11
HUKUM PERJANJIAN KREDIT Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi Yang Berasaskan Demokrasi Ekonomi

HUKUM PERJANJIAN KREDIT.docx

Embed Size (px)

Citation preview

HUKUM PERJANJIAN KREDITKonsep Perjanjian Kredit Sindikasi Yang Berasaskan Demokrasi Ekonomi

Judul : HUKUM PERJANJIAN KREDIT(Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi Yang Berasaskan Demokrasi Ekonomi)Penulis: Dr. Rudiyanti Dorotea Tobing, SH., M. Hum.Penerbit: Laksbang Grafika, 2014.(xiv + 260 Halaman, 15,5 x 23 cm)Pengantar : Prof. Dr. Suhariningsi, S.H., S.U.

Buku yang ditulis oleh Rudiyanti Dorotea Tobing ini merupakan buku yan g sebenarnya hasil dari disertasinya di Universitas Brawijaya Malang dengan judul Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi Yang Berasaskan Demokrasi Ekonomi. Oleh karena itu, sistematika resume buku ini akan mengikuti sistematika buku aslinya secara sistematis. Lembaga keuangan mempunyai perbankan mempunyai peranan yang strategis dalam pembangunan nasional terutama kegiatan perekonomian, karena fungsi utama bank adalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Fungsi dan tujuan perbankan dapat berjalan dengan baik, apabila perbankan memperhatikan asas-asas; Asas Demokrasi Ekonomi, Asas Kepercayaan (fiduciary principle), Asas Kerahasiaan (confidential principle), Asas Kehati-hatian (prudential principle). Lembaga kredit sindikasi muncul dalam praktik untuk mengantisipasi pemenuhan kredit dalam jumlah besar. Pada kondisi-kondisi tertentu bank tidak dapat memenuhi permohonan kredit, disebabkan karena jumlah permintaan kredit terlalu besar sehingga bank tidak mampu memenuhinya. Kemudian, karena melampaui batas maksimum pemberian kredit (BMPK) atau dengan tujuan untuk menyebar resiko, terutama kredit macet. Sejarah pembiayaan kredit sindikasi di Indonesia dimulai sejak pertengahan tahun 1970-an, setelah keluarnya Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 6/33/UPK tanggal 3 Oktober 1973 mengenai pembiayaan bersama. Pada masa deregulasi perbankan, keluar dari ketentuan kredit sindikasi melalui SEBI Nomor 1/I/UU, tanggal 1 Juni 1983. Ketentuan ini direspon positif oleh perbankan karena bank-bank dapat menyalurkan kreditnya secara sindikasi, tanpa melanggar ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Namun, dalam praktiknya kredit sindikasi dilakukan oleh bank dengan cenderung mengutamakan perusahaan-perusahaan besar terutama perusahaan swasta besar. Pihak bank menilai bahwa pemberian kredit sindikasi kepada perusahaan-perusahaan besar karena kredibilitas mereka tidak diragukan lagi untuk membayar hutangnya, dan di satu sisi kredit sindikasi sebagai alternatif terbaik untuk mengatasi BMPK dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Padahal, dalam Pasal 2 Undang-undang Perbankan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Akan tetapi, dalam praktik justeru terjadi pembalikan yaitu pihak bank lebih mengutamakan prinsip kehati-hatian dengan mengabaikan asas demokrasi ekonomi. Hal ini memicu problematika, pertama secara filosofis telah terusiknya rasa keadilan rakyat karena kredit sindikasi yang diberikan oleh bank hanya diperuntukkan dalam jumlah besar dan diberikan hanya kepada satu debitur dan hanya dinikmati oleh pengusaha besar. Sedangkan pengusaha kecil dan pengusaha menengah tidak dapat memperoleh pembiayaan melalui kredit sindikasi. Kedua, dalam kredit sindikasi, bank sebagai lembaga intermediasi tidak menyalurkan kredit secara merata kepada seluruh masyarakat. Ketiga, kredit sindikasi dilaksanakan berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berarti bahwa para pihak dapat membuat perjanjian apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Isu hukum yang akan dibahas adalah : 1. Apakah perjanjian kredit sindikasi sesuai dengan makna asas demokrasi ekonomi yang berkeadilan ? 2. Apakah konsep perjanjian kredit sindikasi dapat diperuntukkan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ? Untuk menganalisis isu hukum tersebut, penulis menggunakan teori keadilan John Rawls, Teori Negara Kesejahteraan (welfare state), dan Teori Kebijakan. Dengan teori-teori tersebut, maka konsep kredit sindikasi yang berlandaskan demokrasi ekonomi akan menemukan jawabannya. Apakah kredit sindikasi yang selama ini telah melembaga dari segi konsep maupun prakteknya sesuai dengan semangat dan amanah yang dikandung dalam Pancasilan sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) yang memberikan kesejahteraan rakyat Indonesia di bidang ekonomi tanpa pengecualian. Adapun kerangka konseptualnya meliputi aspek-aspek umum perjanjian secara umum, konsep perjanjian sindikasi, pengertian dan fungsi asas hukum, konsep demokrasi dan asas semokrasi ekonomi. Penulis memaparkan dengan rigit definisi tentang sindikasi kredit dan kredit sindikasi. Sindikasi kredit adalah suatu sindikasi yang peserta-pesertanya terdiri dari lembaga-lembaga pemberi kredit dan yang dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kredit kepada suatu proyek. Sedangkan Kredit sindikasi sebagaimana menurut Warasmo Brotodiningrat adalah suatu pola pembiayaan kredit yang dilakukan oleh bank secara bersama-sama dengan bank atau lembaga keuangan yang lain dalam suatu pembiayaan atas suatu obyek fasilitas kredit, baik modal kerja maupun kredit investasi dengan jangka waktu pendek, menengah atau panjang. Terdapat beragam definisi tentang kredit sindikasi. Penulis mengutip pendapat Stanley Hurn yang dianggap memenuhi semua unsur-unsur penting dalam kredit sindikasi, yaitu : 1. Kredit sindikasi melibatkanb lebih dari satu lembaga pembiayaan dalam suatu fasilitas kredit. 2. Kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan berdasarkan syarat-syarat yang diberikan berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang sama bagi masing-masing peserta sindikasi. 3. Hanya ada satu dokumen kredit, karena dokumentasi inilah yang menjadi pegangan bagi semua bank peserta sindikasi secara bersama-sama. 4. Sindikasi tersebut diadministrasikan oleh satu agen yang sama bagi semua peserta sindikasi. Asas demokrasi ekonomi sebagai landasan sistem ekonomi Indonesia. Demokrasi ekonomi yang menjadi dasar politik dan sistem perekonomian nasional memiliki ciri-ciri positif; Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnnya sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan perwakilan rakyat, dan pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga perwakilan rakyat pula; perekonomian daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan ketahanan nasional; warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan, mempunyai hak pekerjaan dan penghidupan layak; hak milik perseorangan diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat; potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidakm merugikan kepentingan umum. Adapun ciri negatif demokrasi ekonomi yang harus dihindarkan adalah sistem free fightliberalisme; sistem etatisme mendominasi; persaingan tidak sehat dan adanya monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita keadilan.Asas demokrasi ekonomi dalam undang-undang perbankan tertuang dalam pasal 2 Undang-undang perbankan Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya, berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Asas demokrasi ekonomi bermaksud bahwa dalam menjalankan usahanya bank tidak boleh membeda-bedakan masyarakat, guna kesejahteraan ekonomi. Sedangkan prinsip kehati-hatian bermaksud bank dalam menjalankan usahanya diwajibkan bertindak secara berhati-hati, teliti dan cermat secara bijaksana untuk meminimalisir kemungkinan resiko yang dapat merugikan bank. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa bank pertama-pertama harus melaksanakan usahanya berlandaskan demokrasi ekonomi dengan memperhitungkan aspek kehati-hatian. Hal ini justeru terbalik, bank masih terkesan lebih mendasarkan usahanya dengan cenderung mendahulukan aspek kehati-hatian dan seolah-olah mengabaikan aspek demokrasi ekonomi yang menjadi asas utama dalam menjalankan fungsi dan usaha utamanya. Asas demokrasi ekonomi dalam perjanjian kredit sindikasi. Kredit sindikasi diperkirakan muncul pada abad ke 19 hingga awal abad ke 20. Menurut Ravi C. Tennekon kredit sindikasi mulai tumbuh di pasar modal Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Perkembangan kredit sindikasi internasional dipelopori oleh bank-bank besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Belanda, Swedia, Jepang, dan Jerman. Setelah sekian lama kredit sindikasi dihubungkan dengan perusahaan besar, sehingga pada tahun 1990 terjadi perubahan dramatis. Di samping itu, pasar kredit sindikasi juga digunakan oleh isntitusi bisnis kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kredit sindikasi tidak hanya menjadi monopoli perusahaan-perusahaan besar, tetapi juga institusi usaha kecil dan menengah sepanjang usaha tersebut memiliki prospek yang bagus. Sejak disadari mampu menjadi solusi bagi bank-bank yang tidak mampu menanggung resiko dan menjamin kebutuhan debitur untuk pinjaman yang sangat besar, maka kredit sindikasi menjadi modus yang tepat sehingga kredit sindikasi populer dan menyebar ke segenap penjuru dunia. Perjanjian kredit sindikasi tidak sesuai dengan makna asas demokrasi ekonomi karena hanya dilakukan antara pihak bank dengan perusahaan-perusahaan besar, dengan alasan bahwa kredibiltas perusahaan besar tidak diragukan lagi untuk membayar hutangnya. Dan di satu sisi, kredit sindikasi dianggap sebagai alternatif terbaik untuk mengatasi Batas Maksismum Pemberian Kredit dan menerapkan prinsip kehati-hatian dengan tujuan utama menyebar resiko kredit. Pemusatan peminjaman kredit sindikasi kepada perusahaan-perusahaan besar menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan sosial ekonomi antara Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan perusahaan besar. Perjanjian kredit sindikasi hanya mengedepankan aspek kehati-hatian tidaak sesuai dengan makna asas demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Hal ini bertolak belakang dengan asas demokrasi ekonomi yang berlaku dalam perbankan di Indonesia. Perjanjian kredit sindikasi berasaskan demokrasi ekonomi yang berkeadilan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua kalangan masyarakat, baik pengusaha UMKM maupun perusahaan-perusahaan besar untuk bersama-sama mendapatkan kesempatan mengakses dan menikmati kredit sindikasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Sejalan dengan berlakunya UU. Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan telah dicabutnya PBI No.3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil (KUK), maka konsep perjanjian kredit sindikasi dapat diperuntukkan juga bagi pelaku UMKM. Undang-undang UMKM dalam dasar menimbangnya menegaskan landasan filosofisnya bahwa masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasilan dan UUD 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi. Kredit sindikasi tidak harus dalam jumlah besar, dan tidak harus hanya membiayai satu debitur. Beberapa UMKM dapat bergabung bersama-sama untuk mengajukan pembiayaan dalm satu perjanjian kredit sindikasi. Berdasarkan kebebasan berkontrak para pihak dapat single atau multy participant dan sangat dimungkinkan debitur lebih dari satu orang jika unsur-unsur pokok dalam perjanjian utang-piutang banknya terpenuhi, yaitu obyek pembiayaan, prestasi dan kontra prestasi, dan jangka waktu. Permasalahan klasik dalam pemberian kredit sindikasi bagi UMKM adalah mengenai agunan. Masih banyak UMKM yang tidak dapat mengakses kredit sindikasi pada bank karena ketiadaan agunan. Dalam kredit sindikasi agunan tidak selalu harus masing-masing tetapi bisa satu atau beberapa untuk semua pinjaman debitur-debitur.