24
newsletter IAP IAP IKATAN AHLI PERENCANAAN INDONESIA 06 Menyambut Kebangkitan Kota Menengah Indonesia 12 Inovasi Kesepakatan dengan Warga di Kota Makassar 20 Kolom: Indonesia Most Livable City Index 2014 EDISI 01 / AGUSTUS 2014 BULETIN IKATAN AHLI PERENCANAAN INDONESIA

IAP Newsletter 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: IAP Newsletter 1

newsletter IAP

IAPIKATAN AHLI

PERENCANAAN

INDONESIA

06

Menyambut Kebangkitan Kota

Menengah Indonesia

12

Inovasi Kesepakatan dengan

Warga di Kota Makassar

20

Kolom: Indonesia Most Livable

City Index 2014

EDISI 01 / AGUSTUS 2014BULETIN IKATAN AHLI PERENCANAAN INDONESIA

Page 2: IAP Newsletter 1

04Profesi Perencana dan AEC 2015:

Suatu Pengantar

DAFTAR ISI

Pertama-tama, saya ingin ucapkan selamat dan penghargaan

saya, atas semangat para pengurus dan editor atas terbitnya edisi

perdana newsletter kita.

Kalau kita menilik berbagai tantangan yang ada di depan kita, kita

bukan hanya dihadapkan pada permasalahan tata ruang semata,

namun secara kesuluruhan argumen tentang urbanitas Indonesia,

dengan berbagai masalah-masalah penting dan genting yang akan

kita harus hadapi sebagai planners.

Pembangunan kota sporadis, salah satunya. Sebagai contoh

Jakarta. Dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta 2030, jelas

diamanatkan pertumbuhan kota mengarah ke pusat-pusat

pertumbuhan timur dan barat. Namun, tilik laporan yang

dikeluarkan oleh Perusahaan-perusahaan Konsultan Property

internasional, yang secara gamblang menekankan pertumbuhan

sektor komersial dan perkantoran ke arah selatan. Leluasanya

konsultan property meng “endorse” pertumbuhan, merupakan

potensi konflik lapangan dengan pemerintah dan akan

mempengaruhi kewibawaan produk perencanaan. Ini adalah

sebuah pertarungan klasik antara rencana dan kapital.

Lalu dimana kita bisa berperan? Bagaimana sikap kita?

Indonesia akan memasuki puncak era urbanisasi sekaligus pada

masa tinggi nya produktivitas. Peluang tercipta nya kemakmuran

datang bersamaan dengan risiko tidak terpenuhinya kebutuhan

warga. Lebih dari 30 kota-kota kita akan tumbuh diatas 1 juta

penduduk, sebuah fenomena yang perlu menjadi perhatian kita

bersama.

Bagaimana kita mengusung “sustainability” dalam konteks

kekinian Indonesia? Bagaimana kita mengatasi Konflik, yang

begitu gamblang ada di depan kita?

Potensi konflik ruang menjadi perhatian kita bersama, untuk

segera melangkah maju, dan tidak status quo. Langkah-langkah

BKPRN perlu mendapatkan masukan dan para perencana harus

bahu membahu memberikan jalan keluar inovatif. Potensi konflik

karena berkepanjangannya status “holding zone” sangat rentan

terhadap penyelewengan.

Dalam rangka persiapan pekerjaan besar penyusunan 6.000 lebih

RDTR dan aturan zoning diseluruh Indonesia, tentu merupakan

tantangan sendiri bagi para perencana. Mulai hari ini, sepanjang

sejarah peradaban baru Indonesia, kita memasuki era baru.

Walaupun masih cukup banyak propinsi dan kota/kabupaten yang

masih berjuang untuk menyusun perda RTRW nya, namun boleh

di bilang pekerjaan policy kita sudah tuntas. Kini saat nya kita

memasuki era perencanaan detail, zoning regulations. Apakah

3,000 planners kita sudah siap? Bagaimana dengan suplly tenaga

urban designers dan planners dalam 5 tahun ke depan? Apakah

akan mencukupi kebutuhan kita untuk bertransformasi menuju

tahap perencanaan selanjut nya?

IAPIKATAN AHLI

PERENCANAAN

INDONESIA

DITERBITKAN OLEH

PENASIHAT

REDAKSI

Bernardus Djonoputro

Vera Revina Sari

Raja Malem Tarigan

Reka Masa

Yogie Syahbandar

Dea Desita

Gedung IAP Lantai 2

Jl Tambak No 21

Pegangsaan – Jakarta Pusat

Tel +62 21 3905067

Fax +62 21 31903240

Web www.iap.or.id

Dilarang mengcopy/memperbanyak sebagian ataupun seluruh isi

newsletter ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari IAP. Untuk

mengunduh newsletter ini, kunjungi website www.iap.or.id

DESAIN

Swastomo, DA

PEMIMPIN REDAKSI

Adriadi Dimastanto

06Menyambut Kebangkitan Kota Menengah

Indonesia

12Inovasi Kesepakatan dengan Warga

di Kota Makassar

16 Mengelola Jumlah Penduduk dengan Ruang

17

Poros Maritim Dunia & Tol Laut –

Doktrin Politik Joko Widodo yang Erat

Kaitannya dengan Ketahanan Ekonomi

18IFHP Singapore Conference: Inovasi Good

Urban Governance

20 Kolom: Most Livable City Index 2014

21 Jadwal & Agenda

Page 3: IAP Newsletter 1

Selain menempatkan Sertifikasi IAP sebagai tema utama perjuangan kita ke depan, perencana akan perlu

untuk lebih kompetitif di pasar pekerjaan yang semakin kompleks. Seperti kita ketahui bersama, sebentar

lagi kita akan menyambut era baru keterbukaan pasar, yang bernama Asean Free Trade. Perencana sebagai

salah satu profesi penting akan harus segera bersiap untuk menghadapinya. Nah, apakah kita akan diam

saja, dan seluruh sebelas pemain kita akan menjadi penjaga gawang?

Saya berprinsip, kita harus jemput bola. Take the lead! Salah satu posisi diplomasi dan negosiasi yang

harus kita ambil adalah dengan membawa pusat gravitasi pembahasan dan negosiasi, ada disini, di

Indonesia. Dan IAP akan menjadi leading sector nya. Saya berharap teman-teman semua sama optimis

nya dengan saya. Perlu saya laporkan bahwa saat ini beberapa draft tentang Mutual Recognition

Agreements untuk profesi Perencana sudah beredar di Negara-negara ASEAN. Kami telah mengambil

langkah proaktif, dan akan mengumpulkan pra pemimpin Ikatan Ahli Perencanaan di Negara-negara Asean

untuk bertemu di Indonesia dalam waktu dekat.

Sekali lagi selamat, dan mari bahu membahu membangun IAP.

Salam IAP Jaya

Bernardus Djonoputro

Ketua Umum IAP

Page 4: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP4

PROFESI PERENCANA DAN AEC 2015: SUATU PENGANTAR

Andy SimarmataKetua IAP Bidang Kerjasama Internasionaldan Isu Global

INTERNATIONAL NETWORK

Page 5: IAP Newsletter 1

Tahun 2015 merupakan periode waktu dimana negara-

negara anggota ASEAN akan memasuki masa liberalisasi

perdagangan barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja yang

dinamakan ASEAN Economy Community (AEC). Salah

satu mekanisme untuk memfasilitasi proses tersebut

adalah dengan melaksanakan Mutual Recognition

Agreements (MRA), khususnya dalam hal mobilisasi

layanan profesional. 'MRA merupakan kesepakatan antara

negara-negara ASEAN untuk mengakui dan menerima

secara bersama-sama beberapa atau semua aspek dari

hasil penilaian terhadap para tenaga profesional' (Husaini,

2013). Tenaga ahli profesional yang telah memenuhi

persyaratan yang disepakati dalam MRA, selanjutnya akan

dapat bekerja dan berpraktek di negara manapun di

ASEAN. Dalam bidang jasa konstruksi, terdapat dua jenis

profesi yang sudah menyepakati MRA, yaitu Arsitek dan

Engineer.

Bagaimana dengan profesi perencana kota sendiri?

Menurut Nurzamiati, Kabid Kompetensi Konstruksi

Bapekon Kementerian PU, tahun 2012 Malaysia penah

mengusulkan pembentukan MRA, namun dipandang

belum perlu karena tidak semua negara meregulasi bidang

ini (Nurzamiati, 2014:11). Walaupun demikian, bidang

perencanaan kota sendiri dalam ASEAN Framework

Agreement on Services (AFAS) memiliki kode MRA yang

telah disiapkan atau central product classification (CPC),

yaitu CPC-86741. Sehingga sekarang pertanyaannya,

apakah kebutuhan untuk melaksanakan MRA-urban

planning services masih belum diperlukan?

Setidaknya ada dua isu utama yang perlu dicermati apabila

MRA akan dilaksanakan, yaitu (1) mobilitas perencana

kota yang telah mendapatkan pengakuan dan penerimaan

bersama dari hasil penilaian yang dilakukan diantara

negara anggota ASEAN, dan (2) pertukaran pengetahuan

dan informasi mengenai keahlian, standar kompetensi dan

kualifikasi perencanaan kota.

Dalam hal mobilitas perencana kota, setidaknya ada

beberapa hal yang kemudian perlu untuk dikaji secara

mendalam, yaitu antara lain: a) rasio supply vs demand

perencana kota, b) jenjang kualifikasi perencana yang akan

disepakati, c) pasar tenaga profesional di perencanaan

kota, d) kelembagaan chartered professional planner dan

e) kesenjangan billing rate antar negara. Sementara dalam

hal pertukaran pengetahuan, hal-hal yang perlu dikaji

antara lain a) ruang lingkup pekerjaan perencanaan kota,

b) standar kompetensi yang digunakan bersama, dan c)

mekanisme penilaian chartered professional planner

secara bersama.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pelbagai

catatan diatas tadi, IAP seharusnya dapat menata

langkahnya secara tepat dalam menyambut AEC 2015 ini.

Dengan jumlah tenaga perencana kota terbesar, sekaligus

pasar terbesar di ASEAN, IAP tentunya memiliki peran

sangat strategis dalam menentukan arah dan bentuk

liberalisasi jasa perencanaan kota ini sebagaimana yang

telah diamanatkan dalam AFAS melalui mekanisme MRA.

Sikap IAP akan sangat ditentukan dari kesiapan dan

kecepatan anggotanya dalam meningkatkan daya saing

personalnya di tingkat ASEAN. Pelajaran dari MRA-

Arsitektur, dimana pada awalnya hanya 6 orang Arsitek

Indonesia yang direkognisi, sementara Arsitek Singapore

berjumlah 100-an orang (Suhono, 2011), seharusnya

menjadi peringatan dini kepada IAP untuk dapat

mempersiapkan peta jalan yang lebih baik.

Bagaimana IAP akan menyiapkan peta jalannya? Kirimkan

saran/pendapat teman-teman anggota IAP untuk dapat

membantu persiapan IAP yang lebih matang melalui email

ke [email protected] dengan subject: [MRA-

IAP]... Terima kasih.

NEWSLETTER IAP 5

Page 6: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP3 NEWSLETTER IAP6

MenyambutKebangkitan Kota Menengah IndonesiaDhani M MuttaqinKetua IAP Bidang Kerjasama Kelembagaan

PERKOTAAN

Page 7: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP 4NEWSLETTER IAP 7

Dalam konteks global, dewasa ini

terjadi 2 fenomena pergeseran yang

sedang terjadi dengan sangat cepat;

saking cepatnya banyak sekali

pengambil kebijakan yang tidak

menyadari pergeseran ini sehingga

tidak ada antisipasi yang disiapkan

untuk itu. Kedua fenomena pergeseran

tersebut yaitu:

1) Global shifting to the east atau

lebih lebih populer dengan

Kebangkitan Asia.

2) Global shifting to the cities atau

lebih kita kenal dengan Urbanisasi

GLOBAL SHIFTING TO THE EAST

Asia adalah pusat peradaban dunia sejak zaman peradaban kuno di lembah

sungai eufrat-tigris dan kejayaan kekaisaran Persia sejak sekitar tahun 1000

SM sebelum akhirnya sejarah mencatat terjadinya pergeseran pusat

peradaban ke dunia barat pasca revolusi industri abad ke 17-18 M. Inggris

dan Eropa Barat kemudian menjadi penguasa perekonomian global sampai

abad ke 19 sebelum selanjutnya Amerika mengambil alih “kekuasaan” pasca

perang dunia ke-2. Kini di abad 21 nampaknya gravitasi ekonomi dan global

akan kembali bergeser ke Asia.

Pergeseran dari barat ke timur, dari Eropa & Amerika ke Asia merupakan

suatu realita geo-ekonomi yang sedang terjadi dan akan berlangsung dalam

kurun waktu yang tidak terlalu lama, diproyeksikan sebelum 2050 Asia akan

menjadi kekuatan utama ekonomi global, seperti yang dielaborasi secara

mendalam oleh Prof. Kishore Mahbubani (The New Asian Hemisphere,

2008), bahwa pergeseran kekuatan global dari barat ke timur adalah suatu

hal yang tidak terelakkan.

Dalam proses pergeseran global ini, Indonesia memegang peranan yang

sangat strategis, dengan populasi penduduk dan potensi market yang besar

(250 juta penduduk), serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia

akan menjadi bagian dari kekuatan utama ekonomi Asia bersama dengan

China dan India, setelah sebelumnya Jepang dan Korea Selatan sejak 40

tahun yang lalu telah merubah peta ekonomi global. Terlebih dengan adanya

ASEAN Economic Community 2015 dengan total market mencapai 600 juta

penduduk. Kondisi ini merupakan sebuah potensi dan peluang untuk leading

dalam perkembangan kemajuan regional dan global.

Selain peranan yang strategis, Indonesia juga akan mengalami dampak yang

sangat besar, termasuk dalam perkembangan kota-kota. Kedekatan dan

interaksi ekonomi, teknologi, sosial – budaya yang semakin intensif dengan

kota-kota di Asia dan ASEAN akan membawa pengaruh pada perkembangan

kota.

Page 8: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP8

GLOBAL SHIFTING TO CITIES

Urbanisasi adalah sebuah transformasi dari desa menjadi

hidup dengan cara industry (Firman, 2007). Proses

urbanisasi secara global tidak hanya terjadi dari aspek

jumlah penduduk yang hidup diwilayah perkotaan, tetapi

juga dari sisi dominasi ekonomi perkotaan terhadap

perekonomian global. Penelitian McKinsey Global Institue

(Urban World Report, June, 2012) menunjukan suatu

gambaran proyeksi kondisi perkotaan yang cukup

mencengangkan pada tahun 2025:

• GDP dari 600 kota di dunia akan mencapai US$ 30 T

atau mencapai 65% dari total GDP dunia

• Dibutuhkan penambahan 85% luas lantai dari

bangunan yang ada sekarang

• Dibutuhkan penambahan 80 milyar kubik air bersih di

kawasan perkotaan

• Dibutuhkan US$ 10 T untuk investasi infrastruktur

perkotaan

Proses urbanisasi tentu saja memberikan berbagai

kesempatan pada warga untuk memiliki akses terhadap

berbagai layanan urban yang memanjakan dan akses

terhadap berbagai kesempatan ekonomi, bisnis dan politik

yang tidak bisa didapatkan di pedesaan, tetapi disisi lain

kegagalan dan keterlambatan memahami pergeseran ini

akan berdampak pada timbulnya eksternalitas negatif yang

tidak terantisipasi (munculnya permukiman kumuh dan

tumbuhnya ekonomi informal, etc) yang telah terjadi di

semua kota besar di negara berkembang.

KONDISI KOTA KITA

Dua pergeseran global diatas merupakan sebuah kondisi

eksternal yang harus kita fahami sebelum kita masuk pada

skala internal Indonesia, khususnya dalam konteks

menyadari positioning kekinian kondisi kota kita, dimana

kita berada dan kemana kita akan menuju.

Kondisi kota kita berada pada kondisi yang kurang

menggembirakan, setidaknya itu yang bisa kita simpulkan

secara singkat dari hasil survey Indonesia Most Livable

City Index (MLCI) yang dilakukan oleh Ikatan Ahli

Perencanaan Indonesia (IAP) pada tahun 2011. Hampir

semua kota besar nasional dipersepsikan oleh warganya

berada pada kondisi yang tidak nyaman, terutama untuk

aspek fisik, tata kota, lingkungan dan keamanan.

Aspect Perception Index (%)

Physical/Urban design 28.63

Environment 34.32

Security & Safety 37.09

Economy 41.84

Social & Cultural 48.91

Transportation 49.56

Public utilities 68.18

Public Health 71.03

Education Facilities 72.63

Sumber: Indonesia Most Livable City Index, IAP, 2011

INDEX PERSEPSI WARGA TERHADAP KOTANYA

Page 9: IAP Newsletter 1

Sementara itu, urbanisasi juga terjadi di Indonesia dalam

percepatan yang cukup fantastis. Proporsi penduduk yang

tinggal di kawasan perkotaan saat ini sudah mencapai 53%

dan diperkirakan akan mencapai 67.5% pada tahun 2025.

GDP kawasan perkotaan diperkirakan akan mencapai 86%

pada tahun 2030. (World Bank: Indonesia, The Rise of

Metropolitan Region, 2012).

Kecepatan urbanisasi mengindikasikan bahwa ukuran kota

akan semakin membesar, desa akan mengkota, kota kecil

akan menjadi kota menengah, kota menengah akan

menjadi kota besar dan kota besar akan menjadi megacity,

kota-kota baru akan terbentuk, tersebar di seluruh

nusantara.

Fokus perkembangan kota akan lebih menyebar tidak

hanya terbatas pada kota besar yang ada sekarang saja.

Seiring dengan desentralisasi pemerintahan dan otonomi

daerah, inisiatif dan kerjasama pembangunan

dimungkinkan lebih banyak dilakukan di tingkat daerah

(Kota/kabupaten), dan kota kecil – menengah justru akan

mengambil peran strategis – vital di masa mendatang.

Indikasi ini tercerminkan pada proyeksi pertumbuhan GDP

kota yang dilakukan oleh McKinsey Global Institue (The

Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential,

2012). Dalam laporan itu diproyeksikan bahwa GDP kota

kecil dan kota menengah tahun 2010 – 2030 akan tumbuh

lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan GDP Kota

Jakarta.

Pertumbuhan GDP kawasan perkotaan diproyeksikan

sebagai berikut:

• Large Middlewieghts City (Kota menengah dengan

jumlah penduduk 5-10 juta jiwa) akan tumbuh

sebesar 9,1%,

• Mid-Sized Middleweights City (Kota menengah

dengan jumlah penduduk 2-5 juta jiwa) akan tumbuh

sebesar 6,9%,

• Small Middleweights City (Kota menengah dengan

jumlah penduduk 150.000 – 2 juta jiwa) akan

tumbuh sebesar 6,3%

• sedangkan Kota Jakarta sendiri diproyeksikan akan

tumbuh sebesar 5,1%.

Yang menarik adalah bahwa share kumulatif GDP

terbesar justru akan disumbangkan oleh kota menengah

(150 rb – 2 jt penduduk) yaitu sebesar 37% dari GDP

nasional jauh diatas share GDP yang diberikan oleh

Jakarta (19%).

Kondisi ini merupakan sebuah jawaban kontra terhadap

mitos yang menyatakan bahwa pusat pertumbuhan

Indonesia adalah hanya di Jakarta. Meskipun secara

besaran perkapita mungkin tidak terbantahkan bahwa

Jakarta adalah pusat dari pertumbuhan dan perputaran

ekonomi nasional tapi data diatas memberikan sebuah

sudut pandang lain bahwa titik-titik pertumbuhan itu

tersebar juga di kota-kota lain dengan besaran yang

cukup signifikan secara agregat nasional.

NEWSLETTER IAP 9

Page 10: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP10

90% kota-kota dengan pertumbuhan GDP yang tinggi (>7%) banyak

tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Kota-kota seperti Batam,

Medan, Pekanbaru, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar,

Ambon dan Sorong merupakan kota-kota dengan tingkat pertumbuhan

yang menjanjikan.

Rencana Kota Sebagai Panglima

Pemahaman terhadap proses urbanisasi sejak tahapan

awal perkembangan kota di kota kecil dan menengah

merupakan sebuah insight awal bagi para pemimpin kota

bahwa rencana pembangunan kota harus disiapkan untuk

mengantisipasi pertumbuhan yang terjadi dengan cepat.

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus menjadi acuan

pembangunan kota pada berbagai sektor pembangunan.

RTRW tersebut harus diimplementasikan dan upaya

pengendalian rencana kota harus dilaksanakan secara

tegas.

Pembangunan infrastruktur, fasilitas dan berbagai

kebijakan lainnya harus mengantisipasi kebutuhan dalam

jangka menengah dan jangka panjang.

MENYAMBUT KEBANGKITAN KOTA MENENGAH

INDONESIA

Kota kita saat ini adalah sebuah karya dari antisipasi yang

terlambat terhadap fenomena urbanisasi yang terjadi

dengan cepat, pertumbuhan penduduk kota yang pesat

tidak diiringi oleh kecepatan penyediaan infrastruktur dasar

dan fasilitas perkotaan lainnya. Seolah masalah selalu

selangkah didepan solusi, tidak pernah bisa terselesaikan

dengan tuntas.

Berkaca pada kondisi tersebut, untuk menyambut pesatnya

perkembangan kota kecil-menengah yang sudah didepan

mata harus dapat mengambil pelajaran dari perkembangan

kota besar, tidak mengulang kesalahan yang sudah terjadi

dan selayaknya memperhatikan beberapa hal berikut:

1. Rencana Kota Sebagai Panglima

2. Mewujudkan Livable City

3. Peranan Strategis Pemimpin Kota

4. Kerjasama Lokal dan Global

Page 11: IAP Newsletter 1

Mewujudkan Livable City

Target untuk menciptakan Livable City difokuskan pada

prinsip-prinsip livable city sebagai berikut:

1. Ketersediaan infrastruktur kebutuhan dasar

(permukiman, air bersih, listrik)

2. Ketersediaan fasilias umum dan fasilitas sosial

(transportasi publik, taman kota, fasilitas kesehatan,

fasilitas ibadah)

3. Ketersediaan ruang public untuk berinteraksi

4. Keamanan

5. Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya

6. Kebersihan dan kesehatan lingkungan

Peranan Strategis Pemimpin Kota

Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah merupakan

sebuah berkah dan kesempatan untuk mengoptimalkan

inisiatif kepemimpinan lokal terutama dalam kaitannya

dengan cepatnya pertumbuhan kota kecil dan menengah

yang akan berlangsung. Pemimpin lokal, walikota dan

bupati, akan memegang peranan penting dan tidak kalah

penting daripada menteri dan presiden.

Pemimpin kota tidak dituntut untuk menjadi ideolog pada

faham tertentu, tetapi dituntut sangat teknis untuk dapat

menyelesaikan permasalahan kota dan berorientasi pada

aksi - program nyata. Selama aksi nyatanya dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat luas, selama jalanan bersih,

lingkungan asri, bebas macet dan bebas banjir, tidak

peduli apa pun ideologi politiknya, dia adalah walikota

yang baik.

Kerjasama Lokal & Global

Dalam lingkup lokal, kolaborasi antar berbagai elemen

kota, pemerintah-warga-swasta merupakan keharusan

dalam menciptakan keselarasan pembangunan kota yang

diinginkan. Pada tingkatan kota prinsip-prinsip demokrasi

(bottom up, participatory, good governance, etc) lebih

dimungkinkan untuk diterapkan dibandingkan pada tataran

pemerintahan yang lebih luas.

Kota juga sangat dimungkinkan untuk menjalin kerjasama

secara global dengan kota lain ataupun dengan pihak

private dalam koridor yang saling menguntungkan.

Kolaborasi antar kota ini baik secara formal maupun

kultural akan dapat mengakselerasi kemajuan kota dalam

hal knowledge sharing, technology & problem solving

experiences.

PENUTUP

Permasalahan perkembangan kota kecil dan menengah

tidak kalah kompleks dibandingkan kota besar, malah

pada beberapa kota keadaannya lebih parah yang

disebabkan banyaknya pelanggaran dan belum adanya

kepastian hukum. Meskipun demikian perkembangan

kota kecil dan menengah menyimpan harapan dan

optimisme untuk terwujudnya masa depan kawasan

perkotaan Indonesia… Kota - Kota Indonesia yang

livable…

Bibliography

Barber, Benjamin, If Mayors Ruled the World: Dysfunctional

Nations, Rising Cities, 2013

Indonesia Association of Planners (IAP), Indonesia Most

Livable City Index, 2011

Katherina, Luh Kitty, Fenomena Urbanisasi pada Kota

Menengah di Indonesia, 2014

Mahbubani, Kishore, The New Asian Hemisphere: The

Irresistible Shift of Global Power to the East, 2008.

McKinsey Global Institute, The Archipelago Economy:

Unleashing Indonesia’s Potential, 2012

McKinsey Global Institute, Urban World: Cities and The Rise of

the Consuming Class, 2012

Muttaqin, Dhani, Jakarta: Diplomatic Capital City, 2012

World Bank, Indonesia, The Rise of Metropolitan Region, 2012

NEWSLETTER IAP 11

Page 12: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP12

Bernardus DjonoputroPraktisi Perkotaan dan Ketua Umum IAP

PERKOTAAN

Inovasi Kesepakatan dengan Warga di Kota Makassar

Page 13: IAP Newsletter 1

Banyak kota di Indonesia senantiasa menyinarkan pesona

kekhasan nya, namun pada saat yang bersamaan selalu

penuh dengan kontroversi akan menurun nya kualitas

hidup dan kenyamanan. Kota-kota seperti Bandung,

Medan, Bogor, Jakarta, Surabaya, Makassar berkembang

tak ubahnya hanyalah aglomerasi penduduk, sekelompok

manusia yang secara bersama mendiami sebidang tanah,

membangun tempat tinggal sesuai dengan kebutuhan,

selera dan kemampuannya sendiri; dengan sebagian

besar penduduk bekerja di sektor informal, yang pada

dasarnya merupakan spillover (limpahan) dari sektor

formal. Tidak ada nafas kota yang mencirikan ‘inilah kota

tempat tinggal terbaik di Indonesia’ (Most Livable City)

dengan segala kenyamanan yang seharusnya dimiliki

kota.

Tantangan utama Makassar adalah kenyataan bahwa

perkembangan kota yang “nyaris tanpa rencana” yang

berakibat banjir, kriminalitas tinggi, kemacetan, polusi,

sampah, kekumuhan, kemiskinan, adalah akibat tidak

sinkronnya konsep kemakmuran masyarakat dan

penegakan hukum dalam tahapan implentasi produk

rencana kota. Penegakan hukum dalam pelaksanaan

produk rencana kota melalui instrument Perda RTRW Kota

yang seharusnya merupakan koridor dari aktivitas warga

masyarakat masih sulit untuk dilaksanakan dengan baik

akibat ketidakberdayaan institusi, sistem politik kota yang

sangat belum kondusif dan minim kompetensi

manajemen kota.

Kota dan warga Makassar sedang mengalami suatu proses

transisi menuju perubahan-perubahan secara cepat

termasuk di bidang ekonomi, pembangunan ruang kota dan

wilayah. Pemerintah, perencana, manajemen korporasi dan

masyarakat membutuhkan pendekatan baru yang berkaitan

dengan paradigma baru dan metode penyelesaian masalah

dalam menghadapi dan mengantisipasi perubahan-

perubahan yang sedang dan akan terjadi serta untuk

menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul

menyertai. Untuk itu Walikota Makassar Danny Pomanto,

mengawali masa tugas nya dengan inovasi berupa

penandatangan Citizen Charter, yang ditanda tangani oleh

semua dinas dan SKPD terkait di Kota Makassar. Acara

resmi dilakukan dihadapan ribuan stakeholder yang

berkumpul di Makassar baru-baru ini.

PERENCANAAN KOTA MAKASSAR MENYELURUH

Dua school of thoughts yang penting adalah perencanaan

berdasarkan substansi dan proses dan perencanaan

berlandaskan moral dan tujuan (goals). Pada kedua paham

tersebut setiap perencana niscaya harus mempertajam

pengertian akan permasalahan atau existing conditions, dan

mengangkat ‘public issues’ untuk di pecahkan dalam

produk-produk rencana. Jadi para perencana sebenarnya

sangat paham bahwa ‘fakta dan analisa permasalahan’

adalah titik awalnya.

NEWSLETTER IAP 13

Page 14: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP14

Selain dua paham pemikiran tersebut ada dua hal

yang perlu digaris bawahi. Pertama, bahwa

penyelenggara kota perlu memiliki kapasitas

perencana serta harus peka terhadap faktor non-

teknis yang justru bisa menjadi penentu berjalan

atau tidaknya produk rencana. Demikian juga

berkembangnya“open society“ akibat

perkembangan sistem kapitalis global,

menyebabkan nasib suatu negara (sovereign state)

tergantung pada arus permodalan dan kebijakan

pinjaman dunia. Walikota dan Perencana perlu

menyadari bahwa arus pengaruh global sangat

menentukan, sehingga sensitivitas dan penguasaan

isu-isu seperti ini perlu dibangun.

Yang kedua, adalah pentingnya menata

keseimbangan peran pemerintah dan publik.

Bagaimana sebaiknya pemerintah daerah berperan

dalam menghasilkan produk rencana yang berbasis

komunitas dan berorientasi tujuan? Seperti juga

dalam sistem perekenomian, pemerintah kota

harusnya berperan sebagai fasilitator dan faktor

penyeimbang bagi publik. Keseimbangan fungsi

kontrol dan perencanaan akan membuahkan

sebuah mekanisme pengembangan ruang publik

yang pro-publik. Pemerintah dengan sistem politik

dan ekonominya, perlu mencari porsi equiribilium

(keseimbangan) perannya.

KESEPAKATAN DENGAN WARGA

Peran pemerintah kota harus berpatokan pada

pemenuhan tuntutan publik dan warga kota akan

kenyamanan dan kesejahteraan dengan melibatkan

masyarakat dalam penataan pemerintah.

Pemerintah kota sebagai institusi publik harus

mengidentifikasi tujuan, peran dan arah pelayanan

publik yang dijabarkan di dalam rencana. Hal ini

akan menyebabkan perubahan kearah akuntabilitas

institusi publik dari ‘accountability to elected

officials to accountability to customers’, dimana

pemerintah kota bertanggung jawab kepada

warganya. Mekanisme pengawasan masyarakat

yang melekat mengarahkan perubahan kekuasan

dari ‘top and center’ to ‘the Moment of Truth”,

yaitu interaksi antara pemerintah dan warga

negara. Pengawasan berjalan pada saat pelayanan

publik diberikan kepada masyarakat, sehingga

indikator “pengalaman” dan “nilai tambah” yang

diterima masyarakat menjadi faktor terpenting

dalam mengukur efektifitas, efisiensi dan

akuntabilitas pelayanan publik.

PRODUK RENCANA

TATA RUANG

PERKOTAAN

CITIZEN CHARTER

PELAYANANPUBLIK

DAMPAKLINGKUNGAN

DAMPAKSOSIAL

DESAIN TEKNISENGINEERING

SOSIALISASIKE MASYARAKAT

Langkah yang harus dilakukan adalah

melakukan perumusan citizen-citizen charter

dalam setiap sisi rencana kota.. Bagaimana hal

ini dapat dilakukan ? Para warga hendaknya

membangun sebuah kesepakatan dengan

penyelenggara kota mengenai visi dan misi

kota. Kesepakatan yang dibangun mencakup

bagaimana kota dapat memenuhi kebutuhan dan

tuntutan kesejahteraan, kualitas hidup,

kenyamanan, keamanan dan kepastian hukum

serta lingkungan yang terjaga. Citizen Charter

adalah pedoman bagi penyelenggaraan kota,

yang akan menjadi kompas dalam navigasi arah

perkembangan kota dan peleyanan publik.

Dibangunnya kesepakatan dengan warga ini

pada gilirannya akan menciptakan

penyelenggara kota dan perencana yang

transparan dan menganut prinsip-prinsip good

governance. Kesepakatan warga akan secara

otomatis mengikutkan warga dalam semua

aspek kehidupan kota. Dalam hal penyusunan

rencana kota, keterlibatan warga bukan saja

berkenaan dengan sekedar mengetahui, tetapi

juga terlibat secara aktif didalam mengawasi

pelaksanaannya. Kesepakatan publik dalam

perencanaan kota tidak dapat hanya dijamin

dengan representasi perwakilan di DPRD,

melainkan perlu secara universal

mengakomodasi semua lapisan warga di kota

tersebut.

Page 15: IAP Newsletter 1

Layaknya perumusan visi dan misi sebuah organisasi atau

perusahaan, Kesepakatan Warga atau Citizen Charter

adalah panduan dasar untuk semua kebijakan dan strategi

pelayanan publik. Dalam praktek nya, Citizen Charter

merupakan implementasi dari Standar Pelayanan

Minimum. Setiap dinas pelayanan, akan memiliki Standar

Pelayanan Minimum, yang dikomunikasi kan secara

terbuka baik melalui website atau jalur informasi terbuka

lainnya seperti media massa dan media elektronik. Nah,

disini, setiap warga kota memilki hak untuk mendapatkan

pelayan dan terutama sadar tentang “hak” nya.

Citizen charter dibangun secara kolektif bersama warga,

pemerintah, perwakilan rakyat dan kalangan LSM, dan

harus mampu mengekspresikan filosi kehidupan kota

tersebut, sosial-budaya, lingkungan dan ekonomis. Semua

kesepakan akan menjadi binding contract antara warga dan

pemerintah atau pemberi pelayan publik, dengan tujuan

akhir penyelenggaraan pelayanan publik yang transparan

dengan tingkat akuntabilitas tinggi. Banyak contoh citizen

charter berhasil yang sudah dibagun dibanyak pemerintah

kota dunia. Inggris merupakan salah satu negara pelopor

yang berhasil. Demikian juga sudah semua negara bagian

di India menciptakan Citizen Charter, dan secara terbuka

mensosialisasikannya kepada publik.

NEWSLETTER IAP 15

Tidak ada kata terlambat untuk mulai suatu pembaharuan.

Kita tengok beberapa kota kompleks seperti Shanghai,

Mumbay, St. Petersburgh, yang secara riil mampu

mengekspresikan ciri khasnya sekaligus mencoba untuk

memenuhi kebutuhan warganya. Di Inggris dan India,

pemerintah daerah membuat citizen charter sebagai

pedoman kebijaksanaan dan transparansi tata pamong

(governance), dan mempublikasikannya ke publik melalui

media-media komunikasi kota, pengumuman negara dan

website. Para perencana mampu membangun kota yang

penuh refleksi hati nurani perencana dan administratur

kotanya, serta merupakan fungsi optimasi dari potensi kota

itu sendiri. Inilah kesempatan kita untuk mulai.

Nah, peran planner, pendidik, negara, para pengambil

keputusan, maupun masyarakat pada gilirannya adalah

penentu kualitas kehidupan kota, dan kita perlu sepakat

sekarang agar tidak lagi berkutat dalam kemelut ketidak

menentuan dan mencegah semakin menurunnya kualitas

hidup kita. “Physical development is not a rehearsal with

an opportunity to do it correctly at a later time without

incurring cost of duplication, new infrastructure and loss of

local resources”.

Page 16: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP3

Dalam banyak kesempatan, tingginya jumlah penduduk

sering dikaitkan dengan beragam masalah yang ada,

seperti degradasi lingkungan, kekurangan pangan dan

tingginya angka kriminalitas. Jumlah penduduk yang tinggi

membutuhkan pangan dalam jumlah yang tinggi pula1.

Upaya pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui

penambahan lahan pangan baru maupun penggunaan

teknologi untuk meningkatkan produksi pangan. Upaya

pemenuhan tersebut seringkali tidak mengindahkan daya

dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga merusak

alam2. Tidak hanya urusan pemenuhan pangan, dalam

upaya memenuhi kebutuhan lainnya, hal serupa juga

seringkali terjadi. Selain itu, tingginya jumlah penduduk

juga dianggap memicu kompetisi yang sangat ketat dalam

mengakses beragam sumber daya. Salahs satu dampak

negatif dari hal tersebut adalah meningkatnya angka

kriminalitas.

Bagi Negara dengan jumlah populasi terbesar keempat di

Dunia3, Indonesia juga dikatakan memiliki berbagai

masalah akibat tingginya jumlah penduduk. Pemerintah

sendiri tengah mengupayakan sebuah kebijakan terpadu

bernama Grand Desain Pembangunan Kependudukan

(GPDK) guna menanggulangi permasalahan kelangkaan

sumber daya akibat tingginya jumlah penduduk4. Pada

tingkat Pemerintah Daerah, dilakukan upaya peningkatan

komitmen untuk melakukan revitalisasi program Keluarga

Berencana (KB), yang kini dianggap jalan di tempat

dengan tidak berubahnya tingkat kelahiran di Indonesia

dalam kurun waktu 12 tahun, yaitu sebesar 2,65. Anggaran

Negara untuk mendukung program KB pun secara kontinu

juga mengalami kenaikan, dari 700 Miliar Rupiah pada

tahun 2006 hingga 2,8 Triliun Rupiah di tahun 20146.

Dalam hiruk-pikuk kekhawatiran akan tingginya jumlah

penduduk, ada hal yang perlu secara proporsional

dipertimbangkan. Jumlah penduduk yang tinggi menjadi

masalah karena dua sebab: distribusi penduduk yang tidak

merata dan akses kepada sumber daya yang tidak

seimbang. Kedua hal tersebut, dalam konteks penataan

ruang dan wilayah, berkaitan erat dengan lokasi pusat

pertumbuhan. Migrasi penduduk dari desa ke kota, dengan

segala sebab dan akibatnya, adalah dampak dari tidak

meratanya akses kepada sumber daya.

NEWSLETTER IAP16

Mengelola Jumlah Pendudukdengan Ruang

PENGEMBANGAN WILAYAH

Sumber daya dipusatkan, atau diambil untuk diolah, di

pusat pertumbuhan. Akibatnya, banyak penduduk yang

berpindah ke pusat pertumbuhan tersebut. Hasilnya,

banyak wilayah yang ditinggalkan penduduknya guna

mendapatkan akses sumber daya yang lebih baik di pusat

pertumbuhan. Wilayah-wilayah jarang penduduk tentu

tidak memiliki nilai keekonomisan bagi penyediaan

fasilitas dasar, seperti listrik dan air. Pemerintah harus

turun tangan untuk mensubsidi wilayah tersebut agar

fasilitas dasar dapat dinikmati oleh penduduk di wilayah

yang bukan merupakan pusat pertumbuhan.

Kelangkaan sumber daya, jika ditelaah, juga tidak selalu

berkorelasi positif dengan tingginya jumlah penduduk.

Permintaan penduduk terhadap satu jenis sumber daya

sangat bervariatif. Sebagai contoh, penduduk Negara

ekonomi maju mengkonsumsi sumber daya alam 10 kali

lipat dibandingkan penduduk Negara ekonomi

berkembang7&8

. Padahal sebagaimana diketahui bersama,

bahwa jumlah penduduk di Negara ekonomi berkembang

lebih banyak daripada penduduk di Negara ekonomi maju.

Ada kecenderungan bahwa semakin maju sebuah

komunitas, semakin beragam dan tinggi kebutuhan akan

sumber daya, baik alam maupun buatan.

Alokasi sumber daya adalah salah satu variabel kunci

dalam penataan ruang. Lokasi dengan potensi sumber

daya tinggi perlu dijamin aksesnya bagi semua dengan

perencanaan dan pemanfaatan ruang yang memadai. Alih-

alih menjadikan jumlah penduduk sebagai sebab tunggal

bagi sekian banyak masalah kependudukan dan

lingkungan, kita perlu menjawab tuntas terlebih dahulu

persoalan ketimpangan akses terhadap sumber daya dan

ketidakmerataan distribusi penduduk. Kedua hal tersebut

dapat berkaitan satu sama lain, ataupun berdiri sendiri-

sendiri. Menata ruang adalah kerja untuk mengupayakan

akses yang memadai bagi siapapun untuk setiap sumber

daya yang tersedia. Ini dilakukan dengan menyebar pusat

pertumbuhan dan memastikan masing-masing pusat

mendapatkan perhatian yang seimbang dari pemerintah.

Akibat dari kegiatan terencana ini adalah pemerataan

sumber daya bagi penduduk dan mencegah terjadinya

ketimpangan distribusi penduduk.

Agung MH DorodjatoenBidang Advokasi Isu Pengembangan Wilayah PN IAP

Page 17: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP 4NEWSLETTER IAP 17

Poros Maritim Dunia & Tol Laut –Doktrin Politik Joko Widodo yang EratKaitannya dengan Ketahanan Ekonomi

Poros Maritim Dunia menjadi doktrin politik luar negeri Capres

terpilih Joko Widodo yang turut diprakarsai oleh cendekiawan

ilmu strategis muda, Andi Widjajanto, dengan tujuan

menjadikan Indonesia pemenang di era pergeseran center of

gravity dunia dari Eropa Barat ke Samudera Pasifik. Bahkan

untuk mengukuhkan hal ini, Capres terpilih memberikan pidato

kemenangannya di atas kapal Phinisi.

Sebenarnya di era Presiden SBY, upaya untuk menguatkan ke-

maritiman Indonesia telah dicoba dengan salah satunya asas

cabotage, yang merupakan suatu upaya memberikan prioritas

kepada industri perkapalan nasional dalam melayani arus

perdagangan domestik. Hal ini turut diperkuat dengan konsep

Pendulum Nusantara, atau oleh Pak Joko Widodo disebut

sebagai Tol Laut, dimana pelabuhan-pelabuhan besar akan

memiliki shuttle service diantara mereka yang memungkinkan

economies of scale dan menurunkan biaya transportasi.

Saya sendiri melihat Indonesia sebenarnya sangat unik, hampir

tidak ada negara di dunia yang mendekati. Setiap pulau besar

seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Jawa dan Papua,

memiliki ukuran yang setara dengan sebuah negara, sehingga

perlu ada suatu strategi untuk masing-masing pulau tersebut.

Namun disisi lain, secara strategis dalam perspektif ketahanan

nasional, perlu ada unsur perekat dari masing-masing pulau

tersebut agar sinergis dalam satu kesatuan.

Oleh karena itu, pendekatan tol laut/pendulum nusantara ini

harus menjadi perhatian utama pemerintahan mendatang,

dimana dengan menggunakan Gravity Model, berkurangnya

hambatan konektivitas antara pelabuhan-pelabuhan utama di

masing-masing pulau besar akan meningkatkan bangkitan

kegiatan ekonomi. Presiden SBY mencanangkan Bitung dan

Kuala Tanjung sebagai poros utama atau hub, dan ini logis

karena Kuala Tanjung terletak strategis sekali di pintu masuk

selat Malaka, sedangkan Bitung adalah salah satu titik paling

strategis yang menghadap ke Samudera Pasifik. Namun hingga

saat ini, pelabuhan-pelabuhan utama ini bahkan belum

terhubung ke kota besar terdekat yaitu Medan dan Manado.

Tentunya kita harus memahami bahwa pendekatan yang

digunakan adalah trade follow the ship, bukan ship follow the

trade, sehingga keberpihakan pemerintah dari segi anggaran

menjadi utama dan tidak bisa serta merta mengharapkan

swasta dapat mengambil peran leader dalam inisiatif ini.

Tol yang menghubungkan Medan ke Kuala Tanjung, serta

Manado ke Bitung, haruslah tersedia, dan harus ada upaya

mendorong urbanisasi yang massive dan berdaya saing

tinggi ke kota Medan dan Manado untuk mendorong daya

saing pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung. Saat ini Medan

masih mengandalkan Belawan, namun dari segi kapasitas

kota, sudah memiliki potensi kekuatan dengan pendekatan

metropolitan Mebidangro (Medan-Binjai-Deli Serdang-

Karo), namun untuk Manado, justru masih kalah signifikan

dibandingkan Makassar dengan pola metropolitan

Maminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa dan Takalar),

selain juga memang secara tradisi berdagang sangat kental

mengakar di masyarakat Bugis.

Lalu apakah pendekatan ini akan mengkanibalisasi MP3EI?

Sejatinya tidak, karena MP3EI justru mendorong

perkembangan pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung,

dimana mereka menjadi main gateway dari koridor

ekonomi di Sumatera dan Sulawesi. Namun demikian,

Bitung akan cukup terkendala karena kapasitas secara

ekonomi masih jauh lebih rendah dibandingkan Sulawesi

bagian selatan. Ini yang masih perlu menjadi kajian, karena

preferensi terhadap Bitung jangan sampai menghambat

potensi ekonomi yang sudah sangat berkembang di

Sulawesi bagian selatan. Ini menjadi pekerjaan rumah tim

Presiden terpilih berikutnya untuk mencari suatu pola

transisi yang sinergis dan konsisten dalam menjembatani

potensi ekonomi di bagian selatan Sulawesi dengan

pengembangan Bitung. Bitung mungkin dapat disinergikan

dengan perekonomian di pesisir timur Kalimantan, Maluku,

dan Papua.

Walaupun pendekatannya Maritim, jika konektivitas darat

tidak tercapai, maka pelabuhan akan menjadi macan

ompong. Kita berpotensi jadi poros maritim jika

perekonomian kita sendiri kuat dalam memberikan baseline

traffic untuk mencapai economies of scale dalam

perkapalan nasional. Oleh karena itu, strategi harus sinergis

dan jangka panjang, dengan program terencana 10-20

tahun yang tidak boleh terombang-ambing preferensi

politis jangka pendek. Kebijakan ini juga harus bisa diikuti

konsisten oleh pemerintah daerah, dan mengakar bahkan di

kalangan pengusaha.

PENGEMBANGAN WILAYAH

Emil DardakWakil Sekjen PN IAP Bidang Governance, Financing & Knowledge Management

Page 18: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP3

Jumat 30 Mei 2014, International Federation for

Housing and Planning (IFHP) menghelat konferensi

kedua mereka tahun ini di Singapura dengan tema

‘Good Urban Governance in Integrated Planning: The

Key to Success?. Bukan tanpa alasan organisasi

internasional tersebut memilih Singapura sebagai

tempat dilangsungkannya konferensi ini. Singapura

dianggap sebagai salah satu negara yang telah

berhasil mengimplementasikan Integrated Planning

dengan struktur tata kelola yang yang baik dalam

mendukung proses perencanaannya. Tentu saja tidak

hanya Singapura yang boleh berbangga dengan

keberhasilan pembangunan yang telah dicapainya,

berbagai pengalaman pembangunan dan project

skala internasional dari berbagai negara dibagi dan

didiskusikan dalam konferensi ini dengan harapan

bisa memberi inspirasi kalangan praktisi

perencanaan yang hadir dalam mengidentifikasi dan

mengatasi permasalahan terkait tata kelola dalam

perencanaan tata ruang. Tiga perwakilan Perencana

Muda Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) berkesempatan

hadir dalam konferensi tersebut.

Diawali dengan keynote speech dari CEO of Housing

and Development Board Singapura, Cheong Koon

Hean, diceritakan bagaimana tata kelola yang baik

telah berhasil membuat arah pembangunan

Singapura menjadi berkelanjutan. Diawali dengan

dibuatnya masterplan dengan jangka waktu

perencanaan 50 tahun, Singapura merencanakan

pondasi arah pembangunan jangka panjang mereka.

Sejalan dengan perencanaan tersebut, berbagai

inovasi telah dilakukan Singapura dalam mengatasi

keterbatasan-keterbatasan ditengah perkembangan

negara tersebut, semisal reklamasi untuk mengatasi

kebutuhan lahan, implementasi Electronic Road

Pricing (ERP) di beberapa ruas jalan utama,

pembangunan deep tunnel untuk keperluan daur

ulang air, dan fasilitas pembakaran sampah untuk

mengatasi masalah persampahan.

NEWSLETTER IAP18

IFHP SINGAPORE CONFERENCE: INOVASI GOOD URBAN GOVERNANCE

REPORTASE KEGIATAN

Herbert Dreiseitl (Director of the Liveable Cities

Lab / Rambøll Founder) mengemukakan

pentingnya mengintegrasikan Blue-Green

Infrastructure bersama dengan Social

Infrastructure. Herbert menekankan pentingnya

analisis terintegrasi dalam manajemen kota

yang mencakup sudut pandang fisik, sosial dan

tata kelola. Prinsip dalam mengintegrasikan

berbagai sudut pandang tersebut adalah

pembangunan skala kecil namun memberikan

dampak besar serta melibatkan aspek-aspek

multifungsi. Lebih lanjut, beberapa ruang

publik multifungsi dicontohkan sebagai bentuk

implementasi analisis terintegrasi. Diantara

contoh-contoh tersebut adalah bagaimana

Bishan Park di Singapura yang memiliki banyak

fungsi di dalamnya terbentuk dari Sungai

Kalang yang sebelum 2010 memiliki fungsi

utama sebagai sungai. Dengan sentuhan

bioengineering sungai tersebut tidak lagi

Sonia Kirby dari Griffith University membagi pengalamannya

sebagai planner dalam memberdayakan komunitas. Menurut

Sonia keterlibatan komunitas dalam menghidupkan sebuah

kawasan amatlah penting, di Brisbane hal tersebut

meningkatkan kinerja tata kelola kawasan yang erat kaitannya

dengan komunitas. Contoh mudah yang ia kemukakan adalah

bagaimana membuat lebih banyak orang datang dan

beraktivitas di kawasan CBD ataupun kawasan-kawasan

lainnya. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa planner bisa

mengambil peranan dalam memberdayakan komunitas,

sehingga nilai ruang bertambah. Prinsip kerja planner yang

menurutnya penting dalam memberdayakan komunitas antara

lain Prohibit, Adapt, Embrace dan Promote.

sekedar sungai, kini Bishan Park memiliki fungsi lain sebagai

tempat bersosialisasi, rekreasi selain juga memiliki fungsi

lingkungan. Rekayasa tersebut merupakan inovasi yang

dilakukan Singapura demi meningkatkan liveability dari tempat-

tempat publik yang mereka miliki.

Page 19: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP 4NEWSLETTER IAP 19

Alfonso Martinez Cearra dari Bilbao Metropoli-30

memaparkan Revitalisasi Metropolitan Bilbao. Bilbao

merupakan kota yang terkenal sebagai kota pelabuhan

pada tahun 1980-an, lalu perlahan bertransformasi

menjadi kota yang lebih maju dan bahkan mendapatkan

penghargaan Lee Kuan Yew World City Prize pada tahun

2010. Dalam proses revitalisasinya Kota Bilbao amat

mengandalkan pembiayaan pembangunan dengan skema

public-private partnership. Revitalisasi Kota Bilbao

menekankan pentingnya pembangunan meeting point,

bersifat netral, inovatif dan berorientasi jangka panjang.

Beberapa keberhasilan pembangunan dengan skema

public-private partnership dalam upaya revitalisasi kota

meliputi perluasan pelabuhan, penyediaan transportasi

tram, pembangunan museum dan perluasan jaringan

kereta metro. Hal yang menarik bagi anggota Metropoli-

30 adalah munculnya nilai-nilai baru pada kawasan yang

dikembangkan berkat adanya inovasi, profesionalisme,

penciptaan identitas, peran komunitas dan keterbukaan.

Berkat keberhasilan dalam merevitalisasi kawasan

tersebut, Bilbao kini kian mantap dengan identitas “The

City Where Dreams Come True!”

Bernardus Djonoputro, Ketua IAP Indonesia

menyampaikan temuannya tentang Gap dalam

perencanaan dan pengembangan kota di Indonesia.

Berbagai tantangan terkait capaian penyediaan

infrastruktur dan kondisi Indonesia yang rentan terhadap

bencana dan perubahan iklim dikemukakan lengkap

dengan kebutuhan capaian ideal sesuai kondisi Indonesia

saat ini. Gap yang ditemukan sebisa mungkin diatasi

dengan melibatkan semua pelaku pembangunan.

Beberapa pelajaran yang dalam mengatasi Gap tersebut

antara lain pelibatan komunitas dengan lebih intensif,

mempererat hubungan kota dan wilayah satu dengan

lainnya, kebijakan yang memberi dukungan dan insentif

swasta untuk berperan serta dalam pembiayaan

infrastruktur, desentralisasi penyediaan infrastruktur untuk

memudahkan kontrol dan pembiayaan, model risk-sharing

untuk sektor swasta yang lebih realistis dalam penyediaan

infrasturktur, perlunya dukungan institusi dalam

mendukung public-private partnership.

Jan Gehl dari Gehl Architects menutup konferensi dengan

paparan yang konklusif. Paparan dengan judul Cities for

People mengemukakan bagaimana tuntutan zaman

mengubah paradigma perencanaan mulai dari pandangan

modernisme pada 1960 menjadi perencanaan dengan

paradigma liveable city, sustainable city dan healthy city.

Paradigma modernisme dicirikan dengan bangunan-

bangunan yang besar, ruang publik yang luas namun

hanya sedikit orang yang menikmati ruang publik tersebut.

Gehl banyak memberikan sentuhan-sentuhannya pada

ruang-ruang publik agar lebih dinikmati oleh masyarakat.

Untuk mengubah ruang publik lebih humanis maka Gehl

merumuskan 3 faktor utama dalam mendesain tempat-

tempat publik, Protection, Comfort dan Enjoyment.

Beberapa karya Gehl dalam mengubah ruang-ruang publik

diantaranya adalah di Moscow, Rusia dan Melbourne,

Australia

Akhirnya dengan inovasi-inovasi dan praktek perencanaan

dalam konferensi ini diharapkan dapat membangkitkan

dan menularkan semangat para perencana di Indonesia

bahwa banyak cara untuk mencapai pembangunan yang

lebih baik. Adanya tantangan, tuntutan dan perubahan

paradigma sebisa mungkin sudah mulai diadaptasi oleh

para perencana wilayah dan kota di Indonesia, sehingga

masyarakat dapat hidup dengan nyaman. Hal ini tentu

dapat dicapai apabila pemerintah mendukung inovasi-

inovasi dan meningkatkan kinerja tata kelola

pembangunan.

(Muhamad Yusuf, Maulita Dwasti, Meyriana Kesuma |

Perencana Muda IAP Indonesia)

Page 20: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP3 NEWSLETTER IAP20

INDONESIA MOST LIVABLE CITY INDEX 2014

KOLOM: MLCI

Memasuki dekade kedua abad 21, kota-kota di

indonesia mengalami berbagai persoalan yang

berujung pada menurunnya kualitas lingkungan

perkotaan. Permasalahan lingkungan, sosial,

kependudukan, infrastruktur, lapangan kerja,

merupakan isu perkotaan yang seringkali bermunculan

di ruang publik, baik dalam bentuk media ataupun

diseminasi publik. Selain persoalan yang bersifat fisik,

kota-kota indonesia juga menghadapai persoalan tata

kelola manajemen perkotaan yang tidak efisien.

Banyak kota mengalami permasalahan tidak

memadainya kualitas tata kelola kawasan perkotaan

yang disebabkan oleh minimnya kapasitas

kelembagaan dan SDM pengelola kota di indonesia.

Dalam rangka turut mewujudkan kondisi kawasan

perkotaan yang nyaman, IAP sebagai organisasi

profesi di bidang perencanaan wilayah dan kota

melaksanakan survey Most Livable City Index (MLCI)

yang telah diselenggarakan pada tahun 2009, 2011

dan 2014.

60.564.4 63.37

69.38

61.7

69.367.39

71.12

61.64 61.58 61.6759.53

64.79

58.96

65.48

58.5562.14

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

INDEX LIVABILITY KOTA-KOTA DI INDONESIA TAHUN 2014 (rata-rata: 63,62%)

Indeks ini merupakan “Snapshot” yang simpel dan

aktual mengenai persepsi warga kota yang

menunjukan tingkat kenyamanan sebuah kota

berdasarkan persepsi warga yang hidup sehari-hari di

kota tersebut. Data diperoleh melalui survey primer

yang dilakukan kepada masing-masing warga kota.

Index ini menunjukkan persepsi warga kota terhadap

kondisi dan layanan perkotaan di masing-masing

wilayah.

Keberadaan index tidak dimaksudkan untuk melakukan

pemeringkatan “kota yang lebih baik”. Index

dimaksudkan mengukur kualitas kehidupan warga kota.

MLCI dimaksudkan untuk melakukan identifikasi awal

faktor-faktor kritis pembangunan pada masing-masing

kota (identifying the Hot Spot) berdasarkan persepsi

dan impresi warganya.

Page 21: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP 4NEWSLETTER IAP 21

Seminar Nasional ASPI. Sustainable and Resilience

Cities and Regions. Pekanbaru, 17-18 Oktober 2014.

Aula Pasca Sarjana Universitas Islam Riau. Call for

Papers.

(0812-6610-3935) & (0852-3164-4667)

www.uir.ac.id ; [email protected]

International Symposium on Landscape and Urban

Horticulture . 17 – 22 August 2014.

Brisbane, Australia.

http://www.ihc2014.org/symposium_28.html

5th International Disaster and Risk Conference IDRC

Davos 2014 . 24 – 28 August 2014 . Switzerland .

http://www.idrc.info/

Cities of Europe, Cities of the World.

12th

International Conference on Urban History.

3 – 6 September 2014. Lisbon, Portugal

http://www.eauh2014.fcsh.unl.pt

Sustainable City 2014. 23 – 24 September 2014.

Siena, Italy.

http://www.wessex.ac.uk/city2014

World Class Sustainable Cities Conference (WCSC 6).

23 September 2014. Kuala Lumpur, Malaysia.

www.wcsckl.com

Beberapa poin temuan pada survey MLCI 2014 ini

adalah sebagai berikut:

1. Warga kota menempatkan ekonomi sebagai faktor

paling penting untuk kelayakhunian kota bersama

dengan kebersihan dan keberadaan fasilitas

kesehatan.

2. Terdapat 7 kota yang memiliki nilai indeks

kelayak hunian diatas rata-rata nasional;

Balikpapan, Solo, Malang, Yogyakarta,

Palembang, Makassar dan Bandung

3. Terdapat 4 Kota Metropolitan yang nilai

indeksnya dibawah rata-rata nasional yaitu; DKI

Jakarta, Semarang, Medan dan Surabaya

AGENDA

What can be learnt from this process?

Pemerintah Perlu memberikan perhatian lebih tidak

hanya pada aspek hard infrastructure tetapi juga

kepada pembangunan quality of life yang ditentukan

juga oleh “suasana” kota yang bersifat sosial. MLCI

juga dapat dijadikan early warning system terhadap

proses pembangunan yang dilaksanakan

PEMERINTAH

MLCI dapat dijadikan pedoman bagi sektor swasta

dalam melakukan Investasi terutama pada kota-kota

yang tidak lagi menjadikan aspek kebutuhan dasar

sebagai penentu kelayakhunian

SEKTOR SWASTA

Perencana kota secara aktif memberikan saran kepada

pemerintah kota mengenai upaya untuk meningkatkan

kualitas hidup kota. Saran tidak bersifat keteknisan

semata tetapi upaya inovatif dan berbagai alternatif

berdasarkan “hot spot” yang diidentifikasi dalam MLCI

PARA PERENCANA KOTA

Page 22: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP3 NEWSLETTER IAP22

81.9

74.8

62.3

68.364.4

67.5

61.4

75.0

63.060.3

50.0

54.1

73.0

65.9

71.0 71.367.3

58.462.3

57.8

67.0

56.6

63.8

55.758.0 57.3 57.3

75.0

50.7

61.559.1 59.8 60.5

55.4

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

Ketersediaan Angkutan

Kualitas Angkutan

58.7

54.4

61.3

65.3

55.8

68.364.82

50

61.25

68

75

58.17 58.75

40.88

54.2552.50

48.67

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

55.456.7

59.5

62.8

56.9

63.3

56.61

75

56.75

61.75

50

56.2553.75

46.62

57.75 59.00

52.58

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

TRANSPORTASI UMUM

KEAMANAN (rata-rata: 58,58 %)

KETERSEDIAAN LAPANGAN KERJA (rata-rata: 57,68 %)

Data-data ini menunjukan index persepsi

masyarakat terhadap kotanya pada berbagai

variabel peniaian. Beberapa variabel tersebut

adalah kualitas penataan kota, kemacetan,

ketersediaan dan kualitas pelayanan transportasi

umum, keamanan, dan ketersediaan lapangan

kerja.

Kota Balikpapan, Kota Samarinda dan Kota Solo

bersama dengan Kota Malang, Kota Palangkaraya,

Kota Palembang dan Kota Yogyakarta merupakan

kota yang dinilai memiliki aspek penataan kota di

atas rata-rata nasional. Kota Palembang

merupakan satu-satunya kota metropolitan yang

penilaiannya di atas rata-rata nasional. Sementara,

aspek penataan kota memerlukan perhatian serius

bagi Kota Makassar yang dipersepsikan rendah

oleh warganya.

Sementara itu, warga Kota Jakarta dan Kota Bogor

memandang kemacetan sebagai masalah yang

amat serius, yang ditandai dengan rendahnya

indeks persepsi terkait kemacetan. Isu ini

memerlukan perhatian khusus dari Kepala Daerah

di kedua kota ini.

Kota Bogor dan Kota Balikpapan yang dinilai

memiliki ketersediaan angkutan umum sangat

baik (jauh di atas rata-rata nasional), justru dinilai

memiliki kualitas pelayanan yang kurang baik

(jauh di bawah rata-rata nasional). Kota

Samarinda di sisi lain dinilai tidak memiliki

ketersediaan angkutan umum yang baik, akan

tetapi memiliki kualitas pelayanan yang sangat

baik.

Sementara Kota Pelembang, Kota Medan, Kota

Balikpapan, Kota Jayapura dan Kota Jakarta harus

memberi perhatian pada persoalan kriminalitas.

Warga mempersepsikan kota-kota tersebut

memiliki tingkat kriminalitas yang lebih tinggi

dibanding kota-kota lain.

Sementara itu terkait kesempatan kerja, Kota

Balikpapan, Kota Malang, Kota Solo dan Kota

Palangkaraya merupakan kota yang dipersepsikan

memiliki ketersediaan lapangan kerja yang tinggi

(berada signifikan di atas rata-rata nasional).

81.9

74.8

62.3

68.364.4

67.5

61.4

75.0

63.060.3

50.0

54.1

73.0

65.9

71.0 71.367.3

58.462.3

57.8

67.0

56.6

63.8

55.758.0 57.3 57.3

75.0

50.7

61.559.1 59.8 60.5

55.4

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

Ketersediaan Angkutan

Kualitas Angkutan

(Rata-rata 66,55 %)

(Rata-rata 59,77 %)

Page 23: IAP Newsletter 1

NEWSLETTER IAP 4NEWSLETTER IAP 23

HIGHLIGHT: MOST LIVABLE CITY INDEX 2014

54.5 56.057.8

70.0

60.5

66.0

61.6

75.0

53.0

66.0

75.0

56.3

46.0

53.7

66.5

57.3 56.5

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

47.3

52.1

55.5

60.5

52.8

56.858.6

71.3

54.5

78.3

50.0

57.9

50.352.0 53.3

56.8

42.8

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

PENATAAN KOTA (rata-rata: 60,68 %)

KEMACETAN (rata-rata: 55,90 %)

Page 24: IAP Newsletter 1

IAPIKATAN AHLI

PERENCANAAN

INDONESIA

Photo Courtesy:

Cover: www.luxuryestate.com

Back Cover: vl3e.deviantart.com

h.6:www.panoramio.com

h.12: www.makassarkota.go.id

h.13: www.panoramio.com

h.19: www.ifhp.org

1 Republika

(http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/07/08/n8d

oqq2-pertumbuhan-penduduk-dan-ketersedian-pangan-soal-

serius), diakses 6 Agustus 2014

2 Kompas,

(http://sains.kompas.com/read/2013/10/17/1329560/Kendali

kan.Penduduk.atau.Korban.Iklim.Akan.Meningkat), diakses 6

Agustus 2014

3 The World Bank,

(http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?order=wb

api_data_value_2013+wbapi_data_value+wbapi_data_valu

e-last&sort=desc), diakses 6 Agustus 2014

4 Kompas

(http://nasional.kompas.com/read/2014/01/29/1656015/Pert

ambahan.Jumlah.Penduduk.Jadi.Beban.Pemerintah), diakses

6 Agustus 2014

5 Kompas

(http://health.kompas.com/read/2014/06/12/1520380/Progra

m.KB.Jalan.di.Tempat), diakses 6 Agustus 2014

6 Detik

(http://finance.detik.com/read/2014/06/18/144837/2611780/

4/demi-program-kb-pemerintah-anggarkan-rp-28-triliun),

diakses 6 Agustus 2014

7 Overconsumption? Our use of the world’s natural resources,

2009

(http://www.foe.co.uk/sites/default/files/downloads/overconsu

mption.pdf), diakses 6 Agustus 2014

8 The Independent

(http://www.independent.co.uk/environment/global-resource-

consumption-to-triple-by-2050-un-2284007.html), diakses 6

Agustus 2014