27
8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Ginjal II.1.1 Struktur Anatomi Pada potongan sagital ginjal terdapat 2 bagian, yaitu bagian tepi luar ginjal yang disebut korteks dan bagian dalam ginjal yang berbentuk segitiga disebut piramid ginjal atau bagian medulla ginjal. Di dalam ginjal terdapat satuan fungsional ginjal yang paling kecil, yaitu nefron. Tiap ginjal tediri dari sekitar satu juta nefron. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler yaitu glomerulus dan komponen tubulus, keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat (Leeson, 1996). Nefron terdiri dari beberapa bagian yaitu : 1. Glomerulus Glomerulus adalah masa kapiler yang berbentuk bola yang terdapat sepanjang arteriol. Fungsinya untuk filtrasi air dan zat terlarut dalam darah. (Leeson, 1996) 2. Kapsula bowman Kapsula bowman merupakan suatu pelebaran nefron yang dibatasi oleh epitel yang menyelubungi glomerulus untuk mengumpulkan zat terlarut yang difiltrasi oleh glomerulus. (Leeson, 1996) ; (Sherwood, 2006) 3. Tubulus kontortus proksimal Cairan yang difiltrasi akan mengalir ke tubulus kontortus proksimal. Letak tubulus ini didalam korteks ginjal, panjangnya 14 mm dengan diameter 50-60nm. Bentuknya berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus yang berjalan kearah medulla, yaitu ansa henle. (Leeson, 1996)

ginjal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ginjal

8

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Ginjal

II.1.1 Struktur Anatomi

Pada potongan sagital ginjal terdapat 2 bagian, yaitu bagian tepi luar

ginjal yang disebut korteks dan bagian dalam ginjal yang berbentuk segitiga

disebut piramid ginjal atau bagian medulla ginjal. Di dalam ginjal terdapat

satuan fungsional ginjal yang paling kecil, yaitu nefron. Tiap ginjal tediri

dari sekitar satu juta nefron. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler

yaitu glomerulus dan komponen tubulus, keduanya secara struktural dan

fungsional berkaitan erat (Leeson, 1996).

Nefron terdiri dari beberapa bagian yaitu :

1. Glomerulus

Glomerulus adalah masa kapiler yang berbentuk bola yang terdapat

sepanjang arteriol. Fungsinya untuk filtrasi air dan zat terlarut dalam

darah. (Leeson, 1996)

2. Kapsula bowman

Kapsula bowman merupakan suatu pelebaran nefron yang dibatasi

oleh epitel yang menyelubungi glomerulus untuk mengumpulkan zat

terlarut yang difiltrasi oleh glomerulus. (Leeson, 1996) ; (Sherwood,

2006)

3. Tubulus kontortus proksimal

Cairan yang difiltrasi akan mengalir ke tubulus kontortus proksimal.

Letak tubulus ini didalam korteks ginjal, panjangnya 14 mm dengan

diameter 50-60nm. Bentuknya berkelok-kelok dan berakhir sebagai

saluran yang lurus yang berjalan kearah medulla, yaitu ansa henle.

(Leeson, 1996)

Page 2: ginjal

9

4. Ansa henle

Ansa henle merupakan nefron pendek yang memiliki segmen yang

tipis yang membentuk lengkung tajam berbentuk hufuf U. Bagian

pars desendens dari ansa henle terbentang dari korteks ke bagian

medulla, sedangkan pars asendens berjalan kembali dari medulla ke

arah korteks ginjal. (Leeson, 1996)

5. Tubulus distal

Setelah melewati ansa henle, maka akan berlanjut ke bagian nefron

tubulus distal. Tubulus kontortus distal lebih pendek dari tubulus

proksimal dan bagian tubulus distal ini berkelok-kelok di bagian

korteks dan berakhir di duktus koligens. (Leeson, 1996) ; (Sherwood,

2006)

6. Duktus koligentes

Duktus koligens merupakan saluran pengumpul yang akan menerima

cairan dan zat terlarut dari tubulus distal. Duktus koligens berjalan

dari dalam berkas medulla menuju ke medulla. Setiap duktus

pengumpul yang berjalan ke arah medulla akan mengosongkan urin

yang telah terbentuk ke dalam pelvis ginjal (Sherwood,2006)

Page 3: ginjal

10

Gambar 1. Struktur Ginjal (Nefron) (http//en.wikipedia.org/wiki/nefron)

II.1.2 Fisiologi

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan

komposisi kimia darah dengan mengeksresikan zat terlarut dan air secara

selektif. Fungsi utama ginjal ada dua, yaitu fungsi eksresi dan fungsi non

eksresi (Price SA, 2006). Komposisi dan volume cairan ekstraseluler ini

dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus.

(Sherwood, 2006)

II.1.2.1 Filtrasi glomerulus

Merupakan proses pertama dalam pembentukan urin. Air, ion dan zat

makanan serta zat terlarut di keluarkan dari darah ke tubulus proksimal.

Cairan yang difiltrasi dari glomerulus ke dalam kapsula Bowman harus

melewati tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus, yaitu dinding

kapiler glomerulus, membrana basal dan lapisan dalam kapsula bowman.

Page 4: ginjal

11

Sel darah dan beberapa protein besar atau protein bermuatan negatif seperti

albumin secara efektif tertahan oleh karena ukuran dan muatan pada

membran filtrasi glomerular. Sedangkan molekul yang berukuran lebih kecil

atau yang bermuatan postif, seperti air dan kristaloid akan tersaring. Tujuan

utama filtrasi glomerulus adalah terbentuknya filtrat primer di tubulus

proksimal (Sherwood, 2006).

Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah

tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan

tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah

tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.

Tekanan darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar dari

glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler

glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi

glomerulus (Sherwood, 2006).

GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik dan osmotik

koloid yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotik plasma

melawan filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga

menyebabkan peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat

meningkat secara tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi. Untuk

mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat di kontrol oleh otoregulasi

dan kontrol simpatis ekstrinsik (Sherwood, 2006).

Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri,

karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam

kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti

oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar

tetap konstan,maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber arteriol

aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan. Apabila

GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR akan

Page 5: ginjal

12

kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang akan

menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus (Sherwood, 2006).

Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan

adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan

sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri

sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap

perubahan tekanan darah(Sherwood, 2006).

Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke

glomerulus di filtrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan

180 L filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR rata-rata 125 ml/menit pada

pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita

(Sherwood, 2006).

II.1.2.2 Reabsorpsi Tubulus

Reabsorpsi tubulus merupakan proses menyerap zat-zat yang

diperlukan tubuh dari lumen tubulus ke kapiler peritubulus. Proses ini

merupakan transport transepitel aktif dan pasif karena sel-sel tubulus yang

berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino

direabsorpsi seluruhnya di sepanjang tubulus proksimal melalui transport

aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif

dan disekresi kedalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif

disepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O, Cl-,

dan urea direabsorpsi dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif

(Sherwood, 2006).

Berikut ini merupakan zat-zat yang di reabsorpsi di ginjal :

a. Reabsorpsi Glukosa

Glukosa direabsorpsi secara transport aktif di tubulus proksimal. Proses

reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena

molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus

Page 6: ginjal

13

membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi (Sherwood,

2006).

b. Reabsorpsi Natrium

Natrium yang difiltasi seluruhnya di glomerulus, 98-99% akan

direabsorpsi secara aktif di tubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi

di tubulus proksimal, 25% di reabsorpsi di lengkung henle dan 8% di

tubulus distal dan tubulus pengumpul (Sherwood, 2006). Natrium yang

direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat

juga berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan

urea (Corwin, 2009)

c. Reabsorpsi Air

Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari

H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan

ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi di

tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin

(Sherwood, 2006).

d. Reabsorpsi Klorida

Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif

mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dari natrium yang

bermuatan positif. Jumlah Cl- yang direabsorpsi ditentukan oleh

kecepatan reabsorpsi Na (Sherwood, 2006).

e. Reabsorpsi Kalium

Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi

secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium

akan direabsorpsi di ansa henle pars asendens tebal, dan sisanya

direabsorpsi di duktus pengumpul (Corwin, 2009).

f. Reabsorpsi Urea

Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan

difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi

Page 7: ginjal

14

sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses

sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal

karena tubulus kontortus proksimal tidak permeable terhadap urea. Saat

mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali

(Sherwood, 2006).

g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium

Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan

kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus,

40% direabsorpsi di tubulus kontortis proksimal dan 50% di reabsorpsi

di ansa henle pars asendens. Dalam reabsorpsi kalsium di kendalikan

oleh hormon paratiroid. Ion fosfat yang difiltrasi, akan direabsorpsi

sebnayak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan di

eksresikan ke dalam urin.

II.1.2.3 Sekresi Tubulus

Sekresi adalah proses perpindahan zat dari kapiler peritubulus kembali

ke lumen tubulus. Proses sekresi yg terpenting adalah sekresi H+,K+ dan

ion2 organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di

sepanjang tubulus, ion H+ akan disekesi ke dalam cairan tubulus sehingga

dapat tercapai keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke

dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan

dieksresikan dalam urine dan kontrol sekresi ion K+ tersebut diatur oleh

hormon antidiuretik (ADH).

Page 8: ginjal

15

Gambar 2. Fungsi filtrasi, reabsorpsi dan sekresi ginjal

(www.shore.net/labask_nephron)

II.1.2.4 Pembentukan Urin Yang Dihasilkan Oleh Filtrasi Glomerulus,

Reabsorpsi Tubulus dan Sekresi Tubulus.

Banyak zat yang harus dibersihkan dari darah terutama produk

akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat yang hanya sedikit

direabsorpsi, dan disekresikan ke dalam lumen tubulus, sehingga laju

eksresinya tinggi. Elektrolit seperti natrium, klorida, bikarbonat dan

kalium banyak yang direabsorpsi, namun hanya sedikit yang dieksresikan

ke urin. Kecepatan eksresi urin bergantung pada 3 proses dalam ginjal

yaitu filtrasi, reabsorpsi dan sekresi yang dinyatakan dengan persamaan

(Guyton, 2006) :

Kecepatan ekskresi urin = Laju filtrasi – laju reabsorpsi + laju sekresi

Page 9: ginjal

16

Jika suatu zat difiltrasi secara bebas oleh glomerulus, tetapi

tidak di reabsorpsi atau disekresi menunjukkan bahwa laju eksresinya

sama dengan laju filtrasi glomerulus. Zat tersebut adalah inulin dan

kreatinin, yang akan dieksresi di urin seluruhnya setelah di filtrasi.

Berbeda dengan ion elektrolit, karena elektrolit setelah di

filtrasi bebas, akan direabsorpsi sebagian kembali ke sirkulasi. Oleh

karena itu, laju eksresi urin pada elektrolit lebih rendah daripada laju

filtrasi glomerulus. Zat seperti asma amino dan glukosa setelah difiltrasi,

seluruhnya akan direabsorpsi oleh tubulus. Jika suatu zat setelah difiltrasi

tidak direabsorpsi, namun disekresi di tubulus maka zat tersebut

dibersihkan dari darah dan dieksresi dalam jumlah besar ke urin.

Kecepatan eksresi dihitung sebagai laju filtrasi ditambah dengan laju

sekresi tubulus.

II.2 Gagal ginjal kronik

II.2.1 Definisi dan Klasifikasi

Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bertahap,

progresif, menahun dan ireversibel. Gangguan fungsi yang menetap pada

kedua fungsi glomerulus dan tubulus yang sangat berat sehingga ginjal tidak

dapat mempertahankan lingkungan dalam tubuh tetap normal. Batasan ini

dapat meliputi fungsi ringan tanpa keluhan, sering disebut penurunan fungsi

ginjal kronik. (Syahbani, 1996)

Page 10: ginjal

17

Tabel 1. Kriteria penyakit ginjal kronik (NKF KDOQI Guidelines of CKD,

2002)

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan

struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi

glomerulus, dengan manifestasi :

- Kelainan patologis

- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi

darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1.73m2 selama 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada pasien dengan gagal ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan

oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukan

laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi

penyakit ginjal kronik dalam 5 stadium. Stadium pertama adalah kerusakan

ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 adalah kerusakan

ginjal dengan penurunan fungsi ginjal ringan, stadium 3 kerusakan ginjal

dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan

penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal.

Tabel 2. Laju Filtrasi Glomerulus dan Stadium Penyakit Ginjal Kronik

Stadium

1

2

3

4

5

Fungsi ginjal

Kerusakan ginjal dengan LFG normal

Penurunan ringan LFG

Penurunan sedang LFG

Penurunan berat LFG

Gagal ginjal

LFG (ml/menit/1.73m2)

≥ 90

60-89

30-59

15-29

<15

Sumber : Sudoyo et al, 2009 ; (NKF KDOQI Guidelines of CKD, 2002)

Page 11: ginjal

18

Proses kerusakan ginjal oleh berbagai macam penyebab dapat

mengakibatkan kerusakan yang progresif berupa kelainan seperti hiperfiltrasi

glomerular, mikroalbuminuria, albuminuria, fibrosis tubulus distal dan

glomerulosklerosis. Sesuai dengan tahapannya, akan terjadi perubahan yang

semakin berat dari biokimiawi darah atau manifestasi klinik antara lain,

terjadi kenaikan tekanan darah, penurunan Hemoglobin, kenaikan kadar

fosfat, penurunan kalsium, kenaikan kadar hormone paratiroid, peningkatan

ueum, kreatinin, gangguan keseimbangan asam basa dan lain-lain (Naskah

Lengkap Penyakit Dalam–PIT, 2010).

II.2.2 Etiologi

Gagal ginjal kronik merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang

progresif dan ireversibel yang berasal dari berbagai penyebab. Penyebab

gagal ginjal kronik yang tersering adalah diabetes (34%) dan hipertensi (21%)

(Price, 2005). Pielonefritis kronik dan penyakit ginjal polikistik sebanyak

3.4% dari ESRD (U.S Renal Data System, 2000). Penyebab ESRD tersering

yang ketiga adalah glomerulonefritis sebanyak 17% kemudian 21% penyebab

ESRD yang jarang terjadi adalah uropati obstruktif, dan lupus eritematosus

sistemik. Penyebab gagal ginjal kronik lainnya adalah penyakit ginjal

hipertensif. Insiden hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal

kronik kurang dari 10%. Pada orang dewasa, gagal ginjal kronik yang

berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) jarang

dijumpai (Sukandar, 2006).

II.2.3 Faktor Resiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes

melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,

dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan

penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

Page 12: ginjal

19

II.2.4 Patofisiologi

Menurut teori nefron yang utuh (intac nephron), ginjal harus

mempertahankan homeostasis dengan cara mengeksresi zat terlarut yang

dikendalikan oleh nefron. Pada gagal ginjal kronik terjadi kerusakan unit

nefron fungsional dan pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi

struktural. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang

diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.

Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang

progresif. Perubahan fungsi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal

menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih

utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi

lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus.

Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang

berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal

Disease (ESRD) (Price et al, 2005).

Pada stadium gagal ginjal terminal terjadi penurunan laju

filtrasi glomerulus yang progresif. Akibat adanya penurunan laju filtrasi

glomerulus, maka akan terjadi gangguan fungsi eksresi dan menyebabkan

penurunan eksresi kalium (hiperkalemia), peningkatan ureum dan

kreatinin dalam darah dan terjadi penurunan reabsorpsi zat lain seperti

fosfat, asam urat, HCO3-, Ca2+, urea, asam amino. Gangguan dari fungsi

ginjal tersebut menimbulkan hiperfosfatemia, hiperurikemia, dan asidosis

metabolik. Anemia yang terjadi pada pasien GGK akibat gangguan

pembentukan eritropoietin di ginjal. Gejala anemia tersebut ditandai

dengan penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar

hematokrit darah (Price et al, 2005); (Silbernagl, 2007).

Page 13: ginjal

20

II.2.5 Gambaran klinik

Pada gagal ginjal kronis, gejala-gejalanya berkembang secara

perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi

ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan

dengan perkembangan penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi

peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini,

penderita menunjukkan gejala-gejala fisik yang melibatkan kelainan

berbagai organ seperti :

- Kelainan saluran cerna : Nafsu makan menurun, mual, muntah,

dan fetor uremik

- Kelainan kulit : Urea frost dan gatal di kulit

- Kelainan neuromuskuler : Tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya

konsentrasi menurun, insomnia, gelisah.

- Kelainan kardiovaskuler : Hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema.

- Gangguan kelamin : Libido menurun, nokturia, oligouria

GGK stadium awal terjadi penurunan GFR ringan. Kemudian

secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan

keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan

kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar 30% mulai terjadi penurunan

berat badan, hilangnya nafsu makan, gejala mual, badan lemah serta

nokturia. Sampai GFR dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan

tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,

gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan

lain sebagainya. Juga terjadi gangguan keseimbangan air seperti

hipovolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan

kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang

Page 14: ginjal

21

lebih serius dan pasien sudah harus menjalani terapi pengganti ginjal

antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (Sukandar, 2006).

II.2.6 Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium pada gagal ginjal kronik ditemukan peningkatan

kadar ureum dan serum kreatinin, dapat juga dijumpai gambaran

laboratorium lain sebagai berikut :

II.2.6.1 Anemia

Anemia merupakan salah satu komplikasi GGK terjadi pada

80-90% penderita gagal ginjal kronik. Apabila terjadi kerusakan pada

parenkim ginjal akibat gagal ginjal kronik, maka akan mengakibatkan

penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses

pembentukan eritrosit. Jika terjadi penurunan jumlah eritrosit, konsentrasi

hemoglobin dan hematokrit, selama volume darah masih dalam batas

normal disebut dengan anemia (Sudoyo, 2009).

Disamping defisiensi eritropoietin, ada beberapa faktor lain

yang turut berperan terhadap terjadinya anemia pada GGK, seperti anemia

defisiensi besi yang biasanya terjadi pada 25-45% pasien GGK.

Defisiensi besi pada GGK disebabkan oleh berbagai faktor seperti

perdarahan dan nutrisi yang kurang. Selain itu, GGK dapat menyebabkan

gangguan mukosa lambung (gastropati uremikum) yang sering

menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksin uremik pada

penderita GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah

menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70-80 hari dan

toksin uremik ini dapat mempunyai efek inhibisi (menekan) eritropiesis.

Kelainan morfologi darah paling sering ditemukan pada pasien GGK

adalah bentuk anemia normositik normokrom (MCHC 32-36%, MCV 78-

94%) (PIT IPD-2010).

Page 15: ginjal

22

II. 2.6.1.2 Patofisiologi Anemia

Penyebab utama anemia pada GGK adalah defisiensi hormon

eritropoietin. Kira-kira 90% eritropietin dibentuk di ginjal, sisanya

dibentuk dalam hati. Sel-sel darah merah yang dibentuk di sumsum

tulang berasal dari pluripoten stem cell. Hormon eritropoietin berfungsi

untuk merangsang pertumbuhan dan diferensiasi dari progenitor eritroid,

burst-forming-unit-erythroid (BFU-E) dan colony-forming-unit erythroid

(CFU-E) menjadi eritroblast. Pada tahap proliferasi dan maturasi dari

eritroblast menjadi pronormoblast dan retikulosit dibutuhkan zat besi,

asam folat, vitamin B12, piridoksin dan asam askorbat. Hormon

eritropoietin dibentuk oleh sel fibroblast yang spesifik pada jaringan

interstisium tubulus proksimal ginjal sebagai respon terhadap keadaan

hipoksia. Pada GGK, jumlah nefron berkurang dan akibatnya terjadi

insufisiensi eritropoietin yang menyebabkan respon eritropoiesis terhadap

hipoksia tidak efektif sehingga terjadi anemia. (PIT IPD-2010)

II.2.6.1.3 Manifestasi klinis Anemia pada GGK

Berat derajat anemia sejalan dengan penurunan fungsi ginjal. Anemia

umumnya terjadi jika LFG <60ml/menit, akan tetapi manifestasi klinis

yang nyata biasanya timbul pada LFG <30ml/mnt. Menurut WHO,

anemia pada wanita bila Hb <12g/dL atau hematokrit <37% pada wanita,

dan Hb <14 g/dL atau hematokrit <40% pada laki-laki (PIT IPD-2010).

2.6.1.4 Evaluasi Anemia pada GGK

Evaluasi anemia dimulai bila kadar Hb <10g% :

- Hb, Ht, trombosit

- Morfologi eritrosit: MCV (Mean Corpuscular Volume),

MCH(Mean Corpuscular Hemoglobin), dan sediaan apus

- Hitung retikulosit

- Analisis status besi meliputi: kadar besi serum, total iron binding

capacity (TIBC), saturasi transferin dan kadar feritin serum

Page 16: ginjal

23

II.2.6.2 Hiperurikemia

Hiperurikemia sering terjadi pada GGK. Pada gagal ginjal

terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam

darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan

pengendapan kristal urat dalam sendi, sendi akan terlihat membengkak,

meradang dan nyeri (Price et al, 2006).

II.2.6.3 Hiponatremia

Keseimbangan natrium masih dapat dipertahankan pada

sebagian penderita GGK. Berdasarkan konsep intac nephron hypothesis,

untuk mempertahankan keseimbangan natrium dalam tubuh akan

diimbangi oleh peningkatan eksresi natrium melalui ginjal (Sukandar,

2006). Mekanisme peningkatan eksresi natrium ini dapat disebabkan

oleh pengeluaran hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat

reabsoprsi natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk

disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat.

Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan

akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan

hiponatremia dapat ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa

kram, diare, dan muntah. Pemberian garam natrium pada pasien GGK

harus dalam batas toleransi maksimal dengan tujuan untuk

mempertahankan volume cairan ekstravaskuler. Oleh karena itu

pengawasan terhadap terjadinya hiponatremia sangat penting untuk

dilakukan pemeriksaan laboratorium elektrolit Na+ dalam darah dan urin

(Price et al, 2006) ; (Sukandar, 2006).

II.2.6.4 Hiperkalemia

Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan gagal ginjal

kronik apabila ginjal tidak mampu mensekresi kalium melalui tubulus

ginjal. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem

saraf dan otot jantung, rangka dan polos. Sehingga dapat menyebabkan

Page 17: ginjal

24

kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas

saluran cerna dan kelainan mental (Price et al, 2006).

Pada keadaan asidosis metabolik dapat memicu terjadinya

hiperkalemia. Apabila konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion

hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel-sel ginjal sehingga

mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan

konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan

sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang.

Hiperkalemia yang berat terjadi saat GFR <10ml/menit/1.73m2 (Corwin,

2009). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hiperkalemia pada GGK

antara lain (Sukandar, 2006):

a. Diuretika

Golongan spironolakton akan menyebabkan penurunan

sekresi kalium melalui tubulus ginjal.

b. Asupan Kalium berlebihan

c. Asidosis

Pada keadaan asidosis akut, ion K+ dapat berpindah dari

cairan intraseluler ke cairan ekstraseluler sehingga konsentrasi

kalium meningkat (hiperkalemia)

d. Keadaan gagal jantung kongestif, hipertensi berat, deplesi

garam dan air

II.2.6.5 Proteinuria

Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab

dari kerusakan ginjal pada GGK seperti diabetes melitus,

glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria glomerular berkaitan dengan

sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa

mekanisme menyebabkan kenaikan permeablilitas glomerulus dan

memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein

berukuran besar seperti albumin dan imunoglobulin akan bebas melewati

Page 18: ginjal

25

membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi

pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebut dengan sindrom

nefrotik (Price et al, 2006) ; (Baron, 1995).

II.2.6.6 Hiperfosfatemia

Penurunan faal ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat

sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Hal ini akan

menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder. Kerusakan yang

ditimbulkan adalah kalsifikasi pada jaringan lunak seperti otot, pembuluh

darah dan ginjal (Sukandar, 2006).

II.2.6.7 Hipokalsemia

Hipokalsemia pada GGK disebabkan oleh gangguan

penyerapan kalsium di usus akibat gangguan pembentukan metabolit

aktif vitamin D di ginjal yaitu 1,25-dihidroksikalsiferol. Kelainan yang

berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi

renal dan hiperparatiroidisme sekunder (Sukandar, 2006).

II.2.6.8 Asidosis

Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolic dapat terjadi akibat

penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai

dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis

asidosis metabolic pada gagal ginjal kronik :

a. Penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron

b. Penurunan eksresi fosfat

c. Kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin

Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan

pH darah kurang dari 7.35 dapat dikatakan asidosis metabolic. Asidosis

dapat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia

dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah

pernafasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan

Page 19: ginjal

26

ekskresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis

(Sukandar, 2006) ; (Price et al, 2006).

II.2.6.9 Uremia

Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab

dari uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal

sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urine

dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang

mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus

ginjal (Sacher, 2004); (Sukandar, 2006).

Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka

gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala

iritasi traktus gastrointestinalis, gangguan neurologi, nafas seperti amonia

(fetor uremikum), perikarditis uremia, dan pneumonitis uremik. Ganguan

pada serebral dapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan

menyebabkan koma uremikum (Baron, 1995).

II.2.7 Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut :

- Memastikan adanya penurunan faal ginjal (GFR)

- Memastikan etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

- Mengidentifikasikan semua faktor yang memperburuk faal ginjal

- Menentukan strategi terapi rasional

- Meramalkan prognosis

2.7.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua

keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin

azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua factor

yang memperburuk faal ginjal. Gambaran klinik makin nyata bila

Page 20: ginjal

27

pasien sudah masuk ke fase terminal yaitu gagal ginjal terminal

dengan melibatkan banyak organ seperti system hemopoiesis, saluran

cerna, saluran nafas, mata, kulit, selaput serosa, sistem kardiovaskuler

dan neuropsikiatri. Semua factor etiologi yang mungkin dapat

dikoreksi biasanya sulit terungkap pada anamnesis dan pemeriksaan

fisik diagnosis. Tetapi informasi ini sangat penting sebagai acuan

penetapan diagnosis dengan memakai sarana penunjang laboratorium

dan pemeriksaan yang lebih spesifik (Sukandar, 2006).

2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium kimia darah untuk faal ginjal

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan

menentukan derajat penurunan GFR, identifikasi etiologi, menentukan

perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang memperburuk faal

ginjal yang sifatnya reversibel.

2.7.2.1 Kreatinin

Merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot

dan kreatin fosfat. Dapat ditemukan dalam otot rangka. Kreatinin

serum telah menjadi penanda umum untuk mengetahui fungsi

ginjal. Karena proses filtrasi kreatinin terutama di ginjal. Apabila

produksi kreatinin konstan dan eliminasi kreatinin melalui ginjal

berkurang, maka akan terjadi peningkatan serum kreatinin.

Peningkatan kreatinin serum 3 kali lipat menandakan kehilangan

fungsi ginjal 75%.

Nilai normal kreatinin dalam darah :

Pria : 0.6 - 1,3 mg/dl atau 45-132.5 mmol/L

Wanita : 0.5 - 0.9 mg/dl

Page 21: ginjal

28

2.7.2.2 eGFR

Penyakit ginjal kronik ditentukan berdasarkan adanya

penurunan laju filtrasi glomerulus yang terjadi selama 3 bulan atau

lebih. Laju filtrasi glomerulus merupakan pengukuran spesifik

untuk mengetahui kapasitas filtrasi glomerulus dan fungsi ginjal.

Cara yang paling sering digunakan dalam menghitung GFR adalah

dengan menggunakan klirens. Klirens adalah jumlah volume

plasma yang dibersihkan dari glomerulus pada periode waktu

tertentu. Nilai klirens zat yang dibersihkan di glomerulus dengan

cara difiltrasi, tanpa di reabsorpsi dan di sekresi dapat digunakan

untuk mengukur besarnya GFR. Klirens setara dengan konsentrasi

suatu substansi dalam urin (Uc), dikalikan laju aliran urin (Uvol),

dan dibagi konsentrasi plasma (Pc) dengan hasil

mL/menit/1.73m2.

National Kidney Foundation (NKF)/Kidney Disease

Outcome Quality (KDOQi) menggunakan estimasi GFR (eGFR)

untuk menentukan tahapan penyakit ginjal kronik dengan formula

eGFR yang didasarkan pada nilai serum kreatinin. Dasar pemilihan

rumus ini karena kadar kreatinin yang berbeda-beda yang dapat di

pengaruhi oleh masa otot yang berbeda tiap orang berdasarkan

usia, jenis kelamin, ras, luas permukaan tubuh. Pada usia tua

terjadi penurunan masa otot dan pengaruhnya akan merendahkan

kadar kreatinin. Kadar kreatinin darah laki-laki lebih tinggi

Page 22: ginjal

29

daripada perempuan, karena masa otot laki-laki lebih banyak.

Pengaruh luas permukaan tubuh atau berat badan terhadap kadar

kreatinin, pada keadaan malnutrisi akan terjadi penurunan masa

otot dan merendahkan kadar kreatinin. Ras juga mempengaruhi

kadar kreatinin, pada ras orang Amerika-Afrika masa otot lebih

banyak daripada ras Kaukasia, sehingga kadar kreatinin orang

Amerika-Afrika cenderung meningkat. Rumus yang paling sering

digunakan pada orang dewasa adalah rumus Cockroft-Gault karena

relatif sederhana dan akurat (AJKD, 2002) ; (Sudoyo, 2009).

Rumus Cockroft-Gault :

LFG (mL/mnt/1.73m2) = (140-umur) x Berat Badan *

72x kreatinin plasma (mg/dL)

*Pada perempuan dikalikan 0.85

Alasan pemilihan rumus Cockroft-Gault dalam

penelitian ini adalah karena rumus tersebut banyak di gunakan

oleh paramedis dan rumus tersebut sangat mudah dan sederhana,

serta variabel yang digunakan untuk menghitung eGFR seperti

serum kreatinin, usia, jenis kelamin dan luas permukaan tubuh

terdapat dalam rekam medis pasien gagal ginjal kronik.

Persamaan lain yang digunakan untuk menghitung eGFR adalah

Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) bagi pasien usia

>18 tahun :

eGFR = 175 x (serum creatinin) -1.154 (Usia)-0.203 x (0.742 jika

wanita) x (1.212 jika African-American)

Dari hasil perhitungan estimasi GFR tersebut

digunakan untuk mengetahui derajat GGK berdasarkan stadium

gagal ginjal kronik menurut NKF-KDOQI. Jika hasil estimasi GFR

kurang dari 60mL/menit/1.73m2, maka sudah terjadi kerusakan

ginjal.

Page 23: ginjal

30

II.2.8 Komplikasi

Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai

berikut (Tierney Lawrance et al, 2005):

a. Hiperkalemia

b. Asidosis metabolik

c. Komplikasi kardiovaskuler (hipertensi dan gagal jantung kongestif)

d. Kelainan hematologi (anemia)

e. Osteodistrofi renal

f. Gangguan neurologi (neuropati perifer dan ensefalopati)

g. Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

II. 3 Tinjauan Karakteristik Pemersiksaan Laboratorium Gagal Ginjal

Kronik dan Hubungannya dengan GFR (Glomerular Filtration Rate)

II.3.1 Ureum

Pemeriksaan kadar ureum digunakan untuk mengetahui gangguan

fungsi ginjal. Ureum merupakan substansi endogen yang merupakan

metabolit dari protein. Protein makanan dipecah menjadi asam amino,

kemudian akan dipecah menjadi senyawa amonia oleh bakteri. Di dalam hati,

senyawa amonia tersebut akan diubah menjadi ureum dan masuk kedalam

sirkulasi kemudian di eksresikan ke urin melalui ginjal. Lebih dari 90% ureum

darah dibersihkan lewat ginjal (Baron, 1995); (Sacher, 2004).

Ureum sangat bergantung pada filtrasi glomerulus di ginjal. Karena

ureum seluruhya akan difiltrasi di ginjal, dan sedikit di reabsorpsi dengan

masuk ke kapiler peritubulus, namun tidak mengalami sekresi di tubulus.

Kadar ureum akan meningkat jika terjadi kerusakan fungsi filtrasi, sehingga

ureum akan berakumulasi dalam darah. Peningkatan kadar ureum ini akan

seiring dengan menurunnya fungsi filtrasi ginjal pada gagal ginjal kronik.

Kadar Ureum normal : 10-50 mg/dL

Page 24: ginjal

31

II.3.2 Asam Urat

Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin. Purin (adenine dan

guanine) merupakan konstituen asam nukleat. Didalam tubuh pertukaran

purin terjadi terus menerus seiring dengan sintesis dan penguraian RNA dan

DNA. Asam urat disintesis di hati dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh

enzim xantin oksidase. Asam urat dalam sirkulasi yang difiltrasi oleh ginjal

hampir seluruhnya direabsorpsi di tubulus ginjal dan di eksresikan melalui

urin (Sacher, 2004); (Baron, 1995).

Jika terjadi penurunan filtrasi glomerulus pada gagal ginjal kronik

dapat menyebabkan gangguan eksresi asam urat dan terjadi akumulasi asam

urat dalam darah (hiperurikemia). Selain itu, Peningkatan kadar asam urat

dalam urin dan serum dapat bergantung kepada fungsi ginjal, kecepatan

metabolisme purin, dan asupan diet makanan yang mengandung purin

(Sutedjo, 2007). Pemeriksaan asam urat darah tidak dapat dijadikan indikator

untuk deteksi dini dari GGK, karena tidak mempunyai hubungan erat dengan

derajat penurunan fungsi ginjal dan banyak dipengaruhi oleh banyak faktor

dalam metabolisme asam urat tersebut. Namun dapat digunakan untuk

mengetahui manifestasi klinik dari gagal ginjal kronik berupa hiperurisemia

(Sukandar, 2006).

Nilai normal dalam darah :

Pria : 3.4 - 8.5 mg/dl

Wanita : 2.8 – 7.3 mg/dl

II.3.3 Natrium

Natrium adalah kation terdapat banyak pada cairan elektrolit

ekstraseluler, mempunyai fungsi untuk mempertahankan cairan tubuh.

Elektrolit ini memiliki banyak fungsi dalam tubuh, termasuk konduksi impuls

neuromuskuler melalui pompa natrium, aktivitas enzim, osmolalitas cairan

intravaskular, pengaturan keseimbangan asam-basa, dan lain-lain. Keadaan

Page 25: ginjal

32

hiponatremia dapat disebabkan oleh adanya penurunan volume plasma

disertai dengan peningkatan osmolalitas cairan ekstravaskuler. Ion natrium

yang di filtrasi di glomerulus, hampir seluruhnya di reabsorpsi di tubulus dan

kembali ke darah. Oleh karena itu, laju eksresi urin terhadap ion natrium lebih

rendah daripada laju filtrasi glomerulus. Pemeriksaan adanya hiponatremia ini

dapat digunakan untuk mendeteksi gangguan keseimbangan elektrolit pada

pasien GGK.

Nilai normal dalam serum : 135-145mEq/L atau 135-145mmol/L

Dalam urin : 40-220mEq/L/24jam

II.3.4 Kalium

Kalium adalah elektrolit yang berada pada cairan vaskuler, dan 90%

dikeluarkan melalui urin, rata-rata 40mEq/L. Dalam proses eksresi urin, laju

ekresi kalium dipengaruhi oleh laju filtrasi kalium (GFR dikali dengan

konsentrasi kalium plasma), laju reabsorpsi kalium oleh tubulus dan laju

sekresi kalium oleh tubulus. Peningkatan kadar kalium (hiperkalemia) pada

GGK dapat disebabkan karena adanya kegagalan reabsorpsi dan sekresi

kalium di cairan ekstraselular. Sehingga, pada penurunan GFR yang berat

akan disertai dengan hiperkalemia berat.

Nilai normal Kalium : 3.5-5.0mEq/L atau 95-105 mmol/L

II.3.5 Proteinuria

Proteinuria adalah keadaan terdapatnya protein dalam urin. Pada gagal

ginjal kronik, kerusakan ginjal yang mengakibatkan perubahan pada endotel

pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial

ginjal yang dapat meningkatkan tekanan glomerular, sehingga berkurangnya

filtrasi pada ginjal akan menyebabkan terjadinya perubahan yang mengarah

kepada terjadinya glomerulosklerosis yang berakhir dengan gagal ginjal.

Protein plasma dengan berat molekul rendah mudah disaring melalui

mebrana basalis glomerular dan direabsorpsi oleh sel tubuler, adanya

Page 26: ginjal

33

peningkatan eksresi protein dalam urin menunjukkan kerusakan tubuler. Jika

protein dengan berat molekul tinggi seperti albumin dapat melewati membran

glomerulus, maka laju filtrasi dari membran glomerulus itu akan berkurang

dan menyebabkan proteinuria. Pemeriksaan proteinuria dapat dijadikan

penanda dari penurunan fungsi ginjal yang progresif. Kriteria proteinuria :

Proteinuria ringan : <0.5gr/hari

Proteinuria sedang : 0.5-3gr/hari

Proteinuria berat : >3gr/hari

II.4 KERANGKA KONSEP

Keterangan :

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

Pemeriksaan

laboratorium gagal

ginjal kronik

GFR

Elektrolit darah :

- Natrium

- Kalium

Proteinuria

Anemia

(kadar Hb)

Kadar Ureum

Kadar Asam

Urat eGFR - Cystatin C

- Inulin

- PAH

- PSP

- Creatinin

Clearance

- Ureum

Clearance

- Serum kreatinin - Usia

- Jenis Kelamin - Luas Permukaan

Tubuh (BB)

Page 27: ginjal

34

II.5 HIPOTESIS PENELITIAN

a. Terdapat hubungan antara eGFR dengan kadar ureum pada pasien GGK di

RS.Bhaktiyudha Depok

b. Terdapat hubungan antara eGFR dengan kadar Hb pada pasien GGK di

RS.Bhaktiyudha Depok

c. Terdapat hubungan antara derajat GGK dengan kadar asam urat pada pasien

GGK di RS. Bhakti Yudha Depok

d. Terdapat hubungan antara derajat GGK dengan kadar natrium pada pasien

GGK di RS. Bhakti Yudha Depok

e. Terdapat hubungan antara derajat GGK dengan kadar kalium pada pasien

GGK di RS. Bhakti Yudha Depok

f. Terdapat hubungan antara derajat GGK dengan terjadinya proteinuria pada

pasien GGK di RS. Bhakti Yudha Depok