16
 Acara II FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI N A T A de COCO  LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh :  Nama: M. Yanesie W.  NIM: 11.70.006 2 Kelompok: D5 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2014 

Fermentasi NDC_Kloter_11.70.0062

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pada 26 Mei , 2, dan 9 Juni 2014 dilakukan praktikum Fermentasi bab Fermentasi Substrat Cair yaitu Fermentasi Nata de Coco di laboratorium Mikrobiologi Pangan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan nata de coco yaitu air kelapa, gula pasir, asam asetat glasial 95%, ammonium sulfat dan starter nata de coco. Berikut hasil pengamatan yang diperoleh.

Citation preview

FERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA de COCO

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh :Nama: M. Yanesie W.NIM: 11.70.0062Kelompok: D5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2014

1. HASIL PENGAMATAN

Pada 26 Mei , 2, dan 9 Juni 2014 dilakukan praktikum Fermentasi bab Fermentasi Substrat Cair yaitu Fermentasi Nata de Coco di laboratorium Mikrobiologi Pangan. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan nata de coco yaitu air kelapa, gula pasir, asam asetat glasial 95%, ammonium sulfat dan starter nata de coco. Berikut hasil pengamatan yang diperoleh.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan NataKelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

D12,802,72,5096,4389,29

D21,801,71,6094,4488,89

D31,801,61,4088,8977,78

D41,501,31086,6766,67

D52,502,3209280

Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa yang diamati dari lapisan nata yaitu tinggi media awal, ketebalan dan persentase lapisan. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, 7, dan 14. Tinggi media awal setiap kelompok berbeda beda yaitu kelompok D1, D2, D3, D4, D5 secara berturut-turut adalah 2,8 cm; 1,8 cm; 1,8 cm; 1,5 cm; dan 2,5 cm. Pada hari ke-0, lapisan nata belum terbentuk. Persentase lapisan nata tidak dapat dihitung karena lapisan nata belum terbentuk. Pada hari ke-7, lapisan nata kelompok dari kelompok D1 sampai D5 berturut-turut yaitu 2,7 cm; 1,7 cm; 1,6 cm; 1,3 cm; dan 2,3 cm. Persentase lapisan nata berturut-turut sebesar 96,43%; 94,44%; 88,89%; 86,67%; dan 92%. Pada hari ke-14, lapisan nata kelompok semua kelompok mengalami penurunan ketebalannya yaitu menjadi 2,5 cm; 1,6 cm; 1,4 cm; 1 cm; dan 2 cm. Persentase lapisan nata menjadi 89,29%; 88,89%; 77,78%; 66,67%; dan 80%.

Setelah pengamatan selama 14 hari, nata yang terbentuk dicuci, direndam dengan air dan dimasak. Nata yang sudah masak kemudian diuji secara sensoris. Berikut ini hasil pengamatan uji sensoris nata de coco.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensori Nata de CocoKelompokAromaWarnaTeksturRasa

D1++++++++++++

D2++++++++++++

D3++++++++++++++

D4+++++++++++++

D5++++++++++++++

Keterangan:Acara II

Aroma++++ : Tidak Asam+++: Agak Asam++: Asam+: Sangat Asam

Warna++++ : Putih+++: Putih Bening++: Putih Agak Kuning+: Kuning

Tekstur++++ : Sangat Kenyal +++ : Kenyal++: Agak Kenyal+: Tidak Kenyal

Rasa ++++ : Sangat manis +++ : manis++: Agak manis+: Tidak manisDari Tabel 2, dapat dilihat bahwa parameter yang diukur selama uji sensoris yaitu aroma, warna dan tekstur dari nata. Nata kelompok D1 sampai D6 memiliki aroma yang sama yaitu tidak asam. Untuk kelompok D2 sampai D5 memiliki warna putih sedangkan D1 memiliki warna putih bening. Untuk kelompok D1 dan D2 teksturnya kenyal, sedangkan kelompok D3 sampai D5 teksturnya agak kenyal. Untuk uji rasa kelompok D1 sampai D5 berturut-turut dihasilkan rasa agak manis, tidak manis, sangat manis, manis, dan sangat manis.

2. PEMBAHASAN

Nata de coco adalah produk pangan berbahan dasar air kelapa dari buah yang sudah tua dan beberapa jenis bahan yang mengandung gula, protein, dan mineral. Nata de coco juga merupakan seyawa selulosa ( dietary fiber ), yang dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan jasad renik ( mikrobia )( Pambayun, 2002 ). Makanan ini termasuk makanan rendah kalori sehingga sangat baik dikonsumsi untuk tujuan diet. Selain itu, makanan ini kaya akan serat yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjaga kesehatan seperti meningkatkan pencernaan dan mencegah serangan kanker usus besar (Santosa dkk., 2012).

Kelebihan air kelapa adalah harganya sangat murah, mempunyai kadar kontaminasi yang lebih kecil sebab termasuk produk alami dan bukan merupakan sisa suatu proses produksi, produk samping minimum serta terjamin kontinuitas ketersediaanya. Selain itu substrat cair seperti air kelapa dapat memberikan kondisi yang optimum dan pemakaian lebih efisien, juga tidak membutuhkan banyak tempat (Rahman, 1992). Selain itu Rahman, (1992) juga menambahkan bahwa nata de coco adalah makanan hasil fermentasi bakteri Acetobacter xylinum. Bakteri ini ditumbuhkan pada media yang mengandung gula dan akan mengubah gula menjadi selulosa. Makanan ini berbentuk padat, kokoh, kuat, putih, transparan, kenyal dengan rasa mirip kolang-kaling. Faktor-fakto yang mempengaruhi pembuatan nata de coco yaitu pH, suhu, kandungan gula dalam substrat. Selain itu, bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh dan berkembang membentuk Nata de coco (krim) karena adanya kandungan air sebanyak 91,23 %, protein 0,29 %, lemak 0,15 %, karbohidrat 7,27 %, serta abu 1,06 % di dalam air kelapa (Palungkun, 1996).

2.1. Cara kerja pembuatan Nata de CocoPertama-tama air kelapa yang akan digunakan disaring terlebih dahulu. Proses penyaringan ini dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau benda asing seperti sisa sabut karena air kelapa yang mengandung banyak kotoran akan menghasilkan nata dengan penampakan yang kurang baik (Biamenta, 2011). Kemudian air kelapa tersebut ditambakan gula pasir sebanyak 150 g dan diaduk hingga larut. Menurut Awang , (1991) gula digunakan untuk media pertumbuhan bakteri Nata (Acetobacter xylinum) dan merupakan sumber karbon pada proses fermentasi Nata de coco (Sunarso, 1982). Setelah itu ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 7,5 g sebagai salah satu sumber N (nitrogen) organik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum. Selain ammonium sulfat, sumber nitrogen dapat berupa protein maupun ekstrak yeast yang merupakan nitrogen organik atau ammonium fosfat (ZA) maupun urea yang merupakan nitrogen anorganik. Sumber nitrogen yang banyak digunakan yaitu ammonium fosfat (ZA) karena dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter acesi yang merupakan pesaing bakteri Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Tahap selanjutnya yaitu ditambahkan asam cuka glasial sampai pH 4-5. Penambahan asam cuka ini bertujuan untuk membantu mencapai pH optimum bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu antara 4-4,5. Setelah penambahan asam cuka, larutan kemudian di panaskan hingga gula larut dan disaring kembali untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih tertinggal. Hasil akhir dari proses pemasakan selanjutnya dituang kedalam beaker glass untuk memastikan pH nata sudah optimal dengan menggunakan pH meter.

Gambar 1. Gula Gambar 2. Ammonium sulfat Gambar 3. Setelah pemasakan Gambar 4. Penuangan kedalam Gambar 5. Pengecekan pH beaker glass

Cara kerja selanjutnya yaitu 5 wadah plastik bersih diambil dan 100 ml media steril dimasukkan ke dalam masing-masing wadah dan ditutup rapat. Biang nata (starter) ditambahkan sebanyak 10% dari media ke dalam masing-masing wadah plastik secara aseptis dan digojog perlahan sampai seluruh starter bercampur homogen. Penambahan starter sebanyak 10% ini sesuai dengan teori Pato & Dwiloka (1994) yaitu jumlah starter yang ditambahkan dalam pembuatan nata sekitar 4-10%. Penambahan jumlah starter yang tidak tepat akan mengakibatkan karakteristik nata yang dihasilkan tidak baik. Selain itu, Dwidjoseputro (1994) mengatakan, perlakuan aseptis dilakukan agar Acetobacter xylinum yang dibiakkan dapat berkembang sebaik mungkin dan mikroba lain yang tidak diinginkan tidak mengganggu mikroba yang akan dibiakkan. Kemudian wadah plastik tersebut ditutup dengan kertas coklat untuk menghindari kontaminasi. selain itu, untuk menyediakan oksigen yang cukup bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum meskipun oksigen yang masuk tidak kontak langsung dengan permukaan nata (Pambayun, 2002).

Gambar 6. Penambahan biang nata Gambar 7. Penutupan kertas coklat

Setelah itu dilakukan inkubasi pada suhu ruang selama 2 minggu. Hal ini sudah sesuai dengan teori Pambayun (2002) yang mengatakan bahwa Aetobacter xylinum dapat tumbuh pada suhu ruang. Di Indonesia, suhu ruang rata-rata adalah 28oC. Jika bakteri diinkubasi pada suhu diatas atau dibawah suhu tersebut, maka pertumbuhan akan terhambat. Dan jika diinkubasi pada suhu 40oC, maka bakteri ini akan mati. Selama inkubasi, wadah tidak boleh goyang agar lapisan terbentuk dan tidak terpisah-pisah. Dilakukan pengamatan terhadap nata de coco yang dihasilkan, meliputi mulai terbentuknya lapisan di permukaan cairan, ketebalan lapisan nata pada hari ke 0, 7,dan 14 (dihitung juga persentase kenaikan ketebalan). % lapisan nata dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Lapisan nata yang terbentuk akan berada di atas medium karena dalam proses fermentasinya dihasil-kan gas CO2 yang mempunyai kecenderungan melekat pada selulosa dan menyebabkan jaringan tersebut terangkat ke atas (Palungkun, 1992). Karena pada kloter D tidak dihasilkan nata, maka data yang digunakan di ambil dari kloter B. Setelah nata jadi kemudian nata dicuci dengan air mengalir dan dimasak dengan menggunakan air gula(kelompok B1 50 gram, B2 25 gram, B3 125 gram B4 75 gram, B5 100 gram). Menurut Rahman (1992), untuk menghilangkan asamnya tidak hanya dengan merendam dan mencuci nata beberapa kali tetapi juga merebusnya. Oleh karena itu, proses terakhir dalam pembuatan nata de coco yang praktikan lakukan yaitu pemasakan nata. Kemudian, nata yang telah dimasak , diuji sensori yaitu rasa, aroma, tekstur, serta warna. Hasil uji sensori juga diambil dari kloter B. Gambar 8. Proses inkubasi, nata dicuci dengan air, pemotongan, pemasakan nata + gula

2.2. HasilPembentukan lapisan nata diawali dengan pengambilan glukosa dari larutan gula atau dalam gula yang terdapat pada bahan oleh bakteri Acetobacter xylinum, dalam hal ini bahan yang dimaksud yaitu air kelapa. Kemudian glukosa tersebut digabungkan dengan asam lemak sehingga membentuk prekursor (penciri nata) pada membran sel (Rahman, 1992). Berbeda dengan teori Rahman (1992), Rahayu et al. (1993) mengatakan bahwa bakteri Acetobacter xylinum akan mengubah gula yang terkandung pada media menjadi selulosa, lalu diakumulasi secara ekstraseluler dalam bentuk folikel liat selama fermentasi berlangsung. Selulosa hasil pembentukan bakteri Acetobacter disebut dengan bacterial cellulose (BC) (Kamarudin et al., 2013)

Dari hasil yang didapat bahwa pengamatan yang dilakukan terhadap lapisan nata yaitu ketebalan dan presentase lapisan. Dari hasil pengamatan, semua kelompok pada kloter D tidak terbentuk nata. Sehingga data yang digunakan diambil dari kloter B. Penyebab tidak terbentuknya nata pada kloter D, antara lain terjadi gangguan selama fermentasi seperti adanya goncangan (Rahayu et al., 1993); faktor-faktor pembentukan nata seperti tingkat keasaman, temperatur, sumber karbon dan sumber nitrogen yang tidak mendukung (Rachman, 1989); umur kelapa (Pato & Dwiloted, 1994) serta adanya mikroba perusak yang membuat air kelapa mengalami proses pembusukan. Kontaminasi juga dapat sebagai penyebab tidak terbentuknya nata karena penambahan starter tidak dilakukan secara aseptis. Kondisi aseptis perlu diterapkan dalam pembuatan nata de coco karena penggunaan sukrosa (gula pasir) rentan terhadap kontaminasi oleh yeast (Jagannath et al., 2008).

Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa yang diamati dari lapisan nata yaitu tinggi media awal, ketebalan dan persentase lapisan. Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, 7, dan 14. Tinggi media awal setiap kelompok berbeda beda yaitu kelompok D1, D2, D3, D4, D5 secara berturut-turut adalah 2,8 cm; 1,8 cm; 1,8 cm; 1,5 cm; dan 2,5 cm. Pada hari ke-0, lapisan nata belum terbentuk. Persentase lapisan nata tidak dapat dihitung karena lapisan nata belum terbentuk. Pada hari ke-7, lapisan nata kelompok dari kelompok D1 sampai D5 berturut-turut yaitu 2,7 cm; 1,7 cm; 1,6 cm; 1,3 cm; dan 2,3 cm. Persentase lapisan nata berturut-turut sebesar 96,43%; 94,44%; 88,89%; 86,67%; dan 92%. Pada hari ke-14, lapisan nata kelompok semua kelompok mengalami penurunan ketebalannya yaitu menjadi 2,5 cm; 1,6 cm; 1,4 cm; 1 cm; dan 2 cm. Persentase lapisan nata menjadi 89,29%; 88,89%; 77,78%; 66,67%; dan 80%.

Tinggi awal dari setiap kelompok berbeda-beda, hal ini dikarenakan wadah plastik yang digunakan juga berbeda-beda. Lapuz et al (1967) mengatakan bahwa waktu inkubasi yang lama akan mempengaruhi ketebalan nata. Semakin lama waktu inkubasi, lapisan yang terbentuk semakin tebal. Namun dari teori yang ada, tidak sesuai dengan hasil pengamatan karena pada hasil pengamatan peningkatan ketebalan nata hanya terjadi dari hari ke 0 sampai hari ke 7, namun dari hari ke 7 hingga hari ke 14, mengalami penurun ketebalan nata. Dengan adanya penurunan ketebalan nata maka mempengaruhi %lapisan nata yang mengalami penurunan juga. Penurunan ketebalan dan % lapisan nata disebabkan adanya kontaminasi saat proses fermentasi, kurang aseptisnya saat perlakuan penambahan starter, dan gula yang tidak tercampur dengan rata sehingga hasil nata kurang maksimal (Pambayun, 2002). Dari data kelompok D4 dapat juga dilihat memiliki tinggi ketebalan nata dan % lapisan nata yang paling kecil. Hal ini dikarenakan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Aktivitasnya menjadi optimum jika kehadiran mikroba perusak dapat dihindari karena mikroba perusak dapat mengurangi konsentrasi glukosa dan mengakibatkan nata yang dihasilkan menjadi kurang maksimal atau bahkan tidak dapat terbentuk (Tranggono & Sutardi, 1990). Dina (2009) menambahkan, waktu fermentasi mempengaruhi lapisan nata. Waktu fermentasi yang terlalu lama menyebabkan lapisan nata tebal sedangkan waktu fermentasi yang terlalu cepat menyebabkan lapisan nata tipis sehingga serat yang dihasilkan sedikit.

2.3. Uji SensoriUntuk uji sensori, data yang dipakai yaitu data kloter B karena nata kloter D tidak terbetuk sempurna. Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa parameter yang diukur selama uji sensoris yaitu aroma, warna dan tekstur dari nata. Nata kelompok D1 sampai D6 memiliki aroma yang sama yaitu tidak asam. Untuk kelompok D2 sampai D5 memiliki warna putih sedangkan D1 memiliki warna putih bening. Untuk kelompok D1 dan D2 teksturnya kenyal, sedangkan kelompok D3 sampai D5 teksturnya agak kenyal. Untuk uji rasa kelompok D1 sampai D5 berturut-turut dihasilkan rasa agak manis, tidak manis, sangat manis, manis, dan sangat manis.

Warna putih pada kelompok D2 sampai D5 berasal dari warna air kelapa yang bercampur dengan biakan Acetobacter xylinum dan sedikit dari air kelapa telah mengalami fermentasi, selain itu juga karena gula dan urea yang larut dalam cairan (Astawan & Astawan, 1991). Seharusnya berdasarkan teori Rahman (1992), nata de coco berwarna putih transparan. Namun hanya kelompok D1 yang sesuai dengan teori. Hal ini mungkin dikarenakan penambahan larutan yang terlalu banyak.

Pada hasil uji aroma, setiap kelompok memiliki aroma yang sama yaitu tidak asam, hal ini sudah sesuai dengan teori menurut Rahman (1992), aroma nata dipengaruhi oleh proses pencucian dan perendaman nata. Jika nata sering dicuci dan air rendaman nata sering diganti maka asam yang terbuang akan semakin banyak. Dengan tidak asamnya nata, berarti proses pencucian dan perendaman nata dilakukan dengan benar. Namun jika pencucian dan perendaman tidak benar, aroma asam masih dapat tertinggal. Aroma asam merupakan hasil oksidasi gula oleh bakteri Acetobacter xylinum yang diubah menjadi asam asetat. Bakteri Acetobacter xylinum ini dapat juga mengoksidasi berbagai jenis alkohol lain menjadi asam asetat (Halib et al., 2012).

Menurut Herman (1979), tekstur kekenyalan nata dipengaruhi oleh banyak sedikitnya serat (selulosa). Semakin tinggi konsentrasi dan murni suatu kultur, nata yang dihasilkan akan lebih padat. Dari hasil pengamatan, sudah sesuai dengan teori yang ada bahwa pada kelompok D1 yang memiliki ketebalan nata paling besar, didapatkan tekstur yang sangat kenyal sedangkan untuk kelompok D4 dengan ketebalan nata paling kecil, didapat tekstur yang agak kenyal. sedangkan untuk hasil pengamatan rasa, rasa yang didapat tiap kelompok berbeda-beda hal ini tergantung dari penambahan gula yang dilakukan. Jika penambahan gula lebih banyak, makan akan lebih manis. 3. KESIMPULAN

nata de coco adalah makanan hasil fermentasi bakteri Acetobacter xylinum Air kelapa dapat memberikan kondisi yang optimum dan pemakaian lebih efisien, juga tidak membutuhkan banyak tempat. Bakteri A. xylinum dapat tumbuh pada suhu ruang. Terbentuknya lapisan dipermukaan cairan karena gelembung-gelembung gas CO2 yang dihasilkan selama fermentasi mempunyai kecenderungan melekat pada selulosa sehingga menyebakan jaringan terangkat terangkat ke cairan. Penambahan gula bertujuan sebagai sumber C ( karbon ) organik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa. Penambahan urea bertujuan sebagai sumber N ( nitrogen ) organik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa. Agar dapat terbentuk nata dengan baik, selama fermentasi tidak boleh terjadi goncangan apapun. Pembentukan nata membutuhkan lingkungan yang optimum dan nutrisi yang tersedia. Penyebab tidak terbentuknya nata karena terjadi gangguan selama fermentasi, faktor-faktor pembentukan nata yang tidak mendukung, umur kelapa, dan adanya mikroba perusak. Ketebalan lapisan nata dipengaruhi oleh waktu dan suhu fermentasi, tingkat keaseptisan dan fluktuasi populasi inokulum selama proses fermentasi. Kekenyalan nata dipengaruhi oleh banyak sedikitnya selulosa. Aroma yang sesuai untuk nata adalah tidak asam terkait dengan waktu fermentasi. Penambahan gula yang semakin banyak akan menghasilkan nata yang berwarna putih. Penurunan ketebalan nata disebabkan adanya kontaminasi saat proses fermentasi, kurang aseptisnya saat perlakuan penambahan starter, dan gula yang tidak tercampur dengan rata sehingga hasil nata kurang maksimal.

Semarang, 17 Juni 2014Praktikan Asisten Dosen,

Merliem Yanesie W. Chrysentia Archinitta L. M.

4. DAFTAR PUSTAKA

Awang, S.A. (1991). Kelapa : kajian sosial-ekonomi. Aditya media. Yogyakarta.

Biamenta, E. (2010). Karakterisasi dan Analisa Kadar Nutrisi Edible Film dari Nata De Coco dengan Penambahan Pati, Gliserin dan Kitosan Sebagai Bahan Pengemas Makanan. Skripsi. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Dina, R. (2009). Pemanfaatan Buah Tomat sebagai Bahan Baku Pembuatan Nata de Tomato. Seminar Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro Semarang

Dwidjoseputro, D. (1994). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan.

Halib, N.; M. C. I. M. Amin & I. Ahmad. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana 41(2)(2012): 205211.

Jagannath, A.; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju & A. S. Bawa. (2008). The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on The Production of Bacterial Cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:25932599.

Kamarudin, S.; M. Sahaid, K.; M. Sobri, T.; W. Mohtar, W. Y.; D. Radiah, A. B. & Norhasliza, H. (2013). Different Media Formulation on Biocellulose Production by Acetobacter xylinum (0416). Pertanika J. Sci. & Technol. 21 (1): 29 - 36 (2013).

Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. (1967). The Nata Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science Vol 96.

Palungkun, R . ( 1992 ) . Aneka Produk Olahan Kelapa . Penebar Swadaya . Jakarta.

Palungkun, R. ( 1996 ). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. ( 2002 ). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. & Dwiloted, B. (1994). Proses & Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A) : 70 77.

Rachman, A. (1989). Pengantar Teknologi Fermentasi. PAU IPB. Bogor.

Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A (1992). Teknologi Fermentasi I, Penerbit Arcan, Jakarta.

Santosa, B.; K. Ahmadi & D. Taeque. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1, Mar 2012,6-11. ISSN : 2252-5297.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.

Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

5. LAMPIRAN

5.1. PerhitunganRumus:

Kelompok D1Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

Kelompok D2Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

Kelompok D3Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

Kelompok D4Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

Kelompok D5Hari ke 0

Hari ke 7

Hari ke 14

5.2. Laporan Sementara

5.3. Jurnal (abstrak)