Upload
ledung
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH
BEDA AGAMA DAN RESPON PARA PEMUKA AGAMA
TERHADAPNYA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana SI
Oleh:
Wahyu Sunandar
NIM: 105032101051
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam yang Maha Pengasih dan lagi
maha penyayang, yang selalu memberikan hidayah dan naungan kepada semua
manusia, khususnya penulis. Sehingga penulis bias menyelesaika skripsi ini
walaupun masih banyak cela.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada manusia agung, sang
Revolusioner sejati, yang megantarkan manusia dari jaman kebodohan dan sampai
pada jaman yang penuh dengan ilmu pengetauan, nabi besar Muhammad Saw.
Aselanjutnya, tiada kata-kata penulis ucapkan selain ucapan terima kasih,
kepada semua pihak yang yang telah membantu proses penyelesain skripsi ini
terutama:
1. Ayahanda tercinta Abdul Koyab BA dan ibunda tercinta Sayati yang selalu
memberikan semangat dan motipasi kepada saya, dan perhatian kasih dan
sayangnya kepada ananda . ibu bapak terimakasih atas semuahnya
2. Bapak Prof Dr. Zainun Kamalludin Faqih M.A. selaku dosen pembimbing,
penulis haturkan banyak terima kasih atas waktu dan usaha yang bapak
berikan kepada penulis guna menyelesaikan Skripsi ini. Penulis meminta
maaf jika dalam bimbingan banyak kesalahan dan cele yang penulis
lakukan. Semoga Allah memberikan keridoan kepada bapak.
3. KAJUR dan SEKJUR Perbandingan Agama, Bapak Drs. M. Nuh Hasan,
M.A. terimakasih atas semua yang bapak berikan, semoga bapak dalam
naungan kebahagiyaan Allah Swt.
4. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan pembantu-pembantu dekan
penulis ucapkan terimakasih. Semoga sehat selalu dan sukses selalu
5. Seluruh dosen perbandingan Agama yabng tak bisa penulis sebutkkan
namanya satu persatu. Terima kasih atas ilmu yang telah bapak berikan
kepada saya, semoga amal kebaikan bapak ibu sekalian di terima di sisi
Allah Swt.
6. Bapak rector UIN Syarif Hidayatullah jakarta beserta stsf-stafnya, yang
tak bias penilis sebutkan namanya satu-persatu.
7. seluruh karyawan Fakultas Ushuluddin dan anggotanya. Yang telah
meyediakan fasilitas buku-buku ilmiyah kepada Mahasiswa dan
mahasiswi.
8. Kepada bapak KH. Salahudi Al- Aiyubi M.Si. selaku seken MUI. Yang
telah menerima penulis dengan penuh kehengatan dan memberikan
inpormasi tentang fatwa-fatwa. MUI.
9. Kepada Suhu Ruwadi selaku pengurus sungha Mahayana tanah
terimakasih atas kesedianya.
10. Kepada bapak pendeta Adolp Nazara terimakasih
11. Kawan-kawan sekalian yang telah menemani penulis dari semester awal
hingga akhir terima kasih untuk temen-temen. Semoga sukses selalu.
12. dan semuah pihak yang telah membantu semua penyelesau skripsi ini good
luck to you Alll…..
Jakarta, 14Maret 2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI.…………………………………………………………………...iv
BAB I :PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah……………………………………..1
B. Rumusan Masalah……………………………………………5
C. Tujuan Penelitian……………………………………………..5
D. Metodeligo Penelitian..………………………………………5
E. Sistematika Penulisan….…………………….........................7
BAB II : PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAN PERSPEKTIF
AGAMA-AGAMA.
A. Pernikahan Beda Agama Dalam perpektif Islam……………8
B. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Katolik……….14
C. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektip Hindu..……….21
D. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Protestan……...23
E. Pernikahan Neda Agama Dalam Perspektif Buddha…….…24
BAB III : FATWA MUI TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
A. Sekilas tentang Komisi Fatwa….………………………………..25
B. Susunan Pengurus Majlis Ulama Indonesia Tahun 2005-2010…..31
C. Fatwa Mui Nomor: 4/Munas: VII/MUI/8/2005 Tentang Pernikahan
Beda Agama….…………………………………………………..37
D. Dasar-dasar Fatwa MUI nomor; 4/MUNAS/VII/MUI/8/2005
Tentang Pernikahan Beda Agama……………………………….42
BAB IV : RESPON PARA PEMUKA AGAMA TERHADAP FATWA
MUI
A. Islam…………………………………………………………45
B. Protestan…………………………………………………….47
C. Katholik…………………..…………………………………48
D. Hindu……………….……………………………………….49
E. Buddha..………….………………………………………….49
BAB V ;PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………….51
B. Saran-saran………………………………………………….53
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan pengaruh
transformasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja
membawa kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan
perilaku dan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya.
Dalam hal ini fatwa menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan
yang ada di tengah-tengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat
universalitas ajaran Islam. Dengan demikian hukum Islam (fiqh) harus selalu
dapat menjawab tantangan zaman. Ini karena fiqih sebagai aplikasi operasional
dari pemahaman terhadap syari’ah dapat berubah sesuai dengan situasi yang
sering berubah pula.1 Dengan demikian sifat fiqih sangat fleksibel. Dalam sebuah
kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan al-hukmu yaduuru ma ’a illatihi
wujudan waadaman.
Pada dasarnya, hukum Islam (fiqh) dihadirkan dalam rangka
merealisasikan kemaslahatan umat manusia (li-tahqiq mashalih al-nas), yang
harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan. Dalam kerangka inilah selalu
diperlukan ijtihad dan ijtihad baru. Jangankan perbedaan antara umat sekarang
dengan masa lebih seribu tahun lalu; masa hidup Imam Syafi’i saja diperlukan dua
pendapat yang berbeda yang disebut dua pendapat berbeda yang disebut qaul
1 Ilyas Supena, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, Yogyakarta: GamaMedia, 2002, hlm. 1.
2
qadi m (pedapat Imam Syafi’i di Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir) danqaul
jadid (pendapat Imam Syafi’iketika ia pindah ke Mesir).2
Dalam konteks ke-Indonesiaan salah satu upaya merealisasikan hukum
Islam yang dinamis adalah dengan adanya fatwa. Fatwa ini dikeluarkan apabila
terdapat persoalan hukum yang memerlukan penyelesaian baik dilakukan oleh
lembaga yang berkompenten maupun kiai perseorangan. Fatwa merupakan
pendapat atau jawaban hukum terhadap persoalan yang diajukan atau terjadi
dalam masyarakat.3 Dalam hal ini masyarakat ada yang mengajukan kepada NU
yang kemudian dibahas dalam forum bahtsul masail, ada yang mengajukan ke
Muhammadiyah yang kemudian menggelar majelis tarjih dan ada pula yang
mengajukan ke MUI yang kemudian menggelar sidang fatwa. Dengan demikian,
fatwa tentang persoalan hukum biasanya dikeluarkan oleh lembaga atau
organisasi sosial keagamaan walaupun memang ada juga yang secara
perseorangan.
Perlu dijelaskan bahwa dalam dekade 1970 dan 1980-an MUI ditengarai
banyak mengeluarkan fatwa yang kontroversial dan cenderung ‘memihak’
pemerintah. Tidak jarang ‘tangan-tangan’ politik politik Orde Baru yang sedang
berkuasa sangat i nt ens mengintervensi masalah agama di dalam MUI.
Ini tentu tidak lepas dari sejarah Islam masa lalu. Dalam sejarah bisa
dilihat pertikain pemikiran “mazhab negara” dan “mazhab non negara” sampai
2A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 32.
3 Tim DEPAG RI, Bunga Rampai Jaminan Produk Halal, Jakarta: DEPAG RI, 2004, hlm. 432.
3
menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah.4 Nampaknya MUI pernah
mengalami intervensi negara yang begitu kuat meskipun tidak seluruh fatwanya
adalah ‘pesanan’ negara. Dalam hal ini Prof. Ahmad Rofiq menegaskan bahwa di
era 1990-an MUI mengalami revitalisasi terutama di era reformasi. Revitalisasi
peran MUI ini mengingat sejarah masa lalu MUI yang sering dinilai negatif.5
Dalam rangka revitalisasi ini maka MUI bekerjasama dengan Departemen
Agama mengumpulkan fatwa-fatwanya. Ini untuk menunjukkan bahwa MUI
sangat merespons perkembangan hukum terutama dalam konteks keinian. Dalam
pandangan KH. Ma’ruf Amin, MUI tidak akan membiarkan persoalan tanpa ada
jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak bisa dibenarkan, baik
secara i 'tiqady maupun syar’i. Karena itu para ulama dituntut segera memberikan
jawaban. Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah musyawarah para
ulama, zu ’ama dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh
umat adalah lembaga yang mempunyaikompetensi untuk menyelesaikan
persoalan hukum yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah
mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun pemerintah.6
MUI sebagai organisasi keagamaan sangat vital dalam upaya memajukan
kehidupan keagamaan dan dijadikan rujukan dalam segala aspek kehidupan
masyarakat. Peran yang dimiliki MUI selalu dinantikan realisasinya bukan saja
4 Sebagai contoh ketika al-Ma’mun berkuasa, maka Mu’tazilah resmi menjadi mazhab negara, sementara pada sisi lain Ahl al-Hadits yang dipimpin Imam Hanbali bertentangan dengan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga muncullah peristiwa mihnah. Dari sinilah terjadi penyiksaan dan pemenjaraan terhadap para tokoh pemikir Ahl al-Hadits. Belum lagi pertikaian lain yang tidak terhitung jumlahnya. Baca: Tedi Kholitudin (eds), Runtuhnya Negara Tuhan, Semarang: PMII, 2005, hlm. xxii
5 Ahmad Rofiq, fiqih Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 362. 6 KH. Ma’ruf Amin, Pengantar dalam Himpunan Fatwa MUI 2003, Jakarta, MUI Pusat, 2003, hlm. iv.
4
menyangkut bidang keagamaan yang menjadi ciri khasnya, akan tetapi juga dalam
bidang lainnya seperti ekonomi dan pendidikan.
Dalam masalah fatwa MUI mempunyai sebuah komisi yang khusus
membidangi masalah ini yakni komisi fatwa. Komisi ini dalam menjalankan
tugasnya berdasar pada pedomena penetapan fatwa yang ada dalam MUI. Salah
satu fatwa yang dikeluarkan MUI adalah masalah pernikahan beda agama yang
dikeluarkan pada MUNAS MUI Tahun 2005. Fatwa ini merupakan salah satu dari
11 fatwa MUI yang pada saat difatwakannya banyak memicu kontroversi karena
adanya fatwa tentang paham Ahmadiyah, pluralisme dan liberalisme. Fatwa MUI
Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang pernikahan beda agama ini pada
prinsipnya mempunyai kesimpulan hukum bahwa wanita muslim diharamkan
menikah dengan laki-laki non mulim atau laki-laki muslim diharamkan menikah
dengan wanita ahlul kitab. Dengan fatwa ini maka perlu diadakan kajian lebih
mendalam mengenaiFatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tersebut,
berikut dasar hukum serta pandangan para pemuka agama.
Penulis memandang perlu mengkaji Fatwa MUI Nomor: 4/Munas
VII/MUI/8/2005 ini, karena belakangan ini disinyalir banyak terjadi pernikahan
beda agama, dan terjadi kontroversi tentang hukum pernikahan beda agama
tersebut di kalangan ulama, dan mengangkatnya menjadi sebuah judul Skripsi
“Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Pernikahan Beda Agama
dan Respon Para Pemuka Agama Terhadapnya”.
5
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
a. Bagaimana fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang
perkawinan beda agama?
b. Bagaimana dasar hukum fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005
tentang perkawinan beda agama?
c. Bagaimana pandangan para puka agama tentang fatwa MUI tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Untuk mengetahui fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang
perkawinan beda agama.
b. Untuk mengetahui dasar hukum fatwa MUI Nomor:
4/MunasVII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.
c. Untuk mengetahui pandangan para pemuka agama tentang pernikahan
beda agama.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk jenis penelitian dokumen sehingga dalam
penelitian ini metode pengumpulan datanya dilakukan melalui penelusuran
terhadap dokumen berupa fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang
6
perkawinan beda agama. Sumber data tersebut berupa literatur yang terkait
dengan substansi penelitian ini. Sumber data ini meliputi :
a. Sumber Primer
Yang dimaksud sumber data primer adalah bahan utama yang dijadikan
referensi. Dalam hal ini sumber data primer yang penulis gunakan
adalah dokumen tentang fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005
tentang perkawinan beda agama.
b. Sumber Sekunder
Sumber penunjang sebagai bahan pendukung dalam pembahasan skripsi
ini yaitu buku-buku lain yang berisi tentang perkawinan beda agama
dalam hukum Islam misalnya hasil Bahtsul Masail NU dan buku masail
fiqhiyyah.
2. Metode Analisis Data
Adapun untuk menganalisa data setelah data terkumpul, maka dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.7 Metode ini digunakan untuk
mendeskripsikan fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang
perkawinan beda agama dan dasar hukumnya. Adapun yang dimaksud dengan
analisis adalah berfikir tajam dan mendalam. Dalam penelitian ini setelah
dideskripsikan tentang fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 dan dasar
hukumnya kemudian akan dianalisis secara mendalam dengan pendapat-pendapat
lainnya tentang pernikahan beda agama.
Di samping itu juga penulis menggunakan metode content analisis,
7 Moh. Nadzir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghlia Indonesia, 1996, hlm. 63.
7
yaitumerupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi.8 Yang
dibutuhkan akan dikumpulkan dengan metode analisis terhadap buku atau
dokumen yang ada kaitannya dengan pembahasan ini, yaitu fatwa MUI Nomor:
4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab yaitu :
Bab pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
Pada Bab II dibahas mengenai Pernikahan Beda Agama dalam Agama-
agama, baik Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha.
Bab III berisi pembahasan tentang Komisi Fatwa MUI, Fatwa MUI
tentang Pernikahan Beda Agama, dan Dasar-dasar yang digunakan Komisi Fatwa
dalam menetapkan fatwa tentang Pernikahan Beda Agama.
Bab IV membahas tentang Respon para Pemuka Agama baik Islam,
Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha terhadap Fatwa MUI tentang Nikah Beda
Agama.
Bab V yakni penutup yang meliputi kesimpulan, dan saran-saran.
8 Nong Muhadjir, Methode Penelitian Kulitatif, Yogyakarta: Rake Sarasis, 1989, hlm. 76.
8
BAB II
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA
A. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA
ISLAM
1. Pengertian Nikah dalam Islam
Kalimat nikah diartikan dengan perkawinan. Nikah secara bahasa adalah
akad yang merupakan pengertian majaz, sedangkan secara hakikat nikah adalah
al-wathu (bersenggama).9 Namun ada pula yang berpendapat bahwa secara bahasa
nikah adalah al-wath’u yang merupakan pengertian majaz, sedangkan hakikat dari
makna nikah adalah akad.10
Dalam konteks keindonesiaan, oleh Kompilasi Hukum Islam dikatakan
bahwa pernikahan adalah suatu akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidza) untuk
memenuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.11 Dengan
demikian pernikahan bukan semata-mata sebagai hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, akan tetapi ia mepunyai nilai ibadah.12 Nikah juga merupakan
sunnatullah sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah sekaligus sebagai
salah satu sunnah Nabi SAW.
Adapun yang menjadi dalil tentang nikah yaitu:
9 Djam'an Nur, Pengantar Fiqih Munakahat, (Semarang: Qina Utama, tt), hlm. 1. 10 Lihat: Taqiyuddin, Kifayah al-A khyar, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 115. 11 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam 12 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 69.
9
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-ruum : 21)13
Sementara itu, dalil yang meyatakan bahwa nikah adalah sunnah Nabi
SAW adalah sebagai berikut:
Artinya : Maka barangsiapa membenci sunnahku, maka bukan termasuk golonganku. ” (Muttafaq alaih).14
2. Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Yang dimaksud dengan pernikahan beda agama adalah pernikahan orang
Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai
masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
a. Pernikahan antara seorang laki-laki muslim dengan wanita musyrik.
Menurut Nahdlatul Ulama haram hukumnya sebuah pernikahan antara
laki-laki muslim dengan wanita kafir yang bukan murni ahli kitab, seperti wanita
penyembah berhala, Majusyi, atau salah satu dari kedua orang tuanya adalah
orang kafir.15 NU mendasarkan pada firman Allah swt Al-Baqarah ayat 221
sebagai berikut:
13 Depag RI, A l - Qu r ’a n d a n Te r je ma h n y a , (Surabaya : Mahkota, 1989), hlm. 120. 14 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, S h ah i h a l -B u k h a r i , ( Penerbit Sulaiman Mar’i,
tt), hlm. 273. 15 Imam Ghazali Dan A. Ma.ruf Asrori (eds), Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, (Surabaya: Diantama, 2004), hlm. 435.
10
Artinya : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-o rang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayatayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".16
Namun terdapat perberdaan pendapat di antara para ulama yakni tentang
siapa musyrikah yang haram dinikahi sebagaimana maksud ayat di atas? Menurut
Ibnu Jarir at-Thabari, bahwa musyrikah yang dilarang dinikahi adalah musyrikah
dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Alqur'an
memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka
menurut pendapat ini, seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita
musyrikah dari non Arab, seperti wanita Cina, India, dan Jepang yang diduga
mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat
dengan ini.17
Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa semua musyrikah baik dari
bangsa Arab maupun non-Arab selain Ahlu kitab tidak boleh dinikahi. Menurut
16 Depag RI, Op. Ci t . , hlm. 53-54. 17 Rasyid Ridla, Taf si r Al -Manar , Vol. VI, (Cairo, Dar al-manar, 1367 H), hlm. 187-190,
sebagaimana dikutip Masyfu' Zuhdi, hlm. 4.
11
pendapat ini, siapapun yang bukan muslim atau ahlu kitab (beragama
Kristen/Yahudi) haram dinikahi.18
Menurut Yusuf Qardlawi, konteks ayat di atas, secara keseluruhan beserta
asbabun nuzulnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-kawafir
(perempuan-perempuan kafir), yakni al-watsaniyat (perempuan-perempuan
penyembah berhala).19
b. Pernikahan Antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlu Kitab.
Mayoritas ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh menikah
dengan wanita Ahlu Kitab (Yahudi/Kristen). Hal ini didasarkan pada firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat 5:
Artinya : "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".20
Nahdlatul Ulama dengan menukil berbagai kitab tafsir menegaskan bahwa
18 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1991), hlm. 5. 19 Yusuf Qardlawi, Fa t wa- Fa t wa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 580. 20 Depag RI, Op . Ci t . , hlm. 158.
12
yang dimaksud dengan al-Kitab adalah Taurat dan Injil, dan bukan kitab-kitab lain
sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, Idris dan Ibrahim a.s., karena kitab-kitab
tersebut tidak diturunkan secara teratur sistematik, dan bisa dipelajari ataupun
dibaca. Para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya
saja, atau karena kitab-kitab tersebut hanya memuat hikmah dan nasehat-nasehat,
dan tidak memuat hukum-hukum syari’at.
(Pernikahan sah) jika nenek moyang wanita-wanita kafir ahli kitab tersebut
belum pernah memeluk agama ahli kitab sesudah adanya penyalinan, sama saja
apakah telah mengetahui keadaan sebelumnya ataupun meragukannya, mengingat
keteguhan mereka dengan agama tersebut. Demikian halnya sah menikahi wanita
bukan Israel, jika nenek moyang mereka diketahui tekah menganut agama
tersebut sebelum perkawinannya, walaupun setelah adanya perubahan. Jika tidak
diketahui, maka pernikahannya tidak sah berdasarkan pendapat yang lebih tegas
dalam hal jika diragukan dalam kepemelukan agama tersebut.
Sah menikahi wanita Yahudi dan Nashrani dengan syarat yang telah
disebutkan perihal wanita Israel dan lainnya di atas, demikian pula dengan wanita
Samiri dan Sha ’ibah jika keduanya bersepakat dengan Yahudi dan Nashrani
dalam ajaran pokok agama mereka, walaupun keduanya tidak sepakat dalam hal-
hal yang tidak bersifat prinsip. Jika keduanya berbeda dalam ajaran pokok agama
Yahudi dan Nashrani, maka keduanya haram untuk dinikahi. Semua perincian ini
sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i sebagaimana tertera
dalam Muhtashar al-Muzan i .21
21 Lihat: Imam Ghazali Dan A. Ma.ruf Asrori (eds), Op.Cit., hlm. 433-437.
13
Bagi orang yang pindah agama, seperti orang Yahudi atau penyembah
berhala menjadi Nashrani atau sebaliknya, maka tidak akan diterima kecuali
Islam. Hal ini karena dia telah mengakui ketidakbenaran agama yang
ditinggalkannya itu dan mengakui pula ketidakbenaran agama baru yang
dipeluknya.
Berdasarkan ayat 5 surat Al-Maidah di atas, dan dengan didukung oleh
sunnah Nabi dan praktik para sahabat, maka Ma’had Aly Situbondo (dengan
menukil pendapat para ulama) memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan
wanita ahlu kitab. Dalam hal ini Nabi menikah dengan Maria Qibtiyah (Muallaf).
Demikian pula sahabat Nabi seperti Usman bin Affan dan Hudzaifah menikah
dengan wanita ahlu kitab.22
c. Pernikahan antara seorang wanita muslim dengan pria non muslim
Ulama telah sepakat bahwa pernikahan antara seorang wanita muslimah
dengan laki-laki non muslim baik musyrik maupun ahli kitab adalah dilarang.
Disepakati, tidak sah wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, baik
merdeka maupun budak. Tidak sah pula wanita murtad menikah dengan siapapun,
tidak dengan laki-laki muslim karena wanita tersebut telah kafir dan tidak
mengakui apapun, dan tidak sah pula menikah dengan laki-laki kafir karena masih
adanya ikatan Islam pada dirinya.
Hal ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut:
....... .......
Artimya : "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu 'min lebih baik dari
22 Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqih Rakyat Pertantuan Fiqih dengan Kekuasaan, (Yogyakarta:
LKiS, 2000), hlm. 281.
14
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu".23 (QS. al-Baqarah : 221)
Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan pria muslim.
Kenapa wanita muslim dilarang menikah dengan pria musyrik atau ahlu kitab,
sementara pria muslim diperbolehkan oleh sebagian ulama untuk menikah dengan
wanita ahlu kitab? Dalam hal ini bisa diberikan sebuah alasan hukum, bahwa surat
al-Baqarah ayat 221 memang samasama melarang wanita dan pria muslim untuk
menikah dengan musyrik atau musyrikah. Akan tetapi pada sisi lain Allah juga
berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 5 di atas yang menyatakan bahwa terdapat
wanita muhshanat (yang terpelihara) dari mu'minat dan ahlu kitab serta adanya
sunnah Nabi dan praktik sahabat. Dengan landasan ini maka kebolehan menikah
dengan ahli kitab hanya diperuntukkan bagi pria muslim bukan sebaliknya. Dalam
hal ini AL-Jurjawi, Muhammad Ali Ash-Shabuni dan Yusuf Qardlawi
memberikan penegasan bahwa dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli
kitab semata-mata untuk menjaga iman. Sebab, ada stigma yang berkembang, istri
mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke
agama lain.24
B. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF KATOLIK
I. Paham Gereja mengenai Pernikahan
“Perjanjian perkawinan, dengan mana pria dan perempuan membentuk
antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada 23 Depag RI, Op. Cit., hlm. 53. 24 Lihat Al-Jurjawi, Juz II hlm. 33, Yusuf Qardlawi, hlm. 179, As-Shabauni, hlm. 289. semua
referensi pendapat ini dikutip melalui, Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqih Rakyat Pertantuan Fiqih dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 283.
15
kesejanjadi sumi atau suami-istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak;
oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat
kemartabat sakramen.”25
“Karena itu antara orang-orang yang dibaptis; tidak dapat ada kontrak
perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen.”26
Beberapa gagasan pokok mengenai perkawinan berdasarkan keterangan
diatas adalah:
1. Perkawinan pada hakekatnya merupaka sebuah perjanjian kasih setia
antara seseorang pria dan wanita.
Perjanjian kasih antara suami-istri merupakan pokok perkawinan katolik.
Kalau kita hadir dalam pemberkatan perkawinan di Gereja, salah satu bagian
penting dalam acara tersebut adalah masing-masing pengantin mengucapkan janji
perkawinan di hadapan Tuhan, imam, 2 orang saksi, dan hadirin lainya. Dengan
kemungkinan berbagai variasi yang berbeda, intinya tetap sama. Masing-masing
pihak menyatakan bahwa sejak saat itu mereka memilih pasagan yang menjadi
suami istri. Ia berjanji untuk mencintai pasaganya dalam suka dan duka. Ia
berjanji pula untuk menjadi bapak atau ibu yang baik bagi anak-anak yang
dipercayakan Tuhan kepada mereka. itulah yang disebut janji perkawinan. Janji
inilah yang membuat mereka melangsungkan perkawinan. Tanpa janji itu mereka
tidak mungkin melangsungkan Perkawinan. Janji kasih itu sendiri bukan
merupakan sesuatu yang baru sama sekali. Selama merka berpacaran dan secara
25 Lihat Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kanon 1055:1.
http://www.imankatolik.or.id/khk.php?q=1055 diakses pada tanggal 19/11/2010. 26 Lihat Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kanon 1055:2.
http://www.imankatolik.or.id/khk.php?q=1055 diakses pada tanggal 19/11/2010.
16
khusus mempersiapkan perkawinan, Perlahan-lahan mereka mulai membangun
dan mewujudkan kasih itu sendiri. Dalam kesempatan perkawinan kasih yang
mereka hayati di nyatakan secara resmi dan menjadikan ikatan kasih mereka
berdua resmi pula. Mereka diakui sudah Menikah secar sah. Berbada dengan
paham konrak, perkawinan sebagai suatu perjanjian kasih membut pengakuan
spiritual dan dua pribadi dan kesamaan dalam kemampuan mereka untuk saling
memberi dan menerima secara utuh satu sama lain. Maka perjanjian
mengandaikan pilihan bebas, artinya orang tak bisa menikah secar terpaksa.
Perjanjian melibatkan pribadi yang utuh, melibatkan kesatuan spiritual, emosi,
dan fisik. Paham inilah yang diajarkan gereja seperti yang direfleisikan dalam
konsili Vatikan II. Perjanjian kasih juga mempunyai warna biblis yang mengacu
pada perjanjian kasih antar Allah dengan bangsa Israel dan memuncak dalam
hubungan kasih Kristus dengan Gereja-Nya.27 Selanjutnya pada taraf yuridis
dengan perjanjian ini kedua mempelai memaski bersama-sama tekad mereka
untuk membangun persekutan yang paling dalam dan seluruh hidup. Itulah
sebabnya Gereja mengajarkan bahwa hubungan seksual (suami-istri) tidak
dibenarkan kalau dilakukan sebelum menikah resmi Menikah. Karena baru setelah
menikah masing-masing pasangan saling memberi dan menerima dan dengan
demikian ‘berhak’ atas pasanganya.
2. Perjanjian perkawinan tersebut membentuk kebersamaan seluruh hidup.
Hakekat perkawinan adalah kebersamaan hidup suami-istri dalam semua
aspeknya. Atau senasib sepenanggungan dalam semua aspek hidup. Istilah latin
27 Lihat Efesus 5: 25-26.
17
yang dipakai untuk megungkapkan hakekat ini adalah ‘consortium totius vitae’.
(Con=bersama. Sors=nasib. Jadi senasib dalam kebersamaan). Artinya, berbagi
nasib (senasib sepenanggungan) dalam seluruh aspek kehidupan. Gagasan ini
dinyatakan dan dikatakan secara bagus pada waktu mempelai memberikan janji,
yaitu mau setia dalam suka maupun duka. Ungkapan ini sangat sederhana, namun
begitu kaya dan tidak selalu mudah untuk megucapkanya. Mudah diucapkan pada
saat menikah, bahkan lebih mudah lagi pada waktu pacaran. Tetapi mejadi tidak
mudah pada waktu mewujudkan dalam perjalanan hidup perkawinan selanjutnya.
Dalam hal ini sangat dibutuhkan semangat kerendahan hati, keterbukaan dan mau
berkorban. Dan pengalaman menunjukkan bahwa mengandalkan kekuatan sendiri
sering terasa terlalu berat mewujudkan janji tersebut. Namun, dengan berkat
Tuhan yang berat dan tidak mudah ini bisa diwujudkan pula dan membuahkan
kebahagiaan yang sering tidak terduga sebelumnya. Jelas bahwa, istilah seluruh
hidup dimaksudkan agar suami istri membangun perkawinan dan hidup
berkeluarga yang berkualitas. Hal itu berarti ada sikap penyerahan diri timbal
balik, kestiaan, usaha untuk membahagiakan, dll.28
3. Perkawinan dan kodratinya terarah untuk membangun kesejahtraan suami
istri.
Ada beberapa tujuan perkawinan. Salah satu yang pokok adalah
membangun kesejahtraan suami istri. Mereka bersama-sama mau mewujudkan
apa yang mereka cita-citakan, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Dasar dan
dorongan memujudkan kebahagiaan adalah api cinta yang tumbuh mekar dalam
28 http://gayamsari.multiply.com/journal diakses tanggal 22/10/2010.
18
hati maing-masing pasangan dan pengalaman jujur, seiap orang yang memilih
pacar dan mau menikah dengannya dasarnya yang paling pokok adalah karena
dan lubuk hati yang paling dalam sayang dengan pasangan tersebut. Selalu
tumbuh kerinduan untuk bertemu bahkan memberikan yang paling baik. Itulah
pengalaman orang jatuh cinta. Api cinta ini perlu ditumbuhkan terus dan
dipelihara jangan sampai padam. Perkawinan sering mudah terasa hambar karena
dorongan yang paling dalam ini tinggal sedikit bahkan hampir lenyap. Karena
kedua belah pihak bertekad untuk membahagiakan pasangannya, maka penting
sekali sikap-sikap yang mendukung hal tersebut. Misalnya: saling menerima dan
menghargai pasangannya dan membantu supaya pasangannya semakin
bertumbuh. Mencoba bertuturkata yang baik terhadap pasangannya menghindari
kata-kata kotor dan tindak kekerasan terhadap pasangannya. Relasi suami istri
akan awet dan berlangsung hangat kalau masing-masing pandai merawar
dorongan cinta yang dianugrahkan Tuhan pada awal saling jatuh cinta. Unsur
perawatan ini sangatlah penting karena kalau sudah terlanjur dingin dan retak,
maka sulit sekali untuk ditumbuhkan kembali.
4. Perkawinan dan kodratinya terarah pada kelahiran dan pendidikan anak
Dalam hubungan kasih suami istri, ungkapan yang paling mendalam
adalah tindak persetubuhan suami istri. Melalui persetubuhan yang wujudnya
tindakan biologis terkandung pengalaman kasih dan penyerahan diri.
Persetubuhan ini pada kodratnya terarah untuk lahirnya kehidupan baru. Maka
kehadiran anak sering disitilahkan sebagai suatu buah kasih antar mereka berdua.
Karena persetubuhan merupakan ungkapan puncak dan cinta perkawinan, maka
19
perlu dilaksanakan secara manusiawi. Tidak boleh masing-masing hanya
mementingkan kepentingan dan kebutuhan sendiri. Perlu dijauhi cara-cara dan
sikap yang tidak manusiawi, seperti kemungkinan tindak kekerasan seksual
kepada pasangannya.
Seandainya mereka tidak anugerahi seorang anak, tidak berarti dan
menjadikan alasan ini untuk bercerai ataupun membatalkan perkawinan. Karena
gereja mengajarkan bahwa: “anak-anak adalah buah kasih dan anugerah Tuhan
yang sangat istimewa dan menjadi kebahagiaan orang tuanya.” Namun masih ada
buah-buah lain dari suatu perkawinan misalnya, kedamaian dan kebahagiaan hati
hidup bersama dengan pasangannya.
5. Perkawinan sah antara dua orang yang sudah dibaptis oleh Tuhan Kristus
diangkat ke martabat sakramen
Salah satu paham khas Gereja Katolik tentang perkawinan adalah
pengakuan bahwa perkawinan diantara dua orang dibaptis bermartabat sakramen.
Sakramen secara umum berarti tanda dan sarana penyelamatan Tuhan. Maka,
melalui perkawinan Tuhan mewujudkan kasih dan menjadikannya sarana
penyelamatan.
II. Sifat-Sifat Perkawinan Katolik29
1. Perkawinan Katolik haruslah antara satu orang pria dan wanita
Perkawinan Katolik bersumber pada kasih Yesus Kristus kepada umat-
Nya. Dalam mengasihi umat-Nya, Yesus Kristus memberikan diri secara total
sampai tetes darah yang terakhir. Ia merelakan hidup-Nya demi keselamatan 29 http://www.linkpdf.com/ebook-
viewer.php?url=http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6206177187.pdf diakses pada tanggal 22/10/2010.
20
manusia. Cinta Kristus yang total inilah yang harus dilakukan suami-istri. Artinya,
seorang suami harus memberikan cintanya secara total hanya pada satu istri saja.
Karena itu, perkawinan Katolik menolak poligami.
2. Perkawinan Katolik tidak bisa diceraikan
Gereja Katolik tidak mengenal perceraian. Karena itu, kesetiaan sampai
mati adalah mutlak bagi seorang yang akan menikah. Karena itu sesuai dengan
keteladanan Yesus Kristus yang mencintai umat-Nya secara total.
III. Perkawinan Beda Agama menurut Katolik
Gereja Katolik memberi kemungkinan untuk perkawinan beda agama
karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih
pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya. Ada dua jenis perkawinan
agama dalam Katolik, yaitu:30
1. Perkawinan beda gereja (seorang baptis katolik menikah dengan seorang
baptis non-katolik). Contohnya, seorang baptis Katolik menikah dengan
seorang baptis Protestan. Perkawinan semacam ini membutuhkan ijin.
2. Perkawinan beda agama (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang
yang tidak di baptis). Contohnya, seorang baptis Katolik menikah dengan
seorang Muslim, Hindu atau Buddha. Perkawinan semacam ini
memerlukan dispensasi
Untuk mendapatkan ijin atau dispensasi, maka pihak Katolik diwajibkan
membuat janji yang berisi dua hal, yaitu:
1. Pihak Katolik berjanji untuk setia dalam iman Katoliknya.
30 Wawancara Pribadi dengan Pdt. Adolf Ostieli Nazara.
21
2. Pihak Katolik berjanji untuk berusaha dengan serius untuk mendidik dan
membaptis anak-anak yang akan lahir dalam Gereja Katolik.
Selain itu, pihak non-Katolik pun harus membuat janji yang berisi dua hal:
1. Ia tidak akan menghalangi pihak Katolik untuk melaksanakan ibadahnya.
2. Ia bersedia mendidik anak-anak yang akan lahir dalam Gereja katolik.
C. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HINDU
a. Pengertian Nikah
Bagi masyarakat Hindu, soal perkawinan mempunyai arti dan kedudukan
khusus dalam dunia kehidupan mereka. Istilah perkawinan sebagaimana terdapat
dalam berbagai sastra dan kitan hukum Hindu (smriti), dan dikenal dengan nama
“wiwaha”.31
Agama Hindu memandang perkawinan sebagai suatu yang suci.
Perkawinan adalah samskara (sakramen) dan termasuk salah satu dari sekian
banyak sakramen mulai dari proses kelahiran (gharbadana) sampai proses
kematian (antyasti).32 Jadi, perkawinan menurut hukum Hindu adalah ikatan suci
antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk
keluarga yang utama, yaitu “Purusa”.33
b. Syarat-syarat Perkawinan dalam Hindu34
31 Gde Puja, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, (Jakarta: Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, DEPAG, 1974), hlm. 9. 32 Gde Djaksa, Hubungan Perkawinan Menurut Hukum Hindu Dengan Perkawinan Menurut
Undang-Undang No. 1/1974 Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: 1974), hlm. 41.
33 Gde Puja, Op. Cit., hlm 11. 34 Ketut N. Natih, DKK, Pembinaan Perkawinan Agama Hindu, (Jakarta: Yayasan Dharma
Sarathi, 1990), Cet.1, hlm. 25.
22
1. Kedua mempelai telah menganut agama Hindu, jika calon mempelai
itu tidak beragama Hindu maka perkawinan tersebut tidak dapat
disahkan.
2. Dalam upacara pernikahan tersebut harus ada unsur persaksian, yaitu
triupasaksi yaitu saksi kepada manusia, saksi kepada bhuta dan saksi
kepada Tuhan.
3. Setiap perkawinan menurut agama Hindu harus diresmikan melalui
samskara (pembersihan).
4. Untuk mengesahkan perkawinan, menurut hukum Hindu harus
dilakukan oleh Brahmana/Pendeta/Rohaniawan, pejabat-pejabat
agama yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya.
c. Perkawinan Beda Agama dalam Hindu
Dari pernyataan diatas sudah sangat jelas bahwa Hindu tidak bisa
mensahkan perkawinan yang dilakukan oleh selain Hindu. Bagi pengesahan suatu
perkawinan, menurut hukum Hindu tidak ada suatu dispensasi yang
mengakibatkan bagi Brahmana untuk melakukan pengesahan upacara perkawinan
yang ia lakukan jika diantara kedua mempelai itu terdapat perbedaan agama.
Karena itu jalan yang lazim mereka tempuh dalam hal ini adalah menikah secara
adat saja atau memalsukan salah satu identitas pasangannya. Apabila kedua calon
mempelai berbeda agama, maka Brahmana (pendeta) baru bersedia mengesahkan
perkawinan tersebut jika pihak yang bukan Hindu telah Disuddhikan (disahkan)
sebagai pemeluk agama Hindu dan menandatangani Sudi Vadhani (surat
pernyataan masuk agama Hindu).
23
D. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF PROTESTAN
Pandangan agama Kristen Protestan mengenai perkawinan berdasarkan al-
Kitab adalah:
a. Perkawinan sebagai suatu persetujuan hidup.
b. Perkawinan mempermiskin dan merusakkan jika perkawinan itu
dipandangan hanya dari sudut persetubuhan semata.
Jadi, perkawinan menurut agama Kristen Protestan adalah suatu
persekutuan hidup yang meliputi keseluruhan hidup. Yang menghendaki laki-laki
dan perempuan yang telah kawin supaya dua kelamin dari jenis yang berbeda
menjadi satu dalam kasih Tuhan, satu di dalam kasih-mengasihi, satu di dalam
kepatuhan, satu di dalam menghayati kemanusiaan mereka dan satu di dalam
memikul beban pernikahan.35
Dengan demikian, maka perkawinan itu menjadi suatu kesempatan untuk
memberi jawaban kepada soal mereka masing-masing di segala lapangan
kehidupan. Memiliki kesempatan untuk saling melayani agar mencapai
kebahagiaan dalam perkawinan.
Walau dikatakan agama Kristen Protestan tidak melarang umatnya
menikah dengan orang yang bukan beragama Kristen Protestan, akan tetapi pada
prinsipnya agama Kristen Protestan menghendaki perkawinan yang seagama. Hal
dapat diketahui dari pandangan al-Kitab bahwa tujuan utama dari perkawinan
adalah kebahagiaan.
Oleh karena itu, agama Kristen Protestan memandang perkawinan sebagai
35 Rusli Tama, Perkawinan Beda Agama dan Masalahnya, (Bandung: Sartika Dharma, 1984), hlm.
23.
24
perwujudan kasih sayang kepada manusia di dalam persekutuan kasih yang paling
dalam antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan
merupakan suatu perbuatan yang dikehendaki Tuhan.
1. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai.
2. Kedua calon mempelai tidak terikat perkawinan dengan orang lain.
3. Sekurang-kurangnya salah seorang calon mempelai merupakan anggota
jemaat Gereja yang bersangkutan.
Demi kesejahtraan perkawinan, geraja menganjurkan kepada umatnya
untuk mencari pasangan hidup yang seagama dengan mereka. Tetapi walaupun
demikian, karena menyadari umatnya hidup bersama-sama dengan pemeluk
agama lainnya, gereja tidak melarang umatnya secara mutlak untuk menikah
dengan pemeluk agama lain.
E. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTI BUDDHA
Perkawinan beda agama memang tidak disarankan dalam agama Buddha.
Hal ini sesuai dengan petunjuk Sang Buddha tentang syarat kebahagiaan dalam
rumah tangga, salah satunya menyebutkan ‘keyakinan yang setara’. Sebenarnya
upacara perkawinan antar mereka yang beda agama tidaklah terlalu bermasalah
dalam agama Buddha hanya saja memang disarankan untuk satu agama.
Permasalahan bukan pada upacara perkawinannya, namun lebih pada kehidupan
dalam perkawinan itu sendiri.36
36 Wawancara Pribadi dengan Suhu Ruwadi.
25
BAB III
FATWA MUI TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA
A. Sekilas Tentang Komisi Fatwa
Komisi fatwa merupakan salah satu komisi Majelis Ulama Indonesia yang
membidangi masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam yang ada di
tengah masyarakat yang memerlukan jawaban. Komisi fatwa MUI mempunyai
wewenang mengeluarkan fatwa mengenai:
a. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat
Islam Indonesia secara nasional.
b. Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke
daerah lain.
Adapun komisi fatwa MUI daerah mempunyai wewenang mengeluarkan
fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan yang bersifat lokal (kasus-kasus di
daerah) dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan MUI / Komisi
fatwa MUI.
Dalam kinerjanya, komisi fatwa MUI maupun MUI daerah mempunyai
mekanisme dan prosedur penetapan fatwa yang menjadi pedoman dalam
mengeluarkan fatwa. Menurut KH. Ma’ruf Amin, adanya prosedur penetapan
fatwa ini karena tidak dibenarkan memberikan fatwa hanya didasarkan pada
keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan semata-mata tanpa didasarkan
pada keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa
didasarkan pada dalil. Tegasnya, setiap menyatakan suatu hukum haruslah dapat
26
menunjukkan dalilnya, baik Al-qur'an, Hadis, maupun dalil hukum lainnya.
Menyatakan hukum tanpa didasarkan pada dalil-dalil hukum disebut tahakkum
(membuat-buat hukum).37 Perbuatan tahakkum harus dihindari, karena perbuatan
ini termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah dalam surat al-'A'raf: 33 :
Artinya : "Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."38
Dalam firman-Nya yang lain Allah secara tegas melarang tahakkum. Ini
dapat dipahami dari surat an-Nahl: 116:
Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.
Fatwa merupakan hal yang sangat penting dalam rangka memberikan
penjelasan dan penerangan kepada umat Islam utamanya dalam hal yang berkaitan
baik dalam status hukum maupun kepantansan dan etika menurut agama. Dalam
memberikan fatwa, MUI merumuskan persoalan yang memerlukan jawaban 37 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 2010), hlm. 3-4. 38 Depag RI, Al-Qur ’an dan Terjemahnya, (Surabaya : Mahkota, 1989), hlm. 226.
27
sesuai dengan bidang yang diperlukan. Lalu diedarkan kepada anggota komisi
fatwa MUI untuk diteliti secara seksama. Kalau terdapat beberapa pendapat yang
berbeda dari para ulama, lalu diadakan pertemuan untuk membahas persoalan
tersebut sampai mendapatkan rumusan penjelasan yang dapat diterima sesuai
dengan dalil naqli maupun aqli.
Komisi fatwa MUI merupakan lembaga independen yang terdiri dari para
ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan memiliki otoritas yang
memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah. MUI dengan seluruh
anggota komisi fatwanya selalu berpegang kepada al-Qur'an dan al-Sunnah
dengan memperhatikan pendapat para ulama terdahulu dan juga menggunakan
kaidah ushuliyah/fiqhiyyah. Di dalam mensikapi dan berinteraksi dengan
kelompok yang berbeda, MUI tidak fanatik dengan mazhab, kelompok maupun
negara. Putusan MUI ini merupakan putusan lembaga bukan perorangan yang
tujuannya adalah mencapai kebenaran dengan menjaga kebenaran proses
kesimpulan dalil, tujuan-tujuan syara', realitas keadaan, perubahan situasi dan
kondisi serta pencurahan segala kemampuan untuk menetapkannya.39
Terdapat mekanisme dalam menetapkan fatwa yakni dengan didasarkan SK
Dewan Pimpinan MUI No. U-634/MUI/X/1997 maka mekanisme kerja komisi
fatwa secara singkat adalah sebagai berikut:40
Penyelesaian masalah:
1. Setiap surat masuk ke komisi fatwa yang berisi permintaan fatwa atau
masalah hukum Islam dicatat dalam buku surat masuk, dilengkapi dengan
39 Wawancara Pribadi dengan Drs. K.H. Salahuddin Al-Ayubbi M.Si 40 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Op. Cit, hlm. 6.
28
asal (pengirim) dan tanggal surat, serta pokok masalahnya.
2. Semua surat masuk diseleksi oleh tim khusus untuk ditentukan
klasifikasinya.
Prosedur rapat:
1. Ketua komisi fatwa atau melalui rapat komisi, berdasarkan dari tim khusus
menetapkan prioritas masalah yang dibahas dalam rapat komisi fatwa serta
menetapkan waktu pembahasannya.
2. Ketua komisi, atau melalui rapat komisi, dapat menunjuk salah seorang
atau lebih anggota komisi untuk membuat makalah mengenai masalah
yang akan dibahas.
3. Undangan rapat komisi, pokok masalah akan dibahas dan makalah sudah
harus diterima oleh anggota komisi dan peserta rapat lain (jika ada)
selambat-lambatnya tiga hari sebeleum tanggal rapat.
4. Peserta rapat komisi fatwa terdiri dari anggota komisi dan peserta lain
yang dianggap perlu.
5. Rapat komisi fatwa dipimpin oleh ketua komisi atau wakilnya.
6. Rapat komisi fatwa dinyatakan sah jika dihadiri oleh sekurang-kurangnya
setengah dari peserta yang diundang rapat atau jika dipandang perlu telah
memenuhi quorum oleh peserta yang hadir.
7. Hasil rapat komisi fatwa dicatat oleh sekretaris komisi fatwa.
Keputusan fatwa:
1. Hasil rapat komisi fatwa dirumuskan menjadi keputusan fatwa oleh tim
khusus, kemudian ditandatangani oleh ketua dan sekretaris komisi.
29
2. Keputusan fatwa sebagaimana dimaksud point 1, dilaporkan kepada dewan
pimpinan / sekreatriat MUI untuk kemudian ditanfidzkan dalam bentuk
surat keputusan fatwa majelis ulama indonesia.
3. Setiap surat keutusan fatwa yang ditanfizkan diberi nomor dan
ditandatangani oleh ketua umum, sekretaris umum, dan ketua komisi fatwa
MUI.
4. Surat keputusan fatwa MUI dikirim kepada pihak-pihak terkait dan seluruh
anggota komisi fatwa serta MUI daerah.
5. Keputusan dipublikasikan pula melalui mimbar ulama dan penjelasannya
dalam bentuk artikel.
Di samping adanya mekanisme, dalam menetapkan fatwa MUI sudah
menetapkan metode penetapan fatwa yang tertuang dalam SK Dewan Pimpinan
MUI Nomor: U-596/MUI/IX/1997. Dalam SK tersebut disebutkan bahwa dasar-
dasar umum penetapan fatwa adalah sebagai berikut:41
1. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan
Sunnah Rasul yang mu'tabarah, serta tidak bertentangan dengan
kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul sebagaimana
ditentukan di atas, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan
ijma', qiyas yang mu'tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti
istihsan, maslahah mursalah, dan sadz adzri'ah.
3. Sebelum pengambilan keputusan fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-
41 KH. Ma'ruf Amin, Op. Cit, hlm. 13-14.
30
pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan
dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang
dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil
keputusan fatwanya dipertimbangkan.
Adapun prosedur penetapan fatwa MUI adalah sebagai berikut:42
1. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih
dahulu dipelajari dengan seksama oleh anggota komisi atau tim khusus
sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang jelas hukumnya hendaklah komisi menyampaikan
sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada
nashnya dari al-Qur'an dan Sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka yang
difatwakan adalah hasil tarjih telah mempertimbangkan fiqih muqaran
dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih muqaran yang
berhubungan dengan pentarjihan.
4. Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif serta
memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang,
komisi menetapkan fatwa.
5. Setiap keputusan fatwa harus ditanfidzkan setelah ditandatangani oleh
Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).
6. SKF harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah
42 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Op. Cit, hlm. 5.
31
oleh masyarakat luas.
7. Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai dengan uraian dan
analisis secara ringkas serta sumber pengambilannya.
8. Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan
rekomendasi atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi SKF
tersebut.
B. Susunan Pengurus Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005-201043
Nukilan lampiran:
Surat keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.
Kep-35/MUI/I/2010 tentang Susunan Pengurus Antar Waktu Dewan Pimpinan,
Anggota Pleno, dan Komisi-Komisi MUI Masa Bakti 2009-2010.
I. Dewan Penasehat MUI (Majelis Ulama Indonesia)
1. Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan Ketua
2. KH. M. Kafrawi Ridwan, MA Wakil Ketua
3. Dr. H. Fuad Amsyari Wakil Ketua
4. Ir. H. Azwar Anas Wakil Ketua
5. H. M. Maftuh Basyumi Anggota
6. Prof. Dr. H. Quraisy Shihab Anggota
7. Dr. H. Tarmizi Thaher Anggota
8. Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH Anggota
9. KH. Hasyim Muzadi Anggota
43 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Op. Cit, hlm. 26-29.
32
10. Prof. Dr.A. Syafii Ma’arif Anggota
11. KH. Abdullah Faqih Anggota
12. Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat Anggota
13. H. Fachrudin Masturo Anggota
14. Prof. Dr. Hj. Chamamah Suratno Anggota
15. Drs. H. Irsyad Djuwaeli Anggota
16. Drs. H.A. Chalid Mawardi Anggota
17. H. Ismael Hasan, SH Anggota
18. Prof. Dr. H. Muardi Chatib Anggota
19. Dra. Hj. Asmah Syahroni Anggota
20. KH. Syuhada Bahri, Lc Anggota
21. Prof. Drs. H. Aswadi Syukur, Lc Anggota
22. KH. Cholid Fadlullah, SH Anggota
23. H. Yudo Paripurno, SH Anggota
24. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi Anggota
25. H. Aziddin, SE Anggota
26. KH. Abdurrahman Nawi Anggota
27. KH. Syukron Makmun Anggota
28. KH. Abdur Rasyid AS Anggota
29. Drs. H.A. Mubarok Anggota
30. Dr. H. Muslim Ibrahim Anggota
31. Drs. H. Rusydi Hamka Anggota
32. Dr. Hj. Suryani Thaher Anggota
33
33. Prof. Dr. Hj. Aisyah Girindra Anggota
34. Prof. Dr. H. Muslimin Nasution Anggota
35. Prof . Dr. H. Roem Rowi Anggota
36. KH. Dr. Maghtur Usman Anggota
37. Prof. Dr. H. Salim Bajerei Anggota
38. Prof. Dr. H. Sutarmadi Anggota
39. Dr. H. Sulastomo, MPH Anggota
40. Drs. H. Abdurrahman Anggota
41. H. Yos Sutomo Anggota
42. Drs. H. Zaidan Djauhari Anggota
43. Geys Ammar, SH Anggota
44. KH. Tb. Fadhlul’Azmi Anggota
45. Dr. H. Deding Ishak, SH, MH. Anggota
Sekretaris (ex officio) : Drs. H. M. Ichwan Sam
Wakil Sekretaris : Drs. H. Irfan, SH, MPd
II. Dewan Pimpinan Harian
Ketua Umum : Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudh
Wakil Ketua Umum : Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin
Ketua : Prof. Dr. H. Umar Shihab
Ketua : Prof. Drs. KH. Asmuni Abdurrahman
Ketua : KH. Ma’ruf Amin
Ketua : Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasi, MA
34
Ketua : Drs. H. A. Nazri Adlani
Ketua : Drs. H. Amidhan
Ketua : Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, MA
Ketua : KH. A. Cholil Ridwan, Lc.
Ketua : Prof. Dr. Hj. Khuzaemah T. Yanggo
Ketua : Dr. Hj. Tuty Alawiyah
Ketua : Prof. Dr. H. Amir Syarifudin
Sekretaris Umum : Drs. H. M. Ichwan Sam
Sekretaris : Dr. H. Amrullah Ahmad, S.Fil.
Sekretaris : Dr. H. Anwar Abbas, MM
Sekretaris : Drs. H. Zainut Tauhid Saadi
Sekretaris : Dra. Hj. Welya Safitri, M.Si.
Bendahara Umum :
Bendahara : Dra. Hj. Juniwati T. Masjchun Sofyan
Bendahara : Dr. H. Fahmi Darmawansyah, MM
Bendahara : Drs. H. Achmad Djunaedi
Nukilan Lampiran:
Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majlis Ulama Indonesia (MUI) No.Kep-
35/MUI/2010 tentang Susunan Pengurus Antar Waktu Dewan Pimpinan, Anggota
Pleno dan Komisi –Komisi MUI Masa Bakti 2009 – 2010.
35
Komisi Fatwa
Penasehat : K.H. Ma’ruf Amin
Ketua : Dr. H.M. Anwar Ibrahim
Wakil Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
Wakil Ketua : Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA
Wakil Ketua : Dr. H. Masyhuri Na’im, MA
Wakil Ketua : Prof . Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA
Sekretaris : Dr. H. Hasanuddin, M.Ag
Wakil Sekretaris : Drs. H.M. Aminuddin Yakub, MA
Wakil Sekretaris : Dr. H.M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA
Wakil Sekretaris : Drs. H. Sholahuddin al-Aiyubi, M.Si
Anggota :
. Drs. K.H. Hafiz Usman
. Drs. K.H. Ghazalie Masroerie
. K.H. Tb. Hasan Basri
. Drs. K.H. Saifuddin Amsir
. Prof. Dr. K.H. Muslim Nasution, MA
. Prof. Drs. H.M. Nahar Nahrawi, SH, MM
. Drs.H. Asnawi Latief
. Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA
. Dr. K.H. A. Munif Suratmaputra, MA
. Dra. Hj. Mursyidah Thahir, MA
. Dra. Hj. Maria Ulfa MA
36
. Drs. H. Zafrullah Salim, SH, M.Hum
. Drs. H. Ali Zardjas, SH
. Dr. H. A. Fattah Wibisono, MA
. H. Mas’adi Sulthoni, MA
. H. Nurul Iman, MA
. Prof. Dr. H. Syamsul Anwar
. K.H. Ahmad Suhaili
. K.H. Yakub Lubis
. Dra. Hj. Muslimah Syukri, MA
. Dr. Hj. Isnawati Rais, MA
. Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, MA
. K.H. Muhammad Sofwan Kosasih
. H. Abdul Wahhab Abd. Muhaimin, Lc, MA
. Drs. H. Sopa, MA
. Dr. H. Muchlis Hanafi, MA
. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA
. Drs. Agus Salim Dasuki, M.Eng
. K.H. Abdul Manan, MM
. Dr. H. Setiawan Budi Utomo, Lc
Ditetapkan : Jakarta, 13 jumadil Awal 1428 H 30 Mei 2007 M
37
B. Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda
Agama44
Dalam MUNAS MUI yang ke VII pada Tahun 2005 di Jakarta, MUI
mengeluarkan 11 fatwa MUI yang salah satunya adalah fatwa tentang pernikahan
beda agama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikutip seutuhnya keputusan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang
Pernikahan Beda Agama.
Majelis ulama Indonesia (MUI), dalam Musyarah Nasional MUI VII pada
tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005M., setelah:
Menimbang:
a. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi pernikahan beda agama.
b. Bahwa pernikahan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di
antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengudang keresahan di
tengah-tengah masyarakat.
c. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang
membenarkan pernikahan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan
kemaslahatan
d. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentaraman kehidupan
berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang
pernikahan beda agama untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
1. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ (4):
44 KH. Ma'ruf Amin, DKK, Op. Cit, hlm. 472-477.
38
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
2. Firman Allah dalam QS. Ar-Rum (21)
Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
3. Firman Allah dalam QS. Al-Tahrim (6)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ".
4. Firman Allah dalam QS. Al-Maidah (5)
39
Artinya : "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi".
5. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (221)
Artinya : "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran ".
6. Firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah (10)
40
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali dengan perempuanperempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
7. Firman Allah dalam QS. Al-Nisa’ (25)
41
Artinya : "Dan barangsiapa diantara kamu yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain , karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji , maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
8. Hadits Rasululllah SAW
فاظفر بذات الدین تربت یداك. تنكح المرأة األربع، لمالھا، ولنسبھا، ولجمالھا، ولدینھا
Artinya : "Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: (1) karena hartanya (2) karena keturunannya (3) karena kecantikannya (4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu bepegang teguh kepada perempuan yang memeluk agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tanganmu”. (HR. Bukhari Muslim dari sahabat Abi Hurairah RA)
9. Kaidah Fiqh
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan”
Memperhatikan :
1. Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang perkawinan
campuran.
2. Pendapat sidang komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
42
Dengan tawakkal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
Menetapkan: FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab, menurut qaul
mu’tamad adalah haram dan tidak sah.
Dari deskripsi di atas, fatwa MUI tentang pernikahan beda agama ditafsil
menjadi dua, yakni pernikahan beda agama haram dan tidak sah tanpa ada qayyid,
sedangkan yang kedua khusus pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli
kitab yang dihukumi haram dan tidak sah. Dalam hal ini fatwa item kedua ini
yang sesungguhnya banyak dipersoalkan, karena dalam Alqur'an, hadis maupun
literatur fiqih klasik pernikahan model ini secara mendetail telah dibahas dan
jumhur ulama membolehkan.
C. Dasar-dasar Fatwa MUI Nomor: 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang
Perkawinan Beda Agama
Lembaga fatwa merupakan lembaga independen yang terdiri dari para ahli
ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan memiliki otoritas yang
memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah. Untuk itu, lembaga ini
dengan seluruh anggotanya selalu berpegang pada dasar-dasar yang sudah baku
dan menjadi aturan yang dijadikan pedoman penetapan fatwa. Sesuai dengan
Surat Keputusan Dewan Pimpinan tahun 1997 yakni setiap keputusan fatwa harus
mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu'tabarah, tidak
43
bertentangan dengan kemaslahatan umat, ijma', qiyas yang mu'tabar, dan
didasarkan pada dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah,
dan sadz adzri'ah. Dengan demikian. dalam menetapkan fawa, MUI berdasar pada
prosedur penetapan fatwa yang telah ditetapkan.
Dalam menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama, MUI mengacu
pada prosedur penetapan fatwa di atas. Hal ini semata-mata untuk menjaga bahwa
fatwa yang dikeluarkan MUI secara jelas dapat diketahui sumber atau dalil-dalil
yang digunakan serta melalui kaidah-kaidah baku dalam mengeluarkan fatwa.
Dalam mengaplikasikan prosedur penetapan fatwa tentang pernikahan
beda agama, MUI mendasarkan pada ayat-ayat al-Qur'an, Hadits, dan
menggunakan kaidah fiqhiyyah dan ushuliyah.45 Sebelum terbitnya SK MUI
Tahun 1997, MUI dalam menetapkan fatwa sering sekali hanya mencantumkan
konklusi hukum tanpa adanya pencantuman al-Qur'an, Hadits, bahkan kaidah
fiqhiyyah. Karenanya, dalam Munas VII tahun 2005, MUI telah mengalami
kemajuan dalam penggunaan dasar-dasar hukum secara lebih rinci dan sistematis
dalam pengambilan fatwa sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan oleh
dewan pimpinan pusat.
Dasar yang digunakan dalam pernikahan beda agama dalam Munas VII di
Jakarta adalah al-Qur'an QS. An-Nisa' ayat 3, QS. Al-Rum ayat 30, QS. At-Tahrim
ayat 6, QS. Al-Maidah ayat 5 dan 25, QS. Al-Baqarah: 221, QS. dan al-
Mumtahanah ayat 10.
Di samping ayat-ayat al-Qur’an, MUI mendasarkan fatwanya kepada
45 Kaidah fiqhiyyah adalah dalil-dalil umum (al-’adillah al-’ammah /legal theory) sedangkan
kaidah fiqih adalah patokan hukum secara umum (‘ibarat ‘anil akhkam al-‘ammah/legal maxim).
44
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang
pentingnya kualitas agama calon istri yang dapat membawa pada keberuntungan
dan keselamatan.46
Adapun kaidah ushuliyah yang dipakai adalah sadz adzri'ah. Hasbi as-
Shiddiqy mendefinisikan bahwa sadz adz-dzariah adalah mencegah sesuatu yang
menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang
menyampaikan seseorang kepada kerusakan.47 Sedangkan kaidah fiqhiyyah yang
digunakan adalah dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih.
46 Lihat: Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al -Bukhari , (Penerbit
Sulaiman Mar’i, tt), hlm. 243. 47 Hasbi As-Syiddiqi, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Rizki Putra, 1997), hlm. 220.
45
BAB IV
RESPON PARA PEMUKA AGAMA TERHADAP FATWA MAJELIS
ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
A. Respon Pemuka Agama Islam Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah
Beda Agama
Yang dengan Pernikahan Beda Agama adalah Pernikahan orang Islam
(pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita). Ada beberapa
perbedaan hukum mengenai masalah ini:
a. Pernikahan antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik dan
sebaliknya.
Para ulama bersepakat bahwa pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan
wanita Musyrik adalah tidak boleh hukumnya hal ini didasarkan pada firman
Allah SWT:
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
46
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”48 Dr. Hasan Luthfy At Tamimy49 mengatakan sebagaimana dikutif dari kitab
al-um karangan imam Syafi’I beliau mengatakan bahwa pernikahan seorang laki-
laki Muslim dengan wanita Musyrik adalah haram hukumnya. Yang dimaksud
wanita musyrik disini adalah para penyembah berhala.
b. Pernikahan antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlu Kitab
Pernikahan semacam inilah yang sering menjadi perdebatan baik di
kalangan para ulama maupun para cendikiawan Muslim. Yang menjadi
permasalah adalah ahlu kitab yang seperti apa? Dan apakah masih ada ahlu kitab
di jaman sekarang ini?.
Ahlu kitab sebagaimana yang dimaksud oleh Nahdlatul Ulama adalah
orang-orang yang mempercayai kitab Taurat dan Injil, dan bukan kitab-kitab lain
sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, Idris dan Ibrahim. Karena, menurut
Nahdlatul Ulama kitab-kitab tersebut tidak diturunkan secara sistematik. Artinya,
para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya saja, atau
karena kitab-kitab tersebut hanya memuat hikmah dan nasehat-nasehat, dan tidak
memuat hukum-hukum syari’at.50
Yang menjadi permasalah sekarang adalah apakah ahlu kitab masih exist
dijaman sekarang ini?. Dr. Hasan Luthfy At Tamimy berpendapat bahwa ahlu
kitab masih ada sampai sekarang. Beliau mengartikan ahlu kitab sekarang ini
sebagai seorang yang masih mempercayai bahwa kitab yang mereka miliki adalah
adalah dari Tuhan mereka. Beliau juga mengistilahkan Kristen Koptik sebagai
48 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), hlm. 53-54. 49 Beliau adalah Lektor Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Imam Syafi’I Jakarta 50 http://www.nu.or.id
47
ahlu kitab dan dia bisa dinikahi.
c. Pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan pria non-Muslim
Pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan pria non-Muslim baik
musyrik maupun ahlu kitab para ulama telah bersepakat bahwa pernikahan
semacam ini adalah dilarang. Alasan pelarangan ini didasarkan pada:
……. .........
Artinya: “…..sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang Musyrik, walaupun dia menarik hatimu…..”
Ada juga alasan lain yang melarang pernikahan semacam ini yaitu tentang
stigma yang berkembang dimasyarakat jika pernikahan semacam ini
diperbolehkan dikhawatirkan sang istri akan terpengaruh dan terperdaya sehingga
berpindah keyakinan.
B. Respon Pemuka Agama Protestan Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah
Beda Agama
Bagi Protestan pernikahan adalah suatu persekutuan hidup yang meliputi
keseluruhan hidup yang menghendaki laki-laki dan perempuan yang telah kawin
yang berbeda menjadi satu dalam kasih Tuhan.
Walau dikatakan agama Protestan tidak melarang umatnya menikah
dengan orang yang bukan Protestan, akan tetapi tetap saja pada prinsipnya
Protestan menghendaki perkawinan yang seagama. Hal ini dapat diakui dari
pandangan al-Kitab bahwa tujuan utama dari perkawinan adalah kebahagiaan.
48
C. Respon Pemuka Agama Katolik Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah
Beda Agama
Pernikahan bagi Katolik adalah sesuatu yang sangat sakral. Jika seseorang
telah menikah maka ia tidak boleh diceraikan oleh manusia. Hal ini terdapat
dalam Matius51 sebagimana yang dijelaskan oleh Pdt. Adolf Ostieli Nazara.
Didalam pasal 2 ayat 24 Matius dikatakan “Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging”.
Lebih jauh Pdt. Adolf pun mengatakan bahwa Katolik tidak menginginkan
kawin campur karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip perkawinan dalam
katolik dan juga perkawinan beda itu bukan merupakan sebuah sakramen
sedangkan Katolik sangat menjunjung tinggi nilai sakramen.
Kalaupun harus terjadi pernikahan beda agama dalam Katolik, maka harus
mendapatkan ijin dari keuskupan dan melakukan beberapa perjanjian diantaranya:
1. Pihak Katolik harus berjanji bahwa ia akan setia pada Iman Katolik.
2. Dia harus bersedia untuk mendidik dan membaptis anak-anaknya secara
katolik.
3. Pihak non-Katolik jangan menghalangi pihak yang Katolik untuk
beribadah.
4. Pihak non-Katolik juga harus bersedia agar anak-anaknya dididik dan
dibaptis secara Katolik.
51 Lihat Matius 19: 6 “ Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
49
D. Respon Pemuka Agama Hindu Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah
Beda Agama
Perkawinan dalam Hindu adalah suatu ikatan suci antara seorang pria
dengan wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama. Hindu
secara jelas sangat menentang pernikahan beda agama dilihat dari salah satu
syarat pernikahan dalam Hindu, yaitu “ kedua mempelai telah menganut agama
Hindu, jika calon mempelai itu tidak menganut agama Hindu maka perkawinan
tersebut tidak dapat disahkan.”52
Kalaupun terjadi pernikahan beda agama, maka orang yang tidak
menganut agama Hindu harus bersedia untuk di suddhikan (disahkan) sebagai
pemeluk agama Hindu dan menandatangani Sudi Vadhani (surat pernyataan
masuk agama Hindu).
E. Respon Pemuka Agama Buddha Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah
Beda Agama
Agama Buddha sebenarnya tidak nyarankan pemeluknya untuk melakukan
nikah beda agama karena dikhawatirkan adanya konflik pada kehidupan dalam
perkawinan itu sendiri. Jadi, kalaupun harus terjadi pernikahan beda agama dalam
Buddha maka harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Ada persetujuan dari keluarga kedua belah pihak.
b. Tidak ada pemaksaan untuk memeluk satu agama tertentu jika pernikahan
telah berlangsung.
52 Lihat, Ketutn N. Natih, DKK, Pembinaan Perkawinan Agama Hindu, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990), hlm. 25.
50
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pernikahan adalah sebuah upacara yang sangat sakral bagi semua agama.
Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak saling
menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh bahtera
rumah tangga.
Sejatinya pernikahan yang akan dilakukan oleh sepasang laki-laki dan
perempuan bisa berjalan dengan tanpa ada permasalahan jika pernikahan yang
akan dilaksanakan oleh sepasang calon tersebut sama memiliki latar belakang
keyakinan yang sama, contohnya Islam dengan Islam, Kristen dengan Kristen,
dan lain sebagainya.
Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan terjadi pernikahan dengan latar
belakang keyakinan yang berbeda. Pernikahan seperti inilah yang disebut dengan
pernikahan beda agama. Bisa saja, orang Islam menikah dengan orang-orang non-
Islam baik itu Katolik, Protestan, Hindu Buddha, Konghucu dan lain sebagainya,
baik itu pria maupun wanita.
Pernikahan semacam inilah yang sering menimbulkan perdebatan panjang.
Karena ada semacam stigma negatif yang berkembang yang menyatakan bahwa
pernikahan beda agama sering dianggap sebagai cara halus untuk membawa
pemeluk salah satu agama menjadi pemeluk agama lain.
Pangkal perdebatan tersebut sekarang telah merambat hingga pada
51
permasalahan penafsiran teks-teks suci, baik itu al-Qur’an dalam Islam sampai al-
Kitab dalam katolik. Ada banyak pro dan kontra bila kita membicarakan masalah
penafsiran teks-teks suci ini. Pihak-pihak yang menolak pernikahan beda agama
biasanya hanya menggunakan penafsiran dengan metode tekstual saja dalam
memahami teks-teks suci tanpa memandang realitas sosial yang terjadi.
Berdasarkan latar belakang perdebatan penafsiran teks-teks suci itulah,
akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah fatwa yang
menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Fatwa tersebut diambil MUI guna menyikapi makin maraknya pernikahan
beda agama yang terjadi di Indonesia. Banyak sekali dalil-dalil yang digunakan
MUI dalam menetapkan fatwa tersebut. Tetapi apakah MUI mengetahui bahwa
agama-agama di Indonesia baik itu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha
sekalipun memperbolehkan pernikahan beda agama.
Walaupun awal mulanya agama-agama tersebut melarang pernikahan beda
agama, tetapi tetap saja pada akhirnya mereka memperbolehkannya juga
walaupun dengan adanya embel-embel syarat yang harus dipenuhi.
Katolik misalnya memperbolehkan nikah beda agama asalkan dengan sarat
pihak yang beragama Katolik tetap pada keyakinannya setelah ia menikah dan
pihak non-Katolik tidak memaksakan untuk berpindah keyakinan.
Dari uraian tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa fatwa yang
dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia tentang pernikahan beda agama adalah
kurang relevan. Karena sepertinya MUI hanya mengambil keputusan berdasarkan
teks-teks suci tanpa melihat realita dan pendapat dari agama-agama lain. Karena
52
pernikahan beda agama bukan hanya menyangkut Islam saja tetapi lebih bersifat
umum antar agama lainnya.
Menurut penulis fatwa MUI yang mengharamkan nikah beda agama
adalah lemah karena dengan alasan dan data-data yang telah penulis kumpulkan
pernikahan beda agama dibolehkan oleh semua agama-agama walaupun dengan
embel-embel. Sepertinya MUI mengambil keputusan memukul rata artinya
mengambil keputusan hanya dari satu pihak saja tanpa melibatkan berbagai tokoh
agama. Padahal pernikahan beda agama ini tidak hanya melibatkan pihak Islam
tapi juga pihak dari agama-agama lain. Dalam hal ahlul kitab dan musyrik pun
sepertinya MUI memukul rata padahal banyak sekali literatur-literatur yang
membolehkan menikahi wanita ahlul kitab. Mungkin saja MUI menganggap
bahwa sekarang ini wanita ahlul kitab sudah tidak eksist lagi.
B. SARAN
Saran yang ingin penulis lebih tekankan khususnya adalah kepada MUI
agar setiap menetapkan fatwa jangan hanya berdasarkan teks-teks suci saja,
cobalah untuk melakukan penelitian langsung lapangan atau berdiskusi dengan
para penganut agama-agama lain.
Bukankah dalam memahami teks-teks suci tersebut selain dengan berpikir
harus juga dengan observasi langsung. Apakah pemahaman teks-teks suci dengan
berpikir sesuai dengan realita yang ada.