Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
HALAMAN JUDUL
ii
iii
iv
MOTTO
Aku tak peduli akan jadi apa aku di masa depan, apakah aku akan
berhasil atau gagal. Tapi yang pasti, apa yang aku lakukan sekarang
akan membentukku di masa depan.
(Uzumaki Naruto)
Titik kesempurnaan sejati adalah mengakui ketidak sempurnaan itu
sendiri.
(Libertus Renaldi)
Selain mendaki, menulis adalah salah satu cara untuk melihat ketidak
sempurnaan.
(Libertus Renaldi)
Skripsi itu mudah, yang sulit itu malasmu.
(Libertus Renaldi)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya berupa skripsi ini penulis persembahkan pertama, untuk Ayah Sunardi Elias
dan Ibu Aniatin. Terimakasih karena Ayah dan Ibu telah percaya kepada penulis dan
tiada henti memfasilitasi, memotivasi, mendukung dan mendoakan penulis dalam
menyelesaikan perkuliahan dan penulisan karya berupa skripsi ini. Sungguh, penulis
merasa bangga dapat menyelesaikan perkuliahan ini karena itu semua berkat jasa
Ayah dan Ibu.
Kedua, untuk Nenek Alina dan Alm.Kakek Tainyi, Om Demansius, Om Hendro,
Tante Mely, Tante Jeki, Tante Aan, Tante Norsiana. Terimakasih atas doa, dukungan,
semangat serta motivasi yang telah Kalian berikan. Pesan-pesan yang Kalian berikan
membuat penulis menjadi lebih semangat dalam menjalani masa perkuliahan sampai
pada penyelesaian karya berupa skripsi ini.
Ketiga, untuk Adik Lidia Janiasti, Dion, Dias, Sonde, Jeri, dan Jeti. Terimakasih atas
hiburan yang kalian berikan dalam proses penulisan skripsi ini. Berkat hiburan kalian,
penulis merasa bahagia, bisa tertawa lepas sehingga beban yang penulis rasakan
menjadi terasa lebih ringan dan lebih mudah untuk dijalani.
Keempat, untuk keluarga besar kami. Terimakasih atas dukungan, serta doa kalian
selama ini. Tindakan baik kalian terhadap penulis turut menuntun hidup penulis
sampai dengan saat ini, terutama disaat penulis berada diperantauan dalam misi untuk
menyelesaikan perkuliahan.
Kelima, untuk teman-teman, pelatih dan dosen yang selama ini memberi dorongan,
arahan serta bimbingan kepada penulis. Berkat hal-hal baik terutama diskusi rutin,
telah membentuk penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulisan berupa skripsi
ini.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
judul “Runtuhnya Dinasti Lokal” (Studi Kasus Pilkades 2019 di Desa Sudimoro,
Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah)”.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh
mahasiswa untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. Pada Kesempatan ini dengan segala
kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si selaku Ketua Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
2. Bapak Dr. Guno Tri Tjahjoko, M.A selaku Ketua Program Studi Ilmu
Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.
3. Bapak Dr. Guno Tri Tjahjoko, M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah
berkenan meluangkan waktu, pikiran dan tenaga dalam membimbing
terhadap penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Rijel Samaloisa selaku penguji samping I yang telah
memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Dra. B Hari Saptaning Tyas, M.Si selaku penguji samping II yang
telah mengarahkan dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
6. Bapak Gregorius Sahdan, S.IP.MA selaku Dosen Wali yang telah
membantu penulis dalam melaksanakan perkuliahan dan menyelesaikan
masalah selama perkuliahan.
7. Bapak dan Ibu dosen, serta segenap karyawan Program Studi Ilmu
Pemerintahan STPMD “APMD” Yogyakarta.
8. Pemerintah Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang,
Provinsi Jawa Tengah yang telah membantu dalam memberikan informasi
untuk skripsi ini.
9. Ayah Sunardi Elias dan Ibu Aniati yang telah memberikan dukungan moril
dan materil kepada penulis sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.
10. Keluarga Besar penulis yang selalu bertanya kapan wisuda? Terimakasih
karena selalu mengingatkan.
vii
11. Pelatih Maklon Hatti yang selalu memberikan energi-energi positif
terhadap penulis.
12. Teman seperjuangan Yosefa Lusi Among yang selalu mendampingi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga Gagas, Apap, Ega dan Andre
yang menjadi teman datang ke Jogja.
13. Teman-teman yang selama ini berdinamika bersama di Kampus Yohanes,
Edison, Arnol, Hendri, Aziz, Listy, Hamny, Dobi, Vinsent, Sandre, Esti,
Krismon, Felix, Rikky, Mikael, Gun, Daniel, Rivaldo, Beben, Mutia, Ayu,
Aldo, Mutiara, Jean, Kiki, Ensi, Susan, Rue, Tante, abg Sakro, Widy, Ina,
Yoel, Lidia serta teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu. Juga kepada bapak kos Pamungkas Nusantoro beserta keluarga
dan teman kos Mukio dan Darma.
14. Teman-teman perjalanan ke NTT Heri Kabut, Lino, Abe, Efan, Wulan,
Olive, An, Obas, abg Olan, abg Arif beserta keluarga, Listi beserta
keluarga, abg Rizky, abg Rino, yang telah memberikan pengalaman hidup
yang luar biasa bagi penulis.
15. Teman-teman di organisasi KESA, UKM KATOLIK, KOMAP, UKM
TAEKWONDO yang menjadi wadah bagi penulis untuk belajar banyak
hal sebagai bekal untuk kehidupan di masa depan.
Yogyakarta, 25 Januari 2021
Penulis
Libertus Renaldi
xii
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji aktor yang menang dalam kontestasi Pilkades dan
berhasil meruntuhkan dinasti lokal yang telah lama dibangun di Desa Sudimoro,
Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Teori yang Penulis
gunakan sebagai pijakan untuk membedah dinamika kemenangan aktor dimulai dari
mendudukkan konsep demokrasi lokal dalam ranah Pilkades, lalu dipadukan dengan
konsep patronase, oligarki dan local strongman.
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskriptif kualitatif
dengan pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa, kemenangan aktor dalam kontestasi Pilkades dan
berhasil meruntuhkan dinasti lokal dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni patronase
atau relasi patron-klien berhasil dimanfaatkan untuk mendulang dukungan politik
masyarakat. Patronase ini terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya; pertama
individual yang merujuk pada keunggulan aktor dari sisi umur yang lebih muda dari
kandidat yang lainnya. Kedua, jiwa sosial yang mengarah kepada aktivitas yang
dilakukan oleh aktor dalam hidup bermasyarakat, sehingga masyarakat menilai bahwa
aktor adalah orang baik, peduli terhadap sesama dan tidak membeda-bedakan
masyarakat berdasarkan golongan, agama, kaya dan miskin. Ketiga aktor juga unggul
dalam hal memiliki banyak keluarga di desa tersebut, sehingga dengan begitu
memudahkan aktor untuk membangun relasi dan meminta dukungan politik. Selain
itu, ternyata aktor juga merupakan local strongman (orang kuat lokal) di wilayah itu.
Kekuatan aktor terletak pada sisi ekonomi yang memadai, sehingga aktor dengan
mudah menggerakan mesin politik berupa tim sukses untuk mencari dukungan politik
kepada masyarakat. Selanjutnya, selain unggul karena memiliki banyak keluarga,
aktor juga memperluas jangkauan terhadap masyarakat sebagai pemilih melalui
jaringan orang kuat lokal lainnya, dalam hal ini para tokoh masyarakat yang berada di
wilayah tersebut.
Kata Kunci: Pilkades, demokrasi, aktor, patronase, oligarki dan local strongman
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang dilakukan secara serentak
mengindikasikan adanya kemajuan demokrasi pada ranah desa. Akan tetapi, dibalik
kemajuan tersebut, ternyata dalam pelaksanaannya masih merefleksikan strategi yang
menimbulkan konsekuensi negatif. Maksudnya, masih banyak terdapat permasalahan
seperti politik uang hingga berujung pada kasus korupsi. Padahal, menghadirkan
Pilkades secara langsung adalah salah satu upaya untuk mencetak pemimpin desa yang
handal, yang dengan sepenuh hati mengatur serta mengurus masyarakat desa.
Sehingga harapannya bisa menghilangkan kecenderungan hanya orang-orang tertentu
saja yang bisa menjadi pemimpin pada ranah desa.
Dalam konteks pemilihan kepala desa secara langsung dan serentak
sesungguhnya menandai hadirnya demokasi liberal. Demokrasi liberal memiliki
kecenderungan individualistik karena menerapkan sistem one person, one vote, one
value. Pemberlakuan demokrasi liberal pada Pilkades untuk menentukan pemimpin
desa yang tidak diimbangi dengan pendidikan politik pada masyarakat desa ternyata
memiliki kecenderungan negatif dalam prosesnya. Fenomena yang marak terjadi
akibat pemberlakukan demokrasi liberal ini antara lain; politik uang, terjadinya
patronase, local strongman (orang kuat lokal), hingga fenomena perjudian dan
menghadirkan dinasti politik serta oligarki sehingga berujung pada terjadinya krisis
demokrasi ranah desa.
2
Fenomena-fenomena tersebut dapat dibuktikan dari penelitian sebelumnya yang
mengkaji kaitannya juga tentang Pilkades. Artinya bahwa, penelitian ini bukanlah
penelitian satu-satunya tentang Pilkades. Penelitian yang dilakukan di Pati dan
Sumatera Selatan oleh Fitriyah (2015) dan Kazali dan kawan-kawan (2020). Temuan
Fitriyah dan Kazali dan kawan-kawan menunjukan bahwa money politik atau politik
uang marak terjadi di pemilihan kepala desa dan bisa mempengaruhi pilihan
masyarakat. Semakin besar dan semakin banyak seorang calon memberikan uang atau
barang, maka semakin besar peluang untuk menang. Kelemahan penelitian Fitriyah
dan Kazali dan kawan-kawan ialah hanya memaparkan hasil penelitian secara naratif
tanpa menggali lebih jauh seperti apa hubungan antara uang dengan suara masyarakat.
Selain itu, dalam penelitian Kazali dan kawan-kawan juga kurang mengeksplor lebih
dalam seperti apa cara kerja atau pola yang dilakukan oleh calon kepala desa dalam
mencari dukungan masyarakat dengan politik uang.
Penelitian mengenai praktik politik uang dalam proses Pilkades dan Pilkada juga
dilakukan di Desa Sumberingin Kidul, Tulungagung oleh Rozy dan kawan-kawan
(2020) dan di Desa Bangli, Bali oleh Erviantono (2017). Temuan Rozy dan kawan-
kawan menunjukan, masing-masing kandidat calon kepala desa menggunakan politik
uang sebagai strategi untuk meraup suara dari masyarakat. Kandidat pertama
memberikan uang kepada masyarakat sebesar Rp. 100.000 hingga Rp. 200.000,
sedangkan kandidat lain memberikan uang sebesar Rp. 50.000 dan barang berupa
sajadah serta sarung. Selain membagikan uang untuk meraup suara masyarakat, calon
kepala desa juga mengundang masyarakat untuk makan malam bersama dan
mengadakan orkestra. Sementara itu, temuan dari Erviantono menunjukan ternyata
masyarakat sudah familier dengan politik uang dan bahkan masyarakat menganggap
bahwa amplop yang berisikan uang yang dibagi beberapa jam sebelum pemilihan
3
dimaklumi sebagai kompensasi/imbalan untuk masyarakat yang datang ke tempat
pemungutan suara (TPS).
Praktik seperti inilah yang penulis maksudkan bahwa demokrasi tidak diimbangi
dengan pendidikan politik terhadap masyarakat. Demokrasi yang seharusnya dimulai
dengan proses yang lancar tanpa adanya konotasi negatif seperti politik uang untuk
melahirkan pemimpin yang bisa menjadi teladan, siap mengatur dan mengurus
masyarakat justru sulit dilaksanakan. Kelemahan penelitian Erviantono dan Rozy dan
kawan-kawan adalah belum mengupas tuntas pola atau strategi apa yang dimainkan.
Selain itu penelitian Rozy dan kawan-kawan juga tidak wawancara secara mendalam
terhadap calon kepala desa, masyarakat, panitia penyelenggara, sehingga bisa
memperkuat argumentasi. Hal ini bisa dibuktikan dengan tidak memaparkan hasil
wawancara dengan informan.
Selaras dengan hal tersebut, penelitian mengenai Pilkades yakni seorang calon
kepala desa berhasil menang tanpa menggunakan politik uang juga ada. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian Guno Tri Tjahjoko (2019) yang meneliti mengenai
Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Sriharjo Kabupaten Bantul tahun 2018. Temuan
Guno Tri Tjahjoko menunjukkan bahwa salah satu kandidat perempuan di Desa
Sriharjo Bantul bisa memenangi pemilihan kepala desa (Pilkades) tanpa politik uang
tetapi menggunakan strategi seperti dukungan keluarga, pendekatan hati nurani,
sosialisasi intensif kepada masyarakat dan pengawalan melekat terhadap ‘sniper’,
politik uang dapat dipatahkan.
Selain Politik uang yang tampak dalam Pilkades, fenomena yang marak terjadi
juga menghadirkan local strongman (orang kuat lokal). Orang kuat lokal ini adalah
orang yang memiliki pengaruh dalam mengambil keputusan pada aras lokal. Hal ini
4
bisa dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Banten oleh Saepudin dan Joni
Firmansyah (2017). Temuan Saepudin dan Joni Firmansyah menunjukan bahwa local
strongman yang disebut ‘Jawara’ mempunyai peranan yang besar dalam penentuan
keputusan di bidang politik karena Jawara ini memiliki jaringan seperti di partai
politik, birokrasi (legislatif dan eksekutif) serta mempunyai basis massa, magis dan
unggul di sisi ekonomi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan di Bangkalan
Madura oleh Ainillah (2016) mengemukakan bahwa ‘Blater’ (penyebutan local
strongman di Madura) mempunyai pengaruh pada pertarungan di Pilkades.
Blater ini mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat karena unggul
dalam hal ekonomi, memiliki banyak saudara dikawasan desa itu. Akan tetapi,
kelemahan penelitian yang dilakukan oleh Ainillah dan saepudin dan Joni Firmansyah
adalah tidak melakukan wawancara mendalam untuk mencari data kaitannya dengan
kekuatan magis, relasi patron-klien sehingga tidak menguak secara detail seperti apa
cara kerja Blater dalam merancang strateginya untuk mencari dukungan massa. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan tidak memaparkan hasil wawancara sebagai data
primer penelitian dekriptif-kualitatif.
Selaras dengan itu, penelitian serupa juga dilakukan di Sumenep, Klaten dan
Demak yang dilakukan oleh Basri (2020), Muhazir (2020) dan Astuti dan kawan-
kawan (2019). Penelitian Basri berbicara mengenai demokrasi liberal dan demokrasi
komunitarian. Hasilnya adalah demokrasi yang kini digunakan (demokrasi liberal)
dalam pemilihan kepala desa syarat akan permasalahan yakni kalangan Blater (orang
kuat lokal) mampu mengubah preferensi politik pemilih hingga berhasil
memenangkan calon kepala desa dengan cara intimidasi. Sementara temuan Muhazir
menunjukan kemenangan calon kepala desa karena menggunakan strategi pemasaran
politik dengan cara mendekati orang kuat lokal seperti tokoh masyarakat dan asosiasi
5
taklim, sedangkan Astuti dan Sulistyowati mengemukakan diantara 17 desa yang
mengadakan Pilkades yang menjadi calonnya adalah suami istri. Astuti dan kawan-
kawan menunjukan bahwa alasan suami istri maju dalam Pilkades karena tidak ada
penantang lain yang berani maju dalam kontestasi Pilkades. Oleh karena itu, supaya
menghindari kompensasi untuk menghadirkan calon boneka, maka yang menjadi
sasarannya ialah mencalonkan istrinya sendiri. Alasan lain yang menjadi temuan
Astuti dan kawan-kawan yakni supaya anggota keluarga tersebut tetap memegang
kekuasaan di ranah desa.
Kelemahan dari masing-masing penelitian tersebut ialah kurang mengeskplorasi
lebih dalam misalnya; cara kerja seperti apa yang dilakukan Blater untuk
mengintimidasi masyarakat supaya masyarakat mau memilih calon yang ditunjuk, lalu
siapa keluarga yang maju tersebut? unggul dari sisi mana keluarga tersebut dengan
keluarga yang lainnya sehingga tidak ada yang berani maju sebagai penantangnya.
Kemudian yang menjadi kelemahan dalam penelitian itu adalah tidak memaparkan
hasil diskusi atau wawancara dengan masyarakat yang menjadi cikal bakal dari data
primer penelitian deskriptif-kualitatif.
Fenomena local strongman ini ternyata mampu membuat proses demokrasi
terutama pada tingkatan lokal menjadi ‘stagnan’ bahkan mengalami kemunduran. Hal
ini telah dibuktikan oleh penelitian yang penulis paparan di atas. Pembuktian ini juga
dilakukan di Biak Numfor oleh Paraisu (2016) dan di Kuantan Singing oleh Handoko
dan kawan-kawan (2020). Temuan dari penelitian tersebut menunjukan bahwa
keberhasilan seorang calon kandidat dalam Pilkades karena adanya Mambri (kepala
suku) dan datuk politik yang ada di Biak dan Kuantan Singing. Kelemahan penelitian
6
oleh Paraisu ialah tidak memaparkan narasumber hasil wawancara yang menjadi
modal dasar penelitian kualitatif sedangkan Handoko dan kawan-kawan kurang
menggali lebih dalam data yang melakukan penelitian tentang seorang senior politik
tersebut yang menjadi modal dari studi literatur.
Local strongman yang tumbuh ini, apabila dilacak keberadaannya, ternyata tidak
hanya berada pada desa yang masih tradisional saja melainkan juga pada desa yang
sudah dikatakan modern. Namun, bentuk dan cara kerjanya yang menjadi pembeda.
Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Jawa Timur oleh Yuningsih
dan Subekti (2016) yang membagi tipologi desa yakni tradisional, transisional dan
modern. Penulis memahami bahwa temuan tersebut menunjukan ketiga desa yang
dibagi tipologinya menjadi desa tradisional, transisional dan modern, motif calon
kepala desa hadir karena local strongman. Perbedaannya terletak pada cara kerja di
masing-masing tipologi. Desa tradisional misalnya calon yang dimunculkan karena
kepala suku atau sesepuh desa. Sedangkan desa dengan tipologi transisional dan
modern lebih kepada perusahaan, botoh (penjudi) dan partai politik yang
melatarbelakangi calon kepala desa bisa hadir. Maksudnya adalah yang akan menjadi
calon kepala desa mendapatkan biaya dari perusahaan, partai politik atau botoh
(penjudi). Dampaknya, apabila calon tersebut bisa menang dalam Pilkades, maka
secara otomatis jika akan mendirikan perusahaan di desa tersebut akan dibantu oleh
calon yang menang itu. Artinya hubungan yang terjalin ini merujuk pada hubungan
simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan. Namun kelemahan
penelitian ini terletak pada tidak menguak lebih dalam seperti apa strategi yang
dilakukan untuk mencari dukungan masyarakat, hal ini didasarkan pada tidak adanya
diskusi mendalam dengan masyarakat sekitar. Buktinya tidak melampirkan data
wawancara.
7
Bekerjanya sistem local strongman ini tentunya dampak dari menguatnya
patronase-klientelisme sehingga melahirkan dinasti politik pada aras lokal. Tidak bisa
dipungkiri bahwa satu sama lainnya saling berhubungan. Bukti lain ditunjukan melalui
penelitian yang dilakukan oleh Martien Herna Susanti (2017) dengan judul “Dinasti
Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.” Temuannya menunjukan
dinasti politik terbentuk karena adanya jaringan kekuasaan yang menyebar dan kuat
dan memungkinkan melahirkan kekuasaan absolut sehingga menyebabkan tekanan
terhadap demokrasi. Namun kelemahan penelitian ini ialah belum menguak
bagaimana dinasti itu bekerja. Sementara itu, penelitian yang dilakukan di Aceh oleh
Lesmana Rian Andika (2017) dengan judul “Bahaya Patronase dan Klientelisme
dalam Pemilihan Kepala Desa Serentak” menunjukan, strategi patronase-klientelisme
hingga vote buying (pembelian suara) sering dilakukan oleh para calon untuk meraup
suara masyarakat. Hal tersebut memiliki dampak pada kasus korupsi bagi calon kepala
desa yang akan menjadi kepala desa nantinya. Namun kelemahan penelitian tersebut
ialah belum menguak bagaimana proses patronase-klientelisme dan pembelian suara
dilaksanakan, melainkan hanya mengupas gambaran umum tentang bahaya yang
ditimbulkan dalam penggunaan strategi tersebut.
Penelitian tentang dinasti politik juga dilakukan di Kalimantan Timur oleh
Afriandi (2019). Temuan Afriandi menunjukan bahwa hadirnya dinasti politik
memiliki dampak yang baik terhadap pembangunan di masyarakat. Akan tetapi ketika
petahana hendak mencalonkan diri, terdapat kasus penggelapan uang yang menjadi
penghalang. Hal ini yang membuat masyarakat menjadi kecewa. Sehingga dalam
pemilihan, pilihan masyarakat menjadi tidak rasional melainkan primordial dengan
melihat suku dan agama kandidat lain. Namun, kelemahan penelitian ini ialah tidak
memaparkan strategi atau cara main untuk memobilisasi masyarakat terutama dalam
8
pandangan primordial tersebut, bagaimana kandidat tersebut meyakinkan masyarakat
sehingga masyarakat mau memilihnya.
Pada sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Endik dan kawan-kawan pada
tahun (2016) dan (2018), serta Gunawan dan kawan-kawan (2020) yang dilakukan di
Kediri dan Aceh menemukan petahan gagal mempertahankan dinasti politik. Endik
dan kawan-kawan mengungkapkan strategi yang dilakukan oleh kandidat ialah
menggunakan strategi spiritual dan sumber material, seperti slametan, pitou (jasa
dukun), Laku ngelmu yakni bertapa hampir seminggu di pundhen pendiri desa dan
petilasan Joyoboyo hingga politik uang dan ngebosi (mengajak masyarakat makan di
warung). Sedangkan Gunawan dan kawan-kawan memaparkan kandidat yang
mengalahkan petahana menggunakan strategi ofensif (menyerang) yakni strategi
dengan cara membentuk basis kelompok pemilih baru dan ekspolarasi potensi yang
dimiliki kandidat. Namun, Gunawan dan kawan-kawan belum mengupas secara detail
seperti apa cara kerja strategi tersebut. Penelitian yang dilakukan menggunakan
metode studi literatur tersebut belum memberikan data tentang penelitian yang
mengupas bagaimana strategi itu dijalankan. Sedangkan kelemahan dari Endik dan
kawan-kawan juga tidak mengeksplor lebih jauh mengenai hubungan antara pemilih
dengan hal-hal mistis itu. Ini bisa dibuktikan dengan tidak ada data wawancara
mendalam dengan masyarakat dan dukun.
Strategi dalam Pilkades juga dilakukan di Desa Tanjung, Kediri, oleh Endik
Hidayat. Temuan Endik bahwa kandidat yang menang dalam kontestasi Pilkades
menggunakan kepercayaan atau berbasis pada kebudayaan Jawa seperti slametan,
pitou yang berasal dari dukun atau Kiai, pulung sebagai tanda kekuasaan hingga luri
(garis keturunan). Namun yang menjadi kelemahan penelitian tersebut adalah kurang
mengeksplor lebih jauh apakah benar kemenangan suatu kandidat calon hanya
9
ditopang dengan kepercayaan atau tradisi adat istiadat budaya. Seperti apa
hubungannya terhadap masyarakat? hal ini bisa dilihat dari tidak adanya pemaparan
hasil wawancara dengan masyarakat biasa atau dukun.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya ialah terletak pada pokok pembahasan seperti apa pola
yang dibangun atau strategi yang dilakukan oleh kandidat dalam Pilkades. Peneliti
juga akan mengekplorasi lebih jauh seperti apa hubungan uang dengan pemilih, lalu
seperti apa cara kerja kandidat dalam mencari dukungan pada masyarakat. Penelitian
ini akan memaparkan pergulatan kandidat calon kepala desa yang berhasil menang
dan mampu meruntuhkan dinasti lokal yang telah dibangun sejak mulai dari kepala
keluarga yang bernama Sarimin sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 1998 lalu
dilanjutkan oleh Rubiyati yang merupakan istri dari Sarimin yang mulai menjabat
pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2007 dan dilanjutkan pada tahun 2014 sampai
dengan 2019. Oleh karenannya penelitian ini mengangkat judul “Runtuhnya Dinasti
Lokal” Kasus Pilkades 2019 di Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah.
B. Rumusan Masalah
Memperhatikan latar belakang yang telah penulis paparkan, maka penulis
hendak melakukan penelitian ini yang dipandu dengan pertanyaan besar yakni
mengapa dinasti lokal runtuh dalam Pilkades tahun 2019, di Desa Sudimoro,
Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah?
C. Fokus Penelitian
10
Titik yang akan menjadi fokus penelitian ini ialah terletak aktor yang berhasil
menang dalam kontestasi Pilkades. Peneliti akan mengulas seperti apa strategi yang
dilakukan oleh aktor tersebut sehingga bisa meruntuhkan dinasti lokal yang telah
dibangun sebagai modal peneliti untuk memberikan jawaban atas terjadinya krisis
demokrasi. Strategi tersebut tentunya akan ditemui untuk bisa dikupas tuntas melalui
pencarian data di lapangan seperti wawancara mendalam terhadap kandidat yang maju
dalam Pilkades, tim sukses yang bekerja sebagai mesin politik untuk mencari
dukungan politik masyarakat serta masyarakat sekitar yang terdaftar menjadi pemilih.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan daripada penelitian ini adalah sebagai berikut;
a) Untuk mengetahui seperti apa strategi yang dilakukan oleh aktor
yang maju dalam kontestasi Pilkades.
b) Untuk menggambarkan mekanisme yang dilakukan oleh aktor yang
menang dalam kontestasi Pilkades sehingga bisa meruntuhkan
dinasti lokal yang telah lama dibentuk.
2. Manfaat Penelitian
a) Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memberikan
jawaban mengenai krisis demokrasi yang terjadi sehingga bisa
menambah pengetahuan terhadap pembaca, masyarakat dan
terlebih untuk mahasiswa Studi Ilmu Pemerintah di STPMD
“APMD” Yogyakarta tentang runtuhnya dinasti lokal yang ada di
11
Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah.
b) Manfaat Praktis
Memberikan gambaran atau pemahaman bagi peneliti
selanjutnya yang mengkaji mengenai dinasti lokal yang terjadi
secara akademik terkhusus kepada civitas akademik STPMD
“APMD” Yogyakarta.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif dengan pengumpulan data melalui observasi lapangan dan wawancara
mendalam sebagai data primer. Sedangkan data sekunder dari penelitian ini adalah
berupa dokumen yang memiliki relevansi dengan topik penelitian, seperti antara lain;
profil desa, berita acara pemilihan kepala desa, surat pernyataan calon kandidat dalam
kontestasi pemilihan kepala desa, surat riwayat hidup calon kepala desa dan surat tugas
penunjuk saksi. Dokumen yang relevan dengan topik penelitian ini peneliti dapatkan
dengan cara memintannya diorang-orang terkait sewaktu melakukan wawancara
mendalam. Salah satu contoh misalnya ketika peneliti melakukan wawancara dengan
sekretaris desa, maka pada kesempatan itu pula peneliti menanyakan terkait dokumen
yang dibutuhkan itu apakah peneliti bisa dapatkan lalu dengan siapa peneliti bisa
mengambilnya.
12
Penelitian ini dilakukan di Desa Sudimoro, Kecamatan Srumbung, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah, dengan durasi penelitian lima bulan, terhitung mulai pada
bulan September 2019 – Januari 2020. Fokus penelitian ini berusaha untuk
mengungkap strategi yang dilakukan oleh seorang calon kepala desa dalam
menghadapi incumbent/petahana. Langkah pertama, sebelum sampai pada tahapan
penelitian, terlebih dahulu peneliti melakukan pendekatan, terutama dengan
pemerintah desa kaitannya dengan apakah di desa yang akan dituju itu bisa dijadikan
tempat untuk penelitian. Hal ini menjadi penting, sebab pada tahun 2020 ini banyak
desa-desa yang tidak mau menerima orang luar untuk masuk ke desa dengan alasan
adanya pandemi Corona Virus (Covid-19) yang sedang marak di Indonsia bahkan
dunia. Oleh karena itu, penting adanya untuk melakukan pendekatan terlebih dahulu
supaya memastikan desa itu bisa dijadikan tempat penelitian. Pendekatan dengan
pemerintah desa dilakukan pada tanggal 20 agustus 2020. Pada saat itu peneliti
bersama ketiga orang teman langsung menemui kepala desa di rumah kediaman
pribadinya di Dusun Argopeni.
Setelah semuanya sudah dipastikan, langkah selanjutnya untuk dapat
menemukan data-data yang menunjang penelitian ini, maka peneliti melakukan
beberapa hal, antara lain; pertama, observasi lapangan. Observasi lapangan bagi
peneliti sangat penting. Alasannya ialah supaya peneliti bisa mengetahui secara jelas
letak wilayah Desa Sudimoro yang menjadi tempat penelitian. Selain itu, observasi
lapangan juga membantu peneliti untuk menambah data penelitian kaitannya dengan
kondisi masyarakat disetiap dusun, aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat
serta perilaku masyarakat terhadap orang luar.
Kedua, wawancara mendalam. Wawancara mendalam pertama dilakukan pada
tanggal 21 September 2020. Adapun informan atau narasumber yang ditemui ialah
13
Muh Rofie yang merupakan kandidat pemenang Pilkades tahun 2019 dan Karnadi
yang merupakan sekretaris desa yang sudah menjabat mulai dari tahun 2017 hingga
sekarang. Pertemuan peneliti dengan Muh Rofie dan Karnadi dilakukan di balai desa.
Kemudian peneliti mewawancarai calon kepala desa lainnya seperti Suparno
(Kranggan Kidul) dan Rubiyati (Sudimoro). Pertemuan tersebut dilakukan dimasing-
masing rumah kediaman mereka. Pada konteks Pilkades di Desa Sudimoro 2019,
Rubiyati disini posisinya ialah sebagai incumbent atau petahana yang sebelumnya
telah menjabat selama 2 (dua) periode, sedangkan Suparno adalah penantang baru
sama seperti Muh Rofie. Suparno merupakan pensiunan TNI tahun 2019 dan sebelum
mencalonkan diri sebagai kepala desa, Ia terlebih dulu dipercayakan masyarakat untuk
menjadi anggota BPD Desa Sudimoro. Oleh karena Ia akan mencalonkan diri sebagai
kepala desa, maka posisinya sebagai anggota BPD pun Ia lepaskan, namun karena
dalam perhitungan suara dalam Pilkades Ia dinyatakan kalah, maka Ia kembali
dipercaya oleh masyarakat untuk masuk dalam keanggotaan BPD.
Inti pembicaraan peneliti dengan calon kepala desa tersebut ialah merujuk pada
seperti apa strategi yang telah dilakukan dalam kontestasi Pilkades tahun 2019 yang
lalu, sedangkan dengan sekretaris desa lebih mengarah kepada seperti apa proses yang
dilakukan oleh desa dalam menyelenggarakan Pilkades. Hal ini dilakukan karena
sekretaris desa tersebut juga termasuk menjadi sekretaris di kepanitian Pilkades.
Selanjutnya wawancara mendalam kedua peneliti lakukan pada tanggal 24 September
2020. Adapun yang menjadi narasumber peneliti yakni Jumrodin (Kranggan Kidul),
Darwanto (Kranggan Lor) Riyanto (Argopeni) yang merupakan anggota dari
kepanitian Pilkades. Wawancara peneliti dengan Jumrodin dan Darwanto dilakukan
di Balai Desa Sudimoro, hal ini karena mereka juga termasuk perangkat desa dimana
Jumrodin menjadi kepala dusun sedangkan Darwanto menjadi kasi pemerintahan.
14
Sedangkan Riyanto penulis temui rumah kediamannya. Inti pembicaraan peneliti
dengan mereka lebih merujuk kepada seperti apa proses yang dilakukan untuk
mensukseskan kontestasi Pilkades tahun 2019. Selain itu, peneliti juga melakukan
wawancara dengan dengan ketua BPD yakni Sunario (Kemukus) yang dilakukan di
rumahnya. Pokok pembicaraan peneliti dengan Sunario tentang seperti apa proses
pembentukan kepanitian Pilkades 2019 serta bagaimana respon masyarakat dengan
adanya kontestasi Pilkades 2019 yang telah berlangsung. Di hari yang sama peneliti
juga melakukan wawancara mendalam dengan Tri Ahmad wasidi yang merupakan
kepala dusun di Dusun Jombong. Pokok pembicaraan kami ialah seputar pergulatan
yang terjadi di tengah masyarakat terkait Pilkades dan seperti apa pergerakan tim
sukses yang dilakukan oleh masing-masing kandidat terkhusus di Dusun Jombong
sendiri. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan masyarakat Dusun
Jombong yang bernama Supri dan Tri Utami. Pokok pembicayaan kami ialah bermula
dari seperti apa pembentukan panitia Pilkades hingga seperti apa profil setiap kandidat
(termasuk keuntungan atau kekurangan yang dimiliki).
Selaras dengan itu, wawancara mendalam ketiga dilakukan pada tanggal 1
Oktober 2020. Pada tanggal tersebut ada beberapa narasumber yang peneliti temui
seperti, antara lain; (1) Heri Purnomo (Argopeni) yang merupakan sekretaris BPD.
Pokok pertanyaan peneliti terhadap Heri Purnomo ialah mengenai seperti apa
pembentukan panitia Pilkades serta seperti apa gejolak yang ditimbulkan di tengah-
tengah masyarakat saat Pilkades berlangsung, terutama masyarakat yang secara
adminitrasi berada di Dusun Argopeni. (2) Sudi Margono dari Dusun Kranggan Lor
(3) Supardi dari Dusun Jombong. Mereka adalah tim sukses dari Muh Rofie. Oleh
karenanya, topik pembicaraan peneliti dengan kedua orang tersebut mengenai seperti
apa strategi yang dilakukan untuk memenangkan kandidat. (4) Marianto dari Dusun
15
Banaran. Marianto ini merupakan salah seorang tim sukses dari petahana, Rubiyati.
Pokok wawancara peneliti dengan Marianto juga sama, yakni membahas mengenai
seperti apa strategi yang dilakukan dalam kontestasi Pilkades tahun 2019 kemarin.
Wawancara mendalam keempat, kembali peneliti lanjutkan pada tanggal 13
Oktober 2020. Pada tanggal tersebut, peneliti menemui beberapa narasumber, yakni
(1) Mlinggo, masyarakat Dusun Banaran. (2) Rohadi, masyarakat Dusun Kranggal
Lor. Pokok pembicaraan peneliti dengan kedua masyarakat tersebut mulai dari seperti
apa pembentukan panitia Pilkades tahun 2019, serta seperti apa cara yang dilakukan
oleh setiap kandidat untuk mendapatkan dukungan politik dari masyarakat.
wawancara mendalam ini dilakukan dimasing-masing rumah mereka, karena peneliti
disini menggunakan sistem jemput bola. Artinya bukan narasumber yang datang
menemui peneliti melainkan peneliti sendiri yang mencari narasumber itu. (3) Lukas
Suhariono. (4) Harianto. Kedua orang itu adalah tim sukses Muh Rofie yang berasal
dari Dusun Sempon. Meskipun disini mereka berasal dari satu dusun, tetapi
wawancara dilakukan ditempat yang berbeda. Artinya peneliti menemui mereka
dimasing-masing rumahnya. Lukas Hariono dan Harianto merupakan tim sukses yang
memiliki tugas utama untuk memobilisasi masyarakat yang beragama katolik. Oleh
karena itu, topik pembicaraan peneliti dengan kedua orang tersebut ialah seperti apa
strategi yang dilakukan supaya masyarakat yang beragama katolik mau untuk
mendukung Muh Rofie. (5) Sri Winarni. Sri Winarni adalah salah seorang masyarakat
Dusun Sempon yang beragama katolik dan juga termasuk istri dari Harianto yang
merupakan tim sukses Muh Rofie. Topik pembicaraan peneliti dengan Sri Winarni
dimulai dengan seperti apa pembentukan panitia Pilkades, lalu masuk ke seperti apa
cara yang dilakukan oleh setiap kandidat untuk mendekati masyarakat.
16
Selanjutnya, wawancara kelima dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2020.
Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan tim sukses Muh Rofie dari Sempon
yang bernama Herman Adianto. Pada saat itu wawancara mendalam dilakukan di
rumahnya. Pokok pembicaraan kami mengenai seperti apa cara kerja tim sukses dari
Muh Rofie sehingga masyarakat terkhusus di Dusun Sempon mau memberikan
dukungan politik kepada Muh Rofie dalam kontestasi Pilkades tahun 2019.
Terakhir, wawancara keenam dilakukan pada tanggal 7 Januari 2021 peneliti
melakukan wawancara dengan beberapa narasumber, antara lain; (1) Muh Rofie.
Untuk yang ketiga kalinya peneliti melakukan wawancara dengan Muh Rofie tetapi
dengan topik yang berbeda. Pada pertemuan yang ketiga ini, peneliti mengajukan
pertanyaan dengan Muh Rofie khusus mengenai tanah bengkok yang diterima sebagai
kepala desa. wawancara itu dilakukan di balai desa. (2) Mariam yang berasal dari
Dusun Argopeni. Ia merupakan salah seorang pengurus Kelompok Wanita Tani
(KWT). KWT adalah penjabaran dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Adapun pokok pertanyaan peneliti dengan Mariam adalah mengenai profil dari setiap
kandidat serta berbicara mengenai seperti apa hubungan yang dilakukan oleh kandidat
terhadap KWT itu sendiri. Maksudnya ialah apakah ada janji-janji yang dilakukan oleh
kandidat supaya KWT atau PKK mau mendukung kandidat tersebut secara politik
dalam kontestasi Pilkades tahun 2019. (3) Margono yang berasal dari Dusun
Kemukus. Informan ini merupakan keluarga dari kandidat yang bernama Muh Rofie.
Margono di Desa Sudimoro memiliki jabatan sebagai ketua Badan Usaha Milik Desa
(BUM Desa). Meskipun begitu, pokok pertanyaan peneliti terhadap Margono ialah
mengenai seperti apa dukungan yang diberikan keluarga kepada Muh Rofie. (4) Ponijo
yang merupakan ketua RT 03 Kranggan Kidul. Ponijo merupakan masyarakat yang
kini mengelola tanah bengkok yang dimiliki oleh kepala desa. Ia sudah menjadi
17
penggarap tanah bengkok mulai dari kepala desa terdahulu (termasuk incumbent).
Oleh karena itu, pokok pembicaraan peneliti dengan beliau mengenai seperti apa
sistem penyewaan tanah bengkok itu serta seperti apa dinamika yang terjadi di
masyarakat saat berlangsungnya Pilkades tahun 2019 kemarin. (5) Bilong yang
merupakan masyarakat Dusun Kranggan Kidul. Bilong juga termasuk pekerja di depo
pasir. Inti pembicaraan peneliti dengan Bilong adalah seputar depo pasir, seperti, siapa
yang menjadi pemilik depo pasir itu lalu bagaimana sistem penyewaan tanah yang ada
disana untuk tempat berlangsungnya depo pasir. (6) Sastro Widodo dan Rame yang
merupakan sepasang suami istri yang berasal dari Dusun Kemukus. Rame merupakan
suami dari Sastro widodo dan Rame sendiri adalah pengurus kesenian yang ada di
Desa Sudimoro. Oleh karena itu pokok pembicaraan peneliti dengan beliau ialah
mengenai cara kandidat mendekati kelompok kesenian untuk meminta dukungan
secara politik di Pilkades tahun 2019 yang lalu.
Pada penelitian ini, karena fokus penelitian ialah ingin melihat seperti apa
strategi yang dilakukan oleh kandidat yang berhasil mengalahkan incumbent dan
mampu meruntuhkan dinasti lokal, maka wawancara mendalam lebih banyak
mengarah kepada tim sukses kandidat tersebut. Terhadap tim sukses ini, peneliti ingin
mencari data lebih spesifik dan mendalam mengenai seperti apa cara kerja dari calon
kepala desa dalam menggelar dukungan suara dari masyarakat. Strategi-strategi atau
cara kerja yang dilakukan oleh calon kepala desa secara otomatis akan berjalan secara
maksimal apabila didukung dengan komposisi tim sukses yang dibentuk.
Lalu untuk tim sukses dari incumbent dalam wawancara mendalam ini sedikit
yang ditampilkan, alasannya karena melihat fokus penelitian yang lebih mengarah
kepada kandidat yang menang. Dalam konteks ini juga, incumbent tidak mau banyak
berbicara terkait dengan dinamika yang terjadi dalam Pilkades 2019 yang lalu. Kurang
18
keterbukaannya incumbent dengan peneliti membuat peneliti juga menjadi kesulitan
untuk mencari siapa yang menjadi tim sukses incumbent. Sedangkan untuk Suparno
dalam konteks ini, peneliti tidak menampilkan siapa tim suksesnya karena memang Ia
mengakui sendiri bahwasnya dalam Pilkades 2019 yang lalu Ia tidak menggunakan
tim sukses.
Ketiga, studi literatur. Posisi studi literatur disini ialah untuk membantu peneliti
memahami kaitannya dalam konteks pemilihan kepala desa. Studi literatur juga
penting untuk memperjelas posisi dari penelitian yang dilakukan. Artinya penelitian
yang dilakukan ini berbeda daripada yang lain sehingga hasilnya juga mendapat
kebaharuan dan tidak terkesan mengulang penelitian sebelumnya. Studi literatur yang
digunakan oleh peneliti lebih banyak menggunakan jurnal, baik yang berasal dari
penelitian di pulau Jawa hingga jurnal yang penelitiannya dilakukan di luar pulau
Jawa.
Setelah selesai melakukan semua tugas yang dikemukakan di atas, tahap
selanjutnya yang dilakukan ialah analisis data. Secara khusus, penulis dalam
menganalisis data dipandu menggunakan teknik analisis Miles dan Huberman.
Analisis data dilakukan pada saat berlangsungnya pengumpulan data sampai selesai
pengumpulan data dalam periode tertentu. Merujuk Miles dan Huberman dalam
Sugiyono (2017) proses analisis data ini dilakukan secara interaktif yang berlangsung
secara terus menerus sampai data tersebut jenuh.
Hal pertama yang dilakukan penulis dalam analisis data ialah collection data
(pengumpulan data). Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara
mendalam, serta dokumentasi. Kedua, reduksi data (data reduction) digunakan untuk
19
menajamkan, menggabungkan, mengorganisasi data, membuang yang tidak perlu
sehingga data tersebut dapat ditarik kesimpulannya, sehingga memudahkan peneliti
untuk menganalisisnya. Ketiga, penyajian data (display data). Aktivitas ini
mengarahkan penulis untuk menyajikan sekumpulan data yang diperlukan sehingga
memudahkan peneliti untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan. Sajian data
kualitatif ini berupa teks naratif yang berbentuk catatan di lapangan, serta bagan. Oleh
karenanya, pada penelitian ini, data disajikan dengan sistematis dalam bentuk uraian
deskripif. Keempat, (conclution drawing/verivication) atau penarikan kesimpulan dari
penelitian yang dilakukan.
Hambatan utama dari penelitian ini adalah peneliti sulit untuk menemukan data
primer wawancara. Peneliti sulit untuk menemukan narasumber (masyarakat) yang
bisa dan bersedia diwawancarai. Banyak masyarakat yang menolak untuk
diwawancarai dengan alasan ‘takut’ salah berbicara. Alasannya karena masyarakat
menganggap bahwasannya hal-hal yang berkaitan dengan kontestasi Pilkades adalah
sensitif sebab masyarakat Desa Sudimoro mempunyai pengalaman yang tidak bagus
di masa lalu. Ada juga yang mengungkapkan tidak pantas untuk berdiskusi dengan
alasan tidak memiliki pendidikan tinggi, hanya orang biasa, serta tidak mengerti
politik.
Hambatan ini hadir, alasannya bagi peneliti karena aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat pada pagi sampai sore hari berada di luar rumah, melakukan pekerjaan
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kita
berjalan menyusuri Desa Sudimoro, kita hanya disuguhi banyaknya rumah tanpa
penghuni. Dengan demikian, maka akan banyak alasan yang dilontarkan oleh
masyarakat supaya dapat menghindar dari peneliti. Adapun cara yang peneliti gunakan
untuk mengatasi masalah tersebut antara lain; pertama, dengan menunggu narasumber
20
selesai melakukan pekerjaannya. Kedua, melakukan wawancara tanpa terlihat tidak
sedang melakukan wawancara. Salah satu contoh misalnya dengan datang ke warung
untuk membeli sesuatu, lalu berpura-pura menanyakan alamat dan karena komunikasi
sudah terjadi, maka secara perlahan peneliti masuk dalam pertanyaan-pertanyaan yang
mengarah pada topik penelitian. Tentu saja dari cara yang dilakukan ini, peneliti tidak
mengeluarkan buku catatan, tetapi lebih kepada memanfaatkan handphone untuk
merekam pembicaraan peneliti dengan narasumber.
Terakhir, penulis juga memuat daftar informan wawancara dalam bentuk tabel
yang bisa dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tujuan dimuatnya tabel tersebut ialah
untuk memaparkan lebih rinci mengenai siapa saja yang menjadi informan atau
narasumber dari penelitian ini.
Tabel 1.1 Daftar Nama-Nama Informan
No Nama Asal
Dusun
Pendidikan
Terakhir
Pekerjaan /
Posisi di
Pilkades
Posisi di
Pilkades
1 Muh Rofie
(50 Tahun)
Argopeni D3
Pariwisata
Kepala Desa Kandidat
2 Rubiyati,
AMK
(67 Tahun)
Sudimoro D3
Keperawatan
Pensiunan
Dinas
Kesehatan
Kandidat
3 Suparno
(54 Tahun)
Kranggan
Kidul
SLTA Pensiunan
TNI
Kandidat
21
4 Jumrodin
(42 Tahun)
Kranggan
Kidul
SLTA Kepala Dusun Panitia
Penyelengara
Pilkades
5 Darwanto
(51 Tahun)
Kranggan
Lor
SLTA Kasi
Pemerintahan
Panitia
Penyelenggara
Pilkades
6 Riyanto
(61 Tahun)
Argopeni SLTA Pensiunan
POLRI
Ketua Panitia
Penyelenggara
Pilkades
7 Sunario
(51 Tahun)
Kemukus SLTA Ketua BPD Ketua BPD
8 Tri Ahmad
Wasidi (31
Tahun)
Jombong SLTA Kepala Dusun Panitia
Penyelenggara
Pilkades
9 Supri
(40 Tahun)
Jombong SLTA Tukang
Bangunan
Masyarakat
10 Utami
(33 Tahun)
Jombong SLTA Tani Masyarakat
11 Heri
Purnomo
(42 Tahun)
Argopeni SMK Sekretaris
BPD
Sekretaris
BPD
12 Sudi
Margono
(74 Tahun)
Kranggan
Lor
Sekolah
Rakyat (SR)
Tani Tim Sukses
Muh Rofie
22
13 Supardi
(67 Tahun)
Jombong SD Tani Tim Sukses
Muh Rofie
14 Marianto
(37 Tahun)
Banaran SMP Buruh Tim sukses
Rubiyati
15 Rohadi
(40 Tahun)
Kranggan
Lor
SMP Buruh Masyarakat
16 Lukas
Suhariono
(60 Tahun)
Sempon SLTA Buruh (Ketua
RT 01)
Tim Sukses
Muh Rofie
17 Harianto
(50 Tahun)
Sempon SMK Tani Tim Sukses
Muh Rofie
18 Sri Winarni
(44 Tahun)
Sempon SMA Ibu Rumah
Tangga
Masyarakat
19 Mariam
(50 Tahun)
Argopeni SMEA Pengurus
KWT
Masyarakat
20 Margono
(57 Tahun)
Kemukus SLTA Ketua
BUMDesa
Keluarga Muh
Rofie
21 Ponijo
(58 Tahun)
Kranggan
Kidul
SMP Tani (Ketua
RT 03)
Masyarakat
22 Bilong
(41 Tahun)
Kranggan
Kidul
SMK Buruh Masyarakat
23 Sastro
Widodo
(50 Tahun)
Kemukus SD Kelas 2 Ibu Rumah
Tangga
Pengurus
Kelompok
Kesenian
23
24 Rame
(60 Tahun)
Kemukus Tidak
Sekolah
Jual Beli
Singkong dan
Kelapa
Masyarakat
24
BAB II
KONSEPSI DEMOKRASI LOKAL; PATRONASE,
OLIGARKI DAN LOCAL STRONGMAN
a. Pengantar
Topik penulisan dalam bab II ini akan membahas mengenai kerangka teori
dalam penelitian ini. Referensi yang peneliti gunakan disini utamanya berasal dari
buku yang tentunya relevan dengan topik penelitian. Teori yang peneliti paparkan
dalam bab II ini tentunya akan digunakan sebagai pijakan untuk menganalis
temuan dalam penelitian. Kemudian, sajian penulisan dalam bab II ini penulis
rangkai menjadi satu kesatuan yang utuh sesuai topik penelitian yakni tentang
Pilkades.
Pada bagian pertama berbicara mengenai demokrasi lokal. Poin ini dimulai
dengan membahas mengenai demokrasi secara umum, lalu berbicara mengenai
seperti apa konsep sebenarnya yang menjadi ciri khas demokrasi yang ada di
Indonesia itu sendiri dengan negara lainnya. Teori ini dilatarbelakangi oleh
pemikiran Bung Hatta. Bagian kedua berbicara mengenai patronase Pada poin ini
menampilkan gagasan seperti James Scott, Guno Tri Tjahjoko dan Aspinal dan
Sukmajati. Hal yang menarik ialah ketiga orang tersebut memiliki cara pandang
yang berbeda mengenai pola patronase yang terjadi. Kemudian pada bagian ketiga
membahas mengenai oligarki. Rujukan teori oligarki ini menggunakan pandangan
Jeffrey A. Winters. Pembahasannya dimulai dari cara kita untuk mendefinisikan
oligarki dengan baik hingga seperti apa oligarki itu bekerja. Selanjutnya pada
bagian keempat membahas mengenai local strongman (orang kuat lokal). Pada poin
25
ini, penulis memaparkan perdebatan konsepsi oleh dua orang peneliti seperti Joel
S. Migdal dan John T. Sidel. Ciri khas dalam teori ini ialah Joel S. Migdal hadir
dengan teorinya yang bernama local strongman sedangkan John T. Sidel muncul
dengan teorinya yang bernama bossism.
b. Demokrasi Desa
Demokrasi secara etimologi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat
atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” yang berati kekuasaan atau kedaulatan.
Jadi, “demos-cratein” atau “demokrasi” adalah keadaan negara dimana dalam
sistem pemerintahannya, kedaulatan di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada
dalam keputusan bersama rakyat (Inu Kencana, 2014). Demokrasi sendiri
memerlukan waktu yang panjang untuk bisa bertransformasi seperti sekarang ini,
sehingga kita bisa menikmatinya. Dalam tulisan Firmanzah (2012) mengulas bahwa
sejarah demokrasi diawali oleh pidato Pericles di depan masyarakat Athena. Saat
itu, demokrasi didefinisikan sebagai kesamaan, pemilihan orang berdasarkan
kemampuan dan toleransi atas perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemikiran tersebut kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles dengan mengajukan
social-base-democracy. Paham ini lebih melihat bahwa demokrasi harus melihat
dan memperhatikan aspek sosial daripada hanya mengejar kekayaan.
Pandangan tersebut lalu lebih dikembangkan lagi oleh pemikir-pemikir
demokrasi modern seperti; Montesquieu, Machiavelli, Hobbes, John Locke,
Tocqueville dan yang lainnya. Pemikiran mereka nyatanya sampai sekarang masih
berguna bagi negara yang menganut sistem demokrasi. Pemikiran-pemikiran
tersebut memberikan manfaat dalam pembentukan pemerintahan demokratis. Dari
26
Montesquieu misalnya, dunia, terkhusus Indonesia mengenal yang namanya
pembagian kekuasaan politik dalam kelembagaan yaitu trias politica (lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif).
Berangkat dari hal tersebut, peneliti melihat demokrasi adalah suatu sistem
yang kekuasaan tertinggi itu berada di tangan rakyat sendiri. Atau yang dituturkan
oleh Abraham Lincon, demokrasi ialah dari, oleh dan untuk rakyat. Studi literatur
tentang demokrasi sangat beragam. Studi literatur yang dilakukan oleh Collier dan
Levitsky (1997) dalam Firmanzah (2012) menunjukan bahwa tidak kurang terdapat
550 definisi tentang demokrasi. Artinya disini ada banyak sekali acuan yang bisa
kita gunakan untuk mendefinisikan tentang demokrasi.
Dalam konteks demokrasi, Aristoteles berpandangan bahwa pemilihan
langsung pemimpin adalah wujud kedaulatan rakyat, rakyatlah yang berdaulat
bukan negara atau elit politik, sebab secara esensi demokrasi ialah kedaulatan dari,
oleh dan untuk rakyat (Tjahjoko, 2019). Pandangan tersebut mengindikasikan
sistem demokrasi ialah sesuatu hal yang berkaitan dengan pemilihan langsung
untuk memilih pemimpin yang akan memimpin rakyat yang memiliki kedaulatan.
Mengutip dari pernyataan Winston Churchill dalam pidatonya dihadapan
Majelis Perwakilan Rendah Inggris pada tanggal 11 november 1947 mengatakan,
demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk, tetapi yang paling baik
diantara semua bentuk pemerintahan yang pernah dicoba dari masa ke masa
(Andrew Heywood, 2014;137). Dalam pernyataan tersebut nampak jelas
bahwasannya sistem demokrasi masih memiliki posisi yang bagus daripada sistem
seperti monarki atau yang lainnya. Kaitannya dengan demokrasi, Mukthie Fadjar
27
(2013) dalam bukunya yang berjudul ‘Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu dan
Demokrasi’ berujar;
“tidak ada semua negara yang ingin disebut tidak
demokratis atau bukan negara demokrasi, kendatipun
barangkali demokasinya diberi tambahan lebel yang
beraneka, misal demokrasi rakyat, demokrasi terpimpin,
demokrasi liberal, demokrasi proletar, demokrasi
pancasila dan sebagainya, juga mungkin hakekat
demokrasi dan syariat (mekanisme) demokrasinya
berbeda”.
Senada dengan hal tersebut, sebenarnya yang perlu diketahui, Indonesia juga
mempunyai demokrasi asli yang seharusnya bisa dipertahankan dan bisa menjadi
landasan untuk berlakunya sistem yang diterapkan saat ini. Mohammad Hatta
(1966) yang merupakan seorang Proklamator pernah memaparkan dalam tulisannya
bahwa demokrasi kita ini bermuara pada musyawarah yang ada di desa. Bung Hatta
(1966) pernah menuliskan tentang demokrasi asli kita yang berbunyi;
“Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong
royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak
menyingkir dari daerah kekuasaan raja, dipuja dalam
lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat
bagi demokrasi sosial, yang akan dijadikan dasar
pemerintahan Indonesia Merdeka di masa datang. Tidak
semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat
dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan modern. Tetapi
sebagai dasar ia dipandang berguna. Bagaimanapun,
orang tak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang
sedikit-banyak bersendi pada organisasi sosial di dalam
masyarakat asli sendiri”.
Kutipan tersebut menunjukan bahwasannya demokrasi sosial (asli)
mengedepankan yang namanya musyawarah untuk mufakat. Meskipun dalam hal
ini, demokrasi desa tidak bisa dipakai sampai pada tataran yang lebih tinggi namun
hal tersebut dapat berguna sebagai batu loncatan atau pandangan dasar kita. Bung
28
Hatta (1966) berpandangan, demokrasi sosial yang merupakan demokrasi asli
Indonesia itu memiliki perbedaan mekanisme (cara kerja) seperti demokrasi ala
barat. Katakanlah demokrasi liberal yang mengacu pada one person, one vote, one
value. Sedangkan demokrasi sosial (asli) bermuara pada musyawarah untuk
mufakat yang sering dilakukan dan menjadi kebiasaan orang-orang desa. Berangkat
dari sini, dalam konteks demokrasi (asli) yang bermuara pada musyawarah
sebenarnya mengindikasikan bahwa kaitannya dengan pemilihan pemimpin desa
(Pilkades) bisa dilakukan dengan cara musyawarah untuk menentukan siapa yang
bisa memimpin masyarakat desa. Akan tetapi kenyataannya, sekarang hal tersebut
bergeser pada demokrasi ala barat (demokrasi liberal) sehingga membuat
mekanisme (cara kerja) juga mengalami perubahan. Hal ini juga disadari oleh
Fukuyama (dalam Firmanzah 2012) yang mengatakan bahwa teori demokrasi
modern sarat akan pengaruh demokrasi liberal.
Demokrasi desa yang dikemas oleh UU No. 6/2014 sebenarnya mengandung
gado-gado (hibrid) antara tradisi liberal, radikal dan komunitarian (Sutoro Eko, dkk
2017; 103). Oleh karena demokrasi desa dalam pengemasannya mengambil
beberapa tradisi yang dianggap baik, maka mekanisme yang bekerja di dalamnya
juga akan mengalami perubahan. Salah satu hal yang dalam demokrasi desa
menjadi berubah yakni dalam pemilihan kepala desa (Pilkades). Dalam konteks ini,
peneliti mau menujukan bahwasannya peneliti lebih menitikberatkan mekanisme
demokrasi desa dalam ranah pemilihan kepala desa.
Selaras dengan kutipan Sutoro Eko, dan kawan-kawan di atas, sebelum
ekspansi kolonialisme Eropa, Pilkades diselenggarakan dengan mekanisme
demokrasi deliberatif yakni melalui musyawarah antarawarga untuk menentukan
29
siapa yang berhak menjadi pemimpin desa (Fikri Disyacitta, 2019;208). Dalam
tulisan-Nya yang terkandung dalam buku “Desa Kuat Negara Berdaulat”,
diceritakan bahwasannya sistem pemilihan itu berubah total ketika Inggris melalui
Gubernur Thomas Stanford Raflles (1811-1816) mulai memperkenalkan metode
pemilihan kepala desa secara langsung. Salah satu tujuannya adalah untuk
memudarkan dominasi langsung raja-raja lokal atas penduduk pribumi. Lebih lanjut
dijelaskan, mekanisme pemilihan langsung dalam Pilkades menggunakan sistem
biting (lidi) dan bumbung (kurungan dari bambu) dimana setiap masyarakat yang
mempunyai hak pilih diberikan masing-masing satu biting lalu dimasukan ke dalam
bumbung dan kandidat yang memperoleh biting terbanyaklah yang menjadi
pemenangnya. Sepintas kita berpikir itu terlihat demokratis, tetapi dibalik itu semua
tentu ada kepentingan lain. Tujuan pemerintah kolonial Hindia-Belanda adalah
memupus relasi erat antara kepala desa dan warganya, kepala desa terpilih tidak
lagi menjadi sosok patriarki atau primus interpares yang dekat dengan warganya,
Ia hanya menjadi bagian dari pejabat birokrasi yang tugasnya hanya menjalankan
perintah dan menyelenggarakan kebijakan dari administrasi kolonial (Fikri
Disyacitta, 2019;208). Oleh karenannya, hingga saat ini Pilkades pun dalam
implementasinya tetap menggunakan demokrasi liberal yang mengedepankan one
man, one vote, one value.
c. Patronase
Setelah membahas kaitannya mengenai demokrasi desa, hal selanjutnya yang
menjadi perlu dibahas untuk melihat dinamika demokrasi desa kaitannya dengan
30
Pilkades adalah patronase. Menurut Scott, patronase adalah relasi patron-klien
antara dua orang yang berbeda status, di dalamnya terjadi proses pemberian uang,
barang dan jasa (Tjahjoko, 2016;10). Lebih lanjut dijelaskan, biasanya sang patron
ini berasal dari kalangan bangsawan atau tuan tanah. Oleh karena patron memiliki
pengaruh yang sangat besar di masyarakat, lalu Ia bisa menjadi pelindung,
memberikan pinjaman uang, tanah serta peralatan pertanian kepada sang klien.
Sedangkan klien berasal dari kalangan kelas sosial yang lebih rendah dari patron
sehingga sang klien hanya menerima pemberian tersebut dan membalasnya dengan
cara loyalitas.
Pandangan Scott memperlihatkan bahwa adanya perbedaan posisi antara
patron dan klien. Semakin banyak dan besar pemberian dari sang patron, maka klien
akan merasa berhutang semakin besar hingga tertutup kemungkinan untuk
membalasnya pada sang patron. Akan tetapi, teori Scott tentang patronase tersebut
tidaklah bisa digunakan sebagai pijakan sepenuhnya ketika kita meneliti di suatu
tempat. Artinya teori tersebut bisa relevan bisa juga tidak. Alasannya karena setiap
tempat memiliki ciri khasnya tersendiri. Teori Scott tersebut ternyata mampu
dipatahkan oleh Guno Tri Tjahjoko (2016). Bukunya yang berjudul “Politik
Ambivalensi” yang merupakan hasil disertasi yang dilakukan di Kalimantan Timur
menunjukan ada beberapa temuan bahwa patronase ala Scott tersebut kurang
relevan di Kalimantan Timur, diantarannya; pertama, patronase bukan keharusan
dua orang yang berbeda status dan berbentuk kluster. Temuan Tjahjoko (2016),
dalam politik lokal Kalimantan Timur, klien memiliki potensi untuk mandiri dari
patron dengan alasan tidak lagi memerlukan jasa baiknya. Lalu, relasi patronase
31
bisa saja dilakukan kepada orang yang sama statusnya dan tidak dimulai dari
kesenjangan sosial.
Kedua, patronase bisa terjadi karena sang patron hanya membutuhkan
legitimasi dari si klien. Misalnya digambarkan, sang patron memberikan materi dan
non-materi. Pemberian sang patron dipersepsikan sebagai kehormatan dan si klien
membalas dengan pemberian materi dan non-materi. Dalam hal tersebut ada
kesetaraan pemberian sekalipun berbeda status. Ketika si klien memberikan hasil
panenan kepada patron, maka tanggungjawabnya dianggap sudah selesai.
Ketiga, relasi patronase bisa terjadi antar patron yang disini seorang patron
digambarkan menjadi patron A, B dan C. Patron A bisa menjalin relasi dengan
patron B dan C, tetapi relasi yang dibangun tersebut tidak secara otomatis
berpengaruh pada klien sang patron A. Dan demikian sebaliknya. Artinya dalam
hal ini relasi antar patron hanya bersifat investasi kebaikan yang nantinya dapat
dimanfaatkan oleh masing-masing dari patron tersebut.
Keempat, patronase multi-piramida. Scott dalam konteks ini hanya berfokus
pada relasi patron-klien dengan memperluas jangkauan sang patron terhadap klien.
Sedangkan Tjahjoko menunjukan bahwa relasi dua arah yang dibangun oleh sang
patron untuk memperluas jangkauan sang patron. Secara ringkas, sang patron yang
digambarkan oleh Scott hanya berfokus pada relasi patron-klien yang berhubungan
langsung dengan si klien yang berada di bawah. Sedangkan pandangan dari
Tjahjoko bahwa sang patron juga bisa memperlebar jangkauan sang klien lewat
patron yang lain.
Menurut Tjahjoko (2016) dengan kebiasaan patronase ini akan berimplikasi
terhadap perilaku elite lokal karena ketika elite mencalonkan diri dalam kontestasi
32
politik maka relasi patron-klien tersebut ditransformasikan menjadi mobilisasi
massa dan perolehan suara baginya.
Setelah mengupas pemikiran Scott dan Tjahjoko tentang patronase-
klientelisme, langkah selanjutnya yang mesti dibahas juga ialah pemikiran Aspinal
dan Sukmajati. Berbeda dengan Scoot dan Tjahjoko, Aspinal dan Sukmajati
mengungkapkan bahwa patronase itu adalah sama dengan politik uang (money
politics). Sebagaimana diungkapkan bahwa, Aspinal dan Sukmajati (2015)
mendefinisikan patronase sebagai pertukaran keuntungan demi memperoleh
dukungan politik.
Aspinal dan Sukmajati melihat pertukaran dalam patronase ini terdapat
problematika. Masalahnya adalah kandidat yang memberikan hadiah atau
membayar pemilih tidak yakin bahwa pemilih tersebut akan berbuat yang sesuai
keinginan kandidat. Artinya, dengan kandidat membayar pemilih, maka masih ada
kemungkinan terbuka lebar peluang bagi pemilih untuk tetap tidak akan memilih
kandidat tersebut. Oleh karenanya, untuk mengatasi permasalahan yang muncul
maka kandidat membalut pemberian tersebut dengan cara yang menimbulkan
kedekatan emosional antara pemilih dengan kandidat. Misalnya, memberikan
pemberian sebagai amal yang mengandung sanksi religius atau sebagai kemurahan
hati sosial dengan situasi para tokoh kaya dan terhormat yang terlibat di dalamnya.
Selanjutnya, Aspinal dan Sukmajati (2015) membagi patronase menjadi
beberapa bagian diantaranya;
1) Pembelian Suara (Vote Buying).
Pembelian Suara dimaknai sebagai distribusi pembayaran uang tunai/barang
dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu
33
yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan
membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi. Secara umum,
pemaknaan pembelian suara oleh Aspinal dan Sukmajati sering dikenal sebagai
serangan fajar. Secara sederhana penulis melihat bahwa vote buying ala Aspinal
dan Sukmajati ini merupakan praktik politik uang. Tentunya skema pembelian
suara atau vote buying ini tersusun secara sistematis, sebab untuk melakukan
pendataan terhadap pemilih yang menjadi tujuan untuk serangan fajar memerlukan
beberapa pengetahuan mendasar seperti; pemilih loyalitas atau pemilih
mengambang, melihat loyalitas partai atau bukan dan lain sebagainya. Oleh
karenanya, penting untuk melakukan mobilisasi tim guna mendapatkan data
pemilih secara spesifik.
2) Pemberian-Pemberian Pribadi (Individual Gifts).
Bentuk patronase yang kedua ini sebenarnya ditujukan untuk melancarkan
bentuk yang pertama. Maksudnya adalah pemberian-pemberian pribadi merupakan
upaya untuk mendukung pembelian suara yang lebih sistematis. Aspinal dan
Sukmajati melihat kandidat dalam melakukan praktik ini ketika kandidat
melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau kegiatan kampanye yang
mempertemukan antara kandidat dengan pemilih. Pemberian ini sering dibahasakan
dengan perekat hubungan sosial yang merujuk pada barang pemberian kenang-
kenangan. Contoh barang yang merujuk pada pemberian-pemberian pribadi seperti
kalender atau gantungan kunci yang disertai nama kandidat, atau pemberian barang
lain yang merujuk pada kategori sembako seperti beras, gula,kopi dan lain
34
sebagainya. Atau barang lain yang merujuk pada makna religius seperti mukena,
jilbab dan sajadah.
Dalam konteks pemberian-pemberian pribadi ini, oleh Aspinal dan Sukmajati
menganggap bahwa hal itu berbeda dengan pembelian suara atau dalam bahasa
penulis ialah money politics. Akan tetapi, dalam penjelasannya, penulis belum
menemukan argumen yang kuat dari Aspinal dan Sukmajati mengenai perbedaan
antara pemberian barang dengan pembelian suara.
3) Pelayanan dan Aktivitas ( services and activities).
Pada bagian ini sama seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya. Pada
bagian ini, kandidat memberikan penyediaan atau membiayai beragam aktivitas dan
pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye
pada acara perayaan oleh aktivitas tertentu, sehingga kandidat punya ruang untuk
mempromosikan diri. Contoh lainnya misalnya seperti penyelenggaraan
pertandingan olahraga, turnamen catur atau domino, forum-forum pengajian,
menyanyi bersama dan lain sebgainya. Selain itu, kandidat sering juga mengadakan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat seperti check-up dan pelayanan kesehatan
gratis lainnya.
4) Barang-Barang Kelompok (Club Goods).
35
Aspinal dan Sukmajati mendefinisikan istilah club goods sebagai praktik
patronase yang diberikan lebih untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial
tertentu ketimbang keuntungan indivisual. Kemudian Aspinal dan Sukmajati
membedakan club goods ini menjadi dua bagian yaitu donasi untuk asosiasi-
asosiasi komunitas dan donasi untuk kemunitas yang tinggal di lingkungan
perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain. Jenis barang yang dibagikan oleh
kandidat kepada masyarakat sebagai pemilih yaitu perlengkapan ibadah, peralatan
olahraga, alat musik, sound system, peralatan dapur, tenda, peralatan pertanian dan
sejenisnya. Ada juga yang berupa sumbangan pembangunan atau renovasi
infrastruktur seperti pembangunan rumah ibadah, jalan, jembatan penyediaan
penerangan jalan, dan lain sebagainya. Pada tahapan ini, supaya kandidat
memperoleh dukungan suara dari pemilih, maka kandidat umumnya menggunakan
tokoh masyarakat yang menjadi broker sebagai mediasi atau penghubung antara
kandidat dan masyarakat.
5) Proyek-Proyek Gentong Babi (Pork Barrel Projects).
Bagian ini diartikan sebagai proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk
wilayah geografis tertentu. Karakter utamanya yaitu kegiatan tersebut ditujukan
kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik dapat
memberikan dukungan politik kepada kandidat. Dalam kampanye kandidat, hal ini
sering kali di jumpai terutama oleh kandidat petahana yang lantang menyuarakan
program-program yang telah berhasil dicapai oleh kandidat tersebut. Dalam
konteks ini, bagi Aspinal dan Sukmajati banyak dijumpai diberbagai daerah. Setiap
anggota DPRD Kabupaten/Kota maupun provinsi memperoleh dana khusus untuk
36
tujuan-tujuan semacam ini yang diberi nama dana aspirasi (gagasan dari dana
aspirasi adalah bahwa dalam rangka mendukung para legislator dalam aktivitas
penyerapan dan memberikan respons terhadap aspirasi konstituen mereka
diberikan jatah beberapa proyek pemerintah). Dalam pengertian yang sederhana,
penulis melihat bahwa pork barrel projects merupakan strategi ‘mencari muka’
dihadapan masyarakat. Disini kandidat seolah-olah berposisi seperti orang yang
layak dipilih kembali oleh masyarakat karena telah berhasil memperjuangkan apa
yang diperlukan oleh masyarakat sebagai pemilih.
Setelah berbicara mengenai patronase, maka supaya menjadi lebih lengkap
lagi akan dibahas juga mengenai klientelisme versi Aspinal dan Sukmajati. Peneliti
tersebut (merujuk pada Aspinal dan Sukmajati, 2015) melihat bahwasanya broker
yang berada diakar rumput memiliki peranan yang amat penting bagi para kandidat.
Hal mendasar yang menjadi alasannya ialah para kandidat menyadari bahwa
mereka dihadapkan dengan konstituen yang sangat besar, sehingga tidak mungkin
bisa melakukan interaksi secara langsung. Oleh karenanya peranan broker menjadi
sangat penting, supaya bisa menjadi penghubung antara para kandidat dengan
konstituen. Para broker ini biasannya merupakan tokoh masyarakat baik formal
ataupun informal, bahkan masyarakat biasa yang bekerja atas nama kandidat
tertentu. Tentunya tugas utama para broker adalah membujuk anggota masyarakat
lain seperti tetangga dan kenalan terdekat untuk memilih kandidat tertentu.
Posisi klientelisme disini memiliki peranan yang penting. Seperti yang sudah
dijelaskan dimuka, bahwa kandidat yang menggunakan patronase sebagai strategi
pemenangannya selalu berhadapan dengan ‘masalah timbal balik’. Artinya supaya
patronase berjalan dengan baik sehingga bisa diterima dengan baik pula oleh
37
masyarakat, maka klientelisme mestinya berjalan dengan lancar supaya dukungan
pemilih bisa tercapai. Oleh karena itulah, mengapa para broker harus orang yang
dikenal oleh masyarakat sekitar, supaya patronase bisa berjalan lancar. Aspinal dan
Sukmajati (2015) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk membuat patronase
berjalan dengan efektif adalah dengan membentuk relasi murni klientelistik.
Sehingga, relasi tidak semata-mata merujuk pada pertukaran material jangka
pendek, tetapi membentuk relasi menuju ke arah jangka panjang.
Selaras dengan itu, Aspinal dan Sukmajati (2015) membagi tiga bentuk dasar
dari jaringan broker suara yang digunakan di Indonesia, yakni; pertama tim sukses.
Tim sukses merupakan broker penjaring suara yang paling umum digunakan oleh
kandidat. Dalam tim sukses ini ada banyak penyebutannya, antara lain; tim
kemenangan, tim keluarga, dan tim relawan. Sebagaimana dipaparkan oleh Aspinal
dan Sukmajati (2015) bahwasannya tim sukses untuk kandidat DPR pusat akan
menyertakan tim penasehat inti dan para asistennya. Kemudian, di bawahnya
terdapat sejumlah koordinator seperti; koordinator kabupaten/kota, koordinator
kecamatan (korcam) koordinator desa (kordes) dan terakhir adalah broker pada akar
rumput atau yang sering disebut sebagai koordinator lapangan (korlap). Tentu saja,
tugas utama dari broker tersebut adalah menghubungkan kandidat yang berada pada
puncak piramida dengan para pemilih yang berada pada level terbawah piramida.
Struktur tim sukses dari Aspinal dan Sukmajati ini dapat dilihat dalam Gambar 2.1
di bawah ini.
Gambar 2.1 Struktur Tim Sukses Aspinal dan Sukmajati (2015)
38
Kedua, mesin-mesin jaringan sosial. Poin kedua ini nampaknya hampir
serupa dengan poin pertama. Maksudnya ialah kandidat selain menggunakan tim
sukses, juga memanfaatkan dukungan dari orang-orang yang memiliki pengaruh
pada masyarakat. para tokoh masyarakat ini bisa memiliki jabatan formal atau
informal. Jabatan formal seperti kepala desa, kepala dukuh, ketua RT/RW, atau
pemimpin dari asosiasi formal seperti club-club olahraga. Sedangkan jabatan
informalnya yaitu tokoh-tokoh keagamaan, para tetua desa, atau pemimpin adat.
Pada intinya ialah merujuk pada orang memiliki pengaruh yang besar atau memiliki
pengikut yang banyak. Temuan Aspinal dan Sukmajati (2015) mengemukakan
bahwa struktur broker setidaknya menggunakan dua rute yang berbeda, pada satu
sisi menggunakan rute tim sukses, sedangkan pada sisi lain menggunakan jaringan
sosial. Melalui jaringan sosial inilah kemudian kandidat melakukan pendistribusian
club goods kepada masyarakat. Jadi, melalui orang yang berpengaruh itulah
harapannya masyarakat menjadi mendukung kandidat tersebut.
39
Ketiga, partai politik. Dalam konteks ini, Aspinal dan Sukmajati (2015)
melihat bahwasannya partai politik memainkan peranan yang minim dalam
mengorganisir kampanye di akar rumput. Namun, bukan berarti itu semua tidak
bermanfaat. Kadangkala, kandidat yang menjabat sebagai pengurus utama partai
politik mampu mendominasi partai politik dan secara efektif mampu membuat
kepengurusan di tingkatan cabang dari partai tersebut untuk menjadi tim sukses
pribadinya. Oleh karenanya, kandidat tersebut memanfaatkan partai politik untuk
mempromosikan agenda kampanye pribadinya (meskipun ini merugikan kandidat
lain yang ada dalam daftar partai di dapil yang sama).
Memperhatikan tiga bentuk broker dalam usahanya meraup suara
masyarakat, sepertinya tidak bisa sepenuhnya diterapkan ke dalam fokus penelitian
yang dilakukan ini. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwasannya dalam
kontestasi Pilkades berbeda dengan pemilu. Perbedaannya ialah dalam Pilkades
tidak menggunakan partai politik. Sehingga dalam Pilkades, seorang kandidat
kepala desa, apabila merujuk pada broker Aspinal dan Sukmajati (2015) hanya bisa
menerapakan dua poin yakni tim sukses dan jaringan sosial. Namun tidak menutup
kemungkinan seorang kandidat kepala desa juga menggunakan partai politik untuk
memobilisasi masyarakat. Lalu praktik-praktik seperti patronase dan klientelisme
dapat terjadi apabila masing-masing dari kedua belah pihak (patron-klien)
mendapatkan keuntungan-keuntungan dari hubungan yang dibuat. Meskipun
kadang keuntungan tersebut tidak berimbang antara patron dan klien. Sebagai
contoh, misalnya ada seorang kandidat yang memberikan material yang sangat
besar kepada klien dengan harapan mendapat dukungan politik, tetapi yang terjadi
justru hal tersebut berbanding terbalik.
40
d. Oligarki
Oligarki merupakan konsep yang sering digunakan namun paling kurang
untuk dirumuskan dengan jelas dalam ilmu sosial (Jeffrey A. Winters 2011).
Banyak orang sering mendefinisikan oligarki sebagai kekuasaan yang dipegang
oleh segelintir orang atau minoritas. Pernyataan tersebut sebenarnya keliru. Apabila
demikian definisinya, maka hal mendasar yang menjadi pertanyaan adalah orang-
orang yang berada di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif berarti tergolong
oligarki.
Sebagian besar teori tentang oligarki berawal dengan mendefinisikan istilah
oligarki sebagai satu ragam “kekuasaan sekelompok kecil” lalu kemudian mencari
oligark secara real. Nyatanya itu keliru. Bagi Jeffrey A. Winters (2011),
mendefinisikan oligarki bukan dari mendefinisikan istilah oligarki itu, melainkan
mendefinisikan tentang oligark, baru kemudian menjelaskan mengenai apa itu
oligarki. Bagi Winters (2011) oligark (oligarch) adalah pelaku yang menguasai dan
mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk
mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial
eksklusifnya. Sumber daya itu harus tersedia untuk digunakan demi kepentingan
pribadi, biarpun tidak harus dimiliki sendiri. Apabila kekayaan pribadi ekstream
mustahil dimiliki atau tidak ada, maka oligark juga tidak ada.
Lalu, setelah hadir definisi daripada oligark tersebut, Winters kemudian
menjelaskan bahwasannya oligarki merujuk kepada politik pertahanan kekayaan
oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. Pertahanan kekayaan tersebut
41
mencakup tantangan dan kapasitas tertentu yang tidak dimiliki bentuk dominasi
atau eksklusi minoritas lain. Kekuasaan oligarki harus di dasarkan pada kekuasaan
yang sukar dipecah, dan jangkauannya harus sistemik. Studi tentang oligarki ini
memusatkan perhatian kepada kuasa kekayaan dan politik spesifik seputar kuasa
itu. Penekanannya ada terhadap dampak politik kesenjangan material terhadap
ketidaksetaraan kondisi membuat bentuk-bentuk kekuasaan dan eksklusi minoritas
berbeda dengan semua yang lain.
Dalam konteks ini, oligark tidak perlu menggunakan senjata atau terlibat
secara langsung dalam peran politik. Akan tetapi, oligark akan terlibat langsung
dalam peran politik apabila pelaku luar atau lembaga gagal mempertahankan hak
milik oligark tersebut. Sesungguhnya dari sini mulai tampak bahwa jika oligark
tersebut sudah turun tangan langsung mengambil peran politik, mengindikasikan
bahwa oligark tersebut menjadi kewalahan dalam mempertahankan hartanya.
Winters berpendapat oligarki didasarkan kepada konsentrasi kekuasaan material
sementara demokrasi didasarkan pada penyebaran kekuasaan nonmaterial.
Bagi winters (2011), oligarki tidak sama dengan kapitalis dan berbeda juga
dengan elite serta oligarki akan kebal atau tahan terhadap reformasi kelembagaan.
Hal ini karena oligarki ataupun oligark tidak didefinisikan melalui cara produksi
atau bahkan juga tidak didefinisikan oleh kelembagaan yang ada, serta yang
menjadi pusat perhatian oligarki merujuk pada kekuasaan pelaku yang
menggunakan sumber daya material di bidang politik dengan efek ekonomi yang
penting. Atas dasar inilah, kebanyakan orang sering keliru dalam menafsirkan
oligarki.
42
Mengutip dari Winters (2011) bahwa seorang bangsawan feodal dapat
menjadi oligark, tapi jelas bukan kapitalis. Seorang pemilik bisnis bisa menjadi
kapitalis, namun mungkin kekuasaan materialnya masih kurang untuk menjadi
oligark. Seorang CEO perusahaan besar boleh jadi mengerahkan banyak
sumberdaya material demi pemegang saham, tapi masih menerima gaji yang kurang
daripada yang diperlukan supaya dia bisa memegang dan menggunakan kekuasaan
oligarkis. Begitu juga pejabat tinggi pemerintah (elite juga) dapat menyalurkan
miliaran dolar tiap hari melalui anggaran negara, namun secara pribadi mungkin
hanya punya sumber daya setara warga negara kelas menengah atas. Namun, jika
pejabat itu korup dan mengumpulkan kekayaan pribadi (dengan cara apapun) maka
kiranya dia menjadi elite pemerintahan sekaligus oligark yang mampu melibatkan
diri dalam politik pertahanan kekayaan. Contoh tersebut mau menjelaskan
bahwasannya kita jangan terlalu cepat menafsirkan tentang oligarki dengan
kapitalis.
Selanjutnya, Winters (2011) mengajak kita untuk memahami dan memikirkan
lima sumber kekuasaan individual diantaranya; pertama, hak politik formal. Hak
politik formal adalah sumber kekuasaan yang paling tidak langka dan paling
tersebar di tingkat individu. Beberapa contohnya yaitu kebebasan berpendapat,
berkumpul dan berserikat dan lain sebagainya. Kedua, kekuasaan jabatan resmi.
Jabatan tinggi pada pemerintahan, organisasi besar atau perusahaan (pribadi dan
publik) merupakan suatu sumber daya kekuasaan yang punya pengaruh dramatis
pada profil kekuasaan segelintir orang. Ketiga, kekuasaan pemaksaan (koersif).
Pada intinya adalah kekuasaan pemaksaan telah bergeser dari sumber daya
kekuasaan yang penting dalam profil kekuasan individual oligark menjadi satu
43
bentuk kekuasaan elite di negara-bangsa modern, dimana para pelaku mengelola
kekerasan dalam lembaga resmi. Keempat, kekuasaan mobilisasi. Sumber daya
kekuasaan ini mempunyai dua dimensi yakni kekuasaan mobilisasi yang merujuk
pada kapasitas individu untuk menggerakan atau mempengaruhi orang lain. Salah
satu contoh orang yang memiliki kemampuan untuk memobilisasi massa ialah
Martin Luther King. Kelima, kekuasaan material. Kekayaan adalah sumber daya
kekuasaan yang mendefinisikan oligark dan menggerakkan politik serta proses
oligarki. sumber daya material menyediakan dasar untuk tegaknya oligark sebagai
pelaku politik yang tangguh. Kekuasaan materiallah yang bisa membeli pertahanan
kekayaan, baik dalam bentuk kemampuan pemaksaan atau menyewa jasa
pertahanan dari profesional yang ahli. Selain itu, ukuran kekuasaan bagi oligark
hanya dibatasi ukuran kekayaan yang mereka bisa kerahkan.
Dari kelima sumber daya kekuasaan yang telah disebutkan di atas, ternyata
tidak serta-merta mencirikan hadirnya oligarki. Sumber daya kekuasaan pertama
sampai keempat ketika dipegang oleh individu secara terkonsentrasi dan tertutup,
maka akan menghasilkan elite sedangkan sumber kekuasaan yang kelima-lah yang
akan menghasilkan oligark dan oligarki. Secara ringkas, oligarki mencirikan adanya
kesenjangan sumber daya material yang signifikan. Oleh karenanya, Winters
berpendapat bahwa jalan untuk melenyapkan oligark dan oligarki bukan lewat
prosedur demokratis, melainkan distribusi sumber daya material yang sangat
signifikan atau tidak seimbang ditiadakan, supaya tidak lagi memberi kekuasaan
politik terlalu besar kepada segelintir pelaku.
44
e. Lokal Strongman (Orang Kuat Lokal)
Secara konsep, orang kuat lokal didefinisikan sebagai kekuatan
informal baik berupa kepala suku, kepala agama, panglima suku, tuan tanah,
petani kaya, bos tambang atau yang lainnya, yang memiliki pengaruh besar
dan berusaha untuk memonopoli kontrol atas masyarakat dalam cakupan
wilayah tertentu. Semakin luas cakupan wilayah yang dikontrolnya, maka
semakin berpengaruh pula-lah dalam penentuan keputusan dikehidupan
masyarakat.
Dalam dinamika politik lokal di Indonesia, orang kuat lokal bisa
ditemui melalui beragam kultur dan budaya yang ada. Artinya setiap
wilayah mempunyai ciri khasnya tersendiri. Oleh karenanya, penyebutan
nama orang kuat lokal pun menjadi beragam. Tito Handoko, dkk (2020)
misalnya yang meneliti kaitannya dengan orang kuat lokal di Kabupaten
Kuantan Singingi, Riau, menemukan bahwa penyebutan orang kuat lokal
dengan nama blater. Atau di Banten misalnya, orang kuat lokal disebut
dengan Jawara.
Merujuk pada Migdal sendiri, bahwasannya ada faktor yang membuat
orang kuat lokal ini bermunculan. Sebagaimana Migdal dalam Ahmad
Nurcholis (2016) mengatakan bahwa faktor munculnya orang kuat lokal dan
sepak terjang mereka yaitu; pertama, local strongman tumbuh subur dalam
masyarakat yang mirip dengan jejaringan. Karena adanya struktur yang
mirip jejaringan inilah, para orang kuat lokal memperoleh pengaruh
signifikan yang jauh melampaui pengaruh para pemimpin dan para birokrat
lokal formal.
45
Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan
memanfaatkan komponen penting yang diyakini masyarakat sebagai strategi
bertahan hidup. Logika bertahan hidup, memberikan kesempatan bagi local
strongman bukan saja bagi membangun legitimasinya di mata rakyat yang
mengharapkan ibanya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi
juga memperluas kekuasaannya. Personalisme orang kuat lokal
menempatkan mereka sebagai patron yang memberi kebaikan personal bagi
kliennya yang serba kekurangan di daerah kekuasaan mereka.
Ketiga, local strongman secara langsung ataupun tidak telah berhasil
membatasi kapasitas lembaga dan aparatur negara sehingga menyebabkan
pemerintah lemah. Penekanan pada lemahnya kapasitas negara disini bagi
Migdal dipengaruhi oleh sulitnya negara dalam melakukan kontrol sosial
pada masyarakat. Sebagaimana dikutip dalam Ahmad Nurcholis (2016)
Migdal menerangkan, kontrol sosial disini diartikan sebagai “kapasitas
negara untuk memobilisasi masyarakat bertumpu pada kontrol sosial, yang
didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat aturan operasi dari
aturan main untuk orang-orang dalam masyarakat. Perjuangan utama di
banyak masyarakat adalah lebih kepada siapa yang benar dan mampu
membuat aturan yang membimbing perilaku masyarakat sosial (negara atau
organisasi lain). Artinya bahwa, kehadiran negara bagi masyarakat tidak
memiliki pengaruh yang begitu besar bagi kehidupan mereka apabila tidak
mengindahkan aturan yang dibuat daripada yang dibuat oleh kelompok
informal yang dalam hal ini adalah orang kuat lokal.
Secara ringkas, keberhasilan local strongman atau orang kuat lokal
46
dalam mencapai distribusi dan pengakuan kontrol sosial mereka di
masyarakat menurut Migdal (Ahmad Nurcholis, 2016), didasari atas tiga
faktor utama. Pertama, karena sifat masyarakat yang berbentuk jejaring,
dimana klientelisme tumbuh subur dan berkembang. Sehingga kontrol sosial
terfragmentasi pada kekuatan-kekuatan yang ada, karena tidak mampu
dimonopoli oleh negara.
Kedua, karena proses akulturasi mitos “strategi bertahan hidup” yang
ada dalam diri orang kuat lokal di masyarakat, dan sudah menjadi simbol
tersendiri di antara mereka. Di mana orang kuat menjadi satu-satunya
tumpuan hidup masyarakat. Ketiga, kemampuan orang kuat lokal
mengintervensi, menembus, dan menangkap lembaga-lembaga negara
sehingga menjadikan negara menjadi lemah – yakni melalui semacam
gangguan lewat berbagai tindakan koersif (pemaksaan) yang ditujukan pada
birokrat-birokrat pemerintah.
Apabila kita lacak dalam literatur, dalam beberapa kasus, orang kuat
lokal sering ditemukan di negara-negara Asia-Afrika. Pada umumnya adalah
sering dijumpai dalam negara-negara yang baru merdeka dengan modal
infrastruktur hukum serta ke-institusian yang minim pengalaman. Infiltrasi
yang dibuat oleh orang kuat lokal dalam negara, setidaknya menghasilkan
instabilitas politik yang mau tidak mau telah meningkatkan eksistensi
mereka di mata para politisi maupun implementors (sebutan Migdal untuk
para pelaksana tugas pemerintah pusat di daerah) untuk dijadikan partner
maupun jaringan patronase atau agen kepentingan mereka dalam momen-
momen pemilu (Ahmad Nurcholis 2016).
47
Adapun dampak yang didapatkan dari proses-proses tersebut adalah
para orang kuat ini mendapatkan akses langsung pada perolehan sumber
daya ekonomi yang diberikan politisi atau para implementors. Bahkan
dampak yang paling tidak bisa dihindari ialah orang kuat lokal berhasil
melakukan negosiasi untuk menaruh beberapa keluarganya di pos-pos
pemerintahan supaya dapat memastikan bahwa sumber proyek ekonomi
yang diberikan tidak jatuh ke tangan pihak lain.
Selain Joel S. Migdal dengan teori local strongmannya, dalam literatur
juga hadir John T. Sidel dengan teorinya bossism. Dalam konteks ini, Sidel
berusaha untuk mengungkap kelemahan teori Migdal tentang local
strongman. Penelitian Sidel di Asia Tenggara seperti di Negara Thailand,
Filipina dan Indonesia ternyata mampu membantah teori Migdal tersebut.
Apabila sebelumnya Migdal mengungkapkan bahwa local strongman hadir
karena lemahnya negara, namun argumen Sidel justru berbanding terbalik.
Bagi Sidel, hadirnya orang kuat lokal atau yang Ia sebut sebagai bossism
merupakan penggabungan antara negara dan sistem pasar. Artinya, bagi
Sidel, negara mempunyai peran untuk menciptakan, mereproduksi serta
mengembangkan orang kuat lokal.
Lalu kemudian, Migdal mengungkapkan bahwa orang kuat lokal
menjadi penghambat arus modal dan sistem pasar. Akan tetapi bagi Sidel itu
tidak benar. Sidel berpendapat bahwa yang namanya orang kuat lokal telah
mampu beradaptasi dengan arus modal, bahkan orang kuat lokal menjadi
48
pemain di dalamnya dan mampu meraup keuntungan bagi dirinya sendiri.
Pasca gelombang demokratisasi hadir dalam negara-negara di dunia
ketiga, alih-alih menghasilkan demokrasi substansial yang mampu
membawa kemakmuran bagi seluruh rakyat, ternyata hanya sampai pada
titik pemenuhan syarat demokrasi prosedural belaka. Pada kenyataanya,
demokasi yang dibangun hanya dimanfaatkan oleh sebagian orang saja. Hal
tersebut dibuktikan dengan perebutan kekuasaan oleh para pengusaha dan
premanisme pada lembaga pemerintahan baik tingkat lokal maupun
nasional. Oleh karena itu, Sidel merumuskan ulang definisi orang kuat lokal.
Bagi Sidel, orang kuat adalah para bos lokal yang berhasil memelihara
jejaring politik mereka dan mendapatkan akses terhadap monopoli kontrol
sosial di masyarakat melalui penguasaan pada sumber-sumber ekonomi dan
penguasaan pada tindak kekerasan dalam yuridis teritori mereka. Dalam
pengertian tersebut, Sidel mau menunjukan bahwa orang kuat tersebut
mempunyai jejaring yang kuat, berhasil menempati posisi-posisi tertentu
baik pada tingkatan Kabupaten/kota, provinsi hingga pusat.
Pada kasus orang kuat lokal di Filipina, Sidel mengungkapkan bahwa
kemunculan orang kuat lokal di negara tersebut tidak hanya berasal dari
monopoli pemilikkan tuan tanah atas tanah besar dan kekuatan patron- klien
yang mengakar. Keabadian orang kuat lokal di Filipina lebih disebabkan
oleh subordinasi negara dan akumulasi primitif yang bermula semenjak era
penjajahan. Subordinasi yang dilakukan semenjak penjajah seperti negara
49
Spanyol berkuasa melalui pemilihan aparatur negara di tiap tingkatan
dengan mekanisme pengawalan yang sangat ketat yang melibatkan institusi
gereja sebagai lembaga seleksi, berubah drastis ketika AS memegang alih
kekuasaannya di Filipina. Subordinasi negara tetap berjalan tetapi melalui
mekanisme yang lebih independen sehingga tidak mengikutsertakan gereja
dalam pemilihan. Hal tersebut mengakibatkan, penguasaan kontrol sosial
menjadi lebih terbuka bagi pihak ketiga (swasta) di mana mereka tetap
menggunakan diskresi politik mereka semasa penjajah Spanyol, guna
mendapatkan kekuatan penuh terhadap aturan-aturan yang dikehendaki.
Adapun pola variasi bos lokal dalam masyarakat Filipina,
digambarkan oleh Sidel dalam Ahmad Nurcholis (2016) sebagai berikut;
Pertama, bos lokal berhasil berurat-akar bila dan di mana “puncak
komando” (commanding height) dari politik ekonomi lokal memberi kontrol
monopolistis, utamanya terhadap berbagai kegiatan ilegal, simpul
perniagaan/kemacetan transportasi, tanah-tanah pemerintah, pengaturan
ketat tanaman dagang dan industri.
Kedua, dimana kontrol monopolistis terhadap perekonomian lokal
bergantung pada kekuasaan derivatif dan diskresi yang didasarkan pada
negara, maka satu generasi bos-bos dengan gaya preman terpaksa harus
bersandar pada pialang kekuasaan superordinat yang dukungannya menjadi
landasan kemunculan, berurat-akar, dan bertahan hidupnya mereka.
Mengambil sikap bermusuhan berarti kehancuran atau kematian mereka.
Ketiga, sebaliknya, dimana kontrol monopolistis terhadap
50
perekonomian lokal bersandar pada pembangunan basis kokoh pemilik
kekayaan di luar bidang campur tangan negara, para bos terpaksa melawan
kasak-kusuk permusuhan pialang-pialang kekuasaan superordinat dan
berhasil mewariskan daerah kekuasaan mereka kepada generasi penerus
dengan model dinasti klasik.
Pada kasus bos lokal di Filipina, dengan adanya para bossism memiliki
jejaring patron mereka di tingkat politik nasional dan memiliki klien jejaring
mereka di struktur bawah, menandaskan bahwa patron-klien sistem sangat
terasa dalam praktek per-bos-an di Filipina.
Selain di negara Filipina, Sidel juga melakukan penelitian di Thailand.
Menurutnya, bossism di Filipina dan Thailand memiliki dua perbedaan.
Perbedaan Pertama yaitu transisi pelimpahan wewenang ‘kontrol sosial’
untuk kasus Thailand dari pusat ke daerah yang berbarengan dengan
pertumbuhan kapitalisme cenderung lambat. Sedangkan perbedaan kedua
adalah pola komunikasi antara pemerintahan pusat dan parlemen yang
dibentuk, dibalut melalui koalisi sistem multipartai yang didasarkan jaringan
patronase antar mereka.
Sementara itu, pada kasus di Indonesia Sidel melihat tidak semasif
kedua negara tersebut. Hal ini di dasarkan pada tahun 1966-1998 di bawah
pimpinan Soeharto yang menjalankan roda kepemerintahan otoritarianisme
membuat kekuatan di luar negara di bungkam. Soeharto menjadi penguasa
tunggal. Oleh karenanya membuat segala bentuk keputusan harus berasal
dari pusat termasuk di dalamnya penempatan posisi-posisi para pemimpin
daerah sampai pada tingkatan lokal pun di jaga ketat. Hal inilah yang
51
membuat bossism dalam istilah Sidel menjadi nihil, sebab kekuatan informal
untuk mendikte kontrol sosial di tengah masyarakat tidak terjadi.
Akan tetapi, setelah lengsernya Soeharto dengan ditandai hadirnya
penerapan sistem desentralisasi membuat sedikit kelonggaran. Bagi Sidel
para bos lokal memiliki peluang untuk bersaing menduduki parlemen.
Ringkasnya, hadirnya bossism di Indonesia karena dampak dari pemilihan
langsung pilkada, karena dengan begitu mereka dapat memperluas jaringan,
memobilisasi massa, menjaga serta memperkuat kuasa di tingkat lokal.
Inilah yang menjadi kelemahan demokrasi di negara berkembang, sebab
demokrasi hanya dipandang sebagai ajang prosedural bukan secara
substansial.
f. Alur Pikir Penelitian
Adapun alur pikir penelitian dapat diamati dari Gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.2 Alur Pikir Penelitian
52
Tujuan hadirnya gambar 2.1 di atas ialah untuk mempermudah penulis
dalam memetakan alur penelitian ini. Dalam konteks ini, kandidat yang
menang dalam kontestasi Pilkades tersebut penulis sebut sebagai aktor,
sebagaimana dilihat pada gambar 2.1 di atas. Selanjutnya, strategi politik
secara sederhana berarti cara-cara atau strategi-strategi yang dilakukan oleh
aktor untuk dapat memobilisasi masyarakat. Sehingga dengan begitu,
masyarakat dapat mendukung aktor dengan cara memilihnya dalam
pertarungan Pilkades yang berlangsung. Dengan bahasa lain, strategi politik
digunakan untuk mendapat dukungan politik dari masyarakat. Pada posisi ini
strategi politik yang dilakukan oleh aktor dipetakan menjadi yakni patronase,
oligarki dan local strongman (orang kuat lokal).
Strategi politik ini digunakan untuk mendapatkan jabatan politik.
Kemudian, jabatan politik disini merujuk kepada posisi sebagai kepala desa.
Hal mendasar mengapa kepala desa disebut sebagai jabatan politik karena
posisi tersebut didapatkan melalui pemilihan yang langsung dipilih oleh rakyat.
53
Secara ringkas, aktor menggunakan strategi politik yang dipetakan dari tiga
konsep besar teori yaitu patronase, oligarki dan local strongman,
ditrasformasikan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh untuk
mendapatkan atau menduduki jabatan politik sebagai kepala desa.
142
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Anderson, Benedict R. O’G. (2000). Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya
Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata Bangsa
Aspinal, Edward & Mada Sukmajati. 2015. Politik Uang di Indonesia:
Patronase Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta:
PolGov.
Disyacitta, Fikri. (2019). Desa Kuat Negara Berdaulat. Yogyakarta: The
Indonesian Power For Democracy.
Eko, Sutoro. (2015). Regulasi Baru Desa Baru. Jakarta: Kemeterian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik
Indonesia.
Eko, Sutoro., Barori, M., & Hastowiyono.(2017). Desa Baru Negara Lama.
Yogyakarta: Pascasarjana STPMD”APMD”.
Fadjar, Mukthie. (2013). Pemilu, Perselisihan Hasil Pemilu, dan Demokrasi:
Membangun Pemilu Legislatif, Presiden, dan Kepala Daerah dan
Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Secara Demokratis. Malang:
Setara Press.
Firmanzah. (2012). Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Gunawan, Imam. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik.
Jakarta : Bumi Aksara.
Heywood, Andrew. (2014). Politik : Edisi keempat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Maschab, Mashuri. (2013). Politik Pemerintahan Desa di Indonesia.
Yogyakarta: PolGov.
Mochtar, Hilmy. (2011). Demokrasi dan Politik Lokal di Kota Santri.
Malang: UB Press.
Moleong, Lexy. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: untuk penelitian yang
bersifat: eksploratif, enterpretif, interaktif dan konstruktif. Bandung:
ALAFABETA.
Syafiie, Kencana Inu. (2014). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT
Refika Aditama.
Tjahjoko, Guno Tri. (2016). Politik Ambivalensi: Nalar Elit di Balik
Pemenangan Pilkada. Yogyakarta: PolGov.
143
Sumber Jurnal
Afriandi, Fadli. 2019. Perilaku Memilih Masyarakat Pasca Runtuhnya Dinasti
Kekuasaan di Kutai Kartanegara. Jurnal Polgov, Vol 1 No 1.
Ainillah, Siti Rohmatul. 2016. Elite Politik Dalam Kontestasi di Desa Dengan
Menggunakan Studi Peran Blater Dalam Pilkades di Desa Banjar,
Galis, Bangkalan Madura. Jurnal Politik Muda Vol 5 No 3 Agustus.
Andhika, Lesmana Rian. 2017. Bahaya Patronase dan Klientelisme dalam
Pemilihan Kepala Desa Serentak. Jurnal Kajian, Vol 22 No 3,
September.
Astusti, Puji, Sulistyowati, Lusia Astrika. 2019. Kontestasi Pasangan Suami
Istri Dalam Pilkades. JPW (Jurnal Politik Walisongo), Vol 1 No 1.
Basri, Hasan. 2020. Pola Praktik Penggunaan Politik Uang Dalam Pilkades
di Kabupaten Sumenep. Jurnal Setia Pancasila, Vol 1 No 1.
Erviantono, Tedi. 2017. Bahaya Politik, Uang dan Pilkada. Jurnal
Transformative, Vol 3 No 2, September.
Fitriyah. 2015. Cara Kerja Politik Uang. Jurnal Politika, Vol 6 No 2,
Oktober: 101-111.
Gunawan, Arry Bainus, dan Caroline Paskarina. 2020. Strategi Politik Koalisi
Partai Dalam Pemenangan Paslon Kepala Daerah: Studi Kasus Pada
Pilkada Kabupaten Nagan Raya Tahun 2017. Jurnal Politik Islam,
Vol 3 No 1, Januari.
Handoko, Tito, Ramlan Darmansyah, dan Syofian. 2020. Fenomena Local
Strongman (Studi Kasus Pengaruh Sukarmis Dalam Mendukung
Kemenangan Andi Putra Sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kuantan Singing. Jurnal Moderat, Vol 6 No 3, Agustus.
Hanif, Hasrul. 2009. Politik Klientelisme Baru dan Dilema Demokratisasi di
Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 12 No 3, Maret:
257-390.
Halili. 2009. Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa: Studi di
Desa Pakandangan, Barat Bluto, Sumenep, Madura. Jurnal
Humaniora(lemlit UNY), Vol 14 No 2, Oktober: 99-112.
Hidayat, Endik., Prasetyo, Budi., dan Yuwana, Setya. 2016. Praktik Politik
Oligarki dan Mobilisasi Sumber Daya kekuasaan di Pilkades Desa
Sitimerto Pada Tahun 2016. Jurnal Sospol, Vol 4 No 2, Juli-
Desember: 124-151.
Hidayat, Endik., Prasetyo, Budi., dan Yuwana, Setya. 2018. Runtuhnya
Politik Oligarki Dalam Pemilihan Kepala Desa: Kekalahan Incumbent
Pada Pilkades Tanjung Kabupaten Kediri. Jurnal Politik, Vol 4 No 1,
Agustus.
144
Kartini ,Sri, Dede., Mulyawan, Rahman., dan Yuningsih, Yani, Neneng.
2017. Kapitalisme Pedesaan Di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Tanjung Lesung Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten. Jurnal Ilmu
Pemerintahan, Vol 3 No 1, April.
Kazali, Revi, Endang, Rochmiatun, dan Nico, Oktario, Adytyas. 2020.
Pengaruh Money Politics Terhadap Pilihan Masyarakat Pada Pilkades
Serentak di Kabupaten Muara Enim Tahun 2017 (Studi Kasus di Desa
Teluk Limau Kecamatan Gelumbang). Jurnal Ampera: A Research
Journal on Politics and
Islamic Civilization, Vol. 1 No. 2, April.
Muhazir, Alfian. 2020. Strategi Political Marketing Kandidat Dalam Pilkades
Serentak Periode III di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu
Komunikasi, Vol 1 No 1, Juli.
Paraisu, Ratnasari. 2016. Peran Local Strongman Dalam Pilkades Ramdori,
Kecamatan Swandiwe, Kabupaten Biak Numfor. Jurnal Lyceum, Vol
4 No 1, Januari.
Saepudin, dan Joni Firmansyah. 2017. Jawara dan Pemilu: Peran Jawara
Sebagai Identitas Politik di Dalam Pilkada Banten. Jurnal
BAWASLU, Vol 3 No 2.
Susanti, Martien Herna. 2017. Dinasti Politik Dalam Pilkada di Indonesia.
Journal of Government and Civil Society Vol 1 No 2, September.
Sya’ban S.P, Syihabudin, dan Hanafi Tanawijaya. 2019. Eksistensi Tanah
Bengkok Setelah Berubahnya Pemerintah Desa Menjadi Pemerintah
Kelurahan (Studi Kasus di Wilayah Kelurahan Kelapa Dua dan
Kelurahan Bencongan, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten
Tangerang). Jurnal Hukum Adigama, Vol 2 No 2, Desember.
Tjahjoko, Guno Tri. 2019. Demokrasi Desa Tanpa Politik Uang. Jurnal
Pemerintahan Daerah dan Desa Indonesia, Vol 1 No 1, Juni.
Yuningsih, Neneng Yani dan Valina Singka Subekti. 2016. Demokrasi Dalam
Pemilihan Kepala Desa? Studi Kasus Desa Dengan Tipologi
Tradisional, Transisional, dan Modern di Provinsi Jawa Barat Tahun
2008-2013. Jurnal Politik, Vol 1 No 2, Februari.
145
Sumber UU dan Perbup
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Peraturan Bupati Magelang Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Tata Cara
Pemilihan Kepala Desa.
Sumber Lainnya
Nurcholis, Ahmad. (2016). “Orang Kuat Dalam Dinamika Politik Lokal
Studi Kasus: Kekuasan Politik Fuad Amin di Bangkalan”. Skripsi.
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta.