39
GAMBARAN RELASI IBU DENGAN ANAK YANG MENGALAMI GANGGUAN AUTIS (TINJAUAN TEORI PARENT-CHILD RELATIONSHIPS) Renny Widyasmara Enjang Wahyuningrum Krismi D. Ambarwati Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

GAMBARAN RELASI IBU DENGAN ANAK YANG MENGALAMI

GANGGUAN AUTIS (TINJAUAN TEORI PARENT-CHILD RELATIONSHIPS)

Renny Widyasmara

Enjang Wahyuningrum

Krismi D. Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 2: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak
Page 3: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak
Page 4: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak
Page 5: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

i

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana relasi yang antara ibu dan

anak autis, di mana partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu rumah

tangga yang mengasuh anak tanpa bantuan baby sitter. Penelitian ini menggunakan

metode kualitatif di mana wawancara dilakukan berdasarkan aspek-aspek parent-child

relationships yang dikemukakan oleh Gerard (1994). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ibu yang memiliki anak autis membutuhkan dukungan dari pasangan dan

anggota keluarga yang lain agar dapat menerima kondisi anak dan tidak menyalahkan

dirinya sendiri. Keterlibatan ibu dalam pengasuhan anak memungkinkan ibu untuk

mengetahui kebutuhan dan perkembangan anak meskipun ketidakmampuan anak untuk

berkomunikasi menjadi hambatan bagi ibu dalam memahami apa yang diinginkan anak.

Ibu perlu bersikap tegas dan konsisten terhadap perintah dan rutinitas yang

diterapkannya sehingga anak dapat belajar tentang kemandirian dan kedisiplinan, serta

mendorong anak untuk dapat mengambil keputusan. Keberadaan ayah sebagai figur

yang ditakuti dan dibutuhkan oleh anak dalam pengasuhan juga membantu ibu dalam

menerapkan aturan. Hasil lain menunjukkan bahwa ketebatasan pengetahuan yang

dimiliki ibu mengenai gangguan autis mengakibatkan ibu kurang memberikan

penanganan yang tepat sesuai kebutuhan anak.

Kata kunci: gangguan autis, relasi ibu dan anak.

Page 6: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

ii

ABSTRACT

This research aims to see how the relationship between mother and child with

autism, in which participants used in this study is a housewife who care for children

without the help of a baby sitter. This research uses qualitative methods in which

interview were conducted based on the aspects of parent-child relationships from

Gerard (1994). The results showed that mothers of children with autism need support

from spouses and other family members in order to receive the child’s condition and not

blame himself. Maternal involvement in childcare allow mothers to know the needs and

development of children despite the inability of the child to communicate become

obstacles for women in understanding what the child wants. Mothers need to be firm

and consistent in the application of commands and routines so that children can learn

about self-reliance and self-discipline and encourage the child to be able to make

decisions. Existence as a father figure to be feared and needs of children in care also

helps mothers in applying the rules. Other results show that the limited knowledge

about the mothers of autistic disorders result in the mother failed to give appropriate

treatment according to the needs of children. Some suggestions for parents who have

children with autism is, couples and family members should provide support to the

mother so that she can receive the child’s condition and cope with stress.

Keyword: autism disorder, mother-child relationship.

Page 7: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

1

PENDAHULUAN

Memiliki seorang anak merupakan harapan bagi setiap pasangan suami istri

karena anak tidak hanya dapat menjadi penerus atau pewaris keluarga, namun juga

dapat membuat sebuah keluarga menjadi lebih hidup dan harmonis (Nurmala, 2013).

Sering kali orang tua mengharapkan anaknya dapat terlahir normal, namun ada pula

kemungkinan hadirnya seorang anak dengan gangguan autis dalam sebuah keluarga.

Autism spectrum disorder (ASD) merupakan sebuah gangguan yang sangat

kompleks dan membingungkan. Kompleksitas ini dikontribusikan oleh fakta bahwa

autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal (Dempsey & Foreman, 2001). Konseptualisasi

autisme sebagai gangguan spektrum menunjukkan bahwa gangguan tersebut ada pada

sebuah kontinuum penurunan, dengan gangguan autisme yang mewakili presentasi

paling parah dari gangguan tersebut (Chlebowski, Green, Barton, & Fein, 2010).

Gangguan autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif dengan onset sebelum

3 tahun dan ditandai dengan keterlambatan dalam komunikasi, interaksi sosial dan pola

perilaku yang terbatas (Wing, 1996 dalam Rodger, Keen, Braithwaite, & Cook, 2008).

Anak laki-laki lebih banyak didiagnosa mengalami gangguan ini dibandingkan anak

perempuan (Dempsey & Foreman, 2001) dengan prevalensi berkisar antara 2 : 1 sampai

13 : 1 (Cumine, Leach, & Stevenson, 2000). Gangguan ini bersifat menetap dan tidak

dapat disembuhkan, namun dapat diminimalisasi dengan pemberian terapi. Artinya,

kelainan yang terdapat di dalam otak tidak dapat diperbaiki, namun gejala-gejala yang

ada dapat dikurangi semaksimal mungkin sehingga anak dapat berbaur dengan anak

seusianya yang lain (Prishelly, 2014). Diperkirakan 50% anak-anak yang mengalami

gangguan seperti ini akan berlangsung sampai remaja atau bahkan dewasa (Mufadhilah,

2014). Walaupun demikian tidak semua anak dengan gangguan autis menunjukkan

Page 8: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

2

gejala yang sama (Nixon & Mariyanti, 2012). Diagnosis dini sangat diperlukan guna

mendapatkan akses yang tepat terhadap layanan intervensi dini yang berharga bagi

anak-anak dan keluarga. Intervensi dini diperlukan karena defisit awal mungkin akan

kumulatif dan menghambat fungsi sosial serta komunikasi anak (Hwang & Hughes,

2000 dalam Rodger, Keen, Braithwaite, & Cook, 2008). Selain itu, dengan adanya

intervensi dini, orang tua dapat mengatasi kemungkinan frustrasi dan tantangan yang

dihadapi ketika mengasuh anak autis (Rodger, Keen, Braithwaite, & Cook, 2008).

Diperkirakan prevalensi anak-anak yang mengalami gangguan autis berkisar 5

kasus per 10.000 anak (APA, 2000), dan sudah meningkat menjadi 60 kasus per 10.000

anak-anak usia 18 tahun atau lebih muda (Fombonne, 2003 dalam Altiere & von Kluge,

2009) yang mana sebanyak 35%-40% anak autis tidak mengembangkan kemampuan

bahasa (Heflin & Alaimo, 2007). Sampai saat ini belum ada data resmi mengenai

jumlah anak autistik di Indonesia, namun terjadi peningkatan yang drastis setiap

tahunnya. Penelitian pada tahun 1987 menunjukkan rasio penderita autis yaitu 1 : 5000.

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1997 rasio penderita autis menjadi 1 : 500. Tahun

2000 penderita autis menjadi 1 : 150 dan terakhir pada tahun 2001 penderita autis

menjadi 1 : 100 (Asmika, Andarini, & Rahayu, 2006). Lembaga sensus Amerika Serikat

melaporkan bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik atau gangguan

spektrum autis di Indonesia mencapai 475.000 orang (Kompas, 20 Juli 2005 dalam

Ginanjar, 2007).

Secara fisik, anak autis memang tidak memiliki perbedaan yang mencolok

dengan anak-anak pada umumnya. Hanya saja yang membedakan anak autis dengan

anak lain adalah dalam hal interaksi dengan orang lain secara timbal balik, kurang

kontak mata, ekspresi wajah yang kurang ceria atau hidup serta gerak-gerik anggota

Page 9: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

3

tubuh yang kurang tertuju untuk dapat bermain dengan teman sebaya sehingga anak

terlihat sendiri atau cenderung menjadi penyendiri bahkan tidak dapat berempati atau

merasakan apa yang dirasakan orang lain (Salman, 2014).

Orang tua yang memiliki anak-anak autistik diketahui memiliki tingkat stres

yang lebih tinggi dari orang tua anak dengan perkembangan biasa dan orang tua anak-

anak dengan cacat perkembangan lainnya (Davis & Carter, 2008). Keluarga ini juga

melaporkan rendahnya fungsi keluarga (adaptasi dan kohesi) dan rendahnya

kebahagiaan pernikahan dibanding kelompok norma. Orang tua anak-anak autis dua kali

lebih mungkin untuk bercerai dibandingkan orang tua anak tanpa autis. Resiko

perceraian orang tua anak tanpa autis mengalami penurunan ketika anak mencapai akhir

masa kanak-kanak dan dewasa awal, sementara resiko perceraian orang tua dengan anak

autis tetap tinggi hingga anak menjadi remaja dan dewasa awal (Solomon & Chung,

2012). Oleh karena itu, penerimaan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan

anak autis. Sikap orang tua yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya

memiliki gangguan autis akan sangat buruk dampaknya, karena hal tersebut akan

membuat anak merasa tidak dimengerti dan tidak diterima apa adanya serta dapat

menimbulkan penolakan dari anak yang kemudian termanifestasi dalam bentuk perilaku

yang tidak diinginkan (Marijana, 2003 dalam Rachmayanti & Zulkaida, 2007).

Parent-child relationships atau yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai

relasi orang tua-anak, merupakan dasar biologis yang dipengaruhi oleh perkembangan

dan kondisi kontekstual, dan hubungan ini juga mempengaruhi perkembangan individu

di luar masa kanak-kanak dan remaja (Trommsdorff, 2006). Parent-child relationships

yang positif dapat diketahui ketika orang tua dapat mengelola stres, berkomunikasi

dengan baik ketika frustrasi, menangani konflik tanpa kekerasan fisik, dan

Page 10: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

4

mempertimbangkan perasaan anak. Anak-anak belajar bagaimana cara mengatasi stres

dengan melihat apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Jika reaksi orang tua adalah

dengan berteriak, memukul, dan memanggil nama; orang tua mengajar mereka

kebalikan dari apa yang orang tua ingin mereka lakukan. Stres dan frustrasi memberikan

kesempatan kepada orang tua untuk dapat menjadi panutan bagi anak. Ketika orang tua

dapat mengatasi stres dan frustrasi dengan baik, orang tua menunjukkan kepada anak

bagaimana mengatasi stres dan frustrasi mereka sendiri (Durrant, 2012).

Ibu sebagai agen penting dalam pengasuhan menunjukkan rendahnya tingkat

stres yang dapat mengakibatkan munculnya masalah somatik dan simptom depresi

(Altiere & von Kluge, 2009). Hal ini dikarenakan ketidakmampuan anak dalam

berkomunikasi sering mengakibatkan ibu tidak memahami apa yang diinginkan anak

sehingga anak marah dan tantrum (Noor, Indriati & Elita, 2014). Anak dengan

gangguan autis juga kesulitan dalam mematuhi norma-norma sosial yang ada (Altiere &

von Kluge, 2009) sehingga mereka sering menyebabkan masalah. Kondisi tersebut yang

membuat ibu harus selalu waspada untuk mengawasi anak. Selain itu perasaan kecewa,

sedih dan bingung yang dirasakan oleh ibu ketika mengetahui kondisi anaknya yang

mengalami gangguan autis, menyebabkan ibu merasa malu dan memilih untuk

bersembunyi bahkan menutupi kondisi anak dan mengucilkan anaknya dari lingkungan

sosial ketimbang mencari keterangan/informasi yang sesuai dengan gangguan yang

dialami anak (Salma, 2014). Meskipun demikian, penelitian melaporkan bahwa dengan

memiliki anak autis, orang tua lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga dan

besarnya toleransi terhadap ambiguitas. Penelitian lain juga menemukan bukti bahwa

ibu menemukan makna dan pengalaman perrtumbuhan positif pada anak-anak

penyandang cacat (Phetrasuwan & Miles, 2009).

Page 11: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

5

Dukungan dari keluarga akan membantu meningkatkan kepercayaan diri ibu

agar lebih mampu merawat dan memenuhi kebutuhan emosional anak, mampu bersikap

responsif dan berempati terhadap anak-anak mereka (Shilihah, 2010 dalam Utami &

Naviati, 2012) sehingga ibu tidak berperilaku kasar terhadap anak bahkan

menelantarkan anak (Hidayati, 2013). Selain itu, perubahan suasana lingkungan

keluarga juga dapat membantu mengurangi perilaku mengganggu dan meningkatkan

perkembangan anak (Azizah, 2015). Penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya

dukungan perilaku positif yang diberikan ibu terhadap anaknya yang mengalami

gangguan autis dapat mengurangi berbagai gejala ketidakmampuan yang dialami anak

(Indahwati, 2014). Ketika ibu memberikan penerimaan terhadap anak dengan gangguan

autis, ibu memberikan kesempatan kepada anak agar dapat mengembangkan dirinya dan

menjalin interaksi sosial. Selain itu, dukungan yang diberikan oleh ibu dapat membuat

anak menjadi lebih berani untuk mengembangkan kemampuannya (Ekawati &

Wandasari, 2012).

Parent-child relationships yang positif dapat diukur dengan adanya parental

support yang berkaitan dengan tingkat dukungan emosional dan sosial yang diterima

oleh orang tua; satisfaction with parenting yang menilai tingkat kenikmatan dan

kepuasan ketika menjadi orang tua; involvement atau tingkat interaksi orang tua dengan

anak dan pengetahuannya terhadap anak; communication yang mengukur kualitas

komunikasi yang terjalin antara orang tua dengan anak; limit setting yang berfokus pada

pengalaman orang tua dalam melaksanakan aturan-aturan; autonomy orang tua yang

diberikan guna mendorong kemandirian anak; dan role orientation mengenai sikap

orang tua terhadap peran gender dalam pengasuhan. Dengan mengukur aspek-aspek

Page 12: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

6

interaksi orang tua-anak, memungkinkan untuk memverifikasi hipotesis klinis dari

gangguan individu dan keluarga berdasarkan latar belakang objektif (Gerard, 1994).

Orang tua sebagai agen sosialisasi utama bagi anak (Webster-Stratton, Reid, &

Beauchaine, 2011) perlu bersikap sensitif terhadap isyarat yang ditunjukkan oleh anak,

responsif, dan peduli sehingga anak-anak dapat mengembangkan keterampilan yang

mereka butuhkan untuk bertahan hidup, terutama sikap ibu sebagai orang yang secara

langsung memiliki hubungan dan berinteraksi dengan anak autis (Indahwati, 2014).

Semakin dini ibu membangun hubungan yang positif dengan anak, semakin besar

dampak yang dapat dirasakan, meliputi kesejahteraan emosional anak, dasar untuk

coping dan kemampuan memecahkan masalah, serta kemampuan menjalin hubungan

(The National Center on Parent, Family, and Community Engagement (NCPFCE),

2013).

Penelitian mengenai relasi ibu dan anak autis di Indonesia masih belum banyak

dibahas. Permasalahan tersebut penting untuk diungkapkan melalui suatu penelitian

karena dukungan dan penerimaan dari setiap anggota keluarga, terutama ibu akan

memberikan energi dan kepercayaan dalam diri anak untuk lebih berusaha

meningkatkan setiap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, penolakan dari orang-

orang terdekat dalam keluarganya akan membuat mereka semakin rendah diri dan

menarik diri dari lingkungannya (Hendriani, Handariyati, & Sakti, 2006). Selain itu,

penelitian mengenai parent-child relationships yang telah dilakukan di negara Amerika,

Jerman maupun China akan berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia

karena adanya pola yang berbeda dalam hubungan orang tua-anak antara budaya yang

satu dengan budaya yang lain. Hubungan orang tua-anak dalam budaya Jawa dapat

dijelaskan oleh pepatah mikul dhuwur mendhem jero, yang artinya anak harus

Page 13: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

7

mengangkat kehormatan orang tua dan menanggung kesalahan dan perasaan malu orang

tua yang sangat bertolak belakang dengan paham Latin-Amerika yang sering kali

diterapkan di negara Amerika maupun budaya negara Cina yang mengharuskan orang

tua memiliki hubungan dekat dengan anak karena adanya hubungan darah (Lestari,

Faturochman, & Kim, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian

guna mengungkap bagaimana gambaran relasi ibu dengan anak yang mengalami

gangguan autis, dengan tinjauan teori parent-child relationships yang dikemukakan oleh

Gerard (1994).

METODE

Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif, di mana peneliti menggunakan latar alamiah untuk dapat

menafsirkan fenomena yang terjadi, serta melibatkan berbagai metode yang ada. Secara

khusus, penelitian ini menggunakan penelitian studi kasus yang salah satu strategi dan

metode analisisnya menekankan pada kasus khusus yang terjadi pada objek analisis.

Partisipan

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran parent child

relationships dalam keluarga dengan anak autis, maka karakteristik partisipan pada

penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang memiliki anak dengan gangguan autis.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ibu rumah tangga merupakan wanita yang

mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga; istri (ibu) yang

hanya mengurusi berbagai pekerjaan rumah tangga (misalnya tidak bekerja di kantor).

Hal ini yang menyebabkan peneliti memilih ibu sebagai pusat dari penelitian. Dengan

Page 14: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

8

harapan ibu rumah tangga mengetahui perkembangan yang dialami oleh anak dengan

gangguan autis. Adapun identitas partisipan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Partisipan 1 Partisipan 2

Inisial Nama E A

Usia Ibu 30 tahun 38 tahun

Pendidikan S-1 S-1

Inisial Nama Anak NSH GAP

Usia Anak 6 tahun 14 tahun

Table 1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan teknik wawancara, yaitu depth interview di mana sebelumnya peneliti

sudah membuat interview guide berdasarkan aspek-aspek parent-child relationships

yang dikemukakan oleh Gerard (2014). Pada partisipan 1, wawancara dilaksanakan

pada tanggal 29 Oktober 2014, 20 November 2014, dan 13 Desember 2014. Sedangkan

wawacara dengan partisipan 2 dilaksanakan pada tanggal 17 Februari 2015, 25 Februari

2014, 16 Maret 2015 dan 19 Maret 2015.

Instrument yang Digunakan

Untuk memperoleh gambaran parent-child relationships yang positif dapat

diukur dengan adanya parental support yang berkaitan dengan tingkat dukungan

emosional dan sosial yang diterima oleh orang tua; satisfaction with parenting yang

menilai tingkat kenikmatan dan kepuasan ketika menjadi orang tua; involvement atau

tingkat interaksi orang tua dengan anak dan pengetahuannya terhadap anak;

communication yang mengukur kualitas komunikasi yang terjalin antara orang tua

Page 15: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

9

dengan anak; limit setting yang berfokus pada pengalaman orang tua dalam

melaksanakan aturan-aturan; autonomy orang tua yang diberikan guna mendorong

kemandirian anak; dan role orientation mengenai sikap orang tua terhadap peran gender

dalam pengasuhan. Dengan mengukur aspek-aspek interaksi orang tua-anak,

memungkinkan untuk memverifikasi hipotesis klinis dari gangguan individu dan

keluarga berdasarkan latar belakang objektif (Gerard, 1994).

Proses Pengambilan Data

Wawancara pertama dengan partisipan 1 dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober

2014. Peneliti datang ke rumah partisipan pukul 08.10 WIB dan disambut oleh kakak

partisipan yang bertempat tinggal dekat dengan partisipan. Tak lama kemudian

partisipan keluar sambil menggendong anak keduanya. Partisipan meminta agar peneliti

menunggu terlebih dahulu sementara ia hendak memandikan anaknya. Setelah itu

sekitar 15 menit kemudian, partisipan keluar dan peneliti pun berusaha membangun

rapport dengan partisipan terlebih dahulu. Pukul 08.30 wawancara pun dilaksanakan.

Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang sebelumnya sudah dibuat (interview

guide) dan partisipan pun dapat menceritakan dengan baik bagaimana kondisi putranya

yang mengalami gangguan autis, sesuai dengan pertanyaan yang diberikan sambil

mengasuh putrinya. Pada penelitian yang pertama ini, terjadi beberapa kali gangguan

karena partisipan yang berusaha meminta tolong kepada suaminya untuk menjaga

putrinya, kemudian suami partisipan yang menyerahkan kembali anak kepada partisipan

karena hendak bersiap-siap menjemput anak sulungnya ke sekolah, dan ketika

partisipan hendak memberikan uang kepada pengantar susu. Meskipun demikian, proses

pengambilan data tetap dilakukan sampai selesai, yaitu pukul 09.55 WIB.

Page 16: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

10

Selanjutnya, wawancara kedua dan ketiga dengan partisipan 1 dilaksanakan di

sekolah anak berkebutuhan khusus “Rumah Pintar”. Hal ini dikarenakan partisipan

merasa lebih nyaman melakukan wawancara di tempat tersebut di bandingkan di rumah,

dengan alasan dapat lebih leluasa untuk bercerita sambil tetap mengasuh anak. Oleh

karena itu, pada tanggal 20 November 2014 peneliti datang ke sekolah pukul 08.00 WIB

dan bertemu dengan kepala sekolah untuk meminta ijin terlebih dahulu melakukan

pengambilan data sambil menyerahkan surat ijin penelitian. Setelah mendapatkan ijin,

peneliti beserta partisipan masuk ke mushola untuk melakukan wawancara kedua.

Selama wawancara kedua berlangsung, partisipan sesekali harus menenangkan anaknya

yang mulai rewel dan ingin keluar dari ruangan tersebut. Meskipun demikian, partisipan

tetap berusaha memberikan keterangan hingga wawancara selesai. Begitu pula ketika

wawancara ketiga dilaksanakan pada 13 Desember 2014, peneliti datang ke sekolah

pada pukul 08.15 WIB. Pada penelitian kali ini, peneliti dan partisipan melakukan

wawancara di ruang tamu. Tidak banyak kesulitan yang dihadapi ketika pengambilan

data berlangsung. Partisipan tetap berusaha bercerita sambil mengasuh anaknya.

Walaupun begitu, anak subjek tidak rewel dan bisa bermain sendiri di area yang lebih

luas sehingga penelitian dapat berlangsung dengan baik.

Dalam proses pengambilan data dengan partisipan 2, terlebih dahulu peneliti

datang ke sekolah pada tanggal 9 Februari 2015 untuk meminta ijin kepada kepala

sekolah dan menyerahkan surat ijin penelitian. Kemudian pada tanggal 17 Februari

2015 wawancara pertama pun dapat dilaksanakan, diikuti tanggal 25 Februari 2015; 16

Maret 2015 dan 19 Maret 2015 untuk wawancara kedua, wawancara ketiga dan

wawancara keempat. Pada wawancara pertama, peneliti datang pukul 08.30 WIB dan

wawancara baru dilaksanakan pukul 08.40 WIB karena peneliti perlu menjalin rapport

Page 17: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

11

terlebih dahulu dengan partisipan. Oleh karena itu, partisipan tampak tergesa-gesa dan

gelisah selama wawancara berlangsung karena harus segera menemui putranya yang

beristirahat pukul 08.45 WIB. Meskipun demikian, partisipan tetap bersabar menjawab

pertanyaan peneliti hingga wawancara selesai pukul 09.00 WIB. Untuk wawancara

kedua, ketiga dan keempat, peneliti datang ke sekolah lebih awal yaitu pukul 08.00 WIB

sehingga partisipan tidak perlu merasa gelisah selama wawancara berlangsung karena

jam istirahat masih cukup lama. Walaupun begitu, karena pengambilan data dilakukan

di halaman sekolah, ada banyak gangguan yang dihadapi oleh peneliti, yaitu suara-suara

dari sekitar, seperti suara orang tua murid yang sedang menunggu anaknya dan suara

kendaraan yang keluarr-masuk area sekolah.

Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

kualitatif. Adapun beberapa tahap dalam analisis data kualitatif yakni menelaah seluruh

data yang tersedia, melakukan reduksi data, melakukan kategorisasi, dan melakukan

penafsiran data (Moleong, 2010). Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian ini,

digunakan teknik triangulasi sumber dengan narasumber orang tua partisipan.

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada kedua partisipan, diketahui

bahwa ibu sangat membutuhkan parental support dari pasangan untuk membantu

merawat dan mengasuh anak yang mengalami gangguan autis. Partisipan 1 merasa

sangat terbantu ketika suaminya bersedia terlibat dalam pengasuhan anak dan menjalin

interaksi dengan anak meskipun aktivitas yang mereka lakukan terbilang sederhana. Hal

ini menunjukkan adanya kelekatan yang mulai terjalin antara anak dengan sang suami.

Demikian halnya dengan partisipan 2 yang merasa bahwa keberadaan suami sangat

Page 18: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

12

membantu dalam pengasuhan, terutama dalam perawatan anak autis. Kerja sama yang

dibina oleh partisipan dan suami dapat membuat mereka menjadi lebih produktif untuk

mencapai hasil yang maksimal.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Biasanya itu, ya itu, kalau sama ayahnya

kan tabletnya itu, biasanya sama ayahnya

main tabletnya itu. Kalau nggak, dia itu

kalau main itu lho, sukanya yang gulat.

Jadi sama ayahnya.”

“Kalau punya anak seperti itu memang

istilahnya harus bersama-sama gitu ya.

Istilahnya saling, itu semua dilakukan

bersama-sama tentunya hasilnya lebih

optimal. Memang kalau satu orang sendiri

kan istilahnya, kemampuannya tetap

terbatas kan. Harus bersama-sama.”

Dukungan yang lain tampak dari adanya penerimaan yang diberikan oleh orang tua

kedua partisipan terhadap kondisi anak yang mengalami gangguan autis. Orang tua

kedua partisipan bersedia membantu mengawasi dan merawat anak mereka. Meskipun

tidak bisa dipungkiri bahwa ayah mertua partisipan 1 masih mengalami kesulitan untuk

menerima kondisi tersebut.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Iya. Sama Eyang Putri. Apa-apa Eyang

Putri. Dulukan belum bisa ditinggal sama

sekali, jadinya misalnya saya tinggal

sholat gitu, nanti Eyang Putrinya yang

mengawasi. Saya tinggal ke belakang,

Eyang Putrinya yang mengawasi.”

“Enggak komentar sih karena dia, gitulah.

Embah kan jauh ya waktu itu, jadi ya,

istilahnya member info „ati-ati‟ gitu ke

aku. Dulu cenderungnya malah embah

kakung yang lebih care gitu. Embah

kakungnya kan sudah tidak ada

sekarang.”

Selain itu, partisipan 1 juga memperoleh dukungan dari cerita orang tua anak

berkebutuhan khusus yang lain ketika berada di sekolah. Sedangkan partisipan 2 merasa

tidak sendirian ketika ia melihat ada banyak anak yang senasib dengan putranya,

meskipun ia sendiri belum memiliki teman dekat untuk mencurahkan isi hatinya.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Makanya kalau seperti ini kan, kalau kita

kumpul di sekolah itu kan untuk

“Aku kebetulan belum kalau seperti itu.

Kan aku baru setahun mbak. Ya paling

Page 19: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

13

refreshing, untuk cerita, cerita tentang

kondisi anak-anak seperti itu…..Kalau

yang siang, biasanya kita sharing gitu

lho.”

aku berpikir bahwa banyak juga anak-

anak yang seperti itu. Jadi tidak

sendirian.”

Gambaran satisfaction with parenting dapat diketahui dari bagaimana reaksi

awal kedua partisipan ketika mengetahui kondisi anaknya yang didiagnosa mengalami

gangguan autis. Kedua partisipan berusaha menyalahkan dirinya sendiri, merasa

terpukul, tidak percaya, menolak dan menyangkal fakta bahwa anaknya tergolong anak

autis.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Tapi terus berpikir, terus akhirnya saya

coba ke dokter. Ke dokter katanya

memang, Ibu Ambar langsung bilang

“Maaf ya, ini termasuk anak berkebutuhan

khusus. Ya tetap harus dianu,” lha kan Bu

Ambar, waktu itu langsung makbrek dulu,

ya sudah.”

“Karena sempat apa ya, nggak percaya

ya. Kadang-kadang ada deny ya,

maksudnya penolakan. Terus kita masukin

ke, TK-nya sudah bisa ya TK biasa.

Karena memang kebetulan di TK itu satu

kelas gurunya, jadi 5 orang diampu 1 guru

gitu, jadi bisa.”

Partisipan 1 merasa bingung dengan pelaksanaan metode pembelajaran yang selama ini

ia terapkan untuk mendidikan anak yang cenderung keras dan memaksa. Perilaku

tersebut sering kali membuatnya merasa menyesal, bimbang dan menyalahkan dirinya

sendiri karena belum dapat memberikan penanganan yang tepat sedini mungkin guna

mengatasi keterlambatan yang dialami anaknya. Perasaan bingung dan bimbang yang

dirasakan oleh partisipan 1 ternyata juga dirasakan oleh partisipan 2. Ia sempat merasa

bingung ketika anaknya sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit ketika dikhitan.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Apa itu, kadang ya bingung ya. Terus

apa tidak harus dipaksa? Tapi kalau tidak

begitu, tidak jalan gitu. Kadang kan

katanya anak harus nyaman dulu. Lha tapi

kalau seperti SNH, terus kapan nanti dia

mengejar ketinggalannya kalau begitu?”

“Tidak itu mbak. Kan waktu itu dia nggak

minta memang. Tapi terus bapaknya apa,

bius total jadi nggak berasa. Sakit juga

nggak. Maksudnya nggak, nggak apa ya

merintih, kesakitan juga nggak. Biasa gitu,

nggak pernah ngeluh. Makanya suka

“Sakit nggak sih sebenernya le?” Tapi

Page 20: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

14

diem aja.”

Partisipan 1 sering merasa lelah dan pesimis selama pengasuhan anak. Namun ia

berusaha untuk memotivasi dirinya sendiri dengan pemikiran-pemikiran positif

sehingga anaknya tidak akan merasa diabaikan. Cara ini membuat partisipan 1 dapat

menerima kondisi anak meskipun sang suami masih kesulitan untuk membuka diri

dengan anaknya dan sering marah ketika anak menyebabkan masalah ketika berada di

tempat umum. Begitu pula halnya dengan partisipan 2 yang awalnya sempat

menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang dialami anak. Akan tetapi, seiring

berjalannya waktu partisipan 2 beserta suaminya berusaha menerima kondisi anak dan

memberikan yang terbaik untuk perkembangan anak.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Kadang memang ada sisi, kadang kita

capek gitu. Capek. Yang paling parah itu

pesimis, mau jadi apa seperti itu. Tapi

kalau kembali ke situ, kita juga

berpikirnya anak ini menjadi dirinya

sendiri saja susah. Kalau dia bisa

memilih, dia juga ingin main seperti

teman-temannya.”

“Kalau dulu juga “Kenapa kok saya?”

Pernah seperti itu. Memang kalau seperti

itu, mau apa lagi. Memang harus

menerima apapun….. Aku sudah bisa

menerima lah. Tinggal kita bagaimana

mengoptimalkan kemampuannya saja.”

Ketidakmampuan partisipan 1 dalam mengelola emosi menyebakan ia menjadi cepat

marah ketika anaknya tidak konsentrasi belajar sementara ia masih harus menjaga

anaknya yang lain. Begitu pula halnya dengan partisipan 2, ketika anak tantrum dan

menyebabkan orang lain terluka, ia kurang mampu mengontrol emosinya dan

melampiaskan kemarahannya dengan memukul anak. Hal tersebut yang pada akhirnya

membuat partisipan merasa bersalah kepada anak.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Merasanya masih, sabarnya yang belum

ada. Kontrol sabarnya…..Jadi kalau N

memang kalau dia tidak konsentrasi

“Ya sebenarnya nyesal juga ya. Pada saat

itu aku nggak bisa nahan marah gitu kan.

Terus anaknya juga, mungkin pada saat

Page 21: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

15

seperti itu, saya sampai pukul meja.

“Dilihat!” Kadang matanya kemana-mana

seperti itu. Apalagi masih harus menjaga

adiknya juga. Jadi kadang memang capek,

emosinya jadi seperti itu.”

tantrum kan nggak ngerti apa ya.

Istilahnya karena memang dorongan

untuk marahnya lebih kenceng ketimbang

nalarnya gitu.”

Ketika anak menunjukkan perkembangan, partisipan 1 merasa cukup puas dengan usaha

yang sudah dilakukannya. Berbeda dengan partisipan 2 yang merasa bahwa anaknya

belum mengalami perkembangan, terkait dengan pendeknya konsentrasi yang dimiliki

anak.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Ya belum berhasil. Memang ada apa

namanya, ada perkembangannya. Dulu

yang awalnya semaunya sendiri,

sembarangan….. Tapi sekarang sudah

bisa. Misalnya sudah dipakai lagi,

dirapikan. Seprei juga mau merapikan.

Walaupun belum rapi, tapi sudah

mengerjakan.”

“Tapi ya, memang kaya gitu itu tidak bisa

berkembang ya. Maksudnya untuk

konsentrasinya jangka, jangkanya masih

pendek. Tidak bisa panjang seperti itu.”

Gambaran involvement yang ditunjukkan oleh kedua partisipan tampak dari

bagaimana mereka berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul dengan anak mereka

dan melakukan aktivitas bersama-sama, seperti pergi berbelanja atau hanya sekedar

jalan-jalan bersama.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Biasanya kalau, kalau pas ayahnya

longgar, nggak, nggak nunggu, pas dia

sudah di sini kan tidak menunggu hari

Sabtu. Jadi misalnya keluar. Paling cuma

di Ramayana….. Kalau tidak ya cuma

mutar tok gitu.”

“Paling aku hari Minggu kan, hari libur.

Paling nanti jalan-jalan. Dari rumah ke

JB kan dekat. Rumah saya di batas kota

itu mbak. Dari rumah jalan-jalan sampai

JB. Cuma istilahnya, beli bubur ayam.

Terus balik lagi jalan. Paling itu, yang

ringan. Terus nanti agak siangan kita

belanja bareng.”

Kedua partisipan sama-sama memiliki pengetahuan mengenai perkembangan yang

dialami oleh anaknya. Partisipan 1 mengetahui bahwa anaknya memiliki trauma akibat

Page 22: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

16

diperiksa oleh dokter THT sehingga partisipan memutuskan untuk tidak membawa

anaknya ke dokter supaya ketakutan yang dialami anak tidak terulang kembali.

Demikian pula dengan partisipan 2 yang melihat bahwa anak pernah mengalami

ketakutan bertemu dengan temannya setelah ia disakiti.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Terus sama Bu Ambar disuruh THT,

dokter Yuni itu. Ya udah ke sana. Nah itu

tho, gara-gara di situ, dia jadi takut sama

dokter soal itu tho dibersihkan. Sejak saat

itu kan dia ke tempat, rumah sakit atau

dokter, takut gitu.”

“Dia paling, waktu di sana ya kebetulan.

Kalau di sini temannya baik-baik semua.

Di sana itu, jadi, paling turun dari aku

antar kan waktu itu, ketemu ZD langsung

gini (menundukkan kepalanya), udah.

Nggak pernah bales, nggak pernah apa

langsung gini (menunduk). Jadi kaya

orang ketakutan, dirinya sendiri gitu kan.

Udah gitu aja.”

Partisipan 1 menyadari kesulitan yang dihadapi anak ketika harus beradaptasi pada

lingkungan/situasi yang baru. Partisipan juga mengetahui bagaimana reaksi negatif yang

akan ditunjukkan oleh anak (seperti berteriak) setiap kali mendengar suara yang keras

karena kepekaannya terhadap suara. Begitu pula dengan partisipan 2 yang menyadari

bahwa anaknya kesulitan jika harus berinteraksi dengan orang baru, ia cenderung

menghindar dan tidak ingin berrtemu. Partisipan juga merasa bahwa anak belum mampu

mengungkapkan keinginan dan perasaannya dengan baik kepada orang lain. Hal ini

yang mengakibatkan anak sering merasa malu dan tidak percaya diri ketika diminta

untuk maju di depan kelas. Selain itu, partisipan 2 sering khawatir karena anak tidak

segera mengungkapkan permasalahan yang dirasakannya (terutama ketika ia merasakan

sakit) sehingga partisipan harus selalu waspada jika sewaktu-waktu ia melihat bahwa

anak terluka.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Cuma kemarin, kalau dia sudah takut

dengan suara, itu tidak bisa kalau

“Sakit gitu kadang juga diem aja. Nanti

kalau panas gitu kan, panas istirahat gitu.

Page 23: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

17

dipegang….. Bingung, dia bingung.

Biasanya dia lari ke depan, saya tutup

kamarnya, saya pegangi, tidak bisa. Dia

berputar-putar di dalam kamar. Masih

belum anu, bingung dia.”

Tapi dia nggak ngomong yang sakit yang

mana gitu lho. Sempat kaya gitu. Terus

akhirnya dicek gitu kan. Baru 3 hari, baru

ngomong „Iniku (sambil memegang leher),

buat menelan sakit.‟ Lha kan berarti

faringitis gitu.”

Partisipan 1 merasa bahwa saat ini respon anak ketika menolak perintahnya sudah

mengalami perubahan karena anak sudah mulai terbiasa dengan aktivitas yang

dilakukannya sehingga respon anak yang sering memukul ketika marah sudah

mengalami penurunan dan anak tidak sering marah-marah lagi. Lain halnya dengan

partisipan 2 yang merasa bahwa kemarahan anak muncul karena anak tidak memperoleh

apa yang diinginkannya sehingga anak menjadi tantrum. Meskipun demikan, hukuman

fisik yang pernah diberikan partisipan menjadi pembelajaran tersendiri bagi anak

sehingga anak lebih mendengarkan peringatannya.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Sekarang sudah mulai tidak. Awalnya

dulu kan, sambil marah-marah, teriak-

teriak seperti itu. Sekarang sudah mulai

tidak. Sempat semalam saya, karena dia

rewel, „Sini belajar aja!‟ terus dia

belajar.”

“Ehm kalau itu ada. Tapi nggak-nggak

sampai, kalau marah dulu kan suka teriak-

teriak gitu kan. Sekarang ehm „Mas!‟ aku

keras seperti itu aja, dia diam.”

Partisipan 1 melihat bahwa perkembangan motorik anak sudah mengalami peningkatan

meskipun anak masih belum dapat memusatkan konsentrasi pada gambar dibandingkan

dengan tulisan. Sedangkan partisipan 2 merasa bahwa anaknya memiliki memori yang

baik. Partisipan melihat bahwa anaknya dapat mengingat surat Al-Qur’an yang

dibacakan ayahnya dan instruksi yang diberikan sehingga sudah bisa menjalankan

rutinitas dengan baik. Selain itu, partisipan juga mengetahui bahwa anak sudah dapat

membaca dan menulis sendiri meskipun masih mengalami kesulitan jika harus

membaca susunan kata yang mengandung konsonan. Walaupun begitu, partisipan 2

Page 24: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

18

merasa bahwa anaknya masih sangat pasif, ia lebih suka melihat atau mendengar

(seperti menonton TV atau mendengarkan musik) daripada terlibat langsung dalam

sebuah aktivitas (seperti bermain bersama teman).

Partisipan 1 Partisipan 2

“Anaknya masih belum anu, belum apa

namanya, belum ada perkembangan yang

kelihatan gitu lho. Kalau mewarnai masih,

ya kadang, oh… dia masih gini sih, tidak,

tidak, ada gambar tidak dianu.”

“Kalau GAP baca sudah bisa, cuma kalau

ada misal apa ya? Tengahnya ada

konsonannya agak susah. Jadi harus yang,

misalnya yang „makan‟, „batu‟, „buta‟ gitu

kan. Kalau misalnya ditengahnya ada,

kayak „miskin‟ gitu kurang. Jadi masih

seperti itu. Kalau menulis, sudah bisa.

Cuma tulisannya gede-gede.”

Partisipan 1 juga mengetahui bagaimana cara bermain anak yang cenderung repetitive,

yaitu dengan menyusun mainannya. Sedangkan partisipan 2 mengetahui sejak kecil

anaknya sudah memiliki kebiasaan meremas sapu tangan atau lab, dan kebiasaan

tersebut masih sulit dihilangkan sampai saat ini. Partisipan merasa bahwa anaknya tidak

pernah mengeluh apabila partisipan lupa memberikan penghargaan kepadanya karena

berhasil melakukan sesuatu. Partisipan juga mengetahui bahwa diusia anak yang

menginjak remaja ini, anak belum memiliki ketertarikan dengan lawan jenis seperti

anak pada umumnya.

Kedua partisipan menunjukkan gambaran yang berbeda terhadap aspek

communication. Partisipan 1 merasa sangat kesulitan untuk berkomunikasi dengan anak

mengingat penguasaan bahasa anak yang masih terbatas. Oleh karena itu, partisipan 1

perlu tegas dan mengulang-ulang setiap perkataan yang ia ucapkan sehingga anak dapat

memahami dan terbiasa melakukan aktivitas tersebut. Lain halnya dengan partisipan 2

yang tidak mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan anak. Ia bahkan selalu

menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan anaknya selama jam istirahat

berlangsung. Selain itu, partisipan 2 juga melihat bahwa anak bisa memberikan respon

Page 25: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

19

yang tepat ketika ada orang yang hendak berkomunikasi dengannya. Anak juga bisa

bercerita kepada neneknya meskipun ada perkataan yang sering ia ucapkan secara

berulang. Bahkan ketika partisipan 2 menampar anaknya, partisipan bisa langsung

meminta maaf dan menasehatinya agar tidak mudah emosi karena dapat melukai

temannya atau justru ia yang juga akan terluka karena ditampar oleh ibunya.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Sebenarnya sudah mulai paham sih. Tapi

harus tegas. Kalau tidak boleh, ya harus

tegas…..Dulu dia mulai, geraknya

sembarangan. Sering kena adiknya. Saya

marahi. Nah dari situ, dia sudah mulai

mengerti kalau itu tidak boleh. Memang

keras nada saya dengan SNH.”

“‟Mas, yang ada olahraganya tennis,‟ gitu

kan. Ya udah itu yang ada, yang lain

dicari nggak ada. „Nanti kalau ada pasti

ada sendiri‟gitu kan. Kalau ibu-bapak

nggak bisa kasih pilihan yang lain.

Karena yang ada cuma itu. Ya paling

disela apalah. Bosen, misalnya dia mau

setel musik atau alternatif yang lain.”

Kedua partisipan juga menjalin kerja sama dengan guru di sekolah sehingga partisipan

dapat memperoleh bantuan dalam mengawasi anak, serta memperoleh informasi terkait

perkembangan anak di sekolah.

Metode penerapan limit setting yang dimiliki kedua partisipan tergolong

berbeda. Partisipan 1 berusaha menerapkan aturan secara berulang-ulang, tegas dan

konsisten kepada anak sehingga ia terbiasa melakukan hal-hal yang diajarkan oleh

partisipan, meskipun ada saat dimana anak berusaha memberikan respon negatif

terhadap perintah tersebut. Sebisa mungkin, partisipan 1 menghindari untuk memukul

anak ketika ia sulit didisiplinkan. Namun hal tersebut tidak dapat dihindari karena

partisipan 1 merasa ketika ia menerapkan aturan secara tegas dan diikuti dengan

perilaku nonverbal (seperti memukul), anak menjadi lebih memahami perkataan

partisipan. Berbeda dengan partisipan 2 yang hanya perlu mengucapkan aturan tersebut

satu kali dan anak sudah dapat melaksanakannya secara mandiri. Namun ketika anaknya

Page 26: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

20

menolak untuk tidur siang, partisipan 2 masih harus mengingatkannya hingga akhirnya

anak pun melaksanakan perintah tersebut. Partisipan 2 berusaha untuk tetap

mempertahankan rutinitas yang dilakukan anak agar ia dapat belajar mengenai

kedisiplinan.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Kalau dulu kan, sebelum umur 5 tahun

itu kalau dimarahin blas sama sekali tidak

mengerti. Kan makanya sejak apa, sejak

umur 4 tahun kurang itu mulai tak

kerasin…..Tapi memang menghindari

memukul, hanya nada keras. Kalau saya

begitu.”

“Paling ini kalau tidur siang. Agak

“nanti…, nanti…” Tapi akhirnya juga

tidur, meskipun tidurnya biasanya

setengah dua tapi molor. Tapi dia tidur.

Walaupun jamnya melenceng….. Paling

rutinitas itu kita kondisikan seperti itu biar

anaknya belajar disiplin. Yang simple lah.

Aku melatih dia itu aja.”

Partisipan 1 sering kali memaksa anak untuk melakukan perintahnya karena hal tersebut

ia lakukan demi perkembangan anak. Sedangkan partisipan 2 menjadi lebih longgar

dalam menerapkan peraturan karena sikap anak yang cenderung pasif. Partisipan juga

berpesan kepada anak agar tidak takut membalas perilaku teman yang keterlakuan

padanya meskipun anak berani menolak untuk melakukan hal tersbut.

Autonomy yang besar ditunjukkan oleh kedua partisipan untuk mendorong

anak mereka melakukan sesuatu. Partisipan 1 memberikan anak reward berupa

makanan yang ia sukai ketika ia mau melakukan aktivitas sehari-harinya, meskipun

pada akhirnya makanan tersebut membuat anak ketergantungan dan emosinya semakin

meledak-ledak. Sedangkan partisipan 2 memberikan pujian kepada anaknya ketika ia

mampu melakukan aktivitas sederhana secara mandiri, meskipun pujian tersebut tidak

diberikan secara konsisten.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Biasanya kadang anu, kalau dulu bikin

PR, besok beli jajan. Begitu biasanya.

“Suka misalnya, dia mengerjakan sesuatu

yang ringan, sikat gigi dia sudah bisa gitu

Page 27: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

21

Kadang mau. “Dek SNH beli jajan,” dia

mulai mau. Kadang “SNH makan es

krim,” gitu lalu dia mau….. Setelah itu dia

gampang marah-marah itu.”

kan, paling pujian. Kadang aku sendiri

kurang sabar, jadi suka lupa. Itu kan

sebenarnya itu ya, karena hal-hal yang

kecil, sering dipuji kan dia jadi semangat

gitu ya. Cuma ya itu, aku sendiri yang

kurang apa ya, apresiatif gitu ya.”

Partisipan 1 berusaha untuk memperlakukan anak seperti anak seusianya yang lain. Hal

ini yang membuat partisipan 1 tidak merasa khawatir apabila anak terluka ketika jauh

dari pengawasannya. Selain itu, partisipan 1 selalu membiarkan anak menenangkan

dirinya sendiri ketika ia merasa takut dan gelisah ketika mendengar suara yang keras,

serta ketika anak marah karena perintah yang diberikan oleh partisipan. Sedangkan

partisipan 2 dan suaminya berusaha untuk tidak memaksakan kehendak mereka pada

anak agar ia dapat bersekolah di sekolah umum. Partisipan 2 dan suami juga yang perlu

mengingatkan anak bungsunya agar tidak mengganggu kakaknya mengingat

ketidakmampuan anak dalam mengungkapkan perasaannya, serta pengambilan

keputusan orang tua dalam pendidikan seksual yang akan diterima anak. Meskipun

demikian, partisipan 2 berusaha memberikan pilihan alternatif kepada anak, terutama

ketika anak tidak memperoleh apa yang diinginkannya. Partisipan 2 juga mengaku

belum bisa meninggalkan anak sendirian bersama dengan orang lain karena khawatir

apabila anaknya tantrum dan sulit diatasi.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Biasanya nunggu sampai dia, sampai

suaranya hilang sendiri….Kalau masih

ada suaranya, ya teriak-teriak. Sambil

bingung. Nanti kalau suaranya sudah

berhenti, dia diam. Kalau ada lagi, ya

sudah. Sampai saya suruh membiarkannya

saja, supaya dia menenangkan diri sendiri.

Lha bagaimana karena dipegang saja

juga tidak bisa. Diberi tahu tidak apa-apa,

atau gini-gini, dia juga tidak mengerti.

Jadi biarkan dia menenangkan diri

“Aku kan baru setahun ya di sini, jadi aku

belum bisa melepas GAP. Misalnya aku

pergi sama suami, terus aku titipin gitu,

aku belum bisa. Masih, kalau pergi ya

udah bareng gitu, semua diajak. Belum

bisa mengatasi kalau tantrum kan. Jadi,

ya udah dari pada ngerepotin istilahnya,

aku bawa semua.”

Page 28: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

22

sendiri, ya begitukan.”

Walaupun begitu, kedua partisipan memiliki harapan yang besar akan masa depan

anaknya. Partisipan 1 berharap bahwa pada akhirnya nanti anak bisa sembuh, dapat

bersekolah seperti anak seusianya yang lain, dapat membaca dan menulis, serta bisa

mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Begitu pula halnya dengan partisipan 2

yang berharap agar kemampuan motorik anaknya bisa menjadi lebih baik, anak bisa

membaca dan menulis, bahkan bisa membuka lapangan kerja sendiri bersama dengan

adiknya.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Harapannya itu tadi, pengen bisa apa

namanya, bisa sekolah seperti anak

normal.Tapi misalnya kalau dia ternyata

akademiknya tidak bagus, bisa mandiri

saja tidak masalah.Tidak bergantung pada

orang lain.”

“Satu sisi, motoriknya harus bagus ya

istilahnya. Yang penting terutamanya

baca-tulisnya aja. Aku sih nggak muluk-

muluk. Baca, nulis gitu ya…..Ya

keterampilan khusus gitu ya misalnya.

Kita punya angan-angan suatu saat dia

bisa punya bisnis sendiri sama adiknya.”

Kedua partisipan memiliki gambaran role orientation yang sama dalam

pengasuhan anak. Partisipan 1 merasa wajar apabila suaminya sulit untuk menerima

kondisi anak, mengingat perannya sebagai kepala rumah tangga yang harus mencari

nafkah sehingga jarang terlibat dalam pengasuhan. Partisipan 1 berusaha memenuhi

keinginan suaminya agar anak bisa patuh kepada orang tua, melalui perintah-perintah

yang selalu ia ajarkan. Selain itu, partisipan 1 juga ingin agar anak dapat menjadikan

figur ayah sebagai contoh yang baik baginya. Demikian halnya dengan partisipan 2

yang melihat suaminya sebagai sosok yang sangat perhatian dan selalu bersedia

membantu, serta mau memahami kondisi anak. Partisipan 2 merasa bahwa suaminya

selalu berusaha mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik kepada anak (seperti

Page 29: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

23

beribadah). Hal ini pula yang membuat anak menjadi jauh lebih patuh terhadap perintah

ayahnya dibanding perintah partisipan.

Partisipan 1 Partisipan 2

“Ayahnya itu maunya, anak tidak boleh

semaunya sendiri. Soalnya, walaupun

jarang ketemu, anak laki-laki pasti

melihat figur ayahnya, seperti itu. Supaya

lebih banyak mendengar ayahnya. Marah-

marah kan bisa dicontoh.”

“Dia cukup perhatianlah. Mau melakukan

hal-hal kecil menurutku. Itu yang bisa

membantu. Cukup membantulah mbak.

Allhamdullilah”.

Partisipan 2 melihat bahwa peran ayah sangat penting bagi anaknya yang mulai

menginjak usia remaja, terutama dalam hal pendidikan seksual.

PEMBAHASAN

Ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis mengalami beberapa hambatan

dalam menjalin relasi dengan anak. Hambatan tersebut muncul akibat ketidakmampuan

anak untuk terlibat dalam interaksi sosial dan mengembangkan keterampilan

berkomunikasi. Ibu sering kali merasa kebingungan akibat ketidakmampuan anak untuk

mengungkapkan perasaan dan pemikirannya sehingga ketika ibu tidak bisa memenuhi

keinginan anaknya, anak mengekspresikan emosinya tersebut dengan cara tantrum.

Selain itu, anak juga menunjukkan respon negatif terhadap peraturan yang diterapkan

oleh ibu, meskipun ada hukuman yang tegas ketika anak tidak mau melaksanakannya.

Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi tersebut memicu tingginya tingkat

stres orang tua, terutama ibu anak usia prasekolah dan yang lebih tua (Davis & Carter,

2008).

Parental support merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh kedua partisipan

dalam membesarkan anak autis. Dukungan yang diberikan oleh pasangan dan anggota

keluarga serta teman dekat (Milyawati & Hastuti, 2009) membuat partisipan merasa

sangat bersyukur. Partisipan merasa bahwa ia tidak hanya menerima dukungan

Page 30: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

24

emosional, melainkan juga kesediaan keluarga dalam membantu merawat dan

mengasuh anaknya. Ini menunjukkan bahwa penerimaan dari keluarga terhadap kondisi

anak yang mengalami gangguan autis dapat membantu ibu memperbaiki persepsi

terhadap dirinya sendiri dan terhadap anaknya, serta menumbuhkan penerimaan

terhadap perbedaan yang mereka miliki (Solomon & Chung, 2012). Ketika partisipan

memperoleh parental support, terutama dari pasangan, ibu menjadi lebih produktif

dalam memberikan pendidikan dan layanan kesehatan bagi anaknya. Hal ini

menunjukkan bahwa besarnya dukungan yang diterima oleh ibu dapat mempengaruhi

tingkat stres ibu anak autis (Altiere & von Kluge, 2009). Partisipan 1 juga memperoleh

banyak dukungan emosional melalui cerita dari orang tua lain yang juga memiliki anak

berkebutuhan khusus sedangkan partisipan 2 merasa tidak sendirian ketika melihat

bahwa ada banyak anak yang mengalami kekhususan. Hal ini menunjukkan bahwa

dukungan emosional, informasi maupun materi, yang diberikan oleh orang lain dapat

membantu meningkatkan kemampuan diri ibu untuk bertahan dari pengaruh-pengaruh

yang merugikan (Malecky & Demoray, 2003 dalam Hidayati, 2013).

Ketika pertama kali mengetahui bahwa anaknya didiagnosa mengalami

gangguan autis, kedua partisipan cenderung menyalahkan dirinya sendiri, merasa

terpukul, tidak percaya, menolak dan menyangkal kondisi anaknya tersebut. Respon

tersebut merupakan reaksi yang wajar mengingat bahwa tidak ada ibu yang

menginginkan anaknya mengalami gangguan perkembangan (Aziz & Fatma, 2013).

Namun seiring berjalannya waktu, partisipan berusaha untuk menerima kondisi tersebut

dan berusaha memberikan pendidikan serta terapi yang sesuai demi perkembangan

anaknya. Hal ini dikarenakan satisfaction with parenting yang ditunjukkan ibu terhadap

kondisi anak sangat mempengaruhi perkembangan anak autis (Rachmayanti &

Page 31: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

25

Zulkaida, 2007). Persepsi negatif dalam hubungan ibu dan anak dapat mempengaruhi

tingginya tingkat masalah perilaku-emosional anak (van Steijn, Oerlemans, van Aken,

dkk, 2013). Nurmala (2013) mengatakan bahwa keadaan di mana orang tua menyadari

dan menerima kondisi anaknya merupakan awal dari munculnya makna hidup.

Kesadaran bahwa anak sangat membutuhkan partisipan, membuat mereka mulai

mencari berbagai informasi mengenai latihan-latihan guna meningkatkan

ketidakmampuan yang dimiliki oleh anak.

Profesi kedua partisipan sebagai ibu rumah tangga, di mana pengasuhan anak

dilakukan sendiri tanpa bantuan baby sitter, tentunya membuat partisipan memiliki

banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak. Kedua partisipan berusaha untuk

melakukan aktivitas bersama dengan anak, seperti jalan-jalan bersama atau pergi

berbelanja ke pasar atau supermarket. Selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh

Strid, Heimann, dan Thus (2013) bahwa involvement orang tua dan anak memberikan

dampak yang lebih positif pada anak autis ketika mereka berinteraksi dengan orang

dewasa. Kedua partisipan juga mengetahui bagaimana perkembangan yang dialami oleh

anak terkait dengan gangguan yang mereka alami. Hal ini menunjukkan ketika orang

tua memiliki keterlibatan yang besar dengan anak, mereka dapat lebih memahami

keadaan anak serta mengetahui kebutuhan anak (Mufadhilah, 2014). Meskipun

demikian, usaha-usaha yang dilakukan oleh ibu belum menunjukkan perubahan yang

signifikan karena keterbatasan informasi dan pengetahuan yang ibu miliki mengenai

gangguan autis.

Hambatan terbesar yang dihadapi ibu dalam mengasuh anak autis adalah ketika

ibu dituntut untuk berkomunikasi dengan anak yang memang memiliki keterbatasan

dalam penguasaan bahasa dan cenderung suka mengulang perkataan yang

Page 32: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

26

diucapkannya. Ketidakmampuan anak untuk menggunakan informasi yang mereka

terima dari orang tua dan mengolahnya (Hillman & Snyder, 2007) membuat ibu

kesulitan untuk memahami apa yang diinginkan anak sehingga mengakibatkan anak

marah dan tantrum (Noor, Indriati & Elita, 2014). Hal ini dialami oleh partisipan 1

ketika harus memberikan peraturan kepada anak secara berulang-ulang akibat

keterbatasan penguasaan bahasa yang dimiliki anak sedangkan kesulitan dihadapi oleh

partisipan 2 harus menenangkan anak yang tantrum karena keinginannya tidak

dipenuhi. Ketika hal tersebut terjadi, partisipan menjadi lebih emosional hingga

akhirnya memukul anak. Meskipun demikian, ada saat di mana partisipan tetap dapat

menyampaikan maksud dan keinginannya kepada anak walaupun respon yang diberikan

anak sangat minim.

Dalam melaksanakan limit setting, partisipan 1 perlu mengucapkan aturan

secara berulang-ulang bahkan sering kali disertai dengan perilaku memukul sedangkan

pada pada partisipan 2, aturan hanya diucapkan sekali dan anak sudah dapat mengingat

serta dapat melaksanakannya secara mandiri. Kedua partisipan berusaha melakukan

aturan tersebut secara konsisten sehingga hal tersebut dapat menjadi rutinitas bagi

mereka sesuai dengan penelitian Noor, Indriati dan Elita (2014) bahwa konsistensi

dalam menjalankan rutinitas sangat perlu dilakukan oleh ibu sehingga anak dapat

terbiasa. Kondisi lingkungan yang konsisten ini pula yang pada akhirnya dapat

membantu anak autis untuk belajar mengenai komunikasi dan kedisiplinan.

Partisipan 1 berusaha memberikan reward untuk mendorong anak dalam

melakukan rutinitasnya sedangkan partisipan 2 memberikan pujian untuk menghargai

usaha yang dilakukan anak meskipun pujian tidak diberikan secara konsisten.

Penelitian menunjukkan bahwa reward dan pujian yang diberikan dapat membuat anak

Page 33: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

27

autis menjadi lebih termotivasi untuk terus belajar dan mematuhi perintah yang

diberikan oleh ibu (Sitompul, 2013). Meskipun demikian, partisipan 1 berusaha

memperlakukan anaknya seperti anak seusianya yang lain dan tidak merasa khawatir

ketika anak terluka sedangkan partisipan 2 selalu berusaha memberikan kesempatan

kepada anak untuk dapat mengambil keputusan ketika ia tidak memperoleh apa yang

diinginkannya.

Role orientation ayah sangat dibutuhkan dalam pengasuhan anak. Hal ini

dikarenakan ayah merupakan tokoh otoriter yang ditakuti dan dibutuhkan oleh anak

(Mufadhilah, 2014). Partisipan 2 merasa bahwa anak jauh lebih tunduk dan taat pada

ayah dibanding dirinya. Namun ada saat dimana suami partisipan 1 belum dapat

menerima kondisi anak dan menjadi cepat marah ketika anak melakukan kesalahan.

Ketidakmampuan anak untuk mengantri dan mentaati aturan, menjadi penyebab

kemarahan ayah karena sebagai kepala keluarga, ayah menghendaki agar anaknya

tumbuh menjadi anak yang taat dan patuh pada orang tua, bukan semaunya sendiri.

Penelitian menunjukkan bahwa ayah anak autis memiliki sikap acuh yang besar

terhadap reaksi sosial, serta adanya kesulitan dalam memberikan respon dan

keterampilan sosial (Seidman, Yirmiya, Milshtein, dkk, 2012). Meskipun demikian,

kedua partisipan merasa sangat senang ketika ayah bersedia terlibat dalam pengasuhan

anak autis bersama dengan ibu dan meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas

bersama sehingga anak menjadi lebih diperhatikan dan dimengerti oleh orang tuanya.

Selain itu bagi partisipan 2, ayah memiliki peranan dalam membantu anak ketika mandi

dan memberikan pendidikan sekual ketika anak beranjak dewasa.

Page 34: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

28

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa kedua partisipan

mendapatkan dukungan dari pasangan dan anggota keluarga yang lain. Meskipun

demikian, partisipan 2 belum memiliki teman untuk mencurahkan isi hatinya. Berbeda

dengan partisipan 1 yang sering bertukar pengalaman bersama ibu-ibu murid

berkebutuhan khusus lainnya.

Kedua partisipan merasa sedih, menyalahkan dirinya sendiri, menolak dan

menyangkal kondisi anaknya yang didiagnosa mengalami gangguan autis. Namun

seiring berjalannya waktu, kedua partisipan merasa dibutuhkan oleh anaknya sehingga

mereka berusaha untuk menerima kondisi tersebut dan berusaha memberikan

pendidikan dan penanganan yang tepat.

Kedua partisipan juga berusaha terlibat dalam pengasuhan anak dan selalu

meluangkan waktu untuk bisa melakukan aktivitas bersama dengan anak. Akan tetapi

pengetahuan partisipan 1 dan partisipan 2 terhadap anak mereka berbeda, terkait dengan

perkembangan yang dialami oleh anak masing-masing.

Dalam menjalin komunikasi dengan anak, partisipan 1 banyak mengalami

kesulitan karena anaknya memiliki ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa.

Sedangkan partisipan 2 tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan anak

karena anaknya sudah dapat berkomunikasi dan sudah memahami setiap perkataan yang

diucapkan orang lain.

Kedua partisipan juga menunjukkan cara yang berbeda dalam memberikan

aturan. Partisipan 1 memberikan aturan secara terus-menerus sampai ia merasa bahwa

anaknya sudah memahami peraturan tersebut dan bisa melakukannya secara mandiri.

Sedangkan partisipan 2 hanya memberikan aturan 1 kali dan anaknya sudah bisa

Page 35: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

29

melakukan peraturan tersebut secara mandiri pada kesempatan yang lain. Meskipun

demikian, kedua partisipan kurang memberikan dorongan kepada anak untuk mandiri

dan dapat mengambil keputusan sendiri. Sehingga ibu cenderung mendominasi setiap

aktivitas yang lakukan oleh anak. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa kedua

partisipan memainkan peranannya sebagai seorang ibu dengan baik, yang terlibat secara

aktif dalam pengasuhan dan perawatan anak autis maupun anggota keluarga yang lain.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran bagi pihak terkait

antara lain:

1. Bagi orang tua

a. Pasangan dan anggota keluarga yang lain hendaknya memberikan dukungan

kepada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis sehingga ibu dapat

mengatasi stres dan menjadi lebih produktif.

b. Penerimaan ibu terhadap kondisi anak sangat diperlukan agar anak tidak

merasa diabaikan oleh orang tuanya.

c. Ibu/orang tua anak autis hendaknya mencari inforrmasi terkini mengenai

gangguan autis sehingga dapat memberikan penangan yang sesuai dengan

kebutuhan anak.

d. Orang tua perlu mengajar dan melaksanakan aturan secara konsisten

sehingga anak dengan gangguan autis menjadi lebih terarah.

e. Orang tua hendaknya berusaha mendorong anak untuk menjadi lebih mandiri

dengan memberikan alterrnatif pilihan kepada anak mengenai apa yang ingin

mereka lakukan.

Page 36: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

30

2. Bagi penelitian selanjutnya

a. Peneliti menyarankan peneliti selanjutnya untuk lebih memperdalam metode

penelitian melalui observasi, baik observasi di rumah maupun di sekolah

sehingga dapat mengetahui gambaran spesifik relasi ibu dengan anak autis.

b. Peneliti menyarankan penelitian selanjutnya untuk mempersempit batasan

usia anak autis, misalnya anak usia 6-8 tahun.

c. Pada penelitian selanjutnya, peneliti menganjurkan untuk meneliti gambaran

relasi ayah dengan anak yang mengalami gangguan autis.

Page 37: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

31

DAFTAR PUSTAKA

Altiere, M. J., & von Kluge, S. (2009). Family functioning and coping behaviors in

parents of children with autism. Journal of Child and Family Studies, 18, 83-92.

American Psychiatric Association (APA). (2000). Diagnostic and statistical manual of

mental disorders (4th

ed., Text rev.). Washington, DC: Author.

Asmika, Andarini, S., & Rahayu, R. P. (2006). Hubungan motivasi orang tua untuk

mencapai kesembuhan anak dengan tingkat pengetahuan tentang penanganan anak

penyandang atisme dan spektrumnya. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 22(2), 90-94.

Aziz, A., & Fatma, A. (2013). Hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian

diri ornag tua yang memiliki anak autis. Talenta Psikologi, 2(2), 141-159.

Azizah. (2015). Children disruptive behavior well-being: pentingnya hubungan anak

dan orang tua. Seminar Psikologi & Kemanusiaan, 46-54.

Chlebowski, C., Green, J. A., Barton, M. L., & Fein, D. (2010). Using the childhood

autism rating scale to diagnose autism spectrum disorders. Journal of Autism and

Developmental Disorder, 40, 787-799.

Cumine, V., Leach, J., & Stevenson, G. (2000). Autism in the early years: a practical

guide. London: David Fulton Publishers.

Davis, N. O. & Carter, A. S. (2008). Parenting stress ini mothers and fathers of toodlers

with autism spectrum disorders: assocaiations with child characteristics. Journal

of Autism and Developmental Disorder, 38, 1278-1291.

Dempsey, I., & Foreman, P. (2001). A review of educational approaches for individuals

with autism. International Journal of Disability, Development and Education,

48(1), 103-115.

Durrant, J. (2012). A guide to building healthy parent-child relationships: a positive,

right-based approach. Save the Children.

Ekawati, Y., & Wandasari, Y. Y. (2012). Perkembangan interaksi sosial anak autis di

sekolah inklusi: ditinjau dari perspektif ibu. Experientia: Jurnal Psikologi

Indonesia, 1(1), 1-15.

Gerard, A. B. (1994). Parent-child relationships inventory (PCRI) manual. Los Angeles:

Western Psychological Services.

Page 38: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

32

Hidayati, F. (2013). Pengaruh pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap stress

pengasuhan pada ibu dari anak autis. Jurnal Psikoislamika, 10(1).

Hendriani, W., Handariyati, R., & Sakti, T. M. (2006). Penerimaan keluarga terhadap

individu yang mengalmai keterbelakangan mental. Insan, 8(2), 100-111.

Indahwati, D. (2014). Kompetensi sosial anak autis ditinjau dari hubungan antara

dukungan sosial keluarga dengan sikap ibu. Jurnal Sains & Praktisi Psikologi,

2(2), 161-172.

Lestari, S., Faturochman, Kim, U. (2010). Trust in parent-child relationship among

undergraduate students: indigenous psychological analysis. Jurnal Psikologi,

37(2). 140-152.

Milyawati, L. & Hastuti, D. (2009). Dukungan keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu

serta hubungannya dengan strategi koping ibu pada anak dengan gangguan autism

spectrum disorder (ASD). Jur. Ilm. Kel. dan Kons., 2(2), 137-142.

Mufadhilah. (2014). Studi pengasuhan orang tua pada anak autis. Jurnal Online

Psikologi, 2(2), 256-269.

Nixon & Mariyanti, S. (2012). Gambaran kemandirian anak penyandang autisme yang

mengikuti program aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Jurnal Psikologi,

10(2), 91-107.

Noor, M., Indriati, G., & Elita, V. (2014). Pengalaman ibu dalam merawat anak autis

usia sekolah. Jom. Psik., 1(2), 1-12.

Nurmala, A. P. (2013). Tingkat kebermaknaan hidup dan optimism pada ibu yang

mempunyai anak berkebutuhan khusus. Developmental and Clinical Psychology,

2(2), 6-12.

Phetrasuwan, S., & Miles, M. S. (2009). Parenting stress in mothers of children with

autism spectrum disorders. Journal Compilation, 14(3), 157-164.

Prishelly, A. (2014). Instructional communication teacher of children foundation in

autistic children independent Pekanbaru. Jom Fisip, 2(1), 1-14.

Rachmayanti, S. & Zulkaida, A. (2007). Penerimaan diri orang tua terhadap anak

autisme dan perannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi, 1(1).

Rodger, S., Keen, D., Braithwaite, M., & Cook, S. (2008). Mother’s satisfaction with a

home based early intervention programme for children with ASD. Journal of

Applied Research in Intellectual Disabilities, 21, 174-182.

Page 39: Gambaran Relasi Ibu dengan Anak Yang Mengalami …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8977/2/T1_802009116_Full... · autisme bukanlah sebuah kondisi tunggal ... masa kanak-kanak

33

Salman. (2014). Pola komunikasi orang tua dalam mengatasi kesulitan berkomunikasi

anak autis. Jom FISIP, 1(2), 1-13.

Seidman, I., Yirmiya, N., Milshtein, S., Ebstein, R. P., & Levi, S. (2012). The broad

autism phenotype questionnaire: mothers versus fathers of children with an autism

spectrum disorder. Journal of Autism and Developmental Disorder, 42, 837-846.

Sitompul, H. U. M. (2013). Proses komunikasi interpersonal antara terapis dengan anak

autis di Esya Terapi Center Sidoarjo dalam proses terapi wicara. Jurnal E-

Komunikasi, 1(3), 1-10.

Solomon, A. H., & Chung, B. (2012). Understanding autism: how family therapists can

support parents of children with autism spectrum disorder. Family Process, 51(2),

250-264.

Strid, K., Heimann, M., & Tjus, T. (2013). Pretend play, deferred imitation and parent-

child interaction in speaking and non-speaking children with auism. Scandinavian

Journal of Psychology, 54, 26-32.

The National Center on Parent, Family, and Community Engagement (NCPFCE).

(2013). Positive parent-child relationships. Boston Children’s Hospital. Retrieved

from http://eclkc.ohs.acf.hhs.gov/hslc/tta-system/family

Trommsdorff, G. (2006). Parent-child relations over the lifespan: a cross-cultural

perspective. Parenting Beliefs, Behaviors, and Parent-Child Relations. New

York: Psychology Press. 143-183.

Utami, T. & Naviati, E. (2012). Pengalaman ibu mengasuh anak dengan resiko GPPH.

Jurnal Nursing Studies, 1(1), 237-243.

Van Steijn, D. J., Oerlemans, A. M., can Aken, M. A. G., Buitelaar, J. K., & Rommelse,

N. N. J. (2013). Match or mismatch? Influence of parental and offspring ASD and

ADHD symptoms on the parent-child relationship. Journal of Autism and

Developmental Disorder, 43, 1935-1945.

Webster-Stratton, C. H., Reid, M. J., & Beauchaine, T. (2011). Combining parent and

child training for young children with ADHD. Journal of Clinical Child &

Adolescent Psychology, 40(2), 191-203.