283
BAB I PENDAHULUAN A. PENGERTIAN HUKUM PENITENSIER  Apabila orang melihat ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya ke dalam Buku ke-II dan Buku ke-IIl, maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma/yakni norma-norma yang selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan dapat disebut sebagai tindak pidana, dan norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari sesuatu tindak pidana! "ecara terinci undang-undang telah mengatur tentang# $! bilamana suatu pidana dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku, %!  jenis pidana yang bagaimanakah yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut, &! untuk berapa lama pidana dapat dijatuhkan atau ber apa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan, dan '! dengan cara yang bagaimanakah pidana harus dilaksanakan! "ebenarnya, pembentuk undang-undang telah bermaksud untuk, mengatur hal-hal di atas di dalam Bab ke-II dari Buku ke-I Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, tetapi pengaturan lebih lanjut tentang hal-hal tersebut terny ata tidak diber ikan oleh pemb entuk undang-u ndan g melainkan telah menunjuk pada peraturan perundang-undangan yang terdapat di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana! (en tan g apa yang har us dil aku kan set ela h hak im men jat uhk an sua tu pidana itu, ternyata hanya sebagian kecil saja yang telah diatur perundang- undangan yang terdapat di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana! (en tan g apa yang har us dilakukan set ela h hak im men jat uhkan sua tu pidana itu, ternyata hanya sebagian kecil saja yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sedang sebagian besar telah diatur di dalam apa yang disebut hukum penitensier atau peni-tentiaire recht yang oleh Pro)!

Hukum Penitensier Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN HUKUM PENITENSIERApabila orang melihat ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya ke dalam Buku ke-II dan Buku ke-IIl, maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma/yakni norma-norma yang selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan dapat disebut sebagai tindak pidana, dan norma-norma yang berkenaan dengan ancaman; pidana yang harus dikenakan bagi pelaku dari sesuatu tindak pidana.Secara terinci undang-undang telah mengatur tentang:1. bilamana suatu pidana dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku,2. jenis pidana yang bagaimanakah yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut,3. untuk berapa lama pidana dapat dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan, dan4. dengan cara yang bagaimanakah pidana harus dilaksanakan.Sebenarnya, pembentuk undang-undang telah bermaksud untuk, mengatur hal-hal di atas di dalam Bab ke-II dari Buku ke-I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi pengaturan lebih lanjut tentang hal-hal tersebut ternyata tidak diberikan oleh pembentuk undang-undang; melainkan telah menunjuk pada peraturan perundang-undangan yang terdapat di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Tentang apa yang harus dilakukan setelah hakim menjatuhkan suatu pidana itu, ternyata hanya sebagian kecil saja yang telah diatur perundang-undangan yang terdapat di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Tentang apa yang harus dilakukan setelah hakim menjatuhkan suatu pidana itu, ternyata hanya sebagian kecil saja yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sedang sebagian besar telah diatur di dalam apa yang disebut hukum penitensier atau peni-tentiaire recht yang oleh Prof. van Bemmelen telah diartikan sebagai:Het racht betreffende doel, werking en organisatie der strafinstituten.Artinya:Hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja, dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan.Walaupun secara, harfiah hukum penitensier, sebenamya dapat diartikan suatu kesduruhan dari norma-norma mengatur masalah pidana dan pemidanaan, ternyata Prof. van Bemmelen telah berpikir lebih maju untuk tidak memandang pidana itu semata-mata sebagai pidana, atau melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan, melainkan beliau telah mengaitkan lembaga-lembaga pemidanaan dengan tujuan yang ingin dicapai-orang dengan pemidanaan itu sendiri. Dengan daya kerja yang dimiliki oleh lembaga pemidanaan tersebut dan dengan organisasi yang diperlukan agar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim dapat mencapai tujuannya secara efektif dan efisienSebagaimana yang telah diuraikan di atas sebagian besar dari peraturan yang mengatur tentang apa yang harus dilakukan orang setelah hakim menjatuhkan suatu pidana yang terdapat di dalam hakum penitensief, yang norma-normanya terdapat secara tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar kitab Undang -Undang Hukum Pidana.Sebagai contoh lembaga pidana bersyarat, Pasal 14a ayat (1) KUHP telah menentukan:. . Dalam hal dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda, hakim dapat memerintahkan agar pidana tersebut tidak perlu dijalarikan, kecuali jika kemudian dengan suatu putusan hakim ditentukan lain atas dasar bahiva terpidana sebelum berakhirnya masa percobaan yang ditentukan sesuai dengan perintah, telah melakukan suatu tindak pidana atau selama masa percobaan telah tidak menaati sesuatu syarat khusus yang mungkin telah dite-tapkan di dalam perintah.Akan tetapi, bagaimana caranya melakukan pengawasan terhadap terpidana atau bagaimana caranya untuk membantu terpidana agar ia dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hakim, Pasal 14d ayat (3) KUHP telah menentukan:Peraturan untuk pengaturan lebih lanjut mengenai pengawasan dan mengenai bantuan serta penunjukan dari lembaga-lembaga dan pengurus-pengurus dari yayasan-yayasan yang dapat diperintahkan untuk memberikdn bantuannya, ditetapkan dengan sebuah ordonansi.Ordonansi yang dimaksudkan di dalam Pasal 14d ayat (3) KUHP adalah Ordonansi tanggal 6 November 1926, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 487 yangjuga dikenal sebagai Uitvoeringsordonnantie voorwaardelijke veroordeling atau sebagai peraturan pelaksanaan mengenai pemidanaan bersyarat.Contoh lainnya, mengenai lembaga pembebasan bersyarat sebagaimana Pasal 15 ayat (1) KUHP telah menentukan: Orang yang dipidana dengan pidana penjara dapat dibebaskan dengan syarat, jika dua pertiga dari masa pidananya yang sebenarnya dan sekurang-kurangnya sembilan bulan dari masa pidana tersebut telah dilaksanakan. Dalam hal terpidana harus melaksanakan beberapa pidana penjara, untuk maksud ini semuanya dipandang sebagai satu pidana.Selain itu, bagaimana caranya melaksanakan ketentuan di dalam Pasal 15 ayat (1) di atas, Pasal 17 KUHP telah menentukan:Tentang formulir surat izin cuti dan peraturan lebih lanjut untuk melaksanakan Pasal 15, 15a, dan Pasal 16 ditentukan dengan suatu ordonansi.:Ordonansi sebagaimana yang dimaksudkan di dalam Pasal 17 KUHP itu adalah Ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 749 yang juga dikenal sebagai Ordonnantie op de voorwaarddijke invrijheidstelling atau sebagai peraturan tentang pembebasan bersyarat.Peraturan perundang-undangan yang mengandung norma-norma yang sebagai keseluruhan disebut hukum penitensier antara lain adalah:1. ketentuan pidana yang telah diatur di dalam Buku ke-I Bab ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;2. Ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 749 yang dikenal Ordonnatie of de voonvardelijke invrij-heidestelling atau peraturan tentang pembebasan bersyarat;3. Ordonansi tanggal 6 November 1926, Staatsblad Tahun 1926 Nomor 487 yang dikenal Uitvoeringsordonnantie voonuaardelijk veroardeling atas peraturan pelaksanaan mengenai pemidanaan bersyarat;4. Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 708 yang dikenal Gestichtenreglement atau peraturan mengenai lembaga pemasyarakatan;5. Ordonansi tanggal 21 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 741 yang dikenal Dwangopvoeding Regeling atau peraturan mengenai pendidikan paksa;6. Peraturan Pemerintah tanggal 24 Maret 1936, Staatsblad tahun 1936 Nomor 160 yang dikenal Voorziening betreffende Landswerkin-richting atau Lembaga Kerja Negara;7. Undang-Undang Nomor 20 tentang Pidana Tutupan tanggal 31 Oktober Tahun 1946, Berita Republik Indonesia II Nomor 24.B. HUKUM PENITENSIER TIDAK SELALU BERKENAAN DENGAN MASALAH PIDANA DAN MASALAH PEMIDANAANPerkataan Wetboek van Strafrercht diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan perkataan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana agaknya telah mengacaukan anggapan dari para penulis atau para penerjemah kita. Seolah-olah perkataan straf selalu harus diterjemahkan dengan perkataan pidana, hingga apabila mereka ingin konsekuen dengan pendapat mereka maka perkataan straffenrecht' yang juga sering digunakan sebagai kata lain dari penitentiare recht atau hukum penitensier itu. Sebenarnya juga harus mereka terjemahkan dengan perkataan hukum pidana-pidana, atau apabila perkataan straf tersebut ingin mereka artikan sebagai hukuman yang 'biasa dijatuhkan oleh hakim, perkataan straffenrecht seharusnya juga mereka terjemahkan dengan perkataan hukum pemidanaan-pemidanaan.Apabila perkataan penitentiaire recht kini harus diterjemahkan dengan perkataan hukum tentang pidana-pidana atau tentang pemidanaan-pemidanaan maka timbullah pertanyaan, yaitu apakah benar bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita semata-mata hanya mengatur masalah pidana-pidana atau masalah pemidanaan saja?Apabila orang ingin membatasi diri dengan melihat ke dalam rumusan Pasal 45 KUHP saja untuk memberikan jawaban bagi pertanyaan di atas, maka akan segera dapat diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita tidak semata-mata mengatur masalah pidana-pidana atau masalah pemidanaan-pemidanaan saja, melainkan juga mengatur masalah tindakan atau maatregelen dan masalah kebijaksariaan.Pasal 45 KUHP berbunyi :Pada penuntutan pidana terhadap seseorang di bawah umur karena perbuatan yang telah ia lakukan sebelum mencapai usia enam belas tahun, hakim dapat; memerintahkan agar yang befsalah dikembalikan kepada orang tuanya, kepada walinya atau kepada orang yang mengurus dirinya, tanpa menjatuhkan suatu pidana apa pun; memerintahkan agar yang bersalah diserahkan pada pengawasan pemerintah, jika perbuatannya merupakan kejahatan atau pelanggaran seperti yang telah diatur di dalam Pasal 489, Pasal 490, Pasal 492, Pasal 496, Pasal 497, Pasal 503 sampai Pasal 505, Pasal 514, Pasal 517 sampai Pasal 519, Pasal 526, Pasal 531, Pasal 532, Pasal 536, dan Pasal 540 yang telah dilakukan sebelum lewat jangka waktu dua tahun sejak orang itu dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena telah melanggar salah satu dari pelanggaran di atas atau telah melakukan sesuatu kejahatan, tanpa menjatuhkan suatu pidana apa pun; memidana yang bersalah dengan pidanaTindakan yang diambil oleh seorang hakim untuk menyerahkan kembali seorang terdakwa kepada orang tuanya, kepada walinya atau kepada orang yang mengurus terdakwa adalah sudah jelas bukan merupakan suatu pemidanaan, dan adalah sulit untuk disebut sebagai suatu penindakan atau maatregel, dan lebih tepat kiranya apabila tindakan yang diambil oleh hakim tersebut, disebut sebagai suatu kebijaksanaan.Tindakan yang diambil oleh seorang hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di bawah pengawasan pemerintah juga sudah jelas bukan merupakan suatu pemidanaan, tetapi juga sulit untuk disebut suatu kebijaksanaan. Tindakan dari hakim tersebut adalah lebih tepat apabila disebut sebagai suatu penindakan atau maatregel.Adapun tindakan yang diambil oleh seorang hakim untuk memidana terdakwa dengan suatu pidana adalah sudah jelas merupakan suatu pemidanaan dan bukan merupakan kebijaksanaan ataupun penindakan.Sebenarnya perkataan pidana dan pemidanaan merupakan pengertian khusus atau merupakan speciale begrippen dari perkataan hukuman atau penghukuman, yang hanya tetap apabila digunakan di bidang hukum pidana, hingga tidak tepat apabila perkataan tersebut juga digunakan orang di bidang hukum yang lain, seperti di bidang hukum perdata)Dari pembicaraan tersebut kiranya sudah jelas, bahwa hukum penitensier bukan hanya berkenaan dengan masalah pidana atau masalah pemidanaan saja melainkan juga berkenaan dengan masalah penindakan atau maatregel dan masalah kebijaksanaan yang telah diputuskan oleh hakim.Dengan demikian, hukum penitensier kurang tepat disebut sebagai keseluruhan dari norma-norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan, tetapi lebih tepat apabila hukum penitensier disebut keseluruhan dari norma-norma yang mengatur lembaga pidana: atau pemidanaan, lembaga penindakan dan lembaga kebijaksanaan yang telah diatur oleh pembentuk undang-undang di dalam hukum pidana materiilUntuk mencapai tujuan tersebut, penulis bermaksud untuk membuat perbedaan antara apa yang disebut lembaga pemidanaan dengan apa yang disebut lembaga penindakan dan apa yang disebut lembaga kebijaksanaan. C. LEMBAGA PEMIDANAAN, PENINDAKAN, DAN KEBIJAKSANAANYang dimaksud dengan lembaga pemidanaan di dalam buku ini bukanlah lembaga-lembaga di mana para terpidana harus menjalankan pidana mereka atau yang dikenal dengan lembaga pemasyarakatan, melainkan lembaga hukum yang disebutkan di dalam hukum positif yang secara langsung ada hubungannya dengan pemidanaan yang dilakukan oleh hakim, dan termasuk pula dalam pengertiannya, yaitu lembaga pemasyarakatan.Lembaga pemidanaan sebagaimana yang dimaksudkan di atas antara lain adalah:1. lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, penyitaan benda-benda tertentu, dan pengumuman dari putusan hakim seperti yang diatur di dalam Pasal 10 huruf a dan huruf b KUHP;2. lembaga pidana tutupan seperti yang telah diatur di dalam Undang-Undang tanggal 31 Oktober 1946 Nomor 20, Berita Republik Indonesia II Nomor 24;3. lembaga pidana bersyarat seperti yang diatur di dalam Pasal 14a ayat (1) sampai dengan ayat(5) KUHP dan pelaksanaannya diatur di dalam Ordonansi tanggal 6 November 1926, Staatsblad tahun 1926: Nomor 487 yang dikenal sebagai Uitvoeringsordonnantie voorwaardelijk veroordeling atau peraturan pelaksanaan mengenai pemidanaan bersyarat;4. lembaga pemberatan pidana kurungan karena adanya suatu samenloop van strafbare feiten, recidive atau karena tindak pidana telah dilakukan oleh seorang pegawai negeri dengan menodai kewajiban jabatannya yang bersifat khusus seperti yang diatur di dalam Pasal 18 ayat (2) KUHP;5. lembaga tempat orang menjalankan pidana seperti yang diatur di dalam Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 708 yang juga dikenal sebagai Gestichtenreglement atau peraturan tentang lembaga pemasyarakatan.Yang dimaksud dengan lembaga penindakan atau maatregel adalah lembaga hukum di dalam hukum positif yang secara langsung. ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara-perkara pidana, tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatu kebijaksanaan, dan termasuk dalam pengertiannya, yaitu lembaga pendidikan paksa dan lembaga kerja negara.Lembaga penindakan tersebut antara lain adalah:1. lembaga penempatan di bawah pengawasan pemerintah seperti yang dimaksud di dalam Pasal 45 KUHP, yang pengaturannya lebih lanjut terdapat di dalam Ordonansi tanggal 21 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 741 yang juga dikenal sebagai Dwangopvoeding Regeling atau peraturan tentang pendidikan paksa;2. lembaga penutupan secara terpisah atau lembaga afzonderlijke opsluiting seperti yang dimaksud di dalam Pasal 35 ayat (3) Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 708;3. lembaga penutupan dengan seorang diri di dalam sebuah kerangkeng dengan jeruji besi atau lembaga eenzame opsluiting seperti yang dimaksud di dalam Pasal 49 ayat (1) huruf d Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 708;4. lembaga pendidikan paksa atau dwangopvoeding yang telah diatur di dalam Ordonansi tanggal 21 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 741;5. lembaga penempatan di dalam lembaga kerja negara seperti yang diatur di dalam ordonansi tanggal 24 Maret 1936, Staatsblad Tahun 1936 Nomor 160.Yang dimaksud dengan lembaga kebijaksanaan di dalam tulisan ini adalah lembaga-lembaga hukum yang disebutkan di dalam hukum positif, yang secara langsung ada hubungannya dengan putusan hakim dalam mengadili perkara-perkara pidana, tetapi yang bukan merupakan suatu pemidanaan atau suatu penindakan, ataupun yang secara langsung ada hubungannya dengan pelaksanaan dari putusan hakim sebagaimana yang dimaksud di atas.Lembaga kebijaksanaan sebagaimana yang dimaksudkan di atas itu antara lain adalah:1. lembaga pengembalian terdakwa kepada orang tuanya atau kepada walinya seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 45 KUHP;2. lembaga pembebasan bersyarat 'seperti yang dimaksud di dalam Pasal 15 KUHP, yang pengaturannya lebih lanjut terdapat di dalam Ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 749 yang juga dikenal sebagai Ordonnantie op de voorwardelijke invrijheidstelling atau peraturan mengenai pembebasan bersyarat;3. lembaga izin bagi terpidana untuk hidup secara bebas di luar lembaga pemasyarakatan setelah jam kerja seperti yang dimaksud di dalam Pasal 20 ayat (1) KUHP;4. lembaga mengusahakan perbaikan nasib sendiri bagi orang-orang yang dijatuhi pidana kurungan sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 23 KUHP dan diatur lebih lanjut di dalam Pasal 94 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 708.Para penulis Belanda ternyata hanya menghubungkan hukum penitensier semata-mata dengan straf dan dengan maatregel atau dengan pemidanaan dan dengan penindakan.21Menurut hemat penulis pendapat mereka adalah tidak sepenuhnya benar, karena tindakan hakim yang telah memerintahkan agar seorang terdakwa dikembalikan kepada orang tua atau kepada walinya sudah jelas bukan merupakan suatu straf atau pemidanaan dan sulit untuk disebut sebagai maatregel atau penindakan, dan yang paling tepat untuk disebut sebagai suatu kebijaksanaan. Apa perbedaannya antara straf dengan maatregel itu?Dengan menyadur pendapat dari Hugo de Groot yang mengatakan, bahwa straf merupakan suatu malum passionis quod infligitur ob malum actionis, Hazewinkelsuringa mengatakan, bahwa straf atau pidana merupakan reaksi atas dilakukannya suatu delik yang telah dinyatakan terbukti, berupa kesengajaan untuk memberikan semacam penderitaan kepada seorang pelaku, karena telah melakukan tindak pidana. Adapun pada strafrechtelijke maatregelen atau pada penindakan-penindakan menurut hukum pidana, unsur kesengajaan untuk memberikan penderitaan sama sekali tidak ada.D. TUJUAN DARI PEMIDANAANSebagaimana penulis telah katakan bahwa dalam membuat suatu rumusan mengenai hukum penitensier, ternyata Prof. van Bemmelen telah berpikir lebih maju, yakni dengan tidak melihat pidana itu semata-mata sebagai pidana atau dengan tidak melihat pemidanaan itu semata-mata sebagai pemidanaan saja, melainkan beliau telah mengaitkan lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan itu dengan tujuan yang ingin dicapai.Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari pemikiran para pemikir atau para penulis beberapa abad yang lalu. Mereka mengeluarkan pendapat tentang dasar pernbenaran atau tentang rechtvaardigingsgrond dari suatu pemidanaan, baik yang telah melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang telah mengaitkan pemidanaan dengan tujuan yang ingin dicapai terhadap pemidanaan itu sendiri.Mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat di antara para pemikir atau di antara para penulis. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: 1. untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,2. untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan,3. untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.Tiga pokok pemikiran di atas, pada umumnya sama dengan pendapat para penulis bangsa Romawi.Prof. Simons berpendapat, bahwa para penulis lama itu pada umumnya telah mencari dasar pembenaran dari suatu pemidanaan pada tujuan yang lebih jauh dari suatu pembinaan, di samping melihat hakikat dari suatu pemidanaan sebagai suatu pembahasan.Prof. Simons juga merasa yakin, bahwa hingga akhir abad ke delapan belas, praktik pemidanaan berada di bawah pengaruh dari paham pembalasan atau uergeldingsidee dan paham membuat jera atau itfachrikkingsidee.Adapun Prof, van Hamel berpendapat, bahwa hingga akhir abad kesembilan belas praktik pemidanaan masih dipengaruhi oleh dua pemikiran pokok, yaitu vergeldingsidee dan afschrikkingsidee.Para penganut mazhab hukum alam atau natuurrechts-school pada umumnya mencari dasar dari pemidanaan pada pengertian hukum yang berlaku umum.Mereka yang memandang negara sebagai suatu penjelmaan dari kehendak manusia, mencari dasar pembenaran dari pemidanaan pada kehendak individu.Metode itu telah digunakan antara lain oleh Hugo de Groot, yang untuk memperoleh penjelasan tentang apa sebabnya seorang pelaku harus dipandang layak untuk menerima akibat dari perbuatannya, hal ini telah melihat pada kehendak alam, yaitu barang siapa telah melakukan sesuatu yangbersif at jahat, sudah selayaknya ia juga diperlakukan secara jahat. Atau dengan perkataan lain, pidana itu menurut sifatnya merupakan malum passionis quod infligitur ob malum actionis.Pengikut dari Hugo de Groot sebagai penganut dari mazhab hukum alam telah berusaha untuk mencari dasar pembenaran dari suatu pidana itu pada asas-asas hukum yang berlaku umum.Misalnya Rousseau mencari dasar pembenaran pidana pada teorinya yang terkenal, yakni contrat social. Adapun Beccaria mencari dasar pembenarannya pada kehendak yang bebas dari warga negara, yakni yang telah mengorbankan sebagian kecil dari kebebasannya kepada negara, agar mereka yang memperoleh perlindungan dari negara dapat menikmati sebagian besar dari kebebasannya.Teori Rousseau dan Beccaria di atas mencari dasar pembenaran pidana pada kehendak dari individu dengan tidak meninggalkan paham pembalasan, yang kadang-kadang juga telah diakui sebagai tujuan utama dari suatu pemidanaan.Metode mencari dasar pembenaran dari pidana dengan melihat kepada kehendak dari individu, tidak terdapat di datam teori para penulis Jerman, yang di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal sebagai absolute theorieen atau teori absolut. Di dalam teorinya, mereka mencari dasar pembenaran dari pidana pada kejahatannya sendiri, yakni suatu akibat yang wajar, yang timbul dari setiap kejahatan. Adapun mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan itu sendiri tidak mendapat perhatian di dalam teori-teori tersebut.Teori dari para penulis Jerman disebut teori absolut, karena mereka secara absolut bermaksud untuk melepaskan pengertian pidana itu dari tujuan pidana itu sendiri.Teori-teori absolut itu antara lain, teori dari Kant, teori Hegel, teori Herbart, teori Stahl, teori von Bar, teori Kohler, dan teori Polak yang dikenal sebagai object iveringstheorie.Menurut teori Kant dasar pembenaran suatu pidana terdapat dalam apa yang disebut Kategorischen Imperativ, yakni yang menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum harus dibalas. Keharusan menurut keadilan dan hukum, merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, hingga setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan pada sesuatu tujuan harus dikesampingkan.Mengenai berat dan ringannya suatu pidana yang dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku, menurut Kant haruslah didasarkan pada asas keseimbangan atau pada talio beginsel, hingga menurut teori dari Kant, pidana mati merupakan suatu pidana yang mutlak dijatuhkan bagi seorang pelaku yang telah melakukan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu. Menurut teori Hegel, hak itu harus dipandang sebagai suatu kcbebasan yang sifatnya nyata, sedang sesuatu yang sifatnya melawan hak sebenarnya bersifat tidak nyata. Dilanggamya suatu hak oleh sesuatu kejahatan secara lahiriah memang mempunyai segi yang sifatnya positif, tetapi menurut sifat dari kejahatan itu sendiri segi positif tersebut menjadi batal. Kebatalan tersebut harus dibuat secara nyata, yaitu dengan perbuatan yang sifatnya nyata. Perbuatan meniadakan pelanggaran hak itu adalah perlu untuk mempertahankan hak terhadap segala ketidakberhakan. Perbuatan yang sifatnya melawan hak harus ditiadakan dengan suatu pidana sebagai pembalasan.Menurut Hegel, di dalam menjatuhkan suatu pidana, pribadi dari pelakunya tetap dihormati, dalam arti bahwa berat atau ringannya plilnna yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut haruslah ditentukan oleh jenis perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku itu sendiri.Dari teorinya di atas dapat diketahui, bahwa Hegel sebenarnya menghendaki apa yang disebut dialektische vergelding atau pembalasan yang bersifat dialektis, yakni yang mensyaratkan adanya suatu keseimbangan antara kejahatan yang telah dilakukan dengan pidana yang harus dijatuhkan. Seimbang di sini tidak berarti harus sejenis, melainkan cukup apabila pidana yang dijatuhkan mempunyai nilai yang sama dengan kejahatan yang telah dilakukan oleh pelakunya.Menurut teori Herbart, pembalasan itu harus dipandang sesuatu yang sifatnya aestetis. Kejahatan yang tidak dibalas merupakan suatu ketidakadilan. Di samping melihat pidana sebagai suatu pemblaasan, Herbart juga telah melihat pencapaian dari beberapa tujuan untuk kepentingan masyarakat sebagai suatu bijkomende motief atau sebagai motif yang lain dari pidana.Pendapat dari Herbart tersebut ternyata mempengaruhi pandangan dari seorang penulis bernama Geyer, yang di dalam tulisannya antara lain mengatakan, bahwa keadilan menghendaki adanya suatu pembalasan, baik bagi yang buruk maupun bagi yang baik. Apabila keadilan menghendaki, maka pemidanaan harus dilakukan dengan maksud untuk melindungi masyarakat dan untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.Menurut teori dari Stahl, asas pembalasan adalah sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Asas keadilan abadi telah menghendaki agar pidana itu dijatuhkan bagi setiap orang yang telah berbuat jahat. Dikatakan selanjutnya oleh Stahl, bahwa negara merupakan suatu pengaturan yang nyata dari Tuhan di atas bumi, karena dilakukannya sesuatu kejahatan telah membuat asas-asas dasarnya menjadi tercemar, Untuk menegakkan wibawanya, negara harus melakukan tindakan terhadap perbuatan seperti itu, yakni dengan cara meniadakan penjahatnya atau membuat penjahatnya dapat merasakan suatu penderitaan, di mana penderitaan itu sendiri bukanlah merupakan tujuan melainkan hanya merupakan cara untuk membuat penjahatnya dapat merasakan akibat dari perbuatannya.Stahl juga berpendapat bahwa dengan suatu pemidanaari dapat mencapai tiga hal, yakni untuk melindungi tertib hukum, untuk mencegah orang melakukan kejahatan, dan untuk membuat orang jera melakukan kejahatan.Di samping teori absolut di atas, masih dapat dijumpai sejumlah teori, yang di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana teori tujuan atau doeltheorieen, yakni teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana semata-mata pada satu tujuan tertentu, di mana tujuan tersebut dapat berupa:a. tujuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan,b. tujuan untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana semata-mata pada satu tujuan tertentu; dapat dibagi menjadi dua macam teori, yakni: a. teori pencegahan umum atau algemene preventie theorieen, yang ingin dicapai dari tujuan.pidana, yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar tidak melakukan kejahatan,b. teori pencegahan khusus atau bijzondere preventie theorieen, yang ingin dicapai dari tujuan pidana yakni membuat jera, memperbaiki, dan membuat penjahat itu sendiri menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan lagi. Dapat juga dimasukkan ke dalam pengertian teori pencegahan umum, yaitu apa yang disebut:a. afschrikkingstheorieen atau teori membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat jera semua warga masyarakat agar mereka tidak melakukan kejahatan-kejahatan. Menurut Prof. Simons, pemikiran dengan tujuan untuk membuat semua warga masyarakat menjadi jera seperti itu berasal dari pemikiran mengenai/ pidana pada zaman dahulu yang bersifat tidak manusiawib. de leer van de psychologische dwang atau ajaran mengenai pemaksaan cara psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anselm von / Feuerbach. Menurut teori dari Anselm von Feuerbach tersebut, ancaman hukuman harus dapat mencegah niat orang untuk melakukan kejahatan, dalam arti orang menyadari bahwa melakukan sesuatu kejahatan pasti akan dipidana, untuk itu mereka akan merunggalkan niat untuk melakukan sesuatu kejahatan. Dari teori tersebut Anselm von Feuerbach kemudian telah mengatakan apa yang disebut tiga asas dasar yang berbunyi: nutta/poena sine lege; nulla poena sine crimine, dan nullum crimen sine poena legali.Hal di atas, dapat dimasukkan ke dalam pengertian teori pencegahan khusus, yaitu teori dari Grolman, yang mengatakan bahwa tujuan dari pidana adalah untuk melindungi masyarakat, dengan membuat penjahatnya tidak berbahaya atau menjadi jera untuk melakukan suatu kejahatan kembali.Penganut dari teori pencegahan khusus terdapat orang-orang yang telah mendasarkan pandangannya pada determinisme, dan pada pengakuan adanya suatu pengaruh yang besar dari sifat fisik dan sif at psikis serta dari keadaan yang nyata. Berdasarkan pandangan mereka masing-masing, bahwa penjatuhan dari suatu pidana sekali-kali tidak boleh bertentangan dengan maksud baik terhadap pribadi dari penjahat itu sendiri. Mereka telah mencari dasar pembenaran dari pidana pada tujuan untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya.Mereka berpendapat bahwa barang siapa yang telah menunjukkan suatu perilaku yang tidak pantas dan bersifat mengganggu bagi ketertiban masyarakat harus diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan agar di kemudian hari dapat berperilaku lebih pantas, dan bahwa alasan pribadi yang telah mendorong mereka untuk berperilaku secara melawan hukum, harus ditiadakan dengan suatu pemidanaan.Pada waktu orang mengadakan pembaruan di dalam sistem pemidanaan kita, teori ini ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar dan telah berjasa dengan memperkenalkan sistem penutupansecara terpisah atau stelsel der afzonderlijke opsluiting kepada sistem pemidanaan kita, yang hingga kini masih dapat dijumpai pelaksanaannya di lembaga pemasyarakatan di Indonesia.Apabila dari pembicaraan di atas, sudah dapat diketahui bahwa di dalam absolute theorieen, orang telah melihat pidana semata-mata ttebagai pidana dengan mengabaikan tujuan yang ingin dicapai dengan pidana itu sendiri, dan bahwa di dalam doeltheorien itu, orang telah mencari dasar pembenaran dari pidana pada satu tujuan yang tertentu, dl dalam apa yang disebut relatieve theorieen atau teori relatif orang justru telah mencari dasar pembenaran dari pidana pada suatu tujuan yang sifatnya umum, yaitu untuk mengamankan tertib hukum.Yang termasuk pengertian relatieve theorieen, yaitu pendapat dari pnra penganut mazhab antropologi kriminal atau crimineel anthro-jiologische school, yang telah mengatakan bahwa tujuan dari pidana ildalah untuk melindungi masyarakat.Menurut pendapat mereka, kejahatan merupakan suatu produk dari sifat alamiah seorang pelaku dan dari keadaan di dalam masyarakat.Perhatian mereka terutama ditujukan pada pribadi pelakunya, dan menginginkan agar pidana yang dijatuhkan bagi para penjahat dilakukan berdasarkan pembagjan dari para penjahat dalam kelompok ynng berbeda.Penganut utama dari relatieve theorieen ini adalah Ferri dan Garofalo.Di antara teori relatif yang terbaru, yang perlu diketahui adalah teori relatif dari von Liszt, yang menyebumya sebagai suatu kumpulan dim berbagai teori tujuan yang berbeda atau sebagai suatu vereniging tiiiu verschillende andere doeltheorieen.Menurut teori dari von Liszt, hukum gunanya adalah untuk melindungi kepentingan hidup manusia, yang oleh hukum telah illukui sebagai kepentingan hutum. dan mempunyai tugas untuk menentukan dan menetapkan batas-batas dari kepentingan hukum yang dimiliki oleh orang yang satu dengan orang yang lain. Untuk dapat melaksanakan fungsinya seperti itu, hukum telah menetapkan norma-norma yang harus ditegakkan oleh negara. Negara hams menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah melanggar norma-norma tersebut.Menurut von Liszt, ancaman pidana sifatnya memperingatkan dan mempunyai sifat yang menjerakan, sedang penjatuhan pidana adalah untuk kepentingan semua warga masyarakat.Prof. Simons berpendapat, bahwa teori dari von Liszt telah menekankan pada pengaruh dari pidana yang mempunyai sifat pencegahan secara khusus, dan justru karena adanya suatu penekanan seperti itulah orang dapat membuat perbedaan antara teori dari von Liszt dengan Iain-Iain gemengde relatieve theorieen atau dengan Iain-lain teori-teori relatif campuran, misalnya dengan teori relatif campuran dari Lammasch atau dengan teori relatif campuran dari Janka.Di negeri Belanda, orang juga dapat menjumpai suatu teori tentang pidana yang mirip dengan teori dari von Liszt, yaitu teori tentang pidana dari Prof. van Hamel.Menurut Prof, van Hamel, suatu pidana dapat dibenarkan, yaitu apabila pidana tersebut:a. tujuannya adalah untuk menegakkan tertib hukum;b. diputuskan dalam batas-batas kebutuhan;c. dapat mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan lain oleh pelakunya;d. dijatuhkan berdasarkan suatu penelitian yang tuntas menurut criminele aetiologie dan dengan menghormati kepentingan yang sifatnya hakiki dari terpidana.Prof. van Hamel sendiri menyebut empat syarat di atas sebagai asas-asas dari suatu pencegahan yang bersifat khusus, tetapi Prof. Simons menyebutnya sebagai suatu dasar pemikiran mengenai spedale preventieleer secara teoretis yang sifatnya praktis, bahkan juga menyebutnya sebagai satu-satunya dasar pemikiran yang mempunyai dasar yang bersifat logis.Dari teori mengenai pidana yang pernah ada dalam abad yang telah lalu, timbullah kemudian sejumlah besar teori-teori, yang dengan berbagai cara berusaha untuk menyatukan dua masalah pokok, yaitu:a. untuk menjelaskan tentang apakah sebenarnya pidana itu, danb. untuk menemukan dasar pembenaran dari pidana.Teori seperti itu di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut teori kumpulan atau verenigingstheorieen.Kumpulan seperti dimaksudkan di atas dapat diperoleh:a. Dengan mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, baik pada asas kebenarah maupun pada kebutuhan masyarakat akan perlunya suatu pidana, yakni untuk menentukan apakah benar bahwa pembalasan itu menghendaki bahwa sesuatu kesalahan selalu harus dibalas dengan suatu kesalahan. Metode ini telah digunakan di dalam teori dari Rossi, Ortolan, Haus, Vidal, dan penulis lainnya, terutama penulis di Francis.b. Dengan menganggap bahwa terjadinya suatu tindak pidana, timbullah hak pada negara untuk menjatuhkan pidana, di mana orang harus membuat perbedaan antara apa yang disebut hak dan kewajiban, karena kewajiban itu sendiri baru timbul kemudian, yaitu setelah adanya suatu tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan. Metode ini telah digunakan di dalam teori pemldanaan dari Karl Binding.Menurut Binding, dengan menetapkan norma-norma itu timbullah hak pada negara untuk memaksa setiap orang agar menaati Iarangan dan keharusan yang apabila kemudian ternyata dilanggar, negara menjadi berhak untuk memidananya. Akan tetapi, hak mana hanya akan digunakan.oleh negara, yaitu apabila memang benar bahwa penegakan hukum telah menghendaki agar negara berbuat demikian.c. Dengan mencari dasar pembenaran pidana dari tujuannya, yakni untuk mempertahankan tertib hukum, dengan catatan bahwa tujuan tersebut tidak mungkin dapat dicapai apabila tidak sesuai dengan kesadaran hukum, yakni pidana itu sebenarnya merupakan suatu pembalasan yang dapat dibenarkan oleh hukum. Di dalam teori ini, pembalasan dianggap sebagai suatu keharusan dan bukan semata-mata sebagai sifat dari suatu pidana. Metode ini telah digunakan di dalam teori dari Adolf Merkel bahwa karena pendapatnya mengenai schuld dan pertanggungjawaban yang telah dihubungkan dengan pahamnya tentang determinisme, telah membuat ajarannya memperoleh tempat yang tersendiri di antara paham yang telah ada, hingga Adolf Merkel juga disebut sebagai pendiri dari apa yang disebut mazhab ketiga, yang menurut Prof. Simons, mazhab ini merupakan suatu mazhab modern. Mazhab ketiga ini oleh Prof. Simons disebut sebagai mazhab sosiologische strafrechtsleer.Dapat pula dimasukkan ke dalam pengertian sociologische strafrechtsleer, yaitu teori dari Mayer, yang sebenarnya telah bermaksud untuk menyampingkan pemikiran mengenai teori kumpulan dengan menyebut teprinya sebagai verdelingstheorie atau distributieve theorie yang artinya teori pembagian. Menurut teori dari Mayer, pidana sebenarnya merupakan akibat hukum dilakukannya suatu delik, yang menyebabkan pembalasan itu menjadi perlu untuk dilaksanakan. Menurut Mayer, tidak mungkin bagi orang untuk dapat menunjukkan dasar-dasar yang bersifat normatif terhadap perlunya suatu pembalasan, tetapi dasar-dasar tersebut harus dicari pada asas keadilan dan kebutuhan.Bagaimana pandangan orang mengenai pidana di zaman modern ini?Menurut Prof. Simons, pandangan orang di zaman modern mengenai asal negara dan hakikat dari negara sebagai organisasi yang mempunyai tujuannya tersendiri dan mempunyai hak-hak yang lebih tinggi daripada hak-hak yang dimiliki oleh individu. Oleh karena itu, pidana dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan dari negara, dengan akibat bahwa orang merasa tidak perlu untuk mempermasalahkan kembali tentang apa yang menjadi dasar pembenaran dari suatu pidana, melainkan yang dianggap perlu untuk dibicarakan adalah tentang tujuan yang bagaimanakah yang harus dicapai dengan suatu pidana.Pandangan orang seperti di atas, di dalam kepustakaan juga sering disebut sebagai paham modern mengenai pidana.Tentang tujuan yang bagaimana yang ingin dicapai orang dengan suatu pidana, hingga kini belum terdapat suatu kesamaan pendapat di antara para sarjana. Akan tetapi, dari praktik pidana dan pemidanaan di tanah air, kita dapat mengetahui bahwa pemikiran orang mengenai pidana dan pemidanaan dewasa ini sedikit banyak masih dipengaruhi oleh pemikiran orang mengenai pidana dan pemidanaan dari beberapa abad yang lampau, walaupun karena telah mendapat pengaruh dari beberapa ilmu pengetahuan yang baru, terutama dari kriminologi, orang telah didorong untuk mengadakan pembaruan di dalam sistem pemidanaan. Akan tetapi, yang karena peraturan perundang-undangan yang mengaturnya hingga kini masih tetap merupakan peraturan perundang-undangan yang lama, maka mengenai sistem pemidanaan seperti dimaksud di atas, hingga kini orang masih terpaku pada sistem yang lama dengan segala kekurangannya.Perlu diketahui bahwa mengenai tujuan dari pidana dan pemidanaan bukanlah merupakan bagian dari hukum penitensier yang sedang kita pelajari. Akan tetapi, hal ini perlu diketahui, yakni untuk dapat mengerti tentang perlunya lembaga pemidanaan, lembaga penindakan, dan lembaga kebijaksanaan yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan oleh pembentuk undang-undang kita.E.HUBUNGAN ANTARA TUJUAN DARI PEMIDANAAN DENGAN LEMBAGA PEMIDANAAN, PENINDAKAN, DAN KEBIJAKSANAAN ,.,Tidak dapat disangkal lagi kebenarannya bahwa antara tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, lembaga pemidanaan, penindakan, dan kebijaksanaan terdapat hubungan yang sangat erat, karena lembaga pemidanaan, penindakan, dan kebijaksanaan pada hakikatnya merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dari pemidanaan sebagaimana yang diinginkan.Pertumbuhan pemikiran mengenai tujuan dari pemidanaan, seringkali mendorong orang untuk menciptakan lembaga pemidanaan, lembaga penindakan atau lembaga kebijaksanaan yang baru, yang sebelumnya belum pernah dikenal orang di dalam praktik.Agar lembaga baru seperti itu dapat digunakan secara sah menurut hukum, sudah barang tentu lembaga-lembaga tersebut harus dituangkan terlebih dahulu ke dalam suatu peraturan perundang-undangan.Sebagai contoh, pemikiran tentang bagaimana sebaiknya melakukan pemidanaan terhadap orang-orang yang memang perlu dipidana, karena melakukan suatu tindakan semata-mata terdorong oleh maksud-maksud yang dapat dihormati. Pemikiran seperti itu ternyata telah mendorong Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat untuk menciptakan suatu jenis pidana pokok yang baru, yaitu pidana tutupan dan telah diaturnya di dalam Undang-Undang tanggal 31 Oktober 1946 Nomor 20 tentang Pidana Tutupan.Hubungan yang erat antara tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan dengan lembaga pemidanaan, penindakan, dan kebijaksanaan, dapat dilihat secara jelas dalam cara memperlakukan terpidana di Itembaga pemasyarakatan. Hal ini bila dikaitkan pula dengan pemikiran orang mengenai pidana, yang tumbuh dalam sejarah, yakni dari pemikiran yang tidak manusiawi hingga pemikiran yang menghendaki agar harkat dan martabat terpidana sebagai manusia tetap dihargai, walaupun ia telah melakukan suatu tindakan yang melawan hukum.Menurut sejarah, orang mengenai perlakuan terhadap terpidana di rumah penjara dengan menggunakan apa yang disebut Pensylvanisch stelsel atau sistem pemidanaan Pensylvania. Menurut sistem Pensylvania ini, terpidana yang sedang menjalankan pidana di rumah penjara, masing-masing telah dipisahkan dan ditutup di dalam sel-sel, baik pada siang maupun malam hari sampai mereka selesai menjalankan pidananya. Dari sistem Pensylvania inilah orang mengenai apa yang disebut cellulair stelsel atau sistem penutupan dalam sel, yang hingga kini masih tetap dipertahankan di sebagian besar rumah penjara di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia.Tidak salah lagi bahwa sistem Pensylvania tersebut sebenarnya merupakan cara pemidanaan yang sesuai dengan pemikiran orang mengenai pidana yang ada pada waktu itu, yakni yang melihat pidana semata-mata sebagai pidana, tanpa memikirkan tujuan yang ingin dicapai dengan pidana itu sendiri.Pemikiran semacam itu sebenarnya merupakan pemikiran dari para penganut teori absolut seperti Kant, Hegel, Herbart, Stahl, von liar Kohler, dan Leonard Polak, yang ternyata sampai tahun 1787 masih mempunyai pengaruh yang begitu besar sampai di Amerika Serikat, sehingga pada waktu itu orang di Amerika Serikat terpaksa membentuk apa yang disebut Philadelphia Prison Society. Hal ini tujuan utamanya untuk menghilangkan sifat-sifat yang merusak dari cara pemidanaan yang mewajibkan narapidana melakukan pekerjaan yang sifatnya umum di tempat-tempat umum, dan menggantinya dengan upa yang disebut volledige afzondering atau penutupan secara sempurna para narapidana di rumah-rumah penjara.Menurut Prof, van Hamel, cara pemidanaan seperti itu mempunyai sifat yang sangat merugikan bagi para narapidana, karena akan membuat para narapidana menjadi lemah secara fisik, akan membatasi kemungkinan para narapidana dapat melakukan pekerjaan sehari-hari, dan mempersulit para narapidana untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan bermasyarakat secara normal, apabila mereka selesai menjalankan pidana mereka.Para pendiri Philadelphia Prison Society di atas, tidak menyangkal kebenaran, bahwa pemikiran mereka telah dipengaruhi oleh sistem Pensylvania. Akan tetapi, apa yang mereka usulkan adalah perlu untuk mencegah agar sifat-sifat yang tidak baik dari para narapidana jangan sampai menulari masyarakat dan para narapidana dapat merasakan kesendirian di dalam rumah penjara.Cita-cita dari para pendiri Philadelphia Prison Society tersebut, kemudian telah menjadi suatu kenyataan dan dilaksanakan orang di dalam sebuah rumah penjara baru yang didirikan orang pada tahun 1829 di Philadelphia, Pensylvania.Menurut sistem rumah penjara Philadelphia tersebut, oarapidana ditutup dalam sebuah selnya masing-masing, tanpa harus melakukan pekerjaan apa pun, tanpa dapat membaca tulisan apa pun kecuali Kitab Injil, tanpa diberikan kesempatan untuk menerima pengunjung, dan tanpa diberikan kesempatan untuk dapat berbicara dengan orang lain.Sistem pemidanaan itulah yang sebenarnya disebut lembaga valstrekte eenzame opsluiting atau lembaga penutupan secara menyendiri yang sif atnya sempurna, yang menurut Prof, van Bemmelen disebut dasar yang telah diambil untuk memasukkan apa yang disebut celstelsel atau sistem penutupan dalam sel ke sistem pemidanaan di negeri Belanda,Pada saat yang hampir bersamaan di Amerika Serikat, di negara bagian New York orang telah mengembangkan sistem pemidanaan yang lain, yakni Auburn stelsel atau sistem pemidanaan di penjara Auburn, yang mula-mula telah dilaksanakan di rumah penjara di kota Auburn di negara bagian New York dan kemudian juga dilaksanakan di rumah penjara yang terkenal, yaitu rumah penjara Sing Sing pada tahun 1925.Menurut sistem Auburn tersebut, para narapidana dapat mengerjakan pekerjaan tertentu secara bersama-sama pada siang hari, mereka dapat menghirup udara segar, berjemur diri, dan makan secara bersama-sama, tetapi mereka secara mutlak tidak diperbolehkan untuk berbicara dengan sesama mereka. Pada malam hari setiap narapidana ditutup di dalam selnya masing-masing.Kiranya dapat dimengerti bahwa di dalam sistem pemidanaan tersebut, terdapat sikap yang bermusuhan antara petugas dengan narapidana.Keadaan seperti itu ternyata mempersulit pelaksanaan dari sistem pemidanaan yang baru, yaitu pada waktu sistem Auburn dianggap sebagai sistem yang tidak sesuai lagi dengan pemikiran bahwa pemidanaan itu tidak boleh lagi dipandahg semata-mata sebagai pemidanaan, melainkan harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai terhadap pemidanaannya sendiri.Pada waktu orang di Amerika Serikat mengembangkan sistem pemidanaan Pensylvania dan sistem pemidanaan Auburn, ternyata di Inggris orang telah mengembangkan sistem pemidanaannya sendiri, yang oleh para penulis sering disebut progressief stelsel atau sistem pemidanaan progresif;Menurut Prof, van Bemmelen, pemikiran tentang perlunya suatu sistem pemidanaan yang lebih progresif atau lebih maju telah ada pada waktu orang di Inggris telah biasa untuk mendeportasikan para narapidana ke benua Australia, tetapi kemudian baru dikembangkan setelah kebiasaan mendeportasikan narapidana ke Australia itu dihentikan. Pada tahun 1840 sebuah koloni pemidanaan di Norfolk Island mendapatkan seorang pimpinan yang baru bernama Maconochie, yang mempunyai gagasan untuk menghapuskan sama sekali sistem pemidanaan yang sifatnya sangat menekan bagi para narapidana. Maconochie tidak menginginkan para narapidana memperoleh perlakuan seperti yang biasa diperoleh oleh para narapidana dengan Nistem Pensylvania atau sistem Auburn. Di samping itu, ia menginginkan agar para narapidana diberikan suatu pendidikan demi kebaikan mereka sendiri, setelah mereka selesai menjalankan pidana.Sistem pemidanaan progresif oleh Maconochie telah memperkenalkan apa yang disebut mark system, yakni memberikaii suatu mark atau"angka bagi tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terpidana, di mana angka tersebut selalu dapat dikurangi dengan angka-angka yang ia peroleh, karena prestasi kerja yang telah ia tunjukkan, karena kelakuannya dan sikapnya terhadap sesama terpidana. Bagi tindakan atau sikap yang bersifat positif, setiap minggu ia memperoleh angka positif, dan bagi tindakan atau sikapnya yang bersifat negatif, setiap minggu ia memperoleh angka negatif. Angka-angka tersebut tidak diberikan kepada seorang terpidana secara pribadi, melainkan kepada suatu kelompok narapidana yang terdiri atas enam orang.Apabila seorang terpidana telah berhasil menghapus nilai atau angka negatif yang pernah ia peroleh karena tindak pidananya, maka ia memperoleh hak untnk dibebaskan.Di lain pihak, setelah pendeportasian para narapidana ke benua Australia dihentikan, Inggris telah mengganti sistem penal servitude dengan pelaksanaan yang bersifat progresif, yaitu:a. pada tahap pertama, seorang terpidana ditempatkan dalam probation atau tahap percobaan, di mana terpidana itu selama sembilan bulan mendapat perlakuan yang sangat keras, yakni dengan ditutup seorang diri dan wajib melakukan pekerjaan yang berat;b. pada tahap kedua, terpidana ditempatkan dalam public work-prison atau penjara untuk melakukan pekerjaan yang sifatnya umum, di mana ia dapat melakukan pekerjaan 'secara bersama-sama dengan terpidana lainnya, tetapi harus kembali ke selnya sendiri pada malam hari. Di dalam public work prison inilah, ia akan memperoleh perlakuan sesuai dengan mark system;c. pada tahap ketiga, apabila terpidana telah menjalani tiga perempat dari masa pidananya, terpidana akan dibebaskan dari penjara dengan syarat, yaitu ditempatkan di bawah suatu parole, yang artinya secara harfiah adalah suatu conditional release from prison.Sistem pemidanaan progresif di Inggris kemudian dikembangkan kembali di Irlandia. Hal ini sesuai dengan gagasan dari Sir Walter Crofton yang telah mendirikan intermediate prison, yang telah dimaksud untuk dijadikan suatu lembaga antara, yakni antara tahap penempatan dalam public work prison dengan tahap penempatan di bawah suatu parole. Di dalam intermediate prison ini para terpidana dapat bergerak secara bebas, bahkan juga bebas untuk meninggalkan penjara.Lembaga intermediate prison tersebut kemudian dihapus kembali, yaitu setelah pencetus gagasannya Sir Walter Crofton meninggal dunia.Di sisi lain, Amerika Serikat mengembangkan sistem pemidanaan baru, berupa penempatan di dalam reformatory bagi first offenders atau bagi orang-orang yang pertama kalinya terpaksa dipidana karena melakukan suatu tindak pidana. Yang ditempatkan di dalam reformatory hanyalah mereka yang berusia antara enam belas hingga tiga puluh satu tahun. Reformatory pertama yang didirikan di Amerika Serikat adalah Reformatory di Elmira, di negara bagian New York.Gagasan mendirikan reformatory di atas, kemudian menggugah orang di Inggris dan di Belanda untuk mendirikan suatu lembaga yang Hejenis.Pada tahun 1902 Inggris mendirikan Lembaga Pendidikan Paksa di kota Borstal, dan akhirnya juga di negeri Belanda mendirikan sebuah rumah penjara bagi remaja di kota Zutphen, dengan nama Penjara Khusus untuk Orang-Orang Muda.Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemikiran untuk membuat suatu sistem pemidanaan progresif di Inggris dan Irlandia serta pendirian reformatory di Elmila, lembaga pendidikan paksa di Borstal, dan penjara khusus untuk orang-orang muda di Zutphen mempunyai hubungan yang erat dengan pandangan orang yang berubah, untuk tidak hanya melihat pidana semata-mata sebagai pidana, melainkan linrus dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pidana itu sendiri.Jadi, pandangan yang telah mengutamakan perbaikan diri sipenjahat sebagai tujuan dari suatu pidana, terdapat pada penganut teori pencegahan khusus, terutama pada mereka yang telah mendasarkan pandangan mereka pada determinisme atau pada pengakuan tentang adanya pengaruh yang besar dari sifat fisik dan pslkis sertakeadaanyangnyata. Mereka berpendapat bahwa penjatuhan suatu pidana tidak boleh bertentahgan dengan maksud baik terhadap pribadi dari penjahatnya sendiri, para penjahat perlu mendapatkan pendidikan, agar dikemudian hari dapat berperilaku secara lebih pantas.F.PEMIKIRAN PEMBENTUK KUHP TENTANG TUJUAN DARI PEMIDANAAN DAN LEMBAGA PEMIDANAAN DALAM MENCAPAI TUJUAN DARI PEMIDANAAN Para pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak menjelaskan tentang teori pidana atau pemidanaan yang manakah yang telah mereka gunakan sebagai pedoman untuk membentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Prof. Simons berpendapat, bahwa menurut pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penjatuhan pidana harus dilakukan untuk kepentingan masyarakat, dan bertujuan untuk melindungi tertib hukum.Apabila pendapat dari Prof. Simons itu benar, walaupun pembentuk uhdang-undang tidak secara tegas mengatakan demikian, dapat diduga bahwa pada waktu membentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka telah mendapat pengaruh dari teori-teori relatif, yang telah mencari dasar pembenaran dari pidana pada suatu tujuan yang sifatnya umum, yakni untuk mengamankan tertib hukum.Selanjutnya, Prof. Simons menyatakan bahwa tidak pernah terpikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk mencari dasar pembenaran pidana dari salah satu teori pembalasan yang bersifat absolut.Di lain pihak, pandangan dari Mr. Modderman yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman, ikut pula memengaruhi pandangan dari para pembentuk undang-undang.Mr. Modderman sendiri sebenarnya tidak pernah menyatakan secara tegas tentang teori pidana atau teori pemidanaan yang mana yang telah ia anut. Akan tetapi, dari pidato inagurasfnya.yang terkenal dengan judul Straf-geen-kwaad yang diucapkannya pada tahun 1864 dapat diketahui bahwa Mr. Modderman tersebut telah dapat menerima pendapat dari para penganut teori pencegahan umum dan pendapat dari para penganut teori perbaikan mengenai tujuan dari pidana.Di dalam pidato inagurasi Mr. Modderman mengucapkan keinginannya agar pidana jangan hanya ditujukan untuk memperbaiki diri penjahatnya saja, melainkan jika diperlukan juga untuk membuat penjahatnya tidak mampu melakukan kejahatan kembali, sedang ancaman .pidana harus mampu mencegah niat orang untuk melakukan sesuatu kejahatan.Dari uraian tersebut, dapat disimpukan bahwa dugaah dari Prof. Simons yang mengatakan bahwa dalam pandangan pembentuk undang-undang, pidana bertujuan untuk verbetering, afschrikking, dan onschadelijkmaking adalah sudah tepat.Tentang sistem pemidanaan yang mana yang akan digunakan di negeri Belanda, pada waktu itu telah dipertimbangkan tentang kemungkinan-kemungkinan digunakannya sistem Pensylvanta dan sistem-sistem progresif Inggris dan Irlandia.Seperti yang telah dikatakan di atas, sistem Pensylvania itu pada sekitar tahun 1790 telah memperkenalkan kepada dunia pemidanaan suatu lembaga baru, yaitu apa yang disebut afzonderlijka opsluiting atau penutupan secara terpisah, yakni yang mula-mula berbentuk Huatu volstrekte en niet onderbroken eenzaamheid atau berbentuk suatu penutupan secara sempurna tanpa mendapat kesempatan untuk berbicara dengan orang lain, dan yang kemudian telah berkembang dalam bentuk penutupan di dalam selnya masing-masing pada malam hari dengan mendapat kesempatan untuk melakukan pekerjaan secara bersama-sama dengan Iain-lain orang terpidana pada siang hari, tetapi dengan suatu larangan untuk berbicara dengan sesama orang terpidana.Ternyata sistem-sistem progresif dari Inggris dan Irlandia itu kemudian telah dikesampingkan, sedang dari sistem Pensylvania itu hanya lembaga afzonderlijke opsluiting-nya saja yang telah diambil untuk diperlakukan di dalam rumah-rumah penjara di negeri Belanda.Perlu diketahui bahwa perkataan afzonderlijke opsluiting juga terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang dewasa ini berlaku di Indonesia, yakni di dalam Gestichtenreglement atau di dalam peraturan yang mengatur masalah lembaga-lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Akan tetapi, perlu diingat bahwa lembaga afzonderlijke opsluiting menurut Gestichtenreglement mempunyai arti yang tidak sama dengan lembaga afzonderlijke opsluiting menurut sistem Pensylvania seperti yang dimaksud di atas, karena lembaga afzonderlijke opsluiting menurut Gestichtenreglement bukanlah merupakan suatu lembaga pemidanaan yang dapat diputuskan oleh seorang hakim, melainkan hanya sekadar merupakan suatu lembaga penindakan yang dapat diputuskan oleh seorang direktur dari suatu lembaga pemasyarakatan bagi seseorang terpidana yang sedang menjalankan pidananya di dalam suatu lembaga pemasyarakatan, yaitu apabila orang terpidana tersebut telah melakukan sesuatu pelanggaran yang sifatnya berat terhadap salah satu peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan. Menurut Gestichtenreglement tidak ada peraturan yang melarang terpidana yang sedang ditutup secara terpisah itu untuk berbicara dengan orang lain.Larangan untuk berbicara dengan seorang terpidana seperti itu memang dikenal di dalam Gestichtenreglement, yaitu apabila seorang terpidana itu telah dikenakan tindakan berupa suatu eenzame opsluing atau suatu penutupan secara menyendiri, seperti yang dimaksud di dalaih Pasal 49 ayat (1) huruf b, c, dan huruf d, di dalam Pasal 71 ayat (1) sampai dengan ayat (4),. dan di dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat (3).Larangan seperti itu juga dapat dijumpai di dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c, dan d, dan di dalam Pasal 58 ayat (3) dan ayat (4), dan di dalam Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) dari Dwangopvoeding Regeling, Ordonansi tanggal 21 Desember 1917, Staatsblad Tahun 1917 Nomor 741....Di negeri Belanda sendiri, lembaga afzonderlijke opsluiting itu dahulu baru dipraktikkan orang di dalam rumah-rumah penjara, setelah dikeluarkannya Undang-Undang tanggal 28 Juni 1851, Staatsblad Tahun 1851 Nomor 68, di mana antara lain telah ditentukan bahwa penutupan secara terpisah itu hanya dapat dilakukan, apabila Kakim telah menjatuhkan pidana penjara selama satu tahun atau kurang dari satu tahun, dan lamanya penutupan secara terpisah itu sendiri tidak boleh lebih lama dari separuh lamanya pidana penjara yang telah dijatuhkan oleh hakim.Jangka waktu penutupan seorang terpidana secara terpisah itu kemudian telah diperpanjang, yaitu berturut-turut dengan Undang-Undang tanggal 29 Juni 1854 Staatsblad Tahun 1854 Nomor 102, menjadi satu tahun, dan dengan Undang-Undang tanggal 24 Juli 1871, Staatsblad Tahun 1871 Nomor 89, menjadi dua tahun.Di negeri Belanda dewasa ini, bagi orang yang dijatuhi pidana penjara selama lima tahun atau kurang, seluruh masa pidananya harus dilaksanakan secara terpisah, sedang bagi orang yang dijatuhi pidana penjara yang lamanya lebih dari lima tahun, masa pidana lima tahun yang pertama harus dilaksanakan secara terpisah, dan setelah itu para terpidana dapat melaksanakan pidananya secara bersama-sama dengan pembagian dalam kelas-kelas tertentu. Para terpidana laki-laki harus menjalankan pidana penjaranya di rumah penjara Leeuwarden, dan para terpidana wanita di rumah penjara Rotterdam.Perlu diketahui bahwa sejak bulan April 1964, sebutan rumah penjara di Indonesia telah diubah menjadi lembaga pemasyarakatan sesuai dengan gagasan dari Dr. Sahardjo, S.H., yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman.Dapat diduga bahwa pemberian sebutan yang baru kepada rumah penjara sebagai lembaga pemasyarakatan erat hubungannya dengan gagasan beliau untuk menjadikan lembaga pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan |uga sebagai tempat untuk membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar mereka setelah selesai menjalankan pidananya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.Perkataan pemasyarakatan itu sendiri, untuk pertama kalinya telah diucapkan oleh doktor Sahardjo, S.H., di dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causanya dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963, di dalam pidatonya beliau antara lain telah mengemukakan rumusannya mengenai tujuan dari pidana penjara, yaitu di samping 'menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, dan mendidik mereka menjadi seorang anggota masyarakat sosial Indonesia yang berguna. Atau dengan perkataan lain, tujuan dari pidana penjara itu adalah pemasyarakatan.BAB IIPIDANA DAN PEMIDANAAN

A. ARTI PIDANA DAN PEMIDANAAN Sebelum membicarakan masalah jenis-jenis pidana yang dikenal orang di dalam Hukum Pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu, yaitu apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri.Menurut Prof. van Hamel, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah: Een bijzonder leed, tegen den. overtreder van een door den staat ge-handhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grand van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door- met met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken,Artinya: Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yangharus ditegakkan oleh negara.Menurut Prof. Simons, pidana'atau straf itu: adalah:1'Ret leed, door de strafivet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.Artinya:Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah diiatuhkan bagi seseorang yang bersalah.Algra-Janssen telah merumuskan pidana atau straf sebagai: Het middle waarmee de overheid (rechter) degene die een ontoelaatbare handeling pleegt terechtwijst of tot de orde roept. Deze reactive van de overheid op zijn handeling ontneemt de gestrafte een deel van de bescherming die hij, als hij geen delict gepleegd zou hebben, genlet t.a.v. zijn leven, zijn vrijheid, zijn vermogen.Artinya: Alat yang digunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.Dari tiga buah rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui, bahwa pidana sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka.Ini berarti pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.Hal tersebut perlu dijelaskan, agar di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di Negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pembidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menerjemahkan perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan doel der straf sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.Kini apa yang dimaksud dengan pemidanaan itu sendiri? Menurut Prof. Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman.Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain bahwa: Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atas memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum urituk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidahg hukum pidana saja, tetapi juga hukum perdata. Karena tulisan ini berkisar pada hukuifl pidana, istilah tersebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjaruhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau vervoordeling.B. JENIS-JENIS PIDANAPada waktu apa yang disebut Wetboek van Stmfrecht voor Indonesia, yang kemudian berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 namanya telah diubah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mulai diberlakukan di Indonesia berdasarkan Koninklijk Besluit atau Putusan Kerajaan tanggal 15 Oktober 1915 Nomor 33, Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732 jo. Staatsblad Tahufi 1917 Nomor 497 dan Nomor 645 mulai tanggal 1 lanuari 1918. Hukum Pidana Indonesia hanya mengenai dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.Menurut ketentuan di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang I lukum Pidana, pidana pokok itu terdiri atas:1. pidana mati,2. pidana penjara,3. pidana kurungan, dan 4. pidana denda.Adapun pidana tambahan dapat berupa:1. pencabutan dari hak-hak tertentu2. penyitaan dari benda-benda tertentu, dan 3. pengumuman dari putusan hakim.Kemudian dengan Undang-Undang tanggal 31 Oktober 1946 Nomor 2P. Berita Republik Indonesia II Nomor 24, Hukum. Pidana Indonesia telah mendapatkan satu macam pidana pokok yang baru, yakni apa yang disebut pidana tutupan. Tentang apa sebabnya jenis atau macamnya pidana seperti yang dewasa ini dapat kita jumpai di dalam Pasal 10 KUHP telah dicantumkan di dalam Kitab Undang-Undang Pidana, ataupun untuk menjawab pertanyaan, yaitu apakah, sudah tepat bahwa jenis atau macamnya pidana seperti itu dicantumkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kiranya hal ini tidak dapat dilepaskan dari keadaan-keadaan yang ada pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu sendiri sedangberada dalam proses pembentukannya, yang oleh Prof, van Bemmelen telah dilukiskan sebagai berikut.Het Wetboek van 1881/1886 wordt hetbeste gekarakteriseerd door te zeggen dat het, omdat het oritstaan is in een tijd varfgrote onzekerheid over de grondslagen van het strafrecht, door zijn ontwerpers met uiterste soberheid en terughoudendheid samengesteld.Artinya:Mengenai sifat-sifat dari Kitab Undang-Undang Tahun 1881/1886, itu adalah paling tepat untuk dikatakan, bahwa Kitab Undang-Undang tersebut telah terbentuk dalam suatu keadaan di mana terdapat suatu ketidakpastian yang besar mengenai asas-asas dari suatu hukum pidana, dan yang telah disusun oleh para perancangnya dengan segala kesederhanaannya dan dengan segala sikap, keterbatasannya.Seperti yang telah diketahui dari sejarah pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita dewasa ini, para perencananya tidak sedikit mengalami kesulitan untuk merencanakan suatu kitab undang-undang yang bersifat nasional, karena ada ikut campurnya pihak Belgia yang berkepentingan agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan diberlakukan di negeri Belandajangan sampai mirip dengan Criminee! Wetboek yang pernah dimiliki oleh negeri Belanda pada tahun 1809 dan jangan pula mengikuti Code Penal yang pernah diberlakukan di negeri Belanda oleh pihak Francis sejak tahun 1811, yaitu sejak Kerajaan Holland disatukan dengan Prancis.Rencana Undang-Undang Hukum Pidana yang telah dibuat pada tahun 1815, akhirnya telah tidak berhasil menjadi suatu undang-undang karena adanya keberatan dari pihak Belgia, dengan alasan bahwa rencana undang-undang tersebut telah dibuat berdasarkan Cnmineel Wetboek voor het Koninkrijik Holland tahun 1809.Kemudian rencana Undang-Undang Hukum Pidana yang telah dibuat pada, tahun 1827, kembali telah tidak berhasil menjadi suatu undang-undang, karena adanya keberatan dari pihak Belgia, dengan alasan bahwa rencana undang-undang tersebut telah dibuat berdasarkan Code Penal Francis, hingga pada akhirnya suatu rencana Undang-Undang Hukum Pidana yang baru telah berhasil menjadi suatu undang-undang yang melahirkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dewasa ini juga berlaku di Indonesia.Pada waktu harus memilih jenis-jenis pidana yang perlu dicantumkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita telah dilakukan pembatasan-pembatasan sejauh yang ia dapat lakukan, dengan memilih suatu susunan pidana-pidana, yang telah dianggap mempunyai sifat yang sederhana hingga mendatangkan beberapa keuntungan.Mengenai kesederhanaan dari susunan pidana-pidana yang telah dipilih oleh pembentuk undang-undang itu, di dalam Memorie van toelichting antara lain telah dikatakan:Door groote eenvoudigheid, zeker op zich zelve een groot vooordeel. Hoe minder straffen toch, hoe gemakkelijker haar onderlinge ver-gelijking; en zander zoodanige vergelijking is geen toebedeeling van de straf in juiste verhouding tot te betrekkelijke zwaarte der misdrijven mogelijk.Artinya:Kesederhanaan seperti itu dengan sendirinya membawa keuntungan-keuntungan yang sangat besar. Karena makin sedikit pidana-pidana yang ada, akan makin mudah orang membuat perbandingan mengenai pidana-pidana tersebut Tanpa dapat membuat perbandingan seperti itu, orang tidak akan dapat menjatuhkan pidana secara tepat sesuai dengan berat ringannya kejahatan.Adanya suatu kesederhanaan mengenai susunan pidana-pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti dimaksudkan di atas itu memang diakui oleh para penulis di negeri Belanda, tetapi apakah kesederhanaan seperti itu dapat memenuhi kebutuhan dewasa ini, para penulis itu mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri.Tentang kesederhanaan dari susunan pidana-pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang telah dipuji-puji di dalam Memorie van Toelichting seperti yang dimaksudkan di atas berkatalah Prof. van Hamel antara lain:Het Nederl. strafstelsel voor volwassenen kenmerkt zich door groote eenvoudighetd. Zijn hoofdkarakter is; verwerping van doodstraf, lijfstraffen, deportatie, verbanning, onteerende straffen; en voor de dies overheerschende gevangenisstraf strenge doorvoering van het cellulair systeem. In die eenvoudigheid is bij de samenstelling een deugd gezien; In de M.v.T. heet het "Eenvoudiger strafstelsel is nergens bekend". Dergelijke opvatting was destijds te verklaren; uit nieuwere gezicht-punten kan dit geen deugd meer heeten; rijke schakering, verscheidenheid van maatregden naar de verscheidenheid van personen is voor goed de, leidende gedachte gezvorden.Artinya:Sistem pidana Belanda itu menunjukkan sifat kedewasaan oleh kesederhanaan. Sifatnya yang pokok adalah ditinggalkannya lembaga pidana mati, pidana badan, pengasingan, penjatuhan pidana yang bersifat merendahkan, dan yang lebih dari segala-galanya, yaitu pelaksanaan dari pidana penjara dengan sistem penutupan dalam sel-sel yang sangat keras. Pada waktu orang menyusun sistem pidana tersebut, kesederhanaan seperti itu telah mereka pandang sebagai sangat tepat. Di dalam M.v.T. mereka bahkan telah mengatakan, bahwa sistem pidana yang lebih sederhana tidak mungkin akan dapat dijumpai orang di mana pun juga. Pendapat seperti itu memang dapat dimengerti untuk waktu itu, tetapi, menurut pandangan-pandangan baru dewasa ini, sistem pidana seperti itu sudah tidak dapat lagi dipandang sebagai sudah tepat. Dewasa ini orang harus juga mempertim-bangkan adanya kaitan yang sangat luas dan adanya bermacam-macam tindakan yang harus diambil, sesuai dengan sifat orang yang berbeda-beda.Tentang hal yang sama, berkatalah Prof. Simons antara lain, bahwa:.Als voornaamste karaktertrekken van het in ons Wetboek van Strafrecht aangenomen strafstelsels mogen warden genoemd: 1. Groote eenvoudigheid en beperktheid in de aan te wenden strafmiddelen, eene een voudigheid en beperktheid, die met de zeer onderscheiden doeleinden der straf niet in overeenstemming is ....Artinya:Ciri-ciri yang terutama dari sistem pidana yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita adalah antara lain: 1. Sifatnya yang sederhana dan sifatnya yang terbatas dari alat-alat pemidanaan yang dapat digunakan, suatu kesederhanaan yang tidak sesuai lagi dengan tujuan-tujuan yang berbeda-beda dari pidana ....Adapun Prof, van Bemmelen, antara lain telah mengatakan, bahwa: Hoe minder straffen toch, hoe gemakkelijker. hare onderlinge vergelijking, en - za zei de M.v.J. zander zodanige vergelijking is geen toebedeling van straf in juiste verhouding tot de hetrekkelijke zwaarte der misdrijven mogelijk, maar daarbij werd dan ook vrijioel geen rekening gehouden met de sociale en in het individu gelegen oorzaken die tot de verschilleride soorten van misdadigheid kunnen leiden.Artinya:Makin sedikit pidana yang ada akan makin mudah bagi orang untuk membuat perbandingan antara pidana-pidana tersebut, dan demikian dikatakan di dalam M.v.T. tanpa dapat membuat perbandingan seperti itu, adalah tidak mungkin bagi orang untuk menjatuhkan pidana secara tepat sesuai dengan berat-ringannya kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan, akan tetapi perlu juga diingat bahwa pembentuk undang-undang telah tidak memperhitungkan sama sekali mengenai adanya penyebab-penyebab, baik yang terdapat di dalam masyarakat maupun yang terdapat di dalam diri orangnya itu sendiri, yang dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan yang berbeda-beda.Dari pendapat tiga orang guru besar di atas, kiranya telah cukup bagi orang di Indonesia untuk menyadari agar orang jangan terlalu cepat merasa puas dengan jenis-jenis pidana yang telah dimilikinya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan merupakan peringatan yang berharga untuk menyusun suatu KUHP yang bersifat nasional.Jenis-jenis pidana yang bagaimanakah yang terdapat di dalam Wetbeek van Strafrecht, pada waktu kitab undang-undang tersebut untuk pertama kalinya diberlakukan di negeri Belanda yang di dalam Memorie van Toelichting telah dibangga-banggakan karena sifatnya yang sederhana dan terbatas itu.Sama halnya dengan jenis pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita, menurut bunyinya Pasal 9 Wetboek van Strafrecht itu dibagi dalam dua jenis pidana, masing-masing pidana pokok, yang dapat dijatuhkan bagi seorang terdakwa, baik secara tersendiri maupun bersama-sama dengan suatu pidana tambahan, dan pidana tambahan, yang hanya dapat dijatuhkan bagi seorang terdakwa bersama-sama dengan sesuatu pidana pokok.Di dalam Wetboek van Strafrecht, pidana pokok itu terdiri atas:1. pidana penjara,2. pidana kurungan, dan3. pidana denda.Adapun pidana tambahan itu dapat berupa:1. pencabutan dari hak-hak tertentu,2. penempatan di dalam suatu lembaga kerja negara,3. penyitaan dari benda-benda tertentu, dan4. pengumuman dari putusan Hakim.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita tidak mengenai adanya suatu kumulasi dari pidana-pidana pokok yang diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu, khususnya pidana penjara dengan pidana denda, atau pidana kurungan dengan pidana denda.Ini tidak berarti Hukum Pidana Indonesia itu tidak mengenai adanya suatu kumulasi dari pidana-pidana pokok yang telah diancamkan bagi suatu tindak pidana tertentu.Beberapa ketentuan pidana yang mengandung suatu ancaman pidana, yang terdiri atas lebih dari suatu pidana pokok seeara kumulatif adalah misalnya:a. ketentuan pidana di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan: Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 atau Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. l.000.000.000 (satu miliar rupiah);b. ketentuan pidana di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 ; Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi ''. dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah);c. ketentuan pidana di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan: Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah);d. ketentuan pidana di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a:Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang mengatakan: Barangsiapa melakukan suatu tindak pidana ekonomi: a. dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 1e dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun dan pidana denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari pidana-pidana itu;e. ketentuan pidana di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang penyidikan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang mengatakan: Barangsiapa melakukan suatu tindak pidana ekonomi: b. dalam hal kejahatan sekadar mengenai tindak pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 2e dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan pidana denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari pidana-pidana itu;f. ketentuan pidana di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-Undang Tahun 1955 tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang mengatakan: Barangsiapa melakukan suatu tindak pidana ekonomi: c. dalam hal pelanggaran sekadar mengenai tindak pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub le dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan pidana denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari pidana-pidana itu.Menurut ketentuan pidana yang disebutkan di atas, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan secara bersama-sama dengan pidana denda atau ia dapat menjatuhkan pidana penjara fltau pidana kurungan saja, tanpa menjatuhkan pidana denda, ataupun In dapat menjatuhkan pidana denda saja tanpa menjatuhkan pidana punjara atau pidana kurungan bagi terdakwa.Oleh karena itu, di dalam kumulasi dari ancaman pidana yang terdiri lebih dari satu pidana pokok seperti itu, kepada hakim masih diberi wewenang untuk menjatuhkan lain pidana kecuali dari suatu kumulasi dari pidana-pidana pokok, maka kumulasi seperti itu disebut kumulasi tidak murni dari ancaman pidana yang terdiri atas lebih dari satu pidana pokok.Apakah di dalam Hukum Pidana Indonesia dikenal adanya suatu kumulasi murni dari ancaman pidana yang terdiri dari lebih atas satu pidana pokok, di mana kepada hakim telah tidak diberikan kesempatan untuk menjatuhkan lain pidana, kecuali dari pidana yang telah diancamkan itu sendiri?Ancaman pidana berupa suatu kumulasi dari pidana-pidana pokok seperti itu, dapat dijumpai di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 21 Tahun 1959, Lembaran Niagara tahun 1959 Nomor 130, yang di dalam Pasal 1-nya telah moncntukan sebagai berikut.1) Pelanggar tindak pidana ekonomi dimaksud dalam Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 (LN 1955-27) sebagai ditambah dengan Undang-Undang Darurat Nomor 18 Tahun 1956 (LN 1958-156), dipidana dengan pidana penjara atau pidana kurungan selama-lamanya seperti ditetapkan dalam Undang-Undang Darurat itu dan pidana denda setinggi-tingginya 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Darurat tersebut.2) Jikalau tindak pidana yang dilakukan itu dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat, maka pelanggar dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan pidana denda yang besarnya 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Darurat tersebut , dalam ayat (1). Ancaman-ancaman pidana dengan lebih dari satu pidana pokok di dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, semuanya bersifat alternatif, sehingga kepada hakim telah diberi kesempatani untuk memilih salah satu dari pidana-pidana pokok yang telah diancamkan bagi sesuatu tindak pidana, yang ingin ia jatuhkan bagi pelakunya.Di atas telah dikatakan bahwa pidana tambahan, tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan selalu hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan suatu penjatuhan pidana pokok.Menurut sistem pemidanaan kita, penjatuhan dari pidana tambahan sifatnya adalah fakultatif, dalam arti hakim tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan, yakni pada waktu ia menjatuhkan sesuatu pidana pokok bagi seorang terdakwa, mengenai keputusan apakah di samping menjatuhkan suatu pidana pokok bagi seorang terdakwa, hakim masih merasa perlu atau tidak untuk menjatuhkan sesuatu pidana tambahan, hal mana sepenuhnya diserahkan kepada pertimbangan hakim.Dalam menjatuhkan sesuatu pidana, orang terikat untuk hanya menjatuhkan jenis pidana pokok atau pidana tambahan seperti yang telah ditentukan di dalam Pasal 10 KUHP.Mahkamah Agung Republik Indonesia, secara tegas telah mengemukakan pendiriannya, bahwa perbuatan menambah-nambah jenis-jenis pidana yang telah ditentukan di dalam Pasal 10 KUHP dengan Iain-lain jenis pidana adalah terlarang.Bahkan dengan putusan kasasinya yang lain, Mahkamah Agung telah membatalkan pidana tambahan yang telah dijatuhkan oleh suatu pengadilan negeri, karena di dalam putusannya, pengadilan negeri tersebut telah juga menghukum terdakwa untuk membayar kerugian yang diderita oleh negara dengan sejumlah uang tertentu.Akan tetapi, di dalam praktik, ternyata pembentuk undang-undang pidana kita telah tidak berpegang teguh pada asas, bahwa menambah jenis pidana lain pada jenis-jenis pidana yang telah ditentukan di dalam Pasal 10 KUHP adalah terlarang, karena di dalam beberapa peraturan perundang-undangan ternyata pembentuk undang-undang telah memperluas jenis pidana tambahan dengan pidana tambahan yang tidak dikenal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Sebagai contoh, adalah apa yang telah ditentukan di dalam Pasal 7 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dari Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955, di mana pembentuk undang-undang di samping telah menentukan pidana-pidana tambahan berupa pencabutan hak, penyitaan benda-benda tertentu dan pengumuman dari putusan hakim, masih menambahkan satu pidana tambahan yang berbunyi: "penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan terpidana, di mana tindak pidana ekonomi dilakufean, untuk waktu selama-lamanya satu tahun."Bahkan pidana tambahan seperti yang dimaksudkan di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b'di atas, kemudiah'ternyata telahlebih diperluas lagi dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam-Pasal 10 ayat (1) dari undang-undang darurat yang sama, yang antara lairi telah mengatakan bahwa: Dalam hal dijatuhkan pidana tambahan sebagai disebut dalam Pasal 7 ayat (1) sub b, dapat juga diperintahkari supaya terpidana menyerahkan segala surat-surat yang diberikan kepadanya oleh pengadilan untuk keperluan perusahaannya, menjual barang-barang persediaan yang ada di dalam perusahaannya di bawah pengawasan, dan memberikan bantuannya dalam pencabutan barang-barang persediaan itu. Perlu diketahui bahwa diancamkannya dua pidana pokok secara kumulatif bagi seseorang karena didakwa telah melakukan sesuatu; tindak pidana tertentu merupakan suatu perkembangan baru di Indonesia, yang menyimpang dari kehendak pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita.Menurut Memorie van Toelichting), penjatuhan dari dua macam pidana pokok secara bersama bagi seseorang yang telah melakukan sesuatu tindak pidana tertentu tidak dapat dibenarkan, dengan alasan bahwa pidana berupa perampasan kemerdekaan dengan pidana berupa denda itu mempunyai sifat dan tujuan yang sangat berbeda.Akan tetapi, Prof. Simons ternyata telah mempunyai pendapat yang lain, yakni bahwa penjatuhan dari dua macam pidana pokok pada suatu saat yang sama bagi seseorang yang telah terbukti melakukan sesuatu tindak pidana tertentu itu dapat dibenarkan, khususnya apabila tindak pidana tersebut telah dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu keuntungan.Tentang hal tersebut berkatalah Prof. Simons antara lain bahwa: Bij misdrijven uit winstbejag gepleegd kan oplegging van eene geldboete naast vrijheidsstraf wel gerechtvaardigd en wenselijk zijn.Artinya:Pada kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, penjatuhan dari suatu pidana denda di samping penjatuhan dari suatu pidana berupa perampasan kemerdekaan dapat dibenarkan, bahkan juga sangat diharapkan.Akhirnya masih perlu dijelaskait bahwa apabila kita melihat ke dalam kitab-kitab KUHP yang beredar di Indonesia, yang semuanya sebenarnya merupakan penerjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, kita akan menemukan suatu kelainan di dalam kitab KUHP yang telah diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, khususnya apabila kita melihat pada rumusan Pasal 10 KUHP, di mana pidana tutupan telah ditambahkan sebagai jenis pidana pokok yang kelima atau yang terakhir dari urut-urutan pidana-pidana pokok yang disebutkan di dalam pasal 10 KUHP.Penulis tidak dapat mengerti atas dasar apa Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM telah menempatkan pidana tutupan pada urutan kelima dari urut-urutan pidana pokok di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana huruf a. Mungkinkah Badan Pembinaan Hukum Nasional itu tidak mengetahui, bahwa apabila perbuatannya menempatkan pidana tutupan pada urutan kelima seperti itu dihubungkan dengan bunyinya ketentuan di dalam Pasal 69 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka pidana tutupan itu harus dianggap sebagai suatu pidana yang lebih ringan daripada pidana denda atau sebaliknya pidana denda itu harus dianggap sebagai suatu pidana yang lebih berat daripada pidana tutupan?1. Pidana MatiMenyimpang dari asas konkordansi, di mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diberlakukan di Indonesia seharusnya concordant atau overeenstemmig ataupun sesuai dengan Wetboek van Strafrecht yang berlaku di negeri Belanda, pada waktu Wetboek van St'rafrecht voor Indonesie dengan Putusan Kerajaan tanggal 15 Oktober 1915 Nomor 33, Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732 jo. Staatsblad Tahun 1917 Nomor 497 dan Nomor 645 mulai diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918, pidana mati itu telah tercantum sebagai pidana pokok pada urutan pertama dari urut-urutan pidana pokok sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Pasal 10 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita. Pada waktu Wetboek van Strafrecht terbentuk tahun 1881, orang di negeri Belanda sudah tidak mengenal pidana mati, karena lembaga pidana mati telah dihapuskan dengan Undang-Undang tanggal 17, September 1870, Staatsblad Tahun 1870 Nomor 182, dengan alasan yang terutama bahwa pelaksanaan atau eksekusi dari pidana mati di negeri Belanda sudah jarang dilakukan, karena para terpidana mati, hampir selalu telah mendapat pengampunan atau grasi dari Raja. Akan tetapi, mereka tetap mempertahankan lembaga pidana mati, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer mereka. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer negeri Belanda, pidana mati telah diancamkan bagi kejahatan-kejahatan: a. yang telah dilakukan bleh anggota militet dalam keadaan perang;b. yang telah dilakukan oleh anggota militer untuk kepentingan "musuh dari bagi beberapakejahatan yang telah disebutkan didalam Criminieel Wetboek, 'dan hanya apabila kejahatan-kejahatan tersebut telah dilakukan di atas kapal yang sedarig berada di atas lautan bebas atau sedang berada di atas perairan dari negara-negara asing, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.Sungguhpun demikian, undang-undang telah menentukan bahwa hakim hanya dapat menjatuhkan pidana mati, yaitu apabila keamanan negara memang benar-benar telah menghendakinya.Pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita mulai diberlakukan di Indonesia, pidana mati itu hanya diancamkan bagi tujuh macam kejahatan.Dalam sejarah berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita di tanah air, hingga tulisan ini dibuat terdapat tidak kurang dari delapan belas pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengandung ancaman pidana mati.Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 104, Pasal 110 ayat (1), Pasal 110, j ayat (2), Pasal 111 ayat (2), Pasal 112, Pasal 113, Pasal 123, Pasal 124 ayat (1), Pasal 124 bis, Pasal 125, Pasal 127, Pasal 129, Pasal 140 ayat (3), Pasal 185, Pasal 340, Pasal 444, Pasal 479k ayat (2), dan Pasal 4790 nyat (2) KUHP.Pidana-pidana mati yang diancamkan dalam beberapa pasal KUHP di atas berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 2 huruf a dan huruf b dari Tpdelijke Buitengewone Bepalingen van Strafrecht, Ordonansi tanggal 22 September 1945, Staatsblad Tahun. 1945 Nomor 135 serta beberapa pasal KUHP tertentu yang ditambahkan ke dalam KUHP berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 huruf f dari ketentuan semen-tara yang sama, sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 21 dari Tijdelijke Buitengewone Bepalingen van Strafrecht tersebut di atas, harus dianggap tidak berlaku lagi, yakni segera setelah tidak ada satupun bagian dari wilayah daratan Indonesia berada dalam staat van beleg atau berada dalam staat van oorlog ataupun berada dalam SOB.17'Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana mati telah diancamkan di dalam sejumlah pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, misalnya di dalam Pasal 64 angka 1 dan 2, Pasal 65 angka 2 dan 3, P,asal 66, 67, dan Pasal 68, di dalam Pasal 13 ayat (1) angka 1 sampai 5 dan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Pemberantasan,Kegiatan Subversi, di dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (sekarang UU Nomor 35 Tahun 2009), di dalam Pasal 1 ayat (2) dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959 teritarig Memperb'erat Ancaman Pidana terhadap Tindak Pidana Ekonomi dan Iain-lain.Di dalam semua peraturan perundang-undangan yang telah di sebutkan di atas, pidana mati selalu telah diancamkan secara alternatif dengan pidana pokok yang lain, yakni pada umumnya dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun!Menurut ketentuan Pasal 11 KUHP, pidana mati itu dilakukan oleh seorang algojo, yang dilaksanakan oleh terpidana di atas tiang gantungan, yakni dengan mengikatkan sebuah jerat pada leher terpidana yang terikat pada tiang gantungan tersebut, dan kemudian dengan menjatuhkan papan tempat berpijaknya terpidana.Pelaksanaan dari pidana mati itu kemudian dengan Penetapan Presiden (Penpres) tanggal 27 April 1964 Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38, yang kemudian telah menjadi Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964 telah diubah, yaitu dengan cara ditembak sampai mati.Tentang bagaimana caranya melaksanakan pidana mati dalam lingkungan peradilan, umum, hal mana telah diatur di dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964 sebagaimana yang dimaksud di atas, yang telah menentukan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.a. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau oleh jaksa tersebut.b. Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungnya itu telah lahir.c. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di daerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati yang bersangkutan.d. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama.e. Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak, polisi di bawah pimpinan dari seorang perwira polisi.f. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu, sedang pembela darl terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya.g. Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum.h. Penguburan jenazah te