21
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan infrastruktur bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat, dimana tujuan secara umum bahwa fungsi dasar infrastruktur selalu berkaitan dengan pembangunan wilayahnya. Semakin banyak penyediaan infrastruktur dan dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, serta semakin banyak inovasi dan teknologi yang diterapkan dalam pemanfaatan infratsuktur maka wilayah tersebut semakin tumbuh ke arah positif. Pembangunan infrastuktur perkotaan tidak jauh dari pembangunan sistem transportasi. Transportasi sebagai sarana juga dapat bermanfaat dalam mentransfer baik barang, ide, informasi maupun orang, karena umumnya transportasi di perkotaan selalu berkembang dengan pesat seiring berkembangnya wilayah perkotaan tersebut. Kota Jakarta yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan yaitu ibukota Negara Indonesia, mengalami masalah dimana kota ini menjadi kota metropolitan dengan permasalahan klasik yaitu angka kelebihan penduduk. Berdasarkan data dari BPS Jakarta dalam angka tahun 2010 mencatat bahwa jumlah penduduk Jakarta sebanyak ±9,6 juta jiwa pada tahun 2010 dengan angka pertumbuhan penduduk sebesar 1,4% dalam kurun waktu 10 tahun. Di Indonesia, fenomena bergabungnya kota besar seperti Jakarta dengan beberapa wilayah sekitarnya yang disebut dengan kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi dikenal dengan istilah Jabodetabek. Jakarta dalam Surat kabar The Jakarta Post (edisi Jumat, 21 Agustus 2010) menyebutkan bahwa penduduk Jakarta berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut hasil sensus nasional terakhir, ibu kota dihuni oleh hampir 9,6 juta orang melebihi proyeksi penduduk sebesar 9,2 juta untuk tahun 2025. Aliran penduduk menuju kota dipicu oleh multifungsi kota sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan jasa, pusat ekonomi, pusat pendidikan, akumulasi investasi dan kegiatan administrasi maupun pariwisata. Pemusatan seluruh aktifitas masyarakat kota, menyebabkan harga lahan di sekitaran Central Business District menjadi tinggi. Laju urbanisasi yang tinggi turut menyebabkan konsentrasi kegiatan ekonomi terpusat di kota hal ini tumbuh bersama tingginya kebutuhan perjalanan yang terus meningkat tiap tahunnya. Kelebihan angka penduduk ini memicu berbagai

I. PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64572/potongan/S1-2013... · Singapura merupakan Negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang ... Salah

Embed Size (px)

Citation preview

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pembangunan infrastruktur bertujuan untuk melayani kebutuhan masyarakat,

dimana tujuan secara umum bahwa fungsi dasar infrastruktur selalu berkaitan dengan

pembangunan wilayahnya. Semakin banyak penyediaan infrastruktur dan dapat

mengakomodasi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, serta semakin banyak inovasi

dan teknologi yang diterapkan dalam pemanfaatan infratsuktur maka wilayah tersebut

semakin tumbuh ke arah positif. Pembangunan infrastuktur perkotaan tidak jauh dari

pembangunan sistem transportasi. Transportasi sebagai sarana juga dapat bermanfaat

dalam mentransfer baik barang, ide, informasi maupun orang, karena umumnya

transportasi di perkotaan selalu berkembang dengan pesat seiring berkembangnya

wilayah perkotaan tersebut.

Kota Jakarta yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan yaitu ibukota Negara

Indonesia, mengalami masalah dimana kota ini menjadi kota metropolitan dengan

permasalahan klasik yaitu angka kelebihan penduduk. Berdasarkan data dari BPS

Jakarta dalam angka tahun 2010 mencatat bahwa jumlah penduduk Jakarta sebanyak

±9,6 juta jiwa pada tahun 2010 dengan angka pertumbuhan penduduk sebesar 1,4%

dalam kurun waktu 10 tahun. Di Indonesia, fenomena bergabungnya kota besar seperti

Jakarta dengan beberapa wilayah sekitarnya yang disebut dengan kota penyangga

seperti Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi dikenal dengan istilah Jabodetabek.

Jakarta dalam Surat kabar The Jakarta Post (edisi Jumat, 21 Agustus 2010)

menyebutkan bahwa penduduk Jakarta berada pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Menurut hasil sensus nasional terakhir, ibu kota dihuni oleh hampir 9,6 juta orang

melebihi proyeksi penduduk sebesar 9,2 juta untuk tahun 2025.

Aliran penduduk menuju kota dipicu oleh multifungsi kota sebagai pusat

pemerintahan, pusat perdagangan dan jasa, pusat ekonomi, pusat pendidikan, akumulasi

investasi dan kegiatan administrasi maupun pariwisata. Pemusatan seluruh aktifitas

masyarakat kota, menyebabkan harga lahan di sekitaran Central Business District

menjadi tinggi. Laju urbanisasi yang tinggi turut menyebabkan konsentrasi kegiatan

ekonomi terpusat di kota hal ini tumbuh bersama tingginya kebutuhan perjalanan yang

terus meningkat tiap tahunnya. Kelebihan angka penduduk ini memicu berbagai

Thassaralah
Typewriter

2

persoalan, salah satunya adalah masalah kemacetan. Seperti yang telah diketahui, akibat

dari kemacetan mampu menjadi penyebab kerugian ekonomi utama, khususnya

kesempatan disiplin waktu dan jarak yang menjadi terabaikan.

Salah satu alternatif solusi mengatasi kemacetan di wilayah Jabodetabek adalah

dengan dimaksimalkannya kereta listrik sebagai Urban Mass Transport. Saat ini

penerapan kerta listrik di Jakarta belum berjalan cukup baik sehingga belum menjadi

pilihan utama masyarakat dalam menggunakan transportasi publik. Hal ini berkaitan

juga dengan inovasi teknologi yang masih belum dikembangkan. Selama ini kereta

listrik yang ada adalah Kereta Listrik Pakuan Ekspress dari PT.Kereta Api Indonesia,

BUMN. Kereta yang didapatkan berasal dari hibah pemerintah Tokyo, yaitu kereta

bekas bawah tanah yang sudah tidak digunakan di Negara Jepang.

Umumnya NJOP harga lahan dekat pusat kegiatan akan jauh lebih mahal apalagi

jika tempat tinggal tersebut sangat aksesibel yaitu dekat dengan jalan raya. Saat ini

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekitar jangkauan titik transit KRL masih rendah

dibandingkan NJOP di pusat kota yang mencapai >Rp 5.000.000/m². NJOP di salah

satu kelurahan Margajaya berada pada angka Rp 1.032.000/m² (lihat tabel 1.1.). Maka

dari itu, syarat titik transit KRL menjadi pilihan, dalam hal ini yang dimaksudkan

adalah pertimbangan keuntungan pembangunan tempat tinggal yaitu keterjangkauan

dan nilai lahan yang rendah, oleh karena itu tidak mengherankan jika radius jangkauan

titik transit KRL menjadi pemicu munculnya perkembangan permukiman sederhana di

wilayah sub-urban Jabodetabek.

Tabel 1.1. NJOP di salah satu wilayah titik transit KRL Jabodetabek

Sumber : http://njop.pajak.go.id (diakses 12 Desember 2012)

3

Di Asia Tenggara seperti Indonesia, justru kebanyakan para penglaju memilih

bertempat tinggal di daerah sub-urban, dimana mereka biasanya berasal dari kalangan

masyarakat dengan pendapatan rendah dan menengah. Berbalik dengan keadaan

masyarakat di Eropa, yang bertempat tinggal di daerah sub-urban justru dari kalangan

atas demi alasan kenyamanan. Hal ini dikarenakan kemampuan yang terbatas untuk

membeli atau menyewa lahan sebagai tempat tinggal di Jakarta. Oleh karenanya

pembangunan tempat tinggal di sesuaikan oleh kondisi masyarakat dominan.

Maksimalisasi kereta listrik Jabodetabek mampu mengurangi pola perpindahan

penduduk dari wilayah-wilayah sekitar Jakarta menuju ke Jakarta dengan memilih

tempat tinggal di daerah pinggiran namun tetap aksesible menuju pusat kota Jakarta.

Kemudahan sarana tranportasi ini, menjadi pilihan masayarakat yang bekerja di Jakarta,

untuk tetap bertempat tinggal di daerah penyangga atau masyarakat ini sering disebut

dengan komuter. Dengan demikian kota satu dengan lainnya tetap terhubung untuk

menyelenggarakan aktifitas ekonomi mereka. Fenomena yang kini muncul adalah,

mulai munculnya permukiman sederhana pada radius dekat titik pemberhentian atau

stasiun di tiap wilayah jangkauan rute KRL.

Perbandingan sistem transportasi di Negara berkembang seperti Indonesia, patut

mencontoh manajemen sistem transportasi di Negara maju seperti Singapura.

Pemerintah Singapura berkomitmen untuk membangun sistem transportasi angkutan

massal dalam mereduksi kemacetan, mengingat tingkat kepadatan penduduk Negara

Singapura merupakan Negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang

mengkhawatirkan. Land Transport Authority (LTA) merupakan instansi yang bergerak

untuk mengaur manajemen transportasi tersebut di bawah Ministry of Communication

and Information sejak tahun 1995 khususnya mengakomodasi perencanaan seluruh

transportasi darat.

1.2. Rumusan Masalah Pesatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan permukiman memicu

tingginya harga lahan di Jakarta. Masyarakat golongan menengah yang tetap bekerja di

pusat kota Jakarta dengan alasan upah kerja yang lebih tinggi, kini memilih tinggal di

pinggir kota, menimbang harga lahan yang lebih terjangkau dipinggir kota. Hal ini

terjadi mengingat kemajuan perkembangan teknologi transportasi publik berbasis rel

yang mampu menjangkau masyarakat dari pinggir kota menuju pusat kota. Sehingga

4

meskipun bertempat tinggal jauh mereka tetap mampu menjangkau pusat kota dengan

adanya distribusi stasiun Kereta Rel Listrik (KRL) Komuter di area Jabodetabek.

Fenomena yang terus menjadi isu di Jabodetabek kini yaitu, distribusi stasiun tersebut

memicu prioritas pemilihan lokasi tinggal di sekitar stasiun yang menyebabkan

padatnya permukiman di pinggir kota.

Kini transportasi publik berbasis rel di Negara Asia, seperti Indonesia mulai

berkembang, sebelumnya Negara Singapura mampu mengakomodasi kebutuhan

perjalanan masyarakatnya yang sangat dinamis, melalui transportasi publik berbasis

rel,yaitu Mass Rapit Transit. Sistem pelayanan transportasi publik yang baik inilah,

yang dapat menjadi masukan bagi Indonesia, seperti Jakarta yang sedang terus

mengembangkan pelayanan KRL.

Rumusan masalah diatas menghasilkan pertanyaan penelitian, yaitu :

1. Apakah tingkat kepuasan pelanggan Kereta Rel Listrik Komuter Sub-urban

Jabodetak menentukan pemilihan lokasi tinggal di sekitar stasiun?

2. Adakah perbedaan sistem fasilitas pelayanan transportasi berbasis kereta rel listrik

yang ada di Indonesia dengan yang ada di Singapura?

1.3. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan perbandingan tingkat kepuasan pelanggan Kereta Rel Listrik Komuter

Sub-urban Jabodetak antara pemilihan lokasi tinggal di sekitar stasiun, dengan

lokasi tinggal diluar jangkauan stasiun.

2. Membandingkan sistem fasilitas pelayanan transportasi berbasis kereta rel listrik

yang ada di Indonesia dengan yang ada di Singapura.

1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan Penelitian :

1. Sebagai pembaharuan dan perluasan informasi dari penelitian-penelitian

sebelumnya terkait transportasi publik khususnya pengembangan transportasi

berbasis rel.

2. Sebagai bahan masukkan alternatif perencanaan pengembangan transportasi di

daerah Jabodetabek dikomparasikan dengan Transportasi MRT di Singapura,

5

khususnya bagi BUMN PT.KAI Commuter/instansi terkait/pihak-pihak lain yang

berkepentingan.

1.5. Tinjauan Pustaka Penelitian akan mudah jika dilakukan melalui pendekatan, dalam bidang

ilmu terdapat banyak sekali model pendekatan yang dilakukan oleh

peneliti-peneliti sebelumnya. Salah satunya adalah pendekatan Geografi. Menurut

Hagget (1983) terdapat tiga pendekatan Geografi yaitu:

1. Pendekatan Ruang, meliputi

Pola Ruang

Interaksi Ruang

Kecenderungan

Struktur Ruang

Proses

Sistem/organisasi

Asosiasi Ruang

Komparasi Ruang

Sinergism Ruang

2. Pendekatan Lingkungan, meliputi : lingkungan biotik dan abiotik

3. Pendekatan Kompleks Wilayah

Penelitian ini merupakan ruang lingkup penelitian Geografi, karena menggunakan

pendekatan ruang meliputi asosiasi ruang, dengan melihat hubungan antara keberadaan

stasiun dengan perkembangan permukiman. Selain itu juga meliputi komparasi ruang,

dengan membandingkan sistem fasilitas pelayanan transportasi berbasis rel antara

Inodesia dengan Singapura. Pada lingkup kajian pembangunan wilayah selalu

menekankan pada ketiga hal, yaitu : Pertumbuhan (Growh), Pemerataan/Keadilan

(Equity) dan Kesejahteraan (Welfare).

Penelitian kali ini bermaksud untuk merelevansikan lingkup kajian pembangunan

wilayah terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Melalui solusi penggunaan

teknologi transportasi yang dikemas dalam wujud sistem manajemen transportasi

publik perkotaan yang lebih baik, dengan demikian akan mereduksi permasalahan

kemacetan yang terbukti merugikan segi perekonomian. Dalam tantangan

pembangunan tentu saja hal ini akan mengahambat pertumbuhan ekonomi apalagi Kota

6

Jakarta sebagai jantung perekonomian merupakan pusat pertumbuhan Negara

Indonesia. Dengan terwujudnya sistem transportasi yang menghubungkan antara pusat-

pusat kegiatan kota dengan daerah pinggiran, berguna untuk meningkatkan

perekonomian daerah pinggir, sehingga ada reduksi ketimpangan antara pusat kota

dengan daerah pinggiran. Pemerataan kegiatan ekonomi ini diharapkan mampu menuju

kesejahteraan masyarakat disana.

1.5.1. Kota dan Pinggirannya Menurut Burgess (1925 dalam Yunus, 2010) yaitu teori Concentric, kota semakin

lama akan berkurang kepadatannya terutama kepadatan permukimannya, akibat

penduduk yang memiliki status sosial mapan cenderung untuk memilih tempat tinggal

yang lebih nyaman yaitu di daerah pinggiran perkotaan. Pembangunan permukiman

inilah yang lama-kelamaan akan membentuk hunian kelompok yang dikenal dengan

suburbs. Namun fenomena yang terjadi di wilayah pinggiran Jakarta kini, pemilihan

tempat tinggal di daerah pinggiran dikarenakan tingginya harga lahan di dekat pusat

kegiatan (Central Business District). CBD atau daerah pusat kegiatan dicirikan dengan

pola rute transportasi yang semuanya menuju ke pusat kegiatan ini. Fungsi daerah ini

sebagai pusat pertumbuhan politik,ekonomi, kehidupan sosial sehingga memilki derajat

aksesibilitas yang sangat tinggi.

Disisi lain pengertian penglaju menurut Turner (1968 dalam Yunus, 2010) dalam

teorinya mengenai Residential Mobility, masyarakat penglaju di kota-kota Amerika

sangat berbeda dengan di Negara berkembang. Di kota-kota Amerika penglaju

merupakan akibat pemusatan seluruh aktifitas perkotaan dan kemajuan yang pesat

bidang teknologi transpotasi dan komunikasi di dekat pusat kota, yang menyebabkan

kenyamanan lingkungan hidup berkurang. Fenomena yang muncul dari dampak

penglaju tersebut adalah munculnya pembangunan perkembangan perumahan sampai

tingkat kualitas yang sangat tinggi. Oleh Turner (1970) disebut dengan istilah Status

Seeker, dimana di zona yang baru ini kualitas lingkungan hidup lebih terjamin

kenyamanannya.

Kota Jakarta merupakan kota yang terletak di tepi pantai. Menurut Yunus (2005)

Kota Jakarta merupakan klasifikasi kota yang masuk pada tipe ke-2. Konsekuensi

keruangan yang muncul adalah adanya kesempatan berkembang secara spasial ke

7

segala arah yang seimbang, namun adanya pembatasan tubuh perairan di bagian utara.

Pada bagian tersebut akan terganggu, sehingga perkembangan horizontal sentrifugal

akan terhenti. Ekspresi keruangan yang seharusnya berbentuk bulat ideal akan

terpotong pada bagian ini sehingga akan terbentuk sebuah ekspresi spasial seperti kipas

(Fan shaped cities). Bentuk kota ini sebenarnya merupakan bentuk bulat, seharusnya

kota yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk berkembang secara realtif

seimbang. Namun terdapat beberapa hambatan seperti di tepi laut, yang menyebabkan

bentuknya menjadi seperti kipas, seperti gambar berikut ini:

Sumber : Yunus (2008:116)

Gambar 1.1. Ekspresi spasial kipas (Fan shaped cities).

Kendala yang dialami Jakarta adalaha seperti pada tipe (a) yaitu bagian dalam

daripada lingkaran, dengan ciri kota pelabuhan yaitu Jakarta memilki pelabuhan

tanjung Priok dan daerah belakangnya relative datar. Kendala perkembangannya areal

terletak pada bagian dalam lingkarannya yaitu “tubuh perairan”. Hal ini yang terjadi

pada kesempatan berkembang oleh pengaruh jaringan transportasi berbasis rel di

Jabodetabek. Perkembangannya akan menyebar dari arah pusat kota Jakarta, menuju

daerah penyangga. Berikut merupakan bentuk administrasi Kota Jakarta:

8

Sumber : Jones et al (2000)

Gambar 1.2. Bentuk Administrasi Kota Jakarta

1.5.2. Permukiman Perkotaan Menurut Yunus (1987) permukiman memiliki arti proses dimana seseorang atau

kelompok yang bertempat tinggal di suatu wilayah tertentu. Dalam memahami pola-

pola spasial permukiman, dapat dibedaka istilah penggunaan skala permukiman. Skala

permukiman dibagi menjadi 3, yaitu: Pertama, Skala permukiman makro (global/inter-

regional), yaitu titik-titik yang tersebar dalam suatu kota, seperti gabungan beberapa

permukiman kota yang membentuk satu area terbangun. Kedua, Skala permukiman

meso, yaitu tempat tinggal penduduk seperti, kampung, kompleks, perumahan, dll.

Ketiga, skala permukiman mikro, digunakan baik untuk skala makro, meso maupun

mikro itu sendiri. Dari ketiga skala permukiman ini yang menjadi sorotan dalam

penelitian ini adalah permukiman skala meso. Didalamnya terdapat unsur-unsur yang

mendukung berlansungnya aktifitas manusia, sebagai obyek yang tinggal di dalamnya.

Skala permukiman meso membutuhkan bermacam-macam unsur, untuk

menghidupkan suasana permukiman disana. Seperti perumahan, maka dia akan

membutuhkan fasilitas pendukung seperti tempat ataupun kesempatan kerja,

transportasi sebagai kemudahan mobilitas seseorang dalam menjalankan keidupan

sehari-harinya. Selain itu juga tersedianya perumahan, serta fasilitas pendukungnya.

Pada penelitian kali ini, upaya dalam mengenali tipe permukiman skala meso

dapat dilakukan dengan mengenali berdasarkan tingkat penghasilan. Pendapatan kepala

keluarga dapat menjadi ukuran penilaian dalam mengklasifikasikan tipe permukiman.

Selain itu biasanya pada pengukuran lapangan melalui observasi langsung., tipe

9

permukiman dapat diamati melalui pengukuran kualitas fisik bangunan, sanitasi

lingkungan dan fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial dan lain-lain.

1.5.3. Sistem Transportasi Kota Menurut Nasution (2004) definisi transportasi adalah memindahkan orang atau

barang dari tempat satu ke tempat lain dengan suatu alat yang dapat digerakkan oleh

manusia maupun mesin. Transportasi pada dasarnya merupakan kebutuhan turunan

yang daat menunjang kebutuhan primer, misalkna kebutuhan utama seseorang adalah

bekerja/ atau sekolah, dalam menuju kebutuhan utama tersebut, seseorang membutukan

alat transportasi dari tempat asal ke tempat tujuan. Moda transportasi atau alat angkut

terdiri dari darat, laut dan udara. Pada transportasi berbasis rel yang menjadi fokus

penelitian ini merupakan moda transportasi darat publik, dengan efektifitas daya

angkut yang besar dan efisien. Di perkotaan pengaturan transportasi publik memerlukan

suatu Transportation Demand Management untuk mendistribusikan secara merata

kebutuhan pergerakan dalam ruang dan waktu dengan lebih terarah (Ferguson, 2000).

Pemenuhan kualitas dan kuantitas pelayanan transpotrasi publik massal ini diharapkan

dapat mereduksi penggunaan kendaraan pribadi, penyebab utama kemacetan.

Kemacetan di wilayah Jabodetabek akibat dari sistem manajemen kota yang

kurang baik dan budaya masyarakat Indonesia yang dimanjakan dengan kebebasan

mengenai kepemilikan kendaraan pribadi di Kota Jakarta, yaitu sebesar 78% pada tahun

2011,dan juga kebijaksanaan pemerintah yang mengabaikan pembinaan pada

transportasi umum massal. Jumlah perjalanan harian Jakarta sebesar 22,5 juta

perjalanan dengan persentase penggunaan mode transportasi yang dapat dilihat pada

gambar 1.3. dan tabel 1.2.

Sumber : Harian Kompas, edisi 25 September 2011

Gambar 1.3. Persentase Moda Transportasi dari Perjalanan Harian di Kota Jakarta Tabel 1.2. Presentase Perjalanan Harian Kota Jakarta

Persentase Moda Transportasi dari 22,5 juta

Perjalanan Harian di Kota Jakarta

Kendaraan Pribadi

Bus

Transportasi Massal

Lainnya

10

Moda Transportasi Jakarta (dalam persen)

Kendaraan Pribadi 78

Bus 15

Transportasi Massal 6

Lainnya 1

Jumlah perjalanan harian

(juta trip)

22,5

Sumber : Harian Kompas, edisi 25 September 2011

Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI, tercatat 46 kawasan dengan 100 titik

simpang rawan macet di Jakarta. Selain oleh warga Jakarta, kemacetan juga diperparah

oleh para pelaju dari kota-kota di sekitar Jakarta. Kondisi jalan di beberapa Negara-

negara maju memiliki kapasitas jalan mencapai luasan 18% dari luas total wilayah.

Berbeda dengan kondisi di Negara Indonesia, kota Jakarta yang sangat padat penduduk

hanya memiliki luasan jalan mencapai 6,2% dari seluruh luas wilayah DKI

Jakarta,dengan pertumbuhan panjang jalan 0,01% per tahun. Peningkatan angka

kepemilikan kendaraan pribadi khususnya motor dengan rata-rata pertumbuhan

kendaraan 10,4% pertahun (lihat tabel 1.3), tidak signifikan dengan peningkatan

kapasitas luas jalan. Pertambahan jumlah kendaraan pribadi terhadap rasio pertambahan

luas jalan dapat diamati pada gambar 1.4.

Tabel 1.3. Pertumbuhan Kendaraan daerah Jabodetabek Periode 2004-2009

Sumber : BPS Tahun 2011

11

Sumber : BPS Tahun 2010

Gambar 1.4. Rasio Luas Jalan terhadap Jumlah Kendaraan DKI Jakarta

1.5.4. Sarana dan Prasarana Transportasi Kereta Api

Sarana transportasi andalan masyarakat Jakarta adalah kereta listrik atau yang

biasa dikenal dengan KRL Jabotabek. KA Komuter Jabodetabek adalah jalur kereta rel

listrik yang dioperasikan oleh PT KAI Divisi Jabotabek sebelum berubah nama

menjadi PT.KAI Komuter Jabodetabek. Kereta yang dioperasikan merupakan kereta

bekas pemerintah Negara Jepang, contoh gambar KRL dapat dilihat pada gambar 1.5.

Kereta ini melayani masyarakat dari daerah Tanggerang, Bogor, Depok, dan Bekasi.

KRL yang melayani jalur ini terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas ekonomi, kelas

commuter line yang menggunakan pendingin udara. Jalur komuter melewati beberapa

stasiun besar seperti Jakarta Kota, Gambir, Gondangdia, Jatinegara, Pasar Senen, dan

Manggarai.

12

Sumber : Hasil survey lapangan tahun 2013

Gambar 1.5. Kereta Rel Listrik

Beberapa contoh stasiun utama sebagai berikut : Jakarta Kota,Gambir, Pasar

Senen, Manggarai, Tanah Abang, Jatinegara, Bekasi, Bogor, Depok, Tanggerang.

Secara lebih jelas mengenai posisi rute perjalanan Kereta Rel Listrik, dapat diamati

pada gambar 1.6. Kereta listrik ini beroperasi dari pagi hari hingga malam hari,

melayani masyarakat penglaju yang bertempat tinggal di seputaran Jabotabek. Ada

beberapa jalur kereta listrik, yakni:

Jalur Jakarta Kota - Bogor, lewat Gambir, Manggarai, Pasar Minggu, dan Depok

Jalur Jakarta Kota - Bekasi/Cikarang, lewat Pasar Senen, Jatinegara, dan Cakung

Jalur Jakarta Kota - Tangerang, lewat Angke, Cengkareng, dan Poris.

Jalur Jakarta Kota - Serpong, lewat Angke, Tanah Abang, dan Kebayoran Lama.

Jalur Tanah Abang - Bogor, lewat Sudirman, Manggarai, Pasar Minggu, dan Depok.

Jalur Tanah Abang - Bekasi, lewat Sudirman, Manggarai, Jatinegara, dan Cakung.

Jalur Tanjung Priok - Bekasi, lewat Pasar Senen, Jatinegara, dan Cakung.

Jalur Manggarai - Serpong, lewat Sudirman, Tanah Abang, Kebayoran Lama.

Jalur Lingkar, lewat Jakarta Kota, Pasar Senen, Jatinegara, Manggarai, dan Tanah

Abang

13

Sumber : Wikipedia.org (diunduh pada tanggal 22 November 2012)

Gambar 1.6. Rute Perjalanan Kereta Rel Listrik Komuter

Di kota Singapura sendiri, misi dari pada LTA dalam pembangunan infrastruktur

sistem transpotasi angkutan massal yaitu: Sistem transportasi mutu, terpadu dan efisien;

meningkatkan kebutuhan dan harapan rakyat; dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi

Negara. Hampir sama dengan Kota Jakarta, Kota Singapura juga memiliki daerah

penyangga seperti layaknya Jabodetabek. Dan transportasi berbasis rel ini sangat

bermanfaat dalam efisiensi waku,nyaman, layak, tepat untuk menghubungkan antar

pusat kota, dan pusat-pusat bisnis dan pusat kota dengan daerah pinggir.dan dapat

14

meruduksi kemacetan jalan raya dengan adanya jalur rel khusus, serta reduksi bahan

bakar minyak karena energi yang digunakan adalah tenaga listrik. Namun jauh berbeda

dengan kondisi pelayanan transportasinya, kualitas dan kuantitas pelayanan transportasi

publik tersebut dapat dikatakan mampu mencapai hasil-hasil yang optimal, sedangkan

Indonesia sedang menuju perbaikan sitem pelayanan ke arah sana. Rute perjalanan

MRT Singapura, terbagi menjadi 5 jalur dalam 5 warna berbeda (lihat gambar 1.7.).

Sumber : http://www.lta.gov.sg (diunduh pada tanggal 22 November 2012)

Gambar 1.7. Peta Jaringan Mass Rapid Transit Singapura

1.5.5. Keterkaitan antara Perkembangan Transportasi dengan Permukiman Perkembangan suatu wilayah khususnya daerah perkotaan, dipengaruhi oleh

banyak faktor, menurut Yunus (2008) pada bukunya yang berjudul Dinamika Wilayah

Peri-Urban Determinan Masa Depan Kota, menyebutkan faktor-faktor tersebut, antara

lain : (1). Faktor historis; (2) Faktor lokasi; (3). Faktor aksesibilitas (4). Faktor

lingkungan fiskal ; (5). Faktor transportasi dan komunikasi.

Pada perkembangan perumahan di kesatuan wilayah seperti Jabodetabek yang

merupakan penggabungan fungsional beberapa wilayah karena kemudahan keterkaitan

akibat intensitas / frekuensi antar-kota akibat hubungan yang diciptakan terjadi tanpa

ada kendala penghalang fisik, atau dalam hal ini kota-kota pinggir tersebut berbatasan

langsung dengan kota yang lebih besar baik luas, maupun fungsinya seperti Jakarta.

Sehingga manfaat yang dirasakan adalah tingginya aksesibiltas mempengaruhi

15

peningkatan mobilitas atau arus pergerakan jasa, informasi, barang, maupun orang

dalam hubungan antar kota.

Pada Negara-negara di Eropa barat, pasca Revolusi Industri membuktikan sejarah

perkembangan pesat suatu kota. Sejarah tersebut lah yang mempengaruhi juga manfaat

lain dari penemuan kemajuan transportasi dan komunikasi. Kemajuan kehidupan tidak

dapat dipungkiri akibat dari faktor perkembangan transportasi dan komunikasi sebagai

kemampuan dalam menjangkau dan memindahkan jasa, informasi, barang, maupun

orang. Kemajuan inilah yang turut dirasakan pada perkembangan-perkembangan kota-

kota maju di seluruh dunia. Gejala-gejala fisik perubahan lahan akan juga ikut serta

tumbuh seiring perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi tersebut. Kota-

kota lebih kecil yang berbatasan langsung dengan kota yang lebih besar dengan adanya

perkembangan transportasi otomatis menimbulkan keterkaitan fungsional. Ekspresi

spasial dari gabungan beberapa kota dalam menjalankan keterkaitan fungsional

tersebutlah yang menyebabkan adanya istilah megacity/megapolis/megalopolis.

Menurut Morlok (1978) dalam bukunya Introduction to Transportation

Engineering and Planning, menyatakan bahwa perkembangan transportasi secara cepat

dan berkurangnya biaya serta dalam upaya menaklukan wakru menyebabkan variasi

kegiatan manusia. Distribusi pelayanan transportasi dapat menyebabkan pemusatan

lokasi permukiman dapat terjadi dimana saja. Pada kurun waktu terakhir, migrasi dari

pedesaan ke perkotaan, kemudian migrasi dari pusat kota yang padat ke daerah pinggir

(suburb) akibat kemudahan transportasi.

Transfer jasa, informasi, barang, maupun orang inilah yang menyebabkan adanya

peningkatan perkembangan wilayah di kota yang lebih kecil akibat pemindahan fungsi

dari kota yang lebih luas. Sehingga, pemindahan inilah yang menyebabkan kota-kota

disekitar Jakarta menjadi lebih ramai, oleh kemajuan tersebut. Penduduk yang bersifat

penglaju dengan kemudahan aksesibilitas, memicu pemilihan untuk bermukim di

wilayah pinggir, karena fasilitas dalam mengakses teknologoi transportasi menuju

Jakarta menjadi lebih mudah. Hal inilah yang menyebabkan jumlah permukiman dari

tahun ke tahun terus bertambah di daerah sub-urban Jabidetabek, yang diasumsikan

khususnya di wilayah yang berada pada jangkauan titik transit (stasiun) KRL.

16

1.6. Teori dan Konsep Haig (1926 dalam Yunus, 2010) mencetuskan suatu ide mengenai Teori Sewa

Lahan bahwa Penempatan suatu lokasi atas kesepakatan harga sewa lahan dilakukan

sebagai bentuk penawaran terhadap penggantian biaya aksesibilitas/ biaya transportasi

yang dilakukan Sehingga semakin dekat suatu lokasi maka harga lahan semakin tinggi.

Ide “Friction of Space” (Gesekan Ruang) dalam pemikiran Haig, menyatakan bahwa

semua lokasi akan dianggap sempurna tanpa adanya penghalang dalam mengakses

suatu lokasi sehingga tidak perlu terjadi gesekan ruang. Oleh karena itu, sewa lahan

ataupun penggantian biaya transportasi merupakan cara guna mengatasi

ketidaksempurnaan tersebut. Yang diilustrasikan menjadi 3 variabel yang saling terkait

satu sama lain, sebagai berikut ini :

Sumber: Haig (1926)

Gambar 1.8. “Friction of Space” (Gesekan Ruang) dalam pemikiran Haig

Sedangkan yang dimaksud Teori Nilai Lahan/ Land value menurut Darin-Drabkin

(1977 dalam Yunus, 2010) yaitu suatu penilaian suatu lahan diukur berdasarkan

kemampuan dari lahan itu sendiri untuk mampu berproduksi maupun peningkatan

strategi ekonomi. Sedangkan harga lahan merupakan harga berupa bentuk nominal

yang dibayarkan dalam satuan uang untuk tiap satuan luas menurut pasaran lahan.

1.7. Penelitian Sebelumnya Jumlah penumpang Komuter Jabodetabek pada kurun waktu terakhir ini

meningkat, ini berarti orang mulai menggunakan transportasi publik dalam melakukan

aktivitas sehari-harinya. Namun, peningkatan ini juga diikuti oleh peningkatan

penggunaan kendaraan pribadi sebagai transpotasi utama mereka. Penelitian oleh Sari

(2009) bermaksud untuk melihat bagaimana tingkat kualitas pelayanan di kereta rel

listrik Jabodetabek yang menyebabkan operasionalisasinya tidak dapat bekerja sesuai

Rent

Transport Cost Location

17

dengan kualitas pelayanan yang diharapkan. Melalui analisis kepuasan pelanggan dan

analisis proses pelayanan dapat diketahui faktor yang mempengaruhi kepuasan orang

dalam menggunakan kereta rel listrik. Sehingga diketahui apa yang dapat menarik

orang untuk mau menggunakan transportasi publik yang disediakan oleh pemerintah.

Di tahun berikutnya Gaspar (2010) melakukan penelitian yang menghasilkan

analisis sistem transportasi yang didefinisikan sebagai korelasi dan / atau interaksi

antara beberapa komponen. Utamanya adalah sistem ini sebenarnya bertujuan sebagai

aktivitas transportasi, dalam memindahkan orang, barang, jasa dan informasi.

Meningkatnya aktivitas di dalam zona padat aktivitas biasanya sangat dipengaruhi oleh

bagaimana sistem transportasi didalamnya bekerja. Secara sitematis, pentingnya arti dari

sistem transportasi yang bekerja dapat meningkatkan kualitas hidup, khususnya bidang

ekonomi, lingkungan sosial dan aspek institusi sebagai pihak penyelenggara

pembangunan trasnportasi. Perubaan paradigma antar sektor, harus berorientasi pada

program-program sektor struktural yang sinergis dengan target pembangunan wilayah

interaktif berdasarkan pendekatan sistem transportasi, kususnya koordinasi intern dan

ekstern.

Hasil kedua penelitian ini adalah untuk mengukur bagaimana keberhasilan sistem

transportasi dapat mengubah aspek kehidupan. Pada tahun 2013, dengan objek

masyarakat komuter sebagai pelaku utama pengguna Kereta Rel Listrik, akan

difokuskan bagaimana kualitas pelayanan kereta dalam tingkat kepuasan pelanggan,

menjadi faktor dalam menentukan lokasi tinggal di sekitar stasiun, sehingga sistem

transpotasi ini dalam hal distribusi stasiun, berpengaruh dalam perkembangan aktivitas

sosial dan ekonomi di area stasiun. Secara ringkas dapat dilihat tabel berikut:

Tabel 1.4. Penelitian-Penelitian terkait Transportasi

Dilakukan Oleh:

Masalah Pendekatan Hasil

Retno Sari Sunarto

Operational transportasi publik pada Railway Komuter Jabodetabek masih rendah

Penelitian kualitatif

Peningkatan jasa kualitas komuter dan kepuasan pelanggan menjadi penentu keberhasilan pengembangan transportasi publik railway sebagai solusi kemacetan (Retno, 2009)

Don Gaspar N. da Costa

Pentingnya kinerja sistem transportasi dan kontrribusinya dalam pengembangan wilayah

Penelitian kualitatif

Diperlukan adanya perubahan paradigma pembangunan lintas sektoral berbasiskan pendekatan kesistemtransportasian mensinergikan target perencanaan pengembangan wilayah secara interaktif (Don,2010)

18

1.8.Kerangka Pemikiran Pada perkembangan ibukota suatu Negara seperti Jakarta menyebabkan beberapa

fenomena yang muncul, selain akibat yang ditimbulkan bersifat positif dapat juga

bersifat negatif. Hal positif dari kemajuan ibukota Negara bisa dilihat turut

menyebabkan kualitas pelayanan sosial ekonomi yang tinggi. Semua aktifitas dapat

dengan mudah dilakukan. Disisi negatif, perkembangan tersebut memicu pertumbuhan

penduduk yang tinggi akibat aliran penduduk menuju pusat ibukota. Kesempatan kerja

dengan perbedaan upah tenaga kerja yang tinggi menyebabkan mobilitas penduduk

bergerak menuju Jakarta.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan padatanya permukiman.

Dahulu orang memilih bertempat tinggal di pusat kota yaitu Central Business District

(CBD), demi kemudahan akses menuju tempat kerja.Namun, seiring terus padatnya

permukiman menyebabkan harga lahan terus melonjak, khususnya daerah yang

semakin mudah dan terjangkau dengan berbagai fasilitas sosial dan ekonomi. Hal ini

menyebabkan tanah yang mampu disewa maupun dibeli hanya berasal dari masyarakat

golongan atas. Dampak lainnya akibat kepadatan permukiman adalah ruas jalan raya

kini lebih banyak dimanfaatkan untuk permukiman. Hal tersebut, memicu kemaceta

karena semakin sempitnya ruas jalan raya.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan perbedaan upah tenaga kerja yang tinggi

di Jakarta, menyebabkan makin padatnya aktifitas sosial ekonomi. Orang bergerak guna

memenuhi kebutuhan hidupnya. Konsentrasi kegiatan terus meningkat dari tahun ke

tahunnya, yang tumbuh seiring kebutuhan perjalanan masyarakat dalam menjalankan

aktifitas sehari-hari mereka, seperti, bekerja ataupun kebutuhan pendidikan.

Kemajuan teknologi, seperti teknologi bidang transportasi di Jakarta memang

lebih baik dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu

manfaat yang dirasakan guna meningkatkan kualitas pelayanan transportasi publik

akibat demand perjalanan di Jakarta yang tumbuh terus-menerus. Teknologi yang

paling maju, adalah upaya pengembangan teknologi transportasi publik berbasis rel,

mengingat sempitnya luas jalan raya yang ada sekarang. Kemajuan pelayanan ini juga

mampu menjangkau kebutuhan perjalanan hingga pinggir kota. Dengan adanya

distribusi stasiun ke beberapa daerah penyangga ibukota, seperti adanya stasiun Bogor,

stasiun Depok, stasiun Bekasi, dan stasiun Tangerang, orang kini mampu bergerak

dengan lebih mudah menuju pusat ibukota.

19

Keunggulan transportasi publik ini, mampu mengangkut orang dalam jumlah

besar, cepat, tepat, dan efisien waktu, seperti yang dilakukan di beberapa Negara maju

di Eropa, Amerika, Australia, dan beberapa Negara Asia, salah satunya yaitu

Singapura. Munculnya stasiun ke pinggiran kota Jakarta, cenderung menyebabkan

munculnya perumahan baru disekitar titik stasiun ini, hal ini dikarenakan orang tak

perlu lagi khawatir memiliki tempat tinggal yang jauh dari ibukota akibat mahalnya

harga lahan di pusat kota. Kini masalah jarak sudah memiliki solusi dari sisi teknologi

tranportasi publik berbasis rel yaitu Kereta Rel Listrik komuter, yang ditujukan bagi

masyarakat komuter, yang bekerja di Jakarta, namun bertempat tinggal di pinggir kota.

Alur kerangka pemikiran, dapat dilihat lebih jelas pada gambar berikut:

Pertumbuhan penduduk

yang tinggi di ibukota

Harga lahan yang tinggi di

ibukota

Perkembangan pelayanan

transportasi publik

Kurangnya luas jalan raya

di ibukota

Perbedaan upah tenaga

kerja yang tinggi di

ibukota

Padatanya permukiman di

pinggir kota

Perkembangan KRL

komuter Jabodetabek ke

pinggir kota

Masyarakat penglaju

harian (komuter)

Kebutuhan perjalanan yang

terus meningkat

Aktifitas sosek

meningkat

Kepadatan permukiman

Kemajuan dan perkembangan

ibukota Negara

Perbandingan kualitas dan

kuantitas pelayanan kereta

publik

Perkembangan

Mass Rapid Transit

Singapura

Transportasi kota

berbasis rel

Gambar 1.9: Kerangka Pikir Penelitian

Kepuasan pelanggan penentu pemilihan

lokasi tinggal

20

1.9. Hipotesis Pada penelitian ini hipotesis komparatif yang dimaksud untuk mengetahui rata-

rata nilai kepuasan pelanggan KRL di area daya layan stasiun dengan non area daya

layan stasiun. Perbandingan ini bertujuan untuk mengetahui lebih baik mana kepuasan

pelanggan KRL, antara lokasi tinggal yang dekat dengan stasiun atau tidak. Tingkat

kepuasa pelanggan dapat menjadi ukuran pengguna KRL dalam penentuan lokasi

tinggalnya. Adapun uji hipotesis satu sisi (one-tailed test) untuk sisi bawah (lower

tailed), sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat perbedaan antara kepuasan pelanggan KRL pada area permukiman

dengan Radius < 500 m dengan kepuasan pelanggan KRL pada area permukiman

dengan Radius ≥ 500 m di Stasiun Bogor, Stasiun Depok, Stasiun Tangerang, dan

Stasiun Bekasi.

Ha: Terdapat perbedaan antara kepuasan pelanggan KRL pada area permukiman

dengan Radius < 500 m dengan kepuasan pelanggan KRL pada area permukiman

dengan Radius ≥ 500 m di Stasiun Bogor, Stasiun Depok, Stasiun Tangerang, dan

Stasiun Bekasi.

Selanjutnya dari lokasi tinggal tersebut, untuk mengetahui karakteristik kualitas

permukiman didalamnya, maka digunkan indikator tingkat kualitas permukiman yaitu

aksesibilitas lokasi tinggal terhadap stasiun, kualitas fisik bangunan, sanitasi lingkungan

dan fasilitas pelayanan permukiman.

Tujuan kedua penelitian ini adalah membandingkan sistem fasilitas pelayanan

transportasi berbasis kereta rel listrik yang ada di Indonesia dengan yang ada di

Singapura. Variabel kepuasan pelanggan KRL Indonesia dan kepuasan pelanggan MRT

di Singapura sebagai kualitas pelayanan, serta dengan variabel jumlah penduduk,

panjang rel, jumlah stasiun, jumlah armada kereta, jumlah gerbong tiap kereta, dan

jumlah kapasitas penumpang dalam satu kereta untuk dibandingkan antara supply dan

demand kuantitas pelayanannya.

Hipotesis komparatif, merupakan dugaan perbandingan nilai dua sampel atau

lebih. Pada penelitian ini, yang sesuai dengan tujuan kedua adalah hipotesis komparatif

yang masuk pada komparasi independen dalam dua sampel dan lebih dari dua sampel (k

sampel). Hipotesis komparatif yang dimaksud untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan variabel stasiun KRL Indonesia dan MRT Singapura terhadap variabel

21

kualitas dan kuantitas pelayanan transportasi berbasis rel. Adapun hipotesis komparatif

yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

Ha:Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara KRL Indonesia dan MRT

Singapura dalam hal sistem fasilitas pelayanan transpotasi berbasis rel.

Ho:Terdapat perbedaan yang signifikan antara KRL Indonesia dan MRT

Singapura dalam hal sistem fasilitas pelayanan transpotasi berbasis rel.

Tabel berikut disajikan untuk memudahkan memahami hubungan antar variabel dalam menentukan hipotesis penelitian :

Tabel 1.5. Variabel yang Digunakan dalam Penentuan Hipotesis

Tujuan Penelitian Hubungan Antarkonsep Hubungan Antravariabel

Pengaruh Terpengaruh Variabel Pengaruh

VariabeTerpengaruh

1. Menjelaskan kepuasan pelanggan Kereta Rel Listrik Komuter Jabodetabek terhadap pemilihan lokasi tinggal di sekitar stasiun

Kepuasan pelanggan Kereta Rel Listrik Komuter

Pemilihan lokasi tinggal

Tingkatan kepuasan pelanggan Kereta Rel Listrik Komuter

Area < 500 m atau > 500 m dari stasiun

Tujuan Penelitian Konsep

pembanding Variabel Sub Variabel 2. Membandingkan manajemen

sistem fasilitas pelayanan transportasi berbasis kereta rel listrik yang ada di Indonesia dengan yang ada di Singapura

Kualitas pelayanan

Kepuasan pelanggan

Harga tiket

Ketepatan waktu

Distribusi stasiun

Kenyamanan kereta

Kuantitas pelayanan

Kemampuan angkut Daya angkut penumpang

Jumlah stasiun -

Jumlah kereta -

Jumlah gerbong/kereta Kapasitas tiap gerbong

Pajang rel -

Jumlah pernduduk -