Click here to load reader
Upload
marinecintalaut
View
199
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Yang dimaksud dengan pembunuhan anak sendiri menurut undang-undang di
Indonesia adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu atas anaknya pada
ketika dilahirkan atau tidak berapa lama setelah dilahirkan, karena takut ketahuan
bahwa ia melahirkan anak1.
Berdasarkan KUHP maka yang dapat dikenakan hukuman karena melakukan
pembunuhan anak adalah ibu dari anak itu sendiri, demikian pula dengan tindak
pidana yang dimaksudkan dalam pasal 308 dan pasal 306 ayat 22.
Dokter harus memberikan kejelasan pada penyidik di dalam hal2: apakah anak
yang dilahirkan itu cukup bulan dalam kandungan dan bukan anak yang dilahirkan
sebelum waktunya, apakah anak yang dilahirkan itu dapat hidup tanpa memerlukan
perawatan yang khusus.
SKENARIO 2
1
Sesosok mayat bayi baru lahir ditemukan di suatu tempat sampah. Masyarakat
melaporkannya kepada polisi. Mereka juga melaporkan bahwa semalam melihat
seorang perempuan yang menghentikan mobilnya di dekat sampah tersebut dan
berada di sana cukup lama. Seorang dari anggota masyarakat sempat mencatat nomor
mobil perempuan tersebut.
Polisi mengambil mayat bayi tersebut dan menyerahkannya kepada anda sebagai
dokter direktur rumah sakit. Polisi juga mengatakan bahwa sebentar lagi si perempuan
yang dicurigai sebagai pelakunya akan dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Anda
harus mengatur segalanya agar semua pemeriksaan dapat berjalan dengan baik dan
akan mem-briefing para dokter yang akan menjadi pemeriksa.
BAB 2
2
ISI
2.1 ASPEK HUKUM DAN MEDIKO LEGAL
Aspek Hukum
Pasal 341 KUHP3
Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika
dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan
bahwa ia sudah melahirkan anak, dihukum, karena makar mati terhadap anak,
dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun.
Pasal 342 KUHP
Seorang ibu yang dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang
diambilnya sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan
anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada ketika dilahirkan atau tidak lama
kemudian daripada itu, dihukum karena pembunuhan anak yang direncanakan
dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun.
Pasal 343 KUHP
Bagi orang lain yang turut campur dalam kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 341 dan 342 dianggap kejahatan itu sebagai makat mati atau
pembunuhan.
Pasal 181 KUHP
Barang siapa mengubur, menyembunyikan, mengangkut, atau menghilangkan
mayat dengan maksud hendak menyembunyikan kematian atau kelahiran
orang itu, dihukum penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya 4500 rupiah.
3
Pasal 304 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam
kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan perawatan atau
pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena
menurut perjanjian, dihukum penjara selama 2 tahun 8 bulan atau denda
sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 305 KUHP
Barang siapa menaruhkan anak yang dibawah umur 7 tahun di suatu tempat
supaya dipungut oleh orang lain, atau dengan maksud akan terbebas dari pada
pemeliharaan anak itu, meninggalkannya, dihukum penjara sebanyak-
banyaknya 5 tahun 6 bulan.
Pasal 306 KUHP
(1) Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 dan 305 itu
menyebabkan luka berat, maka di tersalah dihukum penjara selama-
lamanya 7 tahun 6 bulan
(2) Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang lain mati, si tersalah itu
dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun.
Pasal 307 KUHP
Kalau si tersalah karena kejahatan yang diterangkan dalam pasal 305 adalah
bapak atau ibu dari anak itu, maka baginya hukuman yang ditentukan dalam
pasal 305 dan 306 dapat ditambah dengan sepertiganya
Pasal 308 KUHP
Kalau ibu menaruh anaknya di suatu tempat supaya dipungut oleh orang lain
tidak lama sesudah anak itu dilahirkan oleh karena takut akan diketahui orang
ia melahirkan anak atau dengan maksud akan terbebas dari pemeliharaan anak
itu, meninggalkannya, maka hukuman maksimum yang tersebut dalam pasal
305 dan 306 dikurangi seperduanya.
Prosedur medikolegal
4
Kewajiban dokter dalam membantu peradilan tercantum dalam Pasal 133
KUHAP3:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli
lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehamikan atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat,
dilak dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.
2.1.2 Visum et Repertum
Pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum antara lain
adalah pembuatan Visum et Repertum terhadap seseorang yang dikirim polisi
(penyidik) karena diduga sebagai korban suatu tindak pidana, baik dalam peristiwa
kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja, pennganiayaan, pembunuhan, perkosaan,
maupun korban meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi, terdapat
kecurigaan akan kemungkinan adanya tindak pidana.
Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan Visum et Repertum telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah no 27 tahun 1983 yang menyatakan penyidik Polri
berpangka serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada wilayah
kepolisan tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (Sersan), maka ia adalah
penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik pembantu adalah
bintara serendah-rendahnya sersan dua. Untuk mengetahui apakah suatu surat
permintaan pemeriksaan telah ditandatangani oleh yang berwenang, maka yang
penting adalah bahwa si penandatangan menandatangani surat tersebut selaku
penyidik.1
5
Visum et Repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik
hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan
kelilmuannya dan dibawah sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis
dalam pasal 184 KUHAP. Visum et Repertum turut berperan dalam proses
pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et
Repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang
di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti
benda bukti.
Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan2.
2.1.2 Penulisan Visum Et Repertum
Visum et Repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu1:
1. Kata Pro justitia, yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan
bahwa Visum et Repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et
Repertum tidak membutuhkan materai untuk dijadikan sebagai alat bukti di
depan sidang peradilan yang mempunyai kekuatan hukum.
2. Bagian Pendahuluan. Kata “pendahuluan” sendiri tidak ditulis di dalam
Visum et Repertum, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di
bawah judul. Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat Visum et
Repertum dan institusi kesehatannya, instansi penyidik pemintanya berikut
nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan serta
identitas korban yang diperiksa.
Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, maka uraian identitas
korban adalah sesuai dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat
permintaan Visum et Repertum. Bila terdapat ketidaksesuaian identitas korban
antara surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang diperiksa,
dokter dapat meminta kejelasan dari penyidik.
3. Bagian pemberitaan. Bagian ini berjudul “Hasil Pemeriksaan” dan berisi
hasil pemeriksaan medik tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka
korban yang berkaitan dengan perkaranya, tindakan medik yang dilakukan
serta keadaannya selesai pengobatan/ perawatan.
6
Bila korban meninggal dan dilakukan autopsi, maka diuraikan keadaan seluruh
alat dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut,
Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti barang bukti, berupa
perlukaan/ keadaan kesehatan/ sebab kematian yang berkaitan dengan
perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik yang bersifat rahasia dan tidak
berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan ke dalam bagian
pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
4. Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul ‘Kesimpulan” dan berisi pendapat
dokter berdasarkan keilmuannya, mengenai jenis perlukaan/ cedera yang
ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya, serta derejat perlukaan
atau sebab kematiannya.
Pada kejahatan susila, diterangkan juga apakah telah terjadi persetubuhan dan
kapan perkiraannya, serta usia korban atau kepantasan korban untuk dikawin.
5. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku
“Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya
berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2.2 PEMERIKSAAN MEDIS
2.2.1 MAYAT BAYI
7
Untuk memenuhi kriteria pembunuhan anak sendiri, dengan sendirinya
bayi atau anak tersebut harus dilahirkan hidup setelah seluruh tubuhnya keluar
dari tubuh ibu (separate existence). Bila bayi lahir mati kemudian dilakukan
tindakan membunuh, maka hal ini bukanlah pembunuhan anak sendiri ataupun
pembunuhan. Juga tidak dipersoalkan apakah bayi yang dilahirkan merupakan
bayi yang cukup bulan atau belum cukup bulan, maupun viable atau
nonviable.
Dokter memeriksa mayat bayi, bila diminta bantuannya oleh penyidik,
diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dibawah ini1:
1. Apakah bayi tersebut dilahirkan mati atau hidup?
2. Berapakah umur bayi tersebut (intra dan ekstrauterin)?
3. Apakah bayi tersebut sudah dirawat?
4. Apakah sebab kematiannya?
2.2.1.1 Lahir mati atau lahir hidup
Pada pemeriksaan mayat bayi baru lahir, harus dibedakan apakah ia
lahir mati atau lahir hidup.
Bila bayi lahir mati maka kasus tersebut bukan merupakan kasus
pembunuhan atau penelantaran anak hingga menimbulkan kematian.
Pada kasus seperti ini, si ibu hanya dapat dikenakan tuntutan
menyembunyikan kelahiran dan kematian orang.
Lahir mati adalah kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau
dikeluarkan dari ibunya tanpa mempersoalkan usia kehamilan (baik
sebelum ataupun setelah kehamilan berumur 28 minggu dalam
kandungan). Kematian ditandai oleh janin yang tidak bernafas atau
tidak menunjukkan tanda kehidupan lain, seperti denyut jantung,
denyut nadi, denyut nadi tali pusat atau gerakan otot rangka.
Lahir hidup adalah keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi yang
lengkap, yang setelah pemisahan, bernafas atau menunjukkan tanda
kehidupan lain, tanpa mempersoalkan usia gestasi, sudah atau
belumnya tali pusat dipotong dan uri dilahirkan.
Pada pemeriksaan ditemukan dada sudah mengembang dan diafragma
sudah turun sampai sela iga 4-5, terutama pada bayi yang telah lama
hidup.
2.2.1.2. Autopsi pada mayat bayi baru lahir
8
Pada pemeriksaan mayat bayi yang baru dilahirkan, perlu pertama-
tama ditentukan apakah bayi lahir hidup atau lahir mati.
Seorang bayi dinyatakan lahir hidup apabila pada pemeriksaan
mayatnya dapat dibuktikan bahwa bayi telah bernafas.
Bayi yang telah bernafas akan memberikan ciri di bawah ini4:
a. Rongga dada yang telah mengembang
Pada pemeriksaan didapati diafragma yang letaknya rendah,
setinggi iga ke 5 atau 6.
b. Paru telah mengembang
Pada bayi yang belum bernafas, kedua paru masih menguncup dan
terletak tinggi dalam rongga dada.
Pada bayi yang telah bernafas, paru tampak mengembang dan telah
mengisi sebagian besar rongga dada. Pada permukaan paru dapat
ditemukan gambaran mozaic dan gambaran marmer.
c. Uji apung paru memberikan hasil positif
Uji apung paru dilakukan untuk membuktikan telah terdapat udara
dalam alveoli paru.
Setelah alat leher diangkat, lakukanlah pengikatan setinggi trachea.
Hindari sebanyak mungkin manipulasi terhadap jaringan paru. Alat
rongga dada kemudian dikeluarkan seluruhnya untuk selanjutnya
dimasukkan ke dalam air. Perhatikan apakah kedua paru terapung.
Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan mengapungkan paru
kanan dan kiri secara tersendiri. Lakukanlah pemisahkan lobus
paru, apungkan kembali dalam air. Selanjutnya buatlah 5 potongan
kecil (5mm x 10mm x 10mm) dari masing-masing lobus dan
apungkan kembali.
Pada paru yang telah mengalami pembusukan, potongan kecil dari
paru dapat mengapung sekalipun paru tersebut belum pernah
bernafas.
Mengapungnya potongan kecil paru yang telah mengalami
pembusukan ini disebabkan oleh pengumpulan gas pembusukan
pada jaringan interstitial paru, yang dengan menekan potongan
paru yang bersangkutan antara 2 karton, gas pembusukan tersebut
dapat didesak keluar.
9
Potongan kecil paru yang telah bernafas, terapung karena adanya
udara dalam alveoli, yang dengan penekanan antara 2 karton tidak
akan terdesak keluar.
Uji apung paru dinyatakan positif bila setelah dilakukan
pemeriksaan pengapungan, potongan paru yang telah ditekan
antara dua karton sebagian terbesar masih tetap mengapung.
d. Pemeriksaan mikroskopik memberikan gambaran paru yang telah
bernafas
Pada pemeriksaan mikroskopis akan tampak jaringan paru dengan
alveoli yang telah terbuka dengan dinding alveoli yang tipis.
Pada pemeriksaan bayi baru lahir, perlu pula dilakukan pemeriksaan
teliti terhadap kepala, mengingat kepala bayi yang dapat mengalami
moulage pada saat kelahiran, mungkin dapat menimbulkan cedera pada
sinus di kepala. Untuk meneliti hal ini, kepala bayi harus dibuka
dengan tehnik khusus yang menghindari terpotongnya sinus tersebut
sehingga dapat dinilai dengan sebaik-baiknya.
Kulit kepala dibuka dan dikupas seperti pada mayat dewasa. Tulang
tengkorak bayi baru lahir masih lunak sehingga pembukaan tengkorak
dapat dilakukan dengan gunting.
Dengan menarik bagian otak besar ke arah lateral, sinus sagitalis
superior, falx serebri, dan sinus sagitalis inferior dapat dieriksa akan
adanya robekan, resapan darah, maupun perdarahan. Dengan menarik
baga occipitalis ke arah kranio lateral, tentorium cerebelli serta sinus
lateralis, sinus occipitalis dapat diperiksa.
Otak bayi kemudian dikeluarkan dengan cara seperti pada mayat
dewasa atau dikeluarkan terpisah, baga kanan dan kiri.
Jaringan otak bayi baru lahir biasanya lebih lunak dari jaringan otak
dewasa. Untuk dapat melakukan pengirisan dengan baik, kadang perlu
dilakukan fiksasi dengan formalin 10% baik dengan merendam otak
tersebut atau melakukan penyuntikan imbibisi.
Untuk menentukan usia dalam kandungan (gestational age) mayat
bayi, dapat dilakukan pemeriksaan terhadap pusat penulangan.
Pusat penulangan pada distal femur dan proksimal tibia
10
Buat irisan melintang pada kulit daerah lutut sampai tempurung lutut.
Dengan guntung ligamentum patellae dipotong dan patella
disingkirkan. Dengan pisau, lakukan pengirisan distal femur atau
proksimal tibia mulai dari ujung, lapis demi lapis ke arah metafisis.
Pusat penulangan akan tampak sebagai bercak berwarna merah
homogen dengan diameter lebih dari 5mm di daerah epifisis tulang.
Pemeriksaa pusat penulangan pada tallus dan calcaneus
Untuk mencapai tallus dan calcaneus, telapak kaki bayi dipotong mulai
tumir ke arah deoan sampai sela jari ke 3 dan 4. dengan melebarkan
potongan pada kulit, tallus dan calcaneus dapat dipotong longitudinal
untuk memeriksa adanya pusat penulangan4.
2.2.1.3 Autopsi pada kasus pembunuhan anak
Pembunuhan anak merupakan tindak pidana khusus, yaitu
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anak
kandungnya, pada saat dilahirkan atau beberapa saat setelah dilahirkan,
karena takut diketahui orang bahwa ia telah melahirkan.
Pada pemeriksaan korban pembunuhan anak, pertama-tama harus
dibuktikan bahwa korban lahir hidup. Untuk ini pemeriksaan ditujukan
terhadap telah bernafasnya paru korban.
Pemeriksaan berikutnya dititikberatkan pada penyebab kematian, yang
terjadi sebagai akibat tindakan kekerasan.
Untuk memenuhi syarat waktu dilakukannya pembunuhan yaitu pada
saat dilahiran atau tidak berapa lama setelah itu. Pemeriksaan ditujukan
terhadap sudah atau belum ditemukannya perawatan pada bayi.
Pada tindak pudana pembunuhan anak, faktor psikologis ibu yang baru
melahirkan diperhitungkan sebagai faktor yang meringankan, keadaan
tersebut menyebabkan si ibu melakukan pembunuhan tidak dalam
keadaan kesadaran yang penuh, dan dalam keadaan demikian, pada si
ibu belum sempat timbul rasa kasih sayang serta keinginan untuk
merawat bayinya. Jadi pada kasus pembunuhan anak, si bayi belum
mendapat perawatan.
Pemeriksaan terhadap maturitas, viabilitas bayi diperlukan bila pada
pemriksaan didapati keraguan akan hal lahir hidup atau lahir mati,
pada bayi-bayi yang lahir imatu atau non-viable, kemungkinan lahir
11
hidup tentunya lebih kecil dibandingkan dengan bayi yang lahir matur
dan viable. Namun bila dari hasil pemeriksaan keseluruhan, masih
tidak dapat dipastikan lahir hidup atau lahir mati, hendaknya hal ini
dikemukakan dengan sejujur-jujurnya dalam visum et repertum4.
2.2.1.4 Umur bayi Intra dan Ekstra Uterin
Penentuan umur janin/ embrio dalam kandungan rumus De Haas
adalah untuk 5 bulan pertama, panjang kepala-tumit (cm) = kuadrat
umur gestasi (bulan) dan selanjutnya = umur gestasi (bulan) X 51.
Umur Panjang Badan (kepala-tumit)
1 bulan 1 x 1 = 1 (cm)
2 bulan 2 x 2 = 4 (cm)
3 bulan 3 x 3 = 9 (cm)
4 bulan 4 x 4 = 16 (cm)
5 bulan 5 x 5 = 25 (cm)
6 bulan 6 x 5 = 30 (cm)
7 bulan 7 x 5 = 35 (cm)
8 bulan 8 x 5 = 40 (cm)
9 bulan 9 x 5 = 45 (cm)
Tabel 1. Penentuan umur janjin dengan rumus De Haas
Perkiraan umur janin dapat pula dilakukan dengan melihat pusat penulangan
(ossification centers) sebagai berikut1:
Pusat penulangan pada Umur (bulan)
Klavikula 1.5
Tulang panjang 2
Iskium 3
Pubis 4
Kalkaneum 5-6
Manubrium sterni 6
Talus Akhir 7
Sternum bawah Akhir 8
12
Distal femur Akhir 9/ setelah lahir
Proksimal tibia Akhir 9/ setelah lahir
Kuboid Akhir 9/ setelah lahir (bayi wanita lebih
cepat)
Tabel 2. Perkiraan umur janin dengan melihat proses penulangan
2.2.2 IBU
Berdasarkan KUHP maka yang dapat dikenakan hukuman karena
melakukan pembunuhan anak adalah ibu dari anak itu sendiri, demikian pula
dengan pindak pidana yang dimaksudkan dalam pasar 308 dan pasal 306 ayat
2.
Pemeriksaan pada ibu tersebut ditujukan agar penyidik mendapat
kejelasan dalam hal2:
- memang benar si ibu tersebut baru melahirkan anak, ini dapat
diketahui dari keadaan buah dada, rahum yang masih
membesar, keluarnya cairan kemerahan dari vagina, serta
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa si ibu masih dalam
masa nifas.
Pemeriksaan golongan darah hanya akan bermakna jika laki-
laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan pada si ibu
tersebut diketahui; dengan demikian pemeriksaan golongan
darahnya dilakukan pada si ibu, anak, dan laki-laki tersebut.
- Adanya barang bukti yang bisa dikaitkan atau ada
hubungannnya dengan barang bukti yang didapatkan pada
tubuh korban, seperti: pembungkus mayat, kain yang
berlumuran darah sewaktu persalinan, alat penyeret serta
barang-barang bukti lainnya yang beraal dari si ibu/ tempat
terjadinya persalinan
2.3 PEMERIKSAAN HUBUNGAN ANTARA WANITA DAN MAYAT BAYI
13
Sejak ditemukannya penerapan teknologi DNA dalam bidang kedokteran
forensik, pemakaian analisis DNA untuk penyelesaian kasus-kasus forensik juga
semakin meningkat. Penerimaan bukti DNA dalam persidangan di berbagai belahan
dunia semakin memperkokoh peranan analisis DNA dalam sistem peradilan.
Secara umum teknologi DNA dimanfaatkan untuk identifikasi personal,
pelacakan hubungan genetik (disputed parentage atau kasus ragu orang tua) dan
pelacakan sumber bahan biologis.
Kasus paternitas sesungguhnya merupakan sebagian saja dari kasus sengketa
sal-usul. Sengketa asal usul berdasarkan objek sengketanya dapat digolongkan
menjadi beberapa jenis kasus, yaitu2:
1. kasus ragu orangtua; yaitu kasus yang mencari pembuktian
siapa orangtua (ayah dan ibu) dari seorang anak. Yang
termasuk dalam kategori ini adalah kasus imigrasi, kasus
pencarian orang tua pada kasus penculikan, bayi tertukar,
kasus terpisahnya keluarga pada masa perang atau bencana
dan kasus identifikasi korban tidak dikenal.
2. Kasus ragu ayah; yaitu kasus yang mencari pembuktian
siapa ayah kandung dari seorang anak. Yang termasuk dalam
kategori ini adalah kasus imigrasi, kasus klaim keayahan
oleh seorang wanita, kasus perselingkuhan dan kasus incest.
3. Kasus ragu ibu; kasus yang mencari pembuktian siapa ibu
kandung dari seorang anak. Yang termasuk dalam kategori
ini dalah kasus bayi tertukar, kasus pembunuhan anak
sendiri, dan kasus aborsi.
4. Kasus ragu kerabat; yaitu kasus yang mencari pembuktian
apakah dua orang atau lebih punya hubungan darah
(kekerabatan) tertentu. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah pelacakan silsilah keluarga, kasus pencarian keluarga
setelah bencana alam.
Polimorfisme adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya suatu
bentuk yang berbeda dari suatu struktur dasara yang sama. Jika terdapat variasi/
modifikasi pada suatu lokus yang spesifik (pada DNA) dalam suatu populasi, maka
lokus tersebut dikatakan bersifat polimorfik. Sifar polimorfik ini di samping
14
menunjukkan variasi individu, juga memberikan keuntungan karena dapat digunakan
untuk membedakan satu orang dari yang lain.
Dikenal polimorfisme protein dan polimorfisme DNA. Polimorfisme protein
antara lain ialah sistem golongan darah, golongan darah protein serum, sistem
golongan enzim eritrosit dan sistem HLA
Dibandingkan dengan pemeriksaan polimorfisme protein, pemeriksaan
polimorfisme DNA menunjukkan beberapa kelebihan. Pertama, polimorfisme DNA
menunjukkan tingka polimorfisme yang jauh lebih tinggi, sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan terhadap banyak sistem. Kedua, DNA jauh lebih stabil dibandingkan
protein, membuat pemeriksaan DNA masih dimungkinkan pada bahan yang sudah
membusuk, mengalami mumifikasi atau bahkan pada jenazah yang tinggal kerangka
saja. Ketiga, distribusi DNA sangat luas, meliputi seluruh sel tubuh sehingga berbagai
bahan mungkin untuk digunakan sebagai bahan pemeriksaan. Keempat, dengan
ditemukannya metode PCR, bahan DNA yang kurang segar dan sedikit jumlahnya
masih mungkin untuk dianalisis.
2.4 INTERPRETASI TEMUAN
Penyebab kematian tersering pada pembunuhan anak sendiri adalah mati
lemas (asfiksia). Kematian dapat pula diakibatkan oleh proses persalinan (trauma
lahir); kecelakaan; pembunuhan, atau alamiah1.
Trauma lahir. Trauma lahir dapat menyebabkan timbulnya tanda-tanda
kekerasan seperti:
a. Kaput suksedaneum
Kaput suksedaneum dapat memberikan gambaran mengenai
lamanya persalinan. Makin lama persalinan berlangsung, timbul
kaput suksedaneum yang makin hebat.
Secara makroskopis akan terlihat sebagai edema pada kulit kepala
bagian dalam di daerah presentasi terendah yang berwarna
emerahan. Kaput suksedaneum dapat melewati perbatasan antar-
sutura tulang tengkorak dan tidak terdapat perdarahan di bawah
periosteum tulang tengkorak. Mikroskopis terlihat jaringan yang
15
mengalami edema dengan perdarahan-perdarahan di sekitar
pembuluh darah.
b. Sefalhematom
Perdarahan setempat diantara periosteum dan permukaan luar
tulang atap tengkorak dan tidak melampaui sutura tulang tengkorak
akibat molase yang hebat.
Umumnya terdapat pada tulang parietal dan skuama tulang
oksipital. Makroskopis terlihat sebagai perdarahan di bawah
periosteum yang terbatas pada satu tulang dan tidak melewati
sutura.
c. Fraktur tulang tengkorak
Patah tulang tengkorak jarang terjadi pada trauma lahir, biasanya
hanya berupa cekungan tulang saja pada tulang ubun-ubun
(celluloid ball fracture).
Penggunaan forceps dapat menyebabkan fraktur tengkorak dengan
robekan otak.
d. Perdarahan intrakranial
Yang sering terjadi adalah perdarahan subdural akibat laserasi
tentorium serebeli dan falx serebri; robekan vena galeni di dekat
pertemuannya dengan sinus rektus; robekan sinus sagitalis superior
dan sinus tranversus dan robekan bridging veins dekat sinus
sagitali superior. Perdarahan ini timbul pada molase kepala yang
hebat atau kompresi kepala yang cepat dan mendadak oleh jalan
lahir yang belum melemas (pada partus presipitatus).
e. Perdarahan subaraknoid atau interventrikuler
Kondisi ini jarang terjadi. Umumnya terjadi pada bayi-bayi
prematur akibat belum sempurna berkembangnya jaringan-jaringan
otak.
f. Perdarah epidural
Kondisi ini sangat jarang terjadi karena duramater melekat dengan
erat pada tulang tengkorak bayi.
16
Pada kasus pembunuhan, harus diingat bahwa ibu berada dalam keadaan panik
sehingga ia akan melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan walupun sebenarnya
bayi tersebut berada dalam keadaan tidak berdaya dan lemah sekali.
Cara yang tersering dilakukan adalah yang menimbulkan asfiksia dengan jalan
pembekapan, penyumbayan jalan nafas, penjeratan, pencekikan, dan penenggelaman.
Kadang-kadang bayi dimasukan ke dalam lemari, kopor, dan sebagainya.
Pembunuhan dengan melakukan kekerasan tumpul pada kepala jarang
dijumpai. Bila digunakan cara ini, biasanya dilakukan dengan berulang-ulang,
meliputi daerah yang luas hingga menyebabkan patah atau retak tulang tengkorak dan
memar jaringan otak.
Sebaliknya pada trauma lahir, biasanya hanya dijumpai kelainan yang terbatas,
jarang sekali ditemukan fraktur tengkorak dan memar jaringan otak.
Pembunuhan dengan senjata tajam jarang ditemukan.
2.5 KESIMPULAN
Pada kasus pembunuhan, harus diingat bahwa ibu berada dalam keadaan panik
sehingga ia akan melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan walupun sebenarnya
bayi tersebut berada dalam keadaan tidak berdaya dan lemah sekali.
Cara yang tersering dilakukan adalah yang menimbulkan asfiksia dengan jalan
pembekapan, penyumbayan jalan nafas, penjeratan, pencekikan, dan penenggelaman.
Kadang-kadang bayi dimasukan ke dalam lemari, kopor, dan sebagainya2.
Untuk memenuhi kriteria pembunuhan anak sendiri, dengan sendirinya bayi
atau anak tersebut harus dilahirkan hidup setelah seluruh tubuhnya keluar dari tubuh
ibu (separate existence). Bila bayi lahir mati kemudian dilakukan tindakan
membunuh, maka hal ini bukanlah pembunuhan anak sendiri ataupun pembunuhan.
Juga tidak dipersoalkan apakah bayi yang dilahirkan merupakan bayi yang cukup
bulan atau belum cukup bulan, maupun viable atau nonviable1.
17
BAB 3
PENUTUP
Untuk memenuhi kriteria pembunuhan anak sendiri, dengan sendirinya bayi
atau anak tersebut harus dilahirkan hidup setelah seluruh tubuhnya keluar dari tubuh
ibu (separate existence). Bila bayi lahir mati kemudian dilakukan tindakan
membunuh, maka hal ini bukanlah pembunuhan anak sendiri ataupun pembunuhan.
Juga tidak dipersoalkan apakah bayi yang dilahirkan merupakan bayi yang cukup
bulan atau belum cukup bulan, maupun viable atau nonviable.
Pada pemeriksaan mayat bayi baru lahir, haris dibedakan apakah ia lahir mati
atau lahir hidup.
Bila bayi lahir mati maka kasus tersebut bukan merupakan kasus pembunuhan
atau penelantaran anak hingga menimbulkan kematian. Pada kasus seperti ini, si ibu
hanya dapat dikenakan tuntutan menyembunyikan kelahiran dan kematian orang1.
Pada kasus pembunuhan, harus diingat bahwa ibu berada dalam keadaan panik
sehingga ia akan melakukan tindakan kekerasan yang berlebihan walupun sebenarnya
bayi tersebut berada dalam keadaan tidak berdaya dan lemah sekali.
Cara yang tersering dilakukan adalah yang menimbulkan asfiksia dengan jalan
pembekapan, penyumbayan jalan nafas, penjeratan, pencekikan, dan penenggelaman.
Kadang-kadang bayi dimasukan ke dalam lemari, kopor, dan sebagainya1.
Sejak ditemukannya penerapan teknologi DNA dalam bidang kedokteran forensik,
pemakaian analisis DNA untuk penyeleaian kasus-kasus forensik juga semakin
meningkat. Penerimaan bukti DNA dalam persidangan di berbagai belahan dunia
semakin memperkokoh peranan analisis DNA dalam sistem peradilan.
Secara umum teknologi DNA dimanfaatkan untuk identifikasi personal,
pelacakan hubungan genetik (disputed parentage atau kasus ragu orang tua) dan
pelacakan sumber bahan biologis2.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Arif Budianto, Wibisana Widiatmaka, Siswandi Sudiono, Winardi, Abdul
Mun’im, Sidhi, et al. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: FKUI; 1997.
2. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam
proses penyidikan. Jakarta: Sangung Seto; 2008.
3. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta: FKUI; 1994.
4. Staf pengajar bagian kedokteran forensik FKUI. Tehnik autopsi forensik.
Jakarta: FKUI; 2000.
19