Upload
vuongdan
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP KEBEBASAN KEHENDAK MANUSIA
DALAM PEMIKIRAN IMMANUEL KANT DAN MU’TAZILAH
(Studi Komparatif)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Ushuluddin dan Humaniora
Jurusan Aqidah dan Filsafat
Oleh:
SHOFWATUN NIAMI
NIM: 114111025
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO
SEMARANG
2015
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
“Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu,
Fitrah manusia adalah merdeka, dan menjadi bebas”
vii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata bahasa Arab yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada “Pedoman Transliterasi Arab-Latin” yang dikeluarkan
berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI tahun 1987. Pedoman tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kata Konsonan
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif tidak ا
dilambangkan
Tidak dilambangkan
Ba b Be ب
Ta t Te ت
Sa s| es (dengan titik diatas) ث
Jim j Je ج
Ha h} ha (dengan titik dibawah) ح
Kha kh ka dan ha خ
Dal d De د
Zal z| zet (dengan titik diatas) ذ
Ra r Er ر
Zai z Zet ز
Sin s Es س
Syin sy es dan ye ش
Sad s{ es (dengan titik dibawah) ص
Dad d} de (dengan titik dibawah) ض
Ta t} te (dengan titik dibawah) ط
Za z} zet (dengan titik dibawah) ظ
ain ...„ koma terbalik (di atas)„ ع
Gain g Ge غ
Fa f Ef ف
viii
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
Qaf q Ki ق
Kaf k Ka ك
Lam l El ل
Mim m Em م
Nun n En ن
Wau w We و
Ha h Ha ه
hamzah ...„ Apostrof ء
Ya y Ye ي
b. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, yaitu terdiri dari
vokal tunggal dan vokal rangkap.
1. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau
harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dhamah U U
2. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa
gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan
antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf,
yaitu:
ix
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
fathah dan ya Ai a dan i ي
fathah dan wau Au a dan u و
c. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan
huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda sebagai berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
ا ي
Fathah dan alif
atau ya
A a dan garis diatas
Kasrah dan ya I I dan garis diatas ي
Dhamamah و
dan wau
U u dan garis diatas
Contoh :
ل ق - qala
يم ر - rama
ل و ق ي - yaqulu
d. Ta Marbutah
Transliterasinya menggunakan:
1. Ta Marbutah hidup, transliterasinya adalah / t/
ظ ة و ر - raudatu
2. Ta Marbutah mati, transliterasinya adalah /h/
ظ ة raudah - ر و
3. Ta Marbutah yang diikuti kata sandang /al/
x
ط ف ل ا ل ض ة raudah al- atfal - ر و
e. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid dalam transliterasi dilambangkan dengan huruf
yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah.
Contoh: ب ن ا rabbana - ر
f. Kata Sandang
Transliterasi kata sandang dibagi dua, yaitu:
1. Kata sandang samsiya, yaitu kata sandang yang ditransliterasikan
sesuai dengan huruf bunyinya:
Contoh : الشفاء - asy-syifa
2. Kata sandang qamariyah, yaitu kata sandang yang ditransliterasikan
sesuai dengan bunyinya huruf /l/
Contoh : القلم - al- qalamu
g. Hamzah
Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan
apostrof, namun itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan
diakhir kata. Bila hamzah itu terletak diawal kata, ia tidak di lambangkan
karena dalam tulisan Arab berupa alif.
h. Penulisan kata
Pada dasarnya setiap kata, baik itu fi‟il, isim maupun huruf ditulis
terpisah, hanya kata- kata tertentu yang penulisannya dengan tulisan arab
sudah lazimnya dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat
yang dihilangkan, maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut
dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya.
Contoh:
Wa innallaha lahuwa khair arraziqin واناهللهلوخريالرازقني
Wa innallaha lahuwa khairurraziqin
xi
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini.
Skripsi ini berjudul “Kebebasan Kehendak Manusia Dalam Pemikiran
Immanuel Kant Dan Mu‟tazilah (Studi Komparatif), disusun untuk memenuhi
salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo
Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Prof. Dr. H.
Muhibbin, M. Ag.
2. Dr. H. M. Muksin jamil, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang yang telah
merestui pembahasan skripsi ini.
3. Dr. Zainul Adzfar, M. Ag dan Bahron Ansori, M. Ag selaku ketua jurusan dan
sekretaris jurusan Aqidah Filsafat yang telah memberikan pengarahan dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Dra. Yusriyah, M.Ag dan Widiastuti, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan
Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan
skripsi ini.
5. Dr. H. Syafi‟i, M. Ag, sebagai Dosen Wali, yang tak bosan-bosannya
memberikan pengarahan dan membimbing saya selama kuliah di Fakultas
Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo mulai semester hingga selesainya
skripsi ini.
xii
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, yang telah
bersedia sabar dan ikhlas dalam membekali ilmu kepada penulis, dan seluruh
karyawan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang,
terima kasih atas pelayanan terbaiknya.
7. Kedua orang tuaku, H. Nidhomuddin dan Hj. Mamlu‟ah tercinta yang
senantiasa mencurahkan kasih sayang dan selalu memberikan dukungan serta
doanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya untuk bapak dan ibu
tercinta. Semoga karya ini bisa menjadi penyeka air mata serta penyejuk
terhadap jerih payah yang telah kalian lakukan.
8. Saudara-saudaraku tercinta (mas Aniq, mas Aiz, dek Fawwaz, dan dek Ifa)
yang senantiasa memotivasi, memberikan dukungan kepada penulis dalam
menuntut ilmu sehingga penulis semangat hingga dapat menyelesaikan tugas
akhir.
9. Yang tercinta mas Misbahul Munir beserta keluarganya selalu memberikan
semangat, motivasi, dan dukungan yang tidak pernah berhenti dikala
keputusasaan datang.
10. Sahabat-sahabatku Hanik Rosidah, Ari Setiyawan, Sendi Satrio, Ali Wildan,
Wahab al-Kamal, dan sahabat seperjuangan di Jurusan Aqidah Filsafat ‟11
(Filsuf Class) yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu yang senantiasa
memberikan tangis, canda, tawa, dan keunikan. Terima kasih banyak atas
do‟a, semangat, serta motivasinya.
11. Kawan-kawan di ULC, HMJ, PMII, dan KAMARESA, tanpa semangat,
pengalaman, serta dorongan belajar dari kalian, karya ini mungkin hanya akan
menjadi mimpi dari seorang pemimpi belaka.
12. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini.
Kepada mereka semua penulis tidak bisa memberikan apa-apa, hanya
ucapan terima kasih yang tulus serta iringan do‟a, semoga Allah SWT membalas
semua kebaikan.
xiii
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca
pada umunya.
Semarang, 19 Oktober 2015
Penulis
Shofwatun Niami
NIM. 114111025
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN DEKLARASI KEASLIAN .................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iii
NOTA PEMBIMBING ............................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... v
HALAMAN MOTTO ................................................................................. vi
HALAMAN TRANSLITERASI................................................................. vii
HALAMAN UCAPAN TERIMAKASIH................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xiv
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................. xvi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 10
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 11
E. Metode Penelitian .................................................................... 14
F. Sistematika Pembahasan . ......................................................... 18
BAB II : KONSEP KEBEBASAN KEHENDAK MANUSIA DALAM
PEMIKIRAN IMMANUEL KANT
A. Biografi Immanuel Kant dan Karya-karyanya ........................... 21
B. Latar Belakang Pemikiran Immanel Kant ................................. 34
C. Pokok Pemikiran Immanuel Kant tentang Hukum
Moral............... .......................................................................... 40
D. Kebebasan Kehendak Manusia Menurut Immanuel
Kant ........................................................ ................................... 51
xv
BAB III : KONSEP KEBEBASAN KEHENDAK MANUSIA DALAM
PEMIKIRAN ALIRAN MU’TAZILAH
A. Sejarah Lahirnya Aliran Mu‟tazilah .......................................... 61
B. Dasar Faham Mu‟tazilah .......................................................... 70
C. Akal dan Wahyu Menurut Mu‟tazilah ....................................... 84
D. Keistimewaan Akal Manusia ..................................................... 89
E. Kebebasan Kehendak Manusia .................................................. 95
BAB IV : ANALISIS KONSEP KEBEBASAN KEHENDAK MANUSIA
IMMANUEL KANT DAN MU’TAZILAH
A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Kebebasan Kehendak
Manusia ................................................................................. 108
1. Persamaan antara Immanuel Kant dan Mu‟tazilah .............. 108
2. Perbedaan antara Immanuel Kant dan Mu‟tazilah ............... 109
B. Kontribusi Pemikiran Immanuel Kant dan Mu‟tazilah dalam
Studi Islam ............................................................................. 118
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................ 124
B. Saran-saran ............................................................................ 127
C. Penutup.................................................................................. 128
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
xvi
ABSTRAK
Hidup dengan bebas merupakan salah satu keinginan manusia yang sangat
mendasar dalam menjalani kehidupan. Konsep kebebasan kehendak manusianya
Immanuel Kant berusaha membongkar suatu tatanan, yang menurutnya dapat
menghambat suatu kemajuan. Sedangkan konsep kebebasan kehendak manusia
Mu‟tazilah berusaha memurnikan tauhid dan ingin menjaga eksistensi Tuhan.
Oleh sebab itu, konsep kebebasan kehendak manusia Immanuel Kant dan
Mu‟tazilah sangat sesuai dalam mendorong semangat untuk menjalani kehidupan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gagasan pemikiran
Immanuel Kant dan aliran Mu‟tazilah serta menentukan persamaan dan perbedaan
gagasan kedua tokoh dengan konsep kebebasan kehendak manusia.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data yang digunakan
dalam menyusun skripsi ini dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library
research). Sumber primer yang digunakan adalah buku yang ditulis oleh
Immanuel Kant yaitu The Critique of Practical Reason dan buku yang fokus pada
aliran Mu‟tazilah yaitu Syarah al Ushūl al Khamsah karya Abul Jabbar bin
Ahmad. Sumber sekunder penelitian ini berasal dari buku-buku yang membahas
tentang kebebasan kehendak manusia Immanuel Kant dan aliran Mu‟tazilah.
Metode analisis untuk mengolah data yang sudah terkumpul dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif dan komparatif
Hasil penelitian ini menunjukkan: Immanuel Kant mengawali konsep
kebebasan kehendak manusianya dengan masalah kebenaran sering disebut
dengan dalil kepercayaan, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan
eksistensi Tuhan. Kebenaran menurut Immanuel Kant bersifat tafsiran, bukan
kebenaran mutlak. Akal budi murni bersifat praktis dan memberi manusia hukum
universal atau hukum moral, yang beranggapan bahwa manusia sebagai makhluk
rasional yang memiliki kehendak murni. Aliran Mu‟tazilah berusaha memurnikan
perbuatan Tuhan, dan manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya
kepada Tuhan. Perbuatan Tuhan dibatasi dengan keadilan, janji ancaman, dan
hukum alam. Maka manusia berkehendak menyesuaikan hukum alam dan Tuhan
tidak ikut campur terhadap perbuatan makhluknya. Jadi, komparasi dari konsep
Immanuel Kant dan aliran Mu‟tazilah bisa dilihat dari persamaan dan
perbedaannya. Immanuel Kant dan aliran Mu‟tazilah sama-sama memberikan
kebebasan terhadap kehendak manusia, namun perbedaannya adalah kebebasan
Immanuel Kant mutlak ditangan individu dan manusia berperilaku menurut
hukum-hukum moral, sedangkan kebebasan aliran Mu‟tazilah masih terikat oleh
Tuhan dan terbatas oleh hukum alam.
Kata Kunci : Kebebasan Kehendak Manusia, Immanuel Kant, Aliran Mu‟tazilah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keinginan manusia untuk hidup dengan bebas merdeka merupakan salah
satu keinginan insani yang amat mendasar, karena adanya naluri manusia yang
tidak ingin terikat oleh aturan-aturan yang menjadikan manusia memiliki potensi
yang lebih tinggi dari potensi hewan.1 Potensi ini adakalanya tergolong potensi-
potensi emosional dan kecenderungan insaniah yang tinggi atau kategori indrawi
kognusif. Potensi inilah yang merupakan kemampuan yang intrinsik dan
kebutuhan manusia mendasar untuk hidup bebas, bagaimana keadaan
sekelilingnya, baik itu menekan, menonjolkan atau menenggelamkan individu.
Oleh karena itu, kebebasan merupakan kebutuhan dasar manusia dan kebutuhan
yang fundamental.
Titik tolak untuk mempersoalkan kebebasan manusia dan jawaban-
jawaban yang diberikan terhadap persoalan itu bukan saja sering kali tidak sama,
bahkan tidak jarang saling bertentangan dan tidak mengherankan jika pemikiran
tentang kebebasan selalu mengandung kontroversi.2 Perselisihan pendapat dapat
dimengerti bila kita menyadari bahwa kebebasan manusia bukanlah kebebasan
mutlak atau “murni” melainkan kebebasan yang relatif, karena dibatasi oleh
situasi dan kondisi manusia sebagai kebebasan yang relatif atau “bersituasi”,
kebebasan manusia selalu tercampur dengan ketidakbebasan.3 Situasi dan kondisi
manusia bukanlah satu-satunya faktor yang menghalangi atau membatasi
kebebasan. Situasi tertentu yang di luar sifatnya manusia tidak mungkin bertindak
1 Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 5
2Franz Magnis-Suseno SJ, Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. Xvii 3 Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, ..., hlm. 6
2
bebas. kebebasan manusia terkandung berbagai aspek atau komponen yang saling
mempengaruhi dan terjalin satu sama lain.
Terjadinya kontroversi tersebut terdapat dalam umat beragama, yang pada
akhirnya menimbulkan pendapat berlawanan tentang kebebasan ini, yaitu
Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah, akan tetapi konsep kebebasan kehendak
manusia antara Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah memiliki latar belakang
pendekatan yang berbeda. Kalau Immanuel Kant melalui pendekatan filsafat,
sedangkan aliran Mu’tazilah melalui pendekatan teologis atau kalam.
Immanuel Kant melalui pendekatan filsafatnya menjelaskan bahwa
kebebasan tidak sama dengan konsep yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan
bebas tidak mempunyai sebab, atau tidak sama dengan sebuah pandangan yang
populer pada zaman Kant hingga sekarang bahwa tindakan itu bebas jika
ditentukan oleh karakter yang telah dimiliki seseorang. Ia menganggap bahwa
segala sesuatu yang dilakukan manusia pada dasarnya tunduk, tetapi manusia
dianggap bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya dan ini bisa berarti
bahwa bisa bertindak secara bebas.4
Menurut aliran Mu’tazilah, manusia hidup di dunia ini bebas dengan
kehendaknya masing-masing. Kehendak manusia secara tidak langsung akan
membicarakan tentang keadilan Tuhan dan akan terkait dengan ajaran-ajaran
aliran Mu’tazilah lainnya, salah satunya adalah ajaran janji dan ancaman. Menurut
tulisan dari Sahilun A. Natsir, yang dimaksud dengan “keadilan” ialah meletakkan
tanggung jawab terhadap segala perbuatan manusia. Jadi, Tuhan bebas atau tidak
dapat saksi atas segala perbuatan manusia. Tuhan hanya memberikan perintah dan
larangan, selebihnya terserah manusia mau menolak atau menerima perintah dan
larangan tersebut, karena Tuhan telah memberikan kekuasaan atau kehendak
kepada manusia, Tuhan hanya menghendaki kebaikan-kebaikan.5 Sedangkan
dalam ajaran tentang janji dan ancaman tersebut, kaum Mu’tazilah sangat yakin
4 H. B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral; Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), hlm. 95-96 5Sahilun A. Natsir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm 169-170
3
terhadap janji Tuhan yaitu berupa pahala dan siksa, dan Tuhan tidak mungkin
ingkar terhadap janjinya.6 Jadi, setelah Tuhan memberikan kehendak atau
kuasanya , dan membekalinya dengan akal serta wahyu kepada manusia, selain itu
Tuhan berjanji akan menilai hasil perbuatan manusia dengan imbalan pahala dan
siksa, atau surga dan neraka.
Kebebasan adalah fitrah manusia yang diberikan oleh Allah.7 Kebebasan
itu merupakan tabiat manusia. Kebebasan juga suatu hal yang penting bagi setiap
pribadi, sebagaimana pentingnya udara bagi paru-paru. Kedatangan agama
memproklamasikan kebebasan manusia dan menjaganya dari tekanan-tekanan,
baik dalam kebebasan beragama, berpolitik, berpikir, berusaha, bertindak maupun
dalam mendapatkan kedudukan, dan lain-lainya, sehingga terjaminlah kebebasan
dan seluruh harkat hidup manusia.
Melihat persoalanan secara proporsional, perlu dianalisis lebih dalam
tentang hubungan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan
manusia. Kebebasan manusia tidak bersifat mutlak karena dirinya terbatas oleh
materi. Kehendak manusia bisa seandainya tidak terbatas, tetapi kemampuan dia
untuk melakukan kehendak itu tetap terbatas oleh materi, ruang, dan waktu, serta
dirinya sendiri. Jadi, tidak semua kehendak manusia dapat dilaksanakannya.8
Manusia terbatas ketika berhadapan dengan bidang materi, namun dalam bidang
metafisika terutama agama manusia lebih bebas sebab yang membatasinya tidak
ada dalam bentuk materi. Dia bebas untuk percaya kepada Tuhan atau tidak sebab
tindakan yang semacam itu tidak ada hukum yang mampu membatasinya.
Latar belakang tersebut penulis hendak membandingkan atau
mengkomparasikan antara Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah dalam kancah
pemikiran tentang kebebasan kehendak manusia.
6 Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 49
7 Sayid Sabiq, Anashirul Quwwah Fil Islam, Terj. Haryono S. Yusuf, Unsur-Unsur
Dinamika dalam Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1981), hlm. 129 8 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 129
4
Immanuel Kant membahas tentang eksistensi Tuhan melalui bukti moral.9
Menurutnya manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam jiwa dan
hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban-kewajiban untuk
menjahui perbuatan-perbuatan yang buruk. Perintah ini bersifat absolute mutlak
dan universal, perintah baik dilakukan karena perintah mengatakan demikian,
perintah jahat dijauhkan karena hal itu merupakan kewajiban manusia. Menurut
Kant, perbuatan baik menjadi baik tidak karena akibat-akibat baik yang timbul
dari perbuatan itu dan tidak pula agama mengajarkan itu baik. Persoalan baik dan
buruk tidak diperoleh dari pengalaman di dunia ini, tetapi dibawa dari lahir.
Immanuel Kant mengakui dalil bagi kehidupan moral, dalil yang pertama
tentang kebebasan, yang kedua tentang imoralias jiwa, dan yang ketiga tentang
eksistensi Tuhan.10
Ia mengatakan bahwa kalau seseorang bertindak menurut
kesusilaan, maka orang itu bertindak bebas. Kebebasan bukanlah karena
keyakinan, tetapi apabila tindakan itu tidak bebas, berarti manusia mendapat
pengaruh dari luar karena itu ia tidak bertanggung jawab atas tindakannya,
sehingga ia tidak mempunyai persaan wajib. Kebebasan berarti menentukan
sendiri perbuatannya dan bertindak demikian rupa sehingga perbuatan itu dapat
berlaku umum, oleh karena itu kehendak harus bebas tidak dapat pengaruh
apapun. Jiwa harus imortal, agar jiwa mendapat kebahagiaan sempurna yang
merupakan kebaikan tertinggi dan ini adalah Tuhan. Melalui moral kita dapat
mengetahui eksistensi Tuhan.
Kaum Mu’tazilah memandang manusia dalam sistem teologi mempunyai
daya yang besar lagi bebas, sudah tentu menganut paham qadariyah. Kaum
Mu’tazilah juga disebut kaum qodariyah. Qodariyah adalah salah satu aliran
dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa manuisa memiliki kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
9 Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derida,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 61 10 Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derida,..., hlm.
66
5
Demikian nama qodariyah berasal bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Istilah dalam bahasa inggris
dikenal dengan nama free will dan free act.11
Qodariyah melihat manusia
memiliki kehendak bebas dan daya dalam dirinya. Manusia pelaku yang
mengadakan perbuatannya dan bukan Tuhan. Pendapat ini larut pada
Mu’tazilah.12
Segi historisnya, Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar menjelang
akhir abad ke-18. Lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, sebuah kota
kecil di Prussia Timur. Kehidupan Kant sebagai filsuf terbagi menjadi dua periode
yakni zaman pra-kritis dan kritis.13
Zaman kedua inilah ia mengubah wajah
filsafat secara radikal dengan filsafat kritisismenya dan ia mempertentangkan
kritisisme dengan dogmatisme. Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada abad ke-
2 H di Basrah, muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, pemikiran-
pemikirannya lebih kompleks dan sempurna pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah, yaitu salah satunya mencegah pemahaman dalam menjalani kehidupan
yang akibatnya akan menyalahkan kehendak Tuhan, selain itu juga berfikir bebas
telah menjadikan peradaban Islam menjadi maju atau menjadi zaman keemasan.
Keduanya berlainan pemikiran tetapi keduanya membahas konsep
kebebasan kehendak manusia, maka penulis disini akan membahas konsep
kebebasan kehendak manusia dengan mengambil tokoh-tokoh di atas dan penulis
akan membandingkan kedua tokoh di atas, sejauhmana kedua tokoh di atas dalam
membahas konsep kebebasan kehendak manusia, kebebasan bagaimana yang
mereka maksud. Walaupun sama-sama membahas tentang kebebasan kehendak
apakah ada persamaan atau perbedaan dalam membahas kebebasan kehendak
manusia.
11 Ali Mudhofir, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1996), hlm. 205 12 Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. 119 13 K. Berterns, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 59
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, yang menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep kebebasan kehendak manusia dalam pemikiran Immanuel
Kant dan aliran Mu’tazilah?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan tentang konsep kebebasan kehendak
manusia menurut pemikiran Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Mendiskripsikan dan menjelaskan pemikiran Immanuel Kant dan aliran
Mu’tazilah tentang kebebasan kehendak manusia.
2. Mengidentifikasi corak pemikiran antara Immanuel Kant dan aliran
Mu’tazilah.
3. Melakukan ekplorasi secara mendalam terhadap pemikiran Immanuel Kant
dan aliran Mu’tazilah, sehingga penulis mengetahui persamaan dan perbedaan
konsep kebebasan kehendak manusia.
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui pandangan-pandangan Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah
tentang kebebasan kehendak manusia.
2. Menambah perspektif baru atau khasanah intelektual khususnya ilmu agama.
3. Memberikan kontribusi pemikiran sebagai wacana dan referensi, dan
memperluas wawasan keilmuan guna dapat menjawab permasalahan yang
muncul dan berkembang di masyarakat.
7
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran penulis, penelitian tentang Konsep Kebebasan
Kehendak Manusia dalam Pemikiran Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah,
belum ada yang mengkaji atau meneliti baik dalam bentuk skripsi maupun dalam
karya ilmiah yang lain. Hal ini sangat mendorong penulis untuk mengkaji lebih
dalam tentang Konsep Kebebasan Kehendak Manusia dalam Pemikiran Immanuel
Kant dan aliran Mu’tazilah.
Dalam rangka menghindari terjadinya kesamaan obyek kajian dalam
penelitian ini, maka penulis menampilkan beberapa karya ilmiah tentang
pemikiran Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah lainnya, di antaranya:
Pertama, antara al-Ghozali dan Immanuel Kant, Filsafat Etika Islam,14
yang ditonjolkan dalam buku ini adalah Immanuel Kant menggunakan metode
Rasional dalam menganalisis etika, sedangkan al-Ghozali menganalisis etika
dengan pendekatan religius atau mistik dan al-Ghozali sangat menolak
Rasionalitas. Buku ini membahas tentang komparasi etika Islam antara al-Ghozali
dan Immanuel Kant yang membahas tentang etika atau moral Immanuel Kant
dalam beberapa dalil tentang moral.
Kedua, skripsi Sukinah (4101144) fakultas Ushuluudin IAIN Walisongo
Semarang dengan judul Epistemologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Perspektif
Islam,15
adapun tujuan dari penelitian ini adalah teori pengetahuan Immanuel Kant
yang berasal dari luar maupun dari diri manusia itu sendiri dilihat dalam sudut
pandang Islam, dan lebih ditekankan pada perspektif Abed Al-Jabiri dengan Nalar
Burhani-nya. Epistemologi kritisisme Immanuel Kant merupakan filsafat
pengetahuan tentang sumber pengetahuan yang dapat memberikan kebenaran
univrsal dan dapt memberikan informasi yang baru.
14
Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam antara Al-Ghazali dan Immanuel Kant, (Bandung:
Mizan, 2002) 15
Sukinah, Epistimologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Perspektif Islam, (Semarang:
IAIN Walisongo, 2006)
8
Ketiga, skripsi Uud Nur Khadhiq (4199054) fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang dengan judul Al-Amr Bi Al-Ma’ruf Wa Al-Nahy An Al-
Munkar Menurut Mu’tazilah dan Asy’ariyah (Studi Komparatif).16
Skripsi ini
menjelaskan bahwa prinsip yang erat hubungannya dengan masalah amaliyah,
yang mana manifestasi iman yang ada di dalam hati. Mu’tazilah yang ajarannya
rasional memandang antara aqidah dan amaliyah sama pentingnya dengan iman
dan amal, sedangkan Asy’ariyah berpendapat bahwa amar makruf nahi munkar itu
telah diberikan oleh Tuhan.
Keempat, skripsi Abdul Rozak (4105012) fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang dengan judul Konsep Iman Perspektif Murji’ah dan
Mu’tazilah (Studi Komparatif).17
Skripsi ini lebih menekankan konsep iman yang
merupakan inti agama, konsep ini menandai titik awal dari semua pemikiran
teologi Islam. Murji’ah lebih mementingkan aspek keimanan, sedangkan menurut
Mu’tazilah adalah bukan tasdiq dan ma’rifat tetapi amal dari Tuhan.
Kelima, skripsi Sunarmi (4100038) fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo
Semarang dengan judul Kebebasan Manusia dalam perspektif Teologi Islam.18
Skripsi ini menekankan aspek kebebasan manusia menurut beberapa aliran teologi
Islam dan juga menjelaskan persamaan dan perbedaan kebebasan manusia dalam
perspektif aliran teologi Islam seperti aliran mu’tazilah, asy’ariah, maturidiyah,
jabariyah, dan qodariyah.
E. Metode Penelitian
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati atau permasalahan yang sedang
16
Uud Nur Khadhiq, Al-Amr Bi Al-Ma’ruf Wa Al-Nahy An Al-Munkar Menurut
Mu’tazilah dan Asy’ariyah (Studi Komparatif), (Semarang: IAIN Walisongo, 2005) 17
Abdul Rozak, Konsep Iman Perspektif Murji’ah dan Mu’tazilah (Studi Komparatif),
(Semarang: IAIN Walisongo, 2010) 18Sunarmi, Kebebasan Manusia dalam perspektif Teologi Islam, (Semarang: IAIN
Walisongo, 2005)
9
dihadapi.19
Sehingga, penelitian ini bisa juga disebut dengan penelitian pustaka
(library research). Maka sistematika metode yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Sumber Data
Guna mencapai maksud dan tujuan dalam skripsi ini, maka penulis
melakukan penelitian dengan cara memahami literatur yang ada dan
mengumpulkan data sebanyak-banyaknya, serta mengolah data-data tersebut
berdasarkan kriteria sumbernya. Dalam penelitian ini penulis membagi dua
sumber data sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam peneliti adalah The Critique of
Practical Reason, untuk fokus kepada konsep “kebebasan kehendak
manusia” Immanuel Kant. Sedangkan referensi yang digunakan untuk
fokus kepada konsep “kebebasan kehendak manusia” aliran Mu’tazilah
yaitu Syarh al Ushūl al Khamsah karya Abul Jabbar bin Ahmad.
b. Data Sekunder
Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian, adalah data-data
dari buku, yang masih ada hubungannya dengan fokus penelitian. Data
sekunder ini menguatkan dan memberikan interpretasi dari pemikiran yang
ada pada data primer.
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menempuh langkah-langkah melalui
riset kepustakaan (library research), yaitu suatu riset kepustakaan atau
penelitian murni.20
Penelitian kepustakaan ini, dikumpulkan deskripsi-
deskripsi dan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli dalam
bidangnya sesuai dengan topik penelitian ini, dengan percaya atas komparasi
mereka. Bahan mentah hasil dari refleksi filosofis, maka dalam bahan itu
19 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
hlm. 4 20
Sutrisno Hadi, Metode Research, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986), hlm. 49
10
dicari garis-garis besar, struktur-struktur fundamental dan prinsip-prinsip
dasarnya dilakukan secara mendetail dengan bahan-bahan yang kurang
relevan diabaikan.21
Penulis dalam library research ini juga mengambil beberapa sumber
pelengkap, baik literatur teknis maupun literatur non teknis. Literatur teknis
adalah literatur yang dihasilkan dari karya tulis profesional sesuai dengan
kaidah-kaidah ilmiah. Sedangkan literatur non teknis adalah literatur yang
tidak memiliki standar ilmiah.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan ini merupakan penelitian filsafati. Metodologi dalam
penelitian ini adalah menggunakan pendekatan filosofis. Pendekatan filosofis
merupakan kegiatan secara refleksif dan juga kegiatan rasionalis, refleksi
dilakukan dalam memperoleh kebenaran, menemukan makna, dan segala hal
inti dalam hakikat terdalam dari apa yang telah diteliti.22
4. Metode Analisis Data
Metode analisis adalah suatu jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap objek ilmiah
tertentu dengan jalan memilih-milih antara pengertian yang satu dengan
pengertian yang lain untuk memperoleh kejelasan arti yang sebenar-
benarnya.23
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, jenis penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research). Maka menganalisis data adalah
sebagai berikut:
a. Deskriptif
21 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), hlm.109-125 22 Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat,..., hlm. 15 23Sudharto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1996), hlm.
57
11
Metode ini dimaksudkan untuk menguraikan (mendiskripsikan) masalah
yang sedang dibahas secara teratur mengenai seluruh konsepsi dan ide
pemikiran pokok yang bersangkutan.24
Menguraikan atau menjelaskan
pemikiran Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah yang difokuskan pada
konsep kebebasan kehendak manusianya.
b. Komparatif
Metode komparatif yaitu penyelidikan deskriptif yang berusaha mencari
pemecahan melalui analisa tentang perhubungan-perhubungan sebab
akibat, yakni yang meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan
dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu
faktor dengan faktor yang lain.25
Maka dalam hal ini penulis akan
membandingkan konsep “kebebasan kehendak manusia” dalam pemikiran
Immanuel Kant dengan aliran Mu’tazilah.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yang akan dilakukan agar memperoleh gambaran
yang lebih jelas dan menyeluruh mengenai pembahasan skripsi ini secara global,
penulis merinci dalam sistematika pembahasan sebagai berikut.
Bab pertama, merupakan bab pengantar awal yang berisi pendahuluan dan
menjelaskan tentang hal-hal yang melatar belakangi munculnya masalah yang
dirumuskan dalam penelitian ini, di situ dipaparkan tentang konsep kebebasan
kehendak manusia Immanuel Kant dan Mu’tazilah yang berbeda landasan dalam
membentuk konsep. Bab ini juga berisi rumusan masalah; tujuan dari penelitian
dan manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini; kajian pustaka yang
menjelaskan penelitian-penelitian sebelumnya dan buku-buku tentang konsep
kebebasan kehendak manusia sebagai penjelasan bahwa penelitian penulis belum
dilakukan sebelumnya; metodologi penelitian; dan sistematika penulisan.
24Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat,..., hlm. 65 25Winarto Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, dan Teknik,
(Bandung: Tarsito. 1994), hlm. 143
12
Bab kedua merupakan upaya untuk mendalami sejarah dan kehidupan
tokoh Immanuel Kant, disamping itu karya-karyanya yang memberikan gambaran
pemikirannya. Seperti halnya tentang dasar pemikiran Immanuel Kant yang
idealisme, hukum moral sebagai bukti eksistensi Tuhan, dan kebebasan kehendak
manusia.
Bab ketiga menjelaskan tentang sejarah munculnya aliran Mu’tazilah yang
membawa persolan-persoalan teologi, dan menjelaskan pokok-pokok ajaran
Mu’tazilah di antaranya adalah at-Tauhīd, al-‘Adl, al-Wa‘du wa al-Wa‘īed, al-
Manzilatu baina al-Manzilataini, dan al-Amru bi al-Ma’rūf wa al-Nahī ‘anil-
Munkar. Aliran Mu’tazilah banyak memakai akal daripada wahyu sehingga
mereka mendapat nama kaum rasionalis Islam. Mu’tazilah juga banyak
mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-
perbuatannya.
Bab keempat sebagai inti pembahasan yang berisikan analisis tentang
persamaan dan perbedaan konsep kebebasan kehendak manusia, sehingga
mengekplorasikan secara mendalam pemikiran Immanuel Kant dan aliran
Mu’tazilah tentang kebebasan kehendak manusia dalam studi Islam.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-
saran, guna untuk memperoleh suatu pengetahuan mengenai kebebasan kehendak
manusia dalam pemikiran Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah.
21
BAB II
KONSEP KEBEBASAN KEHENDAK MANUSIA
DALAM PEMIKIRAN IMMANUEL KANT
A. Biografi dan Karya-karya Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam
pentas filsafat zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke-18. Lahir pada
tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur.1 Ia
dilahirkan sebagai anak keempat dari seorang pembuat pelana kuda Konigsberg
yang setia dengan gerakan Pietisme, beberapa dari nenek moyangnya datang ke
Jerman dari Skotlandia. Dia berkembang dalam suasana kekristenan yang shaleh.2
Pada usia delapan tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium
Fredericanum sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme. Di sekolah ini ia
mendalami bahasa Latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan
para ilmuan saat itu untuk mengungkapkan pemikiran mereka.
Pada tahun 1740 Kant belajar hampir semua mata kuliah yang diberikan di
Universitas. Karena alasan keuangan, Kant kuliah sambil bekerja. Ia menjadi guru
pribadi di beberapa keluarga kaya di Konigsberg. Di universitasnya dia
berkenalan baik dengan Martin Knutzen (1713-1751), dosen yang mempunyai
pengaruh besar terhadap Kant.
Knutzen adalah seorang murid dari Chistian Von Wolff (1679-1754), dan
seorang profesor logika dan metafisika. Meskipun demikian, ia menaruh minat
khusus pada ilmua alam, dan sanggup mengajarkan fisika, astronomi dan
1Berdasarkan perjanjian Konferensi Postdam, Jerman (1945), Konigsbersg masuk ke
dalam kekuasaan Russia. Pada tahun 1946 namanya diganti menjadi Kaliningrad oleh Stalin sebagai kenangan akan seorang sahabatnya yang telah meninggal lantaran sakit paru-paru, yaitu
Mikhail Ivanovich Kalinin (1875-1946), mantan ketua Presidium tertinggi PKUS. (S.P. Lili
Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris,
Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 25 2 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant; Filsafat Etika Islam, (Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 33
22
matematika. Tahun 1755 Kant memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi
berjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api
(Meditationum Quarundum de Igne Succinta Delineatio)”, sebuah karya di bidang
ilmu alam. Kemudian, bekerja sebagai privatdozent di Konigsberg dengan
mengajarkan mata kuliah: metafisika, geografi, fisika dan matematika, logika,
filsafat, teologi, ilmu falak, dan mineralogi. Kant dijuluki dengan “sang guru yang
cakap” (Der Schone Magister) karena cara mengajarnya hidup dengan kepandaian
seorang orator Kant menggerakkan pikiran dan perasaan para pendengarnya, dan
dengan ketajaman pikirannya Kant mengguraikan isi kuliahnya. Pada bulan Maret
1770 Kant memperoleh gelar profesor logika dan metafisika dari Universitas
Konigsberg dengan disertasi “Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia
Inderawi dan Budiah” (De Mundi Sensibilis Atgue Intelligibilis Forma et
Principlis).3
Kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi menjadi dua periode yakni
zaman pra-kritis dam kritis. Kehidupan Kant sebagai privatdozent dari tahun
1755-1770 di atas dikenal dengan zaman pra-kritis. Pada zaman pra-kritis Kant
menganut pendirian rasionalistisnya Wolff dan kawan-kawannya. Kemudian
setelah terpengaruh empirisnya Hume, berangsur-angsur meninggalkan
rasionalisme. Kant mengatakan bahwa Hume-lah yang telah membangunkan diri
dari tidur dogmatisnya, yang menyusul ialah zaman kritis. Zaman kedua ini Kant
mengubah wajah filsafat secara radikal dengan filsafat kritisismenya dan ia
mempertentangkan kritisisme dengan dogmatisme.4
Immanuel Kant membujang seumur hidupnya, mungkin ia berpikir seperti
Nietsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi pencapaian
kebenaran, atau Telleyrand yang berpendapat bahwa orang yang kawin akan
melakukan apa saja demi uang. Pada umur 22 tahun Kant telah menyatakan “saya
sudah menetapkan jalan yang pasti, saya ingin belajar, tidak satupun yang dapat
menghalangi saya dalam mencapai tujuan itu”. Menurut salah seorang penulis
3 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 26 4 K. Berterns, Ringkasan Sejarah Filsafat, ..., hlm. 59
23
biografi, kehidupan Kant berlangsung menurut aturan yang tegas, bangun, minum
kopi, menulis, memberi kuliah, makan, jalan-jalan, jalan-jalan, masing-masing
mempunyai waktunya sendiri. Lalu Kant muncul dari pintu rumahnya, berjalan
menuju jalan kecil di bawah pepohonan yang rindang dan sering disebut tempat
jalan-jalan sang filosof.5
Pada tahun 1796 M, dia berhenti memberi kuliah dengan alasan usia tua,
pada tahun 1798 M kesehatannya mulai menurun. Akhirnya pada tanggal 12
Februari 1804 Kant meninggal dunia pada usia 80 tahun dalam keadaan pikun.
Banyak pelayat berdatangan dari segenap penjuru Konigsberg, dan seluruh
Jerman. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan kota. Kuburan itu kemudian rusak
dan diperbaiki pada tahun 1881, pada tahun 1924 peringatan 200 tahun kelahiran
Kant, sisa-sisa tulang belulangnya dipindahkan ke serambi katedral di pusat kota
Konigsberg. Ketika perang dunia kedua berkecamuk hebat, serambi katedral
porak poranda akibat perang melawan Jerman. Tahun 1950, beberapa orang tidak
dikenal membongkar peti batunya dan membawa kabur tulang-belulangnya, dan
yang masih tinggal hingga sekarang adalah sebuah nisan dari perunggu yang
melekat pada dinding serambi. Memuat tulisan “langit berbintang diatas saya,
hukum moral di dalam saya” (coelum stellatum supreme, lex moralitas intra me).
Dua hal yang dikagumi Kant selama hidupnya di dunia ini, bila ia merenungkan
misteri alam semesta (fisika) dan misteri pribadi sang manusia (etika).6
Karya-karya Immanuel Kant sangat berjasa dalam perkembangan bidang
ilmu pengetahuan. Karya-karyanya penuh dengan berbagai dilema dan paradoks
yang sangat abstrak, yang mula-mula terkesan jauh dari masalah-masalah manusia
sehari-hari. Karya-karya itu ditulis dalam gaya yang sangat akademis, yang akan
sangat mengejutkan siapapun yang akan membaca karya itu.7 Karya-karya Kant
memberikan sebuah sumbangan pemikiran, oleh sebab itu beberapa tokoh
5 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 158-159 6 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 28 7 Hendry D. Aiken, Abad Ideologi, terj. The Age of Ideology, Penj. Sigit Djatmiko,
(Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2002), hlm. 20-21
24
berpendapat bahwa karya-karya Kant telah dibagi menjadi beberapa periode.
Periode tersebut dinamakan pra-kritik dan periode kritik.8 Sejarah periode tersebut
sulit diidentifikasi menurut batasannya tetapi yang menarik pada tahun 1770
bersamaan dengan terbitnya karya-karya dan gagasannya yang besar dalam
sebuah buku Kritik atas Budi Murni (Kritik der Reinen Vernuft). Pada tahun 1747
sampai dengan 1770, ia adalah seorang penulis produktif dan telah banyak
memberikan sumbangan dalam tulisannya tentang ilmu pengetahuan alam
misalnya geografi, astronomi, fisika yang telah dipengaruhi oleh beberapa
gurunya seperti Martin Knuzen.9
Karya Kant yang pertama adalah Gedanken von der wahren schaetzung
der lebendigen krafte pada tahun 1747 di Koenigsberg. Pada tahun 1755 yang
berjudul Allgemeine nanurgeschichte und theorie des himmes karangan ini
membahas tentang alam semesta, karya-karya Kant seperti fysische monodologie
pada tahun 1756 juga merupakan karya besar bagi ilmu pengetahuan alam.
Karangan ini Kant mencoba membahas teori monade Leibnez, dalam teori
tersebut Kant mencoba menggambarkan terjadinya alam semesta bahwa bagian
tersebut bukan benda melainkan gaya atau enersi, jadi sesungguhnya tak ada
benda, yang ada hanyalah gaya.10
Pemikirannya terhadap sejarah terjadinya alam semesta mempengaruhi
pemikirannya tentang ras manusia, oleh karena itu sejarah akan merubah
segalanya baik itu dunia maupun makhluknya dan akhirnya akan mengalami
sebuah perubahan.11
Karya Kant tentang ras manusia ini terbit pada tahun 1775.
Terbitnya Fysische Monadologie pada tahun 1756 juga bersamaan dengan
8 Kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membedakan antara
pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastianya. Ia ingin memberikan
pengenalan dari keterkaitanya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Filsafatnya
dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan
batas-batas kemampuan untuk memberikan tempat kepada iman kepercayaan. Lihat buku Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 64 9 Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant,
(Yogyakarta: Lukman Ofset, 1997), hlm. 19 10
Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant,...,
hlm. 20 11 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 26
25
karangan-karangan yang tidak membahas tentang ilmu pengetahuan alam tetapi
bersifat filsafat. Terbitlah karangan yang berjudul die falsche Spitzfindigkeit der
vier Syllogistischen figuren pada tahun 1792, menurut Kant, karangan ini
membahas silogisme dalam logika. Akhir tahun Kant juga menertibkan Der einzig
moegliche Beweisgrund zu einer demonstration des Desains Gottes dalam
karangan ini Kant mengemukakan tentang metafisika. Kant menulis
Untersuchung ueber die deulichkeit der gruendsaetze der natuerlichen theologie
und der moral pada tahun 1764 tentang metafisika. Kant juga menulis karya-
karyanya yang dipengaruhi oleh moral dan keindahan yang berjudul
Beobactungen ueber des Gefuehl des Schoenem und Erhabenen pada tahun 1764,
karena menulis adalah salah satu pekerjaan Kant pada tahun 1766 ia juga
menerbitkan karya lagi yang berjudul Traume eines Geisersehers durch traume
der Metaphysik.
Pada tahun 1770 Kant telah diangkat sebagai profesor logika dan
metafisika, sehubungan dengan pengangkatannya, Kant menertibkan desertasinya
yang berjudul Principiorum Primorum Cognitionis Metaphysicae nova
dilucidation. Terbitlah karyanya yang berjudul Kritik der rainen vernunft yang
membahas epistemologinya. Setelah terbitnya buku-buku besarnya itu, muncul
karya-karya yang lain dengan beriringan misalnya pada tahun 1783 yaitu
karyanya yang berjudul Prolegomena zur einer jeolen kuentifigen methaphysik die
als wissenscaft wirt auftrotenkoenen karya ini membahas tentang ilmu
pengetahuan. Pada tahun 1785 terbit karyanya grudlegung zur metaphysik der
sitten. Pada tahun 1786 karyanya yang berjudul metaphysiche anfangsgruende der
naturwis senscraften dan terbit juga edisi kedua tentang karyanya yang berjudul
kritik der praktischen vernuft pada tahun 1787, pada tahun 1788 juga terbit
karyanya mengenai filsafat moral yang berjudul kritik der praktischen vernuft
sebagai pelengkap karyanya yang berjudul grundlegung zur metaphysik der sitten.
Kritik yang ketiga yaitu kritik der Ulteiscraft telah terbit pada tahun1790. Kant
juga menulis tentang agama, antara lain karyanya ueber das Misslingen aller
Metaphysischen versusche in theodizee pada tahun 1791, kemudian Religion
26
Innerhalb der Blossen Vernuftt terbit pada tahun 1793. Kant telah menerbitkan
begitu banyak karyanya dalam waktu yang sangat singkat. Pada masa sebelum
meninggalnya Kant telah merencanakan metode untuk memperbaiki sistemnya
tetapi ajal telah menjemputnya, kemudian catatan tersebut dikumpulkan dan
diterbitkan oleh Erick Adiekes pada tahun 1920 berjudul Kant’s Opus
Posthumeisme.12
Karya-karya Immanuel Kant terbagi menjadi dua bagian, yang pertama
periode pra kritik dan yang kedua periode kritik, dan ada juga oleh ahli sejarah
membaginya dalam tiga periode, pada periode pertama tersebut ditandai pada
masa awal Kant mendalami ilmu pengetahuan pada sekitar tahun 1755 atau 1756,
selanjutnya pada periode kedua dialami Immanuel Kant ketika ia memunculkan
karyanya sebelum kritik pada tahun 1760, sedangkan pada periode ketiga
dihitungnya setelah tahun 1760, misalnya dilihat dari karya-karyanya sekitar
tahun 1755 Immanuel Kant telah menyelesaikan dua buah buku yang berjudul De
igne dan disusul dengan karyanya yang berjudul Allgemeine Naturgeschichte und
Theorie Himmels pada tahun 1775, Immanuel Kant telah mengajukan sebuah
buku untuk mengajukan sebuah Dogtor, desertasi dalam buku tersebut dinamakan
De igme, selanjutnya ia mengajukan karyanya sebagai promosi dan gelar Dogtor
metafisika yang berjudul Principiorum Primiorum Cognitionis Metaphysicae
Nova Dilucidatio pada tahun 1770. Pada periode kritik Kant masih menyelesaikan
karyanya tentang ilmu pengetahuan alam, misalnya tahun 1785 Kant telah
menyelesaikan tulisannya berbentuk essay berjudul Ueber die Fulkane im Monde,
pembagian periode sangatlah rumit, untuk mengajukan sebuah pertanyaan tentang
pembagian intelektual Kant. Periode tersebut terdiri atas dua periode atau tiga
periode, semuanya tidak dapat diselesaikan, yang penting adalah Kant seorang
tokoh besar dalam bidang filsafat dan juga ilmu-ilmu yang lain, misalnya sejarah,
agama, dan astronomi.13
12 Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant,...,
hlm. 21 13 Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant,...,
hlm. 23
27
Karya-karya Kant dapat diurutkan sebagai berikut:
1747 Gedanken von Wheren Schaetzung der Lebending Kreaft (Thought on the
True Estimation of Living Forces)
1755 Allgemeine Naturgeschicte und Theorie des Himmels (General Natural
History and Theory of the Hearens)
1755 De Igne (on Fire) sebagai desertasi
1756 Monadologia Physica (Physical Monadology)
1758 Neuer Lehrbegriff der Bewegung und Rune (Some Expermental Reflection
about Optimisim)
1762 Die Falsche Spitzfindigkeit der Vier Syllogistischen Figuren (The False
Subtlety of the Four Syllogistic Figures)
1762 Der Einzing Mogliche beweisgrund zu eineer demontration des Deseins
gotten (the only posible ground for a demonstration of Good’s Exsistence)
1763 Versuch den Begriff der Negative Grossen Indie Weltweisheit
Einzufuchreen (an Attempt to Introduce the concept of Negative Quantities
into Philosphy)
1764 Untersuchung ueber die deulichkeit der gruendsaetze der natuerlichen
theologie und der moral (Inguire into the distinctness of the Principle of
Natural Theology and Morals)
1764 Beobactungen ueberdas Gefuehl des Schoenen und Erhabenen
(Observation on the Feeling of the beautiful and the sublime)
1766 Traume eines Geisersehers durch traume der Metaphysik (On the first
ground on the distiction of Religion in space)
1770 De Mundi Sensibilis atque Integibitis forma at pricipilis (On the Form und
Principle of the Sensible and the Intelegible Word)
1775 Von den Verschiedener Rassen der Menschen (On the Diferent race of
Mankind)
1781 Kritik der Rainen Vernunft (Kritik atas Budi Murni)
1783 Prolegomena zur einer jeolen kuentifigen methaphysik (Pengantar
Metafisika Masa Depan)
28
1784 Idee zu einer allgemeine Gaschiete im Weltburgerliche absicht (idea for a
Universal History from a Cosmopolitan Standpoint)
1785 Grundlegung zur Metaphysik der sitten (Pendasaran Metafisika
Kesusilaan)
1785 Uber the Vakune in Monde (On Voleanoes in the mon)
1786 Metaphysiche Anfangsgruende der Natuwis Senscraften (Metaphysical
first Principles of Natural Science)
1786 Was heisst: sich im Denkem orientiern? (Organisasi Apa di dalam
berfikir?)
1787 Kritik der reinn Vernunft (Kritik atas Budi Praktis), edisi kedua
1790 Kritik der unteislkraft (Kritik atas Daya Pertimbangan)
1791 Ueber das Misslingen aller Metaphysischen Versusche in der Theodizee
(On the Failure of All Philosophycal Attempts at Theodicy)
1793 Die Religion Innerhalb der Gmzen der Blossen Vernuftt (Agama di dalam
Batas-Batas Melulu)
1794 Das ende aller dinge (Berakhirnya Berbagai Hal)
1795 Zum ewigen friden (on Perpetual peace)
1797 Metaphysik de Sitten (Metafisika Kesusilaan), dalam jilid yaitu:
Metaphysische Anfangsgrunde der Rechtslehre (Metaphysical of the
Theory of Right) dan Metaphysische Anfangsgrunde der Tugendlehre
(Metaphysical Elements of the Theory of Firture)
1798 Streit der Fakultaten (Konflik di dalam Tingkatan-tingkatan)
1798 Antropology from a Progmatic Point of vie (Antropologi dalam Sudut
Pandang Pragmatis)
Karya-karya Kant tersebut, tiga diantara karya terbesar sehingga
filsafatnya disebut dengan Kritisisme antara lain Critique of Pure Reason (1781
M), Critique of Practical Reason (1787 M), dan Critique of Judgement (1790 M).
29
B. Latar Belakang Pemikiran Immanuel Kant
Sejarah dalam filsafat, pemikiran tajam seorang filsuf kerap kali muncul
sebagai akibat atau reaksi atas suasana pemikiran filosofis zamannya. Unsur-unsur
pokok yang mempengaruhi dan melatarbelakangi pemikiran filosofis Immanuel
Kant antara lain:
1. Kant dan Aufklarung
Abad ke-18 Eropa Barat telah mengalami suatu zaman baru yakni “zaman
pencerahan”.14
Menurut Kant, “pencerahan” dimaksudkan bahwa orang keluar
dari keadaan tidak akil balig (unmundigkeit), yang dengannya ia sendiri
bersalah. Kesalahan itu terletak dalam keengganan atau ketidakmauan
manusia untuk memanfaatkan rasionya, orang lebih suka berpaut pada otoritas
di luar dirinya (wahyu Ilahi, nasihat orang terkenal, ajaran gereja atau negara).
Pencerahan bersemboyan: Sapere aude, yang berarti: beranilah berpikir
sendiri.15
Adanya pencerahan maka telah membuka cakrawala pemikiran
Eropa dari dominasi “kangkungan” gereja (agama) dari pemikiran yang
dogmatisme.16
Kepercayaan manusia akan akal budinya dalam abad ke-18 sangat dimajukan
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan saat itu. Isaac Newton
(1643-1727) adalah orang yang pertama kali memberi dasar pada fisika klasik
dengan karyanya “Ilmu Alam Berdasarkan Prinsip-prinsip Matematisnya”
(Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, 1687). Sejak saat itu ilmu
pengetahuan melaju sangat cepat dan hampir setiap tahun ditemukan
14 “Zaman pencerahan”, bahasa Jermannya Aufklarung sedangkan bahasa Inggrisnya
Enlightenment. Menurut Kant zaman pencerahan merupakan kebangkitan manusia dari ketidak
matangan dirinya. Ketidak matangan yakni ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman
dirinya tanpa petunjuk orang lain. Pemahaman tanpa petunjuk orang lain adalah pemahaman yang
dipedomani oleh akal budi. Lihat: Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialektika
Pencerahan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002), hlm. 139 15
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bandung: Yayasan Plara, 1997),
hlm. 76 16
Dogmatisme adalah filsafat yang mendasarkan pandangannya pada pengertian-
pengertian yang telah ada tentang Allah atau substansi tanpa menghiraukan apakah rasio telah
memiliki pemikiran tentang hakikat sendiri, luas dan batas kemampuannya. Lihat: Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 64
30
penemuan baru dalam berbagai bidang lain, seperti: ketatanegaraan, agama,
ekonomi, pendidikan, hukum. Zaman ini menaruh optimisme besar pada
manusia dan segala kemampuannya untuk menyongsong masa depan yang
gemilang.17
Filsuf yang hidup pada puncak perkembangan pencerahan Jerman, Kant tentu
saja terpengaruh suasana zamannya. Pengaruh itu khususnya dalam
epistemologi, teologi dan etika. Kant mencari prinsip-prinsip yang ada dalam
tingkah laku dan kecenderungan manusia. Pihak Kant tidak suka beribadah
bersama di gedung gereja, dan menganggap doa itu tidak perlu sebab Tuhan
sudah mengetahui kebutuhan dan isi hati manusia, doa bahkan bisa
mendatangkan penghinaan pada diri sendiri. Keyakinan dalam pandangan
Kant bahwa adanya Allah, kehendak bebas, dan kebakaan jiwa tidak bisa
dibuktikan secara teoritis, melainkan diterima sebagai postulat dari budi
praktis yakni sebagai idea yang menyangkut kewajiban menaati hukum
moral.18
2. Leibniz dan Hume
Keduanya merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat
dalam melawan Eropa pada masa pencerahan dan sangat berpengaruh
terhadap epistemologi Kant.19
Leibniz tampil sebagai tokoh dari aliran
rasionalisme sedangkan Hume sebagai wakil dari aliran Empirisme.
Gambaran umum Eropa pada masa pencerahan diwarnai oleh dominasi kedua
aliran tersebut, walaupun pemikiran filsafat Immanuel Kant terinspirasi oleh
pertentangan antara kedua aliran tersebut, tetapi Kant tidak begitu saja
mengambil alih dan mensintesakan kedua aliran tersebut menjadi satu sistem
dengan begitu saja. Menurut Kant mengikuti salah satu dari keduanya tidak
akan memecahkan masalah. Dua-duanya dianggap keliru. Kekeliruan aliran
17
S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 29 18
S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 30-31 19 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 31
31
rasionalisme karena tidak memperhatikan pengalaman dan lebih
mementingkan rasio, pengertian dan aspek-aspek statis. Aliran empirisme
lebih mementingkan pengalaman dan aspek-aspek dinamis, tetapi tidak
memiliki konsep untuk menggambarkan pengalaman.20
Filsafat Immanuel Kant berusaha untuk mensintesis kedua aliran tersebut.
Satu sisi Kant mempertahankan objektifitas, universalitas dan keniscayaan
pengertian. Sisi lain Kant menerima bahwa pengertian bertitik dari fenomena
dan tidak dapat melebihi batas-batasnya. Pengetahuan dicapai melalui suatu
perpaduan konsep dengan pengalaman.21
Kata lain, revolusi filsafat Kant,
mengembangkan pola pikir kritis, dengan mencoba memikirkan unsur-unsur
mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-
unsur mana yang terdapat dalam akal manusia. Pemikiran kritis Kant berusaha
untuk mengkritisi aliran rasionalisme dan empirisme yang dalam
perkembangan selanjutnya pemikiran Kant dikenal dengan “kritisisme”.22
Gerakan pencerahan mulai berkembang di Inggris dengan nama
Enlightenment dalam suasana politik yang bebas, kemudian dari Inggris
menyeberang ke Eropa daratan. Gerakan dari Perancis berjalan sangat radikal
yang secara tidak langsung mempersiapkan jalan bagi meletusnya revolusi
Perancis dengan ditandai penyerbuan penjara Bastille tahun 1789 kelak. Di
Jerman gerakannya berjalan dengan lebih tenang, kurang menampakkan
pertentangan antara individu dengan gereja atau negara.23
Perhatian yang
menjadi utama di Jerman adalah masalah etika. Orang bercita-cita untuk
merubah ajaran kesusilaan yang berdasarkan kebaikan umum, yang dengan
jelas menampakkan perhatian kepada perasaan.24
Suasana pada masa
20 Abdul Kholiq, “Pendekatan Penghayatan dalam Pendidikan Islam (Telaah Aksiologi
Model Etika Immanuel Kant)” dalam buku Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 144 21 Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika Barat: Dari Aristoteles Sampai Derrida,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 61 22
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,..., hlm. 64 23
S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 30 24 Abdul Kholiq, “Pendekatan Penghayatan dalam Pendidikan Islam (Telaah Aksiologi
Model Etika Immanuel Kant)” dalam buku Paradigma Pendidikan Islam,..., hlm. 143
32
pencerahan Jerman, terdapat sebuah gerakan keagamaan dalam Lutheranisme
Jerman abad ke-18 dengan nama Pietisme.25
Immanuel Kant yang hidup pada puncak perkembangan pencerahan Jerman,
tentu saja terpengaruh oleh suasana zaman khususnya tampak dalam
epistemologi, teologi, dan etikanya. Sama seperti Newton yang berusaha
mencari prinsip-prinsip dalam alam anorganik. Kant mencari prinsip-prinsip
yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia, sedangkan Pietisme
menampakkan pengaruhnya yang ganda dalam dari Kant. Satu pihak Kant
tidak suka beribadah bersama di gereja dan menganggap doa tidak perlu,
sebab Tuhan telah mengetahui kebutuhan dan isi hati manusia, bahkan doa
bisa mendatangkan penghinaan pada diri sendiri. Di pihak lain, keyakinan
kaum Pietis bahwa tingkah laku shaleh lebih penting daripada ajaran teologis.
Hal ini, tampak dalam penghayatan hidup Kant sehari-hari, keyakinan yang
tampak juga dalam pandangan Kant bahwa adanya Allah, kehendak bebas dan
kebakaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis, melainkan perlu diterima
sebagai postulat dari budi praktis, yakni sebagai idea yang menyangkut
kewajiban manusia mentaati hukum moral.26
C. Pokok Pemikiran Immanuel Kant tentang Hukum Moral
Tokoh yang mempunyai kontribusi besar dalam bidang filsafat agama
adalah Immanuel Kant (1724-1804 M). Kritik filsafat moral Kant dalam Kritique
der Practischen Vernunft dan Kritique der Urtheilskraft memberikan pengaruh
yang luas dalam pemikiran tentang agama, karena formulasi etika rasional yang
dibangun Kant justru menempatkan postulat “personal God” (Tuhan), kehidupan
setelah mati (Immortality) serta kebebasan (Freedom) pada posisi yang sentral.27
25 Pietisme dipelopori oleh Spencer (1635-1705) dan Francke (1663-1727), sebagai reaksi
atas teologi akademik yang rasional dan gereja institusional yang kaku. Menurut ajaran Pietisme,
gereja yang sejati tidak berada di dalam organisasi manapun atau dalam ajaran tiga teologi, melainkan di dalam hati orang yang percaya dan salah. Lihat: S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral
Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,..., hlm. 31 26 K. Berterns, Ringkasan Sejarah Filsafat Barat,..., hlm. 63 27 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 287
33
Pandangan para ahli etika atau filsafat moral di alam modern, pada
hakekatnya etika tidaklah selalu bersangkutan dengan pengetahuan tentang baik
dan buruk. Etika pada dasarnya menyangkut bidang kehidupan yang luas. Etika
juga menyangkut analisis-konseptual mengenai hubungan yang dinamis antara
manusia sebagai subjek yang aktif dengan pikiran-pikirannya sendiri, dorongan
dan motivasi dasar tingkah lakunya, cita-cita dan tujuan hidupnya, serta
perbuatan-perbuatannya. Kesemuanya itu mengabaikan adanya interaksi yang
dinamis dan saling terkait antara satu dan lainnya, lain pula merupakan organisme
yang hidup dan berlaku secara aktual dalam kehidupan pribadi dan sosial.28
Keterkaitan antara etika sebagai filosofi moralitas dan sistem berpikir yang dianut
oleh pribadi, kelompok atau masyarakat.
Sistem etika-moral yang menempatkan manusia sebagai subjek atau
pelaku yang aktif, dinamis, kreatif dan otonom sangat dikedepankan oleh
Immanuel Kant, tidak mengesampingkan nilai kedalaman religiusitas seseorang.
Justru dalam konsep etika rasional Kant inilah kekuatan cengkeraman imanensi
ajaran moral keagamaan terasa tertancap lebih kuat dalam kehidupan keseharian
manusia.29
Uraian Kant tentang Antinomy of Practical Reason memberi landasan
yang kuat untuk hidup agamis, utamanya dalam menghadapi keputusan moral
(moral despair).
Kekuatan konsepsi etika rasional Kant sebenarnya adalah ketika ia
menjelaskan secara eksplisit perbedaan antara “virtue” (kebaikan tertinggi) yang
bersifat unconditioned, tak bersyarat, otonom, universal (berlaku untuk semua
orang tanpa memandang perbedaan agama, ras, suku atau bangsa) dan happines
(kebahagiaan) yang bersifat conditioned, bersyarat, heteronom dan partikular
(berbeda antara yang diinginkan oleh orang yang satu dengan lainnya atau
kelompok lainnya). Kata lain, hubungan antara virtue dan happines dalam konsep
etika Kant membedakan dua hal tersebut, yang tidak begitu jelas dalam konsep
yang dikemukakan para filosof – filosof Yunani, yang cenderung untuk menyama-
28 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas,..., hlm. 293 29 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas,..., hlm. 293-294
34
ratakan keduanya. Paling maju di antara filosof Yunani tentang konsepsi etika-
moral, seperti kebijaksanaan (wisdom), keberanian (temperance), dan keadilan
(justice).30
Puncak kematangan sistem etika rasional Kant, dimensi ketuhanan dan
keagamaan menampakkan sosoknya. Kant menghadapi kenyataan yang tidak bisa
dipungkirinya, bahwa dalam realitas sehari-hari, manusia menghadapi berbagai
macam tindakan dan perilaku moral. Menghadapi situasi yang tidak bisa
dihindari, manusia kadang tergoda untuk terjatuh dalam keputus asaan moral. Ia
menjadi skeptik dan menyama ratakan antara yang baik dan buruk. Menghadapi
keputus asaan moral yang kuat itu, Kant hanya mempunyai satu alternatif, yakni
percaya sepenuhnya kepada adanya Tuhan yang menjamin kokohnya sendi-sendi
hukum dan perbuatan moral. Kant juga berkeyakinan bahwa justru ada kenyataan
hukum moral yang universal, yang mengikat semua orang tanpa pandang bulu,
dan itulah yang menjadi bukti otentik tentang keberadaan Tuhan. Dimensi
ketuhanan ini sebenarnya mendorong manusia untuk tidak begitu saja menyerah
kepada tuntunan keputus asaan moral. Adanya dimensi Tuhan ini, manusia lebih
memilih bersikap optimis dan punya pengharapan dari pada bersikap pesimis atau
putus asa.31
Menurut Immanuel Kant, filsafat Yunani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
fisika, etika, dan logika. Logika bersifat apriori, maksudnya tidak membutuhkan
pengalaman empiris. Logika sibuk dengan pengalaman dan rasio itu sendiri,
dengan hukum-hukum pemikiran universal. Fisika disamping memiliki unsur
apriori juga memiliki unsur empiris atau aposteoriori, sebab sibuk dengan
hukum-hukum alam yang berlaku bagi alam sebagai objek pengalaman. Etika juga
memiliki unsur apriori dan juga memiliki unsur empiris, sebab sibuk dengan
hukum-hukum tindakan manusia yang dapat diketahui dari pengalaman. Tindakan
manusia dapat kita tangkap melalui indera kita, akan tetapi prinsip-prinsip yang
mendasari tindakan itu tidak dapat kita tangkap dengan indera kita. Menurut Kant
30 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas,..., hlm. 294 31 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas,..., hlm. 295
35
filsafat moral atau etika yang murni justru yang bersifat apriori itu. Etika apriori
ini disebut metafisika kesusilaan.32
Pemahaman tentang moralitas yang didistingsifkan dengan legalitas
ditemukan dalam filsafat moral Kant. Menurut pendapatnya, moralitas adalah
kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa
yang dipandang oleh Kant sebagai “kewajiban”. Legalitas adalah kesesuaian sikap
dan tindakan dengan hukum norma lahiriah belaka. Kesesuaian ini belum bernilai
moral, sebab tidak didasari dorongan batin. Moralitas akan tercapai jika dalam
menaati hukum lahiriah bukan karena takut pada akibat hukum lahiriah itu,
melainkan karena menyadari bahwa taat pada hukum itu merupakan kewajiban.
Nilai moral baru dengan demikian akan ditemukan di dalam moralitas. Dorongan
batin itu tidak dapat ditangkap dengan indera, sehingga orang tidak mungkin akan
menilai memberi penilaian moral secara mutlak. Kant dengan tegas mengatakan,
hanya Tuhan yang mengetahui bahwa dorongan batin seseorang bernilai moral.33
Ruang lingkup filsafat etika Kant termasuk etika aliran deontologi, yaitu
suatu aliran filsafat yang menilai setiap perbuatan orang dan memandang bahwa
kewajiban moral dapat diketahui dengan intuitif dengan tidak memperhatikan
konsep yang baik. Aliran lainnya adalah aliran teologi, yaitu suatu faham dimana
perbuatan orang dinilai dari tujuan yang hendak dicapainya.34
Faham deontologi yang dianutnya, maka Kant memandang bahwa
perbuatan moral itu dapat diketahui dengan kata hati. Menurut Kant, melakukan
kewajiban merupakan norma perbuatan baik. Ia mengambil contoh, perbudakan
merupakan perbuatan buruk karena memakai manusia sebagai alat.
32 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 46-47 33
S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 48 34 Nainggolan, Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila; Moral Barat
dan Moral Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), hlm. 68
36
Mempekerjakan pembantu rumah tangga dengan kasar merupakan perbuatan
buruk pula, karena menjadikan manusia sebagai hewan.35
Menurut Kant, hukum moral hanya berjalan sesuai dengan kata hati, dalam
arti bahwa kata hati ini menjadi syarat kehidupan moral, supaya moral ini baik
dan seseorang harus berbuat dengan rasa wajib.36
Kant melihat bahwa alam bisa
berjalan dengan tertib, begitu juga dengan hukum moral harus berjalan secara
tertib pula. Konsep tentang moral yang dikaitkan dengan hukum alam dan Kant
dapat menemukan Tuhan, artinya bahwa seseorang dapat memiliki rasa tentang
ide fenomena ketuhanan jika berusaha memikirkan hubungan Tuhan dengan
dunia.37
Bangunan etika Immanuel Kant terdapat tiga postulat kategoris yang harus
dipercaya kebenarannya. Postulat kategoris ini merupakan dalil-dalil akal praktis
yang merupakan pokok metafisika kesusilaan yang berada di luar jangkauan
pembuktian teoritis. Postulat kategoris ini harus diterima dan dipercaya sebagai
kebenarannya, seringkali disebut sebagai “dalil kepercayaan”.38
Ketiga postulat
kategoris tersebut adalah reiheit (kebebasan), unsterblichkeit (imortalitas), dan
das dasein gottes (eksistensi Tuhan). Ketiga postulat kategoris itu oleh Immanuel
Kant didudukkan dalam posisi netral. Ketiga postulat kategoris terdapat juga tiga
prinsip mendasar dalam etika Kant, yaitu universal, humanitas, dan otonomi.39
Menurut Kant, tindakan yang baik adalah tindakan yang sesuai dengan maksim
yang dapat menjadi maksim umum dan bersifat universal. Prinsip universal yang
mendasari etika Kant tersebut dapat dicermati dari konsepnya tentang imperatif
kategoris. Prinsip humanitis dimaksudkan bahwa etika Kant mendudukkan
manusia pada posisi yang tinggi. Prinsip ini membawa konsekuensi bahwa dalam
35 Nainggolan, Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila; Moral Barat
dan Moral Islam, ..., hlm. 68 36 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 51 37
S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 52 38 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,..., hlm. 76 39
Zubaedi, Filsafat Barat: dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala
Thomas Kuhn, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 69
37
segala tindakan manusia perlu ditanamkan suatu sikap dimana sesama manusia
tidak boleh saling menjadi alat. Manusia adalah tujuan bagi dirinya sendiri, sebab
segala tindakan moral bersumber dari hati nurani manusia. Prinsip otonomi yang
dimaksudkan adalah otonomi kehendak, yaitu kemampuan untuk menaati hukum
moral yang dibuatnya sendiri. Otonomi kehendak yang disebut Kant sebagai
prinsip moralitas tertinggi dan satu-satunya prinsip hukum kewajiban moral.
Kontruksi bangunan etika Kant sangat kental bermuatan religius,
meskipun dengan pendekatan rasional. Letak kekuatan dan kekhasan pemikiran
etika Kant, dimana dengan etika rasionalnya, ia justru dapat mewujudkan suatu
bangunan teori etika yang sangat religius, terutama terlihat bagaimana
memosisikan postulat kategoris pada posisi sentral bagi seluruh bangunan
etikanya.40
Menurut Kant, moralitas masih dibedakan menjadi dua, yaitu moralitas
heteronom dan moralitas otonom.41
Moralitas heteronom adalah suatu kewajiban
ditaati, tapi bukan karena kewajiban itu sendiri, misalnya karena adanya imbalan
tertentu atau karena takut pada ancaman orang lain. Moralitas otonom adalah
kesadaran manusia akan kewajibannya yang harus ditaati sebagai sesuatu yang ia
kehendaki, karena diyakini sebagai hal yang baik. Seseorang yang mematuhi
hukum lahiriah dalam hal ini adalah bukan karena takut pada saksi, akan tetapi
sebagai kewajiban sendiri, karena mengandung nilai kebaikan. Prinsip moral
semacam ini disebut sebagai otonomi moral, yang merupakan prinsip tertinggi
moralitas.
Kant juga mengemukakan adanya dua macam prinsip yang mendasari
tindakan manusia, yaitu maksim (maxime) dan kaidah obyektif.42
Maksim adalah
prinsip yang berlaku secara subjektif, yang dasarnya adalah pandangan subjektif
40 Zubaedi, Filsafat Barat: dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala
Thomas Kuhn,..., hlm. 70 41 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 88-89 42 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 71
38
dan menjadikannya sebagai dasar bertindak, meskipun memiliki budi, akan tetapi
manusia sebagai subjek adalah makhluk yang tidak sempurna, yang juga memiliki
nafsu, emosi, selera dan lain-lain. Manusia karena itu memerlukan prinsip lain
yang memberinya pedoman dan jaminan adanya “tertib hukum” di dalam dirinya
sendiri, yaitu yang disebut kaidah objektif tadi. Kaidah ini tidak dicampuri
pertimbangan untung atau rugi, menyenangkan atau menyusahkan.
Kaidah objektif tersebut terkandung suatu perintah atau imperatif yang
wajib dilaksanakan, yang disebut imperatif kategoris. Imperatif kategoris adalah
perintah mutlak, berlaku umum, secara tidak berhubungan dengan suatu tujuan
yang ingin dicapai atau tanpa syarat apapun. Imperatif kategoris ini memberikan
perintah – perintah yang harus dilaksanakan sebagai suatu kewajiban. Menurut
Kant, kewajiban merupakan landasan yang paling utama dari tindakan moral.43
Perbuatan akan mempunyai nilai moral apabila hanya dilakukan demi kewajiban
itu sendiri. Imperatif kategoris juga dikenal apa yang disebutnya imperatif
hipotetis, yaitu perintah bersyarat yang dilakukan karena dipenuhi syarat-syarat
untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana yang telah dikemukakan.
Pandangan Kant tentang moralitas yang didasari kewajiban tersebut
tampaknya tidak berbeda dengan moralitas Islam (akhlak) yang berkaitan dengan
niat, di sini berlaku suatu prinsip atau ajaran bahwa nilai suatu perbuatan itu
sangat tergantung pada niatnya. Niatnya jika baik, maka perbuatan itu bernilai
kebaikan. Perbuatan yang dimaksudkan di sini sudah tentu perbuatan yang baik,
bukan perbuatan yang buruk. Niat yang baik tidak berlaku untuk perbuatan yang
buruk, misalnya perbuatan mencuri yang didasari niat untuk memperoleh uang
guna disumbangkan bagi orang-orang yang sangat memerlukan. Prinsip atau
ajaran tersebut lebih ditujukan pada suatu perbuatan yang tampaknya baik, akan
tetapi didasari oleh niat yang baik. Misalnya seseorang yang membagikan
sejumlah bantuan kepada orang-orang miskin, dengan niat agar memperoleh
pujian dari masyarakat. Niat yang baik itu tidak lain adalah ikhlas, yakni
43 S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 50
39
perbuatan yang semata-mata ditunjukan untuk memperoleh keridhaan Tuhan,
sementara itu dalam etika jawa juga dikenal adanya ajaran sepi ing pamrih, yang
maksudnya adalah niat yang bebas dari motif-motif kepentingan pribadi dalam
melaksanakan sesuatu bagi kepentingan orang lain atau kepentingan umum.
D. Kebebasan Kehendak Manusia Menurut Immanuel Kant
Manusia itu dinilai oleh manusia lain dalam tindakannya. Tindakan dinilai
sebagai baik atau buruk, kalau tindakan manusia dinilai atas baik buruknya itu
seakan-akan keluar dari tindakan manusia, dilakukan dengan sadar atas pilihan
kesengajaan. Faktor kesengajaan ini mutlak untuk menilai baik-buruk, yang
disebut penilaian etis atau moral.44
Penentuan manusia bagi tindakannya itu
disebut kehendak atau kemauan, kalau hendak diadakan penilaian etis haruslah
ada kehendak yang dapat memilih atau kehendak bebas.
Immanuel Kant mengatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini,
termasuk manusia berperilaku menurut hukum-hukum.45
Makhluk rasionallah
yang dapat berperilaku sesuai dengan konsepsi hukum-hukum. Manusia sebagai
makhluk yang mempunyai dorongan, tanpa sengaja mengikuti hukum psikologis
dalam perilaku seksualnya. Makhluk rasional yang memiliki pengetahuan tentang
hukum kausal dalam psikologis dan dapat mengetahui konsekuensi dari
perilakunya karena dapat memodifikasi perilakunya dan benar-benar mengekang
dorongan dalam dirinya. Manusia seperti ini bisa menyebutnya mempunyai
kehendak yang sangat kuat. Manusia bertindak secara rasional, tidak sekedar
impulsif. Kant berkata bahwa “kehendak” tidak lain kecuali akal budi praktis, apa
yang dikatakannya ini tidaklah begitu mengejutkan, tetapi implisit bahkan dalam
kata “kehendak” adalah kata yang lazimnya dipakai untuk menyebut pengalaman
44
Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm.
13-14 45 H. B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral; Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, ..., hlm. 93
40
subjektif tentang pengendalian dorongan dengan akal budi, bukan menyebut aspek
emosional atau impulsif dari suatu perilaku.46
Buku Critique of Practical Reason menerangkan bahwa hukum moral
disebut sebagai fakta akal budi murni (facf of pure reason), secara timbal balik
mengimplikasikan dan terimplikasikan oleh konsep kebebasan.47
Manusia ketika
menegaskan bahwa mempunyai kewajiban moral, Immanuel Kant ingin
mengatakan bahwa kebebasan adalah nyata, sedangkan alam semesta termasuk
manusia, dapat dipahami secara ilmiah dengan prinsip kepastian kausal yang
tegas. Manusia sebagai agen moral, tidak sama dengan manusia sebagai bagian
dari alam semesta. Tindakan yang menurut para psikolog secara kausal ditentukan
oleh keturunan dan lingkungan yang dapat dipilih secara bebas oleh manusia
sebagai agen moral.48
Konsep Kant tentang kebebasan tidak sama dengan konsep
yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan bebas tidak mempunyai sebab, bahwa
tindakan itu bebas jika secara psikologis ditentukan oleh karakter yang telah
dimiliki seseorang, bukan oleh stimulan sesaat.49
Ide-ide tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian hanya bagi akal budi
spekulatif, tidak aktual. Kant mengatakan bahwa ide-ide tersebut diperlukan bagi
moralitas. Ide-ide tersebut untuk mengisi “ruang kosong” dalam sistem
pengetahuan teoritis, dan atas ide-ide tersebut dijustifikasi oleh keunggulan akal
budi praktis. Kant membuktikan bahwa moralitas membutuhkan ide tentang
kebebasan sangat berbeda dari ide tentang Tuhan dan keabadian, dan karenanya
dapat mengatakan bahwa kebebasan diperlukan untuk membentuk hukum moral,
46 H. B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral; Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, ..., hlm. 94 47 Immanuel Kant, Critique of Practical Reason; Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj.
Nurhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. xxv 48
H. B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral; Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, ..., hlm. 100 49 Immanuel Kant, Critique of Practical Reason; Kritik Atas Akal Budi Praktis,..., hlm.
xxvi
41
sedangkan ide-ide lainnya dibutuhkan hanya untuk memecahkan sebuah antinomi
yang berasal dari akal budi praktis.50
Kemampuan akal budi praktis yang murni menguatkan adanya kebebasan
transendental.51
Kebebasan mempunyai pengertian absolut yang diperlukan oleh
akal budi spekulatif, ketika akal budi spekulatif memakai konsep kausalitas. Akal
budi membuktikan bahwa kebebasan dapat dipahami dalam arti kemustahilan,
tidak akan membahayakan keberadaan akal budi dan menjerumuskannya ke
lembah skeptisime. Hukum akal budi sebagai sebuah sebab yang terlepas dari
semua kondisi empiris dan menentukan manusia dengan cara lain, sebenarnya
tidak menganggap kausalitas akal budi sebagai sesuatu yang semata-mata
menyertai tindakan. Tindakan itu dikaitkan dengan karakter manusia yang jelas,
karena itu akal budi sepenuhnya bebas meskipun semua kondisi empiris dari
tindakan dan perbuatan itu secara keseluruhan harus dikaitkan dengan kegagalan
akal budi.
Immanuel Kant menekankan fakta bahwa manusia tidak selalu bertindak
sesuai dengan akal dan bahwa manusia tidak memiliki kehendak yang suci.
Artinya, orang tidak akan pernah berkecenderungan untuk melakukan segala
sesuatu kecuali kehendak kebaikan. Prinsip ini muncul dari akal semata yang
bertindak dalam fungsi praktisnya, tetapi prinsip ini muncul dalam bentuk
tuntutan. Manusia dapat gagal bertindak menurut batasan tuntutan, yang
merupakan esensi dari kejahatan, tetapi sama sekali tidak mengubah kewajiban
untuk bertindak sesuai dengan tuntutan.52
Immanuel Kant menganggap bahwa segala sesuatu yang dilakukan
manusia pada dasarnya tunduk, tetapi manusia dianggap bertanggung jawab
terhadap tindakan-tindakannya dan ini bisa berarti bahwa bisa bertindak secara
50 H. B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral; Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, ..., hlm. 24 51 H. B. Acton, Dasar-dasar Filsafat Moral; Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, ..., hlm. 94 52
John K. Roth, The Problems of The Contemporary Philosophy of Religion; Persoalan-
Persoalan Filsafat Agama, Kajian Pemikiran 9 Tokoh dalam Sejarah dan Teologi, terj. Ali Noer
Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 252
42
bebas. Memberikan atau menggugah dalam semangat, Kant menekankan hukum
moral, karena menurutnya moral adalah kata hati, suara hati, perasaan, suatu
prinsip yang a priori dan absolut.53
Sebab itu, suatu realitas yang amat
mengherankan dalam diri manusia, perasaan yang tidak dapat dielakkan dalam
menentukan benar atau salah, tetapi perasaan tetap saja pada posisinya yaitu
menentukan. Moralitas bukanlah doktrin tentang mencapai kebahagiaan,
melainkan membuktikan dengan merasakan secara langsung dalam suatu
pemilihan moral yang kritis. Merasakan kebebasan sebagai sesuatu yang amat
esensi dalam diri dan dalam ego murni. Merasakan dalam diri jiwa yang spotan
membentuk pengalaman dan pemilihan tujuan. Tindakan mengikuti hukum yang
pasti, akan tetapi memahami hasil dengan indera, maka sering meragukan
tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan hukum. Ragu mengikuti hukum
ataupun mengikuti pengalaman indera, tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa
manusia sebenarnya bebas.
Pembahasan sebelumnya sudah disinggung tentang imperatif kategoris
yang disimbolkan dengan “bertindak secara moral”. Bertindak secara moral yang
datang dari dalam diri sendiri, yang tidak bersifat mutlak dan merupakan realisasi
dari rasio (budi) praktis.54
Kinerja etika adalah mencari dan memberi landasan
aturan-aturan mengenai tingkah laku yang baik dan benar. Immanuel Kant
berpendapat bahwa etika universal harus didasarkan pada unsur-unsur apriori
yang terartikulasi pada kehendak baik (a good will).55
Kehendak baik tidaklah
tergantung pada hasil yang akan dicapai, tetapi lebih berkaitan pada bertindak
baik karena memang baik demi kewajiban, misalnya perintah “jangan
berbohong”. Kehendak baik yang terdapat dalam perintah tersebut bukanlah
karena hasil tindakan itu baik, melainkan karena hakikat dan kehendak baik yang
terdapat pada perintah itu adalah benar-benar baik.
53 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 167 54
S.P. Lili Tjacjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif,...,
hlm. 75 55 Zubaedi, Filsafat Barat: dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala
Thomas Kuhn,..., hlm. 71-72
43
Kesadaran terhadap sesuatu yang berasal dari dalam diri dan merupakan
kehendak diri, yang secara otonomi membentuk kesadaran bertindak. Sistem etika
Kant merupakan prinsip moralitas tertinggi. Immanuel Kant yakin bahwa dirinya
telah membuktikan dalam buku Critique of Pure Reason bahwa segala sesuatu
yang terjadi di dunia natural ini tunduk pada keniscayaan kausal, dan kalau
memang demikian maka pengalaman tentang dunia obyektif akan menjadi tidak
mungkin. Dibebani oleh doktrin Critique of Pure Reason bahwa jika kebebasan
kehendak harus ditegakkan, maka motif-motif kebinatangan harus dibedakan dari
motif-motif rasional. Inilah salah satu alasan tidak menganggap binatang sebagai
bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan dan tidak menyalahkan. Kategori
motivasi rasional itu esensial jika membuat kesadaran akan perilaku manusia.56
Usaha untuk memahami dan meramalkan tindakan-tindakan manusia dengan
menggunakan hukum kausal terikat untuk menjadi tidak puas, dan menunjukkan
bahwa motif-motif rasional bukan pengalaman-pengalaman atau peristiwa-
peristiwa yang terjadi, karena itu tidak membuat kesadaran untuk mengatakan
bahwa motif-motif rasional dapat terjadi dalam hubungan-hubungan kausal
dengan peristiwa-peristiwa lain.
Pandangan Immanuel Kant tentang hakikat kebebasan kehendak, bahwa
moralitas mensyaratkan eksistensi adalah pertentangan antara dunia natural dan
dunia yang dapat diketahui, tampaknya tidak memberikan tempat bagi sejarah
manusia sebagai sebuah kajian empiris dan tindakan manusia itu merupakan hasil
penyelidikan empiris. Immanuel Kant mengatakan dalam Critique of Pure Reason
bahwa jika memperoleh wawasan yang memadai tentang motif-motif manusia,
tindakan manusia akan dapat diramalkan seperti halnya gerhana. Karya Kant Idea
for a Universal History from a Cosmopolitan Standpoint, Ia menulis tentang
tindakan manusia sebagai penampakan dari kehendak bebas, dan mengatakan
bahwa pilihan individu berpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa tertentu, sejarah
manusia secara keseluruhan tunduk pada hukum.57
56 Immanuel Kant, Critique of Practical Reason; Kritik Atas Akal Budi Praktis,..., hlm. 96 57 Immanuel Kant, Critique of Practical Reason; Kritik Atas Akal Budi Praktis,..., hlm. 99
44
Posisi Immanuel Kant adalah di dunia empiris, dunia penampakan,
determinasi, sementara dunia yang diketahui, dunia neumena, kebebasan
kehendak itu mungkin dan harus dipersyaratkan oleh orang-orang yang menerima
kesahihan hukum moral. Rasionalistas pada dasarnya bebas dan otonom, dan
pemilik rasionalitas itu niscaya menganggap dirinya bebas. Kant tidak yakin
bahwa Ia memberikan bukti metafisis tentang kebebasan kehendak. Mengakui
kewajiban-kewajiban yang moralitas dan menganggap diri kita bebas karena
menerima hukum moral sesuai dengan akal budi praktis, dan menganggap mampu
untuk menyesuaikan dengannya. Kebebasan dari sudut pandang teoritis adalah
sebuah kemungkinan, tidak ada perlunya untuk merasa gusar jika tidak ada bukti
teoritis yang diberikan. Sudut pandang praktis, kehendak bebas bisa disifatkan
pada semua makhluk rasional.
Garis besarnya menurut Immanuel Kant kebebasan kehendak manusia
tidak dibuktikan secara teoritis, tetapi disyaratkan atas hukum moral. Menentukan
apakah kehendak itu bebas dalam menentukan apa yang tampak merupakan
sebuah fakta. Tekanannya dipusatkan pada fakta bahwa mengakui kewajiban-
kewajiban yang dimiliki dan mengasumsikan bahwa bebas untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban itu. Dibenarkan menerima apa yang disyaratkan oleh
tuntunan moral rasional yang menerima atau menempatkan pada diri sendiri.
Moralitas bagaimanapun juga mengesahkan untuk menganggap benar sesuatu
yang bertentangan dengan pandangan-pandangan yang diambil dari dunia natural.
61
BAB III
KONSEP KEBEBASAN KEHENDAK MANUSIA
DALAM PEMIKIRAN ALIRAN MU’TAZILAH
A. Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Ajaran Mu‟tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan
tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran Islam.1
Orang yang hendak mengetahui filsafat Islam sesungguhnya dan yang
berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku
yang dikarang oleh aliran ini. Aliran ini lahir di Irak yang mana pada saat itu
menjadi pusat peradaban Islam, tempat perpaduan aneka kebudayaan dan
pertemuan bermacam-macam agama. Waktu itu banyak orang yang ingin
menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya
Islam atau tidak. Sejak Islam meluas banyaklah bangsa-bangsa yang masuk Islam
dan hidup dibawah naungannya.
Peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada 666 M, di
Madinah dalam pertentangan yang terjadi dengan tentara yang datang dari Mesir,
selain membawa masalah politik, juga menimbulkan masalah teologi dalam Islam.
Bidang politik, peristiwa itu memecahkan umat Islam menjadi dua golongan,
yaitu Sunni dan Syiah. Perkembangan sejarah Islam, bukan dalam politik saja
tetapi juga dalam bidang agama dan pemikiran, banyak dipengaruhi dan
ditentukan arahnya oleh pertentangan antara kedua golongan besar ini. Bidang
teologi, peristiwa Utsman bin Affan itu menimbulkan masalah iman dan kufur.2
Peperangan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke-4
dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Gubernur Damsyik yang menganggap Ali
1 A. Hasan Hanafi, Pengantar Theologi Islam, Cet. ke-2, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1980), hlm. 67 2 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. ke-6, (Bandung: IKAPI,
2000), hlm. 125
62
bertanggung jawab atas pembunuhan Utsman, diselesaikan dengan jalan damai
yaitu jalan tahkim (arbitrase) yang biasa dipakai pada zaman jahiliyah. Jalan
damai ini oleh segolongan tentara Ali tidak disetujui karena kelihatannya mereka
telah dekat memperoleh kemenangan dalam peperangan, ini berarti mereka akan
mendapat harta rampasan yang akan dibagi–bagikan kepada semua yang turut
berperang dipihaknya. Keadaan ini mengakibatkan ketidak puasan, mereka
tinggalkan barisan Ali dan membentuk kekuatan sendiri yang kemudian dikenal
dengan nama kaum Khawarij. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja, yaitu
keluar, yang dalam kasus ini berarti keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.3
Masalah politik ini segera mereka tingkatkan dan kaitkan dengan iman dan
kufur, masalah Islam atau tidak Islamnya seseorang. Bidang teologi, ayat 44 dari
surat al-Ma‟idah menjelaskan: siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa
yang telah ditentukan Allah, adalah kafir. Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
menyelesaikan persengketan mereka tidak dengan pergi kepada teologi, tetapi
dengan mengikuti kembali tradisi hukum zaman jahiliyah. Ali dan Muawiyah
dalam pandangan Khawarij, telah menjadi kafir dan bukan mukmin, jadi bukan
orang Islam lagi. Amr bin al-Ash dan Abu Musa al-Asy‟ari, masing-masing
pengantar dari pihak Muawiyah dan Ali.4
Menentukan hukum tidak sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah
dalam al-Qur‟an menurut Khawarij, adalah dosa besar. Mereka menarik
kesimpulan bahwa pembuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari
Islam, yaitu murtad dan orang murtad harus dibunuh. Dipandang dosa besar antara
lain adalah berbuat zina dan membunuh manusia tanpa sebab yang sah.
Pandangan Khawarij, orang yang berzina dan membunuh sudah keluar dari Islam,
dan harus dibunuh. Perkembangan selanjutnya yang mereka akui orang Islam
lainnya adalah kafir dan murtad serta harus diperangi. Memerangi selain Ali dan
3 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, ..., hlm. 126 4 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, ..., hlm. 126
63
Muawiyah sebagai lawan-lawan politik mereka, kaum Khawarij juga menentang
umat Islam yang tidak sepaham dengan teologi mereka.5
Menurut golongan Murji‟ah, perbuatan tidak mempunyai pengaruh apa-
apa atas iman. Sehubungan dengan itu masalah dosa besar dan pembuat dosa
besar pada abad pertama hijriah banyak dan hangat diperbincangkan. Alim ulama
banyak diajukan pertanyaan mengenai masalah itu. Hasan al-Bashri (642-728 M)
seorang ulama besar di Irak, pada suatu hari mendapat pertanyaan dari salah
seorang yang turut mendengar kuliahnya. Seorang peserta lain yang bernama
Washil bin Atha‟ (699-748 M) menegaskan: membuat dosa besar tidak mukmin
dan tidak kafir.6
Washil bin Atha‟ kemudian meninggalkan majlis gurunya dan membentuk
majlis sendiri untuk mengembangkan pendapatnya. Kata mukmin, dalam paham
Washil mengandung pujian, sedangkan pembuat dosa besar bukanlah orang yang
terpuji tetapi sebaliknya pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih
mengakui kedua syahadat. Pembuat dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir, ia
mempunyai posisi di antara keduanya dan boleh diberi predikat muslim.
Dosa besar yang dilakukannya itu tidak bisa diputuskan oleh umat Islam
lain di bumi ini, tetapi diserahkan kepada pembuat dosa besar itu sendiri.
seseorang kalau bertaubat dalam arti taubat yang sebenarnya, dosa besar akan
diampuni Tuhan dan ia masuk surga. Seseorang kalau tidak mau bertaubat, dan
mati sebelum sempat taubat dengan sebenar-benarnya taubat, dosa besarnya tidak
terhapus dan ia masuk neraka selama-lamanya. Hukuman yang diterimanya lebih
ringan dari hukuman yang diberikan Tuhan kepada orang kafir. Ajaran ini
kemudian dikenal dengan nama “al-Manzilatu baina al-Manzilataini”, posisi di
antara dua posisi mukmin dan kafir, baik di dunia maupun di akhirat kelak.7
5 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran,..., hlm. 127-128 6 Ahmad Amin, Fajr Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 372 7 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. Ke-
5, (jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 41
64
Peristiwa inilah yang menimbulkan lahirnya Mu‟tazilah yang pada
mulanya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dikemukakan
oleh golongan Khawarij dan golongan Murji‟ah.8 Nama Mu‟tazilah yang
diberikan kepada mereka berasal dari kata I’tazala, yang berarti mengasingkan
diri, menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan al-Basri,
setelah melihat Washil memisahkan diri. Hasan al-Basri diriwayatkan memberi
komentar sebagai berikut: I’tazala anna (ia mengasingkan diri dari kami). Orang-
orang yang mengasingkan diri disebut Mu‟tazilah. Mengasingkan diri bisa berarti
mengasingkan diri dari majlis kuliah Hasan al-Basri, atau mengasingkan diri dari
pendapat Murji‟ah dan pendapat Khawarij. Menurut teori lain nama Mu‟tazilah
bukan berasal dari ucapan yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang
terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kata I’tazala dan
Mu‟tazilah menurut penulis sejarah al-Thabari dan Abu al-Fuda,9 memang sudah
dipakai pada zaman itu. Golongan yang tidak mau turut campur dengan pertikaian
politik, mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu
pengetahuan. Orang-orang di antaranya terdapat cucu Nabi Muhammad, Abu
Husein, Abdullah dan al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafi.
Anggapan bahwa kata Mu‟tazilah mengandung arti tergelincir, dan karena
tergelincirnya aliran Mu‟tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama
Mu‟tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Kata I’tazala sebenarnya berasal dari
kata akar a’zala yang berarti “memisahkan” dan tidak mengandung arti
tergelincir.10
Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang
dekat bunyinya dengan a’zala yaitu zalla. Nama Mu‟tazilah bagaimanapun tidak
bisa berasal dari kata zalla.
Orang-orang Mu‟tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri ahl at-
Tauhīd wa ahl al-‘Adl, tidak menolak nama Mu‟tazilah itu. Ucapan-ucapan dari
pemuka Mu‟tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang
8 A. Hasan Hanafi, Pengantar Theologi Islam, ..., hlm. 68
9 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, ..., hlm. 290 10 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ...,
hlm.42
65
menimbulkan nama itu. Menurut al-Qadhi Abdul Jabbar, seorang pemuka
Mu‟tazilah yang buku-bukunya banyak ditemui kembali pada abad kedua puluh
Masehi ini, di dalam teologi terdapat kata I’tazala yang mengandung arti
mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar. Kata Mu‟tazilah dengan
demikian mengandung arti pujian.11
Menurut keterangan seorang Mu‟tazilah lain,
Ibn al-Murtadha, nama Mu‟tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi
orang-orang Mu‟tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu.12
Uraian di atas jelaslah bahwa situasi umat Islam pada masa itu telah
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Golongan Khawarij, Syi‟ah dan
Murji‟ah, saling berbantah satu dengan yang lain. Mempertahankan pendirianya
masing-masing, yang tidak dapat dibayangkan untuk dapat dipertemukan satu
dengan yang lain. Masalah dosa besar merupakan pangkal persengketaan,
misalnya Khawarij berpendapat bahwa Ustman, Ali, Muawiyah dan orang-orang
yang menerima tahkim adalah berdosa besar.13
Golongan Murji‟ah berpendapat
bahwa semua yang terlibat dalam persengketaan kaum muslimin tetap mukmin
dan tidak keluar dari Islam. Iman adalah pekerjaan hati semata-mata amal
perbuatan, sama sekali tidak mempengaruhi iman seseorang. Golongan Syi‟ah
juga berpendapat bahwa khalifah-khalifah sebelum Ali adalah perampas hak,
sebab Ali yang telah diberi wasiat Nabi untuk menerima jabatan khalifah. Mereka
berpendapat bahwa para perampas itu juga kafir dan kekal dalam neraka.
Abad kedua Hijriah, kota Bagdad (Irak) menjadi pusat ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam. Filsafat Yunani telah masuk ke dunia Islam dan pikiran-
pikiran filsafatnya banyak mempengaruhi kaum muslimin.14
Agama Yahudi,
Kriten, Zoroaster dan kepercayaan-kepercayaan setempat pula telah banyak
dibawa masuk oleh orang-orang yang baru saja memeluk agama Islam, di mana
sisa kepercayaan mereka tidak bisa dibuang sama sekali. Terasa sekali kegiatan
11 Al-Qur‟an-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Qur’an-Falsafi fi al-Islam, Kairo: 1966, hlm.
430-431 12
Ahmad Mahmud Subhi, Fi’Ilm al-Kalam, Kairo: 1969, hlm. 75-76 13 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979), hlm.
7 14 Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 21
66
dari pada agama lain dan orang-orang yang sengaja memasuki Islam untuk
menghancurkan Islam dari dalam, demikian pula ajaran-ajaran filsafat menyerang
Islam dengan caranya sendiri. Masa demikian itu Islam menghadapi berbagai
serangan baik dari luar maupun dari dalam. Situasi dalam menghadapi perpecahan
dan perbedaan pendapat serta serangan-serangan baik dari luar maupun dari
dalam, lahirlah Mu‟tazilah.15
Mengatasi dan menghindari berlarut-larutnya perpecahan dan perbedaan
pendapat, Mu‟tazilah mengemukakan konsepsi jalan tengah dalam usaha
mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda. Pendapatnya tidak terlalu
keras sebagaimana pendapat Khawarij dan juga tidak terlalu lemah sebagaimana
pendapat Murji‟ah, tetapi baina al-Manzilataini, di antara dua pendapat yang
berbeda.
Serangan baik dari luar maupun dari dalam Mu‟tazilah muncul dengan
pikiran-pikiran baru guna menyelamatkan Islam. Usaha itu melahirkan ilmu baru
dalam Islam yang dikenalkan Mu‟tazilah, yaitu “ilmu kalam”. Ilmu ini berisi
perpaduan antara filsafat dan logika dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga
merupakan gagasan-gagasan baru, konsepsi-konsepsi filsafat mengenai teologi
Islam.
Lahirnya Mu‟tazilah adalah karena masalah agama dan bukan bermotif
politis, meskipun dalam perkembangan selanjutnya menggunakan unsur politik
untuk mengembangkan dan memaksakan ajaran dan pahamnya. Lahirlah satu
golongan baru Mu‟tazilah sehingga menambah jumlah golongan yang telah ada.
B. Dasar Faham Mu’tazilah
Abu al-Hasan al-Khayyath dalam bukunya al-Intishar mengatakan: tidak
seorang pun berhak mengaku sebagai penganut Mu‟tazilah sebelum ia mengakui
al-Ushūl al-Khamsah (lima dasar), yaitu at-Tauhīd, al-‘Adl, al-Wa‘du wa al-
Wa‘īed, al-Manzilatu baina al-Manzilataini, dan al-Amru bi al-Ma’rūf wa al-
15 Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Islam,..., hlm. 22
67
Nahī ‘anil-Munkar. Mengakui semuanya baru dapat disebut penganut Mu‟tazilah,
itulah cakupan paham Mu‟tazilah. Orang yang hanya mengakui sebagian dari
paham itu tidak mengakui metode berpikirnya, tidaklah termasuk kelompok
mereka dan tiada pula memikul dosanya, serta tidak terkena akibat-akibat negatif
dari faham mereka ini.16
1. At-Tauhīd (Keesaan Tuhan)
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena
menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang Qadim, itu sama artinya
menyamakan makhluk dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta.
Mereka mentakwil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah
Dzat-Nya. Contohnya, Allah „Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah
adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Konsekuensinya mereka mengingkari
ru’yatullah di akhirat dan mengatakan al-Qur‟an itu makhluk.
Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan
peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan diberikan
sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada diri
Tuhan, karena Dzat Tuhan bersifat Qodim maka apa yang melekat pada dzat
itu bersifat Qodim pula, dengan demikian sifat adalah bersifat Qadim.
Menurut Wasil akal membawa pada adanya dua Tuhan, karena yang boleh
bersifat Qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain, kalau ada sesuatu yang
bersifat Qadim maka itu Tuhan. Memelihara kemurnian tauhid atau keesaan
Tuhan, karena itu Tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti di
atas.17
At-Tauhīd (Keesaan Tuhan) merupakan inti paham Mu‟tazilah.18
Al-
Asy‟ari menggambarkan paham ini dalam bukunya, Maqolat al-Islamiyyin
sebagai berikut:19
16 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aqidah Islamiyah, terj. Imam Sayuti Farid, al-Ikhlas,
t.th, hlm. 151 17 Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ..., hlm. 47 18 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aqidah Islamiyah,..., hlm. 151-152 19 Abu al-Hasan al-Asy‟ari, hlm. 235-236
68
“Sesungguhnya Allah adalah Esa, tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat,
tidak bertubuh, tidak berkulit, tidak berbilang, tidak berupa, tidak
berdaging, tidak berdarah, bukan pribadi, bukan jauhar, bukan ardh,
tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak bisa diraba, tidak panas,
tidak dingin, tidak muda, tidak tua, tidak panjang, tidak pendek, tidak
dalam, tidak berkumpul, tidak berpisah, tidak bergerak, tidak diam, tidak
terbagi, tidak mempunyai bagian, tidak beranggota tubuhm tidak
berarah, tidak di kiri, tidak di kanan, tidak di depan, tidak di belakang,
tidak di atas, tidak di bawah, tidak terikat dengan waktu dan ruang, tidak
mendekat, tidak menjauh, tidak memerlukan tempat, dan tidak pula
dapat disentuh, tidak mempunyai sifat ke suatu arah, tidak terbatas, tidak
beranak, dan tidak diberanakkan, tidak terikat dengan suatu ukuran, tidak
terhalang oleh dinding batas, tidak dapat ditangkap dengan panca indera,
tidak dapat dianologikan kepada manusia, tidak menyerupai makhluk
dari segi apapun, tidak berlaku waktu bagi-Nya dan tidak terjangkau
kebinasaan. Semua yang terlintas dipikiran dan tergambar dibenak pasti
tidak serupa dengan-Nya. Dia yang awal dan yang akhir, mendahului
yang baru, ada sebelum makhluk mana pun ada, senantiasa mengetahui,
sanggup, hidup, senantiasa begitu, tidak dapat dilihat oleh mata, tidak
terjangkau pandangan, tidak terjangkau keraguan, tidak mendengar
dengan pendengaran, sesuatu yang tidak menyerupai apa pun,
mengetahui, tidak seperti orang-orang yang tahu, kuasa, dan hidup. Dia
qadim dengan sendirinya, tidak ada yang qadim selain Dia, tidak ada
Tuhan selain Dia, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan dan
kekuasaan-Nya. Tak ada yang membantu Dia dalam mengadakan segala
yang ada dan menciptakan segala ciptaan. Dia menciptakan makhluk
tanpa ada contoh lebih dahulu. Menciptakan sesuatu yang tidak ada yang
lebih ringan atau lebih sulit dari menciptakan yang lain. Dia tidak
mengambil manfaat dan tidak disentuh kemudaratan, tidak terjangkau
oleh kegembiraan dan kelezatan, tidak pula sakit dan terkena
penderitaan. Tak ada ujung yang mengakhiri Dia. Ia tidak fana‟, serta
tidak disentuh kelemahan dan kekurangan. Maha Suci Dia dari
menyentuh wanita, mengangkat teman dan anak.”
Dasar prinsip tauhid di atas golongan Mu‟tazilah menetapkan bahwa
Allah mustahil dapat dilihat pada hari qiyamat, karena hal itu berarti bahwa
Allah berjasad dan berarah. Mereka juga menetapkan bahwa sifat-sifat Allah
bukanlah sesuatu yang lain dari Dzat-Nya sendiri, jika tidak demikian, maka
menurut pendapat mereka akan terjadi ta’addūd al-qudama’ (yang qodim
menjadi terbilang). Dasar tauhid itu juga mereka menetapkan bahwa al-Qur‟an
adalah makhluk (diciptakan Allah). Penetapan ini dimaksudkan untuk
mencegah berbilangnya yang qodim dan menafikan paham Mu‟tazilah.
69
Buku Syarah al-Ushūl al-Khamsah disebutkan, pada dasarnya tauhid
menurut bahasa merupakan ungkapan atas hal yang membuat sesuatu menjadi
satu. Pengerak sebagaimana merupakan ungkapan untuk sesuatu yang
menggerakkan. Penghitaman ungkapan bagi sesuatu dengan sesuatu yang lain
menjadi hitam, kemudian kata tersebut digunakan dalam berita bagi sesuatu
yang hanya dibenarkan jika hal itu satu. Hal tersebut sehingga menjadi
penetapan, karena pada dasarnya hal tersebut menurut bahasa berarti
pengadaan. Dikatakan “aku menetapkan mereka dalam beberapa kertas”
artinya aku mengadakannya (menyertakannya) dalam kertas. Kata tersebut
kemudian digunakan dalam hadits sebagai keberadaan sesuatu. Dikatakan:
seseorang telah menetapkan tujuan, maksudnya memberitahu tentang
keberadaan tujuan tersebut, bagi sesuatu yang hanya dibenarkan jika hal itu
ada.
Peristilahan para mutakallim, tauhid adalah pengetahuan dan pengakuan
bahwa Allah itu Esa, tidak disekutui oleh selain-Nya dalam sifat, baik nampak
maupun tidak berdasarkan batasan yang seharusnya. Pengungkapan dua syarat
tersebut, pengetahuan dan pengakuan harus ada. Mengerti tanpa mengakui
atau mengakui tanpa mengerti tidaklah dinamakan penyatu.20
2. Al-‘Adl (Keadilan)
Dasar keadilan ialah meletakkan pertanggung jawab manusia terhadap
apa yang sudah diperbuatnya semasa hidup di dunia. Allah Maha Adil, dan
keadilan-Nya mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat
sesuai dengan kehendaknya sendiri. Tuhan kata Wasil bersifat bijaksana dan
adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan zhalim, tidak mungkin Tuhan menghendaki
manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintahnya. Manusia
sendirilah yang mewujudkan perbuatan baik dan jahat, iman dan kafir, serta
patuh dan tidak patuhnya kepada Tuhan. Perbuatan-perbuatan ini manusia
memperoleh balasanya. Mewujudkan perbuatan itu Tuhan memberikan daya
20 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah, Juz. 1, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1965), hlm. 128
70
dan kekuatan kepadanya, tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah kepada
manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak punya daya dan kekuatan
untuk berbuat.21
Menurut Abdul Jabbar bin Ahmad, ilmu adil adalah semua perbuatan
Allah itu harus baik, dan Allah tidak akan berbuat buruk.22
Ilmu tentang adil
menurutnya adalah mengetahui bahwa semua pekerjaan Allah adalah baik.
Dia tidak melakukan kejelekan dan tidak pula meniadakan sesuatu yang
seharusnya ada. Dia tidak bohong dalam memberi informasi, tidak berlebihan
dalam menetapkan sesuatu, tidak menyiksa anak-anak orang musyrik lantaran
dosa ayah mereka, tidak membebankan hamba dengan apa yang mereka tidak
mampu dan tahu. Ia hanya memperkirakan (kekuatan) mereka atas apa yang
dibebankan kepada mereka dan memberi tahu gambaran beban tersebut serta
menunjukkan dan menjelaskan mereka atas beban tersebut supaya Dia
melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan. Ia ketika membebani hamba
dan hamba tersebut melaksanakannya sesuai dengan prosedurnya, ia akan
memberinya pahala. Bahwasanya ketika Ia membuat seorang hamba sakit
maka sesungguhnya Ia melakukannya demi kebaikan dan manfaat tersebut,
jika tidak demikian berarti Dia meniadakan sesuatu yang seharusnya ada. Dia
bahwasanya telah mengarahkan pandangan hamba-Nya terhadap diri mereka
dalam hal yang berkaitan dengan agama dan pembebanan.
Pembatasan dalam hal ini harus ada, karena Allah menyiksa hamba-Nya
yang durhaka meskipun mereka memilih apa yang mereka pilih untuk diri
mereka. Keadaan demikian, tidak dikatakan bahwa Allah pengarahan
pandangan hamba terhadap diri mereka. Seandainya seorang hamba menetapi
(suatu dosa) meskipun dirinya tahu jika ia meninggalkannya, maka ia akan
memperoleh pahala dan menjadi penghuni surga. Sebaliknya jika ia
menetapinya, maka ia akan menjadi murtad, kafir, dan hilang suatu amal
ibadahnya. Pandangan umum bahwasanya jika ada pilihan antara menetapi
21 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ..., hlm.
45 22 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 132
71
perbuatan dosa dan meninggalkannya, maka yang dipilih adalah
meninggalkannya, bukan menetapinya. Bagaimana mungkin Allah
mengarahkan pandanga hamba-Nya terhadap diri mereka sedangkan
keadaannya demikian. Pembatasan sebagaimana yang telah kami sampaikan
haruslaj ada.23
3. al-Wa‘du wa al-Wa‘īed (Janji dan Ancaman)
Janji dan ancaman merupakan kelanjutan prinsip keadilan. Tuhan Maha
Adil dan Bijaksana, tidak akan melanggar janjinya. Kaum Mu‟tazilah yakin
bahwa janji dan ancaman itu pasti terjadi, yaitu janji Tuhan yang berupa
pahala (surga) bagi orang yang berbuat baik, dan ancamannya yang berupa
siksa (neraka) bagi orang yang berbuat durhaka.24
Janji Tuhan untuk memberi
pengampunan bagi orang yang bertaubat. Pengampunan dosa besar hanya ada
dengan melalui taubat, sebagaimana halnya orang berbuat baik pasti dapat
pahala. Sebab itu Mu‟tazilah sama sekali mengingkari adanya “syafa‘at”
(pengampunan) pada hari kiamat,25
mereka kesampingkan dan mereka
memegangi dengan teguh ayat-ayat yang menunjukkan tidak adanya syafaat
itu seperti tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 254:26
ا رسقاكن هي قبل أى يأ تي يىم ال بيع فيه يا أيها الذيي آهىا أفقىا هو
وال خلة وال شفاعة والكافزوى هن الظالوىى
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari
rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari
itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at.27
Dan orang-orang kafir
itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah: 254)
23 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 133 24 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 135-136 25 Imam Muhammad Abu Zahrah, Aqidah Islamiyah,..., hlm. 151-152. Lihat pula Harun
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Cet. Ke-1, (Jakarta: UI-Press, 1987), hlm. 88
26 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya:
Mahkota Surabaya, edisi repisi tahun 1989), hlm. 65 27 Syafa‟at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau
mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Syafa‟at yang tidak diterima di sisi Allah adalah
syafa‟at bagi orang-orang kafir
72
Syafa‟at merupakan dispensasi, ini bertentangan dengan prinsip keadilan
dan janji serta ancaman Tuhan. Allah tidak akan berbuat tidak adil dan
menyalahi janji-Nya sendiri.28
4. Al-Manzilatu baina al-Manzilataini (Tempat Diantara Dua Tempat)
Prinsip inilah yang mula-mula menimbulkan lahirnya Mu‟tazilah, di
mana Washil bin Atha‟ memisahkan dirinya dari Hasan al-Basri. Menurut
Washil seseorang yang berbuat dosa besar, selain musyrik tidak lagi termasuk
mukmin dan juga tidak termasuk kafir, tetapi pada posisi antara mukmin dan
kafir yang disebutnya “fasik”.29
Segi ini karena keimanan menuntut adanya
kepatuhan kepada Tuhan dan tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran
saja.
Pendapat Wasil ini berdasarkan ayat dan hadits yang menganjurkan
manusia mengambil jalan tengah dalam segala hal seperti dalam surat al-Isra‟
ayat 29 yang artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya,30
karena itu kamu
menjadi tercela dan menyesal”. Al-Baqarah ayat 143 yang artinya: “Dan
demikian Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan,31
agar
kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas
perbuatanmu”.
Pikiran-pikiran filosof, antara lain Aristoteles yang berpendapat bahwa
keutamaan ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.32
Ajaran
Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat di antara baik dan buruk.
Kata-kata hikmah dari cendekiawan, seperti Ali ra berkata: kun fī ad-dunyā
wasaton (jadilah kamu dalam dunia ini tengah-tengah). Mu‟tazilah
memperdalam pengertian jalan tengah tersebut sehingga menjadi salah satu
28 A. Hasan Hanafi, Pengantar Theologi Islam,..., hlm. 78 29
Mustafa al-Babi al-Halabi, al-Milal wa al-Nihal, Jilid 1, Kairo: 1967, hlm. 48 30 Janganlah kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu pemurah 31
Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi
atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat. 32 Muslim Ishak, Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam, Cet. Ke-1, (Semarang: Duta
Grafika, 1988), hlm. 72
73
prinsip rasionalis, yaitu pengambilan jalan tengah antara dua ujungnya yang
berlebih-lebihan.33
Golongan Mu‟tazilah membagi maksiat menjadi dua bagian yaitu besar
dan kecil, sedangkan maksiat besar juga dibagi dua yaitu:
a. Maksiat yang merusak dasar agama yaitu mempersekutukan Tuhan
(syirik) dan orang yang mengerjakan tersebut dianggap kafir.
b. Maksiat yang tidak merusak dasar agama, orang yang mengerjakannya
bukan lagi orang mukmin karena dia melanggar agama, juga tidak kafir,
karena dia masih mengucapkan syahadat.
Orang semacam ini yang berada di antara kafir lengkap dan mukmin
lengkap, ia tidak sederajat dengan orang kafir, siksanya lebih ringan dari pada
kafir, yang demikian ini sesuai dengan prinsip keadilan.
5. Al-Amru bi al-Ma’rūf wa al-Nahī ‘anil-Munkar
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih
daripada lapangan kepercayaan atau tauhid. Ajaran ini lebih menekankan
kepada kebenaran dan kebaikan yang merupakan konsekuensi logis dari
keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan
baik. Al-Qur‟an banyak disebutkan tentang perintah ini, antara lain surat ali
Imron ayat 104 yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu sego longan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan
mencegah dari yang mungkar,34
merekalah orang-orang yang beruntung.”35
Surat Luqman ayat 17 yang artinya “Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).”36
33 Muslim Ishak, Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam,..., hlm. 73 34
ma‟ruf ialah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan
mungkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya 35 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,..., hlm. 99 36 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,..., hlm. 737
74
Prinsip ini menunjukkan bahwa Mu‟tazilah memandang sama
pentingnya antara aqaid dan amaliyah, antara iman dan amal. Sebab itu perlu
orang disuruh untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan, namun
orang yang menjalankan itu juga harus mengetahui kebaikan atau hal-hal yang
menuju kepada kebaikan.37
Pelaksanaan prinsip ini bila perlu dengan
kekerasan, sebab Mu‟tazilah berkeyakinan bahwa orang-orang yang tidak
sefaham dipandang sesat dan perlu diluruskan.
Lima hal pokok ini merupakan standar bagi kemu‟tazilahan seseorang,
dengan artian seseorang baru dikatakan Mu‟tazilah jika dia menganut dan
mengakui kelima hal tersebut. Namun jika dia tidak mengakui salah satunya atau
menambahkan padanya satu hal saja, maka orang ini tidak pantas menyandang
nama Mu‟tazilah.
C. Akal dan Wahyu Menurut Mu’tazilah
Kata akal dalam bahasa arab yang berasal dari kata al-‘aql merupakan
bentuk kata benda, dan kata tersebut tidak tercantum di dalam Qur‟an.38
Al-
Qur‟an hanya menyebutkan bentuk kata kerjanya saja, yaitu ‘aqalūh dalam 1 ayat,
ta’qilūn 24 ayat, na’qīl 1 ayat, ya’qilūha 1 ayat, dan ya’qilūn 22 ayat. Kata-kata
tersebut mempunyai makna “paham” dan “mengerti”. Kata al-aql berarti al-hijr,
yaitu menahan, dan al-‘aqīl adalah orang yang menahan diri dan hawa nafsunya.39
Ada juga di dalam al-Qur‟an yang maknanya “mengerti”, akan tetapi bukan
melalui akal, melainkan melalui hati, yaitu misalnya dalam surat al-A‟raf ayat
179, yang makna ayatnya sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
37 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 141 38
M. Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, (ed), Sejarah Pemikiran Islam; Teologi Ilmu
Kalam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 222 39 M. Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, (ed), Sejarah Pemikiran Islam; Teologi Ilmu
Kalam,..., hlm. 223
75
binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai.”40
Kata al-‘aql tersebut menjadi berubah maknanya ketika filsafat Yunani
masuk ke dalam pemikiran Islam dan menjadi filsafat Islam, yaitu maknanya
berubah menjadi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Pemahaman dan
pemikiran tidak lagi dimaknai melalui hati (al-qalb), melainkan melalui akal (al-
‘aql).
Kata wahyu, berasal dari bahasa Arab al-wahy yang maknanya adalah
suara, api, dan kecepatan. Namun mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan
kitab.41
Kata wahyu sendiri, lebih dikenal dengan arti sesuatu yang disampaikan
oleh Tuhan kepada Nabinya. Kata wahyu mengandung arti bahwa penyampaian
sabda Tuhan kepada manusia-manusia pilihan agar diteruskan kepada umatnya
untuk dijadikan sebagai pegangan hidup. Penjelasan turunnya wahyu kepada Nabi
seperti yang terdapat dalam surat al-Syura ayat 51, yang artinya sebagai berikut:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata
dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya
dengan seizinnya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia maha tinggi
lagi maha bijaksana.”42
Persoalan hubungan akal dan wahyu, seperti yang ditulis oleh Harun
Nasution, yang menjadi pertanyaan adalah sampai di manakah kemampuan akal
dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia, serta sampai
manakah besarnya fungsi wahyu dalam hal tersebut? Harun Nasution telah
mengambarkan bahwa manusia dengan akalnya berusaha untuk mengetahui
Tuhan, kemudian Tuhan dengan belas kasihannya membantu manusia untuk
40 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,..., hlm. 251-
252 41 M. Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, (ed), Sejarah Pemikiran Islam; Teologi Ilmu
Kalam,..., hlm. 224 42 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,..., hlm. 577
76
mengenali dirinya (Tuhan), yaitu dengan menurunkan wahyu melalui para Nabi
dan Rasulnya.43
Menurut kaum Mu‟tazilah, akal mempunyai peranan yang sangat penting.
Menurut Abu al-Huzail sebelum wahyu turun kepada manusia, manusia telah
diwajibkan terlebih dahulu untuk mengetahui Tuhan, dan karena sudah
diwajibkan untuk mengenal Tuhan, maka sudah diwajibkan juga untuk berterima
kasih kepada Tuhan. Manusia tersebut jika tidak berterima kasih kepada Tuhan,
maka manusia-manusia tersebut akan mendapat hukuman. Menurut Abu al-Huzail
bukan hanya mengenal Tuhan, namun manusia pun sudah dapat mengetahui baik
dan buruk yaitu melalui akal.44
Wahyu walaupun belum diturunkan, akan tetapi
kewajiban untuk mengerjakan kebaikan pun sudah berlaku, yaitu kebaikan yang
sifatnya masih umum, seperti bersikap adil, tidak berdusta, dan tidak zalim.45
Menurut Mu‟tazilah peran akal sangat kuat, tetapi fungsi wahyu lebih
memperkuat sesuatu yang telah diketahui akal.46
Menurut „Abd al-Jabbar akal
mampu mengetahui bahwa yang baik itu akan memberi maslahat dan yang buruk
itu akan merusak, namun sifatnya hanya secara umum. Sedangkan yang berfungsi
untuk menetapkan suatu perbuatan baik dan buruk secara khusus dan terperinci
adalah wahyu. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya, menurut kaum Mu‟tazilah
bukan kewenangan dari wahyu, tapi dari akal atau wahyu tidak berfungsi dalam
hal tersebut, kecuali dalam hal untuk mengetahui cara memuja dan menyembah
Tuhan itu adalah kewenangan dari wahyu. Akal mampu mengetahui adanya
Tuhan dan mengetahui kewajiban untuk berterima kasih kepada Tuhan, namun
akal tidak mengetahui cara yang tepat untuk mengungkapkan rasa terima kasih
kepada Tuhan, itulah tugas atau fungsi dari wahyu.47
Menurut „Abd al-Jabbar akal
43 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
81 44 Mustafa al-Babi al-Halabi, al-Milal wa al-Nihal, Jilid 1,..., hlm. 52 45 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
83 46
M. Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, (ed), Sejarah Pemikiran Islam; Teologi Ilmu
Kalam,..., hlm. 227 47 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
97
77
memang tidak dapat mengetahui semua yang baik, adapun yang dapat diketahui
akal hanya kewajiban-kewajiban secara globalnya saja, tidak dapat mengetahui
secara rinci entah itu mengetahui hidup manusia akhirat maupun mengenai hidup
manusia di bumi.
Garis besar seperti yang ditulis dalam buku Menalar Firman Tuhan;
Wacana Majas dalam al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, kaum Mu‟tazilah
menjadikan alasan-alasan syari‟at atau wahyu sebagai bagian dari alasan-alasan
nalar tersebut,48
atau kalau menggunakan bahasanya Harun Nasution, turunnya
wahyu sifatnya adalah mengkonfirmasikan kepada akal, bukan untuk
menginformasikan. Pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh akal,
kemudian diperkuat dan disempurnakan oleh wahyu. Sebab itu „Abd al-Jabbar
membagi perbuatan menjadi dua, yaitu:49
a. Perbuatan-perbuatan yang dicela akal (manākir ‘aqliiah), seperti
bersikap tidak adil dan berdusta.
b. Perbuatan-perbuatan yang dicela oleh syari‟at atau wahyu (manākir
syar’iah), seperti mencuri, berzina, dan meminum minuman keras.
„Abd al-Jabbar juga membagi tentang kewajiban menjadi dua, yaitu:
a. Kewajiban-kewajiban yang diketahui oleh akal (al-wajibat al-
‘aqliiah), seperti kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan
kewajiban membayar hutang.
b. Kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui syari‟at atau wahyu (al-
wajibat al-syar’iah), seperti mengucapkan dua kalimat syahadat dan
mengerjakan shalat.
48 Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam al-Qur’an
menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, (Bandung: Mizan, 2003), hlm.
90 49 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 326
78
D. Keistimewaan Akal Manusia
Kaum Mu‟tazilah adalah kaum yang lebih mengutamakan akal dalam
menghadapi segala persoalan terutama masalah teologi, sehingga kaum ini
dinamakan juga sebagai “kaum rasionalis Islam”.50
Akal merupakan sarana yang
sanggup untuk mencoba mengetahui atau menjangkau wilayah yang sifatnya
global seperti eksistensi Tuhan dan sifat-sifatnya, serta masalah tauhid, keadilan
Tuhan, maupun baik dan buruk yang sifatnya secara umum. Wahyu mempunyai
peran khusus, yaitu bertugas membentangkan jalan bagi akal atau
memperkenalkan kepada akal, kapan dan bagaimana melangsungkan kewajiban
seperti shalat, puasa, dan zakat, karena hal-hal yang praktis seperti itu, tidak
diketahui oleh akal.
Kaum Mu‟tazilah memang mencoba menempatkan akal sebagai dasar
dalam memahami wahyu, sedangkan wahyu itu sendiri hanya sebagai penguat
atau penegas dari hasil pemikiran akal.51
„Abd al-Jabbar mempertegas bahwa
wahyu tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam persoalan yang sifatnya rasional,
baik yang berkenaan dengan tauhid maupun tentang keadilan Tuhan, karena
pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya umum, pasti membutuhkan dasar atau
argumen-argumen yang logis serta dapat dipertanggung jawabkan.52
Akal adalah sebagai inti atau alasan mengapa manusia diberikan beban
tanggung jawab oleh Tuhan. Tuhan selalu menyukai segala sesuatu yang namanya
kebaikan, sehingga manusia diciptakan oleh Tuhan demi untuk kebaikan, maka
kewajiban-kewajiban atau beban yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia
tersebut tujuannya adalah untuk kebaikan pula. Kewajiban tersebut diberikan
kepada manusia, tentu Tuhan telah membekali terlebih dahulu sarana agar
manusia tersebut dapat menanggung beban atau kewajiban-kewajiban yang telah
50 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
40 51 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
82 52 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 168
79
diberikan oleh Tuhan. Sarana yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia
tersebut, sehingga manusia dapat memilih perbuatan mana yang akan dilakukan
melalui pengetahuannya. Sarana atau fasilitas yang telah diberikan oleh Tuhan
kepada manusia tersebut, adalah akal. Menurut „Abd al-Jabbar bahwa
pengetahuan tentang baik dan buruknya suatu perbuatan manusia adalah
tergantung pada penalarannya.53
Keistimewaan dari akal adalah sebagai dasar utama atau alasan dasar
Tuhan memberikan kewajiban-kewajiban kepada manusia, akal juga dapat
mengetahui sesuatu yang umum tentang Tuhan.54
Kekuatan dari akal memang
sangat besar, yaitu selain memikul beban tanggung jawab, akal juga dapat
menjangkau wilayah-wilayah umum yang berkaitan dengan Tuhan. Kekuatan dari
akal memang sangat besar, yaitu selain memikul beban tanggung jawab, akal juga
dapat menjangkau wilayah-wilayah umum yang berkaitan dengan Tuhan.
Pengetahuan yang diperlukan oleh manusia terbagi menjadi dua, yaitu
pengetahuan keniscayaan (dharūrī) dan pengetahuan yang diupayakan
(muktasab). Pengetahuan keniscayaan adalah pengetahuan yang sudah
ditanamkan Tuhan ke dalam diri manusia sebagai persiapan untuk melanjutkan ke
pengetahuan yang diupayakan. Maksudnya adalah, di dalam setiap orang yang
sudah mukallaf, akan timbul kesadaran dalam dirinya; mengapa ada beban
tanggung jawab atau kewajiban-kewajiban Tuhan yang diberikan kepada dirinya?
Kesadaran melalui pertanyaan-pertanyaan seperti itu, maka akan melanjut ke
pengetahuan berikutnya, yaitu pengetahuan yang diupayakan tentang
keingintahuan mengenai kewajiban-kewajiban yang ada dalam dirinya tersebut.
Dasar kedua pengetahuan ini, yaitu pengetahuan keniscayaan dan pengetahuan
yang diupayakan, merupakan pengetahuan untuk mengetahui Tuhan, dalam
bahasanya „Abd al-Jabbar merupakan pengetahuan kesempurnaan akal.55
53 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 173 54 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
83 55 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 181
80
Tahapan untuk mencapai pengetahuan kesempurnaan akal adalah, yang
pertama dengan menggunakan indrawi. Pengetahuan yang dihasilkan oleh indrawi
adalah pengetahuan yang sangat jelas, dan semestinya setiap orang yang melihat
objek dengan panca indra memiliki pandangan yang sama selama tidak ada faktor
yang menghambat. Ditegaskan oleh „Abd al-Jabbar keabsahan pengetahuan
indrawi ditentukan oleh beberapa syarat, yaitu indra yang sempurna dan tidak
adanya faktor yang menghambat, atau yang menyebabkan sesat pengindraan,
karena objek realitas tetap menjadi objek realitas, sedangkan yang menyebabkan
perbedaan adalah subjeknya, entah itu kesalahan dalam penglihatan atau ada
faktor-faktor yang lain.56
Tahapan selanjutnya adalah dengan menggunakan logika. Langkah
awalnya dengan menggunakan indrawi, kemudian langkah penentuan atau
langkah penegasannya adalah dengan menggunakan nalar. Pengetahuan indrawi
sebagai pengetahuan dasar kemudian diolah lagi dengan menggunakan penalaran,
sehingga pengetahuan indrawi tersebut menjadi sah. Diungkapkan oleh al-Jahizh
kemudian dikutib oleh Nashr Hamid Abu Zaid, bahwa penilaian terhadap segala
sesuatu terbagi menjadi dua, yaitu penilaian eksternal melalui pengindraan, dan
penilaian internal dengan menggunakan penalaran sebagai argumentasi.57
Hubungan antara pengetahuan indrawi dengan pengetahuan nalar adalah
pengetahuan indrawi sebagai pijakan pengembangan dari pengetahuan nalar,
sehingga yang menentukan bukanlah indrawi, akan tetapi adalah nalar atau akal.
Alam adalah objeknya, dan orientasinya adalah mengarah ke tauhid serta keadilan
Tuhan. Maksudnya adalah ketika melihat, mencermati, serta mencari hakikat dari
alam raya melalui pancaindra dan penalaran, maka akan mengetahui makna
diciptakannya alam raya serta mengetahui mana sesuatu yang baru dan mana yang
kekal, dan yang kekal itu pasti yang maha menciptakan, yaitu Tuhan. Pengetahuan
indrawi dan pengetahuan akal adalah sebagai pengetahuan keniscayaan, karena
56 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 185 57 Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam al-Qur’an
menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan,..., hlm. 97
81
untuk menegaskan bahwa pandangan mereka mengenai tauhid dan keadilan
Tuhan dapat dinalar melalui akal.58
Menurut „Abd al-Jabbar sesuatu yang ditangkap oleh pancaindra dari
dalam alam raya ini, merupakan pengetahuan keniscayaan atau pengetahuan yang
mengarah kepada adanya Tuhan, termasuk kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepada manusia. Pengetahuan keniscayaan tersebut dapat diartikan juga sebagai
rangsangan berfikir bagi setiap mukallaf dalam mengenal Tuhannya, sedangkan
pengetahuan yang diupayakan adalah usaha lebih lanjut dari hasil rangsangan
berfikir tentang Tuhan, atau pembuktian-pembuktian dari pengetahuan
keniscayaan. Menurut „Abd al-Jabbar, pengetahuan keniscayaan tersebut
merupakan fitrah dari setiap manusia.59
Demikian fitrah dari akal memang telah diberikan daya atau kekuatan oleh
Tuhan, sehingga dengan kekuatan akal tersebut manusia mampu untuk memikul
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia, bahkan mampu untuk
mengenali adanya Tuhan.
E. Kebebasan Kehendak Manusia
Pembahasan tentang kehendak manusia, merupakan pembahasan yang
muncul dari salah satu ajaran aliran Mu‟tazilah, yaitu tentang keadilan Tuhan.60
Pembahasan sebelumnya sudah disinggung bahwa Tuhan telah memberikan beban
tanggung jawab kepada manusia yang berupa kewajiban-kewajiban, yaitu baik
dan buruk atau perintah dan larangan kepada akal. Kekuatan akal tersebut, Tuhan
memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih perbuatan yang dikehendaki.
Sebelumnya juga disinggung bahwa perbuatan atau kehendak Tuhan selalu
menginginkan kebaikan terhadap makhluknya. Pembahasan kehendak manusia
selain mengarah kepada ajaran aliran Mu‟tazilah tentang keadilan Tuhan,
58 Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam al-Qur’an
menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan,..., hlm. 98 59 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 187 60 Kusmin Busyairi, Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah, (Yogyakarta: UD. RAMA, 1985),
hlm. 47
82
pembahasan kehendak manusia juga masih terkait dengan ajaran aliran Mu‟tazilah
tentang janji dan ancaman,dann tujuannya adalah kebaikan manusia.
Perbuatan manusia secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu
perbuatan yang disengaja atau diusahakan (ikhtiyāriyyah), dan perbuatan yang
terjadi diluar kesengajaan (idhthirāriyyah).61
Kedua jenis perbuatan tersebut, yang
jadi persoalan adalah tentang perbuatan yang disengaja atau diusahakan.
Adanya perbuatan yang diusahakan atau disengaja tersebut, sehingga
menurut kaum Mu‟tazilah bahwa perbuatan manusia merupakan hasil dari
kehendaknya sendiri atau sesuai dengan maksud dan motivasinya.62
Penjelasan
dari al-Jubba‟i bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, yaitu manusia
sendiri yang berbuat baik dan buruk, patuh maupun tidak patuh kepada Tuhan,
serta daya untuk mewujudkan kehendak tersebut telah terdapat di dalam diri
manusia sebelum adanya perbuatan.63
Washil bin Atha sebagai pendiri dari aliran Mu‟tazilah mengatakan bahwa
manusia sendiri yang berbuat baik dan buruk, beriman ataupun kafir, serta taat
maupun maksiat. „Abd al-Jabbar pun mengatakan yang sama, bahwa perbuatan
manusia bukan diciptakan oleh Tuhan di dalam diri manusia, melainkan manusia
sendiri yang mewujudkan perbuatan tersebut. Maksudnya, Tuhan membuat
manusia sanggup mewujudkan perbuatanya ialah bahwa Tuhan menciptakan
kekuatan atau daya yang ada di dalam diri manusia, kemudian kekuatan yang ada
dalam manusia tersebut menghasilkan perbuatan-perbuatan.64
Tuhan bukan
menciptakan perbuatan manusia atau manusia ibarat wayang yang menunggu
digerakkan oleh Tuhan yang kemudian baru bisa bergerak, akan tetapi gerakan-
gerakan ataupun perbuatan-perbuatan yang muncul dari manusia itu karena hasil
perbuatan manusia itu sendiri, Tuhan hanya memberikan daya atau kekuatan.
61
M. Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, (ed), Sejarah Pemikiran Islam; Teologi Ilmu
Kalam,..., hlm. 244 62 M. Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, (ed), Sejarah Pemikiran Islam; Teologi Ilmu
Kalam,..., hlm. 245 63 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 323 64 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 386
83
Penyandaran perbuatan manusia terhadap perbuatan Tuhan, akan menyebabkan
kehancuran syariat dan agama.
Perbuatan manusia terdapat keburukan-keburukan atau tidak selamanya
baik. Perbuatan manusia seandainya adalah perbuatan Tuhan, maka Tuhan telah
mendustakan wahyunya sendiri, yaitu tentang menyuruh untuk berbuat baik dan
mencegah dari perbuatan yang buruk, padahal perbuatan Tuhan sendiri terkadang
adalah buruk, berarti Tuhan juga zalim.65
Sangat mustahil kalau terjadi keburukan
yang dilakukan oleh manusia, kemudian dikatakan bahwa itu adalah perbuatan
manusia. Sebab Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Baik, tentunya segala
perbuatan Tuhan akan selalu mengarah kepada kebaikan bukan keburukan,
bahkan akan melakukan yang terbaik untuk manusia, karena itu merupakan
kewajiban Tuhan.66
Dalil naqli yang digunakan oleh kaum Mu‟tazilah yang artinya sebagai
berikut:
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaknya ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.67
(QS. Al-Kahfi: 29)
Bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur. Tiap-
tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.68
(QS. Al-
Muddatstsir: 37-38)
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya,
kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah
maha pengampun lagi maha penyayang. Barangsiapa yang mengerjakan
dosa maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudharatan) dirinya
sendiri dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.69
(QS. An-Nisa‟:
110-111)
65 Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam al-Qur’an
menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan,..., hlm. 319 66 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
128 67Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,..., hlm. 448 68 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,..., hlm. 995 69 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,..., hlm. 140
84
Makna ayat diatas ialah yang dijadikan dasar oleh kaum Mu‟tazilah,
menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia adalah
tanggung jawab atau kehendak dari manusia itu sendiri, bukan dari perbuatan
Tuhan.
Kaum Mu‟tazilah selain menggunakan dalil naqli, juga menggunakan dalil
rasional. Ungkapan dari „Abd al-Jabbar yang ditulis oleh Kusmin Busyairi, yaitu
dikatakan bahwa ketika ada seseorang yang berbuat kebaikan kepada kita,
kemudian kita berterima kasih kepada seseorang tersebut, begitu juga ketika ada
seseorang yang berbuat buruk kepada kita, kemudian kita langsung tidak senang
terhadap seseorang yang berbuat buruk tersebut.70
Menurut Kaum Mu‟tazilah bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan
perbuatan yang buruk, karena perbuatan buruk tersebut merupakan bertentangan
dengan kesempurnaan Tuhan. Perbuatan manusia jika termasuk perbuatan Tuhan,
maka pemberian balasan terhadap perbuatan manusia tidak ada artinya.71
Menurut
„Abd al-Jabbar, perbuatan manusia harus benar-benar perbuatan manusia.72
Menurut kaum Mu‟tazilah, konsep keadilan Tuhan akan benar-benar
terwujud, yaitu mengenai menyiksa hambanya yang berbuat buruk dan
memberikan pahala bagi hambanya yang melakukan kebaikan, apabila hambanya
bebas dalam berbuat dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Menyiksa
hambanya yang tidak mampu dalam berbuat, atau menyiksa hambanya yang tidak
bebas dalam berbuat sesuatu, akan menjadikan sikap Tuhan menjadi zalim.
Kebebasan manusia dalam berbuat sesuatu dan konsep Tuhan, merupakan ibarat
dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.73
Konsep kebebasan kehendak manusia dalam berbuat sesuatu, memang
sama pentingnya dengan tiga ajaran dasar dalam aliran Mu‟tazilah, yaitu konsep
70 Kusmin Busyairi, Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah,..., hlm. 49-50 71 M. Amin Nurdin, Afifi Fauzi Abbas, (ed), Sejarah Pemikiran Islam; Teologi Ilmu
Kalam,..., hlm. 247 72 Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarah al-Ushūl al-Khamsah,..., hlm. 361 73 Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam al-Qur’an
menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan,..., hlm. 316
85
janji dan ancaman (al-Wa‘du wa al-Wa‘īed), Tempat Diantara Dua Tempat (al-
Manzilatu baina al-Manzilataini), dan perintah berbuat baik dan mencegah
berbuat buruk (al-Amru bi al-Ma’rūf wa al-Nahī ‘anil-Munkar). Konsep
kebebasan kehendak manusia tersebut terkait dengan konsep keadilan Tuhan dan
ketauhidan, konsep kebebasan kehendak manusia juga ada hubungannya dengan
ajaran al-Manzilatu baina al-Manzilataini (tempat diantara dua tempat), yaitu
sebagai hukuman bagi orang yang berdosa besar dan menetapkan tanggung jawab
atas kebebasannya dalam memilih perbuatan.74
Ajaran al-Amru bi al-Ma’rūf wa al-Nahī ‘anil-Munkar (perintah berbuat
baik dan mencegah berbuat buruk), yaitu agar manusia menjadi baik dan benar.
Ajaran al-Amru bi al-Ma’rūf wa al-Nahī ‘anil-Munkar ini menjadi tidak
bermakna jika tidak ada kebebasan manusia dalam memilih perbuatan yang akan
dilakukan, karena sama saja Tuhan memberi perintah dan larangan kepada
manusia, namun yang melaksanakan perintah dan larangan tersebut bukan
manusia, melainkan Tuhan sendiri.75
Memilih perbuatan yang akan dilakukan jika
tidak ada kebebasan manusia, berarti janji dan ancaman Tuhan tidak berfungsi
juga, kalaupun berfungsi berarti Tuhan telah melakukan kezaliman kepada
manusia. Janji dan ancaman Tuhan sesuai dengan prinsip keadilan Tuhan.
Keadilan Tuhan mewajibkan kebebasan kepada manusia sebagai pelaku atau
penerima beban kewajiban-kewajiban perintah dan larangan Tuhan.
Pembahasan kekuatan akal sebelumnya, yaitu mengenai fitrah dari akal
yang telah diberikan daya atau kekuatan oleh Tuhan, sehingga dengan
keistimewaan akal tersebut manusia mampu memikul kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia.76
Kasih sayang Tuhan terhadap manusia, selain
memberikan fitrah keistimewaan akal, Tuhan juga telah menurunkan wahyu dan
mengirim para Nabi untuk kebaikan manusia. Tuhan telah memberikan bekal
74 Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam al-Qur’an
menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan,..., hlm. 317 75
Nasr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam al-Qur’an
menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan,..., hlm. 318 76 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
98
86
yang cukup terhadap manusia sebagai makhluk yang mendapat amanah perintah
dan larangan atau beban kewajiban, sebab setelah Tuhan memberikan bekal yang
cukup kepada manusia sebagai pegangan hidup, maka manusia mempunyai
kebebasan dan kehendak untuk berbuat.77
Mengenai kehendak Tuhan, menurut aliran Mu‟tazilah bahwa kekuasaan
ataupun kehendak Tuhan sudah terbatas atau tidak mutlak lagi. Kaum Mu‟tazilah
berpendapat bahwa kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang
telah diberikan Tuhan kepada manusia dalam menentukan kemampuan dan
perbuatannya.78
Keterbatasan kekuasaan Tuhan atau yang menyebabkan Tuhan
tidak berkuasa mutlak, dikarenakan adanya sifat keadilan Tuhan, adanya
kewajiban Tuhan kepada manusia yaitu kewajiban untuk memberikan yang
terbaik kepada manusia, seperti wajib memberikan pahala kepada manusia yang
melakukan kebaikan dan menyiksa manusia yang melakukan keburukan, wajib
mengutus para Rasul kepada manusia, dan wajib juga memberi rezki kepada
manusia, serta adanya hukum alam yang tidak berubah kecuali dengan jalan
perubahannya.79
Aliran Mu‟tazilah menganut faham determinisme atau percaya terhadap
hukum alam sebab akibat.80
Ayat yang dijadikan landasan adalah surat al-Ahzab
ayat 62, yang maknanya sebagai berikut: “...Tidak akan engkau jumpai perubahan
pada sunnah Allah.”
Makna ayat tersebut sudah jelas bahwa, setiap benda yang ada di dunia ini
tidak akan bergerak atau berubah kecuali sesuai dengan jalannya, atau setiap
benda akan berubah secara alami. Salah satu contohnya adalah api yang sifatnya
selalu dapat menghasilkan panas, bahkan api tersebut dapat membakar yang bisa
terbakar. Benda-benda yang lain juga tentu mempunyai sifat alaminya masing-
77
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
118 78 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
119 79 Kusmin Busyairi, Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah,..., hlm. 41 80 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
119
87
masing dan tidak akan berubah ataupun bergerak diluar sifat alaminya tersebut.
Efek yang dimunculkan oleh benda-benda tertentu, bukanlah perbuatan dari
Tuhan, melainkan hanya menciptakan hukum alamnya saja. Aliran Mu‟tazilah
juga sangat menekankan adanya hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan, dan
dengan hukum alam tersebut menurut aliran Mu‟tazilah secara tidak langsung
membatasi juga kekuasaan atau kehendak mutlak Tuhan.81
Tuhan telah menciptakan hukum alam, dan alam tersebut bergerak sesuai
dengan hukumnya, yaitu hukum alam. Manusia hidup di bumi yang merupakan
bagian dari alam, sehingga manusia hidup dilingkupi dengan hukum alam. Sebab
itu, mau tidak mau manusia hidup di bumi harus menyesuaikan dengan hukum
alam. Hidup menyesuaikan dengan hukum alam adalah manusia hidup di bumi
mengikuti hukum sebab akibat dan tidak dapat merubah hukum alam tersebut.
Tuhan menciptakan alam dengan hukum yang berbeda-beda, yang disebut
dengan sunnah Allah. Tuhan menciptakan sunnah yang mengatur hidup manusia,
berbeda dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan, serta ada sunnah
yang tidak berubah untuk mencapai kemenangan. Sunnah Allah atau hukum alam
yang untuk mencapai kemenangan tersebut berlaku untuk setiap manusia tidak
melihat kafir atau mu‟min, kalau orang tersebut mengikuti sunnah Allah, yaitu
hukum alam atau hukum sebab akibat untuk mencapai kemenangan, maka orang
tersebut akan meraih kemenangan, akan tetapi kalau melanggar atau tidak
mengikuti hukum sebab akibat untuk mencapai kemenangan, maka orang tersebut
tidak akan mendapat kemenangan.
Ciri-ciri dari penganut faham sunnah Allah adalah:
1. Kedudukan akal lebih tinggi
2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan berbuat
3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-
Qur‟an dan hadist yang sedikit sekali jumlahnya
81 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,..., hlm.
120
88
4. Percaya adanya sunnah Allah atau hukum kausalitas
5. Mengambil arti metaforis dari teks wahyu
6. Dinamika dalam sikap dan berfikir
Garis besarnya menurut aliran Mu‟tazilah, kebebasan kehendak manusia
adalah bebas dalam menentukan perbuatan yang akan dilakukan, namun
kebebasan tersebut hanya bersifat memilih, yaitu memilih perbuatan mana yang
akan dilakukan dan sesuai dengan hukum alam, agar manusia dapat mencapai
kemenangan.
108
BAB IV
ANALISIS KONSEP KEBEBASAN KEHENDAK MANUSIA IMMANUEL
KANT DAN MU’TAZILAH
A. Persamaan dan Perbedaan Konsep Kebebasan Kehendak Manusia
Membahas konsep kebebasan kehendak manusia dalam pemikiran
Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah pada bab sebelumnya, pada bab ini akan
dibahas tentang persamaan dan perbedaan konsep kebebasan kehendak manusia
dari masing-masing pemikiran, yaitu Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah.
Gagasan Immanuel Kant maupun aliran Mu’tazilah, memiliki landasan
atau dasar pandangan yang berbeda walaupun sama-sama membahas tentang
konsep kebebasan kehendak manusia.
1. Persamaan antara Immanuel Kant dan Mu’tazilah
Konsep kebebasan kehendak manusia dalam pemikiran Immanuel Kant
dan aliran Mu’tazilah, sama-sama memiliki kebebasan dalam berkehendak dan
berbuat. Menurut Immanuel Kant, tidak ada kebenaran mutlak dan setiap
kebenaran adalah tafsiran setiap individu, dasar segalanya adalah berdasarkan
hukum moral, sehingga beranggapan bahwa manusia adalah makhluk rasional
yang memiliki kehendak murni. Sebab itu menurut Immanuel Kant, setiap
manusia bebas menentukan hidupnya sendiri, dan bebas menentukan nilai-
nilai atau kebenaran-kebenaran dalam hidupnya. Menurut aliran Mu’tazilah,
dengan adanya perintah dan larangan Tuhan yang dibebankan kepada
manusia, serta adanya keadilan, janji dan ancaman Tuhan sebagai bentuk
pertanggung jawaban setiap perbuatan manusia, maka mewajibkan akan
adanya sikap bebas terhadap manusia untuk menentukan kehendak dan
perbuatannya. Manusia menentukan kehidupannya sendiri, Tuhan tidak ikut
campur dalam perbuatan manusia, namun kebebasan manusia tetap harus
sesuai dengan hukum alam atau sunnah Allah yang diciptakan Tuhan.
109
2. Perbedaan antara Immanuel Kant dan Mu’tazilah
a. Immanuel Kant
Dasar pemikiran Immanuel Kant secara garis besar adalah
membahas nilai moral tentang kebebasan kehendak manusia, namun
setelah dianalisis kembali persoalan pertama atau mendasar yang dialami
Immanuel Kant adalah masalah kebenaran atau yang sering disebut
sebagai “dalil kepercayaan”. Kesadaran kesusilaan hanya dapat masuk
akal, jika menerima adanya postulat-postulat, yang karenannya harus
diterima sebagai kebenaran-kebenaran kesusilaam, yaitu: kebebasan
kehendak, immortalitas jiwa dan Allah.1 Menurut Immanuel Kant,
Immortalitas jiwa dan Allah agak lepas daripada kebebasan kehendak,
pengertian ini dikaitkan dengan pengertian tertinggi. Ide-ide tentang
Tuhan, kebebasan, dan keabadian hanya bagi akal budi spekulatif dan
tidak aktual. Kant mengatakan bahwa ide-ide tersebut diperlukan bagi
moralitas.
Menurut Immananuel Kant, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada
hanyalah bersifat tafsiran-tafsiran. Immanuel Kant berpandangan bahwa
setiap kebenaran didasarkan atas dasar keyakinan, entah itu kebenaran
ilmu pengetahuan maupun kebenaran agama. Kebenaran agama memang
sangat jelas didasari atas keyakinan, begitu juga terhadap kebenaran ilmu
pengetahuan, yaitu yakin terhadap metode yang digunakan dalam mencari
kebenaran. Sehingga dengan yakinnya terhadap metode yang digunakan,
maka secara langsung akan menyakini kebenaran yang dihasilkan dari
metode tersebut.
Persoalan tentang moral sebenarnya tidak dapat dipisahkan dalam
dasar permasalahan Kant, atau tidak dapat dipisahkan dalam konsep dasar
kebebasan kehendak manusia Immanuel Kant. Ide a priori sebuah perintah
untuk bertindak mencapai suatu akibat yang diinginkan dan tidak mustahil
untuk memahami sebuah hukum yang hanya memenuhi tujuan prinsip
1 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, ..., hlm. 66
110
subjektif dan menjadi dasar determinasi berdasarkan hukum objektif. Akal
budi murni dengan sendirinya bersifat praktis, dan memberi manusia
sebuah hukum universal, yang dapat disebut sebagai hukum moral.
Hukum moral memiliki bentuk imperatif yang beranggapan bahwa
manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki kehendak murni, dan
dipengaruhi oleh keinginan-keinginan indrawi sehingga menganggap
memiliki kehendak suci. Hukum moral adalah sebuah imperatif yang
secara kategoris memerintah karena tak bersyarat, hubungan kehendak
murni dengan hukum moral bersifat bergantungan atau yang disebut
dengan keharusan. Filsafat moral Kant adalah dengan menggunakan
pendekatan rasional, Kant telah membangun norma moral universal yang
memiliki jangkauan frekuensi yang sangat luas dan yang mengikat pada
semua orang, ini tidak berarti bahwa Kant tidak percaya pada Tuhan. Kant
menempatkan eksistensi Tuhan sebagai postulat, disamping etika Kant
pada hakikatnya memberikan landasan dan arahan agar manusia berbuat
baik serta bermoral baik atas dasar kreasi dan kesadaran diri sendiri sesuai
otonomi kehendak yang dimilikinya. Kesadaran ini merupakan kesadaran
tertinggi dari manusia untuk mencapai moral yang luhur.
Hukum moral murni dengan sendirinya suci, tepat menjadi model
di depan semua makhluk rasional. Hal tertinggi yang dilakukan akal budi
praktis adalah memastikan kemajuan maksim-maksimnya secara tak
terbatas dan memastikan konsentrasi makhluk rasional dalam membuat
kemajuan yang terus menerus. Hukum moral mengekspresikan tidak lain
kecuali otonomi akal budi praktis yang murni, yakni kebebasan. Otonomi
atau kebebasan dengan sendirinya merupakan syarat formal dan dapat
sesuai dengan hukum praktis tertinggi.
Immanuel Kant setelah meruntuhkan konsep kebenaran mutlak,
kemudian dia menekankan tentang eksistensi diri, yaitu segalanya
tergantung kepada diri kita sendiri atau kehendak manusia. Maksud dari
Immanuel Kant meruntuhkan konsep kebenaran mutlak tersebut, bukan
berarti Immanuel Kant tidak mengakui tentang adanya kebenaran.
111
Immanuel Kant tetap mengakui adanya kebenaran, akan tetapi kebenaran
tersebut yang diakui Immanuel Kant tidak mutlak. Menurut Immanuel
Kant, jiwa kreatif, jiwa bebas, maupun jiwa yang memiliki energi
kehendak manusia itu tidak berhenti atau tidak terpaku dalam satu
kebenaran. Jiwa tersebut akan selalu mencari tantangan baru, sehingga
akan menemukan kebenaran-kebenaran baru atau nilai-nilai yang baru.
Jiwa kreatif dan jiwa bebas selalu siap untuk meninggalkan kebenaran-
kebenaran atau nilai-nilai lama jika itu sudah tidak sesuai dengan keadaan,
dan menerima nilai-nilai baru yang sesuai dengan keadaan, sehingga
menurut Immanuel Kant, segala sesuatu tergantung pada subjek yang
menjalani kehidupannya. Arah kehidupan mutlak ditangan subjek, tidak
ada campur tangan dari luar dirinya, meskipun itu Tuhan.
b. Mu’tazilah
Dasar pemikiran dari aliran Mu’tazilah, tentu tidak bisa lepas dari
lima ajaran dasar mereka, yaitu: tauhid, adil, janji dan ancaman, tempat
diantara dua tempat, dan amar ma’ruf nahi mungkar. Ditegaskan oleh al-
khayyath bahwa seseorang tidak berhak dinamakan Mu’tazilah, sehingga
bersatu padanya lima pokok ajaran, yaitu tauhid, adil, janji dan ancaman,
tempat diantara dua tempat, dan amar ma’ruf nahi mungkar, apabila
padanya telah sempurna kelima ajaran ini dinamakan Mu’tazilah.2
Kelima dasar tersebut, yang paling utama adalah tentang tauhid,
sehingga keempat ajaran Mu’tazilah yaitu: adil, janji dan ancaman, tempat
diantara dua tempat, dan amar ma’ruf nahi mungkar, semuanya akan
mengarah kepada tauhid atau memurnikan tauhid, begitu juga konsep
dasar dari kebebasan kehendak manusianya aliran Mu’tazilah. Ajaran
dasar secara tidak langsung merupakan ajaran dasar atau konsep dasar
sekaligus tujuan orientasi dari segala gagasan atau pemikiran aliran
Mu’tazilah, termasuk konsep kebebasan kehendak manusianya.
2 Mustafa al-Babi al-Halabi, al-Milal wa al-Nihal, jilid 1, ..., hlm. 78
112
Konsep dasar kebebasan kehendak manusia dalam kaum
Mu’tazilah berdasarkan tauhid, namun kaum Mu’tazilah lebih
mengutamakan akal dari pada wahyu. Pengetahuan-pengetahuan umum
yang telah diketahui oleh akal, kemudian ditegaskan oleh wahyu. Tugas
dari wahyu adalah hanya memberi kepastian kepada akal. Kekuatan akal
lebih tinggi dalam pemikiran kaum Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah lebih
rasional dalam memaknai tauhid, dan oleh sebab itu aliran Mu’tazilah
dinamakan juga aliran teologi rasional.
Landasan yang dijadikan oleh kaum Mu’tazilah adalah, salah
satunya bunyi hadist qudsi tentang Tuhan bersabda kepada akal: “Demi
kekuasaan dan keangunganku, tidaklah pernah Aku menciptakan makhluk
yang lebih Kuhargai dari engkau, karena engkaulah Aku mengambil dan
memberi, dan karena engkaulah Aku menurunkan pahala dan menjatuhkan
hukuman.”
Akal adalah sesuatu yang dijadikan manusia lebih istimewa dari
makhluk yang lain, karena dengan adanya akal. Tuhan telah memberikan
tanggung jawab kepada manusia. Tuhan maha adil dan selalu menempati
janjinya terhadap janji ancamanya, sehingga beban tanggung jawab
tersebut mewajibkan adanya kebebasan kepada manusia untuk
melaksanakan tanggung jawab. Tuhan maha adil, karena dengan keadilan
Tuhan tidak mungkin Tuhan melakukan kezaliman kepada manusia yaitu
memberikan beban tanggung jawab yang manusia itu sendiri tidak mampu
memikulnya, atau tidak bebas dalam melaksanakannya.
Kebebasannya manusia untuk berbuat, Tuhan juga telah
memberikan bekal supaya manusia mampu mempertimbangkan
perbuatannya tersebut, yaitu dengan kekuatan akal. Tuhan juga telah
menurunkan wahyu dan para Nabi serta Rasul sebagai petunjuk bagi
manusia tidak mampu menjangkau segalanya.
Sebebas-bebasnya kehendak manusia, tetap harus patuh terhadap
hukum alam atau sunnah Allah yang diciptakan Tuhan. Manusia hidup di
alam raya yang dilingkupi dengan hukum alam, sehingga manusia tidak
113
dapat melanggar hukum alam atau sunnah Allah. Manusia adalah bebas
dalam berkehendak dan bebas dalam berbuat, namun kebebasan manusia
dalam berkehendak dan berbuat menurut aliran Mu’tazilah adalah tidak
bebas mutlak yaitu hanya bebas memilih perbuatan-perbuatan yang sesuai
dengan hukum alam. Hukum alam dan sunnah Allah tersebut, jika manusia
pandai mempelajarinya, maka manusia akan mudah dalam mencapai
ketinggian atau mudah dalam mencapai tujuan hidup.
Garis besarnya menurut aliran Mu’tazilah, manusia adalah bebas
dalam berbuat apa saja yang dia kehendaki, asalkan sesuai dengan hukum
alam atau sunnah Allah yang diciptakan oleh Tuhan. Segala hal yang ingin
dicapai atau ingin didapatkan oleh manusia, tergantung besarnya usaha
dari manusia itu sendiri dan pandainya manusia dalam menyesuaikan
dengan hukum alam atau sunnah Allah. Tuhan tidak ikut campur dalam
perbuatan manusia, sehingga manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya sendiri, yaitu bertanggung jawab dalam prosesnya dan
bertanggung jawab dalam hasilnya.
Tanggung jawab yang dimaksud dalam prosesnya adalah jika
manusia ingin mencapai sesuatu, maka manusia tersebut harus mau
berkorban atau mau berusaha demi yang ingin dicapai tersebut. Resikonya
harus mau menanggung demi untuk mencapai yang diinginkan, sedangkan
bertanggung jawab atas hasilnya adalah jeri payah yang sudah diusakan,
dan kemudian mendapatkan hasilnya, maka hasil tersebut harus mau
mempertanggung jawabkannya dihadapan Tuhan kelak.
B. Kontribusi Pemikiran Immanuel Kant dan Mu’tazilah dalam Studi Islam
Kontribusi Pemikiran Immanuel Kant dan Mu’tazilah dalam perspektif
Islam sangatlah penting dan tidak bertentangan dengan Islam, khususnya dengan
al-Qur’an. Kebebasan kehendak manusia Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah
sebenarnya ingin mensejajarkan atau mengkombinasikan unsur yang berbeda
114
sehingga tercipta keterpaduan untuk mencapai kesatuan yang harmonis
sebagaimana yang berkembang dalam Islam khususnya dunia pemikiran Islam.
Kebebasan kehendak manusia adalah kebebasan yang dimiliki manusia
untuk berbuat dan menentukan pilihan lewat akal dan pikiran, karena dalam diri
manusia ada kemampuan dasar yang dimilikinya. Manusia adalah makhluk yang
mempunyai sifat-sifat berbeda dari segala makhluk dunia lainnya. Manusia tidak
semata-mata tunduk pada kodratnya dan secara pasif menerima keadaannya, tetapi
manusia selalu sadar dan aktif menjadi dirinya. Proses perkembangan manusia
sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri.
Manusia dikatakan bebas mengandung dua pengertian, yaitu: mampu
untuk menentukan diri sendiri, dan tidak dibatasi oleh orang lain dalam
kemungkinannya untuk menentukan diri. Kebebasan bersifat positif: sebagai suatu
kemampuan yang ada pada manusia. Kebebasan kedua bersifat negatif: sebagai
tidak adanya pembatasan.3 Kedua segi kebebasan itu perlu dibedakan, tetapi tidak
dapat dipisahkan karena kedua-duanya merupakan satu kebebasan manusia.
Manusia dari subjek kebebasan yang mempunyai kedudukan penting
dalam Islam sehingga Islam mempunyai pandangan tersendiri, di antaranya:
a. Al-Qur’an dan as Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi
hidupnya dengan bekerja untuk mempertahankan hidupnya dengan
bekerja untuk memanfaatkan apa yang Allah ciptakan di muka bumi.
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang harus
menggunakan kebebasan berbuat yang dimilikinya itu sebagai wakil
Tuhan untuk meningkatkan kualitas dirinya dengan segala perintah dan
larangannya. Posisi sebagai khalifah dan hamba Allah adalah
merupakan dua hal yang bertentangan akan tetapi merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia bisa mempunyai
kemampuan dan kekuatan yang hebat dan mengagumkan, tetapi
3 Yustina Rostiawati, Etika Sosial, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm.
18-19
115
manusia juga memiliki kelemahan dan kekurangan yang tidak bisa
diatasi, serta mempunyai keterbatasan yang tidak bisa dilampauinya.
b. Manusia adalah makhluk termulia dari seluruh ciptaan Tuhan.4
Manusia terikat dan dilindungi oleh hukum-hukum alam, secara garis
besarnya manusia telah dapat menentukan masa depannya. Hal ini
dapat membawa pada paham determinisme yaitu paham yang
menyatakan bahwa manusia itu bebas tidak terikat oleh sesuatu yang
lain. Manusia sebenarnya tidak mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan. Kebebasan kehendak manusia dibatasi oleh unsur materi
yang terdapat dalam dirinya, maka kebebasan manusia tidak
mengandung arti kebebasan tidak terbatas.
c. Manusia adalah makhluk Tuhan yang sangat istimewa, bahkan
tingkatannya lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk-makhluk
Tuhan lainya, misalnya hewan. Kelebihan manusia dari hewan antara
lain: manusia diberi beban oleh Tuhan untuk dijadikan sebagai
khalifah di muka bumi, manusia memiliki bentuk jasmani yang lebih
baik daripada hewan, dan manusia juga memiliki jiwa yang sempurna.5
Berkaitan dengan pandangan tersebut Islam juga memandang manusia
mempunyai kebebasan kehendak seperti kebebasan kehendak dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebebasan kehendak
manusia diantaranya adalah surat al-Fushshilat ayat 46 yang berbunyi:
م للعبيد هن عول صالحا فلنفسه وهن أساء ف عليها وها ربك بظلا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka
(dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu
menganiaya hamba-hambaNya”.6 (QS. al-Fushshilat: 46)
4 Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, editor: Taufik Adnan
Amal, (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 90 5 Humaidi Tatapangarsa, Kuliah Aqidah Lengkap, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990), hlm.
13-15 6 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah, ..., hlm. 780
116
Ayat ini menjelaskan tentang amal yang shaleh atau yang buruk
seluruhnya disandarkan kepada manusia itu sendiri, jika manusia itu tidak
merdeka dan tidak bebas untuk memilih tentunya tidak akan disandarkan
perbuatan itu atas dirinya.7
Perbuatan seseorang berkaitan dengan pelakunya, kalau baik dan manfaat
maka dirinya sendiri yang menarik manfaatnya, dan jika perbuatan itu buruk maka
akan memperoleh keburukan padanya. Tidaklah memberi manfaat amal yang baik
kepada pelakunya, yakni memberi ganjaran, tidak juga memberi dampak
keburukan amal kepada pelakunya yaitu siksa.8
Surat asy-Syūrā ayat 30 yang berbunyi:
صيبة فبوا كسبت أيديكن ويعفى عن كثير وها أصابكن هن ه
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)”.9 (QS. asy-Syūrā: 30)
Ayat ini mengaris bawahi adanya petaka atau hal-hal negatif yang
dijatuhkan Allah menimpa manusia dalam kehidupan ini yang sebagai saksi atas
pelanggarannya. Pelanggaran yang ditangguhkan saksinya ke akhirat nanti.10
Bencana-bencana yang diderita oleh seseorang itu hanyalah sebagai bekas
atau kesan dari hasil perbuatannya sendiri, dan itu pulalah yang merupakan hasil
dari cara pilihan dan pemikirannya yang merdeka dan bebas. Berkaitan dengan
adanya marabahaya yang selalu meliputi diri manusia dijelaskan bahwa itu semua
bukanlah karena perbuatan manusia itu sendiri. Perbuatan manusia menurut
7 Syaikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, terj. Ahmad Khatib, editor. Mukhlis B
Mukti, Jilid. 15, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 906-907 8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 12,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 79 9 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemah, ..., hlm. 788 10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ...,
hlm. 169
117
hukum dapat dipertanggung jawabkan karena perbuatan itu dilakukan dalam
ketiadaan atau kehendak bebas.11
11 Syaikh Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Jilid. 16, ..., hlm. 77
124
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan yang telah diuraikan pada bab dan sub bab tersebut,
selanjutnya penulis sampai pada kesimpulan sebagai wujud dari jawaban beberapa
permasalahan diatas dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsep Kebebasan Kehendak Manusia Immanuel Kant dan Mu’tazilah
Immanuel Kant mengawali konsep kebebasan kehendak manusianya
dengan masalah kebenaran atau sering disebut dengan dalil kepercayaan.
Kesadaran kesusilaan hanya dapat masuk akal, jika menerima adanya postulat-
postulat, yang karenanya harus diterima sebagai kebenaran-kebenaran
kesusilaan, yaitu: kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan eksistensi
Tuhan. Immanuel Kant berusaha memaparkan atau menjelaskan dasar yang
dijadikan landasan setiap bentuk kebenaran, yang menurutnya semua
kebenaran didasarkan atas dasar keyakinan, yaitu terhadap metode untuk
mendapatkan kebenaran. Kebenaran menurut Immanuel Kant hanyalah
bersifat tafsiran, bukanlah kebenaran mutlak. Menurut Immanuel Kant, Akal
budi murni bersifat praktis, dan memberi manusia sebuah hukum universal,
yang dapat disebut sebagai hukum moral. Hukum moral beranggapan bahwa
manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki kehendak murni. Konsep
kebebasan kehendak manusianya Immanuel Kant, mutlak ditangan sendiri-
sendiri dan tidak ada campur tangan dari luar dirinya. Sikap bebas tersebut
dapat menjadikan individu selalu mendapatkan sesuatu yang baru dalam
hidupnya.
Konsep kebebasan kehendak manusia aliran Mu’tazilah didasarkan
kepada ajaran tauhid. Aliran Mu’tazilah berusaha memurnikan perbuatan
Tuhan, maka manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya kepada
Tuhan. Perbuatan Tuhan telah dibatasi dengan keadilannya, janji dan
125
ancamanya, dan juga hukum alam. Tuhan telah menciptakan segala bentuk
ciptaannya dengan hukum alam yang berbeda-beda, kemudian Tuhan tidak
ikut campur terhadap perbuatan makhluknya. Manusia jika berkehendak
menyesuaikan hukum alam, maka kebebasan kehendak manusia akan
terwujud, karena perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri, dan
manusia berhak untuk mendapatkan pujian, celaan, pahala ataupun dosa.
Sebebas-bebasnya manusia berkehendak tetap tidak mutlak, karena terbatasi
dengan hukum alam.
2. Persamaan dan Perbedaan Konsep Kebebasan Kehendak Manusia Immanuel
Kant dan Mu’tazilah
Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah memiliki pemikiran yang sama
dalam menentukan kehidupannya sendiri yaitu memiliki kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat, namun dibalik persamaan itu terdapat perbedaan
pemikiran. Menurut Immanuel Kant, manusia bertanggung jawab kepada
dirinya sendiri atas perbuatannya, sedangkan menurut aliran Mu’tazilah
manusia bertanggung jawab atas perbuatannya kepada Tuhan. Menurut
Immanuel Kant, manusia berperilaku menurut hukum-hukum dan manusia
bertindak secara rasional. Kehendak tidak lain kecuali akal budi praktis dan
hukum moral sebagai fakta akal budi murni, secara timbal balik
mengimplikasikan konsep kebebasan, sehingga manusia menegaskan bahwa
manusia mempunyai kewajiban moral dan manusia bertanggung jawab atas
hidupnya sendiri. Sedangkan menurut aliran Mu’tazilah, manusia bebas dalam
berkehendak dan berbuat, akan tetapi kebebasan manusia tidak mutlak.
Kehendak manusia dibatasi dengan hukum alam yang telah diciptakan oleh
Tuhan, dan manusia tetap mempertanggung jawabkan perbuatannya
dihadapan Tuhan. Garis besarnya konsep kebebasan kehendak manusia
Immanuel Kant tidak terikat dengan Tuhan, sedangkan aliran Mu’tazilah
masih terikat dengan Tuhan.
B. Saran-saran
126
Pembahasan mengenai konsep kebebasan kehendak manusia dari
pemikiran Immanuel Kant dan aliran Mu’tazilah di atas, dapat dijadikan sebagai
bahan renungan dan motivasi dalam hidup, khususnya bagi penulis sendiri.
Manusia sebenarnya adalah bebas untuk berbuat dan memilih suatu
perbuatannya, maka dengan diberi akal dan wahyu dari Allah hendaknya bisa
melihat suatu perbuatan yang baik. Hendaklah dengan dua anugerah manusia bisa
menjauhi segala larangan-Nya dan menjalankan segala perintah-Nya. Hidup yang
sudah difasilitasi oleh Tuhan, maka kehidupan ditentukan oleh kita sendiri, yaitu
mau diarahkan kemana kehidupan kita. Sebab itu, hidup harus memiliki tujuan
dan ketika sudah mempunyai tujuan, maka harus diperjuangkan tujuan tersebut.
Menurut Immanuel Kant kita harus menjadi jiwa-jiwa yang kreatif, sehingga tidak
hanya menjadi sebagai pengikut, dan kita harus memaksimalkan energi kehendak
kita, supaya dapat mencapai puncak ketinggian yang kita inginkan, karena hidup
kita ada ditangan kita. Menurut aliran Mu’tazilah, Tuhan tidak ikut campur atas
perbuatan manusia, atau tidak mungkin orang jadi sukses tanpa ada usaha dari
orang itu sendiri. Manusia bertanggung jawab atas segala kehidupannya.
Saran bagi umat Islam, hendaklah dengan adanya perbedaan pendapat
tentang kebebasan kehendak manusia janganlah membuat perpecahan, karena
perbuatan adalah rahmat. Pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut
yang paling baik, tidak dapat dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan
diberikan oleh Tuhan di akhirat nanti.
C. Penutup
Puji Syukur Alhamdulillah yang telah memberi petunjuk, kekuatan lahir
maupun batin, sehingga skripsi ini terwujud sesuai dengan kemampuan penulis,
walaupun banyak tantangan dan kesulitan namun dengan tabah penulis berusaha
menyelesaikannya.
127
Penulis sadar dalam penulisan ini tidak terlepas dari kesalahan dan
kekurangan, oleh karena itu tegur sapa dan kritik yang konstruktif dari pembaca,
penulis terima dengan hati terbuka demi kesempurnaan penulis skripsi ini.
Penulis hanya bisa memohon kepada Allah SWT semoga usaha ini ada
berkah dan manfaatnya khususnya pada diri penulis, nusa, bangsa, dan agama.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Antara Al-Ghazali dan Kant; Filsafat Etika Islam, Bandung:
Mizan. 2002.
. Filsafat Etika Islam antara Al-Ghazali dan Immanuel Kant.
Bandung: Mizan. 2002.
. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1996.
Acton, H. B. Dasar-dasar Filsafat Moral; Elaborasi terhadap Pemikiran Etika
Immanuel Kant, Surabaya: Pustaka Eureka. 2003.
Ahmad, Abdul Jabbar bin. Syarah al-Ushūl al-Khamsah, Juz. 1. Kairo: Maktabah
Wahbah. 1965.
Aiken, Hendry D. Abad Ideologi, terj. The Age of Ideology, Penj. Sigit Djatmiko.
Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya. 2002.
Al-Halabi, Mustafa al-Babi. al-Milal wa al-Nihal, Jilid 1. Kairo: 1967.
Al-Qurtubi, Syaikh Imam. Tafsir al-Qurtubi, terj. Ahmad Khatib. editor. Mukhlis
B Mukti. Jilid. 15. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
Amin, Ahmad. Fajr Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1968
A.Natsir, Sahilun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press. 2012.
Asdi, Endang Daruni. Imperatif Kategoris dalam Filsafat Moral Immanuel Kant,
Yogyakarta: Lukman Ofset. 1997.
Baker, Anton. dan Ahmad Charis Zubair, Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius. 1990.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama I. Jakarta: Logos. 1997.
Berterns, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1995.
Busyairi, Kusmin. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah, Yogyakarta: UD. RAMA.
1985.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Surabaya: Mahkota Surabaya. edisi repisi tahun 1989.
Dister OFM, Nico Syukur. Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Hadi,Sutrisno.Metode Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. 1986.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius. 1980
Hanafi, A. Hasan. Pengantar Theologi Islam, Cet. ke-2. Jakarta: Pustaka al-
Husna. 1980.
Hanafi, Ahmad.Theologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang. 1982.
Horkheimer, Max. dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan, Yogyakarta:
IRCiSoD. 2002.
Ishak, Muslim. Sejarah dan Perkembangan Theologi Islam, Cet. Ke-1. Semarang:
Duta Grafika. 1988.
Kant, Immanuel. Critique of Practical Reason; Kritik Atas Akal Budi Praktis, terj.
Nurhadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.
Khadhiq,Uud Nur.Al-Amr Bi Al-Ma’ruf Wa Al-Nahy An Al-Munkar Menurut
Mu’tazilah dan Asy’ariyah (Studi Komparatif). Semarang: IAIN
Walisongo. 2005.
Kholiq, Abdul. “Pendekatan Penghayatan dalam Pendidikan Islam (Telaah
Aksiologi Model Etika Immanuel Kant)” dalam buku Paradigma
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.
Magnis-Suseno SJ, Franz. Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama. 1993.
Majid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1984.
Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2007.
Mudhofir, Ali. Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 1996.
Nainggolan. Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Moral Pancasila; Moral
Barat dan Moral Islam, Jakarta: Kalam Mulia. 1997.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press. 1979.
. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Cet. ke-6. Bandung:
IKAPI. 2000.
. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Cet. Ke-1.
Jakarta: UI-Press. 1987.
. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Cet. Ke-5. jakarta: UI-Press. 1986.
Nasysyar, Al-Qur’an. Nasy’ah al-Fikr al-Qur’an-Falsafi fi al-Islam, Kairo: 1966.
Nurdin, M. Amin. Afifi Fauzi Abbas, (ed), Sejarah Pemikiran Islam; Teologi Ilmu
Kalam, Jakarta: Amzah. 2012.
Praja, Juhaya S. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bandung: Yayasan Plara. 1997.
Poedjawiyatna. Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003.
Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, editor: Taufik
Adnan Amal. Bandung: Mizan. 1987.
Rahman, Jalaluddin. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an. Jakarta: Bulan
Bintang. 1992.
Rostiawati, Yustina. Etika Sosial, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1993.
Roth, John K. The Problems of The Contemporary Philosophy of Religion;
Persoalan-Persoalan Filsafat Agama, Kajian Pemikiran 9 Tokoh dalam
Sejarah dan Teologi, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2003.
Rozak, Abdul. Konsep Iman Perspektif Murji’ah dan Mu’tazilah (Studi
Komparatif). Semarang: IAIN Walisongo. 2010.
Sabiq, Sayid. Anashirul Quwwah Fil Islam. Terj. Haryono S. Yusuf. Unsur-Unsur
Dinamika dalam Islam. Jakarta: PT Intermasa. 1981.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
vol. 12. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derida.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998.
Subhi, Ahmad Mahmud. Fi’Ilm al-Kalam, Kairo: 1969.
Sudharto, Metode Penelitian Filsafat. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada. 1996.
Sukinah.Epistimologi Kritisisme Immanuel Kant dalam Perspektif Islam.
Semarang: IAIN Walisongo. 2006.
Sunarmi. Kebebasan Manusia dalam perspektif Teologi Islam. Semarang: IAIN
Walisongo. 2005.
Surakhmad, Winarto. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, dan Teknik,
Bandung: Tarsito. 1994.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2003.
Tatapangarsa, Humaidi. Kuliah Aqidah Lengkap, Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1990.
Tjacjadi, S.P. Lili. Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan
Imperatif Kategoris, Yogyakarta: Kanisius. 1991.
Zahrah, Imam Muhammad Abu Aqidah Islamiyah, terj. Imam Sayuti Farid. al-
Ikhlas. t.th.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam al-Qur’an
menurut Mu’tazilah, terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan.
Bandung: Mizan. 2003.
Zubaedi. Filsafat Barat: dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains
ala Thomas Kuhn, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.
RIWAYAT HIDUP
Nama : Shofwatun Niami
Nomer Induk Mahasiswa : 114111025
Jurusan : Aqidah Filsafat (AF)
TTL : Rembang, 19 November 1992
Alamat Asal :Ds. Sidorejo RT. 02 RW. 01 Sedan Rembang
Pendidikan Formal :
1. MI Riyadlotut Tholabah Sedan Rembang
2. MTs Riyadlotut Thalabah Sedan Rembang
3. MA Raudhotul Ulum Guyangan Pati
4. UIN Walisongo Semarang Fak. Ushuluddin dan Humaniora Jurusan
Aqidah Filsafat (AF)
Pendidikan Non Formal :
1. PONPES Raudhotul Ulum Guyangan Trangkil Pati 2008-2010
2. Kursus Bahasa Inggris di Pare Kediri 2010
Pengalaman Organisasi :
1. Devisi Bahasa Inggris UKM-ULC 2011-2012
2. Bendahara UKM-ULC 2012-2013
3. Ketua Umum UKM-ULC 2013-2014
4. Departemen Bahasa PMII Rayon Ushuluddin 2012-2013
5. Anggota HMJ Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Walisongo Semarang.
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 16 Desember 2015
Shofwatun Niami
NIM: 114111025