Upload
arum-puspita
View
217
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bedah
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini, penyakit muskuloskletal telah menjadi masalah yang banyak
dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia dan menjadi
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas baik di negara maju maupun
sedang berkembang (Buckley R, et.al, 2008). Di antara berbagai penyebab trauma,
transfer energi tinggi dari kecelakaan lalu lintas dan terjatuh dari ketinggian
adalah yang paling banyak ditemukan (Roshan A. & Ram S., 2008). Sebanyak
1,26 juta orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di dunia selama tahun
2000 dan 30% kematian terjadi di Asia Tenggara. Penyebab paling umum trauma
dan fraktur adalah kecelakaan lalu lintas, yaitu sebanyak 666 (51,66%) pasien,
30% terjadi akibat kecelakaan kerja/olahraga dan 18% akibat kekerasan rumah
tangga (Kahlon, Hanif & Awais, 2004).
Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki prevalensi cukup tinggi
adalah insiden fraktur ekstremitas bawah yaitu sekitar 46,2% dari insiden
kecelakaan yang terjadi. Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi
disintegritas tulang (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan data dari rekam medis RS Fatmawati di ruang Orthopedi
periode Januari 2005 s/d Juli 2005 berjumlah 323 yang mengalami gangguan
muskuloskeletal, termasuk yang mengalami fraktur Tibia Fibula berjumlah 31
orang (5,59%).
Fraktur tibia merupakan fraktur yang paling sering dari semua fraktur
tulang panjang. Kejadian tahunan fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan
11,5 per 100.000 orang, dengan 40% terjadi di ekstremitas inferior. Fraktur di
ekstremitas inferior paling banyak adalah fraktur yang terjadi pada diafisis tibia.
Fraktur bukan hanya persoalan terputusnya kontinuitas tulang serta
bagaimana mengatasinya, tetapi harus ditinjau secara keseluruhan dan harus
diatasi secara simultan. Harus dilihat apa yang terjadi secara menyeluruh meliputi
bagaimana mekanisme terjadinya fraktur, jenis penyebabnya, apakah ada
1 | P a g e
kerusakan kulit, pembuluh darah, saraf dan diperhatikan lokasi kejadian serta
waktu terjadinya agar dalam mengambil tindakan dapat dihasilkan sesuatu yang
optimal (Alexa, 2010).
2 | P a g e
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Sdr. AN
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Asrama Akmil
Pekerjaan : Capratar
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Masuk Rumah Sakit : 10 Desember 2013 pkl 14.45 WIB
Bangsal : Melati
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 11 Desember
2013 di bangsal Melati Rumah Sakit Tingkat II Dr. Soedjono, Magelang.
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tungkai bawah sebelah kiri.
Keluhan Tambahan :
Bengkak pada tungkai bawah sebelah kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien post terjatuh saat latihan pada tanggal 4 Desember 2013 datang ke
IGD RST dr.Soedjono Magelang tanggal 10 Desember 2013 dengan keluhan
nyeri pada tungkai bawah sebelah kiri. Saat pasien sedang mengikuti latihan
berupa pendakian, pasien terjatuh ke dalam jurang dengan kedalaman sekitar 2
meter, dengan tungkai bawah sebelah kiri sebagai tumpuan. Setelah terjatuh
setiap kali kaki kiri itu digerakkan terasa nyeri. Tidak terdapat luka robek/
3 | P a g e
terbuka di kaki kiri. Benturan kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-),BAK
dan BAB dbn.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Alergi Obat dan Makanan : disangkal
Riwayat Trauma serupa sebelumnya : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Alergi Obat dan Makanan : disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 Desember 2013 di ruang Melati.
1. Primary Survey
A : tidak ada gangguan jalan napas
B : RR 19 x/menit
C : TD : 110/70 mmHg, N : 92x/menit, akral hangat, capp refill < 2’
D : GCS 15 (E4M6V5)
E : Suhu 36º C
2. Secondary Survey
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran/GCS : Compos Mentis / 15
Tanda Vital :
4 | P a g e
o Tekanan Darah : 110/70 mmHg
o Nadi : 92 x/menit
o Suhu : 36°C
o Respirasi : 19 x/menit
A. Status Generalis
1) Kepala
Normochepal, chepal hematome (-)
Mata : Conjunctiva Anemis -/-,Sklera Ikterik -/-,
pupil isokor 3mm/3mm, Refleks Cahaya +/+
Telinga : Discharge (-)
Hidung : Discharge (-)
Leher : pembesaran KGB (-), kaku leher (-)
2) Thoraks (Paru dan Jantung)
Inspeksi : dada simetris, tidak terdapat jejas, ictus cordis tidak
tampak
Palpasi : vocal fremitus kanan & kiri sama, ictus cordis tidak kuat
angkat
Perkusi : sonor, batas jantung normal
Auskultasi : vesikuler (wheezing : -/- , ronkhi : - /-), BJ I II regular.
3) Abdomen
Inspeksi : dinding perut datar normal, tidak terdapat jejas
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba
Perkusi : timpani
4) Genitalia : dbn
5) Ekstremitas (Superior dan inferior)
Akral Hangat, Capilary refill <2 detik.
5 | P a g e
B. Status Lokalis
Regio Cruris Sinistra
Look : Tampak region cruris sinistra swelling dan kemerahan.
Tidak tampak deformitas. Vulnus Laceratum (-), Sianosis (–).
Feel : nyeri saat digerakkan (+), nyeri tekan (+),pulsasi a.
dorsalis pedis (+), akral hangat (+), sensasi (+), capp refill (< 2’)
Move : gerakan aktif dan pasif terbatas, nyeri saat digerakkan
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Rontgent Cruris Sinistra (AP dan Lateral)
Hasil :
Interpretasi Ro : terdapat diskontinuitas tulang (fraktur) os Tibia
Sinistra 1/3 Proksimal komplit dengan garis fraktur tranvesal serta
aposisi dan alignment baik.
A : Alignment dan Aposisi (alignment dan aposisi os tibia baik)
6 | P a g e
B : Bone (terdapat diskontinuitas tulang (fraktur) os Tibia Sinistra 1/3
Proksimal komplit dengan garis fraktur tranversal. Pada os fibula baik.
C : Cartilago (cartilago intraartikuler baik)
S : Soft tissue kemungkinan terdapat kerusakan
- Hasil Laboratorium Darah Lengkap pada tanggal 10 Desember 2013
Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi
WBC 11.9 103/mm3 4 – 10
RBC 4.26 106/mm3 3,5 – 5,5
HB 12 g/dl 11,0 – 15
HCT 34.3 % 36 – 48
PLT 369 103/mm3 150 – 450
PCT 0.41 % 0.10 – 0.20
MCV 80.7 um3 80 – 99
MCH 28.1 pg 26 – 32
MCHC 34.9 g/dl 32 – 36
RDW 12 % 7.4 – 10.4
MPV 11.3 um3 7.4 – 10.4
PDW 8,2 % 10 – 14
Diff Count
Jenis Hasil Referensi Jenis Hasil Referensi
% Lym 13,3 % 20 – 40 # Lym 1,6 103/mm3 0,6 – 4,1
% Mon 6,5 % 1 – 15 # Mon 0,8 103/mm3 0,1 – 1,8
% Gra 80,2 % 50 – 70 # Gra 9,5 103/mm3 2 – 7,8
Albumin : 4.3 g/dL
GDS : 102 mg/dl
E. ASSESSMENT
7 | P a g e
Closed Fracture 1/3 Diafisis Tibia Proksimal Sinistra (Isolated)
F. PLANNING
Planning Diagnostik
o Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap, BT, CT
Pemeriksaan Rontgent Cruris Sinistra (AP, Lateral)
Planning Terapi
o Simptomatik
o Infus metronidazol 3 x 500 mg
o Paracetamol 3 x 500 mg
o Non Flamin 3 x 1 tab
o Kausal
o Reposisi dan Pemasangan gips
o Suportif
o Infus RL/ D5 20-30 tpm
G. TINDAKAN
Saat tiba di ruang UGD RST Tk. 2 Dr. Soedjono pada hari Selasa tanggal 10
Desember 2013, setelah menjalani pemeriksaan fisik, tidak didapatkan adanya
kegawatdaruratan pada airway, breathing, dan circulation. Dari hasil
pemeriksaan fisik lokalis pada region cruris sinistra, pasien dicurigai
mengalami fraktur di region cruris sinistra, sehingga pertolongan pertama yang
dilakukan di IGD adalah pemasangan bidai untuk stabilisasi dan mengurangi
nyeri, setelah itu pasien menjalani pemeriksaan penunjang, berupa foto rontgen
region cruris sinistra AP dan lateral.
Hasil foto rontgen didapatkan hasil berupa adanya fraktur pada os tibia
sinistra 1/3 proksimal, setelah itu dilaporkan ke dr.Basuki Widodo, Sp.OT, lalu
pada tanggal 11 Desember 2013 dilakukan reposisi dan pemasangan gips di
ruang operasi.
8 | P a g e
Laporan Operasi
- Posisi supine
- Dilakukan Reposisi (Stabilisasi)
- Pasang LLC (Long Leg Cast)
- Operasi Selesai
Foto Pasien Post Pemasangan Gips
H. FOLLOW-UP
Tanggal 11 Desember 2013 (Pre-Op)
VS : TD 110/90 mmHg; Nadi 84x/menit; Suhu 36,5°C
Kedaan umum : tampak sakit sedang
S : nyeri tungkai kiri bawah (+), pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah
(-), BAB/BAK (-)
O :
o St. Generalis :
Thorax : pulmo (SDV +/+, Rh -/-, Wh -/-), cor (S1>S2)
Abdomen : Soefl, BU +, Hepar dan Lien dbn
o St. Lokalis :
9 | P a g e
Look
Tampak region cruris sinistra terpasang bidai.
Feel
Terasa nyeri saat digerakkan.Nyeri tekan (+).Teraba lebih
hangat dengan region cruris dextra.Pulsasi a.tibialis posterior
baik.
Move
Pasif movement (+) terbatas, nyeri gerak (+)
Planning Terapi
Simptomatik
o Infus metronidazol 3 x 500 mg
o Paracetamol 3 x 500 mg
o Non Flamin 3 x 1 tab
Kausal
o Reposisi dan Pemasangan gips
Suportif
o Infus RL/ D5 20-30 tpm
Monitoring
Keadaan umum, tanda vital, perbaikan tanda dan gejala, pola
makan, hasil pemeriksaan penunjang, kondisi tungkai
Edukasi
Penjelasan mengenai penyakit dan prognosisnya
Minum obat teratur, makanan tinggi protein,cukup istirahat.
Tanggal 12 Desember 2013 (Post-Op Hari ke-1)
VS : TD 130/90 mmHg; Nadi 87x/menit; Suhu 36,4°C
Kedaan umum : tampak sakit sedang
S : pegal pada tungkai kiri bawah (+), pusing (-), sesak (-), mual (-),
muntah (-), BAB/BAK (-)
O :
o St. Generalis :
10 | P a g e
Thorax : pulmo (SDV +/+, Rh -/-, Wh -/-), cor (S1>S2)
Abdomen : Soefl, BU +, Hepar dan Lien dbn
o St. Lokalis :
Look
Tampak tungkai kiri dari bagian atas lutut sampai pedis sinistra
terpasang gips.
Feel
Tungkai kiri terasa pegal dan sulit digerakkan karena terpasang
gips.
Move
Pasif movement (+) terbatas.
Planning Terapi
Simptomatik
o Infus metronidazol 3 x 500 mg, jika infus habis terapi diganti
oral semua Ciprofloxacin 2 x 500 mg
o Paracetamol 3 x 500 mg
o Non Flamin 3 x 1 tab
Kausal
o Reposisi dan Pemasangan gips
Suportif
o Infus RL/ D5 20-30 tpm
Monitoring
Keadaan umum, tanda vital, perbaikan tanda dan gejala, pola
makan, kondisi tungkai setelah pemasangan gips
Edukasi
Penjelasan mengenai penyakit dan prognosisnya
Minum obat teratur, makanan tinggi protein, vitamin dan
mineral, ,cukup istirahat, mobilisasi dengan bantuan kruk.
11 | P a g e
Tanggal 13 Desember 2013 (Post-Op Hari ke-2)
VS : TD 120/80 mmHg; Nadi 90x/menit; Suhu 36°C
Kedaan umum : tampak sakit sedang
S : pegal pada tungkai kiri bawah (+), pusing (-), sesak (-), mual (-),
muntah (-), BAB/BAK (-)
O :
o St. Generalis :
Thorax : pulmo (SDV +/+, Rh -/-, Wh -/-), cor (S1>S2)
Abdomen : Soefl, BU +, Hepar dan Lien dbn
o St. Lokalis :
Look
Tampak tungkai kiri dari bagian atas lutut sampai pedis sinistra
terpasang gips.
Feel
Tungkai kiri terasa pegal dan sulit digerakkan karena perpasang
gips.
Move
Pasif movement (+) terbatas.
Planning Terapi
Simptomatik
o Ciprofloxacin 2 x 500 mg
o Paracetamol 3 x 500 mg
o Non Flamin 3 x 1 tab
Kausal
o Reposisi dan Pemasangan gips
Fisioterapi
o Pasien sudah bisa mobilisasi dengan bantuan 2 kruk
o Pasien tidak bisa berolahraga dan latihan fisik lainnya selama
penggunaan gips.
12 | P a g e
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. FRAKTUR
II. 1. 1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan
fraktur dapat berupa trauma langsung, tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan, dan trauma tidak langsung, trauma dihantarkan ke daerah yang lebih
jauh dari daerah fraktur. Akibat trauma bergantung pada jenis trauma, kekuatan, arahnya
dan umur penderita.
II.1.2. Penyebab Fraktur
Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:
1. Peristiwa trauma
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila
terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan
lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami
fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan
lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
2. Fraktur kelelahan atau tekanan
Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada
atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget).
Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat
yang berbeda; daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya
13 | P a g e
pada tingkat yang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat
menembus kulit; cedera langsung akan menembus atau merobek kulit diatas fraktur.
Kecelakaan sepeda motor adalah penyebab yang paling lazim.
II.1.3. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka periosteum,
pembuluh darah di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya rusak.Terjadi pendarahan
dan kerusakan jaringan di ujung tulang. Terbentuklah hematoma di canal medulla.
Pembuluh-pembuluh kapiler dan jaringan ikat tumbuh ke dalamnya., menyerap
hematoma tersebut, dan menggantikannya.
Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang berasal dari periosteum. Sel
ini menghasilkan endapan garam kalsium dalam jaringan ikat yang disebut callus. Callus
kemudian secara bertahap dibentuk menjadi profil tulang melalui pengeluaran
kelebihannya oleh osteoclast yaitu sel yang melarutkan tulang. Pada permulaan akan
terjadi perdarahan disekitar patah tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh
darah pada tulang dan periost, fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian
akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya.
Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling menempel, fase ini disebut
fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan fragmen patah tulang tersebut
dinamakan kalus fibrosa. Kedalam hematoma dan jaringan fibrosis ini kemudian juga
tumbuh sel jaringan mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel
kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan.
Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat
pada foto rontgen. Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya
ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.
II.1.4. Tanda dan gejala
Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2002) antara lain:
a. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
1. Rotasi pemendekan tulang
2. Penekanan tulang
b. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur.
14 | P a g e
c. Ekimosis dari perdarahan subcutaneous
d. Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur
e. Tenderness
f. Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan
g. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/ perdarahan)
h. Pergerakan abnormal
i. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
j. Krepitasi
II.1.5. Klasifikasi
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragemen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit, fraktur terbuka dibagi
menjadi tiga derajat, yaitu :
1. Derajat I
a) Luka kurang dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk
c) Fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan
d) Kontaminasi ringan
2. Derajat II
a) Laserasi lebih dari 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
c) Fraktur komuniti sedang
3. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi
2. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur:
a. Fraktur complete, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.
b. Fraktur incomplete, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.
15 | P a g e
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma,
fraktur terbagi menjadi :
1) Fraktur transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung
2) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat trauma angulasi
3) Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi
4) Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kearah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi : fraktur yang diakibatkan karena tarikan atau traksi otot pada
insersi nya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah
1) Fraktur kominutif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
2) Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
3) Fraktur multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
A. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periostium masih utuh
B. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas :
- Dislokasi ad longitudinem cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping)
- Dislokasi ad axim( pergeseran yang membentuk sudut)
- Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menajauh)
6. Berdasarkan posisi fraktur :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
16 | P a g e
7. Fraktur kelelahan : faktur akibat tekanan yang berulang- ulang
8. Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu :
Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan
Tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartemen.
II.1.6. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada pasien fraktur adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan rontgent : menentukan lokasi/ luasnya fraktur/ luasnya trauma
b. Scan tulang, CT scan : memperlihatkan fraktur dan untuk mengidentifikasi jaringan
lunak
c. Hitung darah lengkap : Hb menurun/ meningkat
d. Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple,
atau cedera
II.1.7. Komplikasi
a. Komplikasi segera (immediate) : Komplikasi yang terjadi segera setelah fraktur
antara lain syok neurogenik, kerusakan organ, kerusakan syaraf, injuri atau
perlukaan kulit.
b. Early Complication : Dapat terjadi seperti osteomielitis, emboli, nekrosis, dan
syndrome compartemen.
c. Late Complication : Sedangkan komplikasi lanjut yang dapat terjadi antara lain
stiffnes (kaku sendi), degenerasi sendi, penyembuhan tulang terganggu (malunion).
17 | P a g e
II.2. FRAKTUR TIBIA
II.2.1. Anatomi
Pengetahuan mengenai topografi dan struktur anatomi dari tungkai bawah
merupakan hal yang sangat dibutuhkan untuk rencana operasi atau
penatalaksanaan pada extremitas.tungkai bawah terdiri atas 3 kompartemen.
Gambar 1. Potongan melintang tungkai bawah
A. Kompartemen Anterior
Terdapat 4 otot utama dari kompartemen anterior :
Musculus Tibialis anterior
Musculus Extensor digitorum longus
Musculus Extensor digitorum brevis
Musculus Fibularis (peroneus tertius)
Kompartemen ini berfungsi sebagai dorsoflexor sendi pergelangan kaki dan jari-
jari kaki. Arteri tibialis anterior mendarahi struktur-struktur dalam compartinumentum
anterius. Arteri tibialis anterior dan nervus peroneal masuk ke dalam otot dan normalnya
terlindungi dari cedera. Cabang arteri terminal arteri poplitea lebih kecil, arteri ini akan
berakhir di sendi pergelangan kaki, pertengahan antara kedua maleolus dengan beralih
menjadi arteria dorsalis pedis.
B. Kompartemen Lateral
Kompartmen lateral terdiri dari 2 otot, Perineous Brevis dan Perineous Longus
yang berfungsi untuk plantar fleksor dan evertor dari kaki. Otot tersebut berinsersio dari
bagian proksimal dan tengah dari fibulla maka fibula akan terlindungi dari trauma
18 | P a g e
langsung. Nervus peroneal berjalan di antara musculus peroneal dan extensor digitorum
longus.
Gambar 2. Otot-otot betis dan kaki Mm.Cruris et pedis tampak anterior dan lateral
C. Kompartemen Posterior
1. Superficial posterior compartment
Terdiri dari musculus gastrocnemius (gerak articulatio genu dan juga pda
sendi pergelangan kaki), soleus (dibagian 1/3 distal), popliteus (plantar flexi) dan
19 | P a g e
plantaris (tidak ada fungsi yang signifikan). Kompartmen ini penting untuk
plantar flexi.
2. Deep posterior compartment
Kelompok otot pada kompartmen ini adalah musculus popliteus, flexor
hallucis longus, flexor digitorum longus, tibialis posterior. Mempunyai 2 arteri
besar, arteri peroneal dan tibialis posterior.
Gambar 3. Otot-otot betis dan kaki Mm.Cruris et pedis tampak posterior
Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region cruris. Ini
merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini terbentang ke proksimal
untuk membentuk articulation genu dan ke distal terlihat semakin mengecil.
20 | P a g e
Gambar 4. Anatomi Os Tibia dan Fibula
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi
menyangga berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus femoris dan caput
fibulae, di bawah dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas yang
melebar dan ujung bawah yang lebih kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung atas terdapat
condyli lateralis dan medialis (kadang-kadang disebut plateau tibia lateral dan medial),
yang bersendi dengan condyli lateralis dan medialis femoris, dan dipisahkan oleh menisci
lateralis dan medialis. Permukaan atas facies articulares condylorum tibiae terbagi atas
area intercondylus anterior dan posterior; di antara kedua area ini terdapat eminentia
intercondylus.
Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis circularis
yang kecil, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior condylus medialis
terdapat insertio m.semimembranosus.
Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan melintangnya, dan mempunyai
tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan medial, serta facies medialis
21 | P a g e
diantaranya terletak subkutan. Margo anterior menonjol dan membentuk tulang kering.
Pada pertemuan antara margo anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang
merupakan tempat lekat ligamentum patellae. Margo anterior di bawah membulat, dan
melanjutkan diri sebagai malleolus medialis. Margo lateral atau margo interosseus
memberikan tempat perlekatan untuk membrane interossea. Facies posterior dan corpus
tibiae menunjukkan linea oblique, yang disebut linea musculi solei, untuk tempatnya
m.soleus.
Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat
permukaan sendi berbentuk pelana untuk os.talus, ujung bawah memanjang ke bawah dan
medial untuk membentuk malleolus medialis. Facies lateralis dari malleolus medialis
bersendi dengan talus. Pada facies lateral ujung bawah tibia terdapat lekukan yang lebar
dan kasar untuk bersendi dengan fibula. Musculi dan ligamenta penting yang melekat
pada tibia.
II.2.2. Insiden
Tendensi untuk terjadinya fraktur tibia terdapat pada pasien-pasien usia lanjut
yang terjatuh, dan pada populasi ini sering ditemukan fraktur tipe III, fraktur terbuka
dengan fraktur kominutif. Pada pasien-pasien usia muda, mekanisme trauma yang paling
sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor.Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki-
laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada usia lanjut prevalensi cenderung
lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait
dengan perubahan hormon.
Di Amerika Serikat, insidens tahunan fraktur terbuka tulang panjang diperkirakan
11 per 100.000 orang, dengan 40% terjadi di ekstremitas bawah. Fraktur ekstremitas
bawah yang paling umum terjadi pada diafisis tibia.
II.2.3. Etiologi
Fraktur traumatik dapat terjadi karena trauma yang tiba-tiba.
Fraktur stress terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat
yang tertentu.
Fraktur patologis pula terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan
patologis di dalam tulang. Fraktur patologis dapat terjadi secara spontan atau akibat
trauma ringan.
22 | P a g e
II.2.4. Patofisiologi
Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak sekitarnya juga rusak,
periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat. Bekuan
darah terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan akan membentuk jaringan granulasi
didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdiferensiasi
menjadi chondroblast dan osteoblast. Chondroblast akan mensekresi fosfat, yang
merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (callus) di sekitar lokasi
fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan callus dari
fragmen satunya, dan menyatu. Penyatuan dari kedua fragmen (penyembuhan
fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula dan osteoblast yang
melekat pada tulang dan meluas menyeberangi lokasi fraktur.
Penyatuan tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik
untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Callus tulang akan mengalami
remodeling untuk mengambil bentuk tulang yang utuh seperti bentuk osteoblast
tulang baru dan osteoclast akan menyingkirkan bagian yang rusak dan tulang
sementara.
II.2.5. Mekanisme Cedera
Ada 5 penyebab tersering yang menyebabkan fraktur pada bagian batang
dari tibia, yaitu jatuh, cedera olahraga, trauma langsung, kecelakaan lalu lintas dan
tembakan senjata.
Cedera yang sering terjadi akibat dari cedera torsional atau terpuntir,
biasanya pada pemain ski yaitu dengan trauma berenergi rendah dimana bertumpu
pada kaki dan badannya terputar dan terfiksirpada tumpuan tersebut, biasanya dari
pemeriksaan radiologinya menunjukan hasil fraktur spiral,derajatnya tergantung
dari energi dari trauma tersebut. Pada anak – anak juga sering terdapat cedera
pemuntiran dapat menyebabkan fraktur spiral pada tibia tanpa fraktur fibula.
Fraktur dengan tibia isolated atau fibula yang intak sering pada pemain sepak
bola, mekanisme traumanya adalah dengan cedera dengan kecepatan rendah akibat dari
rotasi paka dari tibia yang akan menyebabkan OTA tipe A1 di 1/3 distal tulang tibia atau
trauma langsung di ‘tackle’ saat bermain. Pada usia berapa saja cedera langsung,
misalnya akibat tendangan, dapat menyebabkan fraktur melintang (transversal) atau
fraktur yang sedikit oblik pada tibia saja, di tempat yang terkena.
23 | P a g e
Cedera berat pada tulang dan jaringan lunak biasanya akibat dari cedera langsung
yang terfokus pada satu area dengan energi yang besar, seperti pada tergilas oleh mesin
industri dan pukulan dengan menggunakan kayu atau tongkat baseball.
Fraktur fibula yang berhubungan dengan fraktur tibia dapat memperlihatkan
derajat trauma pada pada jaringan lunak dan energi yang menyebabkan fraktur pada
bagian itu.
II.2.6. Klasifikasi Fraktur Tibia
Fraktur tibia dapat terjadi pada bagian proksimal (kondiler), diafisis atau
persendian pergelangan kaki.
Variabel penting pada fraktur dalam mengklasifikasikan fraktur tibia adalah
Lokasi anatomi
Pola fraktur atau pola garis fraktur
Bersamaan dengan cedera fibula
Posisi dan jumlah fragmen
Kerusakan jaringan lunak yang luas
1. Fraktur Kondiler Tibia
Mekanisme trauma
Fraktur kondiler tibia lebih sering mengenai kondiler lateralis daripada medialis
serta fraktur kedua kondiler. Banyak fraktur kondiler tibia terjadi akibat kecelakaan
antara mobil dan pejalan kaki di mana bemper mobil menabrak kaki bagial lateral dengan
gaya kearah medial (valgus). Ini menghasilkan fraktur depresi atau fraktur split dari
kondiler lateralis tibia apabila kondiler femur didorong kearah tersebut. Kondiler medial
memiliki kekuatan yang lebih besar, jadi fraktur pada daerah ini biasanya terjadi akibat
gaya dengan tenaga yang lebih besar (varus).
Jatuh dari ketinggian akan menimbulkan kompresi aksial sehingga bisa
menyebabkan fraktur pada proksimal tibia. Pada golongan lanjut usia, pasien dengan
osteoporosis lebih mudah terkena fraktur kondiler tibia berbanding robekan ligamen atau
meniscus setelah cedera keseleo di lutut. Eminentia intrakondiler dapat fraktur bersama
robekan ligamen krusiatum sebagai akibat hiperekstensi atau gaya memutar.
Klasifikasi
Klasifikasi yang sering dan meluas dipakai sekarang adalah klasifikasi Schatzker.
I : Fraktur split kondiler lateral
II : Fraktur split/depresi lateral
24 | P a g e
III: Depresi kondiler lateral
IV: Fraktur split kondiler medial
V : Fraktur bikondiler
VI: Fraktur kominutif
Tipe IV-VI biasanya terjadi akibat trauma dengan tekanan yang kuat. Fraktur
tidak bergeser apabila depresi kurang dari 4 mm, sedangkan yang bergeser apabila
depresi melebihi 4 mm.
Gambar 5. Klasifikasi Fraktur Kondiler Tibia menurut Schatzker
Gambar 6. Klasifikasi Fraktur Kondiler
Gambaran Klinis
Pada anamnesis terdapat riwayat trauma pada lutut, pembengkakan dan nyeri
serta hemartrosis.Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi lutut. Biasanya pasien tidak
dapat menahan beban. Sewaktu pemeriksaan, mereka merasakan nyeri pada proksimal
tibia dan gerakan flesi dan ekstensi yang terbatas.Dokter perlu menentukan adanya
25 | P a g e
penyebab cedera itu akibat tenaga yang kuat atau lemah karena cedera neovaskular,
ligamen sindroma kompartmen lebih sering terjadi pada cedera akibat tenaga kuat.
Pulsasi distal dan fungsi saraf peroneal perlu diperiksa. Kulit perlu diperiksa secara
seksama untuk mencari tanda-tanda abrasi atau laserasi yang dapat menjadi tanda fraktur
terbuka.
Penilaian stabilitas lutut adalah penting dalam mengevaluasi kondiler tibia.
Aspirasi dari hemartrosis pada lutut dan anestasi lokal mungkin diperlukan untuk
pemeriksaan yang akurat. Jika dibandingkan dengan bagian yang tidak cedera, pelebaran
sudut sendi pada lutut yang stabil mestilah tidak lebih dari 10o dengan stress varus atau
valgus pada mana-mana titik dalam aksis gerakan dari ekstensi penuh hingga fleksi 90o.
Integritas ligamen crusiatum anterior perlu dinilai melalui tes Lachman.
Fraktur kondiler sering disertai cedera jaringan lunak disekeliling lutut.Robekan
ligamen kollateral medial dan meniscus medial sering menyertai fraktur kondiler lateral.
Fraktur kondiler medial disertai robekan ligamen kollateral lateral dan meniscus medial.
Ligamen crusiatum anterior dapat cedera pada fraktur salah satu kondiler.Fraktur kondiler
tibia, terutama yang ekstensi frakturnya sampai ke diafisis, dapat meyebabkan kepada
sindroma kompartmen akut akibat perdarahan dan edema.
2. Fraktur Diafisis Tibia
Mekanisme trauma
Seperti fraktur pada umumnya, fraktur pada diafisis bisa di klasifikasikan
dengan berbagai cara, secara tradisional pada dokter bedah biasanya membagi
berdasarkan jenis fraktur, terbuka atau fraktur tertutup dan berdasarkan lokasi, bagian
atas, tengah atau 1/3 bawah dari tulang.
Dokter bedah lain berpendapat bahwa prognosis dari fraktur tersebut tergantung
dari keterlibatan fibula, atau dari pergeseran yang terlihat dari foto radiologi
anteroposterior dan lateral. akhir – akhir ini banyak yang mengklasifikasikan fraktur
berdasarkan derajat kerusakan jaringan lunak dan morfologi dari fraktur.
Fraktur diafisis tibia terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan
menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan
menimbulkan fraktur tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas antara 1/3
bagian tengah dan 1/3 bagian distal. Tungkai bawah bagian depan sangat sedikit ditutupi
otot sehingga fraktur pada daerah tibia sering bersifat terbuka. Penyebab utama terjadinya
fraktur adalah kecelakaan lalu lintas.
26 | P a g e
Gambar 7. Fraktur diafisis tibia
Klasifikasi fraktur
Klasifikasi dari fraktur diafisis tibia bermanfaat untuk kepentingan para dokter
yang menggunakannya untuk memperkirakan kemungkinan penyembuhan dari fraktur
dalam menjalankan penatalaksanaannya.
Klasifikasi OTA
Orthopaedic Trauma Association (OTA) membagi fraktur diafisis tibia
berdasarkan pemeriksaan radiografi, terbagi 3 grup, yaitu: simple, wedge dan kompleks.
Masing–masing grup terbagi lagi menjadi 3 yaitu:
A. Tipe simple
B. Tipe wedge
C. Tipe kompleks
OTA Tipe A OTA Tipe B
27 | P a g e
OTA Tipe C
28 | P a g e
Gambar 8. Klasifikasi Fraktur Diafisis menurut OTA
Group A1 Spiral fractures
A1.1 Intact f ibula
A1.2 Tibia and fibula fractures at diff . level
A1.3 Tibia and fibula fractures at same level
Group A2 Oblique >30 degrees
A2.1 Intact f ibula
A2.2 Tibia and fibula fractures at diff . level
A2.3 Tibia and fibula fractures at same level
29 | P a g e
Group A3 Transverse <30 degrees
A3.1 Intact f ibula
A3.2 Tibia and fibula fractures at diff . level
A3.3 Tibia and fibula fractures at same level
Group B1 Intact spiral wedges fractures
B1.1 Intact f ibula
B1.2 Tibia and fibula fractures at diff . level
B1.3 Tibia and fibula fractures at same level
Group B2 Wedges bending fractures
B2.1 Intact f ibula
B2.2 Tibia and fibula fractures at diff . level
B2.3 Tibia and fibula fractures at same level
Group B3 Comminuted wedges fracture
B3.1 Intact f ibula
B3.2 Tibia and fibula fractures at diff . level
B3.3 Tibia and fibula fractures at same level
Group C1 Spiral wedges fractures
C1.1 Two intermediate fragments
C1.2 Three intermediate fragments
C1.3 More than three intermediate fragments
30 | P a g e
Group C2 Segmental fracture
C2.1 One segmental
C2.2 Segmental fragment and addit ional wedges
fragment
C2.3 Two segmental fragment
Group C3 Comminuted fracture
C3.1 Two or three intermediate fragments
C3.2 Limited comminution
C3.3 Extensive comminution
Gambaran klinis
Ditemukan gejala fraktur berupa pembengkakan, nyeri dan sering ditemukan
deformitas misalnya penonjolan tulang keluar kulit. Sindroma kompartemen bisa muncul
di awal cedera maupun kemudian. Sehingga perlu pemeriksaan serial dan perhatian pada
ekstremitas yang mengalami cidera. Sindroma kompartemen terdiri dari: pain, pallor,
paralysis, paresthesia, pulselessness.
Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen harus mencakup bagian distal dari femur dan ankle.Dengan
pemeriksaan radiologis, dapat ditentukan lokalisasi fraktur, jenis fraktur, sama ada
transversal, spiral oblik atau rotasi/angulasi. Dapat ditentukan apakah fraktur pada tibia
dan fibula atau tibia saja atau fibula saja.Juga dapat ditentukan apakah fraktur bersifat
segmental.Foto yang digunakan adalah foto polos AP dan lateral.CT tidak diperlukan.
Pengobatan
Tindakan pengobatan selalu harus mempertimbangkan pengobatan konservatif
dengan pemakaian gips sirkuler di atas lutut dengan sedikit fleksi. Operasi dilakukan
apabila ada indikasi seperti fraktur terbuka, malunion atau nonunion yang sangat jarang
ditemukan.
31 | P a g e
1. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi fraktur dengan
manipulasi tertutup dengan pembiusan umum. Pemasangan gips sirkuler untuk
immobilisasi, dipasang sampai diatas lutut.
Prinsip reposisi adalah fraktur tertutup, ada kontak 70% atau lebih, tidak ada
angulasi dan tidak ada rotasi. Apabila ada angulasi, dapat dilakukan koreksi setelah 3
minggu (union secara fibrosa). Pada fraktur oblik atau spiral, imobilisasi dengan gips
biasanya sulit dipertahankan, sehingga mungkin diperlukan tindakan operasi.
Cast bracing adalah teknik pemasangan gips sirkuler dengan tumpuan pada
tendo patella (gips Sarmiento) yang biasanya dipergunakan setelah pembengkakan
mereda atau terjadi union secara fibrosa.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka, kegagalan dalam terapi
konservatif, fraktur tidak stabil dan adanya nonunion. Metode pengobatan operatif
adalah sama ada pemasangan plate dan screw, atau nail intrameduler, atau
pemasangan screw semata-mata atau pemasangan fiksasi eksterna.
Indikasi pemasangan fiksasi eksterna pada fraktur tibia:
Fraktur tibia terbuka grade II dan III terutama apabila terdapat kerusakan jaringan
yang hebat atau hilangnya fragmen tulang
Pseudoartrosis yang mengalami infeksi (infected pseudoarthrosis)
Komplikasi
Di antara komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur diafisis tibia adalah infeksi,
delayed union atau nonunion, malunion, kerusakan pembuluh darah (sindroma
kompartmen anterior), trauma saraf terutama pada nervus peroneal komunis dan
gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki. Gangguan pergerakan sendi ini biasanya
disebabkan adanya adhesi pada otot-otot tungkai bawah.
3. Fraktur Distal Tibia
Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan penopang badan dimana
talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis yang diikat dengan
ligamen.Dahulu, fraktur disekitar pergelangan kaki disebut fraktur Pott.
Mekanisme trauma
32 | P a g e
Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi dalam
beberapa macam trauma.
1. Trauma abduksi
Trauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang bersifat
oblik, fraktur pada maleolus medialis bersifat avulsi atau robekan pada ligamen
bagian medial.
2. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat oblik
atau avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya
menyebabkan strain atau robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya
trauma.
3. Trauma rotasi eksterna
Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi fraktur
pada fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial atau
fraktur avulsi pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai
dengan dislokasi talus.
4. Trauma kompresi vertikal
Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai dengan
dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur kominutif disertai dengan robekan
diastesis.
Klasifikasi
Lauge-Hansen(1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya
pergeseran dari fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan pengobatan
atau manipulasi yang dilakukan. Klasifikasi lain yang lebih sederhana, menurut Danis &
Weber (1991), dimana fibula merupakan tulang yang penting dalam stabilitas dari
kedudukan sendi berdasarkan atas lokalisasi fraktur terhadap sindesmosis tibiofibular.
33 | P a g e
Gambar 9. Mekanisme trauma pada fraktur maleolus
Klasifikasi terdiri atas :
• Tipe A; fraktur maleolus di bawah sindesmosis
• Tipe B; fraktur maleolus lateralis yang bersifat oblik disertai avulsi maleolus medialis
dimana sering disertai dengan robekan dari ligamen tibiofibular bagian depan
• Tipe C; fraktur fibula di atas sindesmosis dan atau disertai avulsi dari tibia disertai
fraktur atau robekan pada maleolus medialis. Pada tipe C terjadi robekan pada
sindesmosis. Jenis tipe C ini juga dikenal sebagai fraktur Duouytren.
Klasifikasi ini penting artinya dalam tindakan pengobatan oleh karena selain fraktur
juga perlu dilakukan tindakan pada ligamen.
Gambar 10. Klasifikasi menurut Danis-Weber
34 | P a g e
Gambar 11. Klasifikasi Fraktur Distal Tibia
Gambaran klinis
Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruaan atau
deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokalisasi dari nyeri tekan apakah pada
daerah tulang atau pada ligamen.
II.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka diperlukan :
- Pertolongan pertama
Pada penderita dengan fraktur yang penting dilakukan adalah membersihkan jalan
nafas, menutup luka dengan verban yang bersih dan imobilisasi fraktur pada
anggota gerak yang terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri
sebelum diangkut dengan ambulans.
- Penilaian klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka
itu tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/saraf ataukah ada trauma alat-
alat dalam yang lain.
- Resusitasi
Kebanyakan penderita dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan syok,
sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri
berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitive, prinsip
pengobatan ada empat (4R), yaitu :
1. Recognition (Diagnosis dan Penilaian Fraktur)
35 | P a g e
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis,
pemeriksaan klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan :
- Lokalisasi fraktur
- Bentuk fraktur
- Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
- Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan
2. Reduction (Reduksi fraktur apabila perlu)
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima.
Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin
mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas serta perubahan osteoarthritis di kemudian hari.
Posisi yang baik adalah :
- Alignment yang sempurna
- Aposisi yang sempurna
3. Retention
Imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.
Penatalaksanaan pada fraktur tibia tergantung pada:
- Lokasi fraktur
- Displacement (pergeseran)
- Alignment
- Assosiated injury
- Kondisi jaringan lunak sekitarnya
1. Terapi tertutup
Dilakukan pada trauma dengan energi rendah, displace yang minimal, fraktur
tibia yang isolated dapat digunakan ‘long leg cast’ dan progressive weight bearing. Cast
ini dipasang dengan posisi lutut flexi 00 - 50dan mobilisasi weight bearing secepatnya.
Pasien dengan isolated injury biasanya dirawat inap 2-5 hari untuk untuk manajemen
nyerinya lalu dilanjutkan dengan berjalan menggunakan tongkat sampai akhirnya full
weight bearing pada 2-4 minggu.
36 | P a g e
Terapi dengan bearing cast ini dikontraindikasikan pada fraktur dengan
deformitas berupa shortening dan adanya angulasi, dan angulasinya bertambah setelah di
cast.
2. Reduksi tertutup
Untuk terapi fraktur tibia dengan sedikit atau tanpa pergeseran dapat dilakukan
reduksi tertutup dibawah analgetik atau anastesi. Posisi pasien di meja operasi dengan
kaki tergantung dengan lutut fleksi untuk merelaksasikan otot gastrocnemius dan soleus
dan dapat di traksi dengan gravitasi. Setelah itu kaki dibersihkan untuk mencegah selulitis
lalu dipasang cast.
Setelah cast terpasang, dilakukan xray, bila pergseran fraktur minimal, tidak ada
penyulit pasien diperbolehkan pulang. Pasien dilatih untuk program quadriceps isometric
dan pasien diberitahu cara untuk non weight bearing program dan dianjurkan untuk
check-up 2-4 hari kemudian.
Pada low energy fraktur lebih baik dilanjutkan dengan weight bearing yang lebih
awal, pasien diinstruksikan dengan quadriceps isometrics dan kaki diluruskan ke atas
selama minggu awal.
37 | P a g e
3. Fiksasi external
Fiksasi external digunakan untuk fraktur terbuka tetapi ada juga yang
mengajurkan untuk fraktur tertutup.Fiksasi internal ini menggunakan titanium atau
stainlees stail. Peran dari external fiksasi ini telah berkembang bukan hanya digunakan
untuk terapi subakut pada fraktur dengan bone loss tetapi hasil yang baik juga terhadap
nonunion fracture, infected nonunion.
External fiksasi di indikasikan pada fraktur tertutup yang tertutup dan fraktur
tertutup dengan komplikasi oleh kompartemen sindrom dan kegagalan sensasi. Telah
dilaporkan dari 250 orang pasien dengan fraktur terbuka dan tertutup dapat ditangani
dengan menggunakan fiksasi eksterna dilanjutkan dengan 3-6 minggu weight bearing
dengan long leg cast.
Rehabilitasi:
Untuk fraktur yang stabil 6 minggu pertama, partial weight bearing menggunakan
tongkat, 10 – 15 kg.tetap lakukan exercise dari sendi- sendinya. Selama 6 minggu -3
bulan apabila stabil dan membaik secara kinis dan radiologi maka weight bearingnya
dapat ditambahkan sesuai toleransinya.
38 | P a g e
4. Fiksasi internal
a. Plat dan screw
Diindikasikan untuk fraktur dengan displace dari intraartikular fraktur dan
fraktur dari metafisis juction dari pergelangan kaki dan tungkai bawah. Malunion dan
nonunion juga merupakan indikasi lain.
Telah dilaporkan 97% fraktur tibia yang tertutup dengan plat mengalami
perbaikan, untuk komplikasi infeksinya kurang dari 1%.
b. Intramedulary nailing
Metode terapi alternatif lain pada fraktur shaft tibia tertutup adalah dengan
intramedullary nailing dan bagian teratas tibia.
Rehabilitasi:
Menggunakan long leg cast 0 – 6 minggu sampai fraktur union secara klinis.
Partial weight bearing 12 – 25kg pada awal dengan menggunakan tongkat. Range of
motion exercise. Pada minggu ke 6 – minggu ke 12 pada fraktur yang stabil latihan dari
otot gastrocnemius setelah itu dilanjutkan dengan full weight bearing.
II.2.7. Prognosis
Prognosis dari fraktur tibia untuk kehidupan adalah bonam. Pada sisi fungsi dari
kaki yang cedera, kebanyakan pasien kembali ke perfoma semula,namun hal ini sangat
tergantung dari gambaran frakturnya, macam terapi yang dipilih, dan bagaimana respon
tubuh terhadap pengobatan.
39 | P a g e
II.2.8. Kesimpulan
Fraktur tulang panjang yang paling sering terjadi adalah fraktur pada tibia.Pada
fraktur tibia, dapat terjadi fraktur pada bagian kondiler, diafisis dan pergelangan kaki.
Fraktur pada tibia termasuk luka kompleks, sehingga tentunya penanganannya juga tidak
sederhana.Sebagai dokter umum, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap
diperlukan jika terjadi fraktur. Selain itu, pemeriksaan radiologis juga penting.
Penatalaksanaan dari fraktur tergantung dari kondisi frakturnya, bisa dengan operatif
maupun non operatif.
40 | P a g e
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, dimana fraktur tersebut
dibagi menjadi fraktur tertutup dan terbuka.Diagnosis fraktur ditegakkan dengan
melakukan anamnesis secara menyeluruh, disertai dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
Anamnesa
Pada kasus Sdr. AN, pasien datang dengan post terjatuh, dari hasil anamnesa
didapatkan keluhan nyeri pada kaki kirinya saat digerakkan. Sebelumnya pasien
mengalami trauma, yaitu terjatuh saat menjalani latihan, saat itu pasien sedang mendaki
dan kemudian terperosok ke jurang dengan kedalaman sekitar 2 meter, lalu kaki kiri
pasien sebagai tumpuan saat terjatuh. Pasien terjatuh 6 hari SMRS.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status generalis tidak didapatkan gangguan.
Pada pemeriksaan status lokalis regio cruris sinsitra
Look : Tampak region cruris sinistra swelling dan kemerahan. Tidak
tampak deformitas. Vulnus Laceratum (-), Sianosis (–).
Feel : nyeri saat digerakkan (+), nyeri tekan (+),pulsasi a. dorsalis pedis
(+), akral hangat (+), sensasi (+), capp refill (< 2’)
Move : gerakan aktif dan pasif terbatas, nyeri saat digerakkan
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ini dicurigai adanya fraktur regio cruris
sinistra ataupun trauma muskuloskeletal lainnya di regio tersebut. Dari mekanisme
trauma yang terjadi kemungkinan adalah trauma angulasi yang akan menimbulkan fraktur
tipe transversal atau oblik pendek. Untuk memastikan apakah pada pasien ini mengalami
fraktur atau tidak, diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu foto rontgen regio cruris yang
dikeluhkan, yaitu bagian sinistra.
41 | P a g e
Pemeriksaan Penunjang
Dari hasil foto rontgen regio cruris sinistra didapatkan adanya terdapat
diskontinuitas tulang (fraktur) os Tibia Sinistra 1/3 Proksimal komplit dengan
garis fraktur tranvesal serta aposisi dan alignment baik.
Assessment
Closed Fracture 1/3 Diafisis Tibia Proksimal Sinistra (Isolated)
Penatalaksanaan
Sesuai dengan teori sebelumnya yang mengatakan bahwa penatalaksanaan
yang dilakukan pada faktur adalah mempertimbangkan terlebih dahulu terapi
konservatif, apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan terapi konservatif, baru
dipikirkan penatalaksanaan secara operatif.
1. Pada pasien ini pertama-tama dilakukan recognition (Diagnosis dan Penilaian
Fraktur). Pada pasien ini diketahui bahwa terdapat Closed Fracture 1/3 Diafisis
Tibia Proksimal Sinistra (Isolated).
2. Reduction (Reduksi fraktur apabila perlu)
Pada pasien ini dilakukan closed reduction, karena dari hasil rontgen cruris
sinistra didapatkan bahwa alignment dan aposisi os tibia baik, dengan
pergeseran sedikit os tibia. Closed reduction dilakukan di ruang operasi
dengan menggunakan anestesi dengan tujuan tetap mengutamakan
kenyamanan pasien, agar selama proses reduksi tidak terasa nyeri.
3. Retention
Setelah dilakukan closed reduction dilakukan imobilisasi fraktur, dengan metode
konservatif berupa reduksi fraktur. Pemasangan gips sirkuler untuk immobilisasi,
dipasang sampai diatas lutut.
Pada pasien ini dilakukan pemasangan long leg cast yang berjalan mulai dari
bagian tengah paha sampai metatarsal. LLC ini diindikasikan untuk fraktur tertutup
dan nondisplacement fracture, pasien dengan usia muda sesuai dengan keadaan
sdr.AN. Cast ini dipasang dengan posisi lutut flexi 100-1 50 , fleksi ankle 900 , dan
mobilisasi weight bearing secepatnya.
42 | P a g e
4. Rehabilitation
Tujuan dari rehabilitasi adalah mengembalikan aktifitas fungsional
semaksimal mungkin. Pasien dengan isolated injury biasanya dirawat inap 2-5
hari untuk untuk manajemen nyerinya lalu dilanjutkan dengan berjalan
menggunakan tongkat sampai akhirnya full weight bearing pada 2-4 minggu.
Pada hari ke-2 post pemasangan LLC pasien sudah berlatih mobilisasi,
yaitu berjalan dengan bantuan dua kruk. Alasan memulai mobilisasi pada hari
ke-2 post pemasangan LLC ini salah satunya adalah cast yang sudah benar-
benar kering.
Untuk evaluasi keadaan fraktur dilakukan monitoring dengan radiografi
berupa foto rontgen untuk mengetahui apakah alignmentnya adekuat, sekitar
6-8 minggu setelah pemasangan cast. Selain itu juga dievaluasi apakah ada
tanda-tanda pemasangan cast yang terlalu ketat atau terlalu longgar. Karena
pemasangan cast yang terlalu ketat dapat mengakibatkan rasa nyeri, kekakuan
sendi, bahkan kompartemen sindrom.
43 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Alexa. Ilmu bedah fraktur terbuka. Available from : www.bedahugm.net/frakturterbuka
Apley, A Graham. Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur, Edisi 7. 1995. Jakarta: Widya
Medika
Buckley R., Panaro CDA. General principles of fracture care. Available from :
http://www.emedicine.com/orthoped/byname/General-Principles-of-Fracture-
Care.htm
Brian K Konowalchu, 2012, tibial shaft fracture,
http://emedicine.medscape.com/article/1249984-overview#a0103 diakses pada
tanggal 02 Juni 2013
Kahlon I. A., Hanif A. & Awais S. M., 2004, Analysis of emergency care of trauma
patients with references to the type of injuries, treatment and cost, Departement of
Orthopedics, General Hospital, Lahore, ANNALS Volume 16, No.1, Jan-Mar,
2010
Moore, Keith L. Anatomi Klinis Dasar. 2002. Jakarta: Hipokrates
Prof. Chaerudin Rasjad MD, PhD. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi Kedua. Jakarta.
Rockwood,Green. Fractures in Adults. Vol2. Edisi keempat. United States. Lippincott
Raven,
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC.
Roshan A., Ram S., 2008. The neglected femoral neck fracture in young and adult :
Review of a challenging problem (review), Clinical Medicine & Research Volume
6, Number 1:33-39, Available from: clinmedres.org [Accessed: 2012, 26 Sept
2012]
Skinner, Harry B. 2006. Current Diagnosis & Treatment In Orthopedics. USA: The
McGraw-Hill Companies.
44 | P a g e