7
Harga ideologi di tengah pasar globalisasi Oleh: A. Bakir Ihsan Wacana tentang ideologi mencuat kembali seiring dengan arus globalisasi yang dianggap mengancam terhadap eksistensi nation-state. Di tanah air, nasib ideologi Pancasila mengalami pasang surut. Ia sempat disakralkan, tapi kemudian dicampakkan. Karena itu pula, Pancasila tak membumi bagi kehidupan bangsa. Sakralisasi telah menyebabkan Pancasila seperti benda museum yang berjarak dari generasi anak bangsa. Akibat itu pula, Pancasila tidak berharga dan dianggap barang langka yang tak menarik untuk diaktualisasikan. Ini terbukti dari semakin sulitnya mencari generasi muda yang, paling tidak, tahu lima sila Pancasila. Beberapa televisi pernah menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah generasi mudah dari kalangan siswa sampai

Harga Ideologi Di Tengah Pasar Globalisasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah

Citation preview

Page 1: Harga Ideologi Di Tengah Pasar Globalisasi

Harga ideologi di tengah pasar globalisasi

Oleh: A. Bakir Ihsan

Wacana tentang ideologi mencuat kembali seiring dengan arus

globalisasi yang dianggap mengancam terhadap eksistensi nation-state. Di

tanah air, nasib ideologi Pancasila mengalami pasang surut. Ia sempat

disakralkan, tapi kemudian dicampakkan. Karena itu pula, Pancasila tak

membumi bagi kehidupan bangsa. Sakralisasi telah menyebabkan Pancasila

seperti benda museum yang berjarak dari generasi anak bangsa. Akibat itu

pula, Pancasila tidak berharga dan dianggap barang langka yang tak menarik

untuk diaktualisasikan. Ini terbukti dari semakin sulitnya mencari generasi

muda yang, paling tidak, tahu lima sila Pancasila. Beberapa televisi pernah

menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah generasi mudah dari

kalangan siswa sampai mahasiswa. Sebagian besar mereka tak bisa

menyebutkan isi Pancasila. Ini menjadi indikator sederhana dari semakin

terasingnya Pancasila dari nafas kehidupan anak bangsa.

Pada peringatan hari lahir Pancasila semua orang tersentak untuk

merejuvenasi Pancasila. Semua, terutama elit politik, merasa paling

perhatian terhadap nasib Pancasila tanpa menyadari bahwa dirinya telah

menjadi bagian dari penyebab 'matinya' Pancasila sebagai dasar negara.

Pancasila hanya dijadikan payung penyelamat untuk kepentingan politik

kaum elit. Pancasila seperti agama. Ia dikhutbahkan di mimbar politik citra

Page 2: Harga Ideologi Di Tengah Pasar Globalisasi

sebagai benteng atas ancaman terhadap diri dan kelompokya untuk

kemudian mencari simpati agar diklaim sebagai sosok Pancasilais.

Kenyataan ini semakin menjauhkan Pancasila dari generasi muda di tengah

globalisasi yang tak henti-hentinya menghampiri. Tidak berlebihan apabila

seorang intelektual seperti Daniel Bell mengumandangkan ikrar the end of

ideology.

'Memasarkan' Pancasila

Dalam pidato memperingati hari lahir Pancasila, Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak untuk berhenti memperdebatkan

tentang Pancasila sebagai dasar negara. Kini saatnya menjadikan Pancasila

sebagai rujukan, sumber inspirasi, dan jendela solusi untuk menjawab segala

tantangan.

Pernyataan SBY tersebut merupakan langkah awal bagi upaya

menghidupkan kembali Pancasila setelah sekian lama 'dikebumikan'. Bahkan

keberanian SBY untuk menjadikan Pancasila sebagai living ideology

merupakan fenomena yang cukup unik di tengah hampir seluruh anak

bangsa teralienasi dari Pancasila dan sebagian elit merasa sungkan untuk

'memasarkan' Pancasila.

Sejak Presiden B.J. Habibie membuka kran ideologi selain Pancasila sebagai

asas organisasi, eksistensi Pancasila semakin terperosok. Bahkan di tengah

hujatan terhadap segala atribut Orde Baru, Pancasila betul-betul berada di

titik nadir. Hal ini terlihat dari TAP MPR RI Nomor 18/MPR/1998 yang

mencabut TAP MPR Nomor 2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan

dan Pengamalan Pancasila (P4).

Setelah itu, Pancasila ramai-ramai dikubur dan para penggagas

reformasi merasa berdosa untuk menyebutkannya. Pancasila ditahbiskan

sebagai monumen anti reformasi. Ini yang memperpanjang daftar kegagalan

Page 3: Harga Ideologi Di Tengah Pasar Globalisasi

pemimpin di negeri ini untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan

kebangsaan yang marketable bagi rakyatnya. Kenyataan ini secara tidak

langsung menjadi ancaman bagi upaya revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila

sebagai way of life. Di samping itu, tantangan lain dari revitalisasi dan

rejuvenasi ideologi adalah terbukanya tawaran ideologi luar yang menyatu

dalam arus globalisasi.

Di tengah open market democracy, tawaran ideologi semakin terbuka

dan semuanya menjanjikan kesejahteraan. Di sinilah Pancasila

dipertaruhkan. Kalau secara historis bangsa Indonesia tidak pernah

merasakan kesejahteraan dan kedamaian di bawah naungan ideologi

Pancasila, maka secara logika, ia tidak akan menarik bagi kalangan generasi

bangsa. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem bisa muncul kesadaran bahwa

negara tanpa ideologi pun tetap eksis. Dalam kondisi demikian, yang

dibutuhkan bukan proses doktrinasi apalagi ideologisasi Pancasila. Pancasila

harus dijadikan medium paling mudah untuk merekat kebersamaan yang

akhir-akhir ini mulai retak. Layaknya makanan cepat saji, Pancasila harus

diturunkan menjadi tata cara hidup yang mudah (cepat) dipahami dan enak

(comfortable) dilaksanakan.

Dan hal ini bisa dilakukan melalui keteladanan para pemimpin dalam

mengelola negeri ini secara bermartabat. Langkah ini memang tidak mudah,

karena para pemimpin negeri ini belum mampu mewariskan Pancasila

sebagai way of life. Mereka berhenti pada proses ideologisasi, sakralisasi,

dan berakhir dengan politisasi.

Politik endism

Arus globalisasi dengan segala muatannya sebenarnya merupakan

proses ideologisasi baru. Hal ini biasanya diiringi dengan politik endism,

yaitu sebuah tesis tentang matinya ideologi besar dunia akibat gerusan

Page 4: Harga Ideologi Di Tengah Pasar Globalisasi

kapitalisme yang tak tertandingi. Negara maju dengan kapitalismenya

menyusup melalui stigma endism. Kenyataan inilah yang dipromosikan oleh

para pemikir endist yang tertuang dalam pelbagai karyanya, seperti the end

of ideology (Daniel Bell) dan the end of history (Francis Fukuyama), the end

of the nation state (Kenichi Ohmae atau Jean-Marie Guehenno), dan lainnya.

Dengan kata lain, ideologisasi globalisasi merupakan bentuk paling

nyata dari upaya pengakhiran ideologi lainnya, termasuk Pancasila (the end

of the Pancasila?) sehingga memperlancar hegemoni negara maju. Dan tidak

tertutup kemungkinan Pancasila pada akhirnya mati di tengah globalisasi

akibat ketakberdayaan anak bangsa merespon berbagai godaan global.

Di tengah pasar ideologi yang semakin terbuka saat ini, eksistensi

Pancasila sangat rentan terjangkit penyakin endism. Untuk itu, perlu

langkah-langkah strategis dan konstruktif dengan memanfaatkan seluruh

potensi dan peluang (opportunity) yang ada dalam masyarakat. Salah satu

peluang tersebut adalah adanya potensi-potensi 'perlawanan' terhadap arus

globalisasi yang belakangan marak terjadi khususnya di negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia.

Fenomena ini biasanya diiringi oleh keinginan untuk menumbuhkan kembali

budaya lokal (local wisdom) khas Indonesia yang plural dan toleran. Inilah

modal penting dan cukup strategis bagi pembumian nilai-nilai Pancasila

dalam kehidupan warga negara tanpa doktrinasi yang sering berbuah

alienasi.

Peluang itu dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan cara

mengembalikan Pancasila sebagai wacana publik yang toleran dan aktual,

diiringi kebijakan dan prilaku politik yang inklusif dan artikulatif. Semoga