33
BAB I PENDAHULUAN AIDS ( acquired immunodeficiency syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV (human immunodeficiency virus) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Virus tersebut menginfeksi sel CD4 T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag dan jenis sel lain.

HIV AIDS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ETIOLOGI-DAFTAR PUSTAKA

Citation preview

Page 1: HIV AIDS

BAB I

PENDAHULUAN

AIDS ( acquired immunodeficiency syndrome) adalah penyakit yang disebabkan oleh

virus yang disebut HIV (human immunodeficiency virus) adalah sekumpulan gejala dan infeksi

(atau sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus

HIV. HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena

virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik. Meskipun penanganan yang telah ada

dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa

disembuhkan.

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara

lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung

HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat

terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang

terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk

kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Virus tersebut menginfeksi sel CD4 T yang

memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag dan jenis sel lain.

Banyak penelitian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan penatalaksanaan yang baku

dan menyeluruh dari pencegahan penularan horizontal maupun vertikal, pemakaian kombinasi

antiretrovirus (ARV) bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pencegahan dan pengobatan

infeksi oportunistik (IO) dan pencegahan post exposure (PPE)

HIV sampai pemberian imunisasi yang masih dalam penelitian. Kompleksnya masalah

yang dihadapi dalam penatalaksanaan HIV/AIDS, memerlukan satu tim kerja terdiri dari

berbagai bidang ilmu yang solid dan profesional untuk menurunkan angka insidensi dan

prevalensi HIV/AIDS.

Page 2: HIV AIDS

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Struktur HIV & Siklus hidupnya

Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus

yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut

diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp 120 dan gp41

yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retroviris HIV terdiri dari lapisan envelop luar

glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi

protein inti dan penunjang.

RNA – directed DNA polymerase ( reverse transcriptase ) adalah polymerase DNA

dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA temple untuk

memproduksi hybrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam tehnik rekombinan DNA

yang perlukan dalam sintesis fisrt strand dna.

Page 3: HIV AIDS

Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan petanda terdini adanya

infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis antibody

terhadap HIV-1 . antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor

CD4 pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4 ini telah digunakan untuk mencegah

antigen gp120 menginfeksi sel CD4.

Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai berikut:

jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo ( gagal memberikan

respon terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivasi poliklonal sel B menimbulkan

hipergamaglobulinemia, antibody yang dapat menetralkan antigen gp120 dan gp41 diproduksi

tetapi tidak mencegah progress penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang tinggi, sel Tc

dapat mencegah infeksi ( jarang) atau dapat memperlambat progress. Protein envelop adalah

produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi antibody yang efektif dan

produktif oleh pejamu.

Siklus hidup HIV

Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi kedalam

genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan

menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 ( 120 Kd glikoprotein) yang terutama

mengikat sel CD4 reseptor dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5 ) dari sel manusia. Oleh

karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien sel CD4. Makrofag dan sel dendritik

juga dapat menginfeksinya.

Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membrane virus bersatu dengan membrane

sel pejamu dan virus masuk ke sitoplasma. Disini envelop virus dilepaskan oleh protease virus

dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transcriptase dan kopi

DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat

diaktifkan , sehingga diproduksi RNA dan protein virus . sekarang virus mampu membentuk

struktur inti, bermigrasi ke membrane sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas

berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat

Page 4: HIV AIDS

tetap laten dalam sel yang terinfeksi untuk berbulan- bulan atau tahun sehingga tersembunyi dari

system imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.

2.2 Patogenesis

Setelah HIV masuk tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada di dalam sel

dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu ( serupa

infeksi mononucleosis) , disertai viremia berat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada

tubuh timbul resppon imun humoral maupun seluler. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3

minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh system imun tubuh.

Proses ini berlangsung berminggu- minggu sampai terjadi keseimbangan antara

pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set

point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi,

perjalanan penyakit menuju acquired immune deficiency syndrome ( sindrom defisiensi imun

yang didapat, AIDS ) akan berlangsung lebih cepat.

Serokonversi ( perubahan antibody dari negative jadi positif ) terjadi 1-3 bulan setelah

infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa

tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 ( jumlah normal 800-1000)

yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relative konstan.

CD 4 adalah reseptor pada limfosit T 4 yang menjadi target utama HIV. Mula- mula

penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60 / tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah

menjadi cepat , 50-100 / tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata- rata masa infeksi dari HIV

sampai AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200.

Perjalanan penyakit pada HIV

1. Transmisi virus

2. Infeksi HIV primer ( sindrom retroviral akut ) 2-6 minggu

3. Serokonversi

4. Infeksi kronik asimptomatik

5. AIDS ( CD4 <200/mm3 ), infeksi oportunistik

Page 5: HIV AIDS

6. Infeksi HIV lanjut ( CD4<50/mm3)

2.3 Cara Penularan

1. Penularan seksual

Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan

vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa

mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada

hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada

risiko hubungan seks biasa dan seks oral.

Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif

maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena

pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang

memudahkan transmisi HIV.

Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan

gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena

adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi

vaginal.

Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan

bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat

kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat

secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah,

infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan

makrofaga.

Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan

pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap

penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak

selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali

penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi

HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta

Page 6: HIV AIDS

fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang

yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.

2. Kontaminasi patogen melalui darah

Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,

dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik

(syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab

penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B

dan hepatitis C.

Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru

HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur.

Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang

terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV

dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.

Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga

dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang

memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi

baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak

mencukupi.

WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan

melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong

negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV

melalui fasilitas kesehatan.

Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara

maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian,

menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan

"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".

Page 7: HIV AIDS

3. Penularan masa perinatal

Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,

yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat

penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun

demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara

bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.

Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan

(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan

sebesar 4%.

2.4. Gejala Klinis dan Infeksi Oportunistik

Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki

sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,

virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh

yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV

mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita

kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut

limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat

(terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan

berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada

tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.

Penyakit paru-paru

Page 8: HIV AIDS

Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.

Pneumonia pneumocystis (PCP)] jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki

kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.

Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis,

perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini

umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih

merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya

indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.

Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait

HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan

(respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium

awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC

terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini.

Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada

satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran

kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem

syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat

munculnya penyakit ekstrapulmoner.

Penyakit saluran pencernaan

Page 9: HIV AIDS

Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari

mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur

(jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat

disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.

Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai

penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella,

Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan

virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus

sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).

Penyakit syaraf dan kejiwaan

Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada

syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf

yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut

Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut

(toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada

mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi

otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat

menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami

sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.

Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang

terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh

infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia

pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan syaraf

yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang

muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan

rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka

kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%, namun di India

Page 10: HIV AIDS

hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya

perbedaan subtipe HIV di India.

Kanker dan tumor ganas (malignan)

Sarkoma Kaposi

Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap

terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik;

yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus

papiloma manusia (HPV).

Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV.

Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu

pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili

gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma

Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi

dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.

Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah

putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's

lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL),

dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV.

Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus,

limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-

Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.

Page 11: HIV AIDS

Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini

disebabkan oleh virus papiloma manusia.

Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker

usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum

seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada

pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif

(HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan

AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang

paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.

Infeksi oportunistik lainnya

Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,

terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi

Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan

gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang

pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang

disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi

oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang

positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi)

dan gejala minor (tidak umum terjadi):

Gejala mayor:

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis

e. Demensia/ HIV ensefalopati

Page 12: HIV AIDS

Gejala minor:

a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

b. Dermatitis generalisata

c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang

d. Kandidias orofaringeal

e. Herpes simpleks kronis progresif

f. Limfadenopati generalisata

g. Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),

gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

a. Fase awal

Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi

kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam

dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita

HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.

b. Fase lanjut

Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi

seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan

mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering

merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.

c. Fase akhir

Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi,

gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang

disebut AIDS.

Stadium klinis HIV menurut WHO :

1. Stadium klinis 1 : asimptomatis, limfadenopati meluas persisten, aktivitas normal

2. Stadium klinis 2 : simptomatis, aktivitas normal

Page 13: HIV AIDS

o BB menurun <10% dari BB semula

o Kelainan kulit dan mukosa ringan seperti dermatitis seboroik, Papular

Prurutic Eruption (PPE), infeksi jamur kuku, ulkus oral yang rekuren,

cheilitis angularis

o Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir

o ISPA, seperti sinusitis bacterial

3. Stadium klinis 3 : selama 1 bulan terakhir tinggal di tempat tidur <50%

o BB menurun >10% dari BB semula

o Diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya > 1 bulan

o Demam tanpa sebab yang jelas > 1 bulan (intermiten atau konstan)

o Kandidiasis oral

o Hairy leukoplakia oral

o TB paru dalam 1 tahun terakhir

o Infeksi bakteri berat (pneumonia)

o Angiomatosis basiler

o Herpes zoster yang berkomplikasi

4. Stadium klinis 4 : berbaring di tempat tidur selama 1 bulan terakhir > 50%

o HIV wasting syndrome (BB turun 10% + diare kronik >1bulan atau

demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)

o Pneumonia pneumocystis (PCP)

o Toksoplasmosis pada otak

o Kriptosporidosis, Microsporidiosis dengan diare > 1 bulan

o Kriptokokosis ekstra paru

o Cytomegalovirus (CMV) pada 1 organ selain hati, limpa, kelenjar getah

bening (mis:retinitis)

o Herpes simplex virus (HSV) mukokutaneus >1 bulan

o Kandidiasis esophagus, trakea, bronkus atau paru-paru

Page 14: HIV AIDS

o Mikobakteriosis atipik disseminate atau di paru

o Septikemi salmonella non tifoid

o TB ekstra paru

o Limfoma

o Sarkoma Kaposi

o Ensefalopati HIV (gangguan dan/atau disfungsi motorik yang

mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan berlangsung beberapa

minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain.

Langkah-langkah diagnosis :

1. Lakukan anamnesis gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan AIDS

2. Telusuri perilaku berisiko yang memungkinkan penularan

3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait. Jangan

lupa perubahan kelenjar dan pemeriksaan mulut.

4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosit total dan antibody HIV.

Bila hasil pemeriksaan antibody positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD4,

protein purified derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus, serologi PMS,

hepatitis, dan pap smear. Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >

500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka diulang

tiap 3-6 bulan, dan bila < 200 diberikan profilaksis pneumonia Pneumocystis carinii. Pemberian

profilaksis INH tidak tergantung pada jumlah CD4.

Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat

antiretroviral dan memantau hasil pengobatan. Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan

CD4 (mikroskop fluoresensi) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 = 1/3 X jumlah

limfosit total.

2. 5. Pengobatan

Penemuan obat anti retroviral yang kuat pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi

dalam perawatan ODHA di Negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan

Page 15: HIV AIDS

menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara

dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan, peningkatan kualitas hidup ODHA.

Tujuan pengobatan ARV

1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat

2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

3. Memperbaiki kualitas hidup ODHA

4. Memulihkan/ memelihara fungsi kekebalan tubuh.

5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus.

Indikasi ART

ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakan secara

laboratorium disertai salah satu kondisi dibawah ini.

Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV :

Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4

Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4 < 350

Infeksi HIV stadium I atau II dengan jumlah CD4 < 200

Artinya bahwa ART untuk penyakit stadium IV ( criteria WHO disebut AIDS klinis), tidak

seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk stadium III, bila tersedia sarana pemeriksaan

CD4 akan membantu untuk menentukan saat pemberian terapi yang lebih tepat.

Untuk kondisi stadium III terpilih nilai ambang 350/mm3 karena pada nilai dibawahnya

biasanya kondisi pasien mulai penunjukan perkembangan penyakit yang cepat memburuk dan

sesuai dengan pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah CD4 <

200 /mm3 merupakan indikasi pemberian terapi.

Page 16: HIV AIDS

Table 1.Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Bila tersedia pemeriksaan CD4

Stadium IV , tanpa memandang jumlah CD4

Stadium III, dengan jumlah CD4 < 350/ mm3 sebagai petunjuk dalam mengambil

keputusan

Stadium I atau II dengan jumlah CD4 < 200 /mm3

Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4

Stadium IV, tanpa memandang jumlah limfosit total

Stadium III, tanpa memandang jumlah limfosit total

Stadium III, dengan jumlah limfosit total <1200 /mm3

Tabel. Dosis Antiretroviral untuk ODHA dewasa

Abacavir (ABC) 300mg setiap 12 jam

Didanosine (ddI)

400 mg sekali sehari

(250 mg sekali sehari jika < 60)

(250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF)

Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300mg sekali sehari

Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam

(30 mg setiap 12 jam bila BB <60 kg)

Zidovudine(ZDV

atau AZT)

300 mg setiap 12 jam

Nucleotide RTI

Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari (cat: interaksi obat dengan ddI, dosis

Page 17: HIV AIDS

ddI perlu dikurangi)

Non-nucleoside RTIs

Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari

Nevirapine (NVP) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg

setiap 12 jam

Protease inhibitors

Indinavir/ritonavir

(IDV/r)

800 mg/100 mg setiap 12 jamb,c

Lopinavir/ritonavir

(LPV/r)

400 mg/100 mg setiap 12 jam, (533 mg/133 mg setiap 12

jam bila dikombinasi dengan EFV atau NVP)

Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam

Saquinavir/ritonafir

(SQV/r)

1000 mg/100 mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200 mg

sekali seharic,d

Ritonavir (RTV,r)e Capsule 100 mg, larutan oral 400 mg/5 ml

Pada pedoman WHO terdahulu ( April 2002) direkomendasikan bahwa rejimen lini

pertama terdiri atas dua NRTI ditambah salah satu NNRTI atau Abacavir atau protease inhibitor.

Renjimen yang mengandung satu protease inhibitor menjadi pilihan kedua karena harganya yang

mahal.

Stavudin seringkali menimbulkan lipoatrofi, dan kelainan metabolisme lain dinegara

maju, termasuk adanya asidosis laktat, terutama bila dikombinasikan dengan Didanosine ( ddl).

Dapat juga mengakibatkan neuropati perifer dan pancreatitis. AZT juga dapat berdampak pada

komplikasi metabolic dengan derajat yang lebih rendah dibanding stavudin. AZT dan d4T

bekerja secara antagonistic, sehingga tidak boleh digunakan secara bersamaan.

Page 18: HIV AIDS

Tabel. 3. Renjimen ARV Lini- pertama untuk ODHA dewasa dan factor yang mempengaruhi pemilihannya.

Rejimen ARV Toksisitas Utama Perempuan

(usia subur

atau hamil)

Koinfeksi TB

AZT+3TC+NVP Intoleransi gastrointestinal dr AZT,

anemia, netropenia;

Hepatotoksisitas NVP dan ruam

kulit berat

ya Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa

rifampisin b. hati- hati pada

penggunaan renjimen yang

mengandung rifampisin.

d4T+3TC+NVP Neuropati yang terkait d4T,

pancreatitis dan lipoatropi;

Hepatotoksisitas NVP dan ruam

kulit berat

Ya Ya, dalam terapi TB lanjutan tanpa

rifampisin b. hati- hati pada

penggunaan renjimen yang berbasis

rifampisin.

AZT+3TC+EFP Intoleransi gastrointestin,al dari

AZT, anemia, neutropenia;

Toksisitas pd SSP yg terkait EFV

dan potensial teratogenik

Tidak Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan

kepada perempuan hamil atau

perempuan usia subur, kecuali

dipastikan menggunakan kontrasepsi

yang efektif.

d4T+3TC+EFV Neuropati yg terkait d4T,

pancreatitis dan lipoatropi;

Toksisitas pd CNS yg terkait EFV

dan potensial teratogenik

Tidak Ya, tetapi EFV tidak boleh diberikan

kepada perempuan hamil atau

perempuan usia subur, kecuali

dipastikan menggunakan kontrasepsi

yang efektif.

Ada kemungkinan perlu mengganti ART baik oleh karena toksisitas atau kegagalan terapi.

a) Toksisitas

Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efeksamping dari obat,

sehingga terjadi disfungsi dari organ yang cukup berat. Bila toksisitas terkait dengan obat

atau rejimen yang dapat diidentifikasi dengan jelas, maka diganti dengan obat yang tidak

memiliki efek samping yang serupa, misalnya, mengganti AZT dengan d4T ( untuk

anemia).

b) Kegagalan terapi

Page 19: HIV AIDS

Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai perkembangan

penyakit, secara imunologis dengan penghitungan CCD4 atau secara virologist dengan

mengukur viral- load.

Tabel 4. Definisi kegagalan terapi secara klinis dan criteria CD4 pada ODHA Dewasa.

Tanda Klinis Kriteria CD4

Timbulnya infeksi oportunistik baru

atau keganasan yang memperjelas

perjalanan penyakit yang

memburuk.

Kambuhnya IO yang pernah diderita

Munculnya atau kambuhnya

penyakit- penyakit pada stadium III

( termasuk HIV wasting, diare

kronik yang tidak jelas penyebabnya,

kandidosis kambuh atau menetap)

CD4 kembali ke jumlah sebelum terapi

atau bahkan dibawahnya tanpa adanya

infeksi penyerta lain yang dapat

menjelaskan terjadinya penurunan CD4

sementara

Penurunan jumlah CD4 >50 % dari

jumlah tertinggi yang pernah dicapai

selama terapi tanpa infeksi penyerta

lain yang dapat menjelaskan terjadinya

penurunan CD 4 sementara.

2.6. Pencegahan HIV

Cara Pencegahan :

Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan

atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka

Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang

tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan

penularan HIV)

Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan

kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga

keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.

Ada tiga cara:

Page 20: HIV AIDS

Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks)

Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada

pasangannya

Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan

melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom

Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur)

harus disterilisasi dengan benar

Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang

lain

Page 21: HIV AIDS

BAB III

KESIMPULAN

HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena

virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor.

Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun

penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

Gejala klinis pada awal infeksi, seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan

pembengkakan kelenjar getah bening. Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8

atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun

tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran

kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,

batuk dan pernafasan pendek. Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau

lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir

pada penyakit yang disebut AIDS.

Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas dua NRTI

ditambah salah satu NNRTI atau Abacavir atau protease inhibitor. Meskipun belum mampu

menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi

kronis terhadap obat, namun secara dramatis menunjukan angka kematian dan kesakitan,

peningkatan kualitas hidup ODHA.

Cara pencegahan penularan hiv yang baik antara lain Abstinensi (atau puasa, tidak

melakukan hubungan seks) , Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan

dan saling setia kepada pasangannya , Untuk yang melakukan hubungan seksual yang

mengandung risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom.

Page 22: HIV AIDS

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan

Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 2004, Jakarta.

2. Mansjoer, Arif, dkk, Acquired immunodeficiency syndrome dalam Kapita Selekta

Kedokteran, Edisi ketiga, jilid I Media Aesulapius Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta : 2001, hal : 573 – 579.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

4. Baratawidjaja, Karnen, Iris Rengganis. Imunologi Dasar Edisi IX, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta : 2010, hal : 499-512