66
ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010 1 HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN PENDOKUMENTASIAN PROSES KEPERAWATAN Muadi*, Trimar Handayani** ABSTRAK Beban kerja dapat mempengaruhi kualitas kerja yang dihasilkan, maka unit-unit keperawatan perlu mengkaji tingkat beban kerjanya, dikaitkan dengan perbedaan waktu jaga untuk menyesuaikan kemampuan perawat terhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan tersebut, salah satu hasil kerja perawat dapat dilihat dari kualitas pendokumentasi proses keperawatan yang diberikan kepada pasien. Mengingat pentingnya pendokumentasian sebagai bukti otentik dalam melakukan pelayanan maka kualitas harus ditingkatkan melalui upaya peningkatan mutu asuhan keperawatan yang tidak lepas dari peningkatan kualitas kerja tenaga perawat. Meningkatnya kualitas kerja berkaitan erat dengan beban kerja perawat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan beban kerja perawat dengan pendokumentasian proses keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Kardinah Tegal. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan rancangan cross sectional, dilakukan terhadap 36 responden perawat ruang rawat inap dan observasi terhadap 108 pendokumentasian proses keperawatan di RSUD Kardinah Kota Tegal. Sampel diambil dengan sistematic random sampling. Analisa dan pengolahan data menggunakan korelasi chi square untuk menguji hubungan antar variabel. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa sebagian besar perawat memiliki beban kerja berat (94,4%), pendokumentasian proses keperawatan tidak lengkap (80,6%) dan terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja perawat dan pendokumentasian proses keperawatan (p = 0,041). Kata kunci : Beban kerja, pendokumentasian proses keperawatan ABSTRACT The consignment of working hours can influence the quality of nursing labor, for that reason, nursing units need to study the level of nurses’ working hours, interrelated to the difference of picket hours to acclimatize the nurses’ aptitude with the number of treatments during the picket hours within the nursing units. One of the results of nurses’ labor can be observed from the quality of documentation of nursing process given to the patients. Since documentation of nursing process as the authentic data is strictly significant, its quality should be improved by enhancing the quality of nursing process and developing the quality of nurses. The improvement of working quality is closely correlated to the consignment of nurses’ working hours. This research is a descriptive correlative research with a cross sectional outline, conducted with 36 nurses in- charged- in- ward respondents and observation of 108 towards nursing documentation process at Kardinah hospital Tegal Central Java and the samples were taken by random sampling system. The analysis and data processing use the correlation of chi square to test the variabels’ correlation. The research shows that most of the nurses’ have heavy consignment of working hours (94,4%), the documentation of nursing process was not complete (80,6%) and there is significant correlation between the consignment of nurses’ working hours with the documentation of nursing process (p=0,041). Keyword : The consignment working hours, the documentation process of nursing. * Staf Pengajar Program Studi S1 Keperawatan STIKes Cirebon. ** Alumni PSIK STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

1

HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN

PENDOKUMENTASIAN PROSES KEPERAWATAN

Muadi*, Trimar Handayani**

ABSTRAK

Beban kerja dapat mempengaruhi kualitas kerja yang dihasilkan, maka unit-unit keperawatan perlu mengkaji

tingkat beban kerjanya, dikaitkan dengan perbedaan waktu jaga untuk menyesuaikan kemampuan perawat

terhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan tersebut, salah satu hasil kerja

perawat dapat dilihat dari kualitas pendokumentasi proses keperawatan yang diberikan kepada pasien.

Mengingat pentingnya pendokumentasian sebagai bukti otentik dalam melakukan pelayanan maka kualitas harus

ditingkatkan melalui upaya peningkatan mutu asuhan keperawatan yang tidak lepas dari peningkatan kualitas

kerja tenaga perawat. Meningkatnya kualitas kerja berkaitan erat dengan beban kerja perawat. Tujuan penelitian

ini untuk mengetahui hubungan beban kerja perawat dengan pendokumentasian proses keperawatan di Ruang

Rawat Inap RSUD Kardinah Tegal. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan rancangan

cross sectional, dilakukan terhadap 36 responden perawat ruang rawat inap dan observasi terhadap 108

pendokumentasian proses keperawatan di RSUD Kardinah Kota Tegal. Sampel diambil dengan sistematic

random sampling. Analisa dan pengolahan data menggunakan korelasi chi square untuk menguji hubungan antar

variabel. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa sebagian besar perawat memiliki beban kerja berat (94,4%),

pendokumentasian proses keperawatan tidak lengkap (80,6%) dan terdapat hubungan yang signifikan antara

beban kerja perawat dan pendokumentasian proses keperawatan (p = 0,041).

Kata kunci : Beban kerja, pendokumentasian proses keperawatan

ABSTRACT

The consignment of working hours can influence the quality of nursing labor, for that reason, nursing units need

to study the level of nurses’ working hours, interrelated to the difference of picket hours to acclimatize the

nurses’ aptitude with the number of treatments during the picket hours within the nursing units. One of the

results of nurses’ labor can be observed from the quality of documentation of nursing process given to the

patients. Since documentation of nursing process as the authentic data is strictly significant, its quality should be

improved by enhancing the quality of nursing process and developing the quality of nurses. The improvement of

working quality is closely correlated to the consignment of nurses’ working hours. This research is a descriptive

correlative research with a cross sectional outline, conducted with 36 nurses in- charged- in- ward respondents

and observation of 108 towards nursing documentation process at Kardinah hospital Tegal Central Java and the

samples were taken by random sampling system. The analysis and data processing use the correlation of chi

square to test the variabels’ correlation. The research shows that most of the nurses’ have heavy consignment of

working hours (94,4%), the documentation of nursing process was not complete (80,6%) and there is significant

correlation between the consignment of nurses’ working hours with the documentation of nursing process

(p=0,041).

Keyword : The consignment working hours, the documentation process of nursing.

* Staf Pengajar Program Studi S1 Keperawatan STIKes Cirebon.

** Alumni PSIK STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

Page 2: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

2

PENDAHULUAN

Beban kerja dapat mempengaruhi prestasi kerja/performance, maka unit-unit

keperawatan perlu mengkaji tingkat beban kerjanya, dikaitkan dengan perbedaan waktu jaga

untuk menyesuaikan kemampuan perawat terhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga

yang ada diunit perawatan tersebut. Salah satu hasil kinerja perawat dapat dilihat dari kualitas

dokumentasi asuhan keperawatan yang diberikan.1

Tercapainya suatu asuhan keperawatan professional dalam praktiknya memerlukan suatu

pendekatan, yang disebut dengan proses keperawatan, yang dicatat dalam dokumentasi

keperawatan sebagai data tertulis yang menjelaskan tentang penyampaian informasi

(komunikasi), penerapan sesuai dengan standar praktik, dan pelaksanaan proses keperawatan.2

Dokumentasi proses keperawatan menjamin kualitas asuhan keperawatan karena dari

kegiatan ini dikomunikasikan dan dievaluasi perkembangan klien. Disamping itu dokumentasi

proses keperawatan dilakukan dalam rangka sebagai jaminan hukum, sarana pendidikan,

penelitian dan akreditasi.3

Mengingat pentingnya dokumentasi keperawatan yang baik dan lengkap sebagai bukti

otentik dalam peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dimana hal tersebut akan menjadi

faktor penentu dan citra rumah sakit, maka upaya peningkatan mutu asuhan keperawatan tidak

lepas dari Peningkatan kualitas kerja tenaga perawat. Meningkatnya kualitas kerja berkaitan

erat dengan beban kerja perawat.4

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah merupakan rumah sakit milik pemerintah kota

Tegal. Dengan jumlah tenaga perawat rawat inap sebanyak 108 orang (data dari Kepala

Bidang Keperawatan per November 2009). Adapun ruang rawat inap di RSUD Kardinah kota

Tegal terdiri dari 13 ruang dengan 312 tempat tidur (TT), serta berdasarkan data dari bagian

rekam medik BOR rata-rata per tri wulan terakhir tahun 2009 adalah 70,37 %. Jumlah

perawat jaga pada masing-masing ruangan untuk tiap shiftnya (pagi, sore, malam) rata 2-3

orang dengan rata-rata pasien dirawat perharinya 270 orang. Jadi bisa diambil rasio

perbandingan antara perawat jaga dan jumlah pasien adalah 1: 2.5

Data observasi secara acak yang dilakukan pada tanggal 5 November 2009 terhadap 20

rekam medik pasien yang dirawat pada ruang Menur ditemukan sebanyak 15 rekam medik

yang pada lembar rencana asuhan keperawatan tidak dilengkapi dengan nama, tanggal, umur,

diagnosa, no rekam medik serta masalah asuhan keperawatan yang terjadi pada pasien saat

itu. Dan dari wawancara dengan 7 perawat ruangan penyakit dalam, bedah dan anak, 5

diantaranya menjawab pertanyaan “Mengapa mereka tidak melakukan pencatatan pada

lembar rencana asuhan keperawatan secara lengkap?” mereka menjawab terbatasnya waktu

untuk melakukan pendokumentasian terkait dengan banyaknya tindakan yang harus dilakukan

pada pasien dan 2 diantaranya mengeluhkan kurangnya tenaga pelaksana perawatan ditiap

shift. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan beban kerja perawat

dengan pendokumentasian proses keperawatan di ruang rawat inap RSUD Kardinah kota

Tegal tahun 2010.

METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif,

6 berdasarkan waktu,

penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional yang menekankan pada waktu

pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali

pengukuran pada satu waktu.7

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana yang bekerja di ruang

rawat inap RSUD Kardinah tahun 2010 sebanyak 108 orang dan catatan medik pasien yang

sedang dirawat pada saat penelitian sebanyak 273 catatan medik. Pengambilan sampel

minimal dalam penelitian ini menggunakan tehnik Nomogram Harry King,8 apabila tingkat

kepercayaan yang digunakan 95% atau tingkat kesalahan 5% maka jumlah sampel yang

Page 3: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

3

dibutuhkan sekitar 33% dari populasi. Jadi total sampel minimal adalah: 33% x 108 perawat =

35,6 (dibulatkan 36 perawat). Sedangkan besar sampel catatan medik yang diambil sebanyak

36 x 3 = 108. Hal ini merupakan suatu justifikasi dimana 1 perawat melakukan minimal 3

pendokumentasian. Dari sampel minimal yang telah didapat tersebut kemudian digunakan

tehnik simple random sampling untuk mengambil sampel dari populasi.6

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner dan lembar

observasi yang bersumber dari penelitian Joko P. Tehnik pengumpulan data pada penelitian

ini menggunakan wawancara dan observasi. Analisis data terdiri dari analisis univariat untuk

menggambarkan tiap variabel dengan menggunakan tabel distribusi data dan analisis bivariat

dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen (beban kerja perawat) dengan

variabel dependen (pendokumentasian proses keperawatan) digunakan analisa statistik

korelasi dengan tehnik Chi Square.9

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Perawat

1. Umur

Perawat pelaksana rata-rata berusia 29,78 tahun yang artinya masih merupakan usia

produktif.

2. Jenis Kelamin

Sebagian besar (77,8%) perawat pelaksana adalah perempuan.

3. Pendidikan

Pendidikan responden adalah 100% setingkat DIII keperawatan.

Beban Kerja Perawat Tabel 1 Distribusi Frekuensi Beban Kerja Perawat

Variabel independen N Persentase

Beban kerja :

1. Beban kerja ringan

2. Beban kerja sedang

3. Beban kerja berat

-

2

34

0 %

5,6 %

94,4 %

Total 36 100%

Beban kerja yang terdiri dari jenis pekerjaan, waktu dan kualitas kegiatan didapatkan

sebanyak 34 (94,4%) responden mempunyai beban kerja berat.

Dokumentasi Keperawatan Tabel 2 Distribusi Frekuensi Dokumentasi Keperawatan

Variabel dependen N Persentase

Dokumentasi keperawatan

1. Lengkap

2. Tidak lengkap

7

29

19,4 %

80,6 %

Total 36 100%

Pendokumetasian proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa, rencana,

implementasi dan evaluasi didapatkan sebagian besar tidak lengkap yaitu 29 (80,6%).

Page 4: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

4

Hubungan Beban Kerja Perawat dengan Pendokumentasian Keperawatan

Tabel 3 Distibusi Frekuensi Beban Kerja Perawat Berdasarkan Pendokumentasian Proses Keperawatan

Variabel Dokumentasi keperawatan Total P Value

Lengkap Tidak lengkap N %

N % N %

Beban kerja

1. Ringan

2. Sedang

3. Berat

-

2

5

-

100

14,7

-

0

29

-

0

85,3

-

2

34

-

100

100

0,041

Total 7 19,4 29 80,6 36 100

Adanya hubungan yang signifikan antara beban kerja perawat dengan pendokumentasian

proses keperawatan karena nilai p hitung 0,041 < 0,05. (alpha).

PEMBAHASAN

Beban Kerja Berdasarkan jawaban sebagian besar responden tersebut terhadap kuesioner,

mengungkapkan bahwa perawat pelaksana masih merasakan berat dengan beban kerja yang

ada karena beragamnya kegiatan yang harus dilakukan dalam satu waktu kerja (shift) dengan

jenis ketenagaan yang belum sesuai. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ilyas tentang ada

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap beban kerja yaitu jenis

kegiatan dimana kegiatan pelaksanan proses keperawatan berdasarkan standar asuhan

keperawatan (pengkajian, diagnosa, rencana, implementasi dan evaluasi) dan 14 komponen

pedoman tugas tenaga keperawatan yang masuk kedalam kegiatan langsung (berhubungan

dengan pasien secara langsung), kegiatan tidak langsung (tidak berhubungan langsung dengan

pasien tapi untuk mempersiapkan dan melengkapi pendokumentasian proses keperawatan),

kegiatan lain (yang berkaitan langsung dengan diri perawat itu sendiri). Waktu yang berkaitan

dengan waktu kerja dan karakteristik lain seperti demografi dan sosial (faktor umur dan

responden). Kualitas kegiatan yang berkaitan dengan kesesuaian beban kerja dengan jenis

tenaga apakah tenaga ahli atau bukan.1

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joko P tentang hubungan beban kerja dan

kepuasan kerja perawat pelaksana di RSUD Kardinah 2004 menujukkan bahwa perawat

pelaksana diruang rawat inap mempersepsi beban kerja yang berat untuk setiap kategori

beban kerja yaitu jenis kegiatan, waktu dan kualitas kegiatan.10

Pendokumentasian Proses Keperawatan Berdasarkan hasil observasi terhadap 108 rekam medik didapatkan ketidaklengkapan

dalam pengisian data sesuai standar asuhan keperawatan yang seharusnya baik itu pada tahap

pengkajian, diagnosa, rencana, implementasi dan evaluasi. Padahal menurut Perry dan Potter

bahwa proses keperawatan itu dilakukan menurut tahapan-tahapan yang ada mulai dari

pengkajian, diagnosa, rencana, implementasi dan evaluasi. Hal ini juga sejalan dengan Proses

keperawatan menurut ANA (American Nurses Association) yaitu pendekatan keperawatan

professional yang dilakukan dengan mengidentifikasi, mendiagnosis dan mengatasi respon

manusia terhadap kesehatan dan penyakit.11

Pada penelitian yang dilakukan oleh Fajar S tentang hubungan perilaku dan

pendokumentasian proses keperawatan didapatkan hasil perilaku yang negatif karena

melakukannya hanya kadang-kadang saja. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kesibukan

Page 5: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

5

diruangan, ketidaktahuan akan pentingnya pendokumentasian dan tidak adanya teguran dari

atasan serta tidak berpengaruh pada gaji.

Hubungan Beban Kerja Perawat dan Pendokumentasian Proses Keperawatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin berat beban kerja maka akan semakin tidak

lengkap pendokumentasian yang dilakukan. Apabila dianalisa lebih lanjut dari hasil univariat

yang ada maka dengan banyaknya kegiatan langsung yang harus diselesaikan dalam satu

waktu shift maka kegiatan tidak langsungnya akan menjadi sulit untuk terpenuhi karena waktu

kerja hanya dihabiskan untuk melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan pasien

saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan menurut Schultz, yang membedakan beban kerja

menjadi dua yaitu beban kerja kuantitatif menunjukkan adanya jumlah pekerjaan yang besar

yang harus dilakukan pada satuan waktu misalnya jam kerja yang tinggi, derajat tanggung

jawab yang besar, tekanan kerja sehari-hari dan sebagainya. Dan beban kerja kualitatif terjadi

apabila pekerjaan yang dihadapi terlalu sulit.12

Beban kerja yang berat dapat menyebabkan kelelahan dan kejenuhan sehingga dapat

menurunkan kualitas asuhan keperawatan yang harus dilaksanakan pada klien tersebut

sehingga terkadang mengabaikan aspek legal yang ada yaitu mendokumentasikan proses

keperawatan yang telah dilakukan.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan:

1. Persepsi perawat rawat inap terhadap beban kerja yang meliputi jenis kegiatan, waktu dan

kualitas kegiatan termasuk kedalam beban kerja berat yaitu sebanyak 94,4%.

2. Hasil obeservasi yang dilakukan pada pendokumentasian proses keperawatan di rawat inap

RSUD Kardinah kota Tegal sebagian besar tidak lengkap yaitu 80,6%.

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara beban kerja perawat dan pendokumentasian

proses keperawatan di ruang rawat inap RSUD Kardinah kota Tegal tersebut dengan p

value 0,041. Hal ini menunjukkan bahwa Ha gagal ditolak.

SARAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran atau masukan untuk:

1. Bagi Praktis Keperawatan

Sebaiknya perawat melakukan selengkap mungkin semua aspek yang berhubungan dengan

asuhan keperawatan yang telah dilakukan terhadap pasien tersebut. Meningkatkan

pengetahuan dengan mengikuti pelatihan dan seminar tentang pendokumentasian proses

keperawatan yang terus berkembang saat ini. Untuk mengurangi beban kerja yang berat

hendaknya menajemen waktu kerja seefisien mungkin sehingga pekerjaan tidak

menumpuk pada jam-jam tertentu saja.

2. Bagi Instansi RSUD Kardinah Kota Tegal

1) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan pelatihan terhadap tenaga keperawatan secara

berkala untuk meningkatkan tenaga perawat mahir, terutama untuk manajemen waktu

yang baik dan pendokumentasian proses keperawatan sehingga aspek legalitas terhadap

semua tindakan yang dilakukan dapat terpenuhi.

2) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan klasifikasi penyakit dan tingkat

ketergantungan pasien sehingga bisa menghitung tingkat kebutuhan tenaga perawat

dengan beban kerja yang ada.

3) Melakukan pemantauan dan penilaian pelayanan keperawatan oleh tim pengendali mutu

secara periodik agar pelayanan keperawatan dapat terus ditingkatkan.

4) Menekankan kepada job description yang lebih jelas untuk setiap tenaga pelayanan

yang ada diruangan sehingga pekerjaan yang ada dapat dilakukan sesuai dengan tugas

Page 6: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

6

dan fungsinya masing-masing, misalnya tenaga keperawatan yang masih melakukan

jenis kegiatan yang berkaitan dengan penghitungan administrasi pasien yang akan

pulang.

5) Mempertimbangkan untuk menerapkan metode keperawatan yang tepat dalam merawat

pasien agar pembagian tugas dan tanggung jawab merata.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ilyas Y. Perencanaan sumber daya manusia rumah sakit: teori metoda dan formula. Jakarta:

Pusat kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI; 2000

2. Nursalam. Proses dan dokumentasi keperawatan. konsep dan praktek. Jakarta: Salemba

Medika; 2001

3. Doengoes ME. Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan dan

pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC; 2000

4. Hidayat A. Dokumentasi proses keperawatan. Jakarta: EGC; 2001

5. Rekam Medik. Data sensus rekam medik RSUD Kardinah Tegal. Tidak dipublikasikan.

Tegal: RSUD Kardinah; 2009

6. Notoadmodjo S. Metodelogi penelitian kesehatan.Edisi revisi Jakarta: EGC;2005

7. Nursalam, Patriani S. Pendekatan praktis metodologi riset kepearawatan. Jakarta: CV

Sagung Seto; 2001

8. Arikunto S. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek, Jakarta : Rineka cipta; 2000

9. Sugiono. Statistika untuk penelitian. Bandung : CV Alfabeta; 1999

10. Purwanto J. Hubungan beban kerja dengan kepuasan kerja perawat pelaksana di ruang

rawat inap RSUD Kardinah Kota Tegal. [skripsi]. Semarang: STIKes Ngudi

Waluyo;2004

11. Perry, Potter. Fundamental keperawatan. Buku 1. Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika; 2009

12. Shocker M. Hubungan otonomi dan beban kerja perawat dengan kepuasan kerja di ruang

Dahlia 1 dan paviliun Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi. [diakses tanggal 6 November

2009]. Diunduh dari: http:// www.scribd.com.

Page 7: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

7

HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN

PNEUMONIA PADA BAYI

R. Nur Abdurrakhman*, Anis Kurniasih**

ABSTRAK Faktor yang meningkatkan morbiditas salah satunya adalah kurangnya pemberian ASI. Pada kelompok balita,

penyebab kematian utama di Kabupaten Majalengka adalah pneumonia. Pola penyakit yang terjadi umur 1-4

tahun di Ruang Rawat Inap RSUD Cideres pada tahun 2009, pneumonia menempati urutan ke dua yaitu 19,40%

dari 21 kasus penyakit. Sedangkan di Ruang Galatik RSUD Cideres kasus pneumonia menempati urutan pertama

dari 10 penyakit terbesar, tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pemberian ASI dengan kejadian

pneumonia. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional study.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi di rawat di Ruang Galatik RSUD Cideres. Populasinya 35

diambil dari data bayi yang dirawat dari Agustus sampai September 2009. Teknik sampel dalam penelitian ini

adalah total sampling yaitu 35 sampel. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian ASI di Ruang Galatik

RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif dan 15 (43%)

bayi mendapatkan ASI eksklusif. Kejadian pneumonia sebesar 20 (57%) bayi menderita bukan pneumonia dan

15 (43%) bayi menderita pneumonia. Perhitungan dengan uji statistik menggunakan chi square di dapat nilai p

value 0,001 lebih kecil dari 0,05 secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI

dengan kejadian pneumonia.

Kata Kunci : Pneumonia, ASI, Bayi

ABSTRACT

One of the factors that cause increased morbidity is the lack of breastfeeding. In the toddler group, the leading

cause of death in Majalengka district was pneumonia. The pattern of disease that occurs at age 1-4 years in

Cideres Hospital Inpatient Room in 2009, pneumonia take in a second ranks, which is 19.40% of the 21 cases of

the disease. Whereas in Galatik room of Cideres Hospital the case of pneumonia is take a first rank from 10

greatest diseases. This study aims to find out how the relationship of breastfeeding with pneumonia. The type

research used is descriptive correlative with cross sectional study. The population in this study were all infants

treated in hospitals Cideres in Galatik room. The population data were taken from 35 infants who were treated

from August to September 2009. Technical samples in this study is the total sampling of 35 samples. The results

of this study was breast feeding in hospitals in Gelatik room of Cideres Majalengka of 20 (57%) infants not

exclusively breastfed and 15 (43%) infants exclusively breastfed. incidence of pneumonia by 20 (57%) infants

suffered non pneumonia and 15 (43%) infants suffering from pneumonia. calculation by using the chisquare test

statistic at p value 0,001 to less than 0.05 statistically significant correlation between breast feeding with

pneumonia.

Keyword: pneumonia, ASI, baby

* Staf Pengajar Program Studi D III Keperawatan STIKes Cirebon. ** Alumni D III Keperawatan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

Page 8: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

8

PENDAHULUAN

Menurut WHO Kejadian Pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10%-

20% per tahun. Balita merupakan kelompok umur yang rawan penyakit infeksi salah satunya

pneumonia.1 Pola 10 penyakit terbanyak di Rumah Sakit Umum, peringkat utama penyebab

kematian di Rumah Sakit maupun data Survei menunjukkan tingginya kasus Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA).2 Menurut hasil beberapa SKRT penyakit ISPA dan Sistem

Pernafasan merupakan penyebab kasus kematian bayi dan balita. Diketahui 80% - 90% dari

seluruh kasus kematian ISPA disebabkan pneumonia.3

Jumlah penemuan penderita

Pneumonia Balita pada tahun 2005 sebanyak 600.720 orang, diantaranya 27,22% berada di

Provinsi Jawa Barat. Dengan kematian balita akibat pneumonia sebanyak 25,98% berada di

Jawa Barat. Menurut data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka pada tahun 2007

cakupan pneumonia pada balita tidak mencapai target, yaitu hanya mencapai 75,6% dari

target 86%.4 Pada kelompok balita, penyebab kematian utama di Kabupaten Majalengka

adalah pneumonia (27,2%) diikuti oleh meningitis serosa (18,2%) dan lainya (demam yang

tidak diketahui sebabnya), diare akut dehidrasi berat, emboli paru, enchepalitis dan anemi

masing-masing 9,1%. lainnya.

Pola penyakit yang terjadi umur 1-4 tahun di Ruang Rawat Inap RSUD Cideres pada

tahun 2007, pneumoni menempati urutan ke dua yaitu 19,40% dari 21 kasus penyakit.5

Sedangkan di Ruang Galatik RSUD Cideres kasus pneumonia menempati urutan pertama

dari 10 penyakit terbesar yang ada di ruang tersebut yaitu 402 kasus (32%) dari 1276 kasus

penyakit.

Berdasarkan uraian diatas di Kabupaten Majalengka kematian pada balita paling utama

disebabkan oleh penyakit pneumonia dan pola penyakit yang terjadi pada umur 1-4 tahun di

Ruang Rawat Inap RSUD Cideres pada tahun 2007 pneumonia menempati urutan ke dua serta

berdasarkan 10 besar penyakit di Ruang Galatik pneumonia menempati urutan pertama.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian

pneumonia bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2009.

METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif. Metode penelitian korelatif

adalah mengkaji hubungan antara variabel-variabel bertujuan untuk mengungkapkan

hubungan korelatif antara variabel independen dan dependen.6 Pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan cross sectional study. Populasi adalah semua bayi

yang dirawat di Ruang Galatik RSUD Cideres berjumlah 35 orang, dengan sampel yang

diambil adalah total populasi.7 Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan

dokumentasi. Instrumen pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan lembar

checklist. Analisis data terdiri dari analisis univariabel untuk mendeskripsikan masing-masing

variabel dan bivariabel untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian

pneumonia di analisis dengan menggunakan uji statistik chi squre.8

Page 9: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN

HASIL PENELITIAN

Pemberian ASI Pada Bayi

Diagram 1 Pemberian ASI Ruang Gala

Diagram diatas menunjukkan

RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi tidak mendapatkan ASI

eksklusif dan 15 (43%) bayi mendapatkan ASI eks

Kejadian Pneumonia

Diagram 2 Kejadian Pneumonia Pada Bayi di

Diagram diatas menunjukan

Galatik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka

pneumonia dan 15 (43%) bayi menderita pneumonia.

20

57%

20

57%

JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

Ruang Galatik RSUD Cideres

Diagram diatas menunjukkan bahwa gambaran pemberian ASI di Ruang Galatik

RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi tidak mendapatkan ASI

lusif dan 15 (43%) bayi mendapatkan ASI eksklusif.

Kejadian Pneumonia Pada Bayi di Ruang Galatik

Diagram diatas menunjukan bahwa gambaran kejadian pneumonia pada bayi di

Galatik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi menderita bukan

pneumonia dan 15 (43%) bayi menderita pneumonia.

15

43%

ASI Ekslusif

TIDAK Ekslusif

15

43%

PNEUMONIA

BUKAN PNEUMONIA

9

Ruang Galatik

RSUD Cideres Kabupaten Majalengka sebesar 20 (57%) bayi tidak mendapatkan ASI

bahwa gambaran kejadian pneumonia pada bayi di Ruang

sebesar 20 (57%) bayi menderita bukan

TIDAK Ekslusif

BUKAN PNEUMONIA

Page 10: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

10

Hubungan Antara Pemberian ASI dengan Kejadian Pneumonia

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Berdasarkan Kejadian Pneumonia

Pemberian ASI

Kejadian Pneumonia Total

P Value

OR

(95% CI) Bukan Pneumonia Pneumonia

n % n % n %

Eksklusif

Tidak Eksklusif 14

6

40%

17,1%

1

14

2,9%

40%

15

20

100

100

0,001 32,667

(95%CI:

3,468-

307,732)

Jumlah 20 57,1% 15 42,9% 35 100

Berdasarkan perhitungan dengan uji statistik didapatkan hubungan yang signifikan

antara pemberian ASI dengan kejadian pneumonia pada bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres

Kabupaten Majalengka Tahun 2009 dan diperoleh OR 32,667 artinya bayi dengan pemberian

ASI tidak eksklusif mempunyai peluang 32,6 kali terserang pneumonia dibandingkan dengan

bayi yang diberikan ASI eksklusif.

PEMBAHASAN

Pemberian ASI Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-

garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan

bagi bayinya.9 Pemberian ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman

tambahan lainnya pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Bayi hanya diberi ASI tanpa

makanan atau minuman lain, kecuali obat, vitamin, mineral, dan ASI yang diperah. ASI

memiliki kandungan 50 faktor imunitas yang sudah dikenal, dan mungkin lebih banyak lagi

yang masih tidak diketahui. Satu studi memperlihatkan bayi yang diberikan ASI eksklusif

selama 6 bulan mengalami infeksi telinga 40% lebih sedikit daripada bayi yang diberi ASI

ditambah makanan tambahan lain.9 Probabilitas terjadinya penyakit pernapasan selama masa

kanak-kanak secara signifikan berkurang bila bayi diberikan ASI eksklusif setidaknya selama

15 minggu dan makanan padat tidak diberikan selama periode ini.10

Kejadian Pneumonia Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan

konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.11

Penelitian yang dilakukan oleh Chandra pada tahun 1979 menunjukkan bahwa

kekurangan gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Pio menunjukkan adanya hubungan antara kekurangan zat

gizi dan pneumonia karena kekurangan gizi akan cenderung menurunkan daya tahan balita

terhadap serangan penyakit.12

Bahwa ASI dapat melindungi bayi terhadap penyakit infeksi

pernafasan.

Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian Pneumonia Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI dengan

kejadian pneumonia. Pada ASI mengandung zat anti infeksi, bersih dan bebas kontaminasi,

Immunoglobulin A (Ig.A) dalam kolostrum pada ASI kadarnya cukup tinggi, Lysosim, enzim

yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan salmonella) dan virus. Jumlah lysosim

Page 11: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

11

dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi, Sel darah putih pada ASI pada 2 minggu

pertama lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari 3 macam yaitu: Brochus-Asociated

Lympocyte Tissue (BALT) antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte Tissue (GALT)

antibodi saluran pernafasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT), sehingga

balita dengan ASI eksklusif lebih sedikit terserang pneumonia dibanding balita yang tidak

mendapat ASI. Sesuai dengan penelitian lain melaporkan ASI dapat melindungi bayi terhadap

penyakit infeksi pernafasan.12

ASI mengandung antibodi serta faktor-faktor lain yang

mencegah mikroorganisme terhadap perusakan epitel pernafasan.

Probabilitas terjadinya penyakit pernapasan selama masa kanak-kanak secara signifikan

berkurang bila bayi diberikan ASI eksklusif setidaknya selama 15 minggu dan makanan padat

tidak diberikan selama periode ini.10

ASI eksklusif adalah pemberian ASI sampai 6 bulan

tanpa makanan pendamping, pemberian ASI yang berkaitan dengan penyakit infeksi,

morbiditas dan mortalitas antara bayi yang mendapat ASI eksklusif dan bayi tidak mendapat

ASI eksklusif disimpulkan bahwa pada bayi usia kurang dari 6 bulan yang tidak mendapat

ASI eksklusif mempunyai resiko 5 kali lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas karena

diare dan pneumonia dibanding bayi yang diberi ASI eksklusif.10

SIMPULAN

1. Gambaran pemberian ASI pada bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres Kabupaten

Majalengka Tahun 2009 sebesar 57% bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif.

2. Gambaran kejadian peumonia pada bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres Kabupaten

Majalengka Tahun 2009 sebesar 57% bayi menderita bukan pneumonia

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI dengan kejadian pneumonia

pada bayi di Ruang Galatik RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2009. Hasil

analisis bayi dengan pemberian ASI tidak eksklusif mempunyai peluang 32,6 kali

terserang pneumonia dibandingkan dengan bayi dengan pemberian ASI eksklusif.

SARAN

1. Diharapkan bagi perawat lebih ditingkatkan penyuluhan tentang manfaat ASI bagi bayi

dan faktor-faktor yang mempengaruhi tejadinya pneumonia.

2. Bagi ibu balita diharapkan memberikan ASI eksklusif pada bayi sehingga resiko terhadap

penyakit pneumonia dapat dikurangi.

3. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian tentang faktor-faktor lain

yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada bayi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Notoatmodjo S. Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2003.

2. Anonim. Profil kesehatan indonesia sehat 2010. [diakses tanggal 6 Juli 2008]. Diunduh

dari:http//www.depkes.go.id.

3. Anonim. Pedoman program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut untuk

penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta: Depkes RI; 1998.

4. Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Profil kesehatan Kabupaten Majalengka.

Majalengka; 2007.

5. RSUD Cideres. Profil RSUD Cideres. Majalengka; 2007.

6. Hidayat A. Metode penelitian keperawatan teknis analisis data. Jakarta: Alfabeta;2007.

7. Anonim. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2005.

8. Arikunto S. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta. PT. Rineka Cipta;2002.

9. Theresia P. Gizi dalam daur kehidupan. Modul Kuliah. Banda Aceh. Akzi;1995.

Page 12: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

12

10. World Health Organization. Community based strategies for breastfeeding promotion and

support in developing countries. Department of Child and Adolescent Health and

Development;2003

11. Dahlan Z. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2006

12. Pio A, Leowsky, Dam HG. The Magnitude of the problem of acut respiratory. Dalam

Douglas, R.M; Eaton, E.K. (Eds). Proseds intern workshop on acut respiratory infections

in childhood sydney: Univ Press Adelaide;1985.

Page 13: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

13

HUBUNGAN FUNGSI KELUARGA DENGAN STATUS GIZI PADA

LANSIA

Rokhmatul Hikmat*, Agus Rahmat Siswoyo**

ABSTRAK

Penduduk lanjut usia(lansia) merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota masyarakat yang semakin

bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup. Peran keluarga dalam mengenal masalah

kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, ikut merawat anggota keluarga yang sakit,

memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting. Gizi pada lansia

sangat penting untuk kelangsungan hidupnya, sehingga perlu pemantauan dan pemenuhan gizi yang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia.

Penelitian ini merupakan penelitian non experimental dengan metode korelasional dengan pendekatan cross

sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk variabel tingkat pengetahuan

tentang menopause dan IMT untuk mengukur pemenuhan kebutuhan gizi pada perempuan menopause. Analisa

data menggunakan uji korelasi Spearman Rank. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di lapangan

didapatkan data bahwa status gizi pada lansia sebagian besar dalam kategori under weight yaitu sebanyak 112

orang (41,3%), normal yaitu sebanyak 62 orang (22,9%), overweight yaitu sebanyak 60 orang (22,1%), obese I

yaitu sebanyak 23 orang (8,5%) dan obese II yaitu sebanyak 14 orang (5,2%) dan dapatkan nilai P = 0,049

berarti ada hubungan fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia.

Kata kunci: fungsi keluarga, status gizi, lansia.

ABSTRACT

The population aging is a part of family members and community members which is growing in line with

increased life expectancy. The role of families in identifying health problems that is capable of making decisions

in health care, take care of sick family members, modifying the environment, and utilize existing health facilities

is very important. Nutrition in the elderly is very important for survival, so that needed the necessary monitoring

and compliance with good nutrition. This study aims to find out how the relationship of families function with

nutritional status of elderly. This study is a non-experimental method with cross sectional correlation. The data

was collected using a questionnaire to the variable level of knowledge about menopause and IMT to measure the

nutritional needs of menopausal women. Analysis of data using Spearman rank correlation test. From the

research that has been done in the field work, data obtained that the nutritional status of elderly in the village of

Tanjung Brebes Luwunggede District in 2010 showed that the nutritional status of elderly mostly in the under

weight category which as many as 112 people (41.3%), normal that is counted 62 people (22.9%), overweight as

many as 60 people (22.1%), obese I, which as many as 23 people (8.5) and obese II are as many as 14 people

(5.2%) and get the value of P = 0.049 means there is a relationship both family function and nutritional status of

the elderly.

Key words: family functioning, nutritional status, elderly.

* Staf Pengajar Program Studi S1 Keperawatan STIKes Cirebon.

Page 14: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

14

** Alumni PSIK STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap sosial

ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Implikasi ekonomis

yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam ratio

ketergantungan usia lanjut (old age ratio dependency). Setiap penduduk usia produktif akan

menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut. Angka ketergantungan usia lanjut pada

tahun 1995 adalah 6,93% dan tahun 2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa pada tahun 1995

sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 7 orang usia lanjut yang berumur 65

tahun ke atas sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk produktif harus

menyokong 9 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas.1

Pada lansia akan terjadi berbagai macam kemunduran organ tubuh, sehingga

metabolisme di dalam tubuh menurun. Hal tersebut menyebabkan pemenuhan kebutuhan

sebagian zat gizi pada sebagian besar lansia tidak terpenuhi secara adekuat. Oleh karena itu

jika diperlukan, lansia dianjurkan untuk mengkonsumsi suplemen gizi. Tapi perlu diingat dan

diperhatikan pemberian suplemen gizi tersebut harus dikonsultasikan dan mendapat izin dari

petugas kesehatan.2

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu

atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Gizi berhubungan dengan

makanan dan kesehatan. Salah satu golongan umur yang rawan akan masalah gizi adalah

lansia. Gizi pada lansia sangat penting untuk kelangsungan hidupnya, sehingga perlu

pemantauan dan pemenuhan giziyang baik.3

Keluarga merupakan orang terdekat dari seseorang yang mengalami gangguan

kesehatan/dalam keadaan sakit. Keluarga juga merupakan salah satu indikator dalam

masyarakat apakah masyarakat sehat atau sakit. Peran/tugas keluarga dalam kesehatan yang

dikembangkan oleh ilmu keperawatan dalam hal ini adalah ilmu kesehatan masyarakat

(komunitas) sangatlah mempunyai arti dalam peningkatan dalam peran/tugas keluarga itu

sendiri. Perawat diharapkan mampu meningkatkan peran keluarga dalam mengatasi masalah

kesehatan keluarga.4

Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan

dalam kesehatan, ikut merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan

memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi kecemasan

klien.4

Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak

mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk

kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi. Kondisi

sosial-ekonomi yang baik memberi kemungkinan agar kebutuhan gizi dapat terpenuhi. Yang

dimaksud dengan terpenuhinya kebutuhan gizi adalah tersedianya berbagai zat yang

diperlukan untuk mempertahankan stabilitas fungsi-fungsi tubuh, dan sekaligus untuk

kebutuhan tubuh seperti misalnya kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, kalsium dan

mikronutrien.5

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo

mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada

masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi

dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan

semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup

untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak

cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.4

Page 15: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

15

Faktor penyebab dari tingginya gangguan gizi pada lansia tidak lain disebabkan karena

belum memadainya pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus

lainnya yang memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat

yang terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah tangga

mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan

(2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita ketahui Human Development Index

pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari

negara-negara ASEAN lainnya. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata

terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan

berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan akan berdampak lebih nyata pada masalah kesehatan

dan gizi penduduk.4Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan fungsi keluarga

dengan status gizi pada lansia di desa Luwunggede kecamatan Tanjung kabupaten Brebes

tahun 2010

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survei analitik yaitu survei atau penelitian yang

mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi dengan

pendekatan secara Cross Sectional di mana data yang menyangkut variabel bebas atau risiko

dan variabel terikat atau variabel akibat, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.

variabel independen yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada lansia akan

dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan dengan variabel dependen yaitu status gizi pada

lansia.6

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia di Desa Luwunggede Kecamatan

Tanjung Kabupaten Brebes tahun 2009 berjumlah 867 orang. Besar sampel didapatkan

sebanyak 271 lansia. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan tehnik proportional sampling yaitu membagi jumlah anggota populasi dengan

perkiraan jumlah sampel yang diinginkan.7Instrumen yang di gunakan dalam penelitian ini

adalah kuesioner dengan teknik wawancara sedangkan Instrumen yang di gunakan untuk

mengetahui setatus gizi pada lansia adalah roll meter dan mikrotoa di ukur dengan IMT

(Indeks Masa Tubuh) yaitu dengan cara mengukur Tinggi Badan (TB) dan menimbang Berat

Badab (BB).

Dalam analisa data, penulis menggunakan analisa univariabel yaitu menghasilkan

distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

Keterangan :

P : Persentase

F : Frekuensi

N : Jumlah Responden

dan analisis bivariabel untuk mengetahui hubungan antar variabel menggunakan uji statistik

Chi Square dengan ketentuan :8

P < 0,05 artinya Ho ditolak yaitu ada hubungan yang signifikan antara hubungan

fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia.

P > 0,05 artinya Ho gagal ditolak yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara

hubungan fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia.

F

P = x 100%

N

Page 16: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

16

HASIL PENELITIAN

Berat badan rata-rata pada lansia

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berat Badan rata-rata pada Lansia

Hampir sebagian (30,7%) responden memiliki berat 40-50 kg

Tinggi badan rata-rata pada lansia Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tinggi Badan rata-rata pada Lansia

Sebagian besar responden (72,4%) memiliki tinggi badan 161-170 cm.

Fungsi Keluarga Pada Lansia

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Fungsi Keluarga Pada Lansia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (45,4%) fungsi keluarga pada lansia

dalam kategori cukup.

Status Gizi Pada Lansia

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Status Gizi Pada Lansia

No Berat Badan (kg) Frekuensi Persentase (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

40-50

51-60

61-70

71-80

81-90

91-100

83

77

53

29

18

11

30,7

28,4

19,6

10,7

6,6

4

Total 271 100

No Tinggi Badan (cm) Frekuensi Persentase (%)

1.

2.

3.

150-160

161-170

171-180

28

196

47

10,3

72,4

17,3

Total 271 100

No Fungsi Keluarga Frekuensi Persentase (%)

1.

2.

3.

Baik

Cukup

Kurang

93

123

55

34,3

45,4

20,3

Total 271 100

No Status Gizi Frekuensi Persentase (%)

1.

2.

3.

4.

5.

Obese II

Obese I

Overweight

Normal

Underweight

14

23

60

62

112

5,2

8,5

22,1

22,9

41,3

Page 17: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

17

Hampir sebagian (41,3%) status gizi pada lansia dalam kategori cukup.

Hubungan Fungsi Keluarga Dengan Status Gizi Pada Lansia

Tabel 5 Distribusi Hubungan Fungsi Keluarga Dengan Status Gizi Pada Lansia

Fungsi

Keluarga

Status Gizi

Jumlah

Nilai

P Obese II Obese I Overweight Normal

Under

veight

n % n % n % n % n % n %

0,049

Baik 8 8,6 5 5,4 6 17,2 15 19,4 18 49,5 93 100

Cukup 5 4,1 16 13 32 26 28 22,8 42 34,1 123 100

Kurang 1 1,8 2 3,6 12 21,8 16 29,1 24 43,6 55 100

Jumlah 14 5,2 23 8,5 60 22,1 62 22,9 112 41,3 271 100

Ada hubungan antara fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia di Desa Luwunggede

Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes Tahun 2010.

PEMBAHASAN

Fungsi Keluarga Pada Lansia

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden dengan fungsi keluarga yang

cukup. Hal ini bisa disebabkan karena responden masih memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kebutuhan tersebut diantaranya orang lanjut usia membutuhkan rasa nyaman bagi dirinya

sendiri, serta rasa nyaman terhadap lingkungan yang ada. Tingkat pemenuhan kebutuhan

tersebut tergantung pada diri orang lanjut usia, keluarga dan lingkungannya. Jika kebutuhan-

kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan timbul masalah-masalah dalam kehidupan orang

lanjut usia yang akan menurunkan kemandiriannya.9

Fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan tugas-tugas yang harus dilaksanakan di dalam

atau oleh keluarga itu. Adapun fungsi keluarga pada lansia adalah fungsi afektif, fungsi

sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi perawatan kesehatan.

Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan

pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Orang tua diharapkan untuk menyesuaiakan

diri dengan menurunkan kekuatan, dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Hal ini sering

diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan didalam maupun

diluar rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas

terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu dikala masih muda dulu.

Status Gizi Pada Lansia Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar status gizi responden adalah underweight,

hal ini bisa disebabkan oleh kondisi fisik pada lansia yang bisa mempengaruhi status gizi

lansia. Dengan bertambahnya usia seseorang, kecepatan metabolisme tubuh cenderung turun,

oleh karena itu, kebutuhan gizi bagi para lanjut usia, perlu dipenuhi secara adekuat.

Kebutuhan kalori pada lanjut usia berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya kalori

dasar dari kegiatan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan

Total 271 100

Page 18: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

18

kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan, ginjal,

dan sebagainya. Jadi kebutuhan kalori bagi lansia harus disesuaikan dengan kebutuhannya.

Status gizi dihubungkan dengan sel tubuh dan pergantian atas zat makanan proses yang

berkenaan dengan pertumbuhan dan pemeliharaan serta perbaikan dan pembentukan seluruh

kehidupan bagian tubuh akan menghasilkan status gizi yang tinggi atau rendah. Gizi

merupakan bagian penting bagi kesehatan dan kesejahteraan yang cukup gizinya apabila

mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal dan

pemeliharaan energi. Status gizi adalah gambaran tentang keadaan gizi seseorang sebagian

dimakan dan yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga dapat menggambarkan seseorang tersebut

dalam kondisi gizi baik gizi kurang atau gizi lebih.10

Faktor penyebab gangguan nutrisi pada lansia diantaranya adalah tinggal sendiri,

kelemahan fisik, kehilangan, depresi, pendapatan yang rendah, penyakit saluran pencernaan,

penyalahgunaan alkohol dan obat.10

Pengetahuan masyarakat mengenai makanan yang baik untuk kondisi tubuh dan usia

sangat diperlukan agar penduduk lansia yang akan bertambah pada masa akan datang dapat

tetap hidup sehat dan berkualitas. Upaya-upaya dapat dilakukan melalui penyuluhan-

penyuluhan yang diberikan oleh kaum profesional di bidang kesehatan masyarakat.

Hubungan Fungsi Keluarga Dengan Status Gizi Pada Lansia

Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Pada

lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri

atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak

dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Karena itu di dalam

tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit

degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal.

Pada golongan lansia yang kurang gizi, masalahnya adalah kemampuan indera rasa lidah

yang menurun, juga menurunnya kemampuan tubuh mencerna makanan. Pengaruh

lingkungan ikut menyebabkan konsumsi makanan menjadi rendah, sehingga tidak mencukupi

kebutuhan. Sebaliknya pada golongan lansia yang kegemukan disebabkan konsumsi yang

relatif tetap, sedangkan kebutuhan menurun. Penurunan kebutuhan ini disebabkan

metabolisme dan aktivitas menurun pula.11

Gizi merupakan salah satu faktor yang penting dalam mencapai derajat kesehatan yang

optimal bagi lanjut usia. Lansia yang hidup sendiri atau di tinggal oleh orang yang dicintai

tanpa ada dukungan dari teman dan keluarga dapat berdampak pada perubahan status gizi atau

pemenuhan kebutuhan gizi. Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan gizi lansia diperlukan

suatu dukungan dari keluarga.

Friedman membagi tugas keluarga dalam lima hal yaitu (1) mengenal gangguan

perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, (2) mengambil keputusan untuk melakukan

tindakan yang tepat apabila ada anggota keluarga, (3) memberikan keperawatan kepada

anggota keluarga yang sakit dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau

usianya yang terlalu muda, (4) mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan

kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga dan (5) mempertahankan

hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan, sehingga timbul pemanfaatan

dengan baik terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki

keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota

keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu

memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak

punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang atau punya pasangan hidup

namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan

Page 19: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

19

sendiri, seringkali menjadi terlantar.

SIMPULAN 1. Fungsi keluarga pada lansia hampir sebagian (45,%%) dalam kategori cukup

2. Status gizi pada lansia sebesar 41,3% dalam kategori underweight.

3. Ada hubungan fungsi keluarga dengan status gizi pada lansia Di Desa Luwunggede

Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes Tahun 2010.

SARAN 1. Bagi Tempat Penelitian

Sebagai pelayanan kesehatan diharapkan puskesmas bisa memberikan konseling kepada

lansia dan keluarganya mengenai fungsi keluarga dan status gizi pada lansia, serta

pengetahuan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pada lansia.

2. Bagi Responden

Responden sebaiknya lebih meningkatkan pemahaman terhadap fungsi keluarga dan status

gizi pada lansia dengan sering mendengarkan informasi dan berbagi pengalaman dengan

orang lain. Informasi atau pendidikan mengenai tugas kesehatan keluarga dapat diperoleh

keluarga melalui kunjungan terhadap fasilitas kesehatan terdekat yaitu puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wirakartakusumah, Anwar. Aging in Indonesia demographic characteristic Demographic

institute, Jakarta: Faculty of Economies University of Indonesia; 1994

2. Siburian P. Bagaimana cara mengasuh dan merawat lansia. [diakses tanggal 29 September

2009]. Diunduh dari: http//www.waspada.co.id.

3. Supariasa IDN, Bakrie, Bachyar, Fajar, Ibnu. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC Penerbit

Buku Kedokteran; 2001

4. Moehji S. Ilmu gizi, Jakarta: Bhratara;1992

5. Darmojo R. Buku ajar geriatri. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;1999

6. Arikunto S. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta. Rineka Cipta;2006

7. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta;2005

8. Sugiyono. Statistika untuk penelitian. Bandung: Alfabeta; 2006

9. Hardywinoto. Menjaga keseimbangan kualitas hidup para lanjut usia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama; 1999

10. Ali Z. Pengantar perawatan kesehatan keluarga. Teori & praktek :Jakarta; 2000)

11. Anonim, Perspektif dan stereotip tentang lansia. [diakses tanggal 30 September 2009].

Diunduh dari http://aswendo.xanga.com.

Page 20: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

20

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KETERATURAN MINUM OBAT BAGI PENDERITA TUBERKULOSIS

PARU

Mohammad Sadli*, Sayidi**

ABSTRAK Penyakit Tuberkulosis Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat khususnya penyakit Tuberkulosis Paru. Adapun sumber penularan adalah penderita Tuberkulosis

dengan hasil basil tahan asam (BTA) positip yang menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak

pada waktu batuk atau bersin. Percikan dahak ini mengandung kuman yang dapat bertahan di udara pada suhu

kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau percikan dahak tersebut terhirup kedalam saluran

pernapasan. Penyakit Tuberkulosis dapat menimbulkan masalah sosial ekonomi bagi penderita, keluarga,

masyarakat dan negara. Tujuan pembuatan skripsi ini untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan

dengan keteraturan minum obat bagi Penderita Tuberkulosis Paru di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon.

Jenis penelitian ini bersifat analitik observasional dengan pendekatan metode cross sectional. Adapun

pengambilan data diperoleh dengan cara wawancara, observasi dengan menggunakan kuesioner, jumlah sampel

sebanyak 53 Responden dari jumlah total populasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 96,23 %

berpengetahuan baik, 86,79 % bersikap positip, 90,57 % mengatakan bahwa sarana obat tuberkulosis paru

lengkap dan 96,23 % mengatakan bahwa petugas kesehatan berperan terhadap keteraturan minum obat serta

69,81 % mengatakan bahwa keluarga berperan terhadap keteraturan minum obat. Hasil uji statistik didapatkan

bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan, sikap, sarana, peran petugas kesehatan dan peran

keluarga dengan keteraturan minum obat penderita tuberkulosis paru.

Kata Kunci : Keteraturan minum Obat.

ABSTRACT Tuberculosis pulmonary desease constitute that one of contaminant desease which be problem public health

different from other tuberculosis pulmonary desease. This is causes mycobacterium tuberculosis which

pulmonary attack, however can so attack organ other. Spreading source is sufferer tuberculosis which outcome

bacillus endure acid positif which causes microbe to air in type fragment sputum at when to cought or sneeze.

Pragment sputum this contain microbe which can last in air temperature room during some hour and person can

infected if fragment sputum inhalation. Tuberculosis desease causes sosial and economi problem in people,

whit family, community, and country. Purpose make research to know factors related with regularity dringking

medicin for tuberculosis pulmonary sufferer in Klangenan Cirebon. This design research analytic observational

method approach cross sectional. Retrieval of data obtained through using aquestionnaire, total sample of 53

respondents from a total population. The result showed that 96,23% good knowledge, 86,79% be positive,

90,57% says that means a complete pulmonary tuberculosis drugs and 96,23% said health workers contribute to

the regularity of drug and 69,81% said that the family contributes to the regularity of pulmonary tuberculosis

drug. Statistical test results showed that there is significant relationship between knowledge, attitudes, facilities,

the rule of health workers and family roles with the regularity of taking medication in patients with pulmonary

tuberculosis.

Keyword : Regularity of taking medication

Page 21: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

21

* Staf Pengajar Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat STIKes Cirebon. ** Alumni PSKM STIKes Cirebon Lulus Tahun 201

PENDAHULUAN

Pada tahun 1995 program penanggulangan TBC Nasional mengadopsi strategi DOTS

(Directly Observed Treatment Shourtcourse chemotherapy) yang direkomendasikan oleh

WHO dan strategi DOTS ini telah dibuktikan dengan berbagai uji coba dilapangan dan dapat

memberikan angka kesembuhan yang tinggi.1

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan

bahwa penyakit Tuberkulosis Paru merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah

penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan

nomor satu dari golongan penyakit infeksi.

Pada tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahunnya terdapat 583.000 kasus baru

penyakit Tuberkulosis dengan 140.000 kematian karena penyakit Tuberkulosis yang terjadi

setiap tahunnya. Dan di Indonesia diperkirakan setiap 100.000 penduduk terdapat 107

penderita baru penyakit TBC Paru BTA Positip.2

Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang terpadat di Indonesia dengan

jumlah penduduk pada tahun 2003 sekitar 36 juta jiwa. Meskipun jumlah penduduk yang

besar merupakan aset dalam pembangunan namun konsekuensinya adalah timbulnya masalah

kesehatan masyarakat seperti penyakit menular. Salah satu masalah penyakit menular yang

sedang dihadapi yaitu meningkatnya jumlah penderita Tuberkulosis. Di Jawa Barat setiap

tahunnya diperkirakan terdapat sekitar 44.000 orang penderita baru Tuberkulosis Paru BTA

(Bakteri Tahan Asam) positip. Walaupun demikian pada tahun 2003 sekitar 16.000 (40 %)

kasus baru TBC Paru BTA positip yang ditemukan dan diobati setiap tahunnya. Dari jumlah

penderita yang ditemukan dan di obati ternyata sekitar 78 % saja penderita tersebut

dinyatakan sembuh. Hal ini menunjukan bahwa masih belum optimalnya program

penanggulangan TBC di Jawa Barat.2

Pencapaian indikator kegiatan Program TB Paru di Kabupaten Cirebon tahun 2008 hasil

Case Detection Rate (CDR) mencapai 1.036 penderita (45,3 %) dari 2.286 penderita BTA

positip dan Cure Rate 1.016 penderita (87,19 %) dari 1.166 penderita. (sumber hasil rapat

program TBC Paru Puskesmas Kabupaten Cirebon tanggal 5 Januari 2009).3

Adapun hasil kegiatan Program TB Paru yang ada di wilayah Kecamatan Klangenan

tahun 2009 yaitu penemuan penderita BTA positip dan diobati (Case Detection Rate)

mencapai 53 penderita BTA positip (88,33 %) dari target 60 penderita dengan kesenjangan 7

penderita (11,67 %). Dari 7 penderita tersebut tidak bisa diwawancarai dikarenakan tidak ada

ditempat. Pengobatan penyakit Tuberkulosis Paru memerlukan keteraturan dalam minum obat

terutama minum obat pada fase pengobatan intensif yaitu pengobatan pada dua bulan pertama

masa pengobatan dan perlu adanya pengawasan yang ketat yaitu seorang PMO (pengawas

minum obat) setiap penderita tuberkulosis paru yang bertugas untuk mendampingi dan

memberikan dorongan moril serta semangat kepada penderita untuk minum obat yang akan

berdampak pada kesembuhan terhadap penyakit, karena tanpa adanya keteraturan minum

obat, penyakit akan sulit untuk disembuhkan.4

Salah satu permasalahan dalam penanggulangan terhadap keteraturan minum obat bagi

penderita Tuberkulosis Paru adalah lamanya masa pengobatan dan dibutuhkan waktu enam

bulan dengan empat macam kombinasi obat dan lemahnya petugas pengawasan minum obat

Page 22: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

22

(PMO) untuk mengontrol dan memantau penderita apakah obat tersebut diminum sesuai

dengan aturan atau tidak, karena penyakit Tuberkulosis Paru bisa sembuh dengan keteraturan

dan ketaatan penderita untuk minum obat dalam masa pengobatan. Tujuan penelitian untuk

megetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan keteraturan minum obat Penderita

Tuberkulosis di wilayah Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2009.

METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan pendekatan metode “cross sectional”

yaitu suatu penelitian dimana dalam pengumpulan data terhadap variabel dependen dan

independen dilakukan secara sekaligus pada waktu yang bersamaan.5Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh penderita Tuberkulosis Paru yang ada di wilayah Kecamatan

Klangenan Kabupaten Cirebon yang tercatat dan diobati dengan obat anti tuberkulosis dengan

menggunakan strategi DOTS yang ditemukan pada bulan Januari sampai dengan Desember

2009 yaitu sebanyak 60 penderita sedangkan sampel sebanyak 53 penderita, sedangkan 7

penderita tidak bisa diwawancarai.

Teknik dan instrumen pengumpulan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner

yang dibagikan langsung pada responden mengenai Pengetahuan, sikap, sarana/prasarana,

peran keluarga dan peran petugas pada responden sedangkan data waktu minum obat

diperoleh dari register kartu penderita (Formulir TB 01).6 Teknik analisa data pada penelitian

ini terdiri dari analisis univariabel untuk memperoleh gambaran dari masing – masing

variabel independen yaitu pengetahuan, sikap, peran petugas dan peran keluarga sedangkan

variabel dependennya adalah keteraturan minum obat.7Analisis bivariabel menggunakan uji

statistik Chi Square untuk mengetahui hubungan dua variabel.

HASIL PENELITIAN

Pengetahuan tentang Keteraturan Minum Obat

Terdapat 51 Responden (96,33%) yang mempunyai Pengetahuannya baik dan 2

Responden (3,77 %) yang mempunyai Pengetahuan cukup tentang keteraturan minum obat.

Sikap tentang Keteraturan Minum Obat Terdapat 46 Responden (86,79%) yang mempunyai sikap positip dan 7 Responden

(13,21 %) yang mempunyai sikap negatip.

Sarana dan Prasarana dalam Keteraturan Minum Obat Terdapat 48 Responden (90,57%) yang mengatakan sarana lengkap dan 5 Responden

(9.43 %) yang mengatakan sarana tidak lengkap.

Peran petugas Kesehatan dalam Keteraturan Minum Obat Terdapat 51 Responden (96,23%) yang mengatakan bahwa Petugas berperan dan 3

Responden (3,77%) yang mengatakan Petugas kurang berperan.

Peran Keluarga dalam Keteraturan Minum Obat

Terdapat 37 Responden (69,81 %) yang mengatakan bahwa Keluarga berperan dan

16 Responden (30,19 %) yang mengatakan Keluarga kurang berperan.

Keteraturan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis Paru

Page 23: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

23

Terdapat 49 Responden (92,45 %) yang mengatakan bahwa minum obat teratur dan 4

Responden (7,55 %) yang mengatakan minum obat tidak teratur.

Hubungan Pengetahuan dengan Keteraturan Minum Obat

Tabel 1 Hubungan Pengetahuan dengan keteraturan minum obat

Pengetahuan

Responden

Keteraturan Minum Obat Total

X2 P Value Teratur Tidak Teratur

N % N % N %

Baik

Cukup

48

1

94,1

50,0

3

1

5,9

50.0

51

2

100

100

5,368 0,021

Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100

Dari 51 responden yang mempunyai pengetahuan baik, ternyata sebagian besar yaitu 48

responden (94,1%) teratur minum obat. Sedangkan dari 2 responden yang mempunyai

pengetahuan cukup ternyata hanya 1 responden (50 %) teratur minum obat dan 1 responden

(50 %) tidak teratur minum obat.

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan

responden dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon

tahun 2010.

Hubungan Sikap dengan Keteraturan Minum Obat

Tabel 2 Hubungan Sikap dengan Keteraturan Minum Obat

Sikap

Responden

Keteraturan Minum Obat Total

X2 P Value Teratur Tidak Teratur

N % N % N %

Positif

Negatif

44

5

95,7

71,4

2

2

4,3

28,6

46

7

100

100

5,109 0,024

Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100

Dari 46 responden yang mempunyai sikap positif, ternyata sebagian besar yaitu 44

responden (95,7 %) teratur minum obatnya. Sedangkan dari 7 responden yang mempunyai

sikap negatif ternyata hanya 5 responden (71,4 %) teratur minum obatnya dan 2 responden

(28,6 %) tidak teratur minum obatnya.

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara sikap responden

dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2010.

Hubungan Sarana dan Prasarana dengan Keteraturan Minum Obat

Tabel 3 Hubungan Sarana dan Pra sarana dengan Keteraturan Minum Obat

Sarana dan

Prasarana

Keteraturan Minum Obat Total

X2 P Value Teratur Tidak Teratur

N % N % N %

Page 24: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

24

Lengkap

Tidak Lengkap

46

3

95,8

60,0

2

2

4,2

40,0

48

5

100

100 8,333 0,004

Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100

Dari 48 responden yang mengatakan sarana dan prasarana lengkap, ternyata sebagian

besar yaitu 46 Responden (95,8 %) teratur minum obatnya. Sedangkan dari 5 responden yang

mengatakan sarana dan prasarana tidak lengkap ternyata hanya 3 responden (60,0 %) teratur

minum obatnya dan 2 responden (40,0 %) tidak teratur minum obatnya.

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara sarana dan prasarana

dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2010.

Hubungan Peran Petugas dengan Keteraturan Minum Obat

Tabel 4 Hubungan Peran Petugas dengan Keteraturan Minum Obat

Peran Petugas Keteraturan Minum Obat Total

X2 P Value Teratur Tidak Teratur

N % N % N %

Berperan

Kurang Berperan

48

1

94,1

50,0

3

1

5,9

50,0

51

2

100

100 5,368 0,021

Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100

Hampir seluruh responden (94,1%) teratur minum obat. Sedangkan dari 2 responden yang

mengatakan Petugas kurang berperan ternyata hanya 1 responden (50,0 %) teratur minum

obat dan 1 responden (50,0 %) tidak teratur minum obat.

Dari hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peran petugas

dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2010.

Hubungan Peran Keluarga dengan Keteraturan Minum Obat

Tabel 5 Hubungan Peran Keluarga dengan Keteraturan Minum Obat

Peran Keluarga Keteraturan Minum Obat Total

X2 P Value Teratur Tidak Teratur

N % N % N %

Berperan

Kurang Berperan

36

13

97,3

81,3

1

3

2,7

18,8

37

16

100

100 4,122 0,042

Jumlah 49 92,5 4 7,5 53 100

Dari 37 responden yang mengatakan bahwa keluarga berperan, ternyata sebagian besar

yaitu 36 responden (97,3 %) teratur minum obatnya. Sedangkan dari 16 responden yang

mengatakan keluarga kurang berperan ternyata hanya 13 responden (81,3 %) teratur minum

obatnya dan 3 responden (18,8 %) tidak teratur minum obatnya.

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peran petugas

dengan keteraturan minum obat di Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon tahun 2010.

PEMBAHASAN

Hubungan Pengetahuan Responden dengan Ketaraturan Minum Obat Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Fajarwati ada hubungan antara pengetahuan

dengan keteraturan minum obat Tuberkulosis yang dilakukan di BP 4 Surakarta tahun 2005.

Di karenakan setiap penderita yang mau mengambil obat di Puskesmas atau unit layanan

kesehatan selalu memperoleh penyuluhan tentang cara minum obat yang harus selalu

diperhatikan oleh Penderita.

Page 25: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

25

Hubungan Sikap Responden dengan Keteraturan Minum Obat

Sikap seseorang dalam keteraturan minum obat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, bila

pengetahuan orang tersebut terhadap penyakitnya baik, maka berobatnya akan teratur akan

tetapi bila pengetahuan terhadap penyakitnya rendah atau kurang, maka pengobatannya tidak

teratur.

Sedangkan menurut pendapat Azwar sikap merupakan kesediaan seseorang untuk bersikap

positif maupun negatif terhadap suatu tindakan atau perilaku seseorang. Hal ini menunjukkan

bahwa dengan sikap yang positif akan membantu proses keteraturan minum obat untuk

mencapai kesembuhan.8

Hubungan Sarana dan Pra sarana dengan Keteraturan Minum Obat

Menurut Green mengungkapkan bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan ditentukan

oleh salah satu faktor pemungkin yaitu tersedia atau tidak tersedianya fasilitas kesehatan

dalam hal ini obat-obatan.9

Menurut Bachtiar dalam penelitiannya bahwa penderita yang mengatakan obat selalu

tersedia lebih teratur berobat dibandingkan dengan penderita yang mengatakan obat tidak

selalu tersedia di Puskesmas

Ketersediaan obat tuberkulosis sebagai faktor pendukung keteraturan minum obat bagi

penderita tuberkulosis sesuai dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment

Shourtcourse Chemotherapy). Hal ini perlu diantisipasi oleh petugas Puskesmas akan

ketersediaan obat tuberkulosis yang merupakan tanggungjawab dalam melaksanakan tugasnya

dan menurut Suryadi tanggung jawab dalam pengelolaan obat merupakan tanggungjawab

yang akan berpengaruh pada kinerja petugas dan kesembuhan terhadap penderita.

Hubungan Peran Petugas dengan Keteraturan Minum Obat

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sarafino dalam penelitiannya bahwa ada

hubungan antara peran petugas dengan kepatuhan penderita untuk berobat. Sedangkan

menurut Nawi dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara

peran petugas dengan keteraturan berobat.

Hubungan Peran Keluarga dengan Keteraturan Minum Obat

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Nawi dan Bachtiar dalam penelitiannya

menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara peran keluarga dengan

keteraturan berobat.

Menurut Green bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan ditentukan oleh faktor

penguat yaitu dukungan yang diberikan oleh Keluarga.9Menurut Fredson yang didukung oleh

penelitiannya Suchman bahwa 74 % dari responden yang sakit parah dan dirawat di Rumah

Sakit mendiskusikan sakitnya kepada keluarga dan saudaranya.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan dengan hasil pembahasannya,maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Ada hubungan yang bermakna antara Pengetahuan dengan keteraturan minum obat bagi

Penderita Tuberkulosis Paru

2. Ada hubungan yang bermakna antara Sikap dengan keteraturan minum obat bagi Penderita

Tuberkulosis Paru

3. Ada hubungan yang bermakna antara sarana dan prasarana dengan keteraturan minum obat

bagi Penderita Tuberkulosis Paru

Page 26: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

26

4. Ada hubungan yang bermakna antara peran Petugas dengan keteraturan minum obat bagi

Penderita Tuberkulosis Paru

5. Ada hubungan yang bermakna antara peran Keluarga dengan keteraturan minum obat bagi

Penderita Tuberkulosis Paru

SARAN 1. Pemerintah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Puskesmas)

1) Dapat dijadikan sebagai bahan masukkan dan informasi untuk program

pemberantasan penyakit tuberkulosis untuk menentukan langkah - langkah kebijakan

dalam program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru.

2) Meningkatkan monitoring untuk mengevaluasi keteraturan penderita dalam minum

obat tuberkulosis Paru.

2. Masyarakat/keluarga/penderita

1) Untuk memberikan dorongan dan dukungan moril terhadap penderita agar mau

minum obat secara teratur dan mengikuti aturan sesuai anjuran petugas sehingga

mempercepat proses penyembuhan.

2) Sebagai bahan untuk acuan dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam

pengawasan terhadap penderita Tuberkulosis paru untuk minum obat.

DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Panduan nasional penanggulangan tuberkulosis, edisi ke 2 cetakan Kedua.

Jakarta: Depkes RI; 2008

2. Anonim. World TB day 2004. Seminar TBC. Bandung: PPNI;2004

3. Anonim. Profil kesehatan kabupaten cirebon, Cirebon: Dinas Kesehatan; 2008.

4. Anonim. Buku pegangan kader untuk PMO (pengawas minum obat), Depkes RI; 2003

5. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2006

6. Depkes RI. Panduan pengawas minum obat TBC.Jakarta: Ditjen P2M dan PL; 2001

7. Saebani AB. Metode penelitian. Bandung:Pustaka Setia; 2008

8. Azwar S. Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka pelajar;1998

9. Notoatmodjo. Ilmu kesehatan masyarakat prinsip-prinsip dasar. Jakarta: Rineka

Cipta;2006

Page 27: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

27

PENGETAHUAN WANITA PRE MENOPAUSE TENTANG

MENAPOUSE

Uun Kurniasih*, Neni Nuraeni**

ABSTRAK Menopause merupakan tahap yang normal bagi setiap kehidupan wanita. Proses tersebut berjalan lambat

sehingga kita tidak menyadarinya. Dampak yang terjadi atau dapat dirasakan ketika umur kehidupan sudah

mencapai 45 – 50 tahun. Seperti gangguan haid, rasa panas (hot flash), perubahan pada fungsi organ serta tanda

dan gejalanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran wanita pre menopause tentang

menopause di Desa Kejiwan Wlayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon 2010. Jenis penelitian

yang digunakan yaitu deskriptif, penelitian ini dilaksanakan di Desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT Puskesmas

Susukan Kabupaten Cirebon pada bulan Agustus 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita pre

menopause yang berjumlah 122 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling. Sampel

dalam penelitian ini adalah wanita pre menopause yang kebetulan bertempat di Desa Kejiwan sejumlah 40 orang

yang dilaksankan pada tanggal 10 s/d 17 Agustus 2010. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan

kuesioner tertutup dengan 25 pertanyaan. Data yang telah didapat selanjutnya diolah dan dianalisa secara

univariat. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar wanita pre menopause berpengetahuan baik

tentang definisi menopause sebesar (45%), berpengetahuan cukup (40%) tentang tanda dan gejala menopause,

berpengetahuan kurang (47,5%) tentang kebutuhan pada masa menopause dan berpengetahuan cukup (57,5%)

tentang cara penanganan gejala menopause.

Kata Kunci : Pengetahuan, Pre Menopause, Menopause

ABSTRACT

Menopause is a normal stage for every woman's life. The process has been slow so we do not realize it. This

impact can be felt or when life has reached the age of 45-50 years. Such as menstrual disorders, heartburn (Hot

Flash), changes in organ function and the signs and symptoms. The purpose of this study is to reveal pre

menopausal women about menopause in the village of Work Unit PHC Kejiwan Wlayah Susukan Cirebon in

2010. Kind research used is descriptive research study was conducted in the Village Unit Work Area Health

Center Kejiwan Susukan Cirebon in August 2010. The population in this study were pre menopausal women

who numbered 122 persons.The sampling technique used is Accidental Sampling. The sample in this study were

pre menopausal women who happened to take place in the Village Kejiwan some 40 people was conducted on

December 10 until August 17, 2010. Data collection was performed using a closed questionnaire with 25

questions. The data have been obtained subsequently processed and analyzed with univariate. The results

showed that the majority of pre menopausal women knowledgeable both about the definition of menopause

(45%), knowledgeable enough (40%) of signs and symptoms of menopause, the less knowledgeable (47.5%) of

the needs at the time of menopause and knowledgeable enough (57 , 5%) on how to handle menopause

symptoms.

Keywords: Knowledge, Pre Menopause, Menopause

Page 28: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

28

* Staf Pengajar Program Studi D III Kebidanan STIKes Cirebon.

** Alumni D III Kebidanan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

PENDAHULUAN Pre menopause yaitu sejak fungsi reproduksinya menurun sampai timbul keluhan atau

tanda-tanda menopause. Pre menopause yaitu 2 – 5 tahun masa wanita mengalami akhir

datangnya haid sampai berhenti sama sekali. Masa pre menopause dengan berbagai

perubahan fisiologis yang terjadi akan menjadi momok atau rasa ketakutan bagi setiap wanita

yang akan menjalaninya. Walaupun hal ini alamiah terjadi pada semua wanita, namun efek

sampingnya banyak mempengaruhi keharmonisan rumah tangga bila tidak siap

menghadapinya.1

Menopause merupakan tahap yang normal dalam kehidupan, dampak pada kesehatan

baru mulai terlihat ketika angka harapan hidup wanita meningkat pesat diatas dekade ke-6.

Wanita yang hidup di negara maju akan hidup setidaknya sepertiga dari seluruh kehidupan

mereka setelah menopause. Berhentinya menstruasi pada mayoritas wanita timbul tanda dan

gejala seperti ketidak teraturan siklus haid, gejolak panas (hot flush), keringat dimalam hari

(night sweat), kekeringan vagina (dryness vaginal), penurunan daya ingat, kurang tidur

(insomnia), rasa cemas (depresi), mudah lelah, penurunan libido (rasa takut jika berhubungan

seksual), pengecilan payudara dan penurunan elastisitas kulit.2

Bagi wanita yang tahan banting, mereka tidak akan terlalu merasakan gejala saat

memasuki masa menopause sebaliknya yang agak perasa akan merasa keluhan hebat baik

fisik maupun mental. Beberapa tanda dan gejala tersebut antara lain perdarahan yaitu

perdarahan yang keluar dari vagina tidak seperti menstruasi yang datangnya teratur, rasa

panas dan keringat malam, sering dialami wanita yang memasuki masa menopause dirasakan

mulai dari wajah menyebar keseluruh tubuh sering disertai warna kemerahan pada kulit dan

berkeringat. Gejala pada vagina muncul akibat dari perubahan yang terjadi pada lapisan

dinding vagina, vagina menjadi kering dan kurang elastis akibat penurunan kadar estrogen.3

Sebagian wanita belum mengerti bahkan tidak mengetahui kalau mereka berada pada

masa pre menopause. Hal ini disebabkan karena mereka belum memahami dan kurangnya

pengetahuan tentang perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita menjelang masa

menopause.4

Wanita yang mendekati menopause, produksi hormon estrogen, hormon progesteron

dan hormon seks lainnya mulai menurun. Keadaan ini menyebabkan jarang terjadinya ovulasi

dan menstruasi tidak teratur, sedikit dengan jarak yang panjang. Menopause berhubungan

dengan perubahan hormonal sehingga wanita mengalami perubahan fisik dan emosional.2

Kematangan mental, kedewasaan berfikir, faktor emosional, budaya dan wawasan

mengenai menopause akan menentukan berat ringannya seseorang menghadapi kekhawatiran

saat memasuki masa menopause. Bila seorang perempuan tidak siap mental menghadapi

periode klimakterium atau fase menjelang menopause dan lingkungan psikososial tidak

memberikan dukungan positif akan berakibat tidak baik. Perempuan itu akan menjadi kurang

percaya diri, merasa tidak diperhatikan, tidak dihargai, stress, dan khawatir berkepanjangan

tentang perubahan fisiknya, misalnya khawatir fisiknya tidak seindah dan sesehat ketika

muda.5

Page 29: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

29

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT

Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon, diketahui bahwa pengetahuan wanita pre menopause

di desa tersebut masih kurang. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara kepada 12 orang wanita

pre menopause, hanya 5 orang yang mengetahui tentang menopause. Berdasarkan

permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “pengetahuan

wanita pre menopause tentang menopause”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

gambaran pengetahuan wanita pre menopause tentang menopause di desa Kejiwan wilayah

kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon tahun 2010.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif

adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau

deskriptif tentang suatu keadaan secara objektif.6Variabel dalam peneltian ini adalah

pengetahuan wanita pre menopause tentang menopause. Sub variabel dalam penelitian ini

adalah definisi menopause, tanda dan gejala menopause, cara penanganan menopause, dan

kebutuhan pada masa menopause.

Populasi keseluruhan wanita pre menopause di Desa Kejiwan wilayah kerja UPT

Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 yang berjumlah 122 orang. Pengambilan

sampel penelitian ini dengan cara Accidental Sampling yaitu dengan mengambil responden

yang kebetulan ada atau tersedia. Sampelnya adalah wanita usia 40 tahun keatas di Desa

Kejiwan wilayah kerja UPT Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 sebanyak 40 orang.

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data berupa kuesioner. Uji validitas

dilakukan dengan mengkorelasikan total skor item pertanyaan dengan masing-masing item

pertanyaan. Uji reliabilitas dengan menggunakan alpha cronbach jika bernilai lebih besar atau

sama dengan 0,6 maka item yang bersangkutan dinyatakan reliabel. Teknik pengumpulan

dengan melakukan wawancara. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah

analisa univariabel

Adapun rumus yang digunakan adalah :

Keterangan :

P : Persentase

F : Frekuensi

N : Jumlah sampel

Setelah dipersentasekan kemudian hasilnya diinterpretasikan7

1. Kategori baik jika pertanyaan dijawab benar oleh responden sebanyak > 75%

2. Kategori sedang jika petanyaan dijawab benar oleh responden sebanyak 60% - 75%.

3. Kategori kurang jika pertanyaan dijawab benar oleh responden sebanyak < 60 %.

HASIL PENELITIAN

Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Menopouse

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Menopouse

Pengetahuan Frekuensi %

Baik 5 12,5

Page 30: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

30

Cukup

Kurang

28

7

70

17,5

Jumlah 40 100

Wanita pre menopause yang berpengetahuan baik sebanyak 5 orang (12,5%),

berpengetahuan cukup sebanyak 28 orang (70%) dan berpengetahuan kurang 7 orang

(17,5%).

Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Definisi Menopause

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Definisi Menopause

Pengetahuan Frekuensi %

Baik 18 45

Cukup 13 32,5

Kurang 9 22,5

Jumlah 40 100

Wanita pre menopause yang menjadi responden sebagian berpengetahuan baik

sebanyak 18 orang (45%).

Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Tanda dan Gejala Menopause

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Tanda dan Gejala

Menopause

Pengetahuan Frekuensi %

Baik 9 22,5

Cukup 17 42,5

Kurang 14 35

Jumlah 40 100

Sebagian besar (42,5%) wanita pre menopause yang menjadi responden sebagian

berpengetahuan cukup yaitu sebanyak 17 orang.

Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Kebutuhan Pada Masa Menopause

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Kebutuhan Pada Masa

Menopause

Pengetahuan Frekuensi %

Baik 10 25

Cukup 11 27,5

Kurang 19 47,5

Jumlah 40 100

Wanita pre menopause yang menjadi responden sebagian (47,5%) berpengetahuan

kurang.

Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Cara Penanganan Gejala Menopause

Tabel 5 Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Cara Penanganan Gejala Menopause

Page 31: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

31

Pengetahuan Frekuensi %

Baik 8 20

Cukup 23 57,5

Kurang 9 22,5

Jumlah 40 100

Wanita pre menopause yang menjadi responden sebagian besar (57,5%)

berpengetahuan cukup.

PEMBAHASAN

Pengetahuan Wanita Pre menopause tentang Menopause

Sebagian besar responden sudah mendapatkan informasi tentang menopause dari

keluarga dan lingkungan sekitar. Pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

pendidikan, pekerjaan, umur, sosial budaya, pengalaman dan fasilitas.

Melihat masih adanya wanita pre menopause yang mempunyai pengetahuan kurang

mengenai menopause. Oleh karena itu perhatian tenaga kesehatan sangat diperlukan oleh

wanita pre menopause untuk memberikan pengetahuan atau informasi tentang menopause

dengan benar dan tepat baik dalam bentuk konseling atau penyuluhan.8

Pengetahuan Wanita Pre menopause tentang Definisi Menopause Sebagian responden telah mengetahui definisi menopause. Hal ini dikarenakan wanita pre

menopause sudah mendapatkan informasi tentang definisi menopause dari berbagai media

yang ada seperti televisi, radio, buku dan majalah.

Hal ini sesuai dengan pendapat Wied Hari yang mengungkapkan bahwa fasilitas dapat

menjadi sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Meskipun

seseorang memiliki pendidikan yang rendah tapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari

berbagai media misalnya TV, radio, majalah dan buku, maka hal itu akan meningkatkan

pengetahuan dari seseorang. Melihat masih adanya wanita pre menopause yang mempunyai

gambaran pengetahuan yang cukup dan kurang mengenai definisi menopause, hal ini

dikarenakan kurangnya minat wanita pre menopause untuk mengakses berbagai informasi

dari media. Oleh karena itu diharapkan petugas kesehatan lebih dapat meningkatkan informasi

dan konseling mengenai menopause agar wanita premenopause lebih paham dan mengerti

khususnya tentang definisi menopause.9

Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Tanda dan Gejala Menopause Tingkat pengetahuan baik pada sebagian responden bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain tingkat tahu (know) yang dimiliki responden cukup memadai tentang tanda dan

gejala menopause, pemahaman (comprehention) tentang bagaimana kemampuan dalam

pemahaman mengenai tanda dan gejala menopause.10

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan pre menopause tentang

tanda dan gejala menopause di desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan adalah

cukup, hal ini dikarenakan kurangnya informasi dari petugas kesehatan. Peran tenaga

kesehatan khususnya bidan harus lebih meningkatkan pelayanan melalui konseling atau

penyuluhan dan tanya jawab tentang tanda dan gejala menopause.

Pengetahuan Wanita Pre menopause tentang Kebutuhan Pada Masa Menopause

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita pre menopause berpengetahuan kurang

yaitu 47,5%, hal ini dikarenakan wanita pre menopause yang menjadi responden hanya

mendapat penjelasan secara umumnya saja selain itu sebagian responden tidak bekerja. Sesuai

dengan pendapat Wahid Iqbal yang mengungkapkan bahwa pekerjaan dapat mempengaruhi

Page 32: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

32

tingkat pengetahuan seseorang karena lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang

memperoleh pengalaman dan pengetahuan. Untuk meningkatkan pengetahuan menjadi baik

perlu dilakukan langkah-langkah peningkatan responden adalah dengan didapat dari

pengalaman, pelatihan, konseling dan pendidikan.8

Pengetahuan Wanita Pre menopause Tentang Cara Penanganan Gejala Menopause Pengetahuan adalah merupakan hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan

sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang

diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan wanita pre menopause tentang cara

penanganan gejala menopuase di Desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan

adalah cukup, hal ini dikarenakan sebagian besar wanita pre menopause yang menjadi

responden sudah mendapatkan informasi dari yang telah berpengalaman atau mengalami

masa menopause.

Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo yang mengungkapkan bahwa pengalaman

merupakan sumber pengetahuan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara

mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan. Untuk

meningkatkan pengetahuan wanita pre menopause tentang cara penanganan gejala menopause

perlu dilakukan konseling atau penyuluhan oleh tenaga kesehatan tentang cara penanganan

gejala menopause sehingga dengan pengetahuan yang baik akan sangat bermanfaat.10

SIMPULAN 1. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause tentang menopause di

Desa Kejiwan Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010

sebagian besar (70%) responden berpengetahuan cukup.

2. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause di Desa Kejiwan

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 tentang definisi

menopause sebagian (45%) berpengetahuan baik.

3. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause di Desa Kejiwan

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 tentang tanda

dan gejala menopause sebagian (40%) responden berpengetahuan cukup.

4. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause di Desa Kejiwan

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 tentang

kebutuhan pada masa menopause sebagian (47,5%) responden berpengetahuan kurang.

5. Hasil penelitian yang dilakukan kepada 40 wanita pre menopause di Desa Kejiwan

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Susukan Kabupaten Cirebon Tahun 2010 tentang cara

penanganan gejala menopause sebagian (57,5%) responden berpengetahuan cukup.

SARAN 1. Bagi Wanita Pre Menopause

Diharapkan untuk lebih aktif dalam mencari informasi tentang menopause sehingga dapat

dijadikan sebagai pedoman ketika masa menopause datang.

2. Bagi Institusi Kesehatan

Petugas kesehatan hendaknya memberikan informasi yang lebih luas dan terperinci

tentang menopause. Hal ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan serta diskusi

kelompok sehingga dapat berbagi pengalaman yang berkaitan dengan menopause.

3. Bagi Peneliti Lain

Supaya peneliti dapat meneliti lebih dalam mengenai pengetahuan wanita pre menopause

tentang defini, tanda dan gejala kebutuhan pada masa menopause dan cara penanganan

Page 33: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

33

gejala pre menopause atau dapat mengambil aspek lain yang berhubungan dengan

menopause.

DAFTAR PUSTAKA

1. Proverawati A. Menopause dan sindrome pre menopause. Yogyakarta: Nuha Medika;

2010

2. Smart, Agila. Bahagia di usia menopause. Jogjakarta : A+ Plus Book;2010

3. Connie. Artikel psikologi klinis perkembangan dan sosial menopause. [diakses tanggal

25 Mei 2010]. Diunduh dari: http://www.wordpress.com.

4. Lestary D. Seluk beluk menopause. Jogjakarta: Graha ilmu; 2010

5. Lastoko B. Kiat sehat dan bahagia di usia Menopause. Jakarta: Puspa Suara; 2002

6. Notoamodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta;2002

7. Arikunto S. Prosedur penelitian satu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta; 2006

8. Mubarak, Wahid I. Promosi kesehatan. Yogyakarta: Graha ilmu;2007

9. Wied H A. Pengetahuan dan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan. [diakses

tanggal 30 Agustus 2010]. Diunduh dari: http://www.womenhealth.com

10. Notoatmodjo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta; 2003

Page 34: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

34

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERATURAN KUNJUNGAN

BALITA KE POSYANDU

Nova Lusiana*, Yulia Anggiani**

ABSTRAK

Adanya kejadian luar biasa pada akhir tahun 2000 yang melanda hampir seluruh wilayah di Indonesia banyak

disebabkan karena kurangnya pemberdayaan masyarakat memanfaatkan Posyandu. Dari studi pendahuluan yang

telah dilakukan di Posyandu Mawar desa Kertaungaran Kuningan, di dapatkan adanya penurunan jumlah peserta

Posyandu pada bulan Maret 2010. Dari data statistik, sebagian besar masyarakat berpendidikan tamatan SD.

Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat enggan berkunjung ke Posyandu, salah satunya adalah faktor

predisposisi yaitu pengetahuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi

keteraturan kunjungan balita ke posyandu Mawar desa Kertaungaran Kuningan. Bahan dan Metode Penelitian ini

berupa survei lapangan yang bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan teknik accedental sampling

pada bulan Agustus 2010 di Posyandu Mawar desa Kertaungaran kecamatan Sindangagung kabupaten Kuningan.

Faktor yang mempengaruhi keteraturan tersebut dianalisis dengan menggunakan analisa univariat. Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pengetahuan serta motivasi kunjungan ibu balita ke posyandu mawar

desa kertaungaran berada dalam kategori baik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat pengetahuan serta

mutivasi kunjungan ibu balita ke posyandu Mawar desa Kertaungaran Kuningan berada dalam kategori baik.

Kata Kunci : Pengetahuan, Motivasi, Posyandu

ABSTRACT The existence of unusual conditions at the end of 2000 that hit almost all regions in Indonesia are caused due to a

lack of community empowerment using IHC. From preliminary studies have been conducted on IHC Rose Brass

Kertaungaran village, in getting a decreasing number of participants IHC in March 2010. From the statistics,

most people who graduate from primary school education. Many factors cause people reluctant to visit the IHC,

one of which is a predisposing factor that is knowledge.The purpose of this study is to determine factors

influencing the regularity of visits to neighborhood health center infantskertaungaran village brass roses.

Materials and Methods The study was a descriptive quantitative field surveys sampling techniques using

techniques accedental quantitative sampling in August 2010 in the village of roses IHC

kertaungaranSindangagung sub district brass. Factors that affect the regularity were analyzed by using univariate

analysis. Results This study showed that the level of knowledge and motivation of mothers to visit the village

kertaungaranposyandu roses are in both categories.The conclusion of this study is that the level of knowledge

and mutivasi mothers to visit the village posyandukertaungaran brass roses are in both categories.

Key words: Knowledge, Motivation, IHC

Page 35: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

35

* Staf Pengajar Program Studi D III Keperawatan STIKes Cirebon. ** Alumni D III Keperawatan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

PENDAHULUAN Posyandu diperkenalkan pada masyarakat Indonesia sejak tahun 1984, dalam

perkembangannya Posyandu tumbuh dengan pesat hingga sekitar tahun 1993, namun setelah

tahun 1993 Posyandu mengalami penurunan fungsi dan kegiatannya, padahal dalam

pembiayaan penyelenggaraan Posyandu tersebut gratis, sehingga dapat menjangkau cakupan

target yang lebih luas, sehingga Posyandu merupakan alternatif pelayanan kesehatan yang

perlu dipertahankan.1

Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat berkunjung ke Posyandu, tetapi ada juga

masyarakat yang tidak mau berkunjung ke Posyandu. Faktor yang menyebabkan masyarakat

tidak mau berkunjung ke Posyandu bisa berasal dari dalam diri orang itu sendiri (faktor

predisposisi) dan dari luar orang itu sendiri (faktor pemungkin dan faktor penguat). Salah satu

faktor predisposisi adalah pengetahuan. Faktor pengetahuan masyarakat yang baik

mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan status kesehatan seseorang, sedangkan

pengetahuan masyarakat yang buruk dapat menyebabkan kegagalan dalam peningkatan status

kesehatannya.2

Menurut Kodyat, dalam kegiatan Posyandu terdapat bermacam kegiatan kesehatan mulai

dari pemeriksaan tumbuh kembang balita, KB, imunisasi, peningkatan gizi, sampai

penyuluhan tentang penatalaksanaan diare.3

Disamping kegiatan diatas, peran Posyandu mencakup rujukan pasien ke Puskesmas dan

kunjungan rumah, dimana kegiatan ini untuk mengetahui bagaimana seorang penderita setelah

mendapatkan pengobatan dari Puskesmas dan perawatan apa saja yang masih diberikan,

sehingga Posyandu diharapkan dapat memenuhi tuntutan masyarakat, yakni

menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, yang sesuai dengan harapan

masyarakat.4

Angka kunjungan balita desa Kertaungaran kecamatan Sindang Agung kabupaten

Kuningan di Posyandu menurun pada bulan Maret 2010. sedang jumlah ibu hamil yang

mempunyai balita yang datang ke posyandu berjumlah 72 dari 104 ibu balita yang seharusnya

datang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran faktor yang mempengaruhi

keteraturan kunjungan balita ke posyandu meliputi tingkat pengetahuan ibu tentang peran dan

fungsi Posyandu dan motivasi kunjungan balita di Posyandu desa Kertaungaran kecamatan

Sindang Agung kabupaten Kuningan Tahun 2010.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah survei lapangan yang bersifat deskriptif kuantitatif mengenai

tingkat pengetahuan ibu tentang peran dan fungsi posyandu terhadap motivasi kunjungan.5

Variabel dalam penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi keteraturan kunjungan balita

ke Posyandu di desa Kertaungaran kecamatan Sindang Agung kabupaten Kuningan Tahun

2010. Sub Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu balita tentang peran dan

fungsi Posyandu serta motivasi kunjungan ibu balita ke posyandu dalam upaya peningkatan

kesehatannya.

Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang ada di Posyandu di desa Kertaungaran

kecamatan Sindang Agung kabupaten Kuningan sejumlah 104 orang. Pengambilan sampel

dilakukan dengan menggunakan teknik Accidental sampling yaitu teknik pengambilan sampel

Page 36: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

36

yang dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia.6,7

Isnstrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Analisa

Data dengan Analisa Univariat dilakukan terhadap tiap variabel penelitian melalui distribusi

frekuensi dan persentase yang ditampilkan dalam bentuk tabel.

Adapun rumus yang digunakan :

Keterangan :

P = Jumlah persentase jawaban

F = Jumlah jawaban atau frekuensi

N = Jumlah responden

Kriteria hasil:

1. Baik (76-100%)

2. Cukup (56-75%)

3. Kurang (40-55%)

HASIL PENELITIAN

Pengetahuan Ibu tentang Peran dan Fungsi Posyandu

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Peran dan Fungsi Posyandu

No. Tingkat

Pengetahuan

Jumlah

Responden Persentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup

Kurang

47

6

3

83,9 %

10,7 %

5,4 %

Total 56 100 %

Sebagian besar (83,9%) Responden berpengetahuan baik.

Motivasi Kunjungan Ibu Balita ke Posyandu Mawar

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Motivasi Kunjungan Ibu Balita ke Posyandu

No. Tingkat Motivasi Jumlah

Responden Persentase

1.

2.

3.

Baik

Cukup

Kurang

45

9

2

80,4 %

16,1 %

3,6 %

Total 56 100 %

Tingkat motivasi kunjungan ibu balita ke posyandu Mawar desa Kertaungaran

berada dalam kategori baik dengan persentase 80,4 %.

PEMBAHASAN

Pengetahuan Ibu tentang Peran dan Fungsi Posyandu Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa hampir sebagian besar responden

mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, yaitu sebanyak 83,9 % responden. Sebagian besar

responden telah mendapatkan informasi pada saat kunjungan ke Posyandu. Karena responden

sering mendengar informasi tersebut maka dalam menjawab pertanyaan pada kuesioner serta

pemilihan option jawaban yang ada, dapat menjawab sesuai dengan yang diharapkan.

P = F/ N x 100%

Page 37: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

37

Pengetahuan merupakan hasil ”tahu” dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu obyek tertentu, dimana obyek tertentu tersebut berupa informasi – informasi

penting yang bisa diperoleh dari mana saja, baik dari media cetak, elektronik maupun

informasi langsung dari tenaga kesehatan. Setelah mengetahui informasi tentang peran dan

fungsi Posyandu, selanjutnya ia akan mengevaluasi terhadap informasi yang di dapat, apakah

dapat bermanfaat bagi dirinya atau tidak. Apabila informasi itu tidak bermanfaat bagi dirinya

maka ia akan meninggalkan dan tidak mengadopsi pengetahuan tersebut. Akan tetapi

sebaliknya apabila informasi tersebut dianggap menguntungkan, maka selanjutnya ia akan

mengadopsi pengetahuan tersebut, sehingga akan timbul perilaku yang baik.8

Motivasi Kunjungan Ibu Balita ke Posyandu Hasil analisa penelitian ini menunjukan bahwa 80,4 % responden mempunyai motivasi

yang baik untuk berkunjung di Posyandu. Hal ini berarti kecenderungan responden untuk

memanfaatkan pelayanan kesehatan di Posyandu tinggi. Motivasi responden yang datang ke

Posyandu desa Kertaungaran bisa dipengaruhi oleh faktor intrisik yaitu motivasi yang dibawa

sejak lahir tanpa di pelajari maupun faktor ekstrinsik dari responden yaitu seperti media cetak

maupun elektronik yang ada sekarang ini, sehingga kedua faktor tersebut dapat mendorong

responden untuk datang ke Posyandu. Disamping itu juga pendidikan kesehatan dari tenaga

medis bisa memperkuat motivasi yang sudah ada sehingga responden mampu

mengekspresikannya dengan datang ke Posyandu.

Motivasi responden yang datang ke Posyandu dalam penelitian ini sangat beraneka ragam

bentuknya dan tergantung dari proses sosialisasi dari responden yang bersangkutan, bila

proses sosialisasi atau pembudayaannya baik maka akan mengarahkan responden ke perilaku

yang baik pula, dan ini dibuktikan oleh responden desa Kertaungaran yang datang ke

Posyandu, hampir sebagian besar mempunyai tingkat sosialisasi yang baik.9

Motivasi merupakan salah satu dari mekanisme terbentuknya perilaku dan mengalami

proses perubahan atau bagaimana ia diubah. Motivasi itu sendiri sering diartikan sebagai

dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang (inner-drive) yang secara sadar atau tidak

sadar membuat orang berperilaku untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Jadi yang dimaksud dengan dorongan tadi pada hakekatnya adalah kebutuhan (needs) yang

muncul dari dalam diri orang itu juga sehingga motivasi sering diartikan juga sebagai

kebutuhan.10

SIMPULAN 1. Tingkat pengetahuan responden tentang peran dan fungsi Posyandu dalam penelitian

ini termasuk dalam kategori baik sebesar 83,9%, cukup sebesar 10,7% dan kurang

sebesar 5,4%.

2. Motivasi kunjungan responden di Posyandu Mawar dalam penelitian ini termasuk

dalam kategori baik sebesar 80,4%, cukup 16,1% dan kurang 3,6%.

SARAN 1. Bagi Ibu Balita

Diharapkan agar lebih meningkatkan pengetahuan serta motivasi kunjungannya ke

posyandu dalam upaya peningkatan derajat kesehatan yang optimal.

2. Bagi Puskesmas

1) Diadakan pelatihan – pelatihan bagi kader terlatih terutama didaerah pedesaan

sehingga masyarakat dapat mengakses informasi yang baik dan benar.

2) Diberikan penghargaan bagi Posyandu yang telah berhasil dalam

penyelenggaraannya sehingga dapat memotivasi Posyandu yang bersangkutan.

3. Bagi Petugas

Page 38: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

38

Peningkatan kinerja dalam pemberian pelayanan serta meningkatkan keterampilan

dalam bidangnya sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA 1. Jean B. Posyandu. Jakarta: Dirjen PPM dan LPM; 1996

2. Arif B. Artikel Pengaruh faktor pengetahuan, sikap, dan perilaku. Semarang: BP 4; 2004

3. Depkes. RI. Buku pedoman petugas lapangan. Jakarta: Komite Nasional Posyandu; 1996

4. Anonim. Faktor penyebab ke Posyandu. [diakses tanggal 6 Maret 2009]. Diunduh dari:

http://www.lib.ui.ac.id/go.php%3Fid

5. Suharsimi A. Prosedur penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 1997

6. Hidayat A. Riset keperawatan & tehnik penulisan ilmiah. Jakarta: Penerbit Salemba

Medika; 2003

7. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta; 2002

8. Notoatmojo S. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2000

9. Anonim. Kunjungan ke Posyandu. [diakses tanggal 25 Maret 2009]. Diunduh dari:

http://www.lib.ui.ac.id/go/php.

10. Anonim. Motivasi kunjungan Posyandu. [diakses tanggal 25 Maret 2009]. Diunduh

dari:http://www.Kadek.tblog.com.

Page 39: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

39

KARAKTERISTIK PERILAKU PENDERITA KUSTA DALAM

MENCEGAH KECACATAN

Lili Amaliah*, Yeti Nuryati**

ABSTRAK

Hasil temuan dari petugas kusta Puskesmas Sindang Wangi bahwa penderita kebanyakan usia produktif dengan

latar belakang sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah, personal hygiene yang kurang, serta sanitasi

hygiene yang jelek. Kondisi tersebut akan menimbulkan konsekuensi baru dengan berbagai permasalahan

kesehatan baik fisik maupun mental bagi penderita kusta juga terhadap populasi yang ada di sekitarnya.

Konsekuensi baru tersebut antara lain resiko penularan dari penderita ke orang lain semakin besar, ancaman

terjadinya kecacatan yang pemanen yang berdampak menurunnya tingkat produktifitas dan kualitas sumber daya

manusia, serta meningkatnya beban hidup yang harus ditanggung oleh keluarga penderita. Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik perilaku penderita kusta dalam mencegah kecacatan di

wilayah kerja Puskesmas sindang Wangi Kabupaten Majalengka. Jenis penelitian ini adalah Deskriptif yang

menggambarkan perilaku penderita kusta. Populasi dalam penelitian ini seluruh penderita kusta yang ada di

wilayah kerja Puskesmas Sindangwangi Kabupaten Majalengka yaitu sejumlah 6 orang, pengambil sampel

menggunakan tehnik total sampling, alat pengumpul data menggunakan kuesioner dan data diambil dengan

wawancara. Tehnik analisis data dengan analisis deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 50,0 %

responden berperilaku “cukup baik” terhadap pencegahan kecacatan kusta, tapi masih terdapat responden yang

belum berprilaku “baik” dalam upaya pencegahan kecacatan kusta (33,3%).

Kata Kunci: Perilaku, Penderita Kusta

ABSTRACT

Leprosy officer of Puskesmas sindang Wangi founds that the patients are most productive age with social-

economic and low education levels background, poor personal hygiene, poor hygiene and sanitation. These

conditions will lead to new consequences to the various problems both physical and mental health for people

with leprosy and also to the population in its vicinity. New consequences include the risk of transmission from

sufferer to others will more and more, the threat of a permanent disability that affects a decreased level of

productivity and quality of human resources, and the increased living expenses incurred to be borne by the

patient's family. The purpose of this study is to knowing the characteristic behavior of leprosy patients in the

prevention of disability in the arrival area of Puskesmas Sindang Wangi Majalengka. The study was descriptive

which describes the behavior of leprosy patients at the Work Area of Puskesmas Sindang Wangi Majalengka.

The population in this study are all leprosy patients, namely a number of 6 persons, Using Total sampling

techniques, questionnaire used as data collection tools and the method taken by interview. Technical analysis of

the data by using descriptive analysis. The result showed 50.0% of respondents behave "fair enough" to the

prevention of leprosy disability, but still there are respondents who do not behave good in efforts to prevent

disability leprosy (33.3%).

Kata Kunci : Behaviour, Patient of Leprosy

Page 40: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

40

* Staf Pengajar Program Studi D III Keperawatan STIKes Cirebon.

** Alumni D III Keperawatan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

PENDAHULUAN Penyakit kusta atau istilah lainnya morbus hansen merupakan salah satu penyakit menular

yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks, meliputi kesehatan, sosial, ekonomi,

budaya, keamanan, dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-

negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam

memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan

sosial ekonomi pada masyarakat.1

Berdasarkan laporan WHO tahun 2003 Indonesia menempati urutan ke empat dari 11

negara setelah India, Brazil, dan Myanmar yaitu dengan prevalensi 0,80/10.000 atau

diperkirakan mencapai 16.799 dengan klasifikasi Pausi basiler (PB) 2.298 dan Multi basiler

(MB) 14.994, dimana Jawa Barat merupakan propinsi terbesar ke dua dari 10 propinsi setelah

Jawa Timur dengan prevalensi 1/10.000.1,2

Sementara berdasarkan data laporan bulanan kusta Puskesmas Sindang Wangi Kabupaten

Majalengka bahwa dari akhir bulan Agustus tahun 2005 sampai akhir bulan Desember 2008

tercatat sebanyak 25 orang penderita kusta baru yang terbagi dalam dua type, yaitu type PB

10 orang dan type MB 18 orang, dengan tingkat kecacatan antara 0-1 (menurut WHO). Hal ini

menjadikan Sindang Wangi sebagai kecamatan yang paling banyak penderita kustanya di

wilayah kerja Puskesmas Sindang Wangi.3

Keberhasilan penderita dalam mencegah terjadinya kecacatan ditentukan oleh kepatuhan

dan keteraturan dalam berobat serta waspada terhadap tanda-tanda yang menunjukan adanya

kelainan pada organ tubuh sehingga dapat dicegah sedini mungkin dengan perawatan diri

yang baik. Oleh sebab itu selama masa pengobatan dan perawatan diperlukan tingkat perilaku

yang baik dari penderita.

Faktor pengetahuan, sikap dan perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap status

kesehatan individu dalam menentukan keberhasilan suatu program pengobatan maupun

pencegahan kecacatan. Pengetahuan, sikap dan perilaku penderita yang buruk akan

menyebabkan kegagalan dalam pengobatan yang beresiko tinggi terjadinya kecacatan.4,5

Hasil temuan lain dari petugas kusta Puskesmas Sindang Wangi bahwa penderita

kebanyakan usia produktif dengan latar belakang sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang

rendah. Berdasarkan hasil penelitian oleh Koos menunjukkan bahwa semakin terdidik

seseorang, maka semakin baik pengetahuannya tentang kesehatan, dan semakin banyak

pengetahuan seorang penderita kusta, maka semakin tinggi kewaspadaan dirinya dari

penyakit, serta dapat meminimalisasi tingkat keparahan yang menyebabkan kecacatan. Tujuan

dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik perilaku penderita kusta

dalam mencegah kecacatan.6

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh penderita kusta yang ada diwilayah kerja Puskesmas Sindangwangi Kabupaten

Majalengka yaitu sejumlah 6 orang (data penderita kusta bulan Januari sampai dengan bulan

Desember 2008). Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan total populasi. Instrumen

yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner dilakukan

dengan teknik wawancara. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yaitu

menggambarkan masing-masing variabel dalam bentuk persentase.

Page 41: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

41

HASIL PENELITIAN Setelah dilakukan kegiatan dalam serangkaian penelitian maka diperoleh hasil sebagai

berikut:

Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin

Dari 6 responden antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempunyai jumlah

yang sama, yaitu 3 laki-laki (50%) dan 3 perempuan (50%).

2. Umur

Umur responden dalam penelitian ini 33,3% termasuk kedalam kelompok umur > 60

tahun dan kelompok umur < 30 tahun, 30-40 tahun, 40-50 tahun dan 50-60 tahun

masing-masing berjumlah 1 responden (16,7%).

3. Status Pekerjaan

Jenis Pekerjaan responden sebagian besar adalah tani (33,3%) sedangkan wiraswasta,

PNS, buruh dan tidak bekerja masing-masing 16,7%.

4. Tingkat Pendidikan

Sebagian dari responden (50%) berpendidikan tidak lulus SD, tidak sekolah sebesar

33,3% dan 16,7% berpendidikan SD

5. Tipe Kusta

Dari 6 responden 83,3% bertipe MB sedangkan sisanya (16,7%) bertype PB,

secara epidemologis hal ini sangat beresiko terjadinya kecacatan bagi

penderita dan juga dapat menularkan kepada orang lain sehingga memungkinkan

terjadinya peningkatan jumlah penderita karena penularan.

6. Tingkat Kecacatan

Sebanyak 50% responden mengalami tingkat kecacatan dua. Hal ini sangat

memungkinkan untuk mencegah terjadinya kecacatan yang lebih lanjut, dan juga dapat

beresiko terjadinya kecacatan yang lebih parah, apabila tidak dirawat sedini mungkin.

Perilaku Responden Terhadap Pencegahan Kecacatan Kusta Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50,0 % responden berperilaku “cukup baik”

terhadap pencegahan kecacatan kusta, tapi masih terdapat responden yang belum berprilaku

“baik” dalam upaya pencegahan kecacatan kusta sebesar (33,3 %), tentunya ini perlu

mendapatkan perhatian tersediri khususnya oleh instansi terkait dalam rangka evalusi

penanggulangan penyakit kusta.

PEMBAHASAN Perilaku merupakan semua kegiatan atau aktivitas yang dikerjakan oleh seseorang hasil

dari dorongan dalam diri sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik

kebutuhan dasar maupun (fisiologic need), kebutuhan akan rasa aman (safety need),

kebutuhan akan cinta dan memiliki (love need), kebutuhan akan rasa harga diri (esteem need),

serta kebutuhan akan rasa aktualisasi diri (aktualisasi need).7

Perilaku salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan, dimana pengetahuan dapat

diperoleh dari pendidikan. Pendidikan biasa diperoleh secara formal maupun informal.

Pengetahuan yang diperoleh secara informal seperti melalui penyuluhan – penyuluhan

kesehatan yang diberikan oleh para petugas kesehatan, dan lain – lain. Selain itu bisa juga

oleh karena faktor usia, semakin matang usia klien maka pengalaman pun semakin banyak.

Dalam arti bahwa pengalaman seseorang akan semakin bertambah sejalan dengan

bertambahnya usia, dan pengalaman merupakan salah satu pembelajaran yang sangat

Page 42: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

42

bermakna dalam kehidupan, dalam hal ini keterkaitannya dengan perilaku pencegahan

kecacatan pada penderita kusta. Kusta merupakan salah satu penyakit yang sifatnya bias

menahun, maka dari setiap informasi yang diperoleh dan diiringi dengan

pengalaman,ditunjang dengan pendidikan yang memadai (melek huruf) maka kecacatan dapat

dicegah secara maksimal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal terdiri dari faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan penderita kusta tentang penyakitnya dan pencegahan kecacatan, sikap penderita

kusta terhadap penyakitnya dan program pengobatan yang diberikan oleh petugas kesehatan

serta pencegahan kecacatan, kepercayaan dan keyakinan tentang penderita terhadap

penyakitnya, nilai-nilai yang dianut. Faktor eksternal yang terdiri dari faktor pendukung dan

faktor pendorong.

Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau

tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas sebagai

tempat pelayanan kesehatan termasuk pengobatan bagi penderita kusta, alat-alat kesehatan

untuk pemeriksaan bagi penderita kusta yang tersedia di tempat pelayanan kesehatan seperti

mikroskope untuk pemeriksaan BTA, dan sebagainya. Faktor pendorong (reinforcing factors)

yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Perilaku pencegahan kecacatan

dapat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap penderita kusta. Pengetahuan merupakan

kemampuan penderita kusta dalam memahami dan mengerti tentang pencegahan kecacatan

kusta, sedangkan sikap meliputi keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki penderita kusta

tentang pencegahan kecacatan kusta.8

Ada beberapa perilaku pencegahan kecacatan yang harus dilaksanakan oleh penderita

kusta yang berhubungan dengan perawatan diri selama masih dinyatakan belum sembuh dari

penyakitnya, dan beresiko tinggi terjadinya kecacatan.

SIMPULAN Simpulan yang dapat diperoleh pada penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. 50,0 % responden berperilaku “cukup baik” terhadap pencegahan kecacatan kusta

2. Responden yang belum berprilaku “baik” dalam upaya pencegahan kecacatan kusta

sebesar 33,3% dan 16,7% yang berperilaku baik.

SARAN 1. Bagi Dinas Kesehatan

Setelah diperoleh informasi yang berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan peran dinas

kesehatan dapat menjadi secara aktif dalam upaya pencegahan kecacatan pada penderita

kusta. Perlu dilakukan screening guna penjaringan terhadap penyakit kusta, karena masih

banyaknya masyarakat yang menganggap bahwa kusta merupakan penyakit kutukan,

sehingga banyak yang merasa malu dan merupakan suatu aib bagi keluarga jika salah satu

anggota keluarganya ada yang mengidap penyakit kusta tersebut.

2. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan

dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat khususnya dalam faktor – faktor yang

mempengaruhi kinerja perawat dalam usaha pencegahan kecacatan penderita kusta.

DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan RI. Buku pedoman pemberantasan penyakit kusta. Cetakan

IX. Jakarta: Direktorat Jendral PPM dan PLP; 1995

2. Anonim. Modul kusta. [diakses tanggal 01 september 2009]. Diunduh dari:

Page 43: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

43

http://www.pusatlatihankustanasional.com.

3. Puskesmas Sindangwangi. Data Kusta. Majalengka; 2009

4. Arif B, Winarto. Artikel pengaruh faktor pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap

kegagalan pengobatan tuberkulosa paru di BP4. Semarang; 2004

5. Notoatmojo S. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Edisi 1. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2000

6. Friedman MM. Keperawatan keluarga. Edisi 3. Alih Bahasa: Ina Debora. Jakarta:

EGC;1998

7. Budioro B. Pengantar pendidikan (penyuluhan) kesehatan masyarakat. Semarang: Badan

Penerbit UNDIP; 2002

8. Azwar S. Sikap manusia teori dan pengukurannya. Cetakan V Yogyakarta: Pustaka pelajar;

2002

Page 44: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

44

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMILIHAN

KONTRASEPSI IUD

Heni Fa’riatul Aeni*, Mega Silvia**

ABSTRAK Penurunan penggunaan IUD merupakan salah satu kendala dalam melaksanakan strategi program KB seperti

tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 yakni meningkatkan kegunaan

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Pemakaian KB IUD di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul

mengalami penurunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berkaitan dengan

penggunaan IUD seperti umur, paritas, tingkat pendidikan, izin suami dan pengetahuan. Jenis penelitian ini

observasi dengan metode survey dan pendekatan crossectional. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara

menggunakan kuesioner pada 96 responden di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul. Data penelitian diolah

secara kuantitatif dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat dengan uji chi square. Hasil

penelitian menunjukkan ada hubungan antara umur dengan pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,000,

ada hubungan antara izin suami dengan pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,023, ada hubungan antara

pendidikan dengan pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,023, ada hubungan pengetahuan dengan

pemilihan kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,035, tidak ada hubungan antara paritas dengan pemilihan

kontrasepsi IUD dengan nilai P= 0,659.

Kata kunci : Kontrasepsi IUD

ABSTRACT Decrease in the use of IUD is one of the constraints in implementing the family planning program strategi as

presented in The Long Term Development plan 2004-2009. Contraceptive method that improve the usefulness of

The Long Term. IUD use of family planning in rural districts Cintaasih Cingambul decreased. This studi aims to

determine the factors associated with the use of IUDs, such as age, parity, educational level, husband’s

permission and knowledge. This type of observation study with cross sectional survey method and approach.

Data collection is done by interview using a questionnaire in 96 respondents in the village district Cintaasih

Cingambul. Quantitative research data was processed using univariate and bivariate analysis, by using chi square

test. The results showed no relationship between age and contraceptive IUD selection with P value = 0,000, there

is relationship between a husband consent to the election with the election of IUD contraception with P value =

0,023, there is a correlation between education with the selectioan of contraceptive IUD with a value of P =

0,023, there is a relationship of knowledge to the selection of contraceptive IUD with a value of P = 0,035, there

is no relationship between parity with the selection of contraceptive IUD with a value of P = 0,659.

Keyword: contraceptive IUD

Page 45: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

45

* Staf Pengajar Program Studi D III Kesehatan Lingkungan STIKes Cirebon.

** Alumni PSKM STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

PENDAHULUAN Keberhasilan keluarga berencana di Indonesia dengan tingkat prevalensi kontrasepsi 57

% menyebabkan pergeseran dari pelayanan kontrasepsi mengejar target menuju pelayanan

kontrasepsi yang lebih bermutu. Diharapkan pelayanan yang bermutu akan menunjang upaya

penurunan angka kematian Ibu dan bayi secara lebih bermakna.1

Pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas telah menjadi tuntutan

masyarakat, disamping merupakan kewajiban Pemerintah dan pemberi pelayanan untuk

menyediakannya. Tuntutan pelayanan yang berkualitas ini dipengaruhi dengan semakin

meningkatnya pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan, termasuk keluarga berencana dan

kesehatan reproduksi. Oleh karena itu pelayanan keluarga berencana dan kesehatan

reproduksi tidak lagi berorientasi pada pencapaian kuantitas tetapi berorientasi pada

pemenuhan, permintaan, serta penyediaan pelayanan yang berkualitas, dengan demikian

program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi diarahkan untuk memaksimalkan akses

dan kualitas pelayanan.2

Intra uterine Device (IUD) merupakan pilihan kontrasepsi efektif, aman dan nyaman

bagi wanita bila dibandingkan dengan alat kontrasepsi yang lain. Dewasa ini diperkirakan

lebih dari 100 juta wanita yang memakai IUD, hampir 40% nya terdapat di Cina. Sebaliknya

hanya 6% di Negara maju dan 0,5% di Negara bagian Afrika. Dalam tahun pertama program

nasional keluarga berencana di Indonesia sebagian besar akseptor (55 %) memilih IUD, 27 %

pil dan 18 % memilih alat kontrasepsi lain. Tetapi pada tahun – tahun berikutnya pengguna

IUD mengalami penurunan dari 10,9% pada tahun 2002-2003 menjadi 5,4% pada tahun 2006.

Pada tahun 2009 di Kabupaten Majalengka sudah tercatat 200.130 akseptor tetapi yang

menggunakan kontrasepsi IUD hanya 13.967 akseptor atau sekitar 6,98 %, Di kecamatan

Cingambul pada tahun 2010 dari 13.433 akseptor yang menggunakan IUD sebanyak 840

atau sekitar 6.25%. Saat ini IUD merupakan alat kontrasepsi yang kurang diminati oleh

wanita yang berstatus pasangan usia subur dibandingkan dengan pengguna KB suntik

(47.08%) dan pemakai pil KB sebesar (17.11%), padahal IUD merupakan alat kontrasepsi

yang lebih efektif dari pada alat kontrasepsi lain.3Sedangkan di Desa Cintaasih pada tahun

2010 dari 474 PUS, akseptor yang menggunakan IUD sebanyak 179 akseptor (27,88%).4

Beberapa faktor yang berhubungan dengan pemilihan kontrasepsi IUD yaitu umur,

tingkat pendidikan, paritas, izin suami dan pengetahuan. Alat atau cara KB modern popular di

antara wanita di semua umur. Namun demikian pemakaian kontrasepsi pada wanita yang

berumur lebih muda dan yang berumur lanjut lebih rendah dibandingkan mereka yang

berumur 20-39 tahun. Wanita muda cenderung menggunakan cara suntik, pil dan implant

sementara mereka yang lebih tua cenderung memilih alat atau cara kontrasepsi jangka

panjang seperti IUD, sterilitas wanita dan sterilitas pria.1

Desa Cintaasih merupakan desa paling ujung disebelah selatan Kecamatan Cingambul

dengan keadaan geografis daerah pegunungan yang letak pemukiman penduduknya saling

berjauhan sehingga jangkauan terhadap pelayanan sangat sulit yang akhirnya aksesibilitas

pelayanan tidak merata. Tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, masih banyaknya ibu

yang melahirkan pada umur kurang dari 20 tahun dan pada umur lebih dari 35 tahun, sehingga

hal ini mempunyai risiko dalam persalinannya. Pengetahuan masyarakat tentang alat

kontrasepsi masih kurang karena kurang terpaparnya oleh penyuluhan, penghasilan

masyarakatnya masih rendah karena mayoritas mata pencaharian masyarakatnya adalah petani

Page 46: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

46

penggarap. Cakupan akseptor IUD masih rendah hanya 27,88% yang merupakan cakupan

paling rendah dibandingkan dengan 12 desa lain yang ada di Kecamatan Cingambul. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan pemilihan

kontrasepsi IUD pada PUS di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka

tahun 2010.4

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode rancangan survey analitik dengan

menggunakan pendekatan cross sectional yaitu variabel independen dan variabel dependen

diukur pada satu waktu terhadap satu kelompok, one shot artinya satu kali tembak.5 variabel

dependen (variabel terikat) adalah pemilihan kontrasepsi IUD di Desa Cintaasih Puskesmas

Cingambul Kabupaten Majalengka Tahun 2010 dan variabel independen (variabel bebas)

adalah variabel yang diperkirakan ada hubungan dengan pemilihan kontrasepsi IUD, yaitu:

umur, tingkat pendidikan, paritas, izin suami, pengetahuan.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PUS yang menggunakan alat kontrasepsi

di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka pada bulan Januari sampai

bulan Juni tahun 2010 sebanyak 474 orang. Sampel yang digunakan dihitung dengan

menggunakan rumus estimasi proporsi menurut Lemeshow,6 sebagai berikut :

Z² a/2 xP(1-P)

n =

Keterangan :

n

P

d

=

=

=

Besar sampel minimal

Proporsi kejadian pada penelitian sebelumnya, bila tidak

ada (50%) = 0,5

Presisi = 10% =0,1

Z a/2 = Tingkat kepercayaan 95%

n = 1,96² x 0,5 x 0,5

0,01

= 0,96

0,01

= 96

Pengambilan sampel dengan cara systematic random.

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan kuesioner . Data

yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh melalui wawancara dengan

menggunakan kuesioner sedangkan data sekunder meliputi data akseptor diperoleh dari

laporan bulanan puskesmas.

Analisis dilakukan dengan 2 cara yaitu analisis univariat (menganalisis tiap variabel dari

hasil penelitian yang menghasilkan distribusi dan persentasi dari tiap variabel.7 Analisis kedua

yang dilakukan adalah analisis bivariat yang bertujuan untuk melihat hubugan antara variabel

bebas dan variabel terikat dengan membuat tabulasi silang antara dua variabel. Untuk analisis

bivariat ini dilakukan uji statistik dengan Kai Kuadrat (Chi square).7

HASIL PENELITIAN

Page 47: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

47

Pemilihan Kontrasepsi Dari 96 responden terdapat 54 responden (56,3%) yang mempunyai pilihan bukan

kontrasepsi IUD dan sebanyak 42 responden (43,8%) yang mempunyai pilihan kontrasepsi

IUD.

Umur Dari 96 responden berusia antara 16 tahun sampai dengan 42 tahun dengan nilai rata-rata

25,39 tahun.

Paritas Dari 96 responden dengan jumlah paritasnya < 4 kali sebanyak 55 responden (57,3%).

sedangkan responden yang jumlah paritasnya ≥ 4 kali sebanyak 41 responden (42,7% ).

Tingkat Pendidikan

Berdasarkan pada tabel 5.7 dapat dilihat bahwa dari 96 responden, yang berpendidikan

rendah sebanyak 55 responden (57,3%), sedangkan responden yang berpendidikan tinggi

sebanyak 41 responden (42,7% ).

Izin Suami Dari 96 responden, yang suaminya tidak mengizinkan untuk menggunakan alat

kontrasepsi IUD yaitu sebanyak 57 responden (59,4%), sedangkan responden yang suaminya

mengizinkan untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD sebanyak 39 responden (40,6% ).

Tingkat Pengetahuan

Dari 96 responden, yang tingkat pengetahuannya kurang yaitu sebanyak 86 responden

(89,6%), sedangkan responden yang tingkat pengetahuannya baik sebanyak 10 responden

(10,4% ).

Hubungan Antara Umur Dengan Pemilihan Kontrasepsi

Tabel 1 Hubungan Antara Umur Dengan Pemilihan Kontrasepsi

Umur

Pemilihan Kontrasepsi Nilai P

(Uji-t) Bukan IUD IUD

n Mean SD n Mean SD

54

25,39

6,49

42

34,69

3,15

0,000

Dengan uji-t perbedaan rata-rata menunjukan nilai P= 0,000, maka dapat

disimpulkan ada perbedaan antara umur dengan pemilihan kontrasepsi IUD.

Hubungan Antara Paritas Dengan Pemilihan Kontrasepsi.

Tabel 2 Hubungan Antara Paritas Dengan Pemilihan Kontrasepsi

Paritas Pemilihan Kontrasepsi

Total

P

Value Bukan IUD IUD

Page 48: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

48

n % n % n %

< 4

≥ 4

32

22

58,2

53,7

23

19

41,8

46,3

55

41

100,0

100,0

0,659 Total 54 56,3 42 43,8 96 100,0

Tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemilihan

kontrasepsi IUD.

Hubungan Antara Pendidikan Dengan Pemilihan Kontrasepsi.

Tabel 3 Hubungan Antara Pendidikan Dengan Pemilihan Kontrasepsi

Pendidikan

Pemilihan Kontrasepsi

Total

P

Value

Bukan IUD IUD

n % n % n %

Rendah

Tinggi

37

17

67,3

41,5

18

24

32,7

58,5

55

41

100,0

100,0

0,012

Total 54 56,3 42 43,8 96 100,0

Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan pemilihan kontrasepsi

IUD.

Hubungan Antara Izin Suami Dengan Pemilihan Kontrasepsi.

Tabel 4 Hubungan Antara Izin Suami Dengan Pemilihan Kontrasepsi

Izin Suami

Pemilihan Kontrasepsi

Total

P

Value

Bukan IUD IUD

n % n % n %

Tidak Mengizinkan

Mengizinkan

38

16

66,7

41,0

19

23

33,3

59,0

57

39

100,0

100,0

0,013

Total 54 56,3 42 43,8 96 100,0

Ada hubungan yang bermakna antara izin suami dengan pemilihan kontrasepsi

IUD.

Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Pemilihan Kontrasepsi.

Tabel 5 Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Pemilihan

Kontrasepsi

Pengetahuan

Pemilihan Kontrasepsi

Total

P

Value

Bukan IUD IUD

n % n % n %

Kurang

Baik

52

2

60,5

20,0

34

8

39,5

80,0

86

10

100,0

100,0

0,015

Total 54 56,3 42 43,8 96 100,0

Page 49: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

49

Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemilihan kontrasepsi.

PEMBAHASAN

Hubungan Antara Umur Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD PUS yang berumur < 20 tahun cenderung jarang menjadi akseptor KB kemungkinan

disebabkan masih kurang dalam hal pengetahuan dan pengalaman tentang pentingnya

program KB serta kebanyakan baru melahirkan satu kali, sedangkan PUS yang umurnya > 35

tahun kemungkinan mereka sudah melahirkan lebih dari tiga kali dan lebih cenderung

memilih alat kontrasepsi yang lain sepeti imflan atau MOW.

Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang lain yaitu Dewi Haryani yang

menyatakan ada hubungan yang bermakna antara umur PUS dengan pemilihan kontrasepsi

IUD, PUS yang berumur < 20 tahun dan > 35 tahun pemilihan kontrasepsi bukan IUD.8

Menurut Maryani di Puskesmas Cikijing Kabupaten Majalengka PUS yang berumur <

20 tahun dan > 35 tahun kurang memilih kontrasepsi IUD, dan PUS yang berumur 20 tahun –

35 tahun cenderung pemilihan kontrasepsinya IUD. Dengan demikian dari hasil penelitian

Farida dapat diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan pemilihan

kontrasepsi IUD.9

Hubungan Antara Paritas Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD

Paritas merupakan faktor penting dalam menentukan pemilihan kontrasepsi. Paritas tinggi

lebih cenderung memilih alat kontrasepsi yang dapat menghentikan kehamilan.9Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan

pemilihan kontrasepsi IUD di desa Cintaasih Puskesmas Cingambul Kabupaten Majalengka.

Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian yang lain seperti Ovita Mayasari di

Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan

yang bermakna antara paritas dengan pemilihan kontrasepsi IUD.10

Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD Pentingnya pendidikan bagi PUS karena dapat mempengaruhi tingkat pengertian

terhadap kesehatan dan penggunaan alatkontrasepsi IUD. Pendidikan merupakan salah satu

kebutuhan dasar manusia yang sangat diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi

pendidikan, semakin mudah pula menerima serta mengembangkan pengetahuan dan teknologi

serta meningkatkan kesejahteraan keluarga.8

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat

pendidikan dengan pemilihan kontrasepsi IUD. Hasil ini berbeda dengan penelitian-

penelitian yang lain seperti Ovita Mayasari di Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik

yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan

pemilihan kontrasepsi IUD, PUS yang pendidikannya tinggi lebih banyak memilih

kontrasepsi IUD dibandingkan dengan PUS yang pendidikannya rendah.10

Namun berbeda

dengan hasil penelitian Dewi Haryani yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara

pendidikan dengan memilihan kontrasepsi IUD.8

Hubungan Antara Izin Suami Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD

Peran dan tanggung jawab laki-laki dalam kesehatan reproduksi sangat berpengaruh

terhadap kesehatan perempuan. Keputusan penting seperti siapa yang akan menolong

persalinan istri, atau metode kontrasepsi yang akan dipakai oleh istri, kebanyakan masih

ditentukan secara sepihak oleh suami.11

Page 50: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

50

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah ada hubungan yang bermakna antara izin

suami dengan pemilihan kontrasepsi IUD. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Ovita Mayasari yang menyatakan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara izin suami dengan minat PUS dalam menggunakan alat kontrasepsi IUD.10

Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Pemilihan Kontrasepsi IUD Terbentuknya pengetahuan tentang pemilihan kontrasepsi IUD didasari oleh tingkat

pendidikan. Maka semakin tinggi tingkat pendidikan PUS makin baik tingkat pengetahuannya

tentang pemilihan kontrasepsi IUD.8Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia

sebagai hasil penggunaan panca indra yang dekat sekali dengan kepercayaan, takhayul,

penerangan penerangan yang keliru.12

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan

dengan pemilihan kontrasepsi IUD. Hasil yang sama pula didapatkan dari penelitian yang

dilakukan oleh Farida yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan PUS

tentang kontrasepsi IUD maka semakin memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD,

sedangkan PUS yang tidak memilih kontrasepsi IUD persentase terbesar ada pada kelompok

yang pengetahuannya rendah.11

SIMPULAN

1. Ada hubungan yang bermakna antara umur dengan pemilihan kontrasepsi IUD di Desa

Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010

2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemilihan kontrasepsi IUD di

Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010

3. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pemilihan

kontrasepsi IUD di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010

4. Ada hubungan yang bermakna antara izin suami dengan pemilihan kontrasepsi IUD di

Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010

5. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemilihan kontrasepsi IUD

di Desa Cintaasih Kecamatan Cingambul Tahun 2010

SARAN 1. Untuk Dinas Kesehatan

1) Melakukan monitoring atau pengawasan kepada petugas untuk meningkatkan

pengetahuan kepada PUS tentang pentingya menggunakan alat kontrasepsi sehingga

mereka dapat menentukan pilihan yang tepat dalam menggunakan alat kontrasepsi.

2) Dengan masih rendahnya minat terhadap kontrasepsi IUD diharapkan promosi

kesehatan tentang keluarga berencana di tingkatkan.

2. Untuk Puskesmas

1) Memberikan penyuluhan khusus kepada PUS tentang pentingnya menggunakan alat

kontrasepsi secara kualitas maupun kuantitas

2) Pemerataan bidan desa dan petugas penyuluhan keluarga berencana sehingga

pelaksanaan penyuluhan tentang penggunaan alat kontrasepsi dapat dilaksanakan

sampai tingkat keluarga

3. Untuk Masyarakat

Harus lebih aktif ikut serta apabila ada petugas kesehatan memberikan informasi dan

penyuluhan mengenai KB, dan lebih seportif untuk bertanya kepada petugas kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kesehatan reproduksi, Jakarta: Depkes

RI;2001

Page 51: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

51

2. Saifuddin AB. Panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Jakarta: Yayasan bina pustaka;

2003

3. Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka. Profil kesehatan Kabupaten Majalengka.

Dinkes Kabupaten Majalengka; 2009

4. Puskesmas Cingambul. Laporan evaluasi tahunan, Puskesmas Cingambul. Majalengka;

2009

5. Arikunto S. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta;2004

6. Lameshow S,dkk. Besar sampel dalam penelitian kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press; 1997

7. Murti B. Penerapan metode statistik non parametrik dalam ilmu kesehatan. Jakarta:

Granmedia Pustaka Utama; 1997

8. Haryani D. Faktor-faktor yang mempengaruhi akseptor KB dalam pemilihan penggunaan

jenis kontrasepsi IUD Di Kelurahan Prenggan Kecamatan Kota Gede Yogyakarta.

[skripsi]. Yogyakarta;2009

9. Maryani. Hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi minat PUS dalam penggunaan alat

kontrasepsi IUD Di Kecamatan Cikijing Kabupaten Majalengka.[KTI]. Cirebon: Poltekes

Tasikmalaya; 2009

10. Mayasari O. Hubungan beberapa faktor internal dan eksternal dengan pemakaian alat

kontrasepsi IUD Di Kelurahan Ngesrep Kecamatan Banyumanik. [skripsi].Semarang:

FKM Universitas Diponegoro; 2008

11. Farida. Karakteristik ibu hamil yang memanfaatkan pelayanan antenatal di puskesmas

Muara bualin kabupaten batang hari. Jakarta: FKM UI; 1998.

12. Soerjono S. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Rajawali pers; 2001.

Page 52: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

52

PENGETAHUAN IBU TENTANG IMUNISASI COMBO

PADA BAYI

Rahayu Widiarti*, Lisnayati**

ABSTRAK

Tingginya angka kematian bayi masih merupakan masalah nasional. Penyebab kematian bayi tersebut sebagian

basar adalah akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, antara lain TBC, batuk rejan, polio,

campak difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Sehingga dengan intervensi sebenarnya angka kematian bayi

dapat diturunkan.Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang

imunisasi combo pada bayi di Desa Cempaka Kabupaten Cirebon periode Januari – April tahun 2010. Jenis

penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian ini berlokasi di Desa Cempaka Kabupaten Cirebon. Dengan populasi

39 orang dan sampel diambil secara total populasi berjumlah 39 orang. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari

yaitu pada tanggal 18-20 Agustus 2010. Pengambilan data dengan menggunakan kuesioner tertutup dengan 10

pertanyaan dengan menggunakan teknik wawancara. Data yang telah diolah selanjutnya dianalisa secara

univariabel. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan hasil pengetahuan ibu tentang

imunisasi Combo pada bayi yang menjadi responden berpengetahuan cukup tentang pengertian imunisasi

Combo pada bayi sebesar 31 orang (79,49%), berpengetahuan baik tentang manfaat imunisasi Combo pada bayi

sebesar 22 orang (56,41% ).

Kata kunci : Pengetahuan, imunisasi Combo

ABSTRACT

Baby mortality rate height stills to be national problem. Baby death cause a big part diseases consequence that

preventable with immunization, among others tuberculosis, whooping, polio, fling down difteri, pertusis, tetanus

and hepatitis B. So that with intervention actually baby mortality rate derivable. This watchfulness aim is in

general to detects mother erudition description about immunization combo in baby at village cempaka regency

Cirebon period January-April years 2010. This watchfulness kind descriptive. This watchfulness locates at

village Cempaka regency Cirebon. With population 39 person and sample is taken according to population total

numbers 39 person. This watchfulness is done during 3 days that is on 18-20 August 2010. Data taking by using

kuesioner closed with 10 questions. Data that cultivated furthermore analyzed according to univariat. Based on

watchfulness result shows that found mother erudition result about immunization combo in baby as big as 31

person (79,49%) great on immunization benefits combo in baby as big as 22 person (56,41%).

Keyword : Knowledge, immunization combo

* Staf Pengajar Program Studi D III Kebidanan STIKes Cirebon.

** Alumni D III Kebidanan STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

Page 53: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

53

PENDAHULUAN

Salah satu indikator untuk menilai derajat kesehatan masyarakat adalah angka kematian

bayi dan anak serta kelahiran yang masih tinggi, merupakan hambatan utama dalam

pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Berdasarkan penelitian WHO di

seluruh dunia terdapat lebih dari 2 juta kematian bayi masih terjadi setiap tahun akibat

penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi.1

Sejauh ini, kematian anak dibawah usia 1 tahun di Indonesia sangat tinggi, menurut

survei demografi dan kesehatan Indonesia angka kematian bayi tahun 2007 adalah 34 per

1.000 kelahiran hidup.2 Tingginya angka kematian bayi di Indonesia disebabkan oleh berbagai

faktor, di antaranya adalah faktor penyakit infeksi dan kekurangan gizi. Penyebab kematian

bayi yang lainnya adalah berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)

seperti TBC, Diphteri, Pertusis atau Batuk Rejan, Tetanus, Hapatitis B, Polio dan Campak.

Hal ini terjadi karena masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk memberi imunisasi pada

anak.

Imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan tubuh terhadap suatu

penyakit, dengan memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau

dimatikan. Dengan memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat

menghasilkan zat anti yang pada akhinya nanti digunakan tubuh untuk melawan kuman atau

bibit penyakit yang menyerang tubuh.3

Pengetahuan ibu tentang imunisasi akan membentuk sikap positif terhadap kegiatan

imunisasi, hal ini juga merupakan faktor dominan dalam keberhasilan imunisasi. Dengan

pengetahuan yang baik yang ibu miliki maka kesadaran untuk mengimunisasikan bayi akan

meningkat, pengetahuan yang dimiliki ibu tersebut akan menimbulkan kepercayaan ibu

tentang kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi.4

Demi melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia di seluruh dunia, Sanofi Pasteur

memberikan kontribusi besar untuk memenuhi target global yang dinyatakan dalam tonggak

bersejarah aliansi global untuk vaksin dan imunisasi (GAVI Alliance) untuk target imunisasi

selektif. Diantaranya pada tahun 2010 atau lebih cepat, seluruh negara akan memiliki cakupan

imunisasi rutin sebasar 90% secara nasional dan setidaknya 80% cakupan imunisasi di setiap

daerah.5

Salah satu program pemerintah dalam menurunkan angka kematian bayi dan anak

akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu melalui program lima imunisasi

dasar lengkap, program imunisasi merupakan perioritas utama dalam bidang kesehatan.

Dari data Dinas Kesahatan Kabupaten Cirebon, tercatat target imunisasi BCG 98%,

pencapaian 90,47%, Combo1 98%, pencapaian 92,05%, Combo2 95%, pencapaian 90,30%,

Combo3 93%, pencapaian 89,31%, campak 90%, pencapaian 89,61%, polio1 90% pencapaian

89,61%, polio2 98%, pencapaian 95,60%, polio3 93%, pencapaian 91,85%, polio4 90%,

pencapaian 90,29%, HB0 70%, pencapaian 82,06%. Angka kematian bayi berjumlah 329

orang pada tahun 2009.

Dari hasil studi pendahuluan di Desa Cempaka wilayah kerja Puskesmas Talun, bahwa

ibu yang mempunyai bayi berusia 0-11 bulan yang berkunjung untuk mengimunisasi anaknya

pada bulan Januari sampai April 2010 sebanyak 39 orang, Dimana 36 orang mendapatkan

imunisasi Combo dan 3 orang (7,7%) tidak mendapatkan imunisasi Combo. Tujuan dalam

penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang imunisasi combo

pada bayi di desa Cempaka Kabupaten Cirebon periode Januari-April tahun 2010”.

Page 54: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

54

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan secara deskriptif yaitu penelitian yang dimaksud untuk

membuat pencandraan (deskripsi) mengenai faktor-faktor situasi atau kejadian tertentu pada

waktu bersamaan yang menggambarkan data sekunder dan data primer yang tercatat di rekam

medik/KMS atau buku KIA di Puskesmas Talun desa Cempaka pada periode Januari sampai

dengan bulan April tahun 2010. Dalam penelitian ini yang menjadi variabelnya adalah

gambaran pengetahuan orang tua bayi usia 0-11 bulan. Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh ibu yang bayinya tercatat sebagai sasaran imunisasi Combo yang berkunjung ke Desa

Cempaka Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon periode Januari – April tahun 2010.

Berdasarkan data di Desa Cempaka pada bulan Januari sampai April tahun 2010, jumlah

sasaran bayi usia 0-11 bulan sebanyak 39 orang, Sampel yang digunakan pada penelitian ini

diambil dengan cara total populasi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner

dan teknik pengumpulan data dengan wawancara.6

Untuk mendapatkan gambaran umum dengan cara deskriptif. Dalam analisa data

penulis menggunakan analisa Univariat yaitu menghasilkan distribusi frekuensi dan

persentase dari tiap variabel.

Dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

P = Jumlah persentase jawaban

F = Jumlah jawaban atau frekuensi

N = Jumlah responden

Kriteria Hasil:

Baik = 76 – 100 % Kategori baik apabila pertanyaan dijawab benar oleh

responden 76 – 100 %.

Cukup = 56 – 75 % Kategori baik apabila pertanyaan dijawab cukup oleh

responden 56 – 76 %.

Kurang = ≤ 55 % Kategori baik apabila pertanyaan dijawab kurang oleh

responden ≤ 55 %.

HASIL PENELITIAN

Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi Combo pada Bayi

Diagram 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi Combo pada Bayi

P = F x 100%

N

Page 55: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN

Diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi combo pada bayi frekuensi

terbanyak cukup sebanyak 23 orang (58,97%), pengetahuan baik 10 orang (25,65%) dan

pengetahuan kurang 6 orang (15,38%).

Pengetahuan Ibu tentang Pengertian

Tabel 1 Frekuensi Pengetahuan

No. Pengertian Imunisasi

Combo

1 Baik

2 Cukup

3 Kurang

Total

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang pengertian

Imunisasi Combo ditemukan hasil berpengetahuan baik 3 orang (7,69 %),

berpengetahuan cukup 31 orang (79,49 %) dan pengetahuan kurang 5 orang (12,82 %).

Pengetahuan Ibu tentang Manf

Tabel 2 Frekuensi Pengetahuan

No. Manfaat Imunisasi Combo

1 Baik

2 Cukup

3 Kurang

Total

Pengetahuan ibu tentang manfaat

baik 22 orang ( 56,41 %), berpengetahuan cukup 11 orang (28,21 % ) dan pengetahuan

kurang 6 orang (15,38 %).

PEMBAHASAN

Pengetahuan Ibu tentang Imunisasi Combo

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengi

manusia, yakni: penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagai berikut besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui telinga.

dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

58,97

15,38

Pengetahuan ibu tentang imunisasi combopada bayi di Desa Cempaka

JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

Diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi combo pada bayi frekuensi

sebanyak 23 orang (58,97%), pengetahuan baik 10 orang (25,65%) dan

tahuan kurang 6 orang (15,38%).

engertian Imunisasi Combo pada Bayi

engetahuan Ibu tentang Pengertian Imunisasi Combo pada bayi

Pengertian Imunisasi

Frekuensi Persentase

3 7,69 %

31 79,49 %

5 12,82 %

39 orang 100 %

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang pengertian

Imunisasi Combo ditemukan hasil berpengetahuan baik 3 orang (7,69 %),

berpengetahuan cukup 31 orang (79,49 %) dan pengetahuan kurang 5 orang (12,82 %).

anfaat Imunisasi Combo pada Bayi

engetahuan Ibu tentang Manfaat Imunisasi Combo pada Bayi

Manfaat Imunisasi Combo Frekuensi Persentase

22 56,41 %

11 28,21 %

6 15,38 %

39 orang 100 %

engetahuan ibu tentang manfaat imunisasi combo ditemukan hasil berpengetahuan

baik 22 orang ( 56,41 %), berpengetahuan cukup 11 orang (28,21 % ) dan pengetahuan

bu tentang Imunisasi Combo

dalah merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagai berikut besar

manusia diperoleh melalui telinga. Pengetahuan atau kongnitif merupakan

dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.7

25.65

58,97

15,38

Pengetahuan ibu tentang imunisasi combopada bayi di Desa Cempaka

Baik

Cukup

Kurang

55

Diketahui bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi combo pada bayi frekuensi

sebanyak 23 orang (58,97%), pengetahuan baik 10 orang (25,65%) dan

ayi

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang pengertian

Imunisasi Combo ditemukan hasil berpengetahuan baik 3 orang (7,69 %),

berpengetahuan cukup 31 orang (79,49 %) dan pengetahuan kurang 5 orang (12,82 %).

ombo ditemukan hasil berpengetahuan

baik 22 orang ( 56,41 %), berpengetahuan cukup 11 orang (28,21 % ) dan pengetahuan

dalah merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan

lui panca indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sebagai berikut besar

Pengetahuan atau kongnitif merupakan

Page 56: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

56

Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan Ibu tentang imunisasi combo pada bayi dengan

frekuensi terbanyak adalah pengetahuan cukup yaitu 23 orang (58,97%). Hal ini bisa

disebabkan oleh faktor pendidikan dari responden. Pendidikan merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi persepsi seseorang karena dapat membuat seseorang untuk lebih mudah

menerima ide-ide dan teknologi baru. Mereka yang mempunyai tingkat pendidikan yang

tinggi cenderung memanfaatkan pelayanan kesehatan.7

Dengan pengetahuan itu akan menyebabkan orang berperilaku sesuai yang dimilikinya.

Maka dibutuhkan penyampaian informasi dengan menggunakan teknik komunikasi yang baik

atau konseling kepada ibu yang mempunyai balita tetang pentingnya imunisasi combo pada

bayi.

Pengetahuan Ibu tentang Pengertian Imunisasi Combo Imunisasi Combo adalah suatu vaksin yang dapat melindungi terhadap difteri, pertusis,

tetanus dan hepatitis B.4Hasil penelitian pengetahuan ibu tentang pengertian Imunisasi

Combo, didapatkan hasil responden dengan frekuensi terbanyak pengetahuan cukup yaitu 31

orang (79,49 %). Hal ini dikarenakan sebagian besar ibu belum mendapatkan informasi

tentang pengertian imunisasi combo dari petugas kesehatan.

Pengetahuan Ibu bayi tentang pengertian imunisasi combo ini sangat penting sekali,

dengan kurangnya pengetahuan tersebut maka akan berpengaruh terhadap langkah

pencegahan terhadap penyakit difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Dalam hal ini solusi

yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan ibu bayi dengan memberikan

informasi yang jelas dan mudah dimengerti oleh ibu.

Pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi combo Salah satu manfaat dari imunisasi adalah tubuh akan membuat zat anti dalam jumlah

banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap penyakit. Jadi tujuan imunisasi combo adalah

membuat anak kebal terhadap penyakit difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Selain itu

manfaat pemberian imunisasi adalah untuk anak mencegah penderitaan yang disebabkan oleh

penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian.1

Hasil penelitian pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi combo didapatkan hasil

responden mempunyai pengetahuan baik 22 orang (56,41 %). Hal ini dikarenakan sebagian

besar ibu sudah mempunyai pengalaman dari mengimunisasi anak sebelumnya karena

pengalaman dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan. Selain itu ibu sudah mendapatkan

informasi dan konseling tentang imunisasi combo dari petugas kesehatan.

SIMPULAN 1 Gambaran pengetahuan ibu tentang imunisasi combo pada bayi di desa Cempaka

kabupaten Cirebon tahun 2010 menunjukkan bahwa frekuensi terbanyak adalah

pengetahuan cukup yaitu 23 orang (58,97 %).

2 Gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian imunisasi combo pada bayi di desa

cempaka kabupaten Cirebon tahun 2010 menunjukkan bahwa frekuensi terbanyak

adalah pengetahuan cukup yaitu 31 orang (79,49 %).

3 Gambaran pengetahuan ibu tentang manfaat imunisasi combo pada bayi di desa

cempaka kabupaten Cirebon tahun 2010 menunjukkan bahwa frekuensi terbanyak

adalah pengetahuan baik yaitu 22 orang (56,41 %).

SARAN Beberapa saran dapat dikemukakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagi Bidan

Page 57: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

57

Perlu meningkatkan penyuluhan dan pelayanan tentang imunisasi khususnya imunisasi

combo diwilayah binaan, sehingga diharapkan setiap bulan ibu mau menimbang bayinya

dan mendapatkan pelayanan imunisasi.

2. Bagi Ibu Yang Memiliki Bayi Usia 0-11 Bulan

Hendaknya ibu lebih banyak mencari informasi tentang imunisasi combo melalui

spanduk LIL (lima imunisasi dasar lengkap) yang ada di posyandu yang menerangkan

tentang manfaat, cara pemberian, jadwal pemberian, efek samping dan kontra indikasi

dari imunisasi combo dan berkonsultasi dengan bidan yang ada di desa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pasteur, S. (2009). “Cakupan imunisasi”.[diakses tanggal 17 Mei 2010]. Di unduh dari

http://www.depkes.co.id.

2. Anonim. Lima imunisasi wajib. [diakses tanggal 24 Mei 2010]. Di unduh dari

http://www.kompas.com.

3. Marimbi, Hanum. Tumbuh kembang, status gizi dan imunisasi dasar pada balita.

Yogyakarta: Penerbit Nuha Medika; 2010.

4. Anonim. Vaksin. [diakses tanggal 02 Agustus 2010]. Di unduh dari http://www.wikipedia

ensiklopedia bebas.com.

5. Pasteur S. Cakupan Imunisasi. [diakses tanggal 17 Mei 2010]. Di unduh dari

http://www.depkes.co.id.

6. Notoatmodjo, S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta; 2010

7. Notoatmodjo, S.Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta; 2003

Page 58: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

58

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

LUAR BIASA (KLB) PENYAKIT CHIKUNGUNYA

Herlinawati*, Siti Rodiyah**

ABSTRAK

Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya, genus alphavirus, famili togaviridae. Berdasarkan

laporan Puskesmas Ciperna Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon Bulan Mei tahun 2010 tersangka demam

chikungunya didesa kubang Kecamatan Talun sebanyak 50 orang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui

hubungan mobilitas, kepadatan hunian, container index, pengetahuan, sikap, dengan kejadian penyakit

chikungunya. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan case control studi. Populasi dalam

penelitian adalah seluruh jumlah penduduk di dua dusun sedangkan sampelnya sebanyak 50 orang kasus dan 50

orang kontrol, pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner sedangkan kasus

chikungunya diambil dari laporan Puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan mobilitas tinggi 50%, Hunian yang

padat 6%, container index yg kurang baik 56%, pengetahuan yang kurang baik 52%, sikap yang kurang baik

42%. Dari hasil pengujian hipotesis disimpulkan bahwa ada hubungan antara mobilitas (p=0,046), container

index (p=0,016), pengetahuan (p=0,045) dan sikap (p=0,015) dengan terjadinya KLB penyakit chikungunya

sedangkan kepadatan hunian tidak mempunyai hubungan dengan terjadinya KLB penyakit chikungunya (p=

0,400).

Kata kunci : KLB, Penyakit chikungunya

ABSTRACT Chikungunya fever caused by chikungunya virus, genus alphaviruses, togaviridae family. Based Health Center

reports Ciperna Talun Cirebon District in May of 2010 suspected chikungunya fever in villages kubang District

Talun 50 people. The purpose of this study to determine the relationship of mobility, density, container index,

knowledge, attitudes, with the incidence of chikungunya disease. The study was an analytical survey was a case

control study. The population in this study is the total population in the two hamlets while the patient sample as

many as 50 people chikungunya cases and 50 controls, data retrieval is done by interview using a questionnaire

while the cases of chikungunya were taken from the consolidated health centers. The results showed a high

mobility 50%, a solid 6% Occupancy, container index of 56% which is less good, less good knowledge 52%,

unfavorable attitude 42%. From the results of hypothesis testing concluded that there is a relationship between

mobility (p = 0.046), container index (p = 0.016), knowledge (p = 0.045) and attitude (p = 0.015) with the

occurrence of outbreaks of chikungunya while the density has no relation with the occurrence of Outbreaks of

chikungunya disease.

Keywords : Outbreak, Chikungunya Disease

Page 59: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

59

* Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKes Cirebon. ** Alumni PSKM STIKes Cirebon Lulus Tahun 2010

PENDAHULUAN Penyakit chikungunya adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, yang di

tularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan dapat menimbulkan sakit

seperti membungkuk akibat nyeri hebat (arthragia), nyeri sendi terutama terdapat pada lutut,

pergelangan kaki serta persendian tangan.1

Wabah demam chikungunya pertama kali dilaporkan di Tanzania pada tahun 1952, di

Uganda pada tahun 1963 kemudian menyebar ke beberapa negara Afrika diantaranya Senegal,

Angola, Afrika Selatan dan Negara-negara Asia sampai menimbulkan pandemi. Wabah

chikungunya juga di laporkan terjadi di India dan Srilangka. Ada gelombang epidemi 20

tahunan yang mungkin terkait dengan perubahan iklim dan cuaca. Antibodi yang timbul dari

penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya, oleh karena itu

perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali.1

Di Indonesia, kejadian luar biasa demam chikungunya di laporkan terjadi di beberapa

propinsi pada tahun 1982, seperti Samarinda, kemudian berjangkit di Kuala Tungkal,

Martapura, Ternate, Yogyakarta selanjutnya berkembang ke wilayah-wilayah lain. Awal

2001, kejadian luar biasa (KLB) demam chikungunya terjadi di Muara Enim, Sumatera

Selatan dan Aceh. Di susul Bogor bulan Oktober. Pada tahun 2002 demam chikungunya

berjangkit lagi di Bekasi (Jawa Barat), Purworejo dan Klaten (Jawa Tengah) jumlah kasus

chikungunya yang terjadi sepanjang tahun 2001-2003 mencapai 3.918 kasus tanpa kematian.2

Di propinsi Jawa Barat periode, Tri wulan IV tahun 2009 telah terjadi kejadian luar

biasa (KLB) sebanyak 43 kali yang tersebar di beberapa daerah di propinsi Jawa Barat dengan

jumlah kasus 2.468 tanpa kematian.3 Di Kabupaten Cirebon periode 2007 s/d 2009 jumlah

penderita chikungunya cukup banyak jumlahnya yang tersebar di beberapa kecamatan: pada

tahun 2007 jumlah penderita sebanyak 183 orang tanpa kematian. Tahun 2008 terjadi

peningkatan penderita yaitu 775 orang. Tahun 2009 terjadi penurunan kembali yaitu sebanyak

137 orang sedang tahun 2010 dari Januari sampai April, jumlah penderita mencapai 332

orang. Pada bulan Maret – April di Puskesmas Ciperna telah terjadi kejadian luar biasa (KLB)

Demam chikungunya yang menimpa desa Kubang sebanyak 50 orang, kejadian ini

merupakan kejadian yang pertama kali di desa Kubang yang berada di wilayah kerja

Puskesmas Cipena Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon.4

Faktor lingkungan dan faktor manusia akan dapat mempengaruhi berkembang biaknya

mikroorganisme dan virus serta mempercepat proses penyebaran dan penularan penyakit

demam chikungunya di suatu wilayah sehingga dapat menimbulkan kejadian luar biasa.5

Melihat jumlah kasus yang terus meningkat setiap tahunnya selama tiga tahun terahir

ini, sehingga penyakit ini menimbulkan kejadian luar biasa dengan jumlah kasus mencapai

ratusan akan tetapi tidak menimbulkan kematian, walaupun demikian tetap menimbulkan

keresahan dan ketakutan di lingkungan masyarakat. Keadaan ini menimbulkan suatu

pertanyaan bagi peneliti untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan

terjadinya kejadian luar biasa (KLB) Demam chikungunya ini. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Page 60: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

60

penyakit demam chikungunya di Desa Kubang Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon tahun

2010.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan rancangan case control yaitu

menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan

retrospektif.6

Penelitian dengan desain case control digunakan untuk mempelajari faktor-

faktor yang berhubungan dengan kejadian luar biasa (KLB) penyakit demam chikungunya ini

akan menilai pada faktor host mengenai tingkat pengetahuan responden, sikap responden,

pendidikan responden tentang penyakit chikungunya dan melihat faktor lingkungan tentang

mobilitas, kepadatan hunian dan container index serta menilai ada tidaknya hubungan antara

satu variabel dengan variabel lainnya.

Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi kasus adalah semua responden yang

sakit chikungunya di desa Kubang Blok Pond dan Manis wilayah kerja Puskesmas Ciperna

Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon 2010 dengan jumlah kasus Blok Pon 23 orang Blok

Manis 27 orang dengan jumlah seluruhnya 50 orang dan Populasi kontrol adalah semua

responden yang bukan penderita chikungunya di desa Kubang Blok Pon dan Manis wilayah

kerja Puskesmas Ciperna Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon 2010. Sampel kasus adalah

semua penderita chikungunya yang telah didiagnosis oleh petugas kesehatan yang tercatat di

register puskesmas, yang berasal dari desa KLB dan sampel kontrol adalah semua responden

yang bukan penderita chikungunya yang berasal dari desa KLB yang terpilih secara acak

(random) untuk diikut sertakan dalam penelitian. Perbandingan kasus dan control adalah 1:1.

Instrumen penelitian menggunakan kuesioner tertutup untuk menggali informasi tentang

sikap responden, pengetahuan responden dan pendidikan responden. Instrumen diadopsi dari

penelitian Sustiwa tahun 2003 sehingga tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Data

sekunder kasus chikungunya di kumpulkan dari register puskesmas dan data primer di

kumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner untuk pengukuran

sikap responden, pengetahuan responden dan pendidikan responden serta observasi terhadap

kepadatan hunian dan container index. Analisis data terdiri dari analisis univariat untuk

melihat presentase antara variabel independen dengan varibel dependen dan analisis bivariat

bertujuan untuk melihat hubungan antara satu variabel independen dan variabel dependen

menggunakan uji chi suare (α = 5%) dengan rumus:

( )2121

2

2

mmnn

bcadNx

−=

Sedangkan besar hubungan pada rancangan kasus kontrol dinilai menggunakan Odds

Ratio (OR). OR yaitu rasio odds pajanan pada kasus berbanding dengan odds pajanan pada

kontrol atau menggunakan formulasi tabel 1 dibawah yaitu OR = a/c : b/d = ad/bc.7

Tabel 1 Dasar Kasus – Kontrol

Faktor Risiko Kejadian Penyakit

Jumlah total Kasus Kontrol

+ a B a + b

- c D c + d

Jumlah Total a + c b + d N

Bila OR ≤ 1, artinya tidak ada faktor risiko terjadi penyakit chikungunya.

Bila OR > 1, artinya sebagai faktor risiko terjadinya penyakit chikungunya.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Responden

Page 61: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

61

1. Umur Responden

Responden terbanyak adalah kelompok umur 31 – 40 tahun sebesar (32,0%),

sedangkan yang paling sedikit adalah kelompok umur ≤ 20 tahun sebesar 1%.

2. Jenis kelamin

Responden perempuan lebih banyak yaitu sebesar 56 orang (56,0%) dibandingkan

dengan responden laki-laki yaitu sebesar 44 orang (44,0%).

3. Tingkat pendidikan

Persentase responden dengan jenjang pendidikan tertinggi adalah SD sebesar 51,0%

sedangkan yang terendah adalah akademi/PT sebesar 2,0%.

4. Jenis pekerjaan

Persentase responden yang paling banyak adalah buruh/petani sebesar 61,0%

sedangkan yang paling sedikit adalah pegawai negri sebesar 3,0%.

Mobilitas Responden

Persentase mobilitas responden rendah sama dengah mobilitas tinggi yaitu sebesar

50%.

Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian yang padat lebih kecil yaitu sebesar 6,0% sedangkan yang tidak padat

lebih besar yaitu sebesar 94,0%.

Container Index Container index yang kurang baik jumlahnya lebih besar yaitu 56,0% dibandingkan

dengan yang baik yaitu sebesar 44,0%.

Pengetahuan Pengetahuan responden dapat dilihat bahwa pengetahuan kurang baik jumlahnya lebih

besar yaitu 52,0% dibandingkan dengan yang baik sebesar 48,0%.

Sikap Sikap responden untuk sikap yang kurang baik jumlahnya lebih kecil yaitu sebesar

42,0% dibandingkan dengan yang baik yaitu sebesar 58,0%.

Hubungan Mobilitas dengan Penyakit Chikungunya

Tabel 2 Hubungan Mobilitas menurut Kasus dan Kontrol terhadap Penyakit Chikungunya

Mobilisasi

Penduduk

Status Responden Total OR

95% Cl

P

value Kasus Kontrol

N % N % N %

Rendah 30 60,0 20 40,0 50 50,0 2,25

(1,01-5,00) 0,046 Tinggi 20 40,0 30 60,0 50 50,0

Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara mobilitas

penduduk dengan terjadinya penyakit chikungunya. mobilitas merupakan faktor resiko

terjadinya penyakit chikungunya.

Hubungan Kepadatan Hunian dengan Penyakit Chikungunya

Tabel 3 Hubungan Kepadatan Hunian menurut Kasus dan Kontrol terhadap

Page 62: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

62

Penyakit Chikungunya

Kepadatan

Hunian

Status Responden Total OR

95% Cl

P

value Kasus Kontrol

N % N % N %

Padat 4 8,0 2 4,0 6 6,0 2,09

0,964-11,95 0,400 Tidak padat 46 92,0 48 96,0 94 94,0

Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan

hunian dengan penyakit chikungunya dan kepadatan hunian bukan merupakan faktor resiko

terjadinya penyakit chikungunya.

Hubungan Container Index dengan Penyakit Chikungunya

Tabel 4 Hubungan Container Index menurut Kasus dan Kontrol terhadap

Penyakit Chikungunya

Container

Index

Status Responden Total OR

95% Cl

P

value Kasus Kontrol

N % N % N %

Kurang baik 34 68,0 22 44,0 56 56,0 2,71

(1,20-6,11) 0,016 Baik 16 32,0 28 56,0 44 44,0

Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara container index

dengan kejadian penyakit dan container index merupakan faktor resiko terjadinya penyakit

chikungunya.

Hubungan Pengetahuan Responden dengan Penyakit Chikungunya

Tabel 5 Hubungan Pengetahuan Responden menurut Kasus dan Kontrol terhadap

Penyakit Chikungunya

Pengetahuan

Responden

Status Responden Total OR

95% Cl

P

value Kasus Kontrol

N % N % N %

Kurang baik 31 62,0 21 42,0 52 52,0 2,25

(1,01-5,02) 0,045 Baik 19 38,0 29 58,0 48 48,0

Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahun

responden dengan kejadian penyakit chikungunya dan pengetahuan responden merupakan

faktor resiko terjadinya penyakit chikungunya.

Hubungan Sikap Responden denganPenyakit Chikungunya

Tabel 6 Hubungan Sikap Responden menurut Kasus dan Kontrol terhadap

Penyakit Chikungunya

Sikap

Responden

Status Responden Total OR

95% Cl

P

value Kasus Kontrol

N % N % N %

Kurang baik 27 54,0 15 30,0 42 42,0 2,74

(1,20-6,23) 0,015

Baik 23 46,0 35 70,0 58 58,0

Page 63: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

63

Total 50 100,0 50 100,0 100 100,0

Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara sikap responden

dengan kejadian penyakit chikungunya dan sikap responden merupakan faktor resiko

terjadinya penyakit chikungunya.

PEMBAHASAN

Hubungan Mobilitas dengan Penyakit Chikungunya Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan mobilitas dengan penyakit

chikungunya. Penyebaran penyakit chikungunya di Indonesia terjadi pada daerah endemis

penyakit demam berdarah dengue. Berdasarkan data yang ada chikungunya lebih sering

terjadi di daerah sub urban.4

Penyebab chikungunya adalah virus chikungunya, genus alphavirus atau group A

antrophod borne viruses (flavivirus) family Togaviri das. Penyebab penyakit chikungunya

sama dengan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat komplek yaitu : 1. Pertubuhan penduduk yang

tinggi. 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali. 3. Tidak adanya kontrol vektor

nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan 4. Peningkatan sarana transportasi.8

Pada era serba cepat seperti sekarang ini seseorang hari ini dapat berada di satu negara

esok sudah berada di negara atau hari ini berada di satu wilayah besok sudah berada di

wilayah lain penyebaran virus amat di mungkinkan orang yang tertular penyakit di suatu

negara atau wilayah bias membawanya ke wilayah/negara lain, penyakit yang dibawa ada

yang dapat hilang dengan sendirinya, namun dapat pula berlanjut siklusnya bila faktor

pendukungnya ada.9

Hubungan Kepadatan Hunian dengan Penyakit Chikungunya Kepadatan hunian adalah keadaan luas lantai rumah yang tidak sebanding dengan

jumlah penghuni rumah sehingga menurut teori penularan penyakit chikungunya dapat terjadi

apabila penderita yang sakit di gigit oleh nyamuk penular Aedes aegypti kemudian menggigit

orang lain. Biasanya penularan terjadi dalam satu rumah dan cepat menyebar ke satu wilayah

akan tetapi hasil penelitian menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara

kepadatan hunian dengan penyakit chikungunya sehingga kepadatan hunian bukan

merupakan faktor resiko terjadinya penyakit chikungunya. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan

masyarakat didesa Kubang apabila ada salah satu anggota keluarga yang sudah menikah

mereka langsung keluar dari rumah orangtuanya kalau tidak membuat rumah sendiri mereka

akan mengontrak sehingga untuk kepadatan hunian tidak menunjukkan hubungan yang

bermakna sebagai pencetus penyebar luasan penyakit chikungunya didesa Kubang.

Hubungan Container Index dengan Penyakit Chikungunya Nyamuk Aedes aegypti/Aedes albapictus berkembang biak di tempat penampungan air

untuk keperluan sehari-hari dan barang-barang lain yang memungkinkan air tergenang yang

berada di luar rumah maupun yang berada di dalam rumah misalnya bak mandi, tempayan,

drum, tempat minum burung dan barang-barang bekas lainnya. Tempat perkembang biakan

yang utama adalah tempat penampungan air di dalam atau di sekitar rumah yang jaraknya

tidak melebihi 500 m dari rumah.10

Dari hasil analisa statistik menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara

container index dengan kejadian penyakit chikungunya dan container index yang kurang baik

Page 64: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

64

mempunyai resiko terjadinya penyakit chikungunya 2,25 kali lebih besar dibandingkan

dengan yang container index baik.

Menurut hasil penelitian Salikun tentang hubungan antara perilaku masyarakat dalam

pemberantasan sarang nyamuk dengan kepadatan larva Aedes aegypti di desa Jati Mulya

tahun 2005 bahwa kepadatan larva index dengan katagori padat banyak di temukan pada

responden dengan praktik kurang baik (100%) dibandingkan dengan responden dengan

praktik baik (44,40%) dan adanya hubungan yang bermakna antara praktik responden dengan

kepadatan larva Aedes aegypti.11

Hubungan Pengetahuan Responden dengan Penyakit Chikungunya Analisa statistik menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan

responden dengan kejadian penyakit chikungunya dan pengetahuan yang kurang baik

mempunyai resiko 2,25 kali lebih besar terkena penyakit chikungunya dibandingkan dengan

pengetahuan baik.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustiansyah tahun 2003 dalam

tesisnya yang berjudul Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam

memelihara ikan cupang untuk pemberantasan sarang nyamuk DBD di Pontianak, bahwa

rendahnya pengetahuan responden akan berpengaruh terhadap cara-cara penanggulangan

penyakit chikungunya. Sedangkan Ancok mengatakan bahwa adanya pengetahuan tentang

manfaat sesuatu hal yang akan menyebabkan seseorang akan mempunyai sikap positif

terhadap hal tersebut.12

Makin banyak segi positif sikap yang terbentuk. Sebaliknya makin banyak segi

negatifnya, maka makin negatif sikap yang terbentuk. Masyarakat yang kurang

pengetahuannya akan penyakit chikungunya dan cara pencegahannya akan mempercepat

proses penyebaran penyakit chikungunya dan memperlambat proses penanganannya sehingga

akan memperpanjang masa kontak antara penderita dengan vektor chikungunya yang nantinya

akan menyebarkan ke yang lainnya.13

Hubungan Sikap Responden dengan Penyakit Chikungunya

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap

stimulus atau obyek. Sikap dapat didefinisikan sebagai keteraturan tertentu dalam hal

perasaan (afeksi), pemikiran (kongnisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap

suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sikap merupakan respon evaluative yang dapat berupa

respon positif maupun respon negatif. Sikap manusia akan diasumsikan dalam bentuk

perilaku dalam obyek. Namun Mann mengatakan bahwa sekalipun diasumsikan bahwa sikap

merupakan predisposisi evaluative yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak,

akan tetapi tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak

hanya ditentukan oleh sikap semata, akan tetapi oleh berbagai faktor eksternal lainnya.

Disamping itu ternyata untuk satu macam tindakan saja terdapat banyak pola sikap yang

relevan.13

Analisa statistik menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara sikap responden

dengan kejadian penyakit chikungunya dan sikap responden yang kurang baik mempunyai

resiko 2,74 kali lebih besar dibandingkan dengan sikap responden yang baik.

Adanya hubungan yang bermakna antara sikap responden terhadap kejadian penyakit

chikungunya, hal sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sikap merupakan suatu respon.

Respon hanya akan timbul apabila individu di hadapkan pada suatu stimulus yang

menghendaki timbulnya reaksi individual. Respon evaluative berarti bahwa bentuk respon

yang dinyatakan sebagai sikap itu didasari proses evaluasi dalam diri individu, yang memberi

kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negativ,

Page 65: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

65

menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka yang kemudian mengkristal

sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap.14

SIMPULAN

1. Ada hubungan yang bermakna antara mobilitas penduduk dengan terjadinya penyakit

chikungunya dan mobilitas penduduk merupakan faktor resiko terjadinya penyakit

chikungunya.

2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penyakit

chikungunya karena dan kepadatan hunian bukan merupakan faktor resiko terjadinya

penyakit chikungunya.

3. Ada hubungan yang bermakna antara container index dengan kejadian penyakit

chikungunya dan container index merupakan faktor resiko terjadinya penyakit

chikungunya.

4. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden dengan kejadian penyakit

chikungunya dan pengetahuan responden merupakan faktor resiko terjadinya penyakit

chikungunya.

5. Ada hubungan yang bermakna antara sikap responden dengan kejadian penyakit

chikungunya dan sikap responden merupakan faktor resiko terjadinya penyakit

chikungunya

SARAN 1. Bagi Dinas kesehatan

Lebih meningkatkan pembinaan dalam kegiatan pemeriksaan jentik nyamuk berkala

terhadap petugas surveilans di tingkat Puskesmas sehingga hasil kegiatan dapat terpantau

secara berkesinambungan.

2. Bagi Puskesmas

Memberikan informasi yang tepat dan benar tentang penyakit chikungunya serta

penyuluhan tentang cara-cara penanggulangannya kepada masyarakat, sehingga

masyarakat dapat mencegah penyebaran penyakit chikungunya di lingkungan masyarakat

dan dilaksanakannya kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) secara rutin di tingkat

desa yang di pimpinan oleh kepala desa beserta jajarannya.

DAFTAR PUSTAKA 1. Jupp PG. Mc. Intosh BM. Chikungunya virus deseace, the arboviruses epidemology and

ecology, Volume 11;1985

2. Departemen Kesehatan RI, Chikungunya tidak menyebabkan kematian atau kelumpuhan

kompas cyber media: Jakarta; 2006.

3. Kabid Bina DLPD. Evaluasi laporan bulanan P2M Provinsi Jawa Barat: Bandung; 2009

4. Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon. Kumpulan pedoman penyelidikan epidemology,

wabah/KLB penyakit menuluar dan keracunan makanan: Cirebon; 2009.

5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penanggulangan sistem kewaspadaan dini kejadian

luar biasa (KLB): Jakarta ;2004.

6. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta; 2002

7. Murti B., Prinsip dan Metoda Riset Epidemolog, Yogyakarta: Gajah Mada University

Press; 1997.

8. Anonim. Memberantas Penyakit Infeksi menuju masyarakat Indonesia sehat 2010

Fakultas Kedokteran Hang Tuah. Rumkital Dr. Ramelan Simposium Akbar Penyakit

Tropik dan Infeksi:Surabaya; 2010

9. Suharsono. Mobilitas dan chikungunya.[diakses tanggal 28 April 2010], diunduh dari:

http:/kgm.bappenas.90.

Page 66: HUBUNGAN BEBAN KERJA PERAWAT DENGAN …pts-stikescirebon.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Desember-2010.pdfterhadap banyaknya tindakan disetiap waktu jaga yang ada di unit perawatan

ISSN 2088-0278 [JURNAL KESEHATAN] Volume 1, Nomor 1 Desember 2010

66

10. Departemen Kesehatan RI, Pencegahan dan pemberantasan DBD. Jakarta: Ditjen PP&

PL; 2005.

11. Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon. Laporan Sis P2M: Cirebon; 2010.

12. Ancok D. Tehnik penyusunan skala pengukuran. Yogyakarta: PPK UGM; 1989.

13. Notoadmojo S. Pendidikan dan perilaku kesehatan PT. Rineka Cipta: Jakarta; 2003.

14. Notoatmodjo S, Sarwono, dan Salita, Pengantar ilmu perilaku kesehatan, Depok: FKM

UI; 1997.