Upload
tranbao
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’ DALAM
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH
(Perspektif Astronomi)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-
syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
MERI FITRI YANTI
NPM : 1321010015
Program Studi : Ahwal Al-Syakhshiyah
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN
INTAN
LAMPUNG
1438 H/ 2017 M
2
PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’ DALAM
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH
(Perspektif Astronomi)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-
syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
MERI FITRI YANTI
NPM : 1321010015
Program Studi : Ahwal Al-Syakhshiyah
Pembimbing I : Dr. H. Khairuddin, M.H.
Pembimbing II : Rohmat, S.Ag., M.H.I.
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN
INTAN
LAMPUNG
1438 H/ 2017 M
3
ABSTRAK
PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’ DALAM
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH
(Perspektif Astronomi)
Oleh
MERI FITRI YANTI
Penentuan awal bulan Hijriah sering menimbulkan polemik
karena setiap golongan mempunyai keyakinan dan pemahaman
tersendiri dalam menentukan awal bulan Hijriyah khususnya
bulan Ramadan, Syawal, dan zulhijah. Perbedaan pendapat
dalam penetapan awal bulan Hijriah selain disebabkan adanya
perbedaan metode dan sistem atau aliran dalam penentuannya,
melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan mathla‟.
Persoalan mathla‟ juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama, khususnya di kalangan empat mazhab yaitu mazhab
Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi‟i.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
pendapat empat mazhab tentang mathla‟ dalam penentuan awal
bulan Hijriah?. Dan bagaimana pendapat empat mazhab tentang
mathla‟ dalam perspektif astronomi?. Adapun tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui bagaimana pendapat empat mazhab
tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah. Dan untuk
mengetahui bagaimana mathla‟ menurut pendapat empat
mazhab dalam perspektif astronomi.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library
Research) yang bersifat deskriptif analitik. Data yang digunakan
adalah sumber data primer, yakni kitab atau buku empat
mazhab dan astronomi yang membahas mathla‟ dalam
penentuan awal bulan Hijriah. Dan sumber data sekunder yaitu
seperti hasil penelitian, pendapat para pakar yang berkaitan
dengan penelitian ini. Pengolahan data melalui editing,
4
klasifikasi, ferifikasi, dan sistematisasi data. Lalu data dianalisis
secara kulitatif dengan metode berpikir induktif.
Perbedaan pendapat mengenai mathla‟ dalam penentuan
awal bulan Hijriah di kalangan empat mazhab terbagi menjadi
dua pendapat yaitu: Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali
menghendaki mathla‟ approach global (kesatuan mathla‟ untuk
seluruh wilayah Islam di muka Bumi). Mazhab Syafi‟i
menghendaki mathla‟ approach parsial (adanya kesatuan
mathla‟ untuk wilayah ditetapkannya rukyat hilal dan juga
wilayah yang berdekatan). Pendapat mazhab Hanafi, Maliki,
Hanbali tidaklah sejalan dengan astronomi, sedangkan pendapat
mazhab Syafi‟i sejalan dengan astronomi. Disebabkan beberapa
faktor yaitu: Pada sistem penanggalan Hijriah terdapat garis
batas tanggal internasional yang dinamakan garis tanggal Islam
internasional (The International Islamic Date Line). Terdapat
perbedaan tanggal pada saat yang bersamaan disebabkan Bumi
berbentuk bola. Keberhasilan rukyat tidak bisa disamakan antara
satu wilayah dengan wilayah lain disebabkan kondisi rukyat
hilal berbeda sesuai dengan perbedaan garis bujur, garis lintang
dan ketinggian lokasi observasi dari permukaan air laut.
5
6
7
MOTTO
ته وافطروا ه وسلم صوموا لرؤ صلى هللا عل ب قول قال الن هللا عنه رة رض هر عن اب
كم فأكملوا عل ته فإن غب ن لرؤ ة بان (رواه البخاري). ع 1
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: “Berpuasalah bila
kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun
bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan), maka sempernukanlah
hitungan bulan Syakban itu menjadi tiga puluh hari. (H.R. Bukhari). 2
1 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 346. Hadits No 1909, Bab Puasa 2 Safuan Alfandi,Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang
Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162
8
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil‟alamin. Dengan menyebut nama Allah
SWT Tuhan Yang Maha Penyayang, penuh cinta kasihnya yang telah
memberikan saya kekuatan, dan yang telah menuntun dan
menyemangatiku menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi sederhana ini kupersembahkan sebagai tanda cinta, sayang,
dan hormat tak terhingga kepada:
1. Murobbil Jismi yaitu Bapak dan Ibu (Muhammad Subki dan
Misbahul Munawwarah) tercinta yang dengan tulus ikhlas
merelakan separuh kehidupannya untuk merawat dan
mendidikku dan selalu memberi kasih sayang serta
meneguhkan keyakinanku dikala aku tersesat dan putus asa.
2. Murobbir Ruhi yaitu para Kyai, Dosen, Guru, dan Ustadz
yang telah mengajarkan ilmu untuk menuju kemuliaan di sisi
Allah SWT.
3. Adik-adikku tercinta (Ahmad Saiful Anwar dan Abdullah
Khairul Azzam) yang selalu mendukung untuk
kesuksesanku.
4. Seluruh rekan seperjuangan dalam menuntut ilmu.
5. Almamaterku tercinta Fakultas Syari‟ah dan Hukum IAIN
Raden Intan Lampung. RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Meri Fitri Yanti. Dilahirkan pada
tanggal 23 Februari 1996 di Desa Srimenanti, KecamatanTanjung
Raja, Kabupaten Lampung Utara. Putri pertama dari tiga bersaudara,
buah perkawinan pasangan Bapak Muhammad Subki dan Ibu
Misbahul Munawwarah.
9
Pendidikan dimulai dari pendidikan dasar pada Madrasah
Ibtidaiyah Syuabul Hikmah Srimenanti, pada tahun 2001, tamat pada
tahun 2007. Melanjutkan pendidikan Menengah Pertama pada
Madrasah Tsanawiyah Futuhiyyah 1 Bukit Kemuning, tamat pada
tahun 2010. Melanjutkan pada jenjang menengah pada Madrasah
Aliyah Futuhiyyah 1 Bukit Kemuning, selesai pada tahun 2013. Pada
tahun yang sama melanjutkan pendidikan kejenjang pendidikan tinggi,
pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Bandar
Lampung, mengambil Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah pada
Fakultas Syari‟ah dan Hukum.
10
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT
Tuhan pencipta alam semesta dan segala isinya yang telah
memberikan kenikmatan Iman, Islam, dan Ihsan. Sehingga
skripsi dengan judul “Pendapat Empat Mazhab Tentang Mathla‟
dalam Penentuan Awal Bulan Hijriyah” (Perspektif Astronomi)
dapat diselesaikan. Shalawat beriring salam disampaikan kepada
Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat, dan para
pengikutnya yang setia. Semoga kita mendapatkan syafa‟at-nya
pada hari kiamat nanti.
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan studi pada program Strata Satu (SI) Jurusan
Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari‟ah dan Hukum IAIN
Raden Intan Lampung guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
(SH) dalam bidang ilmu syari‟ah.
Dalam penulisan skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag., selaku Rektor IAIN Raden
Intan Lampung;
2. Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag., selaku Dekan Fakultas
Syari‟ah dan Hukum serta para Wakil Dekan di lingkungan
Fakultas Syari‟ah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung;
3. Bapak Marwin, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan dan Bapak
Gandhi Liyorba Indra, S.Ag., M.Ag. selaku Sekretaris
Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah IAIN Raden Intan
Lampung;
4. Bapak Dr. H. Khairuddin, M.H. selaku pembimbing I, dan
Bapak Rohmat, S.Ag., M.H.I. selaku pembimbing II yang
telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan dan arahan;
5. Bapak Rohmat, S.Ag., M.H.I. yang telah membantu dan
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
11
6. Seluruh dosen, asisten dosen dan pegawai Fakultas Syari‟ah
dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung yang telah
membimbing dan membantu penulis selama mengikuti
perkuliahan;
7. Ayah, Ibu, Adik, serta sahabat-sahabat terimakasih atas do‟a,
dukungan, dan semangatnya. Semoga Allah senantiasa
membalasnya dan memberikan keberkahan kepada kita
semua;
8. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan
Hukum juga Perpustakaan Institut yang telah memberikan
informasi, data, referensi, dan lain-lain;
9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Angkatan 2013, serta adik-adik AS khususnya.
10. Untuk semua pihak yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian skripsi ini dan teman-teman yang kukenal
semasa hidupku. Jazakumullah
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna yang disebabkan dari keterbatasan kemampuan penulis.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
konstruktif dari pembaca demi upaya penyempurnaan tulisan ini
kedepannya.
Akhirnya diharapkan betapapun kecilnya karya tulis (skripsi) ini
dapat menjadi sumbangan yang cukup berarti dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman.
Bandar Lampung, 20 Maret 2017
Penulis,
Meri Fitri Yanti
NPM. 1321010015
12
DAFTAR ISI
JUDUL ....................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................ ii
PERSETUJUAN ...................................................................... iv
PENGESAHAN ....................................................................... v
MOTTO .................................................................................... vi
PERSEMBAHAN .................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP .................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................ xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul ........................................................... 1
B. Alasan Memilih Judul ................................................. 2
C. Latar Belakang Masalah ............................................. 3
D. Rumusan Masalah ....................................................... 12
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................ 12
F. Metode Penelitian ....................................................... 13
BAB II : PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIYAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Bulan Hijriyah ........... 17
B. Metode dan Sistem Penentuan awal Bulan
Hijriyah ..................................................................... 25
C. Konsep Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan
Hijriyah ..................................................................... 42
BAB III : PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG
MATHLA’ DALAM PENENTUAN AWAL
BULAN HIJRIYAH
A. Mathla‟Menurut Mazhab Hanafi ............................... 56
B. Mathla‟ Menurut Mazhab Maliki .............................. 64
C. Mathla‟ Menurut Mazhab Syafi‟i .............................. 70
D. Mathla‟Menurut Mazhab Hanbali ............................. 79
BAB IV : PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG
MATHLA’ DALAM PERSPEKTIF
ASTRONOMI
13
A. Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla‟ dalam
Penentuan Awal Bulan Hijriyah ................................ 85
B. Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla‟ dalam
Perspektif Astronomi ................................................ 92
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................... 95
B. Saran .......................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Untuk memperjelas pokok bahasan diperlukan
penjelasan atau definisi yang terkandung dalam judul
skripsi ini. Yang memiliki beberapa istilah pokok sebagai
berikut :
Empat Mazhab, Mazhab menurut bahasa berasal dari
kata dzahaba yang berarti pergi atau dapat juga berarti
pendapat. Adapun menurut istilah, mazhab artinya adalah
metode yang digunakan seorang mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa. Mazhab juga
merupakan sistem pemikiran atau pendekatan intelektual.
Secara khusus, istilah ini digunakan untuk sesuatu yang
berkaitan dengan aliran-aliran dalam fiqh.3 Sedangkan
yang dimaksud dengan empat mazhab ialah mazhab Hanafi,
mazhab Maliki, mazhab Syafi‟i, dan mazhab Hanbali.4
Mathla‟ ( م ط م ع ) ialah lafaz bahasa Arab yang berarti
waktu atau tempat terbit atau muncul, kata kerjanya ( - طم م م
yaitu terbit atau muncul.5 Maksudnya waktu atau ( م ط م ع
tempat munculnya Bulan, Bintang dan Matahari.
Sedangkan dalam kamus fiqh kata mathla‟ ialah batas
geografis keberlakuan rukyat.6
Bulan Hijriah adalah perhitungan kalender dengan
menggunakan peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Yang
merupakan tahun penanggalan dalam Islam. Penggunaan
perhitungan tahun seperti ini dimulai dari hijrah Nabi
beserta kaum muslimin ke Madinah.7
“Perspektif adalah sudut pandang, pandangan. Yaitu
pandangan dari sudut satuan bahasa sebagaimana satuan itu
3 Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 149
4 Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam, PT Elex Media
Komputindo Kompas Gramedia Building, Jakarta, 2009, hlm. 265 5 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, PP. Al-Munawwir,
Yogyakarta, 1997, hlm. 921 6 Ahsin W. Alhafidz, Op.Cit, hlm.148
7 Ahsin W. Alhafidz, Op.Cit, hlm. 67
15
berhubungan dengan yang lain dalam suatu sistem atau
jaringan.”8
Astronomi adalah suatu ilmu pengetahuan yang
mempelajari lintasan benda-benda langit dengan didasarkan
kepada penelitian ilmiah, dengan pengetahuan itu kita dapat
memperoleh data yang akurat guna menentukan
perhitungan tahun, bulan, gerhana dan lain-lain yang
bersifat ilmiah.9
Berdasarkan beberapa penjelasan istilah pokok di atas
penulis tegaskan kembali bahwa judul atau tema yang akan
dibahas oleh penulis dalam penelitian ini adalah Pendapat
Empat Mazhab tentang Mathla‟ dalam Penentuan Awal
Bulan Hijriah (Perspektif Astronomi). Yang ruang lingkup
bahasannya mencakup tentang batas geografis keberlakuan
rukyat (mathla‟) dalam penentuan awal bulan Hijriah
menurut pendapat empat mazhab yakni mazhab Hanafi,
mazhab Maliki, mazhab Syafi‟i, dan mazhab Hanbali.10
Selanjutnya berbagai pendapat empat mazhab tentang batas
geografis keberlakuan rukyat (mathla‟) dalam penentuan
awal bulan Hijriah tersebut penulis analisis dengan
menggunakan atau pun berdasarkan pandangan astronomi.
B. Alasan Memilih Judul Beberapa hal alasan menarik, sehingga memotivasi
penulis untuk memilih dan membahas judul ini yaitu :
1. Alasan Obyektif
Alasan obyektif yang membuat penulis tertarik
untuk membahas judul ini di antaranya:
a. Problematika dalam penetapan awal bulan
Hijriah sering memunculkan perdebatan di
kalangan umat. Khususnya bulan Ramadan,
Syawal dan Zulhijah. Khususnya di Indonesia
8 Lukman Ali dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1988, hlm. 864 9 M. Said Jamhari dan Faisal, Ikhtisar Ilmu Falak tentang Penentuan
Waktu-waktu Shalat, Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 1998, hlm. 1 10
Ahmad Subagyo, Loc.Cit.
16
sendiri selain memiliki banyak metode dan aliran
dalam penentuan awal bulan Hijriah, juga salah
satu penyebab lainnya yaitu karena adanya
perbedaan tentang mathla‟. Mengingat hal ini
sangat berkaitan erat dengan salah satu kewajiban
(ibadah), membuat penulis tertarik untuk
membahasnya.
b. Karena penulis menginginkan pengetahuan dan
pemahaman yang utuh tentang terjadinya
perbedaan tentang mathla‟ dalam penentuan awal
bulan Hijriah di kalangan empat mazhab dan juga
berdasarkan astronomi.
2. Alasan Subyektif
Alasan subyektif yang membuat penulis tertarik
untuk membahas judul ini di antaranya:
a. Pokok bahan dalam penulisan skripsi ini relevan
dengan disiplin ilmu yang penulis pelajari pada
Fakultas Syari‟ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah.
b. Literatur dan bahan-bahan yang dibutuhkan
dalam penulisan skripsi ini tersedia di
perpustakaan, sehingga memudahkan penulis
untuk membahas judul ini.
C. Latar Belakang Masalah Setiap kehidupan umat manusia membutuhkan
kalender atau penanggalan sebagai pengatur dan pembagi
waktu. Terutama bagi umat Islam, kebutuhan akan suatu
kalender merupakan hal yang sangat urgen karena banyak
ibadah umat Islam yang terkait dengan waktu. Seperti
ibadah haji, ibadah puasa Ramadan dan sebagainya.
Allah swt. telah menjelaskan kepada manusia, bahwa
Dialah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur alam
semesta dan seisinya dengan sempurna dan teratur,
termasuk tentang waktu. Manusia dengan akal karunia-Nya
telah mampu mengetahui waktu, jam, hari, bulan dan tahun
kemudian menyusunnya menjadi organisasi satuan-satuan
17
waktu yang disebut penanggalan atau kalender.
Sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. al-Isra‟ ayat 12 :11
( اإلسرأ
12: )
Artinya: Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua
tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan
tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu
terang benderang, agar kamu (dapat) mencari
karunia dari Tuhan-mu, dan agar kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu). dan segala sesuatu telah Kami terangkan
dengan jelas.12
(al-Isra‟ : 12)
Dalam ayat ini dapat difahami bahwa Allah
menjadikan malam dan siang sebagai dua tanda kekuasaan-
Nya, lalu juga menerangkan bahwa Ia menghapuskan tanda
malam dengan menjadikan tanda siang itu terang
benderang, ayat ini dimaksudkan agar manuisa dapat
mencari karunia Tuhannya, dan agar manusia dapat
menggali pikirannya untuk mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu) yang saat ini lebih terkenal dengan
sebutan kalender.
Acuan yang digunakan untuk menyusun penanggalan
atau kalender ini adalah siklus pergerakan dua benda langit
yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di
11
Hendro Setyanto, Membaca Langit, Al-Ghuraba, Jakarta Pusat, 2008,
hlm. 7 12
Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya),
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 283
18
Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Dalam penggunaannya
dari acuan dua benda langit tersebut terdapat tiga jenis
penanggalan atau kalender yang dipakai oleh umat manusia.
Pertama, solar system (kalender syamsiah), yaitu sistem
penanggalan atau kalender berdasarkan peredaran Bumi
mengelilingi Matahari. Kedua, lunar system (kalender
kamariah), yaitu sistem penanggalan atau kalender
berdasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Ketiga,
kalender lunisolar, yaitu sistem penanggalan atau kalender
lunar yang disesuaikan dengan matahari.13
Kalender Masehi, Iran dan Jepang merupakan sistem
kalender solar, sedangkan kalender Hijriah dan Jawa
merupakan sistem kalender lunar. Adapun kalender
lunisolar seperti kalender Imlek, Saka, Buddha, dan
Yahudi.14
Kalender Hijriah atau Kamariah inilah yang
kemudian dibutuhkan dan dipakai oleh umat Islam untuk
menentukan penetuan waktu seperti hari-hari besar Islam,
dan acuan dalam melaksanakan kewajiban ibadahnya.
Sistem kalender Hijriah ini didasarkan pada peredaran
Bulan mengelilingi Bumi, sebagaimana firman Allah swt.
dalam Q.S. al-Baqarah ayat 189 :
(189: البقرة)
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: “bulan sabit adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Dan
13
Rohmat, Ilmu Falak II Penentuan Awal Bulan Qomariyah dan
Syamsiyah, Seksi Penerbitan Fakultas Syari‟ah, Lampung, 2014, hlm. 1-2 14
Ibid
19
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah
ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.15
(al-Baqarah: 189)
Al-Qur‟an di atas menjelaskan tentang hikmah
bahwa bulan sabit (hilal) merupakan tanda bagi manusia
untuk mengetahui waktu penunaian setiap urusan
keduniaan, sekaligus kompas dalam hal ibadah yaitu untuk
mengetahui waktu-waktu pelaksanaannya seperti ibadah
puasa dan haji.16
Demikian pula dijelaskan secara teologis bahwa
perjalanan waktu di bumi ini ditandai dengan peredaran
benda-benda langit, terutama Bulan. Berdasarkan firman
Allah swt. dalam Q.S.Yunus ayat 5:
( ونس :
5)
Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-
manzilah (tempat-tempat)bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan
15
Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya),
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29 16
As-Sayyid Mahmud Syukri Al Alusi, Ma Dalla „Alaihi Al-Qur‟an
(Min Ma Ya‟dhadu Al Hai‟ah Al Jadidah Al Qawimah Al Burhan, Alih
Bahasa, Kamran As‟ad Irsyadi, Al-Qur‟an dan Ilmu Astronomi, Cetakan I,
Pustaka Azzam, Jakarta, 2004, hlm. 61
20
yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.17
(Yunus : 5)
Penentuan awal bulan Hijriah seringkali menimbulkan
polemik diantara kalangan umat Islam dikarenakan setiap
golongan mempunyai keyakinan dan pemahaman
tersendiri dalam menentukan kapan masuk awal bulan
Hijriah khususnya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah
seringkali terdapat perbedaan dalam penentuannya. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam memahami
dan mengaplikasikan hadis Rasul yang berbunyi:
عن اب ىري رة رضي اهلل عنو ي قول قال النب صلى اهلل عليو وسلم ة شعبان صوموا لرؤيتو وافطروا لرؤيتو فإن غبي عليكم فأكملوا عد
18(رواه البخاري). Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw.
bersabda: Berpuasalah bila kalian melihat bulan,
dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun
bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan),
maka sempernukanlah hitungan bulan Sya‟ban itu
menjadi tiga puluh hari.19
(H.R. Bukhari).
Berdasarkan hadis di atas inilah yang menjadi
pangkal persoalan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Di
mana berpangkal pada zahir hadis tersebut, para ulama
berbeda pendapat dalam memahaminya sehingga
melahirkan perbedaan pendapat.20
17
Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya),
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 208 18
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 346. Hadits No 1909, Bab Puasa 19
Safuan Alfandi,Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang
Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162 20
Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Pustaka Rizki Putra,
Semarang, 2012, hlm. 91-92
21
Adanya perbedaan pendapat dalam penetapan awal
bulan Hijriah khususnya bulan Ramadan, Syawal dan
Zulhijah disebabkan ada yang bersumber pada perbedaan
metode serta perbedaan sistem penentuannya, ada pula
yang bersumber pada perbedaan mathla‟.
Dalam hal perbedaan metode pada garis besarnya
terdapat dua macam metode penentuan awal bulan Hijriah.
Pertama, metode rukyat, adalah usaha melihat hilal dengan
mata telanjang pada saat matahari terbenam pada tanggal
29 bulan Hijriah. Apabila hilal terlihat, maka malam itu
dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu
bulan baru, sedangkan apabila hilal tidak berhasil dilihat,
maka tanggal satu bulan baru ditetapkan jatuh pada malam
hari berikutnya, bilangan hari dari bulan yang sedang
berlangsung digenapkan menjadi 30 hari (diistikmalkan).
Kedua, metode hisab, adalah penentuan awal bulan Hijriah
yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi. 21
Pada metode hisab terdapat perbedaan pendapat
dalam menentukan awal bulan Kamariah. Di antaranya,
terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan
baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak,22
sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak
dan posisi hilal. Kelompok yang berpegang pada sistem
ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari
terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan
baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak
21
Rohmat, Imkan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan
Qamariyah/Hijriyah, Cetakan Pertama, Pusat Penelitian dan Penerbitan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden Intan
Lampung, Bandar Lampung, 2014, hlm. 44-46 22
Ijtima‟ adalah istilah dalam ilmu falak yang diambil dari bahasa
Arab yang artinya berkumpul. Istilah lainnya adalah iqtiran yaitu merupakan
pertemuan atau berkumpulnya dua benda yang berjalan secara aktif,
sedangkan dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal dengan sebutan
konjungsi yang diambil dari bahasa inggris conjungtion. "Ijtima‟ merupakan
gambaran dimana matahari dan bulan berada dalam satu bujur astronomi
yang menandai dimulainya bulan baru." Lihat, Depag, pedoman perhitungan
Awal bulan qamariyah dengan ilmu ukur bola, bagian proyek pembinaan
administrasi hukum dan Pengadilan Agama, Jakarta, 1983, hlm. 3
22
mempermasalahkan hilal dapat dirukyat atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada terjadinya
ijtimak dan posisi hilal menetapkan jika pada saat
Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan posisi
hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari
terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.23
Dalam perbedaan sistem penentuan dalam
menetapkan awal bulan Hijriah ada dua sistem yang
berkembang dalam masyarakat, yaitu: pertama, sistem
hisab, pada sistem hisab ini, ada ahli hisab yang dalam
menetapkan masuknya bulan baru berpedoman kepada
ijtima‟ qablal ghurub, wujudul hilal, dan imkanur rukyat.
Kedua, sistem rukyat, pada sistem rukyat ini dalam
menetapkan tanggal satu bulan Hijriah, khususnya yang
berkaitan dengan ibadah, harus berdasarkan rukyat. Hasil
hisab menurut golongan ini merupakan alat bantu atau
sarana untuk melakukan rukyat. 24
Maka rukyat harus
didasarkan pada hasil hisab yang valid dan akurat (qath‟i).
Hisab dan rukyat saling menguatkan. 25
Perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriah selain
disebabkan karena adanya perbedaan metode dan adanya
sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga
disebabkan karena adanya perbedaan mathla‟. Perbedaan
mathla‟ ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada
mathla‟ approach global, mathla‟ approach parsial, dan
ada yang berpedoman pada mathla‟ wilayatul hukmi.
23
Jayusman, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan
Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syari‟ah,
Vol. 11, No. 1, edisi April 2015, hlm. 18 24
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Penentuan Awal
Bulan Qamariyah antara Mazhab Hisab dan Rukyat dan Upaya
Penyatuannya, Cetakan Pertama, Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung,
Bandar Lampung, 2015, hlm. 26-28 25
Jayusman, Ilmu Falak II: Fiqh Hisab Rukyah Penentuan Awal
Bulan Kamariah, Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar
Lampung, 2016, hlm. 108
23
Mathla‟ approach global merupakan pendekatan
filosofis yang menyatakan bahwa tanggal satu bulan
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah harus jatuh pada hari yang
sama untuk seluruh penduduk bumi, sebagai salah satu
lambang kesatuan ummat Islam sedunia. Maksudnya bila
ada orang yang berhasil melihat hilal, di wilayah manapun
dia melihatnya, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk
seluruh penduduk bumi. Sedangkan mathla‟ approach
parsial merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan
bahwa kesatuan umat Islam bukan hanya berdasarkan
sama di dalam menetapkan awal bulan Hijriah untuk
seluruh permukaan planet Bumi, melainkan bisa
diwujudkan dengan adanya rasa saling menghargai di
antara umat Islam. Maksudnya bila ada orang yang
berhasil melihat hilal pada suatu wilayah, maka hasil
rukyatnya itu berlaku untuk wilayah ditetapkannya rukyat
hilal dan juga wilayah yang berdekatan. 26
Adapun mathla‟ wilayatul hukmi menjadikan batasan
negara secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan
rukyat atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam
wilayah hukum. Misalnya Indonesia, konsekuensinya
apabila hilal terlihat dimanapun di wilayah Indonesia,
dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Penduduk
melaksanakan puasa dan berhari raya secara serentak
berdasarkan ketetapan pemerintah. 27
Persoalan mathla‟ dalam penetapan awal bulan
Hijriah juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama, khususnya di kalangan empat mazhab seperti
Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi‟i.
Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat
bahwa perbedaan tempat terbit bulan (ikhtilafu al-mathali)
itu tidak menjadi soal atau tidak berlaku. Artinya, bila ada
satu orang di sebuah negeri melihat hilal, maka semua
negeri Islam di dunia ini wajib berpuasa dengan dasar
26
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 56-58. 27
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat (telaah syari‟ah,
sains dan teknologi), Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 19
24
rukyat orang itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Saw: “berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan
berbukalah bila kalian melihat bulan”. Ini adalah
pernyataan yang bersifat umum untuk seluruh umat Islam.
Siapa saja di antara mereka, dimana saja tempatnya,
rukyatnya berlaku untuk mereka semua.28
Adapun Mazhab Syafi‟i berpendapat jika penduduk
suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain
sebagainya tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut
berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya
berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus.29
Karena adanya perbedaan mathla‟ bulan di antara jarak
yang jauh yang kemungkinan terjadi minimal 24 farsakh (1
farsakh kira-kira 5544 m = 133,056 km).30
Bahkan Syekh
Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini
(ulama Syafi‟iah) dalam kitabnya Mughniyl Muhtaaj
(Matan Minhaaj Ath-Thalibin) 31 dan Muhammad ibn
Muhammad Abi Hamid al-ghazali (ulama Syafi‟iah) dalam
kitabnya Al-Wajiz fi Fiqhi Madzhab al-Imam Asy-Syafi‟i
menyatakan bahwa apabila hilal terlihat pada suatu negeri
maka hukumnya hanya berlaku bagi negeri yang terdekat
dari negeri terlihatnya hilal yaitu sejarak dibolehkannya
qashar shalat (masafah al-qasr). 32
Namun Wahbah Al-
Zuhaily menyatakan bahwa berdasarkan pendapat yang
sahih, pandangan sebagian Syafi‟iah yang membedakan
jarak dekat dan jauh berdasarkan ukuran jarak qashar
28
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Fikih
Sunnah, Cetakan Pertama, Jilid 3, Al-Ma‟arif, Bandung, 1978, hlm. 207 29
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-
Khamsah, Alih Bahasa, Maskur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff,
Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2011, hlm. 198 30
Wahbah Al-zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu, Juz II, Dar Al-
Fikr, Damaskus, 1996, hlm. 605 31
Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini,
Mughniyl Muhtaaj (Matan Minhaaj Ath-Thalibin), Jilid I, Dar Al-Fikr,
Beirut, hlm. 569-570 32
Muhammad Ibn Muhammad Abi Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz Fi Fiqhi
Madzhab Al-Imam Asy-Syafi‟I, Dar Al-Fikr, Beirut, 2004, hlm. 84
25
shalat (masafahal-qasr) tidak bisa dijadikan dasar
hukum.33
Sayyid Sabiq kemudian menyatakan bahwa pendapat
yang dipilih oleh golongan Syafi‟i ialah setiap wilayah
memiliki rukyat masing-masing. Maka mereka tidak
diwajibkan berpuasa sebab rukyatul hilal selain dari
wilayah mereka.34
Berdasarkan perbedaan pendapat tentang tempat
timbulnya Bulan (mathla‟) di kalangan empat mazhab
tersebut, penulis mengambil judul “Pendapat Empat
Mazhab tentang Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan
Hijriah (Perspektif Astronomi)”
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dipaparkan, maka permasalahan yang hendak dibahas
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟
dalam penentuan awal bulan Hijriah ?
2. Bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟
dalam perspektif astronomi?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan sehingga penulis melakukan
penelitian ini. Adapun penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana pendapat empat
mazhab tentang mathla‟ dalam penentuan awal
bulan Hijriah.
b. Untuk mengetahui bagaimana mathla‟ menurut
pendapat empat mazhab dalam perspektif
astronomi.
33
Wahbah Al-Zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 38 34
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990, hlm.
307
26
2. Kegunaan Penelitian
Ada beberapa kegunaan sehingga membuat
penulis tertarik untuk membahas judul ini di
antaranya:
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis penelitian ini adalah:
1) Memberikan informasi tentang wacana
perbedaan pendapat tentang mathla‟ dalam
penentuan awal bulan Hijriah di kalangan
empat mazhab.
2) Memberikan kontribusi secara ilmiah dalam
menetralisir kontroversi pemahaman tentang
penentuan awal bulan Hijriah.
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini adalah:
1) Penelitian ini diharapkan dapat difungsikan
sebagai penambahan wacana yang berkaitan
dengan masalah hukum Islam dan dapat
menjadi landasan positif bagi masyarakat.
2) Bagi penulis sebagai bahan latihan dalam
mengembangkan wacana dan latihan
akademik yaitu untuk menciptakan suatu karya
ilmiah terutama terhadap khazanah ilmu
hukum Islam.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian
kepustakaan (Library Research)35 yaitu penelitian yang
difokuskan terhadap penelitian bahan-bahan pustaka
yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas,
yaitu al-Qur‟an, hadis, kitab atau buku tentang empat
mazhab, dan astronomi yang menjelaskan tentang
penentuan awal bulan Hijriah, juga teks-teks hukum
35
M. Nasir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm.
53
27
yang memperbincangkan tentang penentuan awal
bulan Hijriah. Khususnya tentang mathla‟.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini termasuk dalam penelitian
yang bersifat deskriptif analitik.36 yaitu peneliti
memaparkan secara sistematis materi pembahasan dari
berbagai sumber untuk kemudian dianalisis dengan
cermat guna memperoleh hasil sebagai kesimpulan dari
kajian tentang Pendapat Empat Mazhab tentang
Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah
(Perspektif Astronomi).
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian library research sehingga
menggunakan metode pengumpulan data secara
dokumentatif.37 dengan menelusuri kitab-kitab, buku-
buku atau karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan
topik kajian, penelusuran terhadap literatur-literatur
tersebut diambil atau didapat dari sumber data primer,
data sekunder dan data tersier.
a. Sumber Data Primer, adalah merupakan sumber
data38 atau merupakan bahan-bahan yang mengikat
dalam pembahasan ini yang harus ditelaah yakni
kitab, buku atau literatur asli dalam hal ini adalah
al-Qur‟an, hadis, kitab atau buku tentang empat
mazhab dan astronomi yang membahas tentang
penentuan awal bulan Hijriah khususnya yang
menjelaskan tentang mathla‟.
b. Sumber Data Sekunder, adalah merupakan bahan-
bahan yang menjelaskan sumber data primer yaitu
seperti hasil penelitian, pendapat para pakar yang
mendukung tema pembahasan atau hasil dari
36
Cholid Narbuko dkk, Metodelogi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta,
2007, hlm. 45 37
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 75 38
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 121
28
karya ilmiah.39 Dalam hal ini adalah data
pendukung seperti pendapat para ulama serta
referensi pendukung lainnya yang membahas
tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan
Hijriah.
c. Sumber Data Tersier, adalah merupakan sumber
data yang menjelaskan sumber data primer dan
sekunder, seperti kamus, ensiklopedia bibliografi
dan indeks dan dalam hal ini adalah kamus
hukum, ensiklopedi hukum dan beberapa jurnal
hukum yang memiliki hubungan emosi atau
substansi.
4. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah melakukan analisis
terhadap data dengan metode dan cara-cara tertentu
yang berlaku dalam penelitian.40 Pengolahan data
umumnya dilakukan dengan cara:
a. Editing Data: pemeriksaan kembali semua data
yang diperoleh terutama dari kelengkapannya,
kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya
dengan data lain.
b. Klasifikasi Data: mereduksi data yang ada dengan
cara menyusun dan mengklasifikasi data yang
diperoleh kedalam pola tertentu atas permasalahan
tertentu untuk mempermudah pembahasan.
c. Ferifikasi Data: mengelompokkan data dan
memahami maksud dari sumber-sumber data yang
diperoleh.
d. Sistematisasi Data: menempatkan data menurut
kerangka sistematika bahasa berdasarkan urutan
masalah.
39
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistic Kualitatif, Tarsito,
Bandung, 1998, hlm. 26 40
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, CV. Pustaka Setia,
Bandung, 2008, hlm. 199
29
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan cara untuk menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.41
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif
dengan menggunakan metode deduktif yaitu analisis
yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum
untuk mendapatkan kesimpulan khusus, dalam hal ini
adalah merupakan al-Qur‟an, hadis, kitab-kitab atau
buku-buku serta literatur penentuan awal bulan Hijriah
yang bersifat umum mengambil kesimpulan yang
bersifat khusus.
41
Lexi. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2002, hlm. 190
30
BAB II
PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Bulan Hijriah
Kalender atau penanggalan adalah sistem
pengorganisasian satuan waktu untuk tujuan penandaan serta
perhitungan waktu dalam jangka panjang.42
Kalender
berkaitan erat dengan peradaban manusia, karena berperan
penting dalam penentuan waktu. Seperti berburu, bertani,
bermigrasi, peribadatan, dan perayaan-perayaan. Suatu
kegiatan sering kita catat dan kita dokumentasikan dengan
menunjuk hari, tanggal dan tahun tertentu yang kebanyakan
rangkaian kegiatan tersebut kita menggunakan sistem
kalender Masehi tanpa mengaitkannya dengan kalender yang
berlaku bagi umat Islam, padahal Islam memiliki kalender
sendiri yang dikenal dengan kalender Hijriah.
Bulan Hijriah atau disebut juga bulan Kamariah yaitu
sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan
mengelilingi bumi yang dikenal dengan metode qamariyah
atau lunar system, atau dikenal juga dengan tahun Candra.43
Masyarakat Arab Jahiliah sudah menggunakan sistem
penanggalan yang mengacu kepada pergerakan Bulan ini.
Namun, mereka belum mempunyai pangkal perhitungan
tahun yang tetap. Maka untuk mengingat suatu kejadian
mereka memakai suatu peristiwa penting yang masyhur
sebagai pangkal hitungan tahun. Misalnya tahun Gajah
karena adanya peristiwa penyerbuan raja Abrahah ke Mekah
dengan mengendarai Gajah.44
42
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cetakan Kedua, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 115 43
Rohmat, “Eksistensi Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Lampung
dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah” Jurnal Al-Adalah, Vol. 5, No. 2,
edisi Desember 2006, hlm. 676 44
Arfan Muhammad, Pedoman Ilmu Falak (hisab urfi, hakiki dan
kontemporer serta tehnik rukyat dengan teknologi), Bahan Kuliah Ilmu Falak
pada Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo,
Prodi Syari‟ah STAIN Jember dan Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam
31
Sistem penanggalan yang mengacu kepada pergerakan
Bulan atau disebut juga kalender Hijriah ini sebenarnya
sudah digunakan oleh bangsa Arab di zaman pra-Islam, dan
juga oleh kelompok-kelompok tertentu dari bangsa Yahudi,
begitu pula di India dan Cina, akan tetapi dalam bentuk
lain.45
Pada zaman sebelum Rasulullah saw, bangsa Arab tidak
murni menggunakan kalender Hijriah. Akan tetapi setiap
tiga tahun menambahkan satu bulan tambahan untuk
menyesuaikan dengan musim. Sistem kalender campuran itu
biasa disebut dengan sistem qamari syamsiah (luni solar
calendar) yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan
matahari.46
Namun, setelah kerasulan Nabi Muhammad saw,
turunlah perintah Allah untuk menghapus sistem campuran
tersebut dan menggantikannya dengan sistem Kamariah
murni (kalender lunar yang murni). Hal ini tercantum dalam
al-Qur‟an Surat at-Taubah ayat 36-37: 47
Ibrahimy Sukorejo Situbondo, Untuk Kalangan Mahasiswa Sendiri, 2006,
hlm.16 45
Muhammad Jamaluddin el-Fandy, On Cosmic Verses In The Quran,
Alih Bahasa, Abdul Bar Salim, Al-Quran Tentang Alam Semesta, Cetakan
Keenam, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 106 46
Rohmat, Imkan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan
Qamariyah/Hijriyah (analisis ushul fiqh dan astronomi), Cetakan Pertama,
Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2014, hlm. 19-20 47
Ibid., hlm. 20
32
(36-37 :الت وبة )Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, Maka janganlah kamu
Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa. (36)
Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram
itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-
orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu,
mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar
mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan
yang Allah mengharamkannya, Maka mereka
menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
(syaitan) menjadikan mereka memandang
perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir.(37)”. 48
(Q.S. at-Taubah Ayat 36-37).
Berdasarkan ayat di atas, Allah telah menetapkan bahwa
peredaran Bumi mengitari Matahari mempunyai batasan
48 Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya),
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 157
33
waktu dalam satu tahunnya yakni dua belas kali lunasi
(datangnya hilal), yang mana satu tahun Syamsiah adalah
365, 2422 hari, sedangkan satu tahun Hijriah adalah 354
hari, karena satu bulan dalam tahun Hijriah adalah 29, 5306
hari. jadi satu tahun Hijriah sebelas hari lebih pendek dari
pada tahun Syamsiah.49
Ayat di atas juga menjelaskan untuk memakai kalender
lunar yang murni dengan menghilangkan bulan nasi‟.50
Yakni bulan tambahan yang mana penambahan bulan itu
untuk menyesuaikan dengan musim. Dalam prakteknya,
annasi‟ (mengulur atau menambah bulan) biasa dilakukan
dengan menambah satu bulan tambahan setiap tiga tahun
untuk menggenapkan selisih hari antara tahun Syamsiah dan
Hijriah yang sebelas hari.51
Setelah wafatnya Rasulullah saw, kalender Hijriah
kemudian mulai di berlakukan pada masa pemerintahan
Umar bin Khattab. Dua tahun setelah Umar bin Khattab
memerintah, beliau menemukan sebuah dokumentasi yang
tertulis bulan Syakban dengan tanpa menyebutkan tahunnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, bulan Syakban yang
mana?.52
Berdasarkan permasalahan ini, muncullah gagasan
khalifah untuk menentukan sistem kalender Islam. Setelah
bermusyawarah, maka ditetapkanlah bahwa kalender Islam
itu dimulai dari tahun hijrahnya Nabi Muhammad saw.
bersama sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Penetapan
tersebut atas dasar pertimbangan bahwasannya di Madinah
Islam mulai nampak keberadaannya, dan mulai terbentuk
49
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 21 50
Rohmat, Ilmu Falak II (Penentuan Awal Bulan Qamariyah dan
Syamsiyah), Seksi Penerbitan Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung,
Bandar Lampung, 2014, hlm. 102 51
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 22 52
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Penentuan Awal Bulan
Qamariyah antara Mazhab Hisab dan Rukyat dan Upaya Penyatuannya,
Cetakan Pertama, Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung, Bandar
Lampung, 2015, hlm. 13-14
34
pemerintahan yang islami. Sistem penanggalan yang
ditetapkan oleh khalifah Umar ini yang kemudian di kenal
dengan istilah kalender Hijriah.53
Adapun nama-nama bulan pada Kalender Hijriah yaitu:
Muharam, Safar, Rabiul Awal, Rabiul akhir, Jumadil awal,
Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal,
Zulkaidah, dan Zulhijah.
Lamanya satu bulan Hijriah didasarkan pada waktu yang
berselang antara dua ijtimak, yaitu rata-rata 29 hari 12 jam
44 menit 2,8 detik. Ukuran waktu tersebut disebut satu
periode bulan sinodis/the synodic month/ syahr al-iqtironi.
Satu periode bulan sinodis ini bukanlah waktu yang
diperlukan oleh bulan yang mengelilingi bumi atau satu kali
putaran penuh, melainkan waktu yang berselang antara dua
posisi sama yang dibuat oleh Bumi, Bulan dan Matahari.
Waktu tersebut lebih panjang dari waktu yang diperlukan
oleh Bulan dalam mengelilingi Bumi sekali putaran penuh.54
Waktu yang diperlukan oleh Bulan dalam mengelilingi Bumi
satu kali putaran penuh disebut satu periode bulan sideris/
the siderical month/ syahr an-nujumi yaitu memakan waktu
selama 27 hari 7 jam 43 menit 11,6 detik.55
Ketentuan syara‟ ataupun dasar hukum tentang bulan
Hijriah telah dijelaskan dalam nash al-Qur‟an dan juga
hadis. Adapun ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan bulan
Hijriah yaitu:
(189 :البقرة)
53
Ibid. 54
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 16-17 55
Ibid.
35
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: bulan sabit adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadah)haji. Dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintunya, dan bertaqwalah
kepada Allah agar kamu beruntung.”56
(al-Baqarah
: 189)
( 5 :يونس ) Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinardan
bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-
manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.”57
(Yunus : 5)
Berdasarkan ayat di atas bahwasannya Allah swt.
menciptakan siang dan malam dan juga mengatur
pergantiannya secara teliti sebagai tanda atas kekuasaan-
Nya, dan pengertian itu berguna bagi manusia untuk
kehidupan mereka sehari-hari.58
Juga dengan silih
bergantinya siang dan malam, manusia dapat mengetahui
56 Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya),
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29 57
Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya),
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 208 58
Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Al-Quran dan Tafsirnya,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1991, hlm. 538
36
dan menghitung bilangan hari-hari, bulan dan tahun dan
dapat pula menentukan waktu beribadah dan hubungan
muamalah.59
بمت) (36: التوطArtinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, Maka janganlah kamu
Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa.” 60
(At-
Taubah:36)
Berdasarkan ayat di atas maksudnya ialah sesungguhnya
bilangan bulan itu ada 12 bulan di dalam ketetapan Allah,
akibat pengaturan peredaran bulan dan penentuan orbit-
orbitnya, sejak Dia menciptakan langit dan bumi menurut
tatanan yang kita ketahui, seperti adanya malam dan siang
hingga sekarang, dan menjelaskan tentang bulan-bulan
haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab),
59
Ibnu Katsir, Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir, Alih Bahasa, Salim
Bahreisy Dan Said Bahreisy, jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 16 60 Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya),
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 157
37
maksudnya bulan haram yaitu pada bulan-bulan ini
diharamkan untuk mengadakan peperangan.61
Ketentuan syara‟ ataupun dasar hukum tentang bulan
Hijriah dijelaskan juga dalam nash hadis Rasulullah saw.
adapun hadis yang berkaitan dengan bulan Hijriah
diantaranya yaitu:
هما أن رسول اهلل صلى حديث عبد اللو بن عمر رضي اهلل عن التصومواحت ت روا ال ل وال : اهلل عليو وسلم كر رم ان ف قال
62(رواه البخاري )ت فطرواحت ت روه فإن غم عليكم فاقدروالو Artinya: “Hadis „Abdullah bin „Umar r.a. bahwasannya
Rasulullah saw, menyebut Ramadan, kemudian
beliau bersabda:”Janganlah kamu berpuasa
sehingga kamu melihat hilal (bulan sabit), dan
janganlah kamu berhari raya sehingga kamu
melihatnya, apabila tertutup oleh mendung maka
perkirakanlah.”63
(H.R. Bukhari)
عن اب ىري رة رضي اهلل عنو ي قول قال النب صلى اهلل عليو وسلم ة شعبان صوموا لرؤيتو وافطروا لرؤيتو فإن غبي عليكم فأكملوا عد
64 (رواه البخاري ) Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw.
bersabda: Berpuasalah bila kalian melihat bulan,
dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun
61
Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Alih Bahasa, Hery Noer
Ali Dkk., Terjemah Tafsir al-Maraghi, Cetakan Pertama, Penerbit Toha
Putera, Semarang, 1987, hlm. 192-193 62
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub
Al- Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 345. Hadits No 1906, Bab Puasa 63
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan, Alih Bahasa,
Muslich Shabir, Terjemah Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan Koleksi Hadits yang
Disepakati oleh Al-Bukhori dan Muslim, Jilid 2, Al-Ridha, Semarang, 1993,
hlm. 1-2 64
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit., hlm 346. Hadits No 1909,
Bab Puasa
38
bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan),
maka sempernukanlah hitungan bulan Syakban itu
menjadi tiga puluh hari.”65
(H.R. Bukhari).
Berdasarkan hadis di atas inilah yang menjadi pangkal
persoalan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Di mana
berpangkal pada zahir hadis tersebut, para ulama berbeda
pendapat dalam memahaminya sehingga melahirkan
perbedaan pendapat.66
Secara umum hadis di atas ini menunjukkan bahwa siapa
saja yang telah melihat bulan (hilal), maka kaum muslimin
wajib mengikuti rukyat tersebut, karena lafaz (kamu) dalam
hadis itu bisa diartikan dengan seluruh umat Islam yang akan
berpuasa. Namun menurut para ahli Fiqh hadis ini lebih
menunjukkan geografi orang yang melakukan rukyat, bukan
untuk seluruh umat Islam. Namun demikian, jumhur ulama
menyatakan bahwa apabila beberapa daerah dipimpin oleh
satu kepala negara, sekalipun berjauhan, maka apabila
kepala negara telah mengumumkan dimulainya puasa
dengan rukyat yang telah dilakukan di suatu daerah
kekuasaannya maka seluruh umat Islam di negara tersebut
wajib mengikuti pengumuman atau ketetapan pemerintah
tersebut.67
B. Metode dan Sistem Penentuan Awal Bulan Hijriah
1. Perbedaan Metode Penentuan Awal Bulan Hijriah
Penentuan awal bulan Hijriah adalah suatu hal yang
sangat penting dan sangat diperlukan ketepatannya bagi
umat Islam, sebab pelaksanaan ibadah dalam ajaran
Islam banyak yang dikaitkan dengan metode
penanggalan ini. Sejak zaman Rasulullah saw. dalam
65
Safuan Alfandi, Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang
Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162 66
Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Pustaka Rizki Putra,
Semarang, 2012, hlm. 91-92 67
Susiknan Azhari, 2008, Op.Cit., hlm. 141
39
perjalanannya hingga sekarang, umat Islam telah
melakukan kegiatan untuk menentukan awal bulan
Hijriah. Kegiatan penentuan awal bulan Hijriah ini telah
mengalami berbagai perkembangan, baik yang
menyangkut metode maupun yang lainnya.
Perkembangan ini terjadi disebabkan adanya perbedaan
penafsiran dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an dan
hadis Nabi. Di samping itu, juga disebabkan kemajuan
ilmu pengetahuan, khususnya yang ada hubungannya
dengan penentuan awal bulan Hijriah.68
Adapun metode dalam menetapkan awal bulan
Hijriah pada garis besarnya terbagi menjadi dua macam
metode, pertama metode rukyat, kedua metode hisab.69
\
a. Metode Rukyat
Rukyat adalah bentuk masdar dari lafaz bahasa
Arab yang asal kata kerjanya adalah ي رى- رأى yang
artinya melihat. 70
Yang maknanya berarti النظر بالع أو .”melihat dengan mata atau dengan akal“ بالعق
Namun, pengertian rukyat dengan makna tersebut
jarang sekali digunakan, kata rukyat merupakan
istilah yang dipakai oleh para ahli Fiqh atau
masyarakat luas untuk pengertian bulan baru (hilal)
yang ada hubungannya dengan awal bulan Hijriah.71
Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di
ufuk72
barat sesaat setelah Matahari terbenam,
68
Departemen Agama RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Editor,
Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim, Proyek Peningkatan Kerukunan
Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang
Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI. Jakarta, 2004, hlm.
23 69
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm.44 70
Ahmad Warson Munawwir, Op.Cit., hlm. 460 71
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 112 72
Ufuk atau horizon secara praktis merupakan garis batas pandangan
manusia. Jadi jika manusia berada ditempat ketika pandangannya bisa
mengarah bebas tanpa ada yang menghalangi, maka garis terjauh yang bisa
40
tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan
bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra
bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan
Bulan yang mengarah ke Matahari. 73
Penegasan ini
memang diperlukan sebab terkadang kita melihat di
ufuk timur sebelum matahari terbit, rupanya seperti
hilal, tetapi ini bukan hilal melainkan bulan usia hari
terakhir, sebelum terjadi ijtimak.74
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa rukyat
merupakan suatu kegiatan atau usaha untuk melihat
hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat
sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal
bulan baru khususnya menjelang bulan Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah untuk menetapkan kapan awal
bulan dimulai.75
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
rukyatul hilal merupakan pengawasan dengan mata
terhadap adanya hilal pada akhir bulan Hijriah guna
menentukan hari apakah jatuhnya tanggal satu bulan
yang baru.76
dilihat merupakan garis ufuk. Untuk memperoleh pandangan secara lepas,
sebaiknya seseorang pengamat memilih lokasi di pinggir laut tanpa pulau
atau gunung yang menghalangi pemandangannya. Semakin tinggi posisi
seseorang, maka semakin luas pandangan yang tercakup, dan semakin jauh
serta semakin rendah garis ufuk yang terlihat. Untuk itu, tempat yang paling
ideal untuk melakukan pengamatan hilal adalah tempat yang tinggi, di
pinggir laut lepas. Lihat Farid Ruskanda, 100 masalah hisab dan rukyat,
(telaah syari‟ah, sains dan teknologi),Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm.
22-23 73
Jayusman, Ilmu Falak II: Fiqh Hisab Rukyah Penentuan Awal Bulan
Kamariah, Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung,
2016, hlm. 26 74
Panitia seminar nasional sehari penetuan awal bulan qamariyah antara
hisab dan rukyat, Op.Cit., hlm. 8 75
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm 42 76
Suyuthi Ali, Ilmu Falak I, Jilid I, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997, hlm. 105
41
Al-Qur‟an juga menjelaskan tentang penciptaan
dan hikmah ahillah (jamak dari hilal). Yakni dalam
al-Quran surat al-Baqarah ayat 189:
(189 :البقرة) Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan
sabit. Katakanlah: “Bulan sabit adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi
ibadah) haji. Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintunya, dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.77
(al-Baqarah : 189)
Berdasarkan ayat di atas bahwasannya
mengungkapkan mengenai pertanyaan para Sahabat
kepada Nabi tentang penciptaan ahillah. Atas
perintah Allah swt, kemudian Rasulullah menjawab
bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi
ibadah dan aktifitas manusia termasuk haji.
Pertanyaan ini muncul karena hilal telah tampak oleh
para Sahabat.78
Apabila sesaat setelah Matahari terbenam hilal
dapat dilihat maka, sejak Matahari terbenam sore itu
sudah terjadi pergantian bulan Hijriah. Bila
77
Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan Terjemahnya),
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29 78
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm 43.
42
terlihatnya itu setelah Matahari terbenam pada hari
ke-29 bulan Ramadan misalnya, maka sejak Matahari
terbenam hari itu dinyatakan sudah tanggal satu
bulan Syawal.79
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para
mujtahid mengenai batas awal dan akhir bulan
Hijriah apabila hilal tidak dapat atau tidak berhasil
dilihat. Menurut Ibnu Umar, apabila hilal tidak
berhasil dilihat di awal Ramadan, maka hari itu
disebut yaumul syak (hari yang meragukan) dan
Ramadan harus jatuh pada hari berikutnya. Menurut
Ibnu Suraij dari Syafi‟i, apabila hilal tidak terlihat
boleh dengan itsbat (ditetapkan). Sedangkan menurut
jumhur ulama apabila hilal tidak berhasil dilihat
maka disempurnakan sampai 30 hari
(diistikmalkan)80
Penentuan awal bulan Hijriah berdasarkan pada
keberhasilan rukyatul hilal harus memenuhi syarat-
syarat tertentu. Terdapat perbedaan dikalangan ulama
tentang persyaratan tersebut. Hanafiah mensyaratkan
penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal yaitu
dengan hasil rukyatul hilal satu kelompok besar jika
kondisi cuaca atau langit cerah. Dan memadai
kesaksian seorang yang adil pada kondisi berawan,
berkabut dan sejenisnya. Adapun Malikiah
mensyaratkan keberhasilan rukyat dari dua atau lebih
orang yang adil. Dan mencukupi kesaksian satu
orang yang adil pada kondisi hilal tidak terdapat
keraguan untuk dapat terlihat. Memadai keberhasilan
rukyat seorang yang adil menurut Syafi‟iah dan
Hanabilah, walaupun pada kondisi terdapat
penghalang menurut Syafi‟iah. Namun tidak
79
Panitia Seminar Nasional Sehari Penetuan Awal Bulan Qamariyah
Antara Hisab dan Rukyat, Op.Cit., hlm 8-9 80
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Alih
Bahasa, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Analisa Fiqih Para
Mujtahid, Cetakan Pertama, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm. 637
43
memadai dalam kondisi tersebut menurut Hanabilah.
Menurut kalangan Hanabilah dan Malikiah
mensyaratkan keberhasilan rukyat dua orang yang
adil pada rukyat awal Syawal untuk penentuan Idul
Fitri. Dan diterimanya kesaksian rukyat perempuan
menurut Hanafiah dan Hanabilah sedangkan menurut
Malikiah dan Syafi‟iah tidak dapat diterima. 81
Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai metode
penentuan awal bulan Hijriah di Nusantara diyakini
sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk ke
kepulauan Nusantara. Sebelum umat Islam
melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan hari raya
Idul Fitri, setiap tanggal 29 Syakban dan 29
Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit-
bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama
menyaksikan hilal di ufuk barat saat Matahari
terbenam. Jika hilal berhasil dirukyat, maka malam
itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru.
Namun bila hilal tidak berhasil dirukyat, maka
malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal
30 bulan yang sedang berlangsung (diistikmalkan).
Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara, pelaksanaan rukyat selain dilaksanakan
oleh umat Islam, juga ada yang dikoordinir oleh
pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang
bersangkutan.82
Ditinjau dari sarana prasarana yang digunakan
dalam melaksanakan rukyatul hilal, semula
pelaksanaannya hanya dilakukan dengan mata
telanjang, tanpa menggunakan alat bantu apapun.
Setelah kebudayaan manusia makin maju, maka
pelaksanaan rukyatpun secara berangsur-angsur
menggunakan sarana prasarana yang menunjang.
81
Wahbah Al-Zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu, Alih Bahasa,
Masdar Helmy, Fiqih Shaum, I‟tikaf Dan Haji, Cetakan Pertama, CV.
Pustaka Media Utama, Bandung, 2006. Hlm. 31-37 82
Jayusman, Op.Cit., hlm. 138-139
44
Sarana prasarana rukyat terus berkembang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.83
Pada awalnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal
orang hanya melihat atau mengarahkan
pandangannya ke ufuk Barat. Dengan pengertian
bahwa mengarahkan pandangannya ke ufuk Barat
yang sedemikian luas. Hal ini sebagai akibat tidak
atau kurang pengetahuan mereka dalam ilmu Falak
atau astronomi. Setelah kedua ilmu tersebut mulai
dikuasai dengan baik, pelaksanaan rukyatpun
menjadi lebih baik dan terarah. Mereka yang
melaksanakan rukyat selain dapat menfokuskan
pandangan mereka ke posisi yang diduga tempat hilal
berada, tapi mereka juga dapat memantau pergerakan
hilal. Jika hilal berhasil dirukyat, maka gambarnya
dapat didokumentasikan. Posisi dan waktunyapun
dapat diperhitungkan dengan sangat akurat.84
b. Metode Hisab
Hisab menurut bahasa berasal dari lafaz Arab
yaitu Hisaabun ( ح اا) yaitu bentuk masdar dari kata
kerja Hasiba ( ح) yang artinya hitungan, yang
apabila di hubungkan dengan suatu ilmu
pengetahuan, maka hisab adalah ilmu Hitungan.85
Hisab dalam bahasa Inggris dapat berarti calculation
yang artinya perhitungan atau kalkulasi, dapat juga
computation yang artinya perhitungan.86
Sementara
ilmu Hisab dalam bahasa Inggris berarti arithmetic
83
Ibid., hlm. 139-140 84
Ibid., hlm. 140 85
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, PP. Al-Munawwir,
Yogyakarta, 1997, hlm. 261. 86
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,
Cetakan XXX, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, hlm. 94 dan 134
45
yang artinya adalah ilmu Hitung.87
Sedangkan dalam
bahasa Indonesia hisab berarti hitungan, perhitungan
atau perkiraan.88
Adapun yang di maksud hisab
adalah menghitung perjalanan Matahari dan Bulan
pada bola langit. Dengan hisab orang dapat
mengetahui dan memperkirakan kapan awal dan
akhir bulan Hijriah.89
Dengan demikian. Dapat disimpulkan apabila
ilmu Hisab dihubungkan dengan penetapan awal
bulan Hijriah adalah merupakan suatu cara untuk
mengetahui atau menetapkan awal bulan Hijriah
dengan menggunakan perhitungan secara ilmu
Falak/astronomi atau ilmu pasti, sehingga dapat
ditentukan secara eksak (pasti) letak hilal.
Adapun hisab melandaskan pada firman Allah
swt. al-Qur‟an Surat Yunus ayat 5. Ayat tersebut
menyatakan bahwa tanda-tanda awal bulan yang
berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan
juga bisa dihitung (hisab) berdasarkan rumusan
keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat
sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat.
Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang
dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau
visibilitas hilal.90
Adapun menentukan awal bulan Hijriah dengan
hisab yaitu apabila cuaca buruk, terhalang mendung
atau berawan. Berdasarkan potongan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yaitu
“idza ghumma „alaikum faqduru lahu” yang
87
Ibid., hlm. 37 88
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka,
Cetakan Kedua, Jakarta, 1989, hlm. 310 89
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab Dan Rukyat, (Telaah Syari‟ah,
Sains dan Teknologi), Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 29 90
Thomas Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat,
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta, 2011, hlm. 5
46
maknanya “jika awan menghalangi kalian, maka
perkirakanlah ia”.91
Selanjutnya, dikalangan ahli Hisab terdapat pula
perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriah.
Diantaranya, terdapat pendapat yang menyatakan
bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh
terjadinya ijtimak. Sedangkan yang lain mendasarkan
pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Kelompok
yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika
ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka
sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru
sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak
mempermasalahkan hilal dapat dirukyat atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada
terjadinya ijtimak dan posisi hilal menetapkan jika
pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya
ijtimak dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk,
maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan
bulan baru dimulai.92
Kelompok yang menyatakan bahwa awal bulan
baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak
maupun kelompok yang menyatakan bahwa awal
bulan baru itu ditentukan pada terjadinya ijtimak dan
posisi hilal. Keduanya sama dalam penentuan awal
masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari
terbenam. Namun keduanya berbeda dalam
menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk.93
Di Indonesia masih ada kelompok yang belum
menerima hisab sebagai salah satu cara menentukan
awal bulan Hijriah. Alasan mereka adalah Rasulullah
saw, tidak pernah memerintahkan menentukan awal
bulan Hijriah dengan hisab dan tidak pula
91
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 35 92
Jayusman, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan
Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syari‟ah,
Vol. 11, No. 1, edisi April 2015, hlm. 18 93
Ibid
47
mengerjakannya. Namun sebagian besar umat Islam
di Indonesia sudah dapat menerima hisab sebagai
salah satu cara menentukan awal bulan Hijriah. Akan
tetapi, mereka masih berbeda pendapat mengenai
syarat menggunakan hisab tersebut.94
Secara garis besar terdapat dua jenis metode
hisab yang dipergunakan dalam menentukan awal
bulan Hijriah, yaitu hisab Urfi dan hisab Hakiki.95
1) Hisab Urfi
Hisab Urfi adalah metode perhitungan
kalender yang didasarkan pada peredaran rata-
rata bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan
secara konvensional.96
Hisab Urfi adalah
perhitungan awal bulan yang didasarkan kepada
rata-rata perjalanan Bulan mengelilingi Bumi
dalam satu tahun (12 bulan) 354 hari 8 jam 48,5
detik atau 354,3666666 hari dengan pembulatan
354 untuk tahun bashitah (pendek ) dan 355
untuk tahun kabisat (panjang). Perhitungan
secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan tetap
setiap bulannya. Jumlah hari pada urutan bulan
yang ganjil adalah 30 hari, sedang yang nomor
urut genap berjumlah 29 hari, kecuali pada tahun
kabisat, bulan Zulhijah berjumlah 30 hari.97
Hisab Urfi dipergunakan untuk menentukan
awal bulan Hijriah secara taksiran dalam rangka
memudahkan pencarian data peredaran Bulan dan
Matahari yang sebenarnya.98
Dalam perhitungan
secara Urfi bulan Ramadan sebagai bulan
kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur 30
94
Panitia Seminar Nasional Sehari Penetuan Awal Bulan Qamariyah
Antara Hisab dan Rukyat, Bunga Rampai Falakiah Penentuan Awal Bulan
Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat, Fakultas Syariah IAIN Raden Intan
Lampung, Bandar Lampung, 2006, hlm. 4 95
Ibid., hlm. 46 96
Susiknan Azhari, 2007, Op.Cit., hlm. 3 97
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Loc.Cit. 98
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm.46-47.
48
hari, padahal dalam kenyataannya tidak selalu
seperti itu.99
2) Hisab Hakiki
Hisab Hakiki adalah metode hisab yang
didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang
sebenarnya. Menurut metode ini umur tiap bulan
tidaklah tetap dan juga tidak beraturan,
melainkan tergantung posisi hilal setiap awal
bulan. Artinya bisa jadi dua bulan berturut-turut
umurnya 29 hari atau 30 hari. atau bahkan pula
bergantian seperti menurut perhitungan hisab
Urfi. 100
Pelaksanaan perhitungan hisab Hakiki
didasarkan kepada data perjalanan bulan dan
benda-benda langit yang sesungguhnya. Data
tersebut telah tersedia baik dalam buku-buku
klasik ataupun data almanak.101
Dari data tersebut
diolah secara matematik dengan bantuan ilmu
ukur bola dengan memberikan koreksi-koreksi
sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.102
Hisab Hakiki digunakan untuk keakuratan
waktu dalam penentuan awal bulan Hijriah,
khususnya terkait dengan bulan yang berkaitan
dengan ibadah bagi umat Islam seperti bulan
99
Jayusman, 2016, Op.Cit., hlm. 261 100
Susiknan Azhari, 2008. Op.Cit., hlm.78 101
Almanak atau ephemiris adalah data yang memuat keterangan-
keterangan yang telah diolah terlebih dahulu mengenai deklinasi dan
kekasipan matahari, bulan, planet dan bintang-bintang, begitu juga perata
waktu dan keterangan-keterangan lain. Beberapa Negara secara teratur
menerbitkan setiap tahun almanak semacam itu. Salah satu penerbitan yang
praktis dan berhubungan dengan bahasa yang dipergunakannya tidak
menimbulkan kesukaran yang terlalu besar bagi pemakai-pemakai di
Indonesia ialah The Nautical Almanac, disusun dengan kerja sama Royal
Greenwich Observatory (Inggris) dan United States Naval Observatory
(Amerika). Lihat M. Sayuthi Ali, Ilmu Falak 1, Cetakan Pertama, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997. hlm. 77-78 102
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 26
49
Ramadan, Syawal dan Zulhijah. Metode
perhitungan penentuan awal bulan Hijriah dengan
metode hisab Hakiki ini dinilai lebih sesuai
dengan yang dimaksud oleh syara‟, sebab dalam
prakteknya metode ini memperhitungkan kapan
hilal akan muncul, oleh sebab itu metode hisab
Hakiki lebih banyak diikuti.103
Hisab Hakiki mengalami perkembangan
seiring dengan berkembangnya ilmu dan
teknologi. Indonesia setidaknya ada tiga generasi
hisab Hakiki yang berkembang yaitu:104
a) Hisab Hakiki taqribi, yaitu hisab yang tingkat
akurasi perhitungannya rendah.105
Hisab ini
menggunakan data-data tradisional dan
berpangkal pada waktu ijtimak rata-rata.
Interval rata-rata menurut metode ini selama
29 hari 12 menit 44 detik. Metode dan
logaritma perhitungan waktu ijtimaknya
sudah benar, akan tetapi koreksinya terlalu
sederhana sehingga hasilnya kurang akurat.106
b) Hisab Hakiki tahqiqi, yaitu hisab yang tingkat
akurasi perhitungannya sedang.107
Metode
hisab ini menghitung posisi Matahari, Bulan
dan titik simpul orbit Bulan dengan orbit
Matahari dalam metode koordinat ekliptika,
kemudian menentukan kecepatan gerak
Matahari dan Bulan pada orbitnya masing-
masing.108
103
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 50 104
Wahyu widiana, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Proyek
Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan
Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen
Agama RI. Jakarta, 2004, hlm. 7 105
Jayusman, 2015, Op.Cit., hlm. 22 106
Susiknan, 2007, Op.Cit., hlm. 31 107
Jayusman, Loc.Cit. 108
Susiknan, 2007, Loc.Cit.
50
c) Hisab Hakiki tadqiqi, yaitu hisab yang tingkat
akurasi perhitungannya tinggi.109
Metode
hisab ini menggunakan hasil penelitian
terakhir dan menggunakan matematika yang
telah dikembangkan. Metodenya sama
dengan metode hisab Hakiki tahkiki, hanya
saja cara koreksinya lebih teliti dan kompleks
sesuai dengan sains dan teknologi sehingga
hasilnya lebih akurat.110
Mengenai persoalan tentang hisab dan rukyat,
Imam Taqiyyuddin as-Subki oleh Yusuf
Qardlawi dinyatakan sebagai ulama Syafi‟iah
yang telah mencapai derajat mujtahid
menuturkan:
“Apabila hisab menafikan kemungkinan
rukyat dengan mata, maka wajib bagi
hakim menolak kesaksian orang yang
mengaku menyaksikan, “ia lalu
berargumentasi ”karena hisab bersifat
eksak sedangkan penyaksian dan berita
bersifat dugaan. Dugaan tidak dapat
membentuk yang eksak, apalagi
mengalahkannya.”111
Dalam diskusi-diskusi tentang hisab dan
rukyat sering terlontar pernyataan bahwa rukyat
bersifat qath‟i (pasti), sedangkan hisab bersifat
dzanni (dugaan) atau sebaliknya, hisab bersifat
qath‟i sementara rukyat bersifat dzanni. Sifat
qath‟i atau dzanni berkaitan dengan proses
penetapan hukumnya. Dalam kaitan ini, lebih
berkaitan dengan ijtihad. Baik hisab maupun
rukyat semuanya adalah hasil ijtihad yang
109
Jayusman, Loc.Cit., 110
Susiknan, 2007, Loc.Cit., 111
Yusuf Qordlawi, Fiqh Puasa, Alih Bahasa, Ma‟ruf Abdul Jalil dkk.,
Era Intermedia, Solo, 2001, hlm. 49
51
hakikatnya bersifat dzanni, kebenaran hasil
ijtihad relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah
yang tahu. Tetapi orang yang berijtihad dan
orang-orang yang mengikutinya meyakini
kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan
dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang
diperoleh.112
Hisab dan rukyat merupakan hasil ijtihad
yang memungkinkan terjadinya keragaman
dalam menentukan awal bulan Hijriah. Baik
hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar
dan salah. Bulan dan Matahari yang dihisab dan
dirukyat masing-masing memang satu. Hukum
alam yang mengatur gerakannya juga satu. Akan
tetapi interpretasi manusia atas hasil hisab bisa
beragam. Lokasi dan keterbatasan rukyatul hilal
juga tidak mungkin disamakan.113
A. Mustadjib pakar ilmu Falak yang oleh
sebagian orang dinilai sebagai senior di
Indonesia, dinyatakan oleh Susiknan Azhari,
beliau menuturkan:
“Sebenarnya antara rukyat dan hisab
mempunyai keunggulannya dan
kelemahannya masing-masing. Rukyat
adalah metode yang paling tua, sebagai
metode ilmiah dan banyak manfaatnya,
sedangkan hisab sebagai metode yang
tepat dan akurat dalam menentukan awal
bulan jika tertutup mendung. Dua-duanya
bisa di pakai. Yaitu dihisab dulu
112
Thomas Djamaluddin, Hasil Hisab dan Rukyat Dapatkah
Dipadukan, Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat
Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama Dan
Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta, 2004, hlm. 238 113
Ibid., hlm. 240
52
kemudian dibuktikan dengan rukyat. Ini
pas sekali”.114
Pada prinsipnya hisab dan rukyat mempunyai
kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan
karena itulah cara sederhana yang diajarkan
Rasulullah saw. hisabpun dijamin eksistensinya,
karena Allah swt. Menjamin peredaran Bulan dan
Matahari dapat dihitung, sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur‟an surat Yunus ayat 5. Penentuan
awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul
hilal. Akan tetapi melalui penggunaan hisab yang
juga sederhana. Dengan menggunakan hisab
manusia dapat menghitung posisi Bulan dan
Matahari secara akurat, sehingga ketepatan
hitungan sampai pada satuan detik dapat
dicapai.115
2. Perbedaan Aliran Penentuan Awal Bulan Hijriah
Penentuan awal bulan Hijriah selain adanya
perbedaan metode, juga adanya perbedaan aliran dalam
penentuannya. Adapun berapa aliran yang berkembang
di masyarakat, di antaranya yaitu:
a. Aliran Hisab Urfi, yaitu aliran yang menyandarkan
siklus rata-rata Bulan mengitari Bumi. Setiap bulan
mempunyai jumlah hari yang tetap untuk bulan-
bulan ganjil dengan jumlah hari 30 hari dan bulan-
bulan genap dengan jumlah hari 29 hari kecuali
bulan Zulhijah.116
b. Aliran Rukyatul Hilal, yaitu aliran yang menyatakan
pergantian bulan berdasarkan terlihatnya hilal oleh
mata, baik dengan mata telanjang maupun dengan
bantuan alat seperti teleskop. Jika hilal berhasil
114
Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun
Kebersamaan di Tengah Perbedaan, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, hlm. 98 115
Ibid., hlm. 236 116
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 52
53
dirukyat, maka malam itu adalah malam tanggal satu
dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil
dirukyat, maka malam itu dan keesokan harinya
merupakan tanggal 30 bulan yang sedang
berlangsung (diistikmalkan).117
c. Aliran Wujudul Hilal, yaitu aliran yang menyatakan
bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah
terjadi ijtimak sebelum Matahari terbenam dan pada
saat terbenamnya Matahari hilal telah wujud di atas
ufuk. Aliran ini juga berpatokan pada posisi hilal
sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian hilal.
Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda
masuknya awal bulan.118
d. Aliran yang berpedoman kepada Ijtima‟ Qoblal
Ghurub, aliran ini menetapkan bahwa jika ijtimak
terjadi sebelum Matahari terbenam, maka malam
harinya sudah dianggap bulan baru, sedangkan jika
ijtimak terjadi setelah Matahari terbenam, maka
malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai
tanggal 30 bulan yang sedang berjalan. Aliran ini
sama sekali tidak mempersoalkan rukyat, juga tidak
memperhitungkan posisi hilal dari ufuk.119
e. Aliran yang berpedoman kepada Ijtima‟ Qoblal
Fajri, yaitu konsep bahwa hari dimulai sejak fajar.
Menurut aliran ini, apabila ijtimak terjadi sebelum
fajar dalam suatu negeri, maka sejak fajar itu adalah
awal bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah
117
Ibid., hlm. 53 118
Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan
Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari
lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak.
Inilah yang dikenal dengan wujudul hilal. Kata hilal pada kata wujudul hilal,
dengan demikian bukanlah hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan
dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni
bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau
lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh
Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur, pembatasnya adalah
ufuk. Jayusman, 2016, Op.Cit., hlm. 143-144 119
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 27
54
fajar, maka hari itu adalah hari ke-30 bulan yang
sedang berjalan, dan awal bulan baru bagi negeri
tersebut adalah sejak fajar berikutnya.120
f. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal diatas
ufuk hakiki, yaitu aliran yang menyatakan bahwa
masuknya tanggal satu bulan Hijriah posisi hilal
harus di ufuk hakiki.121
Aliran ini berpendapat bahwa
jika setelah terjadi ijtimak hilal sudah wujud di atas
ufuk hakiki pada saat tebenam Matahari, maka
malamnya sudah dinilai bulan baru, sebaliknya jika
pada saat terbenam Matahari hilal masih berada di
bawah ufuk hakiki, maka malam itu belum dinilai
sebagai bulan baru122
g. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal diatas
ufuk mar‟i, yaitu aliran yang operasional kerjanya
sama sebagaimana aliran yang berpedoman kepada
ufuk hakiki. Hanya saja aliran ini setelah diperoleh
nilai ketinggian hilal dan ufuk hakiki kemudian
ditambah koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian
itu.123
h. Imkanur Rukyat, yaitu aliran yang menetapkan awal
bulan dengan konsep hilal mungkin dilihat. Konsep
ini untuk memadukan perbedaan antara ahli hisab
dan ahli rukyat.124
Untuk itu maka harus ditentukan
batas ketinggian hilal yang mungkin dapat dilihat.
Batas ketinggian hilal yang mungkin dilihat para ahli
hisab berbeda pendapat, diantaranya ada yang
berpendapat tinggi hilal 12◦, 7◦, 6◦, 4◦, dan bahkan di
Indonesia menetapkan 2◦. 125
120
Ibid., hlm. 39 121
Ufuk hakiki adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan
tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau. Lihat. Rohmat, 2014, Op.Cit.,
hlm. 55 122
Ibid 123
Ibid., hlm. 56 124
Ibid. 125
Majelis Tarjih PP Muhammadiyyah, Penggunaan Hisab dalam
Penetapan Bulan Hijriyah, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat
55
C. Konsep Mathla’ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah
Permulaan awal bulan Hijriah sering menjadi persoalan
dan perselisihan di kalangan umat Islam yang tidak hanya
terjadi di negara kita, tetapi juga di kebanyakan negara Islam
lainnya. Adanya perbedaan pendapat mengenai kapan
tanggal satu bulan Hijriah, khususnya pada bulan Ramadan,
Syawal dan Zulhijah selain bersumber pada perbedaan
metode dan perbedaan sistem penentuannya, juga dapat
terjadi disebabkan adanya perbedaan mathla‟.
Mathla‟ ( مطل) secara bahasa ialah berasal dari lafaz
bahasa Arab yang berarti waktu atau tempat terbit, kata
kerjanya ( يطل - ل) yaitu terbit, muncul, keluar. 126
Kemudian
lafadz ( ل ) ini dapat dibentuk menjadi ( مطل) dengan huruf
lam yang di kasrah, dan ( مطل) dengan huruf lam yang di
fathah yang memiliki makna yang berbeda. Kata yang
pertama bermakna tempat terbit, sedangkan kata kedua
bermakna waktu terbit.127
Sementara itu dalam istilah falak,
mathla‟ ialah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya
hilal atau dengan kata lain mathla‟ adalah batas geografis
keberlakuan rukyat.128
Perbedaan pendapat mengenai mathla‟ ini dapat
mengakibatkan perdebatan dalam memulai puasa dan
berhari raya. Kasus seperti ini banyak terjadi jika di Saudi
Arabia telah dikabarkan berhasil melakukan rukyat. Maka di
Indonesia akan terpengaruh dengan informasi hasil rukyat
tersebut.129
Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI. Jakarta, 2004 hlm. 27 126
Ahmad Warson Munawwir, Op.Cit., hlm. 921 127
Armen Halim Naro, 2014, “Konsep Rukyat dan Mathla‟ dalam
Pandangan Fiqh”,
https://googleweblight.com/?lite_url=https://lovelyjoonote.wordpress.com.
Diakses Sabtu, 15 Oktober 2016 Pukul 11:30 WIB. 128
Susiknan Azhari, 2008, Op.Cit., hlm. 139 129
Susiknan, 2007, Op.Cit., hlm. 10
56
Secara garis besar perbedaan mathla‟ dalam penetapan
awal bulan Hijriah disebabkan karena ada yang berpedoman
pada mathla‟ approach global, mathla‟ approach parsial,
dan ada yang berpedoman pada mathla‟ wilayatul hukmi.
Mathla‟ approach global merupakan batas geografis
keberlakuan rukyat dengan menggunakan pendekatan
filosofis yang menyatakan bahwa tanggal satu bulan
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah harus jatuh pada hari yang
sama untuk seluruh penduduk bumi, sebagai salah satu
lambang kesatuan umat Islam sedunia. Maksudnya bila ada
orang yang berhasil melihat hilal, di wilayah manapun dia
melihatnya, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk seluruh
penduduk bumi.130
Pemahaman mengenai mathla‟ approach global yaitu
dengan argumentasi bahwa hadis tentang hisab rukyat
bahwasannya lafadz صوموا لرؤيتو وافطروا لرؤيتو ”berpuasalah kamu
karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat
hilal”. Khitab (sasaran) yang dituju adalah seluruh umat
Muslim, maka apabila salah seorang mereka menyaksikan
hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi semua
umat Muslim di muka Bumi.131
Tidak dibedakan oleh
perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan.132
Dasarnya, karena hadis Nabi ini tidak memberikan batasan
keberlakuan rukyatul hilal itu. Jadi, mestinya berlaku untuk
seluruh dunia.133
Salah seorang penggagas konsep mathla‟ approach
global atau sering disebut dengan istilah mathla‟ global ialah
Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. Kajiannya tentang mathla‟
global terlihat bahwa beliau adalah seorang yang cinta pada
persatuan. Beliau melihat perbedaan ijtihad tentang masalah
mathla‟ ini telah menjadi penyebab kaum muslimin
130
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 56-58. 131
Sayyid sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Fikih
Sunnah, Cetakan Pertama, Jilid 3, Al-Ma‟arif, Bandung, 1978, hlm 172 132
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2007, hlm. 86 133
Thomas Djamaluddin, Op.Cit., hlm. 244
57
terpecah-pecah. Perbedaan mathla‟ bagi beliau lebih banyak
disebabkan karena sengketa politik.134
Kajian Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. tentang mathla‟
global terlihat bahwa dalam hadis-hadis tentang memulai
puasa, beliau menafsirkan lafaz التصوموا dan الت فطروا khitabnya
ditujukan kepada kaum Muslim secara keseluruhan.
Permulaan dan berakhirnya puasa didasarkan pada
kenampakan hilal pada salah satu tempat di muka Bumi.135
Sedangkan mathla‟ approach parsial merupakan batas
geografis keberlakuan rukyat dengan menggunakan
pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa kesatuan umat
Islam bukan hanya berdasarkan sama di dalam menetapkan
awal bulan Hijriah untuk seluruh permukaan planet bumi,
melainkan bisa diwujudkan dengan adanya rasa saling
menghargai di antara umat Islam. Maksudnya bila ada orang
yang berhasil melihat hilal pada suatu wilayah, maka hasil
rukyatnya itu hanya berlaku untuk wilayah ditetapkannya
rukyat hilal dan juga wilayah yang berdekatan. 136
Pemahaman mengenai mathla‟ approach parsial yaitu
dengan mendasarkan argumentasinya pada hadis yang
diriwayatkan oleh Kuraib:137
حد نا ممد بن : حد نا إ اعي بن عفر : حد نا علي بن ح ر أن أم الف بنت الارث ب عثتو إل : أ ب ر كري : أب حرملة
واسته . ف ق يت حا ت ها. ف قدمت اللام : قال . معاوية باللام لة اامعة . علي ى ل رم ان وأنا باللام ث قدمت . ف رأي نا ال ل لي
134
Susiknan Azhari, 2008, Op.Cit., hlm. 75-76 135
Mukhlis Makruf, Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqi dalam Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan, Skripsi Fakultas
Syari‟ah dan Ekonomi Islam Universitas IslamNegeri Walisongo, Semarang,
2013, Diakses dari http://www.distrodoc.com/thesis/Hasbi+ash+Shiddieqi,
Pada tanggal 19 Maret 2017. Pukul 08:07 WIB 136
Ibid 137
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990, hlm.
307
58
: ف قال . ث كر ال ل . ف أل ابن عباا . المدي نة أ ر اللهر لة اامعة لة : ف قال . مت رأي تم ال ل ف قلت رأي ناه لي أنت رأي تو لي
لكن رأي نو : قال . وصام معاوية . اامعة ف قلت رأه الناا وصاموالة ال بت ف قلت . ف ن ال نصوم حت نكم ي وما أون راه . لي
ىكذا أمرنا رسول اهلل . ال : أال تكتفي برؤية معاوية وصيامو قال (رواه م لم) 138.صلى اهلل عليو وسلم
Artinya: “ Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Ismail
bin Ja‟far memberitahukan kepada kami,
Muhammad bin Abu Harmalah memeberitahukan
kepada kami, Kuraib memberitahukan kepadaku:
“ Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutusnya
(untuk menghadap) Mu‟awiyah di Syam. Ia
berkata, “Aku sampai ke Syam, lantas
menyelesaikan urusanku dan aku melihat hilal
(bulan sabit) bulan Ramadhan telah terbit,
sedangkan aku berada di Syam. Kami melihat
bulan itu pada malam Jum‟at. Aku sampai di
Madinah pada akhir bulan Ramadhan dan Ibnu
Abbas bertanya kepadaku, kemudian ia
menyebutkan hilal tersebut, ia bertanya, „kapan
kamu melihat bulan itu?‟ Aku menjawab,‟Kami
melihatnya pada malam Jum‟at.‟ Ia bertanya lagi,
„Apakah kamu melihatnya pada malam Jum‟at?‟
Aku katakana,‟Orang-orang melihatnya,
kemudian mereka berpuasa dan Mu‟awiyah juga
berpuasa‟. Kemudian ia berkata,‟Tetapi kamu
melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih
berpuasa hingga menyempurnakan tiga puluh hari
atau (sampai) kami melihatnya‟. Aku lalu
berkata.‟Apakah tidak cukup dengan melihat
138
Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II, Maktabah
Dahlan, Indonesia, hlm. 765, Hadits No 1087, Bab Puasa
59
Mu‟awiyah dan puasanya?‟ Ia menjawab, „Tidak,
Rasulullah saw. memerintahkan kami
demikian‟.”139
(H.R. Muslim)
Imam Tirmidzi berpendapat bahwa hadis ini termasuk
hadis hasan shahih gharib, dan hadis ini diamalkan menurut
pendapat ahli Ilmu bahwasannya untuk setiap wilayah
berlaku rukyat masing-masing. Dan dalam kitab Fathul
„Alam, syarah Bulughul Maram menjelaskan bahwa
keharusan mengikuti rukyat bagi wilayah yang lebih dekat
dengan wilayah berhasilnya rukyat, berikut wilayah lain
yang berada dalam satu garis bujur dengan wilayah itu. 140
Tidak pernah terjadi bahwa seluruh permukaan Bumi ini
berada pada hari yang sama. Bila di kota Mekah (39◦ 50‟
Bujur Timur) sekarang pukul 16.00. sore kamis sore
misalnya, maka di suatu tempat yang terletak pada 129◦ 50‟
Bujur Timur sekarang pukul 21.00 malam Jum‟at menurut
kalender Hijriyah disebut sudah hari jum‟at. Jadi di kota
Mekah yang terletak pada 39◦ 50‟ Bujur Timur masih hari
kamis sedangkan di tempat yang terletak pada 129◦ 50‟
Bujur Timur sudah hari jum‟at.141
Berdasarkan kejadian di atas, pendukung mathla‟
approach parsial berpendapat bahwa tanggal awal bulan
Hijriah tidak harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh
permukaan planet bumi. Berdasarkan pertimbangan ini
muncullah pikiran mathla‟ lokal.Yaitu, apabila hilal berhasil
di rukyat pada suatu kota pada saat Matahari terbenam maka
sejak Matahari terbenam hari itu sudah dinyatakan tanggal
satu bulan baru bagi penduduk kota tersebut dan juga
wilayah yang berdekatan. 142
139
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi,
Penerjemah, Ahmad Yuswaji, Shahih Sunan Tirmidzi (Seleksi Hadits Shahih
dari Kitab Sunan Tirmidzi), Cetakan Pertama, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005,
hlm. 556-557 140
Sayyid Sabiq, 1990, Op.Cit., hlm. 307 141
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 58 142
Ibid., hlm. 59
60
Pendapat mathla‟ lokal ini dipandang bersifat ilmiah
karena sejalan dengan ilmu astronomi. Akan tetapi bila
diterapkan secara konsekwen akan menimbulkan banyak
masalah. Misalnya sebuah kota terbelah dua, bagian sebelah
Barat sudah berhari raya sedangkan sebelah Timur belum.
Dalam menetapkan garis zone time atau waktu daerah, garis
itu dibelok-belokkan sehingga tidak membelah sebuah kota,
untuk menghindarkan kesulitan seperti digambarkan di atas,
dengan pertimbangan di atas maka banyak pendukung
mathla‟ approach parsial di dalam mengartikan mathla‟
lokal sebagai mathla‟ dalam kesatuan negara atau mathla‟ fi
wilayatul hukmi.143
Adapun mathla‟ wilayatul hukmi merupakan batas
geografis keberlakuan rukyat dengan menjadikan batasan
negara secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan
rukyat atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam
wilayah hukum. Misalnya Indonesia, konsekuensinya
apabila hilal terlihat dimanapun di wilayah Indonesia,
dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Penduduk
melaksanakan puasa dan berhari raya secara serentak
berdasarkan ketetapan pemerintah. 144
Pemahaman mengenai mathla‟ wilayatul hukmi yaitu
dengan argumentasi bahwa apabila suatu daerah dipimpin
oleh satu kepala negara, walaupun berjauhan, apabila kepala
negara telah mengumumkan dimulainya puasa dengan
rukyat yang telah dilakukan di suatu daerah kekuasaannya
maka seluruh umat Islam di negara tersebut wajib mengikuti
penetapan pemerintah. Hal ini menurut mereka sejalan
dengan kaidah fiqh yaitu “ ااع م مرط م ع الط ك م م ” ع ط ع الط م اك ك كلط م
(keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan
perbedaan/kontroversi).145
Wahbah al Zuhaily menjelaskan mengenai batasan jarak
mathla‟ bahwa satu mathla‟ setara dengan 24 farsakh. Jika 1
143
Ibid 144
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat (telaah syari‟ah,
sains dan teknologi), Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 19 145
Susiknan Azhari, 2008, Loc.Cit
61
farsakh 5544 m, maka jarak 1 mathla‟ tersebut adalah 24 ×
5544 = 133,056 km. Akan tetapi, jika 1 farsakh adalah 3
mil, maka jarak 1 mathla‟ tersebut menjadi 1,6093 km × 3 ×
24 = 115,8696 km. Dengan munculnya konsep negara
bangsa (nation state) di masa ini, maka jarak tersebut dapat
memunculkan berbagai masalah. Jika jarak keberlakuan
hasil rukyat diberlakukan sejauh mathla‟, sebagaimana
penjelasan di atas, maka sebuah negara yang memilki
wilayah yang luas seperti Indonesia akan memiliki beberapa
mathla‟. Untuk itu Indonesia menganut konsep mathla‟
wilayatul hukmi 146
Terlepas dari berbagai perbedaan ijtihad tentang masalah
mathla‟ dan juga di dalam menafsirkan hadis-hadis tentang
penentuan awal bulan Hijriah atau hadis tentang hisab
rukyat. Maka mathla‟ ini perlu diketahui secara astronomi.
Farid Ruskanda147
mengenai pemikirannya terhadap mathla‟
dapat dilihat berdasarkan pendapatnya yang menyatakan
bahwa tidak seharusnya penetapan awal bulan Hijriah jatuh
secara bersamaan di seluruh dunia, disebabkan dalam sistem
penanggalan Hijriah terdapat garis batas tanggal
internasional yang dinamakan garis tanggal Islam
internasional (The International Islamic Date Line). 148
Garis
146
Ibid. Lihat juga Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 39 147
Faris Ruskanda adalah salah seorang penggagas teleskop rukyat,
dilahirkan di Bandung, 28 Maret 1948. S1 Teknik Fisika ITB diselesaikannya
tahun 1974, S2 dituntaskan di Reading Univesity Inggris pada 1978. Pada
1988 ia mencapai gelar doktor dalam bidang ilmu Pengetahuan Teknik pada
ITB. Ia aktif menulis tentang Hisab Rukyat di berbagai media. Diakses pada
http://syakirman.blogspot.co.id/2011/01/tokoh-tokoh-ilmu-falak-di-pulau-
jawa.html pada Rabu, 16-11-2016 Pukul 11:30 WIB. 148
Garis ini diperkenalkan pertama kali oleh Mohammad Ilyas pada
tahun 1978. Pada umumnya ILDL berbentuk lingkaran parabola dan
terkadang menyerupai garis lurus separuh parabola. ILDL memisahkan dua
kawasan Bumi, yaitu kawasan sebelah Barat garis yang merupakan kawasan
dapat melihat hilal awal bulan dan kawasan sebelah Timur garis yang
merupakan kawasan tidak bisa melihat hilal awal bulan. Garis ini apabila
membelah suatu negara dapat ditarik ke arah Timur dengan batas Timur
Negara yang bersangkutan. Dengan kata lain ILDL dapat dibuat tegak lurus
pada ujung paling Timur daerah yang telah mencapai imkān al-rukyah. Lihat
Lu‟ayyin, Konsep Kalender Qassūm-„Audah (Konsistensi Konsep Kalender
62
ini tidak memperhitungkan faktor jarak antara dua tempat,
sehingga permulaan pada bulan Hijriah di kedua tempat bisa
jatuh pada tanggal yang sama, akan tetapi bisa juga berbeda.
Walaupun secara geografis dua tempat yang saling
berdekatan, jika keduanya berada pada sisi yang berlainan
dari garis tanggal Hijriah tersebut, maka awal bulan Hijriah
di dua tempat itu berbeda.149
Adapun garis tanggal Hijriah garis batasnya ditentukan
oleh tempat yang disana Bulan dan Matahari terbenam
secara bersamaan. Karena garis tanggal merupakan garis
batas antara tempat yang esoknya sudah masuk bulan baru
dan tempat yang esoknya belum memasukinya. Secara
teknis, garis tanggal ini merupakan batas antara tempat yang
disana hilal mungkin terlihat dan tempat yang hilal tidak
mungkin terlihat saat Matahari terbenam. Sebagaimana
Matahari terbit dan terbenam di permukaan Bumi pada saat-
saat tertentu, maka Bulanpun terbit dan terbenam dengan
cara yang sama, dan garis ini bergeser setiap bulan.150
Farid Ruskanda menjelaskan bahwa terjadinya
persamaan dan perbedaan penanggalan ini tidak dijumpai
pada sistem tahun Masehi karena tempat garis tanggalnya
selalu tetap. Sedangkan pada penanggalan Hijriah garis
tanggal ini selalu bergeser. Disebabkan garis tanggal Hijriah
lebih rumit dibandingkan garis tanggal Masehi. Karena garis
tanggal Masehi sistem tanggal, bulan dan tahunnya hanya
ditentukan oleh gerakan Bumi dan Matahari. Sedangkan
garis tanggal Hijriah sistem tanggal, bulan dan tahunnya
ditentukan oleh gerakan Bulan, Bumi dan Matahari.151
Qassūm-„Audah dalam Kitab Tathbīqāt Al-Hisābāt Al-Falakiyyah Fī Al-
Masāil Al-Islāmiyyah Terhadap Prinsip Visibilitas Hilal dalam Penentuan
Awal Bulan Kamariah), Skripsi Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syari‟ah
Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2015, hlm. 51. Diakses dari
http://eprints.walisongo.ac.id. Pada tanggal 16 Nopember 2016. Pukul. 11:30
WIB 149
Farid Ruskanda, Op.Cit.,hlm. 18 150
Ibid., hlm. 24-25 151
Ibid., hlm. 20-21
63
Farid Ruskanda juga menyatakan bahwa terdapat
perbedaan tanggal pada saat yang bersamaan disebabkan
Bumi berbentuk bola. Dengan demikian, jika bagian Bumi
yang satu dalam keadaan gelap (malam), maka pada saat
yang sama, bagian Bumi yang lain berada dalam keadaan
yang terang (siang).152
Thomas Djamaluddin 153
menyatakan bahwasannya
persoalan perbedaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha telah
menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Walaupun
saat ini perbedaan hari raya tidak menimbulkan masalah
serius, tetapi masalah tersebut selalu menimbulkan
ketidaktentraman di masyarakat. Apabila tidak segera diatasi
itu berpotensi berdampak pada gangguan ekonomi dan
sosial, karena menyangkut aktivitas masyarakat dalam skala
luas. Menurutnya perbedaan hari raya yang sering terjadi
belakangan ini lebih disebabkan oleh penggunaan kriteria
yang tidak seragam. Baik para penganut hisab maupun
rukyat pada dasarnya mereka menggunakan kriteria
penentuan awal bulan. 154
Pemikiran Thomas Djamaluddin tentang mathla‟ dapat
terlihat berdasarkan pendapatnya yang mengatakan bahwa
sumber perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriah
selain disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak
seragam, juga disebabkan adanya masalah rukyat lokal dan
global yang dipicu berkembangnya media komunikasi yang
semakin cepat. Berita tentang penetapan awal Ramadan dan
hari raya di Arab Saudi atau negara-negara lainnya dengan
cepat tersebar dan sering menjadi acuan. Masalahnya,
kemudian masyarakat menjadi bingung mana yang akan
diikuti.155
152
Ibid., hlm. 17 153
pakar astronomi Indonesia. Sekarang ia bekerja sebagai Deputi Sains,
Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan (Eselon I) dan Peneliti Utama IVe
(Profesor Riset) Astronomi dan Astrofisika di LAPAN (Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional). Thomas Djamaluddin, 2011, Op.Cit.,
hlm. iii 154
Ibid., hlm. 11 155
Thomas Djamaluddin, 2004, Op.Cit., hlm. 243-244
64
Thomas Djamaluddin mengatakan bahwasannya dalam
Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berkaitan dengan
ibadah puasa Allah memberi pedoman umum “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesulitanmu”. Menurutnya apabila mengikuti rukyat global,
setiap orang harus sabar berjaga sepanjang malam dalam
ketidakpastian. Karena rukyatul hilal tidak bisa dipastikan di
mana dan kapan bisa terlihat. Tentunya, hal ini lebih
menyulitkan umat daripada rukyat lokal. Keputusan rukyat
lokal cukup dinantikan sekitar 1-2 jam setelah maghrib.156
Menurut Thomas Djamaluddin mengenai perbedaan
pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriah merupakan
hasil ijtihad dengan argumentasi masing-masing yang
dianggap kuat.Terlepas dari perbedaan masalah argumentasi
atau dalilnya, hal ini perlu ditinjau dari segi astronominya.157
Mengenai definisi sama hari dalam penetapan awal bulan
Hijriah menurut Thomas Djamaluddin pengertian sama
sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti mengalami
waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain bila beda
waktunya kurang dari 12 jam. Bila diterapkan dalam kasus
di Hawaii yang beda waktunya dengan Arab Saudi (dihitung
kearah Timur) hanya 11 jam, definisi sama harinya malah
berbeda tanggal. Misalnya, hari wukuf tanggal 16 April
1997 di Arab Saudi berarti tanggal 15 April 1997 di Hawaii.
Lagi pula, pola pikir untuk menyamakan puasa hari Arafah
di Indonesia harus sama dengan hari wukuf hanya terjadi
bila kita tunduk pada sistem kalender Syamsiah dan
mengabaikan sistem kalender Hijriah yang disyariatkan. Saat
wukuf di Arafah bisa terjadi di Indonesia masih tanggal 8
Dzulhijjah, jadi bukan waktunya untuk melaksanakan puasa
hari Arafah.158
Menurut Thomas Djamaluddin hal itu dapat dijelaskan
dengan meruntut perjalanan waktu berdasarkan peredaran
Bumi. Bagi muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai
156
Ibid., hlm. 245 157
Ibid 158
Ibid., hlm. 246
65
sejak fajar (misalnya) 16 April 1997. Makin ke Barat waktu
fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal puasa kira-
kira 3 jam sesudah di Arab Saudi. Makin ke Barat lagi, di
pantai Barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah
bergeser lagi yaitu 11 jam setelah Arab Saudi. Di Hawaii,
puasa Arafah juga masih 16 April, tetapi fajar awal puasanya
sekitar 13 jam setelah Arab Saudi.159
Apabila diteruskan ke Barat, ditengah lautan Pasifik ada
garis tanggal internasional, maka sebutan 16 April harus
diganti menjadi 17 April walaupun hanya berbeda beberapa
jam dengan Hawaii. Awal puasa Arafah di Indonesia pun
yang dilakukan sekitar 7 jam setelah fajar Hawaii, dilakukan
dengan sebutan tanggal yang berbeda akibat melewati garis
tanggal internasional.160
Pemikiran Muhammad Syaukat Audah161
(tokoh falak
internasioanal) tentang mathla‟ secara astronomi.
Menurutnya perbedaan mathla‟ apabila dikaitkan dengan
observasi (rukyat) hilal, dapat dilihat dari tiga poin yaitu:
Pertama, kondisi rukyat hilal berbeda sesuai perbedaan
garis bujur. Artinya, wilayah yang berada dalam satu garis
bujur tidak bisa dikatakan memiliki mathla‟ yang sama.
159
Ibid 160
Ibid., hlm. 246-247 161
Nama lengkapnya Ir. Muhammad Syaukat „Audah (di dunia
Internasional lebih dikenal dengan nama Mohammad Shawkat Odeh). Dalam
homepage (http://www.geocities.com/ capecanaveral/1092/index.html) nya,
Odeh mengatakan bahwa ia berasal dari Nablus, Palestina dan lahir di kota
Kuwait, 6 Maret 1979. Ia tumbuh besar di kota Amman ibukota negara
Jordan. Ia menyelesaikan studi Mekanik dan Engineering di Universitas
Jordan, Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun 2002. Di umurnya yang
menginjak ke-20, tahun 1998, Odeh mendirikan sebuah lembaga penelitian
dan observasi hilal ICOP (Islamic Crescents‟ Observation Project). Hingga
saat ini, lembaga tersebut memiliki ratusan ilmuwan yang terdiri dari pakar
ilmu falak dan individu-individu yang intens dalam penelitian dan pengkajian
hilal dari berbagai negara di dunia. Lihat Muh. Nashirudin, “Tinjauan Fikih
Dan Astronomis Penyatuan Mathla‟: Menelusuri Pemikiran M.S. Odeh
Tentang Ragam Penyatuan Mathla‟, Jurnal Ijtihad, Vol. 12, No. 2, edisi
Desember 2012, hlm. 181-182. Diakses pada
http://www.ijtihad.iainsalatiga.ac.id. Pada 16 Nopember 2016. Pukul. 17:00
WIB.
66
Karena Matahari dan Bulan akan berada pada waktu
terbenam yang berbeda walaupun berada pada satu garis
bujur. Kedua, kondisi rukyat hilal berbeda sesuai perbedaan
garis lintang. Hampir sama dengan poin pertama, wilayah
yang berada dalam satu garis lintang juga tidak bias
dikatakan memiliki mathla‟ yang sama. Ketiga, ketinggian
lokasi observasi dari permukaan air laut harus diperhatikan
saat rukyat. Ketika seseorang melakukan observasi, maka
ketinggian tempat observasi dari permukaan air laut sangat
mempengaruhi keberhasilan rukyat. Oleh karena itu,
keberhasilan rukyat tidak bisa disamakan antara satu wilayah
dengan wilayah lain. 162
162
Muh. Nashirudin, “Tinjauan Fikih Dan Astronomis Penyatuan
Mathla‟: Menelusuri Pemikiran M.S. Odeh Tentang Ragam Penyatuan
Mathla‟, Jurnal Ijtihad, Vol. 12, No. 2, edisi Desember 2012, hlm. 187-188.
Diakses pada http://www.ijtihad.iainsalatiga.ac.id. Pada 16 Nopember 2016.
Pukul. 17:00 WIB.
67
BAB III
PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’
DALAM PENENTUAN AWAL BULAN HIJRIAH
Mazhab menurut bahasa berasal dari kata dzahaba yang
berarti pergi atau dapat juga berarti pendapat. Adapun menurut
istilah, mazhab artinya adalah metode yang digunakan seorang
mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa. Mazhab
juga merupakan sistem pemikiran atau pendekatan intelektual.
Secara khusus, istilah ini digunakan untuk sesuatu yang
berkaitan dengan aliran-aliran dalam fiqh.163
Selain itu, mazhab
juga diartikan sebagai jalan dan keyakinan yang diikuti.
Menurut para filosof, mazhab berarti pemikiran-pemikiran,
teori-teori ilmiah, dan filsafat yang saling berkaitan hingga
menjadi satu keatuan yang utuh. Bentuk plural atau jamaknya
adalah madzahib. Demikianlah definisi mazhab menurut
kalangan ahli bahasa dan para filosof.164
Sesuai dengan makna dasarnya, para pakar syari‟at
mendefinisikan mazhab sebagai sekumpulan pemikiran-
pemikiran mujtahid di bidang hukum-hukum syari‟at yang digali
dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci (tafshil),
kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki keterkaitan antara satu
dan lainnya, lalu dijadikan sebagai satu kesatuan. Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab adalah ushul dan fiqhnya seorang mujtahid.165
Sebagaimana akan dibahas dibawah ini mengenai batas
geografis keberlakuan rukyat (mathla‟) menurut pendapat empat
mazhab dalam Islam. Yakni mazhab Hanafi, mazhab Maliki,
mazhab Syafi‟i, dan mazhab Hanbali.166
163
Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 149 164
Asmaji Muchtar, Fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi‟I, Cetakan Pertama,
Amzah, Jakarta, 2014, hlm. 169 165
Ibid 166
Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam, PT Elex Media
Komputindo Kompas Gramedia Building, Jakarta, 2009, hlm. 265
68
A. Mathla’ Menurut Mazhab Hanafi 1. Sejarah dan Pemikiran Mazhab Hanafi
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah (Irak) pada
tahun 80 H (659 M). Namanya sejak kecil ialah Nu‟man
bin Tsabit bin Zauth bin Maah. Ayahnya adalah
keturunan dari bangsa Persi yang sudah menetap di
Kuffah.167
Ia diberi nama “An-Nu‟man” sebagai
kenangan akan nama salah seorang raja Persia di masa
silam.168
Gelar Abu Hanifah, karena putranya ada yang
bernama Hanifah. Menurut riwayat lain karena ia begitu
taat beribadah kepada Allah, yang dalam bahasa Arab
Haniif berarti condong atau cenderung kepada yang
benar. Riwayat lain pula menyatakan karena ia begitu
dekat dan eratnya berteman dengan tinta. Karena
Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta.169
Imam Abu Hanifah menghabiskan masa kecil dan
tumbuh menjadi dewasa di Kufah. Sejak masih kanak-
kanak, Imam Abu Hanifah mengkaji dan menghafal al-
Qur‟an. Dalam hal memperdalam pengetahuannya
tentang al-Qur‟an beliau sempat berguru kepada Imam
Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Selain
memperdalam al-Qur‟an, beliau juga aktif mempelajari
ilmu Fiqh pada kalangan sahabat Rasul, di antaranya
kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu
Tufail Amir. Dari mereka beliau juga mendalami ilmu
Hadis.170
Imam Abu Hanifah juga dikenal sebagai orang yang
sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Beliau pernah
167
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cetakan Kedua, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 184 168
Abdurrahman Asy-Syarkawi, A‟immah Al-Fiqh At-Tis‟ah, Alih
Bahasa, H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih,
Cetakan Pertama, Pustaka Hidayah, Bandung, 2000, hlm. 236 169
M. Ali Hasan, Loc.Cit. 170
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-
Khamsah, Alih Bahasa, Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff,
Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2011, hlm. xxv
69
belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada
masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman. Setelah wafat
gurunya, Imam Abu Hanifah kemudian mulai mengajar
di banyak majlis ilmu di Kufah.171
Imam Abu Hanifah an-Nu‟man termasuk jajaran
imam Fiqh Ahlus Sunnah yang terkenal di dunia
Islam.172
Imam Abu Hanifah berkata:
“aku memberikan hukum berdasarkan al-Qur‟an
apabila tidak aku jumpai dalam al-Qur‟an, maka
aku gunakan hadis Rasulullah dan jika tidak ada
dalam kedua-duanya (al-Qur‟an dan al-Hadis)
aku dasarkan pada pendapat para sahabat-
sahabtnya. Aku (berpegang) kepada pendapat
siapa saja dari para sahabat dan aku tinggalkan
apa saja yang tidak kusukai dan tetap berpegang
kepada satu pendapat saja.”173
Pada bagian akhir kata-kata Imam Abu Hanifah di
atas dapat disimpulkan bagaimana ia menggunakan
ijtihad dan pikiran. Dan bagaimana pula penggunaan
pikiran untuk dapat membuat perbandingan diantara
pendapat-pendapatnya dan memilih salah satunya.174
Ciri khas Imam Abu Hanifah adalah, dalam
ijtihadnya menggali ketentuan-ketentuan hukum fiqh,
yaitu disamping berpegang pada al-Qur‟an, ia juga tetap
berpegang atau berpedoman pada hadis. Akan tetapi,
hanya hadis yang sahih yang mu‟tamad saja yang
dijadikan sandaran.175
Dalam metode qiyas nya, ia tak berbeda jauh dari
para ahli Fiqh lainnya, yakni tidak mengabaikan
ketentuan-ketentuan hukum yang pernah berlaku
171
Ibid 172
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 231 173
Ahmad Asy-Syurbasi, Al-Almatul Arba‟ah, Alih Bahasa, Sabil Huda,
Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Cetakan Kelima, Amzah,
Jakarta, 2008, hlm. 19 174
Ibid. 175
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Loc.Cit.
70
sebelumnya, khususnya mengenai kasus-kasus yang
tidak terdapat atau tidak jelas ketetapan hukumnya di
dalam al-Qur‟an dan Sunah.176
Namun, menurutnya
qiyas yang benar ialah yang dapat mewujudkan tujuan
as-Syari‟.177
Ia pun berpendapat bahwa hukum yang
berdasarkan qiyas yang benar lebih baik dari pada
hukum yang didasarkan pada hadis-hadis yang tidak
benar. Menurutnya, qiyas mempunyai kaidah yang pasti,
yaitu mewujudkan kemaslahatan ummat, dan itulah yang
menjadi tujuan syari‟at.178
Dalam menetapkan metode qiyas beliau tidak
menerapkannya begitu saja. Akan tatapi, ia mengkaji
terlebih dahulu situasi dan kondisi masa terjadinya kasus
tertentu. Ia menenempuh metode yang lazim disebut
“ar-Ra‟yu”. 179
Demikian pula dalam menakwilkan atau
menafsirkan nash-nash hukum syari‟at yang tidak jelas
atau samar. Sebab itu, dalam dunia fiqh Imam Abu
Hanifah dikenal sebagai “Imam Ahlur-Ra‟yu” (ketua
kelompok ahli Pikir).180
Fiqh Imam Abu Hanifah dilandaskan pada prinsip
menghormati kebebasan setiap orang untuk menentukan
kemauannya sendiri (hurriyyah al-iradah). Ia
berpendapat bahwa kemalangan terbesar yang menimpa
manusia ialah bila kemerdekaannya dibatasi atau
dirampas. Semua pendapat dan fatwa-fatwa hukum
Imam Abu Hanifah didasarkan pada prinsip kebebasan
176
Ibid 177
As-Syari‟ (الش رع) adalah bentuk isim fa‟il dari kata kerja (شرع-
( شرع artinya ialah mebuat syari‟at (undang-undang) maka kata As-Syari‟
maknanya ialah pembuat Syari‟at (yakni Allah). Lihat Mahmud Yunus,
Kamus Arab-Indonesia, PT. Mahmud Yunus Wadzurriyyah, Jakarta, 1989,
hlm. 195 178
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 252 179
Ar-Ra‟yu adalah mazhab yang dalam mengahadapi kasus-kasus yang
tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur‟an dan Sunnah. Mencari
pemecahan hukum dengan berijtihad, yakni memaksimalkan penggunaan
akal pikiran untuk menarik kesimpulan hukum melalui metode qiyas. Lihat
Ibid., hlm. 277 180
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 231
71
yang menurut hukum Syari‟at harus dilindungi.
Menyalahgunakan kebebasan lebih ringan akibatnya dari
pada kalau kebebasan itu dikekang atau dibatasi.181
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, Imam Abu
Hanifah menolak tawaran pangkat dan kedudukan
sebagai hakim agung (qadhi al-qudhah). Ia berpikir
bahwa turut serta didalam kekuasaan yang zalim sama
artinya dengan berbuat zalim. Dan akhirnya pada masa
pemerintahan Khalifah Bani Abasiyah, karena Imam
Abu Hanifah terus menentang kezalimannya ia
dijebloskan kedalam penjara disertai dengan hukuman
cambuk. Untuk mencegah agar siksaan kejam itu tidak
terdengar oleh kaum Muslim, akhirnya ia diracun.
Demikianlah, akhir kehidupan seorang ahli Fiqih
berkebangsaan Persia dan pendiri mazhab “ar-Ra‟yu”,
yang pada tahun-tahun terakhir hidupnya terkenal
dengan nama Imam Besar. 182
Berdasarkan pendapat
yang paling kuat Imam Abu Hanifah meninggal pada
tahun 150 H.183
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas bahwa yang
dimaksud dengan mazhab Hanafi ialah sekumpulan
pemikiran Imam Abu Hanifah di bidang hukum-hukum
syari‟at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil
secara terperinci (tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, serta
memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu
dijadikan sebagai satu kesatuan. Dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan mazhab Hanafi adalah
ushul dan fiqhnya. Dapatlah dipahami pula bahwa Imam
Abu Hanifah mendasarkan mazhabnya pada al-Qur‟an,
Hadis, Ijma‟, al-Qiyas dan al-Istihsan.184
181
Ibid., hlm. 256 182
Ibid., hlm. 232-233 183
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit., hlm. 69 184
Istihsan sebenarnya merupakan pengembangan dari al-Qiyas. Istihsan
menurut bahasa berarti menganngap baik atau mencari yang baik. Menurut
istilah ulama ushul fiqh. Istihsan islah meninggalkan ketentuan qiyas yang
jelas ilatnya untuk mengamalkan qiyas yang samar ilatnya, atau
meninggalkan hukum yang bersifat umum dan berpegang kepada hukum
72
Sebenarnya Imam Abu Hanifah tidak pernah menulis
sebuah kitab ataupun buku mengenai pemikiran atau
mazhabnya. Kalaupun ada kitab-kitab mengenai
mazhabnya itu hanya ditulis oleh murid-muridnya.185
Sedang di antara kitab-kitab Imam Abu Hanifah adalah:
al-Musuan (kitab hadis, dikumpulkan oleh muridnya),
al-Makharij (kitab ini dinisbahkan kepada Imam Abu
Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan Fiqhu al-
Akbar (kitab fiqh yang lengkap).186
Adapun murid-murid
Imam Abu Hanifah yang menyebarluaskan atau
membesarkan mazhabnya yang termasyhur adalah:
a. Abu Yusuf Ya‟kub bin Ibrahim Al-Anshari, ia
adalah orang yang pertama menyusun buku-buku
menurut mazhabnya (Imam Abu Hanifah),
mendiktekan masalah-masalah dan
menyiarkannya, tersiarlah mazhab Hanafi
kepenjuru bumi.
b. Zufar Bin Hudzail bin Qais Al-Kufi, ia adalah
orang yang paling banyak menggunakan qiyas.
c. Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani,
ia adalah orang yang paling banyak menulis
buku-buku mazhab Hanafi, padanya diambil
mazhab Hanafi, karena dihadapan golongan
Hanafiyah hanya ada kitab-kitabnya.
d. Hasan bin Zayadi Al-Lu‟lui Al-Kufi maula
Anshar, ia menulis buku-buku tentang mazhab
Hanafi, tetapi buku-buku dan pendapatnya tidak
dapat dianggap seperti buku-buku dan
pendapatnya Muhammad Asy-Syaibani. 187
yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya. Lihat M.
Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cetakan Kedua, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hlm. 189-190 185
M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm 35 186
Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. xxvi 187
Hudhari Bik, Tarikh Tasyri‟ Al-Islamy, Alih Bahasa Mohammad
Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri‟ Al-Islami (Sejarah Pembinaan Hukum
Islam), Daarul Ihya, Semarang. 1980, hlm. 412
73
2. Mathla‟ Menurut Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalam
menetapkan awal bulan Hijriah (khususnya awal
Ramadan dan Syawal) dapat ditempuh dengan dua cara
yaitu. Pertama, rukyat oleh kelompok yang besar yang
kriterianya adalah mereka yang menekuni langsung ilmu
agama (syara‟), cara seperti ini ditempuh apabila
keadaan langit cerah. Orang yang bersaksi melihat
hilal/bulan menyatakan kesaksiannya dengan kalimat
(saya bersaksi). Kedua, jika keadaan langit tidak cerah
karena terselimuti awan atau kabut, maka
pemimpin/imam cukup memegang kesaksian seorang
Muslim yang adil, berakal dan baligh. Menurut pendapat
yang sahih, baik lelaki atau wanita, merdeka atau budak,
sebab masalah rukyat merupakan masalah agama yang
nilainya sama dengan meriwayat hadis. Dalam kondisi
seperti ini bagi yang melihat hilal tidak perlu bersaksi
dengan mengucapkan kalimat. Kesaksian tersebut dapat
disampaikan dihadapan hakim agung (qadhi).188
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Hanafi
„Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu „Ala
Madzhabil Arba‟ah menjelaskan bahwasannya apabila
telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah.
Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan
tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat
dan jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal.
Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada
seluruh wilayah. Maka, seluruh penduduk di muka bumi
diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi
pertimbangan dengan adanya perbedaan mathla‟ hilal
secara mutlak.189
188
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Jilid II, Dar
Al- Fikr, Dimsyiq, 1996, hlm. 603-604 189
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu „Ala Madzhab Al-Arba‟ah, Juz I,
Dar Al- Fikr, Beirut, 1990, hlm. 550
74
Dijelaskan juga oleh Wahbah al-Zuhaili dalam
kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwasannya
pendapat jumhur ulama Mazhab Hanafi mereka
berpendapat bahwa rukyat di suatu negeri berlaku untuk
seluruh kaum muslimin di negeri-negeri lain. Sehingga
perbedaan mathla‟ tidak memiliki pengaruh apapun
terhadap penentuan masuknya bulan baru Hijriah.190
Kitab Al-Mabsuth Lisyaibany di dalamnya
menjelaskan tentang mathla‟ menurut mazhab Hanafi
bahwasannya bila penduduk suatu negara melihat hilal
Ramadan, maka seluruh negara-negara Islam wajib
berpuasa bersama-sama dengan penduduk yang melihat
hilal. Dan kesaksian tersebut dapat disampaikan
dihadapan hakim agung atau kepada imam
(pemerintah).191
Kitab fathul qadir di dalamnya juga menjelaskan
tentang mathla‟ menurut mazhab Hanafi, bahwasannya
apabila rukyatul hilal telah ditetapkan di Mesir, maka
rukyat tersebut diberlakukan bagi semua manusia, yaitu
wajib berpuasa bagi semua manusia, baik penduduk
bagian timur berdasarkan rukyatnya, maupun penduduk
bagian barat. Atas dasar keumuman dari khitab lafadz
"صموا" yang secara mutlak rukyat tersebut hukumnya
diberlakukan secara umum.192
Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya fiqhul
„ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mayoritas fuqaha
Ahnaf menetapkan perbedaan mathla‟ tidak
berpengaruh, yaitu bila penduduk suatu negara melihat
hilal Ramadan, seluruh negara-negara Islam wajib
berpuasa bersamaan dengan penduduk yang melihat
hilal. Orang–orang Kuwait dan Saudi puasa berdasarkan
ru‟yah orang Mesir dan sebaliknya berdasarkan
190
Wahbah Al-Zuhaili, Op.Cit., hlm. 605 191
Al-Mabsuth Lisyaibany, Maktabah Syamilah, hlm. 350 192
Fathul Qadir, Maktabah Syamilah, hlm. 1790
75
keumuman hadis Rasulullah saw. tentang hisab dan
rukyat.193
أن رسول اهلل صلى اهلل . حديث عبد اللو بن عمر رضي اهلل عن هما وال . ال تصوموا حت ت روا ال ل : عليو وسلم كر رم ان ف قال
194 (رواه البخاري )فإن غم عليكم فاقدروا لو . ت فطروا حت ت روه
Artinya: “Hadits „Abdullah bin „Umar r.a. bahwasannya
Rasulullah saw, menyebut Ramadan, kemudian
beliau bersabda:”Janganlah kamu berpuasa
sehingga kamu melihat hilal (bulan sabit), dan
janganlah kamu berhari raya sehingga kamu
melihatnya, apabila tertutup oleh mendung
maka perkirakanlah.”195
(H.R. Bukhari)
عن اب ىري رة رضي اهلل عنو ي قول قال النب صلى اهلل عليو وسلم صوموا لرؤيتو وافطروا لرؤيتو فإن غبي عليكم فأكملوا
ة شعبان 196(رواه البخاري ) عدArtinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw.
bersabda: Berpuasalah bila kalian melihat
bulan, dan berbukalah bila kalian melihat
bulan, namun bila bulan itu tertutup atas
kalian (oleh awan), maka sempernukanlah
193
Hasan Ayub, Fiqhul „Ibadaat Biadillatiha Fil Islam, Alih Bahasa,
Abdurrahim, Fikih Ibadah (Panduan Lengkap Beribadah Sesuai Sunnah
Rasulullah saw), Cetakan Pertama, Cakra Lintas Media, Jakarta, 2010, hlm.
416 194
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub
Al- Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 345. Hadits No 1906, Bab Puasa 195
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan, Alih Bahasa,
Muslich Shabir, Terjemah Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan Koleksi Hadits yang
Disepakati oleh Al-Bukhori dan Muslim, Jilid 2, Al-Ridha, Semarang, 1993,
hlm. 1-2 196
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit., hlm 346. Hadits No 1909,
Bab Puasa
76
hitungan bulan Syakban itu menjadi tiga
puluh hari.”197
(H.R. Bukhari).
Berdasarkan hadis di atas bahwasannya lafadz صوموا berpuasalah kamu karena melihat hilal dan” لرؤيتو وافطروا لرؤيتو
berbukalah kamu karena melihat hilal”. Khitab (sasaran)
yang dituju adalah seluruh ummat, maka apabila salah
seorang mereka menyaksikan hilal pada tempat
manapun, itu berarti rukyat bagi mereka semua.198
Tidak
dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas
daerah kekuasaan.199
B. Mathla’ Menurut Mazhab Maliki
1. Sejarah dan Pemikiran mazhab Maliki
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah daerah
negeri Hijaz pada tahun 93 H (712 M).200
Imam Malik
sepanjang umurnya hidup di Madinah hingga ia wafat
dalam usian 86 tahun. Ia sama sekali tidak pernah
meninggalkan Madinah selain untuk menunaikan ibadah
haji atau umrah.201
Penghormatan Imam Malik terhadap kota Madinah
nyaris sama dengan penghormatannya kepada Nabi saw.
dan para sahabat beliau. Kehidupat umat di Madinah
cocok sekali dengan Imam Malik yang sangat tidak
menyukai hiruk pikuk perdebatan. Pada masa hidupnya,
Madinah masih merupakan kota yang bersih dari
pengaruh terjemahan filsafat-filsafat Yunani, India,
197
Safuan Alfandi, Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang
Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162 198
Sayyid sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Fikih
Sunnah, Cetakan Pertama, Jilid 3, Al-Ma‟arif, Bandung, 1978, hlm 172 199
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2007, hlm. 86 200
M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm 195 201
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 280
77
Persia. Selain itu, Imam Malik juga tidak suka
berkecimpung dalam pergolakan politik.202
Sejak kecil Imam Malik telah rajin menghadiri
majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil ia
telah hafal al-Qur‟an. Bahkan ibundanya sendiri yang
mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut
ilmu. Pada mulanya beliau dari Rabi‟ah, seorang ulama
yang sangat terkenal pada masa itu. Selain itu ia juga
memperdalam hadis kepada Ibn Syihab.203
Imam Malik dianggap sebagai seorang pemimpin
(Imam) dalam ilmu hadis. Sanad yang dibawa olehnya
termasuk salah satu dari sanad yang terbaik dan benar.
Karena beliau sangat berhati-hati dalam mengambil
hadis-hadis Rasulullah saw. Ia adalah orang yang
dipercaya adil dan kuat ingatannya, cermat serta halus
dalam memilih rawi, singkatnya Imam Malik tidak
diragukan lagi dalam hal ini.204
Pada suatu kesempatan,
usai menunaikan ibadah haji, Al-Manshur meminta
Imam Malik agar menulis buku tentang perundang-
undangan yang berlaku bagi semua orang, dan ia berjanji
akan mewajibkan rakyat menaatinya. Dengan alasan
yang masuk akal, pada mulanya Imam Malik keberatan.
Akan tetapi, akhirnya ia memenuhi permintaan Al-
Manshur dengan menulis himpunan hadis-hadis, yaitu
sebuah buku yang terkenal berjudul “Al-Muwaththa‟”.205
Dalam menghadapi kasus-kasus yang tidak terdapat
hukumnya didalam nash, ia dipengaruhi oleh pemikiran
gurunya Imam Ja‟far ash-Shadiq yaitu bersandar pada
kemampuan akal pikiran, bahkan ia memperbaharui
semangatnya. Sedangkan prinsip bersandar pada
kemaslahatan umum Imam Malik menyebutnya “al-
maslahah al-mursalah”.206
202
Ibid., hlm. 269-270 203
Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. xxvii 204
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit., hlm. 76-77 205
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit.,hlm. 272 206
Ibid
78
Metode yang ditempuh Imam Malik dalam
menetapkan ketentuan hukum fiqh yang tidak terdapat
nashnya didalam al-Qur‟an dan Sunah, memang sedikit
berlainan dengan metode yang di tempuh oleh para
imam ahli Fiqh lainnya. Ia lebih mengutamakan ijma‟
para sahabat Nabi saw. dari pada qiyas. Bila belum juga
dapat memecahkan suatu kasus, ia melihat apa yang
diamalkan oleh kaum Muslim penduduk Madinah,
karena mereka itulah yang paling banyak menerima dan
mendengar hadis-hadis. Jika belum terpecahkan barulah
ia malakukan qiyas. Akan tetapi, jka hasil qiyas itu
ternyata bertentangan dengan kemaslahatan umum,
baginya lebih baik menetapkan keputusan hukumnya
atas dasar prinsip kemaslahatan umum. Menurutnya
itulah yang terbaik. Jika masih tidak ditemukan
pemecahan hukumnya, maka kasus tersebut dipecahkan
berdasarkan tradisi dan adat kebiasaan masyarakat.
Dengan syarat adat kebiasaan itu tidak bertentangan
dengan syara‟.207
Setelah Imam Malik wafat, fiqhnya tumbuh dan
berkembang diikuti dan diperkaya oleh banyak ahli
Pikir, para Mujtahid, dan para ahli Fiqh. Di antara
mereka adalah seorang filosof ternama dari Andalus Ibn
ar-Rusyd. Namun, sebagian dari para ahli Fiqh yang
hidup sezaman dengannya menantang keras dan
menyalahinya. Bahkan beberapa orang dari sahabat-
sahabat serta murid-muridnya mengkritiknya, seperti Al-
Layts ibn Sa‟ad (ahli Fiqh dari Mesir) dan asy-Syafi‟i.208
Berdasarkan pendapat yang masyhur ia wafat di
Madinah, yaitu pada tanggal 14 bulan Rabi‟ul Awwal
tahun 179 H. dan di makamkan di tanah perkuburan Al-
Baqi‟.209
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas bahwa
mazhab Maliki merupakan sekumpulan pemikiran Imam
207
Ibid., hlm. 270 208
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit.,hlm. 304 209
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit.,hlm. 138
79
Malik di bidang hukum-hukum syari‟at yang digali
dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci
(tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki
keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan
sebagai satu kesatuan. Dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab Maliki adalah ushul dan
fiqhnya. Dapatlah dipahami pula bahwa Imam Malik
mendasarkan mazhabnya pada al-Qur‟an, Hadis Rasul
yang dianggap sahih,‟Amal Ahlul Madinah, al-Qiyas dan
al-Maslahah al-Mursalah.
Adapun sebagian besar orang yang datang kepada
Imam Malik adalah orang-orang Mesir dan Maghribi
dari Afrika dan Andalusia, merekalah orang-orang yang
menyebarluaskan mazhab Maliki diseluruh Afrika Utara
dan Andalusia. Kemudian mazhab itu muncul di Basrah,
Baghdad, dan Khurasan, dengan perantaraan ulama. 210
Adapun orang-orang Mesir yang menyebarluaskan
mazhab Maliki di antaranya Abu Abdillah bin Wahab
bin Muslim Al-Quraisy, Abu Abdillah Abdur Rahman
bin Qasim Al-Itqi, Asyhab bin Abdul Aziz Al-Qaisi Al-
Amiri Al-Ja‟di, Abu Abdullah bin Hakam bin A‟yun bin
Laits, Ashbagh bin Faraj Al-Umawi, Muhammad bin
Abdullahbin Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim bin
Ziyad Al-Iskandari. Sedangkan penduduk Afrika dan
Andalusia diantaranya Abu Abdillah Ziyad bin Abdur
Rahman Al-Qurthubi, Isa bin Dinar Al-Andalusi, Yahya
bin Yahya Katsir Al-Laits, Abdul Malik bin Habib bin
Sulaiman As Salmi, Abdul Hasan Ali bin Ziyad At-
Tunisi, Asad bin Furat, Abdus Salam bin Sa‟id At
Tanukhi.211
Mereka itulah tokoh-tokoh yang menyiarkan mazhab
Maliki di negeri-negeri bagian barat. Adapun di negeri
bagian timur tidak ada orang yang melihat dan belajar
fiqh pada Imam Malik, akan tetapi di negeri bagian timur
terdapat orang-orang yang tidak melihat dan belajar
210
Hudhari Bik, Op.Cit.,hlm. 423 211
Ibid., hlm 423-430
80
kepada Imam Malik namun pandai tentang mazhab
Maliki, yaitu Ahmad bin Mu‟dzil bin Ghailan Al-abdi
dan Abu Ishak Isma‟il bin Isma‟il bin Hammad bin
Zaid.212
Demikianlah tokoh-tokoh yang mengajarkan dan
menyebarluaskan mazhab Maliki, hubungan mereka
kepada Imam Malik adalah hubungan murid kepada
gurunya dan hubungan perawi dengan orang yang
beristinbath. Apabila di kalangan mereka terdapat
perbedaan pendapat itu hanya disebabkan berbedanya
riwayat dari Imam Malik atau perbedaan pendapat dalam
memahami nash-nash yang diriwayatkan dari Imam
Malik.213
2. Mathla‟ Menurut Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa dalam
menetapkan awal bulan Hijriah (khususnya awal
Ramadan dan Syawal) dapat ditempuh dengan tiga cara
yaitu. Pertama, rukyat dari kelompok terbesar walau
mereka tidak tergolong orang yang adil, yakni terjamin
tidak akan berbuat dusta menurut kebiasaan, juga tidak
membedakan jenis kelamin, merdeka atau adilnya.
Kedua, rukyat dari dua orang adil atau lebih, baik
keadaan langit beraawan atau cerah.214
Ketiga,
mencukupi keberhasilan rukyat satu orang yang adil
pada kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat
terlihat.215
Dan mensyaratkan keberhasilan rukyat dua
orang yang adil pada rukyat awal Syawal.216
Serta dalam
kesaksian keberhasilan rukyat perempuan tidak dapat
diterima menurut kalangan Malikiah217
212
Ibid., hlm 430-431 213
Ibid., hlm 432 214
Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm.32 215
Jayusman, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan
Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syari‟ah,
Vol. 11, No. 1, edisi April 2015, hlm. 17 216
Ibid 217
Ibid
81
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Maliki sama
seperti halnya Mazhab Hanafi. „Abdurrahman Al-Jaziri
dalam kitabnya Al-Fiqhu „Ala Madzhabil Arba‟ah
menjelakan bahwasannya apabila telah ditetapkannya
rukyatul hilal pada suatu wilayah. Maka diwajibkan
berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya
perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh dari
wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah
sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah.
Maka, seluruh penduduk di muka bumi diwajibkan untuk
berpuasa. Dan tidak menjadi pertimbangan dengan
adanya perbedaan mathla‟ hilal secara mutlak.218
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam kitabnya al-
Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwasannya Mazhab
Maliki mereka berpendapat bahwa rukyat di suatu negeri
berlaku untuk seluruh kaum Muslim di negeri-negeri
lain. Sehingga perbedaan mathla‟ tidak memiliki
pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya bulan
baru Hijriah. Dan tanpa perlu mempertimbangkan jarak
qashar shalat (masafah al-qasr). Puasa wajib
dilaksanakan oleh setiap orang yang mendengar kabar
rukyat jika dilaksanakan oleh dua orang adil atau oleh
jama‟ah yang menyebarluaskan beritanya. 219
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Maliki juga
dapat dilihat dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid karangan seorang filosof ternama
dari Andalus Ibn ar-Rusyd (Malikiyah) yang mengikuti
dan memperkaya fiqh nya Imam Malik.220
Bahwasannya
Ibnul Qasim meriwayatkan dari Imam Malik
bahwasannya apabila di suatu wilayah orang-orang
belum berpuasa, kemudian ada berita bahwa di wilayah
lain orang-orang sudah berpuasa karena melihat hilal,
218
Abdurrahman Al-Jaziri, Loc.Cit. 219
Wahbah al-Zuhaili, 1996, Loc.Cit 220
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit.,hlm. 138
82
mereka yang tidak berpuasa itu wajib mengqadha
puasanya untuk hari tersebut.221
Mathla‟ menurut mazhab Maliki juga dapat dilihat
dalam kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi „Alas Syarhil Kabir
Bahwasannya rukyat di suatu negeri berlaku untuk
seluruh kaum muslimin di negeri-negeri lain. Baik negeri
yang dekat ataupun negeri yang jauh dari negeri
berhasilnya rukyat. Sehingga perbedaan mathla‟ tidak
memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan
masuknya bulan baru Hijriah. Dan tanpa perlu
mempertimbangkan jarak qashar shalat (masafah al-
qasr).222
Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya
fiqhul „ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mayoritas
fuqaha Malik menetapkan perbedaan mathla‟ tidak
berpengaruh, yaitu bila penduduk suatu negara melihat
hilal Ramadan, seluruh negara Islam wajib berpuasa
bersamaan dengan penduduk yang melihat hilal.
berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw. tentang
hisab rukyat, yaitu dengan argumentasi bahwa lafadz berpuasalah kamu karena melihat hilal” صوموا لرؤيتو وافطروا لرؤيتو
dan berbukalah kamu karena melihat hilal”.223
Khitab
(sasaran) yang dituju adalah seluruh umat Islam di
dunia, maka apabila salah seorang mereka menyaksikan
hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi
mereka semua.224
Tidak dibedakan oleh perbedaan
geografis dan batas-batas daerah kekuasaan.225
Wahbah
Al-Zuhaily menyatakan bahwasannya hadis ini
menunjukkan bahwa wajibnya berpuasa bagi seluruh
kaum muslimin berkenaan erat dengan rukyat yang tidak
221
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Alih
Bahasa, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Analisa Fiqih Para
Mujtahid, Cetakan Pertama, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm. 644 222
Hasyiyah Ad-Dasuqi „Alas Syarhil Kabir, Makatabah Syamilah, hlm.
2051 223
Hasan Ayub, Loc.Cit. 224
Sayyid sabiq, 1978, Op.Cit., hlm 172 225
Ahmad Izzuddin, Op.Cit., hlm. 86
83
terikat (mutlak). Oleh sebab itu, rukyat dapat diterima
atau terpenuhi baik dari orang banyak (jama‟ah) maupun
dari seseorang yang kesaksiannya diterima.226
C. Mathla’ Menurut Mazhab Syafi’i 1. Sejarah dan Pemikiran Mazhab Syafi‟i
Nama lengkap Imam Syafi‟i adalah Muhammad ibn
Idris ibn al-Abbas ibn Asy-Safi‟I ibn As-Sa‟ib ibn
„Ubaid ibn „Abduyazid ibn Muthalib ibn „Abdumanaf.
Muthalib adalah saudara kandung Hasyim ibn
„Abdumanaf. Sedangkan Hasyim adalah ayah „Abdul
Muthalib kakek Nabi Muhammad saw.227
Imam Syafi‟i
lahir di Gaza (Palestina) bagian selatan dari Palestina
pada tahun 150 H, pertengahan abad kedua Hijriah. Ada
juga ahli sejarah mengatakan bahwa ia lahir di Asqalan,
tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena Gaza
dahulunya adalah daerah Asqalan.228
Ibu Imam Syafi‟i adalah cucu perempuan dari
saudara perempuan Fatimah binti „Asad, ibu Imam „Ali
ibn Abi Thalib. Oleh karena itu, Imam Syafi‟i
mengatakan: “Ali ibn Abi Thalib adalah putera pamanku
dan bibiku.229
Memang benar, nama lengkap ibu Imam
Syafi‟i tidak diketahui secara pasti. Namun yang jelas, ia
adalah sosok ibu yang cerdas, ibu teladan, dan ibu
pendidik yang menyadari hak dan kewajibannya secara
proporsional.230
Imam Syafi‟i adalah orang Quraisy dari bani
Muthalib dan ibunya berasal dari suku Azdi berdasarkan
226
Wahbah Al-Zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 41 227
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit.,hlm. 382 228
Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Madzhab Syafi‟i,
Cetakan Keenam, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1994, hlm. 13 229
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Loc.Cit. 230
Ahmad Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi, Al-Imam Al-Syafi‟i Fi
Mazhabihi Al-Qadim Wa Al-Jadid, Alih Bahasa, Usman Sya‟roni,
Ensiklopedi Imam Syafi‟I (Biografi Dan Pemikiran Mazhab Fiqh Terbesar
Sepanjang Masa), Cetakan Pertama, Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika),
Jakarta, 2008, hlm. 10
84
pendapat yang sahih.231
Ayahnya termasuk miskin dan
sering meninggalkan Mekah untuk mencari penghidupan
yang lebih di Madinah. Akan tetapi, di kota tersebut ia
tidak menemukan yang dimaksud, kemudian ia bersama
keluarganya pindah ke Gaza dan meninggal dunia
disana, yaitu dua tahun setelah Imam Syafi‟i lahir.232
Dalam usia kanak-kanak Imam Syafi‟i diikutsertakan
belajar pada suatu lembaga pendidikan di Mekah. Dalam
usia 13 tahun, ia sudah mampu membaca al-Qur‟an
dengan tartil dan baik, dapat menghafalnya bahkan
memahami apa yang dibacanya sebatas kesanggupan
seorang anak yang berusia 13 tahun. Ia juga kemudian
belajar menghafal ilmu Hadis dan mencari pengetahuan
tentang fiqh sampai akhirnya pada usia kurang lebih 20
tahun ia bertemu dengan Imam Malik dan belajar
kepadanya.233
Dalam pemikirannya mengenai ilmu Fiqh Imam
Syafi‟i menyatakan bahwa seorang mujtahid harus
mencari ketentuan hukum didalam al-Qur‟an dan Sunah,
jika tidak terdapat pada keduanya maka harus dicari
didalam ijma‟ para sahabat Nabi yang berada di berbagai
daerah. Ijma‟ belum dianggap sah kecuali jika disepakati
oelh semua sahabat Nabi saw. apabila tidak menemukan
hukum dalam ijma‟. ia harus mencarinya dengan jalan
memeriksa, meneliti, dan mencari „illat (sebab) hukum
yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Sunah yang disebut
dengan qiyas.234
Pendirian Imam Syafi‟i tentang qiyas sangat hati-hati
dan keras, karena menurutnya qiyas dalam soal-soal
keagamaan itu tidak begitu perlu diadakan kecuali jika
memang keadaan memaksa.235
Imam Ahmad bin Hanbal
pernah berkata: “Saya pernah berkata kapada Imam
231
Ibid., hlm. 4 232
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Loc.Cit. 233
Ibid., hlm. 388 234
Ibid., hlm. 413 235
M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm 209
85
Syafi‟i tentang qiyas, maka ia berkata: “Di kala keadaan
darurat”. Artinya, bahwa ia menetapkan hukum
berdasarkan qiyas apabila keadaan memaksa.236
Imam Syafi‟i sangat mekankankan agar semua ulama
Fiqh, semua penguasa dan semua hakim dapat
menguasai dengan baik bahasa Arab. Sebab, hanya
dengan itu mereka akan dapat memahami dengan benar
nash-nash al-Qur‟an dan Sunah.237
Imam Syafi‟i
kemudian meringkas kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai
berikut:
“Kami menetapkan ketentuan hukum
berdasarkan kitabullah (l-Qur‟an)dan Sunah yang
ijma‟ nya tidak mengandung perbedaan pendapat.
Mengenai itu kami mengatakan bahwa kami telah
menetapkan ketentuan hukum atas dasar
kebenaran lahir dan batin (yang nyata dan
tersembunyi). Kami menetapkan ketentuan
hukum menurut Sunah yang diriwayatkan „an
thariq al-infirad (secara perorangan). Kami pun
menetapkan ketentuan hukum berdasarkan ijma‟
dan qiyas (perbandingan), namun qiyas lebih
lemah daripada ijma‟. Akan tetapi, jalan qiyas
baru dapat ditempuh dalam keadaan darurat,
karena qiyas tidak boleh ditempuh selagi masih
terdapat khabar (hadis).” 238
Pada tahun 195 H. datang ke Irak dan sekumpulan
ulama belajar kepadanya. Disanalah ia mengajarkan
kitab-kitabnya yang ditulisnya dalam mazhab Irak atau
mazhab qadim. Kemudian pada tahun 198 H. Ia pergi ke
Mesir. Disanalah tampak kelebihan-kelebihan Imam
Syafi‟i mengenai pemikiran dan pendapatnya, maka ia
mengajarkan kitab-kitabnya yang baru kepada murid-
236
Ibid 237
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 428 238
Ibid., hlm. 433
86
muridnya di Mesir, atau disebut dengan mazhab jadid. Ia
terus menetap di Mesir sampai ia wafat.239
Demikianlah Imam Syafi‟i adalah pakar
yurisprudensi Islam, salah seorang tokoh yang tidak
kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap
keadaan lingkungan tempat beliau menentukan hukum,
sehingga tidak segan-segan untuk mengubah penetapan
yang semula telah ia lakukan untuk menggantikan
dengan hukum yang baru, karena berubah keadaan
lingkungan yang dihadapi. Qaul qadim sebagai hasil
ijtihadnya yang pertama dan qaul jadid sebagai
pembaharuan ijtihad sebelumnya.240
Imam Syafi‟i kurang lebih selama 30 tahun ia
menulis buku-buku tentang ilmu fiqh, dan diantara buku-
bukunya yang sangat terkenal adalah ar-Risalah dan al-
„Umm.241
Imam Syafi‟i wafat Pada malam Jum‟at
tanggal 28 Rajab tahun 204 H. dalam usia 54 tahun, ia
wafat meninggalkan ilmu Fiqh yang nyaris meratai kaum
Muslim di muka bumi.242
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas bahwa
mazhab Syafi‟i merupakan sekumpulan pemikiran Imam
Syafi‟i di bidang hukum-hukum syari‟at yang digali
dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci
(tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, serta memiliki
keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan
sebagai satu kesatuan. Dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan mazhab Syafi‟i adalah ushul dan
fiqhnya. Dapatlah dipahami pula bahwa Imam Syafi‟i
mendasarkan mazhabnya pada al-Qur‟an, Hadis Rasul
yang dianggap sahih, al-Ijma‟, dan al-Qiyas.
Adapun murid-murid Imam Syafi‟i yang
menyebarluaskan atau membesarkan mazhabnya adalah
muridnya yang di Irak dan Mesir. Adapun murid-
239
Hudhari Bik, Op.Cit., hlm. 435-436 240
M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm 213 241
Ibid 242
Ibid., hlm. 436
87
muridnya yang terdiri dari orang-orang Irak antara lain:
Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman Al-Kilbi Al-
Baghdadi, Ahmad bin Hanbal, Hasan bin Muhammad
bin Shabah Az-Za‟farani Al-Baghdadi, Abu Ali Al-
Husain bin Ali Al-Karabisi, dan Ahmad bin Yahya bin
Abdul Aziz Al-Baghdadi. Sedangkan yang terdiri dari
orang-orang Mesir antara lain: Yusuf bin Yahya Al-
Buwaith Al-Misri, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-
Muzni Al-Misri, Rabi‟ bin Abdul Jabbar Al-Muradi,
Harmalah bin Yahya bin Abdullah At-Tajibi, Yunus bin
Abdul A‟la Ash Shadafi Al-Misri, dan Abu Bakar
Muhammad bin Ahmad.243
2. Mathla‟ Menurut Mazhab Syafi‟i
Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa dalam
menetapkan awal bulan Hijriah ditetapkan berdasarkan
pada kebiasaan masyarakat memegang rukyatnya dari
seorang yang adil walau identitas pribadinya tidak jelas,
baik ketika langit dalam keadaan cerah atau tidak.
Dengan syarat yang melihatnya termasuk orang yang
adil, muslim, baligh, berakal, merdeka dan lelaki. Sebab
Ibnu Umar pernah melihat hilal lalu menyampaikannya
kepada Rasulullah saw. kemudian beliaupun menyambut
beritanya dengan melakukan puasa dan
memerintahkannya kepada masyarakat.244
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Syafi‟i.
„Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu „Ala
Madzhabil Arba‟ah menjelaskan bahwasannya apabila
rukyatul hilal telah ditetapkan pada suatu wilayah, maka
wilayah tersebut dan wilayah lain yang berdekatan
dengan wilayah penetapan rukyatul hilal diwajibkan
untuk berpuasa atas dasar penetapan hilal di wilayah
tersebut. Dan wilayah yang dekat itu memiliki mathla‟
yang sama dengan wilayah ditetapkannya hilal, dengan
243
Hudhari Bik, Op.Cit., hlm. 437-443 244
Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 33
88
batasan jarak antara kurang lebih 24 farsakh.245
Sedangkan wilayah yang jauh dari wilayah
ditetapkannya rukyatul hilal tidak diwajibkan untuk
berpuasa disebabkan adanya perbedaan mathla‟.246
Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-
Syarbini (Syafi‟iah) dalam kitabnya Mughniyl Muhtaaj
(Matan Minhaaj Ath-Thalibin) menjelaskan
bahwasannya apabila hilal terlihat pada suatu negeri
maka hukumnya hanya berlaku bagi negeri yang terdekat
dari negeri terlihatnya hilal yaitu sejarak dibolehkannya
qashar shalat (masafah al-qasr).247
Muhammad ibn Muhammad Abi Hamid al-ghazali
(Syafi‟iah) dalam kitabnya Al-Wajiz fi Fiqhi Madzhab
al-Imam Asy-Syafi‟i bahwa apabila telah terlihat hilal
pada suatu tempat, maka tidak diharuskan untuk
berpuasa bagi tempat lain. Ukuran jauh dan dekatnya
tempat terlihatnya hilal dengan tempat-tempat lain
dengan jarak boleh di qasharnya shalat (masafah al-
qasr). Dan apabila seseorang berpuasa dan melakukan
perjalanan ke wilayah lain, kemudian setelah masuknya
hari ke 30 ia belum melihat hilal, maka ia tetap berpuasa
bersama penduduk di wilayah tersebut dengan hukum
sesuai keadaan wilayah yang dikunjungi. Dan
seandainya kita berpergian ke suatu wilayah yang belum
terlihat hilal, maka lebih utama untuk untuk tetap
berpuasa. Maka ia tetap mendapatkan pahala puasa.248
Sayyid Sabiq dalam kitabnya fiqhu As- Sunnah
menjelaskab bahwa pendapat yang dipilih oleh golongan
245
Satu farsakh kira-kira 5544 m, maka satu mathla‟ adalah 133,56 km.
Lihat Ibid., hlm. 39 246
Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 550 247
Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini,
Mughniyl Muhtaaj (Matan Minhaaj Ath-Thalibin), Jilid I, Dar Al-Fikr,
Beirut, hlm. 569-570 248
Muhammad Ibn Muhammad Abi Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz Fi
Fiqhi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi‟I, Dar Al-Fikr, Beirut, 2004, hlm. 84
89
Syafi‟i ialah setiap wilayah memiliki rukyat masing-
masing. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Kuraib:249
حد نا ممد بن : حد نا إ اعي بن عفر : حد نا علي بن ح ر أن أم الف بنت الارث ب عثتو إل : أ ب ر كري : أب حرملة
واسته . ف ق يت حا ت ها. ف قدمت اللام : قال . معاوية باللام لة اامعة . علي ى ل رم ان وأنا باللام ث قدمت . ف رأي نا ال ل لي
: ف قال . ث كر ال ل . ف أل ابن عباا . المدي نة أ ر اللهر لة اامعة لة : ف قال . مت رأي تم ال ل ف قلت رأي ناه لي أنت رأي تو لي
لة : قال . وصام معاوية . اامعة ف قلت رأه الناا وصاموا لكن رأي نو لي ف قلت أال . ف ن ال نصوم حت نكم ي وما أون راه . ال بت
ىكذا أمرنا رسول اهلل صلى . ال : تكتفي برؤية معاوية وصيامو قال (رواه م لم) 250.اهلل عليو وسلم
Artinya: “ Ali bin Hujr menceritakan kepada kami,
Ismail bin Ja‟far memberitahukan kepada
kami, Muhammad bin Abu Harmalah
memeberitahukan kepada kami, Kuraib
memberitahukan kepadaku: “ Ummu al-Fadhl
binti al-Harits mengutusnya (untuk
menghadap) Mu‟awiyah di Syam. Ia berkata,
“Aku sampai ke Syam, lantas menyelesaikan
urusanku dan aku melihat hilal (bulan sabit)
bulan Ramadhan telah terbit, sedangkan aku
berada di Syam. Kami melihat bulan itu pada
malam Jum‟at. Aku sampai di Madinah pada
akhir bulan Ramadan dan Ibnu Abbas
bertanya kepadaku, kemudian ia menyebutkan
249
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990, hlm.
307 250
Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II, Maktabah
Dahlan, Indonesia, hlm. 765, Hadits No 1087, Bab Puasa
90
hilal tersebut, ia bertanya, „kapan kamu
melihat bulan itu?‟ Aku menjawab,‟Kami
melihatnya pada malam Jum‟at.‟ Ia bertanya
lagi, „Apakah kamu melihatnya pada malam
Jum‟at?‟ Aku katakana,‟Orang-orang
melihatnya, kemudian mereka berpuasa dan
Mu‟awiyah juga berpuasa‟. Kemudian ia
berkata,‟Tetapi kamu melihatnya pada malam
Sabtu, dan kami masih berpuasa hingga
menyempurnakan tiga puluh hari atau
(sampai) kami melihatnya‟. Aku lalu
berkata.‟Apakah tidak cukup dengan melihat
Mu‟awiyah dan puasanya?‟ Ia menjawab,
„Tidak, Rasulullah saw. memerintahkan kami
demikian‟.”251
(H.R. Muslim)
Imam Tirmidzi berpendapat bahwa hadis ini
termasuk hadis hasan shahih gharib, dan hadis ini
diamalkan menurut pendapat ahli Ilmu bahwasannya
untuk setiap wilayah berlaku rukyat masing-masing. Dan
dalam kitab Fathul „Alam, syarah Bulughul Maram
menjelaskan bahwa keharusan mengikuti rukyat bagi
wilayah yang lebih dekat dengan wilayah berhasilnya
rukyat, berikut wilayah lain yang berada dalam satu garis
bujur dengan wilayah itu. 252
Sedangkan Ibnu Rusyd
menyatakan lahir hadis ini menghendaki bahwa tiap-tiap
negeri itu mempunyai rukyat sendiri-sendiri, baik negeri
atau wilayah itu saling berjauhan atau berdekatan.
Sedangkan berdasarkan ilmiah harus dibedakan antara
negeri atau wilayah yang jauh dengan yang dekat,
251
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi,
Penerjemah, Ahmad Yuswaji, Shahih Sunan Tirmidzi (Seleksi Hadits Shahih
dari Kitab Sunan Tirmidzi), Cetakan Pertama, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005,
hlm. 556-557 252
Sayyid Sabiq, 1990, Op.Cit., hlm. 307
91
khususnya bila terdapat perbedaan garis lintang dan
meridiannya jauh sekali.253
Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya
fiqhul „ibadaat biadillatiha fil islam bahwa pendapat
yang di pilih Syafi‟iah bahwa setiap penduduk suatu
negara berhak melihat hilal sendiri. Karena setiap
kelompok diperintahkan berdasarkan apa yang ada
mereka dan bertanggung jawab di hadapan Allah swt.
Berdasarkan hasil ijtihad mereka dalam rukyat, pendapat
ini berpedoman kepada hadis Kuraib.254
Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwasannya
Syafi‟iah menyamakan perbedaan antara mathla‟ bulan
dan mathla‟ matahari dengan perbedaan waktu shalat.
Sedangkan secara rasio (al-Ma‟qul) bahwa hukum Islam
(syara‟) menetapkan wajibnya puasa karena lahirnya
bulan Ramadan. Padahal awal Ramadan sendiri tidak
sama karena adanya perbedaan suatu negeri termasuk
jaraknya. Hukum dalam memulai puasa sesuai keadaan
negeri itu sendiri.255
D. Mathla’ Menurut Mazhab Hanbali
1. Sejarah dan Pemikiran Imam Hanbali
Imam Hambali nama lengkapnya ialah al-Imam Abu
Abdillah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal Addahili as-
Syaibani al-Maruzi, ia dilahirkan di kota Baghdad pada
tahun 164 H. Ayahnya bernama Muhammad as-
Syaibani, sedangkan ibunya bernama Syarifah binti
Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun
as-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari
golongan terkemuka kaum bani Amir.256
Ayahnya wafat
di kala Imam Ahmad ibn Hanbal masih kanak-kanak.257
253
Ibnu Rusyd, Bidayatu ‟l-Mujtahid, Alih Bahasa, M.A. Abdurrahman
dan A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayatu „l-Mujtahid, Cetakan Pertama,
CV. Asy-Syifa, Semarang, 1990, hlm. 598 254
Hasan ayub, Loc.Cit. 255
Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 40 256
M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm. 221-222 257
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit.,hlm. 449
92
Imam Ahmad ibn Hanbal sejak kecil sudah dapat
menghafal al-Qur‟an, sudah biasa mempelajari dan
memikirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat
didalamnya. Bahkan sejak kecil, ia pun sudah belajar dan
mempelajari ilmu hadis.258
Pada usia 15 tahun Imam Ahmad ibn Hanbal mulai
giat mempelajari ilmu hadis. Selama 7 tahun ia
mempelajari hadis-hadis pada guru-gurunya di Baghdad.
Untuk lebih memperkaya ilmu penegetahuannya tentang
hadis, pada usia 18 tahun ia berangkat ke Bashrah, dan
berguru pada ulama hadis di kota itu. Namun setelah satu
satu tahun di Bashrah. Ia pergi ke Hijaz. Disana ia
bertemu dengan Imam Syafi‟i dan berguru padanya.259
Imam Ahmad ibn Hanbal juga pergi menuntut ilmu
ke Yaman dan Mesir. Di antara gurunya yang lain adalah
Yusuf al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Human
dan Ibn Abbas. Imam Ahmad ibn Hanbal banyak
mempelajari dan meriwayatkan hadis, dan ia tidak
mengambil hadis kecuali hadis-hadis yang sudah jelas
sahihnya. Oleh karena itu, akhirnya ia berhasil
mengarang kitab hadis, yang terkenal dengan nama
Musnad Ahmad Hanbali.260
Dalam hal menggali atau menarik kesimpulan hukum
syari‟at serta dalam menetapkan fatwa-fatwanya. Imam
Ahmad ibn Hanbal bersandar pada al-Qur‟an, Sunah
Rasul, pernyataan para sahabat Nabi, serta hadis-hadis
mereka, barulah ia menempuh qiyas apabila dalam
keadaan darurat. Dan Imam Ahmad berbeda dari
pendahulunya, ia lebih mengutamakan hadits dha‟if dari
pada qiyas. Selagi ia memandang hadis itu benar dan ia
yakin bahwa hadis itu tidak maudhu‟.261
Metode qiyas Imam Ahmad ibn Hanbal lebih luas
dari pada metode qiyas yang ditempuh oleh para Imam
258
Ibid., hlm. 447 259
Ibid., hlm. 452 260
Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. xxxi 261
Ibid., hlm. 488-489
93
ahli Fiqh lainnya. Dalam metode qiyas nya ia tidak
hanya melihat pada kesamaan atau kemiripan „illat saja,
melainkan lebih jauh lagi, yaitu melihat pada hikmah
yang terkandung dalam kasus pemecahan hukum. Sebab
„illat suatu ketentuan hukum adalah sebabnya,
sedangkan hikmah yang terkandung dalam pemecahan
hukum adalah tujuannya. Yaitu kemaslahatan yang
hendak diwujudkan dan kemudharatan yang hendak
dihindarkan.262
Selain itu ia juga mengindahkan prinsip
istihsan,263
yaitu menetapkan hukum mengenai suatu
kasus dengan ketetapan hukum yang berlainan dengan
hukum yang ditetapkan pada kasus yang serupa, atas
dasar pertimbangan kemaslahatan agama dan umat. Lain
halnya dengan Imam Syafi‟i yang mengatakan bahwa
istihsan adalah taladzdzudz (istihsan adalah suatu
kenyamanan).264
Kemudian ia juga tidak mengabaikan prinsip
istihsab, yaitu tidak mengabaikan kenyataan. Apa yang
berlaku di masa lalu, tetap berlaku di masa kini dan
mendatang, selama tidak ada dalil (alasan yang nyata dan
kongkrit) untuk dapat mengubahnya. Imam Ahmad ibn
Hanbal juga berpegang pada prinsip dzari‟ah, yaitu cara,
jalan, atau sarana yang mengakibatkan terjadinya suatu
perbuatan. Dalam hal itu, ia memperluas pengertiannya.
Bahwa cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan
hukumnya sama dengan hukum tujuannya. Yakni apabila
cara, jalan atau sarana yang mengakibatkan hal-hal yang
haram. Maka hukumnya adalah haram, dan juga
sebaliknya.265
262
Ibid., hlm. 490 263
Menurut istilah ulama Ushul Fiqh, Istihsan ialah meninggalkan
ketentuan qiyas yang jelas „illat nya untuk mengamalkan qiyas yang samar
„illat nya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan perpegang
kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang
memperkuatnya. Lihat M. Ali Hasan, Op.Cit., hlm. 190 264
Abdurrahman Asy-Syarkawi, Op.Cit., hlm. 491 265
Ibid
94
Pemikiran Imam Ahmad ibn Hanbal sangat
dipengaruhi oleh pemikiran gurunya yaitu Imam Syafi‟i,
dikemudian hari setelah Imam Ahmad ibn Hanbal
menjadi seorang imam besar, ia berkata, “jika saya
ditanya mengenai masalah yang saya tidak mengetahui
hadisnya, saya akan menjawab menurut pendapat asy-
Syafi‟i.”266
Dalam usia 77 tahun ia masih terus melanjutkan
kegiatan mengajar, yang dalam usia setua itu, ia
menderita sakit, makin hari makin keras. Pada masa
hidupnya, ia merupakan ahli Fiqh satu-satunya. Tak lama
kemudian ia wafat.267
Imam Ahmad ibn Hanbal wafat
pada hari Jum‟at tanggal 12 bulan Rabi‟ul Awal tahun
241 H. jenazahnya dan di makamkan di Baghdad setelah
shalat Jum‟at.268
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas bahwa
mazhab Hanbali merupakan sekumpulan pemikiran
Imam Ahmad bin Hanbal di bidang hukum-hukum
syari‟at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil
secara terperinci (tafshil), kaidah-kaidah dan ushul, serta
memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu
dijadikan sebagai satu kesatuan. Dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan mazhab Hanbali adalah
ushul dan fiqhnya. Dapatlah dipahami pula bahwa Imam
Ahmad bin Hanbal mendasarkan mazhabnya pada al-
Qur‟an, Hadis Rasul yang dianggap sahih, al-Ijma‟, dan
al-Qiyas, Istihsan, Istihsab, dan Dzari‟ah.
Adapun sebagian orang yang terkenal
menyebarluaskan atau membesarkan mazhabnya adalah
Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani‟ yang
terkenal dengan Atsram, Ahmad bin Muhammad bin
Hajaj Al-Marwazi, dan Ishak bin Ibrahim yang terkenal
dengan Ibnu Rahawaih Al- Marwazi.269
266
Ibid., hlm. 470 267
Ibid., hlm 550 268
Ahmad Asy-Syurbasi, Op.Cit., hlm. 257 269
Hudhari Bik, Op.Cit.,hlm. 444-445
95
2. Mathla‟ Menurut Mazhab Hanbali
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa dalam
menetapkan awal bulan Hijriah dapat ditetapkan
berdasarkan oleh seorang mukallaf, adil dalam prilaku
dan jiwanya, lelaki, perempuan atau budak belian. Dan
tidak memadai keberhasilan rukyat seorang yang adil
apabila ada penghalang, dan mensyaratkan keberhasilan
rukyat dua orang yang adil pada rukyat awal Syawal
untuk penentuan Idul Fitri.270
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Hanbali
„Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya Al-Fiqhu „Ala
Madzhabil Arba‟ah menjelaskan bahwasannya apabila
telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah.
Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan
tidak adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat
dan jauh dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal.
Apabila telah sampai kabarnya rukyatul hilal kepada
seluruh wilayah. Maka, seluruh penduduk di muka bumi
diwajibkan untuk berpuasa. Dan tidak menjadi
pertimbangan dengan adanya perbedaan mathla‟ hilal
secara mutlak.271
Dijelaskan juga oleh Wahbah al-Zuhaili dalam
kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwasannya
pendapat jumhur ulama Mazhab Hanbali mereka
berpendapat bahwa rukyat di suatu negeri berlaku untuk
seluruh kaum muslimin di negeri-negeri lain yang dekat
maupun jauh. Maka, seluruh orang wajib berpuasa
termasuk bagi yang melihatnya.272
Ibnu Qudamah (Hanabilah) dalam kitabnya Al-
Mughni bahwasannya umat Muslim sepakat atas
wajibnya berpuasa di bulan Ramadan yang apabila telah
ditetapkannya rukyatul hilal pada hari tersebut dari
bulan Ramadan, berdasarkan kesaksian orang-orang
270
Wahbah Al-zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 34-36 271
Abdurrahman Al-Jaziri, Loc.Cit. 272
Wahbah al-Zuhaili, 1996, Loc.Cit.
96
yang terpercaya. Maka diwajibkan berpuasa Ramadan
bagi seluruh Muslim.273
Hasan Ayub juga menerangkan dalam kitabnya
fiqhul „ibadaat biadillatiha fil islam bahwa mayoritas
ulama Hanabilah menetapkan perbedaan mathla‟ tidak
berpengaruh, yaitu bila penduduk suatu negara melihat
hilal Ramadan, seluruh negara Islam wajib berpuasa
bersamaan dengan penduduk yang melihat hilal.
berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw. tentang
hisab rukyat, yaitu dengan argumentasi bahwa lafadz berpuasalah kamu karena melihat hilal” صوموا لرؤيتو وافطروا لرؤيتو
dan berbukalah kamu karena melihat hilal”274
Khitab
(sasaran) yang dituju adalah seluruh ummat, apabila
salah seorang mereka menyaksikan hilal pada tempat
manapun, itu berarti rukyat bagi mereka semua.275
Tidak
dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas daerah
kekuasaan.276
Sedangkan Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwa
hadis di atas menunjukkan wajibnya berpuasa bagi
seluruh kaum muslimin berkenaan erat dengan rukyat
yang tidak terikat (mutlak). Oleh sebab itu, rukyat dapat
diterima atau terpenuhi baik dari orang banyak (jama‟ah)
maupun dari seseorang yang kesaksiannya diterima.277
273
Abi Muhammad „Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Al-Mughni Fi
Fiqhi Al-Imam Ahmad Ibn Hanal Asy-Syaibani, Juz III, Dar Al-Fikr, Beirut,
hlm. 5 274
Hasan Ayub, Loc.Cit. 275
Sayyid sabiq, 1978, Op.Cit., hlm 172 276
Ahmad Izzuddin, Op.Cit., hlm. 86 277
Wahbah Al-Zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 41
97
BAB IV PENDAPAT EMPAT MAZHAB TENTANG MATHLA’
DALAM PERSPEKTIF ASTRONOMI
A. Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla’ dalam
Penentuan Awal Bulan Hijriah
Penentuan awal bulan Hijriah sering menjadi persoalan
dan perselisihan di kalangan umat Islam. Adanya perbedaan
pendapat mengenai kapan tanggal satu bulan Hijriah selain
bersumber pada perbedaan metode dan perbedaan sistem
penentuannya, juga dapat terjadi karena adanya perbedaan
batas geografis keberlakuan rukyat (mathla‟).
Perbedaan pendapat mengenai mathla‟ ini sudah ada
sejak periode klasik. Hal ini bermula dari perbedaan apabila
hilal berhasil dirukyat di suatu wilayah, maka apakah hasil
rukyat di wilayah tersebut berlaku untuk seluruh umat Islam yang ada di seluruh dunia, ataukah hanya diberlakukan
untuk kaum Muslim di wilayah tempat keberhasilan rukyat
tersebut saja, atau berlaku juga bagi wilayah yang
berdekatan dari wilayah berhasilnya rukyat hilal.
Adanya perbedaan pendapat tentang masalah mathla‟
dalam mentukan kapan awal bulan Hijriah. Menurut penulis
perbedaan mathla‟ ini merupakan hasil ijtihad yang
disebabkan adanya perbedaan pemahaman di dalam
menafsirkan hadis-hadis tentang penentuan awal bulan
Hijriah atau hadis tentang hisab rukyat, yang masing-masing
kelompok atau kalangan memiliki argumen yang didasarkan
pada dalil-dalil yang dianggap kuat. Menurut penulis
masing-masing pemahaman merupakan hasil ijtihad yang
berpotensi benar dan salah.
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Hanafi bahwa
apabila telah ditetapkan rukyatul hilal pada suatu wilayah.
Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak
adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh
dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah
98
sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah,
semua penduduk di muka bumi diwajibkan untuk berpuasa.
Tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan
mathla‟ hilal secara mutlak.278
Mazhab Hanafi juga
menegaskan bahwa perbedaan mathla‟ tidak memiliki
pengaruh apapun terhadap penentuan masuknya bulan baru
Hijriah. 279
Apabila penduduk suatu negara melihat hilal
Ramadan, maka seluruh negara Islam wajib berpuasa
bersama-sama dengan penduduk yang melihat hilal.280
Yaitu
wajib berpuasa bagi semua manusia, baik penduduk bagian
Timur berdasarkan rukyatnya, maupun penduduk bagian
Barat. Atas dasar keumuman dari khitab lafaz "صموا" yang
secara mutlak rukyat tersebut hukumnya diberlakukan secara
umum. 281
Mengenai mathla‟ menurut mazhab Maliki bahwasannya
apabila telah ditetapkan rukyatul hilal pada suatu wilayah.
Maka diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak
adanya perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh
dari wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah
sampai kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah,
semua penduduk di muka Bumi diwajibkan untuk berpuasa.
Dan tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan
mathla‟ hilal secara mutlak. 282
Sehingga perbedaan mathla‟
tidak memiliki pengaruh terhadap penentuan masuknya
bulan baru Hijriah. Dan tanpa perlu mempertimbangkan
jarak qashar shalat (masafah al-qasr).283
Apabila di suatu
wilayah orang-orang belum berpuasa, kemudian ada berita
bahwa di wilayah lain orang-orang sudah berpuasa karena
melihat hilal, mereka yang tidak berpuasa itu wajib
278
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu „Ala Madzhab Al-Arba‟ah, Juz I,
Dar Al- Fikr, Beirut, 1990, hlm. 550 279
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Jilid II, Dar
Al- Fikr, Dimsyiq, 1996, hlm. 605 280
Al-Mabsuth Lisyaibany, Maktabah Syamilah, hlm. 350 281
Fathul Qadir, Maktabah Syamilah, hlm. 1790 282
Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit.,hlm. 550 283
Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit.,hlm. 605
99
mengqadha puasanya untuk hari tersebut berdasarkan
keumuman hadis Rasulullah saw. tentang rukyat. 284
Mathla‟ menurut mazhab Hanbali bahwasannya apabila
telah ditetapkannya rukyatul hilal pada suatu wilayah. Maka
diwajibkan berpuasa bagi seluruh wilayah dan tidak adanya
perbedaan mengenai wilayah yang dekat dan jauh dari
wilayah ditetapkannya rukyatul hilal. Apabila telah sampai
kabarnya rukyatul hilal kepada seluruh wilayah semua
penduduk di muka Bumi diwajibkan untuk berpuasa. Dan
tidak menjadi pertimbangan dengan adanya perbedaan
mathla‟ hilal secara mutlak.285
Apabila penduduk suatu
negara melihat hilal Ramadan, berdasarkan kesaksian orang-
orang yang terpercaya. Maka diwajibkan berpuasa Ramadan
bagi seluruh Muslim berdasarkan keumuman hadis
Rasulullah saw. tentang rukyat. 286
Berdasarkan berbagai uraian pendapat mazhab Hanafi,
Maliki dan Hanbali tentang batas geografis keberlakuan
rukyat/mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah di atas
bahwasannya mereka berpendapat bahwa perbedaan tempat
terbit bulan (mathla‟) itu tidaklah menjadi persoalan atau
masalah. Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka
wajiblah puasa bagi seluruh negeri. Mereka berpendapat
demikian disebabkan keumuman hadis Rasulullah saw.
tentang rukyat.
أن رسول اهلل صلى اهلل عليو . حديث عبد اللو بن عمر رضي اهلل عن هما وال ت فطروا حت . ال تصوموا حت ت روا ال ل : وسلم كر رم ان ف قال
284
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Alih
Bahasa, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Analisa Fiqih Para
Mujtahid, Cetakan Pertama, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm. 644 285
Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit.,hlm. 550 286
Abi Muhammad „Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Al-Mughni Fi
Fiqhi Al-Imam Ahmad Ibn Hanal Asy-Syaibani, Juz III, Dar Al-Fikr, Beirut,
hlm. 5
100
287 (رواه البخاري )فإن غم عليكم فاقدروا لو . ت روه Artinya: “Hadis „Abdullah bin „Umar r.a. bahwasannya
Rasulullah saw, menyebut Ramadan, kemudian
beliau bersabda:”Janganlah kamu berpuasa
sehingga kamu melihat hilal (bulan sabit), dan
janganlah kamu berhari raya sehingga kamu
melihatnya, apabila tertutup oleh mendung maka
perkirakanlah.”288
(H.R. Bukhari)
عن اب ىري رة رضي اهلل عنو ي قول قال النب صلى اهلل عليو وسلم صوموا ة لرؤيتو وافطروا لرؤيتو فإن غبي عليكم فأكملوا عد
289(رواه البخاري ) شعبان Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw.
bersabda: Berpuasalah bila kalian melihat bulan,
dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun
bila bulan itu tertutup atas kalian (oleh awan),
maka sempernukanlah hitungan bulan Sya‟ban itu
menjadi tiga puluh hari.”290
(H.R. Bukhari).
Berdasarkan hadis di atas bahwasannya lafaz صوموا لرؤيتو berpuasalah kamu karena melihat hilal dan” وافطروا لرؤيتو
berbukalah kamu karena melihat hilal”. Khitab (sasaran)
yang dituju adalah seluruh umat Islam, maka apabila salah
seorang Muslim menyaksikan hilal pada tempat manapun,
287
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub
Al- Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 345. Hadits No 1906, Bab Puasa 288
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan, Alih Bahasa,
Muslich Shabir, Terjemah Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan Koleksi Hadits yang
Disepakati oleh Al-Bukhori dan Muslim, Jilid 2, Al-Ridha, Semarang, 1993,
hlm. 1-2 289
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit., hlm 346. Hadits No 1909,
Bab Puasa 290
Safuan Alfandi, Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang
Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162
101
itu berarti rukyat bagi semua umat Islam di muka Bumi. 291
Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas
daerah kekuasaan. 292
Dasarnya, karena hadis Nabi ini tidak
memberikan batasan keberlakuan rukyatul hilal itu. Jadi,
mestinya berlaku untuk seluruh dunia.293
Sedangkan mengenai mathla‟ menurut mazhab Syafi‟i
bahwasannya apabila rukyatul hilal telah ditetapkan pada
suatu wilayah, maka wilayah tersebut dan wilayah lain yang
berdekatan dengan wilayah penetapan rukyatul hilal
diwajibkan untuk berpuasa atas dasar penetapan hilal di
wilayah tersebut. Dan wilayah yang dekat itu memiliki
mathla‟ yang sama dengan wilayah ditetapkannya hilal,
dengan batasan jarak antara kurang lebih 24 farsakh.294
Sedangkan wilayah yang jauh dari wilayah ditetapkannya
rukyatul hilal tidak diwajibkan untuk berpuasa disebabkan
adanya perbedaan mathla‟. 295
Bahkan sebagian Syafi‟iah
menyatakan apabila hilal terlihat pada suatu negeri maka
hukumnya hanya berlaku bagi negeri yang terdekat dari
negeri terlihatnya hilal yaitu sejarak dibolehkannya qashar
shalat (masafah al-qasr).296
Dan apabila seseorang berpuasa
291
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990, hlm.
307 292
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2007, hlm. 86 293
Thomas Djamaluddin, Hasil Hisab dan Rukyat Dapatkah Dipadukan,
Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama,
Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama Dan Diklat
Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta, 2004, hlm. hlm. 244 294
Wahbah al Zuhaily menjelaskan mengenai batasan jarak mathla‟
bahwa satu mathla‟ setara dengan 24 farsakh. Jika 1 farsakh 5544 m, maka
jarak 1 mathla‟ tersebut adalah 24 × 5544 = 133,056 km. Akan tetapi, jika 1
farsakh adalah 3 mil, maka jarak 1 mathla‟ tersebut menjadi 1,6093 km × 3 ×
24 = 115,8696 km.Satu farsakh kira-kira 5544 m, maka satu mathla‟ adalah
133,56 km. Lihat Wahbah Al-zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu,
Alih Bahasa, Masdar Helmy, Fiqih Shaum, I‟tikaf Dan Haji, Cetakan
Pertama, CV. Pustaka Media Utama, Bandung, 2006, hlm. 39 295
Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 550 296
Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini,
Mughniyl Muhtaaj (Matan Minhaaj Ath-Thalibin), Jilid I, Dar Al-Fikr,
Beirut, hlm. 569-570
102
dan melakukan perjalanan ke wilayah lain, kemudian setelah
masuknya hari ke 30 ia belum melihat hilal, maka ia tetap
berpuasa bersama penduduk di wilayah tersebut dengan
hukum sesuai keadaan wilayah yang dikunjungi. Dan
seandainya kita berpergian ke suatu wilayah yang belum
terlihat hilal, maka lebih utama untuk untuk tetap berpuasa.
Maka ia tetap mendapatkan pahala puasa. 297
Berdasarkan pendapat yang sahih, pandangan sebagian
Syafi‟iah yang membedakan jarak dekat dan jauh
berdasarkan ukuran jarak qashar shalat (masafahal-qasr)
tidak bisa dijadikan dasar hukum.298
Atas dasar itu pendapat
yang dipilih oleh golongan Syafi‟i ialah setiap wilayah
memiliki rukyat masing-masing. Maka setiap Muslim tidak
diwajibkan berpuasa sebab rukyatul hilal selain dari wilayah
mereka. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Kuraib.299
حد نا ممد بن أب : حد نا إ اعي بن عفر : حد نا علي بن ح ر أن أم الف بنت الارث ب عثتو إل معاوية : أ ب ر كري : حرملة واسته علي ى ل . ف ق يت حا ت ها. ف قدمت اللام : قال . باللام
لة اامعة . رم ان وأنا باللام ث قدمت المدي نة أ ر . ف رأي نا ال ل لي مت رأي تم ال ل : ف قال . ث كر ال ل . ف أل ابن عباا . اللهر
لة اامعة لة اامعة ف قلت رأه الناا : ف قال . ف قلت رأي ناه لي أنت رأي تو لي لة ال بت : قال . وصام معاوية . وصاموا ف ن ال نصوم حت . لكن رأي نو لي
: ف قلت أال تكتفي برؤية معاوية وصيامو قال . نكم ي وما أون راه
297
Muhammad Ibn Muhammad Abi Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz Fi
Fiqhi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi‟I, Dar Al-Fikr, Beirut, 2004, hlm. 84 298 Wahbah Al-Zuhaily, 2006, Op.Cit., hlm. 38 299
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hlm. 307
103
(رواه م لم) 300.ىكذا أمرنا رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم . ال Artinya: “ Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Ismail
bin Ja‟far memberitahukan kepada kami,
Muhammad bin Abu Harmalah memeberitahukan
kepada kami, Kuraib memberitahukan kepadaku:
“ Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutusnya
(untuk menghadap) Mu‟awiyah di Syam. Ia
berkata, “Aku sampai ke Syam, lantas
menyelesaikan urusanku dan aku melihat hilal
(bulan sabit) bulan Ramadhan telah terbit,
sedangkan aku berada di Syam. Kami melihat
bulan itu pada malam Jum‟at. Aku sampai di
Madinah pada akhir bulan Ramadhan dan Ibnu
Abbas bertanya kepadaku, kemudian ia
menyebutkan hilal tersebut, ia bertanya, „kapan
kamu melihat bulan itu?‟ Aku menjawab,‟Kami
melihatnya pada malam Jum‟at.‟ Ia bertanya
lagi, „Apakah kamu melihatnya pada malam
Jum‟at?‟ Aku katakan,‟Orang-orang melihatnya,
kemudian mereka berpuasa dan Mu‟awiyah juga
berpuasa‟. Kemudian ia berkata,‟Tetapi kamu
melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih
berpuasa hingga menyempurnakan tiga puluh
hari atau (sampai) kami melihatnya‟. Aku lalu
berkata.‟Apakah tidak cukup dengan melihat Mu‟awiyah dan puasanya?‟ Ia menjawab,
„Tidak, Rasulullah saw. memerintahkan kami
demikian‟.”301
(H.R. Muslim)
300
Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II, Maktabah
Dahlan, Indonesia, hlm. 765, Hadits No 1087, Bab Puasa 301
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi,
Penerjemah, Ahmad Yuswaji, Shahih Sunan Tirmidzi (Seleksi Hadits Shahih
dari Kitab Sunan Tirmidzi), Cetakan Pertama, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005,
hlm. 556-557
104
Imam Tirmidzi berpendapat bahwa hadis ini termasuk
hadis hasan shahih gharib, dan hadis ini diamalkan menurut
pendapat ahli Ilmu bahwasannya untuk setiap wilayah
berlaku rukyat masing-masing. Dan dalam kitab Fathul
„Alam syarah Bulughul Maram menjelaskan bahwa
berdasarkan hadis ini mengharuskan mengikuti rukyat bagi
wilayah yang lebih dekat dengan wilayah berhasilnya
rukyat, berikut wilayah lain yang berada dalam satu garis
bujur dengan wilayah itu.302
B. Pendapat Empat Mazhab tentang Mathla’ dalam
Perspektif Astronomi
Pada dasarnya perbedaan pendapat mengenai mathla‟
dalam penentuan awal bulan Hijriah di kalangan empat
mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi‟i
ialah terbagi menjadi dua pendapat. Pertama pendapat
mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah, dan Hanabilah yang
menghendaki mathla‟ approach global (kesatuan mathla‟
untuk seluruh wilayah Islam di muka Bumi). Sedangkan
mazhab Syafi‟i menghendaki mathla‟ approach parsial
(adanya kesatuan mathla‟ untuk wilayah ditetapkannya
rukyat hilal dan juga wilayah yang berdekatan).
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat empat
mazhab tentang mathla‟ yang berdasarkan ijtihadnya di
dalam menafsirkan hadis-hadis tentang penentuan awal
bulan Hijriah atau hadis tentang hisab rukyat. Maka
pendapat empat mazhab tentang mathla‟ ini perlu diketahui
secara astronomi.
Bahwa tidak seharusnya penetapan awal bulan Hijriah
jatuh secara bersamaan di seluruh dunia, disebabkan dalam
sistem penanggalan Hijriah terdapat garis batas tanggal
internasional yang dinamakan garis tanggal Islam
internasional (The International Islamic Date Line). Garis ini
tidak memperhitungkan faktor jarak antara dua tempat,
sehingga permulaan pada bulan Hijriah di kedua tempat bisa
jatuh pada tanggal yang sama, akan tetapi bisa juga berbeda.
302
Sayyid Sabiq, Loc.Cit.
105
Walaupun secara geografis dua tempat yang saling
berdekatan, jika keduanya berada pada sisi yang berlainan
dari garis tanggal Hijriah tersebut, maka awal bulan Hijriah
di dua tempat itu berbeda.
Adapun garis tanggal Hijriah garis batasnya ditentukan
oleh tempat yang disana Bulan dan Matahari terbenam
secara bersamaan. Karena garis tanggal merupakan garis
batas antara tempat yang esoknya sudah masuk bulan baru
dan tempat yang esoknya belum memasukinya. Secara
teknis, garis tanggal ini merupakan batas antara tempat yang
disana hilal mungkin terlihat dan tempat yang hilal tidak
mungkin terlihat saat Matahari terbenam. Sebagaimana
Matahari terbit dan terbenam di permukaan Bumi pada saat-
saat tertentu, maka Bulanpun terbit dan terbenam dengan
cara yang sama, dan garis ini bergeser setiap bulan.
Adanya perbedaan tanggal pada saat yang bersamaan
juga disebabkan Bumi berbentuk bola. Dengan demikian,
jika bagian Bumi yang satu dalam keadaan gelap (malam),
maka pada saat yang sama, bagian Bumi yang lain berada
dalam keadaan yang terang (siang). Dengan meruntut
perjalanan waktu berdasarkan peredaran Bumi. Pengertian
sama hari sangat relatif. Secara astronomi bisa berarti
mengalami waktu siang secara bersamaan, dengan kata lain
bila beda waktunya kurang dari 12 jam. Bila diterapkan
dalam kasus di Hawaii yang beda waktunya dengan Arab
Saudi (dihitung kearah Timur) hanya 11 jam, definisi sama
harinya malah berbeda tanggal. Misalnya, hari wukuf
tanggal 16 April 1997 di Arab Saudi berarti tanggal 15 April
1997 di Hawaii. Lagi pula, pola pikir untuk menyamakan
puasa hari Arafah di Indonesia harus sama dengan hari
wukuf hanya terjadi bila kita tunduk pada sistem kalender
Syamsiah dan mengabaikan sistem kalender Hijriah yang
disyariatkan. Saat wukuf di Arafah bisa terjadi di Indonesia
masih tanggal 8 Dzulhijjah, jadi bukan waktunya untuk
melaksanakan puasa hari Arafah.
Bagi muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai sejak
fajar (misalnya) 16 April 1997. Makin ke Barat waktu fajar
bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal puasa kira-kira 3
106
jam sesudah di Arab Saudi. Makin ke Barat lagi, di pantai
Barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa Arafah
bergeser lagi yaitu 11 jam setelah Arab Saudi. Di Hawaii,
puasa Arafah juga masih 16 April, tetapi fajar awal puasanya
sekitar 13 jam setelah Arab Saudi.
Apabila diteruskan ke Barat, ditengah lautan Pasifik ada
garis tanggal internasional, maka sebutan 16 April harus
diganti menjadi 17 April walaupun hanya berbeda beberapa
jam dengan Hawaii. Awal puasa Arafah di Indonesia pun
yang dilakukan sekitar 7 jam setelah fajar Hawaii, dilakukan
dengan sebutan tanggal yang berbeda akibat melewati garis
tanggal internasional.
Mathla‟ secara astronomi apabila dikaitkan dengan
observasi (rukyat) hilal, dapat dilihat dari tiga poin yaitu:
Pertama, kondisi rukyat hilal berbeda sesuai perbedaan garis
bujur. Artinya, wilayah yang berada dalam satu garis bujur
tidak bisa dikatakan memiliki mathla‟ yang sama. Karena
Matahari dan Bulan akan berada pada waktu terbenam yang
berbeda walaupun berada pada satu garis bujur. Kedua,
kondisi rukyat hilal berbeda sesuai perbedaan garis lintang.
Hampir sama dengan poin pertama, wilayah yang berada
dalam satu garis lintang juga tidak bias dikatakan memiliki
mathla‟ yang sama. Ketiga, ketinggian lokasi observasi dari
permukaan air laut harus diperhatikan saat rukyat. Ketika
seseorang melakukan observasi, maka ketinggian tempat
observasi dari permukaan air laut sangat mempengaruhi
keberhasilan rukyat. Oleh karena itu, keberhasilan rukyat
tidak bisa disamakan antara satu wilayah dengan wilayah
lain.
Berdasarkan berbagai uraian tentang mathla‟ secara
astronomi. Penulis berpendapat bahwa pendapat mazhab
Hanafi, Maliki dan Hanbali mengenai pendapatnya yang
menghendaki mathla‟ approach global (kesatuan mathla‟
untuk seluruh wilayah Islam di muka Bumi). Itu tidaklah
sejalan dengan astronomi. Disebabkan beberapa faktor yaitu:
Pertama, pada sistem penanggalan Hijriah terdapat garis
batas tanggal internasional yang dinamakan garis tanggal
Islam internasional (The International Islamic Date Line).
107
Kedua, terdapat perbedaan tanggal pada saat yang
bersamaan disebabkan Bumi berbentuk bola. Dengan
meruntut perjalanan waktu berdasarkan peredaran Bumi.
Jika bagian Bumi yang satu dalam keadaan gelap (malam),
maka pada saat yang sama, bagian Bumi yang lain berada
dalam keadaan yang terang (siang). Ketiga, keberhasilan
rukyat tidak bisa disamakan antara satu wilayah dengan
wilayah lain disebabkan kondisi rukyat hilal berbeda sesuai
dengan perbedaan garis bujur, garis lintang dan ketinggian
lokasi observasi dari permukaan air laut.
Berbeda halnya dengan pendapat mazhab Syafi‟i yang
menghendaki mathla‟ approach parsial (adanya kesatuan
mathla‟ untuk wilayah ditetapkannya rukyat hilal dan juga
wilayah yang berdekatan). Penulis memahami bahwa
pendapat mazhab Syafi‟i tersebut sejalan dengan astronomi.
Sedangkan pendapat mazhab Syafi‟i yang menyatakan
memiliki mathla‟ yang sama bagi wilayah yang berdekatan
dengan wilayah ditetapkannya hilal dengan batasan jarak
antara kurang lebih 24 farsakh. Pendapat tersebut dapat
dipahami sejalan dengan astronomi. Akan tetapi dengan
adanya batasan jarak kurang lebih 24 farsakh, yang apabila 1
farsakh = 5544 m, maka jarak 1 mathla‟ tersebut adalah 24 ×
5544 = 133,056 km. Akan tetapi, jika 1 farsakh = 3mil, maka
jarak 1 mathla‟ tersebut menjadi 1,6093 km × 3 × 24 =
115,8696 km. Dengan adanya konsep negara bangsa (nation
state) di masa ini, maka jarak tersebut dapat memunculkan
berbagai masalah. Jika jarak keberlakuan hasil rukyat
diberlakukan sejauh mathla‟, maka sebuah negara yang
memilki wilayah yang luas seperti Indonesia akan memiliki
beberapa mathla‟.
Oleh karenanya Indonesia menjadikan batasan negara
secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan rukyat atau
yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam wilayah hukum
(mathla‟ fi wilayh al-hukmi). Apabila hilal terlihat
dimanapun di wilayah Nusantara, dianggap berlaku di
seluruh wilayah Indonesia. Penduduk melaksanakan puasa
dan berhari raya secara serentak berdasarkan ketetapan
pemerintah Indonesia.
108
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai uraian pendapat empat mazhab
tentang batas geografis keberlakuan rukyat/mathla‟ dalam
penentuan awal bulan Hijriyah, dapatlah disimpulkan
sebagai berikut:
1. Perbedaan pendapat mengenai mathla‟ dalam penentuan
awal bulan Hijriah di kalangan empat mazhab terbagi
menjadi dua pendapat yaitu: Pertama pendapat mazhab
Hanafi, Maliki, dan Hanbali yang menghendaki mathla‟
approach global (kesatuan mathla‟ untuk seluruh
wilayah Islam di muka Bumi). Kedua pendapat mazhab
Syafi‟i yang menghendaki mathla‟ approach parsial
(adanya kesatuan mathla‟ untuk wilayah ditetapkannya
rukyat hilal dan juga wilayah yang berdekatan).
2. Pendapat mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali tidaklah
sejalan dengan astronomi, sedangkan pendapat mazhab
Syafi‟i sejalan dengan astronomi. Disebabkan beberapa
faktor yaitu: Pertama, pada sistem penanggalan Hijriah
terdapat garis batas tanggal internasional yang
dinamakan garis tanggal Islam internasional (The
International Islamic Date Line), garis tanggal ini
merupakan batas antara tempat yang disana hilal
mungkin terlihat dan tempat yang hilal tidak mungkin
terlihat saat Matahari terbenam, dan garis ini bergeser
setiap bulan.. Kedua, terdapat perbedaan tanggal pada
saat yang bersamaan disebabkan Bumi berbentuk bola.
Dengan meruntut perjalanan waktu berdasarkan
peredaran Bumi. Jika bagian Bumi yang satu dalam
keadaan gelap (malam), maka pada saat yang sama,
bagian Bumi yang lain berada dalam keadaan yang
terang (siang). Ketiga, keberhasilan rukyat tidak bisa
disamakan antara satu wilayah dengan wilayah lain
disebabkan kondisi rukyat hilal berbeda sesuai dengan
109
perbedaan garis bujur, garis lintang dan ketinggian lokasi
observasi dari permukaan air laut.
B. Saran
Pemerintah Indonesia harus tetap dapat mengupayakan
dengan berbagai aturan ataupun kegiatan untuk tercapainya
prinsip mathla‟ fi wilayah al-hukmi di negara Indonesia ini.
Sehingga terjadilah kesatuan bagi umat Muslim di Indonesia
dalam menentukan awal bulan Hijriah. Khususnya terhadap
penentuan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah yang
ada hubungannya dengan kegiatan ibadah.
110
DAFTAR PUSTAKA
A. Jamil, Ilmu Falak Teori dan Aplikasi (arah qiblat, awal
waktu, dan awal tahun hisab kontemporer),
Cetakan Kedua, Amzah, Jakarta, 2011.
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas, Al Wasiytu fi Fiqhil „ibadaat, Alih Bahasa,
Kamran As‟at Irsyadi, Ahsan Taqwim, dan Al-Hakam
Faishol, Fiqh Ibadah, Cetakan Kedua, Amzah, Jakarta,
2010.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu „Ala Madzhab Al-Arba‟ah,
Juz I, Dar Al- Fikr, Beirut, 1990.
Abdurrahman Asy-Syarkawi, A‟immah Al-Fiqh At-Tis‟ah, Alih
Bahasa, H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat
Sembilan Imam Fiqih, Cetakan Pertama, Pustaka
Hidayah, Bandung, 2000.
Abi Muhammad „Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Al-
Mughni Fi Fiqhi Al- Imam Ahmad Ibn Hanal Asy-
Syaibani, Juz III, Dar Al-Fikr, Beirut.
Ahmad Asy-Syurbasi, Al-Almatul Arba‟ah, Alih Bahasa, Sabil
Huda dan Ahmadl, Sejarah dan Biografi Empat
Imam Mazhab, Cetakan Kelima, Amzah, Jakarta,
2008.
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 2007.
-------, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan
Solusi Permasalahannya, Cetakan Pertama, PT. Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 2012.
111
Ahmad Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi, Al-Imam Al-Syafi‟i
Fi Mazhabihi Al- Qadim Wa Al-Jadid, Alih Bahasa,
Usman Sya‟roni, Ensiklopedi Imam Syafi‟I (Biografi
Dan Pemikiran Mazhab Fiqh Terbesar Sepanjang
Masa), Cetakan Pertama, Penerbit Hikmah (PT
Mizan Publika), Jakarta, 2008.
Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam, PT Elex Media
Komputindo Kompas Gramedia Building, Jakarta,
2009.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, PP. Al-
Munawwir, Yogyakarta, 1997.
Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh, Amzah, Jakarta, 2013.
Al-Mabsuth Lisyaibany, Maktabah Syamilah.
Arfan Muhammad, Pedoman Ilmu Falak (hisab urfi, hakiki dan
kontemporer serta tehnik rukyat dengan teknologi),
Bahan Kuliah Ilmu Falak pada Fakultas Syari‟ah
Institut Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo,
Prodi Syari‟ah Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Jember dan Fakultas Syari‟ah Institut
Agama Islam Ibrahimy Sukorejo Situbondo, Untuk
Kalangan Mahasiswa Sendiri, 2006.
Asmaji Muchtar, Fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi‟I, Cetakan
Pertama, Amzah, Jakarta, 2014.
As-Sayyid Mahmud Syukri Al Alusi, Ma Dalla „Alaihi Al-
Qur‟an (Min Ma Ya‟dhadu Al Hai‟ah Al Jadidah Al
Qawimah Al Burhan, Alih Bahasa, Kamran As‟ad
Irsyadi, Al-Qur‟an dan Ilmu Astronomi, Cetakan I,
Pustaka Azzam, Jakarta, 2004.
Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Al-Quran dan
Tafsirnya, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1991.
112
Badrun Taman, 2015, “Penyatuan Mathla‟ Perspektif Fiqh Dan
Astronomis (Menelusuri Pemikiran M.S. Odeh
tentang Ragam Penyatuan Mathla‟)“
http://erwandigunawandly.blogspot.co.id.
Diakses Sabtu, 15 Oktober 2016. Pukul 11:20.WIB.
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, CV. Pustaka Setia,
Bandung, 2008.
Cholid Narbuko dkk, Metodelogi Penelitian, Bumi Aksara,
Jakarta, 2007.
Departemen Agama RI, Al-Hikmah (Al-Qur‟an dan
Terjemahnya), Diponegoro, Bandung, 2010.
-------, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Syamil Cipta Media,
Bandung, 2005.
-------, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Editor, Choirul Fuad
Yusuf dan Bashori A. Hakim, Proyek Peningkatan
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang
Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama Dan Diklat
Keagamaan, Jakarta, 2004.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Balai Pustaka, Cetakan Kedua, Jakarta,
1989.
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat (telaah
syari‟ah, sains dan teknologi), Gema Insani Press,
Jakarta, 1996.
Fathul Qadir, Maktabah Syamilah.
Hasan Ayub, Fiqhul „Ibadaat Biadillatiha Fil Islam, Alih
Bahasa, Abdurrahim, Fikih Ibadah (Panduan Lengkap
Beribadah Sesuai Sunnah Rasulullah saw),
Cetakan Pertama, Cakra Lintas Media, Jakarta, 2010.
113
Hasyiyah Ad-Dasuqi „Alas Syarhil Kabir, Makatabah Syamilah.
Hendro Setyanto, Membaca Langit, Al-Ghuraba, Jakarta Pusat,
2008.
Hudhari Bik, Tarikh Tasyri‟ Al-Islamy, Alih Bahasa
Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri‟ Al-
Islami (Sejarah Pembinaan Hukum Islam), Daarul
Ihya, Semarang. 1980.
Ibnu Katsir, Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir, Alih Bahasa, Salim
Bahreisy Dan Said Bahreisy, jilid 5, PT. Bina Ilmu,
Surabaya.
Ibnu Rusyd, Bidayatu ‟l-Mujtahid, Alih Bahasa, M.A.
Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, Tarjamah
Bidayatu „l-Mujtahid, Cetakan Pertama, CV. Asy-
Syifa, Semarang, 1990.
-------, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Alih
Bahasa, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun,
Analisa Fiqih Para Mujtahid, Cetakan Pertama,
Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II,
Maktabah Dahlan, Indonesia.
Imam Bukhari, Shaheh Bukhari, Terjemah Ahmad Sunarto, Juz
III, Cetakan Pertama, Al-Syifa‟,Semarang, 1992.
Jayusman, Ilmu Falak II: Fiqh Hisab Rukyah Penentuan Awal
Bulan Kamariah, Fakultas Syari‟ah IAIN Raden
Intan Lampung, Bandar Lampung, 2016
-------, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan
Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah
Jurnal Ilmu Syari‟ah, Vol. 11, No. 1, edisi April
2015.
114
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,
Cetakan XXX, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2013.
Lexi. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2002.
Lukman Ali dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1988.
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Cetakan Kedua, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
M. Nasir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
M. Said Jamhari dan Faisal, Ikhtisar Ilmu Falak tentang
Penentuan Waktu-waktu Shalat, Gunung Pesagi,
Bandar Lampung, 1998.
M. Sayuthi Ali, Ilmu Falak 1, Cetakan Pertama, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, PT. Mahmud Yunus
Wadzurriyyah, Jakarta, 1989.
Muh. Nashirudin, “Tinjauan Fikih Dan Astronomis Penyatuan
Mathla‟: Menelusuri Pemikiran M.S. Odeh
Tentang Ragam Penyatuan Mathla‟, Jurnal Ijtihad, Vol.
12, No. 2, edisi Desember 2012, hlm. 187-188.
Diakses pada
http://www.ijtihad.iainsalatiga.ac.id. Pada 16 Nopember
2016. Pukul. 17:00 WIB.
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2004.
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan, Alih
Bahasa, Muslich Shabir, Terjemah Al-Lu‟lu‟ Wal
115
Marjan Koleksi Hadits yang Disepakati oleh Al-
Bukhori dan Muslim, Jilid 2, Al-Ridha, Semarang, 1993.
Muhammad Ibn Muhammad Abi Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz
Fi Fiqhi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi‟I, Dar Al-Fikr,
Beirut, 2004.
Muhammad Jamaluddin el-Fandy, On Cosmic Verses In The
Quran, Alih Bahasa, Abdul Bar Salim, Al-Quran
Tentang Alam Semesta, Cetakan Keenam, Amzah,
Jakarta, 2013.
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-
Khamsah, Alih Bahasa, Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Mazhab,
Lentera, Jakarta, 2011.
-------, Al-Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Alih Bahasa,
Masykur A.B. dkk, Fiqih Lima Mazhab, Cetakan
Kesebelas, Lentera, Jakarta, 2004.
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi,
Penerjemah, Ahmad Yuswaji, Shahih Sunan Tirmidzi
(Seleksi Hadits Shahih dari Kitab Sunan Tirmidzi),
Cetakan Pertama, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005.
Muhammad Ridha Musyafiqi Pur, Daras Fikih Ibadah
Ringkasan Fatwa Imam Ali Khamene‟i,
Penerjemah, Marzuki Amin, Cetakan Kedua, Penerbit
Nur Al-Huda, Jakarta, 2013.
Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Alih Bahasa, Hery
Noer Ali Dkk., Terjemah Tafsir al-Maraghi,
Cetakan Pertama, Penerbit Toha Putera, Semarang,
1987.
Panitia Seminar Nasional Sehari Penetuan Awal Bulan
Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat, Bunga
Rampai Falakiah Penentuan Awal Bulan Qamariyah
116
Antara Hisab dan Rukyat, Fakultas Syariah IAIN
Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2006.
Rohmat, Ilmu Falak II Penentuan Awal Bulan Qomariyah dan
Syamsiyah, Seksi Penerbitan Fakultas Syari‟ah,
Lampung, 2014.
-------, “Eksistensi Badan Hisab dan Rukyat Provinsi Lampung
dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah” Jurnal Al-
Adalah, Vol. 5, No. 2, edisi Desember 2006.
-------, Imkan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan
Qamariyah/Hijriyah, Cetakan Pertama, Pusat Penelitian
dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung, Bandar
Lampung, 2014.
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistic Kualitatif, Tarsito,
Bandung, 1998.
Safuan Alfandi,Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari,
Sendang Ilmu, Solo, 2015.
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Penentuan Awal
Bulan Qamariyah antara Mazhab Hisab dan Rukyat
dan Upaya Penyatuannya, Cetakan Pertama, Pusat
Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden
Intan Lampung, Bandar Lampung, 2015.
Sakirman, Konsep Kalender Islam Internasional Perspektif
Mohammad Ilyas, Skripsi Jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyyah Fakultas Syari‟ah Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, hlm. ii.
Diakses dari http://digilib.uin-suka.ac.id. Pada tanggal
16 Nopember 2016. Pukul 11:45 WIB.
Saleh al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, Penerjemah, Abdul Hayyie
al-Kattani, Ahmad Ikhwani, dan Budiman Musthafa,
117
Cetakan Pertama, Gema Insani Press, Jakarta,
2005.
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990.
-------, Fiqhussunnah, Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Fikih
Sunnah, Cetakan Pertama, Jilid 3, Al-Ma‟arif,
Bandung, 1978.
Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Madzhab Syafi‟i,
Cetakan Keenam, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1994.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991.
Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat (wacana untuk membangun
kebersamaan di tengah perbedaan), Cetakan
Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.
-------, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cetakan Kedua, Pustaka
Pelajar,Yogyakarta, 2008.
Suyuthi Ali, Ilmu Falak I, Jilid I, Cetakan Pertama, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini,
Mughniyl Muhtaaj (Matan Minhaaj Ath-Thalibin),
Jilid I, Dar Al-Fikr, Beirut.
Thomas Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan
Ummat, Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional, Jakarta, 2011.
Wahbah Al-zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu, Alih
Bahasa, Masdar Helmy, Fiqih Shaum, I‟tikaf Dan
Haji, Cetakan Pertama, CV. Pustaka Media Utama,
Bandung, 2006.
118
-------, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Jilid II, Dar Al- Fikr,
Dimsyiq, 1996.
Yusuf Qordlawi, Fiqh Puasa, Alih Bahasa, Ma‟ruf Abdul Jalil
dkk., Era Intermedia, Solo, 2001.