21
BAB III METODE KEGIATAN 3.1 Identifikasi Penyebab Masalah Proses identifikasi masalah diperoleh melalui metode-metode berikut ini, 1. Wawancara dengan Bidan Desa Karangkepoh (30 April 2016) 2. Wawancara dengan ibu balita gizi buruk. 3. Wawancara dengan pemegang program. MANYARAN SEMPULU R KLUMPIT PINGGIR BANTENGAN TEGALSA RI SRANTEN GROGOLA N MOJOSARI PENGKOL KARANG KEPOH SENDANG KEBONAN KLARI BANGKOK DOLOGAN 0 1 2 3 4 Cakupan Gizi Buruk Hasil yang didapat wawancara dengan bidan karangkepoh didapatkan hasil balita dengan gizi buruk.

Gizi Buruk

  • Upload
    aulia

  • View
    218

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mini gizi buruk

Citation preview

Page 1: Gizi Buruk

BAB III

METODE KEGIATAN

3.1 Identifikasi Penyebab Masalah

Proses identifikasi masalah diperoleh melalui metode-metode berikut ini,

1. Wawancara dengan Bidan Desa Karangkepoh (30 April 2016)

2. Wawancara dengan ibu balita gizi buruk.

3. Wawancara dengan pemegang program.

MANYARAN

SEMPULUR

KLUMPIT

PINGGIR

BANTENGAN

TEGALSARI

SRANTEN

GROGOLAN

MOJOSARI

PENGKOL

KARANG KEPOH

SENDANG

KEBONANKLA

RI

BANGKOK

DOLOGAN

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

Cakupan Gizi Buruk

Hasil yang didapat wawancara dengan bidan karangkepoh didapatkan hasil balita dengan

gizi buruk.

Page 2: Gizi Buruk

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai

oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses

terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun

2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat

gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah

berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%),

sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).4,5

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia

telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan bahwa jumlah balita

yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningkatkan dari 6,3 %

menjadi 7,2 % tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Upaya

Pemerintah antara lain melalui pemberian makanan tambahan dalam jaringan pengaman

sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi

Page 3: Gizi Buruk

buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada

tahun 1998, 8,1% pada tahun 1999, dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi

peningkatan kembali 7% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15%.4,7

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen Kesehatan-

Unicef tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi buruk sebanyak 169

kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257 kabupaten/kota lainnya

prevalensi tinggi. Dari data Depkes juga terungkap masalah gizi di Indonesia ternyata lebih

serius dari yang kita bayangkan selama ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita

anak balita, tetapi semua kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping

anak-anak. Sekitar 4 juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta

lainnya kekurangan energi kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir

350.000 bayi lahir dengan kekurangan berat badan (berat badan rendah).4

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan

kesehatan masyarakat merupakan salah satu tataran pelaksanaan pendidikan dan pemantauan

kesehatan masyarakat. Pemantauan dan deteksi tumbuh kembang anak, termasuk di

dalamnya ganguan gizi, pada usia dini merupakan bagian dari tugas tenaga kesehatan

puskesmas di wilayah kerjanya masing-masing. Apabila tidak dilakukan pemantauan dan

dan deteksi tumbuh kembang anak usia dini secara benar dan cermat, maka disfungsi

tersebut dimungkinkan akan menjadi kelainan permanen pada diri anak. 1,2,3

Mengingat pentingnya tugas tenaga kesehatan puskesmas dalam pemantauan dan

deteksi gizi buruk pada anak, maka pemahaman dan keterampilan setiap petugas tenaga

kesehatan puskesmas dalam konsep teknis deteksi dan intervensi dini gizi buruk anak

menjadi sangat penting. Atas latar belakang tersebut dilaksanakan mini project sosialisasi

dan pelatihan deteksi dan intervensi gizi buruk pada anak kepada kader kesehatan di

Kelurahan Sanan Wetan. Melalui upaya tersebut diharapkan puskesmas sebagai ujung

tombak pelayanan kesehatan masyarakat dapat turut mempersiapkan anak Indonesia menjadi

calon generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas, tangguh dan berbudi luhur.

1.2. Permasalahan

Page 4: Gizi Buruk

Berdasarkan survei yang dilakukan pemegang program gizi Puskesmas wilayah Karanggede,

diperoleh data cakupan gizi buruk pada 16 desa di Karanggede. Terdapat 8 desa dengan

nihilnya cakupan gizi buruk. Sedangkan, desa yang memiliki cakupan gizi buruk terbanyak

adalah Desa Karangkepoh, yaitu dengan 4 kasus gizi buruk.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur

(BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI, 2011),

sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak

berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan

tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4

2.2 Epidemiologi

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia

telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita

yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi

7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya pemerintahan

tara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan

peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada

tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998;

Page 5: Gizi Buruk

8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan

kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus, kwashiorkor,

marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari

WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk,

19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini dapat

dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4% pada

tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah

nominal anak gizi buruk masih relatif besar.

2.3 Klasifikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.

Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang

berbeda-beda.

2.3.1 Marasmus

Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena diet

yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang hubungan

orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic atau malformasi congenital.

Gangguan berat setiap system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.6

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul

diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit

(kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit,

gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak tampak sering

rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut

adalah gejala pada marasmus adalah : Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian

besar lemak serta otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit, wajah seperti orang tua, Iga

Page 6: Gizi Buruk

gambangm perut cekung, otot paha mengendor (baggy pant), cengeng, rewel dan setelah

mendapat makan anak masih terasa lapar

2.3.2 Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana

dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh

lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau edema

pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.

Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan kimia,

gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai

biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare

kronik, kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka

bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik .6

Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan

masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang berlebihan

atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi

vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk

malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama berada di

daerah industri belum bekembang.6

Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau

iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamuna,

kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.

Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius dan

konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan

tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak.

Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang

sering ada dalam organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma

ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil

pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini sering

terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada

pada daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini

sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan kehilangan

Page 7: Gizi Buruk

sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi menghasilkan corak merah

atau abu-abu pada warna rambut (hipokromotrichia) .6

Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual, muntah,

dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-kadang

mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati

sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.6

Ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah perubahan status mental :

cengeng, rewel, kadang apatis, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan

mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam,

wajah membulat dan sembab, pandangan mata anak sayu, pembesaran hati, hati yang

membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin

dan pinggir yang tajam serta kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan

berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

2.3.3 Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor

dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk

pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan

< 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan

rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.4

2.4 Etiologi

Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor,

baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut Depkes RI

(1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi pada balita

adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan kebutuhan anak,

sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor sepertitingkat sosial ekonomi,

pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola konsumsi,

serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga memegang

peranan penting. Di bawah ini dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah

gizibalita.

Page 8: Gizi Buruk

2.4.1. Tingkat Pendapatan Keluarga.

Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk

konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan penghasilan

terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan

status gizi yang berlawanan hampir universal.

Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal

memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.

2.4.2 Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.

Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada

tiga kenyataan yaitu: status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan serta kesejahteraan,

setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan

zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal dan ilmu gizi memberikan

fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik

bagi perbaikan gizi.

Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu

yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,maka ia akan

semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi.

Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang penilaian

status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi tentang masalah yang

berkaitan dengan gangguan status gizi balita.

2.4.3 Tingkatan Pendidikan Ibu.

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat

pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan,

kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan

dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada factor

social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan,

perumahan dan tempat tinggal.

Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan

memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bias dijadikan landasan untuk

membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan

Page 9: Gizi Buruk

diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga

dan bias mengambil tindakan secepatnya.

Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk menghadapi

berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu

diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar

pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.

Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan

anak maupun salah satu penjelasannya.

2.4.4. Akses Pelayanan Kesehatan.

Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service)dan

pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan

masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah

pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran

masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak

melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).

Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan danstatus gizi

pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak

kecil, sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering

melayani masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui program-

program pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan dekat

dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan. Dengan akses

kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan pengetahuan gizi masyarakat

akan terpenuhi.

2.5 Diagnosis

Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan

laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi

protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya kekurangan

vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu

jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang

dibandingkan dengan anak yang sehat.2

Page 10: Gizi Buruk

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri.

Anak didiagnosis gizi buruk apabila: BB/TB kurang dari -3SD (marasmus). e dema pada kedua

punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor :

BB/TB < -3SD.

Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa anak

tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit

terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa

adanya edema.7

2.6 Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk

2.6.1. Deteksi Dini

Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan dapat dilakukan pada semua tingkat

pelayanan. Deteksi dini ini dilakukan dengan mengukur tinggi badan, berat badan, dan

lingkar kepala. Adapun pelaksana dan alat yang digunakan adalah sebagai berikut : 1,3

Tingkat Pelayanan Pelaksana Alat yang Digunakan

Keluarga

Masyarakat

Orang tua

Kader kesehatan

Petugas PADU, BKB,

TPA, dan guru TK

KMS

Timbangan dacin

Puskesmas Dokter

Bidan

Perawat

Ahli Gizi

Petugas Lainnya

Tabel BB/TB

Grafik LK

Timbangan

Alat ukur tinggi badan

Pita pengukur lingkar

kepala

Keterangan:

PADU : Pendidikan Anak Usia Dini

BKB : Bina Keluarga Balita

TPA : Tempat Penitipan Anak

TK : Taman Kanak-Kanak

LK : Lingkar Kepala

Page 11: Gizi Buruk

Tabel 5. Pelaksana dan Alat yang Digunakan pada Deteksi Dini Pertumbuhan

Diambil dari: Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan

Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI, 2006. Hal. 41

2.6.2Pengukuran Berat Badan Terhadap Tinggi Badan ( BB/TB )

Tujuan pengukuran BB/TB adalah untuk menentukan status gizi anak, normal, kurus,

kurus sekali atau gemuk.Jadwal pengukuran BB/TB disesuaikan dengan jadwal deteksi dini

tumbuh kembang anak ( DDTK ). Pengukuran dan penilaian BB/TB dilakukan oleh tenaga

kesehatan terlatih. 3,7

Interpretasi :

Normal : -2 SD s/d 2 SD atau Gizi baik

Kurus : < -2 SD s/d -3 SD atau Gizi kurang

Kurus sekali : < -3 SD atau Gizi buruk

Gemuk : > 2 SD atau Gizi lebih

2.6.3Pengukuran Lingkaran Kepala Anak ( LKA )

Pengukuran lingkar kepala anak dalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui

perkembangan otak anak. Biasanya besar tengkorak mengikuti perkembangan otak,

sehingga jika ada hambatan pada perkembangan tengkorak maka perkembangan otak

anak juga terhambat. LKA dapat dipakai sebagai salah satu alat pemantau perkembangan

kecerdasan anak. 7

Tujuan pengukuran LKA adalah untuk mengetahui lingkaran kepala anak dalam

batas normal atau diluar batas normal. Jadwal disesuaikan dengan umur anak. Umur 0-11

bulan, pengukuran dilakukan setiap tiga bulan. Pada anak yang lebih besar umur 12-27

bulan, pengukuran dilakukan setiap enam bulan. Pengukuran dan penilaian lingkaran

kepala anak dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. 7

2.7 Pengobatan

Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase

transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang

Page 12: Gizi Buruk

cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor,

marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.

1. Tahap Penyesuaian

Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga ia

mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini dapat

berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada

kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang

dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula

yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara

berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan ASI.

Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk

anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian makanan

lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan

keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan

energi ditambahkan 5% glukosa, dan

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3

jam.

Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat pipa

(per-sonde)

2. Tahap Penyembuhan

Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara berangsur,

tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg

berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.

3. Tahap Lanjutan

Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh makanan

biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan penyuluhan

kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan

mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.

Page 13: Gizi Buruk

Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :

a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda

hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat

hipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau

100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan

dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe)

dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat.

2.8 Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait

dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai

konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak

organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi

(kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi

buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme

maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena

berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah

kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang

dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani

dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch up” dan

mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap

pertumbuhan maupun perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat

kondisi ”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak

pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan

Page 14: Gizi Buruk

derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap

pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.