Harga ideologi di tengah pasar globalisasi
Oleh: A. Bakir Ihsan
Wacana tentang ideologi mencuat kembali seiring dengan arus
globalisasi yang dianggap mengancam terhadap eksistensi nation-state. Di
tanah air, nasib ideologi Pancasila mengalami pasang surut. Ia sempat
disakralkan, tapi kemudian dicampakkan. Karena itu pula, Pancasila tak
membumi bagi kehidupan bangsa. Sakralisasi telah menyebabkan Pancasila
seperti benda museum yang berjarak dari generasi anak bangsa. Akibat itu
pula, Pancasila tidak berharga dan dianggap barang langka yang tak menarik
untuk diaktualisasikan. Ini terbukti dari semakin sulitnya mencari generasi
muda yang, paling tidak, tahu lima sila Pancasila. Beberapa televisi pernah
menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah generasi mudah dari
kalangan siswa sampai mahasiswa. Sebagian besar mereka tak bisa
menyebutkan isi Pancasila. Ini menjadi indikator sederhana dari semakin
terasingnya Pancasila dari nafas kehidupan anak bangsa.
Pada peringatan hari lahir Pancasila semua orang tersentak untuk
merejuvenasi Pancasila. Semua, terutama elit politik, merasa paling
perhatian terhadap nasib Pancasila tanpa menyadari bahwa dirinya telah
menjadi bagian dari penyebab 'matinya' Pancasila sebagai dasar negara.
Pancasila hanya dijadikan payung penyelamat untuk kepentingan politik
kaum elit. Pancasila seperti agama. Ia dikhutbahkan di mimbar politik citra
sebagai benteng atas ancaman terhadap diri dan kelompokya untuk
kemudian mencari simpati agar diklaim sebagai sosok Pancasilais.
Kenyataan ini semakin menjauhkan Pancasila dari generasi muda di tengah
globalisasi yang tak henti-hentinya menghampiri. Tidak berlebihan apabila
seorang intelektual seperti Daniel Bell mengumandangkan ikrar the end of
ideology.
'Memasarkan' Pancasila
Dalam pidato memperingati hari lahir Pancasila, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) mengajak untuk berhenti memperdebatkan
tentang Pancasila sebagai dasar negara. Kini saatnya menjadikan Pancasila
sebagai rujukan, sumber inspirasi, dan jendela solusi untuk menjawab segala
tantangan.
Pernyataan SBY tersebut merupakan langkah awal bagi upaya
menghidupkan kembali Pancasila setelah sekian lama 'dikebumikan'. Bahkan
keberanian SBY untuk menjadikan Pancasila sebagai living ideology
merupakan fenomena yang cukup unik di tengah hampir seluruh anak
bangsa teralienasi dari Pancasila dan sebagian elit merasa sungkan untuk
'memasarkan' Pancasila.
Sejak Presiden B.J. Habibie membuka kran ideologi selain Pancasila sebagai
asas organisasi, eksistensi Pancasila semakin terperosok. Bahkan di tengah
hujatan terhadap segala atribut Orde Baru, Pancasila betul-betul berada di
titik nadir. Hal ini terlihat dari TAP MPR RI Nomor 18/MPR/1998 yang
mencabut TAP MPR Nomor 2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4).
Setelah itu, Pancasila ramai-ramai dikubur dan para penggagas
reformasi merasa berdosa untuk menyebutkannya. Pancasila ditahbiskan
sebagai monumen anti reformasi. Ini yang memperpanjang daftar kegagalan
pemimpin di negeri ini untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan
kebangsaan yang marketable bagi rakyatnya. Kenyataan ini secara tidak
langsung menjadi ancaman bagi upaya revitalisasi dan rejuvenasi Pancasila
sebagai way of life. Di samping itu, tantangan lain dari revitalisasi dan
rejuvenasi ideologi adalah terbukanya tawaran ideologi luar yang menyatu
dalam arus globalisasi.
Di tengah open market democracy, tawaran ideologi semakin terbuka
dan semuanya menjanjikan kesejahteraan. Di sinilah Pancasila
dipertaruhkan. Kalau secara historis bangsa Indonesia tidak pernah
merasakan kesejahteraan dan kedamaian di bawah naungan ideologi
Pancasila, maka secara logika, ia tidak akan menarik bagi kalangan generasi
bangsa. Bahkan dalam bentuk yang ekstrem bisa muncul kesadaran bahwa
negara tanpa ideologi pun tetap eksis. Dalam kondisi demikian, yang
dibutuhkan bukan proses doktrinasi apalagi ideologisasi Pancasila. Pancasila
harus dijadikan medium paling mudah untuk merekat kebersamaan yang
akhir-akhir ini mulai retak. Layaknya makanan cepat saji, Pancasila harus
diturunkan menjadi tata cara hidup yang mudah (cepat) dipahami dan enak
(comfortable) dilaksanakan.
Dan hal ini bisa dilakukan melalui keteladanan para pemimpin dalam
mengelola negeri ini secara bermartabat. Langkah ini memang tidak mudah,
karena para pemimpin negeri ini belum mampu mewariskan Pancasila
sebagai way of life. Mereka berhenti pada proses ideologisasi, sakralisasi,
dan berakhir dengan politisasi.
Politik endism
Arus globalisasi dengan segala muatannya sebenarnya merupakan
proses ideologisasi baru. Hal ini biasanya diiringi dengan politik endism,
yaitu sebuah tesis tentang matinya ideologi besar dunia akibat gerusan
kapitalisme yang tak tertandingi. Negara maju dengan kapitalismenya
menyusup melalui stigma endism. Kenyataan inilah yang dipromosikan oleh
para pemikir endist yang tertuang dalam pelbagai karyanya, seperti the end
of ideology (Daniel Bell) dan the end of history (Francis Fukuyama), the end
of the nation state (Kenichi Ohmae atau Jean-Marie Guehenno), dan lainnya.
Dengan kata lain, ideologisasi globalisasi merupakan bentuk paling
nyata dari upaya pengakhiran ideologi lainnya, termasuk Pancasila (the end
of the Pancasila?) sehingga memperlancar hegemoni negara maju. Dan tidak
tertutup kemungkinan Pancasila pada akhirnya mati di tengah globalisasi
akibat ketakberdayaan anak bangsa merespon berbagai godaan global.
Di tengah pasar ideologi yang semakin terbuka saat ini, eksistensi
Pancasila sangat rentan terjangkit penyakin endism. Untuk itu, perlu
langkah-langkah strategis dan konstruktif dengan memanfaatkan seluruh
potensi dan peluang (opportunity) yang ada dalam masyarakat. Salah satu
peluang tersebut adalah adanya potensi-potensi 'perlawanan' terhadap arus
globalisasi yang belakangan marak terjadi khususnya di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Fenomena ini biasanya diiringi oleh keinginan untuk menumbuhkan kembali
budaya lokal (local wisdom) khas Indonesia yang plural dan toleran. Inilah
modal penting dan cukup strategis bagi pembumian nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan warga negara tanpa doktrinasi yang sering berbuah
alienasi.
Peluang itu dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan cara
mengembalikan Pancasila sebagai wacana publik yang toleran dan aktual,
diiringi kebijakan dan prilaku politik yang inklusif dan artikulatif. Semoga