10
Jurnal Ilmu Sosial clan Ilmu Politik ISSN 1410-4946 Volume 6, Nomor 1, Juli 2002 (121-138) GERAKAN DEMILITERISASI DI ERA TRANSISI DEMOKRASI() Peta Masalah dan Pemanfaatan Peluang Arie Sujito Abstract Since the fall of New Order Regime, Indonesia has begun a new era of democratization. One of the important issues is the reformulation of civi-military relation. The practice of militarization and militarism-which is strong enough in In- donesia is considered as a fundamental waylay for the devel- opment of civil society path to democratization. Political reform in Indonesia constitutes a strategic momen- tum for demiliterization movement, namely posing military professionally under the civil political control democratically. Kata-kata kunci: demiliterisme;demokrasi Pendahuluan Dalam tiga tahun belakangan ini, bersamaan dengan tuntutan perubahan politik di era reformasi pasca '98, diskursus mengenai ..) Merupakan perluasan pemikiran yang pemah penulis tuangkan dalam buku Nur Hikmah (00) IndonesiaMenapakDemolcrasi, YAPPIKA,Jakarta, 2002.Terima kasih buat kawan-kawan peneliti dan asisten IRE Yogyakarta yang telah berusaha menciptakan komunitas kritis dalam gerakan "Demiliterisasi dan Demiliterisme Masyarakat Sipil menuju Demokrasi Indonesia". Arie Sujito adalah dosen.SosiologiFISIPOL-UGM, staf peneliti dan koordinator pro- gram "Demiliterisasi dalam Konteks Desentralisasi dan Demokrasi" pada Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta. 121

GERAKAN DEMILITERISASI DI ERA TRANSISI DEMOKRASI() Peta … · 2020. 5. 6. · Jurnal Ilmu Sosial clan Ilmu Politik ISSN 1410-4946 Volume 6, Nomor 1, Juli 2002 (121-138) GERAKAN DEMILITERISASI

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • Jurnal Ilmu Sosial clan Ilmu Politik ISSN 1410-4946

    Volume 6, Nomor 1, Juli 2002 (121-138)

    GERAKAN DEMILITERISASI DI ERATRANSISI DEMOKRASI()

    Peta Masalah dan Pemanfaatan Peluang

    Arie Sujito

    Abstract

    Since the fall of New Order Regime, Indonesia has begun anew era of democratization. One of the important issues isthe reformulation of civi-military relation. The practice ofmilitarization and militarism-which is strong enough in In-donesia is considered as afundamental waylay for the devel-opment of civil society path to democratization.Political reform in Indonesia constitutes a strategic momen-tum for demiliterization movement, namely posing militaryprofessionally under the civil political control democratically.

    Kata-kata kunci: demiliterisme;demokrasi

    Pendahuluan

    Dalam tiga tahun belakangan ini, bersamaan dengan tuntutanperubahan politik di era reformasi pasca '98, diskursus mengenai

    ..) Merupakan perluasan pemikiran yang pemah penulis tuangkan dalam buku NurHikmah (00) IndonesiaMenapakDemolcrasi,YAPPIKA,Jakarta, 2002.Terima kasihbuat kawan-kawan peneliti dan asisten IRE Yogyakarta yang telah berusahamenciptakan komunitas kritis dalam gerakan "Demiliterisasi dan DemiliterismeMasyarakat Sipil menuju Demokrasi Indonesia".

    Arie Sujito adalah dosen .SosiologiFISIPOL-UGM,staf peneliti dan koordinator pro-gram "Demiliterisasi dalam Konteks Desentralisasi dan Demokrasi" pada Institutefor Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta.

    121

  • Jurnal Ilmu Sosial £:IIlmu Polilik, Vol. 6, No.1, Juli 2002

    hubungan sipil militer (HSM) di Indonesia dalam kerangkaberdemokrasi, kian menguat, mengikuti terjadinya kebangkitandemokrasi di berbagai negara pasca-otoriter yang ditandai olehberlangsungnya pergantian kekuasaan di berbagai negara itu.Munculnya fenomena gugatan bertubi-tubi oleh para aktivis prodemokrasi yang terarah ke tubuh tentara (TNI), nampaknya, telahmengawali pembahasan persoalan hubungan sipil militer ini. Isupencabutan Dwi Fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI), kekerasanhukum oleh aparat, pelanggaran HAM serta, ragam tindakan repressiatas sejumlah kegiatan demokrasi merupakan isu-isu populer dalamwacana hubungan sipil-militer dalam demokrasi. Mengapa arahgugatan senantiasa dialamatkan pada militer?

    Kita memang memiliki ca ta tan buruk dalam persoalan ini.Pengalaman sejarah begitu panjang selama lebih dari tiga puluh duatahun -saat rezim orde baru berkuasa- praktik-praktik otoriterismesecara massif tidak lain merupakan karya militer. Sebagai "mesin resmi"kekerasan negara, militer di Indonesia dianggap mampu membangun"integrasi-repressif" secara efektif terhadap warga negara. Yakni"berhasil" mengoperasikan proyek penaklukan "total" kepadamasyarakat dengan mekanisme dominatif dan hegemonik. Tidakmengherankan jikalau momentum ledakan perlawanan masyarakatatas praktik kesewenang-wenangan mengawali gerakan reformasipolitik beberapa tahun belakangan ini, senantiasa menempatkansasaran utama pada sikap dan perilaku militer.

    Ragam gejolak sosial dan sengketa politik yang secara sporadikberlangsung di berbagai daerah, sebagaimana kita saksikan hingga saatini pun, seperti eskalasi konflik dan kekerasan baik yang bersifatstruktural maupun berbasiskan masalah SARA, dengan mudahterbangun konstruksi dari referensi ingatan masyarakat mengenai sejarahmasa lalu. Teror dan represi atas warga yang melakukan protes ataudemonstrasi, terjadinya peristiwa pengeboman tempat-tempat strategis,rangkaian penculikan dan penembakan para aktivis, dan peristiwasejenis, selalu terlintas sebagai cara-cara khas para serdadu bersenjata.Aktor di balik rangkaian tragedi itu, dikonstruksikan publik sebagai ulahmiliter.

    Kendatipun beberapa kasus kekerasan sebagaimana dimaksuddi atas masih kontroversial dan belum terbongkar secara jelas,sebenarnya pemikiran dan dugaan seperti itu tentu saja dapat122

    ~.

    ~

    Arie Sujito, Geralam Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi

    dimaklumi dan dipahami. Sejumlah bukti mengenai ekspresi kekerasanaparat bersenjata selama ini telah menjadi ingatan kolektif yangmengenaskan, yang dengan sendirinya menyebabkan keprihatinan dankebencian masyarakat. Karenanya, semua itukian menebalkanargumen atas adanya keyakinan bahwa, gerakan reformasi politik diIndonesia saat ini dianggap "berhasil' jikalau prasyarat penting dapatdipenuhi, yakni dilakukannya perombakan mendasar atas posisi danperan militer di Indonesia, yang selama ini telah melanggar tata aturanmain berdemokrasi. Inilah, nampaknya, pekerjaan besar sebagaiagenda strategis bangsa Indonesia yang masih problematik hingga hariini.

    Berkaitan dengan hal itu, tulisan ini mencoba merefleksikanperjalanan reformasi, dengan menitikberatkan peta problem militerisasidan peluang gerakan demiliterisasi di era transisi demokrasi. Lebih dariitu, tulisan ini juga berpretensi merumuskan kembali posisi dan peranmiliter dalam tata politik demokrasi, yang penulis anggap juga menjadipermasalahan serius dialami negara-negara pasca otoriter, seperti In-donesia.

    Belukar Militerisasi dan Militerisme

    Secara konseptual, struktur politik yang demokratis selaluditandai oleh adanya supremasi sipil, dimana militer harusmengabdikan diri secara profesional pada keputusan-keputusan politiksipil. Sebagai alat negara, militer harus dibawah kendali dan kontrolmasyarakat sipil yang direpresentasi melalui keberadaan lembagaperwakilan rakyat. Kebijakan atau berbagai keputusan dalampenggunaan dan mobilisasi instrumen kekerasan terkait denganpermasalahan pertahanan negara maupun keamanan masyarakat,merupakan produk politik, dan karenanya sudah semestinya diprosesmelalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang sekaligus berfungsimenjadi lembaga kontrol dari sipil.

    Dengan konsep demikian, maka institusi militer hanyalah menjadiagen operasional atau pelaksana efektif di lapangan, yang diikuti pulaoleh mekanisme pertanggungjawaban ke publik secara transparan.Cara kontrol demikian, tentu saja tetap mempertimbangkan padaprinsip penghargaan atas otoritas profesionalisme yang diberikankepada kemandirian militer. Sebagaimana dijelaskan Huntington (1957)

    123

  • 'umal Urnu Sosial & Urnu Politik, Vol. 6, No.1, ,uli 2002

    dengan istilah kontrol sipil objektif (objective civiliancontrol).lDitandaskannya, sesungguhnya rezim otoritarian, apapun tipenya,mempunyai kesamaan dalam satu hal, yakni dalam hal hubungan sipil-militer, mereka tidak begitu diperhatikan dengan tepat. Karena itulah,hampir secara keseluruhan negara-negara ororitarian tidak memilikikarakteristik hubungan sipil-militer sebagaimana yang ada di negaraindustrial yang demokratis.

    Mengadaptasikan konseptualisasi seperti itu, untuk kasus di In-donesia, nampaknya kita belum memiliki pengalaman otentikbagaimana sistem politik secara substansial menempatkan posisi tentaradalam kerangka subordinasi sipil, apalagi dalam bentuk kontrol efektifsebagaimana diberlakukan pada negara demokratis. Bahkan, yangterjadi di Indonesia justru sebaliknya. Militerlah yang cenderungmendominasi civil society. Ini dapat dirunut dari pengalaman panjangketika Orde Baru berkuasa, dimana aparat bersenjatalah yangmempengaruhi dan mendeterminasi proses politik di tingkat eksekutifmaupun legislatif. Fakta-fakta yang dapat memperkuat tesis itusedikitnya bisa dilacak dalam dua arena penting.

    Pertama, di tingkat negara. Selama ini eksistensi birokrasi danpartai politik secara eksesif terbukti di bawah bayang-bayang pengaruhmiliter, baik terwujud di level nilai, struktur organisasi sampai perilakudan sikap yang terbangun di dalamnya. Kondisi yang demikianberimplikasi pada kecenderungan performance birokrasi yang sangatlIangkuh dan angker.1I Birokrasi mudah terjerumus pada penempatandirinya sebagai institusi pengontrol warga negara, dan sekadarbermakna sebagai ajang penindasan warga sipil secara hegemonik.Cerminan atas semua itu bisa terungkapkan melalui bentuk kebijakan-kebijakan birokrasi yang nyaris lahir sebagai instrUmen pengekang danpembatas kebebasan masyarakat.

    Hal yang paralel juga menimpa partai politik. Sebagai lembagaartikulasi dan agregasi kepentingan, toh partai politik telah terjerembab

    Samuel Huntington (1957). The Soldier and the State: The Theory and politics of Civil-Military R£lations. Chambridge: Harvard University Press, hal. 83-85.

    124 l

    --

    Arie Sujito, Gerakan Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi

    pada kerangkeng korporatisme negara (state corporatism/, dimanaeksistensinya terbonsai oleh opresi negara. Dalam bahasa sederhana,bekerja dan berprosesnya dominasi militer lewat cara-cara tersebutdiatas yang dimaksud dengan militerisasi. Adalah suatu proses intervensimiliter dalam arena sipil yang terekspresikan dalam dominasikelembagaan.

    Sementara pada arena kedua, berlangsung pada wilayahmasyarakat sipil, dimana peran dominatif militer tidak kalah besamyadibandingkan pada aras negara. Sebagaimana dicatat dalam studiPurwosantoso dkk (2000),dan juga Sutoro Eko dkk (2000),intervensimiliter ini secara ekspansif berlangsung pada beberapa locuspenting,yang meliputi organisasi sosialpolitik (orsospol) dan pendidikan, selainbirokrasi (sebagaimana terurai di atas sbagai bagian negara).3Kelompok ini dianggap sebagai salah satu agen potensial yangmereproduksi militerisme di kalangan sipil yang bisa kontraproduktifatas proses demokrasi. Militerisme dalam konteks ini dipahami sebagaikenyataan tatkala nilai-nilai, cara kerja dan tata organisasi,penggunaan simbol, dan sebagainya, yang kesemuanya berinteraksisatu sama lain sebagai sistem yang bekerja dibawah kesadarankolektif.4

    Dalam konteks meluas, militerisme di kalangan sipil menjadipersoalan serius ketika telah hadir sebagai suatu sistem yang oleh parapelaku-pelakunya tidak lagi dirasakan manifestasinya. Padahal, jikamiliterisasi dan militerisme yang bekerja dalam sistem pemerintahansuatu negara serta hidup subur dalam kesadaran sipil, maka niscayadi dalamnya muncul resiko dan kerawanan berupa lahirnya wataknegara otoriter,dan tentu sajaakan mengancamtumbuh semaiancivilsociety.

    Sebenamya, kenyataan mengenai relasi antara militerisasi -yang

    Mohtar Mas'oed (1989). Ekonornidan Struktur Politik, Ord£ Baru 1966-1971. Jakarta:LP3ES.

    Purwo Santoso, 00. (2000). Melucuti Serdadu Sipil: Mengembangkan Wacana Demiliterisme

    dalarn Kornunitas Sipi/. Yogyakarta: FISIPOL-UGM, hal. 8. Baca pula bekerjanyamiliterisme ini dengan mengungkapkan pada pengalaman masyarakat lokal daririset IRE dalam Sutoro Eko, 00. (2000).,Masyarakat PascaMiliter, Tantangan dan PeluangDemiliterisme di Indonesia. Yogyakarta: IRE.ibid.

    125

  • Jurnal Umu Sosial & Umu Politik, Vol. 6, No. I, Juli 2002

    ditandai oleh intervensi kelernbagaan militer dalam kehidupan sipil-dengan militerisme -yang ditandai dengan terbangunnya kultur danideologi militer dalam kesadaran masyarakat sipil- dapat dirumuskansecara teoritis. Mengikuti ulasan dari Andrew Ross (1987) misalnya,dapat dijadikan rujukan penting. Ross mencatat bahwa militerisasi

    merupakan sebuah proses yan& bisa mengarah pada militerisme, dankeduanya saling berkaitan. Titik temu antara militerisasi dan

    militerisme ini terletak pada aspek pemujaan terhadap peperangandan persiapan perang . Artinya, berbagai aktivitas sosial dalammasyarakat mengarah atau dirancang menuju ke perang. Persiapanperang itu didesain sebagai perangkat pertahanan (defence) danpencegahan, entah oleh negara, masyarakat atau kelompok-kelompoksosial. Akan tetapi, yang juga penting di sini, mengikuti pikiran Shaw(1993), militerisme secara sederhana berwujud dalam pengaruhorganisasi, nilai dan ide-ide militer ke dalam struktur sosial sebagaiakibat militerisasi.7

    Ekspresi Militerisasi Tingkat Lokal

    Jika direHeksikan pengalaman empiris di tingkat lokal,menunjukkan bahwa militerisasi dan militerisme terbukti masih cukupefektif mengkerangkeng kesadaran masyarakat. Hasil studi yangdilakukan IRE (2001) menunjukkan bahwa bentuk militerisasi yangpaling nampak di tingkat kecamatan adalah keterlibatan militer/polisidalam struktur kekuasaan pemerintah daerah kecamatan sebagaiMusyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) yang melibatkan tigaelemen pimpinan di tingkat kecamatan (Tripika), yaitu Camat, Kapolsekdan Danramil. Keberadaan Tripika sebagai warisan pemerintah Orbaini masih dominan dalam mengatur roda pemerintahan di tingkat

    Andrew Ross (1987). 'Dimensions of Militerisation in The Third World.' Armed Forces

    and Society. Vol. 13. Baca pula penjelasan kompleksitas mata rantai hubunganmiliterisasi dan militerisme ini dari hasil riset dalam buku Sutoro Eko, ed. (2000). Hal.16-17.

    Alfred Vagts (1959). A History of Militarism, Civilian and Military. London: Hollis andCarter.

    Martin Shaw (1993). Post-Military Society. London: Polity Press.

    126

    ~

    .........

    Arie Sujito, Gerakan Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi

    kecamatan. Banyak campur tangan atas berbagai sendi kehidupanmasyarakat, dan eksistensinya nyaris tanpa kontrol dari warga sipil.Hal ini disebabkan penempatan struktur pemerintah kecamatan hanyasebagai kepanjangan tangan pemerintah Kabupaten atau Kota,8sehingga instansi pemerintah Kabupaten (Itwilkab) yang dianggapberhak mengawasi kinerja kecamatan, dan itupun sebatas pengawasanadministratif. Sementara Polsek bertanggung jawab secara hirarkhispada Polres sebagai institusi di atasnya dan Koramil pada Kodim.9

    Bahkan ditemukan pula, Tripika ini meluas menjadi lembagapenanggung jawab pemerintahan, keamanan dan ketertiban di seluruhwilayah kecamatan. Sehingga, ketiga institusi justru melakukanpengendalian terhadap masyarakat. Bentuk-bentuk surat perijinanyang hams dilewati melalui ketiga institusi ini merupakan contoh nyatapengendalian Tripika terhadap masyarakat, misalnya dalampembuatan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB). Di sampingsebagai sarana kontrol, aktivitas seperti ini menjadi lahan atau sumberuang bagi pembiayaan masing-masing institusi.lO

    Dengan kata lain, akar dominasi militer bisa dilacak dalamkenyataan empiris bahwa sejarah politik orde baru selalu menempatkantentara pada posisi alat kekuasaan yang mempunyai implikasi terhadaptugas yang diembannya, yaitu tidak saja mengurusi masalahpertahanan, tetapi ekspansif ke wilayah sosial politik. Kendatipun padaawalnya dibalut oleh pengabdian pada rakyat, tetapi dalamperkembangan selanjutnya motif kekuasaan menjadi takterhindarkan.ll

    Bahkan, tidak saja peran sosial politik yang merasuk secaraekspansif sebagai resiko militerisasi, tetapi juga masuk pada wilayahekonomi yang berbentuk premanisme. Bukti-bukti di lapangan

    Struktur pemerintahan yang menempatkan posisi kecamatan seperti ini mulaiberubah dengan terbitnya regulasi berupa UU 22/99 melandasi kebijakan otonomidaerah yang mulai berlaku tahun 2ool.

    Diadaptasikan dari hasil studi IREYogyakarta dalam laporan program "MembangunKontrol Masyarakat Terhadap Militer di Tingkat Kecamatan", 2OOl.

    10 ibid.1J

    S. Bayu Wahyono dkk (2001). Refungsionalisasi Komando Teritorial TNI. Yogyakarta:Inpendam, hal. 2-3

    127

  • Jurnal UmuSosial& UmuPolitik, Vol. 6,No.1, Juli 2002

    menunjukkan bahwa praktik-praktik bisnis dan premanisme militermenjadi kenyataan yang tidak bisa terelakkan dalam kehidupanmasyarakat.12Ekspresi kolaboratif premanisme ekonomi juga diperkuatoleh birokrasi sipil yang bersifat mutualistik. Misalnya, melalui politikperijinan di berbagai level birokrasi sipil dan militer yang diperankanoleh elit birokrasi, tentara dan pebisnis.13Proses panjang militerisasidan militerisme di Indonesia, sebagaimana diilustrasikan di depanmemang berdampak serius. Yaknimengakibatkan marginalisasi rakyat,yang ditandai dengan merosotnya kapasitas atau kesadaranmasyarakat untuk mandiri.

    Di luar itu semua, fenomena yang cukup rawan dari resikomiliterisme di arena sipil sangat jelas dari ledakan pertumbuhanpasukan milisi sipil di berbagai daerah. Pasukan "keamanan sipil" yangsaat ini demikian populer terbentuk di area konflik, nampaknya bisadimaknai sebagai resultante menguatnya kesadaran militeristik dalamdiri sipil warisan masa lalu. Gejala ini muncul, selain karena masihkuatnya hegemoni militerisme sipil -setelah "kebiasaan panjang"ketergantungan ditempakan- juga dipahami sebagai reaksi nyata ataskegagalan negara melalui aparat keamanannya di dalam menjaminkeamanan warga sipil.14Ironisnya, militerisme ini juga tereproduksisecara massif melalui struktur kelembagaan pada ormas dan atau partai1yang menjadi salah satu sumber konflik dan kekerasan hingga saat ini.1

    Momentum Perubahan dan Tantangan

    Semenjakkebangkrutan secara formalsang rezim "tiran orba" padaMei '98, sebagian besar masyarakat Indonesia -juga berbagai negara didunia- berkeyakinan bahwa, reformasi tidak lain merupakan bentuk

    12

    LaporanmenarikbisadilihatpadahasHrisetIREYogyakartadalamProceedingPro-gram "Penguatan Wacana Demiliterisasi Masyarakat Lokal" Maret-Agustus 2000(tidak dipublikasikan), dan simak pula reportase laporan dalam Flilmma,No7,8dan91Th VII 2000-200l.

    13S. Bayu Wahyono dkk, (2001) opcit.

    14

    BacaHustrasiini pada tulisan Lambang Trijono (2001).KeluardariKemelutMaluku.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    15Purwo Santoso (2000), opcit.

    128

    ~

    ......

    Arie Sujito, GeralamDemiliterisasidi Era TransisiDemokrasi

    kontrak baru secara bersama dan sekaligus momentum awal bagi

    perombakan struktur dan kultur politik secara substansial. Di dalamkonteks itu, ia hams mampu menjamin berlangsungnya transformasitata politik dan ekonomi yang lebih baik. Indonesia, diprediksikan akanmenjadi negara demokrasi ketiga sesudah Amerika dan India.

    Perjalananhampir3 tahun sebagaimana disaksikan saat ini, tidakbisa dipungkiri telah membawa dampak signifikan mengenaimenguatnya perubahan politik di Indonesia. Liberalisasi politik yangdicanangkan pada era Habibie, meskipun hanya bersifat 'setengah hati'telah menjadi peletak dasar bagi kebebasan masyarakat sipil dalammengaspirasi dan mengagregasikan kepentingan, tanpa adanyakekhawatiran terjadi tekanan dari manapun.

    Mengikuti arus besar gerakan reformasi, semenjak pergantianpemerintahanke tanganAbdurrahmanWahid (GusDur), nampaknyamengalami peningkatan secara kualitatif dibanding era Habibie.Tindakan spektakuler dan relatif radikal ditempuh Gus Dur. Gebrakanawal terpenting dan dianggap 'berani" dalam rangka mewujudkanamanat reformasi, setidaknya tercermin melalui langkah-Iangkahdemiliterisasi politik.16Tidak bisa dipungkiri, justru masa pemerintahanAbdurrahman Wahid lah yang berani merintis kebijakan menghalaumiliter dari arena politik praktis, karena alasan mendasar perlunyainstitusi militer agar tunduk dan mengadaptasikan pada ide-idedemokrasi yang saat ini telah menjadi tuntutan objektif masyarakatdunia.

    Saat itu, Gus Dur berkeinginan memperbaiki dan membangunkembali konsep hubungan sipil-militer dengan lebih mengedepankanpada supremasi sipil, karena konsep itu secara teoritis lebih dekatdengan demokrasi. Misalnyasaja, strategi untuk pemisahan antara militer

    16Sebelumnya, dimasa Soeharto,diskursus demiliterisasi politik yang sempat munculke permukaan memang pernah direspon secara "formal" dengan penguranganjumlah anggota parlemen dari 100menjadi 75,hingga 38orang yang masih bertahan.Namun, perubahan substantif tidak pernah terjadi,karena masih lemahnya desakandari masyarakat sipil serta belum tersedianya momentum reformasi.

    129

  • Jurnal Ilmu Sosilll& Ilmu Politik, Vol. 6, No.1, Juli 2002

    dengan kepolisian, yang dilandasi oleh perbedaan substansial posisidan perannya dalam kehidupan masyarakat.17 Carut-marutnya posisikeduanya menyebabkan hancurnya profesionalisme yang semestinyadiemban oleh kedua institusi tersebut. Tentara, yang sesungguhnyahanya memiliki wilayah pertahanan negara temyata merasuki areakeamanan yang merupakan otoritas kepolisian. Sebaliknya pula,kepolisian yang semestinya merupakan kekuatan sipil malahanmengalami militerisasi. Sehingga watak kekerasan lebih melekat dalamtubuh kepolisian dibanding daya persuasi dan norma hukum ketikamenyelesaikan konflik atau sengketa di tubuh masyarakat. Bahkan,eksesifnya kedua institusi itu pun menjadi alat pemerintah dan18kelompok tertentu untuk mengamankan kekuasaannya, sepertikonspirasi politik para elit penguasa telah mengabsorbsi perhatianmiliter dan kepolisian sehingga masuk pada arena instrik-intrik politik,yang kemudian meninggalkan tugas utamanya secara profesional.

    Upaya-upaya membatasi ruang militer sebelumnya jugadiawalinya dengan proses sipilisasi institusi pertahanan, dimana secarasimbolis diwujudkan dalam bentuk pengisian jabatan menteripertahanan dari kalangan sipil.19Kebijakan paralel berlangsung puladi tingkat daerah. Dimana pos-pos atau jabatan-jabatan politik strategisyang dulunya diklaim sebagai jatah perwira militer -seperti posisigubemur, bupati dan walikota- mulai bergeser secara cepat ke tangansipil, mengikuti perkembangan eksistensi partai dalam lembagaperwakilan di tingkat daerah (DPRD).

    Sayangnya, langkah-langkah radikal Gus Dur menghalau Millter

    17

    Kebijakan ini tercermin dalam TAP MPR No. VI dan VII/MPR/2000 yang berisimengenai pemisahan peran clan tugas pokok TN! clan Polrl dalamkenegaraan. DimanaTNI bertugas sebagai alat pertahanan negara dan tidak boleh mencampuri urusansosial poIitik, sementara Polri bertugas menjaga keamanan masyarakat.18Kasus yang berkaitan dengan upaya peletakan miIiter dan kepoIisian dalam tugasprofesional adalah terjadinya ketegangan antara Kapolri S.Bimantoro(saat itu) yangberselisih dengan Presiden Abdurrahman Wahid yang menyulut kontroversiberkepanjangan.

    19

    Jabatan Menteri Pertahanan dari kalangan sipil dimulai oleh Prof.Dr. JuwonoSudarsono, kemudian digantikan Prof. Dr. Mahfud MD, dan berIanjut pada MathoriAbdul DJalil di masa pemerintahan Megawati.

    130

    ~ Arie Sujito, Gera/am Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasidari panggung politik itu selalu mendapatkan tantangan dan reaksikeras, yang bukan saja berasal dari militer semata, namun juga olehpolitisi-politisi sipil pro status quo. Kepentingan konservatif masihmengisi kelompok-kelompok strategis di parlemen, dimana sisa-sisakekuatan lama hadir sebagai agen penghambat signifikan untukperubahan di era transisi demokrasi. Pengalaman demikian nyaris sarnadengan apa yang diungkapkan Linz dan Stepan (1996), bahwa masatransisi yang semestinya diikuti konsolidasi sipil dihadapkan padabenturan pada kekuatan-kekuatan lama yang masih berupaya menjagakekuasaannya.20 Faktanya, benturan-benturan kebijakan itu kian terasamenyakitkan, saat dimana Gus Dur pun akhirnya gagal melakukanpelembagaan politik karena ia terjerembab pada personifikasikekuasaan melalui gaya one man show. Drama "Buloggate" telah telahmenjadi pintu perangkap dalam mengakhiri kekuasaannya.21Disanalah yang menjadi penyebab, mengapa reformasi akhimyadianggap "mandul", karena tidak berhasil menghancurkan barisanneo-orba yang masih berkeliaran di berbagai arena. Tidak berlebihanjika proses ini menjadi perangkap terjadinya "involusi politik" di era

    f.22

    re ormaSl.

    ]atuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan yang penuh

    20 Juan Linz dan Alfred Stepan (1996).Problemof Democracy Transition and Consolidation.Baltimore, London: : the John Hopkins University Press.

    21 Peristiwa ini merupakan akumulasi ketegangan antara eksekutif dan parIemen yangberlarut-larut.

    22

    Meski begitu, tindakan demiIiterisasi poIitik pada era pemerintahan AbdurrahmanWahid juga menghasilkan respon perubahan internal (sebagai inisiatif miIiter), yangtentu saja topangan utamanya adalah desakan rakyat untuk melakukan perubahan.Kemauan institusi miIiter untuk melakukan adaptasi sesuai tuntutan perubahandirespon dengan melalui ide paradigma baru (new paradigm) peran miIiter di erareformasi. Misalnya, dengan diadakakannya seminar mengenai tataran kewenanganfungsi pertahanan clan keamanan pada 16Januari 2001serta RefungsionaIisasi Teritorialsebagai pemantapan Fungsi Pemerintah dalam rangka Pertahanan dan KeamananNegara pada tanggal 24-25 Januari 2001 perIu untuk dipahami. Bahkan langkahkemajuan yang perIu dicatat pula adalah, penghilangan jabatan Kaster (kepala StafTeritorial) miIiter yang saat terakhir dijabat oleh Letnan Jenderal Agus Wijoyo, yangkemudian dipromosikan menjadi Wakil Ketua MPR menggantikan Hari Sabarno.Untuk fenomena yang terakhir ini masih terjadi perdebatan dan tarik-menarikkepentingan yang belum usai.

    131

  • 'umal Ilmu Sosial & IImu Politik, Vol. 6, No.1, ,uli 2002

    kontroversial memang menjadi persoalan menarik, yang kemudianberimplikasi pada perubahan peta politik nasional. Naiknya Megawatike tampuk kekuasaan, telah menerbitkan harapan sekaligus dianggapbeban berat memandu arah reformasi. Diantaranya harusmengagendakan konsolidasi nasional secara cepat. Sukar terelakkanbahwa, semenjak Megawati menjadi presiden ketegangan antaraparlemen dan aksekutif dengan sendirinya mereda.23

    Kendatipun memiliki perhatian untuk membangun "kepastianpolitik", sebagian besar para aktivis pro demokrasi nampak skeptis ataskeberanian Megawati membendung laju kekuatan neo-orba dalamkerangka membangun demokrasi dengan meletakkan kerangkasupremasi sipil. Rangkaian agenda rintisan Gus Dur agar militer"netral" dari percaturan politik, mungkinkah bisa dilanjutkan dandilembagakan? Keraguan itu kian menguat saat dimana Megawatiterbukti masih mengakomodasi gugus jenderal untuk duduk dalamkursi kabinet.24 Selain, masih besarnya komposisi "kekuatan lama"untuk menduduki jabatan-jabatan strategis lainnya dalam strukturpemerintahan.

    Di luar persoalan itu, dalam penyelesaian ragam gejolak sosialdi berbagai daerah, Megawati masih "setia" menyertakan ekpresikekerasan. Penangkapan para aktivis partai dan ormas di Jawa Timurdan beberapa tempat di Jawa Tengah oleh aparat keamanan misalnya,menjadi indikasi awallahirnya persoalan baru akibat dari men~atnyakembali pendekatan militeristik dalam menyelesaikan konflik. Kasusgagalnya upaya perundingan di Aceh dan disertai penangkapan

    23

    Banyak pihak skeptis dengan perkembangan seperti ini, misalnya kecenderungandilematis sikap Megawati, antara membela para pendukungnya saat memperolehtiket menjadi presiden yang sebagian besar adalah kekuatan statusquo,atau desakandari kekuatan reformasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan KKNyang masihmenggurita.

    24Jabatan menteri yang masih dipegang militer pada kabinet "gotong royong"diantaranya Susilo B. Yudhoyono (Menkopolsoskam), Hari Sabarno (Mendagri),Agum Gumelar (Mehub), dan beberapa jabatan setingkat meneteri yang juga diisioleh perwira militer.

    25Terjadi pencekalan terhadap terhadap Ketua PWNU Jawa Timur saat ceramah diMojokerto, beberapa hari semenjak Gus Our digulingkan oleh Megawati.

    132

    -Arie Sujito, Gerakan Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi

    terhadap tim runding, tindakan teror terhadap masyarakat sipil Aceh(rnahasiswa, aktivis LSM dan pers telah) dapat dijadikan bukti pentingbetapa jaminan politik dan keamanan di era Megawati pun masihkedodoran. Rangkaian peristiwa sporadik berupa ledakan born yangrnenewaskan beberapa orang di Jakarta, Medan dan beberapa temp atlainnya, juga menjadi rapor buruk rezim Megawati. Peristiwa tewasnyaTheys Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) yang hingga kinirnasih misterius, juga kian menguatkan keyakinan bahwa berbagaistrategi kekerasan politik di Indonesia masih demikian besar di era

    £ . . .26relormasl ffil.Kasus mutakhir yang menunjukkan ketidakseriusan Megawati

    rnengurangi dominasi militer dalam memperlakukan tuntutan daerah,dengan membuat keputusan paradoksal. Dapat diambil contoh,rneskipun Nangro Aceh Darussalam (NAD) ditetapkan oleh pemerintahdalam bentuk UU, sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat Aceh,tetapi temyata pada saat bersamaan diikuti p,u1a pendirian komandodaerah militer (KODAM) Iskandar Muda.27 Kebijakan seperti inidianggap beberapa kalangan merupakan langkah mundur dan tidakpopuler. Mengapa? Pend irian KODAM Iskandar Muda dilakukan,justeru sa at Koter sedang mengalami krisis eksistensinya di matamasyarakat. Karuan saja kebijakan ini kemudian menimbulkan reaksikeras berupa penolakan di kalangan mahasiswa, LSM, media massadan tokoh-tokoh masyarakat. Berbagai kelompok mahasiswa, seperiUnsyiah Aceh melakukan demonstrasi menolak Kodam Iskandar Muda.Argumennya adalah, keberadaan Kodam tidak akan menyelesaikanmasalah, malahan dianggap akan menambah ketegangan karenakebijakan militerisasi berimplikasi pada kecenderungan pengedepananstrategi kekerasan.28 Beberapa NGO pun menilai pendirian Kodam diAceh merupakan bentuk pelanggaran terhadap TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. Menurut mereka, seharusnya yang perlu dilakukan

    26

    Meski masih bersifat hipotetis, tewasnya Theys dianggap ada kaitannya denganketerlibatan militer (Kopassus),baca majalah Tempo, 19-25November 200l.

    27

    Tempo Interaktif, 4 Januari 200228

    Kompas, 12Januari 2002

    133

  • Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 6, No.1, Juli 2002

    pemerintah menyangkut Aceh adalah pengusutan dan pengadilan jujurbagi para pelanggar HAM di Aceh.29

    Gerakan Demiliterisasi

    Secara teoritis, demokratisasi dan desentralisasi tidak akanoperasional jika tidak diikuti demiliterisasi. Karena transisi demokrasi

    yang diupayakan di Indonesia masih mewarisi gurita militerisasi yangberakar kuat dalam rezim otoritarian (Orde Barn) sebelumnya. ltuberarti prasyarat penting yang harus dipenuhi adalah tegaknyasupremasi sipil, absennya militer dari arena politik, terbangunnya militerprofesional, serta penguatan kontrol masyarakat terhadap OOliter.Bagaimana gagasan ini diupayakan?

    Dalam konteks desentralisasi, urusan "keamanan',30 sosial yangselama ini dimonopoli tentara-kepolisian secara hirarkhis-sentralistik,nampaknya perIu untuk didesentralisir ke daerah. Bahkan ke secarasubstansial mampu melibatkan kontrol sipil, sebagaimana diilustrasikandalam awal tulisan ini. Kendatipun saat ini militer mengalamidelegitimasi oleh masyarakat dan tuntutan supremasi sipil mulaimenguat, tetapi militer sebenarnya masih powerfull dan hegemonik31yang soot dikontrol institusi demokrasi dan masyarakat sipil secaraumum.

    Salah satu prioritas strategi dasar demiliterisasi untukmenghilangkan hegemoni di tingka t bawah adalah bagaimanamembatasi rnang instrumen militer itu sendiri, yang sampai saat ini

    29

    Pernyataan ini terlontar saat Workshop "Tinjauan Kritis Pendirian Kodam Aceh",diselenggarakan oleh RIDeP, Jakarta 28-29 januri 2002. (Kompas online, 29 Januari2(02).

    30

    Keamanan (security) dalam arti luas, selama ini masih dibelenggu hegemoni militeryang mengkonstruksi "wilayah otoritas tunggal" oleh tentara.

    31

    Dapat dibaca temuan riset yang dilakukan oleh PAU-Sosial UGM Yogyakarta, YayasanSandikota Jakarta dan Inpendam Yogyakarta (2001) mengenai masih tingginyapengakuan masyarakat atas perlunya kehadiran Komando Teritorial (Koter). Hasilriset ini memang kontroversial karena ternyata dijadikan basis justifikasi militeruntuk mengukuhkan eksistensi Koter di tingkat lokal.

    32

    Komando teritorial ini meliputi Korem (resort), Kodim (kabupaten), Koramil(kecamatan) sampai dengan Babinsa (desa)

    134

    ..",.. Arie Sujito, Gera/am Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasimasih beroperasi secara efektif. Keberadaan komando teritorial(Koter)32sebagai basis kekuasaan ten tara (AD) di wilayah bawah yangmerasuk secara birokratis dalam kehidupan masyarakat sipil. Di zamanOrde Barn, struktur teritorial dipolitisir oleh penguasa menghadapi

    para penentangnya (kelompok pro demokrasi yang oposisi terhadappemerintah), dimana TNI digunakan untuk melakukan tindakanrepresif terhadap elemen-elemen masyarakat yang dianggapbertentangan dengan pemerintah. Karenanya, struktur teritoriallebihbanyak memainkan peran sebagai fungsi pemerintahan dan politikketimbang pertahanan, padahal konsep awalnya didesain untukpertahanan teritorial negara. Oleh karena itu, sebagai altematif pentingmengenai keberadaan komando teritorial barangkali perIu dilakukan,yakni mengembalikan militer institusi komando teritorial ke barak-barak militer, karena pada prinsipnya tentara itu harus mobile, bukanmenduduki (menguasai) wilayah dari kantor.33 ltu berarti keberadaankomando teritorial menjadi tidak relevan lagi, dan perIu dibubarkankarena justern menjadi hambatan kemandirian dan supremasi sipil.

    Selain itu, ketidakpercayaan publik pada militer yang terusmenguat di masa transisi seperti saat ini, tampaknya belum bisa menjadimodal kuat untuk merubah militer praetorian menjadi militerprofesiona134, dan sekaligus membawa militer dari arena sosial-ekonomi-

    33 Liliat kristalisasi riset IRE dalam Naskilh Akildemik, "Rekonseptualisasi Hankam danHubungan Sipil-Militer Dalam Kerangka Demokratisasi dan Desentralisasi", disiapkanoleh Sutoro Eko, Arie Sujito dan AAGN Ari Dwipayana (Institutefor ReseachandEmpowerment, Yogyakarta, 2001)

    34 Militer profesional, menurut Huntington (1957), mempunyai tiga ciri menonjol.Pertama, ciri utamanya adalah keahlian, dimana militer memiliki keahlian danketrampilan secara spesifik. Hal ini diperlukan keahlian yang mendalam untukmengorganisir, merencanakan dan mengarahkan aktivitasnya. Kedua, adanyatanggungjawab sosial yang khusus. Ketaatan seorang militer (perwira) semata-matabukan pada komandan, tetapi harus memiliki tanggung jawab pada negara. Dengankata lain, hubungan kontrol dalam struktur militer profesional juga diletakkan antaraperwira dan komandan secara timbal balik terutama berkaitan untuk integritaskepentingan rasional. Kondisi seperti ini tentu saja berlainan di era dulu. Ketiga,militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corpsyang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan, apa yang oleh Hun-tington disebut dengan the military mind, yang menjadi dasar hubungan militer dannegara (Samuel Huntington, 1957).

    135

  • , Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 6, No.1, Juli 2002

    politik ke arena pertahanan. Di sisi lain, sebagai penopang utamademokrasi, elemen-elemen masyarakat sipil dan masyarakat politikmasih lemah dan cerai-berai sehingga mereka belum cukup kuatmengontrol sepak terjang militer.

    Dalam konteks itulah Diamond dan Patiner (2000) menjelaskan," ...membangun supremasi sipil tergantung dari strategi dan kualitaskepemimpinan pihak sipil. Semakin banyak reran militer dalam poIitik makasemakin krusial variabel-variabel politik.',3

    Maka, institusi politik yang kuat menyatu untuk tujuan demokrasidiantara elit politik sipil-tentunya dengan support masyarakat-akandapat membantu menghilangkan kembalihak prerogatif dari militer.36Sebaliknya, jika militer kembali mengendalikan langkah dan karaktertransisi dari kekuasaan otodter, maka tugas untuk menciptakansupremasi sipil dalam kerangka demokrasi jelas menjadi lebih berat.37Karena itu,membangun supremasi sipil sesungguhnya salah satunyatergantung dari strategi dan kualitas kepemimpinan dari pihak sipilyang sedang berkuasa untuk memanfaatkan momentum, mengelolapotensi dan menga tasi hamba tan dalam konsolidasi demokrasi.Semakin banyak peran militer dalam Rolitik maka semakin krusialvariabel-variabel politik tersebut di atas.38 lni1ah tantangan terbesar diera transisi demokrasi saat ini, yang akan menjadi penentu perubahanmendasar Indonesia di masa depan. ***

    35 Larry Diamond & Marc Pattner (2000). Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi.Jakarta: Grarnedia.

    36 Diamond & Pattner (2000).Ibid.37 ibid38 ibid

    136

    "....

    ...-..

    Arie Sujito, Gerakan Demiliterisasi di Era Transisi Demokrasi

    Daftar Pustaka

    Diamond, Larry & Pattner, Marc (2000). Hubungan Sipil-Militer danKonsolidasi Demokrasi. Jakarta: Gramedia.

    Eko, Sutoro, ed. (2000). Masyarakat PascaMiliter: Tantangan dan PeluangDemiliterisme di Indonesia. Yogyakarta: IRE.

    Eko, Sutoro, Sujito, Arie dan Ari Dwipayana, AAGN. (2001).'Rekonseptualisasi Hankam dan Hubungan Sipil-Militer DalamKerangka Demokratisasi dan Desentralisasi.' Yogyakarta: In-stitute for Reseachand Empowerment.

    Huntington, Samuel (1957).The Soldierand the State: The Theory andpolitics of Civil-MilitaryRelationsCambridge: Harvard Univer-sity Press.

    Linz, Juan Linz dan Stepan, Alfred (1996). Problemof DemocracyTran-sition and Consolidation.Baltimore, London: The John HopkinsUniversity Press.

    Mas'oed, Mohtar (1989). Ekonomi dan Struktur Politik, Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES.

    'Penguatan Wacana Demiliterisasi Masyarakat Lokal.' Maret-Agustus2000 (Proceeding (tidak dipublikasikan).

    Ross, Andrew (1987). 'Dimensions of Militerisation in The Third World.'Armed Forces and Society, 13.

    Santoso, Purwo (ed), (2000). Melucuti Serdadu Sipil: MengembangkanWacana Demiliterisme dalam Komunitas Sipil. Yogyakarta:FISIPOL-UGM.

    Shaw, Martin (1993). Post-MilitarySociety.London: Polity Press.

    Trijono, Lambang (2001). Keluardari Kemelut Maluku. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

    137

  • Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Palitik, Vol. 6, No.1, Juli 2002

    Vagts, Alfred (1959). A History of Militarism, Civilian and Military.London: Hollis and Carter.

    Wahyono, S. Bayu dkk. (2001). RefungsionalisasiKomando TeritorialTN!. Yogyakarta: Inpendam.

    Tempo, 19-25 November 2001.

    TempoInteraktif, 4 Januari 2002

    Kompas, 12 Januari 2002

    WorkshopIITinjauan Kritis Pendirian Kodam Aceh", diselenggarakanoleh RIDeP,Jakarta 28-29januri 2002. (Kompasonline,29 Januari 2002).

    138