27
ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA Disusun Guna Memenuhi Tugas Keperawatan Gadar Disusun oleh : 1. Reni Mayasaroh (046) 2. Resa Alviana I (047) 3. Rizki Fitria R (048) 4. Rohadian Gusti A (049) 5. Rohman Tri P (050) 6. Sri Utami (051) 7. Tri Waryani (052) 8. Vandi Wisnu P (053) 9. Yusintha Dwi K (054)

Head Trauma Revisi 1

Embed Size (px)

Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Keperawatan Gadar

Disusun oleh :

1. Reni Mayasaroh (046)

2. Resa Alviana I (047)

3. Rizki Fitria R (048)

4. Rohadian Gusti A (049)

5. Rohman Tri P (050)

6. Sri Utami (051)

7. Tri Waryani (052)

8. Vandi Wisnu P (053)

9. Yusintha Dwi K (054)

D III KEPERAWATAN REGULER

POLTEKKES SURAKARTA

2013

ASUHAN KEPERAWATAN CIDERA KEPALA

A. PENGERTIAN

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau

penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan

(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi

oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan

kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh

otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Musliha,2010).

B. PATOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan

glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel – sel syaraf

hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai

cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar

akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan

oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20

mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25

% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa

plasmaturun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi

cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi

kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat

menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau

kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolismen

anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60

ml/menit/100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas

atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru.

Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T

dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan

vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh

darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan

parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu

besar(Musliha,2010).

Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :

1. Cedera kepala primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi – decelerasi

rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.

Pada cedera kepala primer dapat terjadi :

a. Gegar kepala ringan

b. Memar otak

c. Laserasi

2. Cedera kepala sekunder

a. Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :

b. Hipotensi sistemik

c. Hipoksia

d. Hiperkapnea

e. Udema otak

f. Komplikasi pernapasan

g. Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain (Musliha,2010).

Trauma Kepala

Tulang KepalaKulit Kepala

Komusio, hematoma, edema, kontusio

Fraktur linear, Fraktur communited, Fraktur depressed, Fraktur Basis

Hematoma pada Kulit

Cedera Otak TIK meningkatGangguan

kesadaran, gangguan TTV,Kelainan

neurologisCedera Otak

PrimerRinganSedangBerat

Hipoksemia serebral

Respon Fisiologis Otak

Cedera Otak Sekunder

Kerusakan Sel OtakKelainan metabolisme

Gangguan Autoregulasi

Rangsangan Simpatis

KatekolaminSekresi Asam Lambung

Tahanan vaskuler sistemik

Aliran darah ke otak

Mual, muntahTek. Pemb. Darah

pulmonal

O2Gangguan Metabolisme

Produksi Asam Laktat

Edema otak

Gangguan perfusi jaringan cerebral

Tek. Hidrostatik

Kebocoran cairan kapiler

Edema Paru

Curah Jantung Menurun

Difusi O2 menurun

3. Gangguan pola nafas

Hipoksemia, hiperkapnea

Gangguan Perfusi Jaringan

Intake nutrisi tidak adekuat

C. PATHWAY

Jaringan Otak

Stres Lokalis

Sumber :ArifMuttaqin, 2008

D. PERDARAHAN YANG SERING DITEMUKAN

1. Epidural Hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan

durameter akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri

meningeal media yang terdapat di durameter, pembuluh darah ini

tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi

dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu

di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala – gejala yang terjadi :

1) Penurunan tingkat kesadaran

2) Nyeri kepala

3) Muntah

4) Hemiparesis

5) Dilatasi pupil ipsilateral

6) Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irreguler

7) Penurunan nadi, peningkatan suhu (Musliha,2010).

2. Subdural Hematoma

Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat

terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah

vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara durameter,

perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2

hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau

beberapa bulan.

Tanda – tanda dan gejalanya adalah :

1) Nyeri kepala

2) Bingung

3) Mengantuk

4) Menarik diri

5) Berfikir lambat

6) Kejang dan

7) Oedem pupil

Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak

karena pecahnya pembuluh darah arteri , kapiler, vena.

Tanda dan gejalanya :

8) Nyeri kepala

9) Penurunan kesadaran

10) Komplikasi pernapasan

11) Hemiplegia kontra lateral dilatasi pupil

12) Perubahan TTV(Musliha,2010).

3. Perdarahan sub arachnoid

Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh

darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang

hebat.

Tanda dan gejala :

1) Nyeri kepala

2) Penurunan kesadaran

3) Hemiparese

4) Dilatasi pupil ipsilateral

5) Kaku kuduk(Musliha,2010).

E. Pemeriksaan penunjang

1. CT scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,

perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.

2. MRI (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,

perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.

3. Cerebral angiography : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral seperti :

perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan

trauma

4. Serial ECG : melihat gelombang yang patologis

5. X- ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan

struktur garis (peerdarahan / edema), fragmen tulang

6. BAER : mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7. PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

8. CSF, lumbal punksi : dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid

9. ABGs : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan

(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

10. Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai

akibat peningkatan tekanan intrakranial

11. Screen toxicologi : mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan

penurunan kesadaran(Musliha,2010).

F. Penatalaksanaan

Prioritas perawatan :

1. Memaksimalkan perfusi / fungsi otak

2. Mencegah komplikasi

3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal

4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana

pengobatan dan rehabilitasi(Musliha,2010).

Konservatif :

1. Bedrest total

2. Observasi TTV (GCS dan tingkat kesadaran)

3. Pemberian obat – obatan

1) Dexamethason / kalmethason sebagai pengobatan anti edema

serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

2) Terapi hiperventilasi(trauma kepala berat), untuk mengurangi

vasodilatasi.

3) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20

% atau gukosa 40 % atau gliserol 10%.

4) Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penicilin) atau

untuk infeksi an aerob diberikan metronidazol.

4. Makanan atau cairan. Pada taruma ringan bila muntah-muntah tidak

diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin,

aminofel ( 18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari

kemudian diberikan makanan lunak.

5. Pada trauma berat. Karena hari pertama didapatkan klien mengalami

penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan

elektrolit maka hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan.

Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa

5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka

makanan diberikan melalui naso gastic tube (2500- 3000 TKTP).

Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya(Musliha,2010).

G. Pengkajian

1. Pengkajian primer

A. Airway

Periksa adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan oleh

benda asing, fraktur tulang wajah, frkatur mandibula / maksila,

frkatur laring / trakhea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas

harus melindungi vertebra servikal karena kemungkinan patah

tulang servikal harus selalu dipertimbangkan. Sebelum memeriksa

dan memperbaiki jalan nafas tidak boleh dilakukan fleksi, ekstensi

atau rotasi pada leher (Sabuan, 2001).

Kemungkinan patah tulang servikal, bila ada :

a. Trauma dengan penurunan kesadaran

b. Adanya luka karena trauma di atas klavikula

c. Multi trauma

d. Waspada terhadap patah tulang belakang bila biomekanik

utama mendukung

B. Breathing dan Ventilasi

Auskultasi untuk memastikan udara masuk ke paru – paru. Perkusi

untuk menilai adanya udara / darah dalam rongga paru – paru.

Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada

yang mungkin mengganggu ventilasi (Sabuan, 2001).

C. Ciculation

a. Volume darah dan curah jantung

Observasi dalam hitungan detik dapat memberikan informasi

mengenai keadaan hemodinamik, tingkat kesadaran, warna

kulit, nadi. Pada volume darah turun perfusi otak dapat

berkurang yang mengakibatkan penurunan kesadaran, (namun

kehilangan darah dalam jumlah banyak belum tentu

mengakibatkan gangguan kesadaran). Pasien trauma dengan

wajah dan atau kulit ekstrimitas pucat merupakan tanda

hipovolemia (bila memang disebabkan oleh hipovolemik maka

ini menandakan kehilangan darah minimal 30 % volume

darah). Pada shock, nadi kecil dan cepat merupakan tanda

hipovolemia namun harus diingat sebab lain yang dapat

menyebabkannya (Sabuan, 2001).

b. Kontrol perdarahan

Syok jarang disebabkan perdarahan intrakranial. Perdarahan

eksternal dikendalikan dengan penekanan langsung pada luka.

Jangan dijahit dulu (Sabuan, 2001).

Bila ragu = pasang Neck Colar

D. Disability (Neurologic Evaluation)

Dilakukan dan dikerjakan pada tahap akhir dari primary survey

dengan menilai kesadaran dan pupil penderita.

A : Alert

V : Responds to vocal stimulation

P : Responds only to painful stimualtion

U : Unresponsive.

Glasgow coma scale merupakan penilaian yang lebih rinci, bila ini

tidak dikerjakan di primary survey bisa dikerjakan d secondary

survey (Sabuan, 2001).

2. Pengkajian sekunder

Pengumpulan data klien baik subjekif atau objektif pada gangguan

sistem persarafan sehubungan dengan cidera kepala tergantung pada

bentuk, lokasi, jenis injury, dan adanya komplikasi pada organ vital

lainnya. Data yang perlu didapatkan adalah sebagai berikut :

a. Riwayat kesehatan :

1) Tingkat kesadaran / GCS (<15)

2) Konvulsi

3) Muntah

4) Dispnea / takipnea

5) Sakit kepala

6) Wajah simetris / tidak, lemah

7) Luka di kepala

8) Paralise

9) Akumulasi sekret pada saluran nafas

10) Adanya liquor dari hidung dan telinga

11) Kejang (Musliha,2010).

b. Aspek neurologis yang dikaji adalah :

1) Tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang,

tempat dan waktu

2) Adanya refleks babinski positif

3) Perubahan TTV

4) Kaku kuduk

5) Hemiparese

6) Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas

sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak

juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII, yaitu :

a) Nervus I : pada beberapa keadaan cidera kepala di daerah

yang merusak anatomis dan fisiologis saraf ini klien akan

mengalami kelainan pada fungsi penciuman / anosmia

unilateral atau bilateral

b) Nervus ll. Hematoma palpebra pada klien cedera kepala

akan menurunkan lapang penglihatan dan mengganggu

fungsi dari nervus optikus.

c) Nervus III : gangguan mengangkat kelopak mata terutama

pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbital.

d) Nervus V : pada beberapa keadaan cidera kepala

menyebabkan paralisis nervus trigeminus, didapatkan

penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.

e) Nervus VII : persepsi pengecapan mengalami perubahan.

f) Nervus IX : kemampuan menelan kurang baik, kesukaran

membuka mulut

g) Nervus XII : indra pengecapan mengalami perubahan

(Musliha, ArifMuttaqin)

H. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang biasanya muncul adalah :

1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan depresi pada pusat nafas

di otak.

2. Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas sehubungan dengan

penumpukan sputum.

3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan denganoedem otak.

4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran ( soporos coma )

5. Kecemasan keluarga sehubungan dengan keadaan yag kritis pada pasien.6. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan

immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

I. Intervensi

Diagnosa 1

Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan depresi pada pusat nafas di

otak.

Tujuan :

Mempertahankan pola nafaas yang efektif melalui ventilator

Kriteria evaluasi :

Penggunaan otot bantu nafas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda

hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas normal.

Rencana tindakan :

1) Hitung pernafasan pasien dalam satu menit. Pernafasan yang cepat dari

pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernafasan lambat

meningkatkan tekanan Pa CO2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.

2) Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam

pemberian tidal volume.

3) Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x

lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi

terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.

4) Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat

mengeringkan sekresi/cairan paru sehingga menjadi kental dan

meningkatkan resiko infeksi.

5) Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit ), adanya obstruksi dapat

menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan

penyebaran udara yang tidak adekuat bila ada gangguan pada ventilator

(Musliha,2010).

Diagnosa 2

Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas sehubungan dengan penumpukan

sputum.

Tujuan :

Mempertahankan jalan nafas dan mencegah aspirasi

Kriteria Evaluasi :

Suara nafas bersih, tidak terdapat suara sekret ( ronchi ) pada selang dan

bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

Rencana Tindakan :

1) Kaji dengan ketat ( tiap 15 menit ) kelancaran jalan nafas. Obstruksi

dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan. Bronchospasme

atau masalah terhadap tube.

2) Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila

sputum banyak.pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus

dibatasi untuk mencegah hipoksia.

3) Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk

semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan

sputum

4) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada ( tiap 1 jam ). Pergerakan

yang simetris dan suara nafas yang bersih indikasi pemasangan tube yang

tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.(Musliha,2010).

Diagnosa 3

Ganguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan oedem otak

Tujuan :

Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.

Kriteria Hasil :

Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.

Rencana Tindakan :

1) Monitor dan catat status neurologia dengan menggunakan metode GCS.

Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.

Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus

eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik. Reaksi pupil

digerakkan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menetukan

refleks batang otak. Pergerakan mata membantu menentukan area cedera

dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya

abduksi mata.

2) Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.

Peningkatan sisitolik dan penurunan daistolik serta penurunan tingkat

kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial. Adanya

pernafasan yamg irreguler indikasi terhadap infeksi. Untuk mengetahui

tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.

3) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.

Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat

meningkatkan tekanan intrakranial.

4) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.

Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada

vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat

meningkatkan tekanan intrakranial.

5) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan

pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.

Dapat mencetuskan respon otomatik peningkatan intrakranial.

6) Berikan oksigensesuai dengan kondisi pasien.

Dapat menurunkan hipoksia otak.

7) Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar

( kolaborasi ).

Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi/kimia seperti

osmotik diuretik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat

menurunkan oedem otak, steroid ( dexamethason ) untuk menurunkan

inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk

menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif

dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipretik untuk menurunkan

panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak (Musliha,2010).

Diagnosa 4

Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran ( soporos

coma )

Tujuan :

Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.

Kriteria Hasil :

Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai

dengan kebutuhan, oksigen adekuat.

Rencana Tindakan :

1) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.

Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerjasama

yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.

2) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.

Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan

mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan

kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa

nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.

3) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.

Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus

dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan

sesuai kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.

4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga

lingkungan yang aman dan bersih.

Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan pasien

dengan keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami

peraturan yang ada diruangan.

5) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.

Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan

(Musliha,2010).

Diagnosa 5

Kecemasan keluarga sehubungan dengan keadaan yag kritis pada pasien

Tujuan :

Kecemasan keluarga dapat berkurang.

Kriteria Evaluasi :

Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan

Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien

Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan

meningkat.

Rencana Tindakan :

1) Bina hubungan saling percaya

Untuk membina hubungan terapeutik perawat-keluarga. Dengarkan

dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.

2) Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan

dilakukan pada pasien.

Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidaktahuan.

3) Beri kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.

Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.

4) Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.

Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan

keimanan dan ketabahan dalam menghadapi kritis (Musliha,2010).

Diagnosa 6

Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,

tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

Tujuan :

Gangguan integritas kulit tidak terjadi.

Rencana tindakan :

1) Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk

menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit

2) Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan

3) Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8

jam

4) Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk

daerah yang menonjol

5) Ganti posisi pasien setiap 2 jam

6) Pertahankan kebersiihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan

memudahkan terjadinya kerusakan kulit

7) Massage dengan lembut diatas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali

8) Pertahankan alat – alat tenun tetap bersih dan tegang

9) Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setaip 4-8 jam

dengan menggunakan H2O2(Musliha,2010).

DAFTAR PUSTAKA

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat . Yogyakarta : Nuha Medika

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Sabuan.2001.Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) Bagi

Tenaga Para Medis. Semarang : RSUP Dr Kariadi Semarang.