasien STEMI saat dilakukan
IKPP dengan kardiogenik syok.
6
f. Diketahuinya hubungan Diabetus Mellitus pasien STEMI saat dilakukan
IKPP dengan kejadian kardiogenik syok.
g. Diketahuinya hubungan adanya arritmia pada pasien STEMI saat
dilakukan tindakan IKPP dengan kardiogenik syok.
h. Diketahuinya hubungan luas infark pada pasien STEMI saat dilakukan
IKPP dengan kardiogenik syok.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi perawat, penelitian ini bermanfaat untuk mengantisipasi terjadinya
kardiogenik syok.
2. Bidang Keilmuan sebagai masukan untuk dapat dikembangkan pada pada mata
ajaran Keperawatan medical.
3 Bidang Pelayanan penelitian dapat dijadikan pedoman untuk penanganan
pasien STEMI yang dilakukan IKPP.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit jantung koroner (PJK) sebagai salah satu bentuk dari penyakit jantung dan
pembuluh darah merupakan penyakit yang melibatkan gangguan pembuluh darah
koroner, pembuluh darah yang menyuplai oksigen dan zat makanan pada jantung.
Kelainan dapat berupa penyempitan pembuluh koroner yang disebabkan karena
atherosclerosis. Athesklosklerosis terjadi akibat penimbunan kolesterol, lemak, kalsium,
sel-sel radang, dan material pembekuan darah (fibrin). Timbunan ini disebut dengan
plak. Terdapat dua macam plak yaitu plak stabil dan plak tidak stabil, vulnerable, rapuh
(Budiono Bambang, 2007).
A. Sindrom koroner Akut (SKA)
1. Definisi SKA
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit
Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian.
SKA merupakan PJK yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya, sering
terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan tidak
stabil atau akut.
8
Wasid (2007) menyebutkan bahwa Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu
fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard
Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa
gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya
trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil.
Adapun mekanisme terjadinya SKA adalah disebabkan oleh karena proses
pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard, yang dipicu oleh
adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses
inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi.
2. Patogenesis
a. Ruptur Plak
Ruptur plak ateroslerotik merupakan salah satu penyebab terjadinya SKA
yang diakibatkan oklusi subtotal atau total dari arteri koroner yang
sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik
terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan
fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi
plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari
timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang
paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan
secara enzimatik melemahkan dinding plak.
9
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup
pembuluh darah 100% akan terjadi STEMI, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi
Unstable Angina Pektoris (UAP).
Gambaran klinis pada ruptur plak yaitu, aliran darah terganggu karena
lumen tertutup trombus dan seringkali timbul spasme disekitar plak. Berat
ringannya kejadian koroner tergantung pada perubahan aliran darah. Bila
aliran darah tidak banyak berubah maka gambaran klinis hanya sebagai
progresi plak yang asimtomatik. Bila aliran darah berkurang timbul
keadaan angina tak stabil. Bila timbul blok total setelah ruptur dan kolateral
tidak cukup akan terjadi kerusakan otot jantung yang diikuti infark jantung
akut dan dengan segala komplikasinya. Kejadian ini yang dapat
mengakibatkan Sindrom Koroner Akut (SKA).
Gambar 1. Karakteristik plak yang rentan/tidak stabil (vulnerable)
10
b. Trombosis dengan Agrerasi Trombosit
Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi
yang terjadi antar lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya akan
trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa yang ada dalam plak tidak
stabil. Setelah berhubungan dengan darah faktor jringan berinteraksi
dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang
menghasilkan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal
endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi
sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan
pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam
perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam
memulai trombosis yang intermiten.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokontriksi yang juga mempunyai peranan penting terhadap
terjadinya SKA. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan pada
tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasmeyang sering kali terjadi
pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan
trombus.
11
d. Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel. Adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner, Fokus Sindrom Koroner Akut (2006).
B. ST Elevasi Miocard Infark (STEMI)
1. Definisi STEMI
STEMI adalah adanya aliran darah koroner yang menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak ateroskelrosis yang sudah ada sebelumnya.
STEMI terjadi jika trombus secara cepat pada lokasi injuri vascular (Jurnal
Kardiologi Indonesia, 2011).
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung
secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses dege-
neratif. Maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan
nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan
EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang
tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot jantung
yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.
12
Diagnosis STEMI akut ditegakkan berdasarkan kriteria WHO yang ditandai
dengan nyeri dada khas, perubahan EKG berupa elevasi segmen ST pada lead
yang berkesesuaian, dan peningkatan biomarker jantung.
2. Patofisiologi ST elevasi Miokard Infark (STEMI)
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi
injury vaskular, dimana injuri ini di cetuskan oleh fakto seperti merokok,
hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika
plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi
lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural
pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Infark
Mio kard yang disebabkan trombus arteri koroner dapat mengenai endokardium
sampai epikardium yang disebut infark transmural. Namun bisa juga hanya
mengenai daerah subendokardial disebut infark subendokardial. Setelah 20
menit terjadinya sumbatan infark sudah dapat terjadi pada subendokardium, dan
bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural.
Kerusakan miokard ini dari endokardium ke epikardium menjadi komplit dan
ireversibel dalam 3-4 jam. Meskipun nekrosis miokard sudah komplit, proses
remodeling miokard yang mengalami injuri terus berlanjut sampai beberapa
minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah non infark
mengalami dilatasi.
13
3. Manifestasi klinis
a. Keluhan utama klasik: nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa terbakar,
ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang
berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat, gejala
yang menyertai: berkeringat, pucat, mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
b Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.
c Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal jantung akut.
d Bisa atipik: Pada manula bisa kolaps atau bingung, pada pasien diabetes
perburukan status metabolik atau atau gagal jantung bisa tanpa disertai
nyeri dada.
4. Penatalaksanaan pasien STEMI
a. Trombolitika atau fibrinolitika
Bertujuan untuk melarutkan trombus dengan cara mengubah plasminogen
menjadi plasmin, yaitu suatu enzim yang dapat menguraikan fibrin (zat
pengikat dari gumpalan darah). Trombolitik digunakan untuk infark
jantung akut untuk melarutkan trombus yang telah menyumbat arteri
koroner. Efek samping adalah meningkatnya kecenderungan perdarahan
terutama perdarahan otak, khususnya pada manula. Juga harus di waspadai
pada pasien yang mengalami perdarahan misalnya yang baru saja
mengalami pembedahan atau yang menderita luka besar. .
b. Tindakan Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP) yang dilakukan
dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, mulai dari saat pasien mengalami
14
serangan jantung sampai dilakukan tindakan adalah penanganan terbaik
bagi pasien yang mengalami serangan jantung dengan ST-segment
elevation. Bahkan idealnya tindakan door to balloon atau tindakan mulai
dari pasien masuk pintu UGD sampai dilakukan pemasangan balloon
adalah 90 menit atau kurang.
C. Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP)
1. Definisi
Intervensi Koroner Perkutan Primer (IKPP) merupakan suatu tindakan
angioplasti (dengan atau tanpa stent) dalam 12 jam pada lesi culprit setelah
simptom, tanpa didahului oleh pemberian fibrinolitik atau obat lain yang dapat
melarutkan bekuan darah. Prosedur ini bertujuan untuk membuka infarc related
artery saat terjadinya infark miokard akut dengan elevasi segment ST (Jurnal
Kardiologi Indonesia, 2010).
2. Tujuan reperfusi dini
Mencegah perluasan infark, sehingga dapat meminimalkan derajat disfungsi
dan dilatasi ventrikel baik global maupun regional, reperfusi juga mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi gagal jantung atau
takhiaritmia ventrikel yang maligna.
15
3. Indikasi dilakukan IKPP
Kriteria pasien yang berisiko tinggi adalah:
a. Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat.
b. Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau
elevasi segmen ST sementara <30 <0,1mv).
c. Peningkatan nilat troponin I, troponin II, atau CKMB.
d. Pada observasi hemodinamik pasien tidak stabil.
e. Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel.
f. Angina tidak stabil pada pasca infark dini.
g. Diabetes mellitus.
i. Pasien dengan STEMI kurang dari 12 jam, dengan Left Bundle Branch
Block (LBBB), dan juga STEMI dengan komplikasi gagal jantung yang
severe (Griff, 2008).
4. Komplikasi
Adapun kemungkinan yang terjadi pada pasien STEMI saat dilakukan
tindakan IKPP adalah Syok kardiogenik, ventricular tachicardia(VT),
Ventricular Fibrilasi (VF), Reperfusi Injuri dan hipotensi.
5. Peran Perawat
Dimana peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan adalah bila pasien
dengan diagnosa STEMI datang ke Ruang Laboratoriun Kateterisasi jantung
untuk tindakan IKPP harus memperhatikan Keadaan umum pasien dan faktor
lain yang menjadi penyebab terjadi serangan jantung. seperti Faktor Resiko,
pernah mengalami infark sebelumnya, serta mengetahui hemodinamik saat di
16
Unit Gawat Darurat sebagai data awal untuk mempersiapkan pasien agar dalam
pelaksanaannya kita sebagai perawat dapat mempersiapkan kemungkinan yang
akan terjadi saat prosedural agar pasien tidak jatuh dalam keadaan kardiogenik
syok. Setelah mengetahui riwayat pasien kita dapat memberikan asuhan
keperawatan dengan berkolaborasi dengan dokter, seperti : 1). Pemberain cairan
harus dipantau dengan ketat oleh perawat untuk mendeteksi tanda kelebihan
cairan. Bolus cairan intravena yang terus ditingkatkan harus diberikan dengan
sangat hati-hati dimulai dengan jumlah 50 ml untuk menentukan tekanan
pengisisan optimal untuk memperbaiki curah jantung (Alpret & Blecker, 1993).
2). Dukungan mekanik pada kasus dimana curah jantung pasien tidak
menunjukkan perbaikan meski telah dilakukan pemberian oksigen, medikasi
vasoaktif, dan bolus cairan, alat bantu mekanik dapat digunakan sebagai cara
sementara untuk memperbaiki kemampuan jantung untuk memompa. IABP
(Intra Aotic Balon Pump) adalah salah satu cara bantuan sementara untuk
memperbaiki sirkulasi sehingga pemasangan IABP sangat dianjurkan sampai
pasien menunjukan hemodinamik stabil.
IABP adalah alat bantu mekanis yang menggunakan counterpulsation internal
untuk menguatkan kerja jantung dengan cara pengembangan dan pengempisan
balon secara teratur diletakan di aorta desendens. Alat ini dihubungkan dengan
kotak pengontrol yang seirama dengan aktivitas elektrokardiogram.
Pemantauan hemodinamik juga sangat penting untuk menentukan status
sirkulasi pasien selama penggunaan IABP. Balon dikembangkan selama
diastole ventrikel dan dikempiskan saat sistole dengan kecepatan yang sama
17
dengan frekwensi jantung. IABP akan menguatkan diastole yang
mengakibatkan peningkatan arteri koroner jantung. IABP dikempiskan selama
sistole yang akan mengurangi beban kerja ventrikel, dimana alat ini berfungsi
untuk mengurangi kerja jantung. 3). Temporary Pace Maker (TPM) bila
saat tindakan terjadi sinus bradikardia dengan HR< 40 x/mt dan berhubungan
dengan hipotensi atau gejala gangguan hemodinamik harus diterapi dengan
Sulfas Atrofin dengan dosis maksimal 2 mg tetapi tidak ada perubahan 4).
Mempersiapkan obat-obatan bila terjadi kegawatan.
Penanganan yang cepat dan tepat pada pasien kadiogenik syok ini mempunyai
peranan penting di dalam pengelolaan pasien guna menyelamatkan jiwanya dari
ancaman kematian.
D. Kardiogenik syok
1. Definisi
Sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang diakibatkan oleh gagal
jantung, yang ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤ 90 mmHg,
atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata ≤30 mmhg) dan atau penurunan
pengeluaran urine (≤0.5 ml/kg/jam) dengan laju nadi ≥ 100 x/mt dengan atau
tanpa adanya kongesti organ (www.fkui,org, diperoleh tanggal 28 september
2012).
Kardiogenik syok merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal
jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas.
18
Otot jantung kehilangan kontraktilitasnya, dan menimbulkan penurunan curah
jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital ( jantung,
otak, ginjal ). Meskipun syok kardiogenik biasanya sering terjadi sebagai
komplikasi Miocard Infark, namun bisa terjadi pada tamponade jantung, emboli
paru, kardiomiopati dan disritmia (Brunner & Suddarth, 2007).
Kardiogenik merupakan hipotensi yang menetap, secara konvensional
didefinisikan sebagai tekanan < 80 mmHg yang berlangsung lebih dari 30 menit
dengan tidak adanya gejala hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan hipotensi
karena tekanan pengisisan end-diastolik ventrikel kiri (LVEDP) tidak adekuat,
diketahui dengan adanya pengukuran pulmonary capillary wedge pressure
(PCWP) <18 mmHg. Indek jantung saat terjadi syok
kardiogenik biasanya kurang dari 2,0 L/menit/m2 (Murphy, 2007).
Syok dapat dibagi dalam tiga stadium yang makin lama makin berat :
a. Stadium terkompensasi (non progresif), pada tahap ini fungsi organ vital
dipertahankan, melalui mekanisme kompensasi fisiologis tubuh
dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi resistensi
sistemik meningkat, distribusi selektif aliran darah dari Organ
sekunder ke organ primer (jantung, paru, otak), resistensi arteriol
diastolik pressure, Heart Rate, Cardiac output meningkat, sekresi
vasopresin, renin angiotensin aldosteron meningkat, ginjal menahan air
dan sodium didalam sirkulasi.
19
b. Stadium dekompensasi, pada tahap ini terjadi perfusi jaringan buruk,
02 sangat turun, metabolisme anaerob, laktat meningkat. Laktat
asidosis, diperberat oleh penumpukan C02, dimana C02 menjadi asam
karbonat. Gangguan metabolisme energi dependen Na+/K+ pump
tingkat seluler, integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan
mitokondria memburuk, kerusakan sel. Aliran darah lambat dan
kerusakan rantai kinin serta sistim koagulasi akan diperburuk dengan
terbentuknya agregasi trombosit dan pembentukan trombus disertai
tendensi perdarahan. Pelepasan mediator vaskuler , histamin,
serotonin, sitokin, xantin oxydase membentuk oksigen radikal serta
platelet agragating faktor. Pelepasan mediator oleh makrofag
menyebabkan vasodilatasi arteriol, permeabilitas kapiler meningkat,
venus return, preload, dan Cardiac Output menurun.
c. Stadium refrakter (irreversible) syok yang berkelanjutan menyebabkan
kerusakan dan kematian sel, multi organ failure, cadangan phospate
berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung dan hepar dan
tubuh kehabisan energi.
2. Etiologi Kardiogenik Syok
a. Iskemia Ventrikel: Infark Miocard Acut (IMA), Cardiopulmonary arrest,
operasi jantung
20
b. Masalah struktur: ruptur septum, ruptur otot papilari, ruptur dinding
jantung,aneurisme ventrikel, Kardiomiopati, tumor jantung, trombus
atrium, pulmonary embolisme, disfungsi katup, tamponade jantung.
c. Disritmia: bradidisritmia, takidisritmia
3. Manifestasi klinis
Menurut Murbin, 2008, diagnosis kardiogenik syok berdasarkan:
a. Keluhan pokok
a) Oliguri ( urine < 20 cc/jam)
b) Mungkin ada hubungan dengan Infark Miocard Acut
c) Nyeri substernal seperti Infark Miocard akut
b. Tanda penting
a) Tekanan darah turun < 80-90 mmHg
b) Takipneu dan dalam
c) Takhikardia
d) Tanda-tanda bendungan paru, ronki basah di kedua basal paru
e) Bunyi jantung sangat lemah, BJ III sering terdengar
f) Sianosis
g) Diaporesis
h) Keringat dingin, perubahan mental
21
c. Kriteria Adanya disfungsi miokard disertai
a) Nyeri dada yang berkelanjutan dyspneu ( sesak/ sulit bernafas),tampak
pucat, dan apprehensive ( gelisah,takut, cemas).
b) Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
c) Produksi urine < 20 cc/jam
d) Tekanan vena sentral > 10 mmH20
e) Ada tanda-tanda gelisah, keringat dingin, akral dingin,takhikardi.
4. Patofisiologi Kardiogenik syok
Syok kardiogenik sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel
kiri.Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan gagal
jantung tetap berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan kontraktilitas
jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru dan edema.
Dengan menurunnya tekanan arteria, maka terjadi perangsangan terhadap
baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpatoadrenal
menimbulkan refleks vasokonstriksi, takikardia, dan meningkatkan
kontraktilitas untuk menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah.
Kontraktilitas akan terus meningkat sesuai dengan hukum Starling melalui
retensi natrium dan air. Jadi, menurunnya kontraktilitas pada syok
22
kardiogenik akan memulai respon kompensatorik, yang meningkatkan beban
akhir dan beban awal.
Meskipun mekanisme protektif ini pada mulanya akan meningkatkan tekanan
arteria darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap miokardium justru
buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan miokardium
akan oksigen. Karena aliran darah koroner tidak memadai, terbukti dengan
adanya infark, maka ketidakseimbangan antara kebutuhandan suplai oksigen
terhadap miokardium semakin meningkat. Gangguan miokardium juga terjadi
akibat iskemia dan nekrosis fokal, yang akan memperberat lingkaran setan dari
kerusakan miokardium. Dengan bertambah buruknya kerja ventrikel kiri,
keadaan syok berkembang dengan cepat sampai akhirnya terjadi gangguan
sirkulasi hebat yang mengganggu sistem organ-organ penting.
Penurunan Cardiac Output, penurunan tekanan darah, insufisiensi koroner
depresi kontraktilias miokard. Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat
dari pada yang lain. Seperti telah diketahui miokardium akan menderita
kerusakan yang paling dini pada keadaan syok. Selain dari bertambahnya kerja
miokardium dan kebutuhannya terhadap oksigen, beberapa perubahan lain
juga terjadi. Karena metabolisme anaerobik dimulai pada keadaan syok, maka
miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan fosfat berenergi tinggi
(adenosin trifosfat) dalam kadar normal, dan kontraktilitas ventrikel akan
makin terganggu. Hipoksia dan asidosis menghambat pembentukan energi dan
mendorong terjadinya kerusakan lebih lanjut dari sel-sel miokardium. Kedua
23
faktor ini juga menggeser kurva fungsi ventrikel ke bawah dan ke kanan yang
akan semakin menekan kontraktilitas (Fauci AS, et al., 2008).Gangguan
pernafasan terjadi sekunder akibat syok. Komplikasi yang mematikan adalah
gangguan pernafasan yang berat. Kongesti paru-paru dan edema intra-alveolar
akan mengakibatkan hipoksia dan kemunduran gas-gas darah arteria.
Atelektasis dan infeksi paru-paru dapat pula terjadi. Faktor-faktor ini memicu
terjadinya syok paru-paru, sering disebut sebagai sindrom distres pernafasan
dewasa. Takipnea, dispnea, dan ronki basah dapat ditemukan. Perfusi ginjal
yang menurun mengakibatkan anuria dengan keluaran kemih kurang dari 20
ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, biasanya menurunkan
pula keluaran kemih. karena adanya respon kompensatorik retensi natrium dan
air, maka kadar natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan
menurunnya laju filtras glomerulus, terjadi peningkatan BUN dan kreatinin.
Bila hipotensi berat dan berkepanjangan dapat terjadi nekrosis tubular akut
yang kemudian disusul gagal ginjal akut. Syok yang berkepanjangan akan
mengakibatkan gangguan sel-sel hati. Kerusakan sel dapat terlokalisir pada
zona-zona nekrosis yang terisolasi, atau dapat berupa nekrosis hati yang masif
pada syok yang berat. Gangguan fungsi hati dapat nyata dan biasanya
bermanifestasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati, glutama - oksaloasetat,
transaminase serum (SGOT), dan glutamat-piruvat transaminase serum (SGPT).
Hipoksia hati merupakan mekanisme etiologi yang mengawali komplikasi.
Dalam keadaan normal, aliran darah serebral menunjukan autoregulasi yang
baik, yaitu dengan usaha dilatasi sebagai respon terhadap berkurangnya
24
aliran darah atau iskemia. Namun, pengaturan aliran darah serebral ternyata
tidak mampu mempertahankan aliran dan perfusi yang memadai pada tekanan
darah di bawah 60 mmHg. Selama hipotensi yang berat, gejala-gejala defisit
neurologik dapat ditemukan. Kelainan ini biasanya tidak berlangsung terus jika
pasien pulih dari keadaan syok, kecuali jika disertai dengan gangguan
serebrovaskular.Selama syok yang berkelanjutan, dapat terjadi pengumpulan
komponen-komponen selular intravaskular dari sistem hematologik, yang akan
meningkatkan tahanan vaskular perifer lebih lanjut. Koagulasi intravaskular
difus/Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dapat terjadi selama syok
berlangsung, yang akan memperburuk keadaan klinis (Syok kardiogenik article
by, MiSC, Kardiovaskular fkuii.org)
5. Faktor Resiko
Faktor risiko Kardiovaskuler (American Heart Association/American College
of Cardiologi, 2007) yang terdiri dari:
a. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah: Umur, Jenis kelamin, Genetik.
a) Jenis kelamin
Infark miokardium dan aterosklerosis jarang pada perempuan
pramenopause,kecuali memiliki predisposisi diabetes, hiperlipidemia
hipertensi berat, indeks jantung rendah mungkin akibat menurunnya
menurunnya kadar estrogen alami. Frekuensi infark miokardium pada
kedua jenis kelamin setara pada usia 70 sampai 80-an tahun. Terapi
sulih hormon pasca menopause sedikit banyak memberi perlindungan
terhadap serangan aterosklerosis. Wanita relatif lebih sulit mengidap
25
penyakit jantung koroner sampai masa menopause, dan kemudian
menjadi sama seperti pria. Hal ini diduga adanya efek perlindungan
estrogen (Verheugt,2008). Menurut silvia dan Loraine (2006) bahwa
ada hubungan antara jenis kelamin dengan PJK. Pada pria terkena
serangan jantung lima kali lebih besar dibandingakan dengan wanita.
Tetapi perempuan ditemui komplikasi lebih mekanis seperti ruptur
ventrikel mekanik dan regurgitasi mitral akut yang berat.
b) Umur
Semakin bertambahnya umur akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya Penyakit Jantung Koroner . SKA lebih sering timbul pada
usia lebih dari 35 tahun keatas dan pada usia 55 – 64 tahun terdapat 40%
kematian disebabkan oleh penyakit jantung koroner.Umur merupakan
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dimana seseorang yang
berumur ≥ 60 tahun memiliki risiko kematian sebesar 10,13 kali
dibandingkan yang berumur 25 – 49 tahun (Kusmana, 2002).
b. Faktor risiko yang dapat dirubah seperti
a). Diabetus Mellitus
Pada penderita diabetes terjadi kelainan metabolisme yang disebabkan
oleh hiperglikemi yang mana metabolit yang dihasilkan akan merusak
endotel pembuluh darah termasuk didalamnya pembuluh darah koroner.
Pada penderita diabetes yang telah berlangsung lama akan mengalami
mikroangiopati diabetik yaitu mengenai pembuluh darah besar, dimana
26
pada penderita ini akan sering mengalami triopati diabetik/mikrongopati
yaitu neuropati, retinopati dan nefropati. Dan bilamana makroangiopati
ini terjadi bersama – sama dengan neuropati maka terjadilah infark
tersembunyi ataupun angina yang tersembunyi yaitu tidak ditemukan
nyeri dada, dimana keadaan ini mencakup hampir 40% kasus. Pada
penderita DM terjadi percepatan aterosklerosis dan 75 – 80% kematian
penderita diabetes disebabkan oleh makroangiopati terutama yang
terjadi pada jantung, yaitu SKA (American Heart Association/ American
College of Cardiologi, 2007).
Menurut Ilmu Penyakit Dalam Universitas Dipenogoro tahun, 2007.
Sejumlah manifestasi tidak spesifik mungkin terdapat pada pasien
dengan IMA. Peningkatan kadar gula darah merupakan salah satu ciri
non spesifik pada tahap awal Infark Miocard Acut (IMA) yang banyak
dijumpai, tapi kemaknaannya belum diketahui secara lengkap.
Peningkatan kadar gula darah disebut sebagai stress akibat IMA sebagai
perubahan neuroendokrin pada tahap awal IMA.Hiperglikemi sering
terjadi mengikuti IMA/STEMI, tidak hanya pada pasien diabetik tapi
juga penderita yang non diabetik dengan frekuensi yang lebih sedikit.
Stress hiperglikemi yang terjadi pada IMA berkaitan dengan resiko
mortalitas pada pasien di RS. Hal berkaitan dengan makin tingginya
frekuensi kejadian syok kardiogenik dan gagal jantung kongestif sebagai
komplikasi IMA. Stress hiperglikemi kemungkinan petanda atas lebih
luasnya kerusakan jantung pada IMA. Kerusakan jantung yang lebih
27
luas mungkin mengakibatkan peningkatan produksi hormone-hormon
stress (meningkatkan glikogenolisis dan hiperglikemi) sehingga
meningkatkan resiko gagal jantung kongestif dan kematian.
b) Merokok
American Heart Association / American College of Cardiologi (2007),
Orang yang merokok mempunyai risiko 2 kali lebih banyak untuk
menderita penyakit kardiovaskular dibanding orang yang tidak me
Efek merokok terhadap terjadinya aterosklerosis antara lain dapat
menurunkan kadar HDL, trombosit lebih mudah mengalami agregasi,
terjadi luka endotel karena radikal bebas dan pengeluaran katekolamin
berlebihan serta dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah. Kematian
mendadak karena SKA 2–3 kali lebih banyak pada perokok
dibandingkan bukan perokok. Orang yang merokok mempunyai risiko
kematian 60% lebih tinggi, karena merokok dapat menstimulasi
pengeluaran katekolamin yang berlebihan sehingga fibrilasi ventrikel
mudah terjadi.
C). Dislipidemia
Menurut Hartono (2004) menyatakan bahwa dislipidemia adalah
meningkatnya kadar kolesterol dan bentuk ikatannya dengan protein
seperti trigliserida dan LDL, tetapi sebalikya kadar HDL menurun.
Dislipidemia tidak lepas dari keterpajanan terhadap asupan lemak sehari
– hari terutama asupan lemak jenuh dan kolesterol, yang dapat
28
meningkatkan insidens penyakit jantung koroner. Dikatakan setiap
penurunan 200 mg asupan kolesterol per 1000 kalori akan menurunkan
30% insidens penyakit jantung koroner. Sedangkan asupan lemak jenuh
dalam ukuran normal maksimal 10% dari 30% total lemak yang
dibutuhkan untuk keperluan sehari – hari. Asupan kolesterol tidak lebih
dari 30 gram perhari. WHO merekomendasikan asupan lemak jenuh
maksimal 10% dari 30% lemak keseluruhan yang digunakan sebagai
bahan kalori. Pada kadar kolesterol diatas 300 mg% angka kematian
SKA sebanyak 4 kali dibandingkan dengan kadar kolesterol dibawah
200 mg%. Kelebihan itu akan mengendap dalam pembuluh darah arteri
yang menyebabkan penyempitan dan pengerasan yaitu atherosclerosis.
yang sewaktu waktu dengan berjalannya waktu dapat berkembang
menjadi STEMI.
c. Faktor lainnya
a) Area infark
Area infark dapat diketahui dari hasil rekaman EKG. Yang paling
banyak menyebabkan syok kagenik meliputi: (1) Infark ventrikel
kiri yang luas (biasanya > 40% luas ventrikel kiri), ini ditemukan pada
sekitar 80% pasien syok (2) Infark ventrikel kanan terdapat pada 10%
pasien syok 3) Adanya RV infark yang menyertai infark inferior
berhubungan dengan peningkatan angka mortalitas secara signifikan
35-40%. dan 4) komplikasi mekanik infark miokard (Ventrikel septal
29
defek,regurgitasi mitral akut, temponade) dialami oleh 10% pasien
syok. Syok kardiogenik juga berpengaruh terhadap perfusi jaringan
yang masih hidup di sekitar daerah infark, ini artinya akan lebih banyak
terjadi nekrosis iskemik dikarenakan hipotensi dan perfusi yang
rendah (Murphy, 2007).
b) Luas infark
Infark Miocard Akut atau nekrosis iskemik pada miokardium
diakibatkan oleh iskemia pada miokard yang berkepanjangan yang
bersifat irreversibel. Waktu yang diperlukan bagi sel-sel jantung
mengalami kerusakan adalah iskemia selama 15-20 menit. Infark
miokard hampir selalu terjadi pada ventrikel kiri dan dengan nyata
mengurangi fungsi Left Ventrikel (LV). Makin luas daerah infark,
makin kurang daya kontraksinya. Secara fungsional IMA menyebabkan
1) Berkurangnya kontraksi dengan gerak dinding abnormal.2)
Terganggunya ventrikel kiri. 3) Berkurangnya volume denyutan. 4)
Berkurangnya waktu pengeluaran. 5) Meningkatnya tekanan akhir
diastole ventrikel kiri. Hubungan yang kuat antara lamanya oklusi
dengan luasnya nekrosis. Kematian sel dimulai setelah 20 menit
oklusi dan mencapai puncaknya setelah 6 jam. Proses ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti ada atau tidaknya reperfusi
intermiten, kolateral dan iskemia prekondisioning. Mortalitas dan
morbiditas tergantung pada luasnya daerah infark.
30
c) Arritmia
Gangguan fungsi tidak hanya tergantung pada luasnya infark tetapi
pada pasokan darah yang terkena infark karena aritmia sering ditemukan
pada fase akut IMA. Hal ini menyebabkan gangguan
hemodinamik, dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard
dengan mudahnya perluasan infark atau bila merupakan predisposisi
untuk terjadinya aritmia yang mengancam jiwa.. Disritmia
merupakan komplikasi dari IMA adalah gangguan irama jantung (90)%
faktor predisposisis adalah: 1) iskemia jaringan, 2)hipooksemia, 3)
pengaruh sistem saraf simpatis dan para simpatis, 4) Asidosis laktat, 5)
Kelainan hemodinamik, 6) Keracunan obat, 7) Gangguan
keseimbangan elektrolit. Menurut American Heart Association's
Heart Attack web site Information and resources for preventing,
recognizinghttp://en.wikipedia.org/wiki/Myocardial_infarction (diunduh
tanggal 27 februari 2013).
d) Gagal jantung
Komplikasi hemodinamik dimana daerah miokard setempat akan
memperlihatkan penonjolan sistolik ( diskinetik) dengan akibat
penurunan Ejeksi Fraksi (stoke volume) dan peningkatan tekanan atrium
diatas 25 mmHg yang lama-lama akan menyebabkan transudasi cairan
ke jaringan interstisium paru. Perburukan hemodinamik ini bukan saja
disebabkan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik
disekitarnya. Miokard yang masih baik relatif baik akan mengadakan
31
kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsangan adrenergik untuk
mempertahankan curah jantung, tetapi dengan akibat peningkatan
kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak akan memadai
bila daerah bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah
fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang harus berkompensasi sudah
buruk, maka tekanan akhir diastolik ventrikel kiri akan naik dan gagal
jantung terjadi. Sebagai akibat terjadi perubahan bentuk ukuran serta
ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel kiri yang terkena infark maupun
non infark. Perubahan tersebut menyebabkan remodeling ventrikel yang
nantinya akan mempengrauhi fungsi ventrikel timbulnya aritmia
(Tjokronegoro, A., dkk, 2007).
e) Riwayat infark sebelumnya
Reoklusi sebelumnya dari infark arteri atau dekompensasi fungsi
miokardial dalam zona non infark yang disebabkan oleh metabolik
abnormal itu penting untuk mengenal area yang luas yang tidak
berfungsi tetapi miokardium viable. dapat juga menjadi penyebab
atau memberikan berkontribusi untuk terjadinya kardiogenik syok
pada pasien yang setelah mengalami infark miokard
(Hollenberg,S,2003).
f) Door to ballon ≥ 90 menit < 90 menit
Tindakan reperfusi (mekanik atau farmakologik) diindikasikan pada
pasien dengan nyeri dada infark dengan durasi kurang atau sama
32
dengan 12 jam pada pasien dengan elevasi segmen ST lebih dari
0.1mV di dua atau lebih lead yang berdekatan atau LBBB baru atau
diduga baru. Kandidat reperfusi harus diidentifikasi oleh dokter gawat
darurat atau oleh petugas emergensi untuk menghemat waktu.Harapan
hidup pasien Infark Miokard dengan elevasi segmen ST tergantung dari
reperfusi yang cepat, pada pembuluh yang tersumbat.
Keterlambatan door to needle atau door to balloon tiap 30 menit
akan meningkatkan risiko relative satu tahun sebanyak 7.5%. Sehingga
segala usaha harus dilakukan untuk mempercepat reperfusi.
Data dari National Registry of Myocardial Infarction melaporkan door
to balloon time kurang dari 90 menit, maka angka kematian di rumah
sakit sekitar 3%, meningkat menjadi 4.2%, 5.7% dan 7.4%. Jika terjadi
keterlambatan 91-120 menit, 121-150 menit dan lebih dari 150 menit.
Tiap 15 menit pengurangan door to balloon time dari menit ke 150
menjadi kurang dari 90 menit, akan mengurangi 6.3 kematian per 1000
pasien (Jurnal Kardiologi Indonesia , 2010).
g) Hipotensi
Sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk
tekanan darah sistemik untuk tekanan darah sistolik yang sering
dipakai adalah kurang 90 mmHg. Dengan menurunnya tekanan
darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang
mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis
33
dapat ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup
perubahan status mental, kulit dingin dan oliguria. Hipotensi juga
diakibatkan memburuknya fungsi pompa jantung dan gangguan
perfusi jaringan sebagai konsekweni hipotensi. (www.scribd.com.
Penurunan fungsi Pompa jantung-kardiogenik syok, diunduh tanggal 21
pebruari 2013). Hipotensi terjadi akibat dari refleks vagus yang berlebih,
infark Ventrikel kanan dan merupakan pertanda kardiogenik syok
(Azwar Agus, 2005).
h) Hipovolemia
Hipovolemia merupakan komplikasi dari kardiogenik syok yang
disebabkan meningkatnya perspirasi redistribusi cairan dari
intravskuler ke interstisial, stress akut ataupun penggunaan diuretika
(Rahardjo,S,1997). Hipovolemia, direspon oleh baroreseptor dan
kemoreseptor dengan peningkatan respon untuk meningkatkan volume
darah, memelihara perfusi sentral dan mobilisasi substrat metabolik
autonom dalam usahanya Tiga variabel dalam kardiovaskuler: pengisian
atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraksi
miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup, curah
jantung. Penentu utama dalam perfusi jaringan adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekwensi jantung. Hipovolemia menyebabkan
penurunan pengisian ventrikel yang pada akhirnya menurunkan volume
sekuncup. Peningkatan frekwensi jantung sangat bermanfaat namun
34
memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
curah jantung (ml.scribd.com/doc/43959707/Shock-Kardiogenik di
unduh tanggal 12 februari 2013).
Pada kardiogenik syok pemberian cairan yang terlalu cepat dapat
meningkatkan beban kerja jantung dan selanjutnya membahayakan
sirkulasi. Terapi kardiogenik syok tergantung pada penyebabnya,
jika disebabkan oleh kontraktilitas miokardium yang jelek disarankan
penanganan dengan beta-agonist. Dobutamin merupakan beta - agonist
yang mampu meningkatkan curah jantung dan penghantaran oksigen
tanpa menyebabkan vasokontriksi.
i) Arritmia reperfusi
Aritmia reperfusi berasal sebagai konsekuensi dari kompleks reaksi
seluler dan humoral menyertai pembukaan arteri koroner. Sebagai
penyebab utama dari generasi mereka dianggap zat kimia tertentu
yang diproduksi dan diakumulasi dalam miokardium selama
reperfusi. Peran kunci berasal oksigen radikal bebas, tetapi
penting juga zat lain seperti kalsium, trombin, faktor mengaktifkan
trombosit, inositol trifosfat, angiotensin II dan lain-lain. Mediator kimia
ini aritmia reperfusi bekerja sebagai modulator dari
elektrofisiologi seluler menyebabkan perubahan yang kompleks pada
tingkat saluran ion. Hal ini diduga bahwa dalam aritmia reperfusi
iskemik seperti arritmia mekanisme nonreentrant seperti automacy
35
abnormal atau ditingkatkan dan memicu aktivitas karena after
depolarizations. Sebagai aritmia reperfusi khas dianggap sebagai awal
(dalam waktu 6 jam setelah dimulainya trombolisis), sering (> 30
episode/jam) dan berulang (terjadi selama > 3 jam berturut-turut).
peningkatan yang signifikan dari episode di takikardia ventrikular
nonsustained, sinus bradikardia. Saat ini tidak ada bukti yang pasti
untuk apakah ventricular tachycardia berkelanjutan dan terutama
fibrilasi ventrikel dapat disebabkan oleh reperfusi Aritmia. Reperfusi
merupakan penanda penting dari non invasif rekanalisasi sukses
yang berhubungan dengan arteri koroner. Namun mereka juga
merupakan tanda cedera reperfusi dan temuan yang dapat membatasi
efek menguntungkan dari reperfusi Meskipun hasil yang menjanjikan
diperoleh dengan berbagai zat pertentangan efek mediator cedera
reperfusi, tidak ada rekomendasi pasti untuk mereka gunakan dalam
kondisi klinis. Namun, hasil dari uji klinis terbaru dengan inhibitor ACE
sangat menjanjikan. Percobaan ini membuat bukti relatif, bahwa ACE
inhibitor bisa memiliki efek perlindungan terhadap aritmia reperfusi
(Ref.89,Tab.1.) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9919746).
36
KERANGKA TEORI
Intervensi
( Jurnal rdiologi Indonesia, 2011)
Komplikasi
PJK SKA KELOMPOK STEMI
IKKP
1. No Reflow
2. Arritmia
3. Kardiogenik syok
Faktor Resiko ( Jurnal
Kardiologi Indonesia, 2011)
1 .Ras
2. Keturunan
3. Umur
4. Jenis Kelamin
5. DM
6. Hiperlipidemia
7. Merokok
8. Riwayat Infark
9. Gagal jantung
10. Luas infark
11. Door to balon
12. Stress
13. inaktifitas
14. Arritmia
37
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN
DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka konsep
Pada bab ini akan disampaikan tentang kerangka konsep yang menjadi dasar dalam
penelitian. Berdasarkan kerangka teori di atas, terdapat 14 faktor yang
mempengaruhi terjadinya kardiogenik syok, namun hanya 8 variabel yang akan di
teliti, karena data 5 variabel lainnya tidak tersedia di data rekam medis. Dengan
demikian kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut
Skema 3.2 Kerangka konsep
1. Jenis kelamin 2. Umur 3. Merokok 4. DM 5. Dislipidemia 6. Luas Infark 7 Adanya aritmia 8. Door to ballon≥ 90
menit, < 90 menit
Kejadian syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP
Variabe l Independen
Variabel Independen
Variabel Dependen
38
B. Hipotesis
1. Hipotesis mayor :
a. Ada hubungan antara faktor – faktor risiko DM,,dislipidemia,merokok
umur, jenis kelamin dengan pasien STEMI terjadi kardiogenik syok saat
dilakukan IKPP.
b. Ada hubungan antara faktor jenis kelamin,umur dengan pasien STEMI
terjadi kardiogenik syok saat dilakukan IKPP.
c. Ada hubungan antara faktor lainnya seperti (Luas infark, arritmia, door to
ballon ≥ 90 mnit atau < 90 menit ) dengan kardiogenik syok saat dilakukan
IKPP.
2. Hipotesis minor :
a. Ada hubungan antara DM dengan kardiogenik syok pada pasien STEMI
saat dilakukan IKPP.
b. Ada hubungan antara dislipidemia dengan kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan tindakan IKPP.
c. Ada hubungan antara merokok dengan kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP.
d. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP.
e. Ada hubungan antara umur dengan kardiogenik syok pada pasien STEMI
saat dilakukan IKPP.
f. Ada hubungan luas infark dengan kardiogenik syok pada pasien STEMI
saat dilakukan tindakan IKPP.
39
g. Ada hubungan antara adanya arritmia dengan kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan tindakan IKPP.
h. Ada hubungan antara door to balon ≤ 90 menit > 90 menit dengan
kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan tindakan IKPP
40
C. Definisi Operasional
Tabel 3.1
No
Variabel
Definisi Variabel
Alat dan caraUkur
Hasil Ukur
Skala Ukur
1. 2. 3.
Pasien STEMI saat dilakukan tindakan IKPP terjadi kardiogenik syok.
Jenis kelamin Umur
Kardiogenik syok merupakan hipotensi yang menetap, secara konvensional didefinisikan sebagai tekanan < 80 - 90 mmHg yang berlangsung lebih dari 30 menit dengan tidak adanya gejala hipovolemia. Dan Denyut nadi > 100 x/mt
Dibedakan pria dan wanita
Lama hidup seseorang dari sejak lahir sampai ulang tahun terakhir
Data rekam
medis
Data rekam
medis
Data rekam medis
1.Syok, TD < 80-90 mmHg dengan inotropik dan denyut nadi > 100 x./mt. 2.Tidak syok TD ≥ 90
mmHg Dan Denyut nadi < 100 x/mt 1.Pria 2.Wanita 1. < 40 tahun 2.≥ 40 tahun
1.
Ordinal
Nominal
Ordinal
4.
Dislipidemia
Peningkatan kadar lipidplasma (dua diantaranya) Kolesterol total >240 mg/dl.LDL >130 mg/dl,trigliseserida >200 md/dl.
Data rekam medis.
1.Ada dislipidemia 2.Tidak ada dislipidemia
Ordinal
5.
Diabetus Melitus
Mempunyai riwayat
penyakit DM dan
Data rekam medis
1.DM, GDS >126 mg/dl
Ordinal
41
Keterangan:.VT (Ventricalar Tachicardia), VF (Ventrikel Fibrilasi), LM ( Left main), 3VD ( Three Vessel Diseases), 2VD ( Two Vessel Diseases), IVD ( One Vessel Disease
GDS > 126 mg/dl 2. Tidak DM GDS <126
mg/dl
6.
Merokok
Kebiasaan merokok seseorang
Data rekam
medis
1. Merokok 2. Tidak merokok
Nominal
7.
Luas Infark
Area infark iskemia atau nekrosis pada otot jantung yang diakibatkan karena penurunan aliran darah satu atau lebih yang ke arteri koroner.
Data rekam
medis
1. Infark luas, penyempitan ≥ 2 area
pembuluh darah koroner. ( LM-3VD, 3VD, 2VD) 2.Infark tidak luas, penyempitan hanya 1 area pembuluh darah koroner. (IVD)
Ordinal
8.
Door to balon <90menit >90menit
Pasien STEMI<12jam dengan door to ballon <90 menit dapat memperbaiki otot jantung bila dengan cepat dilakukan tindakan IKPP
Data rekam medis
1. ≥ 90 menit 2. > 90 menit
Ordinal
42
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini peneliti akan menguraikan tentang desain penelitian, lokasi dan waktu
penelitian, populasi dan sampel penelitian, pengumpulan data, etika penelitian,
pengolahan data dan analisa data.
A. Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Case kontrol
data diambil berdasarkan data sekunder yang didapatkan dari data rekam medis.
faktor-faktor yang berhubungan dengan kardiogenik syok pasien STEMI saat
dilakukan tindakan IKPP.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Ruang Diagnostik Invasif Intervensi Non Bedah Rumah
Sakit Jantung Harapan Kita, pada bulan Maret 2013 dengan menggunakan data
Rekam Medis bulan Januari – Desember tahun 2011 dan bulan Januari – September
tahun 2012 untuk mencari data pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi
kardiogenik syok.
43
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah pasien STEMI yang dilakukan tindakan IKPP.
Perkiraan proporsi terjadinya syok.
q = Proporsi yang tidak mengalami syok = 1 – 0.11
= 0.89
Perhitungan sampel uji beda proporsi
n = jumlah sampel yang dibutuhkan
Z = nilai baku distribusi normal pada α tertentu
p = proporsi shock
q = proporsi tidak shock
d = derajat akurasi (presisi) yang diinginkan (8.3%)
Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan = 55 pasien. Untuk mencegah drop out, maka
jumlah sampel ditambah 10%, sehingga sampel minimal menjadi 61 pasien. Untuk
menghindari design effect, sampel minimal dikali 2. Jadi, jumlah sampel final sebesar
122 pasien.
44
D. JENIS DATA DAN INSTRUMENT PENELITIAN
1. Jenis data
Data diambil berdasarkan data Rekam Medis RS Jantung Harapan Kita bulan
Januari – Desember 2011 dan Januari – September 2012 yang berjumlah 500
pasien dan diambil secara random berjumlah 122 responden pasien STEMI
yang dilakukan tindakan IKPP terjadi kardiogenik syok.
2. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian ini menggunakan daftar tilik yang telah disusun
berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti. Kemudian akan diisi sesuai
data sekunder sebanyak 122 responden yang diperoleh dari Rekam Medik.
E. Etika Penelitian
Dalam suatu penelitian mempunyai prinsip etika yang harus ditaati dan
dilaksanakan oleh peneliti. Tujuan dari etika penelitian adalah untuk menjaga
kerahasiaan responden dan menjaga data-data penelitian. Adapun prinsip etika
penelitian terdiri dari: menghormati harkat dan martabat manusia (respect for
human dignity), menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect
for privacy and confidentiality), keadilan dan inklusivitas (respect for justice and
inclusiveness), dan memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan
(balancing harms and benefits) (Milton, 1999).
Prinsip pertama, peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk
mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta
45
memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy).
Prinsip kedua, setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk
privasi dan kebebasan individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat
terbukanya informasi individu termasuk informasi yang bersifat pribadi.
Sedangkan, tidak semua orang menginginkan informasinya diketahui oleh orang
lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar individu tersebut.
Prinsip ketiga, prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untuk
memenuhi prinsip keterbukaan, penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati,
profesional, berperikemanusiaan, dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan,
keseksamaan, intimitas, psikologis serta perasaan religius subyek penelitian.
Prinsip keempat, peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur
penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi
subyek penelitian dan dapat dijeneralisasikan di tingkat populasi (beneficence).
Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek (nonmaleficence)
F. Pengolahan Data
Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, ada empat
tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui, yaitu :
1. Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian apakah jawaban yang
ada di lembar observasi sudah lengkap.
46
2. Coding
Merupakan kegiatan merubah data bentuk huruf menjadi data berbentuk
angka / bilangan. Kegunaanya adalah untuk mempermudah pada saat analisa
data dan juga mempercepat pada saat entri data.
3. Processing
Setelah semua kuesioner terisi penuh, benar dan sudah melewati
pengkodean maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dapat
dianalisis melalui program SPSS. Proses data dilakukan dengan cara
mengentri data dari lembar jawaban ke paket komputer.
4. Cleaning
Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entri, apakah
ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut dimungkinkan terjadi pada saat
kita mengentry ke komputer.
G. Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh dari Rekam Medik RS Jantung Harapan Kita pada
pasien STEMI yang dilakukan tindakan IKPP terjadi kardiogenik syok bulan
Januari – Desember 2011, dan Januari - September 2012. Data hasil daftar tilik
pada pasien STEMI yang dilakukan IKPP dan terjadi kardiogenik syok yang
kemudian dilakukan tabulasi data yang meliputi variabel DM, merokok, umur, jenis
kelamin, luas infark, dislipidemia, adanya arritma, door to balon ≥ 90 menit <
90 menit Setelah data terkumpul maka data dilakukan analisa statistik yaitu:
47
( X² ) = ∑ E
EO 2)(
1. Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk melakukan analisa distribusis frekuensi
dan presentasi dari masing-masing variabel, hasil dari setiap karakteristik
ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi.
2. Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan masing – masing
variabel (variabel independent dengan variabel dependent). Analisa ini
menggunakan uji Chi-Square, dengan derajat kepercayaan 95 %. Hasil
perhitungan statistik dapat menunjukkan ada tidaknya hubungan yangsignifikan
antara variabel terkait, yaitu dengan melihat nilai p. Bila hasil perhitungan
statistik diperoleh nilai p < 0,05 Ho ditolak, maka hasil perhitungan statistik
bermakna yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara variabel
independent dan variabel dependent. Sebaliknya bila hasil perhitungan nilai
p > 0,05 Ho gagal, maka hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak
ada hubungan yang signifikan antara variabel independent dengan variabel
dependend. Uji statistic uji Chi-Square yaitu dengan menggunakan rumus :
Keterangan : X² = Nilai Chi-Square atau distribusi kuantitas.
O = Observasi, yaitu nilai observasi atau nilai yang didapat dari penelitian
atau objektif.
E = Expected , yaitu nilai atau frekuensi yang diharapkan.
48
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Maret 2013 , yang meliputi hasil analisa univariat dan analisa bivariat yang menyatakan
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.
A. Analisa Univariat
Dalam analisa univariat ini menggambarkan distribusi responden berdasarkan
karakteristik pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok
yaitu: jenis kelamin, umur, kebiasaan merokok, dislipidemia, diabetes mellitus,
adanya arritmia, Luas infark, Door to balon ≥ 90 menit < 90 menit.
1. Gambaran karakteristik Responden
Gambaran demografi, hemodinamik, luas infark pada pasien STEMI saat
dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok di RS Jantung Harapan Kita Jakarta
dapat di lihat pada tabel 5.1 di bawah ini.
49
Tabel 5.1
Distribusi frekuensi Responden menurut Jenis kelamin, Umur, merokok
dislipidemia, DM, luas infark, arritmia, Door to balon ≥ 90 menit < 90
menit pada Pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi Kardiogenik
syok di RS Jantung Harapan Kita bulan Januari - Desember 2011
Januari - Oktober2012
Variabel Kategori Jumlah Persentase (%)
Jenis Kelamin
Pria Wanita
104 18
85.2 14.8
Umur ≥ 40 Tahun < 40 Tahun
114 8
93.4 6.6
Merokok Merokok tidak merokok
76 46
62.3 37.7
Disiplidemia Disiplidemia Tidak disiplidemia
76 46
62.3 37.7
DM GDS ≥ 126 mg/dl GDS>126 mg/dl
92 30
75.4 24.6
Aritmia Aritmia Tidak Aritmia
46 76
37.7 62.3
Luas Infark Luas, infark ≥ 2
Pembuluh Darah yang Tersumbat Tidak Luas, Area Infark 1 Pembuluh Darah yang Tersumbat
74
48
60.7 39.3
Door to Ballon
Door to Ballon ≥ 90 Menit Door to Ballon < 90 Menit
96 26
78.7 21.3
Kardiogenik Syok
Syok, TD < 90 mmHg dengan inotropik dan Denyut nadi > 100 x/mt Tidak syok, TD ≥ 90
mmHg dan Denyut nadi < 100 x/mt
54
68
44.3
55.7
50
Tabel 5.1 Menggambarkan pasien STEMI saat tindakan terjadi kardiogenik syok
(44.3%), sebagian besar adalah pria (85.2%), umur ≥ 40 tahun (93.4%) dan
mempunyai riwayat merokok (62.3%), DM (75.4%), dislipidemia (62.3%).
Dan terjadi kardiogenik syok dengan TD < 90 mmHg dan denyut nadi ≥ 100
x/mt (44.3% ), infark luas (60.7%), adanya arritmia (37.7%) dan door to balon
> 90 menit (78.7%).
B. Analisa Bivariat
Pada analisis ini peneliti ingin mengetahui hubungan antara, Jenis kelamin, Umur,
Merokok, Dislipidemia, Diabetes Mellitus, Luas infark, adanya arritmia Door
to balon ≥ 90 menit < 90 menit pada pasien STEMI terjadi kardiogenik syok saat
dilakukan tindakan IKPP yang lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut
ini. Secara statistik hubungan antara dua variabel independent dengan
dependent, kedua variabel ini bersifat kategorik, maka uji statistik yang digunakan
adalah uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan 0,05 (5%).
1. Hubungan antara Jenis kelamin,umur, merokok,dislipidemia ,DM, luas
infark, arritmia, door to balon ≥ 90 menit < 90 menit pasien STEMI
dilakukan IKPP.
51
Tabel 5.2
Distribusi responden berdasarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP di RS
Jantung Harapan Kita Jakarta bulan Januari-Desember 2011 Januari –
Agustus 2012
Variabel
Kardiogenik syok Total OR 95% CI p value Ya Tidak
N % N % N % 1. Jenis kelamin
laki-laki Perempuan
44 10
42,3 55.6
60 8
57.7 44.4
106 18
100 100
0.587
0.214 -1.607
0,431
2. Umur ≥ 40 tahun < 40 tahun
50 4
43.9 50
64 4
56.1 50
114 54
100 100
1.280
0.305 -5.372
1
3. Merokok Merokok Tidak Merokok
41 13
75.9 24.1
37 31
54.4 45.6
78 44
100 100
2.642
1.205 - 5.796
0,023
4. Dislipidemia Ya Tidak
40 14
74.1 25.9
36 32
52.9 47.1
76 46
100 100
2.540
1.173 – 5.500
0,028
5. DM GDS ≥126 mg/dl GDS < 126 mg/dl
47 7
87 13
45 23
66.2 33.8
92 30
100 100
0.291
0.014 – 0.746
0,014
6. Adanya arritmia Ya Tidak
40 14
74.1 25.9
6 62
8.8 91.2
46 76
100 100
29.524
10.481- 83.169
0,001
7. Luas infark Luas,areainfark ≥2
pembuluhdarah yang tersumbat
Tidak luas,infark hanya 1 pembuluh darah yang tersumbat
45 9
60 19.1
30 38
40 80.9
75 47
100 100
6.333
2.677- 14.982
0,005
8. Door to balon ≥ 90 menit < 90 menit
39 15
72.2 27.8
57 11
83.8 16.2
96 26
100 100
0.502
0.208 – 1.207
1.183
52
2. Distribusi jenis kelamin responden pada pasien STEMI saat dilakukan
IKPP terjadi kardiogenik syok di Pusat Nasional Harapan Kita tahun
2011 - Oktober 2012
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, hubungan antara variabel jenis kelamin dengan
kejadian kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP diperoleh
data bahwa responden yang berjenis kelamin pria yang mengalami
kardiogenik syok saat dilakukan IKPP sebanyak 44 orang ( 42,3 %).
Sedangkan responden berjenis kelamin wanita yang mengalami kardiogenik
syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP sebanyak 10 orang (55,6 %).
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,431 secara statistik dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian kardiogenik
syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP. Didapatkan Odds Ratio sebesar
0,587 artinya respoden yang berjenis kelamin wanita mempunyai peluang lebih
kecil 0,587 kali untuk mengalami kardiogenik syok pada pasien STEMI saat
dilakukan IKPP dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin pria.
3. Distribusi Umur responden pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP
terjadi kardiogenik syok di Pusat Nasional Harapan Kita tahun 2011 -
Oktober 2012
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, hubungan antara variabel umur ≥ 40 tahun pasien
STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok diperoleh data sebanyak
50 orang (43,9 %), sedangkan diantara umur yang < 40 tahun ada 4 orang
53
(50 %) yang terjadi kardiogenik syok. Hasil uji statistik diperoleh diperoleh
nilai p=1 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan kejadian kardiogenik
syok antara umur ≥ 40 tahun dan < 40 tahun. Dari hasil analisis diperoleh
nilai OR = 1.280 artinya Pasien STEMI terjadi kardiogenik syok saat dilaku-
kan IKPP pada pada orang yang umur ≥ 40 tahun 1.28 kali lebih tinggi
dibanding pada orang yang berumur < 40 tahun
4. Distribusi responden merokok dengan kardiogenik syok pasien
STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok di Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita tahun 2011- Oktober 2012
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, hubungan antara variabel kebiasaan merokok
pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok diperoleh data
sebanyak 41 (75.9 %), sedangkan diantara yang tidak merokok ada 13 orang
(24.1 %) yang terjadi kardiogenik syok. Hasil uji statistik diperoleh nilai
p=0,023 maka dapat disimpulkan ada hubungan kejadian kardiogenik syok
antara yang merokok dan tidak merokok. Dari hasil analisis diperoleh nilai
OR = 2.642 artinya pasien STEMI terjadi kardiogenik syok saat dilakukan
IKPP pada pada orang yang merokok 2.642 kali lebih tinggi dibanding pada
orang yang tidak merokok.
54
5. Distribusi Responden Dislipidemia dengan kardiogenik syok pada
pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok di Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita tahun 2011- Oktober 2012
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, hubungan antara variabel Dislipidemia dengan
kardiogenik syok diperoleh data sebanyak 40 orang (74.1 %) pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP, sedangkan diantara yang tidak dislipidemia
ada 14 orang (25.9 %) yang terjadi kardiogenik syok. Hasil uji statistik dipe-
roleh nilai p=0,028 maka dapat disimpulkan ada hubungan kejadian kardi-
ogenik syok antara yang hiperlipidemia dan yang tidak dislipidemia. Dari
hasil analisis diperoleh nilai OR = 2.540 artinya kejadian kardiogenik syok
pada pada orang yang disrlipidemia 2.540 kali lebih tinggi dibanding kejadian
syok pada orang yang tidak dislipidemia.
6. Distribusi Responden DM dengan kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok di Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita tahun 2011- Oktober 2012
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, hubungan antara variabel DM dengan GDS ≥
126 mg/dl dengan pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik
syok diperoleh data sebanyak 47 orang (87 %), sedangkan yang mempunyai
GDS < 126 mg/dl diperoleh data 7 orang (13 %). Hasil uji statistik diperoleh
nilai p=0,014 maka dapat disimpulkan ada hubungan antara kejadian kardio-
genik syok pada pasien yang memiliki GDS ≥126 mg/dl dengan yang GDS
<126 mg/dl. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 0,291 artinya kejadian
55
kardiogenik syok pada pada orang yang tidak memiliki riwayat DM (GDS <
126 mg/dl) 0.291 kali lebih rendah dibanding kejadian kardiogenik syok
dengan orang yang mempunyai GDS > 126 mg/dl.
7. Distribusi Responden adanya arritmia dengan kardiogenik syok pad
pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok di Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita tahun 2011- Oktober 2012
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, hubungan antara variabel adanya arritmia sebe-
lum tindakan dengan kardiogenik syok diperoleh data sebanyak 40 orang
(74.1 %) pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP, sedangkan diantara yang
tidak adanya arritmia ada 10 orang (16,1 %) yang terjadi kardiogenik syok.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,005 maka dapat disimpulkan ada hubu-
ngan kejadian kardiogenik syok antara yang adanya gangguan arritmia sebe -
lum tindakan dan yang tidak adanya gangguan arritmia. Dari hasil analisis
diperoleh nilai OR = 29.524 artinya kejadian kardiogenik syok pada orang
yang adanya gangguan arritmia 29.524 kali lebih tinggi dibanding kejadian
syok pada orang yang tidak adanya aritmia.
8. Distribusi Responden Luas infark dengan kardiogenik syok pada
pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok di Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita tahun 2011- Oktober 2012
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, hubungan antara variabel luas infark ( ≥ 2 area
yang tersumbat) pada pasien STEMI terjadi kardiogenik syok saat dilakukan
56
IKPP di diperoleh data sebanyak 42 orang ( 77.8%), sedangkan yang tidak
luas ( hanya 1 pembuluh darah yang tersumbat) 12 orang ( 19,1%) yang terjadi
kardiogenik syok. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,001 maka dapat disim-
pulkan ada hubungan kejadian kardiogenik syok antara luas infark (≥ 2 area
yang tersumbat, Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 3.398, artinya kejadian
kardiogenik syok pada pasien STEMI yang infaknya luas 3.398 kali lebih
tinggi dibanding kejadian syok pada orang yang infarknya tidak luas.
9. Distribusi Responden Door to ballon ≥ 90 menit < 90 menit dengan
kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat
Jantung Nasional Harapan Kit tahun 2011 - Oktober 2012
Berdasarkan tabel 5.3 di atas, hubungan antara variabel Door to baloon ≥ 90
menit pada pasien STEMI terjadi kardiogenik syok saat dilakukan IKPP dengan
kardiogenik syok diperoleh data sebanyak 39 orang (72.2%), sedangkan Door
to ballon yang < 90 menit terjadi kardiogenik syok ada 15 orang (27.8%).
Hasil uji statistik diperoleh diperoleh nilai p=1.183 maka dapat disimpulkan
tidak ada hubungan Door to balon ≥ 90 menit dengan kejadian kardiogenik
syok. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 0.502, artinya kejadian kardi-
ogenik syok saat rekanalisasi ≥ 90 menit 0.502 kali lebih rendah dibanding
saat rekanalisasi < 90 menit.
57
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada BAB ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang meliputi interpretasi dan hasil
diskusi. Adapun pembahasannya yang dilakukan meliputi hubungan antara hasil
penelitian dan konsep teoritis. Pada bab ini juga akan dijelaskan tentang keterbatasan
penelitian yang telah dilaksanakan.
A. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari masih terdapat beberapa keterbatasan penelitian antara lain:
1. Peneliti tidak meneliti status cairan pada pasien STEMI terjadi kardiogenik
syok.
2. Pengumpulan data dari bulan Januari-Desember 2011 sampai dengan bulan
Januari -Septemberr 2012 berjumlah 500 responden dan diambil secara random
tetapi yang memenuhi syarat hanya 122 responden.
B. Interpretasi dan hasil diskusi
1. Gambaran pasien STEMI saat dilakukan IKPP
Dalam penelitian ini jenis kelamin pasien STEMI yang dilakukan IKPP
terbanyak adalah laki-laki 104 orang (85.2%) dan perempuan 18 orang
58
(14.8%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Viktor Culic
(2006), menunjukan bahwa STEMI lebih sering terjadi pada laki-laki
(70,8%) dibandingkan perempuan (20.9%). Hal serupa juga dikemukakan
oleh Sonia dkk dalam sebuah studi INTERHEARTH, laki-laki (74,9%)
lebih banyak yang mengalami Akut STEMI dari pada perempuan (25,1%),
dan sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki dan meningkat
dengan bertambahnya umur. Berdasarkan hal tersebut dikarenakan STEMI
lebih banyak dialami oleh laki-laki dibandingkan dengan perempuan
premenopause, hal ini oleh karena adanya efek estrogen, dan perempuan
relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai menopause, dan
kemudian menjadi sama entannya seperti pria (Verheught,2008).
Umur responden yang mengalami STEMI dan dilakukan IKPP terbanyak
adalah umur ≥ 40 tahun sebanyak 114 orang (93.4%), dan umur < 40 tahun
sebanyak 8 orang (6.6%). Berdasarkan hal tersebut dikarenakan pasien
STEMI dan dilakukakan IKPP terbanyak pada umur ≥ 40 tahun.
Dimana semakin bertambahnya umur akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya penyakit jantung koroner. STEMI lebih sering timbul pada usia lebih
dari 35 tahun keatas dan pada usia 55 – 64 tahun terdapat 40%
kematian disebabkan oleh STEMI . Umur merupakan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi, dimana seseorang yang berumur lebih atau sama
dengan 60 tahun memiliki risiko kematian sebesar 10,13 kali dibandingkan
yang berumur 25 – 49 tahun (Kusmana, 2002).
59
Hal ini karena pada laki- laki selain umur didukung oleh merokok, dimana
merokok dapat menyebabkan PJK, yang pada awalnya kekurangan oksigen
pada miokardium ini biasanya tidak akan menimbulkan gejala atau di sebut
silent ischemia, tapi lama kelamaan hal ini akan memperburuk sehingga
munculah gejala STEMI , itulah kenapa biasanya penyakit jantung koroner
tampak sebagai penyakit yang menyerang secara mendadak, padahal
melalui proses yang lama atau kronik sehingga menyebabkan kematian
(Idrus,2007).
Menurut Penelitian Whitchall –civil servant pada 18.240 laki-laki antara umur
40-64 tahun mendapatkan hubungan dengan miokard iskemik, faktor resiko dan
kematian akibat PJK yang berkembang menjadi STEMI, dimana faktor resiko
yang paling utama adalah hipertensi, merokok dan hiperkolesterolemi.
Dilihat dari hemodinamik pasien STEMI yang dilakukan IKPP memiliki TD
yang < 90 mmHg dan Denyut nadi > 100 x/mt sebanyak 54 orang ( 44.3%),
sedangkan TD > 100 mmHg dan denyut nadi < 100 x/mt sebanyak 68 orang
(55.7%). Berdasarkan hal tersebut terjadinya penurunn tekanan darah akan
terjadi perangsangan simpato adrenal dan menimbulkan vasokontriksi, takhi-
kardi dan meningkatkan kontraktilitas untuk menambah curah jantung untuk
menstabilkan Tekanan Darah.
Hal ini juga sesuai dengan Jurnal kardiologi Indonesia bahwa aliran sistemik
menjadi dasar diagnosis, dan dengan menurunnya TD Sistolik akan
60
meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan kontriksi arteri dan
vena sistemik.
Selain TD dan Nadi, status cairan pada pasien STEMI terjadi kardiogenik
syok perlu diperhatikan, sehingga kebutuhan cairan dapat terpenuhi dan
tidak membahayakan pasien terutama kalau adanya gagal jantung.
Begitu juga dilihat dari luasnya, (area infark ≥ 2 area pembuluh darah yang
tersumbat). pada pasien STEMI yang dilakukan IKPP sebanyak 74 orang
(60.7%), sedangkan yang infarknya tidak luas ( area infark 1 pembuluh darah
yang tersumbat) 47 orang (38.5%). Hal tersebut didukung oleh Richard N
Fogoros, (2008). STEMI arteri koroner benar-benar diblokir oleh bekuan
darah, dan sebagai hasilnya hampir semua otot jantung yang disuplai oleh
arteri yang mati. Karena makin luasnya infark dapat menyebabkan
berkurangya kontraksi dengan gerak dinding yang abnormal terganggunya
ventrikel kiri, berkurangnya volume denyutan menurunnya Cardiac Output,
dan meningkatnya tekanan akhir Diastolik ventrikel kiri.
Dari penelitian ini terlihat bahwa dari 122 responden, yang mengalami
kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP sebanyak 54 orang
(44.3%) disini dilihat dari data hemodinamik, tetapi dalam hal ini peneliti tidak
mencantumkan catatan status cairan berhubung data diambil secara retrospektif.
Dan berjenis kelamin laki-laki 44 orang (42.3%), dan umur ≥40 tahun 114
orang (93.4%) dan infarknya luas ( area infark ≥2 pembuluh darah yang
menyempit) sebanyak 74 orang (60.7%).
61
2. Hubungan umur Dengan Terjadinya Kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP
Hasil analisis hubungan antara umur dengan kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP diperoleh data bahwa 50 orang responden
(43.9%) yang berumur ≥ 40 tahun mengalami kardiogenik syok, Sedangkan
4 orang responden (50%) yang berumur < 40 tahun tidak mengalami
kardiogenik syok. Dari hasil tersebut terlihat bahwa semakin tua umur maka
resiko pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok
semakin besar.
Hal ini sejalan Menurut T Bachri Anwar, 2008 telah dibuktikan adanya
hubungan antara umur dan STEMI . Dan sebagian besar kematian terjadi pada
laki laki dan dengan bertambahnya umur.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p: 1 secara statistik dapat disimpulkan tidak
ada hubungan antara umur dengan pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi
kardiogenik syok.
Hal ini tidak sejalan oleh Zeiher, (1993) bahwa semua penyakit kardiovaskuler
meningkat frekwensinya dengan bertambahnya umur dan dihubungkan dengan
adanya ketuaan (degenerative) mengubah fungsi vaskuler. Dalam beberapa
studi relaksassi endotelium dependent oleh asetikolin menurun karena ketuaan
yang mempengaruhi dinding pembuluh darah arteri yang mengalami
atherosklrosis akan menebal, mengeras dan sifat elastisitasnya akan
menghilang. Sehingga aliran darah tidak lancar, dan akan mengalami
62
turbulensi yang akan menyebabkan kerusakan atau mencederai selaput kapsul
atheroma dan pecah, yang selanjutnya akan mengundang trombosit yang akan
memacu proses pembekuan darah dan terbentuk trombus. Trombus yang
menempel pada dinding pembuluh darah akan bertambah tebal lalu
menyempitkan lumen dan kemudian menyumbatnya. Hal ini tentu dapat
berakibat fatal pada otot-otot jantung yang disuplai oleh pembuluh darah
tersebut. Hal ini yang dapat menyebabkan serangan jantung.
Menurut peneliti tidak adanya hubungan antara umur dengan pasien STEMI
saat dilakukan terjadi kardiogenik syok. karena jumlah sampel antara umur ≥
40 tahun dan umur < 40 tahun pada kelompok kasus dan kelompok kontrol
jumlahnya tidak sebanding.
3. Hubungan Jenis kelamin Dengan Terjadinya Kardiogenik syok pada
pasien STEMI saat dilakukan IKPP
STEMI menyebabkan penurunan fungsi kontraktil yang mengarah ke disfungsi
ventrikel kiri dan penurunan tekanan arteri, yang dapat memperburuk iskemi
miokard. Kejadian kardiogenik syok secara keseluruhan lebih tinggi dari pada
pria dibandingkan dengan wanita karena peningkatan prevalensi penyakit
jantung pada laki-laki. http://id.prmob.net/sirkulasi-koroner/gagal-
jantung/infark-miokard-1199818.html, di unduh tanggal 26 pebruari 2013).
Pada penelitian ini pasien STEMI saat dilakukan IKPP terjadi kardiogenik
syok lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini dikarenakan bahwa pada pasien STEMI lebih banyak
63
terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan premenopause,
kecuali mereka memiliki predisposisi diabetus, hiperlipidemia atau
hipertensi berat, namun setelah menopause insiden penyakit ini akan
meningkat.
Menurut Verheugt, (2008), Perempuan relatif sulit mengidap penyakit
jantung sampai masa menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya
seperti laki-laki. Hal ini di duga karena adanya efek perlindungan estrogen.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p : 0.431 secara statisik dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan terjadinya
kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP.
Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Menurut silvia dan Loraine (2006) bahwa
ada hubungan antara jenis kelamin dengan PJK. Pada pria kerentanan terkena
serangan jantung lima kali lebih besar dibandingakan dengan wanita.
Menurut Subagio,http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/107/jtptunimus-gdl-2a-
5321-2-bab2.pdf, diunduh tanggal 28 februari 2013.
Perempuan ditemui komplikasi lebih mekanis seperti ruptur ventrikel
dan regurgitasi mitral akut yang berat. Perempuan juga memiliki insiden yang
lebih tinggi memiliki penyakit penyerta seperti hipertensi, indeks jantung
rendah. Terdapat perbedaan yang kontras antara perempuan dan laki-laki
terhadap serangan penyakit kardiovaskuler sampai masa menopause
disebabkan turunnya kadar estrogen dan peningkatan kadar lipid
64
dalam darah. Hal ini didukung oleh http://id.prmob.net/sirkulasi-koroner/gagal-
jantung/infark-miokard-1199818.html
4. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Terjadinya Kardiogenik syok
pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP.
Pada penelitian ini terlihat bahwa pasien STEMI terjadi kardiogenik syok
saat dilakukan IKPP dengan kebiasaan merokok lebih banyak dibandingkan
dengan yang tidak merokok.
Hal ini sesuai sejalan menurut American Heart Association / American College
of Cardiologi, (2007). Orang yang merokok mempunyai risiko 2 kali lebih
banyak untuk menderita penyakit kardiovaskular dibanding orang yang
tidak merokok. Efek merokok terhadap terjadinya aterosklerosis antara lain
menurunkan kadar HDL, trombosit lebih mudah mengalami agregasi,mudah
terjadi luka endotel karena radikal bebas dan pengeluaran katekolamin
berlebihan serta dapat meningkatkan kadar LDL dalam darah.
Kematian mendadak karena STEMI 2–3 kali lebih banyak pada perokok di
bandingkan bukan perokok. Orang yang merokok mempunyai risiko
kematian 60% lebih tinggi, karena merokok dapat menstimulasi pengeluaran
katekolamin yang berlebihan sehingga fibrilasi ventrikel mudah terjadi.
Hasil analisis didapatkan nilai p: 0.068 yang berarti ada hubungan yang
bermakna antara merokok dengan pasien STEMI terjadi kardiogenik pada
saat dilakukan IKPP.
65
Hal ini didukung oleh www.yudhi.com/Artikel kesehatan, 15 penyakit yang
disebabkan rokok, diunduh tanggal 21 februari 2013.
Rokok mempercepat penyumbatan arteri yang bisa disebabkan penumpukan
lemak. Hal ini yang akan menimbulkan jaringan parut dan penebalan arteri
yang menyebabkan arteriosklerosis. Efek rokok adalah menyebabkan beban
miokard bertambah karena rangsangan katekolamin dan menurunnya
konsumsi 02 akibat inhalasi CO yang dapat menyebabkan takhicardi,
vasokontriksi, trombogenesis pembuluh darah, provokasi arritmi merubah
dinding permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10% HB
menjadi carboksi-Hb.
Bahan-bahan kimia didalam rokok diserap kedalam aliran darah dari paru-paru
dan mengelilingi seluruh tubuh, mempengaruhi setiap sel tubuh. Bahan kimia
ini menyempitkan pembuluh darah sementara waktu, dan membuat keping-
keping darah yang disebut platelets menjadi lebih lengket, jadi meningkatkan
kemungkinan untuk membentuk gumpalan darah yang sewaktu-waktu dapat
terjadi serangan jantung (STEMI).
. Sumber: Wahyu,http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-
public-health/2247069-bahaya-merokok/#ixzz2M4nxztfl diunduh tanggal
25 pebruari 2013
66
5. Hubungan Dislipidemia Dengan Terjadinya kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP.
Pada penelitian ini terlihat bahwa pasien STEMI saat dilakukan IKPP
terjadi kardiogenik syok dengan dislipidemia lebih banyak dibandingkan
yang tidak ada riwayat dislipidemia.
Menurut Hartono (2007) menyatakan bahwa dislipidemia adalah meningkatnya
kadar kolesterol dan bentuk ikatannya dengan protein seperti trigliserida dan
LDL, tetapi sebalikya kadar HDL menurun. Dislipidemia tidak lepas dari
keterpajanan terhadap asupan lemak sehari – hari terutama asupan lemak jenuh
dan kolesterol, yang dapat meningkatkan insidens penyakit jantung koroner.
Dikatakan setiap penurunan 200 mg asupan kolesterol per 1000 kalori akan
menurunkan 30% insidens penyakit jantung koroner.WHO merekomendasikan
asupan lemak jenuh maksimal 10% dari 30% lemak keseluruhan yang
digunakan sebagai bahan kalori.Pada kadar kolesterol diatas 300 mg% angka
kematian STEMI sebanyak 4 kali dibandingkan dengan kadar kolesterol
dibawah 200 mg%.
Hasil analisis didapatkan nilai p value 0.028 yang berarti ada hubungan yang
bermakna antara dislipidemia dengan STEMI terjadi kardiogenik syok saat
dilakukan IKPP. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kolesterol lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan dinding
pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh darah menyempit
dan proses ini disebut arteriosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan
67
menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga
aliran darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi 02 ke
jantung menjadi berkurang. Kurangnya 02 akan menyebabkan otot jantung
menjadi lemah, sakit dada, serangan jantung dan terjadi kardiogenik syok
bahkan kematian.
6. Hubungan Diabetes Mellitus Dengan Terjadinya Kardiogenik syok pada
pasien STEMI saat dilakukan IKPP.
Pada penelitian ini terlihat bahwa Pasien STEMI terjadi kardiogenik syok
saat dilakukan IKPP dengan diabetus melitus lebih banyak dibandingkan
yang tidak diabetus melitus.
Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik- pathologi pada
sistem kardiovaskuler. Diantaranya disfungsi endothelial dan gangguan
pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya PJK
Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot
jantung dan ketidaknormalan metabolisme otot jantung. Diabetes meskipun
merupakan faktor risiko independent untuk PJK juga berkaitan dengan
adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan
peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan
peningkatan kadar fibrinogen) yang akhirnya mengarah ke STEMI,sehingga
terjadi Penurunan perfusi koroner dan tekanan kebutuhan oksigen miokard
meningkat memainkan peran dalam lingkaran setan yang mengarah ke
kardiogenik syok.
68
Hasil analisis didapatkan p value 0.004 yang berarti ada hubungan yang
bermakna antara diabetus melitus pada pasien STEMI terjadi kardiogenik
syok saat dilakukan IKPP. Hal ini didukung dari buku Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Dipenogoro, 2007 menyebutkan Hiperglikemi sering terjadi
mengikuti STEMI, tidak hanya pada pasien diabetik tapi juga penderita
yang non diabetic dengan frekuensi yang lebih sedikit. Stress hiperglikemi
yang terjadi pada STEMI berkaitan dengan resiko mortalitas pada pasien –
pasien yang dirawat di rumah sakit baik yang dengan diabetes. Hal ini
berkaitan dengan makin tingginya frekuensi kejadian kardiogenik syok dan
gagal jantung kongestif sebagai komplikasi STEMI. Stress hiperglikemi
kemungkinan petanda atas lebih luasnya kerusakan jantung pada STEMI.
Kerusakan jantung yang luas mungkin mengakibatkan peningkatan produksi
hormon–hormon stress meningkatkan glikogenolisis dan hiperglikemi
sehingga meningkatkan resiko gagal jantung kongestif kardiogenik syok.
7. Hubungan arritmia Dengan Terjadinya kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP.
Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya arritmia dengan terjadinya
kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP lebih banyak
dibandingkan dengan yang tidak adanya arritmia.
Aritmia ditemukan pada fase akut STEMI, hal ini menyebabkan gangguan
hemodinamik, meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dengan mudahnya
69
perluasan infark atau bila merupakan predisposisi untuk terjadinya aritmia
yang mengancam jiwa sehingga terjadi kardiogenik syok.
Hasil analisis didapatkan p value 0.001 yang berarti ada hubungan yang
bermakna antara arritmia dengan kardiogenik syok pada pasien STEMI saat
dilakukan IKPP.
Hal ini sejalan menurut American Heart Association's Heart Attack website
Information and resources for preventing, recognizing and treating pasien
heart attack http://en.wikipedia.org/wiki/Myocardial_infarction. (diunduh
tanggal 27 februari 2013).
Jika aliran darah ke jantung terganggu berlangsung cukup lama, hal itu memicu
proses yang disebut kaskade iskemik, sel jantung di wilayah arteri koroner
tersumbat mati (terutama melalui nekrosis) dan tidak tumbuh kembali. Studi
terbaru menunjukkan bahwa bentuk lain dari kematian sel yang disebut
apoptosis juga berperan dalam proses kerusakan jaringan setelah STEMI.
Sebagai hasilnya jantung akan rusak secara permanen. Miokard akan
meninggalkan jaringan parut sehingga akan berrisiko aritmia yang berpotensi
mengancam kehidupan.
Jaringan parut pada jantung melakukan impuls listrik lebih lambat dari jaringan
jantung normal. Perbedaan kecepatan konduksi antara jaringan terluka dapat
memicu re-entry atau umpan balik yang sebagai penyebab aritmia yang
mematikan . Yang paling serius adalah aritmia ventrikel fibrilasi (V-Fib/VF),
irama jantung yang sangat cepat dan kacau yang merupakan penyebab utama
70
kematian jantung mendadak. Lain aritmia yang mengancam jiwa adalah
ventricular tachycardia (V-Tach/VT), yang mungkin atau mungkin tidak
menyebabkan kematian jantung mendadak. Namun, takikardia ventrikel
biasanya menghasilkan detak jantung yang cepat yang mencegah jantung
memompa darah secara efektif. Cardiac output dan tekanan darah bisa jatuh ke
tingkat berbahaya, yang dapat menyebabkan iskemia koroner lanjut dan
perluasan infark tersebut yang berkembang menjadi kardiogenik syok
8. Hubungan Luas infark dengan terjadinya kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP.
Pada penelitian ini terlihat bahwa Pasien STEMI terjadi kardiogenik syok
saat dilakukan IKPP lebih banyak pada yang infarknya luas dibandingkan
dengan yang infarknya tidak luas.
Akut STEMI pada miokardium diakibatkan oleh iskemia pada miokard yang
berkepanjangan, yang bersifat irreversibel. Pada sebagian besar pasien angina
dipicu oleh perubahan akut pada plak yang disertai trombosis parsial,
embolisasi distal trombus dan atau vasospasme. Perubahan morfologik pada
jantung adalah arteriosklerosis koroner dan lesi terkaitnya (Kumar, 2007).
STEMI hampir selalu terjadi pada ventrikel kiri dan dengan nyata mengurangi
fungsi LV, makin luas daerah infark, makin kurang daya kontraksinya.
Hasil analisis didapatkan p value 0.001 yang berarti ada hubungan yang
bermakna antara luas infark dengan terjadinya kardiogenik syok pada pasien
71
STEMI saat dilakukan IKPP. Hal ini didukung oleh Richard N Fogoros, (2008).
STEMI arteri koroner benar-benar diblokir oleh bekuan darah, dan sebagai
hasilnya hampir semua otot jantung yang disuplai oleh arteri yang mati.
Karena makin luasnya infark dapat menyebabkan berkurangya kontraksi
dengan gerak dinding yang abnormal, terganggunya ventrikel kiri,
berkurangnya volume denyutan menurunnya Cardiac Output, dan
meningkatnya tekanan akhir Diastolik ventrikel kiri.sehingga jantung sudah
tidak dapat lagi bekerja hal ini yang diakibatkan oleh kegagalan pompa jantung,
9. Hubungan Door to balon ≥ 90 menit < 90 menit dengan kejadian
kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP.
Pada penelitian ini terlihat bahwa Pasien STEMI terjadi kardiogenik syok
saat dilakukan IKPP lebih banyak pada yang door to balon ≥ 90 menit
dibandingkan dengan yang door to baloon < 90 menit.
Kecepatan penanganan pasien dengan STEMI akan memperbaiki aliran ke
koroner. Hal ini didukung oleh panduan dari Europan Society of Cardiology
and American Heart Association, sasaran door to balon adalah 90 menit. Hal ini
mungkin seperti ketidakpastian diagnosis (terutama untuk penggunaan
fibrinolitik), perlunya evaluasi dan penanganan terhadap keadaan lain yang
mengancam jiwa (misalnya gagal nafas), atau penundaan karena terkait dengan
pasien/keluarga membutuhkan waktu untuk mengambil keputusan dalam
pemberian terapi reperfusi.
72
Hasil analisis diperoleh p value 0.502 yang berarti tidak ada hubungan
bermakna antara door to balon ≥ 90 menit dengan kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP. Hal ini di tidak sejalan oleh Jurnal Kardiologi
Indonesia Vol 31, (2010). Data dari National Registry of Myocardial
Infarction) melaporkan door to balloon time kurang dari 90 menit, maka angka
kematian di rumah sakit sekitar 3%, meningkat menjadi 4.2%, 5.7% dan 7.4%.
Jika terjadi keterlambatan 91-120 menit, 121-150 menit dan lebih dari 150
menit.Tiap 15 menit pengurangan door to balloon time dari menit ke 150
menjadi < 90 menit, akan mengurangi 6.3 kematian per 1000 pasien.
Hal inipun sejalan dengan Azwar Agoes, (2004). Waktu 90 menit dari kontak
medis pertama. IKPP dapat mengembalikan aliran darah koroner dalam 90%
sampai 95% dari pasien STEMI, dan mengurangi angka kematian.
Menggunakan stent dengan IKPP lebih baik daripada tidak menggunakan. Jika
RS tidak memiliki fasilitas untuk IKPP, pasien tidak dapat ditransfer dalam
waktu 90 menit, dan pasien yang memenuhi syarat untuk terapi fibrinolitik,
Karena terapi fibrinolitik mengurangi risiko kematian dan salvages
miokardium. Idealnya pasien harus menerima fibrinolitik dalam waktu 30 menit
dari kontak medis pertama.
Kontraindikasi termasuk stroke hemoragik sebelumnya, pendarahan internal
aktif, diseksi aorta dicurigai, dan neoplasma intrakranial. Antikoagulan terapi
dianjurkan untuk pasien yang telah menerima terapi IKPP atau fibrinolitik.
73
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini peneliti akan membahas kesimpulan penelitian yang telah dilakukan serta
peneliti memcoba memberikan saran terkait dengan faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian Kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP.
A. Kesimpulan
1. Penelitian yang dilakukan memberikan gambaran bahwa pasien STEMI saat
dilakukan IKPP terjadi kardiogenik syok sebagian besar berjenis kelamin pria,
umur diatas 40 tahun, dan mempunyai kebiasaan yang buruk yaitu merokok,
dan memiliki riwayat DM , hiperlipidemia dan saat serangan terjadi adanya
arritmia dan infark yang luas yang mengenai lebih dari 2 pembuluh darah
koroner yang tersumbat.
2. Tidak Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian kardiogenik syok
pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita dengan nilai P < 0,05 yaitu 0,431.
3. Tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian kardiogenik syok pada
pasien STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
dengan nilai > 0.05 yaitu 1.
74
4. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian kardiogenik syok
pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita dengan nilai P < 0,05 yaitu 0.005
5. Ada hubungan antara Dislipidemia dengan kejadian kardiogenik syok pada
pasien STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
dengan nilai P < 0,05 yaitu 0,001.
6. Ada hubungan antara DM dengan kejadian kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dengan
nilai P < 0,05 yaitu 0,004.
8. Ada hubungan antara adanya arritmia dengan kejadian kardiogenik syok pada
pasien STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
dengan nilai P < 0,05 yaitu 0,005.
9. Ada hubungan antara luas infark dengan kejadian kardiogenik syok pada pasien
STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dengan
nilai P < 0,05 yaitu 0,005.
10. Tidak Ada hubungan antara Door to balon .≥90 menit < 90 menit dengan
kejadian kardiogenik syok pada pasien STEMI saat dilakukan IKPP di Pusat
Jantung Nasional Harapan Kita dengan nilai P < 0,05 yaitu 0.007
75
B. Saran
1. Perlu diteliti pasien STEMI saat dilakukan IKPP dengan penggunaan inotropik
terjadi kardiogenik syok.
2. Untuk penelitian lebih lanjut, pada penelitian ini pemantauan status cairan
tidak diambil pada pasien STEMI dengan kardiogenik syok, dan data diambil
secara retrospektif maka pemantaun status cairan dapat merujuk dari hasil
laboratorium, seperti elektrolit dan ureum creatinin.
77
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association, 2012 ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction
Anand SS, Islam S,Rosengren A, Franzosi MG, Steyn K, Hussein Aet al. Risk factors for myocardial infarction in women and men: insights from the INTERHEART study,EurHeartJ.200829(7):932-940.
Brunner, dkk. 2007. Textbook of Medical Surgical Nursing: Edisi Eleven, Volume 2.
Jakarta: Kedokteran EGC
Budiono dan Bambang, 2006. Sindroma Metabolik dan Penyakit Kardiovaskuler.
Fakultas Universitas Hasanuddin, Makassar. Dalam: Ardiadi dan Arsad
Corwin, E.J., (2000) Buku Saku Patofisiologi : Edisi ke -3, Jakarta : EGC
Clinical Investigation and Reports Acute Coronary Syndromes in the GUSTO-IIb
Trial Prognostic Insights and Impact of Recurrent Ischemia Paul W.
Armstrong, MD; Yuling Fu, MD; et al.
Circulation is published by the American Heart Association, 7272 Greenville
Avenue, Dallas, TX 75231 Circulation. published online January 28, 2013
Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Indonesia. In: Kesehatan
Data rekam medis RS Jantung Harapan Kita tahun 2009 - 2011
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Depatemen Kesehatan, 2006
Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakiy Jantung Koroner, Fokus
Sindrom Koroner Akut. Jakarta
K,ed:2007Ellen C. Keeley, M.D., L. David Hillis, M.D. 2007. Primary PCI for
Myocardial Infarction with ST-Segment Elevation. N, Engl, J, Med, (356)
Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et.al. (Ed.). Harrison's Principles of Internal
Medicine. Seventeenth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. United
States of America. 2008. Chapter 264, 266
Firdaus, I. 2011. Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI. Jakarta: Jurnal Kardiologi Indonesia
Firman, D. 2010. Intervensi Koroner Perkutan Primer. Jakarta: Jurnal Kardiologi
Indonesia
Gray H.H, Dawkins KD., Simpson I.A., & Morgan J.M., (2005) Lecture Notes :
Kardiologi ( Agus Azwar & Asri Dwi Rahmawati, penerjemah), Jakarta :
Erlangga
Holland, Karen. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : Kedokteran EGC
Hartono A, 2004. Gizi dan Diet di Rumah Sakit, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Ignatavisius,D,D & Workman M.L., (2010). Medical Surgery Nursing : Critical
Thinking and Collaborative Case. ( 6 th ed). Missouri : Elsevier
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Dipenogoro tahun, 2007
Idrus Alwi. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. In: Aru W. Sudoyo, Bambang
Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. 2006. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Joyce M. Black, PhD, RN, CPSN, CWCN, FAPWCA and Jane Hokanson Hawks,
DNSc, RN, BC. Medical-Surgical Nursing - Single Volume, 8th Edition
clinical Management for positive Outcomes
Libby, Peter; Bonnow, Robert; Mann, Douglas; Zipes, Douglas (2007). Braunwald's
Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dari Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Mubin H. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan Terapi. Edisi 2.
EGC. Jakarta. Cetakan I: 2008:715-8.
Morton, J, Kern , 2011, The Cardiac Catheterization Handbook, 5th Edition
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Putra, S.R. 2012. Panduan Riset Keperawatan dan Penulisan Ilmiah. Jogjakarta: D-
Medika
Robbin, (2007). Buku Ajar Patologi vol 2, Jakarta : EGC
Richard N. Fogoros, M.D., About.com Guide Updated September 03, 2008 STEMI -
ST Segment Elevation Myocardial Infarction
Survei Kesehatan Nasional, 2002. Mendukung Indonesia Sehat 2010. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI :Jakarta
Wolfe RE, Fischer CM. Shock. In: Roppolo LP, Davis D, Kelly SP, Rosen P (Ed.).
Emergency Medicine Handbook: Critical Concepts for Clinical Practice.
Mosby Elsevier. Philadelphia. USA. 2007;7:61-4.
Yahya AF,2010. Menaklukan Pembuluh No.1. Bandung : Qanita
(fasya,medicallanguaage.blogspot.com/2011/04/1/.html,diunduh tanggal 21
februari 2013).
www.scribd.com. Penurunan fungsi Pompa jantung-kardiogenik syok,
Prmob.net > Sirkulasi koroner > Gagal jantung > Infark miokard > Syok
kardiogenik - Definisi, Penyebab, Gejala dan Pengobatan di akses tanggal 23
februari 2013
National Heart Lung and Blood Institute. 2008. What Is a Heart Attack?.
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/HeartAttack/HeartAttack_Wha
tIs.html. November 22nd, 2010.
American Heart Association's Heart Attack web site Information and resources for preventing, recognizing and treating heartattack http://en.wikipedia.org/wiki/Myocardial_infarction .(diunduh tanggal 27 februari 2013).
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9919746) di unduh anggal 28 februari 2012
Syok kardiogenik article by, MiSC, Kardiovaskular fkuii.org).
diundutanggal 21 pebruari 2013
LEMBAR TILIK
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KARDIOGENIK SYOK PADA PASIEN STEMI SAAT DILAKUKAN INTERVENSI KORONER PERKUTAN PRIMER (IKPP) DI RUMAH SAKIT JANTUNG HARAPAN KITA
JANUARI-DESEMBER TAHUN 2011 – JANUARI - SEPTEMBER 2012
NO Nama Umur Jenis kelamin
Diagnosa medis
DM mg/dl
Rokok Dislipidemia
D oor to balon >90 menit< 90 menit
Ada nya arritmia
TD (mmHg)
Nadi {x/ mt)
Hasil angiografi
Infark luas ≥ 2 area pembuluh koroner yang tersumbat Infark tidak luas 1 area pembuluh darah koroner yang tersumbat.
Syok
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Supriyani
Tempat dan Tanggal Lahir : 4 Maret 1967
Agama : Islam
Alamat : Komplek Harapan Kita Jalan Melati Blok E7 N0 20 Karawaci Taangerang Banten
No Telp : 08128275767/02134674192
Pendidikan : 1. SDN4 Cimahi
2. SMPN Leuwigajah Cimahi
3. SMA Tut Wuri Handayani Cimahi
4. AKPER Jendral A. Yani Cimahi
5. Mahasiswa PSIK UMJ Jakarta
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Instalasi : Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
UPF Diagnostik Intervensi Non Bedah