Fungsional Dan Budaya

  • Upload
    fmdeen

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    1/11

    TEORI FUNGSIONALISME

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Budaya adalah hasil cipta, karya, dan karsa manusia. Dengan definisi seperti itu maka

    kebudayaan mempunyai nilai pragmatis karena sebelum manusia mencipta yang terlebih

    dahulu ada adalah tujuan dari penciptaan itu sendiri. Dalam kehidupan, antara manusia dan

    kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, bahkan ada yang mengungkapkan bahwa

    manusia menjadi manusia merupakan kebudayaan. Hampir semua tindakan manusia itu

    merupakan kebudayaan.

    Teori fungsi kebudayaan yang diungkapkan oleh Malinowski merupakan penegasan dari

    definisi yang diungkapkan di awal kalau setiap kebudayaan harus memberikan manfaat untukmasyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa

    setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari

    kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang

    bersangkutan.

    Adapun budaya yang merupakan hasil belajar manusia termasuk dalam proses penyepakatan

    sebuah budaya, dalam proses belajar itu masyarakat menelaah kekurangan dan kelebihan yang

    akan mereka rasakan. Ketika kekurangan dari sebuah budaya terlalu banyak dan beresiko

    untuk dipertahankan maka dengan sendirinya kebudayaan akan tersingkir. Dalam hal ini, teori

    fungsi kebudayaan lebih memperinci lagi kedudukan kebudayaan di masyarakat melalui

    fungsinya.

    Setelah mengetahui begitu besar hubungan antara teori fungsi dengan realita kebudayaan di

    masyarakat, maka dalam penulisan makalah ini akan dibahas mengenai teori fungsionalisme

    dalam kebudayaan.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut.

    1. Apa hakikat fungsionalisme?

    2. Bagaimana pandangan para tokoh mengenai fungsionalisme?3. Bagaimana proses perkembangan teori fungsionalisme?

    4. Apa kelebihan dan kekurangan teori fungsionalisme?

    5. Bagaimana pandangan teori Fungsionalisme Malinoswki dan aplikasinya dalam realita

    kebudayaan di masyarakat?

    1.3 Tujuan Penulisan

    Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan tujuan

    penulisan sebagai berikut.

    1. Mengetahui hakikat fungsionalisme.

    2. Mengetahui pandangan para tokoh mengenai fungsionalisme.3. Mengetahui proses perkembangan teori fungsionalisme.

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    2/11

    4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan teori fungsionalisme.

    5. Mengetahui pandangan teori Fungsionalisme Malinoswki dan aplikasinya dalam

    realita kebudayaan di masyarakat.

    1.4 Manfaat Penulisan

    Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembaca dalam

    mempelajari teori fungsionalisme sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

    pembaca mengenai teori fungsionalisme serta aplikasinya dalam kehidupan.

    BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1 Hakikat Fungsionalisme

    Kata fungsionalisme merupakan kata dengan akhiranisme. Dalam bahasa Indonesia, kata iniberarti sebuah paham. Paham adalah salah satu bentuk aliran atau cara berpikir. Sejauh ini,

    kata fungsi dimaknai sebagai kegunaan suatu hal. Setiap benda, hal, kejadian, atau peristiwa

    mestinya memiliki sebuah fungsi. Apa bila tidak dilihat dari segi fungsinya, dapat pula dilihat

    dari segi kegunaan.

    Seperti yang sudah diungkapkan pada subbab sebelumnya, bahwa fungsional menekankan

    pada fungsi-fungsi. Ini dapat diterapkan mulai dari hal-hal sederhana sampai kompleks. Tidak

    dapat dipungkiri, bahwa dalam sebuah jabatan suatu instansi merupakan implementasi dari

    sebuah fungsi kerja.

    Fungsionalisme adalah sebuah studi tentang operasi mental, mempelajari fungsi-fungsi

    kesadaran dalam menjembatani antara kebutuhan manusia dan lingkungannya.

    Fungsionalisme menekankan pada totalitas dalam hubungan pikiran and perilaku. Dengan

    demikian, hubungan antar manusia dengan lingkungannya merupakan bentuk manifestasi dari

    pikiran dan perilaku.

    Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme yang diterangkan oleh David Kaplan dan Robert

    A. Manners dalam Teori Budaya, adalah penekanan dominan dalam studi antropologi

    khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Dalam fungsionalisme ada

    kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni

    diktum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi sistem sistemik budaya.

    Artinya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-

    struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain

    ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa kaitan,

    yang muncul disana-sini karena kebetulan historis (Kaplan & Manners, 2002).

    Dalam tafsir fungsionalis, fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling

    ketergantungan. Di samping itu para fungsionalis juga menyatakan bahwa fungsionalisme

    merupakan teori tentang proses kultural.

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    3/11

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    4/11

    1. Aliran Fungsionalisme Chicago

    Terdapat banyak tokoh Fungsionalisme di Universitas Chicago sehingga dapat dikatakan

    menjadi aliran tersendiri yang disebut Fungsionalisme Chicago.

    a. John Dewey (1859-1952)

    Pada tahun 1886 menulis buku yang berjudul Psychology dan dalam bukunya ini

    beliau mengenalkan cara orang Amerika belajar ppsikologi yaitu melalui cara

    pragmatisme

    Sarjana-sarjana di Amerika kurang tertarik dengan pertanyaan Apakah jiwa itu?

    tetapi lebih tertarik pada pertanyaan Apakah kegunaan jiwa?

    John Dewey juga menganjurkan metode yang Ia sebut dengan Learning by doing

    (belajar sambil melakukan)

    Dewey berpendapat bahwa segala pemikiran dan perbuatan harus selalu mempunyai

    tujuan, oleh karena alasan itulah ia menentang teori elementarisme.

    b. James Rowland Angell

    James memiliki tiga pandangan terhadap fungsionalisme, yaitu:

    Fungsionalisme adalah psikologi tentang mental operation (aktivitas bekerjanya

    jiwa) sebagai lawan dari psikologi tentang elemen-elemen mental,

    Fungsionalisme adalah psikologi tentang kegunaan dasar-dasar kesadaran. Ini juga

    disebut sebagai teori emergensi dari kesadaran,

    Fungsionalisme adalah psiko-phisik, yaiitu psikologi tentang keseluruhan organisme

    yang terdiri dari badan dan jiwa.

    2. Aliran Fungsionalisme Columbia

    Selain di Chhicago, Fungsionalisme juga mempunyai banyak tokoh di Teachers College

    Columbia yang disebut aliran Columbia. Ciri aliran ini adalah kebebasannya meneliti tingkah

    laku yang dianggap sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan psikologi tak perlu ersifat

    deskriptif karena yang penting adalah korelasi tingkah laku dengan tingkah laku lain.

    a. James MC Keen Cattel (1866-1944)

    Keen Cattel mengusung teori mengenai kebebasan dalam mempelajari tingkah laku. Ia

    mempunyai dua pandangan mengenai aliran fungsionalisme, yaitu: Fungsionalisme tidak perlu menganut paham dualisme karena manusia dianggap

    sebagai keseluruhan yang merupakan suatu kesatuan,

    Fungsionalisme tidak perlu deskriptif dalam mempelajari tingkah laku, karena yang

    penting adalah fungsi tingkah laku. Sehingga yang harus dipelajari adalah hubungan

    (korelasi) antara satu tingkah laku dengan tingkah laku lainnya.

    Dapat dikatakan bahwa semua cabang-cabang psikologi modern merupakan

    perkembangan dari fungsionalisme. Dalam percobaanya Cattel menemukan kapasitas

    individual kemudian ia menciptakan alat-alat untuk mengukur kapasitas, kemampuan

    individual yang sekaran kita kenal sebagai psikotes / mental test.

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    5/11

    b.Edward Lee Thorndike (1874-1949)

    Edward Lee pernah bekerja di Teachers College of Columbia dibawah kepemimpinan

    James Mc. Keen Cattel. Thorndike lebih menekankan penelitiannya pada cara dan dasar

    belajar. Dasar pembelajaran yaitu asosiasi dan cara coba-salah (trial and error). Ia

    merumuskan beberapa prinsip:

    The Law of Effect yaitu hukum yang menyatakan intensitas hubungan antara stimulus-

    respons akan meningkat jika mengalami keadaan yang menyenangkan, sebaliknya

    akan melemah jika keadaan tak menyenangkan.jika terjadi suatu keadaan akan terjadi

    asosiasi dengan keadaan yang sebelumnya yaitu hubungan stimulus-respon atau

    responsrespons.

    The Law of Exercise atau The Law of use and disuse adalah hukum bahwa stimulus-

    respons dapat timbul atau didorong dengan latihan berulangulang. Jika tak dilatih

    hubungan tersebut akan melemah dan kemudian menghilang.

    Berdasarkan kedua aliran fungsionalisme di atas, maka dapat dirumuskan bahwa aliranfungsionalisme memiliki beberapa ciri khas, yaitu :

    Menekankan pada fungsi mental dibandingkan dengan elemen-elemen mental.

    Fungsi-fungsi psikologis adalah adaptasi terhadap lingkungan sebagaimana adaptasi biologis

    Darwin. Kemampuan individu untuk berubah sesuai tuntutan dalam hubungannya dengan

    lingkungan adalah sesuatu yang terpenting.

    Sangat memandang penting aspek terapan atau fungsi dari psikologi itu sendiri bagi berbagai

    bidang dan kelompok manusia.

    Aktivitas mental tidak dapat dipisahkan dari aktivitas fisik, maka stimulus dan respons adalah

    suatu kesatuan.

    Psikologi sangat berkaitan dengan biologi dan merupakan cabang yang berkembang dari

    biologi. Maka pemahaman tentang anatomi dan fungsi fisiologis akan sangat membantu

    pemahaman tentang fungsi mental.

    Menerima berbagai metode dalam mempelajari aktivitas mental manusia, meskipun sebagian

    besar riset dilakukan di Univ. Chicago ( pusat perkembangn fungsionalisme) menggunakn

    metode eksperimen, pada dasarnya aliran fungsionalisme tidk berpegang pada satu metode

    inti. Metode yang digunnakan sangat tergantung dari permasalahan yang dihadapi.

    2.3 Perkembangan fungsionalismeYang melatar belakangi lahirnya fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya

    kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya (evolusi, difusi, dan sejarah

    kebudayaan), meskipun sudah menggunakan metode dengan baik, dan bahkan mereka selalu

    memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya. Akan tetapi kesan yang muncul dari hasil

    atau kesimpulan dari penelitian mereka seakan spekulatif. Kelemahan-kelemahan muncul

    antara lain disebabkan karena, studi-studi yang mereka lakukan tidak membandingkan

    kebudayaan-kebudayaan yang saling berdekatan, akan tetapi lebih kepada data yang telah

    tersedia dalam budaya itu sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk

    memperoleh data tersebut (Ahimsa dalam Andi, 2010). Meskipun ada beberapa ilmuwan yang

    telah melakukan penelitian lapangan, sampai pada sejarah kebudayaan pun, seperti yang

    dilakukan Boas dan dikembangkan murid-muridnya hingga abad ke 20, masih juga terdapat

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    6/11

    kelemahan-kelemahan didalamnya. Terbukti dengan berbagai kritik yang dilontarkan pada

    teori tersebut.

    Bronis Law Malinowski adalah salah satu ilmuwan yang menolak pendekatan sejarah

    (historical approach) dalam antropologi. Dari penelitian Malinowski ini, disadari bahwa,

    adanya keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk mempelajari masyarakat

    sederhana di luar Eropa, yang belum mengenal tulisan dan juga belum pernah ditulis oranglain (Ahimsa dalam Andi, 2010). Sejarah yang dipahami oleh masyarakat di luar Eropa

    (termasuk di Indonesia), adalah sejarah yang mereka yakini pernah ada di kehidupan sebelum

    mereka dalam sebuah dongeng atau mitos, karena di jaman itu memang belum mengenal

    tulisan. Misalnya, budaya slametan di jawa yang pernah di teliti oleh Clifford Gertz, dalam

    bukunya relegion of java menerangkan bahwa slametan menjaga mereka dari gangguan

    makhluk halus sehingga mereka tidak lagi merasa sakit, sedih, atau bingung. Slametan juga

    dapat diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang

    ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah

    rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit, memohon kepada arwah

    penjaga desa, khitanan, memulai suatu rapat politik dan mungkin masih banyak lagi

    peristiwa-peristiwa yang bisa di slameti (dilakukan slametan), dan itu dilakukan sejak duluoleh leluhur mereka yang diyakini mempunyai kisah tersendiri (Clifford Gertz dalam Andi,

    2010).

    Dari situlah kemudian terlihat gejala-gejala paradigma fungsionalisme yang dibawa oleh

    Bronis Law Malinowski, seorang tokoh dalam sejarah teori antropologi yang lahir di Cracow,

    Polandia pada tahun 1884, seorang putera bangsawan dan guru besar sastrawan slavik di

    Polandia. Teori ini diilhaminya dari teori belajar, atau learning theory, yang sangat menarik

    perhatiannya, sehingga dipakainya untuk memberi dasar eksak bagi pemikirannya terhadap

    hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur suatu kebudayaan (Koentjaraningrat dalam

    Kaplan & Manners, 2002). Dari ketertarikannya tentang teori tersebut, kemudian ia terapkan

    pada sebuah tulisan mengenai aspek-aspek pada masyarakat pada kepulauan Trobrian yang

    berada di bagian utara kepulauan Masim, sebelah tenggara Papua Niugini, yang pernah ia

    teliti pada tahun 1914 (Koentjaraningrat dalam Kaplan & Manners, 2002). Secara tidak

    langsung ia telah mengintroduksikan sebuah paradigma baru dalam ilmu antropologi,

    kemudian muncul reaksi dari kalangan keilmuan antropologi, yang memberikan dorongan

    kepadanya untuk mengembangkan teori tersebut, dan terciptalah sebuah paradigma baru yang

    tidak historis ini yakni Fungsionalisme.

    Di lain hal Radcliffe-Brown, ilmuwan yang mendeskripsikan masyarakat di kepulauan

    Andaman (penduduk Negrito) sebelah utara Pulau Sumatra antara tahun 1906 dan 1908,

    sebagai desertasinya yang memang sifatnya lebih struktural, tapi itu merupakan contoh lain

    dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional. Kemudian buku itu diterbitkan bersamaan

    dengan buku Malinowski pada tahun 1922. Berkat kiprah Malinowski dan Radcliffe-Brownserta murid-murid mereka, peradigma fungsionalisme yang kemudian disebut fungsionalisme-

    struktural, berhasil menjadi paradigma yang menguasai ilmu-ilmu social di Barat tahun 1940-

    1960an. Berbagai teori fungsional-struktural mengenai gejala sosial-budaya bermunculan di

    era tersebut, seperti teori fungsi kebudayaan, fungsi mitos, fungsi ritual, fungsi kekerabatan,

    fungsi sistem politik, fungsi hukum dan sebagainya (Ahimsa dalam Andi, 2010).

    Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi

    antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Artinya,

    menonjolnya fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini

    bukanlah suatu hal yang kebetulan (Kaplan dan Manners, 2002:76). Fungsionalisme, menurut

    para ilmuwan-ilmuwannya adalah sebuah paradigma kebudayaan yang meliputi, metodologi

    untuk mengeksplorasi saling ketergantungan, dan fungsionalisme merupakan teori tentangproses kultural. Selain berminat melacak cara saling pertautan yang sangat bermacam ragam

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    7/11

    dan sering kali mengejutkan antara unsur-unsur suatu budaya, banyak fungsionalis

    berpandangan dan mengklaim bahwa mereka telah menciptakan sosok teori yang menjelaskan

    mengapa unsur-unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa terjadi pola budaya

    tertentu atau setidak-tidaknya mengapa pola itu bertahan. Ketika Malinowski menjelaskan

    magic Trobrian sehubungan dengan fungsinya untuk mengurangi kecemasan menghadapi hal-

    hal yang tidak di pahami, dia seolah menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magic itudalam budaya masyarakat Trobriand.

    2.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Fungsionalisme

    Menurut Kaplan dan Manners dalam bukunya mengatakan bahwa dalam fungsionalisme ada

    kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni,

    (diktum metodologis), bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya, artinya kita

    harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu

    masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat, kemungkinan lain adalah

    memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tqanpa kaitan yang

    muncul disana-sini karena kebetulan historis. Fungsionalisme sebagai perspektif teoretik

    dalam antropologi bertumpu pada (analogi dengan organisme), artinya ia membawa kita

    memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidakhanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas,

    dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional

    adalah asumsi (terbuka maupun tersirat) bahwa semua sisem budaya memiliki syarat

    fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Atau sistem budaya memiliki

    kebutuhan (mungkin dikatakan sebagai kebutuhan sosial ala Radcliffe-Brown, atau

    diungkapkan dalam peristilahan biologis individual ala Malinowski) yang semuanya harus

    dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup.dapatlah diduga bahwa jika kebutuhan sistem

    fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami disintegrasi dan mati. Atau ia

    akan berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis. Maka dalam hal ini institusi, kegiatan

    budaya, dan kompleks kultural lainnya, dipahami atau dijelaskan bukan hanya sebagai

    spesifikasi hubungan dengan suatu sistem yang lebih besar dan mengimplikasikan hal-hal

    tersebut. Hendak ditunjukkan pula bahwa hubungan tadi ikut berperan memelihara sistem

    besar itu atau sebagian tertentu darinya (Kaplan dan Manners, 2002: 77-78).

    Dari uraian diatas menimbulkan asumsi bahwa kesempurnaan paradigma fungsionalis masih

    harus dibumbui dengan beberapa aspek yang tanpanya bisa jadi wujud fungsionalis adalah

    sebuah paradigma yang stagnan atau bahkan bisa dikatakan mati. Artinya paradigma ini masih

    mempunyai kelemahan, meskipun secara eksplisit teorinya sudah mampu menyimpulkan

    keadaan sebuah kebudayaan. Kelemahan-kelemahan yang ada mungkin bisa di kategorikan

    sebagai berikut.

    1. Manakala analisis fungsional berupaya untuk tidak berhenti pada metodologi pencarian

    hubungan struktural bamun terus mengarah ke suatu teori tentang asal mula atau persistensistruktur tertentu, maka ia terkendala oleh keterbatasan logis yang itu ke itu juga. Karena

    pelekatan fungsi pada suatu institusi selalu merupakan hal yang bersifat post hoc.

    2. Penjelasan fungsional berlagak pura-pura arif dan masuk akal dalam memandang

    institusi beserta fungsinya. Seolah ia menjelaskan lebih banyak daripada yang betul-betul ia

    jelaskan. Misalnya, dikatakan bahwa daam masyarakat X pelaksanaan ritual tertentu

    memupuk solidaritas sosial sehingga mendukung sistem di mana ritual itu menjadi bagian.

    Marilah kita abaikan dahulu apa yang dimaksud dengan solidaritas sosial dan memelihara

    sistem itu. Kita melihat suatu masyarakat sedang mendenyut, dan kita saksikan para warga

    pribuminya melaksanakan ritual. Memang sangat masuk akal bila kedua hal itu lalu dikait-

    kaitkan secara yang tersebut diatas, akan tetapi penjelasan macam apakah yang telah kita

    berikan mengenai ritual itu, baik mengenai asal-mula maupun kesestarian pelaksanaannya?

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    8/11

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    9/11

    dilakukan dengan tukar menukar (barter) berupa berbagai macam bahan makanan, barang-

    barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada itu yang paling menonjol dan menarik

    perhatian adalah bentuk pertukaran perhiasana yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga

    dan bernialai tinggi. Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar satu arah mengikuti arah

    jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang (mwali) yang beredar berlawanan dari arah

    kalung kerang dipertukarkan.

    Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah bentuk

    perkeonomian masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya

    dengan menggunakan teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik, namun

    disis lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam karangan tersebut ialah keterkaitan

    sistem perdagangan atau ekonomi yang saling terkait dengan unsur kebudayaan lainnya

    seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang berlaku pada masyarakat

    Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut terbentuk kerangka etnografi yang saling

    berhubungan satu sama lain melalui fungsi dari aktifitas tersebut. Pokok dari tulisan tersebut

    oleh Malinowski ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang berintegrasi secara fungsional.

    Selain dari hasil karya etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upayaMalinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian. Dan sangat lugas

    ditekankan pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat

    yang diteliti, menguasai bahasa mereka agar dapat memahami apa yang objek lakukan sesuai

    dengan konsep yang berlaku pada masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan

    menjadi metode adalah pencatatan. Mencatat seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu kasus

    yang konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu yang patut untuk para peneliti

    menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar

    dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut

    dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :

    1. saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.

    2. konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.

    3. unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.

    4. esensi atau inti dari kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan

    kebutuhan dasar biologis manusia.

    Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya

    dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur

    kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan

    naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial

    atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuahn manusia yang suka berkumpul

    dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian

    perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.Dalam konsep fungsionalisme Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok

    manusia yang terlembagakan dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-

    kebutuhan manusia. Seperti kebutuhan gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction),

    kenyamanan (body comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation), pergerakan

    (movement), dan pertumbuhan (growth). Setiap lembaga sosial (Institution, dalam istilah

    Malinowski) memiliki bagian-bagian yang harus dipenuhi dalam kebudayaan.

    Sebenarnya inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan

    itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri

    mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya (Nana, 2011). Kebutuhan

    itu meliputi kebutuhan biologis maupun skunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari

    perkembangan kebudayaan itu sendiri. Sebagai contoh, Malinowski menggambarkan bahwacinta dan seks yang merupakan kebutuhan biologis manusia, harus diperhatikan bersama-

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    10/11

    sama dalam konteks pacaran, pacaran menuju perkawinan yang menciptakan keluarga, dan

    keluarga tercipta menjadi landasan bagi kekerabatan dan klen, dan bila kekerabatan telah

    tercipta akan ada sistem yang mengaturnya. Selanjutnya akan dibahas mengenai sistem

    kekerabatan dan fungsinya dalam kebudayaan.

    Kesenian misalnya yang merupakan salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula

    manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan jugatimbul karena kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas

    kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya

    yang muncul akibat kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok

    masyarakat petani, nelayan, atau para politikus, akademisi dan lain-lain . Masing-masing dari

    kelompok tersebut akan selalu berusaha menjaga eksistensinya agar dapat menjalankan

    fungsinya untuk memenuhi kebutuhan dari kelompoknya sendiri.

    Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam mengembangkan maupun

    memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi peralatan, artefak, dan kegiatan

    menghasilkan makan melalui bimbingan pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses

    belajar manusia dapat meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses

    belajar adalah mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing olehkeyakinan, demikian pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem

    pengetahuan ia akan terikat dan dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan, nasib,

    kehidupan, kematian dan alam semesta. Jadi, sebagai hasil langsung kebutuhan manusia untuk

    membangun sistem dan mengorganisasi pengetahuan, timbul pula kebutuhan akan agama.

    Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya pemenuhan kebutuhan

    manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah masalah mendasar. Kepercayaan,

    dan magik sekalipun, harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi fungsi

    psikologis. Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama

    yang diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang.

    Magik bagi sebagian masyarakat manusia di dunia ini diyakini memiliki daya kerja, meredam

    kecemasan terhadap masa depan yang tak dikendalikan. Dan dengan agama, magik

    dikembangkan dan berfungsi dalam situasi-situasi stress emosional, dan fungsi magik adalah

    ritualisasi optimisme manusia, melancarkan keyakinannya dalam kemenangan harapan atas

    ketakutan, dan ketakutan manusia itu meliputi ketakutan akan bencana alam, akan penyakit

    dan lain-lain, dan semua ketakutan itu berpangkal dari ketakutan manusia akan kematian.

    Apa yang diuraikan di atas adalah teori fungsional kebudayaan sesuai dengan pemikiran

    Bronislaw Malinowski, yang menguraikan tentang kebutuhan manusia yang terdiri dari

    kebutuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sampingan. Sedangkan menurut Maslows

    Hierarchy of Needs, menguraikan tingkat kebutuhan yang dibutuhkan manusia ada lima

    tingkatan yaitu dari kebutuhan tingkat terendah sampai tingkat kebutuhan tertinggi meliputi :

    1. Physiologi, kebutuhan faal tubuh meliputi pemenuhan kebutuhan akan rasa haus, lapar,istirahat dan aktivitas.

    2. Safety Scurity, yaitu kebutuhan akan rasa aman yang bebas dari takut dan cemas atau

    kekhawatiran.

    3. Belongings and love, manusia membutuhkan harta benda dan kasing sayang untuk

    mendukung eksistensinya

    4. Esteemself and others, kebutuhan manusia akan penghargaan pribadi dan orang lain.

    5. Self actualization, personal self fulfillment, kebutuhan akan aktualisasi diri, pemenuhan

    diri pribadi.

    Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan kebutuhan yang ideal. Namun dalam

    kenyataannya untuk memenuhi setiap kebutuhan itu harus disertai faktor pendukung. Bila kita

    amati dalam kehidupan masyarakat, masih banyak hal yang masih perlu diperbuat dan

  • 8/13/2019 Fungsional Dan Budaya

    11/11

    diusahakan oleh setiap individu maupun masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya dari

    tingkat paling bawah sampai ketingkatan yang teratas.

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 SimpulanAliran fungsionalisme merupakan jenis level pola pikir jangka panjang. Aliran ini dapat

    diaplikasikan dalam berbagai bidang. Apabila ada seseorang yang ingin melangkah ke suatu

    tempat, jalan berpikir secara fungsionalisme menuntut untuk mengikutsertakan faktaor-faktor

    yang tidak secara langsung terlibat. Barulah dapat ditelusur simpulan atas hasil pemikirannya

    tersebut.

    Aliran fungsionalisme ini memiliki kekurangan dalam hal profesionalitas. Sebagai analogi,

    apabila sebuah piring digunakan tidak hanya sebagai tempat nasi, tetapi juga sebagai wakul

    atau yang lainnya akan berdampak pada hakikat dari piring tersebut. Bahwa secara struktur

    memang benar bahwa piring adalah tempat nasi, dan sendok adalah alat untuk mengambil

    nasi. Tetapi bila piring digunakan untuk mengambil nasi, maka kedudukan piring menjadi

    tidak jelas. Analagi sederhana tersebut sekiranya dapat menjelaskan garis besar teorifungsionalisme.

    3.2 Saran

    Kita sebagai mahasiswa yang hidup di tengah-tengah masyarakat hendaknya memahami akan

    kebudayaan sekitar. Dalam memahami kebudayaan yang semakin kompleks, maka diperlukan

    berbagai teori atau paham agar kita dapat mengkajinya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi

    terpelajar hendaknya berusaha menambah ilmu sebanyak mungkin agar bermanfaat bagi

    kehidupan. Semakin banyak ilmu yang kita kuasai maka semakin berarti kita dalam

    kehidupan ini.

    DAFTAR PUSTAKA

    Kaplan, David & Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Lydia, Sepvirna E. P & Maratus Sholihah. 2009. Aliran Fungsionalisme (jurnal online), dalam

    http://psikologi.or.id diunduh pada 24 September 2013 pukul 19.32 wib.

    Widya, Nana. 2011. Aplikasi Teori Fungsional Struktural, dalam

    http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html diunduh

    16 September 2013 pukul 14.35 wib.

    Yusuf, Andi. 2010. Fungsionalisme Malinowski. dalam

    http://oechoe.blogspot.com/2010/04/fungsionalisme-malinowski.html diunduh pada 22

    September 2013 pukul 12.48 wib