Upload
fitria-wijayanti
View
31
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hifema
Citation preview
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
LAPORAN KASUS
“HIFEMA ET CAUSA TRAUMA TUMPUL”
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Diajukan Kepada :
Pembimbing : Dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M
Disusun Oleh :
Maria Ulfah H2A010032
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Mata
FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU PENYAKIT MATA
Presentasi kasus dengan judul :
HIFEMA ET CAUSA TRAUMA TUMPUL
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Disusun Oleh:
Maria Ulfah H2A010032
Telah disetujui oleh Pembimbing:
Nama pembimbing Tanda Tangan Tanggal
Dr. Retno W, Sp.M ............................. .............................
Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata
Dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M
2
BAB ILAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Usia : 50 tahun
Alamat : Banyubiru
Agama : Islam
Pekerjaan : Pemecah batu
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : SD
No. CM : 40220
Tanggal datang ke puskesmas: 5 Juni 2014
II. ANAMNESE
Anamnese dilakukan secara autoanamnese pada tanggal 5 Juni
2014 pukul 14.00 WIB di IGD RSUD Ambarawa.
Keluhan utama : Nyeri pada mata kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang laki-laki berusia 50 tahun datang ke IGD RSUD
Ambarawa dengan keluhan nyeri pada mata kiri. Keluhan dirasakan
setelah mata kiri terkena pentalan batu pada pagi hari ini. Keluhan pada
mata kiri ini disertai dengan penglihatan kabur, nrocos, mata merah, tidak
tahan saat melihat cahaya dan kelopak mata terasa bengkak. Mata kanan
tidak mengalami keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keluhan sama : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat trauma pada sekitar mata : baru 1 kali ini
- Riwayat operasi pada mata : disangkal
- Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
3
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
Sosial Ekonomi
- Pasien berobat dengan BPJS.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 5 Juni 2014 pukul 14.30 WIB di
IGD RSUD Ambarawa.
1. KEADAAN UMUM
Keadaan umum : tampak kesakitan
Kesadaran : compos mentis
2. TANDA VITAL
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Respiratory rate: 20 kali/menit, reguler
- Suhu : 37,5oC (axiller)
3. STATUS GIZI
- Berat badan : 56 kg
- Tinggi badan : 160 cm
- IMT : 21,875 (normoweight)
4. STATUS GENERALIS
- Kepala : kesan mesosefal
- Hidung : dalam batas normal
- Mulut : dalam batas normal
- Telinga : dalam batas normal
- Leher : dalam batas normal
- Thorax : dalam batas normal
- Abdomen : dalam batas normal
- Ekstremitas : dalam batas normal
- Kulit : dalam batas normal
4
5. STATUS OFTALMOLOGIS
Visus 6/6 1/60
Visus koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensus Coloris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pergerakan bola
mata
Bebas segala arah Bebas segala arah
Kedudukan bola
mata
Ortoforia Ortoforia
Suprasilia Madarosis (-)
Tumbuh penuh normal
Madarosis (-)
Tumbuh penuh normal
Silia Trikiasis (-)
Distrikiasis (-)
Trikiasis (-)
Distrikiasis (-)
Palpebra superior Hiperemis (-)
Udem (-)
Spasme (-)
Massa (-)
Hiperemis (+)
Udem (+)
Spasme (-)
Massa (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-)
Udem minimal
Spasme (-)
Massa (-)
Hiperemis (+)
Udem (+)
Spasme (-)
Massa (-)
Konjungtiva
palpebra superior
Sekret (-)
Hiperemis (-)
Folikel (-)
Cobble stone (-)
Sekret (-)
Hiperemis (+)
Folikel (-)
Cobble stone (-)
5
Giant papil (-)
Udem (-)
Corpus alienum (-)
Giant papil (-)
Udem (+)
Corpus alienum (-)
Konjungtiva
palpebra inferior
Sekret (-)
Hiperemis (-)
Folikel (-)
Cobble stone (-)
Giant papil (-)
Udem (-)
Corpus alienum (-)
Sekret (-)
Hiperemis (+)
Folikel (-)
Cobble stone (-)
Giant papil (-)
Udem (+)
Corpus alienum (-)
Konjungtiva
forniks dan bulbi
Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi silier (-)
Sekret (-)
Injeksi konjungtiva (+)
Injeksi silier (+)
Sekret (-)
Sklera Ikterik (-)
Sklerektasis (-)
Ikterik (-)
Sklerektasis (-)
Kornea Jernih
Sensibilitas kornea (+)
Udem (-)
Neovaskularisasi (-)
Keruh
Sensibilitas kornea (+)
Udem (-)
Neovaskularisasi (-)
COA Jernih
Kedalaman cukup
Hifema membayang
Jendalan darah (-)
Kedalaman cukup
Pupil Bulat, Sentral, Reguler
D: 2,5 mm
Refleks direk/indirek (+/+)
Bulat, Sentral, Reguler
D: 2,5 mm
Refleks direk/indirek (+/+)
Iris Kripte normal
Neovaskularisasi (-)
Sinekia anterior (-)
Udem (-)
Kripte normal
Neovaskularisasi (-)
Sinekia anterior (-)
Udem (-)
Lensa Bagian sentral jernih Bagian sentral jernih
Keratoskoplacido Tidak dilakukan Tidak dilakukan
6
Fundus Refleks Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapang pandang Tidak dilakukan Tidak dialkukan
Tekanan
bolamata
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Fluorescein Tidak dilakukan Positif
IV. RESUME
Seorang laki-laki 50 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa
dengan keluhan mata kiri terasa sakit. Keluhan dirasakan setelah mata kiri
terkena pentalan batu pada pagi hari. Keluhan pada mata kiri disertai
dengan penglihatan kabur, epifora, mata merah, fotofobia dan udem
palpebra.
Dari pemeriksaan fisik pada oculi sinistra didapatkan visus 1/60,
hiperemis palpebra superior dan inferior, udem palpebra superior dan
inferior, hiperemis konjungtiva palpebra superior dan inferior, udem
konjungtiva palpebra superior dan inferior, injeksi konjungtiva, injeksi
silier, kornea keruh, COA terdapat hifema membayang, flourescein test
(+).
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Hifema
2. Erosi kornea
3. Glaukoma
VI. DIAGNOSIS
Hifema et causa trauma tumpul dengan erosi kornea.
VII. INITIAL PLAN
Ip Dx : Hifema et causa trauma tumpul dengan erosi kornea.
S : -
O : -
7
Ip Tx :
a. C xitrol EO dan bebat okuli sinistra
b. Asam traneksamat 250 mg, 3x1
c. Ciprofloxasin 500 mg, 2x1
d. Asam mefenamat 500 mg, 3x1
e. Ester C 1x1
f. C timol 0,5% ED 2x1 tetes, pagi dan sore
Ip Mx :
a. Gejala klinis
b. Komplikasi
Ip Ex :
a. Memberitahukan pada pasien mengenai hifema dan komplikasinya.
b. Pasien dianjurkan untuk beristirahat dengan posisi kepala lebih tinggi dari
tubuh (tirah baring setengah duduk).
c. Kontrol pada hari kelima dan segera jika perdarahan bertambah atau mata
terasa sangat pegal.
d. Memberitahu bahwa pasien juga mengalami erosi kornea, sehingga proses
penyembuhan dapat berlangsung lama dan juga menjelaskan komplikasi dari
erosi kornea.
I. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Sanam : ad bonam
Quo ad Visam : dubia ad bonam
Quo ad Cosmeticam : ad bonam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Hifema
Keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah di
antara kornea dan iris, terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh
darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueos yang jernih.1
II. Etiologi dan Patogenesis
Berdasarkan penyebabnya, hifema terbagi menjadi tiga yakni:
1. Hifema traumatik
Hifema traumatik merupakan jenis yang tersering, yang merupakan
hifema akibat terjadinya trauma pada bola mata. Trauma yang terjadi pada
umumnya disebabkan oleh benda tumpul, misalnya bola, batu, projektil,
mainan anak-anak, pelor mainan, paint ball, maupun tinju. Trauma tumpul
yang menghantam bagian depan mata misalnya, mengakibatkan terjadinya
perubahan bola mata berupa kompresi diameter anteroposterior serta
ekspansi bidang ekuatorial. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan intraokular secara transien yang mengakibatkan
terjadinya penekanan pada struktur pembuluh darah di uvea (iris dan
badan silier). Pembuluh darah yang mengalami gaya regang dan tekan ini
akan mengalami ruptur dan melepaskan isinya ke bilik mata depan
(camera oculi anterior).
2. Hifema iatrogenik
Hifema iatrogenik adalah hifema yang timbul dan merupakan
komplikasi dari proses medis, seperti proses pembedahan. Hifema jenis ini
dapat terjadi intraoperatif maupun postoperatif. Pada umumnya manipulasi
yang melibatkan struktur kaya pembuluh darah dapat mengakibatkan
hifema iatrogenik.
9
3. Hifema spontan
Hifema spontan sering dikacaukan dengan hifema trauma.
Perlunya anamnesis tentang adanya riwayat trauma pada mata dapat
membedakan kedua jenis hifema. Hifema spontan adalah perdarahan bilik
mata depan akibat adanya proses neovaskularisasi, neoplasma, maupun
adanya gangguan hematologi.
a. Neovaskularisasi, seperti pada diabetes melitus. Pada kondisi ini,
adanya kelainan pada segmen posterior mata (seperti retina yang
mengalami iskemi, maupun diabetik retinopati) akan mengeluarkan
faktor tumbuh vaskular yang oleh lapisan kaya pembuluh darah
(seperti iris dan badan silier) dapat mengakibatkan pembentukan
pembuluh darah baru (neovaskularisasi). Pembuluh darah yang baru
pada umumnya bersifat rapuh dan tidak kokoh, mudah mengalami
ruptur maupun kebocoran. Kondisi ini meningkatkan kerentanan
terjadinya perdarahan bilik mata depan.
b. Neoplasma, seperti retinoblastoma dan melanoma maligna pada
umumnya juga melibatkan neovaskularisasi seperti yang telah
dijelaskan pada poin pertama.
c. Hematologi, seperti leukemia, hemofilia, penyakit Von Willebrand
yang mana terjadinya ketidakseimbangan antara faktor pembekuan dan
faktor anti-pembekuan. Dengan demikian terjadi proses
kecenderungan berdarah.
d. Penggunaan obat-obatan yang mengganggu sistem hematologi, seperti
aspirin dan warfarin.2
III. Klasifikasi
Berdasarkan tampilan klinisnya Sheppard membagi hifema menjadi 4
klasifikasi:2
a. Grade 1 à darah menempati kurang dari 1/3 bilik mata depan. terdapat
pada 58 % kasus
10
b. Grade 2 à darah menempati 1/3 – ½ bilik mata depan. Jumlah kasus 20%
dari kasus hifema.
c. Grade 3 à darah menempati ½ sampai kurang dari seluruh bilik mata
depan. Terjadi pada 14% kasus hifema
d. Grade 4 à darah menempati keseluruhan dari bilik mata depan, disebut
juga sebagai blackball/8-ball hifema. Terjadi pada 8% kasus.
Tabel 1. Klasifikasi hifema
IV. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada kasus hifema meliputi:1,3
a. Penurunan tajam penglihatan
b. Nyeri
c. Mata merah
11
d. Epifora
e. Blefarospasme
f. Iridoplegi, iridodialisis
g. Jika pasien duduk tampak darah terkumpul di bagian bawah COA (grade
I-III)
h. Tanda-tanda iritasi konjungtiva dan perikornea
i. Fotofobia
j. Peningkatan tekanan intra okuler
V. Diagnosis
Diagnosis dapat berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pada
pemeriksaan fisik sebaiknya digunakan slit lamp untuk menilai derajat
hifemanya. Pemeriksaan lain yang penting untuk dilakukan berkaitan dengan
prognosis adalah pemeriksaan tekanan intra okuler, karena pada sebagian
pasein hifema sering diikuti peningkatan TIO. Serta penilaian visus, lapang
pandang pasien dan pemeriksaan dengan oftalmoskop.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menemukan etiologi hifema,
pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan USG mata, rontgen mata jika
dicurigai adanya fraktur atau benda asing, dan pemeriksaan yang berkaitan
dengan darah (faktor pembekuan darah).4
VI. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hifema bergantung pada derajat hifema, komplikasi yang
terjadi, serta respons pasien terhadap pengobatan. Pada kasus ringan,
penatalaksanaan dapat meliputi terapi konservatif, seperti:1-5
1. Membatasi aktivitas pasien
2. Melakukan penutupan mata dengan eye patch atau eye cover
12
3. Melakukan elevasi kepala 30-45o. Adapun maksud dari elevasi kepala
adalah untuk membuat darah mengumpul di bagian inferior dari COA dan
tidak menghalangi tajam penglihatan. Posisi ini juga mempermudah dalam
evaluasi harian COA tentang resorpsi hifema sehingga dapat menunjukkan
kemajuan pengobatan. Selain itu posisi ini merupakan posisi optimal
dalam mencegah kontak sel-sel darah merah dengan korena.
4. Memberikan sedasi, terutama pada pasien pediatri yang hiperaktif.
5. Pemberian analgesik, apabila dirasakan nyeri yang ringan dapat diberikan
asetaminofen, atau nyeri yang cukup berat dapat diberikan kodein. Hindair
penggunaan aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS, NSAID)
sebab dapat menimbulkan perdarahan dan berisiko menyebabkan
perdarahan sekunder.
6. Pemantauan berkala (setiap hari) tentang tajam penglihatan, tekanan
intraokular, serta regresi hifema.
7. Pemberian antifibrinolitik (aminocarproic acid dan tranexamic acid)
membantu mencegah terjadinya perdarahan berulang.
8. Pemberian sikloplegi topikal untuk mengurangi nyeri dan eliminasi
pergerakan iris.
9. Pemberian acetazolamide jika TIO meningkat
10. Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi.
Terapi operatif:
Terapi operatif dilakukan jika:5
a. Glaukoma sekunder yang tidak berkurang atau menghilang dengan
pengobatan konservatif
b. Kemungkinan timbulnya hemosiderosis kornea dan tidak ada pengurangan
dari tingginya hifema dengan perawatan non-operatif selama 3 - 5 hari.
c. Pasien dengan penyakit sickle cell dan TIO rata-rata > 24 mmHg selama
24 jam pertama atau jika TIO meningkat lebih berulang > 30 mmHg.
d. Pasien bukan sickle cell, jika TIO > 60 mmHg selama 2 hari.
13
e. TIO > 25 mmHg dengan hifema total selama 5 hari
f. Hifema gagal terserap < 50 % dari volume COA pada hari ke 8.
Terapi operatifnya dapat berupa parasintesis yaitu pembedahan dengan
mengeluarkan darah atau nanah dari bilik mata depan. Tekniknya dengan
membuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Kemudian dilakukan penekanan pada bibir luka sehingga
koagulum keluar. Jika darah tidak keluar seluruhnya COA dibilas dengan
garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu
dijahit.
VII. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:5
1. Peningkatan tekanan intraokular secara akut, yakni suatu gluakoma
traumatik
2. Atrofi optik, terutama akibat glaukoma traumatik
Atrofi optik merupakan keadaan akhir akibat glaukoma traumatik
yang dapat terjadi pada pasien dengan hifema. Terjadinya peningkatan
tekanan intraokular mengakibatkan tekanan diteruskan ke seluruh bagian
mata, termasuk ke tunika neuralis. Tunika neuralis yang merupakan retina
akan mengalami tekanan dan mengakibatkan kerusakan pada saraf.
Kerusakan pada saraf mata akibat tekanan akan timbul dalam bentuk atrofi
optik. Pada tekanan bola mata 50 mmHg, kerusakan dapat terjadi dalam 7
hari, sedangkan pada tekanan bola mata 35 mmHg kerusakan dapat terjadi
dalam 5 hari. Pada individual dengan sickle cell trait, kerusakan bahkan
lebih cepat terjadi pada tekanan yang lebih rendah, mengindikasikan
pentingnya penanganan segera terutama pada pasien-pasien ini.
3. Perdarahan ulang atau perdarahan sekunder
Perdarahan sekunder merupakan hal yang harus diwaspadai pada
hifema. Hal ini disebabkan 1/3 dari perdarahan sekunder justru dapat lebih
14
berat dibandingkan hifema awal, yakni dapat mengakibatkan hifema total.
Perdarahan sekunder umumnya terjadi pada hifema derajat 3 dan 4, dan
secara umum terjadi pada 22% kasus hifema, dengan rentang antara 6,5%
hingga 38%4. Perdarahan sekunder disebabkan oleh lisis dan retraksi dari
bekuan darah dan fibrin yang telah berfungsi secara stabil untuk
menyumbat pembuluh darah yang mengalami ruptur atau kebocoran.
Perdarahan sekunder membuat prognosis pasien menjadi buruk, dengan
penelitian menunjukkan tajam penglihatan pasien (kurang dari 20/50 atau
6/15) yang mengalami perdarahan sekunder lebih buruk dibandingkan
dengan yang tidak mengalami komplikasi ini (79,5% vs 64%).
Keadaan yang menjadi faktor prediksi terjadinya perdarahan
sekunder adalah:
- Sickel cell trait
- Tajam penglihatan saat presentasi <20/200 (6/60)
- Derajat hifema saat presentasi yang lebih dari II
- Ada riwayat penggunaan salisilat (aspirin), antiplatelet (seperti
pada penderita angina pektoris)
4. Sinekia posterior
5. Sinekia anterior, terutama pada kondisi hifema yang lebih dari delapan
hari
6. Corneal blood staining, yakni adanya deposisi dari hemoglobin dan
hemosiderin pada stroma kornea akibat keberadaan darah hifema total
yang umumnya disertai dengan peningkatan tekanan intraokular. Corneal
blood staining dapat menghilang, namun memerlukan waktu berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun lamanya.
7. Glaukoma kronik
15
Gambar 1. Gambaran papil atrofi, papil tampak pucat akibatnya menghilangnya serabut saraf dan
pembuluh darah kapiler akibat tekanan intraokular yang meninggi.
Gambar 2. Gambaran corneal blood staining yang berwarna kekuningan pada kornea
VIII. Prognosis
Keberhasilan penyembuhan dan prognosis hifema tergantung dari:
a. Derajat hifema yang dialami
b. Jumlah kerusakan lain akibat hifema pada struktur mata (ruptur koroid,
pembentukan scar makula)
c. Apakah terjadi hifema sekunder
d. Apakah terjadi komplikasi akibat hifema seperti glaukoma, bercak darah
pada kornea dan atrofi optikus.
16
PEMBAHASAN
Hifema adalah keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan,
yaitu daerah di antara kornea dan iris, terjadi akibat trauma tumpul yang merobek
pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueos yang
jernih.1
Umumnya pasien datang dengan keluhan penurunan tajam penglihatan, nyeri
pada mata, mata merah, epifora, fotofobia dan kadang ditemukan adanya
blefarospasme. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya darah yang
berkumpul di bagian inferior COA jika pasien duduk, adanya tanda iritasi
konjungtiva dan perikornea, iridoplegi, iridodialisis dan peningkatan tekanan intra
okuler. Tatalaksana pada hifema dapat bersifat konservatif maupun operatif.
Pilihan tatalaksana didasarkan pada manifestasi klinis dan perjalanan hifemanya.1,3
Pada kasus ini, seorang laki-laki 50 tahun datang ke IGD RSUD
Ambarawa dengan keluhan mata kiri terasa sakit. Keluhan dirasakan setelah mata
kiri terkena pentalan batu pada pagi hari. Keluhan pada mata kiri disertai dengan
penglihatan kabur, epifora, mata merah, fotofobia dan udem palpebra.
Dari pemeriksaan fisik pada oculi sinistra didapatkan visus 1/60, hiperemis
palpebra superior dan inferior, udem palpebra superior dan inferior, hiperemis
konjungtiva palpebra superior dan inferior, udem konjungtiva palpebra superior
dan inferior, injeksi konjungtiva, injeksi silier, kornea keruh, COA terdapat
hifema membayang, flourescein test (+).
Pengobatan pada kasus ini bersifat konservatif yaitu dengan pemberian: C
xitrol EO dan bebat okuli sinistra, asam traneksamat 250 mg 3x1, Ciprofloxasin
500 mg 2x1, asam mefenamat 500 mg 3x1, Ester C 1x1, dan C timol 0,5% ED
2x1 tetes pagi dan sore. Pasien di edukasi mengenai hifema dan komplikasinya,
dianjurkan untuk beristirahat dengan posisi kepala lebih tinggi dari tubuh (tirah
baring setengah duduk), kontrol pada hari kelima dan segera jika perdarahan
bertambah atau mata terasa sangat pegal.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Ed : 3. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.2010.
2. Sheppard JD. Hyphema. [Internet]. Updated: 2013 Dec 6, Cited: 2014 Mar
8. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1190165-
overview
3. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmology Umum ed. 4. Jakarta :
Widya Medika. 2000.
4. Kunimoto YD, Kunal DK, Mary SM. The Wills Eye Manual-Office and
Emergency Room Diagnsis and Treatment of eye Disease, Fourth Edition.
USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2004.
5. William Walton et al Management of Traumatic Hyphema. Elsevier.
Survey of Ophthalmology Volume 47 Number 4 July-August 2002.
18