40
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Dalam perkembangan kehidupan Ilmu mengalami kemajuan. Perkembangan ilmu ini dapat terwujud karena adanya aktivitas yang berupa penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan. Beberapa orang ahli filsafat Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 1

Filsafat Ilmu Dalam Pengembangan Metode Ilmiah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Teori Konsep Filsafat dalam pengembangan metode Ilmiah

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari

ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-

batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai.

Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan

sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon

ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah

fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan

diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti

metodologinya sendiri-sendiri.

Dalam perkembangan kehidupan Ilmu mengalami kemajuan. Perkembangan

ilmu ini dapat terwujud karena adanya aktivitas yang berupa penelitian yang

dilakukan oleh para ilmuwan. Beberapa orang ahli filsafat diantaranya Francis Bacon

(1561-1620) dan Karl Popper dan Thomas Kuhn telah melakukan pengamatan atas

aktivitas atau cara kerja ilmuwan tersebut. Para pengamat yang bukan ilmuwan sains

menyebut cara kerja ini sebagai metode ilmiah.

Banyak ilmuwan mengemukakan bahwa metode ilmiah yang dikemukakan

oleh Bacon dan Popper itu terlalu sederhana dan kurang memadai. Mereka

mengemukakan bahwa metode ilmiah terdiri atas serangkaian kegiatan yang berupa :

pengenalan dan perumusan masalah, pengumpulan informasi yang relevan,

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 1

perumusan hipotesis, pelaksanaan eksperimen dan publikasi atau penyebaran

informasi.

Sebagai “Home Sapiens “ manusia tidak akan pernah berhenti berpikir selama

hidupnya, terlepas dari kadar atau tingkatan masalah yang dipikirkannya. Apakah

masalah biasa (sederhana), masalah ilmiah, atau bahkan masalah filsafat.

Apakah manusia berpikir dengan menekankan kegunaannya dari pada

kebenarannya ini termasuk dalam tingkatan berpikir biasa. Apabila manusia berpikir

dengan menekankan kebenarannya dari pada kegunaanya sebagai batas pengalaman

termasuk dalam tingkatan berpikir ilmiah. Dan apabila manusia berpikir secara

komprehensif, mendasar dan spekulatif melewati batas pengalaman ini termasuk

tingkatan berfikir filsafat.

Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk mengkaji metode ilmiah ditinjau

dari filsafat ilmu. Hal ini penting sekali karena dalam makalah tersebut juga akan

dibahas tentang penemuan ilmiah secara logis dan kritis.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 2

BAB II

METODE ILMIAH DALAM TINJAUAN FILSAFAT ILMU

A. Kajian Filsafat Ilmu

Sebelum menelaah tentang peranan filsafat ilmu perlu lebih dahulu

dipahami apakah pengetahuan dan apakah ilmu itu.

Pengetahuan dapat dipilahkan menurut kegunaannya (dan kemudian diberi

nama tertentu) misalnya: pengetahuan tentang baik dan buruk (etika),

pengetahuan tentang indah dan jelek (estetika), atau pengetahuan tentang benar

dan salah (logika). Pengetahuan juga digolongkan berdasarkan darimana

pengetahuan itu diperoleh. Sebagaimana diketahui, pengetahuan dapat diperoleh

dari hasil berpikir, muncul dari perasaan hati, hasil tangkapan indera, dan bahkan

pengetahuan juga dapat diperoleh secara unik, melalui intuisi, supra-natural,

wahyu, mimpi, dan sebagainya.

Tafsir (2004) membagi pengetahuan dalam tiga kelompok: sain, filsafat

dan mistik. Ketiganya berbeda alam obyek, paradigma, metode serta kriteria yang

digunakannya. Salah satu cara mendapatkan pengetahuan (yang umum dan paling

banyak diketahui), adalah melalui pikiran atau melalui penalaran. Tentu saja,

tidak semua pengetahuan manusia merupakan hasil penalaran atau hasil berpikir.

Manusia, memang bukanlah semata-mata mahluk yang berpikir. Manusia

berkemampuan untuk berpikir, merasa, dan mengindera. Oleh karena itu sebagian

terbesar pengetahuan manusia bersumber dan merupakan hasil dari ketiga

kemampuan tersebut.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 3

Pengetahuan juga dapat diperoleh dari informasi yang diberikan oleh

orang lain kepada kita. Yang dimaksud dengan infonnasi di sini adalah wacana

yang dapat berbentuk lisan atau tulisan. Dengan demikian pembentukan

pergetahuanpun akan berbeda-beda bagi tiap individu sebagaimana dikemukakan

oleh pandangan konstruktivisme. Sesuai pandangan tersebut, kecepatan seseorang

membentuk pengetahuanpun berbeda-beda pula. Jadi meskipun informasi atau

stimulusnya sama, berbagai individu akan membentuk pengetahuan yang berbeda

dengan kecepatan yang tidak sama pula.

Suriasumantri (1981) menyatakan perlunya membedakan antara ilmu dan

pengetahuan, disarankannya untuk menggunakan terminologi pengetahuan untuk

"knowledge" dan ilmu untuk "science". Meskipun terdapat beragam tafsiran

tentang makna ilmu, namun terdapat kesamaan pokok, yaitu: ilmu merupakan

bagian dari pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai ciri-

ciri khusus baik dilihat dari untuk apa ilmu itu, apa obyek telaahannya, dan

bagaimana mendapatkannya

Untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan ilmu, dapat

dikemukakan contoh bahwa hingga abad 18 fisika masih disebut sebagai "filsafat

alam". Demikian pula yang sekarang kita kenal sebagai ilmu ekonomi, dahulu

disebut sebagai filsafat moral. Sejak pertengahan abad 19, fisika, kimia dan

biologi disebut sebagai ";Ilmu kealaman" dan bukan bagian dari filsafat alam.

Dalam perkembangan selanjutnya pada abad 20, fisika, kimia, biologi, psikologi,

serta ilmu-ilmu sosial seperti ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, sosiologi, ilmu

hukurn, dan ilmu politik telah dinyatakan sebagai "ilmu-ilmu empiris".

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 4

Dengan berjalannya waktu ilmupun berkembang menjadi lebih banyak

dan lebih luas sehingga banyak pula cabang-cabang ilmu yang lebih dalam

pembahasannya. Dengan demikian ilmu-ilmu itu lahir, berdiri sendiri sebagai

disiplin-disiplin ilmu yang terlepas dari filsafat sebagai induknya. Pada dasarnya

ilmu itu lahir dan berkembang sebagai produk dari upaya manusia untuk

memahami realitas alam serta kehidupan di dalamnya serta upaya

mengembangkan produk-produk yang telah dihasilkan oleh manusia sebelumnya.

Teknologi merupakan “buah” dari ilmu. Manusia juga menggunakan ilmu

untuk memecahkan masalahnya. Sebagai hasil dari penggunaan ilmu, berbagai

proses dan produk teknologi dihasilkan secara mengagumkan. Teknologi telah

mampu memecahkan berbagai persoalan manusia dan menjadikan kehidupan

lebih indah, lebih mudah dan lebih dapat dinikmati. Namun demikian, teknologi

juga dituduh menimbulkan berbagai permasalahan baru. Banyak bukti

menunjukkan bahwa hasil teknologi merupakan pisau bermata dua, kebahagiaan

di satu sisi dan kesengsaraan di sisi yang lain. Misalnya, kemajuan teknologi

informasi yang mewarnai abad 21 dan menjadikan dunia lebih 'kecil' dan

menjadikannya lebih transparan.

Disiplin-disiplin ilmu yang telah lepas tadi berkembang terus dengan pesat

dan banyak menghasilkan produk-produk berupa teknologi yang bermanfaat bagi

masyarakat, di samping ada pula dampak negatif yang timbul dari perkembangan

ilmu tersebut. Kita tentu masih ingat betapa dahsyatnya letusan bom, atom yang

dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki di negeri Jepang pada tahun 1945.

Akibat dari pemboman ini sebagian besar dari kedua kota itu hancur dan

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 5

penduduknyapun banyak yang meninggal. Sebagian dari mereka menderita, luka

dan cacat tubuh seumur hidupnya. Inilah sebuah contoh tragedi kemanusiaan yang

diakibatkan oleh penggunaan kemajuan ilmu tentang energi nuklir dengan produk

teknologinya.

Kisah ini menyadarkan kita tentang perlunya mempersoalkan

pengembangan ilmu pada aspek maralitas, norma etika serta spiritualitasnya.

Aspek-aspek ini tidak dapat kita temukan pada teori, hokum-hukum maupun

eksperimen yang mendasari perkembangan ilmu tertentu.

Meskipun dalam, perkembangannya filsafat telah melahirkan ilmu-ilmu

yang bersifat mandiri, tidak berarti bahwa hubungan antara ilmu dan filsafat telah

putus, karena masih ada dan perlu ada interaksi antara keduanya. Sebagai contoh

filsafat bertugas antara lain untuk membuat analisis tentang konsep-konsep dan

asumsi-asumsi ilmu dalam hal arti dan validitasnya. Selain itu filsafat juga

mengatur hasil berbagai ilmu dalam suatu pandangan hidup yang terintegrasi,

komprehensif dan konsisten. Sebaliknya sikap ilmiah yang merupakan landasan

perkembangan ilmu, dirasakan amat bermanfaat pula bagi perkembangan filsafat.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa filsafat dan ilmu saling

membutuhkan. Filsafat ilmu yang salah satu tugas pokoknya ialah menilai hasil

ilmu ditinjau dari aspek eksistensi manusia seutuhnya, merupakan jembatan

penghubung antara filsafat dan ilmu.

Filsafat Ilmu menurut Beerling (1988) adalah penyelidikan tentang ciri-

ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh

pengetahuan.Filsafat ilmu berkaitan dengan filsafat pengetahuan atau

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 6

epistemologi, yakni secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk

pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi.

M Zainudin (2006) menyatakan bahwa Cony membagi dasar pemahaman

tentang filsafat ilmu menjadi empat titik pandang: (1) filsafat ilmu adalah

perumusan yang konsisten dengan teori-teori ilmiah yang penting. Menurut

pandangan ini, adalah merupakan tugas filsuf ilmu untuk mengelaborasi implikasi

yang lebih luas dari ilmu; (2) filsafat ilmu adalah eksposisi dari presupposition

dan pre-disposition dari para ilmuwan; (3) filsafat ilmu adalah suatu disiplin ilmu

yang di dalamnya terdapat konsep dan teori tentang ilmu yang dianalisis dan

diklasifikasikan; (4) filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua, filsafat

ilmu menuntut jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut: (a) karakteristik apa

yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan lain?; (b) kondisi

yang bagaimana yang patut dituruti oleh para ilmuwan dalam penyelidikan alam?;

(c) kondisi yang bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar

menjadi benar?; dan (d) status kognitif yang bagaimana dari prinsip dan hukum

ilmiah?

Filsafat ilmu pengetahuan (theory of knowledge) di mana logika, bahasa,

matematika termasuk menjadi bagiannya lahir pada abad ke-18. (Komara, 2011).

Dalam filsafat ilmu pengetahuan diselidiki apa yang menjadi sumber

pengetahuan, seperti pengalaman (indera), akal (verstand), budi (vernunft) dan

intuisi. Diselidiki pula arti evidensi serta syarat-syarat untuk mencapai

pengetahuan ilmiah, batas validitasnya dalam menjangkau apa yang disebut

sebagai kenyataan atau kebenaran itu.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 7

Filsafat ilmu menurut Roento Wibisono (1988) sebagai kelanjutan dari

perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat.Ilmu

yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu

tentang ilmu.

Dari paparan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa pengertian

filsafat ilmu itu mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai

berikut:

1) sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah

2) sikap sitematis berpangkal pada metode ilmiah

3) sikap analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah

sikap konsisten dalam bangunan teori serta tindakan ilmiah

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan ilmu itu

tidak dapat hanya dirumuskan atau ditentukan oleh ilmu itu sendiri, tetapi perlu

dikaitkan dengan dasar budaya masyarakat atau bangsa. Hal ini disebabkan

karena pada dasarnya nilai suatu pergembangan ilmu itu perlu ditinjau sejauh

mana ilmu itu dapat menyumbangkan nilai tambah untuk kesejahteraan

masyarakat tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya mereka. Oleh karenanya

pemahaman tentang-filsafat ilmu amat diperlukan.

Untuk mengatasi kesenjangan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang

lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi

perbedaan yang muncul. Dipercaya bidang filsafat yang mampu mengatasi hal

tersebut, adalah filsafat (tentang) ilmu.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 8

Wibisono (1984) menyatakan filsafat ilmu merupakan salah satu cabang

filsafat yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu

sendiri. Sedangkan Suriasumantri (1984) mendefinisikannya sebagai bagian dari

pengetahuan filsafat yang secara khas mempelajari ilmu pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan yang menjadi kajian filsafat ilmu (terapan), adalah: hakikat

keilmuan, metode keilmuan, sarana keilmuan, dan nilai etis dalam keilmuan.

Sebagai telaahan filsafat yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakekat

ilmu, dapat dilakukan dengan mengacu pada tiga landasan pengetahuan yaitu:

1. Landasan aksiologi yang mempersoalkan peran dan fungsi ilmu. Untuk apa

pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan, bagaimana kaitan antara cara

penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral.

2. Landasan ontologi mempertanyakan obyek apa yang ditelaah ilmu, atau

hakikat apa yang dikaji.

3. Landasan epistemologi mempersoalkan bagaimana proses yang

memungkinkan didapatnya ilmu pengetahuan serta kriteria kebenaran ilmiah

yang dianutnya.

Cara mendapatkan ilmu (epistemologi) : Cara atau metoda yang khusus guna

mendapatkan ilmu disebut metode keilmuan, yang merupakan bagian dari landasan

epistemologi pengetahuan. Metode keilmuan merupakan kerangka berpikir spesifik,

yang menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif. Metode keilmuan

merupakan rentetan daur berpikir induksi, deduksi, dan penyahihan (verifikasi) yang

terus menerus tak kunjung henti. Berdasar daur tersebut, metode keilmuan juga

sering disebut sebagai metode hipotetiko- deduktif-induktif. Akibat dari kegiatan

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 9

yang spesifik tersebut, menjadikan ilmu secara hakiki berbeda dengan pengetahuan

yang lain.

Dari sekian metode yang ada untuk memperoleh kebenaran, metode ilmiah

merupakan salah satu metode yang besar sekali pengaruhnya dalam kehidupan

manusia. Metode ilmiah ini pada prinsipnya adalah hasil pengembangan dari

penerapan dua paham berpikir filosofis, yakni paham rasionalisme dan empirisme

(Suriasumantri, 1996; Beerling et al., 1997).

Empirisme vs Rasionalisme: Sebagai suatu paham atau aliran dalam filsafat,

empirisme menekankan pengalaman sebagai sumber utama untuk mendapatkan

pengetahuan. Istilah empirisme berasal dari bahasa Yunani empeiria yang berarti

coba-coba atau pengalaman. Pemikiran empirisme lahir sebagai suatu sanggahan

terhadap aliran filsafat rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber

pengetahuan. Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka

tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran

rasionalisme. Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung

tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian

dengan menggunakan logika.

Terdapat dua logika yang umum dipakai manusia dalam memecahkan

masalahnya: (a) Logika deduktif mengacu pada dunia konsep pada khasanah

pengetahuan keilmuan yang sahih atau dunia rasional, sedangkan (b) logika induktif

melandaskan dirinya pada dunia fakta-fakta atau khasanah dunia empirik.

Metode keilmuan yang merupakan gabungan antara logika deduktif dan

logika induktif, berarti pula menggabungkan rasionalisme dan empirisme dan

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 10

memungkinkan terjadinya sifat saling mengoreksi terhadap kesimpulan kebenaran

yang dihasilkan. Kelemahan penyimpulan deduksi dan induksi : Baik cara berpikir

deduktif maupun induktif keduanya mempunyai kelemahan. Kebenaran penyimpulan

deduktif tidak saja sangat tergantung pada kebenaran premis mayor dan tetapi juga

pada kebenaran dalam penarikan kesimpulannya. Sedangkan kebenaran penyimpulan

induktif juga sangat tergantung pada kebenaran hasil pengamatan empirik. Hasil

pengamatan empirik seringkali menyesatkan. Kebenaran induksi juga tergantung dari

kualitas kesimpulan yang dilakukan.

Gabungan berpikir induksi deduksi: Melihat kelemahan kedua cara berpikir

itu, dipadukan cara berpikir deduktif dan induktif, yang kemudian dikenal sebagai

metode ilmiah. Penggabungan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif

memberikan dukungan kebenaran konsep dan fakta.

Ciri khas metode keilmuan: Metode keilmuan merupakan kerangka berpikir

yang bersifat tanpa henti. Metode keilmuan merupakan rentetan daur berpikir

induksi, deduksi, dan penyahihan (verifikasi) yang terus menerus tak kunjung henti.

Berdasar daur tersebut, metode keilmuan juga sering disebut sebagai metode

hipotetiko-deduktif-induktif. Karakteristik penting metode keilmuan adalah sifat tak

pribadi (impersonal) dengan demikian kebenarannya bersifat obyektif.

Di samping itu adanya mekanisme berpikir induktif-deduktif menyebab-kan

metode keilmuan berkemam-puan untuk memperbaiki diri sendiri. Sehingga metode

ini dapat digunakan oleh setiap ilmuan atau peneliti untuk mengaji pengalaman

manusia dengan tidak dipengaruhi isi dari pengalaman yang akan dikajinya. Karena

pada hakekatnya metode ilmiah merupakan cara bekerjanya pikiran.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 11

B. Penerapan Metode Ilmiah

Pengetahuan yang benar dapat diperoleh baik melalui pendekatan non-ilmiah

maupun pendekatan ilmiah. Berbagai pendekatan non-ilmiah yang sering dipakai,

seperti: akal sehat, prasangka, intuisi, penemuan kebetulan, coba-coba, pendapat

otoritas dan lain-lain. Pendekatan ilmiah juga dipakai dalam memperoleh kebenaran.

Pendekatan ilmiah yang dilakukan melalui metode keilmuan dapat dilakukan baik

secara informal dalam kehidupan sehari-hari, maupun secara lebih formal melalui

berbagai bentuk kegiatan kegiatan kelimuan. Suhardjono, dkk (1995) menyatakan

kegiatan ilmiah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni (a) kegiatan penelitian

(research), (b) pengembangan (development), dan (c) evaluasi (evaluation).

Perbedaan dari ketiga kegiatan ilmiah tersebut dapat dilihat dari tujuan

utama, serta langkah kerja yang dilakukan, sebagaimana pada tabel

berikut ini.

Penelitian Pengembangan Evaluasi

Penelitian bertujuan untuk

memperoleh pengetahuan

(informasi) ilmiah dari hal

yang dipermasalahkan.

Informasi tersebut dapat berupa

gambaran dari keadaan

sebagaimana adanya (penelitian

deskriptif),

Atau dengan melakukan

perlakuan(treatment) guna

mengetahui akibat dari

perlakuan tersebut (penelitian

eksperimen, dan penelitian

Pengembangan (dapat

berupa perancangan,

perencanaan, rekayasa)

guna memperoleh produk

(dapat berupa rancangan,

model, alat, dll) guna

memecahkan masalah

nyata.

Evaluasi bertujuan untuk

memperoleh pengetahuan

(informasi) guna

pengambilan keputusan

terhadap hal yang

dipermasalahkan.

Informasi tersebut

umumnya merupakan hasil

analisis kesenjangnagn

antara satu keadaan (yang

diharapkan) dengan

keadaan lain (yang terjadi).

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 12

tindakan)

Metode Ilmiah Popper

Ide-ide Popper tentang metode ilmiah paling mudah dipahami jika

dibandingkan dengan metode yang mengikuti teori belajar induktif. Ada dua asas

yang mendasari teori Popper. Pertama, Penyelidikan tidak boleh di mulai dengan

usaha observasi yang tidak memihak, tetapi justru harus fokus pada satu persoalan.

Peneliti harus bertanya : Apa masalahnya ? Kedua Usaha untuk menemukan sebuah

solusi atau solusi yang terperbaiki tidak boleh merupakan usaha hati-hati untuk

berpegang pada Fakta, tetapi harus merupakan usaha untuk menggabungkan dengan

yang berani dengan kritisisme yang tajam.

Kedua asas ini berasal dari pandangan Popper tentang hakekat belajar,

terutama hakekat berfikir yang kreatif. Hal ini karena kita sebenarnya melakukan

proses belajar dengan cara menduga dan menolak untuk memecahkan persoalan cara

terbaik untuk mencapai kemajuan belajar adalah dengan memfokuskan dan

mengartikulasikan persoalan, dengan memprediksi solusi dengan cara berani dan

Imajinatif, serta dengan menilai solusi yang ditawarkan secara kritis.

Arti penting pembuktian secara empiris berasal dari asas-asas dasar ini tujuan

sains adalah menjelaskan secara benar dunia pengalaman kita, dan terhadap hasil

Observasi dan Eksperimen. Kritisisme paling kuat dari sebuah teori yang bertujuan

untuk menjelaskan sesuatu terletak dalam pertentangannya dengan apa yang kita

alami atau hasil Eksperimen kita. Karena kritisisme yang sistematis dan kuat dari

dugaan kita ini memiliki arti penting, maka para ilmuan harus selalu berusaha

meletakan teori mereka dalam sebuah bentuk yang dapat di uji.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 13

Popper (1968: 49-54) mencirikan teori metode ilmiahnya sebagai berikut : “

Teori metode selama berjalan di luar analisi logis tentang hubungan di antara

pernyataan-pernyataan ilmiah, berkaitan dengan pilihan metode… jelas, kaidah-

kaidah (Metadologis) sangatlah berbeda dari kaidah-kaidah yang biasanya disebut

“Logis”. Meskipun logika mungkin menetapkan kriteria untuk memutuskan apakah

sebuah pernyataan dapat dibuktikan, Hal ini tidak berkaitan dengan persoalan apakah

seseorang mendesakan dirinya untuk membuktikan pernyataan itu. Kaidah-kaidah

Metodologis disini dipandang sebagai konvensi. Kaidah-kaidah Metodologis

mungkin digambarkan sebagai aturan sebuah permainan sain empiris. Kaidah-kaidah

logis berbeda dari aturan logika murni baiknya aturan main catur, yang beberapa

oarang akan memandangnya sebagai bagian dari logika murni…..Hasil dari sebuah

penyelidikan tentang aturan permainan sains-yakni, aturan penemuan ilmiah mungkin

berwujud logika penemuan ilmiah (The Logic Of Scientific Discovery) ….saya akan

mencoba akan menetapkan aturan, atau norma jika anda menginginkan yang akan

menjadi pembimbing bagi ilmuwan yang tengah dalam penyelidikan atau penemuan,

didalam arti sama seperti yang di pahami disini.

Menurut Popper, pada akhirnya kita akan menilai sebuah sistem aturan

metodologis dengan mempertanyakan apakah sistem aturan itu dapat di terapkan

tanpa menimbulkan inkonsistensi, apakah sistem aturan itu akan membantu kita;

apakah kita benar-benar membutuhkannya. Tetapi setelah kita memandang aturan-

aturan metodologis sebagai petunjuk praktis yang dapat di nilai dari kegunaannya,

Maka hukum alam (termasuk alam manusia) menjadi relevan untuk di nilai mana

metode yang baik dan mana yang buruk. Misalnya, sebuah aturan yang

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 14

merekomendasikan prosedur yang mustahil secara fisik dan psikologis bukanlah

aturan yang berguna. Secara khusus merekomendasikan induksi yang hati-hati

tidaklah membantu jika kita tidak melakukan observasi murni untuk kemudian

membuat induksi dari observasi ini. Menganjurkan kombinasi antara dugaan-dugaan

yang berani dan kritisisme yang tajam akan berguna jika kita benar-benar belajar

dengan menduga dan menolak.

Popper juga mengembangkan teori pengetahuan yang mendasari sikap positif

kearah penolakan ini memiliki dua aspek. Pertama adalah pelarangan untuk

menghindari penolakan yang kedua adalah rekomendasi untuk belajar sebanyak

mungkin dari penolakan. Dengan belajar dari penolakan kita akan berusaha

mendalami permasalahan yang di tolak itu. Sebagai mana pepatah mengatakan

bahwa” Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Untuk itu belajar dari kesalahan

merupakan langkah awal menuju kebaikan.

Dalam kegiatan ilmiah Popper mengatakan langkah-langkah sebagai berikut:

“Kita harus menerima pernyataan-pernyataan dasar (hanya) selama pernyataan itu membuktikan teori-teori; selama menimbulkan pertanyaan selidik tentang teori-teori, untuk di jawab dengan menerima pernyataanpernyataan dasar. Maka, situasi rillsangat berbeda dari situasi yang di visualisasikan oleh seorang empiris naif., atau orang yang percaya pada logika induktif. Ia berpikir bahwa kita mulai dengan mengumpulkan dan menyusun pengalaman kita, dan karena itu turun ke tangga sains… tetapi jika saya di perintah untuk merekam apa yang saya alami sekarang, saya hanpir tidak dapat mengetahui bagaimana menaati aturan yang ambigu ini…. Dan meskipun aturan itu dapat di taati … aturan itu tidak pernah berarti sebagai sebuah sains. Sain membutuhkan sudut pandang dan persoalan teoritis”.

Popper mengontruksikan argumen yang menghubungkan teorinya tentang

eksperimen dengan kriteria demokrasi. Ia memulainya dengan menjelaskan bahwa

penerimaan terhadap pernyataan-pernyataan dasar bisa di lakukan sesuai dengan

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 15

aturan. Kemudian Popper menyatakan bahwa “ Arti khusus dari pernyataan-

pernyataan dasar ini adalah aturan yang mengatakan pada kita bahwa kita tidak boleh

menerima pernyataan-pernyataan dasar yang tersesat, yakni pernyataan yang tidak

terkait secara logis, tetapi kita harus menerima pernyataan-pernyataan dasar selama

mereka mampu membuktikan teori.

Popper (1968-279) menggambarkan teori sebagai “dugaan yang berani dan

sangat imajinatif” yang “secara hati-hati dan bijaksana di kontrol oleh pembuktian,

“dan ia terus berkata:

“Metode penelitian kami tidak di tujukan untuk mempertahankan (teori-teori ini) agar dapat membuktikan betapa benar pandangan kami. Sebaliknya, kami mencoba meruntuhkan. Dengan menggunakan semua senjata logis, matematis dan teknis, kami mencoba membuktikan bahwa (teori-teori kami) adalah salah – agar dapat mengemukakan (teori-teori yang lain) sebagai gantinya …. Kemajuan sains tidaklah di karenakan fakta semakin banyak pengalaman perseptual yang terkumulasi dalam perjalanan waktu ide-ide berani, antisifasi yang tidak di justifikasi, dan pikiran spekulatif. Semua ini adalah alat kami untuk menafsirkan hakekat : hanya dengan argumen, instrukmen kami, untuk memahaminya. Dan kami harus mencobanya untuk memenangkan hadiah yang layak kami peroleh ….

Dengan mencita-citakan kepastian (termasuk tingkat-tingkat kepastian atau

kemungkinan yang tidak sempurna), maka akan runtuhlah salah satu pertahanan

obskurantisme yang merintangi jalan kemajuan ilmiah, yang mengawasi keberanian

pertanyaan kami; yang merongrong kekakuan dan integritas pengujian kami.

Pandangan yang salah tentang sains akan terjatuh ke dalam keinginan untuk menjadi

benar; bukan penguasaan atas pengetahuan, kebenaran yang tak terbantahkan, yang

membuat seseorang menjadi manusia berilmu, tetapi pencarinya yang kritis akan

kebenaran yang terus menerus dan tanpa henti.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 16

Dari kutipan di atas jelas, bahwa menurut Popper inti metode ilmiah terletak

pada penyelidikan yang mengombinasikan teori-teori yang berani dengan kritisisme

tajam dari teori-teori iti. Kita tidak boleh menerima atau menolak suatu teori dengan

begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat.

Metode Ilmiah Thomas Kuhn

Kuhn adalah salah seorang filosof sains yang menekankan pentingnya sejarah

sains dalam perkembangan sains. Dengan sejarah sains, ilmuwan akan memahami

kenyataan sains dan aktivitas sains yang sesunggnya. Namun demikian, ia tidak

sependapat dengan pandangan yang mengemukakan bahwa perkembangan sains

bersifat evolusioner dalam mendekat kebenaran dalam arti perkembangan sains itu

bersifiat akumulatif. Hal ini terjadi karena bagi Kuhn perkembangan itu bersifat tidak

sinambung dan tidak dapat diperbandingkan antara satu teori dengan teori lainnya.

Sebaliknya Kuhn berpendapat bahwa perkembangan sains tersebut bersifat

revolusioner karena bagi Kuhn sejarah itu bersifat tidak sinambung dan

perkeinbangan sains ditandai dengan loinpatan-lompatan revolusi ilmiah.

Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama

keparadignia baru. Dengan perubahan paradigma ini cara pandang ilmuwan dalam

menentukan masalah, menetapkan metode dan teknik, dan penarikan kesimpulan

terhadap kenyataan alarn akan berbeda dari sebelumnya.

Revolusi Ilmiali terjadi karena adanya persepsi ilmuwan terhadap kekurangan

paradignia yang dianutnya dalam memecahkan masalah realitas alam. Semula ilmu

menggunakan paradigma tertentu yang diyakini dapat membantu memecahkan

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 17

masalah alamiah. Pada saat ini ilmuwan menjadikan paracligma tersebut sebagai

pedoman dalam melakukan aktivitas ilmiahnya. Namun clemikian dalam

perkembangannya, mereka menemukan anomali-anomali sehingga timbul krisis

kepercayaan ilmuwan terhadap validitas paradigma yang dipercaya. Karena itu, para

ilmuwan mencari paradigma baru yang dapat membantu aktivitas yang lebih

memadai dari paradigma sebelumnya. Setelah melalui kompetisi berbagai paradigma,

kemudian diperoleh satu paradigma sebagai kesepakatan ilmuwan untuk dipakai

dalarn kerja ilmialinya. Proses revolusi intelektual dan hubungannya diantara

unsur/tahap perkembangan ilmu digambarkan seabagai berikut :

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa (1) perkembangan sains

menurut Kuhn bersifat revolusioner, (2) revolusi ilmiah merupakan proses peralihan

dari paradigma lama keparadigma baru dalam diri para ilmuwan, dan (3) proses

terjadinya revolusi ilmiah bermula dari digunakannya suatu paradigma dalam masa

sains normal. Kemudian dalarn kenyataan terdapat anomali yang merupakan

kesenjangan antara paradigma yang berlaku dengan fenomena. Dengan

menumpuknya anomali kemudian timbul krisis yang mengakibatkan para ilmuwan

meninggalkan paradigma lama dan menggunakan paradigma baru yang disepakati

para ilmuwan.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 18

Paradigma I

Normal Science Anoma

li

New Normal Science

Paradigma II

Crisis Revolution

Standar dalam menilai teori-teori ilmiah

Untuk membuktikan bahwa pandangan Popper tentang metode ilmiah lebih

unggul di bandingkan metode aliran induktivis dan konvensionalis, Popper perlu

memberi solusi terhadap persoalan yang menjadi perhatian sentral kedua aliran ini :

Menunjukan cara yang lebih baik bagi teori-teori ilmiah mutahir dalam menghadapi

bukti observasi dan eksperimen di bandingkan apa yang di lakukan oleh teori-teori di

masa lalu atau teori yang berada di luar sains. Bagi Popper, sebuah teori di katakan

lebih baik jika ia mengandung pelajaran tentang pembelajaran : bahwa induksi tidak

terjadi, dan bahwa semua observasi merupakan teori yang terembisi ( Theory –

impregnated ) sehingga memiliki kemungkinan salah.

Menurut Popper bahwa teori-teori ilmiah mutahir secara prinsif dapat di

salahkan dan bertahan di hadapan observasi dan pengalaman yang berpotensi salah.

Sebaliknya teori-teori yang bertentangan telah tertolak dengan bukti. Maka, dalam

standar sains Popper, sebuah teori dapat masuk ke dalam wacana ilmiah ( yang di

pertimbangkan secara serius ) jika dapat di buktikan; akan di buang jika telah

tertolak; akan di terima sementara jika dapat lulus secara ujian. Menurut Popper, satu-

satunya faktor yang membatasi adalah bukti yang berpotensi di tolak masih mungkin

untuk di perbaiki, karena hasil dari sebuah observasi atau eksperimen bisa saja salah.

Dengan adanya potensi pengamatan yang salah, kapan dan mengapa kita harus

menerima laporan observasi dan menolak sebuah teori, bukan sebaliknya ?

Agar dapat menyediakan alternatif yang lebih baik bagi filsafat induksi dan

konvensionalis, Popper harus mengemukakan sebuah teori penerimaan laporan

observasi yang tidak akan bergantung pada induksi ataupun dogmatisme, dan tidak

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 19

terbuka terhadap tuduhan kemunduran tak terbatas yang skeptis. Popper benar-benar

telah menyediakan teori semacam itu.

Dalam pandangan Popper, menerima pernyataan dasar tidak boleh

berdasarkan paksaan, tetapi lebih merupakan keputusan bebas dari pihak komunitas

peneliti ilmiah. Secara khusus para ilmuwan mencoba untuk menemukan hasil-hasil

observasi dan eksperimen yang tidak di buktikan dengan mudah misalnya, dengan

mengulangi eksperimen. Sebagaimana di tekankan Popper, usaha untuk bersepakat

dan menganggapbenar (sementara) hasil partikuler dapat di sebut dengan konvensi.

Tetapi, konpensi semacam ini di pakai oleh ilmuwan karena konvensi ini mendorong

penemuan kebenaran ilmiah. Popper membandingkan keputusan ini dengan

keputusan juri : persetujuan juri bukan bukti kebenaran, tetapi merupakan keputusan

berdasarkan prosedur yang di rancang untuk mendorong penemuan kebenaran.

Menurut Popper (1968:104) kita perlu bersepakat menyangkut pernyataan-

pernyataan dasar : “Setiap pengujian sebuah teori, apakah menghasilkan bukti-bukti

yang menguatkan atau memalsukan, harus berhenti pada suatu pernyataan dasar yang

kita putuskan untuk di terima. Jika kita tidak sampai pada keputusan dan tidak

menerima suatu pernyataan dasar, maka pembuktian itu tidak akan membawa pada

kemajuan apapun . Tetapi jika di pertahankan dari sudut pandang logika, situasinya

tidak pernah memaksa kita untuk berhenti pada suatu pernyataan dasar, atau

meninggalkan pembuktian sama sekali kerena setiap pernyataan dasar pada gilirannya

dapat kembali di buktikan, dengan menggunakan salah satu pernyataan dasar sebagai

batu pijakannya, yang deduksi dengan bantuan suatu teori yang sedang dalam

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 20

pembuktian. Prosedur ini tidak memiliki keberakhiran alami jika pembuktian akan

mengarahkan kita pada suatu tempat dan ini berarti untuk sementara kita terpuaskan.

Cukup mudah untuk di lihat bahwa kita hanya sampai pada keadaan ini

melalui sebuah prosedur yang akan membuat kita berhenti pada suatu jenis

pernyataan yang sangat mudah di buktikan. Dengan ini, maka berarti kita berhenti

pada pernyataan menerima atau menolak berbagai penelitian yang memungkinkan

kita mencapai kesepakatan. Dan jika pernyataan-pernyataan itu tidak bisa sampai

pada kesepakatan, maka akan di teruskan dengan pembuktian, atau di ulang dari awal.

Jika ini juga tidak membawa hasil, maka kita mungkin mengatakan bahwa pernyataan

tersebut tidak dapat di buktikan secara intersubjek, atau bahwa kita sama sekali tidak

sedang menangani peristiwa-peristiwa yang sedang di amati. Jika suatu hari nanti

para pengamat ilmiah tidak bisa lagi mencapai kesepakatan tentang pernyataan dasar,

maka ini sama dengan kegagalan bahasa sebagai alat komunikasi universal.

Konsep dasar dari menerima laporan pengamatan atau pernyataan-pernyataan

dasar, akan menyesampingkan setiap asumsi bahwa para ilmuwan mengambil

kesimpulan dengan induksi. Tentu, Popper, dengan pandangannya tentang psikologi

belajar, akan mengatakan bahwa hal semacam itu tidak akan terjadi, meskipun ia

mendukung bahwa pengalaman subyektif dari ilmuwan memainkan peran dalam

pernyataan awal dan penerimaan yang perlahan-lahan terhadap sebuah laporan.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 21

BAB III

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Metode ilmiah terdiri atas serangkaian kegiatan yang berupa : pengenalan dan

perumusan masalah, pengumpulan informasi yang relevan, perumusan hipotesis,

pelaksanaan eksperimen dan publikasi atau penyebaran informasi.

Ada dua asas yang mendasari teori metode ilmiah, yaitu : Pertama,

penyelidikan harus fokus pada satu persoalan; Kedua, usaha untuk menemukan

sebuah solusi harus merupakan usaha untuk menggabungkan dugaan yang berani

dengan kritisisme yang tajam. Kedua asas ini berasal dari pandangan Popper tentang

hakeket belajar, terutama hakekat berpikir yang kreatif.

Sikap positif terhadap penolakan ini memiliki dua aspek. Pertama, adalah

pelarangan untuk menghindari penolakan yang Kedua, adalah rekomendasi untuk

belajar sebanyak mungkin dari penolakan.

Dalam kegiatan ilmiah Popper merekomendasikan langkah-langkah sebagai

berikut, yaitu : Pertama-tama kita harus fokuskan pada masalah, mengembangkan

teori alternatif untuk memecahkannya, dan baru kemudian mengembangkan

eksperimen untuk membuktikan mana teori yang lebih baik.

Sedangkan paradigma yaitu pandangan yang mendasar para ilmuwan tentang

apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajasri oleh suatu cabang

ilmu pengetahuan (discipline). Paradigma membantu para ilmuwan dalam

merumuskan apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 22

dijawabnya, bagaimana seharusnya menjawabnya, dan aturan-aturan apa yang harus

diikuti dalam menafsirkan, memberi makna atas informasi yang dikumpulkan dalam

rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama

keparadignia baru. Dengan perubahan paradigma ini cara pandang ilmuwan dalam

menentukan masalah, menetapkan metode dan teknik, dan penarikan kesimpulan

terhadap kenyataan alarn akan berbeda dari sebelumnya.

Dalam hal standar menilai teori-teori ilmiah Popper menyatakan, bahwa

sebuah teori di katakan lebih baik jika ia mengandung pelajaran tentang

pembelajaran; sebuah teori dapat masuk kedalam wacana ilmiah jika dapat di

buktikan; selanjutnya dalam menerima pernyataan dasar tidak boleh berdasarkan

paksaan, tetapi lebih merupakan keputusan bebas dari pihak komunitas peneliti

ilmiah.

B. Rekomendasi

Belajar dari kritisisme yang di kembangkan oleh Popper dan revolusi ilmiah

dari Thomas Kuhn, sikap positif terhadap penolakan dan belajar sebanyak mungkin

dari penolakan, kita selayaknya terutama yang bergerak dalam bidang penelitian,

pendidikan, dan akademisi harus siap di kritik dan juga siap mengkritik. Selain itu

belajar dari penolakan pun bukan sesuatu yang jelek, tetapi justru akan memacu kita

untuk menghasilkan yang lebih baik.

Disini kita akan di uji “ Apabila kita siap untuk berbeda pendapat “.

Perbadaan pendapat bukan sesuatu yang di haramkan, tetapi justru merupakan suatu

rahmat. Kata sebuah pepatah, benturan pendapat itu akan memercikan kebenaran,

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 23

asalkan tujuannya tidak sekedar berbeda pendapat, melainkan untuk bersama-sama

mencari kebenaran.

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 24

DAFTAR FUSTAKA

Anna Poedjiadi, 2001, Pengantar Filsafat Ilmu Bagi Pendidik, Bandung: Yayasan Cendrawasih.

George Ritzer, 2003, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Popper, R. Karl, 1961, The Logic of Scientific Discovery, New York: Science Editions. Inc.

Kumpulan Sari Kuliah Filsafat Ilmu, 2003. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

M, Arief Achmad, 2001, Revolusi Intelektual dan Dampaknya, Bandung: Makalah.

Thomas Kuhn. 1970, The Studture of Scientific Revolution. Chicago: The University of Chicago Press.

Uyoh Sadulloh, 2003, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta.

Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung: Pustaka Setia.

Beerling. 1988. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin. Jakarta: Balai Pustaka.

Kattsof, Louis. 1987. Element of Pholosophy. Terj.Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Komara, E. 2011.Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung

Suriasumantri, Jujun S. 1986. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie.2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi

Zainuddin, M. 2006. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintas Pustaka

Filsafat Ilmu sebagai Pengembangan Metode Ilmiah 25