Upload
hoangliem
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
1
HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN
PENDOKUMENTASIAN PROSES KEPERAWATAN
Muadi*, Trimar Handayani**
ABSTRAK
Beban kerja dapat mempengaruhi kualitas kerja yang dihasilkan, maka unit-unit keperawatan perlu mengkaji
tingkat beban kerjanya, dikaitkan dengan perbedaan waktu jaga untuk menyesuaikan kemampuan perawat
terhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan tersebut, salah satu hasil kerja
perawat dapat dilihat dari kualitas pendokumentasi proses keperawatan yang diberikan kepada pasien.
Mengingat pentingnya pendokumentasian sebagai bukti otentik dalam melakukan pelayanan maka kualitas harus
ditingkatkan melalui upaya peningkatan mutu asuhan keperawatan yang tidak lepas dari peningkatan kualitas
kerja tenaga perawat. Meningkatnya kualitas kerja berkaitan erat dengan beban kerja perawat. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui hubungan beban kerja perawat dengan pendokumentasian proses keperawatan di Ruang
Rawat Inap RSUD Kardinah Tegal. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan rancangan
cross sectional, dilakukan terhadap 36 responden perawat ruang rawat inap dan observasi terhadap 108
pendokumentasian proses keperawatan di RSUD Kardinah Kota Tegal. Sampel diambil dengan sistematic
random sampling. Analisa dan pengolahan data menggunakan korelasi chi square untuk menguji hubungan antar
variabel. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa sebagian besar perawat memiliki beban kerja berat (94,4%),
pendokumentasian proses keperawatan tidak lengkap (80,6%) dan terdapat hubungan yang signifikan antara
beban kerja perawat dan pendokumentasian proses keperawatan (p = 0,041).
Kata kunci : Beban kerja, pendokumentasian proses keperawatan
ABSTRACT
The consignment of working hours can influence the quality of nursing labor, for that reason, nursing units need
to study the level of nurses’ working hours, interrelated to the difference of picket hours to acclimatize the
nurses’ aptitude with the number of treatments during the picket hours within the nursing units. One of the
results of nurses’ labor can be observed from the quality of documentation of nursing process given to the
patients. Since documentation of nursing process as the authentic data is strictly significant, its quality should be
improved by enhancing the quality of nursing process and developing the quality of nurses. The improvement of
working quality is closely correlated to the consignment of nurses’ working hours. This research is a descriptive
correlative research with a cross sectional outline, conducted with 36 nurses in- charged- in- ward respondents
and observation of 108 towards nursing documentation process at Kardinah hospital Tegal Central Java and the
samples were taken by random sampling system. The analysis and data processing use the correlation of chi
square to test the variabels’ correlation. The research shows that most of the nurses’ have heavy consignment of
working hours (94,4%), the documentation of nursing process was not complete (80,6%) and there is significant
correlation between the consignment of nurses’ working hours with the documentation of nursing process
(p=0,041).
Keyword : The consignment working hours, the documentation process of nursing.
* Staf Pengajar Program Studi S1 Keperawatan STIKes Cirebon.
** Alumni PSIK STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
2
PENDAHULUAN
Beban kerja dapat mempengaruhi prestasi kerja/performance, maka unit-unit
keperawatan perlu mengkaji tingkat beban kerjanya, dikaitkan dengan perbedaan waktu jaga
untuk menyesuaikan kemampuan perawat terhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga
yang ada diunit perawatan tersebut. Salah satu hasil kinerja perawat dapat dilihat dari kualitas
dokumentasi asuhan keperawatan yang diberikan.1
Tercapainya suatu asuhan keperawatan professional dalam praktiknya memerlukan suatu
pendekatan, yang disebut dengan proses keperawatan, yang dicatat dalam dokumentasi
keperawatan sebagai data tertulis yang menjelaskan tentang penyampaian informasi
(komunikasi), penerapan sesuai dengan standar praktik, dan pelaksanaan proses keperawatan.2
Dokumentasi proses keperawatan menjamin kualitas asuhan keperawatan karena dari
kegiatan ini dikomunikasikan dan dievaluasi perkembangan klien. Disamping itu dokumentasi
proses keperawatan dilakukan dalam rangka sebagai jaminan hukum, sarana pendidikan,
penelitian dan akreditasi.3
Mengingat pentingnya dokumentasi keperawatan yang baik dan lengkap sebagai bukti
otentik dalam peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dimana hal tersebut akan menjadi
faktor penentu dan citra rumah sakit, maka upaya peningkatan mutu asuhan keperawatan tidak
lepas dari Peningkatan kualitas kerja tenaga perawat. Meningkatnya kualitas kerja berkaitan
erat dengan beban kerja perawat.4
Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah merupakan rumah sakit milik pemerintah kota
Tegal. Dengan jumlah tenaga perawat rawat inap sebanyak 108 orang (data dari Kepala
Bidang Keperawatan per November 2009). Adapun ruang rawat inap di RSUD Kardinah kota
Tegal terdiri dari 13 ruang dengan 312 tempat tidur (TT), serta berdasarkan data dari bagian
rekam medik BOR rata-rata per tri wulan terakhir tahun 2009 adalah 70,37 %. Jumlah
perawat jaga pada masing-masing ruangan untuk tiap shiftnya (pagi, sore, malam) rata 2-3
orang dengan rata-rata pasien dirawat perharinya 270 orang. Jadi bisa diambil rasio
perbandingan antara perawat jaga dan jumlah pasien adalah 1: 2.5
Data observasi secara acak yang dilakukan pada tanggal 5 November 2009 terhadap 20
rekam medik pasien yang dirawat pada ruang Menur ditemukan sebanyak 15 rekam medik
yang pada lembar rencana asuhan keperawatan tidak dilengkapi dengan nama, tanggal, umur,
diagnosa, no rekam medik serta masalah asuhan keperawatan yang terjadi pada pasien saat
itu. Dan dari wawancara dengan 7 perawat ruangan penyakit dalam, bedah dan anak, 5
diantaranya menjawab pertanyaan “Mengapa mereka tidak melakukan pencatatan pada
lembar rencana asuhan keperawatan secara lengkap?” mereka menjawab terbatasnya waktu
untuk melakukan pendokumentasian terkait dengan banyaknya tindakan yang harus dilakukan
pada pasien dan 2 diantaranya mengeluhkan kurangnya tenaga pelaksana perawatan ditiap
shift. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan beban kerja perawat
dengan pendokumentasian proses keperawatan di ruang rawat inap RSUD Kardinah kota
Tegal tahun 2010.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif,
6 berdasarkan waktu,
penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yang menekankan pada waktu
pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali
pengukuran pada satu waktu.7
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana yang bekerja di ruang
rawat inap RSUD Kardinah tahun 2010 sebanyak 108 orang dan catatan medik pasien yang
sedang dirawat pada saat penelitian sebanyak 273 catatan medik. Pengambilan sampel
minimal dalam penelitian ini menggunakan tehnik Nomogram Harry King,8 apabila tingkat
kepercayaan yang digunakan 95% atau tingkat kesalahan 5% maka jumlah sampel yang
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
3
dibutuhkan sekitar 33% dari populasi. Jadi total sampel minimal adalah: 33% x 108 perawat =
35,6 (dibulatkan 36 perawat). Sedangkan besar sampel catatan medik yang diambil sebanyak
36 x 3 = 108. Hal ini merupakan suatu justifikasi dimana 1 perawat melakukan minimal 3
pendokumentasian. Dari sampel minimal yang telah didapat tersebut kemudian digunakan
tehnik simple random sampling untuk mengambil sampel dari populasi.6
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner dan lembar
observasi yang bersumber dari penelitian Joko P. Tehnik pengumpulan data pada penelitian
ini menggunakan wawancara dan observasi. Analisis data terdiri dari analisis univariat untuk
menggambarkan tiap variabel dengan menggunakan tabel distribusi data dan analisis bivariat
dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen (beban kerja perawat) dengan
variabel dependen (pendokumentasian proses keperawatan) digunakan analisa statistik
korelasi dengan tehnik Chi Square.9
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Perawat
1. Umur
Perawat pelaksana rata-rata berusia 29,78 tahun yang artinya masih merupakan usia
produktif.
2. Jenis Kelamin
Sebagian besar (77,8%) perawat pelaksana adalah perempuan.
3. Pendidikan
Pendidikan responden adalah 100% setingkat DIII keperawatan.
Beban Kerja Perawat Tabel 1 Distribusi Frekuensi Beban Kerja Perawat
Variabel independen N Persentase
Beban kerja :
1. Beban kerja ringan
2. Beban kerja sedang
3. Beban kerja berat
-
2
34
0 %
5,6 %
94,4 %
Total 36 100%
Beban kerja yang terdiri dari jenis pekerjaan, waktu dan kualitas kegiatan didapatkan
sebanyak 34 (94,4%) responden mempunyai beban kerja berat.
Dokumentasi Keperawatan Tabel 2 Distribusi Frekuensi Dokumentasi Keperawatan
Variabel dependen N Persentase
Dokumentasi keperawatan
1. Lengkap
2. Tidak lengkap
7
29
19,4 %
80,6 %
Total 36 100%
Pendokumetasian proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, rencana,
implementasi dan evaluasi didapatkan sebagian besar tidak lengkap yaitu 29 (80,6%).
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
4
Hubungan Beban Kerja Perawat dengan Pendokumentasian Keperawatan
Tabel 3 Distibusi Frekuensi Beban Kerja Perawat Berdasarkan Pendokumentasian Proses Keperawatan
Variabel Dokumentasi keperawatan Total P Value
Lengkap Tidak lengkap N %
N % N %
Beban kerja
1. Ringan
2. Sedang
3. Berat
-
2
5
-
100
14,7
-
0
29
-
0
85,3
-
2
34
-
100
100
0,041
Total 7 19,4 29 80,6 36 100
Adanya hubungan yang signifikan antara beban kerja perawat dengan pendokumentasian
proses keperawatan karena nilai p hitung 0,041 < 0,05. (alpha).
PEMBAHASAN
Beban Kerja Berdasarkan jawaban sebagian besar responden tersebut terhadap kuesioner,
mengungkapkan bahwa perawat pelaksana masih merasakan berat dengan beban kerja yang
ada karena beragamnya kegiatan yang harus dilakukan dalam satu waktu kerja (shift) dengan
jenis ketenagaan yang belum sesuai. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ilyas tentang ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap beban kerja yaitu jenis
kegiatan dimana kegiatan pelaksanan proses keperawatan berdasarkan standar asuhan
keperawatan (pengkajian, diagnosa, rencana, implementasi dan evaluasi) dan 14 komponen
pedoman tugas tenaga keperawatan yang masuk kedalam kegiatan langsung (berhubungan
dengan pasien secara langsung), kegiatan tidak langsung (tidak berhubungan langsung dengan
pasien tapi untuk mempersiapkan dan melengkapi pendokumentasian proses keperawatan),
kegiatan lain (yang berkaitan langsung dengan diri perawat itu sendiri). Waktu yang berkaitan
dengan waktu kerja dan karakteristik lain seperti demografi dan sosial (faktor umur dan
responden). Kualitas kegiatan yang berkaitan dengan kesesuaian beban kerja dengan jenis
tenaga apakah tenaga ahli atau bukan.1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joko P tentang hubungan beban kerja dan
kepuasan kerja perawat pelaksana di RSUD Kardinah 2004 menujukkan bahwa perawat
pelaksana diruang rawat inap mempersepsi beban kerja yang berat untuk setiap kategori
beban kerja yaitu jenis kegiatan, waktu dan kualitas kegiatan.10
Pendokumentasian Proses Keperawatan Berdasarkan hasil observasi terhadap 108 rekam medik didapatkan ketidaklengkapan
dalam pengisian data sesuai standar asuhan keperawatan yang seharusnya baik itu pada tahap
pengkajian, diagnosa, rencana, implementasi dan evaluasi. Padahal menurut Perry dan Potter
bahwa proses keperawatan itu dilakukan menurut tahapan-tahapan yang ada mulai dari
pengkajian, diagnosa, rencana, implementasi dan evaluasi. Hal ini juga sejalan dengan Proses
keperawatan menurut ANA (American Nurses Association) yaitu pendekatan keperawatan
professional yang dilakukan dengan mengidentifikasi, mendiagnosis dan mengatasi respon
manusia terhadap kesehatan dan penyakit.11
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fajar S tentang hubungan perilaku dan
pendokumentasian proses keperawatan didapatkan hasil perilaku yang negatif karena
melakukannya hanya kadang-kadang saja. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kesibukan
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
5
diruangan, ketidaktahuan akan pentingnya pendokumentasian dan tidak adanya teguran dari
atasan serta tidak berpengaruh pada gaji.
Hubungan Beban Kerja Perawat dan Pendokumentasian Proses Keperawatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin berat beban kerja maka akan semakin tidak
lengkap pendokumentasian yang dilakukan. Apabila dianalisa lebih lanjut dari hasil univariat
yang ada maka dengan banyaknya kegiatan langsung yang harus diselesaikan dalam satu
waktu shift maka kegiatan tidak langsungnya akan menjadi sulit untuk terpenuhi karena waktu
kerja hanya dihabiskan untuk melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan pasien
saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan menurut Schultz, yang membedakan beban kerja
menjadi dua yaitu beban kerja kuantitatif menunjukkan adanya jumlah pekerjaan yang besar
yang harus dilakukan pada satuan waktu misalnya jam kerja yang tinggi, derajat tanggung
jawab yang besar, tekanan kerja sehari-hari dan sebagainya. Dan beban kerja kualitatif terjadi
apabila pekerjaan yang dihadapi terlalu sulit.12
Beban kerja yang berat dapat menyebabkan kelelahan dan kejenuhan sehingga dapat
menurunkan kualitas asuhan keperawatan yang harus dilaksanakan pada klien tersebut
sehingga terkadang mengabaikan aspek legal yang ada yaitu mendokumentasikan proses
keperawatan yang telah dilakukan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Persepsi perawat rawat inap terhadap beban kerja yang meliputi jenis kegiatan, waktu dan
kualitas kegiatan termasuk kedalam beban kerja berat yaitu sebanyak 94,4%.
2. Hasil obeservasi yang dilakukan pada pendokumentasian proses keperawatan di rawat inap
RSUD Kardinah kota Tegal sebagian besar tidak lengkap yaitu 80,6%.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja perawat dan pendokumentasian
proses keperawatan di ruang rawat inap RSUD Kardinah kota Tegal tersebut dengan p
value 0,041. Hal ini menunjukkan bahwa Ha gagal ditolak.
SARAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran atau masukan untuk:
1. Bagi Praktis Keperawatan
Sebaiknya perawat melakukan selengkap mungkin semua aspek yang berhubungan dengan
asuhan keperawatan yang telah dilakukan terhadap pasien tersebut. Meningkatkan
pengetahuan dengan mengikuti pelatihan dan seminar tentang pendokumentasian proses
keperawatan yang terus berkembang saat ini. Untuk mengurangi beban kerja yang berat
hendaknya menajemen waktu kerja seefisien mungkin sehingga pekerjaan tidak
menumpuk pada jam-jam tertentu saja.
2. Bagi Instansi RSUD Kardinah Kota Tegal
1) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan pelatihan terhadap tenaga keperawatan secara
berkala untuk meningkatkan tenaga perawat mahir, terutama untuk manajemen waktu
yang baik dan pendokumentasian proses keperawatan sehingga aspek legalitas terhadap
semua tindakan yang dilakukan dapat terpenuhi.
2) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan klasifikasi penyakit dan tingkat
ketergantungan pasien sehingga bisa menghitung tingkat kebutuhan tenaga perawat
dengan beban kerja yang ada.
3) Melakukan pemantauan dan penilaian pelayanan keperawatan oleh tim pengendali mutu
secara periodik agar pelayanan keperawatan dapat terus ditingkatkan.
4) Menekankan kepada job description yang lebih jelas untuk setiap tenaga pelayanan
yang ada diruangan sehingga pekerjaan yang ada dapat dilakukan sesuai dengan tugas
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
6
dan fungsinya masing-masing, misalnya tenaga keperawatan yang masih melakukan
jenis kegiatan yang berkaitan dengan penghitungan administrasi pasien yang akan
pulang.
5) Mempertimbangkan untuk menerapkan metode keperawatan yang tepat dalam merawat
pasien agar pembagian tugas dan tanggung jawab merata.
DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas Y. Perencanaan sumber daya manusia rumah sakit: teori metoda dan formula. Jakarta:
Pusat kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI; 2000
2. Nursalam. Proses dan dokumentasi keperawatan. konsep dan praktek. Jakarta: Salemba
Medika; 2001
3. Doengoes ME. Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC; 2000
4. Hidayat A. Dokumentasi proses keperawatan. Jakarta: EGC; 2001
5. Rekam Medik. Data sensus rekam medik RSUD Kardinah Tegal. Tidak dipublikasikan.
Tegal: RSUD Kardinah; 2009
6. Notoadmodjo S. Metodelogi penelitian kesehatan.Edisi revisi Jakarta: EGC;2005
7. Nursalam, Patriani S. Pendekatan praktis metodologi riset kepearawatan. Jakarta: CV
Sagung Seto; 2001
8. Arikunto S. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, Jakarta : Rineka cipta; 2000
9. Sugiono. Statistika untuk penelitian. Bandung : CV Alfabeta; 1999
10. Purwanto J. Hubungan beban kerja dengan kepuasan kerja perawat pelaksana di ruang
rawat inap RSUD Kardinah Kota Tegal. [skripsi]. Semarang: STIKes Ngudi
Waluyo;2004
11. Perry, Potter. Fundamental keperawatan. Buku 1. Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika; 2009
12. Shocker M. Hubungan otonomi dan beban kerja perawat dengan kepuasan kerja di ruang
Dahlia 1 dan paviliun Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi. [diakses tanggal 6 November
2009]. Diunduh dari: http:// www.scribd.com.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
7
HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN
PNEUMONIA PADA BAYI
R. Nur Abdurrakhman*, Anis Kurniasih**
ABSTRAK Faktor yang meningkatkan morbiditas salah satunya adalah kurangnya pemberian ASI. Pada kelompok balita,
penyebab kematian utama di Kabupaten Majalengka adalah pneumonia. Pola penyakit yang terjadi umur 1-4
tahun di Ruang Rawat Inap RSUD Cideres pada tahun 2009, pneumonia menempati urutan ke dua yaitu 19,40%
dari 21 kasus penyakit. Sedangkan di Ruang Galatik RSUD Cideres kasus pneumonia menempati urutan pertama
dari 10 penyakit terbesar, tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pemberian ASI dengan kejadian
pneumonia. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional study.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi di rawat di Ruang Galatik RSUD Cideres. Populasinya 35
diambil dari data bayi yang dirawat dari Agustus sampai September 2009. Teknik sampel dalam penelitian ini
adalah total sampling yaitu 35 sampel. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian ASI di Ruang Galatik
RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif dan 15 (43%)
bayi mendapatkan ASI eksklusif. Kejadian pneumonia sebesar 20 (57%) bayi menderita bukan pneumonia dan
15 (43%) bayi menderita pneumonia. Perhitungan dengan uji statistik menggunakan chi square di dapat nilai p
value 0,001 lebih kecil dari 0,05 secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI
dengan kejadian pneumonia.
Kata Kunci : Pneumonia, ASI, Bayi
ABSTRACT
One of the factors that cause increased morbidity is the lack of breastfeeding. In the toddler group, the leading
cause of death in Majalengka district was pneumonia. The pattern of disease that occurs at age 1-4 years in
Cideres Hospital Inpatient Room in 2009, pneumonia take in a second ranks, which is 19.40% of the 21 cases of
the disease. Whereas in Galatik room of Cideres Hospital the case of pneumonia is take a first rank from 10
greatest diseases. This study aims to find out how the relationship of breastfeeding with pneumonia. The type
research used is descriptive correlative with cross sectional study. The population in this study were all infants
treated in hospitals Cideres in Galatik room. The population data were taken from 35 infants who were treated
from August to September 2009. Technical samples in this study is the total sampling of 35 samples. The results
of this study was breast feeding in hospitals in Gelatik room of Cideres Majalengka of 20 (57%) infants not
exclusively breastfed and 15 (43%) infants exclusively breastfed. incidence of pneumonia by 20 (57%) infants
suffered non pneumonia and 15 (43%) infants suffering from pneumonia. calculation by using the chisquare test
statistic at p value 0,001 to less than 0.05 statistically significant correlation between breast feeding with
pneumonia.
Keyword: pneumonia, ASI, baby
* Staf Pengajar Program Studi D III Keperawatan STIKes Cirebon. ** Alumni D III Keperawatan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
8
PENDAHULUAN
Menurut WHO Kejadian Pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10%-
20% per tahun. Balita merupakan kelompok umur yang rawan penyakit infeksi salah satunya
pneumonia.1 Pola 10 penyakit terbanyak di Rumah Sakit Umum, peringkat utama penyebab
kematian di Rumah Sakit maupun data Survei menunjukkan tingginya kasus Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA).2 Menurut hasil beberapa SKRT penyakit ISPA dan Sistem
Pernafasan merupakan penyebab kasus kematian bayi dan balita. Diketahui 80% - 90% dari
seluruh kasus kematian ISPA disebabkan pneumonia.3
Jumlah penemuan penderita
Pneumonia Balita pada tahun 2005 sebanyak 600.720 orang, diantaranya 27,22% berada di
Provinsi Jawa Barat. Dengan kematian balita akibat pneumonia sebanyak 25,98% berada di
Jawa Barat. Menurut data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka pada tahun 2007
cakupan pneumonia pada balita tidak mencapai target, yaitu hanya mencapai 75,6% dari
target 86%.4 Pada kelompok balita, penyebab kematian utama di Kabupaten Majalengka
adalah pneumonia (27,2%) diikuti oleh meningitis serosa (18,2%) dan lainya (demam yang
tidak diketahui sebabnya), diare akut dehidrasi berat, emboli paru, enchepalitis dan anemi
masing-masing 9,1%. lainnya.
Pola penyakit yang terjadi umur 1-4 tahun di Ruang Rawat Inap RSUD Cideres pada
tahun 2007, pneumoni menempati urutan ke dua yaitu 19,40% dari 21 kasus penyakit.5
Sedangkan di Ruang Galatik RSUD Cideres kasus pneumonia menempati urutan pertama
dari 10 penyakit terbesar yang ada di ruang tersebut yaitu 402 kasus (32%) dari 1276 kasus
penyakit.
Berdasarkan uraian diatas di Kabupaten Majalengka kematian pada balita paling utama
disebabkan oleh penyakit pneumonia dan pola penyakit yang terjadi pada umur 1-4 tahun di
Ruang Rawat Inap RSUD Cideres pada tahun 2007 pneumonia menempati urutan ke dua serta
berdasarkan 10 besar penyakit di Ruang Galatik pneumonia menempati urutan pertama.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian
pneumonia bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2009.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif. Metode penelitian korelatif
adalah mengkaji hubungan antara variabel-variabel bertujuan untuk mengungkapkan
hubungan korelatif antara variabel independen dan dependen.6 Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan cross sectional study. Populasi adalah semua bayi
yang dirawat di Ruang Galatik RSUD Cideres berjumlah 35 orang, dengan sampel yang
diambil adalah total populasi.7 Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan
dokumentasi. Instrumen pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan lembar
checklist. Analisis data terdiri dari analisis univariabel untuk mendeskripsikan masing-masing
variabel dan bivariabel untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian
pneumonia di analisis dengan menggunakan uji statistik chi squre.8
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN
HASIL PENELITIAN
Pemberian ASI Pada Bayi
Diagram 1 Pemberian ASI Ruang Gala
Diagram diatas menunjukkan
RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi tidak mendapatkan ASI
eksklusif dan 15 (43%) bayi mendapatkan ASI eks
Kejadian Pneumonia
Diagram 2 Kejadian Pneumonia Pada Bayi di
Diagram diatas menunjukan
Galatik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka
pneumonia dan 15 (43%) bayi menderita pneumonia.
20
57%
20
57%
JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
Ruang Galatik RSUD Cideres
Diagram diatas menunjukkan bahwa gambaran pemberian ASI di Ruang Galatik
RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi tidak mendapatkan ASI
lusif dan 15 (43%) bayi mendapatkan ASI eksklusif.
Kejadian Pneumonia Pada Bayi di Ruang Galatik
Diagram diatas menunjukan bahwa gambaran kejadian pneumonia pada bayi di
Galatik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi menderita bukan
pneumonia dan 15 (43%) bayi menderita pneumonia.
15
43%
ASI Ekslusif
TIDAK Ekslusif
15
43%
PNEUMONIA
BUKAN PNEUMONIA
9
Ruang Galatik
RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi tidak mendapatkan ASI
bahwa gambaran kejadian pneumonia pada bayi di Ruang
sebesar 20 (57%) bayi menderita bukan
TIDAK Ekslusif
BUKAN PNEUMONIA
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
10
Hubungan Antara Pemberian ASI dengan Kejadian Pneumonia
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Berdasarkan Kejadian Pneumonia
Pemberian ASI
Kejadian Pneumonia Total
P Value
OR
(95% CI) Bukan Pneumonia Pneumonia
n % n % n %
Eksklusif
Tidak Eksklusif 14
6
40%
17,1%
1
14
2,9%
40%
15
20
100
100
0,001 32,667
(95%CI:
3,468-
307,732)
Jumlah 20 57,1% 15 42,9% 35 100
Berdasarkan perhitungan dengan uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan
antara pemberian ASI dengan kejadian pneumonia pada bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres
Kabupaten Majalengka Tahun 2009 dan diperoleh OR 32,667 artinya bayi dengan pemberian
ASI tidak eksklusif mempunyai peluang 32,6 kali terserang pneumonia dibandingkan dengan
bayi yang diberikan ASI eksklusif.
PEMBAHASAN
Pemberian ASI Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-
garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan
bagi bayinya.9 Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman
tambahan lainnya pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Bayi hanya diberi ASI tanpa
makanan atau minuman lain, kecuali obat, vitamin, mineral, dan ASI yang diperah. ASI
memiliki kandungan 50 faktor imunitas yang sudah dikenal, dan mungkin lebih banyak lagi
yang masih tidak diketahui. Satu studi memperlihatkan bayi yang diberikan ASI eksklusif
selama 6 bulan mengalami infeksi telinga 40% lebih sedikit daripada bayi yang diberi ASI
ditambah makanan tambahan lain.9 Probabilitas terjadinya penyakit pernapasan selama masa
kanak-kanak secara signifikan berkurang bila bayi diberikan ASI eksklusif setidaknya selama
15 minggu dan makanan padat tidak diberikan selama periode ini.10
Kejadian Pneumonia Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.11
Penelitian yang dilakukan oleh Chandra pada tahun 1979 menunjukkan bahwa
kekurangan gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Pio menunjukkan adanya hubungan antara kekurangan zat
gizi dan pneumonia karena kekurangan gizi akan cenderung menurunkan daya tahan balita
terhadap serangan penyakit.12
Bahwa ASI dapat melindungi bayi terhadap penyakit infeksi
pernafasan.
Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Pneumonia Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI dengan
kejadian pneumonia. Pada ASI mengandung zat anti infeksi, bersih dan bebas kontaminasi,
Immunoglobulin A (Ig.A) dalam kolostrum pada ASI kadarnya cukup tinggi, Lysosim, enzim
yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan salmonella) dan virus. Jumlah lysosim
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
11
dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi, Sel darah putih pada ASI pada 2 minggu
pertama lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari 3 macam yaitu: Brochus-Asociated
Lympocyte Tissue (BALT) antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte Tissue (GALT)
antibodi saluran pernafasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT), sehingga
balita dengan ASI eksklusif lebih sedikit terserang pneumonia dibanding balita yang tidak
mendapat ASI. Sesuai dengan penelitian lain melaporkan ASI dapat melindungi bayi terhadap
penyakit infeksi pernafasan.12
ASI mengandung antibodi serta faktor-faktor lain yang
mencegah mikroorganisme terhadap perusakan epitel pernafasan.
Probabilitas terjadinya penyakit pernapasan selama masa kanak-kanak secara signifikan
berkurang bila bayi diberikan ASI eksklusif setidaknya selama 15 minggu dan makanan padat
tidak diberikan selama periode ini.10
ASI eksklusif adalah pemberian ASI sampai 6 bulan
tanpa makanan pendamping, pemberian ASI yang berkaitan dengan penyakit infeksi,
morbiditas dan mortalitas antara bayi yang mendapat ASI eksklusif dan bayi tidak mendapat
ASI eksklusif disimpulkan bahwa pada bayi usia kurang dari 6 bulan yang tidak mendapat
ASI eksklusif mempunyai resiko 5 kali lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas karena
diare dan pneumonia dibanding bayi yang diberi ASI eksklusif.10
SIMPULAN
1. Gambaran pemberian ASI pada bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 sebesar 57% bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif.
2. Gambaran kejadian peumonia pada bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres Kabupaten
Majalengka Tahun 2009 sebesar 57% bayi menderita bukan pneumonia
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI dengan kejadian pneumonia
pada bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Hasil
analisis bayi dengan pemberian ASI tidak eksklusif mempunyai peluang 32,6 kali
terserang pneumonia dibandingkan dengan bayi dengan pemberian ASI eksklusif.
SARAN
1. Diharapkan bagi perawat lebih ditingkatkan penyuluhan tentang manfaat ASI bagi bayi
dan faktor-faktor yang mempengaruhi tejadinya pneumonia.
2. Bagi ibu balita diharapkan memberikan ASI eksklusif pada bayi sehingga resiko terhadap
penyakit pneumonia dapat dikurangi.
3. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian tentang faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada bayi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Notoatmodjo S. Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2003.
2. Anonim. Profil kesehatan indonesia sehat 2010. [diakses tanggal 6 Juli 2008]. Diunduh
dari:http//www.depkes.go.id.
3. Anonim. Pedoman program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut untuk
penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta: Depkes RI; 1998.
4. Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Profil kesehatan Kabupaten Majalengka.
Majalengka; 2007.
5. RSUD Cideres. Profil RSUD Cideres. Majalengka; 2007.
6. Hidayat A. Metode penelitian keperawatan teknis analisis data. Jakarta: Alfabeta;2007.
7. Anonim. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2005.
8. Arikunto S. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta. PT. Rineka Cipta;2002.
9. Theresia P. Gizi dalam daur kehidupan. Modul Kuliah. Banda Aceh. Akzi;1995.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
12
10. World Health Organization. Community based strategies for breastfeeding promotion and
support in developing countries. Department of Child and Adolescent Health and
Development;2003
11. Dahlan Z. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2006
12. Pio A, Leowsky, Dam HG. The Magnitude of the problem of acut respiratory. Dalam
Douglas, R.M; Eaton, E.K. (Eds). Proseds intern workshop on acut respiratory infections
in childhood sydney: Univ Press Adelaide;1985.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
13
HUBUNGAN FUNGSI KELUARGA DENGAN STATUS GIZI PADA
LANSIA
Rokhmatul Hikmat*, Agus Rahmat Siswoyo**
ABSTRAK
Penduduk lanjut usia(lansia) merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin
bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Peran keluarga dalam mengenal masalah
kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, ikut merawat anggota keluarga yang sakit,
memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting. Gizi pada lansia
sangat penting untuk kelangsungan hidupnya, sehingga perlu pemantauan dan pemenuhan gizi yang baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia.
Penelitian ini merupakan penelitian non experimental dengan metode korelasional dengan pendekatan cross
sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk variabel tingkat pengetahuan
tentang menopause dan IMT untuk mengukur pemenuhan kebutuhan gizi pada perempuan menopause. Analisa
data menggunakan uji korelasi Spearman Rank. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di lapangan
didapatkan data bahwa status gizi pada lansia sebagian besar dalam kategori under weight yaitu sebanyak 112
orang (41,3%), normal yaitu sebanyak 62 orang (22,9%), overweight yaitu sebanyak 60 orang (22,1%), obese I
yaitu sebanyak 23 orang (8,5%) dan obese II yaitu sebanyak 14 orang (5,2%) dan dapatkan nilai P = 0,049
berarti ada hubungan fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia.
Kata kunci: fungsi keluarga, status gizi, lansia.
ABSTRACT
The population aging is a part of family members and community members which is growing in line with
increased life expectancy. The role of families in identifying health problems that is capable of making decisions
in health care, take care of sick family members, modifying the environment, and utilize existing health facilities
is very important. Nutrition in the elderly is very important for survival, so that needed the necessary monitoring
and compliance with good nutrition. This study aims to find out how the relationship of families function with
nutritional status of elderly. This study is a non-experimental method with cross sectional correlation. The data
was collected using a questionnaire to the variable level of knowledge about menopause and IMT to measure the
nutritional needs of menopausal women. Analysis of data using Spearman rank correlation test. From the
research that has been done in the field work, data obtained that the nutritional status of elderly in the village of
Tanjung Brebes Luwunggede District in 2010 showed that the nutritional status of elderly mostly in the under
weight category which as many as 112 people (41.3%), normal that is counted 62 people (22.9%), overweight as
many as 60 people (22.1%), obese I, which as many as 23 people (8.5) and obese II are as many as 14 people
(5.2%) and get the value of P = 0.049 means there is a relationship both family function and nutritional status of
the elderly.
Key words: family functioning, nutritional status, elderly.
* Staf Pengajar Program Studi S1 Keperawatan STIKes Cirebon.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
14
** Alumni PSIK STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap sosial
ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Implikasi ekonomis
yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam ratio
ketergantungan usia lanjut (old age ratio dependency). Setiap penduduk usia produktif akan
menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut. Angka ketergantungan usia lanjut pada
tahun 1995 adalah 6,93% dan tahun 2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa pada tahun 1995
sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 7 orang usia lanjut yang berumur 65
tahun ke atas sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk produktif harus
menyokong 9 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas.1
Pada lansia akan terjadi berbagai macam kemunduran organ tubuh, sehingga
metabolisme di dalam tubuh menurun. Hal tersebut menyebabkan pemenuhan kebutuhan
sebagian zat gizi pada sebagian besar lansia tidak terpenuhi secara adekuat. Oleh karena itu
jika diperlukan, lansia dianjurkan untuk mengkonsumsi suplemen gizi. Tapi perlu diingat dan
diperhatikan pemberian suplemen gizi tersebut harus dikonsultasikan dan mendapat izin dari
petugas kesehatan.2
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu
atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Gizi berhubungan dengan
makanan dan kesehatan. Salah satu golongan umur yang rawan akan masalah gizi adalah
lansia. Gizi pada lansia sangat penting untuk kelangsungan hidupnya, sehingga perlu
pemantauan dan pemenuhan giziyang baik.3
Keluarga merupakan orang terdekat dari seseorang yang mengalami gangguan
kesehatan/dalam keadaan sakit. Keluarga juga merupakan salah satu indikator dalam
masyarakat apakah masyarakat sehat atau sakit. Peran/tugas keluarga dalam kesehatan yang
dikembangkan oleh ilmu keperawatan dalam hal ini adalah ilmu kesehatan masyarakat
(komunitas) sangatlah mempunyai arti dalam peningkatan dalam peran/tugas keluarga itu
sendiri. Perawat diharapkan mampu meningkatkan peran keluarga dalam mengatasi masalah
kesehatan keluarga.4
Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan
dalam kesehatan, ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan
klien.4
Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak
mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk
kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi. Kondisi
sosial-ekonomi yang baik memberi kemungkinan agar kebutuhan gizi dapat terpenuhi. Yang
dimaksud dengan terpenuhinya kebutuhan gizi adalah tersedianya berbagai zat yang
diperlukan untuk mempertahankan stabilitas fungsi-fungsi tubuh, dan sekaligus untuk
kebutuhan tubuh seperti misalnya kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, kalsium dan
mikronutrien.5
Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo
mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada
masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi
dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan
semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup
untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak
cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.4
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
15
Faktor penyebab dari tingginya gangguan gizi pada lansia tidak lain disebabkan karena
belum memadainya pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus
lainnya yang memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat
yang terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah tangga
mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan
(2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita ketahui Human Development Index
pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari
negara-negara ASEAN lainnya. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata
terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan
berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan akan berdampak lebih nyata pada masalah kesehatan
dan gizi penduduk.4Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan fungsi keluarga
dengan status gizi pada lansia di desa Luwunggede kecamatan Tanjung kabupaten Brebes
tahun 2010
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survei analitik yaitu survei atau penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi dengan
pendekatan secara Cross Sectional di mana data yang menyangkut variabel bebas atau risiko
dan variabel terikat atau variabel akibat, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.
variabel independen yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada lansia akan
dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan dengan variabel dependen yaitu status gizi pada
lansia.6
Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia di Desa Luwunggede Kecamatan
Tanjung Kabupaten Brebes tahun 2009 berjumlah 867 orang. Besar sampel didapatkan
sebanyak 271 lansia. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan tehnik proportional sampling yaitu membagi jumlah anggota populasi dengan
perkiraan jumlah sampel yang diinginkan.7Instrumen yang di gunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioner dengan teknik wawancara sedangkan Instrumen yang di gunakan untuk
mengetahui setatus gizi pada lansia adalah roll meter dan mikrotoa di ukur dengan IMT
(Indeks Masa Tubuh) yaitu dengan cara mengukur Tinggi Badan (TB) dan menimbang Berat
Badab (BB).
Dalam analisa data, penulis menggunakan analisa univariabel yaitu menghasilkan
distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Keterangan :
P : Persentase
F : Frekuensi
N : Jumlah Responden
dan analisis bivariabel untuk mengetahui hubungan antar variabel menggunakan uji statistik
Chi Square dengan ketentuan :8
P < 0,05 artinya Ho ditolak yaitu ada hubungan yang signifikan antara hubungan
fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia.
P > 0,05 artinya Ho gagal ditolak yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara
hubungan fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia.
F
P = x 100%
N
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
16
HASIL PENELITIAN
Berat badan rata-rata pada lansia
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berat Badan rata-rata pada Lansia
Hampir sebagian (30,7%) responden memiliki berat 40-50 kg
Tinggi badan rata-rata pada lansia Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tinggi Badan rata-rata pada Lansia
Sebagian besar responden (72,4%) memiliki tinggi badan 161-170 cm.
Fungsi Keluarga Pada Lansia
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Fungsi Keluarga Pada Lansia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (45,4%) fungsi keluarga pada lansia
dalam kategori cukup.
Status Gizi Pada Lansia
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Status Gizi Pada Lansia
No Berat Badan (kg) Frekuensi Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
40-50
51-60
61-70
71-80
81-90
91-100
83
77
53
29
18
11
30,7
28,4
19,6
10,7
6,6
4
Total 271 100
No Tinggi Badan (cm) Frekuensi Persentase (%)
1.
2.
3.
150-160
161-170
171-180
28
196
47
10,3
72,4
17,3
Total 271 100
No Fungsi Keluarga Frekuensi Persentase (%)
1.
2.
3.
Baik
Cukup
Kurang
93
123
55
34,3
45,4
20,3
Total 271 100
No Status Gizi Frekuensi Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
Obese II
Obese I
Overweight
Normal
Underweight
14
23
60
62
112
5,2
8,5
22,1
22,9
41,3
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
17
Hampir sebagian (41,3%) status gizi pada lansia dalam kategori cukup.
Hubungan Fungsi Keluarga Dengan Status Gizi Pada Lansia
Tabel 5 Distribusi Hubungan Fungsi Keluarga Dengan Status Gizi Pada Lansia
Fungsi
Keluarga
Status Gizi
Jumlah
Nilai
P Obese II Obese I Overweight Normal
Under
veight
n % n % n % n % n % n %
0,049
Baik 8 8,6 5 5,4 6 17,2 15 19,4 18 49,5 93 100
Cukup 5 4,1 16 13 32 26 28 22,8 42 34,1 123 100
Kurang 1 1,8 2 3,6 12 21,8 16 29,1 24 43,6 55 100
Jumlah 14 5,2 23 8,5 60 22,1 62 22,9 112 41,3 271 100
Ada hubungan antara fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia di Desa Luwunggede
Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes Tahun 2010.
PEMBAHASAN
Fungsi Keluarga Pada Lansia
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden dengan fungsi keluarga yang
cukup. Hal ini bisa disebabkan karena responden masih memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan tersebut diantaranya orang lanjut usia membutuhkan rasa nyaman bagi dirinya
sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada. Tingkat pemenuhan kebutuhan
tersebut tergantung pada diri orang lanjut usia, keluarga dan lingkungannya. Jika kebutuhan-
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan timbul masalah-masalah dalam kehidupan orang
lanjut usia yang akan menurunkan kemandiriannya.9
Fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan tugas-tugas yang harus dilaksanakan di dalam
atau oleh keluarga itu. Adapun fungsi keluarga pada lansia adalah fungsi afektif, fungsi
sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan.
Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan
pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Orang tua diharapkan untuk menyesuaiakan
diri dengan menurunkan kekuatan, dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Hal ini sering
diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan didalam maupun
diluar rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas
terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu dikala masih muda dulu.
Status Gizi Pada Lansia Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar status gizi responden adalah underweight,
hal ini bisa disebabkan oleh kondisi fisik pada lansia yang bisa mempengaruhi status gizi
lansia. Dengan bertambahnya usia seseorang, kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun,
oleh karena itu, kebutuhan gizi bagi para lanjut usia, perlu dipenuhi secara adekuat.
Kebutuhan kalori pada lanjut usia berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya kalori
dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan
Total 271 100
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
18
kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan, ginjal,
dan sebagainya. Jadi kebutuhan kalori bagi lansia harus disesuaikan dengan kebutuhannya.
Status gizi dihubungkan dengan sel tubuh dan pergantian atas zat makanan proses yang
berkenaan dengan pertumbuhan dan pemeliharaan serta perbaikan dan pembentukan seluruh
kehidupan bagian tubuh akan menghasilkan status gizi yang tinggi atau rendah. Gizi
merupakan bagian penting bagi kesehatan dan kesejahteraan yang cukup gizinya apabila
mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal dan
pemeliharaan energi. Status gizi adalah gambaran tentang keadaan gizi seseorang sebagian
dimakan dan yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga dapat menggambarkan seseorang tersebut
dalam kondisi gizi baik gizi kurang atau gizi lebih.10
Faktor penyebab gangguan nutrisi pada lansia diantaranya adalah tinggal sendiri,
kelemahan fisik, kehilangan, depresi, pendapatan yang rendah, penyakit saluran pencernaan,
penyalahgunaan alkohol dan obat.10
Pengetahuan masyarakat mengenai makanan yang baik untuk kondisi tubuh dan usia
sangat diperlukan agar penduduk lansia yang akan bertambah pada masa akan datang dapat
tetap hidup sehat dan berkualitas. Upaya-upaya dapat dilakukan melalui penyuluhan-
penyuluhan yang diberikan oleh kaum profesional di bidang kesehatan masyarakat.
Hubungan Fungsi Keluarga Dengan Status Gizi Pada Lansia
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Pada
lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Karena itu di dalam
tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit
degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal.
Pada golongan lansia yang kurang gizi, masalahnya adalah kemampuan indera rasa lidah
yang menurun, juga menurunnya kemampuan tubuh mencerna makanan. Pengaruh
lingkungan ikut menyebabkan konsumsi makanan menjadi rendah, sehingga tidak mencukupi
kebutuhan. Sebaliknya pada golongan lansia yang kegemukan disebabkan konsumsi yang
relatif tetap, sedangkan kebutuhan menurun. Penurunan kebutuhan ini disebabkan
metabolisme dan aktivitas menurun pula.11
Gizi merupakan salah satu faktor yang penting dalam mencapai derajat kesehatan yang
optimal bagi lanjut usia. Lansia yang hidup sendiri atau di tinggal oleh orang yang dicintai
tanpa ada dukungan dari teman dan keluarga dapat berdampak pada perubahan status gizi atau
pemenuhan kebutuhan gizi. Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan gizi lansia diperlukan
suatu dukungan dari keluarga.
Friedman membagi tugas keluarga dalam lima hal yaitu (1) mengenal gangguan
perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, (2) mengambil keputusan untuk melakukan
tindakan yang tepat apabila ada anggota keluarga, (3) memberikan keperawatan kepada
anggota keluarga yang sakit dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau
usianya yang terlalu muda, (4) mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan
kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga dan (5) mempertahankan
hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan, sehingga timbul pemanfaatan
dengan baik terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki
keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu
memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak
punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang atau punya pasangan hidup
namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
19
sendiri, seringkali menjadi terlantar.
SIMPULAN 1. Fungsi keluarga pada lansia hampir sebagian (45,%%) dalam kategori cukup
2. Status gizi pada lansia sebesar 41,3% dalam kategori underweight.
3. Ada hubungan fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia Di Desa Luwunggede
Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes Tahun 2010.
SARAN 1. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai pelayanan kesehatan diharapkan puskesmas bisa memberikan konseling kepada
lansia dan keluarganya mengenai fungsi keluarga dan status gizi pada lansia, serta
pengetahuan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pada lansia.
2. Bagi Responden
Responden sebaiknya lebih meningkatkan pemahaman terhadap fungsi keluarga dan status
gizi pada lansia dengan sering mendengarkan informasi dan berbagi pengalaman dengan
orang lain. Informasi atau pendidikan mengenai tugas kesehatan keluarga dapat diperoleh
keluarga melalui kunjungan terhadap fasilitas kesehatan terdekat yaitu puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wirakartakusumah, Anwar. Aging in Indonesia demographic characteristic Demographic
institute, Jakarta: Faculty of Economies University of Indonesia; 1994
2. Siburian P. Bagaimana cara mengasuh dan merawat lansia. [diakses tanggal 29 September
2009]. Diunduh dari: http//www.waspada.co.id.
3. Supariasa IDN, Bakrie, Bachyar, Fajar, Ibnu. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC Penerbit
Buku Kedokteran; 2001
4. Moehji S. Ilmu gizi, Jakarta: Bhratara;1992
5. Darmojo R. Buku ajar geriatri. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;1999
6. Arikunto S. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta. Rineka Cipta;2006
7. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta;2005
8. Sugiyono. Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta; 2006
9. Hardywinoto. Menjaga keseimbangan kualitas hidup para lanjut usia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama; 1999
10. Ali Z. Pengantar perawatan kesehatan keluarga. Teori & praktek :Jakarta; 2000)
11. Anonim, Perspektif dan stereotip tentang lansia. [diakses tanggal 30 September 2009].
Diunduh dari http://aswendo.xanga.com.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
20
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KETERATURAN MINUM OBAT BAGI PENDERITA TUBERKULOSIS
PARU
Mohammad Sadli*, Sayidi**
ABSTRAK Penyakit Tuberkulosis Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat khususnya penyakit Tuberkulosis Paru. Adapun sumber penularan adalah penderita Tuberkulosis
dengan hasil basil tahan asam (BTA) positip yang menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
pada waktu batuk atau bersin. Percikan dahak ini mengandung kuman yang dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau percikan dahak tersebut terhirup kedalam saluran
pernapasan. Penyakit Tuberkulosis dapat menimbulkan masalah sosial ekonomi bagi penderita, keluarga,
masyarakat dan negara. Tujuan pembuatan skripsi ini untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan
dengan keteraturan minum obat bagi Penderita Tuberkulosis Paru di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon.
Jenis penelitian ini bersifat analitik observasional dengan pendekatan metode cross sectional. Adapun
pengambilan data diperoleh dengan cara wawancara, observasi dengan menggunakan kuesioner, jumlah sampel
sebanyak 53 Responden dari jumlah total populasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 96,23 %
berpengetahuan baik, 86,79 % bersikap positip, 90,57 % mengatakan bahwa sarana obat tuberkulosis paru
lengkap dan 96,23 % mengatakan bahwa petugas kesehatan berperan terhadap keteraturan minum obat serta
69,81 % mengatakan bahwa keluarga berperan terhadap keteraturan minum obat. Hasil uji statistik didapatkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap, sarana, peran petugas kesehatan dan peran
keluarga dengan keteraturan minum obat penderita tuberkulosis paru.
Kata Kunci : Keteraturan minum Obat.
ABSTRACT Tuberculosis pulmonary desease constitute that one of contaminant desease which be problem public health
different from other tuberculosis pulmonary desease. This is causes mycobacterium tuberculosis which
pulmonary attack, however can so attack organ other. Spreading source is sufferer tuberculosis which outcome
bacillus endure acid positif which causes microbe to air in type fragment sputum at when to cought or sneeze.
Pragment sputum this contain microbe which can last in air temperature room during some hour and person can
infected if fragment sputum inhalation. Tuberculosis desease causes sosial and economi problem in people,
whit family, community, and country. Purpose make research to know factors related with regularity dringking
medicin for tuberculosis pulmonary sufferer in Klangenan Cirebon. This design research analytic observational
method approach cross sectional. Retrieval of data obtained through using aquestionnaire, total sample of 53
respondents from a total population. The result showed that 96,23% good knowledge, 86,79% be positive,
90,57% says that means a complete pulmonary tuberculosis drugs and 96,23% said health workers contribute to
the regularity of drug and 69,81% said that the family contributes to the regularity of pulmonary tuberculosis
drug. Statistical test results showed that there is significant relationship between knowledge, attitudes, facilities,
the rule of health workers and family roles with the regularity of taking medication in patients with pulmonary
tuberculosis.
Keyword : Regularity of taking medication
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
21
* Staf Pengajar Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat STIKes Cirebon. ** Alumni PSKM STIKes Cirebon Lulus Tahun 201
PENDAHULUAN
Pada tahun 1995 program penanggulangan TBC Nasional mengadopsi strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shourtcourse chemotherapy) yang direkomendasikan oleh
WHO dan strategi DOTS ini telah dibuktikan dengan berbagai uji coba dilapangan dan dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi.1
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan
bahwa penyakit Tuberkulosis Paru merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan
nomor satu dari golongan penyakit infeksi.
Pada tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahunnya terdapat 583.000 kasus baru
penyakit Tuberkulosis dengan 140.000 kematian karena penyakit Tuberkulosis yang terjadi
setiap tahunnya. Dan di Indonesia diperkirakan setiap 100.000 penduduk terdapat 107
penderita baru penyakit TBC Paru BTA Positip.2
Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang terpadat di Indonesia dengan
jumlah penduduk pada tahun 2003 sekitar 36 juta jiwa. Meskipun jumlah penduduk yang
besar merupakan aset dalam pembangunan namun konsekuensinya adalah timbulnya masalah
kesehatan masyarakat seperti penyakit menular. Salah satu masalah penyakit menular yang
sedang dihadapi yaitu meningkatnya jumlah penderita Tuberkulosis. Di Jawa Barat setiap
tahunnya diperkirakan terdapat sekitar 44.000 orang penderita baru Tuberkulosis Paru BTA
(Bakteri Tahan Asam) positip. Walaupun demikian pada tahun 2003 sekitar 16.000 (40 %)
kasus baru TBC Paru BTA positip yang ditemukan dan diobati setiap tahunnya. Dari jumlah
penderita yang ditemukan dan di obati ternyata sekitar 78 % saja penderita tersebut
dinyatakan sembuh. Hal ini menunjukan bahwa masih belum optimalnya program
penanggulangan TBC di Jawa Barat.2
Pencapaian indikator kegiatan Program TB Paru di Kabupaten Cirebon tahun 2008 hasil
Case Detection Rate (CDR) mencapai 1.036 penderita (45,3 %) dari 2.286 penderita BTA
positip dan Cure Rate 1.016 penderita (87,19 %) dari 1.166 penderita. (sumber hasil rapat
program TBC Paru Puskesmas Kabupaten Cirebon tanggal 5 Januari 2009).3
Adapun hasil kegiatan Program TB Paru yang ada di wilayah Kecamatan Klangenan
tahun 2009 yaitu penemuan penderita BTA positip dan diobati (Case Detection Rate)
mencapai 53 penderita BTA positip (88,33 %) dari target 60 penderita dengan kesenjangan 7
penderita (11,67 %). Dari 7 penderita tersebut tidak bisa diwawancarai dikarenakan tidak ada
ditempat. Pengobatan penyakit Tuberkulosis Paru memerlukan keteraturan dalam minum obat
terutama minum obat pada fase pengobatan intensif yaitu pengobatan pada dua bulan pertama
masa pengobatan dan perlu adanya pengawasan yang ketat yaitu seorang PMO (pengawas
minum obat) setiap penderita tuberkulosis paru yang bertugas untuk mendampingi dan
memberikan dorongan moril serta semangat kepada penderita untuk minum obat yang akan
berdampak pada kesembuhan terhadap penyakit, karena tanpa adanya keteraturan minum
obat, penyakit akan sulit untuk disembuhkan.4
Salah satu permasalahan dalam penanggulangan terhadap keteraturan minum obat bagi
penderita Tuberkulosis Paru adalah lamanya masa pengobatan dan dibutuhkan waktu enam
bulan dengan empat macam kombinasi obat dan lemahnya petugas pengawasan minum obat
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
22
(PMO) untuk mengontrol dan memantau penderita apakah obat tersebut diminum sesuai
dengan aturan atau tidak, karena penyakit Tuberkulosis Paru bisa sembuh dengan keteraturan
dan ketaatan penderita untuk minum obat dalam masa pengobatan. Tujuan penelitian untuk
megetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan keteraturan minum obat Penderita
Tuberkulosis di wilayah Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2009.
METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan pendekatan metode “cross sectional”
yaitu suatu penelitian dimana dalam pengumpulan data terhadap variabel dependen dan
independen dilakukan secara sekaligus pada waktu yang bersamaan.5Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh penderita Tuberkulosis Paru yang ada di wilayah Kecamatan
Klangenan Kabupaten Cirebon yang tercatat dan diobati dengan obat anti tuberkulosis dengan
menggunakan strategi DOTS yang ditemukan pada bulan Januari sampai dengan Desember
2009 yaitu sebanyak 60 penderita sedangkan sampel sebanyak 53 penderita, sedangkan 7
penderita tidak bisa diwawancarai.
Teknik dan instrumen pengumpulan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner
yang dibagikan langsung pada responden mengenai Pengetahuan, sikap, sarana/prasarana,
peran keluarga dan peran petugas pada responden sedangkan data waktu minum obat
diperoleh dari register kartu penderita (Formulir TB 01).6 Teknik analisa data pada penelitian
ini terdiri dari analisis univariabel untuk memperoleh gambaran dari masing – masing
variabel independen yaitu pengetahuan, sikap, peran petugas dan peran keluarga sedangkan
variabel dependennya adalah keteraturan minum obat.7Analisis bivariabel menggunakan uji
statistik Chi Square untuk mengetahui hubungan dua variabel.
HASIL PENELITIAN
Pengetahuan tentang Keteraturan Minum Obat
Terdapat 51 Responden (96,33%) yang mempunyai Pengetahuannya baik dan 2
Responden (3,77 %) yang mempunyai Pengetahuan cukup tentang keteraturan minum obat.
Sikap tentang Keteraturan Minum Obat Terdapat 46 Responden (86,79%) yang mempunyai sikap positip dan 7 Responden
(13,21 %) yang mempunyai sikap negatip.
Sarana dan Prasarana dalam Keteraturan Minum Obat Terdapat 48 Responden (90,57%) yang mengatakan sarana lengkap dan 5 Responden
(9.43 %) yang mengatakan sarana tidak lengkap.
Peran petugas Kesehatan dalam Keteraturan Minum Obat Terdapat 51 Responden (96,23%) yang mengatakan bahwa Petugas berperan dan 3
Responden (3,77%) yang mengatakan Petugas kurang berperan.
Peran Keluarga dalam Keteraturan Minum Obat
Terdapat 37 Responden (69,81 %) yang mengatakan bahwa Keluarga berperan dan
16 Responden (30,19 %) yang mengatakan Keluarga kurang berperan.
Keteraturan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis Paru
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
23
Terdapat 49 Responden (92,45 %) yang mengatakan bahwa minum obat teratur dan 4
Responden (7,55 %) yang mengatakan minum obat tidak teratur.
Hubungan Pengetahuan dengan Keteraturan Minum Obat
Tabel 1 Hubungan Pengetahuan dengan keteraturan minum obat
Pengetahuan
Responden
Keteraturan Minum Obat Total
X2 P Value Teratur Tidak Teratur
N % N % N %
Baik
Cukup
48
1
94,1
50,0
3
1
5,9
50.0
51
2
100
100
5,368 0,021
Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100
Dari 51 responden yang mempunyai pengetahuan baik, ternyata sebagian besar yaitu 48
responden (94,1%) teratur minum obat. Sedangkan dari 2 responden yang mempunyai
pengetahuan cukup ternyata hanya 1 responden (50 %) teratur minum obat dan 1 responden
(50 %) tidak teratur minum obat.
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
responden dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon
tahun 2010.
Hubungan Sikap dengan Keteraturan Minum Obat
Tabel 2 Hubungan Sikap dengan Keteraturan Minum Obat
Sikap
Responden
Keteraturan Minum Obat Total
X2 P Value Teratur Tidak Teratur
N % N % N %
Positif
Negatif
44
5
95,7
71,4
2
2
4,3
28,6
46
7
100
100
5,109 0,024
Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100
Dari 46 responden yang mempunyai sikap positif, ternyata sebagian besar yaitu 44
responden (95,7 %) teratur minum obatnya. Sedangkan dari 7 responden yang mempunyai
sikap negatif ternyata hanya 5 responden (71,4 %) teratur minum obatnya dan 2 responden
(28,6 %) tidak teratur minum obatnya.
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara sikap responden
dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2010.
Hubungan Sarana dan Prasarana dengan Keteraturan Minum Obat
Tabel 3 Hubungan Sarana dan Pra sarana dengan Keteraturan Minum Obat
Sarana dan
Prasarana
Keteraturan Minum Obat Total
X2 P Value Teratur Tidak Teratur
N % N % N %
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
24
Lengkap
Tidak Lengkap
46
3
95,8
60,0
2
2
4,2
40,0
48
5
100
100 8,333 0,004
Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100
Dari 48 responden yang mengatakan sarana dan prasarana lengkap, ternyata sebagian
besar yaitu 46 Responden (95,8 %) teratur minum obatnya. Sedangkan dari 5 responden yang
mengatakan sarana dan prasarana tidak lengkap ternyata hanya 3 responden (60,0 %) teratur
minum obatnya dan 2 responden (40,0 %) tidak teratur minum obatnya.
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara sarana dan prasarana
dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2010.
Hubungan Peran Petugas dengan Keteraturan Minum Obat
Tabel 4 Hubungan Peran Petugas dengan Keteraturan Minum Obat
Peran Petugas Keteraturan Minum Obat Total
X2 P Value Teratur Tidak Teratur
N % N % N %
Berperan
Kurang Berperan
48
1
94,1
50,0
3
1
5,9
50,0
51
2
100
100 5,368 0,021
Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100
Hampir seluruh responden (94,1%) teratur minum obat. Sedangkan dari 2 responden yang
mengatakan Petugas kurang berperan ternyata hanya 1 responden (50,0 %) teratur minum
obat dan 1 responden (50,0 %) tidak teratur minum obat.
Dari hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peran petugas
dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2010.
Hubungan Peran Keluarga dengan Keteraturan Minum Obat
Tabel 5 Hubungan Peran Keluarga dengan Keteraturan Minum Obat
Peran Keluarga Keteraturan Minum Obat Total
X2 P Value Teratur Tidak Teratur
N % N % N %
Berperan
Kurang Berperan
36
13
97,3
81,3
1
3
2,7
18,8
37
16
100
100 4,122 0,042
Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100
Dari 37 responden yang mengatakan bahwa keluarga berperan, ternyata sebagian besar
yaitu 36 responden (97,3 %) teratur minum obatnya. Sedangkan dari 16 responden yang
mengatakan keluarga kurang berperan ternyata hanya 13 responden (81,3 %) teratur minum
obatnya dan 3 responden (18,8 %) tidak teratur minum obatnya.
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peran petugas
dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2010.
PEMBAHASAN
Hubungan Pengetahuan Responden dengan Ketaraturan Minum Obat Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fajarwati ada hubungan antara pengetahuan
dengan keteraturan minum obat Tuberkulosis yang dilakukan di BP 4 Surakarta tahun 2005.
Di karenakan setiap penderita yang mau mengambil obat di Puskesmas atau unit layanan
kesehatan selalu memperoleh penyuluhan tentang cara minum obat yang harus selalu
diperhatikan oleh Penderita.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
25
Hubungan Sikap Responden dengan Keteraturan Minum Obat
Sikap seseorang dalam keteraturan minum obat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, bila
pengetahuan orang tersebut terhadap penyakitnya baik, maka berobatnya akan teratur akan
tetapi bila pengetahuan terhadap penyakitnya rendah atau kurang, maka pengobatannya tidak
teratur.
Sedangkan menurut pendapat Azwar sikap merupakan kesediaan seseorang untuk bersikap
positif maupun negatif terhadap suatu tindakan atau perilaku seseorang. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan sikap yang positif akan membantu proses keteraturan minum obat untuk
mencapai kesembuhan.8
Hubungan Sarana dan Pra sarana dengan Keteraturan Minum Obat
Menurut Green mengungkapkan bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan ditentukan
oleh salah satu faktor pemungkin yaitu tersedia atau tidak tersedianya fasilitas kesehatan
dalam hal ini obat-obatan.9
Menurut Bachtiar dalam penelitiannya bahwa penderita yang mengatakan obat selalu
tersedia lebih teratur berobat dibandingkan dengan penderita yang mengatakan obat tidak
selalu tersedia di Puskesmas
Ketersediaan obat tuberkulosis sebagai faktor pendukung keteraturan minum obat bagi
penderita tuberkulosis sesuai dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shourtcourse Chemotherapy). Hal ini perlu diantisipasi oleh petugas Puskesmas akan
ketersediaan obat tuberkulosis yang merupakan tanggungjawab dalam melaksanakan tugasnya
dan menurut Suryadi tanggung jawab dalam pengelolaan obat merupakan tanggungjawab
yang akan berpengaruh pada kinerja petugas dan kesembuhan terhadap penderita.
Hubungan Peran Petugas dengan Keteraturan Minum Obat
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sarafino dalam penelitiannya bahwa ada
hubungan antara peran petugas dengan kepatuhan penderita untuk berobat. Sedangkan
menurut Nawi dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
peran petugas dengan keteraturan berobat.
Hubungan Peran Keluarga dengan Keteraturan Minum Obat
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nawi dan Bachtiar dalam penelitiannya
menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara peran keluarga dengan
keteraturan berobat.
Menurut Green bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan ditentukan oleh faktor
penguat yaitu dukungan yang diberikan oleh Keluarga.9Menurut Fredson yang didukung oleh
penelitiannya Suchman bahwa 74 % dari responden yang sakit parah dan dirawat di Rumah
Sakit mendiskusikan sakitnya kepada keluarga dan saudaranya.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan dengan hasil pembahasannya,maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada hubungan yang bermakna antara Pengetahuan dengan keteraturan minum obat bagi
Penderita Tuberkulosis Paru
2. Ada hubungan yang bermakna antara Sikap dengan keteraturan minum obat bagi Penderita
Tuberkulosis Paru
3. Ada hubungan yang bermakna antara sarana dan prasarana dengan keteraturan minum obat
bagi Penderita Tuberkulosis Paru
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
26
4. Ada hubungan yang bermakna antara peran Petugas dengan keteraturan minum obat bagi
Penderita Tuberkulosis Paru
5. Ada hubungan yang bermakna antara peran Keluarga dengan keteraturan minum obat bagi
Penderita Tuberkulosis Paru
SARAN 1. Pemerintah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Puskesmas)
1) Dapat dijadikan sebagai bahan masukkan dan informasi untuk program
pemberantasan penyakit tuberkulosis untuk menentukan langkah - langkah kebijakan
dalam program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru.
2) Meningkatkan monitoring untuk mengevaluasi keteraturan penderita dalam minum
obat tuberkulosis Paru.
2. Masyarakat/keluarga/penderita
1) Untuk memberikan dorongan dan dukungan moril terhadap penderita agar mau
minum obat secara teratur dan mengikuti aturan sesuai anjuran petugas sehingga
mempercepat proses penyembuhan.
2) Sebagai bahan untuk acuan dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pengawasan terhadap penderita Tuberkulosis paru untuk minum obat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Panduan nasional penanggulangan tuberkulosis, edisi ke 2 cetakan Kedua.
Jakarta: Depkes RI; 2008
2. Anonim. World TB day 2004. Seminar TBC. Bandung: PPNI;2004
3. Anonim. Profil kesehatan kabupaten cirebon, Cirebon: Dinas Kesehatan; 2008.
4. Anonim. Buku pegangan kader untuk PMO (pengawas minum obat), Depkes RI; 2003
5. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2006
6. Depkes RI. Panduan pengawas minum obat TBC.Jakarta: Ditjen P2M dan PL; 2001
7. Saebani AB. Metode penelitian. Bandung:Pustaka Setia; 2008
8. Azwar S. Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka pelajar;1998
9. Notoatmodjo. Ilmu kesehatan masyarakat prinsip-prinsip dasar. Jakarta: Rineka
Cipta;2006
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
27
PENGETAHUAN WANITA PRE MENOPAUSE TENTANG
MENAPOUSE
Uun Kurniasih*, Neni Nuraeni**
ABSTRAK Menopause merupakan tahap yang normal bagi setiap kehidupan wanita. Proses tersebut berjalan lambat
sehingga kita tidak menyadarinya. Dampak yang terjadi atau dapat dirasakan ketika umur kehidupan sudah
mencapai 45 – 50 tahun. Seperti gangguan haid, rasa panas (hot flash), perubahan pada fungsi organ serta tanda
dan gejalanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran wanita pre menopause tentang
menopause di Desa Kejiwan Wlayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon 2010. Jenis penelitian
yang digunakan yaitu deskriptif, penelitian ini dilaksanakan di Desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT Puskesmas
Susukan Kabupaten Cirebon pada bulan Agustus 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita pre
menopause yang berjumlah 122 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling. Sampel
dalam penelitian ini adalah wanita pre menopause yang kebetulan bertempat di Desa Kejiwan sejumlah 40 orang
yang dilaksankan pada tanggal 10 s/d 17 Agustus 2010. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan
kuesioner tertutup dengan 25 pertanyaan. Data yang telah didapat selanjutnya diolah dan dianalisa secara
univariat. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar wanita pre menopause berpengetahuan baik
tentang definisi menopause sebesar (45%), berpengetahuan cukup (40%) tentang tanda dan gejala menopause,
berpengetahuan kurang (47,5%) tentang kebutuhan pada masa menopause dan berpengetahuan cukup (57,5%)
tentang cara penanganan gejala menopause.
Kata Kunci : Pengetahuan, Pre Menopause, Menopause
ABSTRACT
Menopause is a normal stage for every woman's life. The process has been slow so we do not realize it. This
impact can be felt or when life has reached the age of 45-50 years. Such as menstrual disorders, heartburn (Hot
Flash), changes in organ function and the signs and symptoms. The purpose of this study is to reveal pre
menopausal women about menopause in the village of Work Unit PHC Kejiwan Wlayah Susukan Cirebon in
2010. Kind research used is descriptive research study was conducted in the Village Unit Work Area Health
Center Kejiwan Susukan Cirebon in August 2010. The population in this study were pre menopausal women
who numbered 122 persons.The sampling technique used is Accidental Sampling. The sample in this study were
pre menopausal women who happened to take place in the Village Kejiwan some 40 people was conducted on
December 10 until August 17, 2010. Data collection was performed using a closed questionnaire with 25
questions. The data have been obtained subsequently processed and analyzed with univariate. The results
showed that the majority of pre menopausal women knowledgeable both about the definition of menopause
(45%), knowledgeable enough (40%) of signs and symptoms of menopause, the less knowledgeable (47.5%) of
the needs at the time of menopause and knowledgeable enough (57 , 5%) on how to handle menopause
symptoms.
Keywords: Knowledge, Pre Menopause, Menopause
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
28
* Staf Pengajar Program Studi D III Kebidanan STIKes Cirebon.
** Alumni D III Kebidanan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
PENDAHULUAN Pre menopause yaitu sejak fungsi reproduksinya menurun sampai timbul keluhan atau
tanda-tanda menopause. Pre menopause yaitu 2 – 5 tahun masa wanita mengalami akhir
datangnya haid sampai berhenti sama sekali. Masa pre menopause dengan berbagai
perubahan fisiologis yang terjadi akan menjadi momok atau rasa ketakutan bagi setiap wanita
yang akan menjalaninya. Walaupun hal ini alamiah terjadi pada semua wanita, namun efek
sampingnya banyak mempengaruhi keharmonisan rumah tangga bila tidak siap
menghadapinya.1
Menopause merupakan tahap yang normal dalam kehidupan, dampak pada kesehatan
baru mulai terlihat ketika angka harapan hidup wanita meningkat pesat diatas dekade ke-6.
Wanita yang hidup di negara maju akan hidup setidaknya sepertiga dari seluruh kehidupan
mereka setelah menopause. Berhentinya menstruasi pada mayoritas wanita timbul tanda dan
gejala seperti ketidak teraturan siklus haid, gejolak panas (hot flush), keringat dimalam hari
(night sweat), kekeringan vagina (dryness vaginal), penurunan daya ingat, kurang tidur
(insomnia), rasa cemas (depresi), mudah lelah, penurunan libido (rasa takut jika berhubungan
seksual), pengecilan payudara dan penurunan elastisitas kulit.2
Bagi wanita yang tahan banting, mereka tidak akan terlalu merasakan gejala saat
memasuki masa menopause sebaliknya yang agak perasa akan merasa keluhan hebat baik
fisik maupun mental. Beberapa tanda dan gejala tersebut antara lain perdarahan yaitu
perdarahan yang keluar dari vagina tidak seperti menstruasi yang datangnya teratur, rasa
panas dan keringat malam, sering dialami wanita yang memasuki masa menopause dirasakan
mulai dari wajah menyebar keseluruh tubuh sering disertai warna kemerahan pada kulit dan
berkeringat. Gejala pada vagina muncul akibat dari perubahan yang terjadi pada lapisan
dinding vagina, vagina menjadi kering dan kurang elastis akibat penurunan kadar estrogen.3
Sebagian wanita belum mengerti bahkan tidak mengetahui kalau mereka berada pada
masa pre menopause. Hal ini disebabkan karena mereka belum memahami dan kurangnya
pengetahuan tentang perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita menjelang masa
menopause.4
Wanita yang mendekati menopause, produksi hormon estrogen, hormon progesteron
dan hormon seks lainnya mulai menurun. Keadaan ini menyebabkan jarang terjadinya ovulasi
dan menstruasi tidak teratur, sedikit dengan jarak yang panjang. Menopause berhubungan
dengan perubahan hormonal sehingga wanita mengalami perubahan fisik dan emosional.2
Kematangan mental, kedewasaan berfikir, faktor emosional, budaya dan wawasan
mengenai menopause akan menentukan berat ringannya seseorang menghadapi kekhawatiran
saat memasuki masa menopause. Bila seorang perempuan tidak siap mental menghadapi
periode klimakterium atau fase menjelang menopause dan lingkungan psikososial tidak
memberikan dukungan positif akan berakibat tidak baik. Perempuan itu akan menjadi kurang
percaya diri, merasa tidak diperhatikan, tidak dihargai, stress, dan khawatir berkepanjangan
tentang perubahan fisiknya, misalnya khawatir fisiknya tidak seindah dan sesehat ketika
muda.5
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
29
Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT
Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon, diketahui bahwa pengetahuan wanita pre menopause
di desa tersebut masih kurang. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara kepada 12 orang wanita
pre menopause, hanya 5 orang yang mengetahui tentang menopause. Berdasarkan
permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “pengetahuan
wanita pre menopause tentang menopause”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
gambaran pengetahuan wanita pre menopause tentang menopause di desa Kejiwan wilayah
kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon tahun 2010.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif
adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau
deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif.6Variabel dalam peneltian ini adalah
pengetahuan wanita pre menopause tentang menopause. Sub variabel dalam penelitian ini
adalah definisi menopause, tanda dan gejala menopause, cara penanganan menopause, dan
kebutuhan pada masa menopause.
Populasi keseluruhan wanita pre menopause di Desa Kejiwan wilayah kerja UPT
Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 yang berjumlah 122 orang. Pengambilan
sampel penelitian ini dengan cara Accidental Sampling yaitu dengan mengambil responden
yang kebetulan ada atau tersedia. Sampelnya adalah wanita usia 40 tahun keatas di Desa
Kejiwan wilayah kerja UPT Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 sebanyak 40 orang.
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data berupa kuesioner. Uji validitas
dilakukan dengan mengkorelasikan total skor item pertanyaan dengan masing-masing item
pertanyaan. Uji reliabilitas dengan menggunakan alpha cronbach jika bernilai lebih besar atau
sama dengan 0,6 maka item yang bersangkutan dinyatakan reliabel. Teknik pengumpulan
dengan melakukan wawancara. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah
analisa univariabel
Adapun rumus yang digunakan adalah :
Keterangan :
P : Persentase
F : Frekuensi
N : Jumlah sampel
Setelah dipersentasekan kemudian hasilnya diinterpretasikan7
1. Kategori baik jika pertanyaan dijawab benar oleh responden sebanyak > 75%
2. Kategori sedang jika petanyaan dijawab benar oleh responden sebanyak 60% - 75%.
3. Kategori kurang jika pertanyaan dijawab benar oleh responden sebanyak < 60 %.
HASIL PENELITIAN
Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Menopouse
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Menopouse
Pengetahuan Frekuensi %
Baik 5 12,5
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
30
Cukup
Kurang
28
7
70
17,5
Jumlah 40 100
Wanita pre menopause yang berpengetahuan baik sebanyak 5 orang (12,5%),
berpengetahuan cukup sebanyak 28 orang (70%) dan berpengetahuan kurang 7 orang
(17,5%).
Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Definisi Menopause
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Definisi Menopause
Pengetahuan Frekuensi %
Baik 18 45
Cukup 13 32,5
Kurang 9 22,5
Jumlah 40 100
Wanita pre menopause yang menjadi responden sebagian berpengetahuan baik
sebanyak 18 orang (45%).
Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Tanda dan Gejala Menopause
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Tanda dan Gejala
Menopause
Pengetahuan Frekuensi %
Baik 9 22,5
Cukup 17 42,5
Kurang 14 35
Jumlah 40 100
Sebagian besar (42,5%) wanita pre menopause yang menjadi responden sebagian
berpengetahuan cukup yaitu sebanyak 17 orang.
Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Kebutuhan Pada Masa Menopause
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Kebutuhan Pada Masa
Menopause
Pengetahuan Frekuensi %
Baik 10 25
Cukup 11 27,5
Kurang 19 47,5
Jumlah 40 100
Wanita pre menopause yang menjadi responden sebagian (47,5%) berpengetahuan
kurang.
Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Cara Penanganan Gejala Menopause
Tabel 5 Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Cara Penanganan Gejala Menopause
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
31
Pengetahuan Frekuensi %
Baik 8 20
Cukup 23 57,5
Kurang 9 22,5
Jumlah 40 100
Wanita pre menopause yang menjadi responden sebagian besar (57,5%)
berpengetahuan cukup.
PEMBAHASAN
Pengetahuan Wanita Pre menopause tentang Menopause
Sebagian besar responden sudah mendapatkan informasi tentang menopause dari
keluarga dan lingkungan sekitar. Pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
pendidikan, pekerjaan, umur, sosial budaya, pengalaman dan fasilitas.
Melihat masih adanya wanita pre menopause yang mempunyai pengetahuan kurang
mengenai menopause. Oleh karena itu perhatian tenaga kesehatan sangat diperlukan oleh
wanita pre menopause untuk memberikan pengetahuan atau informasi tentang menopause
dengan benar dan tepat baik dalam bentuk konseling atau penyuluhan.8
Pengetahuan Wanita Pre menopause tentang Definisi Menopause Sebagian responden telah mengetahui definisi menopause. Hal ini dikarenakan wanita pre
menopause sudah mendapatkan informasi tentang definisi menopause dari berbagai media
yang ada seperti televisi, radio, buku dan majalah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wied Hari yang mengungkapkan bahwa fasilitas dapat
menjadi sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Meskipun
seseorang memiliki pendidikan yang rendah tapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari
berbagai media misalnya TV, radio, majalah dan buku, maka hal itu akan meningkatkan
pengetahuan dari seseorang. Melihat masih adanya wanita pre menopause yang mempunyai
gambaran pengetahuan yang cukup dan kurang mengenai definisi menopause, hal ini
dikarenakan kurangnya minat wanita pre menopause untuk mengakses berbagai informasi
dari media. Oleh karena itu diharapkan petugas kesehatan lebih dapat meningkatkan informasi
dan konseling mengenai menopause agar wanita premenopause lebih paham dan mengerti
khususnya tentang definisi menopause.9
Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Tanda dan Gejala Menopause Tingkat pengetahuan baik pada sebagian responden bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain tingkat tahu (know) yang dimiliki responden cukup memadai tentang tanda dan
gejala menopause, pemahaman (comprehention) tentang bagaimana kemampuan dalam
pemahaman mengenai tanda dan gejala menopause.10
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan pre menopause tentang
tanda dan gejala menopause di desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan adalah
cukup, hal ini dikarenakan kurangnya informasi dari petugas kesehatan. Peran tenaga
kesehatan khususnya bidan harus lebih meningkatkan pelayanan melalui konseling atau
penyuluhan dan tanya jawab tentang tanda dan gejala menopause.
Pengetahuan Wanita Pre menopause tentang Kebutuhan Pada Masa Menopause
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita pre menopause berpengetahuan kurang
yaitu 47,5%, hal ini dikarenakan wanita pre menopause yang menjadi responden hanya
mendapat penjelasan secara umumnya saja selain itu sebagian responden tidak bekerja. Sesuai
dengan pendapat Wahid Iqbal yang mengungkapkan bahwa pekerjaan dapat mempengaruhi
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
32
tingkat pengetahuan seseorang karena lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman dan pengetahuan. Untuk meningkatkan pengetahuan menjadi baik
perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan responden adalah dengan didapat dari
pengalaman, pelatihan, konseling dan pendidikan.8
Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Cara Penanganan Gejala Menopause Pengetahuan adalah merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan
sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang
diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan wanita pre menopause tentang cara
penanganan gejala menopuase di Desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan
adalah cukup, hal ini dikarenakan sebagian besar wanita pre menopause yang menjadi
responden sudah mendapatkan informasi dari yang telah berpengalaman atau mengalami
masa menopause.
Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo yang mengungkapkan bahwa pengalaman
merupakan sumber pengetahuan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara
mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan. Untuk
meningkatkan pengetahuan wanita pre menopause tentang cara penanganan gejala menopause
perlu dilakukan konseling atau penyuluhan oleh tenaga kesehatan tentang cara penanganan
gejala menopause sehingga dengan pengetahuan yang baik akan sangat bermanfaat.10
SIMPULAN 1. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause tentang menopause di
Desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010
sebagian besar (70%) responden berpengetahuan cukup.
2. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause di Desa Kejiwan
Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 tentang definisi
menopause sebagian (45%) berpengetahuan baik.
3. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause di Desa Kejiwan
Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 tentang tanda
dan gejala menopause sebagian (40%) responden berpengetahuan cukup.
4. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause di Desa Kejiwan
Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 tentang
kebutuhan pada masa menopause sebagian (47,5%) responden berpengetahuan kurang.
5. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause di Desa Kejiwan
Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 tentang cara
penanganan gejala menopause sebagian (57,5%) responden berpengetahuan cukup.
SARAN 1. Bagi Wanita Pre Menopause
Diharapkan untuk lebih aktif dalam mencari informasi tentang menopause sehingga dapat
dijadikan sebagai pedoman ketika masa menopause datang.
2. Bagi Institusi Kesehatan
Petugas kesehatan hendaknya memberikan informasi yang lebih luas dan terperinci
tentang menopause. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan serta diskusi
kelompok sehingga dapat berbagi pengalaman yang berkaitan dengan menopause.
3. Bagi Peneliti Lain
Supaya peneliti dapat meneliti lebih dalam mengenai pengetahuan wanita pre menopause
tentang defini, tanda dan gejala kebutuhan pada masa menopause dan cara penanganan
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
33
gejala pre menopause atau dapat mengambil aspek lain yang berhubungan dengan
menopause.
DAFTAR PUSTAKA
1. Proverawati A. Menopause dan sindrome pre menopause. Yogyakarta: Nuha Medika;
2010
2. Smart, Agila. Bahagia di usia menopause. Jogjakarta : A+ Plus Book;2010
3. Connie. Artikel psikologi klinis perkembangan dan sosial menopause. [diakses tanggal
25 Mei 2010]. Diunduh dari: http://www.wordpress.com.
4. Lestary D. Seluk beluk menopause. Jogjakarta: Graha ilmu; 2010
5. Lastoko B. Kiat sehat dan bahagia di usia Menopause. Jakarta: Puspa Suara; 2002
6. Notoamodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;2002
7. Arikunto S. Prosedur penelitian satu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta; 2006
8. Mubarak, Wahid I. Promosi kesehatan. Yogyakarta: Graha ilmu;2007
9. Wied H A. Pengetahuan dan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan. [diakses
tanggal 30 Agustus 2010]. Diunduh dari: http://www.womenhealth.com
10. Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta; 2003
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
34
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERATURAN KUNJUNGAN
BALITA KE POSYANDU
Nova Lusiana*, Yulia Anggiani**
ABSTRAK
Adanya kejadian luar biasa pada akhir tahun 2000 yang melanda hampir seluruh wilayah di Indonesia banyak
disebabkan karena kurangnya pemberdayaan masyarakat memanfaatkan Posyandu. Dari studi pendahuluan yang
telah dilakukan di Posyandu Mawar desa Kertaungaran Kuningan, di dapatkan adanya penurunan jumlah peserta
Posyandu pada bulan Maret 2010. Dari data statistik, sebagian besar masyarakat berpendidikan tamatan SD.
Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat enggan berkunjung ke Posyandu, salah satunya adalah faktor
predisposisi yaitu pengetahuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
keteraturan kunjungan balita ke posyandu Mawar desa Kertaungaran Kuningan. Bahan dan Metode Penelitian ini
berupa survei lapangan yang bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan teknik accedental sampling
pada bulan Agustus 2010 di Posyandu Mawar desa Kertaungaran kecamatan Sindangagung kabupaten Kuningan.
Faktor yang mempengaruhi keteraturan tersebut dianalisis dengan menggunakan analisa univariat. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pengetahuan serta motivasi kunjungan ibu balita ke posyandu mawar
desa kertaungaran berada dalam kategori baik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat pengetahuan serta
mutivasi kunjungan ibu balita ke posyandu Mawar desa Kertaungaran Kuningan berada dalam kategori baik.
Kata Kunci : Pengetahuan, Motivasi, Posyandu
ABSTRACT The existence of unusual conditions at the end of 2000 that hit almost all regions in Indonesia are caused due to a
lack of community empowerment using IHC. From preliminary studies have been conducted on IHC Rose Brass
Kertaungaran village, in getting a decreasing number of participants IHC in March 2010. From the statistics,
most people who graduate from primary school education. Many factors cause people reluctant to visit the IHC,
one of which is a predisposing factor that is knowledge.The purpose of this study is to determine factors
influencing the regularity of visits to neighborhood health center infantskertaungaran village brass roses.
Materials and Methods The study was a descriptive quantitative field surveys sampling techniques using
techniques accedental quantitative sampling in August 2010 in the village of roses IHC
kertaungaranSindangagung sub district brass. Factors that affect the regularity were analyzed by using univariate
analysis. Results This study showed that the level of knowledge and motivation of mothers to visit the village
kertaungaranposyandu roses are in both categories.The conclusion of this study is that the level of knowledge
and mutivasi mothers to visit the village posyandukertaungaran brass roses are in both categories.
Key words: Knowledge, Motivation, IHC
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
35
* Staf Pengajar Program Studi D III Keperawatan STIKes Cirebon. ** Alumni D III Keperawatan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
PENDAHULUAN Posyandu diperkenalkan pada masyarakat Indonesia sejak tahun 1984, dalam
perkembangannya Posyandu tumbuh dengan pesat hingga sekitar tahun 1993, namun setelah
tahun 1993 Posyandu mengalami penurunan fungsi dan kegiatannya, padahal dalam
pembiayaan penyelenggaraan Posyandu tersebut gratis, sehingga dapat menjangkau cakupan
target yang lebih luas, sehingga Posyandu merupakan alternatif pelayanan kesehatan yang
perlu dipertahankan.1
Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat berkunjung ke Posyandu, tetapi ada juga
masyarakat yang tidak mau berkunjung ke Posyandu. Faktor yang menyebabkan masyarakat
tidak mau berkunjung ke Posyandu bisa berasal dari dalam diri orang itu sendiri (faktor
predisposisi) dan dari luar orang itu sendiri (faktor pemungkin dan faktor penguat). Salah satu
faktor predisposisi adalah pengetahuan. Faktor pengetahuan masyarakat yang baik
mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan status kesehatan seseorang, sedangkan
pengetahuan masyarakat yang buruk dapat menyebabkan kegagalan dalam peningkatan status
kesehatannya.2
Menurut Kodyat, dalam kegiatan Posyandu terdapat bermacam kegiatan kesehatan mulai
dari pemeriksaan tumbuh kembang balita, KB, imunisasi, peningkatan gizi, sampai
penyuluhan tentang penatalaksanaan diare.3
Disamping kegiatan diatas, peran Posyandu mencakup rujukan pasien ke Puskesmas dan
kunjungan rumah, dimana kegiatan ini untuk mengetahui bagaimana seorang penderita setelah
mendapatkan pengobatan dari Puskesmas dan perawatan apa saja yang masih diberikan,
sehingga Posyandu diharapkan dapat memenuhi tuntutan masyarakat, yakni
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, yang sesuai dengan harapan
masyarakat.4
Angka kunjungan balita desa Kertaungaran kecamatan Sindang Agung kabupaten
Kuningan di Posyandu menurun pada bulan Maret 2010. sedang jumlah ibu hamil yang
mempunyai balita yang datang ke posyandu berjumlah 72 dari 104 ibu balita yang seharusnya
datang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran faktor yang mempengaruhi
keteraturan kunjungan balita ke posyandu meliputi tingkat pengetahuan ibu tentang peran dan
fungsi Posyandu dan motivasi kunjungan balita di Posyandu desa Kertaungaran kecamatan
Sindang Agung kabupaten Kuningan Tahun 2010.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah survei lapangan yang bersifat deskriptif kuantitatif mengenai
tingkat pengetahuan ibu tentang peran dan fungsi posyandu terhadap motivasi kunjungan.5
Variabel dalam penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi keteraturan kunjungan balita
ke Posyandu di desa Kertaungaran kecamatan Sindang Agung kabupaten Kuningan Tahun
2010. Sub Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu balita tentang peran dan
fungsi Posyandu serta motivasi kunjungan ibu balita ke posyandu dalam upaya peningkatan
kesehatannya.
Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang ada di Posyandu di desa Kertaungaran
kecamatan Sindang Agung kabupaten Kuningan sejumlah 104 orang. Pengambilan sampel
dilakukan dengan menggunakan teknik Accidental sampling yaitu teknik pengambilan sampel
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
36
yang dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia.6,7
Isnstrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Analisa
Data dengan Analisa Univariat dilakukan terhadap tiap variabel penelitian melalui distribusi
frekuensi dan persentase yang ditampilkan dalam bentuk tabel.
Adapun rumus yang digunakan :
Keterangan :
P = Jumlah persentase jawaban
F = Jumlah jawaban atau frekuensi
N = Jumlah responden
Kriteria hasil:
1. Baik (76-100%)
2. Cukup (56-75%)
3. Kurang (40-55%)
HASIL PENELITIAN
Pengetahuan Ibu tentang Peran dan Fungsi Posyandu
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Peran dan Fungsi Posyandu
No. Tingkat
Pengetahuan
Jumlah
Responden Persentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup
Kurang
47
6
3
83,9 %
10,7 %
5,4 %
Total 56 100 %
Sebagian besar (83,9%) Responden berpengetahuan baik.
Motivasi Kunjungan Ibu Balita ke Posyandu Mawar
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Motivasi Kunjungan Ibu Balita ke Posyandu
No. Tingkat Motivasi Jumlah
Responden Persentase
1.
2.
3.
Baik
Cukup
Kurang
45
9
2
80,4 %
16,1 %
3,6 %
Total 56 100 %
Tingkat motivasi kunjungan ibu balita ke posyandu Mawar desa Kertaungaran
berada dalam kategori baik dengan persentase 80,4 %.
PEMBAHASAN
Pengetahuan Ibu tentang Peran dan Fungsi Posyandu Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa hampir sebagian besar responden
mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, yaitu sebanyak 83,9 % responden. Sebagian besar
responden telah mendapatkan informasi pada saat kunjungan ke Posyandu. Karena responden
sering mendengar informasi tersebut maka dalam menjawab pertanyaan pada kuesioner serta
pemilihan option jawaban yang ada, dapat menjawab sesuai dengan yang diharapkan.
P = F/ N x 100%
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
37
Pengetahuan merupakan hasil ”tahu” dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu, dimana obyek tertentu tersebut berupa informasi – informasi
penting yang bisa diperoleh dari mana saja, baik dari media cetak, elektronik maupun
informasi langsung dari tenaga kesehatan. Setelah mengetahui informasi tentang peran dan
fungsi Posyandu, selanjutnya ia akan mengevaluasi terhadap informasi yang di dapat, apakah
dapat bermanfaat bagi dirinya atau tidak. Apabila informasi itu tidak bermanfaat bagi dirinya
maka ia akan meninggalkan dan tidak mengadopsi pengetahuan tersebut. Akan tetapi
sebaliknya apabila informasi tersebut dianggap menguntungkan, maka selanjutnya ia akan
mengadopsi pengetahuan tersebut, sehingga akan timbul perilaku yang baik.8
Motivasi Kunjungan Ibu Balita ke Posyandu Hasil analisa penelitian ini menunjukan bahwa 80,4 % responden mempunyai motivasi
yang baik untuk berkunjung di Posyandu. Hal ini berarti kecenderungan responden untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan di Posyandu tinggi. Motivasi responden yang datang ke
Posyandu desa Kertaungaran bisa dipengaruhi oleh faktor intrisik yaitu motivasi yang dibawa
sejak lahir tanpa di pelajari maupun faktor ekstrinsik dari responden yaitu seperti media cetak
maupun elektronik yang ada sekarang ini, sehingga kedua faktor tersebut dapat mendorong
responden untuk datang ke Posyandu. Disamping itu juga pendidikan kesehatan dari tenaga
medis bisa memperkuat motivasi yang sudah ada sehingga responden mampu
mengekspresikannya dengan datang ke Posyandu.
Motivasi responden yang datang ke Posyandu dalam penelitian ini sangat beraneka ragam
bentuknya dan tergantung dari proses sosialisasi dari responden yang bersangkutan, bila
proses sosialisasi atau pembudayaannya baik maka akan mengarahkan responden ke perilaku
yang baik pula, dan ini dibuktikan oleh responden desa Kertaungaran yang datang ke
Posyandu, hampir sebagian besar mempunyai tingkat sosialisasi yang baik.9
Motivasi merupakan salah satu dari mekanisme terbentuknya perilaku dan mengalami
proses perubahan atau bagaimana ia diubah. Motivasi itu sendiri sering diartikan sebagai
dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang (inner-drive) yang secara sadar atau tidak
sadar membuat orang berperilaku untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Jadi yang dimaksud dengan dorongan tadi pada hakekatnya adalah kebutuhan (needs) yang
muncul dari dalam diri orang itu juga sehingga motivasi sering diartikan juga sebagai
kebutuhan.10
SIMPULAN 1. Tingkat pengetahuan responden tentang peran dan fungsi Posyandu dalam penelitian
ini termasuk dalam kategori baik sebesar 83,9%, cukup sebesar 10,7% dan kurang
sebesar 5,4%.
2. Motivasi kunjungan responden di Posyandu Mawar dalam penelitian ini termasuk
dalam kategori baik sebesar 80,4%, cukup 16,1% dan kurang 3,6%.
SARAN 1. Bagi Ibu Balita
Diharapkan agar lebih meningkatkan pengetahuan serta motivasi kunjungannya ke
posyandu dalam upaya peningkatan derajat kesehatan yang optimal.
2. Bagi Puskesmas
1) Diadakan pelatihan – pelatihan bagi kader terlatih terutama didaerah pedesaan
sehingga masyarakat dapat mengakses informasi yang baik dan benar.
2) Diberikan penghargaan bagi Posyandu yang telah berhasil dalam
penyelenggaraannya sehingga dapat memotivasi Posyandu yang bersangkutan.
3. Bagi Petugas
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
38
Peningkatan kinerja dalam pemberian pelayanan serta meningkatkan keterampilan
dalam bidangnya sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA 1. Jean B. Posyandu. Jakarta: Dirjen PPM dan LPM; 1996
2. Arif B. Artikel Pengaruh faktor pengetahuan, sikap, dan perilaku. Semarang: BP 4; 2004
3. Depkes. RI. Buku pedoman petugas lapangan. Jakarta: Komite Nasional Posyandu; 1996
4. Anonim. Faktor penyebab ke Posyandu. [diakses tanggal 6 Maret 2009]. Diunduh dari:
http://www.lib.ui.ac.id/go.php%3Fid
5. Suharsimi A. Prosedur penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 1997
6. Hidayat A. Riset keperawatan & tehnik penulisan ilmiah. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika; 2003
7. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta; 2002
8. Notoatmojo S. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2000
9. Anonim. Kunjungan ke Posyandu. [diakses tanggal 25 Maret 2009]. Diunduh dari:
http://www.lib.ui.ac.id/go/php.
10. Anonim. Motivasi kunjungan Posyandu. [diakses tanggal 25 Maret 2009]. Diunduh
dari:http://www.Kadek.tblog.com.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
39
KARAKTERISTIK PERILAKU PENDERITA KUSTA DALAM
MENCEGAH KECACATAN
Lili Amaliah*, Yeti Nuryati**
ABSTRAK
Hasil temuan dari petugas kusta Puskesmas Sindang Wangi bahwa penderita kebanyakan usia produktif dengan
latar belakang sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah, personal hygiene yang kurang, serta sanitasi
hygiene yang jelek. Kondisi tersebut akan menimbulkan konsekuensi baru dengan berbagai permasalahan
kesehatan baik fisik maupun mental bagi penderita kusta juga terhadap populasi yang ada di sekitarnya.
Konsekuensi baru tersebut antara lain resiko penularan dari penderita ke orang lain semakin besar, ancaman
terjadinya kecacatan yang pemanen yang berdampak menurunnya tingkat produktifitas dan kualitas sumber daya
manusia, serta meningkatnya beban hidup yang harus ditanggung oleh keluarga penderita. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik perilaku penderita kusta dalam mencegah kecacatan di
wilayah kerja Puskesmas sindang Wangi Kabupaten Majalengka. Jenis penelitian ini adalah Deskriptif yang
menggambarkan perilaku penderita kusta. Populasi dalam penelitian ini seluruh penderita kusta yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Sindangwangi Kabupaten Majalengka yaitu sejumlah 6 orang, pengambil sampel
menggunakan tehnik total sampling, alat pengumpul data menggunakan kuesioner dan data diambil dengan
wawancara. Tehnik analisis data dengan analisis deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 50,0 %
responden berperilaku “cukup baik” terhadap pencegahan kecacatan kusta, tapi masih terdapat responden yang
belum berprilaku “baik” dalam upaya pencegahan kecacatan kusta (33,3%).
Kata Kunci: Perilaku, Penderita Kusta
ABSTRACT
Leprosy officer of Puskesmas sindang Wangi founds that the patients are most productive age with social-
economic and low education levels background, poor personal hygiene, poor hygiene and sanitation. These
conditions will lead to new consequences to the various problems both physical and mental health for people
with leprosy and also to the population in its vicinity. New consequences include the risk of transmission from
sufferer to others will more and more, the threat of a permanent disability that affects a decreased level of
productivity and quality of human resources, and the increased living expenses incurred to be borne by the
patient's family. The purpose of this study is to knowing the characteristic behavior of leprosy patients in the
prevention of disability in the arrival area of Puskesmas Sindang Wangi Majalengka. The study was descriptive
which describes the behavior of leprosy patients at the Work Area of Puskesmas Sindang Wangi Majalengka.
The population in this study are all leprosy patients, namely a number of 6 persons, Using Total sampling
techniques, questionnaire used as data collection tools and the method taken by interview. Technical analysis of
the data by using descriptive analysis. The result showed 50.0% of respondents behave "fair enough" to the
prevention of leprosy disability, but still there are respondents who do not behave good in efforts to prevent
disability leprosy (33.3%).
Kata Kunci : Behaviour, Patient of Leprosy
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
40
* Staf Pengajar Program Studi D III Keperawatan STIKes Cirebon.
** Alumni D III Keperawatan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
PENDAHULUAN Penyakit kusta atau istilah lainnya morbus hansen merupakan salah satu penyakit menular
yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks, meliputi kesehatan, sosial, ekonomi,
budaya, keamanan, dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-
negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan
sosial ekonomi pada masyarakat.1
Berdasarkan laporan WHO tahun 2003 Indonesia menempati urutan ke empat dari 11
negara setelah India, Brazil, dan Myanmar yaitu dengan prevalensi 0,80/10.000 atau
diperkirakan mencapai 16.799 dengan klasifikasi Pausi basiler (PB) 2.298 dan Multi basiler
(MB) 14.994, dimana Jawa Barat merupakan propinsi terbesar ke dua dari 10 propinsi setelah
Jawa Timur dengan prevalensi 1/10.000.1,2
Sementara berdasarkan data laporan bulanan kusta Puskesmas Sindang Wangi Kabupaten
Majalengka bahwa dari akhir bulan Agustus tahun 2005 sampai akhir bulan Desember 2008
tercatat sebanyak 25 orang penderita kusta baru yang terbagi dalam dua type, yaitu type PB
10 orang dan type MB 18 orang, dengan tingkat kecacatan antara 0-1 (menurut WHO). Hal ini
menjadikan Sindang Wangi sebagai kecamatan yang paling banyak penderita kustanya di
wilayah kerja Puskesmas Sindang Wangi.3
Keberhasilan penderita dalam mencegah terjadinya kecacatan ditentukan oleh kepatuhan
dan keteraturan dalam berobat serta waspada terhadap tanda-tanda yang menunjukan adanya
kelainan pada organ tubuh sehingga dapat dicegah sedini mungkin dengan perawatan diri
yang baik. Oleh sebab itu selama masa pengobatan dan perawatan diperlukan tingkat perilaku
yang baik dari penderita.
Faktor pengetahuan, sikap dan perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap status
kesehatan individu dalam menentukan keberhasilan suatu program pengobatan maupun
pencegahan kecacatan. Pengetahuan, sikap dan perilaku penderita yang buruk akan
menyebabkan kegagalan dalam pengobatan yang beresiko tinggi terjadinya kecacatan.4,5
Hasil temuan lain dari petugas kusta Puskesmas Sindang Wangi bahwa penderita
kebanyakan usia produktif dengan latar belakang sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang
rendah. Berdasarkan hasil penelitian oleh Koos menunjukkan bahwa semakin terdidik
seseorang, maka semakin baik pengetahuannya tentang kesehatan, dan semakin banyak
pengetahuan seorang penderita kusta, maka semakin tinggi kewaspadaan dirinya dari
penyakit, serta dapat meminimalisasi tingkat keparahan yang menyebabkan kecacatan. Tujuan
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik perilaku penderita kusta
dalam mencegah kecacatan.6
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh penderita kusta yang ada diwilayah kerja Puskesmas Sindangwangi Kabupaten
Majalengka yaitu sejumlah 6 orang (data penderita kusta bulan Januari sampai dengan bulan
Desember 2008). Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan total populasi. Instrumen
yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner dilakukan
dengan teknik wawancara. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yaitu
menggambarkan masing-masing variabel dalam bentuk persentase.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
41
HASIL PENELITIAN Setelah dilakukan kegiatan dalam serangkaian penelitian maka diperoleh hasil sebagai
berikut:
Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin
Dari 6 responden antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempunyai jumlah
yang sama, yaitu 3 laki-laki (50%) dan 3 perempuan (50%).
2. Umur
Umur responden dalam penelitian ini 33,3% termasuk kedalam kelompok umur > 60
tahun dan kelompok umur < 30 tahun, 30-40 tahun, 40-50 tahun dan 50-60 tahun
masing-masing berjumlah 1 responden (16,7%).
3. Status Pekerjaan
Jenis Pekerjaan responden sebagian besar adalah tani (33,3%) sedangkan wiraswasta,
PNS, buruh dan tidak bekerja masing-masing 16,7%.
4. Tingkat Pendidikan
Sebagian dari responden (50%) berpendidikan tidak lulus SD, tidak sekolah sebesar
33,3% dan 16,7% berpendidikan SD
5. Tipe Kusta
Dari 6 responden 83,3% bertipe MB sedangkan sisanya (16,7%) bertype PB,
secara epidemologis hal ini sangat beresiko terjadinya kecacatan bagi
penderita dan juga dapat menularkan kepada orang lain sehingga memungkinkan
terjadinya peningkatan jumlah penderita karena penularan.
6. Tingkat Kecacatan
Sebanyak 50% responden mengalami tingkat kecacatan dua. Hal ini sangat
memungkinkan untuk mencegah terjadinya kecacatan yang lebih lanjut, dan juga dapat
beresiko terjadinya kecacatan yang lebih parah, apabila tidak dirawat sedini mungkin.
Perilaku Responden Terhadap Pencegahan Kecacatan Kusta Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50,0 % responden berperilaku “cukup baik”
terhadap pencegahan kecacatan kusta, tapi masih terdapat responden yang belum berprilaku
“baik” dalam upaya pencegahan kecacatan kusta sebesar (33,3 %), tentunya ini perlu
mendapatkan perhatian tersediri khususnya oleh instansi terkait dalam rangka evalusi
penanggulangan penyakit kusta.
PEMBAHASAN Perilaku merupakan semua kegiatan atau aktivitas yang dikerjakan oleh seseorang hasil
dari dorongan dalam diri sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
kebutuhan dasar maupun (fisiologic need), kebutuhan akan rasa aman (safety need),
kebutuhan akan cinta dan memiliki (love need), kebutuhan akan rasa harga diri (esteem need),
serta kebutuhan akan rasa aktualisasi diri (aktualisasi need).7
Perilaku salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan, dimana pengetahuan dapat
diperoleh dari pendidikan. Pendidikan biasa diperoleh secara formal maupun informal.
Pengetahuan yang diperoleh secara informal seperti melalui penyuluhan – penyuluhan
kesehatan yang diberikan oleh para petugas kesehatan, dan lain – lain. Selain itu bisa juga
oleh karena faktor usia, semakin matang usia klien maka pengalaman pun semakin banyak.
Dalam arti bahwa pengalaman seseorang akan semakin bertambah sejalan dengan
bertambahnya usia, dan pengalaman merupakan salah satu pembelajaran yang sangat
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
42
bermakna dalam kehidupan, dalam hal ini keterkaitannya dengan perilaku pencegahan
kecacatan pada penderita kusta. Kusta merupakan salah satu penyakit yang sifatnya bias
menahun, maka dari setiap informasi yang diperoleh dan diiringi dengan
pengalaman,ditunjang dengan pendidikan yang memadai (melek huruf) maka kecacatan dapat
dicegah secara maksimal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal terdiri dari faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan penderita kusta tentang penyakitnya dan pencegahan kecacatan, sikap penderita
kusta terhadap penyakitnya dan program pengobatan yang diberikan oleh petugas kesehatan
serta pencegahan kecacatan, kepercayaan dan keyakinan tentang penderita terhadap
penyakitnya, nilai-nilai yang dianut. Faktor eksternal yang terdiri dari faktor pendukung dan
faktor pendorong.
Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau
tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas sebagai
tempat pelayanan kesehatan termasuk pengobatan bagi penderita kusta, alat-alat kesehatan
untuk pemeriksaan bagi penderita kusta yang tersedia di tempat pelayanan kesehatan seperti
mikroskope untuk pemeriksaan BTA, dan sebagainya. Faktor pendorong (reinforcing factors)
yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Perilaku pencegahan kecacatan
dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap penderita kusta. Pengetahuan merupakan
kemampuan penderita kusta dalam memahami dan mengerti tentang pencegahan kecacatan
kusta, sedangkan sikap meliputi keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki penderita kusta
tentang pencegahan kecacatan kusta.8
Ada beberapa perilaku pencegahan kecacatan yang harus dilaksanakan oleh penderita
kusta yang berhubungan dengan perawatan diri selama masih dinyatakan belum sembuh dari
penyakitnya, dan beresiko tinggi terjadinya kecacatan.
SIMPULAN Simpulan yang dapat diperoleh pada penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. 50,0 % responden berperilaku “cukup baik” terhadap pencegahan kecacatan kusta
2. Responden yang belum berprilaku “baik” dalam upaya pencegahan kecacatan kusta
sebesar 33,3% dan 16,7% yang berperilaku baik.
SARAN 1. Bagi Dinas Kesehatan
Setelah diperoleh informasi yang berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan peran dinas
kesehatan dapat menjadi secara aktif dalam upaya pencegahan kecacatan pada penderita
kusta. Perlu dilakukan screening guna penjaringan terhadap penyakit kusta, karena masih
banyaknya masyarakat yang menganggap bahwa kusta merupakan penyakit kutukan,
sehingga banyak yang merasa malu dan merupakan suatu aib bagi keluarga jika salah satu
anggota keluarganya ada yang mengidap penyakit kusta tersebut.
2. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan
dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat khususnya dalam faktor – faktor yang
mempengaruhi kinerja perawat dalam usaha pencegahan kecacatan penderita kusta.
DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. Buku pedoman pemberantasan penyakit kusta. Cetakan
IX. Jakarta: Direktorat Jendral PPM dan PLP; 1995
2. Anonim. Modul kusta. [diakses tanggal 01 september 2009]. Diunduh dari:
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
43
http://www.pusatlatihankustanasional.com.
3. Puskesmas Sindangwangi. Data Kusta. Majalengka; 2009
4. Arif B, Winarto. Artikel pengaruh faktor pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap
kegagalan pengobatan tuberkulosa paru di BP4. Semarang; 2004
5. Notoatmojo S. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Edisi 1. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2000
6. Friedman MM. Keperawatan keluarga. Edisi 3. Alih Bahasa: Ina Debora. Jakarta:
EGC;1998
7. Budioro B. Pengantar pendidikan (penyuluhan) kesehatan masyarakat. Semarang: Badan
Penerbit UNDIP; 2002
8. Azwar S. Sikap manusia teori dan pengukurannya. Cetakan V Yogyakarta: Pustaka pelajar;
2002
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
44
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN
KONTRASEPSI IUD
Heni Fa’riatul Aeni*, Mega Silvia**
ABSTRAK Penurunan penggunaan IUD merupakan salah satu kendala dalam melaksanakan strategi program KB seperti
tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 yakni meningkatkan kegunaan
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Pemakaian KB IUD di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul
mengalami penurunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan
penggunaan IUD seperti umur, paritas, tingkat pendidikan, izin suami dan pengetahuan. Jenis penelitian ini
observasi dengan metode survey dan pendekatan crossectional. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
menggunakan kuesioner pada 96 responden di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul. Data penelitian diolah
secara kuantitatif dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat dengan uji chi square. Hasil
penelitian menunjukkan ada hubungan antara umur dengan pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,000,
ada hubungan antara izin suami dengan pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,023, ada hubungan antara
pendidikan dengan pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,023, ada hubungan pengetahuan dengan
pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,035, tidak ada hubungan antara paritas dengan pemilihan
kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,659.
Kata kunci : Kontrasepsi IUD
ABSTRACT Decrease in the use of IUD is one of the constraints in implementing the family planning program strategi as
presented in The Long Term Development plan 2004-2009. Contraceptive method that improve the usefulness of
The Long Term. IUD use of family planning in rural districts Cintaasih Cingambul decreased. This studi aims to
determine the factors associated with the use of IUDs, such as age, parity, educational level, husband’s
permission and knowledge. This type of observation study with cross sectional survey method and approach.
Data collection is done by interview using a questionnaire in 96 respondents in the village district Cintaasih
Cingambul. Quantitative research data was processed using univariate and bivariate analysis, by using chi square
test. The results showed no relationship between age and contraceptive IUD selection with P value = 0,000, there
is relationship between a husband consent to the election with the election of IUD contraception with P value =
0,023, there is a correlation between education with the selectioan of contraceptive IUD with a value of P =
0,023, there is a relationship of knowledge to the selection of contraceptive IUD with a value of P = 0,035, there
is no relationship between parity with the selection of contraceptive IUD with a value of P = 0,659.
Keyword: contraceptive IUD
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
45
* Staf Pengajar Program Studi D III Kesehatan Lingkungan STIKes Cirebon.
** Alumni PSKM STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
PENDAHULUAN Keberhasilan keluarga berencana di Indonesia dengan tingkat prevalensi kontrasepsi 57
% menyebabkan pergeseran dari pelayanan kontrasepsi mengejar target menuju pelayanan
kontrasepsi yang lebih bermutu. Diharapkan pelayanan yang bermutu akan menunjang upaya
penurunan angka kematian Ibu dan bayi secara lebih bermakna.1
Pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas telah menjadi tuntutan
masyarakat, disamping merupakan kewajiban Pemerintah dan pemberi pelayanan untuk
menyediakannya. Tuntutan pelayanan yang berkualitas ini dipengaruhi dengan semakin
meningkatnya pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan, termasuk keluarga berencana dan
kesehatan reproduksi. Oleh karena itu pelayanan keluarga berencana dan kesehatan
reproduksi tidak lagi berorientasi pada pencapaian kuantitas tetapi berorientasi pada
pemenuhan, permintaan, serta penyediaan pelayanan yang berkualitas, dengan demikian
program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi diarahkan untuk memaksimalkan akses
dan kualitas pelayanan.2
Intra uterine Device (IUD) merupakan pilihan kontrasepsi efektif, aman dan nyaman
bagi wanita bila dibandingkan dengan alat kontrasepsi yang lain. Dewasa ini diperkirakan
lebih dari 100 juta wanita yang memakai IUD, hampir 40% nya terdapat di Cina. Sebaliknya
hanya 6% di Negara maju dan 0,5% di Negara bagian Afrika. Dalam tahun pertama program
nasional keluarga berencana di Indonesia sebagian besar akseptor (55 %) memilih IUD, 27 %
pil dan 18 % memilih alat kontrasepsi lain. Tetapi pada tahun – tahun berikutnya pengguna
IUD mengalami penurunan dari 10,9% pada tahun 2002-2003 menjadi 5,4% pada tahun 2006.
Pada tahun 2009 di Kabupaten Majalengka sudah tercatat 200.130 akseptor tetapi yang
menggunakan kontrasepsi IUD hanya 13.967 akseptor atau sekitar 6,98 %, Di kecamatan
Cingambul pada tahun 2010 dari 13.433 akseptor yang menggunakan IUD sebanyak 840
atau sekitar 6.25%. Saat ini IUD merupakan alat kontrasepsi yang kurang diminati oleh
wanita yang berstatus pasangan usia subur dibandingkan dengan pengguna KB suntik
(47.08%) dan pemakai pil KB sebesar (17.11%), padahal IUD merupakan alat kontrasepsi
yang lebih efektif dari pada alat kontrasepsi lain.3Sedangkan di Desa Cintaasih pada tahun
2010 dari 474 PUS, akseptor yang menggunakan IUD sebanyak 179 akseptor (27,88%).4
Beberapa faktor yang berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi IUD yaitu umur,
tingkat pendidikan, paritas, izin suami dan pengetahuan. Alat atau cara KB modern popular di
antara wanita di semua umur. Namun demikian pemakaian kontrasepsi pada wanita yang
berumur lebih muda dan yang berumur lanjut lebih rendah dibandingkan mereka yang
berumur 20-39 tahun. Wanita muda cenderung menggunakan cara suntik, pil dan implant
sementara mereka yang lebih tua cenderung memilih alat atau cara kontrasepsi jangka
panjang seperti IUD, sterilitas wanita dan sterilitas pria.1
Desa Cintaasih merupakan desa paling ujung disebelah selatan Kecamatan Cingambul
dengan keadaan geografis daerah pegunungan yang letak pemukiman penduduknya saling
berjauhan sehingga jangkauan terhadap pelayanan sangat sulit yang akhirnya aksesibilitas
pelayanan tidak merata. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, masih banyaknya ibu
yang melahirkan pada umur kurang dari 20 tahun dan pada umur lebih dari 35 tahun, sehingga
hal ini mempunyai risiko dalam persalinannya. Pengetahuan masyarakat tentang alat
kontrasepsi masih kurang karena kurang terpaparnya oleh penyuluhan, penghasilan
masyarakatnya masih rendah karena mayoritas mata pencaharian masyarakatnya adalah petani
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
46
penggarap. Cakupan akseptor IUD masih rendah hanya 27,88% yang merupakan cakupan
paling rendah dibandingkan dengan 12 desa lain yang ada di Kecamatan Cingambul. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan pemilihan
kontrasepsi IUD pada PUS di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka
tahun 2010.4
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode rancangan survey analitik dengan
menggunakan pendekatan cross sectional yaitu variabel independen dan variabel dependen
diukur pada satu waktu terhadap satu kelompok, one shot artinya satu kali tembak.5 variabel
dependen (variabel terikat) adalah pemilihan kontrasepsi IUD di Desa Cintaasih Puskesmas
Cingambul Kabupaten Majalengka Tahun 2010 dan variabel independen (variabel bebas)
adalah variabel yang diperkirakan ada hubungan dengan pemilihan kontrasepsi IUD, yaitu:
umur, tingkat pendidikan, paritas, izin suami, pengetahuan.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PUS yang menggunakan alat kontrasepsi
di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka pada bulan Januari sampai
bulan Juni tahun 2010 sebanyak 474 orang. Sampel yang digunakan dihitung dengan
menggunakan rumus estimasi proporsi menurut Lemeshow,6 sebagai berikut :
Z² a/2 xP(1-P)
n =
d²
Keterangan :
n
P
d
=
=
=
Besar sampel minimal
Proporsi kejadian pada penelitian sebelumnya, bila tidak
ada (50%) = 0,5
Presisi = 10% =0,1
Z a/2 = Tingkat kepercayaan 95%
n = 1,96² x 0,5 x 0,5
0,01
= 0,96
0,01
= 96
Pengambilan sampel dengan cara systematic random.
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan kuesioner . Data
yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan
menggunakan kuesioner sedangkan data sekunder meliputi data akseptor diperoleh dari
laporan bulanan puskesmas.
Analisis dilakukan dengan 2 cara yaitu analisis univariat (menganalisis tiap variabel dari
hasil penelitian yang menghasilkan distribusi dan persentasi dari tiap variabel.7 Analisis kedua
yang dilakukan adalah analisis bivariat yang bertujuan untuk melihat hubugan antara variabel
bebas dan variabel terikat dengan membuat tabulasi silang antara dua variabel. Untuk analisis
bivariat ini dilakukan uji statistik dengan Kai Kuadrat (Chi square).7
HASIL PENELITIAN
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
47
Pemilihan Kontrasepsi Dari 96 responden terdapat 54 responden (56,3%) yang mempunyai pilihan bukan
kontrasepsi IUD dan sebanyak 42 responden (43,8%) yang mempunyai pilihan kontrasepsi
IUD.
Umur Dari 96 responden berusia antara 16 tahun sampai dengan 42 tahun dengan nilai rata-rata
25,39 tahun.
Paritas Dari 96 responden dengan jumlah paritasnya < 4 kali sebanyak 55 responden (57,3%).
sedangkan responden yang jumlah paritasnya ≥ 4 kali sebanyak 41 responden (42,7% ).
Tingkat Pendidikan
Berdasarkan pada tabel 5.7 dapat dilihat bahwa dari 96 responden, yang berpendidikan
rendah sebanyak 55 responden (57,3%), sedangkan responden yang berpendidikan tinggi
sebanyak 41 responden (42,7% ).
Izin Suami Dari 96 responden, yang suaminya tidak mengizinkan untuk menggunakan alat
kontrasepsi IUD yaitu sebanyak 57 responden (59,4%), sedangkan responden yang suaminya
mengizinkan untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD sebanyak 39 responden (40,6% ).
Tingkat Pengetahuan
Dari 96 responden, yang tingkat pengetahuannya kurang yaitu sebanyak 86 responden
(89,6%), sedangkan responden yang tingkat pengetahuannya baik sebanyak 10 responden
(10,4% ).
Hubungan Antara Umur Dengan Pemilihan Kontrasepsi
Tabel 1 Hubungan Antara Umur Dengan Pemilihan Kontrasepsi
Umur
Pemilihan Kontrasepsi Nilai P
(Uji-t) Bukan IUD IUD
n Mean SD n Mean SD
54
25,39
6,49
42
34,69
3,15
0,000
Dengan uji-t perbedaan rata-rata menunjukan nilai P= 0,000, maka dapat
disimpulkan ada perbedaan antara umur dengan pemilihan kontrasepsi IUD.
Hubungan Antara Paritas Dengan Pemilihan Kontrasepsi.
Tabel 2 Hubungan Antara Paritas Dengan Pemilihan Kontrasepsi
Paritas Pemilihan Kontrasepsi
Total
P
Value Bukan IUD IUD
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
48
n % n % n %
< 4
≥ 4
32
22
58,2
53,7
23
19
41,8
46,3
55
41
100,0
100,0
0,659 Total 54 56,3 42 43,8 96 100,0
Tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemilihan
kontrasepsi IUD.
Hubungan Antara Pendidikan Dengan Pemilihan Kontrasepsi.
Tabel 3 Hubungan Antara Pendidikan Dengan Pemilihan Kontrasepsi
Pendidikan
Pemilihan Kontrasepsi
Total
P
Value
Bukan IUD IUD
n % n % n %
Rendah
Tinggi
37
17
67,3
41,5
18
24
32,7
58,5
55
41
100,0
100,0
0,012
Total 54 56,3 42 43,8 96 100,0
Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan pemilihan kontrasepsi
IUD.
Hubungan Antara Izin Suami Dengan Pemilihan Kontrasepsi.
Tabel 4 Hubungan Antara Izin Suami Dengan Pemilihan Kontrasepsi
Izin Suami
Pemilihan Kontrasepsi
Total
P
Value
Bukan IUD IUD
n % n % n %
Tidak Mengizinkan
Mengizinkan
38
16
66,7
41,0
19
23
33,3
59,0
57
39
100,0
100,0
0,013
Total 54 56,3 42 43,8 96 100,0
Ada hubungan yang bermakna antara izin suami dengan pemilihan kontrasepsi
IUD.
Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Pemilihan Kontrasepsi.
Tabel 5 Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Pemilihan
Kontrasepsi
Pengetahuan
Pemilihan Kontrasepsi
Total
P
Value
Bukan IUD IUD
n % n % n %
Kurang
Baik
52
2
60,5
20,0
34
8
39,5
80,0
86
10
100,0
100,0
0,015
Total 54 56,3 42 43,8 96 100,0
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
49
Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemilihan kontrasepsi.
PEMBAHASAN
Hubungan Antara Umur Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD PUS yang berumur < 20 tahun cenderung jarang menjadi akseptor KB kemungkinan
disebabkan masih kurang dalam hal pengetahuan dan pengalaman tentang pentingnya
program KB serta kebanyakan baru melahirkan satu kali, sedangkan PUS yang umurnya > 35
tahun kemungkinan mereka sudah melahirkan lebih dari tiga kali dan lebih cenderung
memilih alat kontrasepsi yang lain sepeti imflan atau MOW.
Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang lain yaitu Dewi Haryani yang
menyatakan ada hubungan yang bermakna antara umur PUS dengan pemilihan kontrasepsi
IUD, PUS yang berumur < 20 tahun dan > 35 tahun pemilihan kontrasepsi bukan IUD.8
Menurut Maryani di Puskesmas Cikijing Kabupaten Majalengka PUS yang berumur <
20 tahun dan > 35 tahun kurang memilih kontrasepsi IUD, dan PUS yang berumur 20 tahun –
35 tahun cenderung pemilihan kontrasepsinya IUD. Dengan demikian dari hasil penelitian
Farida dapat diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan pemilihan
kontrasepsi IUD.9
Hubungan Antara Paritas Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD
Paritas merupakan faktor penting dalam menentukan pemilihan kontrasepsi. Paritas tinggi
lebih cenderung memilih alat kontrasepsi yang dapat menghentikan kehamilan.9Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan
pemilihan kontrasepsi IUD di desa Cintaasih Puskesmas Cingambul Kabupaten Majalengka.
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian yang lain seperti Ovita Mayasari di
Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara paritas dengan pemilihan kontrasepsi IUD.10
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD Pentingnya pendidikan bagi PUS karena dapat mempengaruhi tingkat pengertian
terhadap kesehatan dan penggunaan alatkontrasepsi IUD. Pendidikan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi
pendidikan, semakin mudah pula menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi
serta meningkatkan kesejahteraan keluarga.8
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan dengan pemilihan kontrasepsi IUD. Hasil ini berbeda dengan penelitian-
penelitian yang lain seperti Ovita Mayasari di Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan
pemilihan kontrasepsi IUD, PUS yang pendidikannya tinggi lebih banyak memilih
kontrasepsi IUD dibandingkan dengan PUS yang pendidikannya rendah.10
Namun berbeda
dengan hasil penelitian Dewi Haryani yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara
pendidikan dengan memilihan kontrasepsi IUD.8
Hubungan Antara Izin Suami Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD
Peran dan tanggung jawab laki-laki dalam kesehatan reproduksi sangat berpengaruh
terhadap kesehatan perempuan. Keputusan penting seperti siapa yang akan menolong
persalinan istri, atau metode kontrasepsi yang akan dipakai oleh istri, kebanyakan masih
ditentukan secara sepihak oleh suami.11
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
50
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah ada hubungan yang bermakna antara izin
suami dengan pemilihan kontrasepsi IUD. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ovita Mayasari yang menyatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara izin suami dengan minat PUS dalam menggunakan alat kontrasepsi IUD.10
Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD Terbentuknya pengetahuan tentang pemilihan kontrasepsi IUD didasari oleh tingkat
pendidikan. Maka semakin tinggi tingkat pendidikan PUS makin baik tingkat pengetahuannya
tentang pemilihan kontrasepsi IUD.8Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia
sebagai hasil penggunaan panca indra yang dekat sekali dengan kepercayaan, takhayul,
penerangan penerangan yang keliru.12
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
dengan pemilihan kontrasepsi IUD. Hasil yang sama pula didapatkan dari penelitian yang
dilakukan oleh Farida yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan PUS
tentang kontrasepsi IUD maka semakin memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD,
sedangkan PUS yang tidak memilih kontrasepsi IUD persentase terbesar ada pada kelompok
yang pengetahuannya rendah.11
SIMPULAN
1. Ada hubungan yang bermakna antara umur dengan pemilihan kontrasepsi IUD di Desa
Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010
2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemilihan kontrasepsi IUD di
Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010
3. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pemilihan
kontrasepsi IUD di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010
4. Ada hubungan yang bermakna antara izin suami dengan pemilihan kontrasepsi IUD di
Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010
5. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemilihan kontrasepsi IUD
di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010
SARAN 1. Untuk Dinas Kesehatan
1) Melakukan monitoring atau pengawasan kepada petugas untuk meningkatkan
pengetahuan kepada PUS tentang pentingya menggunakan alat kontrasepsi sehingga
mereka dapat menentukan pilihan yang tepat dalam menggunakan alat kontrasepsi.
2) Dengan masih rendahnya minat terhadap kontrasepsi IUD diharapkan promosi
kesehatan tentang keluarga berencana di tingkatkan.
2. Untuk Puskesmas
1) Memberikan penyuluhan khusus kepada PUS tentang pentingnya menggunakan alat
kontrasepsi secara kualitas maupun kuantitas
2) Pemerataan bidan desa dan petugas penyuluhan keluarga berencana sehingga
pelaksanaan penyuluhan tentang penggunaan alat kontrasepsi dapat dilaksanakan
sampai tingkat keluarga
3. Untuk Masyarakat
Harus lebih aktif ikut serta apabila ada petugas kesehatan memberikan informasi dan
penyuluhan mengenai KB, dan lebih seportif untuk bertanya kepada petugas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kesehatan reproduksi, Jakarta: Depkes
RI;2001
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
51
2. Saifuddin AB. Panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Jakarta: Yayasan bina pustaka;
2003
3. Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Profil kesehatan Kabupaten Majalengka.
Dinkes Kabupaten Majalengka; 2009
4. Puskesmas Cingambul. Laporan evaluasi tahunan, Puskesmas Cingambul. Majalengka;
2009
5. Arikunto S. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta;2004
6. Lameshow S,dkk. Besar sampel dalam penelitian kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press; 1997
7. Murti B. Penerapan metode statistik non parametrik dalam ilmu kesehatan. Jakarta:
Granmedia Pustaka Utama; 1997
8. Haryani D. Faktor-faktor yang mempengaruhi akseptor KB dalam pemilihan penggunaan
jenis kontrasepsi IUD Di Kelurahan Prenggan Kecamatan Kota Gede Yogyakarta.
[skripsi]. Yogyakarta;2009
9. Maryani. Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi minat PUS dalam penggunaan alat
kontrasepsi IUD Di Kecamatan Cikijing Kabupaten Majalengka.[KTI]. Cirebon: Poltekes
Tasikmalaya; 2009
10. Mayasari O. Hubungan beberapa faktor internal dan eksternal dengan pemakaian alat
kontrasepsi IUD Di Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik. [skripsi].Semarang:
FKM Universitas Diponegoro; 2008
11. Farida. Karakteristik ibu hamil yang memanfaatkan pelayanan antenatal di puskesmas
Muara bualin kabupaten batang hari. Jakarta: FKM UI; 1998.
12. Soerjono S. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Rajawali pers; 2001.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
52
PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI COMBO
PADA BAYI
Rahayu Widiarti*, Lisnayati**
ABSTRAK
Tingginya angka kematian bayi masih merupakan masalah nasional. Penyebab kematian bayi tersebut sebagian
basar adalah akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, antara lain TBC, batuk rejan, polio,
campak difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Sehingga dengan intervensi sebenarnya angka kematian bayi
dapat diturunkan.Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang
imunisasi combo pada bayi di Desa Cempaka Kabupaten Cirebon periode Januari – April tahun 2010. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian ini berlokasi di Desa Cempaka Kabupaten Cirebon. Dengan populasi
39 orang dan sampel diambil secara total populasi berjumlah 39 orang. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari
yaitu pada tanggal 18-20 Agustus 2010. Pengambilan data dengan menggunakan kuesioner tertutup dengan 10
pertanyaan dengan menggunakan teknik wawancara. Data yang telah diolah selanjutnya dianalisa secara
univariabel. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan hasil pengetahuan ibu tentang
imunisasi Combo pada bayi yang menjadi responden berpengetahuan cukup tentang pengertian imunisasi
Combo pada bayi sebesar 31 orang (79,49%), berpengetahuan baik tentang manfaat imunisasi Combo pada bayi
sebesar 22 orang (56,41% ).
Kata kunci : Pengetahuan, imunisasi Combo
ABSTRACT
Baby mortality rate height stills to be national problem. Baby death cause a big part diseases consequence that
preventable with immunization, among others tuberculosis, whooping, polio, fling down difteri, pertusis, tetanus
and hepatitis B. So that with intervention actually baby mortality rate derivable. This watchfulness aim is in
general to detects mother erudition description about immunization combo in baby at village cempaka regency
Cirebon period January-April years 2010. This watchfulness kind descriptive. This watchfulness locates at
village Cempaka regency Cirebon. With population 39 person and sample is taken according to population total
numbers 39 person. This watchfulness is done during 3 days that is on 18-20 August 2010. Data taking by using
kuesioner closed with 10 questions. Data that cultivated furthermore analyzed according to univariat. Based on
watchfulness result shows that found mother erudition result about immunization combo in baby as big as 31
person (79,49%) great on immunization benefits combo in baby as big as 22 person (56,41%).
Keyword : Knowledge, immunization combo
* Staf Pengajar Program Studi D III Kebidanan STIKes Cirebon.
** Alumni D III Kebidanan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
53
PENDAHULUAN
Salah satu indikator untuk menilai derajat kesehatan masyarakat adalah angka kematian
bayi dan anak serta kelahiran yang masih tinggi, merupakan hambatan utama dalam
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Berdasarkan penelitian WHO di
seluruh dunia terdapat lebih dari 2 juta kematian bayi masih terjadi setiap tahun akibat
penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi.1
Sejauh ini, kematian anak dibawah usia 1 tahun di Indonesia sangat tinggi, menurut
survei demografi dan kesehatan Indonesia angka kematian bayi tahun 2007 adalah 34 per
1.000 kelahiran hidup.2 Tingginya angka kematian bayi di Indonesia disebabkan oleh berbagai
faktor, di antaranya adalah faktor penyakit infeksi dan kekurangan gizi. Penyebab kematian
bayi yang lainnya adalah berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
seperti TBC, Diphteri, Pertusis atau Batuk Rejan, Tetanus, Hapatitis B, Polio dan Campak.
Hal ini terjadi karena masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk memberi imunisasi pada
anak.
Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap suatu
penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau
dimatikan. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat
menghasilkan zat anti yang pada akhinya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau
bibit penyakit yang menyerang tubuh.3
Pengetahuan ibu tentang imunisasi akan membentuk sikap positif terhadap kegiatan
imunisasi, hal ini juga merupakan faktor dominan dalam keberhasilan imunisasi. Dengan
pengetahuan yang baik yang ibu miliki maka kesadaran untuk mengimunisasikan bayi akan
meningkat, pengetahuan yang dimiliki ibu tersebut akan menimbulkan kepercayaan ibu
tentang kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi.4
Demi melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia di seluruh dunia, Sanofi Pasteur
memberikan kontribusi besar untuk memenuhi target global yang dinyatakan dalam tonggak
bersejarah aliansi global untuk vaksin dan imunisasi (GAVI Alliance) untuk target imunisasi
selektif. Diantaranya pada tahun 2010 atau lebih cepat, seluruh negara akan memiliki cakupan
imunisasi rutin sebasar 90% secara nasional dan setidaknya 80% cakupan imunisasi di setiap
daerah.5
Salah satu program pemerintah dalam menurunkan angka kematian bayi dan anak
akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu melalui program lima imunisasi
dasar lengkap, program imunisasi merupakan perioritas utama dalam bidang kesehatan.
Dari data Dinas Kesahatan Kabupaten Cirebon, tercatat target imunisasi BCG 98%,
pencapaian 90,47%, Combo1 98%, pencapaian 92,05%, Combo2 95%, pencapaian 90,30%,
Combo3 93%, pencapaian 89,31%, campak 90%, pencapaian 89,61%, polio1 90% pencapaian
89,61%, polio2 98%, pencapaian 95,60%, polio3 93%, pencapaian 91,85%, polio4 90%,
pencapaian 90,29%, HB0 70%, pencapaian 82,06%. Angka kematian bayi berjumlah 329
orang pada tahun 2009.
Dari hasil studi pendahuluan di Desa Cempaka wilayah kerja Puskesmas Talun, bahwa
ibu yang mempunyai bayi berusia 0-11 bulan yang berkunjung untuk mengimunisasi anaknya
pada bulan Januari sampai April 2010 sebanyak 39 orang, Dimana 36 orang mendapatkan
imunisasi Combo dan 3 orang (7,7%) tidak mendapatkan imunisasi Combo. Tujuan dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang imunisasi combo
pada bayi di desa Cempaka Kabupaten Cirebon periode Januari-April tahun 2010”.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
54
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan secara deskriptif yaitu penelitian yang dimaksud untuk
membuat pencandraan (deskripsi) mengenai faktor-faktor situasi atau kejadian tertentu pada
waktu bersamaan yang menggambarkan data sekunder dan data primer yang tercatat di rekam
medik/KMS atau buku KIA di Puskesmas Talun desa Cempaka pada periode Januari sampai
dengan bulan April tahun 2010. Dalam penelitian ini yang menjadi variabelnya adalah
gambaran pengetahuan orang tua bayi usia 0-11 bulan. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu yang bayinya tercatat sebagai sasaran imunisasi Combo yang berkunjung ke Desa
Cempaka Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon periode Januari – April tahun 2010.
Berdasarkan data di Desa Cempaka pada bulan Januari sampai April tahun 2010, jumlah
sasaran bayi usia 0-11 bulan sebanyak 39 orang, Sampel yang digunakan pada penelitian ini
diambil dengan cara total populasi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner
dan teknik pengumpulan data dengan wawancara.6
Untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara deskriptif. Dalam analisa data
penulis menggunakan analisa Univariat yaitu menghasilkan distribusi frekuensi dan
persentase dari tiap variabel.
Dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
P = Jumlah persentase jawaban
F = Jumlah jawaban atau frekuensi
N = Jumlah responden
Kriteria Hasil:
Baik = 76 – 100 % Kategori baik apabila pertanyaan dijawab benar oleh
responden 76 – 100 %.
Cukup = 56 – 75 % Kategori baik apabila pertanyaan dijawab cukup oleh
responden 56 – 76 %.
Kurang = ≤ 55 % Kategori baik apabila pertanyaan dijawab kurang oleh
responden ≤ 55 %.
HASIL PENELITIAN
Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi Combo pada Bayi
Diagram 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi Combo pada Bayi
P = F x 100%
N
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN
Diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi combo pada bayi frekuensi
terbanyak cukup sebanyak 23 orang (58,97%), pengetahuan baik 10 orang (25,65%) dan
pengetahuan kurang 6 orang (15,38%).
Pengetahuan Ibu tentang Pengertian
Tabel 1 Frekuensi Pengetahuan
No. Pengertian Imunisasi
Combo
1 Baik
2 Cukup
3 Kurang
Total
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang pengertian
Imunisasi Combo ditemukan hasil berpengetahuan baik 3 orang (7,69 %),
berpengetahuan cukup 31 orang (79,49 %) dan pengetahuan kurang 5 orang (12,82 %).
Pengetahuan Ibu tentang Manf
Tabel 2 Frekuensi Pengetahuan
No. Manfaat Imunisasi Combo
1 Baik
2 Cukup
3 Kurang
Total
Pengetahuan ibu tentang manfaat
baik 22 orang ( 56,41 %), berpengetahuan cukup 11 orang (28,21 % ) dan pengetahuan
kurang 6 orang (15,38 %).
PEMBAHASAN
Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi Combo
Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengi
manusia, yakni: penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagai berikut besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui telinga.
dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
58,97
15,38
Pengetahuan ibu tentang imunisasi combopada bayi di Desa Cempaka
JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
Diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi combo pada bayi frekuensi
sebanyak 23 orang (58,97%), pengetahuan baik 10 orang (25,65%) dan
tahuan kurang 6 orang (15,38%).
engertian Imunisasi Combo pada Bayi
engetahuan Ibu tentang Pengertian Imunisasi Combo pada bayi
Pengertian Imunisasi
Frekuensi Persentase
3 7,69 %
31 79,49 %
5 12,82 %
39 orang 100 %
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang pengertian
Imunisasi Combo ditemukan hasil berpengetahuan baik 3 orang (7,69 %),
berpengetahuan cukup 31 orang (79,49 %) dan pengetahuan kurang 5 orang (12,82 %).
anfaat Imunisasi Combo pada Bayi
engetahuan Ibu tentang Manfaat Imunisasi Combo pada Bayi
Manfaat Imunisasi Combo Frekuensi Persentase
22 56,41 %
11 28,21 %
6 15,38 %
39 orang 100 %
engetahuan ibu tentang manfaat imunisasi combo ditemukan hasil berpengetahuan
baik 22 orang ( 56,41 %), berpengetahuan cukup 11 orang (28,21 % ) dan pengetahuan
bu tentang Imunisasi Combo
dalah merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagai berikut besar
manusia diperoleh melalui telinga. Pengetahuan atau kongnitif merupakan
dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.7
25.65
58,97
15,38
Pengetahuan ibu tentang imunisasi combopada bayi di Desa Cempaka
Baik
Cukup
Kurang
55
Diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi combo pada bayi frekuensi
sebanyak 23 orang (58,97%), pengetahuan baik 10 orang (25,65%) dan
ayi
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang pengertian
Imunisasi Combo ditemukan hasil berpengetahuan baik 3 orang (7,69 %),
berpengetahuan cukup 31 orang (79,49 %) dan pengetahuan kurang 5 orang (12,82 %).
ombo ditemukan hasil berpengetahuan
baik 22 orang ( 56,41 %), berpengetahuan cukup 11 orang (28,21 % ) dan pengetahuan
dalah merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan
lui panca indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagai berikut besar
Pengetahuan atau kongnitif merupakan
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
56
Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan Ibu tentang imunisasi combo pada bayi dengan
frekuensi terbanyak adalah pengetahuan cukup yaitu 23 orang (58,97%). Hal ini bisa
disebabkan oleh faktor pendidikan dari responden. Pendidikan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi persepsi seseorang karena dapat membuat seseorang untuk lebih mudah
menerima ide-ide dan teknologi baru. Mereka yang mempunyai tingkat pendidikan yang
tinggi cenderung memanfaatkan pelayanan kesehatan.7
Dengan pengetahuan itu akan menyebabkan orang berperilaku sesuai yang dimilikinya.
Maka dibutuhkan penyampaian informasi dengan menggunakan teknik komunikasi yang baik
atau konseling kepada ibu yang mempunyai balita tetang pentingnya imunisasi combo pada
bayi.
Pengetahuan Ibu tentang Pengertian Imunisasi Combo Imunisasi Combo adalah suatu vaksin yang dapat melindungi terhadap difteri, pertusis,
tetanus dan hepatitis B.4Hasil penelitian pengetahuan ibu tentang pengertian Imunisasi
Combo, didapatkan hasil responden dengan frekuensi terbanyak pengetahuan cukup yaitu 31
orang (79,49 %). Hal ini dikarenakan sebagian besar ibu belum mendapatkan informasi
tentang pengertian imunisasi combo dari petugas kesehatan.
Pengetahuan Ibu bayi tentang pengertian imunisasi combo ini sangat penting sekali,
dengan kurangnya pengetahuan tersebut maka akan berpengaruh terhadap langkah
pencegahan terhadap penyakit difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Dalam hal ini solusi
yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan ibu bayi dengan memberikan
informasi yang jelas dan mudah dimengerti oleh ibu.
Pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi combo Salah satu manfaat dari imunisasi adalah tubuh akan membuat zat anti dalam jumlah
banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap penyakit. Jadi tujuan imunisasi combo adalah
membuat anak kebal terhadap penyakit difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Selain itu
manfaat pemberian imunisasi adalah untuk anak mencegah penderitaan yang disebabkan oleh
penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian.1
Hasil penelitian pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi combo didapatkan hasil
responden mempunyai pengetahuan baik 22 orang (56,41 %). Hal ini dikarenakan sebagian
besar ibu sudah mempunyai pengalaman dari mengimunisasi anak sebelumnya karena
pengalaman dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan. Selain itu ibu sudah mendapatkan
informasi dan konseling tentang imunisasi combo dari petugas kesehatan.
SIMPULAN 1 Gambaran pengetahuan ibu tentang imunisasi combo pada bayi di desa Cempaka
kabupaten Cirebon tahun 2010 menunjukkan bahwa frekuensi terbanyak adalah
pengetahuan cukup yaitu 23 orang (58,97 %).
2 Gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian imunisasi combo pada bayi di desa
cempaka kabupaten Cirebon tahun 2010 menunjukkan bahwa frekuensi terbanyak
adalah pengetahuan cukup yaitu 31 orang (79,49 %).
3 Gambaran pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi combo pada bayi di desa
cempaka kabupaten Cirebon tahun 2010 menunjukkan bahwa frekuensi terbanyak
adalah pengetahuan baik yaitu 22 orang (56,41 %).
SARAN Beberapa saran dapat dikemukakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Bagi Bidan
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
57
Perlu meningkatkan penyuluhan dan pelayanan tentang imunisasi khususnya imunisasi
combo diwilayah binaan, sehingga diharapkan setiap bulan ibu mau menimbang bayinya
dan mendapatkan pelayanan imunisasi.
2. Bagi Ibu Yang Memiliki Bayi Usia 0-11 Bulan
Hendaknya ibu lebih banyak mencari informasi tentang imunisasi combo melalui
spanduk LIL (lima imunisasi dasar lengkap) yang ada di posyandu yang menerangkan
tentang manfaat, cara pemberian, jadwal pemberian, efek samping dan kontra indikasi
dari imunisasi combo dan berkonsultasi dengan bidan yang ada di desa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pasteur, S. (2009). “Cakupan imunisasi”.[diakses tanggal 17 Mei 2010]. Di unduh dari
http://www.depkes.co.id.
2. Anonim. Lima imunisasi wajib. [diakses tanggal 24 Mei 2010]. Di unduh dari
http://www.kompas.com.
3. Marimbi, Hanum. Tumbuh kembang, status gizi dan imunisasi dasar pada balita.
Yogyakarta: Penerbit Nuha Medika; 2010.
4. Anonim. Vaksin. [diakses tanggal 02 Agustus 2010]. Di unduh dari http://www.wikipedia
ensiklopedia bebas.com.
5. Pasteur S. Cakupan Imunisasi. [diakses tanggal 17 Mei 2010]. Di unduh dari
http://www.depkes.co.id.
6. Notoatmodjo, S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta; 2010
7. Notoatmodjo, S.Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta; 2003
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
58
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
LUAR BIASA (KLB) PENYAKIT CHIKUNGUNYA
Herlinawati*, Siti Rodiyah**
ABSTRAK
Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya, genus alphavirus, famili togaviridae. Berdasarkan
laporan Puskesmas Ciperna Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon Bulan Mei tahun 2010 tersangka demam
chikungunya didesa kubang Kecamatan Talun sebanyak 50 orang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
hubungan mobilitas, kepadatan hunian, container index, pengetahuan, sikap, dengan kejadian penyakit
chikungunya. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan case control studi. Populasi dalam
penelitian adalah seluruh jumlah penduduk di dua dusun sedangkan sampelnya sebanyak 50 orang kasus dan 50
orang kontrol, pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner sedangkan kasus
chikungunya diambil dari laporan Puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan mobilitas tinggi 50%, Hunian yang
padat 6%, container index yg kurang baik 56%, pengetahuan yang kurang baik 52%, sikap yang kurang baik
42%. Dari hasil pengujian hipotesis disimpulkan bahwa ada hubungan antara mobilitas (p=0,046), container
index (p=0,016), pengetahuan (p=0,045) dan sikap (p=0,015) dengan terjadinya KLB penyakit chikungunya
sedangkan kepadatan hunian tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya KLB penyakit chikungunya (p=
0,400).
Kata kunci : KLB, Penyakit chikungunya
ABSTRACT Chikungunya fever caused by chikungunya virus, genus alphaviruses, togaviridae family. Based Health Center
reports Ciperna Talun Cirebon District in May of 2010 suspected chikungunya fever in villages kubang District
Talun 50 people. The purpose of this study to determine the relationship of mobility, density, container index,
knowledge, attitudes, with the incidence of chikungunya disease. The study was an analytical survey was a case
control study. The population in this study is the total population in the two hamlets while the patient sample as
many as 50 people chikungunya cases and 50 controls, data retrieval is done by interview using a questionnaire
while the cases of chikungunya were taken from the consolidated health centers. The results showed a high
mobility 50%, a solid 6% Occupancy, container index of 56% which is less good, less good knowledge 52%,
unfavorable attitude 42%. From the results of hypothesis testing concluded that there is a relationship between
mobility (p = 0.046), container index (p = 0.016), knowledge (p = 0.045) and attitude (p = 0.015) with the
occurrence of outbreaks of chikungunya while the density has no relation with the occurrence of Outbreaks of
chikungunya disease.
Keywords : Outbreak, Chikungunya Disease
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
59
* Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKes Cirebon. ** Alumni PSKM STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010
PENDAHULUAN Penyakit chikungunya adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, yang di
tularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan dapat menimbulkan sakit
seperti membungkuk akibat nyeri hebat (arthragia), nyeri sendi terutama terdapat pada lutut,
pergelangan kaki serta persendian tangan.1
Wabah demam chikungunya pertama kali dilaporkan di Tanzania pada tahun 1952, di
Uganda pada tahun 1963 kemudian menyebar ke beberapa negara Afrika diantaranya Senegal,
Angola, Afrika Selatan dan Negara-negara Asia sampai menimbulkan pandemi. Wabah
chikungunya juga di laporkan terjadi di India dan Srilangka. Ada gelombang epidemi 20
tahunan yang mungkin terkait dengan perubahan iklim dan cuaca. Antibodi yang timbul dari
penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya, oleh karena itu
perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali.1
Di Indonesia, kejadian luar biasa demam chikungunya di laporkan terjadi di beberapa
propinsi pada tahun 1982, seperti Samarinda, kemudian berjangkit di Kuala Tungkal,
Martapura, Ternate, Yogyakarta selanjutnya berkembang ke wilayah-wilayah lain. Awal
2001, kejadian luar biasa (KLB) demam chikungunya terjadi di Muara Enim, Sumatera
Selatan dan Aceh. Di susul Bogor bulan Oktober. Pada tahun 2002 demam chikungunya
berjangkit lagi di Bekasi (Jawa Barat), Purworejo dan Klaten (Jawa Tengah) jumlah kasus
chikungunya yang terjadi sepanjang tahun 2001-2003 mencapai 3.918 kasus tanpa kematian.2
Di propinsi Jawa Barat periode, Tri wulan IV tahun 2009 telah terjadi kejadian luar
biasa (KLB) sebanyak 43 kali yang tersebar di beberapa daerah di propinsi Jawa Barat dengan
jumlah kasus 2.468 tanpa kematian.3 Di Kabupaten Cirebon periode 2007 s/d 2009 jumlah
penderita chikungunya cukup banyak jumlahnya yang tersebar di beberapa kecamatan: pada
tahun 2007 jumlah penderita sebanyak 183 orang tanpa kematian. Tahun 2008 terjadi
peningkatan penderita yaitu 775 orang. Tahun 2009 terjadi penurunan kembali yaitu sebanyak
137 orang sedang tahun 2010 dari Januari sampai April, jumlah penderita mencapai 332
orang. Pada bulan Maret – April di Puskesmas Ciperna telah terjadi kejadian luar biasa (KLB)
Demam chikungunya yang menimpa desa Kubang sebanyak 50 orang, kejadian ini
merupakan kejadian yang pertama kali di desa Kubang yang berada di wilayah kerja
Puskesmas Cipena Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon.4
Faktor lingkungan dan faktor manusia akan dapat mempengaruhi berkembang biaknya
mikroorganisme dan virus serta mempercepat proses penyebaran dan penularan penyakit
demam chikungunya di suatu wilayah sehingga dapat menimbulkan kejadian luar biasa.5
Melihat jumlah kasus yang terus meningkat setiap tahunnya selama tiga tahun terahir
ini, sehingga penyakit ini menimbulkan kejadian luar biasa dengan jumlah kasus mencapai
ratusan akan tetapi tidak menimbulkan kematian, walaupun demikian tetap menimbulkan
keresahan dan ketakutan di lingkungan masyarakat. Keadaan ini menimbulkan suatu
pertanyaan bagi peneliti untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan
terjadinya kejadian luar biasa (KLB) Demam chikungunya ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan Kejadian Luar Biasa (KLB)
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
60
penyakit demam chikungunya di Desa Kubang Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon tahun
2010.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan rancangan case control yaitu
menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan
retrospektif.6
Penelitian dengan desain case control digunakan untuk mempelajari faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian luar biasa (KLB) penyakit demam chikungunya ini
akan menilai pada faktor host mengenai tingkat pengetahuan responden, sikap responden,
pendidikan responden tentang penyakit chikungunya dan melihat faktor lingkungan tentang
mobilitas, kepadatan hunian dan container index serta menilai ada tidaknya hubungan antara
satu variabel dengan variabel lainnya.
Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi kasus adalah semua responden yang
sakit chikungunya di desa Kubang Blok Pond dan Manis wilayah kerja Puskesmas Ciperna
Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon 2010 dengan jumlah kasus Blok Pon 23 orang Blok
Manis 27 orang dengan jumlah seluruhnya 50 orang dan Populasi kontrol adalah semua
responden yang bukan penderita chikungunya di desa Kubang Blok Pon dan Manis wilayah
kerja Puskesmas Ciperna Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon 2010. Sampel kasus adalah
semua penderita chikungunya yang telah didiagnosis oleh petugas kesehatan yang tercatat di
register puskesmas, yang berasal dari desa KLB dan sampel kontrol adalah semua responden
yang bukan penderita chikungunya yang berasal dari desa KLB yang terpilih secara acak
(random) untuk diikut sertakan dalam penelitian. Perbandingan kasus dan control adalah 1:1.
Instrumen penelitian menggunakan kuesioner tertutup untuk menggali informasi tentang
sikap responden, pengetahuan responden dan pendidikan responden. Instrumen diadopsi dari
penelitian Sustiwa tahun 2003 sehingga tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Data
sekunder kasus chikungunya di kumpulkan dari register puskesmas dan data primer di
kumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner untuk pengukuran
sikap responden, pengetahuan responden dan pendidikan responden serta observasi terhadap
kepadatan hunian dan container index. Analisis data terdiri dari analisis univariat untuk
melihat presentase antara variabel independen dengan varibel dependen dan analisis bivariat
bertujuan untuk melihat hubungan antara satu variabel independen dan variabel dependen
menggunakan uji chi suare (α = 5%) dengan rumus:
( )2121
2
2
mmnn
bcadNx
−=
Sedangkan besar hubungan pada rancangan kasus kontrol dinilai menggunakan Odds
Ratio (OR). OR yaitu rasio odds pajanan pada kasus berbanding dengan odds pajanan pada
kontrol atau menggunakan formulasi tabel 1 dibawah yaitu OR = a/c : b/d = ad/bc.7
Tabel 1 Dasar Kasus – Kontrol
Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Jumlah total Kasus Kontrol
+ a B a + b
- c D c + d
Jumlah Total a + c b + d N
Bila OR ≤ 1, artinya tidak ada faktor risiko terjadi penyakit chikungunya.
Bila OR > 1, artinya sebagai faktor risiko terjadinya penyakit chikungunya.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Responden
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
61
1. Umur Responden
Responden terbanyak adalah kelompok umur 31 – 40 tahun sebesar (32,0%),
sedangkan yang paling sedikit adalah kelompok umur ≤ 20 tahun sebesar 1%.
2. Jenis kelamin
Responden perempuan lebih banyak yaitu sebesar 56 orang (56,0%) dibandingkan
dengan responden laki-laki yaitu sebesar 44 orang (44,0%).
3. Tingkat pendidikan
Persentase responden dengan jenjang pendidikan tertinggi adalah SD sebesar 51,0%
sedangkan yang terendah adalah akademi/PT sebesar 2,0%.
4. Jenis pekerjaan
Persentase responden yang paling banyak adalah buruh/petani sebesar 61,0%
sedangkan yang paling sedikit adalah pegawai negri sebesar 3,0%.
Mobilitas Responden
Persentase mobilitas responden rendah sama dengah mobilitas tinggi yaitu sebesar
50%.
Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian yang padat lebih kecil yaitu sebesar 6,0% sedangkan yang tidak padat
lebih besar yaitu sebesar 94,0%.
Container Index Container index yang kurang baik jumlahnya lebih besar yaitu 56,0% dibandingkan
dengan yang baik yaitu sebesar 44,0%.
Pengetahuan Pengetahuan responden dapat dilihat bahwa pengetahuan kurang baik jumlahnya lebih
besar yaitu 52,0% dibandingkan dengan yang baik sebesar 48,0%.
Sikap Sikap responden untuk sikap yang kurang baik jumlahnya lebih kecil yaitu sebesar
42,0% dibandingkan dengan yang baik yaitu sebesar 58,0%.
Hubungan Mobilitas dengan Penyakit Chikungunya
Tabel 2 Hubungan Mobilitas menurut Kasus dan Kontrol terhadap Penyakit Chikungunya
Mobilisasi
Penduduk
Status Responden Total OR
95% Cl
P
value Kasus Kontrol
N % N % N %
Rendah 30 60,0 20 40,0 50 50,0 2,25
(1,01-5,00) 0,046 Tinggi 20 40,0 30 60,0 50 50,0
Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara mobilitas
penduduk dengan terjadinya penyakit chikungunya. mobilitas merupakan faktor resiko
terjadinya penyakit chikungunya.
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Penyakit Chikungunya
Tabel 3 Hubungan Kepadatan Hunian menurut Kasus dan Kontrol terhadap
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
62
Penyakit Chikungunya
Kepadatan
Hunian
Status Responden Total OR
95% Cl
P
value Kasus Kontrol
N % N % N %
Padat 4 8,0 2 4,0 6 6,0 2,09
0,964-11,95 0,400 Tidak padat 46 92,0 48 96,0 94 94,0
Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
hunian dengan penyakit chikungunya dan kepadatan hunian bukan merupakan faktor resiko
terjadinya penyakit chikungunya.
Hubungan Container Index dengan Penyakit Chikungunya
Tabel 4 Hubungan Container Index menurut Kasus dan Kontrol terhadap
Penyakit Chikungunya
Container
Index
Status Responden Total OR
95% Cl
P
value Kasus Kontrol
N % N % N %
Kurang baik 34 68,0 22 44,0 56 56,0 2,71
(1,20-6,11) 0,016 Baik 16 32,0 28 56,0 44 44,0
Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara container index
dengan kejadian penyakit dan container index merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
chikungunya.
Hubungan Pengetahuan Responden dengan Penyakit Chikungunya
Tabel 5 Hubungan Pengetahuan Responden menurut Kasus dan Kontrol terhadap
Penyakit Chikungunya
Pengetahuan
Responden
Status Responden Total OR
95% Cl
P
value Kasus Kontrol
N % N % N %
Kurang baik 31 62,0 21 42,0 52 52,0 2,25
(1,01-5,02) 0,045 Baik 19 38,0 29 58,0 48 48,0
Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahun
responden dengan kejadian penyakit chikungunya dan pengetahuan responden merupakan
faktor resiko terjadinya penyakit chikungunya.
Hubungan Sikap Responden denganPenyakit Chikungunya
Tabel 6 Hubungan Sikap Responden menurut Kasus dan Kontrol terhadap
Penyakit Chikungunya
Sikap
Responden
Status Responden Total OR
95% Cl
P
value Kasus Kontrol
N % N % N %
Kurang baik 27 54,0 15 30,0 42 42,0 2,74
(1,20-6,23) 0,015
Baik 23 46,0 35 70,0 58 58,0
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
63
Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0
Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara sikap responden
dengan kejadian penyakit chikungunya dan sikap responden merupakan faktor resiko
terjadinya penyakit chikungunya.
PEMBAHASAN
Hubungan Mobilitas dengan Penyakit Chikungunya Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan mobilitas dengan penyakit
chikungunya. Penyebaran penyakit chikungunya di Indonesia terjadi pada daerah endemis
penyakit demam berdarah dengue. Berdasarkan data yang ada chikungunya lebih sering
terjadi di daerah sub urban.4
Penyebab chikungunya adalah virus chikungunya, genus alphavirus atau group A
antrophod borne viruses (flavivirus) family Togaviri das. Penyebab penyakit chikungunya
sama dengan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat komplek yaitu : 1. Pertubuhan penduduk yang
tinggi. 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali. 3. Tidak adanya kontrol vektor
nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan 4. Peningkatan sarana transportasi.8
Pada era serba cepat seperti sekarang ini seseorang hari ini dapat berada di satu negara
esok sudah berada di negara atau hari ini berada di satu wilayah besok sudah berada di
wilayah lain penyebaran virus amat di mungkinkan orang yang tertular penyakit di suatu
negara atau wilayah bias membawanya ke wilayah/negara lain, penyakit yang dibawa ada
yang dapat hilang dengan sendirinya, namun dapat pula berlanjut siklusnya bila faktor
pendukungnya ada.9
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Penyakit Chikungunya Kepadatan hunian adalah keadaan luas lantai rumah yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuni rumah sehingga menurut teori penularan penyakit chikungunya dapat terjadi
apabila penderita yang sakit di gigit oleh nyamuk penular Aedes aegypti kemudian menggigit
orang lain. Biasanya penularan terjadi dalam satu rumah dan cepat menyebar ke satu wilayah
akan tetapi hasil penelitian menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara
kepadatan hunian dengan penyakit chikungunya sehingga kepadatan hunian bukan
merupakan faktor resiko terjadinya penyakit chikungunya. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan
masyarakat didesa Kubang apabila ada salah satu anggota keluarga yang sudah menikah
mereka langsung keluar dari rumah orangtuanya kalau tidak membuat rumah sendiri mereka
akan mengontrak sehingga untuk kepadatan hunian tidak menunjukkan hubungan yang
bermakna sebagai pencetus penyebar luasan penyakit chikungunya didesa Kubang.
Hubungan Container Index dengan Penyakit Chikungunya Nyamuk Aedes aegypti/Aedes albapictus berkembang biak di tempat penampungan air
untuk keperluan sehari-hari dan barang-barang lain yang memungkinkan air tergenang yang
berada di luar rumah maupun yang berada di dalam rumah misalnya bak mandi, tempayan,
drum, tempat minum burung dan barang-barang bekas lainnya. Tempat perkembang biakan
yang utama adalah tempat penampungan air di dalam atau di sekitar rumah yang jaraknya
tidak melebihi 500 m dari rumah.10
Dari hasil analisa statistik menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara
container index dengan kejadian penyakit chikungunya dan container index yang kurang baik
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
64
mempunyai resiko terjadinya penyakit chikungunya 2,25 kali lebih besar dibandingkan
dengan yang container index baik.
Menurut hasil penelitian Salikun tentang hubungan antara perilaku masyarakat dalam
pemberantasan sarang nyamuk dengan kepadatan larva Aedes aegypti di desa Jati Mulya
tahun 2005 bahwa kepadatan larva index dengan katagori padat banyak di temukan pada
responden dengan praktik kurang baik (100%) dibandingkan dengan responden dengan
praktik baik (44,40%) dan adanya hubungan yang bermakna antara praktik responden dengan
kepadatan larva Aedes aegypti.11
Hubungan Pengetahuan Responden dengan Penyakit Chikungunya Analisa statistik menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan
responden dengan kejadian penyakit chikungunya dan pengetahuan yang kurang baik
mempunyai resiko 2,25 kali lebih besar terkena penyakit chikungunya dibandingkan dengan
pengetahuan baik.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustiansyah tahun 2003 dalam
tesisnya yang berjudul Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam
memelihara ikan cupang untuk pemberantasan sarang nyamuk DBD di Pontianak, bahwa
rendahnya pengetahuan responden akan berpengaruh terhadap cara-cara penanggulangan
penyakit chikungunya. Sedangkan Ancok mengatakan bahwa adanya pengetahuan tentang
manfaat sesuatu hal yang akan menyebabkan seseorang akan mempunyai sikap positif
terhadap hal tersebut.12
Makin banyak segi positif sikap yang terbentuk. Sebaliknya makin banyak segi
negatifnya, maka makin negatif sikap yang terbentuk. Masyarakat yang kurang
pengetahuannya akan penyakit chikungunya dan cara pencegahannya akan mempercepat
proses penyebaran penyakit chikungunya dan memperlambat proses penanganannya sehingga
akan memperpanjang masa kontak antara penderita dengan vektor chikungunya yang nantinya
akan menyebarkan ke yang lainnya.13
Hubungan Sikap Responden dengan Penyakit Chikungunya
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus atau obyek. Sikap dapat didefinisikan sebagai keteraturan tertentu dalam hal
perasaan (afeksi), pemikiran (kongnisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap
suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sikap merupakan respon evaluative yang dapat berupa
respon positif maupun respon negatif. Sikap manusia akan diasumsikan dalam bentuk
perilaku dalam obyek. Namun Mann mengatakan bahwa sekalipun diasumsikan bahwa sikap
merupakan predisposisi evaluative yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak,
akan tetapi tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak
hanya ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi oleh berbagai faktor eksternal lainnya.
Disamping itu ternyata untuk satu macam tindakan saja terdapat banyak pola sikap yang
relevan.13
Analisa statistik menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara sikap responden
dengan kejadian penyakit chikungunya dan sikap responden yang kurang baik mempunyai
resiko 2,74 kali lebih besar dibandingkan dengan sikap responden yang baik.
Adanya hubungan yang bermakna antara sikap responden terhadap kejadian penyakit
chikungunya, hal sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sikap merupakan suatu respon.
Respon hanya akan timbul apabila individu di hadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki timbulnya reaksi individual. Respon evaluative berarti bahwa bentuk respon
yang dinyatakan sebagai sikap itu didasari proses evaluasi dalam diri individu, yang memberi
kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negativ,
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
65
menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka yang kemudian mengkristal
sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap.14
SIMPULAN
1. Ada hubungan yang bermakna antara mobilitas penduduk dengan terjadinya penyakit
chikungunya dan mobilitas penduduk merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
chikungunya.
2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penyakit
chikungunya karena dan kepadatan hunian bukan merupakan faktor resiko terjadinya
penyakit chikungunya.
3. Ada hubungan yang bermakna antara container index dengan kejadian penyakit
chikungunya dan container index merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
chikungunya.
4. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden dengan kejadian penyakit
chikungunya dan pengetahuan responden merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
chikungunya.
5. Ada hubungan yang bermakna antara sikap responden dengan kejadian penyakit
chikungunya dan sikap responden merupakan faktor resiko terjadinya penyakit
chikungunya
SARAN 1. Bagi Dinas kesehatan
Lebih meningkatkan pembinaan dalam kegiatan pemeriksaan jentik nyamuk berkala
terhadap petugas surveilans di tingkat Puskesmas sehingga hasil kegiatan dapat terpantau
secara berkesinambungan.
2. Bagi Puskesmas
Memberikan informasi yang tepat dan benar tentang penyakit chikungunya serta
penyuluhan tentang cara-cara penanggulangannya kepada masyarakat, sehingga
masyarakat dapat mencegah penyebaran penyakit chikungunya di lingkungan masyarakat
dan dilaksanakannya kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) secara rutin di tingkat
desa yang di pimpinan oleh kepala desa beserta jajarannya.
DAFTAR PUSTAKA 1. Jupp PG. Mc. Intosh BM. Chikungunya virus deseace, the arboviruses epidemology and
ecology, Volume 11;1985
2. Departemen Kesehatan RI, Chikungunya tidak menyebabkan kematian atau kelumpuhan
kompas cyber media: Jakarta; 2006.
3. Kabid Bina DLPD. Evaluasi laporan bulanan P2M Provinsi Jawa Barat: Bandung; 2009
4. Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon. Kumpulan pedoman penyelidikan epidemology,
wabah/KLB penyakit menuluar dan keracunan makanan: Cirebon; 2009.
5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penanggulangan sistem kewaspadaan dini kejadian
luar biasa (KLB): Jakarta ;2004.
6. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta; 2002
7. Murti B., Prinsip dan Metoda Riset Epidemolog, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press; 1997.
8. Anonim. Memberantas Penyakit Infeksi menuju masyarakat Indonesia sehat 2010
Fakultas Kedokteran Hang Tuah. Rumkital Dr. Ramelan Simposium Akbar Penyakit
Tropik dan Infeksi:Surabaya; 2010
9. Suharsono. Mobilitas dan chikungunya.[diakses tanggal 28 April 2010], diunduh dari:
http:/kgm.bappenas.90.
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010
66
10. Departemen Kesehatan RI, Pencegahan dan pemberantasan DBD. Jakarta: Ditjen PP&
PL; 2005.
11. Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon. Laporan Sis P2M: Cirebon; 2010.
12. Ancok D. Tehnik penyusunan skala pengukuran. Yogyakarta: PPK UGM; 1989.
13. Notoadmojo S. Pendidikan dan perilaku kesehatan PT. Rineka Cipta: Jakarta; 2003.
14. Notoatmodjo S, Sarwono, dan Salita, Pengantar ilmu perilaku kesehatan, Depok: FKM
UI; 1997.