23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara garis besar kebutuhan manusia dapat dibagi dua bagian, kebutuhan alamiah dan kebutuhan non- alamiah. Kebutuhan alamiah disebut juga dengan kebutuhan fitrah, suatu kebutuhan bagi setiap manusia dan bersifat azali. Termasuk dalam kebutuhan ini antara lain kebutuhan manusia terhadap agama, kebutuhan manusia untuk mengetahui dan menyelidiki, ingin menjadi terkenal, ingin menjadi tampan dan cantik, ingin berkeluarga berikut memiliki keturunan, dan sebagainya. Setiap manusia butuh terhadap agama, dengan demikian manusia sekaligus memiliki kecenderungan untuk selalu dekat dengan Tuhan, dengan kata lain manusia membutuhkan Tuhan. Al – Quran menjelaskan hal tersebut sebagai berikut. “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah; manusia diciptakan Allah (dengan membawa) fitrah itu (Q.S Arruum, 30 : 30)”. Sebagaimana yang kita ketahui, jauh sebelum masa sejarah, di kepulauan nusantara ini tidak seorangpun yang memperkenalkan agama kepada masyarakat. Meskipun demikian, masyarakat prasejarah telah berupaya mencari Tuhan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ketika mereka menemukan pohon besar, dan pohon tadi dapat memberi kontribusi berupa penghidupan dan perlindungan, maka pohon itu mereka jadikan Tuhan. Ketika mereka menemukan gua sebagai tempat istirahat, dan gua tersebut memberi perlindungan dari serangan binatng buas, maka gua itu mereka angkat sebagai Tuhan. Begitu seterusnya setiap mereka menemukan sesuatu yang dpat memberi rasa aman kepada mereka. Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang saat ini. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu,

Filsafat Ilmu Agama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

filsafat

Citation preview

Page 1: Filsafat Ilmu Agama

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar BelakangSecara garis besar kebutuhan manusia dapat dibagi dua bagian, kebutuhan

alamiah dan kebutuhan non- alamiah. Kebutuhan alamiah disebut juga dengan kebutuhan fitrah, suatu kebutuhan bagi setiap manusia dan bersifat azali. Termasuk dalam kebutuhan ini antara lain kebutuhan manusia terhadap agama, kebutuhan manusia untuk mengetahui dan menyelidiki, ingin menjadi terkenal, ingin menjadi tampan dan cantik, ingin berkeluarga berikut memiliki keturunan, dan sebagainya.

Setiap manusia butuh terhadap agama, dengan demikian manusia sekaligus memiliki kecenderungan untuk selalu dekat dengan Tuhan, dengan kata lain manusia membutuhkan Tuhan. Al – Quran menjelaskan hal tersebut sebagai berikut. “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah; manusia diciptakan Allah (dengan membawa) fitrah itu (Q.S Arruum, 30 : 30)”.

Sebagaimana yang kita ketahui, jauh sebelum masa sejarah, di kepulauan nusantara ini tidak seorangpun yang memperkenalkan agama kepada masyarakat. Meskipun demikian, masyarakat prasejarah telah berupaya mencari Tuhan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ketika mereka menemukan pohon besar, dan pohon tadi dapat memberi kontribusi berupa penghidupan dan perlindungan, maka pohon itu mereka jadikan Tuhan. Ketika mereka menemukan gua sebagai tempat istirahat, dan gua tersebut memberi perlindungan dari serangan binatng buas, maka gua itu mereka angkat sebagai Tuhan. Begitu seterusnya setiap mereka menemukan sesuatu yang dpat memberi rasa aman kepada mereka.

Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang saat ini. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan n dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.

Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini.

Oleh karenanya disini penulis berusaha untuk menjelaskan hubungan filsafat dan agama dalam lingkup Islam sehingga perbedaan pandangan tentang filsafat dan agama dapat diminimalisir. Dengan menjelaskan filsafat dan agama disertai karakteristiknya maka diharapakan dapat diketahui relasi antar keduanya.

Page 2: Filsafat Ilmu Agama

Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu, filsafat dan agama memiliki hubungan. Namun demikian, tidak menafikan terhadap pandangan bahwa satu sama lain merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu lebih bersifat empiris, filsafat lebih bersifat ide dan agama lebih bersifat keyakinan. Menurut Muhammad Iqbal dalam Recontruction of Religious Thought in Islam sebagaimana dikutip Asif Iqbal Khan (2002), “Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan pula moralitas yang tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama dalam bentuk yang lebih modern, letaknya lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama bergerak dari individu ke masyarakat. Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan dengan keterbatasan manusia. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni dalam Pemikiran Iqbal, 2002: 15) Menurut Asif (2002: 16), sekalipun diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer, tetapi mempunyai tujuan yang sama dengan para ilmuwan Islam pada abad pertengahan yaitu menyeimbangkan agama di satu pihak dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat utama sebagaimana tertuang dalam pendahuluan buku rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi filsafat religious Islam sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan lebih lanjut berbagai bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan optimis, “waktunya sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk suatu harmoni yang tidak saling mencurigai satu sama lain”. Untuk lebih adilnya dalam menilai hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan Endang Saifuddin Anshari (Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di samping adanya titik persamaan, juga adanya titik perbedaan dan titik singgung. Baik ilmu maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. (Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979: 169) Masih menurutnya, baik ilmu maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia (akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi secara radikal dan integral serta universal tidak merasa terikat dengan ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), sedangkan kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat bersifat nisbi (relatif), sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak dan Maha Sempurna. Baik ilmu maupun filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak

Page 3: Filsafat Ilmu Agama

percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik singgung, adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masing-masingnya, namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang dengan keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak bisa menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat dijawabnya. Sementara akal budi, mungkin dapat menjawabnya. Hemat penulis, ketiga-tiganya memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama diyakini bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan filsafat, selama difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu. Adapun agama dapat diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang dapat dipertangung jawabkan.

Page 4: Filsafat Ilmu Agama

BAB IIKerangka Teori

A. FilsafatSebagaimana pendapat umum, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang

kebijaksanaan dan prinsip-prinsip mencari kebenaran. Berfilsafat berarti berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini berasal dari Yunani, Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Filsafat sebagaimana pengertiannya semula termasuk bagian dari pengetahuan, sebab pada permulaannya (baca: zaman Yunani Kuno) filsafat identik dengan pengetahuan (baik teoretik maupun praktik). Akan tetapi lama kelamaan ilmu-ilmu khusus menemukan kekhasannya sendiri untuk kemudian memisahkan diri dari filsafat. Gerak spesialisasi ilmu-ilmu itu semakin cepat pada zaman modern, pertama ilmu-ilmu eksakta, lalu diikuti oleh ilmu-ilmu sosial seperti: ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi dan seterusnya. (Lihat Franz Magnis Suseno, 1991:18 dan Van Peursen, 1989 : 1).

Secara garis besar, Jujun S. Suriasumanteri (dalam A.M. Saifuddin et.al, 1991:14) menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori umum, yakni: (1) pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk (yang disebut juga dengan etika/ agama); (2) pengetahuan tentang indah dan yang tidakindah (yang disebut dengan estetika/ seni) dan (3) pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (yang disebut dengan logika/ilmu). Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri.

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Objek kajian filsafat meliputi objek material dan objek formal, fisik dan metafisik, termasuk Tuhan, alam dan manusia, sedangkan objek formalnya adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada (yang wujud), baik yang fisik maupun yang metafisik.

B. Ilmu (Ilmu Pengetahuan)

Berbeda dengan filsafat, ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya, dan hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan mengenai alam yang bersifat subjektif dan berusaha memberikan makna sepenuhnya mengenai objek yang diungkapkannya (Dep. P & K, tt.: 21 dan lihat Cony et al. 1988 : 45).

Page 5: Filsafat Ilmu Agama

Berbeda dengan filsafat, ilmu hanya membatasi diri pada objeknya yang empiris dan terukur dari manusia dan alam nyata (fisik). Ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam yang bersifat umum dan impersonal (lihat juga Jujun, 1990: 106-107).

Secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah jelajah yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia itu (Jujun, 1990:104-105). Sedangkan sisi lain dari pengetahuan mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh maknanya.

C. Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut (Beerling, et al., 1988:1-4). Filsafat ilmu erat kaitannya dengan epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.

Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filasafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu (Koento Wibisono,1988 : 7).

Karena pengetahuan ilmiah merupakan a higher level of knowledge dalam perangkat kita sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak dapat dipishkan dari filsafat pengetahuan. Objek bagi kedua cabang ilmu itu seringkali tumpang tindih (Koento Wibisono,1988 : 7).

D. Agama

Agama merupakan sistem kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan supra natural (Tuhan). Agama merupakan sistem peribadatan dan penyembahan (worship) terhadap Yang Mutlak dan sistem peraturan (norma) yang mengatur hubungan antarmanusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, unsur-unsur agama meliputi: kepercayaan (kredo), peribadatan (ritus) dan norma. Agama merupakan sumber pengetahuan tentang moral, penilaian mengenai yang baik dan yang buruk. Agama memberikan petunjuk tentang tujuan yang harus dicapai oleh manusia.Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sanskerta berasal dari kata a dan gama. A berati ‘tidak’ dan gama berarti 'kacau'. Jadi, kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.

Page 6: Filsafat Ilmu Agama

Pengertian agama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari rahmat dan kasih Tuhan. Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam beserta isinya. Asal dari segala sesuatu. Pengasal yang tidak berasal. Penggerak yang tidak digerakkan.Agama bisa dibedakan antara agama wahyu dan agama bukan wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada keesaan Tuhan, ada nabi yang bertugas menyampaikan ajaran kepada manusia dan ada kitab suci yang dijadikan rujukan dan tuntunan tentang baik dan buruk. Sedangkan pada agama yang bukan wahyu tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan, dan tidak ada nabi.

Page 7: Filsafat Ilmu Agama

BAB IIIPEMBAHASAN

A. Jalinan Filsafat, Agama, dan Ilmu

Sejarah umat manusia sesungguhnya tidak pernah lepas dari usaha pencarian Tuhan. Umat manusia melakukan pencarian demi pencarian Tuhan yang sebenarnya. Bagi sebagian orang, agama memang menjadi jawaban. Namun demikian, sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam, dunia telah diramaikan oleh para filsuf yang selalu terlibat dalam pembicaraan ketuhanan (teologi), bahkan dalam wacana tentang asal-usul alam semesta (ontologi) dan ilmu pengetahuan (epistemologi).

Manusia menjalani liku-liku perjalanan dalam upaya mencari Tuhan. Sebagian besar dari mereka benar-benar menemukan Tuhan. Akan tetapi, sebagian lainnya terlena dalam impian yang tak jelas ketika mencoba memaksakan diri untuk menjangkau hakekat Tuhan yang sesungguhnya. Mereka terlalu jauh mengembara di belantara metafisisme, sehingga tak sedikit yang masuk ke dalam perangkap skeptisisme, bahkan ateisme. Dalam konteks agama sikap ini tentu saja kontraproduktif, sekaligus kontraproduktif dengan semangat keagamaan yang selalu memerintahkan manusia untuk memikirkan hal-hal yang indrawi dan rasional ketika berbicara tentang eksistensi, bukan esensi Tuhan sebagai Pencipta.

Namun demikian, konstribusi filsafat dan ilmu dalam mengantarkan keimanan kepada Tuhan bukannya tidak ada. Dalam batas-batas tertentu, filsafat dan ilmu bisa mendukung berbagai bukti kebenaran eksistensi dan kekuasaan Tuhan yang telah banyak diungkap oleh agama.

1.      Titik Persamaan

Baik ilmu, filsafat, maupun agama bertujuan sekurang-kurangnya sama-sama mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri, mencari kebenaran tentang alam, termasuk tentang manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun tentang manusia ataupun tentang Tuhan, yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena di luar atau di atas jangkauannya. Agama dengan karakteristiknya sendiri pula memberikan jawaban atas segala persoalan mendasar yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, tentang manusia maupun tentang Tuhan.

2.      Titik Perbedaan

Baik ilmu maupun filsafat, keduanya merupakan hasil dari akal budi atau rasio manusia. Sedangkan agama bersumberkan dari wahyu Allah.

Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset), pengalaman (empiris), dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menulangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi

Page 8: Filsafat Ilmu Agama

secara radikal (mengakar), integral (menyeluruh) dan universal (alami atau mengalam) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Filsafat itu ialah rekaman petualangan jiwa dalam kosmos.

Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia di atas planet bumi ini.

Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimen). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat, keduanya nisbi (relatif). Sedangkan

kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena agama adalah wahyu yang diturunkan oleh yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna. Baik ilmu maupun filsafat, keduanya berangkat dari sikap sangsi atau tidak percaya. Sedangkan agama mulai dengan sikap percaya atau beriman.

3.      Titik Singgung

Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu terbatas, terutama oleh subyeknya (sang penyelidik), oleh obyeknya (baik obyek material maupun obyek formalnya) dan juga oleh metodologinya.

Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat. Jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan juga alternatif tentang suatu masalah asasi yang sama terdapat pelbagai jawaban filsafat (para filosof) sesuai dan sejalan dengan titik tolak sang ahli filsafat itu.

Agama memberi jawaban tentang banyak (pelbagai) soal asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu yang dipertanyakan, namun tidak terjawab secara bulat oleh filsafat.

Pada prinsipnya antara ilmu, filsafat, dan agama mempunyai hubungan yang erat dan saling terkait antara satu dan lainnya. Di mana ketiganya memiliki kekuatan daya gerak dan refleksi yang berasal dari manusia. Dalam diri manusia terdapat daya yang menggerakkan ilmu, filsafat, dan agama yaitu melalui akal pikir, rasa, dan keyakinan.

Akal pikiran manusia sebagai daya gerak dan berkembangnya ilmu dan filsafat. Sedangkan keyakinan menjadi daya gerak agama. Ilmu diperoleh melalui akal pikiran manusia dari pengalaman (empiris) dan indera (riset). Filsafat mendasarkan pada otoritas akal murni secara bebas, sedangkan agama mendasarkan diri pada otoritas wahyu.

Hubungan lain adalah bahwa filsafat identik dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana juga filsuf identik dengan ilmuwan. Obyek materi ilmu adalah alam dan manusia, dan

Page 9: Filsafat Ilmu Agama

obyek material filsafat adalah alam, manusia, dan Tuhan. Sedangkan obyek kajian agama adalah Tuhan.

Selain itu, masih dalam kaitan antara ilmu, filsafat, dan agama, bahwa filsafat mengkaji tentang kebijaksanaan. Manusia berusaha untuk mencari kebijaksanaan, mencari dengan cara yang ilmiah tentang kebenaran. Akan tetapi, manusia tidak akan sampai pada derajat bijaksana, karena hanya Tuhan sajalah yang bersifat bijaksana. Manusia hanya berusaha untuk mencari kebijaksanaan, mencari kebenaran, dengan cara yang ilmiah. Selain itu, segala aktivitas manusia yang berkenaan dengan pemahaman terhadap dunia secara keseluruhan dengan jiwa dan pikirannya merupakan bagian dari kajian filsafat. Filsafat identik dengan agama, sama-sama mengkaji tentang kebajikan, tentang Tuhan, baik dan buruk, dan lain-lain. Itulah sebabnya maka filsafat mempunyai hubungan yang erat dengan agama di satu sisi dan ilmu pengetahuan di sisi lain.

Hubungan yang lebih dekat lagi, dapat disaksikan bahwa hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal budi (filsafat) akan terjawab melalui wahyu atau agama. Begitu juga dengan filsafat, membahas persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, antara ilmu, filsafat, dan agama dapat saling mengisi dan saling melengkapi. Sehingga menjadi lengkaplah sudah kebutuhan manusia untuk memahami keberadaan alam, manusia, dan Tuhan.

Antara filsafat dan ilmu memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Karena akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang kebenarannya dianggap absolut, mutlak•. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih luas dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), maka filsafat menjangkau wilayah bail fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan manusia). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya yang rasional-spikulatif) membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (baca: agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci Tuhan, diyakini sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara filsafat dan ilmu dimulai dari keraguan.

Ilmu, filsafat dan agama memiliki keterkaitan dan saling menunjang bagi manusia. Keterkaitan itu terletak pada tiga potensi utama yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu akal, budi dan rasa serta keyakinan. Melalui ketiga potensi tersebut manusia akan memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya.

Page 10: Filsafat Ilmu Agama

Dalam konteks studi agama, manusia perlu menggunakan pendekatan secara utuh dan komperehensif. Ada dua pendekatan dalam studi agama secara komperehensif tersebut, yaitu: Pertama, pendekatan rasional-spikulatif. Pendekatan ini adalah pendekata filsafat (philosophical approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah eskatologis-metafisik, epistemologi, etika dan estetika; kedua, pendekatan rasional-empirik. Pendekatan ini adalah pendekatan ilmu (scientific approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia.

Agama memerintahkan manusia untuk mempelajari alam, menggali hukum-hukumnya agar manusia hidup secara alamiah sesuai dengan tujuan dan asas moral yang diridhai Tuhan. Ilmu sebagai alat harus diarahkan oleh agama, supaya memperoleh kebaikan dan kebahagiaan, sebaliknya ilmu tanpa agama, maka akan membawa bencana dan kesengsaraan. Maka benar kata Einstein, science without religion is blind, religion without science is lame.

Secara rinci Franz Magnis Suseso (1991:20) menjelaskan, bahwa filsafat membantu agama dalam empat hal: pertama, filsafat dapat menginterpretasikan teks-teks sucinya secara objektif; kedua, filsafat membantu memberikan metode-metode pemikiran bagi teologi; ketiga, filsafat membantu agama dalam menghadapi problema dan tantangan zaman, misalnya soal hubungan IPTEK dengan agama; keempat, filsafat membantu agama dalam menghadapi tantangan ideologi-ideologi baru.

B. Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan

Filsafat sering disebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan berasal dan berkembang dari filsafat. Sebelum ilmu pengetahuan lahir, filsafat telah memberikan landasannya yang kuat. Para filsuf Yunani Klasik seperti Demokritos sampai tiga serangkai guru dan murid yang sangat terkenal yakni Socrates, Plato, dan Aristoteles telah berbicara tentang atom, naluri, emosi, bilangan dan ilmu hitung (matematika), demokrasi, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, yang kemudian dikembangkan oleh fisika, biologi, kedokteran, matematika, biologi, ilmu budaya, psikologi, sosiologi, dan ilmu politik.

Lalu, setelah ilmu-ilmu pengetahuan melepaskan diri dari filsafat dan dengan tegas menyatakan kemandiriannya, bagaimana bentuk hubungan filsafat dengan ilmu pengetahuan? Bagaimana dengan kedudukan dan kegunaan filsafat selanjutnya? Kedudukan filsafat dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan dapat digambarkan sebagai berikut.

1.      Tujuan filsafat untuk memahami hakikat dari sesuatu obyek yang menjadi kajiannya tetap dipertahankan, tetapi informasi atau pengetahuan yang menunjangnya harus bisa dipertanggungjawabkan  bukan hanya secara rasional (logis), tetapi juga secara faktual (dialami langsung dalam kehidupan kita). Oleh sebab itu, filsafat

Page 11: Filsafat Ilmu Agama

(harus) mengadakan kontak dengan ilmu pengetahuan, mengambil banyak informasi atau teori-teori terbaru darinya, dan mengembangkannya secara filosofis. Inilah yang telah dilakukan misalnya oleh Bergson, Cassirer, Husserl, Foucault, dan para filsul modern serta kontemporer lainnya. Pemikiran filsafati yang dikembangkan oleh mereka sangat kaya dengan ilustrasi-ilustrasi yang berasal dari temuan-temuan ilmiah yang berkembang pada zamannya.

2.      Tujuan filsafat untuk mempersoalkan nilai dari suatu obyek tetap dipertahankan. Hal ini pun dilakukan filsafat terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya, temuan-temuan ilmiah yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan (dan juga ketuhanan), diberi kritik atau dikoreksi. Ingat misalnya, masalah kloning dan euthanasia. Filsafat memberikan evaluasi dan kritik terhadap dampak moral dan kemanusiaan  kedua masalah tersebut bagi hidup manusia.

3.      Filsafat pun melakukan kajian dan kritik terhadap persoalan-persoalan metodologi ilmu pengetahuan. Ini misalnya dilakukan dalam filsafat ilmu pengetahuan. Kritik filsafat atas cara kerja dan metodologi ilmu pengetahuan pada prinsipnya menguntungkan, karena dapat menjernihkan dan menyempurnakan ilmu pengetahuan. Kajian positivisme Auguste Comte (1798-1857), neo-positivisme (positivisme logis), falsifikasionisme Karl Popper (1902-1994), dan bahkan fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938) tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga memperkaya khazanah ilmu, khususnya ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan (humaniora). Kritik-kritik mereka terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora melahirkan paradigma-paradigma baru dalam ilmu sosial yakni yang bersifat humanistik dan kritis, di samping positivistik.

C. Hubungan Filsafat dengan Agama

Ada beberapa asumsi berkaitan dengan jalinan filsafat dengan agama. Asumsi itu didasarkan pada anggapan manusia sebagai makhluk budaya. Asumsi pertama, sebagai makhluk budaya manusia mampu berspekulasi dan berteori filsafat yang akan menentukan kebudayaannya, bahkan sampai sadar dan jujur mengakui kenyataan Tuhan dan ajaran agama.

Asumsi kedua dinyatakan oleh Dewey dengan pikiran meliorisme-nya. Maksud pemikirannya adalah: dunia ini diciptakan oleh Tuhan sebagai suatu potensi yang dapat diperbaiki, diperindah dan diperkaya, sehingga hidup dan penghidupan ini bisa lebih ditingkatkan nilai harganya untuk dihidupi dan dinikmati. Secara ringkas bisa dijelaskan hubungan agama dengan filsafat sebagai berikut:

 1) agama adalah unsur mutlak dan sumber kebudayaan, sedangkan filsafat adalah salah satu unsur kebudayaan;

2) agama adalah ciptanya Tuhan, sedangkan filsafat hasil spekulasi manusia;

3) agama adalah sumber-sumber asumsi dari filsafat dan ilmu pengetahuan (science), dengan filsafat menguji asumsi-asumsi science;

Page 12: Filsafat Ilmu Agama

4) agama mendahulukan kepercayaan daripada pemikiran, sedangkan filsafat mempercayakan sepenuhnya kekuatan daya pemikiran;

5) agama mempercayai akan adanya kebenaran dan kenyataan dogma-dogma agama, sedangkan filsafat tidak mengakui dogma-dogma sebagai kenyataan tentang kebenaran.

Dengan memperhatikan spesifikasi dan sifat-sifat di atas, tampak jelas bahwa peran agama terhadap filsafat ialah meluruskan filsafat yang spekulatif kepada kebenaran mutlak yang ada pada agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama ialah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan pemikiran yang kritis dan logis. Hal ini didukung pernyataan yang menyatakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan agama, malahan filsafat yang sejati itu adalah terkandung dalam agama (Hamzah Abbas, 1981: 29).

D. Persamaan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama

Yang paling pokok persamaan dari ketiga bagian ini adalah sama-sama bertujuan mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan melalui metode ilmiahnya berupaya untuk mencari kebenaran. Metode ilmiah yang digunakan dengan cara melakukan penyelidikan atau riset untuk membuktikan atau mencari kebenaran tersebut. Filsafat dengan caranya tersendiri berusaha menemukan hakikat sesuatu baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Sementara agama, dengan karakteristiknya tersendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi tentang alam, manusia, dan Tuhan.

E.  Perbedaan antara Ilmu, Filsafat, dan Agama

Terdapat perbedaan yang mencolok antara ketiga aspek tersebut, di mana ilmu dan filsafat bersumber dari akal budi atau rasio manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu dari Tuhan.

Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dangan cara penyelidikan (riset), pengalaman (empiri), dan percobaan (eksperimen). Filsafat menemukan kebenaran atau kebijakan dengan cara penggunaan akal budi atau rasio yang dilakukan secara mendalam, menyeluruh, dan universal. Kebenaran yang diperoleh atau ditemukan oleh filsafat adalah murni hasil pemikiran (logika) manusia, dengan cara perenungan (berpikir) yang mendalam (radikal) tentang hakikat segala sesuatu (metafisika). Sedangkan agama mengajarkan kebenaran atau memberi jawaban tentang berbagai masalah asasi melalui wahyu atau kitab suci yang berupa firman Tuhan.

Kebenaran yang diperoleh melalui ilmu pengetahuan dengan cara penyelidikan tersebut adalah kebenaran positif, yaitu kebenaran yang masih berlaku sampai dengan ditemukan kebenaran atau teori yang lebih kuat dalilnya atau alasannya. Kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif, berupa dugaan yang tidak dapat dibuktikan

Page 13: Filsafat Ilmu Agama

secara empiris, riset, dan eksperimen. Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat, keduanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut), karena ajaran agama adalah wahyu yang diturunkan oleh yang maha benar, yang maha mutlak.

Page 14: Filsafat Ilmu Agama

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat adalah sebuah kerangka berfikir yang mana mempunyai metode tersendiri tentunya berbeda dengan metode ilmu pengetahuan. Karakteristik filsafat yakni radikal, rasional, sistematis dann universeal. Filsafat merupakan bentuk refleksi terhadap segala hal yang ada dan yang mungkin ada, cakupan kajian filsafat sangatlah luas dengan objek forma atau sudut pandang yang komprehensif. Filsafat bersifat rasionalis sehingga untuk mencapai kebenaran maka para filosof menggunkan akal atau rasionya sebagai instrumen.

Sementara agama merupakan sebuah ajaran yang berdasarkan wahyu Tuhan yang tentunya memiliki otoritas kebenaran mutlak. Agama sendiri sebenarnya memerintahkan umatnya untuk mendayagunakan potensi akal. Sehingga terjadi sebuah sinergitas anatara filsafat yang merupakan represntasi dari akal dengan agama Islam yang merupakan sumber kebenaran.

Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.

Daftar Pustaka

Faridi, Drs. 2002. Agama Jalan Kedamaian. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Beerling, D.F. et. al. 1988. Filsafat Dewasa ini, terj. Hasan Amin, Jakarta: Balai Pustaka.

Cony R. Semiawan et.al. 1988. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Karya.

Harun Nasution. 1973. Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang

Jujun S. Suriasumanteri. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Magnis Suseno, Franz. 1991. Bersilsafat dari Konteks, Jakarta: Gramedia.

Peursen, Van. 1989. Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Jakarta: Gramedia.

Page 15: Filsafat Ilmu Agama

MAKALAH FILSAFAT ILMU(Makalah Relasi Filsafat, Ilmu, dan Agama )

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat IlmuProgram Studi Komunikasi Non-Reguler Tahun Akademik 2015-2016

Oleh:EDHO REGGA ARMELYACHING

D1214031

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPROGRAM STUDI S1 KOMUNIKASI NON-REGULER

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2015