28
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Argumen yang menyebutkan, bahwa induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah filsafat adalah merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, atau munculnya ilmu tertentu berasal dari filsafat tertentu, misalnya filsafat ekonomi melahirkan ilmu ekonomi, filsafat hukum melahirkan ilmu hukum, dan seterusnya. Meskipun pernyataan ini terkesan mudah untuk diterima, akan tetapi dalam kenyataannya masih menyimpan berbagai persoalan lain yang tak kalah rumit, yakni adanya pernyataan tentang mana yang lahir lebih dahulu antara ilmu dengan filsafat? Bukankah dapat disaksikan sejumlah filsafat yang muncul belakangan setelah ilmu, seperti halnya juga disaksikan munculnya ilmu setelah ada kontemplasi falsafi (filsafat)? Disebabkan sukarnya memberikan jawaban terhadap persoalan ini, maka seringkali terjadi tumpang tindih antara ilmu tertentu dengan filsafat tertentu. Padahal untuk keperluan pengembangan pemikiran, pemisahan antara ilmu dan filsafat secara metodologis adalah sangat penting. Bila merujuk pada sejarah pemikiran Barat, seperti disebutkan Scheltens, “filsafat merupakan bentuk tertua dari pemikiran 1

filsafat hukum.docx

  • Upload
    dibyoyo

  • View
    13

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sdv hdsvhj vdh hdsvh hsdvhv dhsv hvhsdhhchsvhcsvc fcewghcvgewvcg casgfcgsacf fascgfcgasfcas ggsagsgs sgsachgcsagfcgsafcgsafcsgafchghcas chfsagh cfsagfcgh ascf hgsafcgas fscagfcghsafcghf

Citation preview

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Argumen yang menyebutkan, bahwa induk dari segala macam ilmu pengetahuan adalah filsafat adalah merupakan argumen yang hampir diterima oleh semua kalangan. Hal ini terbukti dengan adanya hubungan yang erat antara ilmu pengetahuan tertentu dengan filsafat tertentu, atau munculnya ilmu tertentu berasal dari filsafat tertentu, misalnya filsafat ekonomi melahirkan ilmu ekonomi, filsafat hukum melahirkan ilmu hukum, dan seterusnya. Meskipun pernyataan ini

terkesan mudah untuk diterima, akan tetapi dalam kenyataannya masih menyimpan berbagai persoalan lain yang tak kalah rumit, yakni adanya pernyataan tentang mana yang lahir lebih dahulu antara ilmu dengan filsafat? Bukankah dapat disaksikan sejumlah filsafat yang muncul belakangan setelah ilmu, seperti halnya juga disaksikan munculnya ilmu setelah ada kontemplasi falsafi (filsafat)? Disebabkan sukarnya memberikan jawaban terhadap persoalan ini, maka seringkali terjadi tumpang tindih antara ilmu tertentu dengan filsafat tertentu. Padahal untuk keperluan pengembangan pemikiran, pemisahan antara ilmu dan filsafat secara metodologis adalah sangat penting. Bila merujuk pada sejarah pemikiran Barat, seperti disebutkan Scheltens, filsafat merupakan bentuk tertua dari pemikiran rasional yang bersifat pengertian dan dapat mempertanggungjawabkan diri sendiri. Boleh dikatakan meliputi seluruh daerah pemikiran manusia, yang merupakan keseluruhan yang hampir-hampir tidak dapat dibedakan. Dalam perkembangannya, berbagai pengetahuan menyadari obyek dan metodenya sendiri, bahkan mengabsolutkan diri, yang lambat laun memisahkan diri dari filsafat. Lebih lanjut Scheltens menyebutkan, bahwa para ilmuwan berpatah arang dengan filsafat, karena mereka menganggap filsafat sama sekali tidak diperlukan, tidak bermanfaat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terpukau oleh keberhasilan metodenya sendiri dan karena kejelasan serta ketetapan lapangan telaah sendiri, orang lalu menghapus filsafat, dengan keyakinan bahwa mulai sekarang hasil-hasil berbagai ilmu pengetahuan pasti dapat menggantikan dan mengabaikan filsafat. Kecenderungan para Pemikir Barat untuk melepaskan diri dari filsafat tersebut memperoleh dukungan dari gagasan tiga tahap Auguste Comte. Menurutnya sejarah pemikiran manusia berevolusi dalam tiga tahap, yakni:

1) Tahap teologis (mistis) dimana manusia memecahkan berbagai persoalan dengan meminta bantuan pada dunia Tuhan atau dewa-dewa, yang tidak terjangkau oleh panca indera.

2) Tahap falsafi dimana pada tahap ini hakikat benda-benda merupakan keterangan terakhir dari semua, dan

3) Tahap positivis, tahap dimana dunia fakta yang dapat diamati dengan panca indera merupakan satu-satunya obyek pengetahuan manusia.

Pada tahap terakhir inilah dunia Tuhan dan dunia filsafat telah ditinggalkan.

Hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat istiadat dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini, terdapat hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.

Teaching order finding disorder, mempelajari keteraturan (hukum) akan menemukan sebuah ketidakteraturan. Mungkin inilah istilah yang tepat untuk menggambarkan bahwa hukum di negeri ini memang kacau. Berbagai masalah dalam dunia hukum seperti mafia peradilan, korupsi, kesewenang-wenangan, dan suap seolah menjadi hal yang biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kita tidak berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundang-undangan.

Paradigma positivisme hukum memang menjadi pegangan setiap ahli hukum (sarjana). Hal ini tentunya tidak dapat dipersalahkan begitu saja sebab paradigma positivisme memang merupakan paradigma pemikiran hukum yang mendominasi. Positivisme lahir dalam sistem hukum eropa kontinental. Bermula dari pemikiran ahli ilmu sosial prancis Henri Saint Simon dan Auguste Comte. Positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan pemikiran metafisis yang abstrak. Setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah norma yang konkrit dan nyata.

Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, untuk itu dalam menegakkan keadilan kepastian hukum memiliki peranan yang sangat urgen. Didalam aliran positivismekepastian hukum merupakan tujuan utama, sedangkan keadilan dan ketertiban menjadi hal yang dinomor dua kan. Diskursus antara kepastian hukum dan keadilan telah lama mengemuka, dengan aliran positivime tersebut hukum seolah-olah terpisah dari nilai-nilai keadilan yang ada ditengah masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah renovasi baru terhadap hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat tanpa menghilangkan kepastian hukum. Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.

Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkaniusyang telah mengalami positivisasi sebagailegeataulex,guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan.

Soetandyo memaparkan lebih lanjut bahwa apapun klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum kausalitas dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa, namun kenyataannya menunjukkan bahwa kausalitas dalam kehidupan manusia itu bukanlah kausalitas yang berkeniscayaan tinggi sebagaimana yang bisa diamati dalam realitas-realitas alam kodrat yang mengkaji prilaku benda-benda anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas itu dihukumkan atau dipositifipkan sebagai norma dan tidak pernah dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi.

Terkait dengan kondisi di Indonesia maka persoalannya tidak bisa terlepas dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum, sehingga dapat dipahami bila saat ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum di antara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apayang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Para aparat penegak hukum terperangkap kedalam pola pikir postivisme sehingga menganggap hukum sebatas undang-undang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka makalah ini bermaksud untuk menjawab permasalahan

1. Bagaimana aliran positivisme hukum dapat dikategorikan aliran filsatat dalam hukum?

2. Bagaimana filosofi pemikiran positivisme hukum?

3. Bagaimana perkembangan positivisme hukum di Indonesia?

4. Bagaimana penyelesaian kasus hukum dengan pendekatan aliran positivisme hukum?

II. PEMBAHASAN

A. liran Positivisme Dalam Filsafat Hukum

Ketika kaum positivisme tersebut mengamati hukum sebagai obyek kajian, ia menganggap hukum hanya sebagai gejala sosial. Kaum positivisme pada umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivisme hukum hanya mengenal satu jenis hukum, yakni hukum positif. Positivisme hukum selanjutnya memunculkan analytical legal positivism, analytical jurisprudence, pragmatic positivism, dan Kelsens pure theory of law. Oleh aliran positivis hukum hanya dikaji dari aspek lahiriahnya, apa yang muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma-norma seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi aturan-aturan hukum tersebut, maka nilai-nilai ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Sebenarnya positivisme hukum juga mengakui hukum di luar undang - undang, akan tetapi dengan syarat: hukum tersebut ditunjuk atau dikukuhkan oleh undang-undang. Di samping itu, pada dasarnya kaum positivisme hukum tidak memisahkan antara hukum yang ada atau berlaku (positif) dengan hukum yang seharusnya ada, yang berisi norma-norma ideal, akan tetapi kaum positivis menganggap, bahwa kedua hal tersebut harus dipisahkan dalam bidang-bidang yang berbeda.

Oleh karena mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran, kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum, maka positvisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being).

b. Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen).

c. Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang - undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.

d. Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas.

e. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.

Dari keterangan di atas berikut prinsip-prinsip yang dijadikan pegangan kaum positivisme hukum, maka terlihat dengan jelas, bahwa aliran positivisme mempunyai pengaruh terhadap filsafat hukum, yang berwujud dengan nama positivisme hukum. Sebelum positivism hukum terlebih dahulu ada aliran pemikiran dalam ilmu hukum yaitu legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang tertulis. Satu- satunya sumber hukum adalah undang-undang. Aliran legisme, menganggap undang-undang sebagai barang keramat, dan mendorong para penguasa untuk memperbanyak undang-undang sampai seluruh kehidupan diatur secara yuridis. Mereka berpikir, bila terdapat peraturan-peraturan yang baik, hidup bersama akan berlangsung dengan baik.

Menurut Budiono, meskipun perkembangan awal positivisme ini terjadi di Perancis, dengan tokoh utama Saint-Simon, akan tetapi para pemikir hukum Jermanlah yang menaruh perhatian terhadap kegunaan dari positivisme hukum di Jerman. Ia menempatkan diri berhadapan dengan mazhab historis von Savigny, dan ia dengan tegas mengatakan bahwa negara adalah satu-satunya sumber hukum, di luar negara tidak terdapat hukum. Lebih lanjut Jhering memperkenalkan konsep Begriffsjurisprudenz (yurisprudensi pengertian) menuju konsep interessenjurisprudenz (yurisprudensi kepentingan). Konsep ini memandang berbagai kepentingan hidup manusia sebagai faktor-faktor yang menjadi penyebab dari terjadinya hukum.

Aliran positivisme dan legisme, yang mengedepankan undang- undang tertulis, mendapat dukungan kuat di wilayah hukum kontinental, yang memiliki kecenderungan akan adanya kodifikasi hukum. Semangat kodifikasi ini sebenarnya diilhami pula oleh hukum Romawi. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja adalah membuat peraturan melalui dekrit, yang dari berbagai dekrit ini dijadikan rujukan oleh para administrasi negara dalam menjalankan dan memutus berbagai perkara.

Meskipun kaum positivis hukum dengan tegas memisahkan hukum yang ada dengan hukum yang seharusnya ada, pemisahan antara wilayah kontemplatif dan wilayah empiris, akan tetapi dalam kerangka pemikiran hukum aliran positivis tetap dikategorikan sebagai aliran filsafat dalam hukum, dengan metode mereka sendiri yang khas dan dipengaruhi oleh cara berpikir empirisme.

Hukum dan peraturan perundang-undangan pada dasarnya hanyalah merupakan sarana atau lambang yang secara intrinsik dan ideal mengandung kebenaran dan keadilan. Namun menerjemahkan idealitas hukum dalam bahasa masyarakat ternyata tidak mudah. Tidak sedikit orang memandang hukum an sich, sebagai realitas obyektif tanpa makna, bahkan ada sarjana yang menggagas teori hukum murni, dan menganggap hukum steril dari elemen-elemen non-yuridis seperti etika, moral, agama, dan lain-lain.

Dalam kaitan ini dapatlah dikatakan, bahwa menganggap hukum itu bebas dari unsur-unsur non-hukum adalah khayalan belaka. Friedman menunjukkan bahwa agama mempengaruhi pandangan filsafat dan pandangan politik dari ajaran skolastik, prinsip-prinsip etika mempengaruhi filsafat hukum Kant, ekonomi mendasari filsafat hukum Marxisme, sedangkan ilmu pengetahuan empiris memberikan inspirasi terhadap pendekatan fungsional gerakan realis. Selain itu, jauh sebelumnya, Hegel juga pernah menyebutkan, bahwa hukum merupakan pencerminan dari ruh (moralitas). Secara ideal, setiap jenis peraturan perundangan-undangan harus memuat aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis. Aspek yuridis antara lain, berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

1) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.

2) Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau sederajat.

3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu.

4) Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.

Aspek sosiologis berkaitan dengan ajaran Sociological jurisprudence, yang menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hukum atau undang-undang akan memiliki legitimasi sosial, ketika hukum tersebut sesuai dan dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan, selain itu terdapat kesesuaian antara keinginan atau kebutuhan masyarakat dengan kehendak pembentuk undang-undang. Sedangkan aspek filosofis, berkaitan dengan isi dari undang-undang tersebut ialah yang memuat nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

B. Filosofi Pemikiran Positivisme Hukum

Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu). Dalam defenisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif falam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan materialisme. Oleh Bernard Sidharta dikatakan, penjelasan seperti itu mengacu pada teori hukum kehendak (the will theors of law) dari Jhon Austin dan teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret . masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan acuannya adalah norma-norma hukum.

Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat dimaknai sebagai berikut:

a. Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku saat ini.

b. Sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrument didalam sebuah negara.

Menurut Lili Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime hukum adalah:

a. suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dalam instansi yang berwenang.

b. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk fromalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.

c. Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.

Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:

a. hukum adalah perintah

b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian kritis.

c. keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.

d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian

e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.

Salah seorang pengikut positivisme Hukum john Austin, seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan ajaran analytical Jurisprudence menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya lansung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu negara, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun jelas dirasakan tidak adil.

Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.

Austin juga menegaskan bahwa hukum dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk, tetapi lebih disarkan kepada kekuasaan dari kekuatan penguasa. Austin membagi hukum kedalam dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan, dan hukum yang dibuat oleh manusia. Kemudian hukum yang dibuat oleh manusia tersebut dibedakan lagi antara hukum yang sebenarnya dan hukum tidak sebenarnya.

Hukum yang sebenarnya terdiri atas hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur yaitu: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya ialah bukan hukum yang merupakan hukum yang secara lansung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan ataupun badan-badan tertentu.

Menurut Thomas Aquino, hukum positif dinamakan Undang-Undang Manusia (Menschelijke Wet) adalah hukum yang ada dan berlaku. Menurutnya, Undang-undang tersebut tidak didasarkan alam, akan tetapi didasarkan akal. Undang-undang tersebut harus mengabdi kepentingan umum karena undang-undang adalah suatu peraturan tertentu dari akal yang bertujuan untuk mengabdi kepentingan umum dan berasal dari satu kekuasaan yang sebagai penguasa tertinggi harus memelihara kesejahteraan masyarakat. Hukum positif aalah sesuatu yang perlu untuk umat manusia, hukum positif kebanyakan ditaati oleh manusia dengan sukarela dengan jalan peringatan-peringatan dan tidak oleh karena paksaan oleh undang-undang.

C. Perkembangan Positivisme Hukum di Indonesia

Positivisme hukum pendekatannya tidak lagi sepenuhnya dengan kacamata sangat formal, bahkan jauh lebih maju dari pada saat digagas Austin, sehingga pandangan penegak hukum hanya menjadi corong undang undang tidaklah selalu demikian. Positivisme hukum saat ini jauh lebih maju daripada apa yang sering dilontarkan kalangan anti positivisme hukum.

Sebagaimana juga halnya di Indonesia, kritik terhadap hukum di Indonesia juga diininspirasi oleh pandangan yang menilai hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang undangan, sedangkan nlai moral dan norma di luar undang undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang undang.

Di Indonesia sendiri, hukum tumbuh dan berkembang dalam ranah positivisme, meskipun belakangan muncul desakan untuk meninggalkan teori positivisme ini karena dipandang telah gagal dalam menciptakan kehidupan hukum yang lebih baik.

Sejak terjadinya reformasi 1997, gagasan hukum progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia. Hukum progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri, hukum hadir untuk manusia.

Atas dasar pemikiran tersebut, para ahli kemudian dengan tegas melakukan pemisahan secara ketat segi normatif dengan segi perilaku dari gejala kemasyarakatan akan menyesatkan, sebab akan terjadi dikotomi antara pendekatan yuridis dengan pendekatan sosiologis terhadap hukum. Hal ini tidak perlu terjadi apabila disadari bahwa kedua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan. Jadi persoalan pokoknya bukan kembali pada segi normatif, namun bagaimana menyerasikan kedua segi tersebut sekaligus dengan sekalian pendekatn pendekatannya.

D. Penyelesaian Kasus Hukum dengan Pendekatan Aliran Positivisme Hukum (Kasus Nenek Minah)

Ada sebuah kasus hukum yang sangat menarik untuk ditelaah, yakni seorang nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari penjara karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA) adalah hal yang biasa saja.

Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao.

Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.

Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.

Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Kasus nenek Minah menurut aliran positivisme adalah sebuah perbuatan yang harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan hukum terhadap nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan.

Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.[footnoteRef:1] [1: Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta, 2009, hlm. 6]

Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:

1. hukum adalah perintah

2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian kritis.

3. keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.

4. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian

5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan[footnoteRef:2]. [2: Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, 1985, hlm. 111]

Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.

Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas. Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.

Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao, yang secara ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.

Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.

Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.

Karena melihat persoalan hukum ini melalui kacamata positivisme, maka harus melihat kembali fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia dalam menjawab persoalan ini, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir, sehingga hukum Pidana terlepas dari Ins konsistensi hukum. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya. Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan, karena hal tersebut bukan konsen dari hukum.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Positivisme yang lahir di bawah naungan empirisme merupakan salah satu aliran filsafat yang menjadikan panca indera sebagai sarana utama dalam metode pencapaian pengetahuan. Filsafat positivisme ini dalam bidang hukum melahirkan aliran filsafat positivisme hukum, yang kemudian mengambil bentuk dalam wujud analytical legal positivism, analytical jurisprudence, pragmatic, positivism, dan Kelsens pure theory of law. Positivisme hukum memisahkan secara tegas hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada, memisahkan hukum dari unsur-unsur non hukum, dan mengedepankan hukum tertulis atau undang- undang sebagai perintah dari otoritas yang sah. Karena positivism hukum ini memisahkan secara tegas dari aspek non-hukum, maka telah kehilangan hakikatnya yaitu nilai-nilai moralitas, keadilan, dan kebenaran. Oleh karena itu, melaui uraian kasus di atas menjelaskan bahwa masalah positivisme hukum di Indonesia bukanlah masalah hukum itu sendiri, melainkan berkaitan dengan perilaku yang berkembang terhadap positivisme itu sendiri

B. Saran

Pembahasan mengenai aliran pemikiran positivisme dalam studi filsafat hukum bukan merupakan pembicaraan atau perdebatan yang sifatnya sederhana akan tetapi memerlukan pembahasan dan kajian yang detail dan secara luas. Penyusunan makalah ini hanya mengutip poin-poin sederhana yang kiranya dapat mewakili meskipun tidak secara keseluruhan dari aliran pemikiran positivistime

Dari yang penulis tahu banyak terdapat pemikiran mengenai aliran hukum yang ada dan berkembang saat ini, satu sama lain memilik kekurangan dan kelebihan masing masing, menurut penulis bahwa sebenarnya tidak ada suatu teori hukum yang benar benar ideal dan mampu menjawab keseluruhan permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini apa yang dikemukakan Gustav Radbruch patut dijadikan landasan bagi setiap pemilihan akan teori hukum. Bahwa ada tiga nilai dasar hukum yaitu : keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Masing- masing nilai tersebut bisa bertentangan satu sama lain, sehingga timbulah ketegangan antara ketiganya. Hukum bisa saja pasti namun belum tentu adil. Hukum bisa saja memunculkan kegunaan tapi belum tentu adil, sebaliknya hukum bisa saja adil tapi belum tentu berkepastian.

Dari banyak persoalan yang ada dari penerapan positivism hukum di Indonesia, perlu menjadi pemikiran mendalam, apakah benar positivisme hukum di Indonesia sudah saatnya ditinggalkan dan beralih paradigma hukum baru, seperti teori hukum progresif Indonesia yang digagas Sacipto Rahardjo, atau teori hukum lainnya yang saat ini banyak berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Lili Rasjidi, 1993, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad Sidiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta.

Satjipto Raharjo, 1985, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta.

Jurnal

Johni Najwan, Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, Jurnal Law Positivism, Implication, Analytical Jurisprudenc.

Internet

Harian Tempo, Edisi Jumat 11 November 2009, http://www.tempo.co/read/news/2009/11/20/058209584/Vonis-Nenek-Minah-Dinilai-Cederai-Rasa-Keadilan, diakses pada 20 April 2015 pukul 11.35 WIB

Harian Kompas Regional, Edisi Kamis, 19 November 2009 http://regional.kompas.com/read/2009/11/19/07410723/duh....tiga.buah.kakao.menyeret.minah.ke.meja.hijau. , diakses pada 20 April 2015 pukul 11.30 WIB

11