50
HUBUNGAN TINGKAT MASTITIS DENGAN KUALITAS SUSU BERDASARKAN UJI REDUKTASE SKRIPSI Oleh : ANANG WIDO RAHMAN 0210510007 JURUSAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2007

Hubungan Tingkat Mastitis Dengan Kualitas Susu Berdasarkan Uji Reduktase

Embed Size (px)

Citation preview

HUBUNGAN TINGKAT MASTITIS DENGAN

KUALITAS SUSU BERDASARKAN UJI REDUKTASE

SKRIPSI

Oleh :

ANANG WIDO RAHMAN

0210510007

JURUSAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2007

HUBUNGAN TINGKAT MASTITIS DENGAN

KUALITAS SUSU BERDASARKAN UJI REDUKTASE

Oleh :

ANANG WIDO RAHMAN

0210510007

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

JURUSAN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2007

HUBUNGAN TINGKAT MASTITIS DENGAN

KUALITAS SUSU BERDASARKAN UJI REDUKTASE

SKRIPSI

Oleh :

ANANG WIDO RAHMAN NIM. 0210510007

Telah dinyatakan lulus dalam ujian sarjana Pada Hari/Tanggal : 24 juli 2007

Menyetujui

Susunan Tim Penguji Pembimbing Utama Anggota Tim Penguji Ir.H. Soewono W. MS Ir. H Sarwiyono M. Agr. St Tanggal……………..: Tanggal: ………………… Pembimbing Pendamping Ir. Puguh Surjowadojo, MS.Tanggal: .........................

Mengetahui Malang,............

Universitas Brawijaya Fakultas Peternakan

Dekan,

Prof. Dr. Ir. Hartutik, MS NIP. 131125348

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 23 Juli 1984 sebagai putra

pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Solikhun dan Ibu Sri Wijaya.

Riwayat pendidikan penulis diawali dari masuk Sekolah Dasar (SD) PIR

PTP VII PMS Sosa Tapanuli Selatan Sumatera Utara dan lulus pada tahun 1996.

Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Nageri 29 Surabaya dan lulus pada tahun 1999. Dari SMP, penulis

melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Muhammadiyah 2

Surabaya dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima

sebagai mahasiswa Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternaskan Universitas

Brawijaya Malang.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi

petunjuk dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan

judul ”HUBUNGAN TINGKAT MASTITIS DENGAN KUALITAS SUSU

BERDASARKAN UJI REDUKTASE”.

Tak lupa kiranya penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian Skripsi

ini secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih ini penulis

sampaikan kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Ir. Hartutik MS selaku dekan Fakultas peternakan Universitas

Brawijaya Malang

2. Bapak Ir. H Soewono Wirosoedarmo MS selaku dosen pembimbing utama

yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam penulisan

laporan skripsi ini.

3. Bapak Ir. Puguh Surjowardojo MS selaku dosen pembimbing pendamping

sekaligus pihak yang telah mengikut sertakan penulis dalam proyek

penelitian serta memberi saran dan masukan dengan penuh kesabaran

4. Bapak Ir. H. Sarwiyono M. Agr. St selaku dosen penasehat akademik dan

dosen penguji yang telah banyak memberikan banyak masukan guna

perbaikan penulisan skripsi sehingga menjadi lebih baik

5. Ayah dan Ibu sebagai orang tua yang telah banyak membantu dengan

memberi berbagai macam dukungan baik material maupun spiritual

sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan

6. Seluruh anggota keluarga besar yang telah banyak memberi dukungan

moril

7. Teman-teman team Whiteside dan CMT yang telah banyak membantu dan

mau kerjasama sehinggs memudahkan pelaksanaan penelitian

8. Teman-teman ”66 Community” yang telah banyak membantu terutama

memberi bantuan fasilitas demi terselesainya penulisan laporan skripsi ini

9. Teman special ”kekasihku” yang telah banyak memberikan motivasi guna

menyelesaikan penulisan skripsi

Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua baik

penulis maupun pihak lain yang membaca skripsi ini sehingga dapat meningkatan

kualitas diri dan sebagai pedoman perbaikan manajemen pengendalian penyakit

pada ternak sapi perah. Amiiin.

Malang, 1 Agustus 2007

Ttd

Penulis

ABSTRACT

A RELATIONSHIP BETWEEN MASTITIS LEVEL AND MILK QUALITY BASED ON REDUCTION TEST

Research located at branch unit belonged to KUTT Suka Makmur, Grati Sub District, Pasuruan Regency, and at Dairy Livestock Laboratory owned by Animal Husbandry Faculty of Brawijaya University in Malang. Data collection starts from October to November 2006. The objective this research is understanding the relationship between mastitis and milk quality in relative with reductation test and examining the relationship proximity. The writer expects the benefit this research can be used as guide for develop of management and disease control in order to improve milk quality. Material used in research involves milk sample collected from 22 lactatins FH dairy cows, at 2th to 3th lactation month and 2th to 3th lactation in which infected. Research method considers case study in the field. Direct observation in the field through Whiteside Test method also comes into consideration to find out mastitis level, while reduction test done in the Dairy Livestock Laboratory. Data analysis concerns with regression and simple correlation. Results this research indicate that of 22 dairy cows (88 teats) of sample, 47 teats free from mastitis infection (53,40 %) and 41 teats infection (46,60 %). Correlation coefficient (r) is -0.87 its mean negative relationship between mastitis level and milk quality relied on reduction test. The result of linear regression equation is Y = 1111.75 – 67.41 X. In summary, research concludes that higher mastitis level means lower the timing of reduction test. Mastitis reduces milk quality to 75.37 % as displayed in reduction test. Research also suggests that regarding to large number of mastitis-infected livestock, disease prevention remains more important include the hygiene of housing and livestock body, cleanesles milking equipments, teat dipping, the man that doing squeez have to in a state of cleanness before squeezing. Keywords: Mastitis level, Reduction Test, Milk Quality

RINGKASAN

HUBUNGAN TINGKAT MASTITIS DENGAN KUALITAS SUSU BERDASARKAN UJI REDUKTASE

Penelitian ini dilaksanakan di Unit peternakan KUTT Suka Makmur Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan dan di laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. Pengumpulan data dimulai dari bulan Oktober sampai bulan November 2006.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana hubungan mastitis dengan kualitas susu berdasarkan uji reduktase dan seberapa besar keeratan hubungan tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai panduan untuk memperbaiki manajemen pemeliharaan khususnya pengendalian penyakit guna meningkatkan kualitas susu.

Materi penelitian adalah sampel susu sapi perah FH laktasi sebanyak 22 ekor (88 puting) pada bulan laktasi 2 sampai 3 dan tingkat laktasi 2 sampai 3 yang terinfeksi mastitis. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan metode studi kasus di lapang. Untuk mengetahui tingkat mastitis dilakukan observasi langsung di lapang dengan metode Whiteside Test, sedangkan untuk mengetahui kualitas susu berdasarkan uji reduktase dilakukan di laboratorium ternak perah. Data dianalisis menggunakan regresi dan korelasi sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 22 ekor (88 puting) sampel sapi perah terdapat 47 puting yang tidak terinfeksi mastitis (53,40%) dan 41 ekor yang terinfeksi (46,60%). Koefisien korelasi (r) = -0,87 artinya terjadi hubungan yang negatif antara tingkat mastitis dengan kualitas susu berdasarkan uji reduktase. Persamaan regresi linear yang diperoleh ialah Y = 1111,75 – 67,41 X

Kesimpulan dari penelitian ini adalah semakin tinggi tingkat mastitis maka semakin rendah waktu uji reduktase. Mastitis dapat manurunkan kualitas susu berdasarkan waktu uji reduktase sebesar 75,37%. Saran yang diberikan yaitu Karena masih banyaknya ternak yang terinfeksi penyakit mastitis maka perlu ditingkatkan upaya pencegahan penyakit meliputi kebersihan kandang dan tubuh ternak, pembersihan peralatan pemerahan, melakukan teat dipping, pemerah harus dalam keadaan bersih sebelum memerah.

Kata Kunci : Tingkat Mastitis, Uji Reduktase, Kualitas Susu

DAFTAR ISI

halaman

RIWAYAT HIDUP ............................................................................ i

KATA PENGANTAR ........................................................................ ii

ABSTRACT ........................................................................................ iv

RINGKASAN ..................................................................................... v

DAFTAR ISI....................................................................................... vi

DAFTAR TABEL .............................................................................. viii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN ................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................. 2

1.3. Tujuan ............................................................................... 3

1.4. Manfaat ............................................................................. 3

1.5. Kerangka Pikir .................................................................. 3

1.6. Hipotesa ............................................................................ 3

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ..................................................... 4

2.1. Pengenalan Sapi Perah Fries Holland (FH)...................... 4

2.2. Pengertian Mastitis............................................................ 5

2.3. Uji Mastitis Dengan Metode Whiteside Test .................... 8

2.4. Uji Reduktase Sebagai Penentu kualitas Susu .................. 10

2.5. Hubungan Mastitis Dengan Kualitas Susu

Berdasarkan Uji Reduktase ...................................................... 11

BAB III : MATERI DAN METODE................................................ 13

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................ 13

3.2. Materi Penelitian ............................................................... 13

3.3. Metode Penelitian ............................................................. 14

3.4. Variabel Penelitian ............................................................ 16

3.5. Analisa Data Statistik........................................................ 16

3.6. Batasan Istilah ................................................................... 17

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................... 19

4.1. Keadaan Umum Lokasi..................................................... 19

4.2. Mastitis Pada Sapi Perah................................................... 20

4.3. Hubungan Antara Tingkat mastitis Dengan

kualitas Susu ............................................................................ 24

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN........................................... 29

5.1. Kesimpulan ....................................................................... 29

5.2. Saran.................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 30

LAMPIRAN........................................................................................ 32

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Kemampuan Produksi Tiap Laktasi dan Kadar Lemak dari

Bangsa Sapi Yang Terkenal .............................................................. 5

2. Notasi Reaksi Whiteside Test ........................................................... 9

3. Klasifikasi Kualitas Susu Berdasarkan Daya Reduksi Dari Susu..... 12

4. Hubungan Antara Kualitas Susu Dengan Perkiraan Jumlah

Bakteri Dalam Uji Reduktase............................................................ 15

5. Rumus analisis Sidik Ragam............................................................. 17

6. Prosentase Tingkat Mastitis Puting Sapi Perah Yang Terinfeksi...... 20

7. Rata-Rata Waktu Uji Reduktase Susu Pada Berbagai Tingkat

Mastitis Berdasarkan Nilai Whiteside Test....................................... 25

8. Analisis Sidik Ragam........................................................................ 37

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Garis Regresi Hubungan Antara Tingkat Mastitis Dengan

Waktu Uji Reduktase ..................................................................... 27

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Data Skor Mastitis dan Waktu Uji Reduktase................................ 32

2. Data Tingkat mastitis Secara Whiteside Test, Status Tingkat

Laktasi dan Bulan Laktasi Pada Sampel Sapi Perah

Yang Terinfeksi Mastitis ............................................................... 33

3. Tabel Sata Untuk Perhitungan Regresi Hubungan Tingkat

Mastitis Dengan Kualitas Susu Berdasarkan Waktu

Uji Reduktase ................................................................................. 34

4. Perhitungan Regresi Dan Korelasi Antara Tingkat Mastitis

Dengan Waktu Hasil Uji Reduktase .............................................. 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Susu adalah bahan pangan yang sangat baik bagi kehidupan manusia

karena komposisinya yang ideal selain itu susu juga mengandung semua zat yang

dibutuhkan oleh tubuh, semua zat makanan yang terkandung didalam susu dapat

dimanfaatkan oleh tubuh Selain itu susu akan mudah mengalami kerusakan

apabila tidak ada penanganan khusus, karena susu merupakan media yang baik

bagi perkembangan mikroorganisme.

Susu yang berkualitas baik dapat diperoleh dari ternak sapi perah yang

sehat karena manajemen pemeliharaan yang baik dan benar, salah satunya ialah

pengendalian penyakit yang benar dan tepat. Biasanya peternak kurang

memperhatikan kondisi sapi perah sehingga sapi perah tersebut mudah terserang

penyakit. Pada peternakan sapi perah di KUTT Suka Makmur Kecamatan Grati

Kabupaten Pasuruan yang kurang memperhatikan kebersihan ternaknya dan

lingkungan ternak tersebut, sehingga rentan terserang penyakit. Hal ini dapat

dilihat dari buruknya sanitasi kandang, kebersihan peralatan pemerahan,

kebersihan pemerah serta masih terlihat kotoran sapi yang menempel pada tubuh

ternak. Penyakit yang sering menyerang sapi perah saat memproduksi susu atau

laktasi ialah mastitis. Mastitis adalah penyakit radang pada ambing bagian dalam

yang disebabkan oleh mikroorganisme pada ternak sapi perah (Hidayat, dkk.

2002). Mastitis dapat menurunkan produksi susu baik kuantitas dan kulalitas susu

(Bath, Dickinson, Tucker, Appleman. 1985)

Sebagian besar mastitis disebabkan oleh masuknya bakteri patogen

melalui lubang puting susu ke dalam ambing dan berkembang di dalamnya

sehingga menimbulkan reaksi radang. Hasil metabolisme mikroba akan merusak

dan mengganggu fungsi sel-sel alveuli (Hidayat, dkk. 2002). Jadi dengan adanya

mikroorganisme pathogen atau bakteri penyebab mastitis di dalam kelenjar susu

serta adanya reaksi peradangan pada jaringan ambing menunjukkan adanya

infeksi yang disebut mastitis.

Menurut Sudono, Rosdiana, Setiawan (2003) mastitis yang sering

menyerang sapi perah ada 2 macam yaitu mastitis klinis dan subklinis. Mastitis

klinis tanda-tandanya dapat dilihat secara kasat mata seperti susu yang abnormal

adanya lendir dan penggumpalan pada susu, puting yang terinfeksi terasa panas,

bengkak dan sensitive bila disentuh saat pemerahan. Sedangkan mastitis subklinis

tanda-tanda yang menunjukkan keabnormalan susu tidak kelihatan kecuali dengan

alat bantu atau metode deteksi mastitis. Salah satu cara yang dapat digunakan

untuk melakukan diagnosa terhadap mastitis subklinis adalah Whiteside test. Uji

ini adalah suatu metode untuk mendeteksi mastitis dengan cara menampakkan

banyaknya sel darah putih akibat penggumpalan dari penembahan NaOH 4%.

Tingginya tingkat penggumpalan ini tergantung dari keabnormalan kelenjar susu

atau infeksi dari sapi perah tersebut, sebab semakin tinggi tingkat infeksi maka

semakin tinggi pula sel darah putih yang diproduksinya.

1.2 Rumusan Masalah

Susu yang dihasilkan oleh susu yang terinfeksi mastitis akan mengalami

kenaikan jumlah bakteri karena meningkatnya jumlah bakteri di dalam kelenjar

mammae. Berdasarkan uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan adalah

apa dan bagaimana hubungan tingkat mastitis denga kualitas susu.

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui bagaimana hubungan mastitis dengan kualitas susu

berdasarkan uji reduktase dan seberapa basar keeratan hubungan tersebut.

1.4 Manfaat

Sebagai panduan untuk memperbaiki manajemen pemeliharaan khususnya

pengendalian penyakit guna meningkatkan kualitas susu.

1.5 Kerangka Pikir

Mastitis adalah peradangan kelenjar mammae oleh mikroorganisme

khususnya bakteri pathogen. Susu yang dihasilkan oleh sapi yang terinfeksi

mastitis kualitasnya akan menurun karena mengalami kenaikan jumlah bakteri.

Untuk mengetahui kualitas susu yang berhubungan dengan jumlah bakteri dapat

dilakukan uji reduktase. Dari sini dapat dikaji bagaimana hubungan mastitis

dengan kualitas susu berdasarkan uji reduktase dan seberapa besar keeratan

hubungan tersebut.

1.6 Hipotesa

Terdapat hubungan antara tingkat mastitis dengan kualitas susu.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengenalan Sapi Perah Fries Holland (FH)

Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1985) manyatakan bahwa bangsa

sapi ini berasal dari Belanda dan dikenal sebagai Holstein, di Amerika dan Eropa

dikenal dengan nama Friesian. Bangsa sapi ini memiliki tanda-tanda sebagai

berikut :

a. Warna putih dengan belang hitam, dapat juga hitam dengan belang putih.

Ekor harus putih, warna hitam tidak dapat diperkenankan, juga tidak

diperbolehkan warna hitam di daerah bawah persendian siku dan lutut,

tetapi warna hitam pada kaki mulai dari bahu atau paha sampai ke kuku

diperbolehkan.

b. Badan besar mempunyai kapasitas pakan yang banyak, sapi betina

mempunyai ambing yang besar.

c. Kepalanya panjang, sempit, lurus, tanduk mengarah kedepan dan

membengkok ke dalam, badan menyerupai baji.

d. Sifat sapi betina jinak dan tenang sedangkan sapi jantan galak dan ganas.

Sapi FH termasuk sapi yang lambat masa matangnya, sapi dara umumnya baru

dapat dikawinkan pada umur 18 bulan. Beranak pertama kali pada umur 28-30

bulan. Berat badan sapi betina 650 kg dan sapi jantan dewasa 700-900 kg.

Sapi ini mempunyai kemampuan menghasilkan susu lebih banyak

daripada bangsa sapi perah lainnya, yaitu mencapai 5.982 liter per laktasi dengan

kadar lemak3,7%. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Table 1.

Tabel 1. Kemampuan produksi tiap laktasi dan kadar lemak dari bangsa sapi yang terkenal.

Bangsa Sapi Kemampuan Produksi/laktasi (kg)

Kadar Lemak (%)

FH

Brown Swiss

Ayrshire

Guernsey

Yersey

Milking Shorthon

5.982

5.052

4.853

4.009

3.844

4.019

3,7

4,05

4,12

4,86

5,28

3,90

Sumber : Syarief dan Sumoprastowo (1985)

Di Indonesia sapi FH ini sudah banyak dikembangkan dan karena

persilangan dengan sapi setempat atau local maka dihasilkan keturunan sapi yang

dikenal dengan nama sapi Grati (Syarief dan Sumoprastowo, 1985)

2.2 Pengertian Mastitis

Mastitis adalah penyakit radang pada kelenjar mammae yang disebabkan

oleh mikroorganisme pada ternak sapi perah seperti bakteri (Streptococcus sp,

Staphylococcus sp, Coliform, Corynebacterium, Pseudomonas sp), kapang atau

khamir, virus (Hidayat, dkk. 2002). Mastitis dapat terjadi karena adanya reaksi

dari kelenjar susu terhadap suatu infeksi yang terjadi pada kelenjar susu tersebut.

Reaksi ini ditandai dengan adanya peradangan pada ambing. Hal ini merupakan

usaha dari ambing untuk menetralisir rangsangan yang ditimbulkan oleh luka serta

untuk melawan kuman yang masuk dalam kelenjar susu agar dapat kembali

berfungsi normal (Surjowardojo, 1990).

Menurut Hidayat, dkk (2002) bahwa mastitis berdasarkan gejalanya dapat

dibedakan antara mastitis klinis dan mastitis sub klinis :

A. Mastitis Klinis

1) Mastitis klinis bentuk akut : terlihat tanda-tanda klinis (dapat dilihat atau

diraba oleh panca indera)

a. Kondisi umum : sapi tidak mau makan

b. Tanda-tanda peradangan pada ambing : ambing membengkak,

panas, kemerahan, nyeri bila diraba dan perubahan fungsi

c. Perubahan pada susu :

• Susu memancar tidak normal, bening atau encer

• Kental, menggumpal atau berbentuk seperti mie

• Warna berubah menjadi semu kuning, kecoklatan,

kehijauan, kemerahan atau ada bercak-bercak merah

2) Mastitis klinis yang kronis

a. Ternak terlihat seperti sehat

b. Ambing teraba keras, peot, mengeriput

c. Puting peot

B. Mastitis Sub Klinis merupakan peradangan pada ambing tanpa ditemukan

gejala klinis pada ambing dan air susu :

a. Ternak terlihat seperti sehat : nafsu makan biasa dan suhu tubuh normal

b. Ambing normal

c. Susu tidak menggumpal dan warna tidak berubah

Tetapi melalui pemeriksaan akan didapatkan :

a) Jumlah sel radang meningkat

b) Ditemukan kuman-kuman penyebab penyakit

c) Susu menjadi pecah (terbentuk butiran-butiran halus atau

gumpalan)

Mastitis sub klinis hanya diketahui setelah dilakukan pengujian. Jumlah mastitis

sub klinis dapat mencapai 60-70% bahkan lebih dari jumlah sapi laktasi. Kerugian

akibat mastitis sub klinis lebih besar daripada mastitis klinis (Hidayat, dkk. 2002)

Terjadinya masititis ini sering sebagai akibat dari adanya luka pada puting

atau jaringan ambing, yang kemudian diikuti oleh kontaminasi mikroorganisme

melalui puting yang luka tersebut. Hal ini dipercepat dan dipermudah apabila

sphincter muscle puting sudah mulai melemah (Surjowardojo, 1990).

Penyakit mastitis akan menimbulkan kerugian berupa penurunan jumlah

dan mutu susu, sehingga tidak dapat dipasarkan. Mastitis dalam keadaan parah

dapat mematikan puting susu sehingga puting tidak berfungsi lagi (Siregar, 1989).

Proses radang ambing hampir selalu dimulai dengan masuknya

mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting. Kemudian

mikroorganisme akan membentuk koloni yang dalam waktu singkat akan

menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme sampai dimukosa

kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit (Subronto, 1995)

Mastitis pada sapi perah dapat disebabkan oleh beberapa sebab, tetapi

infeksi bakteri merupakan penyebab utama terjadinya mastitis dan kurang lebih

95% oleh mikroorganisme yang berasal dari species Streptococci dan

Staphylococci misalnya seperti Streptococcus Agalactiae, Streptococcus

Dysagalactiae, Staphylococcus Aureus, Streptococcus Aberis (Surjowardojo,

1990).

Menurut Hidayat dkk (2002) ada 3 faktor yang mempermudah terjadinya

mastitis :

1) Kondisi hewan atau ternak

a) Bentuk aming : bentuk ambing yang menggantung sangat rendah akan

mudah kontak dengan lantai kandang sehingga beresiko terserang mastitis.

b) Umur : makin tua ternak makin peka karena mekanisme penutupan lubang

puting susu semakin menurun, penyembuhan semakin lambat.

c) Luka atau lecet pada ambing atau puting susu yang diakibatkan oleh lantai

kandang yang kasar, kuku pemerah yang panjang atau tajam, sikat yang

keras, memerah dengan cara yang kasar, memerah dengan cara menarik

puting.

2) Kondisi lingkungan yang buruk

a) Kandang dan ternak yang basah dan kotor

b) Urutan pemerahan yang salah

c) Peralatan pemerahan yang kotor

d) Pemerah atau pekerja yang memiliki tangan kotor, kuku tajam, pakaian

kotor.

2.3 Uji mastitis Dengan Metode Whiteside Test

Menurut Hadiwiyoto (1994) bahwa ada beberapa cara untuk mendeteksi

penyakit mastitis pada sapi perah, yaitu :

1) Uji mastitis dengan Mikroskop

2) Uji mastitis dengan Whiteside Test

3) Uji mastitis dengan California Mastitis Test

4) Uji mastitis dengan uji Klorida

5) Uji Hostis

6) Uji dengan Biru Bromo Timol

Whiteside Test merupakan cara mendeteksi mastitis yang termasuk metode

physis, dimana merupakan salah satu metode deteksi mastitis yang umum dipakai

di lapangan (Surjowardojo, 1990). Sudarwanto (1997) menambahkan bahwa

Whiteside Test mempunyai nilai sensitifitas lebih tinggi (0,94) daripada California

Mastitis Test (0,92). Keuntungan lain dari metode Whiteside Test adalah dapat

mengetahui lebih cepat hasil reaksinya, sedikit perlakuan, menggunakan alat

sederhana, caranya mudah dilakukan secara teratur.

Hasil whiteside test ditentukan dengan adanya proses penggumpalan

antara NaOH 4% dengan sel darah putih didalam susu, tingginya tingkat

penggumpalan ini tergantung dari tingkat keabnormalan atau infeksi dari sapi

perah tersebut, sebab semakin tinggi tingkat infeksi maka semakin tinggi pula sel

darah putih yang diproduksinya (Gibbons, 1963). Ada enam tingkatan reaksi yang

ditunjukkan dengan metode whiteside test seperti terlihat pada Table 2

Tabel 2. Notasi reaksi whiteside test

Notasi Keterangan

-

±

1+

2+

Warna gelap/kabur dan bebas partikel

Tidak terjadi reaksi selama diputar tetapi campuran warna

gelap/kabur menyebar dengan baik

Terjadi koagulasi sedikit selama diputar dan tidak banyak yang

melekat pada stick

Terjadi koagulasi pada awal permulaan diputar, koahulasi bergerak

3+

4+

mengikat stick dan akhirnya terjadi pemisahan bagian seperti ikatan

benang berbentuk lingkaran, dalam whey tampak jelas

Koagulasi melekat dengan segera pada stick diputar terus terjadi

pemisahan dan tampak dengan jelas whey serta bentuk rumpun

benang tampak jelas

Koagulasi melekat pada stick atau cenderung tidak merusak

didalam whey

Sumber : Gibbons (1963)

2.4 Uji Reduktase Sebagai Penentu Kualitas Susu

Daya reduksi dari susu disebabkan oleh aktivitas enzim-enzim tertentu dan

juga adanya aktivitas bakteri. Berdasarkan hasil penelitian ternyata ada hubungan

antara jumlah bakteri dalam susu dan kecepatan daya reduksi susu (Riyadh, S.

2003). Menurut Hadiwiyoto (1994) bahwa dasar pengujian reduksi susu dapat

diterangkan sebagai berikut : segera setelah susu diperah akan terkena udara, oleh

karena itu menyebabkan terjadinya oksidasi reduksi potensial sebesar ±300

milivolt. Bakteri yang tumbuh dalam susu memerlukan oksigen dan menghasilkan

substansi-substansi pereduksi yang memungkinkan penurunan oksidasi reduksi

potensial tersebut sampai nilainya negatif. Kecepatan penurunannya tergantung

jumlah dan macam bakterinya serta dipengaruhi oleh metabolisme dalam bakteri

tersebut.

Dwidjoseputro (1987) menyatakan bahwa pengujian daya reduksi susu

dapat dilakukan dengan menggunakan larutan tiosianat biru metilen atau rezaurin.

Penggunaan larutan ini dengan konsentrasi 1:25.000 adalah sebanyak 1 ml untuk

setiap 10 ml susu yang dicampur sampai homogen di dalam tabung reaksi.

Kemudian tabung tersebut direndam dalam air yang suhunya berkisar 35,5°C

sampai 37,5°C hingga warna biru hilang, warna biru pada permukaan campuran

tersebut tetap bertahan karena tidak terjadi reduksi.

Hadiwiyoto (1994) juga menjelaskan bahwa daya reduksi susu dapat diuji

dengan menggunakan larutan biru metil atau larutan rezaurin, namun penggunaan

larutan metil biru disini adalah dengan konsentrasi 1% yang dilakukan dengan

cara sebagai berikut :

1. Disiapkan susu segar sebanyak 10 ml di dalam tabung reaksi.

2. Ditambah larutan metil biru 1% sebanyak 1 ml.

3. Panaskan dalam inkubator pada suhu 37,5°C.

4. diamati lamanya waktu sampai warna biru hilang.

Dwidjoseputro (1987) dan Hadiwoyoto (1994) menyatakan bahwa

semakin lama hilangnya warna biru, menunjukkan jumlah bakteri yang semakin

sedikit. Hal ini menunjukkan kualitas susunya semakin baik.

2.5 Hubungan mastitis dengan kualitas susu berdasarkan uji reduktase

Mastitis adalah penyakit radang pada kelenjar mammae yang disebabkan

oleh mikroorganisme pada sapi perah (Trisunawati dan Indrawati, 1989).

Sebagian besar mastitis disebabkan oleh masuknya bakteri pathogen melalui

lubang puting susu kedalam ambing dan berkembang di dalamnya sehingga

menimbulkan reaksi radang (Hidayat. Dkk, 2006). Radang adalah suatu reaksi

dari tubuh karena adanya infasi dari bakteri dimana proses radang ambing hampir

selalu dimulai dengan masuknya bakteri ke dalam kelanjar susu melalui lubang

puting. Setelah bakteri berhasil masuk kedalam kelenjar, bakteri akan membentuk

koloni yang dalam waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli (Subronto,

1995). Menurut Hadiwiyoto (1994) bahwa bakteri yang tumbuh dalam susu

memerlukan oksigen dan menghasilkan substansi-substansi pereduksi yang

memungkinkan penurunan oksidasi reduksi potensial tersebut sampai nilainya

negatif. Kecepatan penurunannya tergantung jumlah dan macam bakterinya serta

dipengaruhi oleh metabolisme dalam bakteri tersebut. Hadiwiyoto (1994) juga

menjelaskan bahwa daya reduksi susu dapat diuji dengan menggunakan larutan

biru metil atau larutan rezaurin, namun penggunaan larutan metil biru disini

adalah dengan konsentrasi 1% yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

5. Disiapkan susu segar sebanyak 10 ml di dalam tabung reaksi.

6. Ditambah larutan metil biru 1% sebanyak 1 ml.

7. Panaskan dalam inkubator pada suhu 37,5°C.

8. diamati lamanya waktu sampai warna biru hilang.

Dwidjoseputro (1987) dan Hadiwoyoto (1994) menyatakan bahwa semakin lama

hilangnya warna biru, menunjukkan jumlah bakteri yang semakin sedikit. Hal ini

menunjukkan kualitas susunya semakin baik. Berdasarkan hal tersebut dijelaskan

pula bahwa kualitas susu dapat diklasifikasikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi kualitas susu berdasarkan daya reduksi dari susu

Jika warna biru hilang Kualitas susu

Setelah 8 jam

Antara 6 jam sampai 8 jam

Antara 2 jam sampai 6 jam

Kurang dari 2 jam

Sangat baik

Baik

Cukup

Buruk

Sumber : Dwidjoseputro (1987)

BAB III

MATERI DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Koperasi Usaha Tani Ternak (KUTT) Suka

Makmur Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan dan laboratorium ternak perah

Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. Pelaksanaan dimulai bulan

Oktober sampai bulan November 2006.

3.2 Materi Penelitian

Materi yang digunakan adalah sapi perah Friesian Holstein (FH) laktasi

sebanyak 22 ekor (88 puting) pada bulan laktasi 2-3 dan tingkat laktasi 2-3 yang

terifeksi mastitis. Alat dan bahan yang digunakan yaitu :

Alat yang digunakan untuk uji mastitis secara Whiteside Test terdiri dari :

• Glass plate : wadah untuk mereaksikan susu dan NaOH

• Stick : sebagai pengaduk

Bahan yang digunakan untuk uji mastitis secara Whiteside Test terdiri dari :

• NaOH 4% : larutan untuk uji mastitis secara Whiteside Test

• Susu : sebagai bahan sampel

Alat yang digunakan untuk uji reduktase terdiri dari :

• Test tube : tabung atau wadah untuk mereaksikan susu

dan methylen blue

• Pipet tetes 1 ml dan 10 ml : untuk mengukur volume methylen blue dan

susu yang digunakan

• Waterbath : tempat pemanas air dengan suhu 37°C

Bahan yang digunakan untuk uji reduktase terdiri dari :

• Methylen blue : sebagai indicator dalam uji reduktasi

• Paraffin atau kapas steril : sebagai penutup test tube

• Susu : sebagai bahan sampel

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode studi kasus di

lapangan yaitu pengambilan data berdasarkan kasus atau peristiwa terjadinya

mastitis subklinis pada waktu tertentu pada peternakan sapi perah di Koperasi

Usaha Tani Ternak Suka Makmur dengan penentuan sample sapi perah secara

purposive sampling. Purposive sampling adalah semua sapi perah yang termasuk

dalam kriteria yang telah ditentukan dapat dipakai sebagai anggota sample dimana

sample sapi perah yang memenuhi kriteria yaitu sapi perah sedang laktasi dengan

bulan laktasi 2-3 dan tingkat laktasi 2-3 yang terinfeksi mastitis sub klinis diamati

kemudian dianalisa sample susunya.

Pengambilan susu untuk uji mastitis dengan metode Whiteside Test

dilakukan perputing sebanyak 2 pancaran pada pemerahan sore karena cahayanya

lebih terang daripada pemerahan pagi sehingga hasilnya lebih akurat. Sample susu

untuk uji reduktase sebagai penentu kualitas susu diambil pada pemerahan pagi

dan sore.

Prosedur uji mastitis dengan metode Whiteside Test :

Penentuan tingkat mastitis menurut Gibbons (1963) adalah sebagai berikut :

1) 5 tetes susu dari masing-masing puting diletakkan pada glass plate

2) Ditambah 1 tetes NaOH 4%

3) Diputar sampai homogen dengan menggunakan stick kurang lebih selama

20 detik

4) Apabila terjadi perubahan yaitu berpisahnya jonjot dalam susu secara kuat

merupakan indikasi reaksi positif adanya mastitis. Notasi reaksi Whiteside

Test dapat dilihat pada Table 2.

Asumsi score uji Whiteside Test :

Nilai 0 : reaksi pada notasi negative dan trace

Nilai 1 : reaksi pada notasi positif 1

Nilai 2 : reaksi pada notasi positif 2

Nilai 3 : reaksi pada notasi positif 3

Nilai 4 : reaksi pada notasi positif 4

Prosedur uji reduktase sebagai penentu kualitas susu :

1) Sampel susu sebanyak 10 ml dimasukkan kedalam test tube

2) Ditambah larutan methylen blue sebanyak 1 ml, lalu homogenkan

3) Test tube ditutup dengan paraffin atau kapas steril dan segera dimasukkan

dalam waterbath dengan suhu 37°C

4) Pemeriksaan dilakukan setiap 15 menit sampai warna susu tersebut

berubah menjadi putih

5) Lakukan pencatatan terhadap waktu perubahan warna biru menjadi putih

Tabel 4. Hubungan antara kualitas susu dengan perkiraan jumlah bakteri dalam uji reduktase (Hadiwiyoto, 1994)

Kualitas Waktu Perubahan Warna (jam)

Perkiraan Jumlah Bakteri

Baik Cukup Baik Kurang Baik Rendah/Jelek

>8 6 - 8 2 - 6 <2

<500.000 1.000.000 - 4.000.000

4.000.000 - 20.000.000 >20.000.000

3.4 Variabel Penelitian

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :

Variabel Bebas : Rata-rata tingkat mastitis per ekor

Variabel terikat : Kualitas susu berdasarkan waktu uji reduktase

3.5 Analisa Data Statistik

Untuk mengetahui hubungan antara tingkat mastitis dengan kualitas sasu

berdasarkan uji reduktase dapat dianalisa dengan regresi linier sederhana. Rumus

model analisa tersebut menurut Dajan (1986) yaitu :

= a + bX Y

Dimana :

= kualitas susu berdsarkan uji reduktase Y

a= intersep

b = koefisien regresi

X = nilai tingkat mastitis secara Whiteside Test

Untuk menenrtukan a dan b dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

22

2

)()())(())((

XXnXYXXYa

∑−∑∑∑−∑∑

=

22 )()())(()(

XXnYXXYnb

∑−∑∑∑−∑

=

a). Untuk mengetahui derajat keeratan hubungan antara 2 variabel (x, y) dapat

dicari melalui koefisien korelasi ( rxy ), dengan rumus sebagai berikut :

rxy

{ } { }∑∑

∑∑

−−∑

∑∑−

=2

22

2 )()(nYY

nXX

nYXXY

(Prajitno, 1985)

b). Untuk mengetahui signifikasi dari persamaan regresi sebagai berikut :

JK regresi

⎩⎨⎧

⎭⎬⎫∑

⎪⎩

⎪⎨⎧

⎭⎬⎫∑∑

=

nXiXi

nYiXiXiYi

22

2

)(

))((

JK total =∑ ∑−

nYiYi

22 )(

JK sisa = JK total – JK regresi

Table 5. Rumus analisis sidik ragam

F tabel SK Db JK KT F hit

5% 1%

Regresi

Sisa

Total

1

n-2

n-1

JKR

JKS

JKT

JKR/1

JKS/n-2

c). Menurut Prajitno (1985) untuk mengetahui seberapa besar pengaruh mastitis

terhadap kualitas susu dapat dihitung dengan rumus Koefisien Determinasi

(R²) yaitu:

R² = JKtotal

JKregresi X 100%

Atau dapat dicari dengan cara mengkuadratkan koefisien korelasi (Dajan, 1986)

3.6 Batasan Istilah

Whiteside Test adalah salah satu cara untuk mendeteksi adanya mastitis

pada setiap putting dengan menggunakan glass plate dan larutan NaOH

4%.

Tingkat mastitis adalah tingkat keparahan mastitis yang diderita sapi perah

dan penentuannya berdasarkan perubahan bentuk fisik susu yang

dihasilkan dari sapi perah yang menderita mastitis.

Mastitis adalah penyakit radang pada kelenjar mammae yang disebabkan

oleh mikroorganisme pada ternak perah,

Uji reduktase adalah uji penentu kualitas susu dengan cara menambahkan

larutan biru metil sebanyak 1% kebalam susu

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaaan Umum Lokasi

Penelitian dilakukan di peternakan sapi perah milik Koperasi Usaha Tani

Ternak (KUTT) Suka Makmur Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan yang

didirikan pada tanggal 27 September 1986. Kecamatan Grati merupakan daerah

dataran rendah / daerah pantai dengan ketinggian kurang dari 500 m dari

permukaan air laut. Rataan temperatur dan kelembaban lingkungan yaitu pada

pagi hari berkisar antara 24°C-27°C dengan kelembaban 90-91 %, dan siang hari

berkisar antara 33°C-37°C dengan kelembaban antara 64-69 % serta pada sore

hari berkisar antara 30°C-33°C dengan kelembaban 74-90%.

Wilayah kerja KUTT Grati seluas 31.068.243 Ha yang terbagi dalam

masing-masing kecamatan yaitu Kecamatan Grati seluas 5.770.000 Ha,

Kecamatan Nguling seluas 4.660.449 Ha, Kecamatan Lekok sekuas 4.918.876 Ha,

Kecamatan Rejoso seluas 3.164.200 Ha, dan Kecamatan Lumbang seluas

12.554.718 Ha. Sepanjang tahun suhu udara berkisar antara 22°C-34°C.

Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 05.30-

07.00 WIB dan sore hari pukul 14.00-15.30 WIB. Pakan yang diberikan meliputi

rumput gajah, jerami, ampas tahu dan konsentrat. Pada pagi hari pakan yang

diberikan adalah konsentrat, ampas tahu, rumput gajah, sedangkan untuk siang

hari pakan yang diberikan adalah konsentrat dan jerami. Besarnya jumlah pakan

yang diberikan pada tiap ekor per hari sebagai berikut : rumput gajah ±7,5

kg/ekor/hari, jerami ±7,5 kg/ekor/hari, konsentrat ±8,5 kg/ekor/hari dan ampas

tahu ±10 kg/ekor/hari.

Jenis sapi perah yang dipelihara di peternakan ini adalah sapi perah PFH.

Sapi perah PFH berasal dari hasil persilangan antara sapi asli Indonesia yaitu sapi

jawa atau sapi madura dengan sapi FH.

4.2 Mastitis Pada Sapi Perah

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan pada sapi perah sampel

sebanyak 22 ekor dengan tingkat laktasi 2-3 dan bulan laktasi 2-3, sedangkan

pengujian mastitis subklinis dengan metode Whiteside Test.. Adapun perincian

prosentase tingkat mastitis pada puting sapi yang terinfeksi dapat dilihat pada

Tabel 6.

Tabel 6. Prosentase tingkat mastitis pada puting sapi perah yang terinfeksi.

Score mastitis Jumlah puting Prosentase (%)

0 1 2 3 4

47 16 13 3 9

53,40 18,18 14,77 3,40 10,22

Dari tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa prosentase score mastitis nol

lebih tinggi, sedangkan prosentase paling rendah pada score mastitis tiga.

Walaupun prosentase score mastitis nol mencapai 53,4%, hal ini dapat dikatakan

bahwa kejadian mastitis di lokasi penelitian cukup parah.

Menurut Hidayat dkk (2002) bahwa mastitis adalah peradangan ambing

bagian dalam, disebabkan oleh banyak hal yang salah satunya adalah infeksi

mikroorganisme seperti bakteri. Berdasarkan gejalanya dapat dibedakan antara

mastitis klinis dan mastitis subklinis. Mastitis subklinis hanya dapat diketahui

setelah dilaksanakan pengujian.

Berdasarkan pengamatan di lapang banyaknya puting yang terinfeksi

mastitis sub klinis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

1. Kondisi kandang dan ternak yang kotor dan basah.

Pada kandang masih terlihat sisa pakan yang tercecer dan kotoran sapi

yang menempel pada dinding dan lantai kandang. Kandang yang basah

akan menyebabkan lantai licin sehingga ternak malas untuk bangun, hal ini

menyebabkan ambing kontak langsung dengan mikroorganisme pathogen

yang ada di lantai kandang. Subronto (1995) berpendapat bahwa kandang

yang lembab ataupun tidak bersih memudahkan terjadinya infeksi ambing.

Hidayat, dkk (2002) juga berpendapat bahwa lantai kandang yang kotor

penuh dengan mikroba akan mencemari ambing dan puting sehingga

memudahkan terjadinya penyakit radang ambing (mastitis). Selain itu

kotoran sapi juga masih menempel pada tubuh ternak karena sapi tidak

dimandikan. Kondisi seperti ini akan memudahkan ambing dan puting

terkontaminasi mikroorganisme pathogen sehingga terjadi peradangan.

2. Kondisi pemerah atau pekerja kandang yang kurang bersih.

Pemerah kurang memperhatikan kebersihan tubuhnya yaitu tidak mencuci

tangan sebelum dan sesudah melaksanakan pemerahan sehingga sangat

memungkinkan infeksi mastitis terjadi akibat tangan pemerah yang tidak

bersih dan terkontaminasi dengan bakteri penyebab mastitis. Menurut

Sudono dkk (2003) bahwa kebersihan pemerah harus diutamakan karena

melalui pemerah dapat terjadi penularan mastitis akibat kontak bakteri

antara pemerah dan sapi yang diperah. Oleh karena itu tangan pemerah

sebaiknya dicuci sebelum dan sesudah melaksanakan pemerahan karena

kontaminasi bakteri penyebab mastitis dari ambing yang sakit ke ambing

yang sehat dapat terjadi melalui tangan pemerah yang kotor. Hidayat, dkk

(2002) juga berpendapat bahwa mempersiapkan diri pemerah sebelum

memerah meliputi : pemerah dalam keadaan sehat, kuku pemerah harus

pendek karena dapat melukai puting, pakaian harus bersih, mencuci tangan

sebelum memerah, tangan dalam keadaan kering dan bersih pada saat akan

memerah.

3. Tidak membedakan pemerahan antara puting yang terinfeksi dan puting

yang tidak terinfeksi mastitis.

Puting yang terinfeksi terkadang dilakukan pemerahan terlebih dahulu

kemudian puting yang tidak terinferksi sehingga dapat menyebabkan

penularan penyakit mastitis dari sapi yang sakit ke sapi yang sehat melalui

tangan pemerah. Hidayat dkk (2002) menyatakan bahwa penularan dari

ambing mastitis ke ambing sehat dapat terjadi karena urutan pemerahan

yang salah. Pemeraahan yang benar dimulai dari ambing yang sehat,

ambing yang terinfeksi mastitis diperah terakhir.

4. Tidak dilakukan Teat Dipping, yaitu pencelupan puting ke dalam larutan

desinfektan setelah pemerahan selesai. Menurut Surjowardojo dkk (1985)

setelah pemerahan selesai sebaiknya dilakukan pencucian ambing dengan

air hangat dan dilakukan pencelupan puting ke dalam larutan desinfektan.

Hidayat, dkk (2002) juga berpendapat bahwa setelah selesai memerah,

puting harus langsung disucihamakan (desinfeksi, disterilkan) dengan

menggunakan larutan desinfektan

5. Tidak dilakukan pemeriksaan terhadap mastitis sub klinis dengan teratur

sehingga penanganan penyakit terlambat.

Selain pernyataan di atas, Syarief dan Sumoprastomo (1985) berpendapat bahwa

infeksi mastitis terjadi karena perlakuan yang kasar terhadap ambing, teknik

pemerahan yang salah, pergantian ransum, pergantian udara atau iklim. Penyebab

lainnya yaitu memerah susu tidak sampai habis sehingga masih ada susu yang

tertinggal dalam ambing.

Dari hasil pengamatan pada 22 ekor (88 puting) sampel sapi perah ternyata

terdapat 47 puting yang tidak terinfeksi mastitis dengan prosentase 53,40%, hal

ini menunjukkan bahwa telah ada upaya pencegahan penyakit mastitis oleh pihak

KUTT Suka Makmur Grati yaitu berusaha melaksanakan tatalaksana yang baik

dalam pakan, kandang, pemerahan serta sanitasi kandang dan peralatan

pemerahan. Hidayat dkk (2002) berpendapat bahwa pencegahan mastitis dapat

dilakukan dengan 5 cara, yaitu :

1. Selalu menjaga kebersihan kandang dan lingkungannya.

2. Melaksanakan prosedur sebelum, pada saat dan setelah pemerahan dengan

baik dan lancar. Sarwiyono, Sujowardojo, Susilorini (1990) menyatakan

bahwa usaha untuk melakukan pencegahan mastitis adalah dengan cara

melaksanakan manajemen pemerahan yang terdiri dari 3 tahap :

a) Fase persiapan pemerahan, meliputi pembersihan kandang,

pembersihan ambing dan puting, menenangkan sapi, persiapan

tukang perah dan alat-alat pemerahan.

b) Fase pelaksanaan pemerahan, meliputi pemberian rangsangan pada

ambing, teknik pemerahan (apabila menggunakan tangan dikenal 3

cara : whole hand, knevelen, strippen) dan yang terakhir

pemeriksaan terhadap mastitis.

c) Fase pengakhiran pemerahan, meliputi pembersihan ambing dan

puting, penanganan susu, pembersihan alat-alat pemerahan,

memandikan sapi dan exercise.

3. Melaksanakan pemeriksaan mastitis.

a) Dilaksanakan secara teratur setiap bulan

b) Dilakukan terhadap sapi laktasi yang akan dibeli

4. Masa kering kandang selama 6 sampai 7 minggu dilaksanakan dengan

baik, caranya :

a) Hari ke- 1-3 diperah satu kali

b) Hari ke- 4 boleh diperah sekali lagi lalu hentikan atau tidak diperah

lagi

c) Hari ke- 5-8 ambing mulai mengecil dan pembentukan susu

terhanti

5. Pemberian antibiotik ke dalam puting pada masa kering kandang

a) Dilaksanakan setelah minggu pertama masa kering kandang

b) Diulang 2-3 minggu sebelum beranak

(Hidayat, dkk. 2002)

4.3 Hubungan Antara Tingkat Mastitis Dengan Kualitas Susu

Kualitas susu yang dihasilkan oleh sapi perah yang terinfeksi penyakit

mastitis akan menurun, hal ini sesuai dengan pendapat Bath, et all (1985) bahwa

mastitis dapat menurunkan produksi susu baik kuantitas maupun kualitas susu.

Susu yang dihasilkan oleh sapi perah yang terkena mastitis mempunyai

kandungan bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu yang dihasilkan

dari sapi yang sehat, hal ini disebabkan oleh masuknya bakteri pathogen melalui

lubang puting susu ke dalam ambing dan berkembang di dalamnya (Hidayat, dkk.

2002).

Tabel 7. Rata-rata waktu uji reduktase susu pada berbagai tingkat mastitis berdasarkan nilai Whiteside Test

Rata-rata tingkat mastitis

Jumlah sapi (ekor)

Rata-rata waktu uji reduktase (menit)

0,25 0,5 0,75

1 1,25 > 1,5

3 6 2 5 2 4

375 ± 15 335 ± 35

322,5 ± 22,5 322,5 ± 52,5

295 ± 35 217,5 ± 82,5

Berdasarkan tabel 7 diatas dapat diketahui bahwa dengan meningkatnya

rata-rata score tingkat mastitis berdasarkan nilai Whiteside Test maka rata-rata

waktu uji reduktase semakin menurun, hal ini karena kandungan bakteri dalam

susu meningkat (Tabel 4). Sehingga susu dengan tingkat mastitis rendah

kualitasnya lebih baik daripada susu dengan tingkat mastitis yang tinggi.

Semakin tinggi tingkat mastitis maka semakin besar kandungan bakteri

dalam susu, hal ini karena mastitis adalah peradangan dari kelenjar susu. Radang

adalah suatu reaksi dari tubuh karena adanya infasi dari bakteri dimana proses

radang ambing hampir selalu dimulai dengan masuknya bakteri ke dalam kelanjar

susu melalui lubang puting. Setelah bakteri berhasil masuk kedalam kelenjar,

bakteri akan membentuk koloni yang dalam waktu singkat akan menyebar ke

lobuli dan alveoli. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri agar dapat menyebabkan

radang pada ambing dibutuhkan bakteri dalam jumlah yang tinggi terutama

bakteri Staphylococcus aureus, karena bakteri ini merupakan bakteri yang dalam

hidupnya memerlukan kelenjar susu. Staphylococcus aureus ini 90-95 %

merupakan penyebab terjadinya mastitis, sehingga semakin tinggi tingkat

peradangan pada ambing berarti semakin tinggi pula tingkat mastitis yang diderita

oleh ternak tersebut. Ini berarti semakin tinggi pula jumlah bakteri yang

menghasilkan toksin penyebab radang pada ambing. Pada saat bakteri masuk ke

mukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit sehingga

akan didapatkan peningkatan jumlah leukosit dan bakteri dalam susu yang

dihasilkan. Jika jumlah bakterinya sedikit maka bakterinya mudah dibasmi oleh

leukosit-leukosit ini, jika jumlah bakterinya tinggi maka fungsi dari leukosit tidak

dapat mengatasinya, ini berarti tingkat mastitisnya sudah akut (Subronto, 1985)

dan (Syarief dan Sumoprastomo, 1985).

Salah satu cara untuk mengetahui jumlah bakteri dalam dalam susu adalah

dengan menggunakan uji reduktase, uji ini didasarkan pada kemampuan dari

semua bakteri didalam susu untuk tumbuh dan menggunakan oksigen terlarut.

Aktivitas bakteri dapat menghasilkan senyawa pereduksi yang dapat merubah

warna biru dari biru metil menjaadi putih atau jernih. Bila susu ditambahkan

larutan methylen blue 1% akan berwarna biru, jika bakteri tumbuh dan

berkembang akan menghasilkan enzim reduktase yang sanggup mengoksidasi

dengan pemindahan hidrogen. Dalam hal ini methylen blue bertindak sebagai

hydrogen aceptor yang akan menerima hidrogen sehingga bakteri direduksi dan

kekuatan oksdasi+reduksi akan menjadi rendah sampai negatif. Semakin cepat

warna biru berubah menjadi putih maka semakin banyak bakteri yang ada didalam

susu, karena ini berarti semakin cepat oksigen habis dikonsumsi oleh bakteri, oleh

karena itu uji reduktase dapat digunakan sebagai salah satu prosedur untuk

mengetahui kualitas susu segar (Trihendrokesowo. dkk, 1989, Fardiaz. 1993,

Hadiwiyoto. 1994)

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

tingkat mastitis

wak

tu u

ji re

dukt

ase

(men

it)

Y = 1111,7465 – 67,4118 X

R² = 75,37 % r = -0,8681

Y = 1111,75 – 67,41 X

R² = 75,37 %

r = -0,87

Gambar 1. Garis regresi hubungan antara tingkat mastitis dengan waktu uji reduktase

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus regresi dan korelasi

(pada Lampiran 4 dan Gambar 1) untuk hubungan antara tingkat mastitis secara

Whiteside Test (X) dengan waktu uji reduktase (Y) menunjukkan bahwa semakin

tinggi nilai tingkat mastitis maka akan selalu diikuti dengan menurunnya waktu

pada saat uji reduktase sehingga sifat hubungan kedua variabel ini negatif dengan

nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,87.

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 4 dan Tabel 8) dapat diketahui bahwa

terdapat pengaruh sangat nyata (P<0,01) dan didapatkan persamaan Y = 1111,75

– 67,41 X yang berarti bahwa persamaan regresi linear tersebut dapat digunakan

sebagai alat penduga nilai Y (lama waktu uji reduktase) bila nilai X (tingkat

mastitis secara Whiteside Test) telah diketahui. Diketahuinya nilai koefisien

determinasi (R²) sebesar 75,37 % berarti bahwa penurunan waktu uji reduktase

susu pada sapi perah akan dipengaruhi oleh terjadinya mastitis (infeksi bakteri)

sebesar 75,37 % sedangkan sisanya dipengaruji oleh buruknya sanitasi kandang,

kebersihan peralatan pemerahan, kebersihan pemerah serta masih terlihat kotoran

sapi yang menempel pada tubuh ternak.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1) Dari 22 ekor (88 puting) terdapat score mastitis 0 sebanyak 47 puting

(53,40%), score mastitis 1 sebanyak 16 puting (18,18%), score mastitis 2

sebanyak 13 puting (14,77), score mastitis 3 sebanyak 3 puting (3,40%),

score mastitis 4 sebanyak 9 puting (10,33%). Hal ini menunjukkan bahwa

kejadian mastitis di lokasi penelitian sudah cukup parah.

2) Mastitis berpengaruh pada penurunan kualitas susu berdasarkan waktu uji

reduktase sebesar 75,37 %.

3) Nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,87 berarti terjadi hubungan negatif

antara tingkat mastitis secara Whiteside Test dengan kualitas susu

berdasarkan uji reduktase atau semakin tinggi tingkat mastitis maka

semakin rendah waktu uji reduktase.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas karena masih banyaknya ternak yang

terinfeksi penyakit mastitis maka perlu ditingkatkan upaya pencegahan berupa

kebersihan kandang dan tubuh ternak, pembersihan peralatan pemerahan,

melakukan teat dipping, pemerah harus dalam keadaan bersih sebelum memerah.

DAFTAR PUSTAKA

Bath, D. L, Dickinson, F. M, Tucker, H. A and Appleman, R. D. 1985. Dairy

Cattle : Principles, Practices, Problem, Profits. Third Edition. Lea and Febiger. Philadelphia. USA

Dajan, A. 1986. Pengentar Metode Statistik. LP3ES. Jakarta Dwidjoseputro, D. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Cetakan ke-9. Djambatan.

Malang Fardiaz, S. 1993. Analisa Mikrobiologi Pangan. Raja Gratindo. Jakarta Gibbons, J. M. 1963. Diseas Of Cattle. Secound Edition. American Veterinary

Publication Inc. Drawor KK Hadiwiyoto, S. 1984. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil

Olahannya. Liberty. Jakarta Hidayat. A. drh, dkk. 2002. Buku Petunjuk Teknologi Sapi Perah Si Indonesia

: Kesehatan Pemerahan. Dairy Technologi Improvement Project. PT. Sonysugema Presindo. Bandung

Prajitno, D. 1985. Analisa Regresi dan korelasi Untuk Penelitian pertanian.

Liberty. Yogyakarta Riyadh, S. 2003. Menyingkapi Tabir Susu Kuda ”Liar” Sumbawa (Studi

Kasusu di Kabupaten Sumbawa NTB). Makalah Pribadi program Pasca Sarjana S3 Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sarwiyono, Surjowardojo, P dan Susilorini, T, E. 1990. Manajemen Produksi

Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang Siregar, S. 1989. Sapi Perah Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha.

Penebar Swadaya. Jakarta Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta Sudarwanto, M. 1997. Milkchecker, Suatu Alat Alternatif Untuk Mendeteksi

Mastitis Subklinik. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sudono, A. Rosdiana, F. R, Setiawan, R. S. 2003. Beternak Sapi Perah Secara

Intensif. AgroMedia Pustaka. Jakarta

Surjowardojo, P, Sarwiyono, Soejosepoetro, B dan Setyowati, E. 1985. Manajemen Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang

Surjowardojo, P. 1990. Problematik Pemeliharaan dan Penanganan Sapi

Perah. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang Syarief, Z. M dan Sumoprastomo, R. M. 1985. Ternak Perah. CV Yasaguna.

Jakarta Trihendrokesowo, J, Wibowo, R, Koesnijo, M, Ramos, S, Haksohusodo, S,

Ristanto, M, Mustofa, N, Rintiswati, T, Apandi dan Praseno. 1989. Bakteri Didalam Susu, Kursus Singkat Fisiologi Bakteri. PAU Bioteknologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Lampiran 1. Data Skor Mastitis dan Waktu Uji Reduktase

Tingkat Mastitis Whiteside test Rata-Rata Hasil Uji ReduktaseNo.

Sapi A B C D skor mastitis jam menit

9605 4 0 0 0 1 5,00 300 9607 0 3 1 0 1 5,30 330 872 4 4 3 4 3.75 2,15 135 321 4 2 2 0 2 3,00 180 9606 2 0 0 0 0.5 5,00 300 9608 4 0 0 0 1 4,30 270 467 0 0 2 0 0.5 5,30 330 1810 0 1 0 0 0.25 6,30 390 2108 4 0 0 0 1 5,00 300 9614 0 0 0 2 0.5 5,30 330 1873 0 0 1 4 1.25 5,30 330 1447 0 1 2 0 0.75 5,45 345 1127 0 0 0 2 0.5 5,45 345 990 0 4 0 3 1.75 4,45 285 644 0 0 1 0 0.25 6,00 360 1541 0 2 1 2 1.25 4,20 260 1225 1 2 1 2 1.5 5,00 300 715 0 2 0 2 1 6,15 375 878 1 0 0 1 0.5 5,45 345 1010 1 0 1 0 0.5 6,10 370 9624 1 1 1 0 0.75 5,00 300 9626 1 0 0 0 0.25 6,00 360

Keterangan :

A = Puting depan bagian kiri

B = Puting depan bagian kanan

C = Puting belakang bagian kanan

D = Puting belakang bagian kiri

Lampiran 2. Data Tingkat Mastitis Secara Whiteside Test, Status Tingkat Laktasi

dan Bulan Laktasi Pada Sampel Sapi Perah Yang Terinfeksi Mastitis

Tingkat Mastitis Whiteside test No.

Sapi A B C D Tingkat Laktasi

Bulan Laktasi

9605 4 0 0 0 3 2 9607 0 3 1 0 2 3 872 4 4 3 4 2 3 321 4 2 2 0 3 2 9606 2 0 0 0 2 3 9608 4 0 0 0 3 3 467 0 0 2 0 2 3 1810 0 1 0 0 2 3 2108 4 0 0 0 3 2 9614 0 0 0 2 3 3 1873 0 0 1 4 2 3 1447 0 1 2 0 2 3 1127 0 0 0 2 2 3 990 0 4 0 3 3 3 644 0 0 1 0 2 3 1541 0 2 1 2 2 3 1225 1 2 1 2 2 3 715 0 2 0 2 3 2 878 1 0 0 1 3 3 1010 1 0 1 0 3 3 9624 1 1 1 0 3 3 9626 1 0 0 0 3 3

Keterangan :

A = Puting depan bagian kiri

B = Puting depan bagian kanan

C = Puting belakang bagian kanan

D = Puting belakang bagian kiri

Lampiran 3. Tabel Data Untuk Perhitungan Regresi Hubungan Tingkat Mastitis

dengan Kualitas susu Berdasarkan Uji Reduktase

Rata-Rata

skor mastitis

Waktu Uji

Reduktase

(menit) No. Sapi

X Y X² Y² XY 9605 1 300 1 90000 300 9607 1 330 1 108900 330 872 3.75 135 14.0625 18225 506.25 321 2 180 4 32400 360 9606 0.5 300 0.25 90000 150 9608 1 270 1 72900 270 467 0.5 330 0.25 108900 165 1810 0.25 390 0.0625 152100 97.5 2108 1 300 1 90000 300 9614 0.5 330 0.25 108900 165 1873 1.25 330 1.5625 108900 412.5 1447 0.75 345 0.5625 119025 258.75 1127 0.5 345 0.25 119025 172.5 990 1.75 285 3.0625 81225 498.75 644 0.25 360 0.0625 129600 90 1541 1.25 260 1.5625 67600 325 1225 1.5 300 2.25 90000 450 715 1 375 1 140625 375 878 0.5 345 0.25 119025 172.5 1010 0.5 370 0.25 136900 185 9624 0.75 300 0.5625 90000 225 9626 0.25 360 0.0625 129600 90

Jumlah 21,75 6840 34,3125 2203850 5898,75 Rata-Rata 0,621428571 195,4285714 0,980357 62967,143 168,536

Lampiran 4. Perhitungan Regresi dan Korelasi antara Timgkat Mastitis dengan

Waktu Hasil Uji Reduktasi

A. Persamaan Regresi antara Timgkat Mastitis dengan Waktu Hasil Uji Reduktasi

Y = a + bX

22

2

)()())(())((

XXnXYXXYa

∑−∑∑∑−∑∑

=

2)75,21()3125,34(22)75,5898)(75,21()3125,34)(12870(

−−

=a

)0625,473()875,754()0125,128297()875,441601(

−−

=a

)8125,281()0625,313304(

=a = 1111.7465

22 )()())(()(

XXnYXXYnb

∑−∑∑∑−∑

=

2)75,21()3125,34(22)6840)(75,21()75,5898(22

−−

=b

8125,2815,18997−

=b = -67,4118

Y = 1111,7465 – 67,4118 X

B. Koefisien Korelasi antara Timgkat Mastitis dengan Waktu Hasil Uji Reduktasi

{ } { }∑∑

∑∑

−∑

∑∑−

=2

22

2 )()(nYYx

nXX

nYXXY

r

{ } { }22

)6840(220385022

)75,21(3125,34

22)6840)(75,21(75,5898

22

−−

−=

xr

{ } { }8181,772318096,122727,676275,5898

xr −=

6399,9945227,863−

=r = -0,8681

C. Analisis sidik ragam antara Timgkat Mastitis dengan Waktu Hasil Uji Reduktasi

JK regresi

⎩⎨⎧

⎭⎬⎫∑

⎪⎩

⎪⎨⎧

⎭⎬⎫∑∑

=

nXX

nYXXY

22

2

)(

))((

( )

⎭⎬⎫

⎩⎨⎧

⎭⎬⎫

⎩⎨⎧ −

−=

2275,213125,34

22)6840()75,21(75,5898

2

2

{ }{ }8096,12

5227,863 2−= = 58211,6585

JK Total = ∑ ∑−

nYY

22 )(

= ( )22

684022038502

= 77231,8181

JK sisa = JK total – JK Regresi

= 77231,8181 - 58211,6585

= 19020,1596

Tabel 8. Analisis sidik ragam

F tabel SK Db JK KT F hit

5% 1%

Regresi

Sisa

Total

1

33

34

58211,6585

19020,1596

77231,8181

58211,6585

576,3684

100,9973** 4,14 7,42

Keterangan ** : F hitung > F 0,01 artinya terjadi pengaruh sangat nyata.

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh mastitis terhadap kualitas susu

dapat dihitung dengan rumus Koefisien Determinasi (R²) yaitu:

R² = JKtotal

JKregresi X 100%

R² = 8181,772316585,58211 X 100% = 75,37 %