Upload
truongthuan
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GAMBARAN SIKAP ORANG TUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTISME
Oleh:
NENENG HASANAH
NIM : 103070029008
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh
gelar Sarjana Psikologi
FAKUL T AS PSIKOLOGI UNIVERSITAS !SLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H/2007 M
GAMBARAN SIKAP ORANG TUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTISIVIE
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
NENENG HASANAH '
NIM: 10307002900afffWs,·,;,.,.
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I,
Dra. Agustvawati, M. Phil, sne
NIP. 132121898
Pembimbing II
Yufi Adriani, M.Si, Psi.
NIP.
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H/2007 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul GAMBAR/\N SIKAP ORANG TUA YANG
MEMPUNYAI ANAK AUTISME telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta
rada tanggal 12 November 2007. Skripsi ini telah cli terima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 12 November 2007
Sidang Munaqasyah
Penguji I,
Dra. N_E2tt Hmtati._M.Si NIP. 150 5 938
Pembimbing I,
Dra. Agustyawati, M.Phil;Sne NIP. 132 121 898
Anggota:
Penguji II
Dra. Aaustyawati. M.Phil,Sne f\llP. 1:l2 121 898
Pembimbing II
~~~· . ~lriani, M.Si, Psi.
MOTTO:
<Bifa saya 6eifiRjr ak,an gaga( Saya pasti gagal
<Bifa saya 6eifiRjr align menang Saya pasti menang
'l(flrya sederfiana ini d'ipersem6afi~n ternntuf(,: <Bapaf(,tfan mama serta ~~!(, aan ad'if(, terdnta.
ABSTRAK
(C) NENENG HASANAH
(A) Fakultas Psikologi (B) September 2007
(D) GAMBARAN SIKAP ORANG TUA YANG MEMPUNYA1 ANAK AUTISME
(D) 95 Hal + 7 Lampiran (F) Sikap didefinisikan kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara
tertentu terhadap hal-hal tertentu yang.sikap ini dapat bersifat negatif mau pun positif. Sikap terbentuk melalui proses pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan pengaruh faktor emosi.
Dengan memiliki anak autisme yang mengalarni gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, kognitif, bahasa, perilaku,dan interaksi sosial membuat orang tua mendapat ejekan dari orang lain, sehingga mengakibatkan orang tua bersikap negatif terhadap apa yang dialaminya. Fenomena yang terjadi membuat penulis tertarik untuk mengambil penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap orang tua terhadap anak autisme. Sikap yang direalisasisikan adalah kognisi, afeksi dan konatif. Siki:ip yang dilihat dari bagaimana subjek dengan lingkungan, kE~luarga dan kerabat.
Dalam penelitian ini, penulis mengunakan pendekatan kualitatif ugar mendapatkan hasil penelitian yang mendalam, dengan mengunakan teknik wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode penunjang. Sampel yang digunakan sebanyak tiga orang, yaitu orang tua yang mempunyai anak autisme. Orang tua pada penelitian ini penulis memilih lbu sebagai responden dengan alasan untuk mendapatkan data yang lebih terpercaya mengenai kondisi anak. Penelitian dilakukan ditempat yang berbeda, anak autisme yang tidak bersekolah, di sekolah luar biasa dan bersekolah regular.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa sikap yang terjadi pada orang tua yang tidak bersekolah dan sekolah luar biasa adalah awalnya orang tua bersikap negatif terhadap kondisi anak namun seiring berjalannya waktu orang tua dapat bersikap positif terhadap kondisi anak. Sedangkan yang bersekolah regular bersikap positif saat mendengar hasil diagnosa dokter dan subjek mampu memberikan
p@ng@rti~m 1u:ip;;id:;i ornng l:Jin y:;ing mi;imgnagng ~mrn m~ml'.1'1lr~~tikM1 penderita dengan tidak wajar, walaupun terkadang orang mengejeknya. Dari hasil penelitian yang diperoleh, mencakup persepsi subjek terhadap autisme dan sikap yang ditimbulkan, penulis menyarankan agar para orang tua jangan bersikap negatif jika mendengar hasil diagnosa dokter, bersikaplah positif demi kemajuan anak kelak dan buang jauh-jauh rasa malu yang dihadapi, yakinkan diri bahwa dengan memberikan pengertian kepada orang lain, minimal orang lain tahu akan kondisi anak. Dengan hasil ini dapat dijadikan referensi di dalam kehidupan orang tua yang mempunyai anak autisme.
(G) Daftar Bacaan : 23 Buku, 4 Website
7. SR, RH dan EK yang bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi
responden, serta Kepala Sekolah SLB Budi Daya Cijantung dan
SON Gedong 03 Pagi Condet yang mengizinkan penulis untuk
melakukan penelitian.
8. Bapak (Yamin) dan mama (Minah) yang telah memberikan motivasi
dan doa untuk keberhasilan penulis, kakakku (Kak Titi) dan adikku
(lndah, dayink) terima kasih atas dorongan kalian, serta AA dan
Nana yang membantu penulis dalam mencari responden.
9. Untuk teman-teman Psikologi angkatan 2003 terutama kelas A,
Memey, lta, Y2n, Leni, lcha, Thea-Cha, Dani, lyoez, Ramdan, dan
teman-teman yang tidak bisa disebut satu persatu. Teman KKL,
Lucky, lkah, lntan C, lryn serta anak-anak panti. Sohibku, Q -cool,
Vtha-Chu, lntan, Ai, Bowo, Kamal, Adit dan Ira sweety yang selalu
mendorong, membantu dan mendengarkan keluh kesah penulis,
terutama Dian lmut yang telah memberikan judul. Sahabatku
Risma, Q'ray, O'O, Ida, lbah, Abe, lndie, Mantok, B'Sur, lsmet,
Breonk, anak-anak Cafe dan Qatar? makasih ya atas doanya.
10. Spesial thank you to 1-Poel yang selalu memba.ntu penulis dalam
meluangkan waktunya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan dan masih jauh
dari kesempurnaan untuk karena itu kritikan dan saran dari pembaca
sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini, dan hanya kepada
Allahlah akhirnya penulis berserah diri.
Jakarta, September 2007
Penulis
Halaman Judul
Halaman Persetujuan
Halaman Pengesahan
DAFTAR ISi
ii
iii
Motto ........................................................................................... 1v
Abstrak
Kata Pengantar
v
vii
ix Daftar lsi
Daftar Ta be I . . . . . . . . . . . . . . . .. . . .. . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .. . .. . . . . . . . . .. . . .. . . xii
Daftar Gambar xiii
BABI
BAB II
PENDAHULUAN
I. I. Latar belakang masalah
1.2. ldentifikasi masalah
l.3. Pembatasan dan perumusan masalah
1-11
1
8
Ll.1. Pembatasan masalah . . . . . . . . . . . . . 8
1.3.2. Perumusan masalah
1.4. Tujuan dan manfaat penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
1.4.2. Manfaat penelitian
1.5. Sistematika penulisan .............................. .
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Autisme
2.1.1. Definisi Autisme
9
9
9
10
12-39
12
2.1.2. Manifestasi Klinis Autisme ... . . . . . . .. . . 14
2.1.3. Penyebab Autisme . . . . . . .. . . . . . .. . . . . . . . 20
BAB Ill
2.1.4. Pengelompokkan Autisme ............. 23
2.2. Sikap
2.2.1. Definisi Sil<ap
2.2.2. Ciri-ciri Sil<ap
2.2.3. Struktur Sikap
2.2.4. Proses pembentukan dan perubahan
24
25
27
S~p ................................................ ~
2.2.5. Faktor-fai<tor yang mempengaruhi
Sil<ap .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . . 29
2.2.6. Fungsi Sil<ap ................................ 32
2.3. Sikap orang tua terhadap l<ondisi anal<
Autisme .. .. .. .. . .. .. .. .. .. . .... .. .. .. ..... .... .. .. . 33
2.4. Kerangl<a berfikir .. .. . .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. . .. ... 38
METODELOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan penelitian
3.1.2. Metode penelitian
3.2. Pengambilan sampel
3.2.1. Populasi dan sampel
3.2.2. Teknik pengambilan sampel
3.3. Pengumpulan data
3.3.1. Metode dan Instrument
40-51
40
41
42
43
43
3.3.2. lnstrumen penelitian .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . . 47
3.4. Prosedur penelitian
3.4.1. Tahap persiapan penelitian 47
3.4.2. Tahap pelaksanaan penelitian ......... 48
3.4.3. Tahap pengolahan data .. . .. . .. .. .. . .. .. 49
BABIV
BABV
3.5. Teknik analisa data ... ... .. . ... ... ... ... ... ...... .... 49
3.6. Etika penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 50
PRESENTASI DAN ANALISA DATA
4.1. Gambaran umum subjek penelitian
52-86
52
4.2. Gamba ran dan Analisis kasus . . . . . . . . . .. . . 53
4.2.1. Kasus I . . . . . . .. . . . . . . . . . . .. . . . . . .. .. . . 53
4.2.2. Kasus II . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . 62
4.2.3. Kasus Ill
4.3. Analisis antar kasus
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Diskusi
5.3. Saran
71
83
8-93
87
89
91
DAFTAR PUSTAKA
LAMPI RAN
DAFTAR TABEL
1. Tabel 4.1. Gambaran umum subjek
Tabel 4.1.1. Data Orang Tua (lbu) .. .... .... .... .... .. .. .... .. .... 52
Tabel 4.1.2. Data Anak .... .. ...... .... .. .... ...... ...... 53
2. Tabel 4.3. Perbandingan lintas kasus .. .. .. .... .. .... .. .. .... ...... .. .. 85
DAFTAR GAMBAR
1. Skema 2.4. Kerangka Berfikir . .. .. .. .. .. .. . . .. . .. .. .. .. .. . . .. . .. .. .. . .. . .. .. 38
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latarbelakang masalah
Anak adafah karunia, kehadirannya disambut dengan suka cita dan penuh
harapan. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang
sempurna, tetapi sefalu saja ada keadaan di mana anak memperlihatkan
gejala masalah perkembangan sejak usia dini. Salah satu contohnya
adalah ketika Tuhan menitipkan karunia-Nya yang tidak sempurna yaitu
individu autisme kepada beberapa hamba-Nya.
Sejak beberapa tahun terakhir ini masalah autisme memang mulai
merebak di Indonesia, ini terlihat dengan mulai beredarnya informasi
mengenai autisme, dibukanya pusat-pusat terapi, terbentuknya yayasan
yayasan yang bergerak di bidang autisme sampai seminar-seminar
nasional yang membicarakan masalah ini dengan pakar-pakar darl dalam
maupun luar negeri.
lstifah autisme sudah cukup popular di kalangan masyarakat, karena
banyaknya media massa dan efektronik yang mencoba untuk
mengupasnya secara mendalam. Muncul juga banyak keprihatinan atas
2
persentasinya di Indonesia namun tetap sukar untuk menentukan angka
yang pasti. Dari kepustakaan sebelum tahun 1990-an disebutkan ada
sekitar dua sampai lima kasus per sepuluh ribu kelahiran. Kemudian
tahun 1990-an meningkat menjadi lima belas sampai dua puluh kasus per
sepuluh ribu kelahiran. Data terakhir tahun 2001 dari CDC (Centers for
Disease Control and Prevention) menunjukkan peningkatan yang _:auh
lebih banyak lagi, yaitu sekitar enam puluh kasus per sepuluh ribu
kelahiran atau satu di antara dua ratus lima puluh penduduk.
(www.suarapembaruan.com)
Menurut data Yayasan Autisme Indonesia, sekarang ini diseluruh
Indonesia terdapat dua belas klinik dan rumah sakit yang menangani
autisme, serta seratus tiga puluh dua tempat terapi dan sekolah khusus
autisme. (www.kompas.com)
Pemakaian istilah autisme kepada penderita diperkenalkan pertama kali
oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kaniner, Autistic
Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan
pengamatan terhadap sepuluh penderita yang menunjukkan gejala
kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang
tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh. Autisme bukan satu
gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) di mana terjadi
penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan
kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme s;eperti hidup dalam
dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu
kumpulan gejala kelainan perilaku dan perkembangan. Dengan kata lain,
pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan
(gangguan pervasif). Autisme dapat terjadi pada semua kelompok
masyarakat kaya, miskin, di desa, di kota, berpendidikan maupun tidak
serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.
3
Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika memegang
peranan penting pada terjadinya autisme. Bayi kembar satu telur akan
mengalami gangguan autisme yang mirip dengan saudara kembamya.
Juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga yang mengalami
gangguan yang sama. Selain itu pengaruh virus seperti rubella, toxo,
herpes; jamur; nutrisi yang buruk; perdarahan; keracunan rnakanan, dan
sebagainya yang terjadi pada kehamilan yang dapat menghambat
pertumbuhan sel otak dan yang terjadi dapat menyebabkan fungsi otak
bayi yang dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi
dan interaksi. Akhir-akhir ini dari penelitian terungkap juga hubungan
antara gangguan pencernaan dan gejala autisme. Temyata lebih dari
enam puluh persen penyandang autisrne ini rnempunyai sistern
4
pencernaan yang kurang sempurna. Makanan tersebut berupa susu sapi
(casein) dan tepung terigu (gluten) yang tidak tercerna dengan sempurna.
Protein dari kedua makanan ini tidak semua berubah menjadi asam amino
tapi juga menjadi peptida, suatu bentuk rantai pendek asam amino yang
seharusnya di buang lewat urine. Ternyata pada penyandang autisme,
peptida ini diserap kembali oleh tubuh, masuk ke dalam aliran darah,
masuk ke otak dan dirubah oleh reseptor opioid menjadi morphin yaitu
casomorphin dan gliadorphin, yang mempunyai efek merusak sel-sel otak
dan membuat fungsi otak terganggu. Fungsi otak yang terkena biasanya
adalah fungsi kognitif, reseptif, atensi dan perilaku. (Dil<dasmen
Depdiknas)
Mengingat sifat gangguannya yang kompleks dan mengenai hampir
seluruh aspek perkembangan anak, gangguan autisme~ tidak dapat
dipandang sebagai hal yang ringan. Gangguan autisme membutuhkan
kesabaran yang luar biasa dalam pola pengasuhan dan perawatan yang
khusus. Perilaku agresif, merusak dan menyakiti diri s<~ndiri merupakan
perilaku yang paling berat untuk dihadapi. Semuanya terlihat seperti di
luar kontrol anak. Walaupun anak terlihat Jelah dan cape, tetapi otaknya
meminta tubuh anak untuk terus berlari dan berlari sampai batas
energinya habis dan pada akhirnya anak tidur kelelahan. Betapa beratnya
masalah yang sedang dihadapi oleh orang tua dari anak dengan
5
gangguan autisme. Keadaan berat ini di perparah ka1ena sebagai orang
tua mengharapkan anaknya sehat, cerdas dan normal seperti anak-anak
lainnya. Memiliki gambaran yang ideal dan bermimpi tentang kesuksesan
yang akan diperoleh anaknya kelak di masa depannya. Dihadapkan oleh
kenyataan pahit yang mengejutkan dan rnembuyarkan impian pada anak
tercinta, maka pada saat itu muncullah kekecewaan yang mendalam dan
sulit untuk digambarkan. Kebanyakan orang tua mengalamai Shock
bercarnpur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika
pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan
autisme. Reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang tua
tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Setiap orang tua yang
mendengar hasil diagnosa bahwa anaknya menderita autisme akan
menunjukkan reaksi emosional yang kuat. Memang hal ini adalah
persoalan yang sangat sulit dihadapi para orang tua, dan mereka dipaksa
untuk berhadapan dengan keadaan tersebut, serta dipaksa untuk
menerima kenyataaan yang menekan ini.
Perasaan tak percaya bahwa anaknya mengalami autisme kadang
kadang menyebabkan orang tua mencari dokter lain untuk menyangkal
diagnosa dokter sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali berganti
dokter. Dan pada akhirnya, setelah dihadapkan pada fakta yang objektif
dari berbagai sumber, rnaka kebanyakan orang tua pun dengan amat
6
terpukul dan terpaksa menerima kenyataan pahit yang menimpa anaknya.
Tentu saja, hal ini sangat memukul perasaan orang tua. Bagaimana tidak,
anak yang sangat dicintainya harus menderita suatu !Jangguan autisme.
Belum lagi ketika mengetahui harapan-harapan keluarga besar, kakek dan
neneknya yang mengharapkan cucu yang sehat dan cerdas tidak
terpenuhi, orang tua pun semakin tertekan. Jelas ini bukan perasaan
yang mengenakan bagi orang tua dengan anak yang menderita autisme.
Hal ini juga dapat mempengaruhi sikap orang tua dalam berinteraksi
dengan orang lain. Sewaktu berada dalam lingkungan dan situasi sosial
selalu saja ada mekanisme mental yang mengevakuasi, membentuk
pandangan, mewarnai perasaan, dan ikut menentukan kecenderungan
perilaku terhadap manusia atau sesuatu yang kita haclapi, bahkan
terhadap diri kita sendiri. Sikap yang diartikan sebagai kesiapan,
kesediaan dan kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu objek
tertentu dan berubah sejalan dengan perkembangan individu atau dengan
kata lain sikap merupakan hasil belajar individu melalui interaksi sosial.
(Sarlito W. S, 1996)
Yang berarti bahwa sikap dapat dibentuk dan diubah rnelalui pendidikan.
Sikap positif dapat berubah menjadi negatif jika tidak rnendapatkan
pembinaan dan sebaliknya sikap negatif dapat berubah menjadi positif jika
mendapat pembinaan yang baik. Disini jelas terlihat sesungguhnya tanpa
7
disadari orang tua telah mengawali kelemahannya dengan menumbuhkan
kecenderungan untuk berpikir negatif didalam menilai diri dan
lingkungannya. Selanjutnya, mulai mengembangkan sikap negatif itu
didalam menjalankan kehidupannya.
Dengan orang tua merasa malu kepada khalayak ramai dan tidak ingin
anaknya yang menderita autisme diketahui banyak orang, perasa;:.in malu
pun akan muncul ketika orang tua berhadapan dengan lingkungan sosial,
dengan adanya perasaan minder bahwa orang tua memiliki anak :1ang
mengalami gangguan autisme. Seperti seorang lbu rnenuturkan, "Kadang
saya merasa dan berfikir semua orang mencemooh saya, memandang
aneh anak saya, saya jadi ragu-ragu untuk keluar rumah bersama anak
saya, saya seperti menjadi orang tua yang tidak berharga, karena tidak
mampu melahirkan anak normal .... " (Triantoro Safaria, 2005)
Ketidaknormalan serta kekurangan dengan kecacatan fisik yang
dimilikinya merupakan suatu hal yang dapat menjadikan orang tua
berfikiran negatif, untuk mengajak anaknya berinteraksi dengan
lingkungan. Namun demikian terdapat juga orang tua yang berfikiran
positif meskipun anaknya memiliki fisik yang tidak normal. Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut penulis tertarik untuk meneliti " Gambaran Sikap
Orang Tua Yang Mempunyai Anak Autisme ".
1.2. ldentifikasi masalah
Dari latar belakang masalah diatas maka ada beberapa permasalahan
yang dapat diidentifikasi di antaranya:
1. Bagaimanakah sikap orang tua yang rnempunyai anak autisme?
2. Apakah orang tua yang mempunyai anak autisme dalam bersikap
cenderung melakukan tindakan setelah mengetahui anaknya
menderita autisme?
3. Apakah lingkungan mempengaruhi sikap orang tua yang mempunyai
anak autisme dalam bersikap?
1.3. Pembatasan dan perumusan masalah
Dalam penelitian ini peneliti memberi batasan masalah penelitian adalah
sebagai berikut:
1.3.1. Pembatasan masalah
1.3.1.1. Sikap yang di maksud ialah bagaimana kecenderungan orang tua
(lbu) yang mempunyai anak autisme dalam bersikap. Di mana
sikap tersebut dapat bersifat positif dan negatif. Dalam sikap
positif, orang tua {lbu) cenderung menerima keadaan anak dan
selanjutnya melakukan tindakan terapi, menyekolahkan, dan
melakukan tindakan apa saja untuk kemandirian anaknya.
8
Sedangkan sikap negatif orang tua (lbu) menolak keadaan anak
dan bersikap seperti tidak menghiraukan anak.
1.3.2. Perumusan masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka perumusan masalah
penelitian adalah " Bagaimana Gambaran Sikap Orang Tua yang
Mempunyai Anak Autisme ".
1.4. Tujuan dan manfaat penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui "Bagaimana Gambaran Sikap
Orang Tua yang Mempunyai Anak Autisme".
1.4.2. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berrnanfaat dalam
melengkapi kajian ilmu pengetahuan khususnya bidang psikolgi klinis,
pendidikan dan perkembangan.
b. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai perbandingan
untuk penelitian selanjutnya, serta dijadikan bahan pertimbangan dan
9
pemahaman bagi orang tua yang mempunyai anak autisme dalam
bersikap.
1.5. Sistematika penulisan
Adapun inti dari keseluruhan penulisan sebagai berikut:
BAB 1 Berisi Pendahuluan yang terdiri dari Latarbelakang masa:ah,
ldentifikasi masalah, Pembatasan dan perumusan masalnh,
Tujuan dan manfaat penelitian, Sistematika penulisan.
BAB 2 Berisi tentang Kajian Pustaka yang terdiri dari Definisi autisme,
Manifestasi klinis autisme, Penyebab autisme, Pengelompokkan
autisme, Definisi sikap, Ciri-ciri sikap, Struktur sikap, Proses
pembentukan dan perubahan sikap, Faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap, Fungsi sikap, Sikap orang tua terhadap
kondisi anak autisme, Kerangka berfikir dan Hipotesa.
10
BAB 3 Berisi Metedologi Peneliti yang terdiri dari Jenis penelitian,
Pendekatan penelitian, Metode penelitian, Pengambilan sampel,
Populasi dan sampel, Teknik pengambilan sampel, Pengumpulan
data, Metode dan instrumen, Instrument penelitian, Prosedur
penelitian, Tahap persiapan penelitian, Tahap pelaksanaan
penelitian, Tahap pengolahan data, Teknik analisis data dan Etika
penelitian.
BAB 4 Berisi Hasil Penelitian yang terdiri dari Gambaran umum subjek
penelitian, Gambaran dan analisis kasus, Analisis antar kasus.
BAB 5 Berisi Penutup yang terdiri dari Kesimpulan, Diskusi dan Saran
saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPI RAN
11
2.1. Autisme
BAB2
KAJIAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi Autisme
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani "auto" bera1ii sendiri yang
ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala "Hidup dalam
dunianya sendiri ". (autism.blogsome.com)
Autisme adalah gangguan dalam perkembangan neurobiologis yang berat
atau luas, terjadi pada anak dalam tiga tahun pertama kehidupan.
Masalah ini bisa di mulai sejak janin berusia enam bulan (trimester II)
dalam kandungan, dan dapat terus berlanjut semasa hidupnya jikc' tidak
dilakukan intenvensi secara dini, intensif, optimal, dan komprehen:;if
(menyeluruh). Jika tidak ditangani, penyandang autisme akan ber;iantung
terus hidupnya pada orang lain atau tidak bisa hidup normal, bahkan
untuk dirinya sendiri. (www.suarapembaruan.com)
Autisme adalah suatu keadaan di mana seorang anak berbuat semuanya
sendiri baik cara berfikir maupun berperilaku. (Faisal Yatim, 2003)
Autisme adalah gangguan pada otak yang berakibat pada kemampuan
seorang anak untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.
(Dowshen, dkk, 2004).
Caplin mengungkapkan autisme sebagai berikut (Kartini Karton, 2006):
a. Cara berfikir yang dikendalikan oleh hubungan personal atau oleh
diri sendiri.
b. Menggapai dunia berdasarkan penglihatan, harapan sendiri dan
menolak realitas.
c. Keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.
Dalam PPDGJ Ill (pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa
Ill) autisme dikategorikan dalam gangguan perkembangan pervasif yang
ditandai oleh adanya kelainan fungsi dalam tiga bidang interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang.
(Rusdi Maslim, 2001)
13
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi.
Gejalanya mulai tampal< sebelum anak berusia tiga tahun. Bahkan pada
autisme infantil gejalanya sudah ada sejak lahir. Diperkirakan tujuh puluh
lima persen sampai delapan puluh persen penyandang autisme ini
mempunyai retardasi mental, sedangkan dua puluh persen dari mereka
14
mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu.
(www.unj.ac.id)
2.1.2. Manifestasi Klinis Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasive pada anak yang
ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang:
(autism.blogsome.com)
a. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal meliputi
kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali
tidak dapat berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa
menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.
Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat
berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat di
mengerti orang lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak
menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru
atau membeo), meniru kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya.
Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk
komunikasi dan imik datar.
b. Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan
menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh
bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang
atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan
orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan
sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan alengan orang lain.
Saat bermain bila didekati malah menjauh.
15
c. Gangguan dalam bermain di antaranya adalai1 bermain sangat
monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu
deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil clan
mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada
kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau
guling, terus dipegang dibawa ke mana saja dia pergi. Bila senang
satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka,
tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol,
gelang karet, baterai atau benda lainnya. Tidak spontan, reflek
dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tiolak dapat meniru
tindakan temannya dan tidak dapat memulai pennainan yang
bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas
angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang
ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari,
misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila
berpergian harus melalui rute yang sama.
d. Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak
yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada
tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masul<
16
dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka
semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah,
mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya I
•eperti boruog te,baog). ta joga •e,iog meoyakiti di,; •eodi'i /
seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding.
Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam),
duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa
alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada
satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan
akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya
sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan
perilaku lainnya.
e. Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-
tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering
mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak
mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Bahkan bisa menjadi
agresif dan merusak. Tidak dapat berbagi perasaan (empat1)
dengan anak lain.
f. Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif
terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa
(lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau
mencium . .mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara
keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya.
Merasakan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak
menyukai rabaan atau pelukan. Bila digendong sering merosot
atau melepaskan diri dari pelukan.
" DSM-IV Diagnostic criteria for autistic disorder (Kaplan, 1996).
17
A. A total of six (or more) items from (1 ), (2), and (3), with at least two from (1), and one each from (2) and (3):
(1) Qualitative impairment in social interaction, as manifested by at least two of the following:
(a) Marked impairment in the use of multiple nonverbal behaviors such as eye-to-eye gaze, facial expression, body postures, and gestures to regulate social interaction. (b) Failure to develop peer relationship appropriate to developmental level.
(c) A lack of spontaneous seeking to share enjoyment, interests, or achievements with other people (e.g., by a lack of showing, bringing, or pointing out objects of interest). (d) Lack of social or emotional reciprocity.
(2) Qualitative impairments in communication as manifested by at least one of the following:
(a) Delay in, or total lack of, the development ()r spoken language (not accompanied by an attempt to compensate through alternative modes of communication sucn as gesture or mime).
(b) In individuals with ad equate speech, marked impairme.1t in the ability to initiate or sustain a conversation with othe1 s.
(c) Stereotyped and repetitive use of language or idiosyncratic language. ·
(d) Lack of varied, spontaneous make-believe play or social imitative play appropriate to developmental level.
(3) Restricted repetitive and stereotyped patterns or behavior, interests, and activities, as manifested by at least one of the following:
(a) Encompassing preoccupation with one or more stereotyped and restricted patterns of interest that is abnormal either in intensity or focus.
(b) Apparently inflexible adherence to specific, nonfunctional routines or rituals.
18
(c) Stereotyped and repetitive motor mannerisms (e.g., hand or finger flapping or twisting or complex whole-body movements).
(d) Persistent preoccupation with parts of objects. B. Delays or abnormal functioning in at least one of the following
areas, with onset prior to age 3 years: (1) social interaction, (2) language as used in social communication, or (3) symbolic or imaginative play.
C. The disturbance is not better accounted for by Rett's disorder."
DSM-IV kriteria diagnosa untuk anak penyandang autisme (dalam Kaplan,
1996):
A. Dari jumlah total enam (atau lebih) item dari satu, dua dan tiga, dengan
paling sedikit dua dari satu, dan satu dari setiap dua dan tiga:
1. Adanya kerusakkan kualitatif dalam interaksi sosial, yang
ditunjukkan paling sedikit dua, sebagai berikut:
a) Ditandai dengan kerusakkan dalam menggunakan perilaku non
verbal berkali-kali seperti pandangan mata, ekspresi wajah,
postur badan dan sikap untuk mengatur interaksi sosial.
b) Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya
secara wajar pada tahap perkembangan.
c) Kurangnya spontanitas untuk mencoba mernbagi kegembiraan,
perhatian dan prestasi dengan orang lain (contoh kurang
menunjukkan, membawa, atau memperlihatkan minat).
19
d) Kurangnya timbal balik sosial atau emosional.
2. Kerusakan kualitatif komunikasi yang ditunjukkan paling sedikit satu
dari hal dibawah ini:
a) Tertunda, atau kurangnya perkembangan bicara (tidak diikuti
dengan sebuah percobaan yang menggantikan kerugian melalui
cara alternatif atau komunikasi seperti sikap atau mimik).
b) Secara individual dengan persamaan pernbicaraan, ditandai
kerusakan dalam kemampuan untuk memulai sebuah
percakapan dengan orang lain.
c) Stereotip dan pengulangan dalam mengunakan bahasa yang
aneh.
d) Kurangnya variasi, spontanitas bermain khayalan atau imitasi
sosial yang wajar untuk tahap perkembangan.
3. Pengulangan larangan dan pola stereotip atau perilaku, minat dan
aktifitas yang ditunjukkan paling sedikit satu dari hal di bawah ini:
a) Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih stereotip dan pola
pelarangan dari minat yang tidak normal dari keduanya dalam
intensitas atau fokus.
b) Terbukti tidak dapat diubah ketaatannya secara spesifik,
rutinitas atau ritual yang bukan fungsional.
c) Stereotip dan pengulangan gerakan perlakuan (contoh, tepuk
tangan, memutar tangan atau jari atau pergerakan seluruh
badan secara kompleks).
d) Menetap keasyikan dengan bagian objek.
20
8. Tertundanya fungsi yang tidak normal paling sedikit satu dari hal yang
di bawah ini, dengan permulaan lebih dan diutamakan untuk usia tiga
tahun.
a) lnteraksi sosial.
b) Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial.
c) Bermain simbol atau imajinasi.
C. Mengganggap kekacauan dengan gangguan penyandang Rett's tidak
lebih baik.
2.1.3. Penyebab Autisme
Menurut Agus Suryana (2004), selama puluhan tahun penyebab aLCtisme
tetap misteri. Baru dalam kurun waktu sepuluh tahun ini diketahui terjadi
kelainan pada struktur sel otak yakni gangguan pertumbuhan sel otak
pada saat kehamilan trimester pertama. Penelitian membuktikan bahwa
tidak ada faktor psikologis yang menyebabkan seorang anak di
kategorikan sebagai autisme.
21
Ada pula ahli yang berpendapat autisme muncul karena penyandangnya
mengalami pengecilan bagian otak cerebellum. Pada tahun 1998, muncul
lagi pendapat yang melihat autisme lebih disebabkan metabolisme.
Selain itu ada pendapat bahwa autisme muncul akibat keracunan logam
berat. Perdebatan terakhir tentang penyebab autisme' masih berkisar
kemungkinan penyebab autisme adalah vaksinasi anak.
Saat ini, para peneliti dan orang tua yang mempunyai anak autisme boleh
merasa lega mengingat perhatian dari negara besar dunia mengenai
kelainan autisme menjadi serius. Sebelumnya, kelainan autisme hanya
dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yan!J otoriter terhadap
anaknya.
Disamping itu, kemajuan teknologi memungkinkan untuk malakukan
penelitian mengenai penyebab autisme secara genetik dan metabolik.
Pada bulan Mei, 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya
tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi
tersebut berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat
menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autisme sehingga
dapat dilakukan tindakan pencegahannya.
22
Penyebab masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti melihat
karena suatu masalah fisik yang mempengaruhi bagian-bagian dari otak
yang memproses bahasa dan informasi yang berhubungan dengan panca
indera. Mungkin juga ada ketidakseimbangan dari zat-zat kimia. Ada juga
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik.
Menurut Dr. Melly Budiman (seperti yang dikutip Agus Suryana, 2004)
penyebab autisme adalah adanya gangguan pada perkembangan
susunan saraf pusat yang mengakibatkan fungsi otak terganggu. Autisme
bisa terjadi pada siapa saja. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan diperkirakan tiga berbanding satu. Seorang ibu yang cermat
memantau perkembangan anaknya mudah melihat beberapa keganjilan
sebelum anak mencapai usia satu tahun. Dan yang paling menonjol
sangat kurangnya kontak dengan mata.
Sedangkan menurut dr. Faisal Yatim, pendapat yang menjadi kosensus
bersama para ahli belakangan ini mengakui bahwa autisme diakibatkan
terjadi kelainan fungsi luhur didalam otak, kelainan fungsi ini bisa
disebabkan oleh: Trauma sewaktu bayi dalam kandun9an, misalnya
karena keracunan kehamilan, infeksi virus rubella, virus cytomegalo;
Kejadian segera setelah lahir, seperti kekurangan oksi9en (anoksi);
Keadaan selama kehamilan seperti pembentukan otak yang kecil,
misalnya vermis otak kecil yang lebih kecil atau terjadi pengerutan
jaringan otak; Kemungkinan terjadi kelainan metabolisme seperti pada
Addison, di mana bertambahnya pigmen tubuh dan kemunduran mental.
(dalam Agus Suryana, 2004)
2.1.4. Pengelompokan Autisme
Menurut Faisal Yatim autisme dapat dikelompokan rnenjadi 3 yaitu :
1. Autisme persepsi
Autisme persepsi dianggap sebagai autisme asli dan disebut juga
autisme internal (endogenous) karena kelainan sudah timbul sebelum
lahir.
2. Autisme reaktif
23
Pada autisme reaktif, penderita membuat gerakan-gerakan tertentu
berulang-ulang dan kadang-kadang dise1tai kejang-kejang. Autisme ini
biasa mulai terlihat pada anak-anak usia lebih besar (enam sampai tujuh
tahun) sebelum anak memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga
terjadi sejak usia minggu-minggu pertama.
3. Autisme yang timbul kemudian
Kelainan dikenal setelah anal< agak besar tentu akan sulit memberikan
pelatihan dan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah
melekat, ditambah beberapa pengalaman baru dan mungkin di perberat
dengan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah lahir.
2.2. Sikap
2.2.1. Definisi Sikap
Sikap dalam bahasa inggris disebut attitude yaitu suatu cara berreaksi
terhadap suatu kecenderungan untuk berreaksi dengan cara tertentu
terhadap suatu perasaan atau situasi yang dihadapi.
(M. Ngalim Purwanto, 1992)
Menurut Secord dan Bacman, sikap sebagai keteraturan tertentu dalam
hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan
(konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
(dalam Saifuddin Az.war, 2003)
24
Sikap menurut Sarlito W. S (1996), didefinisikan sebagai kesiapan pada
seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu yang
bersifat positif atau negatif.
Menurut pandangan Thurstone, sikap sebagai suatu tingkatan afeksi, baik
afeksi yang positif maupun negatif. Dalam hubungannya dengan objek
objek afeksi, yang pm,itif yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif
yaitu afeksi yang tidak menyenangkan. (dalam Bimo Walgito, 2002)
Menurut Brino, sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif
menetap untuk berreaksi dengan cara baik atau burul< terhadap orang
atau barang tertentu. (dalam Muhibbin Syah, 2002)
25
Selain itu Zimbardo dan Ebbesen mendefinisikan sikap sebagai sesuatu
predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau
objek yang berisi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif.
(dalam H. Abu Ahmadi, 2002)
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, definisi sikap adalah
perbuatan yang berdasarkan pada pendirian, keyakinan seseorang
terhadap objek. (Hasan Alwi, dkk, 2000).
Menurut Chaplin (2006), definisi sikap (attitude) adalah satu predisposisi
atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus
untuk bertingkah laku atau untuk merespon dengan satu cara terte:ntu
terhadap pribadi lain, atau persoalan tertentu.
2.2.2. Ciri-ciri sikap
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (1996), Untuk membedakan sikap dari
aspek-aspek psikis yang lain (seperti motif, kebiasaan, pengetahuan dan
lain-lain) perlu dikemukakan ciri-ciri sikap sebagai berikut:
26
a. Dalam sikap selalu terdapat hubungan subjek-objek. Tidak ada sikap
yang tanpa objek. Objek ini berupa benda, orang, kelompok orang,
nilai- nilai sosial, pandangan hid up, hukum, lembaga masyarakat dan
sebagainya.
b. Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk
melalui pengalaman-pengalaman.
c. Karena sikap dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai
dengan keadaan lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan
pada saat-saat yang berbeda-beda.
d. Dalam sikap tersangkut juga faktor motivasi dan perasaan. lnilah
yang membedakannya.
e. Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan sudah terpenuhi.
f. Sikap tidak hanya satu macam saja, melainkan sangat bermacam
macam sesuai dengan banyaknya objek yang dapat menjadi
perhatian orang yang bersangkutan.
Disamping itu, menurut Gerungan (2004) sikap mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari
sepanjang perkeri1bangan individu dalam berhubungan dengan
objeknya.
b. Sikap dapat berubah-ubah, karena sikap dapat dipelajari.
c. Sikap dapat berdiri sendiri, namun senantiasa mengandung relasi
tertentu terhadap suatu objek.
d. Sikap tidak hanya dapat berkenan dengan satu objek saja, tetapi
juga berkenan dengan sederetan objek-objek yang serupa.
e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan.
2.2.3. Struktur sikap
27
Menurut Saifuddin AzJNar (2003), struktur sikap terdiri atas tiga komponen
yang saling menunjang yaitu:
a. Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa
yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap, apa yang
dipercayai seseorang itu merupakan stereotipe atau sesuatu yang
telah terpolakan dalam fikirannya. Apabila terpolakan dalam pikiran
bermakna negatif maka membawa arti yang tidak baik.
b. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif
seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
merupakan perasaan individu terhadap objek sikap penerimaan dan
menyangkut masalah emosi.
c. Komponen perilaku atau konatif dalam struktur sikap menunjukan
bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku, bertindak atau
berreaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara te1tentu terhadap objek
28
yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa
kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.
Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan
kepercayaan dan perasaan yang membentuk sikap individu yang
menunjukan bahwa komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang
tidak hanya dapat dilihat secara langsung saja, akan tetapi meliputi
pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa pemyataan atau perkataan
yang diucapkan oleh seseorang.
Ketiga komponen itu merupakan dasar seseorang berreaksi atau
merespon terhadap hal-hal tertentu, walaupun belum tentu berakhir pada
tindakan nyata atau perilaku, karena sikap di sini merupakan predisposisi
untuk berperilaku.
2.2.4. Proses pembentukan dan perubahan sikap
Sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat macam cara antara
lain: (Sarlito W. S, 1996)
a. Adopsi, kejadian dan peistiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus
menerus, lama kelamaan secara bertahap di serap kedalam diri
individu dan mempengaruhi terbentuknya suatu sikap.
b. Diferensiasi, dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya
pengalaman sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal-hal
29
yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas
dari jenisnya. Terhadap objek dapat terbentuk sikap tersendiri pula.
c. lntegrasi, pembentukan sikap terjadi secara bertahap, di mulai
dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan satu hal
tertentu, sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai hal tersebut.
d. Trauma, trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan,
yang meningggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang
bersangkutan.
2.2.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
Menurut Saifuddin Amo/ar (2003), dalam interaksi sosialnya individu
berreaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek
psikologis yang dihadapinya. Di antaranya ada berbagai faktor yang
mempengaruhi sikap antara lain:
a. Pengalaman pribadi
Pengalaman dengan objek sikap akan memberikan kesempatan
kepada individu untuk memiliki pengetahuan dan tanggapan serta
penghayatan atas objek tersebut. Pengetahuan dan tanggapan
inilah yang kemudian menjadi salah satu unsur clalam komponen
sikap seseorang. Apakah penghayatan tersebut akan membentuk
sikap positif atau negatif akan tergantung pula pada berbagai faktor
lainnya.
30
b. Kebudayaan
Kebudayaan masyarakat di mana seseorang hidup dan dibesarkan
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap
orang yang bersangkutan. Dengan nilai-nilai da11 norma-normanya
kebudayaan telah memberikan arah bagi sikap sesuai terhadap
berbagai masalah dalam kehidupan.
c. Orang lain yang dianggap penting
Seseorang yang dianggap penting, yang istimewa, yang tak ingin
dikecewakan, yang dibutuhkan persetujuannya, •~kan banyak
mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di
antaranya orang biasanya dianggap penting bagi individu adalah
orang tua, orang yang status sosialnya lebih til1Q!~i. teman sebaya,
teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami dan lain-lai11.
d. Media massa
lnformasi yang disampaikan oleh media massa, terselip pula pesan
pesan sugestif yang dapat membentuk opini seseorang. Adanya
informasi baru mengenai suatu hal memberikan Jandasan kognitif
bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Sementara itu pesan
pesan sugestif yang menyertainya, apabila cukup kuat, maka akan
memberi dasar efektif dalam menilai hal tersebut.
31
e. lnstitusi atau Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan dan lembaga agama mempunyai pengaruh
dalam pembentukan sikap karena keduanya adalah yang meletakkan
dasar pengertian konsep moral dalam diri individu. Konsep-konsep
moral menentukan sistem kepercayaan seseorang tentang segala
sesuatu. Hal ini merupakan unsur komponen kognitif yang sangat
penting dalam sikap seseorang.
f. Emosi
Kadang-kadang suatu sikap merupakan pernyataan yang didasari
oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi
atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan cliri. Salah satu
bentuk sikap yang didasari emosi ini adalah prasangka.
Sedangkan menurut Sarlito W. S (1996), Pembentukan sikap tidal< terjadi
begitu saja, melainkan terbentuk melalui suatu proses tertentu, melalui
kontak sosial terus-menerus antara individu dengan individu lain di
sekitarnya. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
sikap adalah:
a. Faktor intern, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang
yang bersangkutan sendiri. Pilihan ini kecenderungan dalam diri
yang menyusun sikap positif terhadap satu hal clan membentuk
sikap negatif terhadap hal lainnya.
32
b. Faktor ekstern, sela.in faktor-faktor yang terdapat dalam diri sendiri,
maka pembentukan sikap juga ditentukan pula oleh faktor-faktor
dari luar, seperti: sifat objek yang dijadikan sasaran sikap,
kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap, sifat orang-
orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut, media
komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap, dan
situasi pada saat sikap itu dibentuk.
2.2.6. Fungsi sikap
Sikap mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan. Menurut H. Abu
Ahmadi (2002), fungsi sikap dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:
a. Sikap berfungsi sebagai alat penyesuaian diri. Di mana sikap
adalah suatu yang bersifat communicabel, artinya sesuatu yang
mudah menjalar, sehingga mudah pula menjadi milik bersama.
b. Sikap berfungsi sebagai alat pengukuran tingkah laku.
c. Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman.
d. Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadiain.
Oleh karena fungsi-fungsi sikap yang sedemikian penting ini maka sikap
yang sudah berkembang dalam diri seseorang, menjadi bagian dalam
kehidupan sehari-hari, akan cenderung mempertahankan dan sulit sekali
dirubah, mengubah sikap berarti mengadakan pj:'Hi9i:rst1aian-penyasuaian __ _ f - --
! ··; "~-Iii /l
33
baru terhadap objek atau suatu situasi yang dihadapi, memiliki respon
respon (baru) yang tepat, memberi arti baru kepada objek yang dihadapi.
Hal ini merepotkan ketidakseimbangan yang cukup mengganggu diri
orang yang bersangkutan.
2.3. Sikap orang tua terhadap kondisi anak autisme
Salah satu syarat terbentuknya suatu keluarga adalah adanya unsur
orang tua dalam keluarga tersebut. Orang tua adalah figur utama dalam
keluarga pada umumnya, orang tua diartikan sebagai ayah atau lbu,
namun dapat juga diartikan sebagai individu dewasa yang memikul
tanggung jawab pendidikan, sebab secara alami anak pada masa-masa
awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya, dan dari
merekalah anak mulai mengenal pendidikannya dan juga orang tua
dianggap mampu mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak.
Suatu kebahagiaan dalam keluarga takala diberikan kesempatan untuk
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat jasmani clan rohani, namun
tidak sedikit pula orang tua yang mendapat keturunan atau anak dengan
gangguan-gangguan tertentu, seperti Autisme. Orang tua dalam hal ini
harus ekstra memberikan perhatian, dan pemahaman yang baik sehingga
terjalin hubungan yang baik antara anak , orang tua dan lingkungan.
Orang tua mempunyai peran penting dalam melakukan pengawasan,
34
bimbingan serta asuhan terhadap anak autisme. Peranan dan bantuan
orang tua sangat bermanfaat didalam penyesuaian anak autisme terhadap
lingkungannya yang mana tercermin d"rdalam pola pengasuhan.
Semua orang tua menghendaki anak-anaknya terlahir dengan keadaan
yang ideal seperti yang mereka bayangkan, sehingga mereka al<an
memiliki tuntutan sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, orang tua
sering kali mengamati dan membandingkan kondisi anaknya dengan anak
yang lain. Pada sebagian orang tua yang segera menyadari kenyataan
yang ada akan lebih baik, namun tidak semua orang tua mau menerima
dan menyadarinya. lni memang sebuah cobaan berat dan tidak mudah
untuk dapat hidup secara tenang dan damai bagi orang tua ketika
mengetahui anaknya menderita autisme. Ketika pertama kali orang tua
mengetahui anaknya autisme, orang tua memunculkan beragam reaksi
emosional. Beberapa reaksi emosional yang sering climunculkan antara
lain: (Triantoro Safaria, 2005) shock, penyangkalan (merasa tidak
percaya), sedih, perasaan terlalu melindungi atau kecemasan, perasaan
menolak keadaan, perasaan tidak mampu dan malu, perasan marah,
perasaan bersalah serta berdosa, perasaan setahap demi setahap, dan
perjuangan belum berakhir. Dan berbagai macam reaksi negatif sudah
pasti menyelimuti perasaan orang tua sepanjang waktu bahkan setiap
detiknya. Gejolak emosi-emosi yang negatif ini tentu saja membawa
35
banyak dampak negatif, baik secara fisik maupun secara psikis.
Walaupun setiap orang tua dapat melalui serangkaian proses untuk dapat
menerima dan menyadari kondisi anaknya dengan segala
keterbatasannya.
Rentang waktu dalam proses yang dilalui orang tua beragam, tentunya
semakin cepat tahapan-tahapan dapat mereka lalui dan akhirnya
menerima sebagai kenyataan akan membantu anak rnenjadi lebih optimal,
pula dalam penatalaksanaan. Dalam keadaan ini biasanya dikehendaki
oleh anak al<an dapat tumbuh dan kembali normal sama seperti anak
lainnya. Semal<in besar penolakan pada kondisi yang ada, semakin lama
proses ini dapat diatasi oleh orang tua. Sebagai pasangan orang tua
sering kali reaksi yang terjadi antara penolakan yang lebih panjang atas
kondisi yang ada. Pasangan orang tua yang memilil<i tahapan proses
lebih cepat biasanya akan lebih segera pula dalam mimgolah anak lebih
optimal. Hal ini di karenakan sikap orang tua yang dapat menerima
kenyataan. Sikap yang didefinisil<an sebagai kesiapan pada seseorang
untul< bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu yang bersifat
positif atau negatif (Sarlito W. S, 1996). Sikap positif, l<ecenderungan
tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu,
sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu ..
Dalam kehidupan bermasyarakat, sikap penting sekali. Sikap yang
menjadi penggerak (motivator) tingkah laku dan mempengaruhi semua
nilai manusia. Efisiensinya barulah berhasil, kalau seseorang didorong
oleh sikapnya untuk memulai, meneruskan dan menyelesaikan suatu
pekerjaan bukannya malah menghindari tugasnya yang tak
menyenangkan. Demikian pula sikap terhadap orang lain akan
menentukan nilai sosialnya.
36
Sikap orang tua terhadap anak autisme merupakan suatu pembelcijaran.
Pola hubungan orang tua dan anak dalam kehidupan seseorang aapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Banyak faktor yang ikut
menentukan gambaran apa yang akan dipelajari untuk sikap orang tua
yang mempunyai anak autisme, dan juga meliputi hal··hal yang dianggap
normal oleh orang sebagian. Berkaitan dengan gambaran sikap orang tua
yang mempunyai anak autisme, merupakan salah satu faktor atau sumber
sikap orang tua terhadap anaknya, terutama yang hidup dengan
gangguan-gangguan tertentu seperti Autisme.
37
Para orang tua akan mempunyai banyak ide tentang bagaimana anak
anak dapat diberikan bantuan yang lebih baik dalam perkembangannya,
dan hal ini bisa terjadi dengan baik apabila ada hubungan kerja sama
yang baik antara sekolah dengan orang tua melalui diskusi atau bantuan
nyata. Para orang tua diberi kesempatan untuk selalu mengikuti
perkembangan anaknya di sekolah. Selain dari pada itu sekolah juga
selalu mendorong dan menambah pengertian orang tua dengan anaknya,
dengan harapan agar hubungan antara orang tua dan anak selalu baik
dan berarti bagi keduanya.
Dari sini jelaslah adanya hubungan timbal balik antara orang tua
menerima kondisi anaknya yang menderita autime dengan sikap orang
tua terhadap kondisi anak yang menderita autisme, yang mempunyai
implikasi pada memperpanjang atau memperpendek masa kesembuhan
anak. Dalam arti bahwa jika orang tua dapat menerima anaknya
menderita autisme, dengan sikap positif maka mungkin orang tua akan
membantu anaknya agar dapat sembuh dengan memberikan perhatian,
terapi dan lain sebagainya agar anaknya dapat kembali normal, namun
sebaliknya jika orang tua menangapinya dengan negatif maka mungkin
anak akan diperlakukan orang tua dijauhkan dari lingkungan.
2.4. Kerangka Berfikir
Sikap positif
Sikap orang tua
Kondisi anak autisme
Direalisasikan dengan 3 komponen yaitu I kognitif, afektif dan konatif
[ Sikap negatif
Menerima Menolak
Skema 2.4. Kerangka berfikir
Secara garis besar, kerangka berfikir di atas berguna untuk
menggambarkan atau mengilustrasikan suatu rumusan masalah dengan
38
subjek penelitian yaitu orang tua yang mempunyai anak autisme. Autisme
adalah gangguan perkembangan pervasive pada anal< yang ditandai
dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi,
interaksi sosial, dalam bermain, perilaku, persepsi sensori, perasaan dan
emosi. (autisme.blogsome.com)
Menurut Gerungan (2004), pembentukan sikap tidal< terjadi dengan
sendirinya. Pembentukan sikap disertai dengan adanya kecenderungan
untuk berkehendak yang biasanya terjadi dalam interaksi manusia dan
berkaitan dengan objek tertentu.
39
Pentingnya sikap orang tua terhadap kondisi anak autisme merup&kan
suatu pembelajaran, dengan orang tua berani dan segera menyadari
kenyataaan yang ada akan lebih baik. Semakin cepat orang tua melalui
tahapan-tahapan untuk dapat menerima dan menyadari kondisi anaknya
akan membantu anak menjadi lebih optimal dan semakin besar penolakan
pada kondisi yang ada, semakin lama proses ini dapat diatasi oleh orang
tua. Sebagai pasangan orang tua sering kali reaksi yang terjadi adalah
antara penerimaan dan penolakan, penolakan lebih panjang atas kondisi
yang ada dibanding penerimaan kondisi anal< dengan segala
keterbatasannya.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3. 1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan Penelitian
Dalam bab ini penulis mengunakan pendekatan kualitatif dengan alasan
karena pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang berusaha
memahami gejala tingkah laku manusia dan sebagai pendekatan umum
yang menghasilkan dan mengelola data yang sifatnya deskriftif seperti
observasi terstruktur dan tidak terstruktur. lnteraksi komunikatif sebagai
alat pengumpulan data, terutama wawancara mendalam dan pedoman
wawancara instrumen utama. (Sudarwan Danim,2002)
Bogdan dan Taylor (dalam Lexy J Moleong, 2004) mengatakan bahwa
dalam penelitian kualitatif menghasilkan data deskritif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, pendekatan
ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi
individu atau subjek penelitian dipandang sebagai bagian dari suatu
keutuhan. Selanjutnya pendekatan ini juga dikenal dengan inkuiri
naturalistik atau alamiah. Dengan dasar penelitian l<ualitatif di atas maka
untuk mengetahui gambaran sikap orang tua yang mempunyai anak
autisme diperlukan data-data deskriptif yang diperoleh melalui observasi
dan wawancara.
3.1.2. Metode Penelitian
41
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi kasus yang
merupakan bagian dari penelitian kualitatif, di mana data atau hasilnya
tidak diperoleh, dan disajikan dengan menggunakan angka-angka atau
data statistik, melainkan menghasilkan dan mengolah data yang bersifat
deskriptif dengan harapan dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh
tentang subjek terhadap keadaaan yang dialaminya, oleh karena itu maka
diperlukan data yang bersifat khusus dan individual untuk mendapatkan
hasil yang maksimal.
Pengunaan studi kasus ini di pilih karena seperti yang dikemukak<in
Sudarwan Danim, 2002 studi kasus (case Study) atau penelitian lapangan
(field study) di maksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar
belakang keadaan dan posisi saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial
tertentu yang bersifat apa adanya (given).
Secara umum, studi kasus merupakan metode yang dapat digunakan
untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan fokus
penelitiannya terletak pada fenomena masa kini didalam konteks
kehidupan nyata.
3.2. Pengambilan sampel
3.2.1. Populasi dan sampel
42
Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak
autisme. Penelitian ini difokuskan dengan jumlah subjek sangat
tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh penulis, dan sampel dalam
penelitian ini di pilih berdasarkan karakteristik yang sudah ditentukan.
Karena keterbatasan waktu serta kesulitan penulis memperoleh kasus dan
responden untuk mengetahui gambaran sikap orang tua yang mempunyai
anak autisme secara lebih mendalam, maka dalam penelitian ini
ditetapkan jumlah subjek sebanyak tiga orang yang mi~miliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Subjek penelitian adalah orang tua kandung yang anaknya telah di
diagnosa autisme dan belum menikah.
b. Orang tua yang di maksud adalah seorang lbu, dengan alasan
untuk mendapatkan data yang lebih terpercaya mengenai keadaan
anak.
c. Subjek bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya, hal ini agar
memudahkan penulis melakukan koordinasi.
d. Pendidikan orang tua penderita minimal SD, atau dapat membaca
dan menulis. Kriteria ini di maksudkan agar dapat mengerti
43
maksud pertanyaan yang diajukan dan dapat memberikan jawaban
yang jelas.
3.2.2. Teknik Pengambilan sampel
Teknik pengambilan sctmpel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Purposive Sampling (sample bertujuan) di mana sample dipilih bukan
didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi clidasarkan atas adanya
tujuan tertentu (Suharsimi Arikunto, 2002), maksud sampling dalam
penelitian kualitatif adalah untuk menjaring sebanyak rnungkin informasi
dari berbagai macam sumber (Lexy J Moleong, 2004), dengan demikian
tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan
yang nantinya dikembangkan kedalam generalisasi tetapi merinci
kekhususan yang ada kedalam ramuan konteks yang unik. Selain itu
dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling lebih
mernudahkan penulis dalam menentukan karakteristik batasan-batasan
yang harus dimiliki oleh si subjek.
3.3. Pengumpulan Data
3.3.1. Metode dan lnstrumen
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penulis dalam
mengumpulkan data penelitiannya (Suharsimi Arikunto, 2002). Penulis
mengunakan metode penelitian deskriptif studi kasus, di mana buHi dan
44
data untuk keperluan studi kasus bisa berasal dari enam sumber yaitu
dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung observasi
partisipan, dan perangkat-perangkat fisik (Robert K Yiin, 2002). Dalam
penelitian ini metode pengumpulan data yang akan di!iunakan untuk
memperoleh data yang berhubungan dengan objek penelitian adalah
metode wawancara, sebagai metode utama dan observasi sebagai
metode penunjang untuk melengkapi data yang terkurnpul melalui metode
wawancara.
wawancara
Wawancara atau interview adalah teknik pengumpulan data yang
digunakan penulis untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisain
melalui bercakap-cakap dan berhadapain muka dengan orang yang dapat
memberikan keterangan pada si penulis (Mardalis, 2006).
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.
Wawancara secara garis besar dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Wawancara terstruktur
Pertanyaan-pertanyaan mengarahkan jawaban dalam pola
pertanyaan yang dikemukakan.
b. Wawancara tak terstruktur
Pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara bebas oleh
responden tanpa terikat pada pola-pola tertentu.
c. Campuran
45
Bentuk ini merupakan campuran antara wawancara terstruktur dan
tak terstruktur.
Dari ketiga bentuk wawancara di alas dapat digunakan dalam
pengambilan data penelitian dan dilakukan sesuai dengan keperluan,
situasi dan kondisi subjek penelitian. Hal tersebut untuk menjaga
perasaan subjek penelitian. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan
pada orang tua (lbu) yang mempunyai anak autisme, untuk mengetahui
bagaimana sikap orang tua yang mempunyai anak autisme. Dalam
melakukan wawancara ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar
tidak terjadi kesalahan dalam proses wawancara di antaranya adalah
penggunaaan pedoman wawancara, agar wawancara dapat berjalan
dengan baik dan menggunakan rapport yaitu suatu situasi di mana telah
terjadi hubungan psikologis antara interviewer dan inte1wee dan terjalin
hubungan yang baik sehingga tidak ada rasa curiga dari responden.
Selain itu diharapkan interviewer memiliki sikap netral, adil dan ramah.
46
observasi
lstilah observasi atau pengamatan digunakan dalam rangka
mengumpulkan data dalam suatu penelitian yang merupakan hasil
perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya
sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan, atau suatu studi yang di
sengaja dan sistematis tentang keadaan atau fenomena sosial dan gejala
gejala psikis dengan jalan mengamati, mencatat dan mempertimbangkan
hubungan antara aspek dan fenomena tersebut (Mardalis, 2006). Tujuan
observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas yang
berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna
kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang
diamati tersebut.
Metode observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang hal-hal yang
karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh responden secara terbuka
dalam wawancara, instrument yang digunakan pada observasi ini adalah
lembar observasi yang dibuat dalam bentuk catatan lapangan yang
berfungsi untuk mencatat hal-hal penting yang relevan dengan
permasalahan penelitian yang tidak didapatkan dalam wawancara ..
Catalan ini berisi kondisi fisik subjek, penampilan subjek, sikap subjek
selama proses wawancara dilakukan, ekspresi verbal dan non verbal,
hambatan yang muncul dan kejadian-kejadian penting yang mungkin
47
terjadi selama proses wawancara berlangsung. Proses observasi ini
dilakukan penulis bersama dengan wawancara yang sudah direncanakan.
3.3.2. lnstrumen Penelitian
Adapun instrumen pengumulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pedoman wawancara, pedoman observasi dan tape recorder.
Pedoman wawancara diperlukan sebagai panduan dalam melaksanakan
wawancara yang dirancang sesuai dengan tujuan penelitian dan landasan
teoritis sehingga jalannya wawancara lebih terarah deingan apa yang ingin
di teliti. Alat perekam dan observasi sederhana sebagai instrument
penunjang, hal-hal yang dicatat dalam lembar observasi antara lain
suasana lingkungan di sekitar subjek, sikap subjek terhadap
pewawancara, sikap subjek sebelum wawancara dan sebagainya.
3.4. Prosedur Penelitian
3.4.1. Tahap persiapan penelitian
Sebelum penulis melakukan penelitian harus dipersiapkan segala sesuatu
yang berhubungan dengan keperluan j:Jenelitian di antaranya:
a. Menyusun instrument pengumpulan data berupa pedoman wawancara
dan pedoman observasi yang digunakan sebagai acuan dalam
melakukan wawancara.
48
b. Memilih lapangan penelitian atau lokasi penelitian yang akan dijadikan
sumber untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.
c. Membuat surat izin penelitian.
d. Membuat lembar kesedian sebagai subjek penelitian.
e. Menyiapkan perlengkapan penelitian, seperti pensil, ballpoint, kertas,
buku catatan, al.at perekam atau tape recorder dan segala sesuatunya
yang berkaitan dengan penelitian.
3.4.2. Tahap pelaksanaan penelitian
Dibawah ini penulis memberikan beberapa tahapan dalam pelaksanaan
penelitian:
a. Menentukan sampel penelitian dan melakukan konfirmasi dengan
pihak yang bersangkutan.
b. Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta
kesediaan subjek untuk dijadikan responden penelitian.
c. Melaksanakan pengambilan data dengan menggunakan dan
merealisasikan konsep-konsep dalam pedoman wawancara dan
observasi.
d. Menyortir hasil wawancara untuk mendapatkan hasil yang relevan.
e. Melakukan analisa data dan interprestasi data.
f. Membuat kesimpulan
3.4.3. Tahap Pengolahan Data
a. Membaca dan memberikan kode pada data-data yang telah di
transkrip secara verbatim.
49
b. Menginterprestasikan dan membahas hasil analisis berdasarkan teori.
3.5. Teknik analisa Data
Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah tahap analisa data,
menurut Patton (dalam Lexy J Moleong, 2004) analisa data adalah proses
mengatur, urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola,
kategori dan satuan uraian dasar. Dengan pendekatan kualitatifteknik
analisa data yang digunakan adalah non statistik, yaitu dengan cara
mendeskripsikan atau interprestasikan hasil yang telal1 didapat da.1
langkah-langkah dalam analisa data adalah sebagai berikut:
Organisasi data
Analisa data dimulai dengan mengorganisasikan data dengan organisasi
data yang sistematis memungkinkan penulis untuk memperoleh data yang
baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data
dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian. (Highlen dan
Finley, 1986 dalam Kristi Poerwandari, 2001)
50
Koding dan analisis
Analisis seperti yang dikemukakan oleh Jorgensen yaitu langkah penting
sebelum analisis adalah memberikan kode atau koding, di maksudkan
untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara
lengkap dan mendetil sehingga data dapat memunculkan gambar tentang
topik yang dipelajari dengan menyusun transkrip secara verbatim
kemudian dilakukan penomoran. (Jorgensen, 198!~ dalam Kristi
Poerwandari, 2001)
Tahap lnterprestasi
lnterpretasi yang di maksudkan di sini adalah mengac:u pada upaya
memahami data secara mendalam.
3.6. Etika Penelitian
Etika merupakan hal yang paling penting dalam penelitian, hal ini di
karenakan mengunakan manusia sebagai subjek penelitiannya. Etika
merupakan suatu kumpulan kaidah atau norma yang digunakan oleh
suatu kelompok masyarakat untuk mengatur kehidupan bermasyarakat
anggotanya. Jadi etika bersifat normatif dan kontekstual. Dalam etika
penelitian hal terpenting di antaranya adalah penulis harus menjunjung
tinggi nilai-nilai ilmiah yang berlaku. Masalah etika yang harus
diperhatikan adalah adanya persetujuan subjek untuk diteliti dengan tanpa
paksaan, kerahasian subjek dan informasi yang diberikan, penulis harus
melindungi subjek dari kemungkinan adanya ketidaknyamanan atau
bahaya, baik secara fisik atau secara psikologis dan penulis harus
memberikan kesempatan kepada subjek untuk mengetahui hasil dari
penelitian apabila dia menginginkan.
51
BAB4
PRESENTASI DAN ANALISJ\ DATA
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang hasil pengolahan data, yang
didapat dari Japangan penelitian. Adapun hasil penelitian dapat dijabarkan
dalam bentuk gambaran umum subjek, gambaran dan analisa kasus, dan
analisa perbandingan kasus.
4.1. Gambaran umum subjek penelitian
Subjek yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 3 orang Jbu yang telah
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Nama-nama subjek
dalam penelitian ini sengaja di samarkan untuk menjaga kerahasiaan
subjek penelitian dan sesuai dengan etika penelitian.
Pada tabel 4.1 dibawah ini akan diuraikan gambaran umum subjek.
Gambaran umum subjek
Tabel 4.1.1. Data Orang Tua (lbu)
No Keterangan Subyek 1 Subyek 2
01. Nam a SR RH
02. Jenis Kelamin Perempuan Perempuan
03. Usia 37 Tahun 47 Tahun
Subyek3
EK
Perempuan
35 Tahun
04. Suku Sunda Batak Padang
Kristen 05. Agama Islam Islam
Protestan
Pendidikan 06. SMA SMA S1
terakhir
lbu rumah lbu rumah lbu rumah 07. Pekerjaan
tangga tangga tangga
Tabel 4.1.2. Data Anak
No. Nam a Jenis Kelamin Usia Sekolah
01. M Laki-laki 7 Tahun Tidak bersekolah
02. J Laki-laki 15 Tahun 2 SLTP SLB/C
03. A Laki-laki
4.2. Gambaran dan Analisis kasus
4.2.1. Kasus I
A. Data Pribadi
a) Anak
8 Tahun 2SD
53
M adalah anak kedua dari pasangan lbu SR dan Bapak A. Usia M
sekarang ini adalah tujuh tahun. Di usianya yang ke tujuh tahun ini, M
54
tidak mengikuti jenjang pendidikan dan terapi. la bertempat tinggal di
daerah Pekayon Jakarta Timur.
b) Orang Tua
SR adalah lbu rumah tangga berusia tiga puluh tujuh tahun, memiliki
kulit berwarna putih, tinggi seratus lima puluh tiga dengan berat badan
lima puluh kilogram, berrambut pendek dan berwajah kecil. SR adalah
anak ke dua dari dua bersaudara, pendidikan terakhir SMA. Saal ini
pekerjaannya adalah sebagai lbu rumah tangga dan hanya mengurusi
keluarga dan kedua orang anaknya. Salah satunya adalah M, anak
laki-laki yang lahir pada tahun 2000 dan menyandang autisme.
B. Pelaksanaan dan Observasi saat wawancara
Pelaksanaan wawancara dilakukan di tempat yang telah di sepakati
sebelumnya yaitu kediaman SR, yang terletak di daerah Pekayon. Pada
saat pertemuan pertama, SR pernah menanyakan tujuan wawancara
tersebut, namun setelah penulis jelaskan SR pun tidak merasa keberatan
untuk diwawancara.
Pada pertemuan kedua, SR tidak merasa canggung. SR merespon
penulis dengan baik, ramah dan langsung mempersilakan penulis untuk
masuk, di sebuah ruangan yang kurang lebih berukuran dua kali tiga. Di
55
dalamnya terdapat dua buah bangku yang berbentuk persegi panjang,
satu bangku berukuran sedang dan satu buah bangku berukuran kecil,
dengan satu buah meja pendek. SR mempersilakan penulis untuk duduk,
kemudian kami berbincang-bincang dan wawancara pun berjalan seiring
berjalannya waktu. Kondisi pada saat jalannya wawancara cukup haik
dan tenang.
Proses wawancara dilakukan pada hari senin, 30 Juli 2007 yang
berlangsung dari pukul 18.30 sampai 21.00 WJB. Kemudian penulis
meminta SR mengisi data responden dan menandatangani Jembar
persetujuan responden. Pada saat wawancara SR menggenakan baju
setelan atas bawah berwarna hijau dengan kembang-kembang putih.
Selama wawancara SR menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan
jawaban yang cukup terbuka terutama dalam mengungkapkan
perasaannya. SR suka sekali menggerakan tangan, menggaruk kepala,
memainkan kaki dan posisi duduk yang selalu berubah-ubah. Pandangan
mata tidak fokus dan cenderung mengarah ke televisi, namun cara
bicaranya cukup sopan dengan nada suara halus. Jarak antara SR
dengan penulis cukup dekat, di mana SR berada di sebelah kiri penulis
yang hanya dibatasi dengan batasan bangku.
56
C. Persepsi SR terhadap Autisme
M adalah anak laki-laki berusia tujuh tahun, memiliki tinggi kurang lebih
seratus centimeter dengan berat dua puluh kilogram, berkulit hitam,
rambut lurus pendek dan berwajah lonjong.
M terdeteksi menderita autisme pada usia dua tahun. Ketika itu, SR lbu M
melihat M suka bermain sendiri dan tidak suka bermain dengan anak yang
lain, terkadang M juga tertawa dan menangis sendiri. Keanehan itu
membuat SR suka sekali membandingkan M, jika di televisi terdapat
tayangan tentang kondisi anak, yang tidak seperti anak normal.
Kemiripan dengan kondisi M, membuat SR tahu bahwa M menderita
autisme. Menurut SR kondisi M sebelumnya, M suka sekali berlari-larian,
namun sekarang ini kondisi tersebut sudah jarang dilakukan oleh M.
" Ya, kan waktu umur dua tahun, Jain dengan anak yang Jain, main sendiri, jadi main sendiri, biar pun gabung dengan anak yang Jain, tapi dia tetap main sendiri. Ya ... pokoknya main sendiri, suka ketawa sendiri, (sedih) nangis, kebanyakan sitertawa sendiri. Anak autisme itu eh ... engga ada rasa malu kan? Anak tidak ada rasa malu, saya suka membandingkannya di tv, oh .... anak autisme itu kaya gitu, sama kaya anak saya. Ada juga yang ngasih tahu saya, kadang juga hiperaktif, kalo du/u suka sekali /ari-lari sekarang si mendingan hanya tertawa-tawa saja ".
Sewaktu mendengar M di diagnosa autisme oleh dokter, SR mengaku
sedih, pasrah dan terbebani dengan apa yang terjadi didalam
kehidupannya. Menurut SR, ia hanya ingin memberikan pendidikan yang
57
terbaik untuk M, agar M bisa mandiri dan dapat menja1~a dirinya. Apa
yang SR dapat berikan untuk M, ia akan memberikan semampunya.
"Sa ya bawa ke dokter, dokter mendiagnosa autisme, saya disuruh melakukan tes, waktu tes pendengaran dia diberi musik tapi diam saja. Perasan saya sedihlah, ya ... tapi kita pasrah saja semampu orang tua mengasih pendidikan saja. Saya ingin dia bisa mandiri. Bisa menjaga dirinya. Pokoknya bisa mandiri, nanti kalo dia agak besar, kan jadi dia bisa mandiri. Gimana pun ya ... pasti terbebani tapi lama-kelamaan si harus pasrah juga dan berusaha juga ". (raut wajah berubah dan mata berkaca-kaca)
SR mengaku segala cara sudah SR lakukan untuk kesembuhan M, dari
tukang urut, pengobatan alternative maupun tradisional. Faktor ekonomi
keluarga yang tidak mendukung membuat SR tidak rnelakukan
pengobatan dan terapi. Bagi SR biaya untuk terapi dan dokter terlalu
mahal, sedangkan terapi harus dilakukan berkali-kali, clan akhirnya SR
mengambil keputusan untuk tidak melakukan pengobatan atau pun terapi.
"Pernah saya ketukang urut, pengobatan alternative, tradisional. Ya .... pokoknya saya udah cobalah, jika orang bilang bawa kesini, ya ... saya coba saja. Anak saya itu su/it berkomunikasinya pemah saya melakukan terapi tapi saya tidak melakukannya lagi. ya ... karena faktor ekonomilah. Buat makan sehari-hari aja dah sulit, be/um lagi bayar hutang tiap bulannya, biaya untuk terapi dan dokter kan tidak cukup dua ratus ribu, itu pun tidak cukup sekali, mesti berkali-kali terapi ".
Keinginan SR adalah menterapi M agar bisa mandiri. Awalnya SR telah
membawa M untuk terapi dan berobat kemana-mana, namun pada
58
akhirnya biaya terapi yang mahal dan suami yang tidak perduli, membuat
SR tidak sanggup membiayai pengobatan M.
" Ya saya si pengennya si diterapi biar anak bisa mandiri dan mengerti tapi biayanya yang terlalu maha/ berat buat saya. Ya ... bapaknya juga cuwek aja, ya ... udahlah ... saya si udah berusaha kemana saja. Ya .. . hasilnya seperti ini, sudahlah. Sa ya pemah membawa ke altematif ya ... gitu deh ... ya kita kan berusaha biar ada perubahan tapi hasilnya seperti itu ya ... udahlah ". (memegang-megang kepa/a)
SR mengaku tidak melarang M untuk mengkonsumsi rnakanan yang
seharusnya tidak boleh dikonsurnsi oleh anak yang menderita autisme.
SR akan memberikan makanan apa saja yang ingin di makan oleh M, baik
itu makanan yang dilarang atau tidak.
"Ya ... saya ma ... apa yang saya makan, ya ... anak saya makan, habis kasihan ka/o dia mau kita engga kasih ".
D. Sikap yang ditimbulkan
SR mengaku bahwa ia termasuk orang yang percaya diri dan optimis.
Kemana pun SR pergi ia selalu mengajak M, bahkan jika bertemu dengan
temannya, SR akan menegurnya. Namun ketika ada orang yang
memperhatikan M dengan tidak wajar, SR mengaku sedih. Bagi SR, ia
tidak pernah memikirkan diri sendiri yang ada dipikirannya adalah anal<.
Terutama M, anak yang menderita autisme.
59
"/ya/ah percaya diri saja (sambil senyum tersipu-·sipu) gimanalah percaya dirilah, ya ... optimis namanyajuga sama anak. Dengan lingkungan biasa/ah, ya ... emanglah sedikit tapi namanya anak diperhatikan orang lain jadi sedih. ( anak yang mfmderita autisme menangis, dipangil, diangkat dipangku, dicium) Kemana-mana saya selalu mengajaknya ke/uar, kemana saja pasti saya bawa. Jika bertemu dengan teman, menegurlah (sambil tertawa dan mengeluse/us anaknya) Saya tidak memikirkan diri saya, yang pasti anakjuga dipikirin, apa Jagi anak udah mulai sekolah (anak nomor satu) be/ajar mandiri buat dia ".
Ketika orang tua dan keluarga SR tahu bahwa M menderita autisme,
mereka bisa menerimanya dengan memberikan dukungan berupa
nasehat pada SR untuk sabar, sedangkan mereka sendiri sebenarnya
tidak tahu apa yang diderita oleh M.
" Orang tua menerima, ma/ah mangasih nasehat pokoknya harus sabar, kata orang tua saya, keluarga juga mengakui dan mendukung cuma saudara tidak tahu penyakitnya apa, cuma orang awam, di /ingkungan ya ... sebagian tahu ya ... apa penyakitnya tergantunglah ".
Dalam pengendalian emosi terhadap M, SR mengaku ia termasuk orang
yang sabar, namun menurut SR kesabaran itu pun ada batasnya, jika
emosi SR tidak terkontrol, SR tidak dapat menahannya, ia pernah
mencubit M.
"Kadang-kadang ada juga emosinya kalo kita engga terkontrol,
kalo kita kontrol ya ... tahan emosinya (tertawa-tawa hem .... hem .. .)
tergantung anaknya kalo dia sulit sekali di bi/angin uh ... bikin saya
kesa/. Bisa di bilang saya sabar tapi kadang-kadang ya ... keluar
juga emosinya namanya juga manusia. Kala memukul tidak
· pemah, tapi kalo cubit pemah habis gemes ":
60
SR mengaku kurangnya dukungan dari lingkungan, namun menurut SR itu
tidak menjadi masalah, selama lingkungan, keluarga dan kerabat tidak
melakukan penolakan bagi M.
"Dukungan engga ya, namanya tetangga paling mereka hanya sebatas tahu yang penting keluarga menerima itu saja, selama ini si lingkungan, keluarga, kerabat baik-baik saja tidak ada penolakan ".
Menurut SR, tidak ada anak yang mau main dengan M. Hal itu membuat
SR membiarl<an anaknya bermain didalam rumah, walaupun sebenarnya
SR tidak menjauhkan M dari lingkungan.
" Engga biasa saja, tidak menjauhkan dari lingkungan, ya ... kalo dia /agi main engga ada yang mau main sama dia, Jadi saya sedih, ya ... saya biarkan saja dia main di rumah ".
SR mengaku pergaulanya di lingl<ungan normal. Menurut SR, dengan
bergaul, SR akan mendapatkan info. Dalam bergaul SR tidak pernah
mengurusi urusan orang lain. Baginya setiap orang memiliki urusan
masing-masing.
" Biasa saja, saya kalo bergaul itu kapan aja, kalo di rumah sudah rapih. Dengan bergau/ ya ... bisa bikin ... , ya ... minimal, kita tahu
info/ah. Di lingkungan pergaulan ya ... biasa aja, mereka-mereka saya-saya ".
61
SR tidak memiliki hambatan dalam berkomunikasi dengan lingkungan atau
pun keluarga, bahkan terkadang SR suka membahas permasalahan M
dengan saudaranya yang lain.
"Komunikasi dengan lingkungan biasa saja, ya ... tergantung. Keluarga juga. (gerak-gerakin tangan) ya ... kalo kita main atau ketemu cuma kadang-l<adang l<ita suka bahas anal< saya. Ya ... tapi l<afo anal< saya autisme biarpun dah l<enal l<aya engga kenal. Ya ... l<alo ngasih solusi si sul<a ".
SR berpendapat bahwa kerjasama antara keluarga dibutuhkan dalam
mendidik dan merawat M.
"Kerjasama, yang pasti l<erjasama dibutuhkan apalagi untuk anak saya, sampai sekarang kerjasama saya dan l<eluarga masin/ah ".
E. Analisis kasus I
Hasil penelitian menggambarkan bahwa gambaran sikap orang tua M
yaitu SR, termasuk individu yang bersikap negatif saat mengetahui M
menderita autisme. Sikap yang ditimbulkan di karenal<an awamnya
pengetahuan SR terhadap autisme. Namun kondisi tersebut tidak
berlangsung lama secara bertahap SR pun dapat bersikap
62
positif terhadap kondisi M. di mana SR dapat menerima kondisi M. atas
kerja sama dan dukungan yang diberikan keluarga, dengan berpositif
thinking terhadap diri, lingkungan dan situasi. Akan tetapi biaya terapi
yang mahal dan keadaan ekonomi yang kurang mendukung membuat SR
tidak melakukan apa pun untuk M, M hanya dibiarkan tinggal di rumah dan
hanya diberikan pendidikan sehari-hari agar M bisa rnandiri untuk
kelangsungan hidupnya.
4.2.2. Kasus II
A. Data Pribadi
a) Anak
J merupakan anak ke empat dari pasangan lbu RH dan Bapak ET.
Dari kelima saudaranya, J adalah anak laki-laki satu-satunya
dikeluarga, tiga kakak perempuan dan satu adik perempuan. Kini
usianya menjelang enam belas tahun. Saat ini .J tinggal dengan kedua
orang tuanya di daerah Kelurahan Makasar Jakarta Timur dan J masih
duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat pertama di SLB Budi Daya
Cijantung kelas dua.
b) Orang Tua
RH adalah lbu rumah tangga berusia empat puluh tujuh tahun, anak
pertama dari tujuh bersaudara ini berpendidikan terakhir SMA. Sehari-
63
hari RH hanya mengurusi keluarga dan kelima orang anaknya. Salah
satunya adalah J penyandang autisme. Kesibukan yang biasa RH
lakukan adalah arisan dan pesta.
B. Pelaksanaan dan observasi saat wawancara
Pelaksaaan wawancara diadakan di tempat yang telah ditentukan oleh
pihak sekolah yaitu di SLB Budi Daya pada hari Jumat, 3 Agustus 2007
tepatnya ruang guru yang berukuran kurang lebih enam kali empat meter
dengan kondisi didalam ruangan terdiri dari beberapa bangku, meja
berbentuk rite! U, dua lemari buku dan satu buah televisi. Keadaan cuaca
di luar cukup panas, namun di ruang guru tidak panas. Tidak ada
kehadiran pihak lain pada saat kami melakukan wawancara karena pada
waktu itu guru-guru sedang mengajar dan murid-murid belajar.
Proses wawancara berlangsung dari pukul 12.30 sampai 16.00 WIB.
Pada saat wawancara RH mengenakan t-shirt berwarna abu-abu dengan
celana panjang kulot hitam, memiliki tinggi seratus enam puluh centimeter
dan berat enam puluh kilogram, berkulit hitam dengan rambut pendek
sebahu, berwajah bulat, membawa tas berwarna hitam dan mengenakan
sepatu sandal tinggi. Selama berjalannya wawancara, RH sering
menggerakkan tangan dan mengaruk kepalanya. Jarak antara penulis
64
dengan RH cukup dekat, di mana posisi duduk RH sebelah kanan penulis
dan cara bicara sopan walaupun dengan nada keras.
RH menyambut penulis dengan ramah dan langsung mempersilakan
penulis untuk melakukan wawancara. Penulis pun m1~mulai dengan
meminta responden untuk mengisi data responden d~in menandatangani
lembar persetujuan responden, wawancara berlangsung dengan santai
walaupun, awalnya RH tidak pernah melihat kearah penulis dan
cenderung menghadap kearah jendela. Akan tetapi setelah bebempa
pertanyaan, RH mulai berani melihat kearah penulis dan wawancara pun
berjalan lancar sampai selesai.
C. Persepsi RH terhadap Autisme
Autisme J terdeteksi ketika J berusia dua tahun, RH melihat ada keanehan
pada J yang belum bisa berbicara pada usia tersebut, sedangkan
kakaknya di usia dua tahun sudah bisa berbicara. RH memutuskan untuk
membawa J ke dokter dan dokter mendiagnosa J menderita autisme. RH
tidak percaya begitu saja, RH pergi kedokter yang lain, dokter tersebut
juga mengatakan J autisme, namun RH tetap tidak yakin dengan hasil
diagnosa dokter-dokter tersebut, sampai akhirnya RH mengajak J ke
psikolog dan hasilnya tetap sama, J menderita autisme.
65
" Ya ... awalnya si waktu umur dua tahun, tidak bisa bicara. Sedangkan kakaknya sudah bisa bicara, ya ... saya bawa ke dokter katanya anak saya menderita autisme. Saya kurang yakin begitu saja mba, saja bawa lagi anak saya itu ke dokter yang berbeda hasilnya sama, (memegang-megang kepala dan tangan di wajah) ya .. karena saya be/um yakin juga saya bawa /agi ke psikolog ya ... hasilnya sama anak saya menderita autisme ".
RH mengaku kaget ketika dokter mendiagnosa J autisme. RH merasa
terbebani dengan apa yang menimpa J. Menurut RH, ketika mengandung
J, pola makan J baik, begitu juga dengan proses melahirkan, tidak
memiliki masalah dan RH pun merawat J dengan baik.
"Sa ya kaget dong mba, ya ... biar gi mana juga apa .. ya ... gi mana ya ... kasihan gitu, dia tidak mandiri, agak bebanlah saya. Merasa terbebani, biar gi mana tidak bisa diajak kompromi, komunikasi kurang bagus, ya ... gi mana lagi, ya ... mba, (tangan diangkat) sedangkan proses kelahiran normal. Sewaktu masih bayi terlihat baik-baik saja dan saya pun merawatnya dengan baik, po/a makan saya waktu hamil juga baik, dia juga waktu bayi saya beri makan yang baik, ya ... saya engga tahu deh mba, saya anggap itu ujian ".
Terapi pernah dilakukan oleh RH, namun terapi itu terhenti semenjak J
masuk SLB, bagi RH biaya terapi terlalu mahal. Yang terpenting bagi RH
J bisa mandiri.
"Dokter menyarankan saya untuk melakukan terapi bagi anak saya, saya pun menterapi anak saya, terapi berl>icara itu kan yang sedang dibutuhkan bagi anak saya, komunikasi itulah yang penting, sekarang ini saya tidak pemah me/akukan terapl semenjak J masuk SLB, biaya terapinya terlalu mahal, yang penting1 J bisa mendiri itu saja ".
66
RH mengaku kemandirian J terlihat, ketika J sudah bisa memilih pakaian
yang akan digunakannya atau ingin dipakainya ke sekolah atau pergi.
Pakaian itu harus berpasangan-pasangan, jika bukan pasangannya J
tidak mau memakainya. Untuk mandi J sudah bisa menentukan kapan
waktunya J mandi. Menurut RH, di saat adzan maghrib untuk sore hari
dan di pagi hari, di saat Ayahnya ingin pergi bekerja tetapi terkadang J
suka mandi bersama Ayahnya.
" Sekarang ini si dia sudah bisa memakai baju sendin dia tahu kapan waktu nya mandi kalo mau pergi saja dia sampai ganti baju yang rapi dan kalo pakai baju itu, dia tuh ... mba sudah punya pasangan-pasangan bajunya jika baju atau celana itu bukan pasangannya dia engga mau, harus dengan pasangannya. Kala mandi ni, pagi biasanya saat Ayahnya mau b1~kerja tapi kadangkadang suka mandi bareng sama Ayahnya apalagi kalo mandi sore dia ngerti banget kalo adzan magrib dia langsung pergi ke kamar mandi mungkin bagi dia itu tandanya kalo adzan sudah saatnya dia mandi, jika ada yang pake itu kamar mandi dia ngedor-ngedor pintu itu, jadi sekarang mba ka/o mau magrib tidak boleh ada yang pake kamar mandi ".
Menurut RH, pola makan J dijaga, namun J terkadang sulit dila1·ann. Jika
RH membuat kue, maka RH akan membuatkan kue khusus untuk J. RH
mengaku jika J makan makanan yang dipantang dan J memakannya, raut
wajah J akan terlihat aneh dan RH mengaku kerepotan.
"Masalah makan mba, saya jika buat kue saya juga bikinin buat dia, ya ... beda mba tahu sendiri kan mba, anak autisme banyak pantangan-pantangannya ada makan-makan tertentu yang tidak boleh di makan tapi terkadang juga dia jajan-jajanan yang tidak
67
boleh di makan ya ... gi mana ya ... mba namanyajuga anak-anak kalo di/a rang dia makin jadi dan penasaran. Biasanya kalo dia makan-makanan yang tidak boleh dia makan clan J memakanya biasanya itu mba dia tuh kumat, itu mba seperti apa ... ya ... mukanya itu Joi gitu deh mba, ya ... biasanya kalo seperti itu saya, saya juga kan yang repot ".
Dalam pengendalian emosi, RH mengaku sulit mengemdalikan emosinya,
di saat RH lelah dan J membuatnya kesal, akan tetapi menurut RH, ia
termasuk orang yang sabar. Biasanya di saat RH sedang marah, mulut
yang berbicara, tangan atau anggota tubuh lainnya tidak melakukan
gerakan (memukul) dan RH berfikir Tuhan tidak adil kepadanya. (kenapa
Tuhan seperti itu kepada saya)
" Ya, kadang marah kalo dah kerja cape J bikin kesa/ di kerasin makin keras uh ... saya kesa/ banget ya ... saya ma ..... si ..... karena merasa lemah sedih kenapa Tuhan seperti itu kepada saya itu saja. Bisa di bilang saya termasuk yang sabar tapi kalo dah dongko/ huh ... Sa ya tidal< pemah memukul, hanya mu/ut saja yang berbicara "
D. Sikap yang ditimbulkan
RH mengaku ia termasuk orang yang percaya diri dan optimis. Namun
semenjak J autisme RH mengaku kurang bebas, terganggu dan menjadi
bahan ejekan orang lain.
"Saya termasuk orang yang percaya diri, (berbicara sambi/ tertawa) ya ..... gi mana si .... agak-agak eh .... eh ... tidak kaya anakanak normal, ya ... kalo menurut saya, saya si optimis ya ... kitakan
jadi ... ini/ah jadi ... engga bebas, tidak bisa bebas terganggu, bahan olokan, ejekan ".
68
Sepengakuan RH, RH dan suami suka mengajak J jalan-jalan, terutama
Ayah J, setiap weekend ia suka sekali mengajak J jalan-jalan. Namun bila
ada acara keluarga atau acara apa pun, J tidak pernah diajak selalu di
tinggal di rumah dan mereka bergantian menjaga J. Vl/alaupun bertemu
dengan teman di saat RH mengajak J, RH mengaku tetap menyapa
temannya tersebut.
"Kato ketemu teman saya menyapa dan sating sering saja, kalo ada yang kurangnya. Saya suka mengajakja/an anak saya ya ... terutama kalo jalan-jalan terutama kalo sabtu diajak jalan-ja/an sama Ayahnya. Kato acara keluarga jauh tidak pemah saya ajak soalnya ya ... mba tahu sendiri anak saya itu tidak bisa diamjadi kalo ada acara arisan atau pesta kita tuh gantian harus ada yang jagain J di rumah. Oulu waktu J masih kecil si membiarkan J main di luar namun semenjak J besaran, dia di rumah saja paling jika dia ingin pergi ya ... perginya dengan saya ".
RH mengaku dipikirannya hanya J, RH tidak pernah memikirkan dirinya
sendiri. Menurut RH, J termasuk orang yang sensitif dan suka akan
musik.
"Saya tidak pemah memikirkan diri saya sendir.i, yang saya pikirkan ya ... anak saya terutamalah, biar anak saya kaya gitu di akan tetap anak saya apalagi kalo dia /agi nonton tv dia selalu sendiri tidak pemah mau ditemanin, kalo lagi ada film yang orang tuanya kasar sama anaknya, dia marah dan nangis mba, ya ... biasanya mba, kalo dia seperti itu, saya diamkan saja. Dia suka sekali musik mba, kalo dia dah suka lagu tersebut, biasanya dia tidak ganti-ganti /agu itu, minta di puterin terus. Dia tuh suka lagu
apa ya mba, saya tahu lagunya tapi kurang tahu siapa yang nyanyi".
RH mengaku orang tua dan keluarga menerima keadaan J, sedangkan
lingkungan bagi RH ia tidak mau tahu, selama ia dengan tetangga baik-
baik saja.
69
" Orang tua ya ... gi mana /ah .. . terimalah, mudah-mudahan dapat bisa mandiri. Keluarga ya ... mereka si sampai sekarang baik-baik saja. Kala lingkungan saya yang pasti ..... lagi pula J sekarang ini pas sudah besaran di da/am rumah aja, kasihan. Pemah mba waktu J pulang sekolah di tanya sama tetangga, J dari mana dia tidak pemah jawab mungkin tetangga jadi bosen kali jadi pada cuwek aja sekarang ".
RH mengaku tidak menjauhkan diri dari lingkungan, walaupun terkadang
RH menjauhkan diri dari lingkungan. Menurut RH, lingkungan kurang
mendukung dengan kehadiran J, sewaktu J masih lcec:il, J suka bermain di
luar rumah, akan tetapi ketika J menjelang dewasa, ,I lebih sering di dalam
rumah. RH tidak perduli dengan lingkungan, selama keluarga dan kerabat
menerima dan suka memberi saran kepada RH.
"Di bi/ang menjauhkan dari lingkungan bisa ya, bisa tidak (tangan di dagu). Oulu si waktu keci/ saya masih membiarkannya main keluar tapi pas sudah agak besaran tidak kayanya si lingkungan kurang mendukung dengan kehadiran anal< saya. Selama ini saya si be/um terbuka sama /ingkungan, situasi lingkungan si biasa saja, bisa di bilang saya si masa bodo dengan lingkungan, kayanya engga ada penolakan terhadap anal< saya, keluarga menerima saja kerabat juga, yang dekat dengan saya menerima ma/ah terkadang memberi saran kepada saya ".
70
RH mengaku pergaulannya di luar rumah di saat arisan atau pesta. Bagi
RH dengan bergaul akan mengurangi kesedihannya. Terutama di saat
RH merasa sedih dengan apa yang terjadi dida!am kehidupannya.
"Pergaulan saya di /uar, biasa saja kalo pulang arisan, ke pesta itu saja umpamanya merasa sedih saya suka bergau/ dengan temanteman saya ke arisan atau kepesta ".
RH mengaku lingkungan, keluarga maupun teman bersikap normal,
komunikasi dan kerjasama RH lakukan selalu bergantian dengan suami,
bagi RH komunikasi dan kerjasama itu penting untuk kelangsungan hidup
J.
"Di lingkungan, ke/uarga maupun teman ya ... biasa saja. Komunikasi juga kerja sama ya ... kerja sama selama ini di saat ada undangan kita bergantian pergi. Kerja sama itu penting untuk mendukung kelangsungan anak saya, kerjasama se/ama ini mu/usmulus saja ".
E. Analisis kasus II
Dari hasil penelitian menggambarkan bahwa sikap orang tua J yaitu RH, di
saat mengetahui hasil diagnosa yang menyatakan bahwa J menderita
autisme, RH dapat dikatakan bersikap negatif, RH memunculkan suatu
reaksi di mana RH merasa terkejut dengan hasil yang diberikan dan selalu
menyangkal atau tidak percaya dengan hasil diagnosa tersebut. Perasan
terbebani pun muncul terhadap kondisi J, yang membuat RH lelah dengan
apa yang menimpah hidupnya. Namun pada akhirnya RH dengan hati
71
lapang walaupun berat untuk menerima kenyataan bahwa anaknya
mengalami gangguan autisme. RH bersikap positif, RH dapat menerima
kondisi J, atas kerja sama dan dukungan yang diberikan keluarga. RH
pun melakukan tindakan yang seharusnya yaitu menterapi anak. Akan
tetapi biaya terapi yang mahal membuat RH tidak melakukan terapi, RH
lebih memiliki menyekolahkan anaknya di sekolah lua1- biasa. Bagi RH ia
hanya ingin melihat J bisa mandiri untuk kelangsungan hidupnya.
4.2.3. Kasus Ill
A. Data Pribadi
a) Anak
A merupakan anak pertama dan anak laki-laki satu·-satunya dari
pasangan lbu EK dan Bapak E. Sekarang ini A berusia delapan tahun
dan duduk di kelas dua SON Gedong 03 Pagi. Bertempat tinggal di
daerah Cipinang Jakarta Timur.
b) Orang Tua
EK adalah anak kedua dari dua bersaudara, seorang lbu rumah
tangga yang berusia tiga puluh lima tahun dan berpendidikan terakhir
S1. Sebelum EK memutuskan untuk menjadi lbu rumah tangga, EK
pernah bekerja disalah satu perusahaan di Jakarta. Namun karena
terlalu menyita waktu dan tidak bisa memberikan perhatian Jebih
terhadap A, akhirnya EK memutuskan untuk berhent.i bekerja dan
72
menjadi lbu rumah tangga. Sedangkan untuk mengisi waktu luangnya,
EK mengajar tari di suatu sanggar tari di Jakarta. l<egiatan mengajar
tari bagi EK cukup untuk membantu pengobatan A, tidal< terlalu
menyita waktu dan dapat mengajak A ketempat sanggar.
B. Pelaksanaan dan observasi saat wawancara
Pelaksaaan wawancara diadakan ditempat yang telah ditentukan oleh
pihak sekolah yaitu di SON Gedong 03 Pagi, tepatnya di ruang lnkluisi
yang berukuran kurang lebih enam kali enam meter dengan konclisi
didalam ruangan terdiri dari satu buah bangku panjan~1, beberapa kursi,
meja berbentuk persegi panjang, tiga lemari besar, tiga lemari kecil,
keyboard, dan delapan unit komputer. Keadaan cuaca di luar cukup cerah
dan didalam ruangan cukup sejuk. Adanya kehadiran pihak lain pada saat
kami melakukan wawancara namun tidak menganggu karena jaraknya
cukup jauh dari tempat duduk kami.
Proses wawancara berlangsung dari pukul 08.00 sampai 11.00 WIS, pada
hari senin, 13 Agustus 2007. EK berbadan sedang memiliki kulit kuning
langsat dengan tinggi seratus enam puluh tiga centimeter dan berat Hrna
puluh delapan kilogram. Pada saat wawancara EK mengenakan baju
berlengan panjang putih dengan motif bordir coklat bercelana panjang
kulot coklat, rambut pendek lurus sebahu, berwajah oval, mempunyai
73
lesung pipit, membawa tas berwarna hitam dan harves hitam dengan
mengenakan sepatu hitam. Kondisi EK pada saat wawancara dalam
keadaan kurang sehat, ia sedang batuk. Jarak antara penulis dengan EK
cukup dekat, di mana posisi duduk EK sebelah kiri penulis dan cara bicara
cukup sopan dengan nada suara halus.
EK menyambut penulis dengan ramah dan langsung rnempersilakan
penulis untuk melakukan wawancara. Penulis pun memulai wawancara
dengan meminta kepada responden untuk mengisi data responden dan
menandatangani lembar persetujuan responden. Wavvancara
berlangsung seiring berjalannya waktu, dan selama wawancara
berlangsung, EK sering menggerakan tangan dan jari-jarinya, dan
cenderung melihat kearah penulis, namun sesekali EK melihat kearah
jendela. Pada saat diawal wawancara, wawancara berjalan lancar,
walaupun A penderita autisme, selalu menghampiri EK. Namun saat
diakhir wawancara, A datang kembali menghampiri EK, dengan membawa
temannya dan terjadi kebisingan yang menyebabkan suara responden
tidak terlalu jelas.
C. Persepsi EK terhadap Autisme
A adalah anak laki-laki berusia delapan tahun, berbadan sedang memiliki
tinggi seratus sepuluh centimeter dengan berat badan dua puluh kilogram,
74
berambut lurus pendek, berkulit putih, berwajah oval clan mempunyai
isung pipit diwajahnya. A merupakan anak yang sensitif dan panikan.
Saa! ini A tinggal dengan kedua orang tua dan neneknya.
Menurut EK, asal mulanya A terdiagnosa autisme, sewaktu A berusia satu
tahun setengah atau satu tahun enam bulan. EK melihat ada keanehan
pada A yang tidak perduli terhadap lingkungan sekitar dan belum juga
bisa berbicara. EK pun memutuskan untuk membawa Ake dokter.
Segala tes pun sudah dicoba, namun hasilnya membuktikan bahwa A
tidak menderita autisme. Keanehan yang terjadi pada A membuat EK
tidak yakin begitu saja dengan hasil tersebut, EK mernutuskan untuk
membawa Ake dokter anak dan remaja, dan dokter rnendiagnosa A
autisme.
"Pertama waktu umur satu tahun setengah, A cuwek aja tidak perduli dengan yang ada di sekitamya tidak seperti anak biasanya. Sa ya bawa ke dokter di Cipto, kemudian saya disuruh untuk menjalankan tes-tes temyata hasilnya nihil kemudian dilanjutkan tes lagi dan hasilnya pun nihil (tangan bergerak-gerak) lalu saya bawa kedokter bagian anak dan remaja, dokter tersebut pun mendiagnosa anak saya menderita autisme ".
Sewaktu pertama kali mendengar A di diagnosa autisrne. EK mengaku
sedikit sedih, namun tetap menerima kondisi A. dengan berdoa dan
mencari tahu apa yang harus dilakukan untuk A.
75
"Perasaan saya saat saya tahu anak saya menderita autisme agak sedih, ya ... saya terima saja, saya hanya berdoa dan mencari tahu apa saja yang dapat saya /akukan untuk anak saya ".
Menurut EK, autisme yang di derita oleh A adalah karena faktor turunan
dari keluarga, EK maupun suami didalam keluarga ada yang mempunyai
gangguan autisme dan EK tidak merasa terbebani dengan apa yar.g
terjadi, EK hanya mengambil hikmahnya.
"Jika di bilang terbebani ya ... engga juga karena sudah turunan dari keluarga saya maupun suami ada yang autisme, autisme dari gen kan, saya hanya ambil hikmahnya saja ".
Menurut pengakuan EK, saran yang diberikan dokter untuk menterapi A,
ia lakukan guna mempermudah A dalam berkomunikasi. Yang awalnya A
hanya melakukan satu terapi yaitu terapi wicara, sekarang ini menjadi dua
terapi yaitu wicara dan sensori.
" Dokter menyuruh saya untuk menterapi anak saya. Saya pun melakukannya, dengan mencari-cari tahu terapi apa yang harus saya /akukan untuk anak saya. Anak saya kan sulit untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Da/am berkomunikasikan diperlukan berbicara, jadi saya memilih untuk te•rapi wicara terlebih dahu/u sampai sekarang, dan sekarang terapinya saya tambah dengan terapi sensori ".
EK mengaku terapi untuk A, ia lakukan empat sampai lima kali dalam
sebulan, namun jika A sedang ujian, terapi bisa dilakukan dua kali
seminggu.
76
"Terapi biasanya saya /akukan empat sampai lima kali dalam sebu/an tapi kalo dia lagi ujian saya bisa terapi dua kali seminggu habis dia terkadang tidak pemah mengisi soal-soa/ yang diberikan jadi saya bawa saja ketempat terapi dan saya /:ianya beranggapan ini ujian dari Allah buat keluarga saya ".
EK mengaku ia memutuskan berhenti bekerja untuk k1~pentingan anaknya
dan mengajar tari merupakan suatu hal yang dapat mi~ngisi waktu
luangnya. Menurut EK, apa yang menimpah hidupnya, ia hanya berfikiran
positif dan beranggapan ini ujian dari Allah.
" Saya selalu betfikir positif dengan apa yang manimpa saya apalagi ini anak satu-satunya, saya akan memperjuangkan, bagi saya ini ujian dari Allah itu saja. Sampai saya berhenti kerjaan demi anak saya itu habis waktu saya masih b1~kerja anak saya butuh perhatian yang /ebih. Ya ... saya memutuskan untuk berhenti saja. Untungnya saya punya kebisa~m saya sel<arang ini mengajar sanggar tari, kalo saya ngajar tari A kan bisa diajak ".
D. Sikap yang ditimbulkan
EK mengatakan bahwa ia termasuk orang yang percaya diri, bahkan
karena kepercayaan diri EK yang berlebihan, sampai EK tidak
mempercayai adanya gangguan autisme, dan membuat dokter
menyarankan EK untuk ke psikolog.
"Bisa di bilang saya percaya diri ma/ah saya pemah bertanya sama doktemya kenapa saya betfikir asal mu/a autisme du/u tidak penah ada yang namanya autisme kenapa sekarang ada dokter? ma/ah
dokter suruh saya ke psikolog katanya saya lebih membutuhkan. Saya sampai di bilang seperti itu ".
Menurut EK, dengan percaya diri, ia optimis mengikuti seminar dan
perkumpulan autisme. EK mengaku ia tahu informasi tentang seminar
dari dokter atau temannya.
77
"Saya si optimis terhadap diri saya. ( tangan bergerak-gerak) Saya selalu ikut seminar-seminar tentang autisme sampai terkadang saya ikut perkumpulan autisme biasanya saya tahu dari dokter atau teman-teman saya dan teman-teman sependeritaan (sama-sama mempunyai anak autisme)".
Ketika EK mengetahui A menderita autisme, EK mengaku aktualisasinya
dengan lingkungan tidak berubah, ia memberikan pen1~ertian pada
lingkungan bahwa A menderita autisme.
"Aktua/isaasi dengan lingkungan biasa saja ma/ah lingkungan saya beri pengertian ka/o anak aya itu autisme, pemah anak say11 di bilang gila "A gila orang gila "A sampai tanya ke saya, mama A memang orang gila ya saya bilang aja engga, A engga gila masa kalo A gila sekolah, anak saya sampai bertanya kaya gitu mba sama saya, kan anak saya itu suka berbicara yang engga jelas bahasa inggris bukan, bahasa apa pun juga engga je/as ya ... biasa lebih di kenal membeo. Ya, gitu kan mba mungkin itu membuat A di bilang gila. Anak saya kan orangnya sensitive mungkin karena pemah trauma kali ya ... waktu itu dia pemah dilempari sesuatu ke tubuhnya jadi dia jarang main dengan sepantaranya dia /ebih suka main dengan orang yang /ebih dewasa dari dia. Mungkin dengan orang dewasa dia /ebih merasa dapat perhatian kali ya ".
78
EK mengaku apa pun akan ia lakukan jika itu bisa membahagiakan dan
keinginan A, walaupun ia hanya mengajak A pergi be~jalan-jalan.
"Saya suka mengajak anak saya pergi apa/agi keinginan A, waktu itu dia ingin naik bus way ya ... saya ajak naik bus way. Ya ... apa/agi yang dapat saya /akukan untuk kebahagiaannya ".
Menurut EK, apabila EK bertemu dengan temannya, EK akan
mengenalkan A kepada temannya itu, dan memberikan pengertian
kepada temannya itu, bahwa A sulit berkomunikasi dan bersosialisasi.
Menurut EK, dengan memberi pengertian orang akan lebih paham dengan
kondisi A.
" Kalo saya bertemu dengan teman ngapain saya ngumpetin anak saya, ma/ah saya mengenalinya ke orang tersebut, menyapa dan memberi pengertian kepada orang itu kalo anak saya autisme tidak bisa bersosia/isasi dengan baik dan komunikasinya juga tidak terla/u baik, mungkin dengan begitu mereka lebih paham dan mengerti dengan kondisi anak saya ".
EK mengaku tidak memikirkan dirinya sendiri, EK justru memikirkan A.
Keluarga yang berbeda pendapat dan .suami yang tidak perduli, membuat
EK stress, namun EK mengambil hikmah dari kejadian tersebut.
"Sa ya justru tidak pemah memikirkan diri saya sendiri yang saya pikirkan justru anak saya, apa yang harus saya /akukan, terapi apa yang baik buat dia apa/agi orang tua dan me1tua yang selalu mendukung saya tapi saya juga ingin merasakan ketjasama dengan mereka. Mereka hanya bisa merongrong saya untuk selalu
79
mencari pengobatan buat anak saya. Yang satu ngomong kaya gini yang satu ngomong gitu, apalagi jika saya l'idak mengajari A be/ajar saya disuruh mengajarinya jika dia tidak bisa-bisa saya ajak keterapi ma/ah saya dimarahi katanya jangan ditekan biarin saja saya jadi binggung tapi terkadang saya biarin saja apalagi bapaknya suami saya dia agak cuwek sama anak saya pemah si dia nganterin terapi tapi ya ... gitu, saya jadi stmss mba, saya engga tahu harus bagaimana ya ... saya ambil hikmahnya saja ".
EK mengaku keluarga dan orang tua menerima dan mengakui
keberadaan A. Sedangkan kerabat, EK memberikan pengertian tentang
apa yang diderita A dan lingkungan menurut EK, ada yang menerima dan
tidak. Bagi EK, ia tidak perduli dengan lingkungan yang beranggapan
negatif terhadap A, yang terpenting A bisa bersosialisasi, dan EK dapat
memperhatikan A, di saat A sedang bermain.
" Orang tua dan ke/uarga mengakui dan menerima anak saya. Kalo lingkungan ada yang menerima ada yang tidak ya ... gitu /ah mba seperti yang tadi saya bilang lingkungan akan membantu anak saya, jadi ka/o ada yang berkata aneh-aneh saya masa bodo aja yang penting anak saya bisa bersosialisasi mau di bilang l<aya gini atau apa pun ya ... masa bodo. Kaya di sini mba (sekolah) ada orang tua yang bilang jangan main sama A, A jangan di temanin ya... saya ma diam saja cape kalo di /adenin memang teman dia saja (ekspresi wajah berubah muka merah) masih banyak yang lain. Saya ma mba melepas aria/< saya saja ke mana pun saya biarin cuma saya perhatikan dan /ihatin saja. Ka/o kerabat saya beri pengertian saja ".
EK mengaku tidak menjauhkan A dari lingkungan. EK membiarkan A
main dengan siapa pun. Namun A lebih suka bermain dengan orang yang
lebih besar darinya. Lingkungan yang kurang mendukung membuat EK
80
tidak memperdulikan orang beranggapan apa pun tentang A. Dengan
memberi pengertian, EK merasa orang al<an paharn dengan l<ondisi yang
sedang dialami A. Seperti yang EK alami di sebuah angkot, di mana EK
harus memberikan pengertian kepada orang yang ada di sebelah EK,
yang melihat tingkah laku A berbeda dengan anak lain (anak normal).
"Semenjak anak saya di diagnosa autisme saya membiarkan main dengan siapa pun. Saya tidak pemah menjauhkan anak soya dari /ingkungan ma/ah saya melepasnya, ya ... hany,9 teman-teman bennainya saja yang suka mengatainya dan tidak mau berrrJain dengannya mungkin juga karena dia suka bem1ain sendiri jadi terkadang temanya cape sendiri. Jika A diajak bicara ia tidak pemah menjawab, sekali ngomong yang keluar bahasa planet. Baru di sekolah ini di bisa merasa enak. Pas masuk seko/ah ini di senang bangat mungkin dia merasa banyak orang yang lebJh besar dari dia ya ... maklumlah A suka sekali main dengan orang yang Jebih besar darinya. Pemah waktu itu kejadian di angkot dia menendang-nendang sampai sebe/ah saya binggung, saya beri pengertian saja sama orang itu anak saya itu a11tisme memang terkadang suka seperti itu bisa dibi/ang lingkungan ada yang mendukung dan tidak. Kala mendukung mereka paham dengan apa yang sedang diderita anak saya ya ... tidak masa bodo ma/ah menjauhkan anaknya dari anak saya ".
Semenjal< pernah memukul A, EK mengaku menyesal dan tidak ingin
mengulanginya lagi, walaupun ia sedang marah dan kesal dengan A, ia
lebih baik menghindar dari A. Menurut EK, kejadian te~rsebut membuat
mental A terganggu.
" Eh si A membuat saya tambah sewot saya puku/ saja pahanya, A jadi diam saja. Semenjak kejadian itu saya menyesa/ dan saya tidak mau mengulanginya Jagi, mental A jadi terganggu jadi kalo
81
saya /agi kesal atau marah saya /ebih baik diam dan menjauh dari A, takutnya kejadian tersebut teru/ang lagi bagi saya itu yang pertama dan terakhir ya ... namanya anak autisme susah dibilangin jika dia suka dengan satu arah dia tidak mau ganti arah yang lain harus lewat arah tersebut. Diberi pengertian dulu baru dia mau ganti arah jika itu dia mau, jika tidak mau dia tetap ingin melewati arah itu tidak mau ganti arah lain ".
EK mengatakan bahwa ia termasuk orang yang sabar, seminar,
pengobatan dan tempat-tempat terapi telah ia jelajahi. Kesabarannya
dijaga untuk menjaga perasaan A yang sensitif dan di saat EK sedang
marah atau kesal dengan A, EK mengaku lebih baik menghindar dari A.
"Bisa di bilang saya termasuk orang yang sabar ke mana pun seminar, pengobatan atau tempat-tempat terapi buat anak autisme sudah saya lakoni buat anak saya. Ya ... tapi hisa di bilang sabar juga engga juga saya hanya berusaha menjaga perasaan anak saya, anak saya kan sensitive jadi kalo saya marah atau kesa/ saya menjauh saja dari dia ".
Menurut EK, bergaul itu dengan siapa saja, baik dengan teman
sependeritaan maupun teman tidak sependeritaan. EK mengaku jika ada
seminar atau tempat terapi yang bagus, EK dan teman-teman saling
berhubungan satu sama lainnya. Bagi EK pergaulan itu penting terutama
lingkungan untuk bersosialisasi.
"Saya bergau/ ya ... biasa saja, (tangan digerakan) bisa bertukar pikiran tentang anak saya mau pun apa pun. Saya berteman dengan sapa saja baik dia teman sependeritaan maupun tidak, saya masih suka berkumpu/ dengan teman-teman saya ya ... campur-campur, jika ada seminar atau tempat terapi yang bagus
82
biasanya kami suka sms an itu bukan sesama penderita saja terkadang teman saya yang tahu kalo anak saya menderita autisme dan ada seminar di mana, mereka suka memberi tahu saya bagi saya pergau/an di mana pun penting terutama lingkungan untuk bersosialisasi ".
EK mengaku komunikasi dengan keluarga selama ini baik-baik saja,
apalagi sewaktu kakek A masih hidup, EK merasa terbantu dengan
kehadiran kakek A. Namun semenjak beliau wafat, EK harus berusaha
sendiri dalam merawat A.
"Komuniksasi dengan keluarga pun tetap /ancar dan kami suka sering bareng apa/agi anak saya dekat sekali dengan kakeknya sebelum beliau wafat. Dengan kakeknya dia suka sekali main ya ... namanya juga kakek dengan cucunya gi mana si mba .... Semenjak kakeknya meninggal si beban saya ma/ah ya be1tambah, biasanya A bisa main dengan kakeknya sekarang tidak, jadi saya saja yang ngurusin sendiri bagi saya ya ... sudah /ah ambil hikmahnya saja ".
EK mengaku kurangnya kerjasama dengan keluarga, pi~rbedaan
pendapat selalu terjadi di antara mereka. Menurut EK, ia memerlukan
kerjasama untuk merawat dan mendidik A.
"Bisa di bilang ke!jasama itu perlu tapi orang tua saya hanya bisanya merongrong saya untuk melakukan ini itu ".
E. Analisis kasus Ill
Hasil penelitian membuktikan bahwa gambaran sikap orang tua A yaitu
EK, termasuk individu yang dapat bersikap positif di saat mengetahui
83
bahwa anaknya menderita autisme. Sikap positif EK, rnembuat EK
melakukan tindakan yang semestinya yaitu menterapi A, tidak
mendengarkan apa kata orang lain dan memberikan pengetian kepada
orang lain bahwa anaknya menderita autisme. Dengan EK dapat
menerima kondisi A, atas dukungan yang diberikan keluarga, membuat
sikap positif EK terhadap autisme bertambah walaupun EK merasa
kurangnya kerja sama antara keluarga dalam merawat dan mengurusi A.
Bagi EK ia hanya ingin melihat A bisa mandiri untuk l<elangsungan
hidupnya.
4.3. Analisis antar kasus
Analisis antar l<asus digunal<an untul< membandingl<an aspel<-aspek yang
dilihat antara responden dengan melal<ukan analisis terhadap tiap kasus.
Yang akan dilakukan selanjutnya adalah analisis banding lintas l<asus,
yang berfungsi untuk membandingkan kasus satu dengan kasus yang
lainnya, guna mengetahui sejauhmana persamaan, perbedaan yang
saling melengkapi dan kontradil<si kasus tersebut sehin9ga nantinya akan
terlihat perbedaan dan persamaannya.
Dari beberapa kasus di atas, antara satu subjek dengan yang lainnya
memiliki sikap yang berbeda terhadap kondisi anak rnereka yang terkena
autisme. Seperti pada kasus I, pada awalnya orang tua M bersikap
negatif terhadap kondisi M dan dalam proses bersil<ap positif, orang tua
membutuhl<an waktu untul< dapat menerima anak mereka seutuhnya.
Sikap negatif itu tidak ditunjukkan dalam tindakan mereka kepada anal<
yang menderita autisme.
84
Pada kasus II, orang tua bersikap negatif saat mengetahui anak mereka
menderita autisme, orang tua J pun menyangkal atau tidak percaya yang
membuat orang tua mencari beberapa ahli, sehingga orang tua baru
menyadari faktah dan kenyataan yang ada dengan hasil diagnosa
tersebut. Pada akhirnya orang tua bersil<ap positif walaupun berat untuk
menerima l<enyataan anaknya mengalami gangguan autisme, dalam
kasus II ini proses bersikap positif orang tua membutuhkan waktu yang
lama untuk dapat menerima kondisi anak.
Kasus Ill, ini benar-benar sangat berbeda dengan dua kasus yang terjadi
dengan orang tua M dan J, karena dalam hal ini orang tua A benar-benar
bisa langsung bersikap positif di saat mengetahui analmya menderita
autisme dan berusaha secepat mungk.in mencarikan jalan yang terbail<
untul< anaknya yang menderita autisme.
Tabel 4.3. Perbandingan lintas kasus
3 komponen yang digunakan yaitu
Sikap kognitif, afeksi dan konatif
SR RH EK
Negatif ~ ~
Positif ~
--
Meskipun ketiga subjek memiliki sikap yang berbeda di saat mengetahui
hasil diagnosa dokter. Akan tetapi ketiga subjek dapat melalui
serangkaian proses untuk dapat menerima anaknya yang menderita
autisme, melakukan tindakan dini yaitu menterapi anak mereka
merupakan salah satu hal sikap orang tua dalam bertindak positif
terhadap kondisi anak.
Sikap menurut hasil penelitian
Sikap dapat dikatakan sebagai suatu respon yang hanya timbul apabila
individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya
reaksi individual, yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam
bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak
menyenangkan, yang kemudian menjadi potensi reaksi terhadap objek
sikap. Ternyata yang ditemukan di lapangan sesuai dengan kenyataan,
dalam bersikap orang dapat bersifat positif atau negatif. Di mana sikap
85
86
positif, kecenderungan tindakan yaitu mendekati, menyenangi,
mengharapkan objek tertentu sedangkan sikap negatif terdapat
kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak
menyukai objek tertentu. Namun sikap orang tua yang mempunyai anak
autisme ternyata awalnya mereka bersikap negatif tetapi seiring
berjalannya waktu mereka pun dapat bersikap positif terhadap kondisi
anak.
BAB5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab lima ini penulis akan menyajikan diskusi-diskusi mengenai hasil
yang sudah diperoleh dari hasil penelitian, serta rekomendasi apabila ada
yang melakukan penelitian serupa agar pada penelitian selanjutnya
menjadi labih baik dan data yang diperoleh juga menjadi akurat.
Dari penjelasan yang diuraikan pada bab-bab terdahulu, penulis
menganalisis berbagai permasalahan yang dikemukakan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian menggambarkan bahwa:
1. Sikap orang tua yang mempunyai anak autisme ketika pertama kali
mengetahui anaknya menderita autisme adalah negatif.
2. Timbulnya perasaan sedih, penyangkalan, penolakan, marah dari diri
orang tua. Serta rasa malu yang secara tidak langsung timbul pada
diri orang tua yang memiliki anak autisme ketika berhadapan dengan
lingkungan sekitarnya.
88
3. Ketiga subjek memiliki pola fikir yang sama dalam diri sendiri,
lingkungan, maupun situasi. Mereka tidak memikirkan diri mereka
sendiri, yang ada dipikiran mereka adalah anak dan keluarga. Situasi
yang kurang mendukung dan lingkungan yang tidak perduli terhadap
kondisi penderita membuat mereka tidak perduli deingan situasi.
4. Sikap positif orang tua M dan J setelah mengetahu1 anaknya menderita
autisme yaitu melakukan upaya yang terbaik untuk perkembangan
anak yang bisa dilihat dengan hilangnya rasa malu mempunyai anak
autisme. Tetapi tidak pada orang tua A karena orang tua A bersikap
positif sejak pertama kali mengetahui bahwa A menderita autisme.
5. Setelah mengetahui anaknya menderita autisme orang tua M, J dan A
memberikan perhatian yang lebih kepada anaknya yang menderita
autisme dengan merawat maupun menjaga anak di masa
pertumbuhan mereka. Orang tua A memberikan terapi untuk
mempermudah anaknya yang menderita autisme agar lebih bisa
berkomunikasi, bersosialisasi dan berinteraksi den~1an baik. Selain itu
orang tua A juga memasukan A ke sekolah reguler dengan maksud
agar lebih bisa berinteraksi dengan anak normal. Meskipun orang tua
M dan J tidak bisa memberikan terapi, di karena keterbatasan
keuangan yang dimiliki oleh orang tua M dan J, walaupun begitu
orang tua J pernah menterapi J akan tetapi J berhenti terapi dan orang
tua J memilih memasukkan anaknya ke sekolah luar biasa untuk
89
kemajuan serta perkembangan dan menambah wawasan anak itu
sendiri. Sedangkan untuk orang tua M tidak mernasukan anaknya ke
sekolah mana pun di karenakan faktor ekonomi yang tidak
rnendukung.
5.2. Diskusi
Hasil penelitian yang telah dilakukan rnenggarnbarkan bahwa ketiga
subjek rnerniliki sikap yang berbeda di saat mengetahui anaknya
menderita autisme, yaitu bersikap positif atau negatif. Awalnya orang tua
bersikap negatif setelah mengetahui anaknya menderita autisme, namun
seiring berjalannya waktu sikap negatif pun berubah menjadi positif di
mana ketika ketiga subjek mengerti apa itu autisme. Pada saat ketiga
subjek sedang mengalami kesulitan bersikap positif, ketiga subjek harus
berani melawan rasa malu yang dihadapi. Secara bertahap, sedikit demi
sedikit akan menimbulkan sikap positif dengan seiring berjalannya waktu.
Sikap terbentuk terutama atas dasar kebutuhan-kebutuhan yang kita miliki
dan informasi yang kita terima mengenai hal-hal tertentu. Satu pertiganya
merupakan faktor yang terkait yang berperan dalam pembentukan sikap.
Tiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda yang ada pada individu
masing-masing. Sikap di dalam kehidupan sela!u men!~alami perubahan
dan perkernbangan. Kecenderungan berreaksinya sikap, rnerupakan
90
penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Reaksi sikap selalu
berhubungan dengan senang dan tidak senang dan keadaan yang serupa
itu berjalan menurut pola-pola tingkah laku yang khas dan berhubungan
dengan reaksi emosional yang bersangkutan. Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan apabila kualitas sikap dari segi intensitasnya berbeda
beda, kurangnya daya dari kekuatan stimulus, dan keadaan fisik dan jiwa
(emosi dan motivasi) individu tidak sama.
Dan dari hasil penelitian ditemukan, bahwasanya bersikap positif
sangatlah sulit butuh keyakinan yang besar terhadap diri sendiri maupun
terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Sikap didefinisikan
kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal
tertentu yang sikap ini dapat bersifat negatif mau pun positif.
(Sarlito W. S, 1996)
Chaplin (2006), mendefinisi sikap (attitude) adalah satu predisposisi atau
kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung t13rus menerus untuk
bertingkah laku atau untuk merespon dengan satu cara tertentu terhadap
pribadi lain, atau persoalan tertentu.
Dalam bersikap terhadap kondisi anak yang dimiliki dari ketiga subjek
pada umumnya bail<, namun kondisi yang membuat subjek menjadi
91
bersikap negatif. Hal ini dikarenakan awamnya masyarakat terhadap
autisme dan kurangnya subjek memberikan pengertian terhadap orang
lain tentang apa itu autisme, dengan begitu minimal orang lain dapat
menggerti dengan apa yang dialami subjek terhadap kondisi anak subjek.
Tidak mudah bagi orang tua untuk bersikap positif dengan keadaan anak
yang menderita autisme seperti yang terjadi pada orang tua M dan J.
Ketidaknormalan yang menimpa anak mereka membuat orang tua secara
tidak langsung malu dengan kondisi anak mereka, bin~1ung, cemas, dan
rasa khawatir yang sangat berlebihan di masa yang akan datang terhadap
masa depan anak itu sendiri karena ketidaknormalan yang dialami oleh
anak mereka.
Mengacu pada tujuan penelitian yang ingin melihat bagaimana sikap
orang tua yang anak menderita autisme ditemukan bahwa satu dar, tiga
orang tua yang anaknya menderita autisme bersikap positif setelah
mengetahui anaknya menderita autisme.
5.3. Saran
Berdasarkan uraian diskusi di atas, maka penulis menganjurkan saran
saran untuk perbaikan dan pengembangan penelitian selanjutnya, sebagai
berikut:
1. Pada penelitian ini penulis mengambil sampel sebanyak tiga orang.
Pada penelitian selanjutnya jumlah sampel dapat ditambah agar
mendapatkan hasil yang lebih baik, serta dapat mewakili jumlah
sampel dan luas wilayah sampelnya.
2. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode ~;tudi
kasus sehingga penelitian ini tidak dapat dijadikan tolak ukur atau
digeneralisasikan terhadap sikap orang tua yang mempunyai anak
autisme.
3. Pada penelitian ini, penulis mengunakan wawancara sebagai
instrument dalam pengumpulan data, pada penelitian selanjutnya
dapat ditambah dengan instrument lain seperti kuesioner atau skala
sikap sebagai data penunjang sehingga didapat lebih valid dan
reliable.
92
4. Perlunya diadakan seminar-seminar tentang autisme, agar orang yang
awam tentang autisme menjadi menggerti apa itu autisme.
5. Dibuatnya perkumpulan dan pusat terapi autisme untuk orang-orang
yang mempunyai ekonomi lemah. ·
6. Keluarga atau orang tua hendaknya melakukan konsultasi dengan
dokter anak atau mencari informasi dari sumber-sumber yang dapat di
percaya berkaitan dengan gangguan yang diderita anaknya, agar
dapat memperoleh penanganan atau perawatan yang baik.
7. Masyarakat hendaknya tidak mengolok-olok jika ada seseorang yang
mengalami ketidaknormalan seperti autisme, karena justru akan
memperberat keadaan baik itu keluarganya maupun anaknya.
8. Memberikan pengertian kepada orang lain akan membantu
menggurangi rasa malu terhadap kondisi anak penderita autisme.
9. Perbanyak pengetahuan tentang autisme dan malu terhadap kondisi
anak jangan dijadikan alasan untuk tidak bergaul dengan lingkungan.
93
10. Hendaknya jangan bersikap negatif saat menden9ar hasil dia9nosa
dokter karena akan merugikan diri dan anak, bersikaplah positif
dengan apa yang menimpah hidup dan orang tua harus lebih mengerti
dengan apa yang sedang diderita anaknya.
. DAFT AR PUST AKA
Abd. Rachman Abror. (1993). Psikologi Pendidikan. Yogaya: PT. Tiara Wacana
Agus Suryana. (2004). Terapi AutismeAnak Berbakat & Anak Hiperaktif. Jakarta : Progres.
Simo Walgito. (2002). Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta : ANDI.
Chaplin, JP. Kamus Lengkap Psikologi. Kartini Kartono (terj. 2006). Jakarta: Raja Grafindo.
Dowshen, Steven A, dkk. (2004). Panduan Kesehatan Balita; Petunjuk Lengkap Untuk Orang Tua. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persacla.
Faisal Yatim. (2003). Autisme; Suatu Gangguan Jiwa pada Anak-Anak. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
Hasan Alwi, dkk. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Depdiknas.
Hasan, dkk, (1990). Kamus lstilah Psikologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
H. Abu Ahmadi. (2002). Psikologi Sosial:Edisi Revisi. Jakarta : PT. Rinelrn Cipta.
Kaplan, Harold I, dan Sadock, B.J. (1996). Pocket Handbook of Clinical Psychiatry. Maryland : Williams & Wilkins.
Kristi Poerwandari, (2001 ). Pendekatan Kualitatif untuk Pem~litian Peri/aku Manusia. Depok : LPSP3 UL
Lexy J Moleong. (2004). Metode Penelitian Kua/itatif. Bandung : Remadja Karya CV.
Mardalis. (2006). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
M. Ngalim Purwanto. (1992). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muhibbin Syah. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Press.
Robert K. Yin, (2000). Studi Kasus. Jakarta: Raja Grafinclo.
Rudi Maslim. (2001 ). Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-111. Jakarta : Bagian llmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Saifuddin Azwar. (2003). Sikap Manusia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sarlito Wirawan Sarwono. (1996). Pengantar Psiko/ogi Umum. Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Sudarwan Danim. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Suharsimi Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian : Suatu Pencfekatan Praktek. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Triantoro Safaria. (2005). AUTISME : Pemahaman Baru untuk Hidup BermaknaBagi Orang Tua. Yogyakarta : Graha llmu.
W. A. Gerungan. (2004). Psikologi Sosia/. Bandung : Refika Aditama.
Website
http://autism.blogsome.com/2006/09/1 O/deteksi-dini-autis/
http://www.dikdasmen.depdiknas.go.id/html/plb/plb-kebijakan-sim_autis-2.htm
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/05/11 /Kesehatai/kes01.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/26/konsumen/644 796.htm
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah mengatakan kesediaannya
untuk menjadi responden dalam penelitian yang berjudul " Gambaran
Sikap Orang Tua yang Mempunyai Anak Autisme ". Saya bersedia di
wawancara tanpa paksaan dari siapapun.
Lembar persetujuan responden
Nam a
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Hubungan dengan Penderita
Ala mat
Jakarta, Agustus 2007
Data Responden
lnisial
Usia
Agama
Suku Bangsa
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Jumlah Anak
DATA RESPONDEN
Data Anak yang Menderita Autisme
lnisial
Usia
Agama
Suku Bangsa
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Subjek
Wawancara ke
Tempat
Tanggal
Jam
Catatan Lapangan
LEMBAR OBSERVASI
s/d
1. Keadaan tempat wawancara, cuaca, dan kehadiran pihak lain
ditempat wawancara
2. Gambaran fisik penampilan subjek.
3. Perilaku subjek selama jalannya wawancara
4. Ringkasan awal dan akhir wawancara
5. Gangguan atau hambatan selama wawancara
6. Catatan khusus selama wawancara
PEDOMAN WAWANCARA.
Blue Print wawancara
Komponen Sikap
Sikap
Kognitif Afeksi K.onatif
11, 12, 13, 14, 16, 15, 22, 23, 24, 25, 3·1, 32, 33, 34, 35,
17, 18, 19,20,21 26, 27,28, 29, 30 36,37, 38,39,40
I I
Nama (lnisial)
Jenis Kelamin
Usia
Agama
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Status Autisme
PEDOMAN WAWANCARA
1. Asal mulanya anak anda menderita autisme?
2. Apa yang membuat anda tahu bahwa anak anda menderita
autisme?
3. Waktu pertama kali anda tahu, anak anda menderita autisme apa
yang anda lakukan?
4. Siapa orang yang pertama kali anda beritahu, ketika anak anda
didiagnosa menderita autisme? ·
5. Bagaimana perasaan anda saat anda tahu anak anda didiagnosa
menderita autisme?
6. Apakah anda percaya begitu saja dengan hasil diagnosa dokter?
7. Apa anda merasa terbebani karena anak anda menderita autisme?
8. Apakah anda percaya diri?
9. Bagaimana kepercayaan diri anda saat anda tahu anak anda
didiagnosa menderita autisme?
10. Apakah anda o;:itimis terhadap kepercayaan diri anda itu?
11. Bagaimana kemampuan diri ada dalam beraktualisasi dengan
lingkungan sekitar anda semenjak anak anda menderita autisme?
12. Apakah anda suka mengajak anak anda yang menderita autisme
pergi keluar rumah?
13. Jika anda bertemu dengan teman anda apakah anda akan
mengumpeti anal< anda?
14. Apakah anda hanya memikirkan diri sendiri pada saat anda tahu,
anal< anda menderita autisme?
15. Bagaimana pengakuan orang tua, keluarga, lingkungan dan
kerabat terhadap anal< anda yang menderita autisme?
16. Bagaimana tanggapan diri anda saat anda tahu anal< anda
didiagnosa autisme?
17. Apakah anda berpikir positifterhadap diri anda sendiri dengan apa
yang terjadi pada anal< anda?
18. Apa yang anda lakukan terhadap diri anda untuk bisa menerima
anak anda yang menderita autisme?
19. Apakah semenjak anda tahu anak anda menderita autisme anda
menjauhkannya dari lingkungan sekitar?
20. Apakah lingkungan memberikan dukungan terhadap anal< anda
yang menderita autisme?
21. Bagaimana situasi sekitar tempat tinggal anda, semenjak mereka
tahu anak anda menderita autisme?
22. Apakah anda mau menerima anal< anda yang menderita autisme?
23. Bagaimana penerimaan keluarga, keluarga, lingkungan dan
kerabat terhadap anak anda yang menderita autisme?
24. Apakah dalam keluarga, lingkungan dan kerabat terjadi penolakan
terhadap anak anda yang menderita autisme?
25. Bagaimana tindakan anda setelah anda tahu anak anda menderita
autisme?
26. Apa yang membuat anda untuk melakul<an tindakan itu?
27. Bagaimana emosi anda saat anak anda yang menderita autisme
sulit untuk diajari?
28. Apakah emosi anda akan tidak terkontrol jika anda sedang
bersama anak anda yang menderita autisme?
29. Apakah emosi itu akan selalu tfmbul?
30. Kapan biasanya emosi anda itu akan datang la~ii?
31. Bagaimana pergaulan anda diluar?
32. Kapan biasanya anda bergaul dengan teman-teman anda?
33. Apakah bergaul mernbuat anda percaya diri?
34. Bagaimana pergaulan anda semenjak anda dan lingkungan tahu
bahwa anak anda menderita autisme?
35. Bagaimana komunikasi keluarga semenjak anak anda didiagnosa
autisme?
36. Kapan biasanya anda berkomunikasi dengan keluarga
menyangkut anak anda yang autisme?
37. Bagaimana kerjasama keluarga dan lingkungan dalam
menghadapi anak anda yang menderita autisme?
38. Apakah kerjasama benar-benar dibutuhkan bagi si anak autisme?
39. Kapan biasanya kerjasama itu dibutuhkan?
40. Apakah kerja sama anda dan keluarga selama ini berjalan mulus
dalam menghadapi anak anda yang autisme?
1) J.<;J:' AH. fEJYlEN AG AlVlA UNIVERSITAS ISLAM NEGEH.I (UIN) SY ARIF HIDA YATULLAH JAKARTA
FAKULTAS PSIKOLOGI
JI. Kcrta Mukti No.5 Circndc J:ilrnrta Sclatan 15419 Tclp. (021) 7433060 Fax. 74714714
Nomor Lamp. Hal
: Ft. 71/0T.01.7/1--SlJ NI/2007 Jakarta, 12 Juni 2007 ,.
: Izin Pcneli ti an
Kcpacla Yth. Kepala Yayasan Pendidikan Klrnsus Budi Daya SLB B & C di Jakarta
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat, kami smnpaikan bahwa :
Nam a Tempat/Tgl Lahir Alamat
Neneng Hasanah Jakarta, 2 Februari 1984 Jl.Bulak Sari Gg Cengkeh No.5 Rt7/10 Pckayon Ps.Rcbo Jak-Tim
aclalah bcnar mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif!-liclayatullah Jakarta
Semester Nomor Pokok Tahun Akadcmik Program
VIII (Delapan) 103070029008 2006/2007 Strata 1 (S-1)
Schubungan dcngm1 tugas pcnyelcsaian skripsi yang berjudul ·: "Gambaran Sikap Orang Tua yang Mcmpunyai Anak Autismc" mahasiswa tersebut memerlukan izin penelitian di Jcmbaga yang Bapak/lbu/Saudara pirnpin. Oleh karena itu kami mohon kesediam1 Bapak/lbu/Saudara untuk menerima mahasiswa tersebut clan memberikm1 bantummya.
Demikian atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu/Sauclara kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
A.n. Dekan . > 'Pembantu Dekan
:,.,'··.·.'':': ·' BidangcEJllemik \~/ '; !, _/ \,;;\,: ,1 <2 (0
DEPARTEIVIEN AGAJ\1A UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS PSIKOLOGI
JI. Kcrla Mukli No.5 Circndc Jalrnrla Sela tau 15419 Tclp. (021) 7433060 J.i':ix. 74714714
---Nomor : Ft. 71/0T.01.7/.97 'f<l/Vlll/2007 Lamp. Hal : lzin I' encl itian
Kepadc1 Yth. Kcpala Sckolah SD Gcdong 03 l'agi di Jakarta
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat, kami sampaikan bahwa :
: Neneng Hasanah : Jakarta, 2 Februari 1984
Jakarta, 7 Agustus 2007
Nam a Tempat/Tgl Lahir Alamat Jl.Bulak Sari Gg Cengkeh No.5 Rt7/10
Pekayon Ps.Rebo Jak-Tim
aclalah benar malrnsiswa Fakultas Psikologi U!N Syar.ifl-Iiclayatullah Jakarta
Semester Nomor Pokok Talmn Akademik Program
Vlll (Delapan) 103070029008 2006/2007 Strata 1 (S- I)
Sehubungan dengan tugas penyelesaian skripsi yang berjudul : "Gambaran Silrnp Orang Tua yang Mcmpunyai Anak Autismc" mahasiswa tersebut memerlukan izin penelitian di lembaga yang Bapak/lbu/Saudara pimpin. Oleh karena itu kami mohon kesc:diaan Bapak/lbu/Saudara untuk menerima mahasiswa tersebut dan membcrikan bantuannya.
Demikian atas perhatian clan bantuan BapakJ!bu/Saudara kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
A.n. Dekan Pembantu Dekan
u i~ , . Bida1fA1r1emik
:1 d (ii " ,1z " d
Y/\YASAN,l'l~NDID!l<./\N BUDI DAYA l\;\Slll
SEI(OLAH LUAR BIASA BAGIAN TUNA GRAI-IITA
"BUDI DA''iA" www.slb budidaya.nct
-J 1\ LAN RA YA BOGOR i<.M 24,5 Tl:OLP. 84000 I I C!J/\NTUNG - Ji\ !CARTA TIMUR
SURAT KETERANGAN NO: 012/SLB C/BD/8-07
Yang bertanda tangan clibawah ini Kcpala SLB C Budi Daya Cijantung, Kee. Pasar Rebo Jakarta Timur, menerangkan bahwa :
Namn NIM Jurusan Fakultas Univcrsitas
: NENENG HASAN/\H : 103070029008 : l'sikologi : Psikologi : Univ. Islam Ncgcri Syarifl-Iidayalullah Jakarta
Aclalah bcnar nama terscbut di atas tclah mclakukan penelitian untuk tugas akhir perkuliahan (skripsi) di SLB C Budi Daya Cijantung Jakarta Timur dengan judul " Gambaran Sikap Orang Tua yang Mcmpunyai Annk Autismc ".
Demikian Surat Kcterangan ini kami buat agar dapat digunakan sebagaimana mcstinya.
PEMERINT.11.H DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
SD~\\l GEDONG 03 PAGI JI. Raya Conde\ l<el. Gedong l<ec. Pas:1r Rebo Jakarta Timur ·
NSS: 101016404106 / NIS: 100210
No : 582/073.554/SD/G.OJ/lX/2007 Lamp Hal : Pcmberian Izin Pcnclitian
Assalainu Alaikurn Wr. Wb
Telp. (02.1) 8414345
Kcpacl11 \'th: !bu Dra. Zahrotun Nihayab,M.Si Pernbantu Dektrn Bidang Akudemik Fakultus Psikologi Univcrsitas Islam Ncgeri Syarif Hidayntullah
Mcmpcrhatikan surat no. FT.7 l/OT.01.7/2742/Vll/2007 yang ditujukt.n kcpada Kcpala SDN Gcdong 03 Pagi, Pasar Rcbo, Jakarta Timur, maka saya memberikan izin pcnclitian kepada mahasiswa :
Nam a NIM Semester Fakultas Jurusnn
: Neneng Hasanah : I 03070029008 : Vlll ( dclapan ) : Psikologi : Psikologi
Dcngan judul pcnclitian " Gambaran Sikap Orang Tua yang Mcmpunyai Anak Autisme ", tclah melakukan pcnclitian di SDN Gcdong 03 Pagi. Dcmikian sural ini di buat untuk clipergunakan dengan sebagaimana mcstinya.
Wassalamu Alaikum Yfr.Wb