16
Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Jender dalam Hubungan Internasional DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA PENGARUH REVOLUSI PEMERINTAHAN MESIR 2011 PADA POSISI WANITA DI NEGARA TERSEBUT Binar Sari Suryandari 1006664685

Gender in Egypt

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gender in International Relations (Case: Egypt)

Citation preview

Page 1: Gender in Egypt

Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Jender dalam Hubungan Internasional

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH REVOLUSI PEMERINTAHAN MESIR 2011 PADA POSISI WANITA DI NEGARA TERSEBUT

Binar Sari Suryandari 1006664685

Page 2: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mesir merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Timur Tengah dan Afrika

bagian utara. Sebagai salah satu negara di dunia yang mayoritas penduduknya adalah

muslim, hampir serupa dengan negara-negara muslim lainnya, sistem pemerintahan dan

politik di Mesir pun juga diwarnai dengan unsur-unsur budaya agama Islam. Implementasi

sistem pemerintahan dan politik yang dituangkan dalam peraturan-peraturan suatu negara

tentunya memiliki pengaruh pada rakyat negara tersebut, termasuk pada wanita. Budaya

agama Islam seringkali dikatakan akan sangat sulit dapat berjalan beriringan dengan

feminisme yang pada dasarnya ingin menciptakan kesetaraan jender dan mengadvokasi

posisi wanita dalam masyarakat. Namun demikian, jika dibandingkan dengan negara-negara

muslim lainnya, nyatanya Mesir merupakan negara muslim yang cukup fleksibel dalam

pemberian hak-hak bagi kaum wanita. Hal ini ditunjukkan dalam kebebasan bagi wanita

Mesir untuk menempuh pendidikan dan bahkan berpartisipasi politik di negara tersebut.1

Kondisi ini mengindikasikan bahwa keadaan wanita dan kebebasan hak wanita di Mesir

sudah lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara-negara muslim lainnya.

Perbedaan kebebasan wanita di Mesir dengan di negara-negara muslim lainnya tersebut pada

dasarnya diperoleh dari usaha kaum feminis dan aktivis wanita Mesir selama berpuluh-puluh

tahun.2

Pada Januari 2011 lalu, Mesir mengalami sebuah revolusi pemerintahan yang didalangi

oleh aksi demonstrasi masyarakat dan berujung pada tergulingnya rezim otoriter Husni

Mubarak. Pergolakan politik di Mesir ini pada dasarnya dikenal sebagai salah satu bagian

dari gelombang „Arab Spring‟ yang terjadi di negara-negara kawasan Arab dan Timur

Tengah. Apa yang terjadi di Mesir tersebut pada dasarnya menunjukkan bagaimana

masyarakat Mesir menuntut terjadinya revolusi pemerintahan dan demokratisasi demi

terwujudnya kehidupan mereka yang lebih baik. Aksi-aksi masyarakat untuk menggulingkan

1 Sally Baden, “The position of women in Islamic countries: possibilities, constraints and strategies for change” dalam BRIDGE (Development-Gender); Report No.4, (Brighton: Institute of Development Studies, September 1992), hlm. 31. 2 Nemat Guenenna dan Nadia Wassef, Unfulfilled Promises: Women’s Rights in Egypt (New York: Population Council, 1999) hlm. 1.

Page 3: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

2

rezim Mubarak di Mesir ini nyatanya dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik pria

maupun wanita. Fenomena keterlibatan wanita yang cukup signifikan dalam aksi

demonstrasi di Mesir ini tentunya menarik perhatian. Sebagai negara muslim yang cukup

fleksibel dalam pemberian hak-hak pada wanita, keterlibatan wanita dalam demonstrasi ini

mengindikasikan keganjilan pada segala kebebasan yang telah dinikmati oleh wanita Mesir.

Fleksibilitas pemerintahan di bawah rezim Mubarak nyatanya belum cukup bagi wanita

Mesir hingga kaumnya masih menuntut terjadinya revolusi dan perubahan di negara

tersebut.

Aksi demonstrasi masyarakat Mesir ini akhirnya membuahkan hasil. Rezim otoriter

Husni Mubarak berhasil terguling dan tidak lagi berkuasa di Mesir. Namun demikian,

apakah revolusi ini berdampak manis pada keberadaan dan posisi wanita di Mesir? Hal

inilah yang hingga saat ini masih diperdebatkan dan banyak diperbincangkan. Pasca

tergulingnya rezim Mubarak, banyak media yang menyebarkan kabar bahwa hak-hak wanita

yang telah dijamin dan dilanggengkan di bawah rezim Mubarak sebelumnya justru saat ini

terancam untuk dihapuskan. Hal ini tentunya bertentangan dengan esensi dari revolusi dan

demokratisasi yang awalnya ditujukan untuk penciptaan kondisi masyarakat serta

peningkatan penjaminan kebebasan hak yang lebih baik.

Fenomena revolusi pemerintahan di Mesir dan pengaruhnya pada perkembangan

pergerakan wanita di negara tersebutlah yang pada dasarnya menarik perhatian penulis dan

mendorong penulis untuk mengangkat fenomena tersebut sebagai topik makalah untuk mata

kuliah Jender dalam Hubungan Internasional ini. Dalam makalah ini, penulis akan berusaha

menjelaskan mengenai perkembangan pergerakan wanita di Mesir dan kaitannya dengan

revolusi pemerintahan yang terjadi di negara tersebut pada 2011 lalu. Penulis ingin

mengetahui lebih jauh bagaimana perkembangan pergerakan wanita Mesir sebelum revolusi

terjadi, peran wanita pada terwujudnya revolusi, hingga bagaimana hal tersebut berpengaruh

pada pergerakan dan peran wanita Mesir hingga saat ini.

1.2 Pertanyaan Permasalahan

Dalam makalah ini, pertanyaan yang berusaha dijawab adalah “Bagaimana revolusi

pemerintahan Mesir tahun 2011 lalu mempengaruhi perkembangan pergerakan

wanita di negara tersebut?”. Dengan demikian, dalam makalah ini penulis akan membahas

mengenai perkembangan pergerakan wanita di Mesir dan bagaimana fenomena revolusi

Page 4: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

3

pemerintahan pada tahun 2011 yang berujung pada tergulingnya rezim otoriter Husni

Mubarak mempengaruhi hal tersebut.

1.3 Kerangka Teori

Untuk mengkaji pergerakan dan peran wanita di negara Mesir serta kaitannya dengan

fenomena revolusi pemerintahan yang mengakibatkan tergulingnya rezim otoriter dan

memulai demokratisasi di negara tersebut, penulis menggunakan perspektif globalisme.

Globalisme dianggap cocok untuk dapat menjelaskan bagaimana wanita bangkit dan

melakukan pergerakan untuk menuntut hak-haknya.

Globalisme

Globalisme adalah sebuah perspektif yang berasumsi bahwa titik awal analisis

dalam hubungan internasional adalah konteks global di mana negara dan entitas lainnya

saling berinteraksi.3 Dengan demikian, globalis menekankan pada ‘the big picture’ atau

keseluruhan dari lingkungan global. Asumsi kedua dalam perspektif ini adalah bahwa

pendekatan historis merupakan sesuatu yang perlu dalam hubungan internasional untuk

dapat menangkap esensi dari lingkungan global yang tengah terjadi saat ini.4 Pendekatan

sejarah ini berkaitan erat dengan sistem capitalism yang menjelaskan bagaimana kaum-

kaum yang tertindas dan sub-ordinat dalam kelas-kelas sosial akan bergabung dan

memberontak untuk serta menuntut hak-haknya. Selain itu, globalis juga tidak hanya

melihat negara sebagai aktor utama dan paling penting. Globalis juga melihat bagaimana

aktor-aktor lainnya seperti civil society dan masyarakat juga memainkan peranan penting

dalam fenomena-fenomena hubungan internasional.5 Dengan demikian, dapat dipahami

bahwa pada dasarnya globalisme memunculkan kemungkinan bagaimana aktor-aktor

hingga unit individu turut dapat berperan dalam perkembangan kondisi politik suatu

negara, wilayah, atau bahkan internasional. Pembukaan ruang yang juga melibatkan unit-

unit terkecil sekalipun inilah pada akhirnya yang memungkinkan munculnya pergerakan-

pergerakan dari level grassroot yang eksistensinya dapat mempengaruhi kondisi suatu

wilayah.

3 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond, Third Edition (Massachusetts: Allyn & Bacon, 1999) hlm. 9. 4 Ibid. 5 Ibid.

Page 5: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

4

BAB II

PEMBAHASAN

Pada bagian ini, penulis akan membagi pembahasan menjadi tiga bagian. Bagian pertama

akan membahas mengenai kondisi pergerakan, peran, dan hak-hak wanita di bawah rezim Husni

Mubarak. Dalam bagian ini, penulis akan menjelaskan kondisi yang dialami oleh wanita Mesir

sebelum terjadinya revolusi pemerintahan pada Januari 2011 lalu. Kemudian pada bagian kedua,

penulis akan memaparkan bagaimana wanita berperan dalam terwujudnya revolusi pemerintahan

Mesir. Dalam bagian tersebut, penulis akan memfokuskan pada bagaimana wanita turut

berpartisipasi pada aksi demonstrasi yang berujung pada revolusi pemerintahan dan tergulingnya

rezim Mubarak serta tuntutan apa yang dilayangkan oleh wanita hingga kaumnya terlibat dalam

aksi penggulingan rezim tersebut. Pada bagian ketiga, akan dikemukakan gambaran kondisi

keberadaan, peran, dan hak-hak wanita Mesir pasca terjadinya revolusi. Dalam bagian ini,

penulis akan menjelaskan bagaimana revolusi pemerintahan Mesir yang ditandai dengan

tergulingnya rezim Mubarak mempengaruhi keberadaan wanita di negara tersebut serta

perubahan apa yang dirasakan oleh wanita sejak terjadinya revolusi pemerintahan Mesir pada

Januari 2011 lalu.

2.1 Wanita di Bawah Rezim Otoriter Husni Mubarak

Husni Mubarak merupakan Presiden Mesir yang menjabat selama 30 tahun sejak

tahun 1981 hingga Januari 2011 lalu. Dalam waktu menjabat yang lama tersebut, tentunya

banyak hal yang telah terjadi di Mesir, hal ini termasuk pada wanita sebagai bagian dari

masyarakat Mesir. Di bawah rezim Mubarak, peran wanita dapat dikatakan cukup

berkembang. Hal ini merupakan buah hasil dari perjuangan aktivis dan kelompok-kelompok

wanita di Mesir selama bertahun-tahun. Dibandingkan dengan negara-negara lain, kondisi,

posisi, dan peran wanita di Mesir secara umum sudah jauh lebih baik. Wanita di Mesir

memiliki kebebasan untuk dapat bekerja, menempuh pendidikan, dan bahkan untuk

memperoleh kursi di parlemen.6

Kondisi wanita Mesir di bawah pemerintahan Mubarak pada dasarnya banyak

dipengaruhi oleh keberadaan ibu negara yaitu Suzanne Mubarak. Bahkan di Mesir, terdapat

hukum yang mengatur tentang partisipasi wanita dalam politik dan status pribadi wanita.

6 Sally Baden, Op.Cit.

Page 6: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

5

Hukum tersebut dikenal sebagai „Suzanne Laws‟ setelah istri dari Husni Mubarak yang juga

pemimpin dari National Council for Women tersebut mengamankan kuota untuk wanita di

parlemen.7 Hukum tersebut juga memandatkan bahwa ibu yang bercerai dapat memperoleh

hak asuh anak hingga anak tersebut beranjak dewasa serta termasuk hukum yang mengatur

hak mengunjungi bagi orang tua yang berpisah.8 Bahkan, wanita juga dimungkinkan untuk

meminta proses cerai dalam pengadilan walaupun sang suami tidak menginginkan hal yang

sama, atau hanya untuk meminta cerai selama sang istri mau mengembalikan mahar

mereka.9 Tidak hanya itu, di bawah pemerintahan Mubarak bahkan Mesir mengangkat

hakim perempuan pertamanya pada 2003 dan pada 2010 terdapat 42 hakim wanita dari

sekitar 9000 jumlah keseluruhan hakim di Mesir.10

Namun demikian, di balik segala „kebebasan‟ dan „kenikmatan‟ yang dirasakan oleh

wanita di Mesir di bawah rezim Mubarak, nyatanya diskriminasi masih terjadi dan eksis

dalam kehidupan masyarakat Mesir. Ketidak-adilan atau diskriminasi jender dalam hal ini

terwujud dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Wanita memang memiliki hak untuk

dapat memperoleh pendidikan dan bekerja, tidak seperti negara-negara Islam lainnya yang

bahkan melarang kaum wanitanya untuk keluar dari rumah, menyetir, dan bekerja. Namun

demikian, dalam sektor pekerjaan misalnya, diskriminasi dalam bentuk penerimaan upah

atas jenis kerja yang sama masih terjadi. Jumlah penerimaan upah yang diterima oleh wanita

nyatanya lebih kecil dibanding dengan apa yang diterima oleh pria pada pekerjaan yang

sama. Hal ini tentunya mengecewakan bagi kaum wanita.

Diskriminasi jender dalam sektor sosial juga masih terjadi di balik posisi wanita yang

cukup baik di negara tersebut jika dibandingkan dengan negara-negara berbasiskan Islam

lainnya. Hal ini tercermin dalam banyaknya insiden yang menimpa kaum wanita di Mesir

seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan terhadap wanita, mutilasi alat genital

pada wanita, pemaksaan tes keperawanan pada wanita, dan hal-hal serupa lainnya.

Diskriminasi ini tetap terjadi dan tidak terjadi hanya satu atau dua kali, namun berkali-kali.

Hal-hal yang mencerminkan diskriminasi ini pada dasarnya terjadi karena walaupun

Suzanne Mubarak yang merupakan istri dari Husni Mubarak cukup berpengaruh dalam

pemerintahan, nyatanya tidak menyentuh sektor wanita dari level akar-rumput. Yang dapat

7 Alona Ferber, “Women in the "New Egypt": What Next?” dalam Tel Aviv Notes: An Update on Middle Eastern Developments, Vol.5, No.24, Tel Aviv University, Desember 2011, hlm. 2. 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Aliaa Dawoud, “Why Women are Losing Rights in Post-Revolutionary Egypt” dalam Journal of International Women’s Studies, Vol 13, 5 Oktober 2012, hlm. 163.

Page 7: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

6

merasakan apa yang dijunjung oleh Suzanne Mubarak hanyalah orang-orang dari kalangan

elit dan kurang mengadvokasi serta mempedulikan apa yang terjadi pada level akar-rumput.

Selain itu, secara umum, sama dengan apa yang dirasakan oleh pria sebagai bagian dari

masyarakat Mesir, wanita juga merasakan dampak sistem otoriter yang dilanggengkan oleh

rezim Mubarak. Penekanan atas kebebasan dan keterbatasan yang dirasakan oleh seluruh

masyarakat juga semakin mempersulit kondisi wanita di Mesir. Pada dasarnya, diskriminasi

jender serta perlakuan dan penekanan secara umum oleh rezim otoriter Husni Mubarak

inilah yang akhirnya mendorong wanita untuk ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi di

Tahrir Square pada 25 Januari 2011 lalu untuk dapat menggulingkan rezim dan menciptakan

revolusi pemerintahan seperti yang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

2.2 Keterlibatan Kaum Wanita dalam Penggulingan Rezim Mubarak

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada usaha penggulingan rezim yang

dilakukan oleh masyarakat Mesir, nyatanya aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan juga

melibatkan kaum wanita. Kaum wanita turut berpartisipasi dan ikut turun ke Tahrir Square

berdampingan dengan kaum pria untuk menuntut tergulingnya rezim Mubarak yang telah

menjabat selama 30 tahun. Jumlah wanita yang ikut turun ke jalan dan berdemonstrasi

nyatanya cukup mencengangkan.11

Hal ini menunjukkan bagaimana wanita juga

mengekspresikan keinginannya untuk lepas dari pemerintahan otoriter Husni Mubarak yang

telah berdiri tegak selama berpuluh-puluh tahun tersebut. Wanita menuntut terjadinya

revolusi dan demokratisasi demi penciptaan penjaminan hak-hak mereka yang lebih baik

lagi.

Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bagaimana sebenarnya kondisi wanita di

bawah rezim Mubarak. Jika dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya, Mesir

merupakan negara yang cukup fleksibel dalam bidang kemajuan kaum wanitanya. Namun

demikian, nyatanya hal tersebut tidak cukup bagi wanita Mesir dan hal inilah yang

mendorong kaum wanita untuk turut berpartisipasi dalam usaha masyarakat Mesir untuk

menggulingkan pemerintahan demi tercapainya perubahan. Kebebasan pada dasarnya

merupakan esensi dasar dari segala tuntutan yang dilayangkan oleh masyarakat Mesir,

termasuk oleh kaum wanita. Di balik segala kemajuan yang sebenarnya telah dirasakan oleh

wanita Mesir, nyatanya kesetaraan status antara wanita dan pria masih sulit untuk dicapai.12

11 Dalal Al-Bizri, “Women, Revolution, Politics, and Power” dalam Heinrich-Böll-Stiftung, Middle East Office, 2011, hlm. 1. 12 Nemat Guenenna dan Nadia Wassef, Op. Cit.

Page 8: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

7

Wanita masih merasakan beberapa diskriminasi di balik peran mereka yang sudah cukup

maju di negara tersebut.

Keterlibatan peran wanita pada revolusi Mesir ini paling signifikan ketika dilihat dari

segi sosial media. Wanita menyebarkan berita dan mengumpulkan kaumnya untuk ikut turun

ke jalan dan melakukan demonstrasi untuk menuntut lengsernya rezim yang tengah berkuasa

melalui berbagai macam sosial media. Salah satu yang paling terkenal bahkan hingga ke

seluruh dunia adalah apa yang dilakukan oleh Asmaa Mahfouz dalam sebuah video akan

dirinya yang dipublikasikan melalui sosial media Facebook dan YouTube untuk mengajak

seluruh warga Mesir, baik wanita maupun pria, untuk ikut turun dan berdemonstrasi di

Tahrir Square untuk menuntut hak-hak mereka atas kebebasan yang selama ini terbatas di

bawah rezim Mubarak.13

Apa yang dilakukan oleh Asmaa Mahfouz ini dilihat sebagai salah

satu faktor besar yang mendukung banyaknya jumlah warga dan bahkan wanita yang turut

berpartisipasi dalam gerakan yang terjadi di Tahrir Square tersebut. Video yang

dipublikasikan oleh Asmaa Mahfouz ini menunjukkan bagaimana peran wanita Mesir dalam

gelombang revolusi yang diteriakkan oleh warga Mesir. Peran wanita yang dalam hal

tersebut dimulai oleh himbauan Asma Mahfouz melalui video yang disebarluaskan dalam

internet nyatanya berdampak besar. Asmaa tidak hanya berhasil menyentuh para wanita,

tetapi juga berhasil menyadarkan para pria untuk ikut serta dalam serangkaian aksi

penuntutan penggulingan rezim. Asmaa berhasil meyakinkan masayarakat Mesir untuk

bergabung dengannya di Tahrir Square pada 25 Januari 2011 untuk meneriakkan tuntutan

mereka sebagai rakyat yang selama ini telah dibayangi oleh pemerintahan otoriter.14

Wanita

dalam hal ini memiliki pengaruh dalam pengumpulan massa yang cukup banyak untuk dapat

berdiri bersama, memperjuangkan hak-haknya, menciptakan pergerakan, dan menuntut

terjadinya perubahan.

Jumlah mencengangkan dari wanita dalam hal ini pun juga menunjukkan sebuah

fenomena yang cukup menggambarkan partisipasi luar biasa dalam penciptaan gerakan yang

bersejarah dalam negara Mesir. Jumlah luar biasa dari wanita yang berpartisipasi dalam

demonstrasi ini digambarkan oleh Jenna Krajeski dalam tulisannya sebagai berikut:

“An unprecedented number of Egyptian women participated in

Tuesday’s anti government protests. Ghada Shahbandar, an

activist with the Egyptian Organization for Human Rights,

13 Melissa Wall dan Sahar El Zahed, ““I’ll Be Waiting for You Guys”:A YouTube Call to Action in the Egyptian Revolution” dalam International Journal of Communication 5 (2011), hlm. 1333. 14 Anna Louie Sussman, “Prominent During Revolution, Egyptian Women Vanish in New Order” yang diakses dari http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/04/prominent-during-revolution-egyptian-women-vanish-in-new-order/237232/ pada 12 Desember 2012 pukul 18.19 WIB.

Page 9: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

8

estimated the crowd downtown to be 20 percent female. Other

estimates were as high as 50 percent. In past protests, the 7 female

presence would rarely rise to 10 percent.”15

Asmaa hanyalah satu dari sekian banyak wanita yang memiliki keinginan dan

keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Selain Asmaa, banyak wanita-wanita lain

yang ikut bangkit dan tersadar akan perlunya mereka untuk berpartisipasi dalam

penggulingan rezim. Sosial media menjadi salah satu jalur partisipasi yang dipilih oleh

wanita-wanita Mesir tersebut. Didorong dengan apa yang telah dilakukan oleh Asma

Mahfouz, wanita-wanita lain turut menghimbau kaumnya untuk melindungi hak-haknya

yang selama ini telah dilanggar di bawah pemerintahan Mubarak. Demonstrasi di Tahrir

Square yang diwarnai oleh jumlah mencengangkan dari kaum wanita tersebut merupakan

salah satu hasil dari rangkaian gelombang pergerakan yang dilakukan oleh wanita Mesir.

Penggunaan sosial media dan internet yang dilakukan oleh Asmaa dan beberapa wanita

lainnya pun pada dasarnya juga merupakan langkah yang cerdik. Wanita di Mesir yang

memang cukup maju dalam pendidikan nyatanya mampu menggunakan unsur globalisasi

dan memanfaatkan kebebasan yang ditawarkan oleh internet untuk mendukung terciptanya

gelombang revolusi yang merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah di dunia. Dengan

demikian, dapat terlihat besarnya peran wanita yang besar dalam revolusi pemerintahan dan

penggulingan rezim Mubarak.

Selain dimotivasi oleh keinginan untuk lepas dari cengkraman rezim otoriter,

keterlibatan wanita dalam gerakan revolusi pemerintahan Mesir 2011 lalu juga dipengaruhi

oleh ketidak-puasan kaum wanita dengan apa yang telah dirasakannya selama ini. Walaupun

Mesir merupakan negara yang cukup bebas dalam hal penjunjungan hak-hak wanitanya,

wanita Mesir masih merasakan adanya kecacatan dalam penjaminan hak-hak mereka sebagai

wanita. Ketidak-setaraan status dan sub-ordinasi status wanita dalam masyarakat Mesir

nyatanya masih terjadi dan hal tersebut mendorong masih terjadinya diskriminasi jender

dalam masyarakat Mesir. Pelecehan seksual merupakan salah satu wujud diskriminasi jender

yang sangat sering terjadi pada wanita Mesir.16

Ketidaksetaraan upah yang diterima antara

pria dan wanita dalam sektor pekerjaan yang sama serta masih terdapatnya mutilasi pada alat

genital dan tes keperawanan terhadap wanita pun juga menjadi isu yang diangkat oleh wanita

15 Jenna Krajeski, “Taking It to the Streets: Egyptian Women Protest the Government Alongside the Men Yet Few Images of Women” dalamThe Opinioness of the World, yang diakses dari http://opinionessoftheworld.com/2011/01/31/egyptian‐women‐take‐to‐the‐streets‐alongside‐the‐men-‐to‐protest‐the‐government/ pada 10 Desember 2012 pukul 21.29 WIB 16 Manal al-Natour, “The Role of Women in the Egyptian 25th January Revolution” dalam Journal of International Women’s Studies, Vol 13, Oktober 2012, hlm. 72.

Page 10: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

9

Mesir pada aksi-aksi demonstrasinya.17

Hal-hal semacam inilah yang membuahkan tuntutan

dari wanita Mesir pada pemerintahan yang dianggap tidak mampu menegakkan keadilan

serta menjamin kesetaraan status antara pria dan wanita.

Pada dasarnya, kasus ini menunjukkan bagaimana wanita memiliki pengaruh yang

besar dalam penciptaan perubahan. Walaupun secara khusus wanita memiliki tuntutan-

tuntutan tertentu terkait hak dan ketidak-setaraan status antara kaumnya dengan kaum pria,

wanita dalam hal ini juga menyuarakan keinginan masyarakat Mesir secara umum yang

selama ini ditekan oleh pemerintahan otoriter yang telah menjabat selama 30 tahun. Hal ini

juga merupakan perwujudan dari „Arab Spring of Women‟ yang menandai kebangkitan

peran wanita. Fenomena Arab Spring di Mesir secara khusus tidak akan dapat terjadi dan

menghasilkan revolusi jika tidak adanya keterlibatan dari wanita. Wanita berdampingan

dengan pria untuk mencapai kepentingan bersama dan demi terwujudnya perubahan yang

dapat mendorong terciptanya kehidupan yang lebih baik lagi. Nyatanya apa yang dilakukan

oleh masyarakat Mesir secara bersamaan ini berhasil dan berujung pada tergulingnya rezim

pemerintahan Husni Mubarak.

2.3 Wanita Pasca Tergulingnya Rezim Mubarak

Turunnya Husni Mubarak dari kursi kepemimpinan negara Mesir pada dasarnya

pencapaian besar bagi masyarakat Mesir. Hal tersebut memanglah tujuan utama dari segala

gelombang pergerakan rakyat besar-besaran yang telah berlangsung selama berhari-hari.

Tergulingnya rezim pemerintahan otoriter Mubarak tentunya menghadirkan harapan akan

terciptanya perubahan bagi kondisi kehidupan mereka, tidak terkecuali pada kaum wanita.

Setelah partisipasi mereka yang luar biasa dalam usaha revolusi pemerintahan, tergulingnya

rezim Mubarak tentunya memberikan ekspektasi dan harapan akan membaiknya kondisi

wanita di Mesir. Demokratisasi ini memberikan harapan pada wanita Mesir bahwa

kebebasan dan hak-hak mereka akan semakin terjamin. Wanita merasa bahwa demokratisasi

ini akan dapat mewujudkan tercapainya kesetaraan jender di Mesir.

Namun demikian, apakah situasi nyata pasca tergulingnya rezim Mubarak ini benar-

benar sesuai harapan masyarakat Mesir? Hal inilah yang masih kontroversial bahkan hingga

saat ini. Banyak media memberitakan bahwa khususnya bagi wanita revolusi yang terjadi

pada Januari 2011 lalu belum memberikan banyak perubahan yang berarti. Rezim yang

17 Laura Sjoberg dan Jonathon Whooley, “The Arab Spring for Women?” dalam Gender, Representation, and Middle East Politics in 2011 hlm. 8 yang diakses dari http://www.polisci.wisc.edu/Uploads/Documents/IRC/Sjoberg.pdf pada 16 Desember 2012 pukul 09.14 WIB.

Page 11: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

10

otoriter memang sudah tidak ada lagi, namun harapan yang selama ini muncul pasca

tergulingnya rezim tersebut tidak juga terwujud. Kaum wanita masih „tertinggal‟ dalam

pembangunan negara Mesir yang baru. Laporan dari Amnesti Internasional pada November

2011 lalu melaporkan bahwa rezim sementara di bawah Supreme Council of the Armed

Forces (SCAF) setelah tergulingnya rezim Mubarak nyatanya gagal dalam menyelesaikan

isu-isu terkait wanita yang sudah ada bahkan sebelum revolusi terjadi.18

Bahkan

marjinalisasi wanita makin marak terjadi pasca rezim Mubarak, dan salah satunya hal ini

dicerminkan dengan masih adanya praktik pemaksaan tes keperawanan yang dilakukan pada

wanita.19

Masalah-masalah yang melibatkan wanita sebagai korban masih terjadi, seperti

pelecehan seksual, pemerkosaan, mutilasi alat genital wanita, serta ketidak-adilan lain baik

dari segi politik, ekonomi, maupun sosial masih terjadi, dan bahkan semakin parah.

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai eksistensi hukum yang dikenal

sebagai „Suzanne Laws‟ di bawah pemerintahan Mubarak. Nyatanya pasca tergulingnya

rezim Mubarak, terjadi „seraangan‟ terhadap hukum tersebut, aktivis dan advokasi hak

wanita yang berhubungan dengan rezim tersebut.20

Hal ini kemungkinan besar terjadi karena

masyarakat Mesir ingin membersihkan negaranya dari apapun yang berhubungan dengan

rezim Mubarak, namun nyatanya hal ini berdampak buruk pada posisi wanita yang jika

dikaji lebih jauh memiliki posisi yang lebih baik ketika masih berada di bawah pemerintahan

Mubarak. Apa yang menimpa para wanita tersebut diperparah oleh langkah-langkah SCAF

yang semakin memperburuk posisi wanita di Mesir pasca runtuhnya rezim Mubarak.

Sebagai contoh, kuota 64 kursi parlemen atau yang setara dengan 12% nyatanya dibatalkan

pada Juli 2011. Kebijakan ini digantikan dengan amandemen pada hukum electoral yang

menghimbau seluruh partai untuk memiliki setidaknya 1 orang kandidat wanita.21

Dan pada

tahap pertama pemilihan, dari 376 kandidat wanita yang ada, tidak satupun yang terpilih.22

Menurut Amnesti Internasional, perubahan kebijakan ini memperlihatkan sebuah kegagalan

besar dalam penjaminan partisipasi politik wanita di negara tersebut.23

Tidak hanya itu, pada 8 Maret 2011, wanita Mesir berdemonstrasi untuk menuntut

haknya di Tahrir Square sambil memperingati International Women’s Day, namun nyatanya

18 Alona Ferber, Op. Cit., hlm. 2. 19 Ibid. 20 Ibid. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Amnesty International, “Women Demand Equality in Shaping New Egypt” dalam Amnesty International Report, Oktober 2011, hlm. 7.

Page 12: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

11

aksi tersebut justru mengundang banyak protes penuh kebencian.24

Ratusan wanita yang

terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut diserang baik secara verbal maupun fisik dan

dianggap mengikuti agenda dunia barat serta dirasa melawan nilai-nilai budaya negara

tersebut.25

Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya wanita tidak berada dalam posisi yang

setara dengan pria. Diskriminasi terhadap wanita masih kerap terjadi dan hal ini tentunya

bertentangan dengan esensi demokratisasi yang sebelumnya diharapkan oleh kaum wanita.

Sejak naiknya Mohammad Morsi—yang merupakan salah satu bagian dari kelompok

Muslim Brotherhood—sebagai Presiden pertama pasca revolusi, Muslim Brotherhood yang

sebelumnya merupakan kelompok oposisi pada rezim Mubarak pasca rezim tersebut runtuh

nyatanya mendominasi pemerintahan Mesir. Hal inilah yang banyak mempengaruhi peran

wanita pasca revolusi pemerintahan Mesir 2011 lalu. Seperti yang telah disebutkan

sebelumnya, di bawah dominasi dan pemerintahan kelompok Muslim Brotherhood, segala

hal tentang wanita yang terkandung dalam „Suzanne Laws‟ dihapuskan karena dirasa sebagai

salah satu perangkat dan bagian dari rezim Mubarak.26

Hal ini sesuai dengan apa yang

dikemukakan oleh Azza Kamel, seorang aktivis wanita di Mesir yang menyatakan bahwa

pasca revolusi kebanyakan masyarakat Mesi—terutama kelompok Islamis, berusaha

mengambil kembali hak-hak yang selama sebelum revolusi terjadi telah diperjuangkan dan

didapatkan oleh wanita, berusaha mengubah hukum mengenai perceraian dan hak asuh anak,

memaksakan FGM (Female Genital Mutilation), dan mengubah usia seorang wanita untuk

menikah dari 18 tahun menjadi 9 tahun.27

Pada dasarnya sebelumnya kelompok wanita mendukung Muslim Brotherhood untuk

dapat menggulingkan rezim otoriter, namun nyatanya saat ini kelompok wanita justru

menghadapi sebuah tantangan baru dari dominasi Muslim Brotherhood di Mesir karena pada

dasarnya Muslim Brotherhood membatasi peran wanita di negara tersebut. Muslim

Brotherhood juga mendukung praktek patriarki yang merugikan wanita, termasuk praktek

mutilasi alat genital pada wanita.28

Baik kelompok feminis sekuler ataupun feminis islam

pada dasarnya bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh Muslim Brotherhood. Feminis

24 Alona Ferber, Op. Cit. 25 Ibid. 26 Ibid. 27 Cam McGrath, “Egypt Revolution Makes It Worse for Women” dalam http://www.ipsnews.net/2012/10/egypt-revolution-makes-it-worse-for-women/ yang diakses pada 15 Desember 2012 pukul 23.32 WIB. 28

Natalie Darlene, “Advocating For Greater Political Participation: Feminisms In Egypt And The Muslim

Brotherhood”, Georgetown University, Maret 2011, hlm. 4-5 yang diakses dari https://repository.library.georgetown.edu/bitstream/handle/10822/553313/eftNatalie.pdf?sequence=1 pada 14 Desember 2012 pukul 22.25 WIB.

Page 13: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

12

sekuler jelas tidak setuju dengan kebijakan yang menghambat kaum wanita dalam berpolitik,

dan di lain pihak feminis Islam menginginkan agar kelompoknya dapat memperoleh suara

dan kesempatan lebih besar untuk melanjutkan aktivitas amal dan aktivitas lainnya di

masjid.29

Hal ini menunjukkan bahwa walaupun feminis Islam dan Muslim Brotherhood

memiliki tujuan yang sama untuk menyebarkan Islam, namun kelompok feminis Islam tidak

dapat menerima bagaimana kelompok pria semakin mendominasi bahkan hingga masalah

penggunaan masjid.

Apa yang terjadi di Mesir pasca revolusi pemerintahan ini menunjukkan bagaimana

pada dasarnya revolusi yang terjadi tidak mampu mengubah dan memperbaiki posisi wanita

di masyarakat Mesir. Bahkan, revolusi ini dapat dikatakan sebagai sebuah langkah mundur

bagi dimensi jender dalam negara tersebut. Wanita masih tertinggal dan bahkan posisinya di

masyarakat semakin memburuk. Revolusi pemerintahan dan demokratisasi yang seharusnya

dapat dijadikan batu loncatan bagi penyetaraan jender di negara tersebut nyatanya hanyalah

harapan semata. Pemerintahan pasca revolusi tidak berhasil memenuhi harapan tersebut dan

bahkan justru makin memperparah kondisi, posisi, dan peran wanita di Mesir. Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa pada dasarnya term „revolusi‟ hanyalah sebuah term politik

di mana pemerintahan otoriter berhasil digulingkan. Term ini tidak berlaku pada segi sosial

karena nyatanya revolusi ini tidak sama sekali memperbaiki kehidupan sosial masyarakat

Mesir, terutama pada kaum wanita.

29 Ibid., hlm. 5.

Page 14: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

13

BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan dan pemaparan yang dilakukan mengenai dimensi jender dalam revolusi

pemerintahan Mesir 2011 lalu, maka pada dasarnya dapat dipahami bahwa perkembangan peran

dan pergerakan wanita di negara Mesir sangatlah dinamis. Sebelum terjadinya revolusi, di bawah

pemerintahan Mubarak wanita secara hukum dan politik telah memiliki tingkat partisipasi dan

kebebasan yang cukup baik jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di wilayah negara-negara

berbasiskan Islam lainnya. Hal ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh kehadiran dan pergerakan

Suzanne Mubarak yang merupakan istri dari Husni Mubarak untuk menciptakan keadilan untuk

wanita. Namun demikian, nyatanya hal tersebut tidak cukup. Apa yang dibawa oleh Suzanne

Mubarak nyatanya hanya dapat dirasakan oleh kalangan tertentu dan diskriminasi terhadap wanita

dan tekanan secara umum dari rezim otoriter tersebut akhirnya mendorong wanita untuk ikut

berpartisipasi aktif dalam demonstrasi menuntut tergulingnya rezim Mubarak.

Partisipasi wanita pada terwujudnya revolusi sangatlah mencengangkan, namun demikian

nyatanya revolusi yang dihasilkan tersebut seolah meninggalkan wanita di belakang. Revolusi

tidak berhasil memenuhi janji-janji dan harapan akan kehidupan yang lebih baik, setidaknya bagi

wanita. Pasca revolusi, hak-hak wanita yang sebelumnya telah diperoleh justru terancam untuk

dihapuskan dan posisi wanita dalam masyarakat baik dari segi politik, ekonomi, dan sosial pun

semakin memburuk. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa revolusi pemerintahan Mesir

yang terjadi pada 2011 lalu justru memperburuk posisi wanita di Mesir dan meningkatkan rasa

ketidak-amanan bagi wanita di negara tersebut. Revolusi pemerintahan yang seharusnya dapat

membebaskan wanita dari kekangan nyatanya justru mempersulit posisi wanita dan menghadirkan

tantangan baru yang lebih berat bagi wanita Mesir untuk dapat mewujudkan kesetaraan jender dan

melindungi hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat Mesir.

Page 15: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

14

DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN JURNAL

Al-Bizri, Dalal. 2011. “Women, Revolution, Politics, and Power” dalam Heinrich-Böll-Stiftung,

Middle East Office.

Al-Natour, Manal. 2012. “The Role of Women in the Egyptian 25th

January Revolution” dalam

Journal of International Women’s Studies, Vol 13.

Amnesty International. 2011. “Women Demand Equality in Shaping New Egypt” dalam

Amnesty International Report.

Baden, Sally . 1992. “The position of women in Islamic countries: possibilities, constraints and

strategies for change” dalam BRIDGE (Development-Gender); Report No.4. Brighton:

Institute of Development Studies.

Dawoud, Aliaa. 2012. “Why Women are Losing Rights in Post-Revolutionary Egypt” dalam

Journal of International Women’s Studies, Vol 13.

Ferber, Alona. 2011. “Women in the "New Egypt": What Next?” dalam Tel Aviv Notes: An

Update on Middle Eastern Developments. Vol.5. No.24. Tel Aviv: Tel Aviv University.

Guenena, Nemat dan Nadia Wassef. 1999. Unfulfilled Promises: Women’s Rights in Egypt. New

York: Population Council.

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi, 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism,

Globalism, and Beyond, Third Edition. Massachusetts: Allyn & Bacon.

Wall, Melissa dan Sahar El Zahed. 2011. ““I‟ll Be Waiting for You Guys”: A YouTube Call to

Action in the Egyptian Revolution” dalam International Journal of Communication,

Vol.5.

ARTIKEL INTERNET

Sussman, Anna Louie. “Prominent During Revolution, Egyptian Women Vanish in New Order”

yang diakses dari http://www.theatlantic.com/international/archive/2011/04/prominent-

during-revolution-egyptian-women-vanish-in-new-order/237232/ pada 12 Desember

2012 pukul 18.19 WIB.

Krajeski, Jenna.“Taking It to the Streets: Egyptian Women Protest the Government Alongside

the Men Yet Few Images of Women” dalamThe Opinioness of the World, yang diakses

dari

Page 16: Gender in Egypt

Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI

15

http://opinionessoftheworld.com/2011/01/31/egyptian‐women‐take‐to‐the‐streets‐alongsi

de‐the‐men-‐to‐protest‐the‐government/ pada 10 Desember 2012 pukul 21.29 WIB.

McGrath, Cam. “Egypt Revolution Makes It Worse for Women” dalam

http://www.ipsnews.net/2012/10/egypt-revolution-makes-it-worse-for-women/ yang

diakses pada 15 Desember 2012 pukul 23.32 WIB.

Darlene, Natalie. “Advocating For Greater Political Participation: Feminisms In Egypt And The

Muslim Brotherhood”, Georgetown University, Maret 2011, yang diakses dari

https://repository.library.georgetown.edu/bitstream/handle/10822/553313/eftNatalie.pdf?

sequence=1 pada 14 Desember 2012 pukul 22.25 WIB.

Sjoberg, Laura dan Jonathon Whooley, “The Arab Spring for Women?” dalam Gender,

Representation, and Middle East Politics in 2011 yang diakses dari

http://www.polisci.wisc.edu/Uploads/Documents/IRC/Sjoberg.pdf pada 16 Desember

2012 pukul 09.14 WIB.