Upload
shendie-ardiansyah
View
3.188
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
RESENSI BUKU
DJOKO PRAKOSO,.S.H., HUKUM ASURANSI INDONESIA., PENERBIT PT
BINA AKSARA., JAKARTA.,CETAKAN PERTAMA., 1987
Dengan dimensi perekonomian dunia yang demikian maju, maka sejalan dengan
usaha pemerintah untuk membangun ekonomi nasional, perlu dihidupkan
jiwa,”Businesssmindedness” pada bangsa kita. Dalam keadaan sumber daya yang
terbatas dan peranan industri yang semakin besar dalam pembangunan ekonomi, maka
pembinaan jiwa usaha diarahkan kepada usaha-usaha produksi dan jasa.
Pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat dalam suatu negara yang sedang
membangun, mendorong pemikiran utnuk meningkatkan peranan “Social Insurance” atau
“Sociale verzekering”. Oleh karena di sini yang membayar premi ialah para pegawai dan
buruh, maka perlu diatur sedemikian rupa agar dana yang diperoleh benar-benar
dimanfaatkan bagi jaminan kesejahteraan mereka, baik untuk menjamin bilamana karena
sesuatu hal yang sah menurut undang-undang si pegawai negeri atau buruh itu tidak dapat
bekerja untuk suatu waktu tertentu, untuk kesehatn, berlibur dan lain sebagainya.
Selain itu tentu saja perlu diperhatikan pula cara bagaimana diciptakan iklim agar
perasuransian dapat berkembang secara wajar. Di sinilah perlu adanya pengaturan bidang
usaha asuransi yang menetapkan strujtur permodalan, bentuk-bentuk perusahaan yang
diperkenankan menjalankan usaha asuransi serta segi-segi lain yang di satu pihak
mendorong perkembangan perasuransian, namun di lain pihak usaha asuransi tidak
merupakan usaha berselimut guna mengumpulkan dana dari masyarakat tetapi tidak
digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
1
2
BAB 1
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ASURANSI
1. Batasan Asuransi
“VERZEKERING” (Bahasa Belanda) disebut pula dengan Asuransi dan juga dapat
disebut pertanggungan , yang mana di dalam Asuransi terdapat 2 pihak yang terlibat
antara lain: yang satu sanggup menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan
mendapat penggantian suatu kerugian yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari
suatu peristiwa yang semula belum ditentukan saat akan terjadinya.
Suatu kontrak prestasi dari pertanggunagn ini, pihak yang ditanggung itu, diwajibkan
membayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggung. Uang tersebut akan tetap
menjadi milik pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa yang
dimaksudkan itu tidak terjadi.
Di dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang terdapat tiga unsur dalam
asuransi antara lain:
1.) Pihak tertanggung yang mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada
pihak penanggung, sekaligus atau dengan berangsur-angsur.
2.) Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada
pihak tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila maksud unsur ke 3
berhasil.
3.) Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi.
Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro Asuransi masuk golongan persetujuan
untung-untungan, karena persetujuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang
hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak,
bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.dan lebih jelas lagi tertera disuatu kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang mana tercantum pada pasal 1774, tentang
persetujuan untung-untungan.
2. Perbedaan Asuransi dengan Bunga untuk Selama Hidup Seseorang (Liffrente)
Di dalam pasal 1775 K.U.H. Perdata menyebutkan bahwa bunga cagak hidup dapat
dilahirkan dengan suatu persetujuan atas beban, atau dengan suautu akte hibah. Dapat
3
diartkan bahwa bunga untuk selama hidup seseornag adalah suatu hubungan hukum
antara A dan B, si A wajib membayar kepada si B pada tiap-tiap waktu tertentu, apabila
si A si B atau si C itu meninggal dunia. Yang sebaiknya dibanding dengan ini, ialah
Asuransi jiwa, yang mewajibkan si penjamin A membayar sejumlah uang kepada si B,
apabila seorang C meninggal dunia.
3. Perbedaan Asuransi dengan Judi dan Taruhan
Secara lengkap terdapat pada pasal 1788 K.U.H. Perdata berbunyi sebagai
berikut:”Undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu
utang yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan”.
Usaha pembentuk Undang-undang di dalam menanggulangi atau mencegah adanya
perjudian atau pertaruhan yang berlatar belakang asuransi ini, telah menciptakan pasal
254 KUHD ialah “ Apabila pda waktu mengadakan suatu pertanggungan atau selama
berlangsungnya perjanjian itu, suatu pihak menyatakan melepaskan hal-hal yang oleh
ketentuan Undang-undang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian pertanggungan,
atau pun hal-hal yang dengan tegas telah dilarang, maka pernyataan yang demikian itu
adalah batal”.
4. Pengaturan Asuransi
Hukum Asuransi pada umumnya diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (K.U.H.D). Buku I titel 9 dan 10 dan Buku II titel 9 dan 10 dengan perincian
sebagai berikut :
1) Buku I titel 9 : mengatur Asuransi Kerugian pada umumnya.
2) Buku I titel 10 : mengatur Asuransi terhadap bahayanya kebakaran,
terhadap bahaya yang mengancam asil pertanian di sawah
dan tentang Asuransi jiwa.
3) Buku II titel 9 : mengatur Asuransi terhadap bahaya-bahaya Laut dan
bahaya-bahaya perbudakan.
4) Buku II titel 10 : mengenai pengangkutan di daratan dan disungai-sungai
serta perairan pedalaman
4
5. Tujuan dari Asuransi
Menurut Prof.Ny.Emy Pangaribuan Simanjuntak, SH Asuransi itu mempunyai tujuan
pertama-tama ialah : mengalihkan segala risiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa
yang tidak dapat diharapkan terjadinya itu kepada orang lain yang mengambil risiko itu
untuk mengganti kerugian.
Perjanjian Asuransi itu mempunyai tujuan untuk mengganti kerugian pada
tertanggung jadi tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia menderita kerugian
dan benar-benar menderita kerugian. Di dalam Asuransi itu setiap waktu selalu dijaga
supaya jangan sampai seorang tertanggung yang hanya bermaksud menyingkirkan suatu
kerugian saja dan mengharapkan suatu untung menikmati .
Asuransi itu dengan cara memakspekulasi, yang penting ialah bahwa tertanggung
harus mempunyai kepentingan bahwa kerugian untuk mana ia mempertanggungkan
dirinya itu tidak akan menimpanya.
5
BAB II
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ASURANSI
1. Pandangan Umum
Usaha-usaha Asuransi itu mengandung harapan yang sifatnya positif bagi
pembangunan di negara kita apabila perusahaan-perusahaan pertanggungan yang
sedemikian banyaknya sekarang tidak berusaha dengan jujur dan sadar akan arti bahwa
pembangunan itu adalah untuk kesejahteraan merata utnuk masyarakat, maksudnya
adalah mengenai faktor penghalang dari pihak penanggung sendiri seperti kejujuran
menghadapi klain, servis yang baik dan lain sebagainya.
Harapan-harapan yang positif terkadung dalam usaha pertanggungan itu, juga baru
dapat tercapai apabila dari masyarakat itu sudah tumbuh kesadaran kepentingan
berasuransi, disamping sebagai alat yang menghimpun dana pembangunan maka usaha
perasuransian itu dapat juga dilahat memafaatnya sebagai salah satu alat yang
memberikan jaminan bagi kelangsungan usaha-usaha besar yang pada suatu ketika
menagalami kerugian sebagai akibat dari suatu peristiwa yang menimpa perusahaan
tersebut.
Harapan yang merupakan segi positif dari usaha pertanggungan itu dapat dijelamakan
sebagai berikut: bahwa usaha asuransi itu berarti memasukkan premi yang kemudian
merupakan suatu dana. Dana yang tersimpan dalam waktu beberapa lama di dalam
perusahaan dapat dipergunakan oleh perusahaan dapat dipergunakan oleh perusahaan
tersebut untuk membiayai suatu usaha yang mendatangkan keuntungan baginya
disamping membantu masyarakat meningkatkan usaha-usaha dengan memberikan modal
atau kredit untuk jangka pendek atau jangka panjang.
Penanggung mempunyai perana besar dalam usaha melanjutkan kelangsungan usaha-
usaha atau pabrik-pabrik atau benda-benda yang sangat penting artiya bagi masyarakat.
2. Pengertian
a. Kebutuhan mengatasi Risiko
Seorang manusia dalam dalam suatu masyarakat, sering menderita kerugian akibat
suatu peristiwa yang tidak terduga semula, misalnya rumahnya terbakar, barang-
barangnya dicuri, tabrakan, mendapatkan kecelakaan dalam perjalan di darat, di laut dan
6
di udara, tanah dengan penuh tanaman kebanjiran air bah. Jadi manusia yang menghadapi
kemngkinan akan kehilangan tempat kediamannya, orang yang barang-barang
pakaiannya di curi semua, akan hampir telanjang, orang yang tanamnnya musnah akibat
banjir, akan jatuh miskin.
Sebagaimana telah kita lihat dalam uraian di muka bahwa”kemungkinan kehilangan
atau kerugian” yang dihadapi manusia dapat dihadapi dengan beberap sikap antara lain:
1) mencegah kemungkinan kehilangan itu supaya tidak terjadi dengan segala daya
upaya.
2) sikpa pasrah, sikap menerima.
Dengan cara berasuransi maka orang yang menghadapi risiko atas harta kekayaanya
bermaksud utnuk mengalihkan risikonya itu atau setidak-tidaknya membagi risiko itu
dengan pihak lain yang bersedia menerima peralihan atau pembagian risiko tesebut.
Usaha-usaha memperalihkan risiko ini baru kemudian dirasakan menemui sasarannya
setelah tujuan memperalihkan risiko itu dilakukan melalui suatu perjanjian yang khusus
diadakan untuk itu yaitu Perjanjian Pertanggungan.Dengan demikian dapatlah dikatakan
bahwa orang akan mengadakan atau menutupi suatu perjanjian peratanggungan apabila ia
bermaksud atau mempunyai suatu tujuan untuk mengalihkan risiko dan atau membagi
risiko yang dihadapinya atas harta kekayaannya kepada pihak lain.
b. Pengertian Ekonomis
Mengalihkan risko yang sangat besar kadang-kadang hanya mungkin apabila
dibarengi dengan adanya penyebaran atau pembagian risiko, ini dapat terjadi apabila:
1) Risiko yang benar-benar menjadi kenyataan itu oleh penanggung yang sama
disebarkan yang sama disebarkan atau dibagi-bagikan menjadi beban bagi para
tertanggungnya. Ini mungkin dilaksanakan karena tidaklah selalu bahwa risiko itu
menjadi suatu kenyataan pada waktu yang bersamaan pada setiap tertanggung
sehingga memungkinkan risiko dari orang tertanggung secara bersama oleh
semua tertanggung lainnya.
2) Oleh karena risiko yang diperalihkan kepada penanggung itu sangat besar
sehingga penanggung itu secara sendirian tidak mampu menanggungnya dan
karena itu membagi-bagi risiko itu dengan penanggung lain. Inilah yang di dalam
praktek terjadi dengan atau dikanal dengan reasuransi = co-insurance
7
3) Juga dapat terjadi pembagian atau penyebaran risiko ini dengan herverzekering
yaitu bahwa penanggung mempertanggungkan tanggung jawabnya atas risiko
yang diterimanya kepada penanggung lain.
Apabila kita melihat dua unsur atau faktor yang ada pada perjanjian pertanggungan
seperti di atas yaitu unsur peralihan risiko dan penyebaran risiko dalam hubungannya
dengan pertanggungan jiwa maka kita akan melihat bahwa kedua unsur itu akan tidak
begitu menonjol. Sebab pada pertanggungan jiwa pengertian ekonominya tidaknlah
begitu menonjol dan sebagai penggantinya yang kelihatan ialah sifat jaminan sosialnya.
Sebagai imbalan dari peralihan risiko ini maka di dalam setiap perjanjian
pertanggungan, pembayaran premi itu adalah keharusan. Premi itu adalah menjadi
kewajiban bagi tertanggung dan menjadi hak dari penanggung.
8
BAB III
SIFAT ASURANSI SEBAGAI GEJALA HUKUM
1. Pengertian Berdasarkan KUH Perdata
Dapat dikatakan, bahwa asuransi atau pertanggungan selaku gejala hukum di
Indonesia, baik dalam pengertian maupun dalam bentuknya yang terlihat pada waktu
sekarang ini berasal dari hukum Barat.
Pengusaha Negeri Belandalah yang mengimpor asuransi selaku bentuk hukum
(rechsfiguur) di Indonesia dengan secara mengundangkan Burgelijk Wetboek van
Koophandel, dengan satu pengumuman (publikasi) pada tanggal 30 April 1847, dan
termuat dalam staatsblad 1847 N.23.
Berdasarkan ketentuan pasal 1774 ayat 2 KUH Perdata perjanjian Asuransi itu
dimasukkan menjadi salah satu jenis dari kansoveren komst atau Perjanjian Untung-
untungan disamping lijferente (bunga cagak hidup) dan pertaruhan dan pejudian.
Pada umumnya para penulis berpendapat bahwa penggolongan atau pemasukkan
perjanjian asuransi ke dalam Kansovereen Komst adalah kurang tepat, sebab di dalam
perjanjian menjalani suatu kesempatan atau kemungkinan untung-untungan di mana
prestasi secara timbal balik tidak seimbang.
Di dalam asuransi adalah merupakan hal yang esensial bahwa tertanggung telah
mempunyai atas peristiwa yang tidak terteuntu itu untuk tidak terjadi, di luar atau
sebelum ditutup perjanjian asuransi itu sendiri. Karena kepentingan itu ada maka ia
mengadakan perjanjian asuransi untuk mengamankan dia sendiri dari derita rugi.
2. Pengertian menurut pasal 246 KUHD
Pasal 246 KUHD dikenal sebagai pasal yang memberi defenisi mengenai perjanjian
asuransi. Menurut pasal asuransi adalah suatu perjanjian, di mana penaggung dengan
menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari
kerugian karena kehilangan kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang
akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Akhirnya dari pasal 246 KUHD itu menurut Prof. EMMY PANAGRIBUAN
SIMANJUNTAK, SH, sifat-sifat asuransi adalah dapat diuraikan seperti di bawah ini:
9
1) Bahwa asuransi itu pada asasnya adalah suatu perjanjian kerugian
(schadevergoeding atau indemniteitscontract) dalam hal ini jelas bahwa
penanggung mengikat diri untuk mengganti kerugian karena pihak tertanggung
menderita kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang
sungguh-sungguh diderita(prinsip indemniteit)
2) Bahwa asuransi itu adalah suatu perjanjian bersyarat artinya bahwa kewajiban
mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang
tertentu atau mana diadakan asuransi itu terjadi. Jadi pelaksanaan kewajiban
mengganti rugi digantungkan pada satu syarat.
3) Asuransi adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya bahwa kewajiban
penanggung mengganti rugi dihadapkan dengan kewajiban tertanggung
membayar premi walaupun dengan pengertian bahwa kewajiban membayar
premi itu tidak bersyarat atau tidak digantungkan pada satu syarat.
Di luar sfat yang terkandung dalam pasal 246 KUHD masih ada sifat lain yang dapat
dikemukakan mengenai asuransi itu dan sifat-sifat ini terdapat di dalam beberapa pasal di
dalam beberapa pasal di dalam KUHD seperti:
a. Bahwa perjanjian asuransi itu adlah suatu perjanjian konsensial, artinya dapat
diadakan sah hanya berdsarkan persesuaian kehendak (kata sepakat) antara pihak-
pihak tanpa perlu terikat pada suatu bentuk.
b. Bahwa dalam asuransi itu unsur”utmost good faith” atau byzondere
vertrouwenskarakter memegang peranan penting sekali. Tertanggung harus bisa
percaya bahwa penanggung tidak akan mengelak atau mungkir dengan macam-
macam dalih untuk mengganti rugi apabila nanti peristiwa itu akan timbul dan dia
menderita rugi.
c. Bahwa di dalam perjanjian asuransi itu pada tertanggung harus melekat sifat
sebagai orang yang mempunyai kepentingan (interest) atas peristiwa yang tidak
tertentu artinya bahwa sebagai akibat dari peristiwa itu dia dapat menderita
kerugian.
Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, SH tetap sifat asuransi sebagai gejala hukum
(prinsipnya hampir sama dengan pendapat Prof Emmy), ke dalam 5 (lima) sifat, yaitu:
1) Sifat persetujuan,
10
2) Sifat timbal balik (wederkerig),
3) Sifat konsensual
4) Sifat perkumpulan, dan
5) Sifat perusahaan
Setelah apa yang telah dipaparkan di atas maka dapat dirinci lag yang mana ruang
lingkup dari Hukum Asuransi itu secara wetenschappelijk dapat dibagi :
1) Hukum Asuransi yang dipreuntukkan atau mengatur semua jenis asuransi
kerugian (Schadeverzekeringgsrecht).
2) Hukum Asuransi yang diperuntukkan ataua mengatur semua jenis asuransi
sejumlah uang. Hukum Asuransi Kerugian meliputi atau hanya mengatur
penggantian kerugian dari suatu kerugian yang dapat dinilai dengan uang, ganti
rugi mana harus seimbang dengan kerugian yang diderita dan kerugian itu adalah
sebagai akibat dari peristiwa utnuk mana diadakan asuransi
Penentuan ruang lingkup dari asuransi yang erat hubungannya dengan jenis-jenis
asuransi itu sendiri dapat kita lihat pengaturannya di dalam pasal 247 KUHD yang
menyebut bahwa pertanggungan-pertanggungan anatara lain dapat mengenai pokok:
“Bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil pertanian di sawah, jiwa dari
seserang atau lebih, bahaya-bahaya lautan bahaya-bahaya perbudakan, bahaya-bahaya
pengangkutan di darat dan di sungai-sungai serta di perairan di pedalaman.
Akan tetapi penentuan seperti dalam pasal 247 itu secara yuridis adalah tidak
membatasi atau menghalangi timbulnya jenis-jenis asuransi lain menurut kebutuhan
masyarakat. Hal ini dapat kita dasarkan pada kata-kata “antara lain” yang terdapat di
dalam pasal 247 itu. Dengan demikian sifat dari pasal 247 hanyalah menyebut beberapa
contoh saja atau sifatnya pasal tersebut adalah humeratif. Dengan demikian para pihak
dapat juga memperjanjikan adanya asuransi bentuk lain.
Di negara Belanda di dalam praktek terdapat juga pembagian bentuk asuransi atas 4
golongan yaitu:
a. Asuransi Jiwa.
b. Asuransi Kebakaran.
c. Asuransi Pengangkutan
d. Asuransi Varia
Di samping 4 golongan diatas masih dikenal juga Asuransi Sosial.
11
BAB IV
LATAR BELAKANG ATAU SEJARAH TIMBULNYA ASURANSI
Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH sejarah lahirnya Asuransi dapatlah kita
bagi dalam 5 periode, ialah:
1. Zaman Kebesaran Yunani,
2. Zaman Kebesaran Kerajaan Romawi,
3. Zaman Abad pertengahan.
4. Zaman sesudah abad pertengahan sampai sekarang,
5. Zaman Kodifikasi Prancis.
1. Zaman Kebesaran Yunani
Menurut Mr. H.J Scheltema dalam bukunya “ Verzekeringrech”, ada seorang Menteri
Keuangan bernama Antinemes, yang pada suatu waktu sangat kekurangan uang, pada
waktu itu, ada beberapa budak belian berkumpul di suatu tempat yang berada di bawah
kekuasaan Tentara. Budak-budak belian ini kepunyaan beberapa orang kaya, untuk
mendapat uang yang dibutuhkan itu, Menteri Keuangan tersebut mengusulkan kepada
para pemilik budak-budak belian itu, agar mereka mendaftarkan budak-budaknya.
Dan membayar kepada Antinemes sejumlah uang setiap tahun, dengan perjanjian,
bahwa apabila seorang budak melarikan diri Antinemes akan meminta kepada Kepala
Daerah untuk menangkap budak itu atau utnuk membayarkan kepada si pemilik harga
jual beli dari budak tersebut.
Dengan demikian, Antinemes ternyata menerima sejumlah besar uang yang seperti
uang premi dalam Asuransi, dan ia mendapat uang yang ia butuhkan pada waktu itu,
Tetapi sebaliknya, ia memikul risiko, bahwa dikemudian hari ia mungkin harus
membayar kepada seorang pemilik budak sejumlah uang jual beli budak yang melarikan
diri, perjanjian ini pokoknya memang sama dengan perjannjian asuransi atau
pertanggungan.
Zaman Kebesaran Kerajaan Romawi
Dari zaman ini, Scheltema menyebutkan beberapa buku tentang sejarah Romawi,
antara lain tentang sejarah Romawi, antara lain yang di tulis oleh Cicero dan Livius,
12
menurut Scheltema, buku-buku tersebut menggambarkan adanya pelbagai perjanjian
yang mengandung unsur-unsur asuransi ganti kerugian, tetapi tidak dapat dikatakan sama
dengan asuransi itu.
Sebaliknya, Scheltema melihat pelbagai perjanjian yang banyak persamaannya
dengan asuransi sejumlah uang, oleh Scheltema disebutkan adanya suatu perkumpulan
(collegium), yang dinamakan collegium cultorum et Dianae et Antinoi. Dalam
perkumplan ini, para anggota membayar uang pangkal sebesar 100 ases dan uang iuran
sebesar 5 ases sebulan. Apabila seorang anggota meninggal dunia, kepada para ahli waris
dibayar 300 sesterti utnuk biaya penguburan.
Scheltema menyebutkan juga adanya suatu perkumpulan yang dinamakan collegium
Lambaesis. Dalam perkumpulan ini setiap anggota juga harus membayar uang pangkal
dan uang iuran setiap bulan, dengan penetapan, bahwa bila seorang anggota dalam dinas
ketentaraan dinaikkan pangkatnya, kepadanya akan diberi uang sejumalh 500 dinar. Ini
dimaksudkan untuk biaya pesta-pesta yang diadakan dalam rangka merayakan kenaikkan
pangkat tadi.
Juga ditetapkan, bahwa apabila seorang anggota dalam ketentaraan dipindahkan ke
lain tempat, kepadanya diberikan uang sejumlah 500 dinar ditambah dengan 200 dinar
untuk biaya pengangkutan ke tempat baru itu. Apabila seorang anggota meninggal dunia,
kepada para ahli waris diberi uang sebesar 500 dinar.
Dua perkumpulan tadi, mirip sekali dengan suatu asuransi jiwa secara saling
menjamin (onderlinge levensverzekering).
Zaman Abad Pertengahan
Menurut Scheltema (halaman 15) kira-kira pada tahun 900 di Exeter, Negeri Inggris,
ada kebiasaan di antara para anggota suatu “gilde” (perkumpulan orang-orang yang sama
pekerjaannya, seperti para tukang batu, para tukang kayu, para pembikin roti dan lain-
lain) dijanjikan, bahwa bila rumah salah seorang anggota terbakar, kepadanya diberikan
sejumlah uang dari dana kepunyaan gilde itu.
Asuransi kebakaran ini, menurut Scheltems, juga telah ceritakan terdapat pada tahun
1118 di Iceland dan pada tahun 1240 di Vlaanderen. Pun di Denmark, di Sleeswijk
(Jerman) dikabarkan atau lain-lain kecelakaan di antara orang banyak.
13
Menurut Molengraaf dan Noslst Ternite menyatakan bahwa dalam abad ke-13 dan
ke-14 mulailah ada dan berkembang asuransi pengangkutan di laut, gejala ini ada
hubungan erat dengan temapt berkembangnya perdagangan melalui laut pada waktu itu,
yang dimulai di Lautan Tengah setelah diadakan “Kruistochten” yaitu Pengiriman
tentara-tentar dari pelbagai Negara di Eropa barat utnuk membebaskan Jerusalem, tanah
suci umat kristen, dari suatu pengusaan oleh penguasa yang beragama lain.
Bentuk pembagian risiko itu, dapat berupa bermacam cara seperti; para pemilik kapal
dan para pengangkut barang, meminjam uang dari orang lain utnuk membiayai kapal dan
pengangkutan barang-barang itu, dengan janj, bahwa uang pinjaman itu tidak perlu
dibayar kembali, apabila kapal dan barang-barang angkutan musnah di tengah-tengah
laut. Sebaliknya uang pinjaman ini harus dikembalikan, dan biasanya ditambah dengan
bunga apabila kapal dan barang-barang angkutan terhindar dari malapetaka.
Berhubung dengan larangan riba oleh Agama Islam, maka diadakanlah bentuk yang
mirip dengan asuransi, yaitu uang yang diperlukan oleh pemilik kapal atau si pengangkut
barang-barang, tidak dibayarkan di depan sebagai uang pinjaman, melainkan akan
dibayarkan apabila kapal dan barang-barang musnah ditengah-tengah laut. Sedangkan
pada permulaan berlayar si pemilik kapal dan si pengangkut barang-barang harus
membayar kepada si pemilik uang sejumlah uang, yang akan tetap menjadi hak si pemilik
uang. Apabila selamat, tanpa ada malpetaka apa-apa, uang ini menjadi sperti uang premi
dalam asuransi.
Zaman Sesudah Abad Pertengahan Sampai Sekarang.
Pada penghabisan abad-abad pertengahan dan sesudahnya ternyata asuransi laut
berkembang cepat, sehingga menjadi hal yang biasa di Eropah Barat, Lama kemudian,
baru menyusul perkembangan asuransi kebakaran. Menurut Nolst Trenite bahwa asuransi
kebakaran ini mulai diadakan di Negara Inggris pada penghabisan abad ke-17 dan suatu
abad kemudian barulah menyusul di Negeri Prancis dan Negeri Belanda.
Zaman Kodifikasi Prancis
Seperti diketahui, di Negeri Prancis kodifikasi hubungan Perdata dan Hukum Dagang,
diselenggarakan oleh kaisar Napoleon, dan dimuat dalam dua kitab, yaitu Code Civil dan
Code de Commerce, ini terjadi pada permulaan abad ke-19, pada waktu itu dalam Code
de Commerce hanya termuat pasal-pasal mengenai asuransi laut.
14
Dalam rancangan undang-undang yang diadakan di Negeri Belanada utnuk kitab
Hukum Dagang, juga hanya termuat peraturan tentang asuransi laut. Baru dalam
rancangan Undang-undang, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan dalam tahun
1838, termuat peraturan-peraturan mengenai asuransi kebakaran, asuransi hasil bumi dan
asuransi jiwa.
Dari adanya faktor-faktor yang menuju kepda pengertian pertanggungan kebakaran,
kemudian kita lihat adanya kemajuan ke arah faktor yang mengandung pengertian
pertanggungan atas penganggkutan di laut, terasa pada abad pertengahan lebih pesat dari
perkembangan pertanggungan kebakaran. Perhubungan melalui laut yang semakin pesat
padat pada waktu itu di antara negara-negara merupakan suatu faktor pendorong kearah
perkembangan laut ini.
15
BAB V
TERJADINYA PERJANJIAN ASURANSI
1. Jenis-jenis Asuransi
Kitab Undang-undang Hukum Dagang di dalam pasal 247 menyebutkan tentang 5
(lima) macam asuransi, antara lain;
1) Asuransi terhadap kebakaran,
2) Asuransi terhadap bahaya hasil-hasil pertanian,
3) Asuransi terhadap kematian orang (asuransi jiwa),
4) Asuransi terhadap bahaya di laut da perbudakan
5) Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di darat dan di sungai-sungai.
Buku I KUHD mengatur tentang jenis asuransi yang pertama, nomor 2 dan 3 di atas,
sedangkan jenis asuransi yang ke-4 dan 5 diatur di dalam Buku II KUHD. Selanjutnya
untuk dapat melihat terjadinya dan cara mengadakan asuransi kita dapat melihat di dalam
pasal 225 KUHD, dengan pasal ini dapatlah ditentukan bahwa semua asuransi harus
dibentuk secara tertulis dengan suatu akta yang dinamakan polis.
Adapun di dalam KUH Perdata, dalam beberapa pasalnya mengenai suatu tulisan
tertentu sebagai syarat mutlak bagi beberapa persetujuan tertentu, misalnya:
a) Pasal 147 : Perjanjian perkawinan harus diadakan dengan akta notaris.
b) Pasal 613 : Persetujuan utnuk mengalihkan suatu piutang (cessie) harus
diadakan dengan akta notaris atau akta di bawah tangan.
c) Pasal 1171 : Hipotik harus dibentuk dengan akta notaris
d) Pasal : Penghibahan (schenking) harus dilakukan dengan akta notaris.
e) Pasal 1851 : Persetujaun perdamaian (dading) harus diadakan secara tertulis.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang dalam beberapa pasal juga mengenal tulisan
tertentu sebagai syarat mutlak bagi beberapa persetujuan tertentu, misalnya:
a) Pasal 38 : Perseroan terbatas (Naamloze Venootschap, harus didirikan
dengan akta notaris
b) Pasal-pasal 100, 174, 178,,229 dan seterusnya : untuk pembentukan wesel, aksep,
cek, kwitansi untuk pembawa, harus ada tulisan yang berbentuk tertentu.
c)
16
2. Tulisan Tertentu Sebagai Syarat Mutlak
Bagi persetujuan-persetujuan tersebut diatas, adalah syarat mutlak, adanya tulisan
berbentuk tertentu, kalau tulisan seperti itu tidak ada, maka tidak ada juga persetujuan-
persetujuan itu, mungkin ada juga persetujuan, tetapi persetujan itu bukan persetujuan
yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, melainkan sekedar persetujuan untuk mengadakan
persetujuan tertentu.
Untuk membuktikan adanya persetujuan asuransi, harus bukti tertulis, tetapi alat-alat
bukti lain juga diperbolehkan, asal sudah ada permulaan pembuktian dengan tulisan,
namun janji-janji dan syarat-syarat khusus, bila ada persengketaan dalam tenggang waktu
antara pembentukan asuransi dan penyerahan polis, dapat dibiktikan dengan semua alat-
alat bukti, dengan pengertian bahwa beberapa syarat-syarat tertentu yang menurut
undang-undang harus secara mutlak dimuat dalam polis, hanya dapat dibuktikan secara
tertulis.
Dari pasal-pasal 255, 257 dan 258 KUHD tersebut di atas, dapat disimpulkan:
a) Persetujuan asuransi pada hakikatnya bersifatnya konsensual, yang artinya setela
ada kata kata sepakat antara kedua belah pihak untuk mengadakan asuransi, maka
terbentuklah persetujuan asuransi itu, tetapi
b) Tulisan polis mempunyai sifat khusus, yang berlainan dengan tulisan-tulisan lain
sebagai alat bukti, karena adanya hal-hal yang secara mutlak harus dimuat dalam
polis itu.
3. Persamaan dan Perbedaan Antara Asuransi dengan Persetujuan Jual Beli.
Mengenai persamaan antara persetujuan jual beli dengan asuransi dapatlah diuraikan
sebagai:
Persetujuan jual beli ada, apabila ada kata sepakat antara si penjual dan si pembeli,
bahwa si penjual berjanji menyerahkan barang itu untuk dimiliki oleh si pembeli, dan si
pembeli berjanji untuk membayar uang harganya, begitupun persetujuan asuransi ada,
apabila ada kata sepakat antara si penjamin dan si terjamin, bahwa si penjamin berjanji
akan menyerahkan polis kepada si terjamin.
Dan si terjamin berjanji akan membayar uang premi kepda si penjamin, dan janji-
janji lainnya yang sudah dimufakaati oleh kedua belah pihak, termuat semua dalam polis
17
itu, di dalam surat polis hanya satu pihak saja yang menyatakan berjanji yaitu si penjamin
untuk lebih jelas kita lihat saja pada pasal 256 ayat penghabisan dari W.V.K
4. Penandatanganan dan Penyerahan Polis
Penanggung berdasarkan perikatannya yang timbul dari perjanjian Asuransi itu
adalah wajib untuk menandatangani polis, yang ditawarkan kepdanya di dalam waktu
tertentu dan menyerahkan kembali kepada tertanggung, dan mengenai waktunya adalah
telah ditentukan oleh undang-undang itu sendiri. Apabila perjanjian asuransi itu
langsunmg diikat antara penanggung sendiri dengan tertanggung atau oleh orang yang
diberi wewenang untuk itu, maka polis ditandatangani dan diserahakan kembali oleh
penanggung di dalam waktu 24 jam setelah penawaran (pasal 259 KUHD).
Berhubung dengan macam-macam sebab, misalnya persoalan administrasi dan masih
menunggu keterangan-keterangan yang lebih lanjut diperlukan bagi pengisian polis itu,
waktu polis tersebut baru dapat diselasaikan kemudian dalam tenggang yang lebih lama
dari jam dan 8 hari, itu berarti juga bahwa penyerahan polis itupun kepada tertanggung
adalah lebig lama lagi.
Polis sebagai alat bukti juga mempunyai tempat tertentu atau khusus, nyatanya polis
itu di dalam bidang pembuktian perjanjian asuransi bukanlah merupakan satu-satunya
alat bukti. Aturan undang-undang mengenai polis sebagai alat bukti surat yang paling
utama diinginkan, mengenai pembuktian perjanjian asuransi itu khusus diatur di dalam
satu pasal yaitu di dalam pasal 258 KUHD.
Dari penjelasan pasal 258 KUHD yang isinya dapat disimpulkan bahwa tentang alat
bukti yang dipakai tertanggung dapatlah diambil suatu kesimpulan yang mana antara lain:
Si penanggung mengenai alat pembuktian yang akan dipakainya adalah seluruhnya
terserah kepada pilhannya baik di dalam periode pertama maupun di dalam periode
kedua. Dia dapat membuktikan dengan tulisan yaitu surat-surat, dapat memakai catatan-
catatan makelar, pembukuan, akan tetapi juga dengan sanksi-sanksi.
5. Isi Polis
Isi polis untuk semua asuransi dapat kita lihat di dalam pasal 256 KUHD, yang
mengatakan bahwa surat polis bagi segala macam asuransi harus memuat :
1) Hari ditutupnya asuransi
2) Nama orang yang menutup asuransi atas tanggungan sendiri atas tanggungan
18
orang ketiga,
3) Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang di asuransikan,
4) Jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi,
5) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung,
6) Saat pada saat mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si penanggung dan
saat berakhirnya itu,
7) Premi pertanggungan tersebut, dan
8) Pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si penanggung untuk
diketahuinya dan segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak.
6. Hal-hal yang mutlak Harus dimuat Dalam Polis Menurut Prof.Dr. Wirjono
Prodjodikoro
Sifat khusus dari polis, adalah mengenai hal-hal yang secara mutlak harus dimuat dalam
polis yang berarti, apabila hal-hal itu tidak dimuat, persetujuan asuransi itu batal. Hal-hal
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Menurut pasal 271 W.v.K pihak penjamin dapat menyuruh barang-barang yang ia
jamin itu, supaya dijamin lagi oleh penjamin lain (reasuransi), sedangkan menurut
pasal 272 ayat 1, apabila orang terjamin selaku akibat pemberhentian asuransi
dengan perantaraan hakim, membebaskan pihak penjamin dari kewajiban-
kewajibannya untuk waktu yang akan datang, maka si terjamin itu leluasa untuk
menyuruh menjamin kepentingannya untuk yang sama dan terhadap bahaya-
bahaya yang sama.
Kalau ini terjadi, maka dalam polis baru harus disebutkan adanya asuransi yang
lama itu, dan lagi pemberhentian asuransi dengan perantaraan Hakim. Maka
menurut pasal 271 ayat 2, asuransi yang baru itu batal.
b) Pasal 280 ayat 1 W.v.K membuka kemungkinan, dalam hal suatu barang sudah
dijamin untuk nilai harga penuh, si terjamin leluasa menyuruh menjamin lagi
barang-barang itu, dengan pengertian. Bahwa ia dalam asuransi yang baru itu
hanya dapat ganti kerugian, apabila kerugiannya belum diganti sepenuhnya pada
asuransi yang lama.
19
Kalau ini terjadi, maka menurut pasal 280 ayat 2 dalam polis asuransi yang baru
itu, harus dimuat janji-janji yang termuat dalam polis asuransi yang lama. Kalau
ini dilalaikan, maka asuransi yang baru itupun batal.
c) Pasal 603 ayat 1 W.v.K membuka kemungkinan orang menjamin keselamatan
barang-barang yang diangkut oleh kapal yang sudah berangkat berlayar, dalam
hal ini, menurut pasal 602 ayat 2, dalam polis harus dimuat kabar terakhir yang
diterima oleh si terjamin dari kapal itu. Kalau penyebutan kabar terakhir ini tidak
ada, maka persetujuan asuransi itu batal.
d) Pasal 606 ayat 1 W.v.K mengatakan, suatu asuransi batal, apabila didakan
terhadap kapal yang belum sampai pada tempat, dari mana mulai diadakan
jaminan, kecuali jika hal itu disebutkan dalam polis
e) Pasal 615 ayat W.v.K memungkinkan asuransi terhadap suatu keuntungan yang
diharapkan. Hal ini harus dijelaskan dalam polis dengan disebutkan secara khusus
barang-barang yang bersangkutan. Kalau penyebutan ini diabaikan, maka asuransi
ini batal.
7. Jenis-jenis Asuransi Kerugian yang Umum digunakan di Indonesia.
a. Polis Asuransi Kebakaran
1) Polis Kebakaran Indonesia
2) Polis Bursa Amsterdam / Polis Bursa Rotterdam
3) Polis F.O.C (Fire Offices Committee / Foreign)
b. Polis Asuransi Pengangkutan (Cargo dan Casco)
1) Marine Cargo Policy (Indonesia)
2) Polis Bursa
3) Polis Maskapai
4) Polis Pertanggungan Rangka Kapal
c. Polis Asuransi Varia
1) Polis Kendaraan Bermotor
2) Polis Pertanggungan berdasarkan Undang-undang Kecelakaan Tenaga Kerja 1947
3) Polis Kecelakaan Pribadi
4) Polis-polis lain, disamping polis 1,2 dan 3 masih ada polis dalam bidang asuransi
Varia yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi Varia yang dikeluarkan oleh
20
perusahaan asuransi dan tidak bersifat seragam, umpama polis pertanggungan
pencurian, polis cash in transit dan sebagainya.
21
BAB VI
OBJEK, SUBYEK DAN KEPENTINGAN DALAM ASURANSI
1. Objek Asuransi
a. Objek Perjanjian pada umumnya
Objek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang perlu oleh subjek,
suatu hal yang penting dalam tujuan membentuk suatu perjanjian, sehingga hal yang
diwajibkan kepada pihak yang berkewajiban (debitur), terhadap mana pihak yang berhak
(kreditur), mempunyai hak adalah merupakan objek dalam hubungan hukum mengenai
perajanjian.
Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, perjanjian-perjanjian itu sedikit banyaknya juga
mengenai harta benda. Dan selaku semua perjanjian itu pada umumnya menyinggung hal
kekayaan harta benda seseorang atau sebagian dari kekayaan itu. Maka dari itu, boleh
juga dikatakan, Hukum Perjanjian masuk golongan Hukum Kekayaan Harta Benda, lain
dari Hukum Kekeluargaan dan Hukum Perkawinan, sedangkan Hukum Warisan bersifat
tengah-tengah. Oleh karena itu umumnya objek hubungan hukum perjanjian selalu
bagian dari kekayaan seseorang, dan hampir selalu berupa suatu harta benda.
b. Pengertian Objek Asuransi (Voorwerp der Verzekering)
Terlebih dahulu kita akan mengkaji di dalam pasal 268 KUHD, di mana di dalam
pasal tersebut dikatakan tentang hal-hal yang dapat menjadi objek Asuransi, ialah semua
kepentingan yang mana antara lain;
1) Dapat dinilai dengan jumlah uang (op geld waardeerbaar),
2) Dapat takluk pada macam-macam bahaya (aan gevaar onderhevig),
3) Tidak dikecualikan oleh Undang-undang.
Secara lengkap bunyi pasal 268 KUHD adalah sebagai berikut:
“ Suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan dengan
uang, dapat dianacam oleh suatubahaya dan tidak dikecualikan oleh Undang-undang.”
Menurut Prof. Wirjono mengenai objek suatu perjanjian pada umumnya, yaitu suatu
kekayaan harta benda atau sebagian dari kekayaan harta benda seseorang.
c. Objek Asuransi Tanpa Benda dan Kerugian yang Nyata
22
Yang dimaksud dengan objek asuransi tanpa benda ialah ada kalanya diadakan
asuransi terhadap kemungkinan orang menderita karena tidak akan mendapat untung
dalam suatu perusahaan Dalam hal ini tidak ada suatu benda berwujud, yang akan
musnah atau akan ada kerusakan dan sebagainya. Tidak lain selama persetujuan asuransi
berjalan, tidak ada suatu barang benda yang terlihat sebagai barang yang terkena suatu
macam bahaya.
Kerugian yang nyata.
Tujuan asuransi ialah, jaminan oleh asurador kepda seseorang untuk tidak akan
dirugikan oleh suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Dengan demikian dapat
dikatakan, hakikat asuransi ialah, bahwa asuradir hana berkewajban membayar sejumlah
uang kepada si terjamin, apabila benar-benar ada kerugian yang nyata dari pihak
terjamin.
d. Perjanjian Reasuransi
1) Pengertian Reasuransi Ditinjau dari Sudut Hukum
Reasuransi merupakan suatu cara yang dipakai oleh asuradir (penanggung pertama)
utnuk mendistribusikan risiko-risiko yang dipikulnya dengan jalan menyerahkan semua
atau sebagian dari risiko-risiko tersebut kepada Reasuradir (penanggung kedua) dengan
tujuan mengurangi jumlah kerugian yang mungkin akan diderita oleh Asuradir
(penanggung pertama tersebut)
Dalam KUHD hanya ada satu pasal mengatur tentang reasuransi, yaitu pasal 271
yang berbunyi ”si Penanggung selamanya berkuasa untuk sekali lagi
mempertanggungkan apa yang telah ditanggung olehnya”, oleh karenanya perjanjian
reasuransi lebig baik dikuasai oleh hukum perjanjian, yang dalam hukum kita yang baru
dapat dijadikan hukum pelengkap.
Di dalam perjanjian reasuransi, yang diatur adalah hubungan anatara Asuradir
(penanggung pertama) denagn reasuradir (penanggung kedua) adapun yang diperjanjikan
itu ialah penyerahan risiko-risiko yang dipikul oleh Asuradir kepada Reasuradir, dalam
arti “liability (tanggung gugat) atau tanggung jawab menurut hukum “dari asuradir tadi
diserahkan.
2) Metode-metode Rasuransi
Ada 3 (tiga) metode reasuransi yang dapat digunakan dalam perjanjian reasuransi.
23
Pertama: Metode Fakultatif
Menurut metode ini, Asuradir dapat untuk mereasuransikan atau tidak
mereasuransikan risikonya kepada Reasuraidir, demikian pun Reasuradir bebas menerima
atau menolaknya.
Kedua : Metode Treaty
Treaty berarti perjanjian, jadi kalau diterjamhkan menjadi metode perjanjian. Istilah
ini sebenarnya kurang tepat dilihat dari segi hukumsebab metode fakultatif yang
diuraikan di atas juga berakhir pada perjanjian setelah penawaran asuransi diteriam oleh
Reasuradir baik secara lisan maupun dengan membubuhkan tanda tangannya atas “slip
reasuransi”.
Disebut metode treaty karena sebelumnya telah diadakan treaty (perjanjian) lebih
dahulu antara kedua belah pihak mengenai risiko yang akan direasuransikan oleh
Asuradir kepada Reasuradir. Dalam Treaty diatur berapa besar risiko yang
direasuransikan. Umpanya 75% dari setiap risiko yang diterima oleh Asuradir
direasuransikan kepada Reasuradir, cara ini disebut juga dengan Quota Share.
Reasuransi secara Quota Share dan Surplus dinamakan pula reasuransi proporsional
(proportional reinsurance) karena premi dan klaim yang merupakan bagian Asuradir dan
Reasuradir diatur secara proposional.
Ketiga : Metode Pool
Beberapa Asuradir bersama-sama dengan satu atau beberapa Reasuradir mengadakan
perjanjian yang isinya agar semua risiko-risiko yang mereka pikul dipusatkan atau di-
pool menjadi satu. Setelah risiko-risiko tadi di-pool kemudian dibagi-bagi kepada
Asuradir menurut besar kecilnya kemampuan masing-masing yang sebelumnya telah
ditentukan sebesar persentase tertentu, pelimpahan bagian-bagian risiko ini bersifat
reasuransi.
3) Prinsip-prinsip Reasuradir
Disamping di dalam praktek reasuransi terdapat suatu asa Reasuradir harus “follow
the fortunes”, sebagai berikut:
Di dalam perjanjian reasuransi sering dicantumkan klausula yang maksudnya
Reasuradir akan mengikuti nasib yang dialami oleh Reasuradir, klausula ini dimaksudkan
24
agar Rasuradir membayar klaim kepada Asuradir apabila Asuradir berkewajiban
membayar klaim kepada tertanggung berdasarkan polis Asuransi.
Klausula ini mempunyai pembatasan-pembatasan tertentu yakni Reasuradir wajib
membayar klaim kepada Asuradir untuk tanggung gugatnya kepada tertanggung apabila
klaim yang dibayarkan oleh Asuradir tersebut dapat dipertanggungjawabkan menurut
hukum.
2. Subjek dan Kepentingan dalam Asuransi.
a. Subjek Persetujuan pada Umumnya
Di dalam pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Jadi dalam tiap-tiap persetujuan selalu ada dua macam subjek,
yaitu: di satu pihak seseorang atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban
untuk sesuatu, dan di lain pihak ada seseorang atau badan hukum yang mendapat hak atas
pelaksanaan kewajiban itu, maka dala tiap-tiap persetujuan selalu ada pihak berkewajiban
dan pihak berhak.
b. Kepentingan dalam Persetujuan
Kalau kepentingan ini dilihat dalam arti yang luas, maka di mana ada pihak berhak, di
situ tentu ada kepentingan, yaitu kepentingan akan terlaksananya hak itu: yang berarti
kepentingan akan pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepada pihak lain, tetapi juga
kepentingan dapat dipandang dalam arti yang sempit, yaitu berupa kemungkinan
mendapat suatu kenikmatan (genot)
Dalam arti yang sempit ini, tidak selalu pihak berhak mempunyai kepentingan, karena
adakalanya yang akan mendapat kenikmatan selaku akibat dari pelaksanaan kewajiban
pihak lain, yaitu orang ketiga.
Di dalam pasal 1317 KUH Perdata: “Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta
ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan
janji, yang disebut oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang
dilakukannya kepada seorang lain, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada
seorang lain, membuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan
sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah
menyatakan hendak mempergukannya”.
25
c. Kepentingan Orang Ketiga dalam Asuransi
Tentang Asuransi pada umumnya, pasal 264 W.v.K menentukan, bahwa asuransi
dapat diadakan tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan orang ketiga (voor rekening van eenderde). Ditambahkan, bahwa hal ini
dapat terjadi berdasarkan atas suatu kuasa umum atau khusus, yang diberikan oleh orang
ketiga itu, atau dapat terjadi di luar pengetahuan orang ketiga tersebut.
Pasal 264 ini, sebetulnya mengemukakan suatu contoh dari suatu perjanjian yang
harus dianggap diperbolehkan juga oleh pasal 1317 B.W. yaitu apabila pasal 1317 B.W
tidak ditafsirkan secara kaku seperti di atas.
d. Penyebutan Kepentingan untuk Orang Ketiga dalam Polis
Tentang hal ini, pasal 267 W.v.K mengatakan, apabila dalam polis tidak disebutkan,
bahwa asuransi diadakan untuk kepentingan orang ketiga maka asuransi harus dianggap
diadakan oleh si terjamin utnuk dirinya sendiri. Kalau dalam hal ini nyatanya orang
ketiga yang berkepntingan, apabila terjadi suatu peristiwa yang dipertanggungkan, si
asurador harus membayar sejumlah ganti kerugian, maka menurut pasal 250 W.v.K si
asurador tidak berkewajiban membayar ganti kerugian itu.
Pasal 250 W.v.K menagatakan, dalam hal seorang terjamin mengadakan asuransi
untuk dirinya sendiri dan kemudian ternyata ia sendiri tidak berkepentingan pada barang
yang terjamin, maka si asurador tidak berkewajiban membayar ganti kerugian.
e. Nama Orang Ketiga yang Berkepentingan Tidak perlu Disebut dala Polis
Ini dapat disimpulkan, dari pasal 256 W.v.K yang dalam nomor 2 hanya
mensyaratkan, bahwa dalam polis harus disebutkan nama si terjamin yang mengadakan
asuransi untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.
Dalam sejarah, rahasia ini sering dipergunakan utnuk menyembunyikan, bahwa
seseorang pihak ketiga itu adalah orang Yahudi, seperti pada zaman meratanya kebencian
orang terhadap orang-orang Yahudi tersebut. Juga dalam dunia perdagangan, seringkali
ada keperluan bagi orang ketiga itu, untuk namanya tidak disebutkan, misalnya untuk
menghindari persangkaan macam-macam.
f. Penyebutan Pemberian Kuasa oleh Orang Ketiga.
Menurut pasal 265 W.v.K dalam polis harus ditegaskan, apakah asuransi diadakan
atas pemberian kuasa oleh orang ketiga yang berkepentingan itu, ataukah di luar
26
pengetahuan orang ketiga. Kalau ini terjadi, menurut pasal 266 itu, asuransi ini batal,
apabila terhadap kepentingan yang sama diadakan asuransi pula oleh atau untuk orang
ketiga itu sebelum orang itu tahu, bahwa orang lain telah mengadakan asuransi untuk
kepentingannya.
g. Seorang Perantara dalam Asuransi.
Lain halnya, apabila asuransi didakan dengan bantuan seorang perantara
(tussenpersoon), yang terang-terangan bertindak sebagai kuasa dari salah satu pihak.
Dalam hal ini, si kuasa, seperti semua kuasa, tidak terikat oleh persetujuan asuransi, asal
saja seorang kuasa itu tidak melampaui batas kuasanya.
Seorang perantara ini, biasanya seorang agen dari suatu perusahaan asuransi, yaitu
seorang yang ada hubungan tetap dengan perusahaan asuransi, itu dan yang mengadakan
pembicaraan tentang asuransi itu sebagai kuasa dari perusahaan asuransi itu, sebagai
perantara juga dapat bertindak seorang makelar yaitu seorang yang pekerjaannya sehari-
harinya menjadi perantara dalam segala macam perdagangan, hal makelar ini diatur
dalam pasal 62 samapi dengan 73 W.v.K.
h. Makelar Khusus untuk Asuransi
Khusus untuk asuransi pada umumnya, ada dua pasal yang mengatur hal makelar ini,
yaitu, pasal 260, dan pasal 261 W.v.K. Menurut pasal 260, polisnya dalam tenggang
waktu 8 hari setelah asuransi diadakan, harus diserahkan kepada pihak terjamin, kalau
makelar ini, maka menurut pasal 261, ia harus mengganti kerugian yang akan diderita
oleh pihak yang bersangkutan sebagai akibat kalalaian.
i. Pembayaran Premi
Makelar harus menanggung pembayaran premi oleh pihak yang dijamin kepada pihak
yang menjamin. Kalau pada waktu penandatanganan polis premi belum dibayar oleh
terjamin, si makelar harus membayarkannya selaku kewajiban sendiri (“als voor eigen
schuld”).
Apabila premi sudah dibayar oleh terjamin kepada makelar dan kemudian dalam
waktu satu bulan si makelar jatuh pailit sebelum membayar premi itu kepada asurador,
menirut pasal 683, si asurador mempunyai hak untuk menerima preminya itu dari
kekayaan si makelar lebih dulu daripada para berpiutang lain.
27
Apabila dalam hal pihak terjamin pailit, sedangkan polis sudah diberikan kepadanya
oleh makelar, dan premi sudah dibayar oleh makelar tetapi oleh pihak terjamin belum
dibayar, si makelar ada hak untuk menerima preminya dari apa-apa yang dalam
pelaksanaan persetujuan asuransi harus dibayar oleh asurador lebih dulu daripada para
berpiutang lain dari di asurador itu (pasal 685).
28
BAB VII
KEJADIAN YANG TIDAK DAPAT DIPASTIKAN
1. Bagian yang tidak pasti
Dalam kaitannya dengan suatu kejadian yang tidak bisa dipastikan tentunya harus
dititik beratkan pada bagian yang terpenting dari perjanjian asuransi, yaitu adanya
kewajiban bagi pihak asurador untuk membayar uang kepada pihak yang
terjamin.Batasan mengenai masalah yang tidak pasti, wajib ditinjau dari beberapa segi.
Contohnya dalam asuransi kebakaran atau asuransi kecelakaan yang memang benar hal
ini tidak bisa dipastikan terjadinya kebakaran atau kecelakaan itu.
Perjanjian dalam asuransi jiwa ini sebagai jaminannya ialah meninggal dunianya
seseorang, sedangkan masalah ini sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa, bahwa
manusia tidak akan hidup untuk selamanya. Maka dari itu sesungguhnya yang tidak pasti
bukan pada saat kejadian meninggal dunianya manusia akan tetapi kapan orang tersebut
akan meninggal dunia. Dan hal ini belum dapat dipastikan.
2. Karakteristik Subyektif dari bagian yang tidak pasti
Dipandang dari segi yang lain, bagian yang tidak pasti ini mudah dipahami secara
keseluruhan. Bukan suatu keharusan secara objektif tidak pasti, akan tetapi adakalanya
cukup hanya subyektif saja. Yang garis besarnya, walaupun pada saat kejadian itu pihak
yang terjamin sudah ada dan asuransi sudah berdiri, akan tetapi perjanjian dari asuransi
tetap sah, tetapi dengan syarat kedua belah pihak pada saat itu belum mengetahui pernah
mengalami kejadian tersebut.
Pasal 270 K.U.H Dagang menentukan persangkaan bahwa seorang telah mengetahui
akan adanya kerugian tersebut, apabila Hakim, setelah memperhatikan keadaan,
berpendapat bahwa, setelah timbulnya kerugian itu, sudah melebihi jangka waktu,
sehingga si tertanggung seharusnya sudah mengetahui akan hal itu.
Kesimpulan dari pasal 270 ayat 2 K.U.H Dagang adalah, bahwa Hakim dapat
mengangkat sumpah pada pihak yang terjamin, akan tetapi Hakim tidak menghalangi
kehendak pihak yang terjamin untuk mengangkat sumpah pada pihak penjamin atau
asurador. Perbedaan dalam keadaan ini, bahwa Hakim dapat mengambil sumpah pada
29
pihak terjamin, jika ada keraguan-raguan pada Hakim, pihak-pihak terjamin masih dapat
memintakan sumpah pada pihak penjamin.
3. Asuransi Laut
Kitab undang-undang Hukum Dagang dalam mengenai asuransi laut dimuatkan
dalam dua pasal, yaitu pasal 297 dan pasal 598, yang isinya hampir sama dengan pasal
269 dan pasal 270, akan tetapi lebih banyak menguraikan tentang keadaan pengangkutan
barang melalui lautan.
Pasal 597 menyebutkan, jika suatu asuransi diadakan atas kapal-kapal atau barang-
barang yang ada, pada saat persetujuan asuransi itu diadakan atas suatu kepentingan yang
kerugiannya di asuransikan, pada saat tersebut di atas sudah ada, maka berlakulah
ketentuan-ketentuan dari pasal 269 dan 270.
4. Macam-macam bagian yang obyektif (goede trouw)
Menurut pandangan Prof. Dr. Wirjono Prodjokiro, SH, bagian yang tidak pasti
mempunyai karakterisktik, ialah hampir sama dengan bagian yang obyektif atau dengan
tujuan baik, yang pada dasarnya telah ditetapkan dalam pasal 1338 ayat 3 K.U.H Perdata
yang menyebutkan, bahwa segala persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik.
Jadi masalah-masalah yang diatur dalam pasal-pasal 269.270, 597 dan 598 KUHD
dianggap sebagai contoh-contoh dalam masalah yang obyektif. Jika di dalam pelaksanaan
ada kejadian yang tidak dimuatkan pada pasal-pasal tersebut, maka pasal 1338 ayat 3
KUH Perdata dapat dianggap sebagai pedoman.
5. Barang-barang Cair (vloeibare waren)
Penjelasan mengenai barang-barang yang cair dalam asuransi disebutkan dalam pasal
643 K.U.H.D, yaitu apabila yang di asuransikan itu berupa barang-barang yang cair,
seperti anggur, minyak madu, gajih, sirup, atau lain sebagainya, atau garam dan gula,
maka pihak yang menanggung tidaklah bertanggung jawab untuk sesuatu kerugian yang
disebabkan karena kebocoran atau melelehnya barang-barang tersebut, kecuali apabila itu
terjadi karena penyentuhan, pecahnya kapal, ataupun terdamparnya kapal, atau karena
30
barang-barang yang diasuransikan tersebut telah dibongkar disuatu pelabuhan darurat dan
kemudian dimuat lagi.
Pasal 644 KUHD menjelaskan, jika dalam masalah-masalah yang diperbolehkan
menurut undang-undang, telah dibuat suatu asuransi atas barang-barang dagangan atau
barang seumumnya, ataupun atas barang berupa apa saja yang penting bagi pihak yang
tertanggung, sedangkan bahaya yang diasuransikan itu berlaku atas barang-barang yang
mudah dapat menjadi busuk atau berkurang, maka pihak yang menanggung tidak
diwajibkan memikul kerugian yang demikian, yang menurut adat istiadat di tempat
asuransi tidak seharusnya dipikul oleh para asurandor. Jika terjadi perselisihan, maka hal
itu akan ditetapkan oleh Hakim, setelah mendengar para ahli.
6. Hubungan Satu Sama Lain
Bagian yang terpenting sebagai tanggung awab dari asurandor untuk mengembalikan
ganti rugi, bahwa kerugiannya tersebut diakibatkan oleh kejadian yang sudah ditanggung
tidak akan terjadi. Di Inggris ada suatu ketentuan dalam Marine Insurance Act yang
berbunyi: “He (si asirador) is not liable for any loss, which is not proximately caused bay
a peril insured against”.
Yang kesimpulannya, di dalam Hukum Inggris yang dinyatakan mula-mula yang
menimbulkan kerugian adalah kejadian yang berhubungan langsung dengan kerugian itu.
Maka hal ini asuransi mengadakan pertanggungan, pihak asurador bertanggung jawab
mengembalikan ganti rugi.
Di Negeri Belanda, tidak memiliki Undang-undang yang khusus mengenai
penjabaran dari alsan-alasannya, akan tetapi menurut Scheltema, bahwa pendapat yang
dianut di Negeri Belanda rata-rata adalah mengajarkan bahwa suatu masalah dapat
berhubungan antara satu sama lain, yang menurut biografi manusia ditafsirkan, bahwa
satu sama lain saling berkaitan. Ilmu ini dinamaan Adequate Veroorzaking (alasan-alasan
yang bermotif dapat dikenakan efeknya).
31
BAB VIII
KERUSAKAN ALAMI ATAS BARANG YANG DITANGGUNG
1. Kerusakan Pada Barang
Disebutkan oleh pasal 249 K.U.H.D., bahwa utnuk kerusakan atau kerugian yang
timbul dari suatu cacat, kebusukan sendiri, atau yang langsung ditimbulkan dari sifat dan
macam barang yang dipertanggungkan sendiri, tak sekali-kali si penanggung bertanggung
jawab, kecuali apabila dengan tegas telah diadakan pertanggungan juga untuk itu, yang
berarti bahwa pihak asurador tidak bertanggung jawab untuk mengganti terhadap
kerugian yang diakibatkan oleh:
a) Kerusakan terhadap barang yang dijamin;
b) Barang tersebut membusuk secara alami;
c) Sifat pada umumnya barang itu (uit eenig gebrek, eigen bedrf of uit de aard en de
natuur van de veirzekerde zaak)
Hal ini berarti bahwa pasal 249 ini mencakup bukan saja tentang kerusakan barang.
Di samping itu perumusan pasal ini memang lebih akurat jika dibanding dengan
perumusan yang layaknya dipergunakan dalam ilmu pengetahuan hukum di mana
biasanya hanya menjelaskan tentang cacat barangnya saja.
2. Pelepasan Tanggung Jawab Pihak Asurador
Jika ternyata bahwa kerusakan yang terjadi atas barang yang ditanggung tersebut
dsebabkan karena kerusakan alami (sendiri), maka oleh pasal 249 K.U.H.D ditetapkan
bahwa pihak asurador lepas dari tanggung jawab.
Kejadian tentang kerugian semacam ini merupakan suatu kejadian yang kepastian
terjadinya belum dapat ditentukan (onzekervoorval). Hal ini berarti bahwa jika pasal 249
itu tidak ada, pihak asurador bertanggung jawab terhadap kerugian tersebut.
3. Syarat “All Risks”
Dalam pelaksanaannya pada polis asuransi seringkali berisi persyaratan bahwa pihak
asurador menanggung semua risiko (clausule aal risks) sehingga timbul suatu pertanyaan
32
apakah dengan klausula ini pihak asurador harus bertanggung jawab atas kerugian yang
diakibatkan karena kerusakan alami barang tersebut.
Secara tegas pasal 249 menjawab pertanyaan ini;”tidak” sebab khusus tentang
kerugian yang diakibatkan karena cacat sendiri ini untuk pertanggungjawaban pihak
asurador harus dengan perjanjian yang khusus dan tegas.
4. Batasan dan Ruang Lingkup Tentang Cacat Barang
Cacat adalah suatu unsur yang istimewa dan biasanya tidak dimiliki pada barang-
barang yang sama jenisnya. Bilamana barang-barang yang sama jenisnya telah
mempunyai cacat seperti yang dimaksud di atas, serta kemungkinan akan menyebabkan
rusaknya atau hilangnya barang yang tidak dikategorikan di dalam batasan dan ruang
lingkup yang cacat.
Cacat ini juga wajib dimiliki oleh barang-barang yang ditanggung keutuhannya serta
tidak pada barang-barang yang lain yang mungkin masih ada kaitannya dengan
penggunaan barang yang ditanggung itu. Contohnya di dalam masalah asuransi tentang
pengangkutan dengan mempergunakan kapal laut, yang dinamakan dengan cacat barang
adalah cacatnya barang-barang yang diangkut itu yang cacat bukan pada kapalnya.
5. Batasan Mengenai barang yang Ditanggung ata Verzekerd
Voorwerp
Barang yang ditanggung, jika ada kerusakannya, melepaskan pihak asurador untuk
berkewajiban mengembalikan kerugian. Yang maksudnya: barang yang memiliki ujud
dijamin keutuhannya.
Contohnya, bilamana seorang pembeli barang mengikuiti asuransi, supaya yang
bersangkutan bisa memperoleh ganti rugi, andaikan barang yang dibeli itu tidak bisa
diserahkan terhadap dirinya, maka yang dapat melepaskan pihak asurador adalah
kerusakan pada barangnya itu, yang membawa akibat barang itu tidak bisa diserahkan,
tidak merupakan rusak pada kandungan perikatan dengan perdagangan yang
menimbulkan barang tersebut tidak bisa diberikan.
6. Sifat Relatif dari Pengertian Cacat
33
Keadaan barang yang ditanggung kemungkinan dalam kondisi baik namun
kemungkinan juga dalam rusak
Dalam asuransi laut bisa kita ambil contoh.
Keadaan barang yang ditanggung kemungkinan dalam barang yang ditanggung
keselamatannya haruslah cukup baik dan mampu dipergunakan dengan aman dalam
pelayaran (zeewaardig, seaworthy). Jika syarat ini tidak dipenuhi maka pihak asurador
tidak bertanggung jawab atas penggantian kerugian.
Kebiasaan di Inggris, jika seorang ingin memperoleh penanggungan keselamatan
terhadap kerusakan kapalnya, dipergunakan suatu persyaratan yang disebut Inchmaree
Clause yang isina “The insurance also expecially to cover loss of, or damage to hull, or
machinery, caused through explosions, bursting of boilers, breakages, of shafts, or
through any latent defect in the machinery or hull, provided such loss or damage do not
result from want of due dilgence by the owners of the ship or any of them, or by the
manager”.
7. Akibat Hukum yang Timbul Karena Terjadinya Kerusakan
pada Barang
Seperti telah dijelaskan pada uraian terdahulu, bahwa berdasarkan pasal 249, jika
barang yang ditanggung itu mengalami kerusakan karena keadaan dan sifat barang itu
sendiri, maka pihak asurador tidak wajib menggantinya. Ini berarti bahwa adanya
kerusakan sendiri tersebut tidak mengakibatkan batalnya seluruh ikatan asuransi. Namun
asuransi masih tetap berlaku jika disamping adanya kerugian tersebut masih ada kerugian
lain yang bukan disebabkan olehnya.
Akan tetapi menurut pendapat Scheltema bahwa di Inggris ada ketetapan pihak
asurador tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian walaupun kemungkinan
kerugian tersebut tidak ada kaitannya dengan cacat tersebut, jika suatu pelayaran
ditanggung keutuhannya dan ternyata dikemudian hari terjadi kerusakan pada alat
pelayaran tersebut.
34
8. Syarat Lepas dari Tanggung Jawab Atas Terjadinya
Kerusakan
Hampir sama pelepasan tanggung pelepasan tanggung jawab pihak asurador jika ada
kerusakan barang, ada suatu syarat untuk asuransi laut yang dimuatkan dalam pasal 646.
Pasal 646 menyebutkan, jika ada asuransi laut yang beirisikan suatu syarat “lepas dari
tanggung jawab atas terjadinya kerusakan”,maka tidak akan diberikan ganti kerugian
bilamana barang-barang muatannya pada saat tiba dipelabuhan yang dituju, ditemukan
barang tersebut membusuk dan rusak. Hal ini juga dipergunakan jika keadaan barang-
barang itu membusuk atau rusak wajib diuangkan atau dijual ditengah-tengah perjalanan.
35
BAB IX
KECEROBOHAN PIHAK TERTANGGUNG
Untuk dimengerti, bahwa kecerobohan pihak yang tertanggung merupakan pengertian
kewajiban yang ke-II bagi pihak asurador selain kerusakan alami atas barang yang
ditanggung. Kecerobohan pihak yang tertanggung diatur dalam pasal 276 KUHD yang
menjelaskan, bahwa tidak ada kerugian atau kerusakan yang disebabkan karena
kesalahan si tertanggung sendiri harus ditanggung oleh si penanggung. Bahkan berhaklah
si penanggung itu memiliki premi ataupun menuntutnya, apabila yang bersangkutan
sudah mulai memikul sesuatu bahaya.
Sedangkan para ahli hukum sendiri menyatakan, bahwa dengan tegas ini telah
ditiadakan utnuk menjaminnya diizinkan karena terjadinya kecerobohan pihak
tertanggung termasuk kejadian yang belum dapat dipastikan (onzeker voorval), yang
menurut pasal 246 yaitu, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, dimana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa yang tertentu.
1. Batasan Mengenai Kecerobohan
Dengan tidak adanya suatu perjanjian, maka dapat dijelaskan, bahwa batasan
mengenai kecerobohan, adalah terdiri dari berbagai jenis kecerobohan, misalkan: kurang
atau tidak selalu waspada serta karena sedikit gegabah atau sangat gegabah, yang
menjurus pada unsur kesengajaan.
Unsur kesengajaan dalam penjelasannya, bahwa semua pihak dinyatakan tidak
sembarangan membentuk ketegasan sendiri, bahwa asurador juga menjamin kerugian
yang diakibatkan adanya kesengajaan dari pihak yang tertanggung. Ketegasan serupa ini
dapat dinyatakan tidak memiliki kesamaan dengan norma kesusilaan, yang tidak
diperbolehkan dalam pasal 1337 B.W.
2. Hanya Menyinggung tentang Kebakaran
36
Dalam pasal 276 KUHD disebutkan tentang kekhilafan, yang ada pada kalimat di atas
telah dijelaskan, bahwa sesungguhnya batasan dari kecerobohan sudah mencakup
kekhilafan. Di dalam masalah ini antara pasal 294 dan pasal 276 hampir sama hanya di
dalam pasal 294 di sini menjelaskan adanya kecerobohan yang jelas.
Dalam hal ini pengertian darin kecerobohan ringan dengan kecerobohan berat sulit
untuk dipecahkan. Namun di dalam pelaksanaannya, hal ini mudah ditetapkan Cuma
dengan naluri saja. Maka dari itu tidak disertai argumentasi atau memberikan alasan
melalui pemikiran.
Menurut Dorhout Mees letak perbedaan antara asuransi kebakaran dengan asuransi
pengangkutan yaitu, bahwa pihak yang mengangkut sudah selayaknya wajib menanggung
beban kecerobohannya walau seringan-ringannya kecerobohan tersebut, karena pihak
yang mengangkut dapat dianggap sudah mempersiapkan pengangkutan itu serta sudah
semestinya cara membereskan wajib dengan rapi, jangan ada efek-efek sampingnya pada
barang tersebut.
3. Tertanggung Selaku Badan Hukum
Jika pihak yang tertanggung itu suatu badan hukum, contohnya suatu Perseroan
Terbatas (Naamloze Vennootschap). Maka timbul suatu yang ditanyakan, bagaimana
keadaannya dengan bagian kekeliruan sendiri dari pihak yang tertanggung yang
melepaskan tanggung jawab asurador.
Seandainya posisi seorang Direktur Perseroan Terbatas ditinjau dari segi hubungan
dengan urusan masalah buruh, maka direktur sama dengan seorang manusia saja,
sehingga kekeliruan Direktur sebagai majikan itu tidak dianggap sebagai kekeliruan
Perseroan Terbatas, maka dari itu asurador terikat pertanggungjawaban.
Menurut Mr. Scheltema bahwa kekeliruannya dapat menyerupai dengan kekeliruan
badan hukum selaku yang tertanggung, yaitu selaku wakil dari perusahaan tersebut, yang
mustahil ada dalam sesuatu peristiwa yang mempunyai perusahaan ialah seorang
manusia.
Maka dari itu menurut Scheltema, dalam perseroan Terbatas orang akan
kekeliruannya bisa melepaskan asurador dari kewajibannya, yaitu Direktur serta pengurus
lainnya atas disetujui oleh Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro SH. Kalau hal ini tidak atas
nama orang berarti tidak seperti dengan Hoge Raad Belanda tanggal 11-12-1914 N.J.
37
Suatu Perseroan Terbatas di dalam masyarakat tidak hanya berlaku sebagai
penghubungnya bagi direkturnya, akan tetapi juga dengan penghubung lain orang yang
dinyatakan sebagai wakil dari Perseroan Terbatas itu, serta dengan ingin dapat dianggap,
bahwa kekliruan dari orang itu, bisa juga dinyatakan karena kekeliruan juga dari
Perseroan Terbatas tersebut
38
BAB X
MOLEST
Selain hanya yang diakibatkan dari cacat dari barang dan kekhilafan pihak yang
tertanggung sendiri, juga ada suatu jenis bahaya lagi akan tetapi hal ini bukan menjadi
tanggung jawab bagi pihak penanggung, terkecuali jika diadakan suatu perjanjian yang
secara tersendiri. Bahaya tersebut dinamakan dengan Molest.
1. Batasan dan Ruang Lingkup daripada Molest
Pada mulanya yang disebut dengan Molest ini dipergunakan dengan pengertian yang
sempit, yaitu perbuatan memaksa pada saat terjadinya pertempuran oleh angkatan
bersenjata dari Negara yang sedang bertempur. Hal inilah yang pertama kali
dipergunakan dalam pelaksanaan di asuransi yang melepaskan asurador dari
kewajibannya, jika Molest ini terjadi.
Pengertian dari Molest di sini dipergunakan dalam arti umum, yaitu yang mencakup
tindakan-tindakan paksaan yang dilaksanakan pada saat negara itu aman, misalkan
pembajakan laut atau macam-macam perbuatan dari suatu pemerintah yang motifnya
memaksa, seperti misalkan penyitaan kapal.
2. Molest Diatur Dalam Asuransi Laut
Dalam Kitab Undang-undang HukumDagang masalah molest ini diatur dalam laut
yaitu pada pasal-pasal 647, 648 dan 649, akan tetapi dalam keadaan pertempuran ternyata
dibutuhkan juga bagi asuransi-asuransi lain. Dan kenyataannya kesepakatan-kesepakatan
dari asuransi yang diselenggarakan dalam bursa-bursa penjualan serta yang menyangkut
tentang molest semenjak dahulu diadakan bermacam-macam asuransi.
3. Makna Daripada Molest dalam Pasal 647 K.U.H.D
Menurut Pasal 647 K.U.H.D bahwa dalam suatu asuransi dengan janji bebas dari
molest, maka si penanggung dibebaskan seketika setelah barang yang diasuransikan itu
39
musnah atau menjadi busuk karena kekerasan, perampasan, pembajakan, perampokan,
penahanan atas perintah pihak atasan, pernyataan perang, serta tindakan-tindakan
pembalasan.
Asuransi tersebut hapus seketika setelah barang yang diasuransikan itu tertahan
karena molest ataupun diangkut kesuatu jurusan yang menyimpang dari ke arah tujuan
yang semula.
4. Gambaran-gambaran Kejadian dari Molest
Dorhout Mees menjelaskan beberapa gambaran yang dikutip dari yurispudensi di
Negeri Belanda, yang memandang adanya efek yang di akibatkan oleh kejadian molest,
yaitu antara sebagai berikut:
a.) Suatu kapal Belanda pada saat Negeri Belanda dikuasai oleh tentara Jerman,
diharuskan oleh Penguasa untuk disewakan di Wilayah Jerman serta selama
disewakan itu, kapalnya masuk.
b.) Sebuah rumah ikut terbakar, karena disebabkan adanya api yang datangnya dari
rumah tetangga yang di amuk kebakaran.
c.) Pada saat di Negeri Belanda dikuasai oleh tentara Jerman di suatu pagi yang gelap
pada bulan Januari,seorang penduduk dirampok oleh dua orang yang berpakaian
seragam tentara Jerman. Pada saat perang seperti itu, tidak ada lampu yang
menerangi di jalan serta tidak ada polisi yang mengawasi.
Dalam semua kejadian ini, hakim di Negeri Belanda memandang asurador lepas dari
tanggung jawab untuk mengembalikan kerugian, karena dianggap kerugian-kerugian itu
diakibatkan oleh molest.
5. Gambaran-gambaran Suatu Kejadian yang Bukan disebabkan oleh Molest
Menurut Dorhout Mees banyak gambaran kejadian yang dianggap oleh Hakim di
Negeri Belanda dipndang bukan diakibatkan oleh suatu kejadian oleh molest, sehingga
asurador mengembalikan ganti kerugian atas kejadian-kejadian tersebut.
a.) Pada saat Negeri Belanda dikuasai oleh tentara Jerman, suatu tempat penginapan
dengan dipaksa oleh tentara-tentara Jerman dipergunakan untuk tempat hiburan.
Pada saat mereka bergembira-ria, tempat penginapan itu terbakar. Di sini
40
kemungkinan besar dari terjadinya kebakaran diperkirakan dengan adanya
tentara-tentara Jerman di situ, akan tetapi biasanya menurut pengalaman, keadaan
itu tidak akan mengakibatkan tempat penginapan itu terbakar.
b.) Pada saat pihak lawan mendarat dari udara di suatu kota di Negeri Belanda,
padahal negeri itu sedang dikuasai oleh tentara Jerman, maka tentara-tentara
Jerman berupaya agar arsip-arsip itu tidak berceceran dan pindah ke tangan pihak
lawan, maka jalan pintas arsip-arsip itu di bakar di dalam suatu tempat api atau
haard, kachel lalu apinya menyala terus pada ruang tertutup itu, sehingga
mengakibatkan rumah tersebut terbakar.
c.) Sebuah runah pada saat pertempuran diungsikan sejenak sehingga rumah tersebut
dimasuki pencuri, dan mengambil barang-barang yang ada di dalam rumah
tersebut. Dalam hal ini pada dalam situasi pertempuran kemungkinan bisa jadi ada
pencurian, akan tetapi hal ini tidak mutlak adanya pencurian.
Pada dasarnya seluruh pihak asurador ditekankan untuk mengembalikan kerugian,
karena kerugian-kerugian itu dimugkinkan tidak ditimbulkan oleh molest
6. Keadaan yang dimasukkan dalam Molest
Pasal 694 KUHD memasukkan suatu kejadian khusus dengan molest, yaitu apabila
sebuah kapal atau suatu barang yang diasuransikan dengan janji, bebas dari molest berada
dalam suatu perlabuhan yang sebelumnya ia berangkat dikuasai oleh pihak lawan,
ataupun ia ditahan, maka yang demikian itu dimasukkan dalam penarikan, dan
berhentilah bahaya bagi si penanggung.
41