30
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (ANTARA KONSTITUSI, DEMOKRASI DAN KEISTIMEWAAN) BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen sebanyak empat kali dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, konsep negara yang selama orde baru dipraktekan secara sentralistis berubah desentralisasi. Otonomi daerah yang luas menjadi pilihan solus tarikan tuntutan mempertahankan“negarakesatuan ataukahberubah menjadi“negara federal ”. Perubahan lain yang penting adalah pemberi hak kepada daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan perat peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pasal Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) menegaskan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dengan politik hukum desentr (otonomi) dan dekosentrasi dengan susunan berjenjang dan dengan memperhatikan hak-hak asal usul yang bersifat istimewa. Di dalam pengangkatan kepala daerah seperti gubernur (untuk tingk propinsi), walikota (untuk kota), dan bupati (untuk kabupaten) juga t perubahan. Jika sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat, kemudian dipilih oleh yang terakhir dipilih langsung oleh rakyat.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Makalh Enny Nurba

Embed Size (px)

Citation preview

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (ANTARA KONSTITUSI, DEMOKRASI DAN KEISTIMEWAAN)

BAB I PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG MASALAH Setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen sebanyak empat kali dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, konsep negara kesatuan yang selama orde baru dipraktekan secara sentralistis berubah menjadi desentralisasi. Otonomi daerah yang luas menjadi pilihan solusi diantara tarikan tuntutan mempertahankan negara kesatuan ataukah berubah menjadi negara federal. Perubahan lain yang penting adalah pemberian hak kepada daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) menegaskan mengenai hubungan antara pusat dan daerah dengan politik hukum desentralisasi (otonomi) dan dekosentrasi dengan susunan berjenjang dan dengan memperhatikan hak-hak asal usul yang bersifat istimewa. Di dalam pengangkatan kepala daerah seperti gubernur (untuk tingkat propinsi), walikota (untuk kota), dan bupati (untuk kabupaten) juga terjadi perubahan. Jika sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945 kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat, kemudian dipilih oleh DPRD dan yang terakhir dipilih langsung oleh rakyat.

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman, baik secara de jure maupun de facto telah memiliki pemerintahan yang teratur dengan pembagian wilayah yang bersifat administratif sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Pakualam VIII mengeluarkan maklumat yang dikenal dengan nama Maklumat 5 September 1945 dilakukan secara sendiri-sendiri dan dilanjutkan secara bersama-sama pada tanggal 30 September 1945, dimana salah satu isi maklumat tersebut bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang berbentuk kerajaan (negara pada waktu itu) adalah Daerah Istimewa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus sebagai gubernur dan wakilnya. Pada akhir tahun 2010 rakyat Yogyakarta mendapat ujian berat dari pemerintah pusat, yaitu adanya RUUK DIY yang isinya bahwa Sri Sultan tidak lagi menjabat sebagai kepala daerah. Kepala daerah provinsi DIY harus dipilih secara langsung. Pandangan yang digunakan oleh pemerintah pusat pada waktu itu adalah jangan ada tabrakan antara monarki konstitusi dengan nilai-nilai demokrasi. Pernyataan dari pemerintah pusat tersebut menimbulkan respons pada semua kalangan. Mulai rakyat biasa (mengadakan pisowanan), internal parpol, para akademisi sampai tokoh-tokoh partai politik ikut memberikan respons terhadap RUUK DIY.

Respons dan reaksi dari rakyat DIY dan seluruh anak bangsa di bumi pertiwi ini ditanggapi pemerintah pusat secara ringan. Pemerintah pusat menanggapi secara sederhana bahwa untuk kepemimpinan DIY lima tahun yang akan datang masih Sri Sultan Hamengkubuwono X yang terbaik. Karena itu, beliau tetap akan ditetapkan untuk kepemimpinan lima tahun mendatang. Setelah itu, kepala daerah provinsi ini dipilih langsung secara demokratis sebagaimana daerah lainnya.1 Pernyatan pemerintah pusat tentang kepala daerah DIY tersebut mendapatkan reaksi aktif dari rakyat, terutama masyarakat Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta seperti disadarkan tentang keistimewaan DIY yang selama ini tidak pernah diganggu oleh pemerintah pusat. Rakyat Yogyakarta berketetapan bahwa gubernur DIY haruslah Sri Sultan Hamengkubuwono dan sebagai wakil gubernur adalah Sri Paduka Pakualam. Rakyat Yogyakarta juga menginginkan pengangkatan gubernur dan wakil gubernur dengan cara penetapan bukan pemilihan sebagaimana diinginkan oleh pemerintah pusat. Rakyat Yogyakarta mempunyai prinsip, bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah salah satu ciri keistimewaan DIY, dan hal tersebut tidak dapat diganggu gugat. B. PERUMUSAN MASALAH Menarik untuk dikaji dari latar belakang diatas. Ada perbedaan yang sangat tajam antara pemerintah pusat dengan rakyat DIY dalam memandang kepala daerah (gubernur) dan wakil kepala daerah (wakil gubernur).1

Hafidh asrom, dalam opini publik harian kedaulatan rakyat http://www.kr.co.id/web/detail.php?sip=233042&actmenu=39

Pemerintah pusat mempunyai pandangan dengan adanya penetapan untuk posisi gubernur dan wakil gubernur DIY akan bertentangan dengan demokrasi, dan juga konstitusi negara kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen), sedangkan rakyat DIY mempunyai pandangan penetapan gubernur dan wakil gubernur sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi, bahkan itu merupakan suatu bentuk keistimewaan DIY apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah: 1. Bagaimana gubernur daerah istimewa yogyakarta dilihat dari demokrasi dan juga konstitusi yang berlaku di negara Kesatuan Republik Indonesia serta kebiasaan yang telah berlaku di yogyakarta? 2. Bagaimana solusi yang terbaik untuk pengisian jabatan gubernur DIY dan juga daerah lain? C. TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan ini yaitu sebagai salah satu tugas mata kuliah Teori Konstitusi dan Perundang-undangan pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, selain itu sebagai sumbangsih pemikiran (keilmuan) secara akademik yang dikenal dengan analisa ilmiahnya terhadap perkembangan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

D.

METODE PENULISAN Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode studi pustaka sebagai metode pengumpulan data dan menggunakan analisis normatif untuk menganalisa permasalahan serta menarik kesimpulan.

E.

SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan makalah ini, yakni pada BAB I Pendahuluan terdiri atas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan, BAB II Tinjauan Pustaka BAB III Pembahasan terdiri atas gambaran umum dan analisis. Sedangkan pada BAB IV merupakan Penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

PENGERTIAN KONSTITUSI Istilah konstitusi berasal dari constituer (bahasa Prancis) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.2 Sementara itu, istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya grondwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar.3 Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi.4 Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian undang-undang dasar, tetapi ada juga yang

menyamakan dengan pengertian undang-undang dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet (undang-undang dasar) diatas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan

2 3

Nimatul huda, UUD 1945 dan gagasan amandemen ulang, Rajawali press, Jakarta, 2008, hal.14 ibid 4 ibid

secara jelas diantara keduanya, Grondwet (undang-undang dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.5 Sementara itu, Sri Soemantri dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan undang-undang dasar.6 Penyamaan arti keduanya ini sesuai dengan praktik ketatanegaraan Indonesia. Menurut E.C.S Wade dalam bukunya Constitutional Law, undangundang dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokokpokoknya cara kerja badan-badan tersebut.7 Dapat disimpulkan, pada pokoknya dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam suatu undangundang dasar. Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi tiga sebagai berikut,8 1. Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Jadi, mengandung pengertian politis dan sosiologis. 2. Die verselbstandigte rechtsverfassung. disebagaian besar negara-negara didunia termasuk

5 6

Ibid...hlm.15 ibid 7 Ibid...hlm.16 8 Ibid...hlm.17

Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi, mengandung pengertian yuridis. 3. Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undangundang yang tertinggi yang berlakuu dalam suatu negara. Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah disimpulkan bahwa jika pengertian undang-undang itu harus dihubungkan dengan pengertian konstitusi, maka artinya undang-undang dasar itu baru merupakan sebagaian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang tertulis saja. Di samping itu, konstitusi itu tidak hanya bersifat yuridis semata-mata, tetapi mengandung pengertian logis dan politis. F. Lassalle dalam bukunya Uber Verfassungswesen, membagi konstitusi dalam dua pengertian sebagai berikut,9 1. Pengertian sosiologis atau politis (sosiologische atau politische begrip). Konstitusi adalah sintese faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi, konstitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. 2. Pengertian yuridis (yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

9

ibid

Pendapat James Bryce sebagaimana dikutip C.F. Strong10 dalam bukunya Modern Political Constitutions menyatakan konstitusi adalah: A frame of political society, organized through and by law, that is to say on which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights. Dari definisi di atas, pengertian konstitusi dapat disederhanakan rumusannya sebagai kerangka negara yang diorganisasi dengan dan melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan: (1) pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen; (2) fungsi alat-alat

kelengkapan; (3) hak-hak tertentu yang telah ditetapkan. C.F. Strong melengkapi pendapat tersebut dengan pendapatnya sendiri sebagai berikut:11 Constitution is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted. Artinya konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan: (1) kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas); (2) hak-hak dari yang diperintah; (3) hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut didalamnya masalah hak asasi manusia). Sri Soemantri menilai bahwa pengertian tentang konstitusi yang diberikan oleh C.F Strong lebih luas daripada pendapat James Bryce.12 K.C. Wheare mengartikan konstitusi sebagai: keseluruhan sistem ketatanegaraan dari sudut suatu negara berupa kumpulan peraturan yang10 11

Ibid...hlm.18 Ibid...hlm.19 12 ibid

membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu negara.13 Konstitusi dalam dunia politik sering digunakan paling tidak dalam dua pengertian, senagaimana dikemukakan oleh K.C.Wheare dalam bukunya Modern Constitutions. Pertama, dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan dari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam di

menyelenggarakan tugas-tugasnya. Sebagai

sistem pemerintahan

dalamnya terdapat campuran tata peraturan baik yang bersifat hukum (legal) maupun yang bukan peraturan (nonlegal atau ekstra legal). Kedua, pengertian dalam arti sempit, yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen yang terkait satu sama lain.14 B. DEMOKRASI Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi bahkan disebut sebagai kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-sama13 14

Ibid...hlm.20 Ibid...hlm.21

dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti seluasluasnya.15 Dalam perspektif yang bersifat horizontal, gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) mengandung empat prinsip pokok16, yaitu: (1) adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (2) pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas; (3) adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan (4) adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama itu. Dalam konteks kehidupan bernegara, dimana terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antara institusi negara dengan warga negara, keempat prinsip pokok tersebut lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi): (5) pengakuan dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia; (6) pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal; (7) adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; (8) dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara); (9) adanya mekanisme judicial review oleh15

Jimmly asshiddiqie, hukum tata negara dan pilar-pilar demokrasi, konstitusi press, jakarta, 2006, hlm.335 16 Ibid...hlm. 340

lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun oleh lembaga eksekutif; dan (10) dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut diatas, disertai (11) pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara. Robert A Dahl memberikan makna demokrasi sebagai sebuah sistem politik dimana para anggota-anggotanya memandang diri dan orang lain dalam posisi dan status yang sama secara politik.17 Status yang sama disini dilihat karena sama-sama berdaulat, memiliki segala kemampuan, sumber daya dan lembaga-lembaga yang diperlukan dalam rangka untuk memerintah dirinya sendiri. Asumsi yang mendasari diperlukannya tatanan politik yang

demokratis yaitu terkait bahwa keputusan yang mengikat hanyalah dibuat oleh orang-orang yang menjadi subyek dari keputusan itu, yaitu anggota asosiasi atau masyarakat, bukan orang-orang yang berada diluar masyarakat itu. Jadi, tidak ada seorangpun dari para pembuat undang-undang pantas berada diatas undang-undang, akan tetapi berada dibawah undang-undang yang telah disepakati bersama, tak terkecuali penguasa. Robert A Dahl mengemukakan unsur yang harus dipenuhi dfalam sebua negara demokratis, yaitu unsur modern, dinamic dan pluralis.18

17

Adhi darmawan, Jogja bergolak diskursus keistimewaan DIY dalam ruang publik, kepel press, 2010, hlm. 32 18 ibid

Huntington melihat sistem pemerintahan seperti monarki absolut, kerajaan birokratis, oligarki, aristokrasi, rezim-rezim konstitusional dengan hak pemberian suara dalam pemilihan umum yang terbatas, despotisme perorangan, rezim-rezim komunis dan fasis, kediktatoran militer dan tipetipe pemerintahan serupa lainnya, dimana didalamnya tidak ada sistem pemilu sebagai cara untuk melakukan pergantian keuasaan, tidak adanya keadilan dalam pemilihan, pembatasan terhadap partai politik, tidak adanya kebebasan pers, dan kriteria sejenis lainnya disebut sebagai pemerintahan yang non demokratis.19 Bagi Huntington, metode demokratis diartikan sebagai prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.20 Dengan mengacu pada kategori demokrasinya Schumpeter,

Huntington mencoba mengkategorisasikan demokratis secara prosedural. Definisi demokrasi berdasarkan pemilihan merupakan definisi yang minimalis.21 Disebut minimalis karena bagi sebagaian pakar, dalam demokrasi seharusnya memiliki konotasi yang jauh lebih luas dan idealistis. Demokrasi yang sejati berarti liberte, egalite, fraternite, kontrol yang efektif oleh warga negara terhadap kebijakan pemerintah, pemerintah yang bertanggungjawab, kejujuran dan keterbukaan dalam kontestasi politik, musyawarah yang rasional dengan didukung informasi yang cukup,19 20

Ibid...hlm.33 Ibid...hlm.34 21 ibid

partisipasi dan kekuasaan yang sejajar, serta berbagai kebajikan warga negara lainnya.22 C. DAERAH ISTIMEWA DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Negara Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, dimana secara tegas hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Dengan penempatannya pada BAB I Pasal 1 ayat (1) tersebut, berarti ketentuan mengenai hal tersebut dianggap sangat penting dan utama, sehingga perumusannya mendahului rumusan ketentuan-ketentuan yang lain. Ketentuan mengenai hal ini secara jelas diulangi lagi dalam bab dan Pasal terakhir, yaitu Pasal 37 ayat (5) BAB XVI tentang perubahan UndangUndang Dasar, yang berbunyi sebagai berikut: Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan tidak dapat dilakukan perubahan. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah menurut prosedur verfassungsanderung, yaitu yang diatur dan ditentukan sendiri oleh Undang-Undang Dasar 1945.23 Kesepakatan kita atas bentuk negara kesatuan adalah pilihan politik (resultante) bangsa, bukan karena ada ketentuan atau keharusan sila ketiga Pancasila, yakni Persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia sebenarnya dapat22 23

ibid Suryo sakti hadiwijoyo, menggugat keistimewaan jogjakarta, pinus book publisher, yogyakarta, 2009, hlm.147

dibangun di atas negara kesatuan maupun diatas negara federal. Harus dibedakan antara konsep negara kesatuan dan konsep persatuan. Negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan (gezagsverhouding) antara pemerintah pusat dan daerah, sedangkan persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara.24 Konsep integral (menyeluruh, komprehensif) atau persatuan (integrasi) memang tidak identik dengan negara kesatuan melainkan lebih merupakan persatuan kehendak jiwa atau sikap batin seluruh warga bangsa untuk tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia.25

Di dalam Pancasila

(dasar negara) memang dipergunakan kata-kata Persatuan Indonesia sebagai salah satu silanya, tetapi istilah persatuan di dalam Pancasila itu memang tidak mutlak harus diartikan mendirikan negara dalam bentuk negara kesatuan melainkan harus diartikan ikatan batin untuk bersatu.26 Terkait dengan pilihan mengenai susunan organisasi negara Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia tersusun atas daerah-daerah bagian, dimana hal tersebut tertuang dalam Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut: I. Oleh karena negara Indonesia itu suatu eendheidstaat, maka Indonesia tak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat autonoom (streek dan lokale rechtgemeenschappen) atau bersifat adminsitratif belaka,

24

Moh.Mahfud MD, Konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu, Rajawali pers, jakarta, 2010, hlm. 212 25 Ibid...hlm. 211 26 ibid

semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang. Daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena didaerahpun, pemerintah bersendi atas dasar permusyawaratan. II. Dalam teritoir negara Indonesia terdapat 250 zelfbestuurendelandschappen dan Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, negeri Minagkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerahdaerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut kemudian diperbaharui melalui

amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, di mana berdasarkan amandemen tersebut jaminan yuridis terhadap hak-hak tradisional komunitas etnis yang beraneka ragam semakin dihormati dan dilindungi serta tidak boleh dilanggar oleh peraturan perundang-undangan negara. Jaminan hukum tersebut tertuang dalam Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) hasil amandemen kedua UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 Pasca Amandemen yang secara eksplisit menyebut daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa, tertuang dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B). Negara Kesatuan Republik

Indonesia merupakan wadah bagi segenap rakyat Indonesia untuk bersatu dalam satu kesatuan bernegara, tetapi di dalamnya tidak harus ada keseragaman (uniformity).27 Dengan kata lain harus tetap terdapat jaminan terhadap keanekaragaman sesuai dengan latar belakang sejarah kebangsaan Indonesia, termasuk didalamnya adalah keanekaragaman dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan karakteristik dan keistimewaan atau kekhususan yang dimiliki oleh masing-masing daerah yang dapat saja diatur secara berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain dalam suatu undang-undang28 seperti : Kedudukan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diundangkan melalui Undang-Undang nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam diatur dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang nomor 18 tahun 2001 tentang Undang-Undang otonomi khusus bagi Pemerintah Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan pada tahun 2006 dirubah lagi dengan UndangUndang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang didalamnya antara lain mengatur status keistimewaan Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua mendapatkan status khusus atau istimewa setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua.

27 28

Suryo sakti hadiwijoyo, op.cit. hlm.151 Ibid

D.

GUBERNUR SEBAGAI KEPALA DAERAH Gubernur adalah kepala daerah untuk tingkat provinsi, yang salah satu tugasnya adalah memberikan laporan dan melakukan pengawasan terhadap wilayah yang dipimpin termasuk daerah kabupaten dan kota, untuk disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Istilah Kepala Daerah sejak awal kemerdekaan, khususnya dalam pengaturan undang-undang tentang Pemerintahan daerah selalu

mengandung arti sebagai Kepala Daerah otonom, yakni penjabaran asas desentralisasi, yang berlaku pada tingkat kabupaten dan kota, yang pada masa Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebelum Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 lebih dikenal sebagai daerah tingkat II. Pengaturan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 telah mengubah pengaturan Daerah Kabupaten/Kota hanya menjadi daerah otonom belaka, sedangkan provinsi berkedudukan sebagai wilayah administrasi dan daerah otonom terbatas.29 Landasan normatif penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terus berubah dalam beberapa kurun waktu tertentu, akibat pengaruh perubahan politik pemerintahan, telah memberi warna tersendiri dalam pola kegiatan, pola kekuasaan, dan pola perilaku kepemimpinan kepala daerah. Sejak terbitnya undang-undang nomor 1 tahun 1945 sampai dengan undangundang nomor 12 tahun 2008, sebagai ketentuan normatif yang mengatur sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah mengatur kedudukan, tugas, fungsi, kewajiban, dan persyaratan kepala daerah.

29

J kaloh, kepemimpinan kepala daerah, sinar grafika, jakarta, 2009, hlm.2

BAB IV PEMBAHASAN

A.

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DARI SEGI DEMOKRASI DAN KONSTITUSI Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang

berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta. Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang. Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus

Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta Nomor 18 Tahun 1946). Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia. "(1) Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2) Daerah

Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi."(Pasal 1 UU No 3 Tahun 1950) Pada awal pembentukannya, Daerah Istimewa Yogyakarta menganut sistem pemerintahan seperti yang dipraktekkan oleh Brunei, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai gubernur, Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai wakil gubernur, yang menjalankan pemerintahan sehari-hari secara langsung, sekaligus sebagai kepala monarki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Dalam prakteknya, dikarenakan seringnya Sultan ditunjuk sebagai menteri oleh pemerintah pusat, pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII. Daerah Istimewa Yogyakarta juga menganut prinsip trias politika, yaitu distribusi kekuasaan antara legislatif - yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta, eksekutif oleh Sultan, Paku Alam dan para kepala dinas, dan yudikatif oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan dasar hukum UUD 1945, UU 3/1950 dan -yang sekarang sedang dibahas oleh DPR RI- RUU Keistimewaan DIY, menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi 'istimewa', di mana demokrasi dapat berjalan beriringan dengan kekuatan kultural - terutama karena kharisma dwitunggal Sri Sultan - Sri Paduka Paku Alam yang masih sangat tinggi di masyarakat. Sejalan dengan perubahan undang-undang, ditambah dengan

reformasi, maka terjadi masalah pada pengisian jabatan gubernur, karena sejak 1965, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadikan provinsi sebagaimana

provinsi-provinsi lain di Indonesia, sehingga mengikuti seluruh UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan oleh DPR sama seperti daerah yang lain. UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status Yogyakarta pada saat pembentukan adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Baru pada 1965 Yogyakarta dijadikan Provinsi seperti provinsi lain di Indonesia. Substansi keistimewaan, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah : Pertama, istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan DIY terkait dengan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia sesuai UUD 1945, Pasal 18 & Penjelasannya yang menjamin hak asal-usul suatu daerah sebagai daerah swa-praja (zelfbestuurende landschaappen). Kedua,

istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan DIY sebagai daerah setingkat propinsi yang terdiri dari penggabungan wilayah state Kasultanan Nagari Ngayogyakarta dengan Praja Kadipaten Pakualaman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai UU No. 3/1950. Ketiga, istimewa

dalam hal Kepala Pemerintahan DIY yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta sesuai Piagam Kedudukan, 19 Agustus 1945, Maklumat HB IX & Paku Alam VIII tanggal 5 september 1945 maupun tanggal 30 Oktober 1945. Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana diatur oleh UU No.3, tahun 1950 sebagai lex spesialis tidak pernah diatur secara jelas rinci dalam UU No. 5, tahun 1974; UU No.22, tahun 1999; UU No.32, ahun 2004 sebagai lex generalis sehingga menimbulkan implikasi yuridis setiap ada perubahan undang - undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah maupun kepala daerahnya. Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-

kabupaten dan kota yang berotonomi dan diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 44) dan UU Nomor 16 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP Nomor 32 Tahun 1950 ( Berita Negara Tahun 1950 Nomor 59) yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten. B. PENGISIAN JABATAN GUBERNUR DIY DAN DAERAH LAIN Pergeseran paradigma gubernur kepala daerah (mazhab continental) sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat (dekonsentrasi) menjadi gubernur (mazhab anglo saxon) sebagai pelaksana pemerintah daerah yang otonom (desentralisasi) pada level propinsi sering menjadi rancu dengan bupati/walikota yang sama sama dipilih secara demokratis dan punya hak otonom pada level kabupaten/kota, oleh karena itu Daerah Istimewa

Yogyakarta sesuai kontrak politik HB IX-PA VIII dengan Presiden RI (UU No 3/1950) masih konsisten terhadap amanat founding father bahwa Sultan sebagai Gubernur Kepala Daerah (Penguasa Daerah) ditetapkan Presiden dan memiliki hubungan secara langsung dengan pemerintah pusat sesuai asas dekonsentrasi, artinya Sultan dan Adipati yang bertahta adalah kepala daerah atas wilayah kekuasaannya (daerah swapraja) sekaligus wakil pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahannya. Melihat UUD 1945 Pasal 18 ayat 4 yang berbunyi Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Melihat yang terjadi di Indonesia dalam pemilihan gubernur, maka gubernur dipilih secara langsung. Akibatnya, banyak yang beranggapan yang dimaksud dengan demokratis adalah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan kepala daerah. Dalam Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Ini berarti berarti daerah yang memiliki keistimewaan dapat mengatur mengenai mekanisme jabatan kepala daerah sendiri. Mencermati kedua Pasal tersebut seakan-akan terjadi perbedaan atau pertentangan. Menurut M.Fajrul Falakh pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dalam bahasa hukum bersifat Lex Specialis (khusus), sedangkan Pasal 18 ayat (4) bersifat Lex Generalis (umum), sedangkan menurut Sri Soemantri tidak boleh ada yang bersifat khusus atau umum (lebih tinggi atau lebih rendah) dalam

sebuah Undang-Undang Dasar (grondwet), karena didalam Undang-Undang Dasar derajatnya sama sebagai kehendak seluruh rakyat. Penulis berpendapat yang bersifat khusus adalah Undang-Undang nomor 3 tahun 1950 tentang keistimewaan DIY, yang seharusnya ditindaklanjuti dalam Undang-Undang yang berikutnya, sedangkan UndangUndang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang 32 tahun 2004 bersifat umum, dan tentunya DIY tidak masuk dalam Undang-Undang ini jika sudah ada Undang-Undang yang mengatur tersendiri tentang keistimewaan DIY. Kembali kepada pengisian jabatan gubernur DIY, mensikapi dinamika yang ada dalam draft RUUK DIY dan yang terjadi pada masyarakat Yogya, maka penulis mempunyai pendapat harus ada pemilihan dalam penetapan dan penetapan di dalam pemilihan, hal ini dapat diimplementasikan dengan cara sebagai berikut: 1. Presiden tinggal menunjuk dan memilih gubernur, yang

sebelumnya sudah melalui pemilihan internal kraton (tentunya sudah melalui aturan internal kraton), yang tentunya dalam hal ini peluang paling besar ada pada Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Pakualam; 2. Jika Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paduka Pakualam tidak bersedia, usianya terlalu muda atau terlalu tua, atau terkena kasus pidana (kasus hukum) internal kraton menunjuk siapa yang dipilih (sekali lagi tentunya kraton sudah punya mekanisme tersendiri) dan Presiden tinggal melantik. Hal ini sesuai dengan Undang-

Undang nomor 22 tahun 1999 Pasal 122 dan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 Pasal 226; 3. Apabila terjadi sengketa (kraton kembar seperti kasus Surakarta), atau internal kraton tidak bisa memutusakan siapa yang dipilih (dengan mekanisme internal kraton), maka Presiden langsung menunjuk siapa yang menjadi gubernur, tentunya dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Penulis sengaja tidak berpendapat bahwa Gubernur DIY atau gubernur daerah lain untuk dipilih tetapi dengan penunjukkan, dengan alasan: 1. Gubernur hanyalah kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, yang salah satu tugasnya melakukan pengawasan dan mengkoordinir kabupaten/kota diwilayahnya. Tetapi pada kenyataannya hal tersebut sulit sekali dilaksanakan. Dengan alasan otonomi daerah, banyak kabupaten/kota yang tidak mengindahkan gubernur (provinsi) tetapi malah lebih loyal terhadap presiden atau menteri dalam negeri bahkan pada beberapa kasus bupati/walikota lebih loyal pada partai politik yang mendukungnya (Lihat bagaimana sulitnya seorang gubernur jawa Tengah Bibit Waluyo, untuk mengumpulkan Bupati/Walikota Se-jawa Tengah). 2. Anggaran yang dikeluarkan untuk pemilihan gubernur sangat besar sekali, apalagi jika sampai terjadi lebih dari satu putaran

(lihat pemilihan gubernur Jawa Timur yang dimenangkan Pasangan Sukarwo dan Saefullah Yusuf), tetapi tidak sebanding dengan tugas-tugas yang diemban. Hal ini diesbabkan karena otonomi daerah yang berlaku di Indonesia lebih menekankan pada Kabupaten/Kota bukan Provinsi. 3. Masyarakat (untuk saat ini) yang benar-benar belum siap dalam memilih calon-calon yang ada, sehingga terkesan asalasalan. Akhirnya calon yang berani membayar besar akan terpilih, tetapi yang lebih kredibel dan profesional karena tidak mempunyai anggaran akan tenggelam. Berdasarkan analisa yang penulis kemukakan tadi, penulis lebih condong untuk jabatan gubernur dilakukan dengan cara penunjukkan oleh Presiden, bukan dengan jalan pemilihan.

BAB V PENUTUP

A.

KESIMPULAN 1. Salah satu simbol keistimewaan DIY adalah Sri Sultan

Hamengkubuwono, Sri Paduka Pakualam yang selama ini menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur, selain secara normatif keistimewaan DIY lebih lekat jikat dilihat dari segi historis. 2. Jabatan Gubernur DIY lebih arif jika dilakukan dengan cara ada pemilihan dalam penetapan, dan ada penetapan dalam pemilihan, sedangkan untuk jabatan Gubernur selain DIY lebih tepat jika dilakukan dengan cara Penunjukkan oleh Pemerintah Pusat, dalam rangka melihat anggaran dan juga peran gubernur yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, yang salah satu tugasnya melakukan pengawasan dan mengkoordinir kabupaten/kota

diwilayahnya.yang kurang maskimal dalam masyarakat.

B.

SARAN Undang-undang Keistimewaan DIY sebagai kelanjutan dari undang-undang nomor 3 tahun 1950, segera direalisasikan (ditetapkan), agar masyarakat khususnya DIY tidak resah, dan masalah Keistimewaan DIY menjadi polemik yang berkepanjangan.

DAFTAR PUSTAKA

Adhi Darmawan, Jogja Bergolak diskursus Keistimewaan DIY dalam ruang Publik, Kepel Press, Yogyakarta, 2010 Jimmly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006 J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Moh.Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajawali Press, Jakarta, 2010 Nimatul Huda, UUD 1945 Dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta, 2008 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Pinus Book Publisher, Yogyakarta

Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 Tentang Komite Nasional Daerah Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Hafidh

asrom,

dalam

opini

publik

harian

kedaulatan

rakyat

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sip=233042&actmenu=39