63
RESENSI BUKU DJOKO PRAKOSO,.S.H., HUKUM ASURANSI INDONESIA., PENERBIT PT BINA AKSARA., JAKARTA.,CETAKAN PERTAMA., 1987 Dengan dimensi perekonomian dunia yang demikian maju, maka sejalan dengan usaha pemerintah untuk membangun ekonomi nasional, perlu dihidupkan jiwa,”Businesssmindedness” pada bangsa kita. Dalam keadaan sumber daya yang terbatas dan peranan industri yang semakin besar dalam pembangunan ekonomi, maka pembinaan jiwa usaha diarahkan kepada usaha- usaha produksi dan jasa. Pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat dalam suatu negara yang sedang membangun, mendorong pemikiran utnuk meningkatkan peranan “Social Insurance” atau “Sociale verzekering”. Oleh karena di sini yang membayar premi ialah para pegawai dan buruh, maka perlu diatur sedemikian rupa agar dana yang diperoleh benar-benar dimanfaatkan bagi jaminan kesejahteraan mereka, baik untuk menjamin bilamana karena sesuatu hal yang sah menurut undang-undang si pegawai negeri atau buruh itu tidak dapat bekerja untuk suatu waktu tertentu, untuk kesehatn, berlibur dan lain sebagainya. Selain itu tentu saja perlu diperhatikan pula cara bagaimana diciptakan iklim agar perasuransian dapat berkembang secara wajar. Di sinilah perlu adanya pengaturan bidang usaha asuransi yang menetapkan strujtur permodalan, bentuk-bentuk perusahaan yang diperkenankan menjalankan 1

Hukum Asuransi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hukum Asuransi

RESENSI BUKU

DJOKO PRAKOSO,.S.H., HUKUM ASURANSI INDONESIA., PENERBIT PT

BINA AKSARA., JAKARTA.,CETAKAN PERTAMA., 1987

Dengan dimensi perekonomian dunia yang demikian maju, maka sejalan dengan

usaha pemerintah untuk membangun ekonomi nasional, perlu dihidupkan

jiwa,”Businesssmindedness” pada bangsa kita. Dalam keadaan sumber daya yang

terbatas dan peranan industri yang semakin besar dalam pembangunan ekonomi, maka

pembinaan jiwa usaha diarahkan kepada usaha-usaha produksi dan jasa.

Pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat dalam suatu negara yang sedang

membangun, mendorong pemikiran utnuk meningkatkan peranan “Social Insurance” atau

“Sociale verzekering”. Oleh karena di sini yang membayar premi ialah para pegawai dan

buruh, maka perlu diatur sedemikian rupa agar dana yang diperoleh benar-benar

dimanfaatkan bagi jaminan kesejahteraan mereka, baik untuk menjamin bilamana karena

sesuatu hal yang sah menurut undang-undang si pegawai negeri atau buruh itu tidak dapat

bekerja untuk suatu waktu tertentu, untuk kesehatn, berlibur dan lain sebagainya.

Selain itu tentu saja perlu diperhatikan pula cara bagaimana diciptakan iklim agar

perasuransian dapat berkembang secara wajar. Di sinilah perlu adanya pengaturan bidang

usaha asuransi yang menetapkan strujtur permodalan, bentuk-bentuk perusahaan yang

diperkenankan menjalankan usaha asuransi serta segi-segi lain yang di satu pihak

mendorong perkembangan perasuransian, namun di lain pihak usaha asuransi tidak

merupakan usaha berselimut guna mengumpulkan dana dari masyarakat tetapi tidak

digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.

1

Page 2: Hukum Asuransi

2

Page 3: Hukum Asuransi

BAB 1

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ASURANSI

1. Batasan Asuransi

“VERZEKERING” (Bahasa Belanda) disebut pula dengan Asuransi dan juga dapat

disebut pertanggungan , yang mana di dalam Asuransi terdapat 2 pihak yang terlibat

antara lain: yang satu sanggup menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan

mendapat penggantian suatu kerugian yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari

suatu peristiwa yang semula belum ditentukan saat akan terjadinya.

Suatu kontrak prestasi dari pertanggunagn ini, pihak yang ditanggung itu, diwajibkan

membayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggung. Uang tersebut akan tetap

menjadi milik pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa yang

dimaksudkan itu tidak terjadi.

Di dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang terdapat tiga unsur dalam

asuransi antara lain:

1.) Pihak tertanggung yang mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada

pihak penanggung, sekaligus atau dengan berangsur-angsur.

2.) Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada

pihak tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila maksud unsur ke 3

berhasil.

3.) Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi.

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro Asuransi masuk golongan persetujuan

untung-untungan, karena persetujuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang

hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak,

bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.dan lebih jelas lagi tertera disuatu kitab

Undang-undang Hukum Perdata yang mana tercantum pada pasal 1774, tentang

persetujuan untung-untungan.

2. Perbedaan Asuransi dengan Bunga untuk Selama Hidup Seseorang (Liffrente)

Di dalam pasal 1775 K.U.H. Perdata menyebutkan bahwa bunga cagak hidup dapat

dilahirkan dengan suatu persetujuan atas beban, atau dengan suautu akte hibah. Dapat

3

Page 4: Hukum Asuransi

diartkan bahwa bunga untuk selama hidup seseornag adalah suatu hubungan hukum

antara A dan B, si A wajib membayar kepada si B pada tiap-tiap waktu tertentu, apabila

si A si B atau si C itu meninggal dunia. Yang sebaiknya dibanding dengan ini, ialah

Asuransi jiwa, yang mewajibkan si penjamin A membayar sejumlah uang kepada si B,

apabila seorang C meninggal dunia.

3. Perbedaan Asuransi dengan Judi dan Taruhan

Secara lengkap terdapat pada pasal 1788 K.U.H. Perdata berbunyi sebagai

berikut:”Undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu

utang yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan”.

Usaha pembentuk Undang-undang di dalam menanggulangi atau mencegah adanya

perjudian atau pertaruhan yang berlatar belakang asuransi ini, telah menciptakan pasal

254 KUHD ialah “ Apabila pda waktu mengadakan suatu pertanggungan atau selama

berlangsungnya perjanjian itu, suatu pihak menyatakan melepaskan hal-hal yang oleh

ketentuan Undang-undang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian pertanggungan,

atau pun hal-hal yang dengan tegas telah dilarang, maka pernyataan yang demikian itu

adalah batal”.

4. Pengaturan Asuransi

Hukum Asuransi pada umumnya diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Dagang (K.U.H.D). Buku I titel 9 dan 10 dan Buku II titel 9 dan 10 dengan perincian

sebagai berikut :

1) Buku I titel 9 : mengatur Asuransi Kerugian pada umumnya.

2) Buku I titel 10 : mengatur Asuransi terhadap bahayanya kebakaran,

terhadap bahaya yang mengancam asil pertanian di sawah

dan tentang Asuransi jiwa.

3) Buku II titel 9 : mengatur Asuransi terhadap bahaya-bahaya Laut dan

bahaya-bahaya perbudakan.

4) Buku II titel 10 : mengenai pengangkutan di daratan dan disungai-sungai

serta perairan pedalaman

4

Page 5: Hukum Asuransi

5. Tujuan dari Asuransi

Menurut Prof.Ny.Emy Pangaribuan Simanjuntak, SH Asuransi itu mempunyai tujuan

pertama-tama ialah : mengalihkan segala risiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa

yang tidak dapat diharapkan terjadinya itu kepada orang lain yang mengambil risiko itu

untuk mengganti kerugian.

Perjanjian Asuransi itu mempunyai tujuan untuk mengganti kerugian pada

tertanggung jadi tertanggung harus dapat menunjukkan bahwa dia menderita kerugian

dan benar-benar menderita kerugian. Di dalam Asuransi itu setiap waktu selalu dijaga

supaya jangan sampai seorang tertanggung yang hanya bermaksud menyingkirkan suatu

kerugian saja dan mengharapkan suatu untung menikmati .

Asuransi itu dengan cara memakspekulasi, yang penting ialah bahwa tertanggung

harus mempunyai kepentingan bahwa kerugian untuk mana ia mempertanggungkan

dirinya itu tidak akan menimpanya.

5

Page 6: Hukum Asuransi

BAB II

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP ASURANSI

1. Pandangan Umum

Usaha-usaha Asuransi itu mengandung harapan yang sifatnya positif bagi

pembangunan di negara kita apabila perusahaan-perusahaan pertanggungan yang

sedemikian banyaknya sekarang tidak berusaha dengan jujur dan sadar akan arti bahwa

pembangunan itu adalah untuk kesejahteraan merata utnuk masyarakat, maksudnya

adalah mengenai faktor penghalang dari pihak penanggung sendiri seperti kejujuran

menghadapi klain, servis yang baik dan lain sebagainya.

Harapan-harapan yang positif terkadung dalam usaha pertanggungan itu, juga baru

dapat tercapai apabila dari masyarakat itu sudah tumbuh kesadaran kepentingan

berasuransi, disamping sebagai alat yang menghimpun dana pembangunan maka usaha

perasuransian itu dapat juga dilahat memafaatnya sebagai salah satu alat yang

memberikan jaminan bagi kelangsungan usaha-usaha besar yang pada suatu ketika

menagalami kerugian sebagai akibat dari suatu peristiwa yang menimpa perusahaan

tersebut.

Harapan yang merupakan segi positif dari usaha pertanggungan itu dapat dijelamakan

sebagai berikut: bahwa usaha asuransi itu berarti memasukkan premi yang kemudian

merupakan suatu dana. Dana yang tersimpan dalam waktu beberapa lama di dalam

perusahaan dapat dipergunakan oleh perusahaan dapat dipergunakan oleh perusahaan

tersebut untuk membiayai suatu usaha yang mendatangkan keuntungan baginya

disamping membantu masyarakat meningkatkan usaha-usaha dengan memberikan modal

atau kredit untuk jangka pendek atau jangka panjang.

Penanggung mempunyai perana besar dalam usaha melanjutkan kelangsungan usaha-

usaha atau pabrik-pabrik atau benda-benda yang sangat penting artiya bagi masyarakat.

2. Pengertian

a. Kebutuhan mengatasi Risiko

Seorang manusia dalam dalam suatu masyarakat, sering menderita kerugian akibat

suatu peristiwa yang tidak terduga semula, misalnya rumahnya terbakar, barang-

barangnya dicuri, tabrakan, mendapatkan kecelakaan dalam perjalan di darat, di laut dan

6

Page 7: Hukum Asuransi

di udara, tanah dengan penuh tanaman kebanjiran air bah. Jadi manusia yang menghadapi

kemngkinan akan kehilangan tempat kediamannya, orang yang barang-barang

pakaiannya di curi semua, akan hampir telanjang, orang yang tanamnnya musnah akibat

banjir, akan jatuh miskin.

Sebagaimana telah kita lihat dalam uraian di muka bahwa”kemungkinan kehilangan

atau kerugian” yang dihadapi manusia dapat dihadapi dengan beberap sikap antara lain:

1) mencegah kemungkinan kehilangan itu supaya tidak terjadi dengan segala daya

upaya.

2) sikpa pasrah, sikap menerima.

Dengan cara berasuransi maka orang yang menghadapi risiko atas harta kekayaanya

bermaksud utnuk mengalihkan risikonya itu atau setidak-tidaknya membagi risiko itu

dengan pihak lain yang bersedia menerima peralihan atau pembagian risiko tesebut.

Usaha-usaha memperalihkan risiko ini baru kemudian dirasakan menemui sasarannya

setelah tujuan memperalihkan risiko itu dilakukan melalui suatu perjanjian yang khusus

diadakan untuk itu yaitu Perjanjian Pertanggungan.Dengan demikian dapatlah dikatakan

bahwa orang akan mengadakan atau menutupi suatu perjanjian peratanggungan apabila ia

bermaksud atau mempunyai suatu tujuan untuk mengalihkan risiko dan atau membagi

risiko yang dihadapinya atas harta kekayaannya kepada pihak lain.

b. Pengertian Ekonomis

Mengalihkan risko yang sangat besar kadang-kadang hanya mungkin apabila

dibarengi dengan adanya penyebaran atau pembagian risiko, ini dapat terjadi apabila:

1) Risiko yang benar-benar menjadi kenyataan itu oleh penanggung yang sama

disebarkan yang sama disebarkan atau dibagi-bagikan menjadi beban bagi para

tertanggungnya. Ini mungkin dilaksanakan karena tidaklah selalu bahwa risiko itu

menjadi suatu kenyataan pada waktu yang bersamaan pada setiap tertanggung

sehingga memungkinkan risiko dari orang tertanggung secara bersama oleh

semua tertanggung lainnya.

2) Oleh karena risiko yang diperalihkan kepada penanggung itu sangat besar

sehingga penanggung itu secara sendirian tidak mampu menanggungnya dan

karena itu membagi-bagi risiko itu dengan penanggung lain. Inilah yang di dalam

praktek terjadi dengan atau dikanal dengan reasuransi = co-insurance

7

Page 8: Hukum Asuransi

3) Juga dapat terjadi pembagian atau penyebaran risiko ini dengan herverzekering

yaitu bahwa penanggung mempertanggungkan tanggung jawabnya atas risiko

yang diterimanya kepada penanggung lain.

Apabila kita melihat dua unsur atau faktor yang ada pada perjanjian pertanggungan

seperti di atas yaitu unsur peralihan risiko dan penyebaran risiko dalam hubungannya

dengan pertanggungan jiwa maka kita akan melihat bahwa kedua unsur itu akan tidak

begitu menonjol. Sebab pada pertanggungan jiwa pengertian ekonominya tidaknlah

begitu menonjol dan sebagai penggantinya yang kelihatan ialah sifat jaminan sosialnya.

Sebagai imbalan dari peralihan risiko ini maka di dalam setiap perjanjian

pertanggungan, pembayaran premi itu adalah keharusan. Premi itu adalah menjadi

kewajiban bagi tertanggung dan menjadi hak dari penanggung.

8

Page 9: Hukum Asuransi

BAB III

SIFAT ASURANSI SEBAGAI GEJALA HUKUM

1. Pengertian Berdasarkan KUH Perdata

Dapat dikatakan, bahwa asuransi atau pertanggungan selaku gejala hukum di

Indonesia, baik dalam pengertian maupun dalam bentuknya yang terlihat pada waktu

sekarang ini berasal dari hukum Barat.

Pengusaha Negeri Belandalah yang mengimpor asuransi selaku bentuk hukum

(rechsfiguur) di Indonesia dengan secara mengundangkan Burgelijk Wetboek van

Koophandel, dengan satu pengumuman (publikasi) pada tanggal 30 April 1847, dan

termuat dalam staatsblad 1847 N.23.

Berdasarkan ketentuan pasal 1774 ayat 2 KUH Perdata perjanjian Asuransi itu

dimasukkan menjadi salah satu jenis dari kansoveren komst atau Perjanjian Untung-

untungan disamping lijferente (bunga cagak hidup) dan pertaruhan dan pejudian.

Pada umumnya para penulis berpendapat bahwa penggolongan atau pemasukkan

perjanjian asuransi ke dalam Kansovereen Komst adalah kurang tepat, sebab di dalam

perjanjian menjalani suatu kesempatan atau kemungkinan untung-untungan di mana

prestasi secara timbal balik tidak seimbang.

Di dalam asuransi adalah merupakan hal yang esensial bahwa tertanggung telah

mempunyai atas peristiwa yang tidak terteuntu itu untuk tidak terjadi, di luar atau

sebelum ditutup perjanjian asuransi itu sendiri. Karena kepentingan itu ada maka ia

mengadakan perjanjian asuransi untuk mengamankan dia sendiri dari derita rugi.

2. Pengertian menurut pasal 246 KUHD

Pasal 246 KUHD dikenal sebagai pasal yang memberi defenisi mengenai perjanjian

asuransi. Menurut pasal asuransi adalah suatu perjanjian, di mana penaggung dengan

menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari

kerugian karena kehilangan kerugian atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan yang

akan dapat diderita olehnya karena suatu kejadian yang tidak pasti.

Akhirnya dari pasal 246 KUHD itu menurut Prof. EMMY PANAGRIBUAN

SIMANJUNTAK, SH, sifat-sifat asuransi adalah dapat diuraikan seperti di bawah ini:

9

Page 10: Hukum Asuransi

1) Bahwa asuransi itu pada asasnya adalah suatu perjanjian kerugian

(schadevergoeding atau indemniteitscontract) dalam hal ini jelas bahwa

penanggung mengikat diri untuk mengganti kerugian karena pihak tertanggung

menderita kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang

sungguh-sungguh diderita(prinsip indemniteit)

2) Bahwa asuransi itu adalah suatu perjanjian bersyarat artinya bahwa kewajiban

mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang

tertentu atau mana diadakan asuransi itu terjadi. Jadi pelaksanaan kewajiban

mengganti rugi digantungkan pada satu syarat.

3) Asuransi adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya bahwa kewajiban

penanggung mengganti rugi dihadapkan dengan kewajiban tertanggung

membayar premi walaupun dengan pengertian bahwa kewajiban membayar

premi itu tidak bersyarat atau tidak digantungkan pada satu syarat.

Di luar sfat yang terkandung dalam pasal 246 KUHD masih ada sifat lain yang dapat

dikemukakan mengenai asuransi itu dan sifat-sifat ini terdapat di dalam beberapa pasal di

dalam beberapa pasal di dalam KUHD seperti:

a. Bahwa perjanjian asuransi itu adlah suatu perjanjian konsensial, artinya dapat

diadakan sah hanya berdsarkan persesuaian kehendak (kata sepakat) antara pihak-

pihak tanpa perlu terikat pada suatu bentuk.

b. Bahwa dalam asuransi itu unsur”utmost good faith” atau byzondere

vertrouwenskarakter memegang peranan penting sekali. Tertanggung harus bisa

percaya bahwa penanggung tidak akan mengelak atau mungkir dengan macam-

macam dalih untuk mengganti rugi apabila nanti peristiwa itu akan timbul dan dia

menderita rugi.

c. Bahwa di dalam perjanjian asuransi itu pada tertanggung harus melekat sifat

sebagai orang yang mempunyai kepentingan (interest) atas peristiwa yang tidak

tertentu artinya bahwa sebagai akibat dari peristiwa itu dia dapat menderita

kerugian.

Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, SH tetap sifat asuransi sebagai gejala hukum

(prinsipnya hampir sama dengan pendapat Prof Emmy), ke dalam 5 (lima) sifat, yaitu:

1) Sifat persetujuan,

10

Page 11: Hukum Asuransi

2) Sifat timbal balik (wederkerig),

3) Sifat konsensual

4) Sifat perkumpulan, dan

5) Sifat perusahaan

Setelah apa yang telah dipaparkan di atas maka dapat dirinci lag yang mana ruang

lingkup dari Hukum Asuransi itu secara wetenschappelijk dapat dibagi :

1) Hukum Asuransi yang dipreuntukkan atau mengatur semua jenis asuransi

kerugian (Schadeverzekeringgsrecht).

2) Hukum Asuransi yang diperuntukkan ataua mengatur semua jenis asuransi

sejumlah uang. Hukum Asuransi Kerugian meliputi atau hanya mengatur

penggantian kerugian dari suatu kerugian yang dapat dinilai dengan uang, ganti

rugi mana harus seimbang dengan kerugian yang diderita dan kerugian itu adalah

sebagai akibat dari peristiwa utnuk mana diadakan asuransi

Penentuan ruang lingkup dari asuransi yang erat hubungannya dengan jenis-jenis

asuransi itu sendiri dapat kita lihat pengaturannya di dalam pasal 247 KUHD yang

menyebut bahwa pertanggungan-pertanggungan anatara lain dapat mengenai pokok:

“Bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil pertanian di sawah, jiwa dari

seserang atau lebih, bahaya-bahaya lautan bahaya-bahaya perbudakan, bahaya-bahaya

pengangkutan di darat dan di sungai-sungai serta di perairan di pedalaman.

Akan tetapi penentuan seperti dalam pasal 247 itu secara yuridis adalah tidak

membatasi atau menghalangi timbulnya jenis-jenis asuransi lain menurut kebutuhan

masyarakat. Hal ini dapat kita dasarkan pada kata-kata “antara lain” yang terdapat di

dalam pasal 247 itu. Dengan demikian sifat dari pasal 247 hanyalah menyebut beberapa

contoh saja atau sifatnya pasal tersebut adalah humeratif. Dengan demikian para pihak

dapat juga memperjanjikan adanya asuransi bentuk lain.

Di negara Belanda di dalam praktek terdapat juga pembagian bentuk asuransi atas 4

golongan yaitu:

a. Asuransi Jiwa.

b. Asuransi Kebakaran.

c. Asuransi Pengangkutan

d. Asuransi Varia

Di samping 4 golongan diatas masih dikenal juga Asuransi Sosial.

11

Page 12: Hukum Asuransi

BAB IV

LATAR BELAKANG ATAU SEJARAH TIMBULNYA ASURANSI

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH sejarah lahirnya Asuransi dapatlah kita

bagi dalam 5 periode, ialah:

1. Zaman Kebesaran Yunani,

2. Zaman Kebesaran Kerajaan Romawi,

3. Zaman Abad pertengahan.

4. Zaman sesudah abad pertengahan sampai sekarang,

5. Zaman Kodifikasi Prancis.

1. Zaman Kebesaran Yunani

Menurut Mr. H.J Scheltema dalam bukunya “ Verzekeringrech”, ada seorang Menteri

Keuangan bernama Antinemes, yang pada suatu waktu sangat kekurangan uang, pada

waktu itu, ada beberapa budak belian berkumpul di suatu tempat yang berada di bawah

kekuasaan Tentara. Budak-budak belian ini kepunyaan beberapa orang kaya, untuk

mendapat uang yang dibutuhkan itu, Menteri Keuangan tersebut mengusulkan kepada

para pemilik budak-budak belian itu, agar mereka mendaftarkan budak-budaknya.

Dan membayar kepada Antinemes sejumlah uang setiap tahun, dengan perjanjian,

bahwa apabila seorang budak melarikan diri Antinemes akan meminta kepada Kepala

Daerah untuk menangkap budak itu atau utnuk membayarkan kepada si pemilik harga

jual beli dari budak tersebut.

Dengan demikian, Antinemes ternyata menerima sejumlah besar uang yang seperti

uang premi dalam Asuransi, dan ia mendapat uang yang ia butuhkan pada waktu itu,

Tetapi sebaliknya, ia memikul risiko, bahwa dikemudian hari ia mungkin harus

membayar kepada seorang pemilik budak sejumlah uang jual beli budak yang melarikan

diri, perjanjian ini pokoknya memang sama dengan perjannjian asuransi atau

pertanggungan.

Zaman Kebesaran Kerajaan Romawi

Dari zaman ini, Scheltema menyebutkan beberapa buku tentang sejarah Romawi,

antara lain tentang sejarah Romawi, antara lain yang di tulis oleh Cicero dan Livius,

12

Page 13: Hukum Asuransi

menurut Scheltema, buku-buku tersebut menggambarkan adanya pelbagai perjanjian

yang mengandung unsur-unsur asuransi ganti kerugian, tetapi tidak dapat dikatakan sama

dengan asuransi itu.

Sebaliknya, Scheltema melihat pelbagai perjanjian yang banyak persamaannya

dengan asuransi sejumlah uang, oleh Scheltema disebutkan adanya suatu perkumpulan

(collegium), yang dinamakan collegium cultorum et Dianae et Antinoi. Dalam

perkumplan ini, para anggota membayar uang pangkal sebesar 100 ases dan uang iuran

sebesar 5 ases sebulan. Apabila seorang anggota meninggal dunia, kepada para ahli waris

dibayar 300 sesterti utnuk biaya penguburan.

Scheltema menyebutkan juga adanya suatu perkumpulan yang dinamakan collegium

Lambaesis. Dalam perkumpulan ini setiap anggota juga harus membayar uang pangkal

dan uang iuran setiap bulan, dengan penetapan, bahwa bila seorang anggota dalam dinas

ketentaraan dinaikkan pangkatnya, kepadanya akan diberi uang sejumalh 500 dinar. Ini

dimaksudkan untuk biaya pesta-pesta yang diadakan dalam rangka merayakan kenaikkan

pangkat tadi.

Juga ditetapkan, bahwa apabila seorang anggota dalam ketentaraan dipindahkan ke

lain tempat, kepadanya diberikan uang sejumlah 500 dinar ditambah dengan 200 dinar

untuk biaya pengangkutan ke tempat baru itu. Apabila seorang anggota meninggal dunia,

kepada para ahli waris diberi uang sebesar 500 dinar.

Dua perkumpulan tadi, mirip sekali dengan suatu asuransi jiwa secara saling

menjamin (onderlinge levensverzekering).

Zaman Abad Pertengahan

Menurut Scheltema (halaman 15) kira-kira pada tahun 900 di Exeter, Negeri Inggris,

ada kebiasaan di antara para anggota suatu “gilde” (perkumpulan orang-orang yang sama

pekerjaannya, seperti para tukang batu, para tukang kayu, para pembikin roti dan lain-

lain) dijanjikan, bahwa bila rumah salah seorang anggota terbakar, kepadanya diberikan

sejumlah uang dari dana kepunyaan gilde itu.

Asuransi kebakaran ini, menurut Scheltems, juga telah ceritakan terdapat pada tahun

1118 di Iceland dan pada tahun 1240 di Vlaanderen. Pun di Denmark, di Sleeswijk

(Jerman) dikabarkan atau lain-lain kecelakaan di antara orang banyak.

13

Page 14: Hukum Asuransi

Menurut Molengraaf dan Noslst Ternite menyatakan bahwa dalam abad ke-13 dan

ke-14 mulailah ada dan berkembang asuransi pengangkutan di laut, gejala ini ada

hubungan erat dengan temapt berkembangnya perdagangan melalui laut pada waktu itu,

yang dimulai di Lautan Tengah setelah diadakan “Kruistochten” yaitu Pengiriman

tentara-tentar dari pelbagai Negara di Eropa barat utnuk membebaskan Jerusalem, tanah

suci umat kristen, dari suatu pengusaan oleh penguasa yang beragama lain.

Bentuk pembagian risiko itu, dapat berupa bermacam cara seperti; para pemilik kapal

dan para pengangkut barang, meminjam uang dari orang lain utnuk membiayai kapal dan

pengangkutan barang-barang itu, dengan janj, bahwa uang pinjaman itu tidak perlu

dibayar kembali, apabila kapal dan barang-barang angkutan musnah di tengah-tengah

laut. Sebaliknya uang pinjaman ini harus dikembalikan, dan biasanya ditambah dengan

bunga apabila kapal dan barang-barang angkutan terhindar dari malapetaka.

Berhubung dengan larangan riba oleh Agama Islam, maka diadakanlah bentuk yang

mirip dengan asuransi, yaitu uang yang diperlukan oleh pemilik kapal atau si pengangkut

barang-barang, tidak dibayarkan di depan sebagai uang pinjaman, melainkan akan

dibayarkan apabila kapal dan barang-barang musnah ditengah-tengah laut. Sedangkan

pada permulaan berlayar si pemilik kapal dan si pengangkut barang-barang harus

membayar kepada si pemilik uang sejumlah uang, yang akan tetap menjadi hak si pemilik

uang. Apabila selamat, tanpa ada malpetaka apa-apa, uang ini menjadi sperti uang premi

dalam asuransi.

Zaman Sesudah Abad Pertengahan Sampai Sekarang.

Pada penghabisan abad-abad pertengahan dan sesudahnya ternyata asuransi laut

berkembang cepat, sehingga menjadi hal yang biasa di Eropah Barat, Lama kemudian,

baru menyusul perkembangan asuransi kebakaran. Menurut Nolst Trenite bahwa asuransi

kebakaran ini mulai diadakan di Negara Inggris pada penghabisan abad ke-17 dan suatu

abad kemudian barulah menyusul di Negeri Prancis dan Negeri Belanda.

Zaman Kodifikasi Prancis

Seperti diketahui, di Negeri Prancis kodifikasi hubungan Perdata dan Hukum Dagang,

diselenggarakan oleh kaisar Napoleon, dan dimuat dalam dua kitab, yaitu Code Civil dan

Code de Commerce, ini terjadi pada permulaan abad ke-19, pada waktu itu dalam Code

de Commerce hanya termuat pasal-pasal mengenai asuransi laut.

14

Page 15: Hukum Asuransi

Dalam rancangan undang-undang yang diadakan di Negeri Belanada utnuk kitab

Hukum Dagang, juga hanya termuat peraturan tentang asuransi laut. Baru dalam

rancangan Undang-undang, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan dalam tahun

1838, termuat peraturan-peraturan mengenai asuransi kebakaran, asuransi hasil bumi dan

asuransi jiwa.

Dari adanya faktor-faktor yang menuju kepda pengertian pertanggungan kebakaran,

kemudian kita lihat adanya kemajuan ke arah faktor yang mengandung pengertian

pertanggungan atas penganggkutan di laut, terasa pada abad pertengahan lebih pesat dari

perkembangan pertanggungan kebakaran. Perhubungan melalui laut yang semakin pesat

padat pada waktu itu di antara negara-negara merupakan suatu faktor pendorong kearah

perkembangan laut ini.

15

Page 16: Hukum Asuransi

BAB V

TERJADINYA PERJANJIAN ASURANSI

1. Jenis-jenis Asuransi

Kitab Undang-undang Hukum Dagang di dalam pasal 247 menyebutkan tentang 5

(lima) macam asuransi, antara lain;

1) Asuransi terhadap kebakaran,

2) Asuransi terhadap bahaya hasil-hasil pertanian,

3) Asuransi terhadap kematian orang (asuransi jiwa),

4) Asuransi terhadap bahaya di laut da perbudakan

5) Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di darat dan di sungai-sungai.

Buku I KUHD mengatur tentang jenis asuransi yang pertama, nomor 2 dan 3 di atas,

sedangkan jenis asuransi yang ke-4 dan 5 diatur di dalam Buku II KUHD. Selanjutnya

untuk dapat melihat terjadinya dan cara mengadakan asuransi kita dapat melihat di dalam

pasal 225 KUHD, dengan pasal ini dapatlah ditentukan bahwa semua asuransi harus

dibentuk secara tertulis dengan suatu akta yang dinamakan polis.

Adapun di dalam KUH Perdata, dalam beberapa pasalnya mengenai suatu tulisan

tertentu sebagai syarat mutlak bagi beberapa persetujuan tertentu, misalnya:

a) Pasal 147 : Perjanjian perkawinan harus diadakan dengan akta notaris.

b) Pasal 613 : Persetujuan utnuk mengalihkan suatu piutang (cessie) harus

diadakan dengan akta notaris atau akta di bawah tangan.

c) Pasal 1171 : Hipotik harus dibentuk dengan akta notaris

d) Pasal : Penghibahan (schenking) harus dilakukan dengan akta notaris.

e) Pasal 1851 : Persetujaun perdamaian (dading) harus diadakan secara tertulis.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang dalam beberapa pasal juga mengenal tulisan

tertentu sebagai syarat mutlak bagi beberapa persetujuan tertentu, misalnya:

a) Pasal 38 : Perseroan terbatas (Naamloze Venootschap, harus didirikan

dengan akta notaris

b) Pasal-pasal 100, 174, 178,,229 dan seterusnya : untuk pembentukan wesel, aksep,

cek, kwitansi untuk pembawa, harus ada tulisan yang berbentuk tertentu.

c)

16

Page 17: Hukum Asuransi

2. Tulisan Tertentu Sebagai Syarat Mutlak

Bagi persetujuan-persetujuan tersebut diatas, adalah syarat mutlak, adanya tulisan

berbentuk tertentu, kalau tulisan seperti itu tidak ada, maka tidak ada juga persetujuan-

persetujuan itu, mungkin ada juga persetujuan, tetapi persetujan itu bukan persetujuan

yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, melainkan sekedar persetujuan untuk mengadakan

persetujuan tertentu.

Untuk membuktikan adanya persetujuan asuransi, harus bukti tertulis, tetapi alat-alat

bukti lain juga diperbolehkan, asal sudah ada permulaan pembuktian dengan tulisan,

namun janji-janji dan syarat-syarat khusus, bila ada persengketaan dalam tenggang waktu

antara pembentukan asuransi dan penyerahan polis, dapat dibiktikan dengan semua alat-

alat bukti, dengan pengertian bahwa beberapa syarat-syarat tertentu yang menurut

undang-undang harus secara mutlak dimuat dalam polis, hanya dapat dibuktikan secara

tertulis.

Dari pasal-pasal 255, 257 dan 258 KUHD tersebut di atas, dapat disimpulkan:

a) Persetujuan asuransi pada hakikatnya bersifatnya konsensual, yang artinya setela

ada kata kata sepakat antara kedua belah pihak untuk mengadakan asuransi, maka

terbentuklah persetujuan asuransi itu, tetapi

b) Tulisan polis mempunyai sifat khusus, yang berlainan dengan tulisan-tulisan lain

sebagai alat bukti, karena adanya hal-hal yang secara mutlak harus dimuat dalam

polis itu.

3. Persamaan dan Perbedaan Antara Asuransi dengan Persetujuan Jual Beli.

Mengenai persamaan antara persetujuan jual beli dengan asuransi dapatlah diuraikan

sebagai:

Persetujuan jual beli ada, apabila ada kata sepakat antara si penjual dan si pembeli,

bahwa si penjual berjanji menyerahkan barang itu untuk dimiliki oleh si pembeli, dan si

pembeli berjanji untuk membayar uang harganya, begitupun persetujuan asuransi ada,

apabila ada kata sepakat antara si penjamin dan si terjamin, bahwa si penjamin berjanji

akan menyerahkan polis kepada si terjamin.

Dan si terjamin berjanji akan membayar uang premi kepda si penjamin, dan janji-

janji lainnya yang sudah dimufakaati oleh kedua belah pihak, termuat semua dalam polis

17

Page 18: Hukum Asuransi

itu, di dalam surat polis hanya satu pihak saja yang menyatakan berjanji yaitu si penjamin

untuk lebih jelas kita lihat saja pada pasal 256 ayat penghabisan dari W.V.K

4. Penandatanganan dan Penyerahan Polis

Penanggung berdasarkan perikatannya yang timbul dari perjanjian Asuransi itu

adalah wajib untuk menandatangani polis, yang ditawarkan kepdanya di dalam waktu

tertentu dan menyerahkan kembali kepada tertanggung, dan mengenai waktunya adalah

telah ditentukan oleh undang-undang itu sendiri. Apabila perjanjian asuransi itu

langsunmg diikat antara penanggung sendiri dengan tertanggung atau oleh orang yang

diberi wewenang untuk itu, maka polis ditandatangani dan diserahakan kembali oleh

penanggung di dalam waktu 24 jam setelah penawaran (pasal 259 KUHD).

Berhubung dengan macam-macam sebab, misalnya persoalan administrasi dan masih

menunggu keterangan-keterangan yang lebih lanjut diperlukan bagi pengisian polis itu,

waktu polis tersebut baru dapat diselasaikan kemudian dalam tenggang yang lebih lama

dari jam dan 8 hari, itu berarti juga bahwa penyerahan polis itupun kepada tertanggung

adalah lebig lama lagi.

Polis sebagai alat bukti juga mempunyai tempat tertentu atau khusus, nyatanya polis

itu di dalam bidang pembuktian perjanjian asuransi bukanlah merupakan satu-satunya

alat bukti. Aturan undang-undang mengenai polis sebagai alat bukti surat yang paling

utama diinginkan, mengenai pembuktian perjanjian asuransi itu khusus diatur di dalam

satu pasal yaitu di dalam pasal 258 KUHD.

Dari penjelasan pasal 258 KUHD yang isinya dapat disimpulkan bahwa tentang alat

bukti yang dipakai tertanggung dapatlah diambil suatu kesimpulan yang mana antara lain:

Si penanggung mengenai alat pembuktian yang akan dipakainya adalah seluruhnya

terserah kepada pilhannya baik di dalam periode pertama maupun di dalam periode

kedua. Dia dapat membuktikan dengan tulisan yaitu surat-surat, dapat memakai catatan-

catatan makelar, pembukuan, akan tetapi juga dengan sanksi-sanksi.

5. Isi Polis

Isi polis untuk semua asuransi dapat kita lihat di dalam pasal 256 KUHD, yang

mengatakan bahwa surat polis bagi segala macam asuransi harus memuat :

1) Hari ditutupnya asuransi

2) Nama orang yang menutup asuransi atas tanggungan sendiri atas tanggungan

18

Page 19: Hukum Asuransi

orang ketiga,

3) Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang di asuransikan,

4) Jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi,

5) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung,

6) Saat pada saat mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si penanggung dan

saat berakhirnya itu,

7) Premi pertanggungan tersebut, dan

8) Pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si penanggung untuk

diketahuinya dan segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak.

6. Hal-hal yang mutlak Harus dimuat Dalam Polis Menurut Prof.Dr. Wirjono

Prodjodikoro

Sifat khusus dari polis, adalah mengenai hal-hal yang secara mutlak harus dimuat dalam

polis yang berarti, apabila hal-hal itu tidak dimuat, persetujuan asuransi itu batal. Hal-hal

tersebut adalah sebagai berikut:

a) Menurut pasal 271 W.v.K pihak penjamin dapat menyuruh barang-barang yang ia

jamin itu, supaya dijamin lagi oleh penjamin lain (reasuransi), sedangkan menurut

pasal 272 ayat 1, apabila orang terjamin selaku akibat pemberhentian asuransi

dengan perantaraan hakim, membebaskan pihak penjamin dari kewajiban-

kewajibannya untuk waktu yang akan datang, maka si terjamin itu leluasa untuk

menyuruh menjamin kepentingannya untuk yang sama dan terhadap bahaya-

bahaya yang sama.

Kalau ini terjadi, maka dalam polis baru harus disebutkan adanya asuransi yang

lama itu, dan lagi pemberhentian asuransi dengan perantaraan Hakim. Maka

menurut pasal 271 ayat 2, asuransi yang baru itu batal.

b) Pasal 280 ayat 1 W.v.K membuka kemungkinan, dalam hal suatu barang sudah

dijamin untuk nilai harga penuh, si terjamin leluasa menyuruh menjamin lagi

barang-barang itu, dengan pengertian. Bahwa ia dalam asuransi yang baru itu

hanya dapat ganti kerugian, apabila kerugiannya belum diganti sepenuhnya pada

asuransi yang lama.

19

Page 20: Hukum Asuransi

Kalau ini terjadi, maka menurut pasal 280 ayat 2 dalam polis asuransi yang baru

itu, harus dimuat janji-janji yang termuat dalam polis asuransi yang lama. Kalau

ini dilalaikan, maka asuransi yang baru itupun batal.

c) Pasal 603 ayat 1 W.v.K membuka kemungkinan orang menjamin keselamatan

barang-barang yang diangkut oleh kapal yang sudah berangkat berlayar, dalam

hal ini, menurut pasal 602 ayat 2, dalam polis harus dimuat kabar terakhir yang

diterima oleh si terjamin dari kapal itu. Kalau penyebutan kabar terakhir ini tidak

ada, maka persetujuan asuransi itu batal.

d) Pasal 606 ayat 1 W.v.K mengatakan, suatu asuransi batal, apabila didakan

terhadap kapal yang belum sampai pada tempat, dari mana mulai diadakan

jaminan, kecuali jika hal itu disebutkan dalam polis

e) Pasal 615 ayat W.v.K memungkinkan asuransi terhadap suatu keuntungan yang

diharapkan. Hal ini harus dijelaskan dalam polis dengan disebutkan secara khusus

barang-barang yang bersangkutan. Kalau penyebutan ini diabaikan, maka asuransi

ini batal.

7. Jenis-jenis Asuransi Kerugian yang Umum digunakan di Indonesia.

a. Polis Asuransi Kebakaran

1) Polis Kebakaran Indonesia

2) Polis Bursa Amsterdam / Polis Bursa Rotterdam

3) Polis F.O.C (Fire Offices Committee / Foreign)

b. Polis Asuransi Pengangkutan (Cargo dan Casco)

1) Marine Cargo Policy (Indonesia)

2) Polis Bursa

3) Polis Maskapai

4) Polis Pertanggungan Rangka Kapal

c. Polis Asuransi Varia

1) Polis Kendaraan Bermotor

2) Polis Pertanggungan berdasarkan Undang-undang Kecelakaan Tenaga Kerja 1947

3) Polis Kecelakaan Pribadi

4) Polis-polis lain, disamping polis 1,2 dan 3 masih ada polis dalam bidang asuransi

Varia yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi Varia yang dikeluarkan oleh

20

Page 21: Hukum Asuransi

perusahaan asuransi dan tidak bersifat seragam, umpama polis pertanggungan

pencurian, polis cash in transit dan sebagainya.

21

Page 22: Hukum Asuransi

BAB VI

OBJEK, SUBYEK DAN KEPENTINGAN DALAM ASURANSI

1. Objek Asuransi

a. Objek Perjanjian pada umumnya

Objek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang perlu oleh subjek,

suatu hal yang penting dalam tujuan membentuk suatu perjanjian, sehingga hal yang

diwajibkan kepada pihak yang berkewajiban (debitur), terhadap mana pihak yang berhak

(kreditur), mempunyai hak adalah merupakan objek dalam hubungan hukum mengenai

perajanjian.

Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, perjanjian-perjanjian itu sedikit banyaknya juga

mengenai harta benda. Dan selaku semua perjanjian itu pada umumnya menyinggung hal

kekayaan harta benda seseorang atau sebagian dari kekayaan itu. Maka dari itu, boleh

juga dikatakan, Hukum Perjanjian masuk golongan Hukum Kekayaan Harta Benda, lain

dari Hukum Kekeluargaan dan Hukum Perkawinan, sedangkan Hukum Warisan bersifat

tengah-tengah. Oleh karena itu umumnya objek hubungan hukum perjanjian selalu

bagian dari kekayaan seseorang, dan hampir selalu berupa suatu harta benda.

b. Pengertian Objek Asuransi (Voorwerp der Verzekering)

Terlebih dahulu kita akan mengkaji di dalam pasal 268 KUHD, di mana di dalam

pasal tersebut dikatakan tentang hal-hal yang dapat menjadi objek Asuransi, ialah semua

kepentingan yang mana antara lain;

1) Dapat dinilai dengan jumlah uang (op geld waardeerbaar),

2) Dapat takluk pada macam-macam bahaya (aan gevaar onderhevig),

3) Tidak dikecualikan oleh Undang-undang.

Secara lengkap bunyi pasal 268 KUHD adalah sebagai berikut:

“ Suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat dinilaikan dengan

uang, dapat dianacam oleh suatubahaya dan tidak dikecualikan oleh Undang-undang.”

Menurut Prof. Wirjono mengenai objek suatu perjanjian pada umumnya, yaitu suatu

kekayaan harta benda atau sebagian dari kekayaan harta benda seseorang.

c. Objek Asuransi Tanpa Benda dan Kerugian yang Nyata

22

Page 23: Hukum Asuransi

Yang dimaksud dengan objek asuransi tanpa benda ialah ada kalanya diadakan

asuransi terhadap kemungkinan orang menderita karena tidak akan mendapat untung

dalam suatu perusahaan Dalam hal ini tidak ada suatu benda berwujud, yang akan

musnah atau akan ada kerusakan dan sebagainya. Tidak lain selama persetujuan asuransi

berjalan, tidak ada suatu barang benda yang terlihat sebagai barang yang terkena suatu

macam bahaya.

Kerugian yang nyata.

Tujuan asuransi ialah, jaminan oleh asurador kepda seseorang untuk tidak akan

dirugikan oleh suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Dengan demikian dapat

dikatakan, hakikat asuransi ialah, bahwa asuradir hana berkewajban membayar sejumlah

uang kepada si terjamin, apabila benar-benar ada kerugian yang nyata dari pihak

terjamin.

d. Perjanjian Reasuransi

1) Pengertian Reasuransi Ditinjau dari Sudut Hukum

Reasuransi merupakan suatu cara yang dipakai oleh asuradir (penanggung pertama)

utnuk mendistribusikan risiko-risiko yang dipikulnya dengan jalan menyerahkan semua

atau sebagian dari risiko-risiko tersebut kepada Reasuradir (penanggung kedua) dengan

tujuan mengurangi jumlah kerugian yang mungkin akan diderita oleh Asuradir

(penanggung pertama tersebut)

Dalam KUHD hanya ada satu pasal mengatur tentang reasuransi, yaitu pasal 271

yang berbunyi ”si Penanggung selamanya berkuasa untuk sekali lagi

mempertanggungkan apa yang telah ditanggung olehnya”, oleh karenanya perjanjian

reasuransi lebig baik dikuasai oleh hukum perjanjian, yang dalam hukum kita yang baru

dapat dijadikan hukum pelengkap.

Di dalam perjanjian reasuransi, yang diatur adalah hubungan anatara Asuradir

(penanggung pertama) denagn reasuradir (penanggung kedua) adapun yang diperjanjikan

itu ialah penyerahan risiko-risiko yang dipikul oleh Asuradir kepada Reasuradir, dalam

arti “liability (tanggung gugat) atau tanggung jawab menurut hukum “dari asuradir tadi

diserahkan.

2) Metode-metode Rasuransi

Ada 3 (tiga) metode reasuransi yang dapat digunakan dalam perjanjian reasuransi.

23

Page 24: Hukum Asuransi

Pertama: Metode Fakultatif

Menurut metode ini, Asuradir dapat untuk mereasuransikan atau tidak

mereasuransikan risikonya kepada Reasuraidir, demikian pun Reasuradir bebas menerima

atau menolaknya.

Kedua : Metode Treaty

Treaty berarti perjanjian, jadi kalau diterjamhkan menjadi metode perjanjian. Istilah

ini sebenarnya kurang tepat dilihat dari segi hukumsebab metode fakultatif yang

diuraikan di atas juga berakhir pada perjanjian setelah penawaran asuransi diteriam oleh

Reasuradir baik secara lisan maupun dengan membubuhkan tanda tangannya atas “slip

reasuransi”.

Disebut metode treaty karena sebelumnya telah diadakan treaty (perjanjian) lebih

dahulu antara kedua belah pihak mengenai risiko yang akan direasuransikan oleh

Asuradir kepada Reasuradir. Dalam Treaty diatur berapa besar risiko yang

direasuransikan. Umpanya 75% dari setiap risiko yang diterima oleh Asuradir

direasuransikan kepada Reasuradir, cara ini disebut juga dengan Quota Share.

Reasuransi secara Quota Share dan Surplus dinamakan pula reasuransi proporsional

(proportional reinsurance) karena premi dan klaim yang merupakan bagian Asuradir dan

Reasuradir diatur secara proposional.

Ketiga : Metode Pool

Beberapa Asuradir bersama-sama dengan satu atau beberapa Reasuradir mengadakan

perjanjian yang isinya agar semua risiko-risiko yang mereka pikul dipusatkan atau di-

pool menjadi satu. Setelah risiko-risiko tadi di-pool kemudian dibagi-bagi kepada

Asuradir menurut besar kecilnya kemampuan masing-masing yang sebelumnya telah

ditentukan sebesar persentase tertentu, pelimpahan bagian-bagian risiko ini bersifat

reasuransi.

3) Prinsip-prinsip Reasuradir

Disamping di dalam praktek reasuransi terdapat suatu asa Reasuradir harus “follow

the fortunes”, sebagai berikut:

Di dalam perjanjian reasuransi sering dicantumkan klausula yang maksudnya

Reasuradir akan mengikuti nasib yang dialami oleh Reasuradir, klausula ini dimaksudkan

24

Page 25: Hukum Asuransi

agar Rasuradir membayar klaim kepada Asuradir apabila Asuradir berkewajiban

membayar klaim kepada tertanggung berdasarkan polis Asuransi.

Klausula ini mempunyai pembatasan-pembatasan tertentu yakni Reasuradir wajib

membayar klaim kepada Asuradir untuk tanggung gugatnya kepada tertanggung apabila

klaim yang dibayarkan oleh Asuradir tersebut dapat dipertanggungjawabkan menurut

hukum.

2. Subjek dan Kepentingan dalam Asuransi.

a. Subjek Persetujuan pada Umumnya

Di dalam pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu persetujuan adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih”. Jadi dalam tiap-tiap persetujuan selalu ada dua macam subjek,

yaitu: di satu pihak seseorang atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban

untuk sesuatu, dan di lain pihak ada seseorang atau badan hukum yang mendapat hak atas

pelaksanaan kewajiban itu, maka dala tiap-tiap persetujuan selalu ada pihak berkewajiban

dan pihak berhak.

b. Kepentingan dalam Persetujuan

Kalau kepentingan ini dilihat dalam arti yang luas, maka di mana ada pihak berhak, di

situ tentu ada kepentingan, yaitu kepentingan akan terlaksananya hak itu: yang berarti

kepentingan akan pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepada pihak lain, tetapi juga

kepentingan dapat dipandang dalam arti yang sempit, yaitu berupa kemungkinan

mendapat suatu kenikmatan (genot)

Dalam arti yang sempit ini, tidak selalu pihak berhak mempunyai kepentingan, karena

adakalanya yang akan mendapat kenikmatan selaku akibat dari pelaksanaan kewajiban

pihak lain, yaitu orang ketiga.

Di dalam pasal 1317 KUH Perdata: “Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta

ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan

janji, yang disebut oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang

dilakukannya kepada seorang lain, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada

seorang lain, membuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan

sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah

menyatakan hendak mempergukannya”.

25

Page 26: Hukum Asuransi

c. Kepentingan Orang Ketiga dalam Asuransi

Tentang Asuransi pada umumnya, pasal 264 W.v.K menentukan, bahwa asuransi

dapat diadakan tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga untuk

kepentingan orang ketiga (voor rekening van eenderde). Ditambahkan, bahwa hal ini

dapat terjadi berdasarkan atas suatu kuasa umum atau khusus, yang diberikan oleh orang

ketiga itu, atau dapat terjadi di luar pengetahuan orang ketiga tersebut.

Pasal 264 ini, sebetulnya mengemukakan suatu contoh dari suatu perjanjian yang

harus dianggap diperbolehkan juga oleh pasal 1317 B.W. yaitu apabila pasal 1317 B.W

tidak ditafsirkan secara kaku seperti di atas.

d. Penyebutan Kepentingan untuk Orang Ketiga dalam Polis

Tentang hal ini, pasal 267 W.v.K mengatakan, apabila dalam polis tidak disebutkan,

bahwa asuransi diadakan untuk kepentingan orang ketiga maka asuransi harus dianggap

diadakan oleh si terjamin utnuk dirinya sendiri. Kalau dalam hal ini nyatanya orang

ketiga yang berkepntingan, apabila terjadi suatu peristiwa yang dipertanggungkan, si

asurador harus membayar sejumlah ganti kerugian, maka menurut pasal 250 W.v.K si

asurador tidak berkewajiban membayar ganti kerugian itu.

Pasal 250 W.v.K menagatakan, dalam hal seorang terjamin mengadakan asuransi

untuk dirinya sendiri dan kemudian ternyata ia sendiri tidak berkepentingan pada barang

yang terjamin, maka si asurador tidak berkewajiban membayar ganti kerugian.

e. Nama Orang Ketiga yang Berkepentingan Tidak perlu Disebut dala Polis

Ini dapat disimpulkan, dari pasal 256 W.v.K yang dalam nomor 2 hanya

mensyaratkan, bahwa dalam polis harus disebutkan nama si terjamin yang mengadakan

asuransi untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.

Dalam sejarah, rahasia ini sering dipergunakan utnuk menyembunyikan, bahwa

seseorang pihak ketiga itu adalah orang Yahudi, seperti pada zaman meratanya kebencian

orang terhadap orang-orang Yahudi tersebut. Juga dalam dunia perdagangan, seringkali

ada keperluan bagi orang ketiga itu, untuk namanya tidak disebutkan, misalnya untuk

menghindari persangkaan macam-macam.

f. Penyebutan Pemberian Kuasa oleh Orang Ketiga.

Menurut pasal 265 W.v.K dalam polis harus ditegaskan, apakah asuransi diadakan

atas pemberian kuasa oleh orang ketiga yang berkepentingan itu, ataukah di luar

26

Page 27: Hukum Asuransi

pengetahuan orang ketiga. Kalau ini terjadi, menurut pasal 266 itu, asuransi ini batal,

apabila terhadap kepentingan yang sama diadakan asuransi pula oleh atau untuk orang

ketiga itu sebelum orang itu tahu, bahwa orang lain telah mengadakan asuransi untuk

kepentingannya.

g. Seorang Perantara dalam Asuransi.

Lain halnya, apabila asuransi didakan dengan bantuan seorang perantara

(tussenpersoon), yang terang-terangan bertindak sebagai kuasa dari salah satu pihak.

Dalam hal ini, si kuasa, seperti semua kuasa, tidak terikat oleh persetujuan asuransi, asal

saja seorang kuasa itu tidak melampaui batas kuasanya.

Seorang perantara ini, biasanya seorang agen dari suatu perusahaan asuransi, yaitu

seorang yang ada hubungan tetap dengan perusahaan asuransi, itu dan yang mengadakan

pembicaraan tentang asuransi itu sebagai kuasa dari perusahaan asuransi itu, sebagai

perantara juga dapat bertindak seorang makelar yaitu seorang yang pekerjaannya sehari-

harinya menjadi perantara dalam segala macam perdagangan, hal makelar ini diatur

dalam pasal 62 samapi dengan 73 W.v.K.

h. Makelar Khusus untuk Asuransi

Khusus untuk asuransi pada umumnya, ada dua pasal yang mengatur hal makelar ini,

yaitu, pasal 260, dan pasal 261 W.v.K. Menurut pasal 260, polisnya dalam tenggang

waktu 8 hari setelah asuransi diadakan, harus diserahkan kepada pihak terjamin, kalau

makelar ini, maka menurut pasal 261, ia harus mengganti kerugian yang akan diderita

oleh pihak yang bersangkutan sebagai akibat kalalaian.

i. Pembayaran Premi

Makelar harus menanggung pembayaran premi oleh pihak yang dijamin kepada pihak

yang menjamin. Kalau pada waktu penandatanganan polis premi belum dibayar oleh

terjamin, si makelar harus membayarkannya selaku kewajiban sendiri (“als voor eigen

schuld”).

Apabila premi sudah dibayar oleh terjamin kepada makelar dan kemudian dalam

waktu satu bulan si makelar jatuh pailit sebelum membayar premi itu kepada asurador,

menirut pasal 683, si asurador mempunyai hak untuk menerima preminya itu dari

kekayaan si makelar lebih dulu daripada para berpiutang lain.

27

Page 28: Hukum Asuransi

Apabila dalam hal pihak terjamin pailit, sedangkan polis sudah diberikan kepadanya

oleh makelar, dan premi sudah dibayar oleh makelar tetapi oleh pihak terjamin belum

dibayar, si makelar ada hak untuk menerima preminya dari apa-apa yang dalam

pelaksanaan persetujuan asuransi harus dibayar oleh asurador lebih dulu daripada para

berpiutang lain dari di asurador itu (pasal 685).

28

Page 29: Hukum Asuransi

BAB VII

KEJADIAN YANG TIDAK DAPAT DIPASTIKAN

1. Bagian yang tidak pasti

Dalam kaitannya dengan suatu kejadian yang tidak bisa dipastikan tentunya harus

dititik beratkan pada bagian yang terpenting dari perjanjian asuransi, yaitu adanya

kewajiban bagi pihak asurador untuk membayar uang kepada pihak yang

terjamin.Batasan mengenai masalah yang tidak pasti, wajib ditinjau dari beberapa segi.

Contohnya dalam asuransi kebakaran atau asuransi kecelakaan yang memang benar hal

ini tidak bisa dipastikan terjadinya kebakaran atau kecelakaan itu.

Perjanjian dalam asuransi jiwa ini sebagai jaminannya ialah meninggal dunianya

seseorang, sedangkan masalah ini sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa, bahwa

manusia tidak akan hidup untuk selamanya. Maka dari itu sesungguhnya yang tidak pasti

bukan pada saat kejadian meninggal dunianya manusia akan tetapi kapan orang tersebut

akan meninggal dunia. Dan hal ini belum dapat dipastikan.

2. Karakteristik Subyektif dari bagian yang tidak pasti

Dipandang dari segi yang lain, bagian yang tidak pasti ini mudah dipahami secara

keseluruhan. Bukan suatu keharusan secara objektif tidak pasti, akan tetapi adakalanya

cukup hanya subyektif saja. Yang garis besarnya, walaupun pada saat kejadian itu pihak

yang terjamin sudah ada dan asuransi sudah berdiri, akan tetapi perjanjian dari asuransi

tetap sah, tetapi dengan syarat kedua belah pihak pada saat itu belum mengetahui pernah

mengalami kejadian tersebut.

Pasal 270 K.U.H Dagang menentukan persangkaan bahwa seorang telah mengetahui

akan adanya kerugian tersebut, apabila Hakim, setelah memperhatikan keadaan,

berpendapat bahwa, setelah timbulnya kerugian itu, sudah melebihi jangka waktu,

sehingga si tertanggung seharusnya sudah mengetahui akan hal itu.

Kesimpulan dari pasal 270 ayat 2 K.U.H Dagang adalah, bahwa Hakim dapat

mengangkat sumpah pada pihak yang terjamin, akan tetapi Hakim tidak menghalangi

kehendak pihak yang terjamin untuk mengangkat sumpah pada pihak penjamin atau

asurador. Perbedaan dalam keadaan ini, bahwa Hakim dapat mengambil sumpah pada

29

Page 30: Hukum Asuransi

pihak terjamin, jika ada keraguan-raguan pada Hakim, pihak-pihak terjamin masih dapat

memintakan sumpah pada pihak penjamin.

3. Asuransi Laut

Kitab undang-undang Hukum Dagang dalam mengenai asuransi laut dimuatkan

dalam dua pasal, yaitu pasal 297 dan pasal 598, yang isinya hampir sama dengan pasal

269 dan pasal 270, akan tetapi lebih banyak menguraikan tentang keadaan pengangkutan

barang melalui lautan.

Pasal 597 menyebutkan, jika suatu asuransi diadakan atas kapal-kapal atau barang-

barang yang ada, pada saat persetujuan asuransi itu diadakan atas suatu kepentingan yang

kerugiannya di asuransikan, pada saat tersebut di atas sudah ada, maka berlakulah

ketentuan-ketentuan dari pasal 269 dan 270.

4. Macam-macam bagian yang obyektif (goede trouw)

Menurut pandangan Prof. Dr. Wirjono Prodjokiro, SH, bagian yang tidak pasti

mempunyai karakterisktik, ialah hampir sama dengan bagian yang obyektif atau dengan

tujuan baik, yang pada dasarnya telah ditetapkan dalam pasal 1338 ayat 3 K.U.H Perdata

yang menyebutkan, bahwa segala persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan

itikad baik.

Jadi masalah-masalah yang diatur dalam pasal-pasal 269.270, 597 dan 598 KUHD

dianggap sebagai contoh-contoh dalam masalah yang obyektif. Jika di dalam pelaksanaan

ada kejadian yang tidak dimuatkan pada pasal-pasal tersebut, maka pasal 1338 ayat 3

KUH Perdata dapat dianggap sebagai pedoman.

5. Barang-barang Cair (vloeibare waren)

Penjelasan mengenai barang-barang yang cair dalam asuransi disebutkan dalam pasal

643 K.U.H.D, yaitu apabila yang di asuransikan itu berupa barang-barang yang cair,

seperti anggur, minyak madu, gajih, sirup, atau lain sebagainya, atau garam dan gula,

maka pihak yang menanggung tidaklah bertanggung jawab untuk sesuatu kerugian yang

disebabkan karena kebocoran atau melelehnya barang-barang tersebut, kecuali apabila itu

terjadi karena penyentuhan, pecahnya kapal, ataupun terdamparnya kapal, atau karena

30

Page 31: Hukum Asuransi

barang-barang yang diasuransikan tersebut telah dibongkar disuatu pelabuhan darurat dan

kemudian dimuat lagi.

Pasal 644 KUHD menjelaskan, jika dalam masalah-masalah yang diperbolehkan

menurut undang-undang, telah dibuat suatu asuransi atas barang-barang dagangan atau

barang seumumnya, ataupun atas barang berupa apa saja yang penting bagi pihak yang

tertanggung, sedangkan bahaya yang diasuransikan itu berlaku atas barang-barang yang

mudah dapat menjadi busuk atau berkurang, maka pihak yang menanggung tidak

diwajibkan memikul kerugian yang demikian, yang menurut adat istiadat di tempat

asuransi tidak seharusnya dipikul oleh para asurandor. Jika terjadi perselisihan, maka hal

itu akan ditetapkan oleh Hakim, setelah mendengar para ahli.

6. Hubungan Satu Sama Lain

Bagian yang terpenting sebagai tanggung awab dari asurandor untuk mengembalikan

ganti rugi, bahwa kerugiannya tersebut diakibatkan oleh kejadian yang sudah ditanggung

tidak akan terjadi. Di Inggris ada suatu ketentuan dalam Marine Insurance Act yang

berbunyi: “He (si asirador) is not liable for any loss, which is not proximately caused bay

a peril insured against”.

Yang kesimpulannya, di dalam Hukum Inggris yang dinyatakan mula-mula yang

menimbulkan kerugian adalah kejadian yang berhubungan langsung dengan kerugian itu.

Maka hal ini asuransi mengadakan pertanggungan, pihak asurador bertanggung jawab

mengembalikan ganti rugi.

Di Negeri Belanda, tidak memiliki Undang-undang yang khusus mengenai

penjabaran dari alsan-alasannya, akan tetapi menurut Scheltema, bahwa pendapat yang

dianut di Negeri Belanda rata-rata adalah mengajarkan bahwa suatu masalah dapat

berhubungan antara satu sama lain, yang menurut biografi manusia ditafsirkan, bahwa

satu sama lain saling berkaitan. Ilmu ini dinamaan Adequate Veroorzaking (alasan-alasan

yang bermotif dapat dikenakan efeknya).

31

Page 32: Hukum Asuransi

BAB VIII

KERUSAKAN ALAMI ATAS BARANG YANG DITANGGUNG

1. Kerusakan Pada Barang

Disebutkan oleh pasal 249 K.U.H.D., bahwa utnuk kerusakan atau kerugian yang

timbul dari suatu cacat, kebusukan sendiri, atau yang langsung ditimbulkan dari sifat dan

macam barang yang dipertanggungkan sendiri, tak sekali-kali si penanggung bertanggung

jawab, kecuali apabila dengan tegas telah diadakan pertanggungan juga untuk itu, yang

berarti bahwa pihak asurador tidak bertanggung jawab untuk mengganti terhadap

kerugian yang diakibatkan oleh:

a) Kerusakan terhadap barang yang dijamin;

b) Barang tersebut membusuk secara alami;

c) Sifat pada umumnya barang itu (uit eenig gebrek, eigen bedrf of uit de aard en de

natuur van de veirzekerde zaak)

Hal ini berarti bahwa pasal 249 ini mencakup bukan saja tentang kerusakan barang.

Di samping itu perumusan pasal ini memang lebih akurat jika dibanding dengan

perumusan yang layaknya dipergunakan dalam ilmu pengetahuan hukum di mana

biasanya hanya menjelaskan tentang cacat barangnya saja.

2. Pelepasan Tanggung Jawab Pihak Asurador

Jika ternyata bahwa kerusakan yang terjadi atas barang yang ditanggung tersebut

dsebabkan karena kerusakan alami (sendiri), maka oleh pasal 249 K.U.H.D ditetapkan

bahwa pihak asurador lepas dari tanggung jawab.

Kejadian tentang kerugian semacam ini merupakan suatu kejadian yang kepastian

terjadinya belum dapat ditentukan (onzekervoorval). Hal ini berarti bahwa jika pasal 249

itu tidak ada, pihak asurador bertanggung jawab terhadap kerugian tersebut.

3. Syarat “All Risks”

Dalam pelaksanaannya pada polis asuransi seringkali berisi persyaratan bahwa pihak

asurador menanggung semua risiko (clausule aal risks) sehingga timbul suatu pertanyaan

32

Page 33: Hukum Asuransi

apakah dengan klausula ini pihak asurador harus bertanggung jawab atas kerugian yang

diakibatkan karena kerusakan alami barang tersebut.

Secara tegas pasal 249 menjawab pertanyaan ini;”tidak” sebab khusus tentang

kerugian yang diakibatkan karena cacat sendiri ini untuk pertanggungjawaban pihak

asurador harus dengan perjanjian yang khusus dan tegas.

4. Batasan dan Ruang Lingkup Tentang Cacat Barang

Cacat adalah suatu unsur yang istimewa dan biasanya tidak dimiliki pada barang-

barang yang sama jenisnya. Bilamana barang-barang yang sama jenisnya telah

mempunyai cacat seperti yang dimaksud di atas, serta kemungkinan akan menyebabkan

rusaknya atau hilangnya barang yang tidak dikategorikan di dalam batasan dan ruang

lingkup yang cacat.

Cacat ini juga wajib dimiliki oleh barang-barang yang ditanggung keutuhannya serta

tidak pada barang-barang yang lain yang mungkin masih ada kaitannya dengan

penggunaan barang yang ditanggung itu. Contohnya di dalam masalah asuransi tentang

pengangkutan dengan mempergunakan kapal laut, yang dinamakan dengan cacat barang

adalah cacatnya barang-barang yang diangkut itu yang cacat bukan pada kapalnya.

5. Batasan Mengenai barang yang Ditanggung ata Verzekerd

Voorwerp

Barang yang ditanggung, jika ada kerusakannya, melepaskan pihak asurador untuk

berkewajiban mengembalikan kerugian. Yang maksudnya: barang yang memiliki ujud

dijamin keutuhannya.

Contohnya, bilamana seorang pembeli barang mengikuiti asuransi, supaya yang

bersangkutan bisa memperoleh ganti rugi, andaikan barang yang dibeli itu tidak bisa

diserahkan terhadap dirinya, maka yang dapat melepaskan pihak asurador adalah

kerusakan pada barangnya itu, yang membawa akibat barang itu tidak bisa diserahkan,

tidak merupakan rusak pada kandungan perikatan dengan perdagangan yang

menimbulkan barang tersebut tidak bisa diberikan.

6. Sifat Relatif dari Pengertian Cacat

33

Page 34: Hukum Asuransi

Keadaan barang yang ditanggung kemungkinan dalam kondisi baik namun

kemungkinan juga dalam rusak

Dalam asuransi laut bisa kita ambil contoh.

Keadaan barang yang ditanggung kemungkinan dalam barang yang ditanggung

keselamatannya haruslah cukup baik dan mampu dipergunakan dengan aman dalam

pelayaran (zeewaardig, seaworthy). Jika syarat ini tidak dipenuhi maka pihak asurador

tidak bertanggung jawab atas penggantian kerugian.

Kebiasaan di Inggris, jika seorang ingin memperoleh penanggungan keselamatan

terhadap kerusakan kapalnya, dipergunakan suatu persyaratan yang disebut Inchmaree

Clause yang isina “The insurance also expecially to cover loss of, or damage to hull, or

machinery, caused through explosions, bursting of boilers, breakages, of shafts, or

through any latent defect in the machinery or hull, provided such loss or damage do not

result from want of due dilgence by the owners of the ship or any of them, or by the

manager”.

7. Akibat Hukum yang Timbul Karena Terjadinya Kerusakan

pada Barang

Seperti telah dijelaskan pada uraian terdahulu, bahwa berdasarkan pasal 249, jika

barang yang ditanggung itu mengalami kerusakan karena keadaan dan sifat barang itu

sendiri, maka pihak asurador tidak wajib menggantinya. Ini berarti bahwa adanya

kerusakan sendiri tersebut tidak mengakibatkan batalnya seluruh ikatan asuransi. Namun

asuransi masih tetap berlaku jika disamping adanya kerugian tersebut masih ada kerugian

lain yang bukan disebabkan olehnya.

Akan tetapi menurut pendapat Scheltema bahwa di Inggris ada ketetapan pihak

asurador tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian walaupun kemungkinan

kerugian tersebut tidak ada kaitannya dengan cacat tersebut, jika suatu pelayaran

ditanggung keutuhannya dan ternyata dikemudian hari terjadi kerusakan pada alat

pelayaran tersebut.

34

Page 35: Hukum Asuransi

8. Syarat Lepas dari Tanggung Jawab Atas Terjadinya

Kerusakan

Hampir sama pelepasan tanggung pelepasan tanggung jawab pihak asurador jika ada

kerusakan barang, ada suatu syarat untuk asuransi laut yang dimuatkan dalam pasal 646.

Pasal 646 menyebutkan, jika ada asuransi laut yang beirisikan suatu syarat “lepas dari

tanggung jawab atas terjadinya kerusakan”,maka tidak akan diberikan ganti kerugian

bilamana barang-barang muatannya pada saat tiba dipelabuhan yang dituju, ditemukan

barang tersebut membusuk dan rusak. Hal ini juga dipergunakan jika keadaan barang-

barang itu membusuk atau rusak wajib diuangkan atau dijual ditengah-tengah perjalanan.

35

Page 36: Hukum Asuransi

BAB IX

KECEROBOHAN PIHAK TERTANGGUNG

Untuk dimengerti, bahwa kecerobohan pihak yang tertanggung merupakan pengertian

kewajiban yang ke-II bagi pihak asurador selain kerusakan alami atas barang yang

ditanggung. Kecerobohan pihak yang tertanggung diatur dalam pasal 276 KUHD yang

menjelaskan, bahwa tidak ada kerugian atau kerusakan yang disebabkan karena

kesalahan si tertanggung sendiri harus ditanggung oleh si penanggung. Bahkan berhaklah

si penanggung itu memiliki premi ataupun menuntutnya, apabila yang bersangkutan

sudah mulai memikul sesuatu bahaya.

Sedangkan para ahli hukum sendiri menyatakan, bahwa dengan tegas ini telah

ditiadakan utnuk menjaminnya diizinkan karena terjadinya kecerobohan pihak

tertanggung termasuk kejadian yang belum dapat dipastikan (onzeker voorval), yang

menurut pasal 246 yaitu, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, dimana seorang

penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu

premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu

peristiwa yang tertentu.

1. Batasan Mengenai Kecerobohan

Dengan tidak adanya suatu perjanjian, maka dapat dijelaskan, bahwa batasan

mengenai kecerobohan, adalah terdiri dari berbagai jenis kecerobohan, misalkan: kurang

atau tidak selalu waspada serta karena sedikit gegabah atau sangat gegabah, yang

menjurus pada unsur kesengajaan.

Unsur kesengajaan dalam penjelasannya, bahwa semua pihak dinyatakan tidak

sembarangan membentuk ketegasan sendiri, bahwa asurador juga menjamin kerugian

yang diakibatkan adanya kesengajaan dari pihak yang tertanggung. Ketegasan serupa ini

dapat dinyatakan tidak memiliki kesamaan dengan norma kesusilaan, yang tidak

diperbolehkan dalam pasal 1337 B.W.

2. Hanya Menyinggung tentang Kebakaran

36

Page 37: Hukum Asuransi

Dalam pasal 276 KUHD disebutkan tentang kekhilafan, yang ada pada kalimat di atas

telah dijelaskan, bahwa sesungguhnya batasan dari kecerobohan sudah mencakup

kekhilafan. Di dalam masalah ini antara pasal 294 dan pasal 276 hampir sama hanya di

dalam pasal 294 di sini menjelaskan adanya kecerobohan yang jelas.

Dalam hal ini pengertian darin kecerobohan ringan dengan kecerobohan berat sulit

untuk dipecahkan. Namun di dalam pelaksanaannya, hal ini mudah ditetapkan Cuma

dengan naluri saja. Maka dari itu tidak disertai argumentasi atau memberikan alasan

melalui pemikiran.

Menurut Dorhout Mees letak perbedaan antara asuransi kebakaran dengan asuransi

pengangkutan yaitu, bahwa pihak yang mengangkut sudah selayaknya wajib menanggung

beban kecerobohannya walau seringan-ringannya kecerobohan tersebut, karena pihak

yang mengangkut dapat dianggap sudah mempersiapkan pengangkutan itu serta sudah

semestinya cara membereskan wajib dengan rapi, jangan ada efek-efek sampingnya pada

barang tersebut.

3. Tertanggung Selaku Badan Hukum

Jika pihak yang tertanggung itu suatu badan hukum, contohnya suatu Perseroan

Terbatas (Naamloze Vennootschap). Maka timbul suatu yang ditanyakan, bagaimana

keadaannya dengan bagian kekeliruan sendiri dari pihak yang tertanggung yang

melepaskan tanggung jawab asurador.

Seandainya posisi seorang Direktur Perseroan Terbatas ditinjau dari segi hubungan

dengan urusan masalah buruh, maka direktur sama dengan seorang manusia saja,

sehingga kekeliruan Direktur sebagai majikan itu tidak dianggap sebagai kekeliruan

Perseroan Terbatas, maka dari itu asurador terikat pertanggungjawaban.

Menurut Mr. Scheltema bahwa kekeliruannya dapat menyerupai dengan kekeliruan

badan hukum selaku yang tertanggung, yaitu selaku wakil dari perusahaan tersebut, yang

mustahil ada dalam sesuatu peristiwa yang mempunyai perusahaan ialah seorang

manusia.

Maka dari itu menurut Scheltema, dalam perseroan Terbatas orang akan

kekeliruannya bisa melepaskan asurador dari kewajibannya, yaitu Direktur serta pengurus

lainnya atas disetujui oleh Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro SH. Kalau hal ini tidak atas

nama orang berarti tidak seperti dengan Hoge Raad Belanda tanggal 11-12-1914 N.J.

37

Page 38: Hukum Asuransi

Suatu Perseroan Terbatas di dalam masyarakat tidak hanya berlaku sebagai

penghubungnya bagi direkturnya, akan tetapi juga dengan penghubung lain orang yang

dinyatakan sebagai wakil dari Perseroan Terbatas itu, serta dengan ingin dapat dianggap,

bahwa kekliruan dari orang itu, bisa juga dinyatakan karena kekeliruan juga dari

Perseroan Terbatas tersebut

38

Page 39: Hukum Asuransi

BAB X

MOLEST

Selain hanya yang diakibatkan dari cacat dari barang dan kekhilafan pihak yang

tertanggung sendiri, juga ada suatu jenis bahaya lagi akan tetapi hal ini bukan menjadi

tanggung jawab bagi pihak penanggung, terkecuali jika diadakan suatu perjanjian yang

secara tersendiri. Bahaya tersebut dinamakan dengan Molest.

1. Batasan dan Ruang Lingkup daripada Molest

Pada mulanya yang disebut dengan Molest ini dipergunakan dengan pengertian yang

sempit, yaitu perbuatan memaksa pada saat terjadinya pertempuran oleh angkatan

bersenjata dari Negara yang sedang bertempur. Hal inilah yang pertama kali

dipergunakan dalam pelaksanaan di asuransi yang melepaskan asurador dari

kewajibannya, jika Molest ini terjadi.

Pengertian dari Molest di sini dipergunakan dalam arti umum, yaitu yang mencakup

tindakan-tindakan paksaan yang dilaksanakan pada saat negara itu aman, misalkan

pembajakan laut atau macam-macam perbuatan dari suatu pemerintah yang motifnya

memaksa, seperti misalkan penyitaan kapal.

2. Molest Diatur Dalam Asuransi Laut

Dalam Kitab Undang-undang HukumDagang masalah molest ini diatur dalam laut

yaitu pada pasal-pasal 647, 648 dan 649, akan tetapi dalam keadaan pertempuran ternyata

dibutuhkan juga bagi asuransi-asuransi lain. Dan kenyataannya kesepakatan-kesepakatan

dari asuransi yang diselenggarakan dalam bursa-bursa penjualan serta yang menyangkut

tentang molest semenjak dahulu diadakan bermacam-macam asuransi.

3. Makna Daripada Molest dalam Pasal 647 K.U.H.D

Menurut Pasal 647 K.U.H.D bahwa dalam suatu asuransi dengan janji bebas dari

molest, maka si penanggung dibebaskan seketika setelah barang yang diasuransikan itu

39

Page 40: Hukum Asuransi

musnah atau menjadi busuk karena kekerasan, perampasan, pembajakan, perampokan,

penahanan atas perintah pihak atasan, pernyataan perang, serta tindakan-tindakan

pembalasan.

Asuransi tersebut hapus seketika setelah barang yang diasuransikan itu tertahan

karena molest ataupun diangkut kesuatu jurusan yang menyimpang dari ke arah tujuan

yang semula.

4. Gambaran-gambaran Kejadian dari Molest

Dorhout Mees menjelaskan beberapa gambaran yang dikutip dari yurispudensi di

Negeri Belanda, yang memandang adanya efek yang di akibatkan oleh kejadian molest,

yaitu antara sebagai berikut:

a.) Suatu kapal Belanda pada saat Negeri Belanda dikuasai oleh tentara Jerman,

diharuskan oleh Penguasa untuk disewakan di Wilayah Jerman serta selama

disewakan itu, kapalnya masuk.

b.) Sebuah rumah ikut terbakar, karena disebabkan adanya api yang datangnya dari

rumah tetangga yang di amuk kebakaran.

c.) Pada saat di Negeri Belanda dikuasai oleh tentara Jerman di suatu pagi yang gelap

pada bulan Januari,seorang penduduk dirampok oleh dua orang yang berpakaian

seragam tentara Jerman. Pada saat perang seperti itu, tidak ada lampu yang

menerangi di jalan serta tidak ada polisi yang mengawasi.

Dalam semua kejadian ini, hakim di Negeri Belanda memandang asurador lepas dari

tanggung jawab untuk mengembalikan kerugian, karena dianggap kerugian-kerugian itu

diakibatkan oleh molest.

5. Gambaran-gambaran Suatu Kejadian yang Bukan disebabkan oleh Molest

Menurut Dorhout Mees banyak gambaran kejadian yang dianggap oleh Hakim di

Negeri Belanda dipndang bukan diakibatkan oleh suatu kejadian oleh molest, sehingga

asurador mengembalikan ganti kerugian atas kejadian-kejadian tersebut.

a.) Pada saat Negeri Belanda dikuasai oleh tentara Jerman, suatu tempat penginapan

dengan dipaksa oleh tentara-tentara Jerman dipergunakan untuk tempat hiburan.

Pada saat mereka bergembira-ria, tempat penginapan itu terbakar. Di sini

40

Page 41: Hukum Asuransi

kemungkinan besar dari terjadinya kebakaran diperkirakan dengan adanya

tentara-tentara Jerman di situ, akan tetapi biasanya menurut pengalaman, keadaan

itu tidak akan mengakibatkan tempat penginapan itu terbakar.

b.) Pada saat pihak lawan mendarat dari udara di suatu kota di Negeri Belanda,

padahal negeri itu sedang dikuasai oleh tentara Jerman, maka tentara-tentara

Jerman berupaya agar arsip-arsip itu tidak berceceran dan pindah ke tangan pihak

lawan, maka jalan pintas arsip-arsip itu di bakar di dalam suatu tempat api atau

haard, kachel lalu apinya menyala terus pada ruang tertutup itu, sehingga

mengakibatkan rumah tersebut terbakar.

c.) Sebuah runah pada saat pertempuran diungsikan sejenak sehingga rumah tersebut

dimasuki pencuri, dan mengambil barang-barang yang ada di dalam rumah

tersebut. Dalam hal ini pada dalam situasi pertempuran kemungkinan bisa jadi ada

pencurian, akan tetapi hal ini tidak mutlak adanya pencurian.

Pada dasarnya seluruh pihak asurador ditekankan untuk mengembalikan kerugian,

karena kerugian-kerugian itu dimugkinkan tidak ditimbulkan oleh molest

6. Keadaan yang dimasukkan dalam Molest

Pasal 694 KUHD memasukkan suatu kejadian khusus dengan molest, yaitu apabila

sebuah kapal atau suatu barang yang diasuransikan dengan janji, bebas dari molest berada

dalam suatu perlabuhan yang sebelumnya ia berangkat dikuasai oleh pihak lawan,

ataupun ia ditahan, maka yang demikian itu dimasukkan dalam penarikan, dan

berhentilah bahaya bagi si penanggung.

41