55
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa mengancam penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya yang besar membuat bencana tsunami ini harus diperhitungkan. Di Indonesia, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam, wilayah rawan bencana tsunami meliputi 21 wilayah, yaitu : Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak- Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu, Talaud, dan Kendari (Putranto, 2006). Pada tanggal 17 Juli 2006 telah terjadi gempa tektonik berkekuatan Mw 7,7 (USGS, 2006)yang berpusat di selatan Jawa Barat pada kedalaman 10 km di bawah dasar laut. Gempa ini telah mengakibatkan tsunami

geomorfologi parangtritis

Embed Size (px)

Citation preview

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa mengancam

penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya

hancurnya yang besar membuat bencana tsunami ini harus diperhitungkan. Di

Indonesia, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam, wilayah

rawan bencana tsunami meliputi 21 wilayah, yaitu : Nanggroe Aceh Darussalam,

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah

bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku

Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Balikpapan, Sekurau, Palu, Talaud, dan

Kendari (Putranto, 2006).

Pada tanggal 17 Juli 2006 telah terjadi gempa tektonik berkekuatan Mw 7,7

(USGS, 2006)yang berpusat di selatan Jawa Barat pada kedalaman 10 km di

bawah dasar laut. Gempa ini telah mengakibatkan tsunami setinggi 3,4 meter.

Gelombang tsunami yang melanda kawasan Pantai Pangandaran itupun telah

merenggut korban sedikitnya ratusan jiwa. Bahkan besarnya kekuatan gempa ini

mengakibatkan tsunami yang melanda sepanjang pesisir selatan Jawa Barat

hingga Yogyakarta dan sekitarnya (G.Suantika, dkk, 2006).

Menurut UNDP (1992:12), bencana adalah suatu gangguan serius terhadap

keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas

pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi, atau lingkungan dan yang

melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan

2

menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Kata tsunami berasal dari bahasa

jepang, “tsu” berarti pelabuhan, dan “nami" berarti gelombang. Gerakan vertikal

pada kerak bumi dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba.

Mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini

mengakibatkan terjadinya aliran energi air laut, yang keti ka sampai di pantai

menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami (Pacific

Tsunami Museum, 2007).

Bencana tsunami dapat menimbul kan kerugian, baik harta benda maupun

jiwa. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana tsunami membutuhkan

waktu yang lama. Demi kian juga dengan kehilangan nyawa akibat bencana

tsunami merupakan hal yang perlu diperhatikan. Bencana tsunami tidak dapat

dihindari tetapi akibat yang ditimbulkan oleh tsunami dapat diminimalkan dengan

melakukan tindakan pencegahan (preventif). Salah satu cara yang dapat dilakukan

adalah dengan mengetahui risiko suatu daerah terhadap bencana tsunami sehingga

dapat dilakukan mitigasi Untuk meminimalisir korban jiwa akibat bencana

tsunami, oleh karena itu perlu diidentifikasi daerah-daerah yang rentan terhadap

bahaya tsunami sebagai langkah awal mitigasi bencana tsunami di masa yang

akan datang.

1.2 Pendekatan dan Perumusan Masalah

Kawasan pantai selatan Yogyakarta secara tektonik merupakan salah satu

daerah dengan tingkat seismisitas tinggi dan aktif. Aktivitas seismisitas di

kawasan ini dapat menimbulkan gempa bumi dan potensi tsunami, yang dapat

berkembang menjadi bencana alam. Disamping itu perairan pantai selatan

3

Yogyakarta termasuk wilayah pesisir pantai selatan Jawa merupakan perairan

terbuka (open sea) dengan horizon pantainya berhadapan langsung dengan

Samudra Hindia. Oleh sebab itu wilayah Pesisir Pantai Depok juga relatif rawan

terhadap bencana alam lainnya seperti abrasi, longsoran dan gerakan tanah

Tsunami merupakan jenis bahaya alam yang belum dapat diprediksi waktu

terjadinya. Sebelum tsunami terjadi lagi di masa mendatang, yang dapat dilakukan

adalah mengurangi atau meminimalkan dampak yang ditimbulkan tsunami

melalui mitigasi. Untuk mendukung langkah-langkah mitigasi bencana terhadap

tsunami, salah satunya dengan memetakan tingkat kerawanan bencana tsunami di

pesisir Pantai Depok Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta berupa

peta kerawanan wilayah terhadap tsunami yang dapat menjadi masukan data

dalam upaya mitigasi penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW)

selanjutnya yang berbasiskan tingkat resiko tsunami, sehingga dapat

meminimalisasi korban yang diakibatkan oleh bencana tsunami.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun peta tingkat kerawanan

wilayah terhadap tsunami di pesisir Pantai Depok Kecamatan Kretek, Kabupaten

Bantul, Yogyakarta

Manfaat dari studi ini dimaksudkan bahwa dengan adanya peta kerawanan

wilayah terhadap tsunami, dapat memberikan informasi kepada Pemerintah

Daerah yang bersangkutan sebagai masukan data dalam upaya mitigasi untuk

penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) selanjutnya yang berbasiskan

tingkat resiko tsunami, sehingga dapat meminimalisasi korban yang diakibatkan

4

oleh bencana tsunami dan dapat mengoptimalkan tujuan pembangunan fisik yang

ditentukan.

1.4 Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan nopember 2013 sampai dengan

Desember 2013. Adapun wilayah studi secara administratif masuk wilayah

Kabupaten Bantul, tepatnya di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten

Bantul. Secara geografi wilayah tersebut terletak pada koordinat 07° 44' 04" -

08° 00' 27" LS dan 110° 12' 34" - 110° 31' 08" BT Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada gambar dibawah ini.

Ir.Agus ADS, M.Si, dkk

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Kerawanan

Beberapa lembaga dan peneliti telah merumuskan pula kerangka kerja

kerawanan, walaupun terdapat pula sejumlah persepsi yang berbeda dalam

memandang kerawanan itu sendiri. Peneliti di bidang pengetahuan alam lebih

berkonsentrasi pada konsep alam yang menyebabkan risiko, sedangkan

peneliti –peneliti kelompok sosial lebih mempermasalahkan kerawanan yang

lebih diwakili oleh kondisi sosial -ekonomi masyarakat yang dapat

mengakibatkan suatu risiko bencana. Permasalahan yang juga muncul

adalah terbatasnya data-data pendukung untuk mengkuantifikasi aspek-aspek

sosial dalam kajian karawanan masyarakat (Cardona ; 2006, Cutter, et.al.,

2003).

Oleh karena itu kajian kerawanan selain perlu didukung oleh data-data

lainnya juga harus dirancang sesuai dengan tujuannya (Birkmann, 2008).

Seperti yang diutarakan oleh Bankoff (2004) dalam Birkmann (2008) bahwa

kajian kerawanan pada dasarnya harus dapat mempengaruhi kebijakan-

kebijakan dan perencanaan pembangunan nasional. Suatu risiko bencana

yang dapat merugikan sangat dipengaruhi selain oleh intensitas atau

magnitude bahaya alam yang mengancam suatu wilayah juga oleh tingkat

kerentanan manusia yang terpapar oleh bahaya alam tersebut (UN-I SDR,

2004). Definisi ini tentu akan membedakan besar kecilnya suatu ancaman

risiko bahaya alam pada suatu wilayah. Suatu bahaya alam, misalkan gempa

bumi, yang terjadi pada daerah yang berpenduduk jarang tentu akan berbeda

6

pula dampaknya jika terjadi pada daerah yang berpenduduk padat. Jadi dapat

di katakan bahwa faktor k e b e r a d a a n manusia dan infrastruktur yang

terpapar terhadap bahaya memegang peranan penting dalam menentukan besar

kecilnyasuatu kerugian sosial yang disebabkan oleh suatu bahaya alam.

Keterpaparan manusia atau infrastruktur tersebut disebut sebagai kerentanan

(UN-ISDR, 2004). Birkmann (2006) yang mempublikasikan kerangka kerja

BBC untuk kajian kerentanan mengaitkan pengurangan risiko bencana dengan

adanya usaha- usaha peningkatan kapasitas masyarakat.

Gambar 1. Konsep kerawanan BBC (Birkmann, 2006)

7

2.2 Komponen dan Indikator Kerentanan

Komponen dan Indikator kerentanan diturunkan dari konsep, pengertian dan

faktor yang menentukan kerentanan. Ditengarai saat ini ada 20 sampai 25 definisi

kerentanan yang akan berdampak terhadap beragamnya indikator dan instrument

kerentanan. Konsep kerentanan yang pada awalnya berkembang dalam disiplin

ilmu-ilmu sosial seperti psikologi, sosiologi, dan komunikasi, serta digunakan

dalam unit analisis mikro (individu, keluarga, dan masyarakat), kemudian

dikembangkan dan diperluas konsepnya pada tataran institusi dan kerentanan

kawasan. Demikian pula komponennya diperluas dengan memasukkan

kerentanan fisik dan lingkungan. Para ahli sepakat bahwa indikator

kerentanan terkait jenis bahaya tidak harus sama, namun demikian dipandang

perlu adanya kesepakatan makna dasar kerentanan (Sunarti et al., 2009).

Berdasarkan ISDR (2004) kerentanan terbagi menjadi empat variabel,

antara lain :

1. Kerentanan Fisik

Konsep ini mengacu pada pertimbangan pembangunan suatu lokasi dari

lingkungan terbangun atau infrastruktur. Berawal dari disiplin ilmu teknik sipil,

arsitektur, dan ilmu perencanaan wilayah dan kota. Kerentanan fisik ini ditentukan

oleh beberapa aspek seperti material yang digunakan untuk pembangunan

infrastruktur, dan lain-lain.

2. Kerentanan Sosial

Konsep ini berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas, dan

masyarakat pada umumnya. Beberapa kelompok ada yang sangat rentan terhadap

suatu bencana daripada yang lainnya. Orang yang kurang mendapatkan hak-

8

haknya atau tingkatan kasta, etnis minoritas, kelompok yang sangat muda atau

balita, kelompok yang sangat tua atau lansia, wanita, dan kepadatan penduduk.

3. Kerentanan Ekonomi

Tingkat kerentanan yang tinggi tergantung pada status ekonomi suatu

individu, komunitas, dan bangsa. Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah

biasanya lebih rentan bila dibandingkan dengan tingkat yang kesejahteraannya

tinggi. Dan juga berkaitan dengan pemulihan sesudah bencana.

4. Kerentanan Lingkungan

Kunci aspek kerentanan lingkungan mencakup sumber daya alam yang telah

ada dan degradasi sumber daya alam. mencakup wilayah yang luas. Faktor-faktor

yang mempengaruhi kerentanan lingkungan diantaranya adalah degradasi

lingkungan yang dilakukan masyarakat, dan akibat dari toksik. Sumberdaya alam

yang semakin langka, menyebabkan terbatasnya pilihan bagi masyarakat, hal ini

menyebabkan lemahnya resilience masyarakat terhadap kejadian bencana yang

terjadi.

2.3 Pengertian Tsunami

Tsunami adalah istilah dalam bahasa Jepang (tsu; pelabuhan dan nami;

gelombang) yang berarti “gelombang besar di pelabuhan” (Prasetya, 2006).

Menurut Dzikron (2006) Karakteristik tsunami adalah rangkaian gelombang

(series of waves) yang melintas di lautan dengan panjang gelombang sangat besar

(lebih dari 100 mil; dimana 1 mil @1,6 km) tinggi gelombang dilautan < 1 meter,

melaju dalam kecepatan sekitar 500 mil per jam. Rangkaian gelombang ketika

membentur dasar pantai kecepatannya segera melambat dan ketinggian meningkat

9

menjadi belasan meter, tepat saat menyentuh pantai momentumnya terkumpul

bersama lapisan tanah dan berubah menjadi aliran massa yang besar menerjang

membanjiri daratan.

Tsunami terjadi terutama karena adanya pergeseran tektonik di bawah laut

yang disebabkan oleh gempa bumi di pusat yang dangkal sepanjang daerah

subduksi. Lempeng kerak bumi yang terdorong ke atas dan ke bawah memberi

energi potensial pada massa air sehingga terjadi perubahan drastis pada

permukaan air laut di daerah yang terkena. Energi yang dilepas ke dalam massa

air itu menyebabkan timbulnya tsunami yakni energi yang memancar menjauh

dari daerah sumbernya dalam bentuk gelombang berperiode panjang yang dapat

dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2.Mekanisme Terjadinya Tsunami ( Anonim, 2012)

10

2.4 Jenis Tsunami

Menurut Bryant (2008) tsunami dibagi 4 (empat) berdasarkan penyebabnya,

antara lain :

2.4.1. Tsunami Akibat Gempa Bumi Tektonik

Sebagian besar tsunami yang terjadi disebabkan oleh gempa bumi tektonik

dilaut. Perpindahan lempeng bumi beberapa meter selama gempa bumi terjadi laut

bisa mencakup 10.000 km2 dan menimbulkan energi potensial besar untuk

menggerakkan air di atasnya. Tsunami memang jarang terjadi, namun gempa

bumi yang menimbulkannya lebih dari satu. Antara 1861 sampai 1948 telah

terjadi sedikitnya 124 tsunami, dan gempa bumi yang terekam 15.000 gempa

bumi. Frekuensi yang rendah ini menunjukkan bahwa sebagian besar tsunami

terjadi pada amplitudo yang kecil dan tak diketahui atau kenyataan bahwa

sebagian besar gempa bumi yang menghasilkan tsunami berada pada kedalaman

yang dangkal dan dengan gelombang magnitudo permukaan lebih dari 6,5 skala

Richter. Beberapa tipe patahan dapat dilihat pada Gambar 3. dibawah ini.

11

Gambar 3.Tipe Patahan pada Lempeng Tektonik (Bryant, 2008)

2.4.2. Tsunami Akibat Longsoran Bawah Laut

Longsoran bawah laut sering memicu terjadinya tsunami atau gelombang laut

besar berkecepatan tinggi di daerah longsoran yang dapat mencapai jarak tempuh

sangat jauh dapat dilihat pada Gambar 5. Longsoran ini tidak selalu menyebabkan

bencana dan tidak juga selalu berasosiasi dengan gempa bumi. Beberapa di

antaranya terjadi di daerah sempit dan hanya disebabkan oleh gravitasi. Berbeda

dengan mekanisme longsoran di daratan yang pada umumnya disebabkan oleh

kejenuhan air pada tanah, penyebab longsoran bawah laut jauh lebih kompleks.

Longsoran bawah laut adalah proses alami penting yang menyebabkan massa

sedimen bervolume besar bergerak dari daerah lantai samudera (dasar laut) yang

dangkal ke daerah yang lebih dalam. Terdapat ber-bagai jenis dan penyebab

terjadinya ketidakstabilan lantai samudera dan terminologi longsoran adalah yang

paling banyak digunakan untuk menyebut fenomena tersebut.

Gambar 4. Mekanisme Terbentuknya Tsunami Akibat Longsoran Bawah

Laut (Bryant, 2008)

12

Perbedaan bahan, lingkungan, dan muatan lantai samudera merupakan faktor-

faktor yang sangat mempengaruhi jenis longsoran tersebut (Budiono, 2009). Pada

tanggal 17 Juli 1998 di Papua New Guinea, telah terjadi tsunami yang disebabkan

oleh longsoran material di bawah laut. Longsoran material bawah laut yang besar

atau gabungan dari beberapa longsoran material kecil itu mampu memindahkan

air laut dalam volume yang sangat besar. Longsoran tersebut menjatuhkan 20.000

km3 material ke dasar laut. Tsunami yang disebabkan oleh longsoran ini sangat

besar dibandingkan dengan gempa yang menghasilkan tsunami.

2.4.3. Tsunami Akibat Letusan Gunung Berapi

Tsunami dapat juga disebabkan oleh letusan gunung berapi. 92 catatan dari

kasus tsunami yang disebabkan oleh gunung berapi, 16,5% dihasilkan dari gempa

bumi tektonik yang berasosiasi dengan letusan gunung berapi, 20% dari aliran

piroklastik (abu) ke laut, 14% dari erupsi gunung berapi bawah laut, dan 7% dari

jatuhan produk gunung api yang dimuntahkan ke laut seperti pada Gambar 8.

Letusan gunung berapi jarang menghasilkan tsunami yang besar, karena sebagian

besar gunung berapi berada jauh di laut. Contohnya, letusan gunung Tambora

pada 1815 yang hanya menghasilkan tsunami lokal dengan run up 2 m – 4 m

karena gunung tersebut berada 15 km dari daratan. Berbeda dengan letusan

gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 yang berada di Selat Sunda, yang

menghasilkan tsunami dengan run uphampir mencapai 40 m di atas permukaan

laut. Gelombang tsunami tersebut terdeteksi sampai Afrika Selatan yang jaraknya

6000 km dari gunung Krakatau seperti Gambar 5.

13

Gambar 5. Letusan Gunung Berapi Anak Krakatau (Anonim,2012).

2.4.4. Tsunami Akibat Jatuhnya Asteroid

Batu asteroid yang berdiameter 300 m dapat menghasilkan tsunamirun up lebih

dari 2 m yang dapat merusak garis pantai dalam jarak 1000 km dari

tempatjatuhnya benda tersebut. Kemungkinan terjadinya peristiwa ini dalam 50

tahun ke depan hanya di bawah 1%. Salah satu contoh kejadian ini di Chicxulub,

Mexico, 65 juta tahun yang lalu pada zaman pertengahan Cretaceous-Tersier.

Disaat dampaknya yang menyebabkan punahnya dinosaurus, tsunami menyapu

ratusan kilometer daratan yang berada di dekat Teluk Meksiko

2.5. Skala Intensitas Tsunami

Skala intensitas tsunami ini menurut Imamura dan Papadopoulos (2001),

disusun berdasarkan:

a. Efek tsunami terhadap manusia

b. Efek tsunami terhadap obyek, termasuk perahu dengan berbagai ukuran dan

terhadap alam

c. Kerusakan pada bangunan Secara umum, skala ini disusun berdasarkan tinggi

14

tsunami itu sendiri,

berikut skala intensitasnya sebagai berikut:

1. Not felt

a. Tidak terasa atau seperti keadaan biasa.

b. Tidak ada pengaruhnya.

c. Tidak terjadi kerusakan.

2. Scarcely felt

a. Tsunami dirasakan oleh sedikit orang di perahu kecil dan tidak teramati di

pantai.

b. Tidak ada pengaruhnya.

c. Tidak terjadi kerusakan.

3. Weak

a. Tsunami dirasakan oleh sedikit orang di perahu kecil dan teramati oleh

beberapa orang di pantai.

b. Tidak ada pengaruhnya.

c. Tidak terjadi kerusakan.

4. Largely observed

a. Tsunami dirasakan oleh semua perahu kecil dan terasa oleh sebagian besar

orang di kapal besar.

b. Beberapa kapal kecil terbawa ke arah pantai.

c. Tidak terjadi kerusakan.

5. Strong(1 m)

a. Tsunami terasa oleh semua perahu besar dan terlihat di pantai. Sebagian

orang ketakutan dan berlari ke tempat yang lebih tinggi.

15

b. Banyak perahu kecil yang terseret ke pantai dan saling bertubrukan satu

sama lain, terlihat jejak lapisan pasir di tanah dan terlihat genangan kecil.

c. Terlihat banjir di fasilitas terbuka seperti taman di struktur dekat

pantai.

6. Slighly damaging(2 m)

a. Banyak orang ketakutan dan lari ke tempat yang lebih tinggi

b. Banyak perahu kecil yang kandas di pantai dan bertabrakan diantaranya.

c. Kerusakan dan banjir di beberapa struktur kayu, bangunan gedung masih

dapat tertahan.

7. Damaging(3 m)

a. Banyak orang ketakutan dan lari ke tempat yang lebih tinggi

b. Banyak perahu kecil rusak. Beberapa kapal besar hanyut, obyek dengan

berbagai ukuran hanyut. Lapisan pasir dan dan akumulasi kerikil terbawa ke

darat. Beberapa karamba budidaya hanyut terbawa gelombang.

c. Banyak bangunan kayu rusak, beberapa diantaranya hancur atau tersapu.

Kerusakan pada tingkat 1 dan banjir pada sebagian gedung.

8. Heavily damaging(4 m)

a. Semua orang menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi, beberapa di

antaranya hanyut terbawa gelombang.

b. Sebagian besar perahu kecil rusak dan yang lainnya hanyut tersapu

gelombang. Beberapa kapal besar terdampar di darat dan rusak. Benda benda

berukuran besar terbawa sampai ke darat. Erosi terjadi sepanjang pantai.

Terjadi genangan dalam skala luas. Kerusakan pada hutan pantai, karamba

16

apung untuk akuakultur hanyut dan sebagian rusak.

c. Sebagian besar bangunan kayu tersapu atau rusak. Kerusakan pada

beberapa gedung tingkat dua. Sebagian bangunan beton pada tingkat 1 dan

terlihat adanya genangan.

9. Destructive(8 m)

a. Banyak orang tersapu gelombang.

b. Sebagian besar perahu kecil hancur atau tersapu gelombang. Sebagian

besar kapal besar kandas dan beberapa diantaranya hancur. Terjadi erosi di

pantai dalam skala yang lebih luas. Terlihat penurunan tanah secara lokal.

Kehancuran pada sebagian hutan pantai. Sebagian besar karamba akuakultur

tersapu, sebagian besar rusak.

c. Kerusakan tingkat 3 pada gedung, beberapa bangunan beton rusak pada

level 2.

10. Very destructive(8 m)

a. Terjadi kepanikan dan sebagian besar orang tersapu gelombang.

b. Sebagian besar perahu besar terbawa ke pantai, sebagian besar hancur dan

menghantam gedung. Bongkahan kecil dari dasar laut terbawa gelombang ke

darat. Mobil hanyut oleh gelombang. Terjadi tumpahan minyak, kebakaran

mulai terjadi. Penurunan muka tanah terjadi dalam skala yang lebih luas.

c. Kerusakan level 4 pada banyak gedung, sebagian kecil bangunan beton

mengalami kerusakan pada level 3. Breakwatermengalami kerusakan.

11. Devastating(16 m)

a. Kerusakan pada segala kehidupan di pantai. Kebakaran meluas. Arus balik

(backwash) membawa mobil dan obyek lain ke laut. Bongkahan besar dari

17

dasar laut terbawa ke darat.

b. Kerusakan level 5 pada gedung. Sebagian kecil bangunan beton mengalami

kerusakan level 4 dan sebagian besar mengalami kerusakan 3.

12. Completely devastating(32 m)

Semua gedung praktis hancur dan sebagian besar gedung beton mengalami

kerusakan paling tidak level 3.

2.7 Sejarah Bencana

Gempa Bumi Yogyakarta Mei 2006 adalah peristiwa gempa Bumi tektonik

kuat yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27

Mei 2006 kurang lebih pukul 05.55 WIB selama 57 detik. Gempa Bumi tersebut

berkekuatan 5,9 pada skala Richter. United States Geological Survey melaporkan

bahwa gempa terjadi sebesar 6,2 pada skala RichterLokasi gempa menurut Badan

Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia terjadi

di koordinat 8,007° LS dan 110,286° BT pada kedalaman 17,1 km. Sedangkan

menurut BMG, posisi episenter gempa terletak di koordinat 8,26° LS dan 110,31°

BT pada kedalaman 33 km.itu di release sesaat terjadi gempa. Setelah data dari

berbagai Stasiun yang dipunyai jejaring BMG dan dilakukan perhitungan, update

terakhir BMG menentukan pusat gempa berada di 8.03 LS dan 110,32 BT(update

ke tiga) pada kedalaman 11,3 Km dan kekuatan 5.9 SR Mb (Magnitude Body)

atau setara 6.3 SR Mw (Magnitude Moment).USGS memberikan koordinat 7,977°

LS dan 110,318 BT pada kedalaman 35 km. Hasil yang berbeda tersebut

dikarenakan metode dan peralatan yang digunakan berbeda-beda.

18

Secara umum posisi gempa berada sekitar 25 km selatan-barat daya

Yogyakarta, 115 km selatan Semarang, 145 km selatan-tenggara Pekalongan dan

440 km timur-tenggara Jakarta. Walaupun hiposenter gempa berada di laut, tetapi

tidak mengakibatkan tsunami. Gempa juga dapat dirasakan di Solo, Semarang,

Purworejo, Kebumen dan Banyumas. Getaran juga sempat dirasakan sejumlah

kota di provinsi Jawa Timur seperti Ngawi, Madiun, Kediri, Trenggalek,

Magetan, Pacitan, Blitar dan Surabaya namun demikian gempa tersebut tidak

meninbulkan efek tsunami yang sangat besar (Wikipedia,2012)

Pada hari Senin, 17 Juli 2006 telah terjadi gempa bumi yang berpusat di

kordinat 9,46’ LS – 107,19’BT atau 120 km dari garis pantai selatan Jawa Barat.

Gempa terjadi sebanyak 3 kali yaitu pada pukul 15.19WIB kekuatan 6,8 SR,

pukul 16.13 kekuatan 5,5 SR dan pukul 17.09 dengan kekuatan 6,1 SR. Getaran

gempa dapat dirasakan di Jakarta, Jawa Tengah bagian selatan dan Jawa Barat

bagian selatan. Gempa disusul dengan terjadinya Tsunami dengan ketinggian

gelombang berkisar 1-5 M melanda pantai selatan kabupaten Kebumen,Bantul

propinsi Jawa Tengah dan pantai selatan kabupaten Tasikmalaya, Ciamis propinsi

Jawa Barat (Anonim, 2012).

Dalam ilmu geologi ada istilah paleotsunami. Paleo artinya tua atau purba.

Paleotsunami berarti tsunami purba atau tsunami yang terjadi pada zaman dahulu.

Penelitian paleotsunami adalah penelitian untuk mengetahui tsunami yang pernah

terjadi di masa-masa lalu berdasarkan bukti-bukti geologi. Bukti-bukti yang

dimaksud umumnya berupa endapan-endapan pasir tsunami. Dilihat dari bukti-

bukti yang ada sekarang di wilayah pantai selatan pulau jawa pernah terjadi pada

tahun Tahun 1859,1921,2006 (Anonim, 2012).

19

2.8. Mitigasi Bencana

Mitigasi Bencana yaitu Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko

bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU 24/2007).

Upaya mitigasi kerusakan di wilayah pesisir dapat dilakukan melalui upaya

struktural dan non struktural: upaya structural berupa pembangunan infrastruktur

seperti rumah, jalan, dan sarana prasarana budidaya yang lebih terpadu dan

bersifat antisipatif terhadap kemungkinan bencana. Upaya mitigasi bencana

tsunami, misalnya, secara structural (upaya teknis yang bertujuan untuk

meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan

pantai) dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (i) alami, seperti

penanaman hutan mangrove di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan

terumbu karang; (ii) buatan, seperti pembangunan pemecah gelombang (seawall,

breakwater, Groin) sejajar pantai untuk menahan tsunami, memperkuat desain

bangunan dan infrastruktur.

Mitigasi bencana nonstruktural dalam menangani bencana tsunami adalah

upaya nonteknis yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan

manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya

lainnya: kebijakan tentang tata guna lahan kawasan pantai yang rawan bencana;

kebijaksanaan tentang standarisasi bangunan serta infrastruktur sarana dan

prasarana; kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat

kawasan pantai; pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami, misalnya;

penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana; pengembangan sistem

peringatan dini adanya bahaya bencana. Menurut Pratikto (2004), jika sistem

20

peringatan dini (early warning system) yang berupa informasi tsunami dan gempa

bumi pada sistem pengamatan dapat berjalan dengan baik maka dampak korban

jiwa dapat diminimalisasi.

2.9 Sistem Informasi Geografi dalam Pengelolaan Bencana

Sampai saat ini, agak sulit mendefinisikan GIS, karena GIS merupakan

integrasi dari berbagai disiplin ilmu. Banyak pakar GIS berusaha

mendefinisikannya tapi belum ada definisi yang tetap (Aziz,1996). Namun

begitu, menurut Jones (1997), ada lima hal yang disepakati, yaitu : "Data

acquisition, preprocessing, data management, manipulation and analysis, and

product generation." Clarke (1997) menyimpulkan bahwa GIS adalah suatu

toolbox, GIS adalah suatu sistem informasi, GIS adalah suatu sistem pendekatan

ke science dan GIS adalah suatu bisnis berbillion dollar. Menurut Aronof (1991),

fungsi analisi spatial adalah fungsi yang membedakan GIS dengan sistem

informasi lainnya. Dengan analisis kita dapat melaksanakan operasi seperti

berikut :

a. Berhubungan dengan data spatial : Edge matching, transformasi format

geometri, antara sistem koordinat, kombinasi antara dua set data dll.

b. Berhubungan dengan data atribut : perbaiki atribut, melaksanakan pertanyaan.

c. Melakukan analisis secara integrasi dari data spatial dan atribut.

d. Visualisasi / penyajian hasil akhir.

Aziz (1996) menyatakan bahwa data spatial adalah data yang mempunyai

georeferensi atau rujukan lokasi. Stan Aronoff (1986 dalam : Aziz 1996)

21

menambahkan "For a small study area the coordinate system can be of any

convenient grid."

Penggunaan SIG dalam rentang manajemen resiko bencana dari pembuatan

basis data, overlay SIG yang paling sederhana hingga tingkat lanjut, analisis

resiko, analisis untung rugi, proses geologi, statistik spasial, matriks keputusan,

analisis sensitivitas, korelasi, auto korelasi dan banyak peralatan dan algoritma

untuk pembuatan keputusan spasial yang komplek lainnya. Adapun basis data

digunakan untuk menyampaikan informasi paling tidak tentang lokasi bencana,

tipe bencana, waktu kejadian, analisis hubungan antar keruangan dan temporal

dari kejadian bencana. Haifani (2008) menyatakan bahwa manajemen bencana

difokuskan pada 4 hal, yaitu :

1. Pada fase mitigation, SIG digunakan untuk mengelola data berukuran besar

yang dibutuhkan untuk memperkirakan adanya resiko atau bahaya yang

dapat berpotensi menjadi bencana.

2. Pada fase preparedness, SIG digunakan untuk perencanaan rute evakuasi,

membantu dalam desain pusat operasi penanganan bencana, dan untuk

integrasi data satelit dengan data relevan lainnya yang berhubungan, yang

digunakan untuk sistem peringatan dini.

3. Pada fase response, SIG dikombinasikan dengan GPS (Global Positioning

System) dapat digunakan dalam pencarian dan operasi penyelamatan di area

yang telah hancur dan sulit untuk mencari pergerakan seseorang.

4. Pada fase recovery, SIG digunakan untuk mengelola informasi kerusakan

dan informasi sesudah bencana dan untuk evaluasi berbagai area untuk

rekonstruksi.

22

III. MATERI DAN METODE

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder yang secara rinci diuraikan di bawah ini :

3.1.1 Data Primer

Data primer yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini adalah :

- Kabupaten bantul yang terekam dalam Citra landsat

- DEM Kabupaten Bantul

- Data hasil verifikasi di lapangan(real world)

3.1.2 Data Sekunder

Data sekunder yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini terdiri dari

data spasial yang umumnya berupa peta-peta tematik dan data statistik yaitu :

- Peta Rupabumi Kabupaten Bantul publikasi Bakusortanal

- Data Demografi Kabupaten Bantul, Publikasi Badan Pusat Statistik,

Kabupaten Bantul

23

3.2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis. Metode analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif adalah analisis yang menggunakan uraian kualitatif

tentang temuan atau data, hubungan antar data, rekaman fotografi ataupun

peta merupakan data yang harus dijelaskan secara deskriptif. Analisis

deskriptif berusaha menggambarkan/melukiskan fenomena hubungan antara

fenomena yang diteliti dengan sistematis, faktual dan akurat. Dalam

aplikasinya, analisis ini perlu dibantu dengan data kuantitatif terutama dalam

bentuk tabulasi, sehingga hasilnya memiliki tingkat validasi yang tinggi.

2. Analisis overlay peta

Merupakan suatu teknik analisa data yang memilah-milah kondisi wilayah

sesuai dengan kondisi potensi wilayah tersebut berdasarkan aspek penataan

ruang. Misalnya penggunaan lahan, topografi, geologi, dan sebagainya.

3. Analisis kuantitatif

Metode analisis kuantitatif ini digunakan untuk menganalisis data-data yang

tersaji dalam bentuk angka-angka dengan menggunakan sistem skoring.

Sistem skoring yaitu sistem yang berfungsi untuk menganalisis beberapa

faktor yang sangat berpengaruh dalam penentuan potensi dan kendala dalam

suatu wilayah.

24

3.3. Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan komputer

dan perangkat lunak (software). Pengolahan data untuk menyusun daerah rawan

bencana tsunami terdiri dari beberapa tahap. Secara garis besar, langkah-langkah

yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Persiapan peta-peta dan data pendukungnya, untuk selanjutnya

dilaksanakan image processing;

2. Ekstraksi data spasial dari citra satelit, peta rupabumi, DEM dan data

pendukung lainnya;

3. Penentuan parameter-parameter yang mempengaruhi tingkat kerawanan

bencana tsunami;

4. Analisis daerah rawan bencana tsunami berdasarkan parameter-parameter

yang mempengaruhi bencana tsunami; dan

5. Penentuan daerah rawan tsunami.

3.3.1. Peta digital dan citra satelit (image processing)

Pengolahan data peta digital dan data citra satelit dilakukan dengan

bantuan komputer dan perangkat lunak (software). Data masukkan yang diolah

berupa peta digital dan data citra satelit. Citra satelit yang diperoleh merupakan

citra mentah, sehingga perlu untuk dikoreksi terlebih dahulu. Koreksi yang

dilakukan ada dua macam, yaitu koreksi radiometri dan koreksi geometri.

Cropping citra bertujuan untuk membatasi area penelitian (dalam hal ini

Kabupaten Bantul), sehingga interpretasi dapat difokuskan pada daerah yang

diteliti. Proses penajaman citra (image enhancement) dilakukan untuk

25

mempermudah dalam menginterpetasikan objek-objek yang ada di dalam citra.

Penyusunan citra komposit ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran visual

yang lebih baik, sehingga pengamatan objek dan pemilihan sampel dapat

dikerjakan lebih baik, terutama untuk interpretasi penggunaan lahan.

3.3.2. Ekstraksi data spasial

Ekstraksi dilakukan mula-mula dengan mengklasifikasikan semua

keberadaan faktor-faktor yang mempengaruhi tsunami sebagai informasi yang

akan di overlay. Informasi tersebut diperoleh dari pengolahan citra satelit, data

DEM, peta rupabumi dan data pendukung lainnya dengan menggunakan bantuan

software. Hasil ekstraksi tersebut dimasukkan ke basis data untuk dilakukan

analisis spasial untuk menghasilkan peta tingkat kerawanan bencana tsunami di

pantai selatan Kabupaten Bantul.

Ekstraksi data tersebut berupa pemetaan karakteristik daerah pantai selatan

Kabupaten Bantul yang meliputi:

1. Jarak dari sumber gempa

Data posisi gempa di Samudera Hindia tanggal 17 Juli 2006 yang

diperoleh dari U. S. Geological Survey (USGS) diolah dengan bantuan

software Global Mapper 8.0 untuk mendapatkan titik koordinat gempa

dengan tipe shapefile (point). DEM bathimetri di wilayah Samudera Hindia

diolah dengan menggunakan bantuan software ER Mapper 7.0 untuk

menghasilkan tampilan dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D) dari dasar

perairan Samudera Hindia yang berdekatan dengan Kabupaten Bantul.

26

Tampilan tiga dimensi (3D) akan menunjukkan letak daerah subduksi

yang berupa pertemuan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng

Eurasia. Data posisi gempa dikombinasikan dengan tampilan tiga dimensi

dari dasar perairan akan menghasilkan deliniasi daerah pusat gempa laut

menggunakan bantuan software ArcGIS 9.2. Informasi berupa jarak dari

pantai terhadap sumber gempa laut diperoleh dengan bantuan software

ArcGIS 9.2. Informasi tersebut kemudian dilakukan reklasifikasi untuk

menghasilkan kelas jarak dari pantai terhadap sumber gempa laut.

2. Morfologi dan elevasi lereng dasar laut sekitar pantai

DEM bathimetri di wilayah Samudera Hindia diolah dengan

menggunakan bantuan software ER Mapper 7.0 untuk menghasilkan tampilan

dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D) dari dasar perairan Samudera Hindia

yang berdekatan dengan Kabupaten Bantul. Berdasarkan tampilan tiga

dimensi (3D) tersebut, dapat diperoleh informasi berupa morfologi dan

elevasi lereng dasar laut sekitar pantai selatan Kabupaten Bantul.

3. Morfometri pantai, jarak dari garis pantai dan keberadaan pulau penghalang

Citra satelit Landsat 7 ETM+, SPOT5, IKONOS dan Quickbird

wilayah Kabupaten Bantul perekaman tahun 2003/2007 dilakukan koreksi

dengan bantuan software ER Mapper 7.0. Berdasarkan citra satelit yang telah

terkoreksi dan dikombinasikan dengan peta rupabumi Kabupaten Bantul skala

1:25.000 publikasi Bakosurtanal tahun 2001, kemudian dilakukan digitasi

untuk memperoleh informasi berupa morfometri pantai, panjang garis pantai

dan keberadaan pulau penghalang (Pulau Nusakambangan).

27

Informasi tersebut kemudian dilakukan reklasifikasi dengan bantuan

software ArcGIS 9.2 dan ArcView 3.3 untuk mendapatkan kelas morfometri

pantai, kelas jarak dari garis pantai dengan batasan wilayah Kabupaten Bantul

dan kelas keberadaan pulau penghalang. Kelas morfometri pantai didasarkan

atas pengamatan terhadap bentuk pantai (teluk dan tidak berteluk) di pantai

selatan Kabupaten Bantul.

4. Jarak dari sungai

Peta rupabumi Kabupaten Bantul yang telah terkoreksi dengan

menggunakan bantuan software ArcGIS 9.2, kemudian dilakukan digitasi

untuk mendapatkan informasi berupa batas administrasi, infrastruktur, jalan

dan sungai. Informasi yang berupa sungai kemudian dilakukan updating

dengan melakukan overlay dengan citra satelit yang telah terkoreksi untuk

mendapatkan hasil yang termutakhir.

Data sungai tersebut kemudian ditumpangsusunkan dengan batas

administrasi Kabupaten Bantul. Software ArcGIS 9.2 digunakan untuk

reklasifikasi, dengan tujuan untuk menghasilkan kelas jarak dari sungai di

wilayah pantai selatan Kabupaten Bantul.

5. Ketinggian, kelerengan dan keterlindungan daratan

DEM SRTM wilayah Kabupaten Bantul diolah dengan menggunakan

bantuan software ER Mapper 7.0 dan ArcGIS 9.2 untuk menghasilkan

tampilan dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D) dari pantai selatan

Kabupaten Bantul. Informasi ketinggian diperoleh dengan menganalisis

spasial permukaan daratan berdasarkan ketinggian. Informasi kelerengan

diperoleh dengan menganalisis spasial permukaan daratan berdasarkan

28

kelerengan. Informasi keterlindungan daratan diperoleh dengan

mengkombinasikan keberadaan bukit dengan ekosistem pesisir yang

diperoleh dari ekstraksi data spasial citra satelit menggunakan software ER

Mapper 7.0 dan ArcGIS 9.2.

Ketiga informasi tersebut selanjutnya dilakukan reklasifikasi.

Reklasifikasi bertujuan untuk mengkelaskan masing-masing parameter

berdasarkan kriteria yang dibutuhkan terkait dengan tingkat kerawanan

tsunami. Informasi yang diperoleh dari reklasifikasi adalah kelas ketinggian,

kelas kelerengan dan kelas keterlindungan daratan.

6. Penggunaan lahan

Informasi penggunaan lahan diperoleh dari hasil digitasi dari peta

rupabumi Kabupaten Bantul tahun 2001 publikasi Bakosurtanal. Hasil

digitasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan updating dengan melakukan

overlay dengan citra satelit Landsat 7 ETM+, SPOT5, IKONOS dan

Quickbird wilayah Kabupaten Bantul perekaman tahun 2003/2007 yang telah

terkoreksi untuk menghasilkan informasi penggunaan lahan yang termutakhir

dan lebih valid.

3.3.3. Penentuan parameter – parameter yang berpengaruh

Parameter yang digunakan dalam penentuan daerah rawan tsunami dengan

pendekatan SIG yang telah diuraikan di atas meliputi: jarak dari sumber penyebab

tsunami, morfologi dasar laut daerah pantai, elevasi lereng bawah laut, bentuk

garis pantai, jarak dari sungai, keberadaan pulau penghalang, topografi daratan,

29

elevasi daratan, keterlindungan daratan dan jarak dari garis pantai. Pada

penelitian ini, sepuluh parameter tersebut tidak seluruhnya digunakan.

Penilaian secara kuantitatif terhadap tingkat kerawanan bencana tsunami

dilakukan melalui skoring dengan faktor pembobot dari setiap parameter yang

menjadi kriteria dalam penentuan daerah rawan bencana tsunami. Parameter yang

dominan mempunyai faktor pembobot yang paling besar. Pemberian skor

dilakukan berdasarkan tingkat pengaruh parameter tersebut terhadap potensi

terbentuknya tsunami. Tujuannya adalah untuk menyusun urutan tingkat

kerawanan bencana tsunami.

3.3.4. Analisis daerah rawan bencana tsunami berdasarkan parameter –

parameter yang mempengaruhi

Dalam menunjang sistem analisis komputer, maka semua masalah harus

disajikan dalam suatu bentuk model matematis agar dapat memberikan gambaran

tentang sistematika yang jelas. Pemodelan matematis yang dipakai dalam

pendefinisian masalah dapat dilakukan dengan model pembobotan.

Sistem pemberian bobot dan skor untuk setiap parameter dan klasifikasi

dalam parameter di atas akan berbeda-beda dengan tujuan:

1. Untuk menunjukkan parameter-parameter yang memberikan kontribusi

besar maupun kontribusi kecil dalam penentuan daerah rawan bencana

tsunami; dan

2. Untuk menunjukkan perbedaan dan kontribusi dari tiap-tiap tingkat

dalam parameter yang bersangkutan.

30

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka klasifikasi dan pemberian bobot

serta skor untuk parameter jarak dari sumber gempa, ketinggian daratan dan

kelerengan topografi dapat dilihat masing-masing pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel

7 di bawah ini:

Tabel 5. Jarak Pantai Dari Sumber Gempa

No. Jarak (km) Skor Bobot Total Skor

1. 0 – 150 1 10 10

2. 151 – 260 2 10 20

3. > 260 3 10 30

Sumber: Diposaptono (2008)

Tabel 6. Ketinggian Daratan

No. Tinggi (m) Skor Bobot Total Skor

1. 0 – 5 1 15 15

2. 6 – 10 2 15 30

3. 11 – 15 3 15 45

4. 16 – 20 4 15 60

5. > 20 5 15 75

Sumber: Lida (1963)

Tabel 7. Kelerengan Topografi

No. % Lereng Jenis Lereng Skor Bobot Total Skor

1. 0 – 2 Datar 1 10 10

2. 2 – 6 Landai 2 10 20

3. 6 – 13 Agak miring 3 10 30

4. 13 – 20 Miring 4 10 40

5. 20 – 55 Curam 5 10 50

31

6. > 55 Sangat curam 6 10 60

Sumber: Van Zuidam (1983)

Untuk klasifikasi dan pemberian bobot serta skor untuk parameter jarak

dari sungai, keterlindungan daratan dan keberadaan pulau penghalang dapat

dilihat masing-masing pada Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10 di bawah ini:

Tabel 8. Jarak Dari Sungai

No. Jarak (m) Skor Bobot Total Skor

1. 0 – 450 1 10 10

2. 451 – 900 2 10 20

3. 901 – 1350 3 10 30

4. 1351 – 1800 4 10 40

5. 1801 – 2250 5 10 50

6. > 2250 6 10 60

Sumber: Hajar (2006), dimodifikasi

Tabel 9. Keterlindungan Daratan

No. Keterlindungan Daratan Skor Bobot Total Skor

1. Terbuka/Tidak terlindung 1 15 15

2. Terlindung 3 15 45

Sumber: Hajar (2006)

32

Tabel 10. Keberadaan Pulau Penghalang

No. Keberadaan Pulau Penghalang Skor Bobot Total Skor

1. Tidak ada 1 10 10

2. Ada dengan ukuran kecil 2 10 20

3. Ada dengan ukuran besar 3 10 30

Sumber: Hajar (2006)

Klasifikasi dan pemberian bobot serta skor untuk parameter morfologi

garis pantai dan jarak dari garis pantai dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12 di

bawah ini:

Tabel 11. Morfologi Garis Pantai

No. Bentuk Garis Pantai Skor Bobot Total Skor

1. Pantai berteluk 1 10 10

2. Pantai tidak berteluk 2 10 20

Sumber: Hajar (2006)

Tabel 12. Jarak Dari Garis Pantai

No. Jarak (m) Skor Bobot Total Skor

1. < 556 1 20 20

2. 557 – 1.400 2 20 40

3. 1.401 – 2.404 3 20 60

4. 2.405 – 3.528 4 20 80

5. > 3.528 5 20 100

Sumber: Bretschneider dan Wybro (1976)

Pada pemberian bobot di atas terlihat bahwa:

33

1. Kelas jarak dari garis pantai diindikasikan mempunyai kontribusi

terbesar disusul kelas ketinggian daratan dan keterlindungan daratan

(terkait dengan keberadaan ekosistem pesisir dan bukit) kemudian untuk

kelas yang lain dianggap mempunyai kontribusi yang sama.

2. Skor dalam tiap-tiap kelas diberikan nilai yang berbeda dengan indikasi

nilai yang kecil menunjukkan kontribusi yang besar, dan nilai yang besar

menunjukkan kontribusi yang kecil.

3. Total skor merupakan hasil perkalian antara skor dan bobot dari masing-

masing kelas.

Sistem pemberian bobot yang digunakan dalam penelitian ini dapat

diasumsikan dan berdasarkan justifikasi ilmiah dengan melihat pada gambaran

kontribusi parameter dalam penentuan daerah rawan bencana tsunami, dimana

komponen yang memegang fungsi kontrol dan ketelitian data yang akurat akan

diberikan bobot besar.

3.3.5. Penentuan daerah rawan bencana tsunami

Dalam penentuan daerah kerawanan bencana tsunami, dilakukan dengan

melaksanakan metode tumpang susun (overlay method) dan permodelan data.

Metode tumpang susun (overlay method) dilakukan dengan menggabungkan data

grafis parameter-parameter yang mempengaruhi tsunami untuk menghasilkan

daerah rawan tsunami. Permodelan data dilakukan dengan tujuan sebagai

perencanaan prosedur dan analisis.

3.3.5.1. Metode tumpang susun (overlay method)

34

Metode analisis yang dilakukan pada beberapa macam peta dikenal dengan

metode tumpang susun (overlay method). Tumpang susun atau overlay suatu data

grafis adalah suatu usaha untuk menggabungkan antara dua atau lebih data grafis

untuk dapat diperoleh data grafis baru yang mempunyai satuan pemetaan (unit

pemetaan) gabungan dari beberapa data grafis tersebut. Jadi dalam proses

tumpang susun akan diperoleh satuan pemetaan baru (unit baru). Dengan kata

lain, metode tumpang susun merupakan penggabungan beberapa peta tematik

sehingga didapatkan peta tematik yang lain (peta tematik turunan) (Suyudi dan

Diyono, 1994).

Seluruh bobot dan skor pada keseluruhan kriteria di atas akan di proses

melalui software yang digunakan dan akan dihasilkan klasifikasi daerah rawan

bencana tsunami berdasarkan tingkat kerawanan bencana tsunami. Banyaknya

klasifikasi tingkat kerawanan tergantung oleh user. Pada penelitian ini, peneliti

(sebagai user) membuat 5 (lima) klasifikasi tingkat kerawanan bencana tsunami,

yaitu daerah sangat rawan, daerah rawan, daerah agak rawan, daerah aman dan

daerah sangat aman dari bencana tsunami.

Berdasarkan bobot yang diberikan untuk setiap parameter maka dapat

diperoleh total skor tertinggi dan terendah. Jumlah total skor tertinggi dikurangi

jumlah total skor terendah dibagi dengan jumlah kelas kerawanan maka akan

diperoleh nilai rentangan skor (Rs) untuk kelas kerawanan atau dapat ditulis

sebagai berikut:

Rs = ∑ (Bi x Si ) max –∑ (Bi x Si ) min5

Rs = Rentangan skor

Bi = Bobot pada tiap kriteria

35

Si = Skor pada tiap kriteria

Dari perhitungan rumus di atas, dihasilkan nilai rentangan skor 64 dengan

jumlah total skor minimum 100 dan jumlah total skor maksimum sebesar 420.

Penentuan masing-masing kelas kerawanan dilakukan berdasarkan nilai rentangan

skor yang ada. Untuk lebih jelas mengenai klasifikasi tingkat kerawanan tsunami,

dapat dilihat pada Tabel 13 sebagai berikut:

Tabel 13. Klasifikasi Tingkat Kerawanan Tsunami

No. Kelas Kerawanan Total Skor

1. Sangat Aman (K1) 356 - 420

2. Aman (K2) 291 – 355

3. Agak Rawan (K3) 226 – 290

4. Rawan (K4) 161 – 225

5. Sangat Rawan (K5) < 160

Peta tingkat kerawanan bencana tsunami untuk wilayah pantai selatan

Kabupaten Bantul yang dihasilkan tersebut dapat dioverlaykan dengan peta

penggunaan lahan. Hasil tumpang susun tersebut dapat menjelaskan penggunaan

lahan yang ada di wilayah pantai selatan Kabupaten Bantul, apakah terletak di

kawasan yang mempunyai tingkat kerawanan bencana tsunami yang tinggi atau

mempunyai tingkat kerawanan yang rendah.

Hasil tumpang susun penggunaan lahan dengan peta tematik tingkat

kerawanan bencana tsunami untuk wilayah pantai selatan Kabupaten Bantul juga

dapat menjadi masukkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, terutama

Pemerintah Daerah setempat. Apabila penggunaan lahan yang berdasarkan hasil

tumpang susun diketahui terletak di kawasan yang mempunyai tingkat kerawanan

36

tinggi, maka dapat dilakukan antisipasi lebih dini terhadap terjadinya tsunami

sehingga dapat meminimalisir korban jiwa dan kerugian materi.

3.3.5.2. Permodelan data

Untuk penyelesaian masalah dalam pencapaian tujuan, diperlukan

perencanaan prosedur-prosedur analisis yang akan digunakan. Dari berbagai

macam data, baik berupa data kelas parameter, pembobotan parameter, skor

parameter maupun peta yang digunakan dilakukan pengolahan dan analisis data.

Prosedur permodelan dituangkan dalam diagram alir penelitian.

37

Diagram Alir Penelitian.

Basis Data

Spasial

Citra Landsat 7 ETM+, SPOT5, IKONOS,

Quickbird Kab. Bantul Perekaman tahun

2003/3007

Koreksi Radiometri

Komposit GB 321 dan 542

Koreksi Geometri

Ekstraksi Objek Planimetri :- Morfometri Pantai- Garis Pantai- Keberadaan Pulau

Penghalang

Ekstraksi Data Spasial :- Penggunaan

Lahan- Ekosistem

Pesisir

- Kelas Morfometri Pantai- Kelas Jarak dari Garis Pantai- Kelas Keberadaan Pulau Penghalang

Klasifikasi

Tidak

Peta Rupabumi Kabupaten Cilaca

Bantul skala 1 : 25.000 publikasi

Bakosurtanal tahun 2001

Registrasi Peta

- Administrasi- Infrastruktur- Jalan- Sungai

Digitasi

Kelas Jarak dari Sungai

Klasifikasi Jarak dari Sungai

DEM BatimetriSamudera Hindia

(perairan Kabupaten

Bantul)

Data Posisi Gempa di

Samudera Hindia 17 Juli 2006

sumber USGS

Tampilan dua dimensi (2D)

dan tiga dimensi (3D)

dari dasar perairan

Peta Jarak Pantai dari

Sumber Gempa

- Morfologi Dasar Laut- Elevasi dan

Kelerengan Dasar Laut

Lokasi Gempa

DEM SRTM Kabupaten Bantul

tahun 2000

Tampilan dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D) topografi daratan

- Kelas Ketinggian Daratan

- Kelas Kelerengan Daratan

- Kelas Keterlindungan daratan

Klasifikasi

Ekstraksi Data Spasial :- Ketinggian

Daratan- Kelerengan

Daratan- Keterlindungan

daratan

Peta Tematik Tingkat Kerawanan Bencana Tsunami

Survei Lapang

Pemodelan Spasial Daerah Rawan Bencana Tsunami

Bobot dan Skoring