Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GAMBARAN PENINGKATAN HEMATOKRIT DAN
DERAJAT KLINIS DEMAM BERDARAH DENGUE
BERDASARKAN KRITERIA WHO 2011
DGD. DHARMA SANTHI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, Ida Sang
Hyang Widhi Wasa karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “GAMBARAN PENINGKATAN
HEMATOKRIT DAN DERAJAT KLINIS DEMAM BERDARAH DENGUE
BERDASARKAN KRITERIA WHO 2011”.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.
Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan kepada Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K),
M.Kes atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan
penelitian ini. Terimakasih pula penulis sampaikan kepada keluarga dan semua
pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga Tuhan yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian laporan penelitian ini. Akhir kata, semoga laporan penelitian ini
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi masyarakat umum dalam
rangka memperluas wawasan yang kita miliki.
Denpasar, 27 Desember 2016
Penulis
ABSTRAK
GAMBARAN PENINGKATAN HEMATOKRIT DAN DERAJAT KLINIS DEMAM
BERDARAH DENGUE BERDASARKAN KRITERIA WHO 2011
DBD saat ini termasuk satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi
masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang. Di Indonesia, epidemi
DBD terjadi setiap tahun dengan kecenderungan insiden dan luas wilayah yang
terkena semakin meningkat. Salah satu kriteria dari WHO untuk dapat
menegakkan diagnosis DBD adalah temuan secara objektif dari kebocoran plasma
yang disebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang ditunjukkan oleh
peningkatan hematokrit > 20% dari nilai normal atau penurunan saat pemulihan,
Setelah diagnosis ditegakkan, perlu dilakukan suatu pengelompokkan sesuai
dengan derajat klinis dari WHO tahun 2011 demi penanganan yang tepat dan
mengetahui prognosis penderita. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
korelasi antara jumlah leukosit dan nilai hematokrit terhadap derajat klinis DBD
pada pasien anak di RSUP Sanglah Denpasar.
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan
metode cross sectional dan pengambilan data secara retrospektif. Sampel diambil
dari rekam medis pasien DBD anak yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar.
Pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling. Analisis data
menggunakan analisis deskriptif dan dilanjutkan dengan uji korelasi.
Total sampel diperoleh sebanyak 73 pasien DBD anak. Hasil analisis
dengan uji korelasi diperoleh nilai p dan r pada hari ke-4, hari ke-5, dan hari ke-6
berturut-turut adalah (p=0.060; r=0.221), (p=0.446; r=0.091), dan (p=0.084; r= -
0.204).menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara nilai
hematokrit terhadap derajat klinis DBD.
Kata kunci : Gambaran, Hematokrit, Derajat Klinis, DBD, Anak
ABSTRACT
HEMATOCRIT VALUE AND CLINICAL GRADE ON DENGUE
HEMORRAGHE FEVER UNDER THE CRITERIA OF WHO 2011
DBD is currently included one of several infectious diseases a public
health problem in the world, especially developing countries. In Indonesia, the
epidemic of dengue fever occur every year with the trend of the incident and the
area affected is increasing. One of the criteria of the WHO to be able to make the
diagnosis of dengue is the finding objective of plasma leakage due to increased
vascular permeability shown by the increase in hematocrit> 20% of the normal
value or decrease the time of recovery, after the diagnosis is made, there should be
a grouping in accordance with the degree of clinical from the wHO in 2011 for the
sake of proper handling and determine the prognosis of patients. The purpose of
this study was to determine the correlation between the leukocyte count and
hematocrit value of the degrees of clinical dengue fever in pediatric patients at Dr
Sanglah.
This type of research is observational analytic with cross sectional and
retrospective data collection. Samples were taken from the medical records of
patients DBD children admitted to Sanglah Hospital in Denpasar. Sampling was
done by total sampling. Analyzed using descriptive and continued with
correlation.
Total sample obtained by 73 patients DBD children. The results of the
analysis with correlation test obtained by value p and r on day 4, day 5 and day 6
respectively (p = 0.060; r = 0221), (p = 0.446; r = 0091), and (p = 0084; r = -
0.204) .menunjukkan that there is no significant correlation between the
hematocrit value of the degrees of clinical dengue.
Keywords : Hematocrit, Clinical Grade, DHF, Children
RINGKASAN
GAMBARAN PENINGKATAN HEMATOKRIT DAN DERAJAT KLINIS DEMAM
BERDARAH DENGUE BERDASARKAN KRITERIA WHO 2011
The World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan infeksi virus
dengue sebagai masalah kesehatan internasional karena luasnya distribusi geografi
virus tersebut. Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau dapat
menyebabkan demam yang tidak khas (sindrom viral), Demam Dengue (DD),
Demam Berdarah Dengue (DBD), termasuk Sindrom Syok Dengue (SSD). Saat
ini, DBD menempati urutan ke delapan sebagai penyebab kesakitan di negara
kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
Untuk dapat menegakkan diagnosis DBD terdapat kriteria tersendiri dari
WHO berdasarkan manifestasi klinis yang khas pada DBD. Kriteria untuk
diagnosis klinis menurut WHO pada tahun 2011 adalah adanya (1) demam akut
selama dua hingga tujuh hari, (2) manifestasi perdarahan yang ditunjukkan oleh
salah satu dari : hasil tes tourniquet positif, petechiae, ecchymosis atau purpura,
perdarahan mukosa, saluran pencernaan, pada lokasi injeksi atau lokasi lainnya,
(3) trombositopenia yaitu saat hitung trombosit menunjukkan hasil < 100.000
sel/mm3,
(4) serta temuan secara objektif dari kebocoran plasma yang disebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler yang ditunjukkan oleh hal berikut:
peningkatan hematokrit > 20% dari nilai normal atau penurunan saat pemulihan,
atau terdapat bukti kebocoran plasma seperti efusi pleura, ascites, atau
hipoproteinemia/albuminemia. Setelah diagnosis ditegakkan, perlu dilakukan
suatu pengelompokkan sesuai dengan derajat klinis dari WHO tahun 2011 demi
penanganan yang tepat dan mengetahui prognosis penderita.
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa terdapat pasien DBD anak
sebanyak 73 orang dengan rincian 39 pasien perempuan (53.4%), dan 34 pasien
laki-laki (46.6%). Distribusi pasien DBD anak di RSUP Sanglah Denpasar
berdasarkan derajat klinisnya didapatkan pasien DBD derajat I sebanyak 36 orang
(49.3%), derajat II sebanyak 10 orang (13.7%), derajat III sebanyak 13 orang
(17.8%), dan derajat IV sebanyak 14 orang (19.2%). Hasil analisis dengan uji
korelasi Spearman didapatkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara nilai
hematokrit terhadap derajat klinis DBD dengan nilai p dan r pada hari ke-4, hari
ke-5, dan hari ke-6 berturut-turut adalah (p=0.060; r=0.221), (p=0.446; r=0.091),
dan (p=0.084; r= - 0.204).
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM. ................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
ABSTRAK................................................................................................................. .............. iii
ABSTRACT............................................................................................................... .............. iv
RINGKASAN............................................................................................................ ............... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................................. 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................................. 4
2.1 Demam Berdarah Dengue ...................................................................................... 4
2.2 Pemeriksaan Darah Lengkap ............................................................................... 11
2.3 Penelitian Sejenis ................................................................................................. 14
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KERANGKA KONSEP.. .................................. 16
3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................................ 16
3.2 Kerangka Konsep ................................................................................................. 17
BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................................................... 18
4.1 Rancangan Penelitian ........................................................................................... 18
4.2 Populasi dan Sampel ............................................................................................ 18
4.2.1 Populasi Penelitian ...................................................................................... 18
4.2.2 Sampel Penelitian........................................................................................ 18
4.2.3 Cara Pengambilan Sampel .......................................................................... 19
4.3 Variabel Penelitian ............................................................................................... 19
4.3.1 Klasifikasi Variabel .................................................................................... 19
4.3.2 Definisi Operasional Variabel ..................................................................... 20
4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................................ 21
4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................... 21
4.5.1 Lokasi Penelitian ......................................................................................... 21
4.5.2 Waktu Penelitian ......................................................................................... 21
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... ............. 22
5.1 Gambaran Nilai Hematokrit Pada penderita DBD Anak ...................................... 22
5.1.1 Nilai Hematokrit Pada Fase Kritis .............................................................. 23
5.1.2 Korelasi Antara Nilai Hematokrit dan Derajat Klinis DBD ....................... 24
5.2 Pembahasan ........................................................................................................... 26
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. .............. 29
6.1 Kesimpulan.............................................................................................. ............. 29
6.2 Saran........................................................................................................ .............. 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 30
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
The World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan infeksi virus
dengue sebagai masalah kesehatan internasional karena luasnya distribusi geografi
virus tersebut (Dewi, Wirawati, 2013). Infeksi virus dengue disebabkan oleh
infeksi virus dari spesies Flaviviridae, yaitu genus Flavivirus dengan serotipe
DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Virus ini ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypi dan Aedes albopictus (Wati, 2009; Sari dan Aryati, 2011).
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau dapat menyebabkan demam
yang tidak khas (sindrom viral), Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue
(DBD), termasuk Sindrom Syok Dengue (SSD). Infeksi oleh satu serotipe
memberi ketahanan seumur hidup pada jenis serotipe tersebut namun hanya
pertahanan sementara pada jenis serotipe lainnya. Manifestasi klinis bergantung
pada strain virus dan faktor yang ada pada host seperti usia dan status imun
(WHO, 2011).
DBD saat ini termasuk satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi
masalah kesehatan di dunia terutama negara berkembang. Saat ini, DBD
menempati urutan ke delapan sebagai penyebab kesakitan di negara kawasan Asia
Tenggara dan Pasifik Barat. Angka kematian akibat penyakit ini di Asia
diperkirakan 0,5% - 3,5% . Di Indonesia, epidemi DBD terjadi setiap tahun
dengan kecenderungan insiden dan luas wilayah yang terkena semakin meningkat
(Dewi, Wirawati, 2013). Dimulai pada kasus pertama yang ditemukan di Surabaya
dan Jakarta pada tahun 1968, kemudian dari tahun ke tahun jumlah kasus
cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga
akhirnya DBD tersebar ke seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 1994. Bulan
Januari hingga pertengahan Desember 2014 tercatat penderita DBD di 34 provinsi
di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia (Yasa,
Putra, dkk., 2012). Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
yang dikutip dari Profil Kesehatan 2014, Provinsi Bali menempati urutan keempat
tertinggi DBD setelah tiga provinsi lainnya yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Barat,
dan Kalimantan Timur, dengan angka insiden pada tahun 2014 mencapai 201,2
per 100.000 penduduk, dengan angka tertinggi terjadi Kota Denpasar yaitu 1.837
kasus, menyusul Kabupaten Gianyar sebanyak 1.785 kasus, Kabupaten Badung
sebanyak 1.770 kasus, dan Kabupaten Buleleng sebanyak 1.721 kasus.
Meningkatnya angka insiden tahun 2014 disebabkan karena terjadi perubahan
iklim, pembukaan pemukiman baru, mobilisasi penduduk, standar diagnosis yang
belum seragam, dan belum adanya pemilahan kasus antara diagnosis DD dan
DBD (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015).
Untuk dapat menegakkan diagnosis DBD terdapat kriteria tersendiri dari
WHO berdasarkan manifestasi klinis yang khas pada DBD. Kriteria untuk
diagnosis klinis menurut WHO pada tahun 2011 adalah adanya (1) demam akut
selama dua hingga tujuh hari, (2) manifestasi perdarahan yang ditunjukkan oleh
salah satu dari : hasil tes tourniquet positif, petechiae, ecchymosis atau purpura,
perdarahan mukosa, saluran pencernaan, pada lokasi injeksi atau lokasi lainnya,
(3) trombositopenia yaitu saat hitung trombosit menunjukkan hasil < 100.000
sel/mm3,
(4) serta temuan secara objektif dari kebocoran plasma yang disebabkan
peningkatan permeabilitas vaskuler yang ditunjukkan oleh hal berikut :
peningkatan hematokrit > 20% dari nilai normal atau penurunan saat pemulihan,
atau terdapat bukti kebocoran plasma seperti efusi pleura, ascites, atau
hipoproteinemia/albuminemia. Setelah diagnosis ditegakkan, perlu dilakukan
suatu pengelompokkan sesuai dengan derajat klinis dari WHO tahun 2011 demi
penanganan yang tepat dan mengetahui prognosis penderita. Kondisi DBD dan
Sindrom Syok Dengue (SSD) dapat dikategorikan menjadi empat derajat klinis
berdasarkan manifestasi yang timbul serta hasil laboratorium.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang didapatkan yaitu:
1. Bagaimanakah gambaran nilai hematokrit Demam Berdarah Dengue
pada pasien anak di RSUP. Sanglah Denpasar?
2. Bagaimanakah gambaran derajat klinis Demam Berdarah Dengue
pada pasien anak di RSUP. Sanglah Denpasar?
3. Apakah terdapat korelasi antara nilai hematokrit terhadap derajat
klinis Demam Berdarah Dengue pada pasien anak di RSUP. Sanglah
Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran nilai hematokrit Demam Berdarah
Dengue pada pasien anak di RSUP. Sanglah Denpasar
2. Untuk mengetahui derajat klinis Demam Berdarah Dengue pada
pasien anak di RSUP. Sanglah Denpasar
3. Untuk mengetahui korelasi antara nilai hematokrit terhadap derajat
klinis Demam Berdarah Dengue pada pasien anak di RSUP. Sanglah
Denpasar
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:
(1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi tenaga atau instansi
kesehatan mengenai gambaran hasil pemeriksaan hematokrit pada pasien
DBD yang nantinya diharapkan bermanfaat dalam diagnosis dan manajemen.
(2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi yang menunjang
baik oleh masyarakat maupun pelajar, khususnya mengenai pemeriksaan
laboratorium pada pasien dengan DBD.
(3) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar oleh peneliti dalam melakukan
penelitian lebih lanjut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue
2.1.1 Definisi
Infeksi dengue merupakan infeksi virus yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk. Karena virus yang menginfeksi bernama virus dengue, maka infeksinya
disebut infeksi dengue (Sari, Aryati, 2011). Infeksi ini terjadi secara akut dengan
atau tanpa manifestasi klinis perdarahan yang menimbulkan syok berujung
kematian (Sukohar, 2014). Jika manusia terinfeksi virus dengue, dapat
menimbulkan infeksi simtomatik yaitu undifferentiated fever, demam dengue
(DD) dan demam berdarah dengue (DBD), dimana DBD dibagi lagi menjadi
empat derajat, dimana derajat tiga dan empat merupakan sindrom syok dengue
atau SSD (Sastri, Lestari, 2016).
2.1.2 Epidemiologi
DBD memiliki insiden 50-100 juta yang dilaporkan di lebih dari 100
negara. Sekitar dua setengah milyar orang hidup di negara endemis virus dengue
(Bhaskar, Sowmya, dkk., 2015). Negara-negara di Asia Tenggara sebagian besar
merupakan negara endemis virus dengue. Hingga saat ini, DBD menempati urutan
ke delapan sebagai penyebab kesakitan di negara kawasan Asia Tenggara dan
Pasifik Barat, dengan angka kematian diperkirakan 0,5%-3,5% (Dewi, Wirawati,
2013).
Di Indonesia, kasus pertama DBD ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada
tahun 1968, tetapi konfirmasi analisis baru diperoleh tahun 1970 (Yasa, Putra,
dkk., 2012). Sejak saat itu penyakit DBD terus menyebar ke seluruh tanah air. Di
Jakarta, kasus DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1969, kemudian tahun
1972 DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Yogyakarta. Epidemi
pertama di luar Jawa dilaporkan tahun 1972, yaitu di Sumatera Barat dan
Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, juga Bali. Saat ini DBD sudah endemis
di banyak kota besar bahkan sejak tahun 1975 penyakit itu telah berjangkit di
daerah pedesaan (Nopianto, 2012). Tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia
kecuali Timor-Timur telah terjangkit DBD, dan mencapai puncaknya pada tahun
1988 dengan incidence rate mencapai 13,45% per 100.000 penduduk (Sukohar,
2014). Kemudian seluruh provinsi di Indonesia terinfeksi dengue pada tahun
1994. Bulan Januari hingga pertengahan Desember 2014 tercatat penderita DBD
di 34 provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya
meninggal dunia (Yasa, Putra, dkk., 2012).
Provinsi Bali menempati urutan ke empat tertinggi DBD setelah DKI
Jakarta, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Angka insidennya pada tahun
2014 mencapai 201,2 per 100.000 penduduk, dengan rincian di Kota Denpasar
terdapat 1.837 kasus, Kabupaten Gianyar sebanyak 1.785 kasus, Kabupaten
Badung sebanyak 1.770 kasus, dan Kabupaten Buleleng sebanyak 1.721 kasus
(Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015).
2.1.3 Etiologi
Etiologi DBD sendiri adalah virus dengue yang terdiri atas 4 serotipe,
yaitu (Sari, Aryati, 2011):
(1) Dengue 1 (DEN 1) diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.
(2) Dengue 2 (DEN 2) diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
(3) Dengue 3 (DEN 3) diisolasi oleh Sather.
(4) Dengue 4 (DEN 4) diisolasi oleh Sather.
Keempat serotipe virus tersebut termasuk dalam grup B Arthropod borne
viruses atau arboviruses (Sukohar, 2014). Nyamuk Aedes aegypti merupakan
vektor utama virus dengue. Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan Aedes
scutellaris juga diketahui dapat menjadi vektor virus dengue. Virus dengue
termasuk genus Flavivirus, famili Flaviridae. Flavivirus merupakan virus
berdiameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4×106 (Yasa, Putra, dkk., 2012). Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, dimana DEN-1 dan DEN-2 pertama kali ditemukan
di Port Sudan tahun 1986 (Bashir, Mohammed, dkk., 2015). Di Indonesia,
keempat virus tersebut pernah ditemukan, yang terbanyak adalah DEN-2 dan
DEN-3. Baik penelitian di Indonesia maupun di Port Sudan, tipe DEN-3 yang
dominan menyebabkan kasus berat yang mewabah atau outbreak (Sukohar, 2014).
2.1.4 Patogenesis
Teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
heterolog sekunder (the secondary heterologous infection hypothesis atau the
sequential infection hypothesis). Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan
menderita DBD apabila mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue
yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar di antara 6 bulan - 5
tahun (Nopianto, 2012).
Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotesis infeksi sekunder
dirumuskan oleh Suvatte melalui gambar berikut ini (Sukohar, 2014).
Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya syok pada DBD
Infeksi dengue ada dua jenis, yaitu infeksi primer dan infeksi sekunder.
Infeksi primer merupakan infeksi pertama kali yang dialami oleh pasien yang
disebabkan oleh virus dengue. Sedangkan infeksi sekunder merupakan infeksi
berulang yang dialami oleh satu pasien yang sama, yang hanya bisa terjadi apabila
virus dengue yang menginfeksi pada kali berikutnya memiliki serotipe yang
berbeda dengan yang menginfeksi pertama kali. Akibat infeksi sekunder pada
seorang pasien dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari dapat menyebabkan proliferasi
dan transformasi sel-sel imun limfosit dengan menghasilkan antibodi IgG anti
dengue titer tinggi. Replikasi virus dengue mengakibatkan bertambahnya jumlah
virus. Ini mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
antivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada
penderita renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada
30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara
adekuat akan menimbulkan perdarahan saluran cerna yang hebat, anoksia
jaringan, asidosis metabolik dan kematian (Sukohar, 2014).
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis berupa penurunan
jumlah trombosit yang ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai
trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada
masa renjatan. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen
dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit.
Trombositopenia diinduksi oleh kompleks antigen-antibodi yang menyebabkan
agregasi trombosit, kemudian trombosit dihancurkan oleh Retikulum Endoplasma
Kasar (Rough Endoplasmic Reticulum/RES). Trombositopenia dapat
mengakibatkan perdarahan masif pada DBD.
Kelainan sistem koagulasi, juga menyebabkan perdarahan pada DBD.
Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor II, V, VII, IX, X dan fibrinogen.
Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor koagulasi disebabkan
diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti terganggu,
juga oleh aktivasi sistem koagulasi. Hal ini berdampak pada penurunan faktor
pembekuan, yang dapat pula menyebabkan perdarahan masif. Berikut ini gambar
patogenesis DBD yang menyebabkan perdarahan (Sukohar, 2014).
Gambar 2.2 Patogenesis terjadinya perdarahan pada DBD
2.1.5 Manifestasi klinis
Segala macam infeksi dengue, termasuk DBD terdiri atas tiga fase, yaitu:
(1) Fase demam (febrile phase), berlangsung selama 2-7 hari (Ruslianti,
Chairulfatah, dkk., 2013). Gejala yang timbul berupa demam, eritema pada
kulit, nyeri seluruh tubuh termasuk nyeri otot (myalgia) dan nyeri sendi
(arthralgia), disertai gejala sakit kepala (Sari, Aryati, 2011). Pada
beberapa kasus ditemukan injeksi faring, konjungtiva, anoreksia, mual
serta muntah. Pada fase ini dapat ditemukan manifestasi perdarahan ringan
seperti petechiae dan perdarahan mukosa. Perdarahan gastrointestinal
jarang sekali ditemukan. Hepatomegali dapat ditemukan beberapa hari
setelah demam terjadi. Fase ini diikuti penurunan suhu yang tiba-tiba
menjadi normal atau subnormal (Rahadian, 2012).
(2) Fase kritis (critical phase), terjadi pada hari 3–7 yang ditandai dengan
penurunan suhu tubuh menjadi 37,5oC – 38
oC (Rahadian, 2012). Segera
setelah penurunan suhu yang cepat, dapat terjadi 2 kemungkinan, yaitu
kekacauan sirkulasi dalam berbagai derajat akibat kebocoran plasma, dapat
juga terjadi perbaikan klinis yang cepat apabila tidak disertai komplikasi
(Ruslianti, Chairulfatah, dkk., 2013). Menurut WHO 2009, pada fase ini
biasanya terdapat warning sign, dengan gejala dan tanda nyeri abdomen,
muntah terus-menerus, perdarahan mukosa, akumulasi cairan secara klinis,
lethargy dan lemah, serta hepatomegali atau pembesaran hati >2 cm
(Sastri, Lestari, 2016). Jika warning sign tidak ditangani, dapat menjadi
komplikasi yaitu berupa syok akibat kebocoran plasma, perdarahan hebat,
dan gangguan berat fungsi organ seperti hati, susunan saraf, ginjal, atau
disfungsi miokardium (Ranjit, Kissoon, 2011). Kebocoran vaskular dapat
menyebabkan pasien mengalami syok hipovolemik, yang disebut SSD
(Ruslianti, Chairulfatah, dkk., 2013).
(3) Fase konvalesen, disebut juga fase penyembuhan (recovery phase).
Apabila fase kritis dapat terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ruangan ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam
setelahnya. Proses tersebut membuat keadaan umum penderita semakin
membaik, ditandai dengan berkurangnya gangguan saluran cerna nafsu
makan yang pulih, hemodinamik stabil & diuresis yang membaik
(Rahadian, 2012).
2.1.6 Diagnosis
Menurut WHO 2009, diagnosis infeksi dengue ditegakkan jika terdapat
demam dengan paling tidak 2 dari kriteria berikut yaitu (Sastri, Lestari, 2016):
1. Penurunan nafsu makan
2. Mual dan muntah
3. Bintik-bintik merah sebagai manifestasi perdarahan bawah kulit
(petechiae, ecchymosis, atau purpura)
4. Sakit dan nyeri pada sendi (arthralgia) serta otot (myalgia)
5. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/μl)
6. Leukopenia
7. Tes tourniquet positif.
Jika dilakukan pemeriksaan fisik lebih lengkap, maka kemungkinan
ditemukan tanda-tanda perdarahan di tempat lain, seperti perdarahan mukosa
(tersering epistaksis dan perdarahan gusi), juga hematemesis atau melena. Jika
sudah parah, didapatkan juga nilai Hct meningkat ≥ 20% dari kadar normal
menurut usia dan jenis kelamin, serta didapatkan tanda kebocoran plasma seperti
efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia (Rahadian, 2012).
Klasifikasi derajat penyakit DBD menurut WHO (Rahadian, 2012):
(1) Derajat I, demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji torniquet.
(2) Derajat II, seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain.
(3) Derajat III, didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan tampak gelisah.
(4) Derajat IV, syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
2.1.7 Manajemen
Tidak ada terapi spesifik untuk DBD. Hal terpenting untuk manajemen
adalah mempertahankan terapi suportif, dengan perhatian khusus dan manajemen
cairan. Rehidrasi oral biasanya cukup untuk pasien dengan sedikit atau tanpa
permeabilitas kapiler. Acetaminophen (parasetamol) bisa digunakan untuk
menurunkan demam, aspirin dan obat anti-inflamasi non steroid merupakan
kontraindikasi (Simmons, 2010).
Pengobatan penderita DBD bersifat simptomatik dan suportif yaitu
(Rahadian, 2012):
(1) Tirah baring.
(2) Makanan lunak dan bila belum nafsu makan diberi minum 1,5-2 liter
dalam 24 jam (susu, air dengan gula, atau sirop) atau air tawar ditambah
garam.
(3) Gastroenteritis oral solution/kristal diare yaitu garam elektrolit (oralit) bila
perlu, 1 sendok makan setiap 3-5 menit.
(4) Medikamentosa yang bersifat simtomatis.
a. Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres es di kepala, ketiak,
inguinal.
b. Antipiretik sebaiknya dari asetaminofen, eukinin atau dipiron.
c. Antibiotik diberikan jika ada infeksi sekunder.
Pada pasien dengan tanda renjatan dilakukan (Simmons, 2010):
(1) Pemasangan infus dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah renjatan
diatasi.
(2) Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernafasan tiap
jam, serta kadar Hb dan Hct tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya 24
jam.
2.1.8 Pencegahan
WHO mengeluarkan beberapa cara untuk mencegah DBD, antara lain
(Simmons, 2010):
(1) Manajemen lingkungan
a. Modifikasi lingkungan, meliputi pengubahan fisik habitat larva jangka
panjang.
b. Manipulasi lingkungan, meliputi pengubahan sementara habitat vektor
melalui pemusnahan tempat perkembangbiakan nyamuk.
c. Perubahan perilaku untuk mengurangi kontak vektor dengan manusia.
(2) Kontrol biologis
Pengendalian vektor menggunakan preparat biologis jarang dilakukan.
Pengendalian ini dilakukan untuk membasmi vektor pada tahap larva. Kontrol
biologis dapat dilakukan dengan: (Simmons, 2010)
a. Menggunakan ikan pemakan larva nyamuk, seperti Gambusia affinis dan
Poecilia reticulate maupun Copepoda predator seperti Cyclopoidea.
b. Menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis serotipe H-14 yang efektif
untuk spesies Aedes aegypti dan Aedes stephensi. Keunggulan penggunaan
bakteri adalah tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan
organisme bukan sasaran. Namun, kelemahan cara ini harus dilakukan
secara berulang dan tidak efektif untuk spesies non target.
(3) Manajemen secara kimiawi
Penggunaan bahan kimia sangat berperan dalam manajemen ini, namun
harus dipertimbangkan untung ruginya. Contohnya insektisida. Apabila digunakan
berdasarkan target, waktu, takaran, dan cakupan yang tepat maka akan mampu
mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan
organisme lainnya. Namun, jika digunakan jangka panjang dapat menyebabkan
resistensi vektor. (Simmons, 2010)
Cara pengendalian yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pengasapan/ fogging (dengan menggunakan malathion atau fenthion),
berguna mengurangi penularan sampai batas tertentu. Pengasapan kurang
memberikan hasil yang efektif karena hanya membunuh nyamuk dewasa.
(Simmons, 2010)
b. Memberikan bubuk abate pada tempat penampungan air. Hal ini berguna
untuk membunuh larva di tempat berair yang jarang dibersihkan, misalnya
kaleng bekas, bak mandi, ember, dan lainnya. Bubuk Temephos ditaburkan
sebanyak 1 gram untuk 10 liter air, atau 2,5 gram Altosoid untuk 100 liter
air. Metode ini dilakukan tiap 2-3 bulan sekali (Simmons, 2010)
Cara yang lebih efektif adalah dengan mengkombinasikan cara diatas yang
dikenal dengan 3M Plus yaitu, menguras dan menyikat tempat penampungan air
minimal seminggu sekali, menutup setelah menggunakan tempat penampungan
air, serta menimbun barang bekas untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk.
Tindakan plus yang dapat dilakukan adalah menggunakan kelambu saat tidur,
memasang kasa, menggunakan obat nyamuk oles (repellant), memeriksa jentik
nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang sesuai dengan lingkungan juga
budaya (Rahadian, 2012).
2.2 Pemeriksaan Darah Lengkap
2.2.1 Pemeriksaan hemoglobin
Hemoglobin (Hb)dapat diperiksan menggunakan empat metode, yaitu
metode colorimetric, gasometric, chemical, dan specific gravity. (Kawthalkar,
2010)
(1) Metode colorimetric
a. Metode Visual
Tallqvist Chart
Darah diteteskan pada selembar kertas absorben, lalu warna yang
dihasilkan dicocokkan dengan warna pada chart. (Kawthalkar, 2010)
Sahli’s Acid Hematin Method
Pada metode ini, darah dicampur dengan larutan asam. Hb
tersebut berubah sifat menjadi asam yang warnanya coklat, disebut
hematin, yang kemudian dilarutkan ke dalam air sampai warna coklat
sesuai dengan warna standar pada gelas. Kadar Hb dapat dibaca
langsung dari skalanya. (Kawthalkar, 2010)
WHO Hemoglobin Color Scale
Pertama, darah diteteskan pada strip kertas kromatografi.
Kemudian dilanjutkan dengan membandingkan perkembangan warna
dengan skala warna standar yang direkomendasi WHO tersebut.
(Kawthalkar, 2010)
b. Metode photoelectric
Terdiri dari beberapa metode yaitu cyanmethemoglobin, oxyhemoglobin
dan alkalin hematin. (Kawthalkar, 2010)
(2) Metode Gasometric
Kapasitas darah mengangkut oksigen diukur dengan Van Slyke. Kadar
hemoglobin diperoleh dari rumusan berikut ini, yaitu 1 gram Hb mengangkut
oksigen sebanyak 1,34 ml. (Kawthalkar, 2010)
(3) Metode Chemical
Metode ini digunakan untuk mengukur kadar iron. Rumusannya yaitu
kadar 100 gram Hb mengandung 374 mg iron. (Kawthalkar, 2010)
(4) Metode Specific Gravity (Kawthalkar, 2010)
Adapun jumlah Hb normal yaitu: (Kawthalkar, 2010)
a. Baru lahir (full term) : 13,6-19,6 gm/dl
b. Bayi 2-6 bulan : 9,5-14,0 gm/dl
c. Anak-anak 6 bulan-6 tahun: 11,0-14,0 gm/dl
d. Anak-anak 6-12 tahun : 11,5-15,5 gm/dl
e. Perempuan dewasa (hamil) : 11,0-14,0 gm/dl
f. Perempuan dewasa (tidak hamil) : 12,0-15,0 gm/dl
g. Laki-laki dewasa : 13,0-17,0 gm/dl
Pada fase awal (tanpa syok), kadar Hb biasanya normal atau sedikit
menurun. Namun, seiring meningkatnya hemokonsentrasi, kadar Hb juga naik.
Hal ini dijelaskan oleh teori kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas
vaskular yang merupakan manifestasi klinis DBD/SSD. Kebocoran protein dan
masuknya cairan ke dalam ruangan ekstravaskular mengakibatkan keadaan
hemokonsentrasi, yaitu peningkatan Hb danHct (Patandianan, dkk., 2013).
2.2.2 Pemeriksaan leukosit
(1) Metode manual atau mikroskopik
Sampel darah dicampur diluents, agar eritrosit menjadi lisis dan inti sel
leukosit terwarnai. Leukosit dihitung di bawah mikroskop dengan
hemocytometer counting chamber (Kawthalkar, 2010)
a. Metode Automated (Kawthalkar, 2010)
Adapun jumlah leukosit normal yaitu: (Kawthalkar, 2010)
a. Baru lahir : 10.000-26.000/µl
b. 1 tahun : 6000-16.000/µl
c. 6-12 tahun : 5000-13.000/µl
d. Dewasa : 4000-11.000/µl
e. Hamil : hingga 15.000/µl
Hasil pemeriksaan leukosit pada pasien dengan infeksi virus dengue
menunjukkan penurunan (leukopenia) pada fase awal yang beberapa hari
kemudian dapat kembali normal. Mendekati fase akhir penyakit (fase kritis), akan
terjadi penurunan jumlah total leukosit bersamaan dengan penurunan sel
polimorfonuklear (Patandianan, dkk., 2013)
3.2.3 Pemeriksaan trombosit
Pada pasien DBD hampir selalu terjadi penurunan trombosit
(trombositopenia). Jumlah normal trombosit berkisar 150.000-400.000.
Penurunan jumlah trombosit biasanya ditemukan antara hari ke-3-8 dan dapat
berlanjut hingga <100.000. Pemeriksaan trombosit ada beberapa metode sebagai
berikut.
(1) Metode hitung sel manual.
Keuntungan metode ini adalah dapat dikerjakan di laboratorium tanpa aliran
listrik dan karena harga alat hitung otomatis cukup mahal (Rahayu, 2016).
(2) Metode langsung.
a. Larutan Rees Ecker.
Darah diteteskan dengan larutan yang terdiri atas BCB (Brilliant
Cresyl Blue), sehingga trombosit akan terwarnai terang kebiruan tanpa
perlu melisiskan eritrosit (Rahayu, 2016)
b. Larutan ammonium oksalat 1%.
Darah diencerkan dengan ammonium oksalat 1% yang mampu
melisiskan eritrosit, kemudian trombosit dihitung dengan hemositometer
dibantu mikroskop fase kontras. Lebih akurat daripada penggunaan
formol sitrat untuk melisiskan eritrosit (Rahayu, 2016)
(3) Metode tidak langsung
Awalnya, darah kapiler pada ujung jari dicampur dengan magnesium
sulfat 14%, kemudian dibuat SADT dan dilakukan pengecatan Giemsa.
Jumlah trombosit dihitung dalam 1000 keping eritrosit (Rahayu, 2016)
2.2.4 Pemeriksaan hematokrit (Hct)
Nilai hematokrit adalah besarnya volume sel-sel eritrosit seluruhnya di
dalam 100 mm3 darah dan dinyatakan dalam %. Meningkatnya nilai hematokrit di
atas 20% adalah tanda hemokonsentrasi dan mengawali syok pada pasien. Nilai
hematokrit harus dipantau minimal setiap 24 jam untuk pasien DBD dan setiap 3
hingga 4 jam pada pasien SSD. Peningkatan kecil dapat terjadi akibat demam
tinggi, anoreksia dan muntah. Peningkatan hematokrit terjadi pada semua kasus
DBD, khususnya pada kasus syok (WHO, 2011). Pada DBD, biasanya terjadi
peningkatan Hct hingga >20% atau nilai Hct >3,5 kali dari nilai Hb. Peningkatan
kadar Hct merupakan petunjuk adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan
bocornya plasma (Kawthalkar, 2010). Beberapa penyakit lain yang dapat
mempengaruhi peningkatan nilai hematokrit diantaranya adalah dehidrasi, diare
berat, polisitemia vera, asidosis diabetikum, Transcient Ischemic Attack (TIA),
eklampsia, trauma, pembedahan, luka bakar (Sutedjo, 2007).
Ada dua metode untuk mengecek kadar Hct, yaitu: (Kawthalkar, 2010)
(1) Metode Makro
Darah utuh dengan antikoagulasi disentrifugasi pada tabung Wintrobe
untuk memadatkan eritrosit, oleh karena itu disebut juga metode Wintrobe.
Volume eritrosit yang dipadatkan bisa secara langsung dibaca dari tabung.
(Kawthalkar, 2010)
(2) Metode Mikro
Darah utuh dengan antikoagulasi disentrifugasi pada tabung kapiler untuk
memadatkan eritrosit. Sentrifugasi dilakukan pada special microhematocrit
centrifuge. Pembacaan menggunakan microhematocrit reader, penggaris atau
arithmetic graph paper (Kawthalkar, 2010).
Adapun kadar Hct normal yaitu: (Kawthalkar, 2010)
a. Baru lahir : 44-60%
b. Anak-anak 2-6 bulan : 32-42%
c. Anak-anak 6 bulan-6 tahun : 36-42%
d. Anak-anak 6- 12 tahun : 37-46%
e. Perempuan dewasa (hamil) : 36-42%
f. Perempuan dewasa (tidak hamil) : 38-45%
g. Laki-laki dewasa : 40-50%
25
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut
yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Terdapat empat serotipe virus dengue
yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Virus ini ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypi dan Aedes albopictus. Virus dengue di dalam tubuh
manusia akan bereaksi sebagai antigen dan menimbulkan terbentuknya kompleks
antigen-antibodi. Kompleks antigen-antibodi ini akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma. Akibatnya adalah terjadi
peningkatan nilai hematokrit.
Diagnosis DBD dapat ditegakkan menggunakan kriteria WHO 2011
berdasarkan manifestasi yang khas pada DBD. Selanjutnya dilakukan pengelompokan
sesuai dengan derajat klinis dari WHO tahun 2011 yang dibagi menjadi empat derajat
klinis yaitu derajat I, derajat II, derajat III, dan derajat IV. Pembagian ini dilakukan
berdasarkan manifestasi yang timbul dan hasil laboratorium. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran peningkatan hematokrit dan korelasi antara nilai
hematokrit terhadap derajat klinis DBD menurut kriteria WHO 2011 pada pasien
anak di RSUP. Sanglah Denpasar.
26
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Infeksi dengue
Reaksi virus sebagai antigen
Peningkatan
permeabilitas kapiler
Antibodi dalam tubuh
Derajat klinis infeksi dengue
Derajat I
Derajat II
Derajat III
Derajat IV
Kompleks antigen-antibodi
Peningkatan hematokrit
Pemeriksaan nilai
hematokrit
27
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif cross-sectional,
non-eksperimental. Dalam penelitian ini data diambil secara retrospektif. Adapun
data yang diambil merupakan data hasil pemeriksaan laboratorium, yaitu hasil
pemeriksaan darah lengkap (hematokrit) juga rekam medis yang berisikan data
manifesitasi klinis yang dialami pasien DBD selama menjalani rawat inap di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Penelitian dilakukan pada periode 1 Maret
2015 – 29 Februari 2016 bertempat di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi Penelitian
a. Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien DBD anak.
b. Populasi Terjangkau
Pasien DBD anak yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar pada periode 1
Maret 2015 – 29 Februari 2016.
4.2.2 Sampel Penelitian
Pasien DBD anak yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar pada periode 1
Maret 2015 – 29 Februari 2016 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
1) Pasien yang didiagnosis DBD menurut kriteria WHO 2011
2) Usia pasien 0-15 tahun
3) Pasien melakukan pemeriksaan darah lengkap yang mencakup pemeriksaan
hematokrit
4) Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar antara 1 Maret 2015 – 29 Februari
2016
28
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
1) Catatan rekam medis pasien DBD yang tidak lengkap
2) Pasien yang dalam riwayat pengobatan mengonsumsi obat-obat yang dapat
mendepresi sumsum tulang
3) Pasien yang memiliki riwayat penyakit kelainan darah
4) Pasien dengan penyakit yang mempengaruhi hasil pemeriksaan leukosit
seperti tifus abdominalis, tuberculosis, reaksi hipersensitifitas dan
anafilaksis, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), kegagalan sumsum
tulang, dan splenomegali
5) Pasien dengan kondisi yang mempengaruhi hasil pemeriksaan hematokrit
seperti dehidrasi, diare berat, polisitemia vera, asidosis diabetikum,
Trascient Ischemic Attack (TIA), trauma, pembedahan, dan luka bakar
4.2.3 Cara Pengambilan Sampel
Sampel penelitian akan diambil menggunakan teknik sampling non-
probability dengan menggunakan total sampling yaitu mengambil seluruh sampel.
Dalam penelitian ini sampel diambil dari seluruh pasien DBD anak yang dirawat di
RSUP Sanglah Denpasar pada periode 1 Maret 2015 – 29 Februari 2016 yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Klasifikasi Variabel
a. Variabel Bebas :
Nilai hematokrit pada hari ke-4, hari ke-5, dan hari ke-6 demam
b. Variabel Tergantung :
Derajat klinis Demam Berdarah Dengue
1) Derajat I
2) Derajat II
3) Derajat III
4) Derajat IV
c. Variabel Terkontrol : umur dan jenis kelamin
29
Gambar 4.1 Hubungan Antar Variabel
4.3.2 Definisi Operasional Variabel
a. Nilai hematokrit
1) Pengertian
Adalah persentase volume eritrosit dalam darah yang diukur dalam
ml/dl dari dalam darah secara keseluruhan atau persen, yang didapat
dari data rekam medis pasien DBD di RSUP Sanglah Denpasar. Data
yang digunakan adalah data pada fase kritis yakni hari ke-4 sampai hari
ke-6 demam pada pasien rawat inap. Kadar rujukan normal pada anak
adalah 33 – 38% (Indriasari, 2009).
2) Alat Ukur
Alat yang digunakan dalam pengukuran adalah data dari ADVIA 2120i
atau alat cell dyn ruby.
3) Skala
Skala yang digunakan adalah numerikal rasio
b. Derajat Klinis Demam Berdarah Dengue
1) Pengertian
Derajat klinis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah derajat klinis
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh WHO tahun 2011. Derajat
klinis diklasifikasikan ke dalam empat derajat :
I. Derajat I : Demam dan manifestasi perdarahan (tes tourniquet
positif) dan adanya bukti kebocoran plasma
II. Derajat II : Sama dengan derajat I disertai perdarahan spontan
Nilai hematokrit
Derajat klinis infeksi dengue :
Derajat I
Derajat II
Derajat III
Derajat IV
30
III. Derajat III : Sama dengan derajat I atau II disertai gangguan
sirkulasi (nadi lemah), tekanan nadi menyempit < 20 mmHg,
hipotensi
IV. Derajat IV : Sama seperti derajat III disertai profound shock
dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah yang tidak bisa
diukur
2) Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran adalah rekam medis
pasien usia 0-15 tahun.
3) Skala
Skala yang digunakan adalah kategorik ordinal.
c. Umur dan Jenis Kelamin
Dalam penelitian ini, data jumlah leukosit, nilai hematokrit, serta derajat
klinis Demam Berdarah Dengue akan dikelompokkan berdasarkan umur dan
jenis kelamin pasien. Adapun umur sampel akan dikelompokkan menjadi lima
kategori yaitu newborn, 6 bulan – 2 tahun, 2 – 6 tahun, 6 – 12 tahun, dan 12 –
15 tahun.
4.4 Instrumen Penelitian
a. Rekam Medis
Catatan dan dokumen pasien DBD anak pada periode 1 Maret 2015 – 29
Februari 2016 yang diambil di RSUP Sanglah Denpasar.
4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.5.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Rekam Medis RSUP Sanglah
Denpasar.
4.5.2 Waktu Penelitian
1) Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Juni 2016.
31
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Juni 2016 di Instalasi Rekam
Medis Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar periode 01 Maret 2015 - 29
Februari 2016. Dari nomor rekam medis yang dicatat, didapatkan 386 pasien sampai
batas waktu yang ditentukan. Kemudian dipilih pasien yang memenuhi kriteria
insklusi dan eksklusi, sehingga didapatkan 73 pasien DBD anak di RSUP Sanglah
Denpasar yang kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Dari seluruh sampel
yang didapatkan, 36 pasien berada pada derajat I, 10 pasien berada pada derajat II, 13
pasien berada pada derajat III, dan 14 pasien berada pada derajat IV.
5.1 Gambaran Nilai Hematokrit Pada Penderita DBD Anak
Karakteristik umum sampel penelitian terdiri dari beberapa variabel, yakni jenis
kelamin, umur, dan derajat klinis DBD. Masing-masing variabel dinyatakan dalam
bentuk proporsi.
Tabel 5.1 Analisis Deskriptif Karakteristik Umum Sampel Penelitian
Variabel n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 34 46,6
Perempuan 39 53,6
Umur
Newborn 4 5,5
6 bulan – 2 tahun 3 4,1
2 – 6 tahun 20 27,4
6 – 12 tahun 25 34,2
12 – 15 tahun 21 28,8
Derajat Klinis DBD
Derajat I 36 49,3
Derajat II 10 13,7
Derajat III 13 17,8
Derajat IV 14 19,2
32
Tabel 5.2 Nilai Hematokrit Fase Kritis dan Derajat Klinis
Derajat Klinis Mean H4 ± STD Mean H5 ± STD Mean H6 ± STD
I 40,79 ± 4,29 42,98 ± 4,18 42,20 ± 4,64
II 43 ± 5,57 41,99 ± 3,74 40,56 ± 4,58
III 43,77 ± 4,73 39,93 ± 3,39 38,55 ± 5,92
IV 42,94 ± 5,31 45,53 ± 3,50 40,88 ± 5,52
Berdasarkan tabel 5.2 didapatkan bahwa rerata nilai hematokrit derajat klinis I
pada hari ke-4 adalah 40,79 ± 4,29 %. Rerata nilai hematokrit pada hari ke-5 adalah
42,98 ± 4,18 %, Rerata nilai hematokrit pada hari ke-6 adalah 42,20 ± 4,64 %. Rerata
nilai hematokrit derajat klinis II pada hari ke -4, 5, dan 6 berturut – turut adalah 43 ±
5,57 %, 41,99 ± 3,74 %, dan 40,56 ± 4,58 %. Rerata nilai hematokrit derajat klinis III
pada hari ke -4, 5, dan 6 berturut – turut adalah 43,77 ± 4,73 %, 39,93 ± 3,39 %, dan
38,55 ± 5,92 %. Rerata nilai hematokrit derajat klinis IV pada hari ke -4, 5, dan 6
berturut – turut adalah 42,94 ± 5,31 %, 45,53 ± 3,50 %, dan 40,88 ± 5,52 %.
5.1.1 Nilai Hematokrit Pada Fase Kritis Berdasarkan Derajat Klinis DBD
34
36
38
40
42
44
46
48
Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6
Nilai Hematokrit Pada Fase Kritis Berdasarkan Derajat
Klinis DBD
Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV
33
Gambar 5.1 Nilai Hematokrit Pada Fase Kritis Berdasarkan Derajat Klinis
DBD
Berdasarkan gambar 5.1 diketahui bahwa rerata nilai hematokrit hari ke-4
pada derajat I, derajat II, derajat III, dan derajat IV berturut-turut adalah 40,79 +
4,290 % ; 42,94 + 5,573 % ; 43,77 + 4,728 %, dan 42,93 + 5,313 %. Rerata nilai
hematokrit hari ke-5 pada derajat I, derajat II, derajat III, dan derajat IV berturut-turut
adalah 42,97 + 4,175 % ; 41,99 + 3,735 % ; 39,92 + 3,386 %, dan 45,53 + 3,502 %.
Rerata nilai hematokrit hari ke-6 pada derajat I, derajat II, derajat III, dan derajat IV
berturut-turut adalah 42,2 + 4,644 % ; 40,5 + 4,582 % ; 38,5 + 5,923 %, dan 40,8 +
5,517 %.
5.1.2 Korelasi Antara Nilai Hematokrit terhadap Derajat Klinis DBD
Untuk menganalisis korelasi antara nilai hematokrit terhadap derajat klinis
DBD digunakan data pada fase kritis yakni pada hari ke-4, hari ke-5, dan hari ke-6
demam.
Tabel 5.2 Analisis Bivariat Korelasi antara Nilai Hematokrit Hari ke-4 terhadap
Derajat Klinis DBD
Derajat Klinis DBD Nilai hematokrit (%) Uji Kolmogorov-
Smirnov Mean SD Median
I 40,79 4,290 41,05
p=0,200 II 42,94 5,573 44,15
III 43,77 4,728 44,90
IV 42,93 5,313 44,02
Uji korelasi Pearson p=0,060 r=0,221
Sebelumnya telah dilakukan uji normalitas data menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov dengan didapatkan nilai p = 0,200 yang berarti bahwa distribusi
data normal untuk variabel nilai hematokrit hari ke-4 sehingga analisis bivariat
menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil analisis dengan uji korelasi Pearson
didapatkan nilai p=0,060 (0,060 > 0,05) yang menandakan bahwa tidak terdapat
34
korelasi yang bermakna antara nilai hematokrit hari ke-4 terhadap derajat klinis DBD.
Didapatkan koefisien korelasi r=0,221 yang berarti kekuatan korelasi lemah dengan
arah korelasi positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi yang
bermakna antara nilai hematokrit hari ke-4 terhadap derajat klinis DBD.
Tabel 5.3 Analisis Bivariat Korelasi antara Nilai Hematokrit Hari ke-5 terhadap
Derajat Klinis DBD
Derajat Klinis DBD Nilai hematokrit (%) Uji Kolmogorov-
Smirnov Mean SD Median
I 42,97 4,175 42,57
p=0,200 II 41,99 3,735 42,67
III 39,92 3,386 40,50
IV 45,53 3,502 45,83
Uji korelasi Pearson p=0,446 r=0,091
Sebelumnya telah dilakukan uji normalitas data menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov dengan didapatkan nilai p = 0,200 yang berarti bahwa distribusi
data normal untuk variabel nilai hematokrit hari ke-5 sehingga analisis bivariat
menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil analisis dengan uji korelasi Pearson
didapatkan nilai p=0,446 (0,446 > 0,05) yang menandakan bahwa tidak terdapat
korelasi yang bermakna antara nilai hematokrit hari ke-5 terhadap derajat klinis DBD.
Didapatkan koefisien korelasi r=0,091 yang berarti kekuatan korelasi sangat lemah
dengan arah korelasi positif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
korelasi yang bermakna antara nilai hematokrit hari ke-5 terhadap derajat klinis DBD.
Tabel 5.4 Analisis Bivariat Korelasi antara Nilai Hematokrit Hari ke-6 terhadap
Derajat Klinis DBD
Derajat Klinis DBD Nilai hematokrit (%) Uji Kolmogorov-
Smirnov Mean SD Median
I 42,20 4,644 41,43 p=0,000
II 40,55 4,582 41,30
35
III 38,54 5,923 37,7
IV 40,87 5,517 40,69
Uji korelasi Spearman p=0,084 r= - 0,204
Sebelumnya telah dilakukan uji normalitas data menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov dengan didapatkan nilai p = 0,000 yang berarti bahwa distribusi
data tidak normal untuk variabel nilai hematokrit hari ke-6 sehingga analisis bivariat
menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil analisis dengan uji korelasi Spearman
didapatkan nilai p=0,084 (0,084 > 0,05) yang menandakan bahwa tidak terdapat
korelasi yang bermakna antara nilai hematokrit hari ke-6 terhadap derajat klinis DBD.
Didapatkan koefisien korelasi r= - 0,204 yang berarti kekuatan korelasi lemah dengan
arah korelasi negatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi yang
bermakna antara nilai hematokrit hari ke-6 terhadap derajat klinis DBD
5.2 Pembahasan
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan kondisi hemokonsentrasi yang
selalu dijumpai pada pasien DBD, dan merupakan indikator yang peka akan
terjadinya kebocoran plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit
secara berkala. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematorkit > 20%
mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma
(Hadinegoro, 2006).
Dalam penelitian ini didapatkan rerata nilai hematokrit hari ke-4, hari-5, dan
hari ke-6 berturut-turut adalah 42,02 + 4,821 % ; 42,78 + 4,171 %, dan 41,07 + 5,127
%. Kadar rujukan normal pada anak adalah 33 – 38% (Indriasari, 2009) sehingga
dapat dikatakan telah terjadi peningkatan nilai hematokrit diatas kadar rujukan
normal.
Berdasarkan uji korelasi Pearson yang dilakukan untuk menganalisis korelasi
antara nilai hematokrit hari ke-4 terhadap derajat klinis DBD didapatkan nilai
p=0,060 dan koefisien korelasi r=0,221 yang berarti tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara nilai hematokrit pada hari ke-4 terhadap derajat klinis DBD.
Berdasarkan uji korelasi Pearson yang dilakukan untuk menganalisis korelasi antara
36
nilai hematokrit hari ke-5 terhadap derajat klinis DBD didapatkan nilai p=0,446 dan
koefisien korelasi r=0,091 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara nilai hematokrit pada hari ke-5 terhadap derajat klinis DBD. Berdasarkan uji
korelasi Spearman yang dilakukan untuk menganalisis korelasi antara nilai
hematokrit hari ke-6 terhadap derajat klinis DBD didapatkan nilai p=0,084 dan
koefisien korelasi r= - 0,204 yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara nilai hematokrit pada hari ke-6 terhadap derajat klinis DBD. Jadi berdasarkan
analisis bivariat yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara nilai hematokrit terhadap derajat klinis DBD.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiati
tahun 2005, Soejoso dan Atmaji tahun 1998, serta Nurhayati tahun 2004
menggunakan sampel pasien DBD anak yang menunjukkan bahwa kadar hematokrit
nampak signifikan berhubungan dengan SSD. Dalam penelitian tersebut kadar
hematokrit yang dimaksud adalah kadar hematokrit pada saat terjadinya puncak
penyakit saja atau pengukuran kadar hematokrit puncak. Begitupula dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Riswan pada tahun 2008 dan Margaret pada tahun
2009 di Semarang yang mengungkapkan bahwa nilai hematokrit memiliki hubungan
yang bermakna meskipun hubungannya lemah. Sesuai dengan perjalanan penyakit
DBD, pada fase kritis yakni hari ke-4 sampai hari ke-6 demam akan terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler yang ditandai dengan peningkatan nilai hematokrit
(WHO, 2009). Namun dalam penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan
kemungkinan karena faktor proporsi sampel yang tidak merata untuk masing-masing
derajat klinis DBD. Terbatasnya jumlah pasien DBD anak derajat berat dapat
mempengaruhi validitas hasil penelitian. Selain itu, pada penelitian ini digunakan
data nilai hematokrit pada fase kritis yakni hari ke-4, hari ke-5, dan hari ke-6 demam.
Pada fase ini pasien DBD anak yang dirawat di RSUP Sanglah Denpasar sudah
mendapatkan intervensi berupa pemberian cairan untuk memperbaiki kondisi
hemokonsentrasi yang dialami oleh pasien.
Penelitian sejenis yang dilakukan oleh Bima Valentino di Semarang pada
tahun 2012 menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara nilai
37
hematokrit dengan derajat klinis DBD dengan nilai p = 0,060 dan r = 0,049. Hal yang
sama juga didapatkan dari penelitian Ihsan Jaya pada tahun 2008 bahwa nilai
hematokrit tidak berhubungan dengan derajat klinis DBD dengan nilai p = 0.592 dan
r = -0.084. Kedua penelitian ini menggunakan hasil pengukuran kadar hematokrit
pada awal perjalanan penyakit serta menggunakan sampel pasien DBD dewasa.
Temuan kedua peneliti tersebut menegaskan bahwa kadar hematokrit awal dan
derajat klinis DBD tidak berhubungan dengan signifikan. Kadar hematokrit awal
tidak berhubungan dengan derajat klinis DBD, sementara kadar hematokrit puncak
berhubungan. Maka peningkatan kadar hematokrit dimungkinkan bukan merupakan
faktor awal yang dominan dalam patogenesis DBD, namun sekadar merupakan
variabel lanjut dalam perjalanan penyakit (Jaya, 2008).
38
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara nilai hematokrit terhadap
derajat klinis Demam Berdarah Dengue pada pasien anak di RSUP Sanglah
Denpasar, dengan nilai p dan r pada hari ke-4 (p=0,060 ; r=0,221), hari ke-5
(p=0,446 ; r=0,091), dan hari ke-6 (p=0,084 ; r= - 0,204).
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang
lebih banyak terutama untuk derajat klinis DBD berat (derajat III dan derajat
IV), melakukan analisis yang terpisah untuk sampel laki-laki dan perempuan,
serta menggunakan desain penelitian prospektif untuk meningkatkan validitas
penelitian. Selain itu, diharapkan penelitian selanjutnya menggunakan data
nilai hematokrit pasien DBD anak pada awal masuk rumah sakit sehinnga
pasien belum mendapatkan intervensi yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian.
39
DAFTAR PUSTAKA
Sari, S. K. & Aryati. 2011. Diagnosis Jangkitan (Infeksi) Virus Dengue dengan Uji
Cepat (Rapid Test) IgA Anti-Dengue. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, 17 (2), 81-85.
Sastri, N.L.P.P. & Lestari, A.A.W. 2016. Gambaran Hasil Pemeriksaan Darah
Lengkap pada Pasien Suspect Infeksi Virus Dengue di Rumah Sakit Surya Husadha
Denpasar Februari-Juli 2014. E-Jurnal Medika Udayana, 7 (5), 1-5.
Dewi, N.L.S.P. & Wirawati, I.A.D. 2013. Role of the Serologic Test for Dengue
Virus Infection. E-Jurnal Medika Udayana, 2 (8), 1-14.
Bhaskar, E., Sowmya, G., Moorthy, S., Sundar, V. 2015. Prevalence, Patterns, and
Factors Associated with Bleeding Tendencies in Dengue. J Infect Dev Ctries, 9 (1),
105-110.
Yasa, I.W.P.S., Putra, G.A.E.T., Rahmawati, A. 2012. Trombositopenia Pada Demam
Berdarah Dengue. MEDICINA, 43:114-21
Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015. Profil Kesehatan 2014. Available from:
www.diskes.baliprov.go.id [Accessed 12 Desember 2016)
A., Sukohar. 2014. Demam Berdarah Dengue (DBD). Medula Unila, 2 (2), 1-15.
Bashir, A.B., Mohammed, B.A., Saeed, O.K, Ageep, A.K. 2015. Thrombocytopenia
and Bleeding Manifestations Among Patients With Dengue Virus Infection In Port
Sudan, Red Sea State Of Sudan. J. Infect. Dis. Immun, 7 (2), 7-13.
Ruslianti, V., Chairulfatah, A., Rachmadi, D. 2013. Hubungan Spektrum Klinis
Infeksi Dengue dengan Kadar Seng dan Feritin Serum. Sari Pediatri, 15 (4), 213-219.
S., Ranjit, N., Kissoon. 2011. Dengue hemorrhagic fever and shock syndromes.
Pediatri Crit Care Med, 12:90 –100.
Tambunan, B.A., Aryati, Husada, D. 2010. Nilai Batas Antigen Ns1 Dengue
Kuantitatif Sebagai Prediktor Keparahan Jangkitan/Tularan (Infeksi) Virus Dengue
Anak. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 17 (1), 32-
37.
Nopianto, H. 2012. “Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Lama Rawat Inap
Pada Pasien Demam Berdarah Dengue Di Rsup Dr. Kariadi Semarang” (Skripsi).
Semarang: Universitas Diponegoro.
Rahadian, D.H. 2012. “Perbedaan Tingkat Pengetahuan Ibu dan Tindakan
Pencegahan Demam Berdarah Dengue Di Wilayah Endemis Dan Non Endemis”
(Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.
Simmons, C.P. Dengue. In: Cohen J, G William, Powderly, Opal MS, editors.
Infectious Diseases 3rd edition vol. 2. USA : Mosby el sevier; 2010. p. 1253-56.
40
Bima Valentino. 2012. “Hubungan antara Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap dengan
Derajat Klinik Infeksi Dengue” (Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro.
Kawthalkar, S.M. 2010. Essentials of Clinical Pathology. India: Jaypee Brothers
Medical Publishers
Patandianan R., Max F.J.M., Firginia M., Arthur E.M. Hubungan Kadar Hemoglobin
dengan Jumlah Trombosit pada Pasien Demam Berdarah Dengue. Journal ebiomedik
[Online] 2013. Accesed from: http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebio
medik/article/view/3248 [17 Januari 2014];1(2).