Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ID PENELITI:200608720610609
LAPORAN PENELITIAN KOMPETITIFCLUSTER: Penelitian Dasar Interdisipliner
RESPON TUMBUHAN MANGROVE TERHADAPAKUMULASI LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN KADMIUM
(Cd) DI PERAIRAN TULEHU KECAMATAN SALAHUTUKABUPATEN MALUKU TENGAH
NUR ALIM NATSIR, M.Si. (IAIN Ambon/Biologi Lingkungan)YUSRIANTI HANIKE, M.Si (IAIN Ambon/Statistik)
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKATINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON
2019
iv
Tabel Judul Halaman
1 Kadar Logam Berat Maksimal yang Masuk ke LingkunganLaut
37
2 Sifat-sifat Fisika Timbal (Pb) 53
3 Parameter, Metoda atau Alat yang Digunakan untukAnalisa Kualitas Air
73
4 Kriteria Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut 75
5 Kriteria baku mutu sedimen berdasarkan IADC/CEDA(1997) (mg/Kg)
75
v
Gambar Judul Halaman
1 Komunitas Mangrove 62 Rantai Makan Detritus 103 Tumbuhan pidada (Sonneratia alba) 284 Logam Timbal (Pb) 535 Rantai Makanan dalam Ekosistem Aquatik sebagai Salah
Satu Mekanisme Transfer Logam Berat60
6 Pengaruh Pb dalam Air TerhadapKandungan Pb dalamTubuh Alga dan Bryophyta
61
7 Laju Pertumbuhan spesifik 2 fitoplankton TerhadapPemaparan Pb dengan Berbagai Konsentrasi
62
8 Proses Akumulasi Bahan Pencemar yang Masuk KeDalam Lingkungan Laut
67
9 Titik Lokasi Penelitian di Perairan Tulehu 6910 Preparasi Sampel Air 7411 Preparasi Sampel Sedimen 7412 Preparasi Sampel Mangrove 7513 Suhu di Setiap Titik Sampling 8114 Konsentrasi pH di Setiap Titik Sampling 8315 Konsentrasi Salinitas di Setiap Titik Sampling 8616 Konsentrasi Timbal (Pb) pada Air 9017 Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Air 9418 Konsentrasi Timbal (Pb) pada Sedimen 10119 Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Sedimen 10420 Konsentrasi Timbal (Pb) pada Akar 10821 Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Akar 11122 Konsentrasi Timbal (Pb) pada Batang 11423 Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Batang 11724 Konsentrasi Timbal (Pb) pada Daun 12025 Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Daun 12426 Perbandingan Rata-rata Suhu Udara (0C) di Lokasi
Penelitian127
27 Perbandingan Rata-rata Derajat Keasaman (pH) diLokasi Penelitian
128
28 Perbandingan Rata-rata Salinitas di Lokasi Penelitian 128
vi
Lampiran Halaman
1 Titik Lokasi Penelitian 1542 Dokumentasi Lokasi Penelitian 1553 Kondisi Kualitas Air di Perairan Tulehu 1604 Kandungan Logam Berat Pb dan Cd di Perairan
Tulehu160
5 Kandungan Logam Berat Pb dan Cd pada Akar,Batang dan Daun Mangrove di Perairan Tulehu
161
6 Analisis One Way ANOVA Logam Berat Pb dan Cddi Air dan Sedimen
161
7 Analisis One Way ANOVA Logam Berat Pb dan Cdpada Organ Mangrove
163
8 Analisis Regresi Faktor Fisik-Kimia denganBioakumulasi Logam Berat Pb dan Cd pada Akar,Batang dan Daun Mangrove di Perairan Tulehu
166
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perairan Negeri Tulehu merupakan wilayah pesisir yang memiliki
sumberdaya hayati laut seperti mangrove, alga, mollusca dan lain-lain. Perairan.
Pelabuhan Tulehu di Provinsi Maluku merupakan pelabuhan yang letaknya sangat
strategis di Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah, dan berada di
sepanjang perairan pesisir Tulehu. Pelabuhan ini merupakan jalur utama sistem
transportasi laut masuk dan keluar ke Kota Ambon yang merupakan Ibukota
Provinsi Maluku ke pulau-pulau di Kabupaten Maluku Tengah. Pelabuhan Tulehu
merupakan jalur utama sistem transportasi laut sehingga perlu adanya
pengembangan fasilitas-fasilitas yang ada di Pelabuhan Tulehu. Untuk mendukung
kelancaran kegiatan bongkar muat barang dan naik turunnya penumpang di
Pelabuhan Tulehu.
Aktivitas antropogenik oleh masyarakat di sekitar pelabuhan dan lalu
lintas transportasi laut di pelabuhan Tulehu yang semakin berkembang diduga akan
menghasilkan limbah domestik baik organik maupun anorganik yang berpotensi
menjadi sumber masuknya logam berat ke dalam perairan Tulehu. Supriharyono
(2007) menyatakan bahwa industri yang tidak dilengkapi oleh sistem pengelolaan
limbah akan menghasilkan limbah yang mengandung air raksa (Hg), besi (Fe),
mangan (Mn), tembaga (Cu), timbal (Pb), seng (Zn) kromium (Cr), kadmium (Cd)
dan nikel (Ni). Pb dan Cd pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan
2
tersuspensi. Keduanya dapat terikat pada partikel yang mengandung bahan organik
dengan berbagai ukuran partikel.
Logam-logam terikat masuk melalui proses agregasi dan akan mengendap
di dasar perairan kemudian bersatu dengan sedimen (Harahap 2001). Menurut
Sudarsono et al. (2005) partikel berukuran kecil umumnya memiliki kemampuan
mengikat logam berat lebih tinggi. Indikator gangguan lingkungan di laut yang
ditimbulkan dapat berupa kandungan logam berat dalam perairan Tulehu yang
berasal dari kegiatan industri maupun alam. Kandungan logam berat yang
menumpuk pada air laut dan sedimen akan masuk kedalam sistem rantai makanan
dan berpengaruh pada kehidupan organisme perairan (Arsad dkk, 2012). Salah satu
jenis logam berat yang memasuki perairan dan bersifat toksik adalah Kadmium
(Cd) dan Timbal (Pb). Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) merupakan logam berat
yang sangat berbahaya karena tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh
organisme hidup dan dapat terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di
dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan
anorganik. Organisme perairan yang dapat menerima dampak langsung
pencemaran logam berat adalah diantaranya tanaman mangrove. Mangrove banyak
dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang
landai.
Mangrove merupakan komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis
tumbuhan yang membentuk komunitas di daerah pasang surut, hutan mangrove atau
sering disebut hutan bakau merupakan sebagian wilayah ekosistem pantai yang
mempunyai karakter unik, khas dan memiliki potensi kekayaan hayati. Ekosistem
3
mangrove adalah suatu sistem yang terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik yang
saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Ekosistem mangrove tidak
dapat berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan dengan ekosistem lain.
Mangrove yang tumbuh di ujung sungai besar berperan sebagai penampung terakhir
bagi limbah dari industri di perkotaan dan permukiman di wilayah hulu yang
terbawa aliran sungai. Limbah padat dan cair yang terlarut dalam air sungai terbawa
arus menuju muara sungai dan laut lepas.
Area hutan mangrove akan menjadi daerah penumpukkan limbah,
terutama jika polutan yang masuk ke dalam lingkungan estuari melampaui
kemampuan pemurnian alami oleh air (Collen et al., 2011; Mulyadi et al., 2009).
Mangrove yang tumbuh di ujung sungai besar berperan sebagai penampung terakhir
bagi limbah dari industri di perkotaan dan permukiman bagian hulu yang terbawa
aliran sungai. Limbah padat dan cair yang terlarut dalam air sungai terbawa arus
menuju muara sungai dan laut lepas. Area hutan mangrove akan menjadi daerah
penumpukkan limbah, terutama jika polutan yang masuk ke dalam lingkungan
estuari melampaui kemampuan pemurnian alami oleh air. Mangrove alami berperan
efektif dalam melindungi pantai dari tekanan alam dan erosi Mulyadi et al., (2009).
Penurunan kadar nutrien, logam berat dan bahkan polutan organik pada wilayah
mangrove merupakan hasil interaksi yang kompleks antara tanah, tumbuhan,
mikroorganisme, dan komponen air pada ekosistem lahan basah.
Kemampuan mangrove untuk mengakumulasi logam berat berbeda untuk
tiap spesies, konsentrasi logam berat antar organ tumbuhan seperti akar, cabang,
dan daun berbeda dalam tiap-tiap spesies. Perbedaan konsentrasi logam berat pada
4
organ tumbuhan tertentu berkaitan dengan proses fisiologis tumbuhan tersebut
(Sinha, 1999; Tam and Wong, 2000). Atifa (2004) melaporkan mangrove di Pantai
Desa Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah merupakan jenis
Sonneratia alba.
Penelitian lain tentang mangrove telah dilakukan oleh Kartikasari et al.,
(2002) tentang akumulasi logam berat pada tumbuhan mangrove di Sungai Babon
Semarang diperoleh hasil, terdapat perbedaan akumulasi logam berat Cr dan Pb
antar organ tumbuhan akar, cabang dan daun mangrove A. Marina. Akumulasi
logam Cr akar > cabang > daun. Sedangkan akumulasi Pb dalam akar, cabang dan
daun mengikuti urutan akar > (cabang < daun). Kumar et al., (2011) menggunakan
bagian tanaman mangrove (akar, batang, daun) dan sedimen yang dianalisis untuk
menemukan adanya akumulasi logam. Dari analisis logam berat dalam Avicennia
marina menunjukkan hasil bahwa akumulasi dari semua logam berat (kecuali Cd)
dalam jaringan akar lebih tinggi dibandingkan dengan batang, daun dan sedimen
sekitarnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang
kemampuan mangrove dalam mengakumulasi logam berat Cd dan Pb pada
mangrove di perairan Tulehu Kabupaten Maluku Tengah.
B. Rumusan Masalah
Aktivitas antropogenik berupa: perdagangan, pasar ikan tradisonal, dan
transportasi diduga mengakibatkan masuknya limbah logam berat ke dalam
perairan Tulehu. Masuknya logam berat ke dalam perairan Tulehu menyebabkan
air, sedimen, dan biota laut, dalam hal ini adalah mangrove terkontaminasi oleh
5
logam berat. Untuk mengetahui status pencemaran logam berat di perairan Tulehu,
maka perlu dilakukan pemeriksaan kandungan logam berat pada air, sedimen, dan
mangrove.
1. Berapa besar kandungan logam berat Pb dan Cd pada air dan sedimen di
perairan Tulehu ?
2. Berapa besar kandungan logam berat Pb dan Cd pada akar,batang dan daun
mangrove di perairan Tulehu ?
3. Bagaimana hubungan faktor fisik-kimia (suhu, pH, dan salinitas) dengan
bioakumulasi logam berat Pb dan Cd pada akar, batang dan daun mangrove
di perairan Tulehu?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengetahui besar kandungan logam berat Pb dan Cd pada akar, batang dan
daun mangrove di perairan Tulehu
2. Mengetahui kandungan logam berat Pb dan Cd pada air dan sedimen di
perairan Tulehu
3. Mengetahui hubungan faktor fisik-kimia (suhu, pH, dan salinitas) dengan
akumulasi logam berat Pb dan Cd pada akar, batang dan daun mangrove di
perairan Tulehu
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioekologi Mangrove
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa
Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon
mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan menjadi
‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau
komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh
pasang surut (Cooper et al, 1995).
Gambar 1. Komunitas Mangrove
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan
hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau,
dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu
tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan
untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di
7
rawa pasang tropika dan subtropika. Umumnya mangrove mempunyai sistem
perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem
perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin
oksigen atau bahkan anaerob. Pada hutan mangrove tanah, air, flora dan fauna
hidup saling memberi dan menerima serta menciptakan suatu siklus ekosistem
tersendiri. Hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap
ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-
anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama
bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan
organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (Spalding
dkk, 1997; Noor dkk, 2006; Tang dkk, 2016). Anggota komunitas tumbuhan
mangrove di Indonesia secara umum terdiri atas 47 jenis pohon, 5 jenis semak,
9 jenis herba, 9 jenis liana, 29 jenis efifit dan 2 jenis parasit (Dirjen RRL
Departemen Kehutanan, 2005).
Hutan mangrove adalah kelompok tanaman yang tumbuh di sepanjang garis
pantai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang
mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob.
Sebagian lainnya mendefinisikan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit
(tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat
alkalin) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi
sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis
dan sub-tropis (Bengen, 2004).
8
Irwanto (2006) menyatakan bahwa mangrove merupakan tanaman
pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup diantara laut dan daratanyag
dipengaruhi pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat
pertemuan antara muara sungaidan air laut yang kemudian menjadi pelindung
daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk
mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air
payau.
Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Seorang
peneliti, White (1987) melaporkan produktivitas primer ekosistem mangrove ini
sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari
ekosistem perairan pantai lainnya. Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu
menopang keanekaragaman jenis yang tinggi.
Bakau atau mangrove merupakan suatu komponen ekosistem yang terdiri
dari komponen mayor dan komponen minor. Komponen mayor merupakan
komponen yang tersiri atas mangrove sejati, yakni mangrove yang hanya dapat
hidup di lingkungan mangrove (pasang surut). Komponen minor merupakan
komponen mangrove yang dapat hidup di luar lingkungan mangrove (tidak
langsung kena pasang surut air laut). Mangrove yang merupakan komponen mayor
disebut juga dengan mangrove sejati, sedangkan mangrove yang termasuk
komponen minor disebut mangrove ikutan (Hogarth, 2001).
Mangrove disebut juga hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau. Bengen
(2008) menyatakan bahwa pengertian mangrove sebagai hutan pantai diartikan
sebagai pohon-pohonan yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), bagi daerah yang
9
dipengaruhi oleh pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang
dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Sedangkan pengertian mangrove sebagai hutan
payau atau hutan bakau adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada
tanah aluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada
umumnya formasi tanaman didominasi oleh tanaman bakau. Oleh karena itu jenis
bakau digunakan hanya untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus Rhizospora.
Sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup
disepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Dengan demikian pada suatu kawasan hutan yang terdiri dari berbagai ragam
tumbuhan atau hutan tersebut bukan hanya jenis bakau yang ada, maka istilah hutan
mangrove lebih tepat digunakan (Harahap, 2010).
Hutan Mangrove juga merupakan ekosistem memiliki keanekaragaman
hayati yang banyak di dalamnya. Keanekaragaman hayati tersebut membentuk
hubungan yang erat dan saling menjaga satu sama lain, layaknya keluarga besar,
serta menjadi contoh potret keluarga yang harmonis. Mangrove menghasilkan akar
panggung di atas lumpur dan air untuk menyerap oksigen. Terendam di air asin dan
berlumpur. Mangrove memiliki kemampuan untuk mengatasi lingkungannya.
Tanaman mangrove membentuk komunitas yang membantu untuk menstabilkan
garis pantai dan menjadi habitat bagi berbagai jenis hewan.
Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai
makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun
mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi (Romimohtarto dan Juwana
1999).
10
Gambar 2. Rantai Makanan Detritus
- Flora di Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan jenis hutan yang tidak hanya ditumbuhi oleh
satu macam tanaman saja, yakni tanaman mangrove. Namun, hutan mangrove juga
ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang lainnya. Jenis tumbuhan yang mampu tumbuh
di hutan mangrove ini berbeda- berbeda satu dengan yang lainnya, hal ini karena
bereaksi terhadap variasi atau perubahan faktor lingkungan fisik tertentu, sehingga
menimbulkan zona- zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik yang
dapat mempengaruhi jenis tanaman yang tumbuh antara lain:
1. Jenis tanah
Faktor lingkungan fisik yang pertama mempengaruhi jenis tanaman yang
tumbuh adalah jenis tanah. Sebagai tempat pengendapan, substrat yang ada di
wilayah pesisir pantai bisa sangat berbeda dengan daerah lainnya. Pada umumnya,
hutan bakau ini berada di wilayah yang tanahnya berupa lumpur tanah liat dan
11
bercampur dengan bahan- bahan organik. Namun ada beberapa wilayah yang
memiliki bahan organik dengan porsi yang berlebihan, bahkan berupa lahan
gambut. Selain itu juga ada substrat yang berupa lumpur mengandung pasir yang
tinggi, bahkan dominan pecahan- pecahan karang. Hal seperti ini terjadi di pantai-
pantai yang yang dekat dengan kawasan terumbu karang. Dengan kondisi substrat
yang demikian, maka jenis tumbuhan yang dapat tumbuh di hutan mangrove ini
harus bisa beradaptasi dengan keadaan substrat yang demikian.
2. Terpaan ombak
Selain jenis tanah, faktor selanjutnya yang akan mempengaruhi jenis
tanaman di hutan mangrove adalah terpaan ombak. Bagian luar dari hutan
mangrove ini berhadapan langsung dengan laut lepas, hal ini tentu saja akan
membuat bagian depan hutan ini selalu diterpa oleh ombak yang keras juga aliran
air yang kuat. Sementara di bagian dalam hutan lebih tenang daripada bagian
luarnya.
Hutan mangrove ada kemiripan dengan hutan yang lainnya, yakni di bagian
hutan yang berhadapan langsung dengan muara sungai. Melihat kenyataan keadaan
di hutan mangrove ini, terlebih berkaitan dengan terpaan ombak, maka sudah bisa
dipastikan bahwa tanaman yang berada di luar dan berada di dalam berbeda. Jenis
tanaman yang berada di luar tentunya lebih kuat daripada yang ada di dalam karena
harus berhadapan langsung dengan ombak dan aliran air yang keras. Jenis
mangrove yang tumbuh di bagian luar dan sering digempur ombak adalah
mangrove Rhizophora spp. Jenis mangrove yang ada di bagian dalam dimana air
lebih teang adalah adalah jenis api- api hitam atau Avicennia alba.
12
3. Penggenangan oleh air
Faktor fisik yang ketiga yang mempengaruhi jenis tumbuhan di hutan bakau
adalah tentang genanagn air. Di hutan mangrove yang mana bagian luarnya selalu
terkena terpaan ombak, maka akan mengalami genangan air yakni genangan air
ombak maupun air pasang. Terkadang genangan ini akan merendam dalam waktu
yang lama daripada di bagian lainnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa di hutahn
mangrove akan terbentuk variasi kondisi lingkungan, dimana bagian luar akan
sangat basah, bagian tengan lembab, dan bagian dalam yang relatif lebih kering.
Dengan adanya perbedaan kondisi yang demikian ini maka akan tercipta
zonasi vegetasi mangrove yang berlapis- lapis secara alami, dan jenis mangrove
yang tumbuh pun berbeda- beda di setiap zona nya. Di bagian yang lebih dalam,
dimana banyak terdapat air yang tergenang ditmbuhi R. mucronata dengan jenis
kendeka atau Bruguiera spp, kaboa atau Aegiceras corniculata, dan lain
sebagainya.
Di dekat sungai dimana terdapat air tawar, hidup nipah atau Nypa fruticans,
pipada atau Sonneratiacaseolaris, dan bintaro atau Cerbera spp. Sementara di
bagian yang paling dalam, dimana keadaannya kering, tumbuh nirih atau
Xylocarpus spp, teruntum atau Lumnitzera racemosa, dungun kecil atau Heritiera
littoralis, dan kayu buta- buta atau Exoceria agallocha. Itulah beberapa faktor yang
mempengaruhi jenis flora yang tumbuh di hutan mangrove berdasarkan
karakteristik wilayah atau zona nya masing- masing. Selanjutnya, flora yang ada di
hutan mangrove ini mengalami bentuk adaptasinya sendiri- sendiri. Bagaimanakah
bentuk adaptasi dari tanaman di hutan mangrove ini?
13
- Bentuk Adaptasi Hutan Mangrove
Semua makhluk hidup harus melakukan adaptasi demi bisa bertahan hidup
di lingkungannya. Demikian halnya dengan pepohonan yang berada di hutan
mangrove ini. Pepohonan mangrove harus melalukan adaptasi demi bertahan hidup
melawan kerasnya lingkungan hidupnya, yakni yang berada di tepi pantai. Adaptasi
tersebut dilakukan baik secara fisik maupun secara non fisik atau secara fisiologis.
Beberapa bentuk adaptasi yang dilakukan oleh tumbuh- tumbuhan yang ada di
hutan mangrove ini antara lain adalah:
Mengembangkan akar tunjang – Pengembangan akar tunjang ini
dilakukan oleh mangrove Rhizophora spp. Mangrove ini biasanya hidup di
zona terluar dari lingkungan hutan mangrove. Pengembangan akar tunjang
ini dilakukan untuk bisa bertahan hidup dari ganasnya gelombang laut yang
menerpa.
Menumbuhkan akar napas – Penumbuhan akar napas ini dilakukan oleh
mangrove jenis Avicennia spp dan Sonneratia spp. Akar napas tersebut
muncul dari pekatnya lumpur dan bertujuan untuk mengambil oksigen dari
udara.
Penggunaan akar lutut – Untuk pohon kendeka atau Bruguiera spp,
bentuk adaptasi yang dilakukan adalah akar lutut atau knee root.
Akar papan – Adaptasi dengan menggunakaan akar papan dilakukan oleh
tumbuhan nirih atau Xylocarpus spp. Akar papan yang dimiliki oleh
tumbuhan ini berbentuk panjang dan berkelok- kelok. Keduanya ini untuk
14
menunjang tegaknya pohon di atas lumpur dan untuk mendapatkan udara
untuk bernapas.
Lubang pori atau lentisel – Kebanyakan dari flora yang tumbuh di hutan
mangrove ini memiliki lentisel atau lubang pori. Lubang ini digunakan
untuk bernafas. Contohnya adalah di tanaman pepagan.
Mengeluarkan kelebihan garam – Mengeluarkan kelebihan garam adalah
bentuk adaptasi fisiologis. Adaptasi ini dilakukan oleh Avicennia spp, untuk
mengatasi salinitas yang tinggi. Avicennia spp mengeluarkan kelebihan
garam melalui kelenjar di bawah daunnya.
Pengembangan sistem perakaran yang hampir tidak tertembus oleh air
garam – Adaptasi ini dilakukan oleh Rhizophora spp, dimana air yang telah
terserap telah hampir tawar. Kandungan garam sekitar 90% hingga 97%
tidak mampu melewati saringan akar- akar ini. sementara untuk garam yang
sudah terserap di tubung pohon akan diakumulasikan di daun tua dan akan
terbuang saat daun tersebut gugur.
Setyawan, dkk, (2002) menyatakan secara taksonomi tumbuhan mangrove
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Scrophulariales, Myrtales
Family : Acanthaceae, Sonneratiaceae, Rhizophoraceae, Arecaceae
Genus : Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa
15
B. Klasifikasi Habitat dan Identifikasi Mangrove
Hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia,
terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas hutan mangrove di Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan
mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta
ha) dan Australia (0,97 ha) (Nontji, 1987).
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas pesisir pantai
di daerah tropis dan sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan mangrove pada
daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-tempat di mana
terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Tumbuhan mangrove bersifat
unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat
dan di laut dan tergolong dalam ekosistem peralihan atau dengan kata lain
berada di tempat perpaduan antara habitat pantai dan habitat darat yang keduanya
bersatu di tumbuhan tersebut (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 2006).
Habitat mangrove menurut Bengen (2001) di kelompokan menjadi 4 zonasi
yaitu :
1. Zona yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia sp.
yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora
spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
16
4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya
(Bengen, 2001).
C. Karakterisik Morfologi dan Fisiologi Tumbuhan Mangrove
Karakteristik yang menarik dari spesies mangrove dapat dilihat dari sistem
perakaran dan buah. Tanah pada habitat mangrove adalah anaerobik (hampa
udara) bila berada di bawah air. Beberapa species memiliki sistem perakaran
khusus yang disebut akar udara yang cocok untuk kondisi tanah yang anaerobik.
Ada beberapa tipe perakaran yaitu, akar tunjang, akar napas, akar lutut, dan akar
papan baner. Semua spesies mangrove memproduksi buah yang biasanya
disebarkan melalui air. Ada beberapa macam bentuk buah, seperti berbentuk
silinder (Rhizophoraceae), bulat (Sonneratia dan Xylocarpus) dan berbentuk
kacang (Avicenniaceae).
a. Sistem akar
Pohon mangrove memiliki sistem perakaran yang khas yaitu bertipe cakar ayam
yang mempunyai pneumatofora misalnya: Avicennia spp., Xylocarpus spp., dan
Sonneratia spp yang berfungsi untuk mengambil oksigen dari udara. Adaptasi
terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dengan
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horizontal yang lebar. Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
17
b. Daun
Daun merupakan organ yang penting pada tumbuhan dan pada umumnya,
setiap tumbuhan mempunyai sebagian besar daun. Daun hanya terdapat pada
bagian batang saja dan tidak pernah terdapat pada bagian lain tumbuhan. Bagian
batang tempat duduknya atau melekatnya daun dinamakan buku (nodus), dan
tempat di atas daun yang merupakan sudut antara batang dan daun dinamakan
ketiak daun (axilla). Daun biasanya tipis melebar dan kaya akan klorofil,
oleh karena itu daun mangrove biasanya berwarna hijau (Tjitrosoepomo, 1989).
Bentuk daun mangrove tipe lanceloate contohnya adalah Acanthus ilicifolius,
Avicennia alba, Nypa fruticans. Bentuk daun elliptical contohnya dari famili
Euphorbiaceae adalah Excoecaria agallocha, Avicennia marina, Bruguiera
gymnorrhiza, Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa,
Heritiera littoralis. Bentuk daun oval contohnya Sonneratia caseolaris. Bentuk
daun obovate contohnya Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Sonneratia alba,
Aegiceras corniculatum, Ceriops decandra, Lumnitzera racemosa. Bentuk daun
tipe cordate adalah Hibisscus tiliaceus, Thespesia populnea (Hidayat, 1995).
c. Buah
Semua jenis mangrove menghasilkan buah yang penyebarannya dilakukan oleh
air (arus). Bentuk-bentuk buah tersebut antara lain berbentuk bola, biji buncis,
dan silinder atau tongkat. Avicennia memiliki bentuk buah seperti biji buncis,
Aegiceras buahnya berbentuk silinder dan Nypa memiliki buah yang bertipe
cryptovivipar, yaitu kecambahnya masih terbungkus oleh kulit buah sebelum lepas
18
dari tanaman induknya. Buah Sonneratia dan Xylocarpus berbentuk seperti bola
yang terdiri dari perkecambahan normal (Noor dkk, 1999).
D. Fungsi Hutan Mangrove
Hutan merupakan sesuatu yang sangat penting di Bumi. Hutan sebagai paru-
paru dunia memiliki fungsi yang sangat vital dalam berbagai hal. Misalnya sebagai
penetralisir udara yang ada di Bumi dimana telah terkontaminasi dengan berbagai
polusi di udara. Selain sebagai pembersih udara, hutan juga sangat berperan sebagai
penangkal banjir dan juga tanah longsor, penyeimbang ekosistem dan menyimpan
cadangan air di akar- akar pohonnya, sehingga ketika musim kemarau tiba kita tidak
akan kehabisan air tawar. Itulah fungsi dari hutan secara umum. Lalu, apakan hutan
mangrove ini memiliki fungsi seperti dengan hutan- hutan pada umumnya? Tentu
saja ya, hutan mangrove memiliki fungsinya sendiri. Beberapa fungsi atau manfaat
yang dimiliki oleh hutan mangrove ini antara lain adalah:
1. Fungsi ekonomi. Dilihat dari segi ekonomisnya, hutan mangrove ini memiliki
fungsi sebagai berikut:
Menghasilkan beberapa jenis kayu yang kualitasnya diakui baik
Menghasilkan hasil- hasil non kayu. Hasil non kayu yang dihasilkan hutan ini
dikenal sebagi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hasil hutan bukan kayu ini
biasanya serupa arang kayu, tanin, bahan pewarna, kosmetik, hewan, serta
bahan pangan dan juga minuman.
2. Fungsi ekologis. Dilihat dari segi ekologisnya, hutan mangrove ini memiliki
fungsi sebagai berikut:
19
Hutan mangrove memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi ombak-
ombak laut yang bisa mengikis pinggir- pinggir pantai
Menjadi habitat berbagai jenis hewan. Hewan- hewan yang hidup di sekitar
pantai antara lain biawak air, kepiting bakau, udang lumpur, siput bakau, dan
berbagai jenis ikan belodok
Menjadi tempat hidup atau habitat bagi banyak tumbuhan atau flora. Itulah
beberapa fungsi yang dimiliki oleh hutan mangrove. Diantara fungsi- fungsi
yang telah disebutkan, terdapat fungsi utama dari hutan mangrove. Fungsi
utama dari hutan mangrove tersebut adalah melindungi garis pantai dari
abrasi atau pengikisan, selain itu hutan mangrove juga meredam gelombang
besar termasuk gelombang tsunami. Contoh pemfungsian hutan mangrove
sebagai penghalau gelombang adalah di negara Jepang.
Di negara ini menerapkan green belt atau sabuk hijau yang berupa hutan
mangrove sebagai upaya untuk mengurangi dampak ancaman tsunami. Semntara
itu di Indonesia, terdapat sekitar 28 wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah
rawan terkena tsunami. Hal ini karena hutan bakau di wilayah tersebut sudah
banyak yang dialihfungsikan sebagai tambak, kebun kelapa sawit, dan lain
sebagainya.
E. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove
Ekosistem mangrove dapat berkembang baik di daerah pantai berlumpur
dengan air yang tenang dan terlindung dari pengaruh ombak yang besar serta
eksistensinya bergantung pada adanya aliran air tawar dan air laut. Samingan
(1971) dalam Pramudji (2001) menyatakan bahwa kebanyakan mangrove
20
merupakan vegetasi yang agak seragam, selalu hijau dan berkembang dengan baik
di daerah berlumpur yang berada dalam jangkaan peristiwa pasang surut.
Komposisi mangrove mempunyai batas yang khas dan batas tersebut
berhubungan atau disebabkan oleh efek selektif dari: (a) tanah, (b) salinitas, (c)
jumlah hari atau lamanya penggenangan, (d) dalamnya penggenangan, serta (e)
kerasnya arus pasang surut. Pertumbuhan vegetasi mangrove dipengaruhi oleh
faktor lingkungan (fisik, kimia, dan biologis) yang sangat kompleks, antara lain:
1. Salinitas
Salinitas air tanah mempunyai peranan penting sebagai faktor penentu
dalam pengaturan pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan. Salinitas air tanah
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti genangan pasang, topografi, curah hujan,
masukan air tawar dan sungai, run-off daratan dan evaporasi. Aksorkoae (1993)
menyatakan bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan
perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan
zonasi spesies mangrove.
Toleransi setiap jenis tumbuhan mangrove terhadap salinitas berbeda-beda.
Batas ambang toleransi tumbuhan mangrove diperkirakan 36 ppm (MacNae 1968).
Adapun Aksornkoae (1993) mencatat bahwa Avicennia spp. memiliki toleransi
yang tinggi terhadap garam dan Bruguiera gymnorhiza ditemukan pada daerah
dengan salinitas 10-20 ppm. Di Australia, Avicennia marina dapat tumbuh dengan
tingkat salinitas maksimum 85 ppm, sedangkan Bruguiera spp. dapat tumbuh
dengan salinitas tidak lebih dari 37 ppm (Wells 1982 dalam Aksornkoae 1993).
21
2. Tanah
Tanah di hutan mangrove memiliki ciri-ciri yang selalu basah, mengandung
garam, oksigen sedikit, berbentuk butir-butir dan kaya bahan organik (Soeroyo
1993). Tanah tempat tumbuh mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen yang
bersal dari sungai, pantai atau erosi yang terbawa dari dataran tinggi sepanjang
sungai atau kanal (Aksornkoae 1993). Sebagian tanah berasal dari hasil akumulasi
dan sedimentasi bahan-bahan koloid dan partikel. Sedimen yang terakumulasi di
daerah mangrove memiliki kekhususan yang berbeda, tergantung pada sifat
dasarnya. Sedimen yang berasal dari sungai berupa tanah berlumpur, sedangkan
sedimen yang berasal dari pantai berupa pasir.
Degradasi dari bahan-bahan organik yang terakumulasi sepanjang waktu
juga merupakan bagian dari tanah mangrove. Soerianegara (1993) dalam Kusmana
(1997) menjelaskan bahwa tanah mangrove umumnya kaya akan bahan organik dan
mempunyai nilai nitrogen yang tinggi, kesuburannya bergantung pada bahan
alluvial yang terendap. Menurut Soeroyo (1993), pembentukan tanah mangrove
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
Faktor fisik, yaitu berupa transport nutrien oleh arus pasang, aliran laut,
gelombang dan aliran sungai;
Faktor fisik-kimia, yaitu berupa penggabungan dari beberapa partikel oleh
penggumpalan dan pengendapan;
Faktor biotik, yaitu berupa produksi dan perombakan senyawa-senyawa organik.
22
3. Suhu
Menurut Aksornkoae (1993), suhu merupakan faktor penting dalam proses
fisiologi tumbuhan seperti fotosintesis dan respirasi. Diperkirakan suhu rata-rata
didaerah tropis meupakan habitat terbaik bagi tumbuhan mangrove.
Mikroorganisme mempunyai batasan suhu tertentu untuh bertahan terhadap
kegiatan fisiologisnya. Respon bakteri terhadap suhu berbeda-beda, umumnya
mempunyai batasan suhu optimum 27–36˚C. Oleh karena itu, suhu perairan
berpengaruh terhadap penguraian daun mangrove dengan asumsi bahwa serasah
daun mangrove sebagai dasar metabolisme.
Hutchings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa Avicennia marina yang
ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu 18–20˚C, jika suhunya lebih
tinggi maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Selain itu, laju tertinggi
produksi dari daun Rhizopora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera
spp. adalah pada suhu 26–28˚C. Adapun laju tertinggi produksi daun Bruguiera
spp. adalah 27˚C.
4. Curah hujan
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa jumlah, lama dan distribusi curah
hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan penyebaran
tumbuhan. Disamping itu curah hujan mempengaruhi faktor lingkungan lain,
seperti suhu udara dan air, kadar garam air permukaan dan air tanah yang pada
gilirannya akan mempengaruhi kelangsungan hidup spesies mangrove. Pada
umumnya tumbuhan mangrove tumbuh dengan baik pada daerah dengan curah
hujan kisaran 1 500 – 3 000 mm/tahun. Namun demikian tumbuhan mangrove dapat
23
juga ditemukan pada daerah dengan curah hujan 4000 mm/tahun yang tersebar
antara 8–10 bulan dalam 1 tahun. Menurut Noakes (1951), iklim dimana tumbuhan
mangrove dapat tumbuh dengan baik adalah iklim tropika yang lembab dan panas
tanpa ada pembagian musim tertentu, hujan bulanan rata-rata sekitar 225–300 mm,
serta suhu rata-rata maksimum pada siang hari mencapai 32˚C dan suhu rata-rata
malam hari mencapai 23˚C.
5. Kecepatan angin
Angin merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove
melalui aksi gelombang dan arus di daerah pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya
erosi pantai dan perubahan sistem ekosistem mangrove. Angin berpengaruh pada
tumbuhan mangrove sebagai agen polinasi dan desiminasi biji, serta meningkatkan
evapotranspirasi. Angin yang yang kuat memungkinkan untuk menghalangi
pertumbuhan mangrove dan menyebabkan karakteristik fisiologis yang tidak
normal. Angin juga berpengaruh terhadap jatuhan serasah mangrove, angin yang
tinggi mengakibatkan besarnya produksi serasah.
6. Derajat kemasaman (pH)
Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa
dalam air. Nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktifitas
fotosintesis, aktifitas biologi, temperatur, kandungan oksigen, dan adanya kation
serta anion dalam perairan (Aksornkoae & Wattayakorn 1987 dalam Aksornkoae
1993). Nilai pH hutan mangrove berkisar antara 8.0 – 9.0 (Welch dalam Winarno
2003). Nilai pH yang tinggi lebih mendukung organisme pengurai untuk
menguraikan bahan-bahan organik yang jatuh di daerah mangrove, sehingga tanah
24
mangrove yang bernilai pH tinggi secara nisbi mempunyai karbon organik yang
kurang lebih sama dengan profil tanah yang dimilikinya (Winarno,2003). Air laut
sebagai media yang memiliki kemampuan sebagai larutan penyangga dapat
mencegah perubahan nilai pH yang ekstrim. Perubahan nilai pH sedikit saja akan
memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga.
7. Zat hara
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa hara merupakan faktor penting
dalam memelihara keseimbangan ekosistem mangrove. Hara dalam ekosistem
mangrove dibagi kedalam dua kelompok:
Hara anorganik, yang penting untuk kelangsungan hidup organisme mangrove.
Hara ini terdiri atas N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama hara anorganik
adalah curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan bahan organik yang
terurai di mangrove;
Detritus organik, yang merupakan bahan organik yang berasal dari bioorganik
yang melalui beberapa tahap pada proses mikrobial. Sumber utama detritus
organik ada dua, antara lain: - Autochtonous, seperti fitoplankton, diatom,
bakteri, jamur, algae pada pohon atau akar dan tumbuhan lain di hutan
mangrove; - Allochtonous, seperti partikel-partikel dari aliran sungai, partikel
tanah dari erosi darat, tanaman, dan hewan yang mati di daerah pesisir atau laut.
F. Mangrove Jenis Pidada (Sonneratia alba)
Pidada adalah nama umum untuk sekelompok tumbuhan dari marga
Sonneratia. Sebelumnya marga ini bersama marga Duabanga ditempatkan
dalam suku Sonneratiaceae; akan tetapi kini keduanya dimasukkan sebagai anggota
25
suku Lythraceae. Marga ini juga dinamai Blattioleh Edward Smith, namun
nama Sonneratia mendapatkan prioritas sebagai nama ilmiah. Sonneratia alba
merupakan salah satu jenis pohon yang hidup di hutan mangrove. Jenis yang
merupakan famili dari Sonneratiaceae ini memiliki nama daerah antara lain pedada,
perepat, pidada, bogem, bidada, posi – posi, wahat, putih, berapak, bangka, susup,
kedada, muntu, pupat dan mange – mange. Namun masyarakat di sekitar Taman
Nasional Baluran mengenalnya dengan sebutan Pedada.
Perepat atau pidada putih (Sonneratia alba) adalah sejenis pohon penyusun
hutan bakau. Pohon berbatang besar ini sering didapati di bagian hutan yang
dasarnya berbatu karang atau berpasir, langsung berhadapan dengan laut terbuka
(Heyne, 1987). Nama "perepat" juga sering dipakai untuk pohon pantai lain yang
agak serupa yang dikenal sebagai pidada. Hidup menyebar mulai dari Afrika timur,
Kepulauan Seychelle dan Madagaskar, Asia Tenggara, hingga ke Australia tropis,
Kaledonia Baru, kepulauan di Pasifik barat dan Oseania barat daya (Giesen et al,
2007). Masih menurut Giesen et al (2007), pohon ini juga dikenal dengan nama-
nama lokal seperti bogem, bidada, pidada, pedada, kedada, bangka, beropak,
barapak, pupat, posi-posi, mange-mange, muntu, sopo, susup, dan wahat putih[3].
Di Filipina, tumbuhan ini dikenal sebagai bunayon, buñgalon, hikau-hikauan,
ilukabban, lukabban, pagatpat, patpat, palatpat, palalan, payan.
Pohon pidada termasuk ke dalam suku Sonneratiaceae, pohon dapat
mencapai ketinggian 20 m. Menempati bagian pantai paling depan di sisi laut.
Klasifikasi ilmiah dari pidada adalah sebagai berikut :
26
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Lythraceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneratia alba (Smith, 1987)
Mangrove ini hidup menyebar mulai dari Afrika Timur, Kepulauan
Seychelle dan Madagaskar, Asia Tenggara, hingga ke Australia, Kaledonia Baru,
kepulauan di Pasifik Barat dan Oseania Barat Daya. Mangrove ini juga dikenal
dengan nama-nama lokal seperti bogem, bidada, pidada, pedada, kedada, bangka,
beropak, barapak, pupat, posi-posi, mange-mange, muntu, sopo, susup, dan wahat
putih. Di Filipina, tumbuhan ini dikenal dengan nama bunayon, buñgalon, hikau-
hikauan, ilukabban, lukabban, pagatpat, patpat, palatpat, palalan, payan. Pohon
pidada memiliki ciri pohon yang selalu hijau, tangkai dan ranting cenderung
melebar, tinggi 3-20 m. Memiliki akar nafas yang tebal berbentuk kabel di
bawah tanah dan muncul ke permukaan berbentuk kerucut tumpul dan tingginya
mencapai 25 cm (pneumaofor) (Santoso, 2007).
Daun pidada tidak bersisik, jumlahnya tunggal, bentuknya seragam, tidak
berduri, tidak ada kelenjar minyak, bentuk simetris, tidak terbelah, halus atau
rata, kulit daun tidak berlilin, berukuran: 5-12,5 x 3-9 cm. Pertulangan daun
berjumlah tiga tulang daun dari pangkal daun. Tangkai daun pendek, tidak
bersayap, menempel di bawah ketiak daun, ujung daun tidak membengkak.
27
Bunga pada pidada biseksual, gagang bunga tumpul panjangnya 1 cm. Letak: di
ujung atau pada cabang kecil. Formasi: soliter kelompok (1-3 bunga per kelompok).
Daun mahkota: putih, mudah rontok. Kelopak bunga: 6-8, berkulit, bagian luar
hijau, di dalam kemerahan. Seperti lonceng, panjangnya 2-2,5 cm. Benang sari:
banyak, ujungnya putih dan pangkalnya kuning, mudah rontok. Buah pidada
berbentuk seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus
oleh kelopak bunga. Buah mengandung banyak biji (150-200 biji) dan akan
terbelah pada saat matang. Ukuran: buah: diameter 3,5-4,5 cm (Giesen, 1999).
Pidada termasuk jenis pionir yang tumbuh di daerah pantai paling depan,
sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang,
juga di muara dan sekitar pulau-pulau lepas pantai. Di lokasi dimana jenis
tumbuhan lain telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang padat.
Pada pantai pesisir yang berkarang mangrove ini tersebar secara vegetatif.
Tumbuh di tanah berlumpur dan berpasir. Kulit batang berwarna abu-abu atau
kecoklatan, permukaan kulit kasar, dan retak retak. Pada pohon muda, kulit
batangnya dilapisi semacam lapisan lilin untuk mengurangi penguapan air dari
jaringannya. Bila dipangkas rantingnya mudah beregenerasi. Dahan dan
rantingnya dapat dipanen asal dibatasi. Pohon pidada ini disukai bekantan yang
memakan daunnya. Beberapa spesies jenis pohon pidada antara lain adalah,
Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Sonneratia ovata (Noor dkk, 2012).
28
Gambar 3. Tumbuhan pidada (Sonneratia alba)sumber: Priyono, Aris, dkk., (2010)
Tumbuhan ini termasuk jenis pionir di hutan bakau, perepat acap ditemukan
tumbuh berhadapan dengan laut namun di bagian yang terlindung dari gempuran
ombak secara langsung. Substrat yang disukai adalah campuran lumpur dan pasir;
kadang-kadang juga di pantai berbatu, berkarang atau di atas tanah liat. Perepat
tidak tahan penggenangan oleh air tawar dalam jangka panjang. Di tempat-tempat
di mana jenis bakau yang lain dibalak, perepat bisa berbiak hingga mendominasi
(Whitmore, 1983 dan Giesen et al, 2007). Perepat berbunga sepanjang tahun.
Bunganya nokturnal dan diserbuki oleh ngengat, burung, serta kelelawar. Pohon
perepat juga kerap dijadikan sebagai tempat berkumpulnya kunang-kunang di
waktu malam. Sebagaimana berembang, buah perepat pun mengapung di air dan
dipencarkan oleh arus dan pasang-surut air laut (Giesen, 2007).
G. Profil Logam Berat
Logam berat umumnya didefinisikan sebagai logam dengan densitas, berat
atom atau nomor atom tinggi. Logam berat sejatinya merupakan unsur penting yang
dibutuhkan setiap makhluk hidup. Logam berat yang termasuk elemn mikro
merupakan kelompok logam berat yang non-esensial yang tidak mempunyai fungsi
29
sama sekali dalam tubuh.logam tersebut bahkan sangat berbahaya dan dapat
menyebabkan keracunan (toksik) pada manusia yaitu timbal (Pb), merkuri (Hg),
arsenik (As) dan cadmium (Cd) (Agustina, 2010).
Menurut Clark (2003) ; dalam Yudha et al (2013) logam terbagi kedalam
3 kelompok yaitu :
1. Logam ringan (seperti natrium, kalium, kalsium, dan lain-lain), biasanya
diangkut sebagai kation aktif di dalam larutan encer.
2. Logam transisi (seperti besi, tembaga, kobalt dan mangan), diperlukan dalam
konsentrasi yang rendah, tetapi dapat menjadi racun dalam konsentrasi yang
tinggi.
3. Logam berat dan metaloid (seperti raksa, hitam, timah, selenium,dan arsen),
umumnya tidak dipergunakan dalam metabolisme dan sebagai racun bagi racun
dalam konsentrasi rendah.
Logam berat dalam konsentrasi yang rendah disebut sebagai logam renik.
Logam berat (heavy metal) merupakan sekelompok elemen-elemen logam yang
berbahaya jika masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Sifat racun logam berat
berbeda-beda tergantung dari anion-kation yang terdapat bersamanya, proses ini
dikenal sebagai faktor sinergistik. Dalam perairan, logam berat dapat ditemukan
dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah logam yang
membentuk kompleks dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam
berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang membentuk koloid dan
senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi
(Razak, 1980 dalam Maslukah, 2006). Unsur-unsur logam berat dapat masuk ke
30
dalam tubuh organisme laut dengan tiga cara, yaitu melalui rantai makanan, insang
dan difusi melalui permukaan kulit. Sedangkan pengeluaran logam berat dari tubuh
organisme laut melalui dua cara yaitu ekskresi melalui permukaan tubuh dan
insang, serta melalui feses dan urin. Sebagian besar logam berat masuk ke dalam
tubuh organisme laut melalui rantai makanan, hanya sedikit yang diambil langsung
dari air. Akumulasi terjadi karena logam berat dalam tubuh organisme cenderung
membentuk senyawa kompleks dengan zat-zat organik yang terdapat dalam tubuh
organisme. Dengan demikian terfiksasi dan tidak diekskresikan oleh organisme
yang bersangkutan (Kunarso dan Ruyitno, 1991).
Menurut Bryan (1976), kekuatan racun logam berat terhadap ikan dan
organisme lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Bentuk ikatan kimia dari logam yang larut dalam air
2. Pengaruh interaksi antara logam dan jenis racun lainnya
3. Pengaruh lingkungan seperti temperatur, kadar garam, pH atau kadar oksigen
dalam air
4. Kondisi hewan, fase siklus hidup, besarnya organisme, jenis kelamin, dan
kecukupan kebutuhan nutrisi
5. Kemampuan hewan untuk menghindar dari kondisi buruk (polusi)
6. Kemampuan hewan untuk beradaptasi terhadap racun
Logam-logam berat dapat berbentuk senyawa organik, anorganik atau
terikat dalam senyawa logam yang lebih berbahaya daripada keadaan murninya.
Timbal, kadmium dan merkuri merupakan logam berat yang mendapat perhatian
besar karena penggunaannya di sebagian besar proses produksi. Selain itu,
31
dampaknya pada sebagian besar orang karena sifat toksisitasnya yang tinggi.
Menurut Murtini et all (2003), logam berat Hg, Cd dan Pb sangat berbahaya karena
bersifat biomagnifikasi yang artinya dapat terakumulasi dan tinggal dalam jaringan
tubuh organisme dalam jangka waktu lama sebagai racun terakumulasi.
H. Pencemaran Logam
Pencemaran logam berat dalam lingkungan bisa menimbulkan bahaya bagi
kesehatan, baik pada manusia, hewan, tanaman maupun lingkungan. Terdapat 80
jenis logam berat dari 109 unsur kimia di muka bumi ini. Logam berat dibagi ke
dalam 2 jenis, yaitu :
1. Logam berat esensial, yaitu: logam dalam jumlah tertentu yang sangat
dibutuhkan oleh organisme. Dalam jumlah yang berlebihan, logam
tersebut bisa menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah Zn, Cu, Fe,
Co, Mn dan lain sebagainya.
2. Logam berat tidak esensial, yaitu: logam yang keberadaannya dalam
tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, seperti
Hg, Cd, Cr dan lain lain.
Logam berat dapat berefek bagi kesehatan manusia tergantung pada bagian
mana dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh serta besarnya dosis
paparan. Efek toksik logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga
mengganggu metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen
atau karsinogen bagi manusia maupun hewan. Logam berat dapat berpindah dari
satu organisme ke organisme lain melalui sistem rantai makanan.
32
Pencemaran logam dapat terjadi di perairan. Pencemaran di perairan dapat
menyebabkan berkurangnya keanekaragaman dan punahnya organisme perairan
seperti bentos,perifeton dan plankton. Hal ini menyebabkan ekologis perairan dapat
terganggu. Sistem ekologis perairan mempunyai kemampuan untuk memurnikan
kembali lingkungan yang telah tercemar sejauh beban pencemaran masih berada
dalam batas daya dukung lingkungan yang bersangkutan (Salam,2010)
Wardhana (2004) mengatakan bahwa indikator atau tanda bahwa air
lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang diamati
melalui adanya perubahan suhu air, perubahan pH atau konsentrasi ion hidrogen,
perubahan bau, rasa dan warna air, timbulnya endapan,koloidal, bahan terlarut,
adanya mikroorganisme dan meningkatnya radioaktif lingkungan. Air normal yang
dapat digunakan untuk kehidupan pada umumnya tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak berasa.
Menurut PP RI Nomor 82 Tahun 2001 pencemaran air adalah masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam
air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu
yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Pencemar bahan anorganik dapat berupa logam berat. Logam berat masih termasuk
golongan logam tetapi memberikan pengaruh besar jika berikatan atau masuk ke
dalam tubuh organisme hidup. Banyak logam berat yang bersifat toksik terlarut
dalam air dan mencemari sumber-sumber air, seperti suangai, danau, laut dan
waduk. Sumber pencemaran ini berasal dari industri, laboratorium, peleburan
logam, dan lahan pertanian yang menggunakan pupuk yang mengandung logam.
33
Logam biasanya di dalam air berikatan dalam senyawa kimia atau dalam
bentuk ion, bergantung pada kompartemen sangat bervariasi tergantung pada lokasi
dan tingkat pencemarannya. Tingkat konsentrasi logam berat dalam air dibedakan
menurut derajad pencemarannya, yaitu polusi berat, polusi sedang dan tidak
tercemar, suatu perairan dengan tingkat polusi berat biasanya memiliki kandungan
logam dalam air dan organisme yang hidup di dalamnya cukup tinggi. Pada tingkat
polusi sedang, kandungan logam berat dan biota di dalamnya berada dalam batas
marjinal. Sedangkan pada tingkat tidak tercemar, kandungan logam berat dan
organisme di dalam air sangat rendah bahkan tidak terdeteksi sama sekali.
Logam berat dalam perairan dapat berbentuk ion logam bebas, pasangan ion
anorganik, kompleks organisk, dan ion logam organik. Kelarutan logam pada
prinsipnya diatur oleh pH serta jenis dan kepekaan ligan. Hal ini menyebabkan
toksisitas setiap logam dalam perairan berbeda-beda. Daya toksisitas logam berat
dalam perairan terhadap makhluk hidup di dalamnya, dipengaruhi oleh bentuk
logam dalam air, keberadaan logam-logam lain, pengaruh lingkungan, dan
kemampuan organisme beraklimatisasi terhadap bahan toksik logam (Lu, 1995).
Logam-logam berat umumnya memiliki daya racun yang mematikan
terhadap organisme yang berbeda-beda. Mekanisme tersebut diawali dengan
akumulasi logam berat dalam tubuh biota, lalu selanjutnya diikuti oleh akumulasi
pada organ sasaran yang melebihi daya toleransi biota. Keadaan itulah yang
menyebabkan kematian biota air. Unsur logam merupakan bahan pencemar yang
dapat masuk secara alami karena sudah berada di bumi, batuan dan tanah secara
alamiah kemudian masuk ke lingkungan laut melalui hujan dan erosi. Sumber
34
lainnya adalah melalui buangan industri, limbah rumah tangga, pertanian. Laut
sering dijadikan sebagai lokasi pembuangan akhir dari berbagai sisa aktivitas
manusia di daratan. Banyak sumber polutan pencemar lingkungan akuatik, salah
satunya adalah logam, yang kini banyak dipakai dalam proses industri dan dipakai
oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kosmetik, bahan bakar dan
lainnya. Limbah tersebut mengandung bahan kimia yang bersifat toksik terhadap
biota perairan misalnya mengandung logam berat dan pestisida. Keadaan ini
menyebabkan kondisi lingkungan tidak sesuai lagi dengan peruntukannya, yang
pada gilirannya akan berpengaruh pula terhadap sumberdaya hayati perairan.
Logam berat yang terdapat di perairan berasal dari proses erosi, buangan
aktivitas industri, limbah domestik dan kegiatan pertanian (Etim et al. 2012).
Logam berat pada dasarnya sangat diperlukan dalam proses kehidupan manusia.
Misalnya dalam proses metabolisme untuk pertumbuhan dan perkembangan sel-sel
tubuh. Konsentrasi logam berat yang dibutuhkan tubuh dalam proses metabolisme
relatif sangat sedikit. Menurut Lu et al., (2001) Pb anorganik (lead acetate) pada
konsentrasi 100 nM dapat menstimulasi sintesis DNA pada sel tubuh dan sebagai
pengganti kalsium dalam mengaktifkan protein kinase-C (PKC). Selain itu, Achard-
Joris et al.,(2006) menyatakan bahwa logam Cd dapat meregulasi Cytochrome c
Oxydase subunit I yang dilakukan pada tiga jenis bivalvia.
Menurut Bryan (1976), kekuatan racun logam berat terhadap ikan dan
organisme lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Bentuk ikatan kimia dari logam yang larut dalam air
2. Pengaruh interaksi antara logam dan jenis racun lainnya
35
3. Pengaruh lingkungan seperti temperatur, kadar garam, pH atau kadar oksigen
dalam air
4. Kondisi hewan, fase siklus hidup, besarnya organisme, jenis kelamin, dan
kecukupan kebutuhan nutrisi
5. Kemampuan hewan untuk menghindar dari kondisi buruk (polusi)
6. Kemampuan hewan untuk beradaptasi terhadap racun
Logam-logam berat dapat berbentuk senyawa organik, anorganik atau
terikat dalam senyawa logam yang lebih berbahaya daripada keadaan murninya.
Timbal, kadmium dan merkuri merupakan logam berat yang mendapat perhatian
besar karena penggunaannya di sebagian besar proses produksi. Selain itu,
dampaknya pada sebagian besar orang karena sifat toksisitasnya yang tinggi.
Menurut Murtini et all (2003), logam berat Hg, Cd dan Pb sangat berbahaya karena
bersifat biomagnifikasi yang artinya dapat terakumulasi dan tinggal dalam jaringan
tubuh organisme dalam jangka waktu lama sebagai racun terakumulasi.
Kandungan Logam Berat dalam Air
Logam berat dalam perairan dapat terakumulasi pada padatan di dalam
perairan seperti sedimen. Pada umumnya logam berat yang terakumulasi di dalam
sedimen tidak berbahaya, namun adanya pengaruh kondisi kimia akuatik seperti
perubahan pH dapat menyebabkan logam barat yang terakumulasi pada sedimen
terionisasi ke perairan. Hal ini menjadikan logam-logam berat bersifat racun bagi
kehidupan perairan (Connel and Miller, 1995). Pencemaran logam berat dapat
merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas dan keanekaragaman ekosistem.
Dari aspek ekologis, kerusakan ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat
36
dipengaruhi oleh kadar dan sumber zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat
toksisitas, dan bioakumulasi. Pencemaran logam berat dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan sistem perairan laut (Darmono, 2001).
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan terjadi karena adanya
penggunaan logam tersebut dalam kegiatan manusia, sehingga menghasilkan
limbah yang mencemari lingkungan. Daya toksisitas logam berat terhadap makhluk
hidup sangat bergantung pada spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan
(detoksikasi) dan kemampuan individu untuk menghindarkan diri dari pengaruh
polusi. Toksisitas pada spesies biota dibedakan menurut kriteria dari biota air dan
biota darat, sedangkan toksisitas menurut lokasi dibagi menurut kondisi tempat
hidup, yaitu daerah pencemaran berat, sedang, dan daerah nonpolusi (Palar, 2004).
Logam berat biasanya ditemukan sangat sedikit dalam air secara alamiah,
yaitu kurang dari 1 μg/L. Bila terjadi erosi alamiah, konsentrasi logam tersebut
dapat meningkat. Beberapa macam logam biasanya lebih dominan dari pada logam
lainnya dan dalam air biasanya tergantung pada asal sumber air (air tanah dan
airsungai). Disamping itu jenis air (air tawar, air payau dan air laut) juga
mempengaruhi kandungan logam di dalamnya (Darmono, 2001). Kadar ini dapat
meningkat jika terjadi peningkatan limbah yang mengandung logam berat masuk
ke dalam laut.
Limbah ini dapat berasal dari aktivitas manusia di laut yang berasal dari
pembuangan sampah kapal kapal, penambangan logam di laut, dan lain-lain serta
yang berasal dari darat seperti limbah perkotaan, pertambangan, pertanian dan
perindustrian. Kadar logam berat yang masuk ke lingkungan laut sesuai dengan
37
keputusan menteri Negara Lingkungan Hidup dapat di lihat pada Tabel 1. di bawah
ini.
Tabel 1. Kadar Logam Berat Maksimal yang Masuk ke Lingkungan Laut
Unsur Kadar (ppm)Kadmium (Cd)
Timbal (Pb)
Tembaga (Cu)
0,01
0,005
0,05Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut
Menurut Palar (2004), kelarutan dari unsur-unsur logam dan logam berat
dalam badan perairan dikontrol oleh :
1. pH badan air.
2. Jenis dan konsentrasi logam.
3. Keadaan komponen mineral teroksidasi dan sistem yang berlingkungan redoks.
Pada musim hujan, kandungan logam dalam air akan lebih kecil karena
proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan lebih
tinggi karena logam menjadi terkosentrasi (Dharmono,2001). Penelitian oleh
Diniah (1995) membuktikan bahwa kadar Hg dalam perairan Teluk Jakarta
sebesar 0,00216 ppm, namun dalam daging ikan kadar Hg mencapai 0,80448
ppm. Hal ini disebabkan bahan kimia di perairan akan diabsorbsi organisme
melalui proses biokosentrasi, bioakumulasi dan biomanifikasi sehingga
kosentrasi bahan kimia akan meningkat dalam tubuh organisme dibandingkan
dengan perairan itu sendiri (Connell & Miller 984 ; Rand & Petrocelli 1985).
Kandungan logam berat dalam sedimen
Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi, yang masuk ke
badan air akibat erosi atau banjir dan pada dasarnya tidaklah bersifat toksik
38
(Effendi,2003). Menurut Waldichuck (1974) meningkatnya kadar logam berat
dalam lingkungan perairan hingga melebihi batas maksimum akan menyebabkan
rusaknya lingkungan serta dapat membahayakan kehidupan organisme di
dalamnya. Selain itu mengendapnya logam berat bersama-sama dengan padatan
tersuspensi akan mempengaruhi kualitas sedimen di dasar perairan dan juga
perairan di sekitarnya.
Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik di sungai ataupun di laut
akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses, yaitu : pengendapan
dan terserap oleh organisme-organisme perairan (Connell dan Miller, 1995). Logam
berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di
dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam
sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air (Harahap, 1991). Connel dan Miller
(2006) menyatakan bahwa sedimen dan detritus biasanya mengandung kepekaan
yang tinggi terhadap logam berat di dalam lingkungan yang tercemar, sehingga
hewan pemakan sedimen dan detritus cenderung untuk mengakumulasi logam
dalam kepekatan yang lebih tinggi. Logam berat yang larut di perairan
kemungkinan besar akan menyebar ke beberapa bagian tubuh ikan seperti bagian
hati dan daging. Supriyono dkk (2008) melaporkan bahwa kadar logam berat dalam
tubuh ikan dan tumbuhan yang terdapat di perairan dapat mencapai 100.000 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan kadar logam berat di dalam perairan
I. Pengaruh Parameter Fisik Kimia Perairan terhadap PeningkatanKandungan Logam
Peningkatan kandungan logam berat dalam air laut diikuti oleh peningkatan
logam berat dalam tubuh ikan dan biota lainnya,sehingga pencemaran air laut oleh
39
logam berat akan mengakibatkan ikan yang hidup di dalamnya tercemar. Logam
berat dalam air mudah terserap dan tertimbun dalam fitoplankton yang merupakan
titik awal dari rantai makanan, selanjutnya melalui rantai makanan sampai ke
organisme lainnya (Fardiaz,1992 dalam Muchyidin,2007). Kadar logam berat
dalam air selalu berubah-ubah tergantung pada saat pembuangan limbah, tingkat
kesempurnaan pengelolaan limbah dan musim. Logam berat yang dibawa oleh air
sungai masuk ke laut melalui estuari. Konsentrasi logam berat terlarut akan
mengalami perubahan selama berada di estuari,
Perubahan konsentrasi logam berat terlarut akan mengalami perubahan
selama berada di estuari. Perubahan konsentrasi logam terlarut ini dipengaruhi oleh
berbagai proses yang ada diantaranya adalah proses pengenceran, flokulasi,
adsorbsi dan desorpsi oleh partikel. Proses adsorbsi antar partikel tersuspensi dalam
kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut
(Sanusi, 2005). Butir lanau, lempung dan kolloid asam humus yang tersuspensi dan
terangkut memasuki wilayah estuari melalui aliran sungai mempunyai
kecenderungan bermuatan listrik negatif (Libels,1992;Brown et al,1989;Wibisono,
2005; Sanusi, 2006).
Dengan peningkatan salinitas, interaksi dengan kation bebas di perairan
menyebabkan adanya penetralan dan mengurangi muatan negatif. Perubahan
muatan ini juga dipengaruhi oleh adanya pelapisan (coating) partikel tersuspensi
oleh bahan organik terlarut (DOM). Fenomena perubahan muatan listrik partikel
tersuspensi tersebut menyebabkan gaya atraktiv molekular (gaya van der walls)
mendominasinya. Peningkatan gaya inimenyebabkan kekuatan tarik menarik antar
40
partikel menjadi lebih kuat, sehingga saat partikel bertabrakan akan membentuk
flokulasi yang kemudian disusul terjadinya pengendapan partikel karena gaya
gravitasi. Adanya proses adsorbsi oleh partikel, yang kemudian diikuti proses
flokulasi maka konsentrasi logam terlarut ini akan mengalami pengurangan dan
sebaliknya apabila terjadi proses desorpsi atau pelarutan kembali oleh partikel maka
konsentrasi logam berat terlarut ini akan berkurang.
1. Logam Berat Kadmium (Cd)
Kadmium adalah logam kebiruan yang lunak, termasuk golongan II B table
berkala dengan konigurasi elekron [Kr] 4d105s2. unsur ini bernomor atom 48,
mempunyai bobot atom 112,41 g/mol dan densitas 8,65 g/cm3. Titik didih dan titik
lelehnya berturutturut 765oC dan 320,9oC. Kadmiun merupakan racun bagi tubuh
manusia. Waktu paruhnya 30 tahun dan terakumulasi pada ginjal, sehingga ginjal
mengalami disfungsi kadmium yang terdapat dalam tubuh manusia sebagian besar
diperoleh melalui makanan dan tembakau, hanya sejumlah kecil berasal dari air
minum dan polusi udara. Pemasukan Cd melalui makanan adalah 10 – 40 μg/hari,
sedikitnya 50% diserap oleh tubuh.
Rekomendasi pemasukan Cd menurut gabungan FAO/WHO dengan batas
toleransi tiap minggunya adalah 420 μg untuk orang dewasa dengan berat badan 60
kg. Pemasukan Cd rata-rata pada tubuh manusia ialah 10 – 20 % dari batas yang
telah direkomendasikan. Unsur Cd dapat mengurangi jerapan ion-ion hara karena
daya afinitas yang tinggi dari logam berat tersebut pada kompleks pertukaran
kation. Di alam Cd bersenyawa dengan belerang (S) sebagai greennocckite (CdS)
yang ditemui bersamaan dengan senyawa spalerite (ZnS). Kadmium merupakan
41
logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan mudah teroksidasi oleh udara bebas
dan gas amonia (NH3). Di perairan Cd akan mengendap karena senyawa sulfitnya
sukar larut.
Logam ini termasuk dalam logam transisi pada periode V dalam tabel
periodik. Logam Cd dikenal sebagai unsur chalcophile, jadi cenderung ditemukan
dalam deposit sulfide (Manahan,2001). Kemelimpahan Cd pada kerak bumi adalah
0,13 µg/g. Pada lingkungan akuatik, Cd relatif bersifat mudah berpindah. Cd
memasuki lingkungan akuatik terutama dari deposisi atmosferik dan efluen pabrik
yang menggunakan logam ini dalam proses kerjanya. Di perairan umumnya Cd
hadir dalam bentuk ion-ionnya yang terhidrasi, garam-garam klorida,
terkomplekskan dengan ligan anorganik atau membentuk kompleks dengan ligan
organik (Weiner,2008).
Cd di sedimen perairan yang tak terkontaminasi berkisar antara 0,1 sampai
1,0µg/g bobot kering. Pada umumnya di air permukaan, baik Cd terlarut maupun
partikulatnya secara rutin dapat terdeteksi. Koefisien distribusi Cd partikulat/Cd
terlarut pada perairan sungai di dunia berkisar dari 104 sampai 105. Fluks input
antropogenik secara global per tahun jauh melebihi emisi Cd dari sumber
alamiahnya seperti kegiatan gunung berapi, Windborne soil particles, garam-garam
dari laut dan partikel biogenik sampai dengan satu tingkatan magnitude (Csuros and
Csuros, 2002).
Secara global sumber utama Cd adalah dari deposisi atmosferik, proses
smelting dan refining dari logam non ferrous, proses industri terkait produksi bahan
kimia dan metalurgi, serta air buangan limbah domestik. Hanya 15% saja dari
42
deposisi atmosferi yang berasal dari sumber-sumber alamiah. Diperkirakan 1.000
ton Cd dilepaskan per tahun ke atmosfer dari smelters dan pabrik-pabrik yang
mengolah Cd. Pelepasan Cd ke dalam perairan alamiah sebagian besar berasal dari
industri galvanik, sumber lain polusi Cd adalah industri batrei, pupuk dan fungisida
yang mengandung Cd dan Zn juga merupakan sumber potensial polusi kedua logam
ini (Allen et al., 1998). Kadmium (Cd) merupakan logam yang bersifat kronis dan
pada manusia biasanya terakumulasi dalam ginjal. Keracunan Cd dalam waktu yang
lama membahayakan kesehatan paru-paru, tulang, hati, kelenjar reproduksi dan
ginjal. Logam ini juga bersifat neurotoksin yang menimbulkan dampak rusaknya
indera penciuman (Anwar,1996).
Logam kadmium mempunyai penyebaran sangat luas di alam, hanya ada
satu jenis mineral kadmium di alam yaitu greennockite (CdS) yang selalu
ditemukan bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS). Mineral greennockite ini
sangat jarang ditemukan di alam, sehingga dalam eksploitasi logam Cd biasanya
merupakan produksi sampingan dari peristiwa peleburan bijih-bijih seng (Zn).
Biasanya pada konsentrat bijih Zn didapatkan 0,2 sampai 0,3 % logam Cd. Di
samping itu, Cd juga diproduksi dalam peleburan bijih-bijih logam Pb(timah hitam)
dan Cu(tembaga). Namun demikian, Zn merupakan sumber utama dari logam Cd,
sehingga produksi dari logam tersebut sangat dipengaruhi oleh Zn.
Dalam lingkungan,menurut Clark (2003) sumber kadmium yang masuk ke
perairan berasal dari:
1) Uap, debu dan limbah dari pertambangan timah dan seng.
2) Air bilasan dari elektroplating.
43
3) Besi, tembaga dan industri logam non ferrous yang menghasilkan abu dan uap
serta air limbah dan endapan yang mengandung kadmium.
4) Seng yang digunakan untuk melapisi logam mengandung kira-kira 0,2 % Cd
sebagai bahan ikutan (impurity); semua Cd ini akan masuk ke perairan melalui
proses korosi dalam kurun waktu 4-12 tahun. Pupuk phosfat dan endapan
sampah
Sumber kadmium terutama dari biji seng, timbal-seng, dan timbal-tembaga-
seng. Kandungan logam Cd bersumber dari makanan dan lingkungan perairan yang
sudah terkontaminasi oleh logam berat. Kontaminasi makanan dan lingkungan
perairan tidak terlepas dari aktivitas manusia didarat maupun pada perairan. Sifat
logam Cd yang akumulatif pada suatu jaringan organisme serta sulit terurai.
Kadmium dalam air juga berasal dari pembuangan industri dan limbah
pertambangan. Logam ini sering digunakan sebagai pigmen pada keramik, dalam
penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai alkali.
Bahan bakar dan minyak pelumas mengandung Cd sampai 0,5 ppm,
batubara mengandung Cd sampai 2 ppm, pupuk superpospat juga mengandung Cd
bahkan ada yang sampai 170 ppm. Limbah cair dari industri dan pembuangan
minyak pelumas bekas yang mengandung Cd masuk ke dalam perairan laut serta
sisa-sisa pembakaran bahan bakar yang terlepas ke atmosfir dan selanjutnya jatuh
masuk ke laut.
Mekanisme toksisitas Cd
Cadmium yang masuk kedalam lingkungan, tumbuhan dan manusia
memiliki batasan toleransi dan memiliki jalur pendedahan yang berbeda-beda.
44
Pencemar logam berat tidak dapat didegradasi secara kimia maupun secara biologi.
Oleh karena itu polutan logam berat di dalam tanah, air maupun udara harus
dikurangi atau dihilangkan untuk menghindari terjadinya dampak negatif terhadap
proses kehidupan.
Cadmium merupakan zat kimia yang tidak dapat didegradasi di alam. Cd
bebas berada di lingkungan dan akan tetap berada didalam sirkuasi atau udara. Cd
yang berikatan dengan senyawa logam berat lainnya biasanya akan mempengaruhi
pembentukannya di air. Sumber utama Cd yang berasal dari alam adalah dari
lapisan bumi atau kerak bumi seperti gunung berapi dan pelarutan batuan.
Cadmium yang ada di udara bisa dibawa dengan proses yang berbeda-beda dan
masuk ke dalam lingkungan. Sumber utama cadmium dari alam masuk kedalam
udara di lingkungan yaitu dari pegunungan, evaporasi, partikel tanah yang terbawa
ke udara, dan kebakaran hutan. Sumber lainnya bisa berasal dari manusia seperti
asap kendaraan dan rokok.
Cadmium yang ada di air berasal dari berbagai proses yaitu cadmium masuk
ke dalam perairan karena adanya proses erosi tanah, pelapukan batuan induk.
Cadmium lebih banyak masuk kedalam air karena kegiatan manusia seperti
perindustrian dimana limbah hasil dari pabrik tersebut dibuang langsung ke dalam
perairan yang akan terakumulasi di dasar perairan yang membentuk sedimen. Cd
juga dapat masuk kedalam organisme yang hidup di air dimana Cd dapat masuk
melalui oral, inhalasi atau dermal. Cd yang masuk kedalam tubuh suatu organisme
contohnya seperti ikan, logam Cd akan terakumulasi pada ginjal dan hati karena
45
kedua organ tersebut sangat spesifik untuk melawan racun yang masuk kedalam
dalam tubuh.
Cadmium yang ada di dalam tanah dapat berasal dari alam dan
antropogenik. Cadmium dapat masuk kedalam tanah karena adanya proses
pelarutan batuan induk seperti batuan glasial dan alluvial. Manusia juga
berkontribusi dalam proses masuknya cadmium kedalam lingkungan seperti
penggunaan pupuk kimia, kotoran yang mengendap karena aktivitas manusia.
Cadmium yang ada didalam tanah akan lebih lama terbawa atau terdistribusi
dibandingkan cadmium yang ada pada udara dan air. Cadmium yang terakumulasi
di dalam tanah akan menggangu organisme yang hidup di dalamnya seperti
mikroorganisme, makroorganisme dan mollusca. Tanah yang mengandung
cadmium akan teserap kandungan logamnya oleh organisme yang hidup pada
lingkungan tanah tersebut seprti tanaman dan hewan.
Masuknya cadmium kedalam tanaman
Logam Cd kemungkinan dapat dibawa keseluruh bagian tanaman biasanya
akumulasi dapat ditemukan apada bagian akar karena akar merupakan gerbang awal
masuknya zat-zat kimia. Zat- zat yang akan masuk kedalam tubuh tumbuhan akan
terseleksi begitu juga dengan logam Cd. Apabila Cd yang diperlukan hanya sedikit
maka akan lebih banyak Cd yang terakumulasi dibagian akar tumbuhan. Beberapa
tanaman mempunyai kemampuan yang sangat tinggi untuk menghilangkan
berbagai pencemaran yang ada (multiple uptake hyperaccumulator plant), dan
memiliki kemampuan menghilangkan pencemaran yang bersifat tunggal (specific
uptake hyperaccumulator).
46
Tanaman hiperakumulator adalah spesies tanaman yang mampu
mentranslokasikan pencemar atau logam pencemar ke bagian pucuk tanaman lebih
banyak daripada ke bagian akar tanpa mengalami gejala toksisitas. Tanaman ini
dapat mengakumulasi lebih dari 10 ppm Hg, 100 ppm Cd, 1000 ppm Co, Cr, Cu,
dan Pb, 10.000 ppm Ni dan Zn (Aiyen, 2004; Baker, dkk,2000).Fenomena logam
berat yang terkonsentrasi dalam jaringan ditemukan terkait dengan peran protein
pengikat logam. Fungsi dari protein tersebut adalah mengikat logam, protein yang
dapat mengikat logam tersebut adalah metalotionin (cys-x-cys, x adalah asam
amino selain sistein, biasa disingkat dengan MT).
Metalotionin merupakan kelompok protein spesifik non enzim yang
memainkan peran sentral dalam metabolisme logam. Metalotionin digambarkan
sebagai protein sitoplasma yang mempunyai massa molekul rendah (sekitar 10.000
dalton), dengan struktur yang tidak beraturan. Protein ini terdiri atas sistein dan
kadang-kadang mengandung sedikit histidin atau asam amino aromatik lainnya.
Hampir setiap metalotionin mempunyai residu 24 sistein dan dalam setiap 3 residu
sistein mengikat 1 ion logam sehingga 1 metalotionin mengikat 8 ion logam.
Konsekuensi dengan adanya sistein berarti pula metalotionin mempunyai sejumlah
besar gugus tio (sulfidril, -SH).
Gugus ini merupakan pengikat logam berat. Jika kecepatan masuknya
logam melebihi kecepatan sintesis metalotionin, maka akan terjadi pelimpahan
logam dari metalotionin ke dalam penampung enzim. Efek toksik selanjutnya
bergantung pada pengalokasian logam-logam essensial dari metaloenzim yaitu
enzim yang membutuhkan ion logam spesifik sebagai kofaktor untuk
47
mengkatalisis. Reaksi sederhana antara logam berat dengan gugus sulfidril (-SH)
adalah sebagai berikut.
2 R-SH + Cd2+ R-S-Cd-S-R + 2 H+
Penarikan/penyerapan polutan oleh akar tumbuhan berbeda untuk polutan
organik dan anorganik. Polutan organik pada umumnya adalah buatan manusia dan
xenobiotik pada tumbuh-tumbuhan. Akibatnya tidak ada pembawa untuk senyawa-
senyawa organik ke dalam membran tumbuhan. Polutan organik cenderung
berpindah masuk ke jaringan tumbuhan melalui difusi sederhana dan juga
bergantung pada sifat-sifat bahan kimia tersebut (Briggs, et al.1982).
Sebaliknya polutan anorganik diserap dengan proses biologi lewat membran
protein pembawa. Membran protein pembawa ini terjadi secara alamiah sebab
polutan-polutan anorganik biasanya bergabung dengan nutrien-nutrien itu sendiri
(nitrat, fosfat, Cu, Mn, Zn). Polutan anorganik pada umumnya berada dalam bentuk
ion sehingga tidak dapat melewati membran tanpa bantuan membran protein
pembawa. Pencemar anorganik yang terakumulasi dalam jaringan tumbuhan sering
menyebabkan keracunan dan sekaligus merusak struktur dinding sel tumbuhan.
Kadmium juga mengurangi penyerapan nitrat dan pengangkutannya dari akar ke
pucuk, juga menghambat aktivitas enzim nitrat reduktase di dalam pucuk-pucuk
tanaman (Pilon-Smits, 2005).
Tumbuhan menyerap elemen kadmium dari lingkungannya. Dalam
penyerapan zat tersebut tumbuhan menunjukkan selektivitas namun kadang
tumbuhan menyerap elemen yang sesungguhnya tidak diperlukan. Masuknya zatke
dalam jaringan tumbuhan dapat melaluidaun (stomata) atau akar. Pada akar, zat
48
masukke dalam sel dengan cara difusi baik difusi aktif maupun difusi pasif (Taiz,
2010). Penyerapan aktif dilakukan melalui membran yang tidak permeabel dan
memerlukan perantaraan senyawa yang disebut “carrier”(pembawa) yang terdapat
dalam membran.
Membran sel merupakan perintang bagi ion-ion yang akan melintasinya
sehingga untukkeperluan penyerapan ion oleh sel tumbuhan, peranan pembawa
sangat penting. Agar ion dapat masuk ke dalam sel yang konsentrasi ionnya lebih
tinggi diperlukan sejumlah energi atau ATP. Pada penyerapan pasif berlangsung
pertukaran ion, jadi proses penyerapan zatpada penyerapan pasif merupakan
penyerapan yang non metabolik. Ion-ion yang diserap padapermukaan dinding sel
dapat bertukar denganion-ion dari larutan luarnya. Sebagai contoh kation K+ dari
larutan luar dapat dipertukarkan dengan ion-ion H+ yang diserap pada permukaan
membran dengan cara osmotik tidak aktif (Russell et. al.,2012).
Penyerapan Cd dari tanah oleh tanaman dipengaruhi oleh total pemasukan
Cd dalam tanah, pH tanah, kandungan Zn, jenis tanaman dan kultivar. Penyerapan
Cd akan tinggi pada pH rendah dan menurun pada pH tinggi. Kandungan seng (Zn)
yang tinggi dapat mengurangi penyerapan Cd. Jika Cd telah memasuki rantai
makanan, maka pada akhirnya akan terakumulasi pada konsumen tingkat tinggi
yaitu hewan dan manusia. Kadmium sangat membahayakan kesehatan karena
pengaruh racun akutdari unsur tersebut sangat buruk (Lin et. al.,2012).
Logam kadmium akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi
dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan danmanusia). Logam ini masuk ke
dalam tubuh bersama makanan yang dikonsumsi, tetapi makanan tersebut telah
49
terkontaminasi oleh logam Cd dan atau persenyawaannya. Dalam tubuh biota
perairan jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan. Di
samping itu, tingkatan biota dalam sistem rantai makanan turut menentukan jumlah
Cd yang terakumulasi. Di mana pada biota yang lebih tinggi stratanya akan
ditemukan akumulasi Cd yang lebih banyak, sedangkan pada biota top level
merupakan tempat akumulasi paling besar. Bila jumlah Cd yang masuk tersebut
melebihi ambang makabiota dari suatu level atau strata tersebut akan mengalami
kematian dan bahkan kemusnahan(Nowrouzi, et. al., 2012).
Penelitian tentang akumulasi logam Cd dalam tubuh tanaman telah
dilakukan pada tanaman sawi hijau (Brassica juncea) yang dipasarkan di pasar
Terong kota Makassar, yang berasal dari 3 lokasi tanah pertanian yaitu: pada sampel
1 berasal dari desa To’dotoa Kecamatan Palangga sedangkan sampel 2 dan 3 berasal
dari desa Bonto Pa’ja Kecamatan Barombong.Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kandungan kadmium yang terakumulasi dalam tubuh tanaman sawi
hijau (Brassica juncea).
Penelitian ini dianalisa secara deskriptif yang dipaparkan dalam bentuk
tabel dan gambar. Analisa sampel dilakukan dengan menggunakan metode
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Bahwa kandungan kadmium (Cd) yang
terakumulasi paling tinggi adalah pada organ akar yaitu dengan konsentrasi; A1
0.3288 ppm;A2 0.2498 ppm; A3 0.21225 ppm. Kemudian menyusul daun yaitu
dengan konsentrasi: C10.123 ppm; C2 0.12925 ppm; C3 0.1718 ppm.Yang paling
rendah yaitu pada batang dengan konsentrasi: B1 0.0253 ppm; B2 0.0540 ppm;B3
0.0635 ppm (Rosdiana,et. al.,2009).
50
Akumulasi Cd juga telah diteliti pada tanaman kangkung darat(Ipomoea
reptans)didusun Borong Karamasa desa Toddotoa Kecamatan Pallangga
Kabupaten Gowa.Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui kadar konsentrasi
logam Kadmium (Cd) yangterakumulasi oleh tanaman kangkung darat(Ipomoea
reptans). Metode penelitian yangdigunakan adalah deskriptif dengan
mengukurkadar kandungan kadmium (Cd) kangkung darat (Ipomoea reptans) pada
organ akar,batang dan daun pada pengujian dengan SSA(Spektrofotometer Serapan
Atom).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sampel 1 organ akar yaitu
sebanyak0.4303 ppm, batang sebanyak 0.1513 ppm dandaun sebanyak 0.1667 ppm.
Pada sampel 2organ akar yaitu sebanyak 0.1608 ppm, batangsebanyak 0.1860 ppm
dan daun sebanyak0.1670 ppm. Pada sampel 3 organ akar yaitusebanyak 0.2239
ppm, batang sebanyak 0.1375ppm dan daun sebanyak 0.1587 ppm(Suhaeni,et.
al.,2009).
Paparan Kadmium Terhadap Lingkungan dan Efeknya
Kadmium dilepaskan ke biosfer dari kedua sumber-sumber alam dan
antropogenik. Sumber alami utama untuk mobilisasi kadmium dari kerak bumi
adalah gunung berapi dan pelapukan batuan. Emisi atmosfer dari gunung berapi
pada tahun 1983 diperkirakan mencapai 140-1,500 ton (Nriagu 1989). Pelapukan
batuan melepaskan kadmium ke tanah dan sistem perairan. Proses ini memainkan
peran penting dalam siklus kadmium global, tetapi hanya jarang dalam konsentrasi
tinggi dalam kompartemen lingkungan.
51
Dalam biosfer kadmium bertranslokasi oleh proses yang berbeda. Sumber
utama emisi ke udara dari sumber alami adalah gunung berapi, partikel tanah udara,
laut, bahan biogenik dan kebakaran hutan. Total emisi ke udara dari sumber alami
diperkirakan sekitar 150-2,600 ton, angka-angka ini dapat dibandingkan dengan
total emisi global yang diperkirakan udara antropogenik pada tahun 1995 sekitar
3.000 ton. Sumber antropogenik kadmium pada tahun 2000 adalah sebanyak 19.700
ton kadmium yang diambil dari kerak bumi oleh manusia dan dibawa ke dalam
sirkulasi di teknosfer. Selain ini sejumlah besar kadmium berakhir di residu
ekstraksi logam atau dimobilisasi sebagai pengotor dengan ekstraksi mineral lain
seperti batubara dan kapur.
Kadmium dan kadmium senyawa, dibandingkan dengan logam berat
lainnya, yang relatif air larut adalah lebih mobile misalnya dalam tanah, umumnya
lebih bioavailable dan cenderung bioaccumulate. Kadmium mudah diakumulasi
oleh banyak organisme, terutama oleh mikroorganisme dan moluska di mana faktor
biokonsentrasi berada di urutan ribuan. Invertebrata tanah juga berkonsentrasi
kadmium nyata. Kebanyakan organisme menunjukkan rendah sampai sedang faktor
konsentrasi kurang dari 100. Pada hewan, kadmium berkonsentrasi pada organ
internal daripada dalam otot atau lemak. Hal ini biasanya lebih tinggi daripada di
dalam ginjal hati, dan lebih tinggi di hati daripada di otot. Kadmium tingkat
biasanya meningkat dengan bertambahnya usia. Informasi berikut sebagian besar
telah diambil dari monografi IPCS (WHO 1992a, 1992b WHO).
Dalam sistem perairan, kadmium yang paling mudah diserap oleh
organisme langsung dari air dalam bentuk bebas Cd ionik (II) (AMAP,1998).
52
Toksisitas akut kadmium untuk organisme air adalah variabel, bahkan antara
spesies terkait erat, dan berhubungan dengan konsentrasi ion bebas dari logam.
Kadmium berinteraksi dengan metabolisme kalsium dari hewan. Dalam ikan itu
menyebabkan kekurangan kalsium (hipokalsemia), mungkin oleh penyerapan
kalsium menghambat dari air. Namun, konsentrasi kalsium yang tinggi dalam air
melindungi ikan dari serapan kadmium dengan bersaing di lokasi serapan.
Efek jangka panjang paparan dapat mencakup kematian larva dan
pengurangan sementara pertumbuhan (AMAP 1998). Seng meningkatkan toksisitas
kadmium pada invertebrata air. Efek subletal telah dilaporkan pada pertumbuhan
dan reproduksi invertebrata air, ada efek struktural pada insang invertebrata. Ada
bukti dari pemilihan strain resisten dari invertebrata air setelah terpapar kadmium
di lapangan. Toksisitas adalah variabel pada ikan, salmonoids menjadi sangat
rentan terhadap kadmium.
2. Logam Berat Timbal (Pb)
Timbal mempunyai nomor atom 83, berat atom 207,9, titik cair 327,5oC dan
titik didih 1725oC. Timbal di alam dalam bentuk sulfida (gelena), Pb Carbonat
(Cerussite), PbSO4 (Angelisite), sedangkan Timbal dalam air berada dalam bentuk
Pb2+, PbCO3, Pb(CO3)22-, PbOH+, dan Pb (OH)2. Secara alamiah Timbal tersebar
luas pada batua-batuan dan lapisan kerak bumi. Saeni (1989) dalam Patang (2018)
menyatakan sumber utama timbal di atmosfir dan daratan dapat berasal dari bahan
bakar bertimbal sedangkan batuan kapur dan gelena (PbS) merupakan sumber
timbal pada perairan alami. Timbal muncul dalam air dalam bentuk bilangan oksida
+II. Ion timbal terhidrolisis sebagian di dalam air dengan reaksi :
53
Pb2+ + H2O PbOH+ + H+.
Selanjutnya Saeni (1989) menyatakan timbal masuk ke perairan melalui
pengendapan, jatuhan debu yang mengandung timbal yaitu: dari hasil pembakaran
bensin yang mengandung timbal tetraetil, erosi, dan limbah industri.
Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang sering juga
disebut dengan istilah timah hitam. Timbal memiliki titik lebur yang rendah,
mudah dibentuk, memilikisifat kimia yang aktif sehingga biasa digunakan untuk
melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Timbal adalah logam yang lunak
berwarna abu-abu kebiruan mengkilatdan memiliki bilangan oksidasi +2
(Sugiyono, 2013).
Gambar 4. Logam Timbal (Pb) (Temple,2007)
Tabel 2. Sifat-sifat fisika Timbal (Pb)
Sifat Fisika Timbal Keterangan
Nomor atomDensitas (g/cm3)Titik Lebur (0C)Titik Didih (0C)Kalor Peleburan (kJ/mol)Kalor Penguapan (kJ/mol)Kapasitas pada 250C (J/mol.K)Konduktivitas termal pada 300K (W/m K)Ekspansi termal250C (µm/ m K)Kekerasan (skala Brinell=Mpa)
8211,34327,461.7494,77179,526,6535,528,938,6
54
Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi
makhluk hidup karena bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai
dalam jangka waktu lama dan toksisistasnya tidak berubah (Brass &Strauss, 1981).
Pb dapat mencemari udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Logam
ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan.
Selain itu, proses korofikasi dari batuan mineral juga merupakan salah satu jalur
masuknya sumber Pb keperairan (Palar, 2005).
Dalam konsentrasi yang tinggi logam timbal dalam perairan dapat bersifat
racun karena bioakumulatif dalam tubuh organisme air dan akan terus diakumulasi
hingga organisme tersebut tidak mampu lagi mentolerir kandungan logam berat
tersebut dalam tubuhnya (Connel dan Miller, 2006). Karena sifat bioakumulatif
logam timbal, maka dapat terjadi konsentrasi logam tersebut dalam bentuk terlarut
dalam air adalah rendah, tetapi dalam sedimen meningkat akibat proses fisik, kimia,
biologi perairan, dan dalam tubuh hewan air meningkat sampai beberapa kali lipat
(biomagnifikasi). Selanjutnya Rompas (1998) dan Manahan (2002) menjelaskan
bahwa apabila konsentrasi logam berat tinggi dalam air, ada kecendrungan
konsentrasi logam berat tersebut tinggi dalam sedimen dan akumulasi logam berat
dalam tubuh hewan demersial.
Apabila timbal (Pb) memasuki lingkungan perairan, maka timbal tersebut
akan diserap oleh sedimen atau lumpur, plankton, algae, invertebrata, tanaman
akuatik dan lain-lain. Sedimen dan tanah merupakan sink (pengendapan) utama
bagi timbal di lingkungan. Konsentrasi timbal dalam air semakin meningkat karena
garam yang diekskresikan ikan ke air cenderung bertambah. Kenaikan konsentrasi
55
timbal dalam sistem akuatik secara berurutan : air < mangsa ikan < ikan < sedimen
(DVGM, 1985 dalam Oktavianus dan Salami, 2005). Selanjutnya diungkapkan
bahwa peningkatan konsentrasi timbal pada ikan (proses uptake) merupakan
peningkatan eksponensial, artinya: bahwa semakin tinggi konsentrasi timbal dalam
air, semakin tinggi pula konsentrasi timbal dalam ikan Nila (Oreochromis
niloticus).
Hasil penelitian Sitorus (2004), mengungkapkan bahwa kadar logam berat
timbal dalam tubuh kerang di perairan pesisir Belawan mencapai 0,042 ppm dan di
Tanjung Balai mencapai 0,033 ppm. Hal ini berhubungan, karena kerang hidup di
lapisan sedimen dasar perairan, bergerak sangat lambat dan makanannya detritus di
dasar perairan, sehingga peluang masuknya logam berat kedalam tubuh sangat
besar. Kadar logam berat timbal 0,5 ppm dapat menyebabkan kematian pada ikan
dan organisme perairan lainnya.
Timbal adalah jenis logam yang lunak dan berwarna coklat kehitaman, serta
mudah dimurnikan. Dalam bahasa ilmiahnya dinamakan plumbum, dan logam ini
disimbolkan dengan Pb. Logam ini termasuk ke dalam logam golongan IVA pada
tabel periodik unsur kimia (Darmono, 1995), selanjutnya mempunyai nomor atom
(NA) 82 dengan bobot atau berat atom (BA) 207,2 (Palar,1994).
Menurut Darmono (1995), penggunaan timbal dalam jumlah yang paling
besar adalah bahan produksi baterai pada kendaraan bermotor, sedangkan menurut
Palar (1994), timbal digunakan dalam industri kimia yang berbentuk tetraethyl Pb,
yang bisanya dicampur dengan bahan bakar minyak untuk melindungi mesin
supaya awet. Persenyawaan Pb dengan Cr (Chromium) digunakan secara luas
56
dalam industri cat (Palar, 1994). Timbal masuk ke dalam perairan melalui
pengendapan, jatuhan debu yang mengandung Pb yaitu dari hasil pembakaran
bensin yang mengandung timbal tetraethyl, erosi dan limbah industri (Saeni, 1989).
Pembakaran bahan bakar minyak oleh kapal-kapal merupakan sumbangan
terbesar polusi timbal di perairan. Logam berat timbal yang terkandung dalam
bahan bakar sebagai anti pemecah minyak (seperti Pb tertraethyl dan tetramethyl)
ini kemudian dilepaskan ke atmosfir melalui alat pembuangan asap dan bagian ini
kemudian terlarut dalam laut disamping itu, timbal (Pb) di laut tidak terlalu beracun
dibandingkan dengan jenis logam lainnya pada konsentrasi rendah (< 1000 ppb)
(Clark, 1992).
Menurut Rompas (2010) timbal termasuk polutan di laut yang sangat
berbahaya, tidak hanya bagi biota perairan, tetapi akan berdampak bagi manusia
yang memakannya. Faktor yang menyebabkan logam tersebut dikelompokkan ke
dalam zat pencemar ialah :
1. Logam tidak dapat terurai melalui biodegradasi seperti pencemar
organik,
2. Logam dapat terakumulasi dalam lingkungan terutama dalam sedimen
sungai dan laut, karena dapat terikat dengan senyawa organik dan
anorganik, elalui proses adsorpsi dan pembentukan senyawa komplek.
Karena logam dapat terakumulasi dalam sedimen, maka kadar logam
dalam sedimen lebih besar dari logam dalam air.
Logam berat Pb yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami
pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemungkinan diserap oleh organisme yang
57
hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena
adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang
mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan berikatan
dengan partikel-pertikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam sedimen
lebih tinggi dibanding dalam air (Hutagalung, 1991).
Toksisitas LogamTimbal (Pb) di Perairan
Toksisitas logam di perairan adalah terjadinya keracunan pada biota akuatik
yang diakibatkan oleh bahan berbahaya yang mengandung logam beracun.
Toksisitas logam berat sangat dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi
lingkungan. Beberapa kasus kondisi lingkungan tersebut dapat mengubah laju
absorbsi logam dan mengubah kondisi fisiologis yang mengakibatkan
berbahayanya pengaruh logam. Di perairan, timbal ditemukan dalam bentuk
terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga kadar timbal
dalam air relatif sedikit. Bahan bakar yang mengandung timbal juga memberikan
kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal dalam air (Effendi,2003).
Pembuangan limbah cair dari aktivitas-aktivitas pelayaran mampu
menurunkan kualitas perairan serta lingkungan hidup. Tingginya aktivitas tersebut
secara langsung atau tidak langsung dapat menghasilkan limbah cair berupa
buangan minyak di perairan. Buangan tersebut bisa berasal dari pergantian air
balast (air penyeimbang kapal), serta aktifitas bongkar muat kapal bermotor.
Disamping itu minyak dari aktivitas pelayaran yang dihasilkan dari perahu atau
kapal motor mengandung logam berat timbal. Timbal merupakan logam berat yang
memiliki toksisitas (daya racun) tinggi.
58
Menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990)
dalam Marganof (2003) menyatakan bahwa sifat toksisitas logam berat dapat
dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksisitas tinggi yang terdiri atas
unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur
Cr, Ni, dan Co dan yang bersifat toksik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Dalam
jumlah yang sangat kecil logam diperlukan oleh makhluk hidup seperti Mn, Fe, Cu,
dan Zn. Darmono (1995) menyatakan bahwa timbal dapat mencemari lingkungan
perairan, juga mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di dalamnya.
Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika
berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi
permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen
(Wilson, 1988). Organisme yang terekspos logam berat Pb dengan konsentrasi
rendah biasanya tidak mengalami kematian, tetapi akan mengalami pengaruh
sublethal, yaitu pengaruh yang terjadi pada organisme tanpa mengakibatkan
kematian pada organisme tersebut. Pengaruh sublethal ini dapat dibedakan atas tiga
macam, yaitu menghambat (misalnya pertumbuhan dan perkembangan, serta
reproduksi), menyebabka terjadinya perubahan morfologi, dan merubah tingkah
laku organisme. Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik sungai ataupun
laut, akan mengalami paling tidak tiga proses, yaitu pengendapan, adsorpsi, dan
absorpsi oleh organisme-organisme perairan (Bryan, 1976).
Keberadaan timbal (Pb) di alam lebih tersebar luas daripada logam toksik
lainnya. Menurut Laws (1993), dalam pertambangan timbal berasal dari mineral
galena atau yang disebut timbal sulfida (PbS). Dibandingkan logam berat Cd dan
59
Hg, maka unsur Pb tidak terlalu beracun. akan tetapi, senyawa timbal dalam bentuk
organik lebih beracun daripada dalam bentuk anorganik (Pain 1995 in
Kennish,1996). Kadar Pb dalam lingkungan meningkat sejalan dengan
meningkatnya kegiatan pertambangan, peleburan, dan penggunaannya dalam
aktivitas industri.
Menurut Lu (1995), penggunaan Pb dalam industri merupakan faktor utama
penyebab meningkatnya kadar Pb di lingkungan. Timbal banyak digunakan untuk
industri baterai, bahan bakar mobil dan cat (Fergusson, 1990). Absorbsi timbal di
alam tubuh sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi dan menjadi dasar keracunan
yang progresif. Konsentrasi yang tinggi akan timbal dalam tubuh moluska dapat
menghambat pertumbuhan (Dunstan, 2006).
J. Mekanisme Masuknya Logam Berat ke Dalam Tubuh Makhluk Hidup
Pada konsentrasi rendah logam dibutuhkan oleh organisme hidup untuk
pertumbuhan dan perkembangan, namun bila kadar meningkat, maka logam akan
berubah menjadi racun. Ada 2 mekanisme masuk logam berat ke dalam tubuh
mahluk hidup, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Mekanisme langsung
terjadi melalui penyerapan logam berat terlarut oleh organisme yang melakukan
proses penyerapan air dan nutrien ke dalam tubuh. Pada umumnya mekanisme ini
berlaku pada tumbuhan air, yang menyerap unsur-unsur hara untuk proses
metabolisme, melalui proses difusi osmosis.
Cara lain logam berat dapat masuk ke dalam tubuh organisme hidup adalah
melalui rantai makanan. Dalam proses makan-memakan, terjadi transfer bahan dan
energi dari organisme yang dimangsa ke organisme pemangsa. Dalam susunan
60
rantai makanan, yang menjadi awal dari kegiatan tersebut adalah tumbuhan, yang
berperan sebagai produsen. Produsen dalam proses selanjutnya akan dimakan oleh
konsumen tingkat 1, konsumen tingkat 1 akan dimakan oleh konsumen tingkat 2,
dan seterusnya. Gambaran rantai makanan dalam ekosistem perairan dapat dilihat
pada Gambar 5.
Fitoplankton Zooplankton Avertebrata IkanProdusen Konsumen TK I Konsumen TK II Konsumen TK III
Gambar 5. Rantai makanan dalam ekosistem aquatik sebagai salah satu mekanismetransfer logam berat. Sumber/Sources: Nybaken, 1992
Produsen mempunyai kemampuan dalam menyerap dan mengakumulasi
logam berat dalam sel. Apabila kelompok produsen ini dimangsa oleh konsumen
pada tingkat trofik selanjutnya, maka akan terjadi transfer logam berat tersebut ke
dalam tubuh konsumen tingkat 1. Transfer logam berat akan terus berlangsung
sampai dengan ke tingkat trofik tertinggi. Semakin tinggi tingkatan trofik, maka
akumulasi logam berat dalam tubuh akan semakin banyak. Hal ini, berkaitan
dengan biomassa mangsa dan panjang rantai makanan.
Tumbuhan air atau fitoplankton sebagai produsen primer tidak selektif
dalam memilih jenis unsur yang akan diserapnya. Karena ada proses penyerapan
61
logam ini, pada umumnya kandungan logam di lingkungan sampai dengan taraf
tertentu akan sebanding dengan kandungan logam dalam sel organisme yang hidup
di lingkungan tersebut. Berdasarkan pada hasil penelitian Kelly & Whitton (1989)
yang melakukan perbandingan akumulasi Zn, Cd, dan Pb pada beberapa jenis alga
air tawar dan Bryophyta menunjukan bahwa pada alga Lemanea fluviatilis
(Rhodophyta) dan Cladophora glomerata (Chlorophyta) terdapat hubungan positif
antara kadar logam berat dalam air dan dalam tubuh organisme, dengan nilai
koefisien determinasi (r2) untuk kondisi total dalam perairan adalah 0,66 untuk
Lemanea dan 0,61 untuk Cladophora kecuali Stigeoclonium tenue, tidak
menunjukkan ada hubungan positif untuk logam berat Cd dan Pb (Gambar 4).
Ditambahkan pula bahwa terdapat hubungan yang berbeda-beda antara spesies dan
jenis logam berat.
Gambar 6. Pengaruh Pb dalam air terhadap kandungan Pb dalam tubuh alga danBryophyta. Sumber/Sources: Kelly & Whitton, 1989
62
Penelitian lain yang dilakukan oleh Effendi (1995), mengenai pengaruh
logam berat Cd dan Cu terhadap Scenedesmus armatus (mikroalgae) mengatakan
bahwa kehadiran Cd dan Cu dalam kultur Scenedesmus armatus dapat menghambat
laju fotosintesis sel dan menyebabkan terjadi perubahan ukuran sel tersebut. Dari
hasil penelitian didapat bahwa pada konsentrasi 0,6 mg.l-1 Cd terjadi penurunan
densitas dan absorban dari sel secara lebih nyata dari konsentrasi di bawah.
pengaruh keberadaan logam berat Pb terlarut dalam air, terhadap kandungan
chlorofil 2 jenis mikroalga yaitu Dunaliella salina dan Chaetoceros calcitrans.
Dari hasil penelitian didapat bahwa kadar Pb terlarut lebih dari 0,1 ppm
dapat menyebabkan gangguan terhadap laju penambahan jumlah klorofil sehingga
berakibat pada penurunan laju pertumbuhan sel. Pada konsentrasi yang tinggi
inkubasi sel yang cukup lama dapat menyebabkan kematian karena efek toksik yang
sudah tidak dapat dinetralkan lagi, dan dengan banyak kematian sel menyebabkan
biomassa klorofil per satuan bobot basah sel menjadi berkurang. Perbedaan respon
ke-2 spesies uji terhadap berbagai konsentrasi Pb terlarut dalam air dapat dilihat
pada grafik Gambar 7.
Gambar 7. Laju pertumbuhan spesifik 2 jenis fitoplankton terhadap pemaparan Pbdengan berbagai konsentrasi. Sumber/Sources: Puspasari, 2000
63
Ekosistem perairan sangat berbeda dengan ekosistem terestrial, ekosistem
perairan disatukan oleh media air, di mana fitoplankton menjadi produsen primer.
Keberadaan fitoplankton yang sangat melimpah tidak dapat dihilangkan dari suatu
perairan. Media air menjadi pemersatu antar wilayah, arus yang berperan penting
dalam penyebaran segala sesuatu yang terkandung di dalam. Dengan kondisi yang
demikian sangat sulit untuk memutus jalur penyebaran logam berat di alam sistem
perairan.
Lingkungan tercemar logam pada ekosistem perairan dapat diremediasi
dengan fitoekstraksi menggunakan tanaman hiperakumulator. Dengan
berkembangnya teknologi fitoremediasi maka tumbuhan hiperakumulator logam
menjadi sangat penting. Tanaman hiperakumulator mampu mengakumulasi logam
dengan konsentrasi lebih dari 100 kali melebihi tanaman normal, dimana tanaman
normal mengalami keracunan logam dan penurunan produksi. Hal ini terjadi karena
adanya perbedaan serangkaian proses fisiologis dan biokimiawi serta ekspresi gen-
gen yang mengendalikan penyerapan, akumulasi dan toleransi tanaman terhadap
logam .
Terdapat serangkaian proses fisiologis yang berperan dalam akumulasi
logam sepanjang siklus hidup tumbuhan. Proses pertama adalah interaksi rizosferik
pada zona perakaran, dimana terjadi proses pengolahan unsur-unsur di dalam tanah
dari bentuk yang tidak dapat diserap menjadi bentuk yang dapat diserap dengan
melibatkan sejumlah eksudat yang diproduksi akar. Tumbuhan hiperakumulator
memiliki kemampuan lebih tinggi dalam merubah logam pada zona perakaran
menjadi bentuk yang tersedia seperti Thlaspi caerulescens terhadap Zn.
64
Hiperakumulator memiliki kemampuan mempercepat terlarutnya logam pada
risosfer. Hal ini teramati pada hiperakumulator Zn. Hiperakumulator juga
diperkirakan melepaskan kelat untuk logam yang spesifik ke risosfer oleh akar.
Hal ini teramati pada penyerapan Fe. Akar tumbuhan hiperakumulator
memiliki daya selektifitas yang tinggi terhadap unsur logam tertentu. Penyerapan
logam oleh akar yang antara lain ditentukan oleh permeabilitas, transpirasi dan
tekanan akar serta kehadiran dari sistem pemacu penyerap logam (enhanced metal
uptake system), yang diperkirakan hanya dimiliki oleh tumbuhan hiperakumulator.
Seperti yang dilaporkan bahwa hiperakumulator Zn T. Caulescens memiliki Zn
transporter lebih tinggi dari tumbuhan normal. Proses selanjutnya yang menentukan
tumbuhan menjadi hiperakumulator adalah translokasi logam dari akar ke tajuk
yang terbukti memiliki laju jauh melebihi tumbuhan normal.
Translokasi ini dikendalikan oleh dua proses utama yakni pergerakan ion ke
silem dan volume fluks dalam silem yang dimediasi oleh tekanan akar dan
traspirasi. Hal ini juga mengindikasikan adanya sistem translokasi logam dari akar
ke tajuk yang efisien. Sekuertrasi (secuestration) dan kompleksasi (complexation)
adalah proses yang dilalui untuk menentukan bentuk ikatan logam yang akan
diakumulasi dan di bagian jaringan mana akan disimpan. Kompartementalisasi dan
akumulasi logam terjadi lebih efisien pada tumbuhan hiperakumulator. Disamping
itu hiperakumulator memiliki derajat seleksi yang tinggi terhadap logam. Respon
fisiologis yang terjadi bila tanaman mengalami stres logam adalah terjadinya
pembentukan protein stress (phytochelatins) karena adanya ion-ion logam yang
memicu terjadinya reaksi ini.
65
Respons lain adalah adanya perubahan aktivitas enzimatik. Aktivitas enzin
terhambat oleh ion-ion logam berat, seperti Pb yang menghambat aminolaevulinic
acid dehydratase, CN yang menghambat kelompok enzim peroksidase dan Cu-
enzim; serta arsen (As) yang menghambat kelompok enzim fosforilase. Respon
terhadap logam juga terjadi pada terhambatnya pertumbuhan akar dan tajuk serta
menurunnya laju transpirasi. Tanaman hiperakumulator menunjukkan respon yang
berbeda dengan tanaman normal terhadap stress keracunan logam dengan
mengadakan perubahan pada serangkaian proses fisiologis biokimia tertentu.
Mangrove merupakan salah satu tumbuhan yang mampu beradaptasi pada
lingkungan perairan baik payau maupun asin dan berperan sebagai hiperakumulator
bahan pencemar. Bakau atau mangrove adalah salah satu tanaman yang mampu
beradaptasi dengan baik dalam lingkungan air, bahkan air payau maupun asin.
Endapan yang dihanyutkan oleh air dari daratan merupakan substrat tempat tumbuh
yang sangat cocok bagi tanaman ini. Sebuah studi mengenai efek dari pembuangan
limbah pada komunitas mangrove di Darwin Australia mengatakan bahwa pohon
mangrove memiliki kapasitas tinggi untuk menerima muatan limbah tanpa
menderita kerusakan pada pertumbuhan mereka. Hutan mangrove merupakan
komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis
pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut
pantai berlumpur (Thampanya, et al., 2002).
Endapan yang dihanyutkan oleh air dari daratan merupakan substrat tempat
tumbuh yang sangat cocok bagi tanaman ini. Kemampuan berbagai spesies bakau
beradaptasi dengan lingkungan basah berbeda-beda. Di endapan lumpur yang
66
terendam secara permanen hanya spesies Rhizopora Mucronata yang mampu
hidup. Diendapan yang terendam secara periodik ketika air pasang ukuran
menengah, spesies yang mendominasi adalah Avicennia sp., Soneratia griffithii dan
Rhizopora (di pinggiran air). Di endapan yang dibanjiri oleh air pasang besar
normal, semua spesies dapat hidup tetapi yang mendominasi adalah Rhizopora. Di
lahan oleh air pasang bulan purnama atau bulan gelap, spesies yang utama
adalah Bruguiera gymnorphyza dan Bruguiera cylindrica, Ceriops sp. Sementara
di lahan yang hanya dibanjiri oleh air pasang ekuinoks atau air pasang yang tinggi
sekali ketika bersamaan dengan banjir dari hulu, spesies Bruguiera gymnophora
dominan, dan disertai oleh Rhizopora apiculata dan Xylocarpus granatum (Knox
2001 cit Khiatudin 2003).
Beberapa mekanisme fisiologis yang terjadi pada tanaman bakau
menjelaskan kemampuan adaptasi tanaman ini antara lain:
1. Pembatasan penyerapan garam ke dalam sel akar serta percepatan pengeluaran
garam melalui kelenjar di daun. Tanaman ini juga mampu mengakumulasi garam
dari kulit batang yang mati dan daun yang hampir rontok.
2. Kemampuan hidup dalam endapan lumpur yang bersifat anaerob berkat adanya
akar yang berada di atas permukaan tanah atau air dan mampu menyerap
oksigen.
3. Sistem reproduksi yang memungkinkan biji tumbuh ketika masih berada di
pohon induk.
67
Bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan laut, maka bahan
pencemar ini akan mengalami tiga macam proses akumulasi (Hutagalung, 1991),
yaitu proses fisik, kimia dan biologis.
Gambar 8. Proses akumulasi bahan pencemar yang masuk ke dalamlingkungan laut
Effendi (2000), menyatakan bahan pencemar memasuki badan air melalui
berbagai cara seperti pembuangan limbah oleh industri, pertanian, domestik dan
perkotaan, dan lain-lain. Palar (2004) dalam Rohmawati (2007), juga menjelaskan
logam-logam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk ion. Ion-ion
tersebut ada yang berupa ion bebas, pasangan ion organik, ion-ion kompleks dan
bentuk-bentuk ion lainnya. Umumnya logam-logam yang terdapat dalam tanah dan
perairan dalam bentuk persenyawaan, seperti senyawa hidroksida, senyawa oksida,
senyawa karbonat dan senyawa sulfida. Senyawa-senyawa itu sangat mudah larut
dalam air.
68
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 13 Mei 2019 – 31 Juli 2019 di
Perairan Tulehu Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku dan di Laboratorium
Universitas Muhammadiyah Malang. Letak astronomis Maluku Tengah adalah
antara 2o30’ – 7o30’ LS dan 250o – 132o30’ BT. Pengambilan sampel dilakukan
pada bulan Juni 2019 dan analisisis laboratorium dilakukan pada bulan Juli 2018.
Metode yang digunakan adalah survei di tiga stasiun yang terletak di sekitar
Pelabuhan Tulehu berdasarkan kondisi perairan dan distribusi aktivitas
antropogenik yaitu Stasion 1 di Pelabuhan Tulehu 1 (Sandar Kapal yang tidak
beroperasi dan antropogenik), Stasion 2 Pelabuhan Tulehu 2 (pelabuhan
penyeberangan) dan Stasion 3 di Muara Sungai sepanjang perairan Tulehu
mewakili daerah yang jauh dari sumber pencemar (kontrol), kemudian dilakukan
pengambilan air, sedimen dan organ mangrove serta pengukuran parameter kualitas
air pada masing-masing stasiun.
Berdasarkan letak geografis Teluk Kayeli berada pada daerah :
-. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Seram
-. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda
-. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Seram Bagian Barat
-. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Seram Bagian Timur
Untuk lebih jelasnya lokasi penelitian berikut lokasi samplingnya dapat
dilihat pada Gambar 7.
69
Gambar 7. Titik lokasi penelitian di Perairan Tulehu
Analisis kandungan logam berat Pb dan Cd pada air, sedimen dan organ
mangrove di Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang.
B. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Position
System) untuk menentukan posisi stasiun; Mikroskop electron untuk melihat profil
logam berat pada organ mangrove; Atomic Absorbance Spectrophotometer (AAS)
untuk menganalisis konsetrasi logam berat (Pb, dan Cd); Ekman dredge untuk
mengambil sampel sedimen; Neraca analitik untuk menimbang bahan/sampel;
Tongkat berskala untuk mengukur kedalaman titik pengambilan sampel; Current
meter untuk mengukur kecepatan arus; Van Dorn Water sampler untuk mengambil
sampel air; Refraktometer untuk mengukur salinitas; Kertas saring Nucleopore
untuk menyaring air; Thermometer air raksa untuk mengukur suhu air; pH meter
Pelabuhan Tulehu 1 (Sandar kapal yang tidak beroperasidan antroponeik)
Pelabuhan Tulehu 2 (Pelabuhan Penyebrangan)
Kontrol (muara sungai sepanjang perairan Tulehu)
70
digital untuk mengukur pH air laut; Stopwatch untuk mengukur waktu; Sendus beck
(plastik obat) ukuran ¾ untuk menampung sampel sedimen dan sampel mangrove;
Kertas label untuk memberikan tanda pada sampel air, mangrove, dan sedimen;
Oven untuk mengeringkan sampel sedimen dan mangrove; Mechanical convection
oven sebagai pengering sedimen dalam analisis fraksi sedimen; Lumpang dan alu
untuk menghaluskan sampel; Gelas piala untuk mencampur dan memanaskan
larutan; Pipa teflon untuk menimbang duplikat homogeni sedimen; Labu takar 100
ml untuk pengenceran larutan; Cawan pengabuan untuk pengabuan; Kamera untuk
alat dokumentasi sampel mangrove.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mangrove, air, sedimen
yang diambil dari Perairan Tulehu; Aquadest untuk mengencerkan/pencuci; HNO3,
HCl, HgNO3, CdSO4 sebagai pereaksi pengujian logam berat; dan emas 24 karat
sebagai lapisan lensa obyektif mikroskop electron untuk melihat logam berat pada
organ mangrove.
C. Metode Pengambilan Data
1. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan saat kondisi surut dengan obyek penelitian
adalah tumbuhan mangrove dengan metode transek tegak lurus garis pantai yang
dipilih secara acak (random). Pengambilan sampel mangrove dilakukan
berdasarkan Ulqodry (2001),yaitu mangrove yang diambil untuk sampel adalah
pohon. Jaringan mangrove yang digunakan adalah akar, daun, batang yang
terkena pasang surut air laut (± 1,3 cm), dari jalur transek tersebut diambil 3 titik
pengambilan sampel pada setiap lokasi dengan jarak antar titik pengambilan
71
sampel 50 meter. Pengambilan sampel air dilakukan sebanyak tiga kali yaitu
pagi, siang, dan sore. Pengambilan sedimen dilakukan pada kedalaman ± 30 cm,
serta pengukuran kualitas air, yaitu suhu, pH, dan salinitas.
2. Preparasi sampel akar, batang, daun, dan sedimen.
Sampel akar dan daun dihomogenkan dengan cara menggabungkan sampel yang
diambil dari tiga titik pengambilan pada setiap stasiun pengamatan. Untuk
preparasi akar, batang dan daun sampel dipotong kecil sebelum dihaluskan,
sedangkan untuk sedimen, sampel dapat langsung dihaluskan. Setelah itu sampel
dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC sampai kadar airnya konstan. Setelah
sampel mangrove dan sedimen di homogenkan, kemudian dilakukan
pengarangan diatas hot plate sampai menjadi arang. Untuk mempercepat
terjadinya proses pengarangan diteteskan sedikit larutan HNO3. Sampel yang
telah menjadi arang kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 700ºC
sampai menjadi abu. Setelah selesai proses pengabuan sampel akar, dan daun
dan sedimen, dilarutkan dengan menambahkan 10 ml larutan HNO3 pekat. Hasil
pencampuran larutan tersebut digerus didalam wadah krus porselin dan disaring
menggunakan kertas saring Whatman ukuran 42. Larutan yang diperoleh siap
untuk dianalis dengan menggunakan alat AAS.
3. Preparasi Sampel Air
Sampel air laut disaring menggunakan kertas saring dan kemudian diukur 100
ml. Setelah itu sampel air laut ditambahkan 10 ml larutan HNO3 pekat. Panaskan
dalam wadah Erlenmeyer diatas hot plate sampai volumenya berkurang menjadi
72
35 ml, kemudian diendapkan. Larutan yang telah diendapkan kemudian disaring
fasa airnya dengan kertas saring Whatman ukuran 42. Larutan yang diperoleh
siap untuk dianalisis dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectroscopy
(AAS).
4. Prinsip Kerja AAS
Alat AAS diatur terlebih dahulu sesuai dengan instruksi pada alat tersebut,
kemudian dikalibrasikan dengan kurva standar dari logam Cd dan Pb dengan
konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1 ppm. Lalu kemudian diukur absorbansi
dan konsentrasi masing-masing sampel.
5. Pengukuran Faktor Lingkungan
a. Pengukuran Suhu
Pengukuran suhu air dilakukan pada bagian permukaan air. Pengukuran
dilakukan dengan cara mencelupkan thermometer ke dalam badan air
selama beberapa waktu sampai diperoleh angka yang konstan, kemudian
dicatat suhunya (Effendy, 2003)
b. Pengukuran Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan pada bagian permukaan air. Pengukuran
salinitas menggunakan salt refraktometer kemudian dilihat kisaran
salinitasnya yang dinyatakan dalam satuan ppt (part per thousand)
kemudian dicatat hasilnya (Effendi, 2003).
d. Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan pada bagian air permukaan dengan menggunakan
pH meter digital. Pengukuran pH dilakukan dengan cara mencelupkan pH
73
meter digital ke dalam badan air selama beberapa waktu sampai diperoleh
angka yang konstan, kemudian dicatat pH-nya. Parameter fisik dan kimia,
alat dan metoda disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter, metoda atau alat yang digunakan untuk analisa kualitasair
Parameter Satuan Metoda/Alat Tempat AnalisisFisika Air- Suhu ºC Termometer Air Raksa LapanganKimia Air- pH- Salinitas ppt
pH MeterRefraktometer
LapanganLapangan
Logam berat pada air- Pb- Cd
mg/lmg/l
AASAAS
LaboratoriumLaboratorium
Logam berat padasedimen- Pb- Cd
mg/kgmg/kg
AASAAS
LaboratoriumLaboratorium
Logam berat padaorgan mangrove(akar,batang dan daunmangrove)- Pb- Cd
mg/kgmg/kg
AASAAS
LaboratoriumLaboratorium
D. Metode Analisis Laboratorium
1. Analisis Kandungan Timbal (Pb dan Cd) Pada Sampel Air
Preparasi sampel air untuk analisis kandungan logam timbal (Pb) dengan
menggunakan spektrofotometer disajikan pada Gambar 8 berikut:
Gambar 10. Preparasi sampel air
Sampel air diambil pada lapisan permukaan dengan menggunakan botol ± 250 mldimasukkan ke dalam botol polyetilen. Sampel air diambil 50 ml diuapkan sampai
10-15 ml dengan menggunakan waterbath
Ditambahkan 5 ml HNO3 kemudian dipanaskan kembali selama 15 menit, kemudianditambah 5 ml HNO3 dipanaskan kembali selama 15 menit,
3Kemudian sampel dipindahkan ke labu ukur dengan volume 25 ml.Kandungan Timbal (Pb) pada sampel air siap di uji menggunakan AAS.
3
74
2. Analisis Kandungan Timbal (Pb dan Cd) Pada Sedimen
Preparasi sampel sedimen untuk analisis kandungan logam timbal (Pb)
dengan menggunakan spektrofotometer disajikan pada Gambar 9 berikut:
Gambar 11. Preparasi sampel sedimen
3. Analisis Kandungan Timbal (Pb) Pada Mangrove
Preparasi sampel Mangrove untuk analisis kandungan logam timbal (Pb)
dengan menggunakan spektrofotometer disajikan pada Gambar 10 berikut:
Gambar 12. Preparasi sampel Mangrove
Sedimen ditimbang sebanyak 5 gram. Sedimen dikeringkan dengan oven untukmenghiangkan air di sedimen
5 gram
Sedimen diabukan sampai bahan organik hilang didalam ovendengan suhu 540°C. Sedimen didinginkan di cawan porselen dan ditambahkan HNO3 5ml
kemudian dipanaskan 15 menit,
Sedimen kemudian ditambah 5 ml HNO3 kemudian dipanaskan kembali selama 15menit, kemudian ditambahkan lagi HNO3 dan dipanaskan selama 15 menit
Sedimen dipindahkan ke labu ukur dengan volume 25 ml dansampel sedimen siap di uji ke AAS.
Sampel mangrove yang telah diambil dari lokasi pengamatan dicuci kemudian diovenpada suhu 800C selama 48 jam.
Setelah kering sampel dihaluskan dengan menggunakan blender hingga menjadi serbuk.Kemudian serbuk sampel Mangrove ditimbang sebanyak 2 gram
Setelah itu di masukkan ke dalam furnace oven pada suhu 4500 C selama 12 jam sampaimenjadi abu. Abu sampel kemudian didestruksi dengan meggunakan metode AAS secara
kimia untuk mengetahui logam timbal
Kemudian sampel dipindahkan ke labu ukur dengan volume 25 ml. Kemudian sampeldipindahkan ke labu ukur dengan volume 25 ml dan siap dibaca dengan AAS
75
4. Standar baku mutu logam berat Pb dan Cd pada air, sedimen dan organmangrove
Data bioakumulasi logam berat pada akar, batang, dan daun mangrove yang
diperoleh dari hasil pembacaan AAS berupa nilai absorbansi selanjutnya disubtitusi
pada kurva standar logam berat (Pb, dan Cd) sehingga diperoleh nilai biakumulasi
logam berat dalam satuan ppm (part per million). Data biakumualsi tersebut
selanjutnya dianalisis secara deskriptif dalam bentuk histogram. Untuk melihat
kondisi pencemaran logam berat (Pb dan Cd) pada air di Perairan Tulehu, maka
dilakukan perbandingan antara hasil analisis Pb dan Cd pada air yang dilakukan di
laboratorium dengan Kriteria Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut berdasarkan
Kepmen LH No.51 tahun 2004, yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut
Logam Berat Kategori Konsentrasi (mg/L)
Timbal (Pb) Air Laut 0,008
Kadmium (Cd) Air Laut 0,001
Untuk menentukan logam berat timbal dan kadmium pada sedimen dilihat
berdasarkan Kriteria Baku Mutu konsentrasi logam berat dalam sedimen perairan
berdasarkan IADC/CEDA (1997) dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Kriteria baku mutu sedimen berdasarkan IADC/CEDA (1997) (mg/Kg)
Logam Berat(ppm)
LevelTarget
LevelLimit
Level Tes LevelIntervensi
LevelBahaya
Timbal (Pb) 85 530 530 530 1000
Kadmium (Cd) 0,8 2 7,5 12 30
Keterangan
1. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai
yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen
tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan
76
2. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai
maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.
3. Level tes Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen berada pada
kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai
tercemar ringan.
4. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen berada
pada kisaran nilai level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai
tercemar sedang.
5. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki
nilai yang lebih
Untuk melihat keeratan hubungan faktor fisik-kimia (suhu, pH, dan salinitas)
dengan bioakumulasi logam berat Pb dan Cd pada organ mangrove (akar, batang,
daun) digunakan analisis regresi dan korelasi menurut Steel and Torie (1989)
sebagai berikut:
Rumus Koefisien Korelasi (r):
Sxyr =
√(Sxy)2(Sy)2
Keterangan:
r = Koefisien rata rata korelasi
Sxy = Sebaran nilai pengamatan x dan y
Sx² = Keragaman nilai x, Sy² = Keragaman nilai y
77
E. Metode Analisis Data
1. Konsentrasi Logam Berat pada Akar, Batang, dan Daun Mangrove
Data bioakumulasi logam berat pada akar, batang, dan daun mangrove yang
diperoleh dari hasil pembacaan AAS berupa nilai absorbansi selanjutnya disubtitusi
pada kurva standar logam berat (Pb dan Cd) sehingga diperoleh nilai bioakumulasi
logam berat dalam satuan ppm (part per million). Data bioakumualsi tersebut
selanjutnya dianalisis secara deskriptif dalam bentuk histogram. Pengaruh
kandungan logam berat pada akar, batang dan daun mangrove dianalisis
menggunakan ANOVA One-Way dan signifikasi perbedaan diuji menggunakan uji
Tukey.
2. Konsentrasi Logam Berat dalam air dan sedimen
Untuk melihat kondisi pencemaran logam berat (Pb dan Cd) pada air di
Perairan Tulehu, maka dilakukan perbandingan antara hasil analisis Pb dan Cd pada
air yang dilakukan di laboratorium dengan Kriteria Baku Mutu Air Laut untuk Biota
Laut berdasarkan Kepmen LH No.51 tahun 2004 , yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Baku Mutu Air laut untuk Biota Laut
Logam Berat Kategori Konsentrasi (mg/L)
Timbal (Pb) Air Laut 0,008
Kadmium (Cd) Air Laut 0,001
Untuk menentukan logam berat timbal, dan kadmium pada sedimen dilihat
berdasarkan Kriteria Baku Mutu konsentrasi logam berat dalam sedimen perairan
berdasarkan IADC/CEDA (1997) dapat dilihat pada Tabel 5 berikut
78
Tabel 5. Kriteria baku mutu sedimen berdasarkan IADC/CEDA (1997)
Logam Berat(ppm)
LevelTarget
LevelLimit
Level Tes LevelIntervensi
LevelBahaya
Timbal (Pb) 85 530 530 530 1000
Kadmium (Cd) 0,8 2 7,5 12 30
Keterangan
1. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai
yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen
tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan
2. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai
maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.
3. Level tes Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen berada pada
kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai
tercemar ringan.
4. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen berada
pada kisaran nilai level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai
tercemar sedang.
5. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki
nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya maka harus segera dilakukan
pembersihan sedimen.
Data bioakumulasi dianalisis secara deskriptif dalam bentuk histogram. Pengaruh
kandungan logam berat pada air, sedimen dan organ mangrove dianalisis
menggunakan ANOVA One-Way dan signifikansi perbedaan diuji menggunakan
uji Tukey.
79
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Kualitas Air di Perairan Tulehu
Perairan Negeri Tulehu merupakan wilayah pesisir yang memiliki
sumberdaya hayati laut seperti mangrove, alga, mollusca dan lain-lain. Perairan
Tulehu memiliki pelabuhan penyeberangan yang letaknya sangat strategis di
Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah, dan berada di sepanjang perairan
pesisir Tulehu. Pelabuhan ini merupakan jalur utama sistem transportasi laut masuk
dan keluar ke Kota Ambon yang merupakan Ibukota Provinsi Maluku ke pulau-
pulau di Kabupaten Maluku Tengah. Pelabuhan Tulehu merupakan jalur utama
sistem transportasi laut sehingga perlu adanya pengembangan fasilitas-fasilitas
yang ada di Pelabuhan Tulehu. Untuk mendukung kelancaran kegiatan bongkar
muat barang dan naik turunnya penumpang di Pelabuhan Tulehu.
Penurunan kualitas air baik secara langsung maupun tidak langsung diduga
akan mempengaruhi biota perairan termasuk mangrove. Perairan sekitar pelabuhan
Tulehu sangat rawan terhadap pencemaran logam berat yang disebabkan oleh
buangan limbah dari masyarakat maupun dari transportasi laut. Kapal yang
melewati perairan tersebut sangat berpotensi untuk mengeluarkan buangan-
buangan yang mengandung logam berat sehingga terjadi pencemaran laut.
Pencemaran laut dapat didefinisikan sebagai dampak negatif atau pengaruh yang
membahayakan kelangsungan hidup biota laut dan kenyamanan ekosistem laut,
serta manusia. Pencemaran laut secara langsung maupun tidak langsung dapat
disebabkan oleh pembuangan limbah ke dalam laut, di mana salah satu bahan
80
pencemar utama yang terkandung dalam limbah adalah logam berat yang beracun
(Saru dan Amri, 2000). Kualitas perairan dengan mengukur faktor fisik dan kimia
diperlukan untuk mengetahui status pencemaran di Perairan Tulehu.
1. Suhu
Suhu perairan merupakan salah satu parameter fisika yang sangat penting,
karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi badan air secara umum (Megawati,
2014), dan juga sangat penting bagi kehidupan biota air. Setiap biota memiliki
batas toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu terendah dan tertinggi untuk
kelangsungan hidupnya secara optimal. Suhu perairan berpengaruh terhadap
kelarutan oksigen, komposisi substrat, kekeruhan maupun kecepatan reaksi kimia
di dalam air. Suhu juga berpengaruh terhadap osmoregulasi dan pernapasan pada
organisme parairan. Menurut Nontji (2005), pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi
organisme perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis.
Perubahan suhu pada permukaan air laut dapat menimbulkan penurunan dan
peningkatan kerapatan air pada permukaan laut. Peningkatan dan penurunan suhu
perairan juga dapat berpengaruh terhadap organisme perairan dan pada kondisi
ekstrim dapat menyebabkan kematian.
Hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian berkisar antara 27 -300C. Suhu
merupakan faktor penting dalam proses fisiologi tumbuhan seperti fotosintesis dan
respirasi. Diperkirakan suhu rata-rata didaerah tropis meupakan habitat terbaik bagi
tumbuhan mangrove (Aksornkoae,1993). Suhu yang optimum bagi mangrove
bervasiasi tergantung jenis mangrove.
81
Hutchings dan Saenger (1987) dalam Zamroni dkk (2008) menyatakan
bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun baru pada suhu
18–20˚C, jika suhunya lebih tinggi maka laju produksi daun baru akan lebih rendah.
Selain itu, laju tertinggi produksi dari daun Rhizopora spp., Ceriops spp.,
Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp. adalah pada suhu 26–28˚C. Adapun laju
tertinggi produksi daun Bruguiera spp. adalah 27˚C.
Menurut Hadikusumah (2008) suhu permukaan air laut dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti keseimbangan kalor dan keseimbangan masa air di lapisan
permukaan laut. Lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi suhu dan salinitas di
perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti penyerapan panas (heat flux), curah
hujan (presipitation), aliran sungai (flux) dan pola sirkulasi arus. Selain itu
Hutabarat dan Evans (1986) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi suhu
permukaan laut adalah letak ketinggian dari permukaan laut (Altituted), intensitas
cahaya matahari yang diterima, musim, cuaca, kedalaman air, sirkulasi udara, dan
penutupan awan.
Gambar 13. Suhu di setiap titik sampling
30
27
30
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
TS1 TS2 TS3
Kon
sent
rasi
Suh
u (0 C
)
Titik Sampling
82
Berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut
untuk biota laut suhu air laut berkisar 28 °C – 320C untuk ekosistem mangrove.
Suhu di perairan Tulehu bervariasi di setiap titik sampling namun secara umum
masih sesuai dengan baku mutu air laut. Pada titik sampling 1 menunjukkan suhu
300C. Menurut Hutchings dan Saenger (1987) dalam Zamroni dkk (2008) kondisi
suhu ini sebenarnya cukup tinggi untuk pertumbuhan daun mangrove. Sehingga hal
ini diduga menyebabkan populasi mangrove di lokasi penelitian menunjukkan
kondisi yang menurun. Selain itu diduga perluasan lokasi pelabuhan, eksploitasi
mangrove dan antropogenik turut menyumbang berkurangnya mangrove. Pada titik
sampling 3 menunjukkan suhu yang sama dengan titik sampling 1, namun letak dari
sampling cukup jauh dengan pemukiman penduduk sehingga eksploitasi mangrove
tidak terjadi. Untuk titik sampling 2 suhu masih memenuhi standar baku mutu air
laut.
Menurut Croteau et al. (2005), suhu air berpengaruh terhadap proses
akumulasi logam berat dalam organ tubuh biota laut. Oleh karena itu suhu perairan
merupakan salah satu parameter fisika yang sangat penting, karena dapat digunakan
untuk mengidentifikasi badan air secara umum (Cahyana, 2006), dan juga sangat
penting bagi kehidupan biota air.
2. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu
parameter kimia yang penting dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan
nilai pH suatu perairan terhadap organisme akuaatik mempunyai batasan tertentu
dengan nilai pH yang bervariasi. Beberapa perairan nilai pH berkisar antara 7,98 –
83
8,20 dengan rata-rata 8,09 (Simanjuntak,2009), nilai pH di pengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain tempat, kedalaman. Nilai pH dalam suatu perairan merupakan
suatu indikasi tergantungnya perairan tersebut. Berkurangnya nilai pH dalam
perairan ditandai dengan semakin meningkat senyawa organik di perairan tertentu.
Derajat keasaman (pH) adalah ukuran tentang besarnya kosentrasi ion
hidrogen dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa dalam reaksinya.
Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
organisme perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan
baik buruknya suatu perairan masih tergantung pada faktor-faktor lain.
Kisaran nilai pH di lokasi penelitian setiap titik sampling cenderung bersifat
netral dengan nilai yang tidak terlalu bervariasi. Rata-rata nilai pH yaitu 6 dan 7
untuk 3 titik sampling (Gambar 14).
Gambar 14. Konsentrasi pH di setiap titik sampling
Nilai rata-rata pH air di perairan Tulehu bervariasi. Pada titik sampling 1
dan 2 telah sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh KepMen LH No. 51
tahun 2004 yaitu sekitar 7-8,5. Dan satu titik sampling yang tidak memenuhi baku
7 7
6
0
1
2
3
4
5
6
7
8
TS1 TS2 TS3
pH
Titik Sampling
84
mutu air laut,yakni pada titik sampling 3 dengan pH sebesar 6. Perubahan pH dapat
mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pada perairan tertentu biota akuatik sensitif terhadap
perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Pada dasarnya air laut
mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan
pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan memberikan petunjuk
terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan
ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut.
Dampak langsung akan mengakibatkan rendahnya produktivitas primer dan akibat
tidak langsungnya adalah perubahan toksisitas zat-zat yang ada dalam air, misalnya
penurunan pH sebesar 1,5 dari nilai alami dapat memperbesar nilai toksisitas.
3. Salinitas
Salinitas adalah jumlah garam dalam gram yang terkandung dalam satu
kilogram air laut dimana iodin dan bromin digantikan nilainya oleh klorin, semua
karbonat diubah menjadi oksida dan semua bahan organik teroksidasi dengan
sempurna. Salinitas merupakan salah satu parameter yang penting di laut. Sebaran
salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan, aliran sungai. Perairan estuaria atau daerah sekitar kuala
dapat mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan
pertemuan antara air tawar yang relatif lebih ringan dan air laut yang lebih berat,
juga pengadukan air sangat menentukan. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin
dapat pula melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan
homogen kira-kira setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan.
85
Di perairan dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan
dengan salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya
terdapat lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam
yang menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya.
Beberapa kemungkinan diantaranya adalah Pertama adalah perairan dengan
stratifikasi salinitas yang sangat kuat, terjadi di mana air tawar merupakan lapisan
yang tipis di permukaan sedangkan di bawahnya terdapat air laut. Ini bisa
ditemukan di depan muara sungai yang alirannya kuat sedangkan pengaruh pasang-
surut kecil. Nelayan atau pelaut di pantai Sumatra yang dalam keadaan darurat
kehabisan air tawar kadang-kadang masih dapat menyiduk air tawar di lapisan tipis
teratas dengan menggunakan piring, bila berada di depan muara sungai besar.
Kedua, adalah perairan dengan stratifikasi sedang. Ini terjadi karena adanya
gerak pasang-surut yang menyebabkan terjadinya pengadukan pada kolom air
hingga terjadi pertukaran air secara vertikal. Di permukaan, air cenderung mengalir
keluar sedangkan air laut merayap masuk dari bawah. Antara keduanya terjadi
percampuran. Akibatnya garis isohalin (=garis yang menghubungkan salinitas yang
sama) mempunyai arah yang condong ke luar. Keadaan semacam ini juaga bisa
dijumpai di beberapa perairan estuaria di Sumatra.
Vernberg dan Venberg (1977) mengklasifikasikan konsentrasi salinitas
pada perairan menjadi empat kategori. Pertama perairan hiperhaline dengan
salinitas di atas 40 %, kedua euhaline (salinitas 30-40 o/oo), mixohaline dengan
salinitas antara 0,5-30 o/oo, dan limnetic water dengan salinitas lebih kecil dari 0,5
o/oo. Barnes dan Hughes (1988) mengemukakan bahwa perairan yang memiliki
86
salinitas lebih kecil dari 0,5 o/oo bersifat tawar sedangkan salinitas antara 0,5-30 o/oo
bersifat payau. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya salinitas air laut
adalah penguapan, curah hujan, air sungai, letak dan ukuran laut, arus laut dan angin
(Patty, 2013).
Gambar 15. Konsentrasi salinitas di setiap titik sampling
Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di setiap titik sampling
menunjukkan bahwa salinitas di perairan Tulehu berkisar antara 28 ‰ hingga 30
‰ (Gambar 15). Hal ini diduga dipengaruhi oleh banyak sedikitnya sungai yang
bermuara di laut, makin banyak sungai yang bermuara ke laut tersebut maka
salinitas laut tersebut akan rendah, dan sebaliknya makin sedikit sungai yang
bermuara ke laut tersebut maka salinitasnya akan tinggi. Perairan payau adalah
suatu badan air setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka,
dipengaruhi oleh gerakan pasang surut, dimana air laut bercampur dengan air tawar
dari buangan air daratan, perairan terbuka yang memiliki arus, serta masih
terpengaruh oleh proses-proses yang terjadi di darat (Prahastianto, 2011). Secara
30 30
28
25
26
27
28
29
30
31
TS1 TS2 TS3
Salin
itas (
‰)
Titik Sampling
87
horizontal salinitas dipengaruhi oleh pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan
air sungai. Air sungai yang mengalir menuju muara sedikit banyak menyumbang
jumlah air tawar yang masuk perairan sehingga kondisi pertemuan sungai dan air
laut menjadi payau dan mengurangi tingkat salinitas. Sedangkan secara vertikal
nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman tetapi
perubahan ini tidak linier (Kalangi et al. 2013).
Berdasarkan hasil pengukuran dapat dikatakan bahwa lokasi titik sampling
1 dan 2 memiliki kadar salinitas yang sama dan rendah pada titik sampling 3.
Salinitas terendah terukur diduga karena terletak di perairan pantai dan
memungkinkan lebih dekat dengan air sungai yang masuk perairan. Selain itu
diduga pengukuran dilakukan setelah hujan sehingga air tawar mengalir banyak
dari sungai menuju laut dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan salinitas
menurun. Salinitas tinggi diduga letak sampling yang mendekati laut atau batas
wilayah estuaria dengan laut. Daerah ini diduga terjadi pencampuran yang merata
antara air laut dan air tawar sehingga tidak terbentuk stratifikasi secara vertikal, tapi
secara horizontal sehingga derajat salinitasnya menjadi tinggi. Peningkatan
salinitas dapat terjadi karena penguapan air yang mengurangi volume air sehingga
konsentrasi garam-garam terlarut didalamnya meningkat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Poernomo (1979) dalam Rukminasari et al (2014) bahwa fluktuasi
salinitas dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu besar kecilnya penguapan air,
pencampuran oleh air lain dimana berbeda salinitasnya dan adanya pengendapan.
88
B. Kandungan Logam Berat pada Air
Hasil analisis logam berat timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada air disajikan
pada Lampiran 5. Kondisi suatu perairan secara umum dapat berubah seiring
dengan masuknya limbah dan aktivitas manusia baik di udara, darat, maupun di
perairan. Perubahan yang terjadi pada air misalnya penurunan kualitas air yang
dapat berdampak langsung maupun tidak langsung pada organisme di dalamnya.
Limbah merupakan hasil sampingan dari kegiatan manusia yang dapat menurunkan
kualitas air. Penelitian di perairan Tulehu dikhususkan pada parameter logam berat
Pb dan Cd karena kedua logam berat ini diduga berpotensi mencemari perairan
Tulehu.
1. Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cd pada Air
a. Pb di Air
Logam berat seperti Pb memiliki sifat larut dalam air dan tingkat
kelarutannya rendah dengan beberapa anion (Darmono 2001). Menurut Neff
(2002) sekitar 5% Pb di laut berbentuk ion bebas, sedangkan 38 - 39% berbentuk
larut dan membentuk ikatan organik di estuari dan pantai. Logam timbal (Pb) dalam
konsentrasi yang tinggi dalam perairan dapat bersifat racun karena bioakumulatif
dalam tubuh organisme air dan akan terus diakumulasi hingga organisme tersebut
tidak mampu lagi mentolerir kandungan logam berat tersebut dalam tubuhnya
(Connel dan Miller, 2006). Karena sifat bioakumulatif logam timbal, maka dapat
terjadi konsentrasi logam tersebut dalam bentuk terlarut dalam air adalah rendah,
tetapi dalam sedimen meningkat akibat proses fisik, kimia, biologi perairan, dan
dalam tubuh hewan air meningkat sampai beberapa kali lipat (biomagnifikasi).
89
Selanjutnya Rompas (1998) dan Manahan (2002) menjelaskan bahwa apabila
konsentrasi logam berat tinggi dalam air, ada kecendrungan konsentrasi logam berat
tersebut tinggi dalam sedimen dan akumulasi logam berat dalam organisme
perairan.
Timbal (Pb) yang masuk ke dalam perairan sebagai dampak dari aktivitas
kehidupan manusia ada berbagai bentuk. Diantaranya adalah air limbah buangan
dari berbagai industri yang menggunakan Pb misalnya industri cat, baterai, dan
barang-barang elektronik serta limbah dari pertambangan emas. Sumber lain yang
menjadi masuknya timbal ke dalam perairan di sekitar lokasi penelitian yaitu dari
aktivitas pertanian, persawahan dan pemukiman penduduk. Selain itu selain
kendaraan di darat yang menjadi sumber masuknya timbal ke dalam perairan perahu
bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin yang mengandung timbal tetraetil
menguap ke udara, kemudian adanya hujan akan terbawa dan masuk ke perairan.
Jika kondisi perairan asam maka jatuhan timbal bersamaan air hujan akan bereaksi
menjadi PbNO3. Sumber lain juga berasal dari bahan bakar kendaraan bermotor
yang menggunakan campuran timbal juga berkontribusi menyumbang limbah ke
dalam perairan. Limbah-limbah tersebut akan masuk ke dalam jalur-jalur air, got,
anak sungai dan sungai dan akhirnya terus dibawah menuju ke perairan laut. Hasil
pengukuran konsentrasi timbal dalam air laut pada 3 titik sampling berkisar antara
0,001942 mg/L – 0,08918 mg/L dengan rata-rata 0,05314 mg/L (Gambar 16).
Konsentrasi tertinggi sebesar 0,08918 mg/L terdeteksi pada sampel di titik
sampling 1.
90
Gambar 16. Konsentrasi timbal (Pb) pada air
Nilai baku mutu logam timbal pada air laut ditetapkan dalam KepMen LH
No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut bagi biota laut sebesar 0,008 mg/l.
Rata-rata kandungan timbal (Pb) yang didapatkan telah melebihi batas toleransi
yang dianjurkan, sehingga tingginya kandungan timbal dalam air laut di perairan
Tulehu akan mengendap dan terakumulasi ke dalam sedimen. Tingginya
kandungan timbal dalam perairan perairan Tulehu juga akan berdampak pada
terganggunya kehidupan biota perairan. Logam berat dalam perairan tersebut
selanjutnya terabsorbsi dalam tanaman akuatik dan akan terkontaminasi ke
plankton dan biota mikrooranisme lainnya dalam air serta akan terkontaminasi ke
ikan dan organisme makrobentos melalui proses rantai makanan sehingga
menimbulkan bioakumulasi dan biomaknifikasi pada ikan maupun biota lainnya
(Riani 2012).
Apabila timbal (Pb) memasuki lingkungan perairan, maka timbal tersebut
akan diserap oleh sedimen atau lumpur, plankton, algae, invertebrata, tanaman
akuatik dan lain-lain. Sedimen dan tanah merupakan sink (pengendapan) utama
0,008918
0,005082
0,001942
-0,002
0
0,002
0,004
0,006
0,008
0,01
0,012
S1 S2 S3
Kan
dung
an P
b (
mg/
L)
Titik Sampling
91
bagi timbal di lingkungan. Konsentrasi timbal dalam air semakin meningkat karena
garam yang diekskresikan ikan ke air cenderung bertambah. Kenaikan konsentrasi
timbal dalam sistem akuatik secara berurutan : air < mangsa ikan < ikan < sedimen
(DVGM, 1985 dalam Oktavianus dan Salami, 2005). Logam berat Pb yang masuk
ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan
dispersi, kemungkinan diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut.
Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat
hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan
organik dan mengendap di dasar perairan dan berikatan dengan partikel-pertikel
sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding
dalam air (Hutagalung, 1991).
Tingginya konsentrasi Pb di titik sampling 1 diduga berasal dari
pemberhentian kapal sementara oleh nelayan, mengganti bahan bakar, dan
sedimentasi lumpur akibat pembuangan limbah cair dari aktivitas pelayaran,
antropogenik dan limbah rumah tangga di sekitar perairan. Hal ini sejalan dengan
penelitian Supriyantini et al. (2016), melaporkan bahwa kandungan logam berat
Pb dan Cu di perairan Tanjung Emas Semarang menunjukkan pencemaran berat
karena sudah melebihi batas ambang yang ditentukan yaitu masing-masing 0,01-
0,06 mg/L (Pb) dan 0,004-0,14 mg/L (Cu). Alim (2014) melaporkan bahwa
konsentrasi Pb dalam air di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu sudah melebihi
kadar normal di perairan alami yakni sebesar 0,009 – 0,015 mg/l.
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Pb di perairan menunjukkan ada satu
perlakuan yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,000).
92
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Pb pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey.
Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa stasion 1,
2 dan 3 menunjukkan perbedaan signifikan.
Stasiun 1 merupakan tempat disandarkan kapal yang tidak beroperasi (doc)
di perairan sekitar pelabuhan Tulehu. Disamping aktivitas antropegenik di sekitar
pelabuhan turut menyumbang logam berat Pb yang ada dalam air. Hasil analisis
menunjukkan stasiun 1 mempunyai kandungan logam berat timbal (Pb) paling
tinggi dibanding 2 stasiun yang lain.
Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika
berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi
permukaan sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen
(Wilson, 1988). Organisme yang terekspos logam berat Pb dengan konsentrasi
rendah biasanya tidak mengalami kematian, tetapi akan mengalami pengaruh
sublethal, yaitu pengaruh yang terjadi pada organisme tanpa mengakibatkan
kematian pada organisme tersebut. Pengaruh sublethal ini dapat dibedakan atas tiga
macam, yaitu menghambat (misalnya pertumbuhan dan perkembangan, serta
Source DF SS MS F Psampel 2 73,234 36,617 124,25 0,000Error 6 1,768 0,295Total 8 75,003
S = 0,5429 R-Sq = 97,64% R-Sq(adj) = 96,86%
Sampel N Mean GroupingS1 3 0,008918 AS2 3 0,005082 BS3 3 0,001942 C
93
reproduksi), menyebabkan terjadinya perubahan morfologi, dan merubah tingkah
laku organisme.
b. Cd di Air
Kadmium adalah logam kebiruan yang lunak, termasuk golongan II B table
berkala dengan konfigurasi elektron [Kr] 4d105s2. unsur ini bernomor atom 48,
mempunyai bobot atom 112,41 g/mol dan densitas 8,65 g/cm3. Titik didih dan titik
lelehnya berturut turut 765oC dan 320,9oC. Kadmiun merupakan racun bagi tubuh
manusia. Sumber kadmium terutama dari biji seng, timbal-seng, dan timbal-
tembaga-seng. Kandungan logam Cd bersumber dari makanan dan lingkungan
perairan yang sudah terkontaminasi oleh logam berat. Kontaminasi makanan dan
lingkungan perairan tidak terlepas dari aktivitas manusia didarat maupun pada
perairan. Sifat logam Cd yang akumulatif pada suatu jaringan organisme serta sulit
terurai. Kadmium dalam air juga berasal dari pembuangan industri dan limbah
pertambangan.
Cadmium merupakan zat kimia yang tidak dapat didegradasi di alam. Cd
bebas berada di lingkungan dan akan tetap berada didalam sirkuasi atau udara. Cd
yang berikatan dengan senyawa logam berat lainnya biasanya akan mempengaruhi
pembentukannya di air. Sumber utama Cd yang berasal dari alam adalah dari
lapisan bumi atau kerak bumi seperti gunung berapi dan pelarutan batuan.
Cadmium yang ada di udara bisa dibawa dengan proses yang berbeda-beda dan
masuk ke dalam lingkungan.
Cadmium yang ada di air berasal dari berbagai proses yaitu cadmium masuk
ke dalam perairan karena adanya proses erosi tanah, pelapukan batuan induk.
94
Cadmium lebih banyak masuk kedalam air karena kegiatan manusia seperti
perindustrian dimana limbah hasil dari pabrik tersebut dibuang langsung ke dalam
perairan yang akan terakumulasi di dasar perairan yang membentuk sedimen. Cd
juga dapat masuk kedalam organisme yang hidup di air dimana Cd dapat masuk
melalui oral, inhalasi atau dermal. Cd yang masuk kedalam tubuh suatu organisme
contohnya seperti ikan, logam Cd akan terakumulasi pada ginjal dan hati karena
kedua organ tersebut sangat spesifik untuk melawan racun yang masuk kedalam
tubuh.
Hasil pengukuran konsentrasi kadmium dalam air laut pada 3 titik sampling
berkisar antara 0,000656 mg/L – 0,002894 mg/L dengan rata-rata 0,001725 mg/L
(Gambar 17). Konsentrasi tertinggi sebesar 0,002894 mg/L terdeteksi pada sampel
di titik sampling 1.
Gambar 17. Konsentrasi kadmium (Cd) pada air
Nilai baku mutu logam kadmium (Cd) pada air laut ditetapkan dalam
KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut bagi biota laut sebesar
0,001 mg/l. Hasil yang diperoleh selama penelitian menunjukkan kandungan
0,002894
0,001624
0,000656
0
0,0005
0,001
0,0015
0,002
0,0025
0,003
0,0035
0,004
S1 S2 S3
Kan
dung
an C
d (m
g/L
)
Titik Sampling
95
kadmium bervariasi berdasarkan stasiun pengambilan sampel. Kandungan tertinggi
berada pada stasiun 1 yakni 0,002894 mg/L dan terendah pada stasiun 3 yakni
0,000656 mg/L.
Kadmium dan kadmium senyawa, dibandingkan dengan logam berat
lainnya, relatif larut dalam air dan lebih mobile misalnya dalam tanah, umumnya
lebih bioavailable dan cenderung bioaccumulate. Kadmium mudah diakumulasi
oleh banyak organisme, terutama oleh mikroorganisme dan moluska di mana faktor
biokonsentrasi berada di urutan ribuan. Invertebrata tanah juga berkonsentrasi
kadmium nyata. Kebanyakan organisme menunjukkan rendah sampai sedang faktor
konsentrasi kurang dari 100. Pada hewan, kadmium berkonsentrasi pada organ
internal daripada dalam otot atau lemak. Hal ini biasanya lebih tinggi daripada di
dalam ginjal hati, dan lebih tinggi di hati daripada di otot. Kadmium tingkat
biasanya meningkat dengan bertambahnya usia. Informasi berikut sebagian besar
telah diambil dari monografi IPCS (WHO 1992a, 1992b WHO).
Dalam sistem perairan, kadmium yang paling mudah diserap oleh
organisme langsung dari air dalam bentuk bebas Cd ionik (II) (AMAP 1998).
Toksisitas akut kadmium untuk organisme air adalah variabel, bahkan antara
spesies terkait erat, dan berhubungan dengan konsentrasi ion bebas dari logam.
Kadmium mengalami biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup
(tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam tubuh biota perairan jumlah logam yang
terakumulasi akan terus mengalami peningkatan dengan adanya proses
biomagnifikasi di badan air. Di samping itu, tingkatan biota dalam sistem rantai
96
makanan turut menentukan jumlah kadmium yang terakumulasi. Dimana pada biota
yang lebih tinggi stratanya akan ditemukan akumulasi kadmium yang lebih banyak.
Tingginya kandungan logam berat kadmium pada stasion 1 diduga wilayah
tersebut sudah tercemari oleh kebedaan kapal yang sudah atau sementara tidak
beroperasi, dekatmya dengan pemukiman penduduk dan buangan limbah rumah
tangga ke laut. Pada umumnya wilayah pesisir merupakan daerah yang rentan
terhadap pencemaran akibat kesalahan dalam pengelolaannya karena menjadikan
kawasan ini sebagai tempat pembuangan segala macam limbah yang berasal dari
daratan oleh aktivitas manusia ke perairan laut.
Menurut Nordic (2003) sumber-sumber logam berat Cd di laut, berasal dari
sumber yang bersifat alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah
pantai yang berasal dari sungai-sungai dan abrasipantai akibat aktivitas gelombang,
masukan dari laut dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut
dalam, dan masukan dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-partikel
debu. Logam berat Cd juga dapat berasal dari aktifitas manusia, seperti limbah
pasar dan limbah rumah tangga, aktivitas transportasi laut dan aktivitas perbaikan
kapal laut.
Hal ini sejalan dengan penelitian Rumahlatu (2011) yang melaporkan
bahwa perairan pulau Ambon telah tercemar logam berat Cd dan D. setosum yang
dapat digunakan sebagai biomonitoring pencemaran logam berat di laut. Barus
(2017) melaporkan bahwa konsentrasi logam berat kadmium pada air permukaan
di Perairan Muara Sungai Banyuasin memiliki kisaran sebesar 0,002-0,062 mg/l,
Konsentrasi kadmium pada kolom air telah melebihi baku mutu yang dikeluarkan
97
oleh KepMen LH No 51 tahun 2004 untuk biota perairan. Semakin tinggi
kandungan logam Cd dalam perairan, umumnya semakin banyak terakumulasi pada
tubuh organisme air. Dengan demikian kemungkinan terjadinya keracunan
terhadap organisme air yang bersangkutan maupun kerusakan lingkungan adalah
semakin besar (Laws, 1981).
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Cd di perairan menunjukkan ada satu
perlakuan yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,001).
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Pb pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey.
Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa stasiun 1,
2 dan 3 menunjukkan perbedaan signifikan.
Stasiun 1 dan 2 merupakan daerah pesisir yang dekat dengan pemukiman
penduduk dan bahkan berbatasan dengan aktivitas jalan raya dan pelabuhan.
Wilayah pesisir adalah sebuah wilayah yang dinamik dengan pengaruh daratan
terhadap lautan atau sebaliknya. Pencemaran lingkungan pesisir merupakan
dampak baik langsung atau tidak langsung oleh polutan termasuk logam berat.
Unsur logam berat ini dapat terakumulasi dalam tubuh organisme sebagai akibat
terjadinya interaksi antara logam berat dan sel atau jaringan tubuh organisme
Source DF SS MS F Psampel 2 9,054 4,527 32,52 0,001Error 6 0,835 0,139Total 8 9,889
S = 0,3731 R-Sq = 91,55% R-Sq(adj) = 88,74%
Sampel N Mean GroupingS1 3 0,002894 AS2 3 0,001624 BS3 3 0,000656 C
98
tersebut (Syahminan, 1996) dalam Tatang (2018). Lebih lanjut Lu,1995 dalam
Tatang, 2018 menyatakan bahwa tingginya kandungan logam berat di suatu
perairan dapat menyebabkan kontaminasi, akumulasi bahkan pencemaran terhadap
lingkungan seperti biota, sedimen, air dan sebagainya.
Semakin tinggi kandungan logam Cd dalam perairan memungkinan
terjadinya keracunan terhadap organisme air yang bersangkutan maupun kerusakan
lingkungan. Air yang mengandung 10 ppm Cd bisa mengandung logam Cd sampai
113 ppm dalam tubuh organisme (Sorensen, 1991 dalam Tatang, 2018).
Terakumulasinya logam Cd pada tubuh organisme air merupakan fungsi dari
kandungan logam berat yang terdapat dalam air, karena terakumulasinya logam
berat pada tubuh organisme air dipengaruhi oleh lamanya waktu kontak antara
organisme yang bersangkutan dengan polutan dalam air. Untuk stasiun 3
menunjukkan kandungan Cd masih dalam batas normal
C. Kandungan Logam Berat pada Sedimen
Hasil analisis logam berat Pb dan Cd dalam sedimen di sajikan pada
Lampiran 4. Keberadaan logam berat pada sedimen dapat menjadi polutan apabila
konsentrasinya melebihi ambang batas yang ditentukan. Sedimen merupakan bahan
organik dan anorganik yang bisa mempengaruhi kualitas air. Bahan organik berasal
dari pembusukan organisme atau tanaman yang kemudian tenggelam ke dasar
perairan dan bercampur di sungai. Proses yang terjadi bisa disebabkan oleh proses
anorganik, seperti curah ujan dan pembilasan dengan hidroksida oleh Fe dan Mn
(Balachandran et al., 2005). Konsentrasi logam berat di sedimen merupakan
indikator yang baik pada suatu lingkungan yang tercemar logam berat.
99
Konsentrasi logam berat pada sedimen diperlukan untuk mengetahui tingkat
pencemaran logam berat di sedimen. Logam berat yang masuk ke perairan akan
segera berasosiasi dengan partikel sedimen dan terakumulasi di dasar perairan.
Akumulasi logam berat dari air permukaan ke dasar perairan dipengaruhi oleh
beberapa faktor lingkungan seperti pH, kekuatan ion, masukan limbah
antropogenik, jenis dan konsentrasi ligand organik dan inorganik (Davies et al.
1991). Sebagian besar daerah aliran sungai selalu membawa lumpur yang
disebabkan oleh erosi alam dari sungai dan hampir semua isi sedimen akan terus
meningkat dengan adanya erosi dari tanah pertanian, kehutanan, kontruksi dan
pertambangan (Darmono, 2001).
Logam berat masuk ke badan air dan mengendap pada sedimen terjadi
karena tiga tahap, yaitu adanya curah hujan, adsorpsi dan penyerapan oleh
organisme air (Brian, 1976 dalam Mulyawan, 2005). Logam berat pada lingkungan
perairan akan diserap oleh partikel dan kemudian terakumulasi di dalam
sedimen. Logam berat memiliki sifat mengikat partikel lain dan bahan organik
kemudian mengendap didasar perairan dan bersatu dengan sedimen lainnya. Hal ini
menyebabkan konsentrasi logam berat di dalam sedimen biasanya lebih tinggi
daripada di perairan (Harahap, 1991 dalam Fajri, 2001).
1. Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cd pada Sedimen
a. Pb di Sedimen
Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam,
dalam bahasa ilmiahnya dinamakan plumbum dan disimbolkan dengan Pb.
Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan berat atom (BA) 207.2 (Palar, 2004).
100
Logam timbal Pb adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah
dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik
lainnya dan secara alamiah terdapat pada batubatuan serta lapisan kerak bumi.
Dalam pertambangan, logam ini berbentuk sulfida logam (PbS) yang sering
disebut galena (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam industri
misalnya sebagai zat tambahan bahan bakar, pigmen timbal dalam cat yang
merupakan penyebab utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Lu, 1995).
Timbal masuk ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang mengandung
Pb yaitu hasil pembakaran bensin yang mengandung Timbal tetraetil, erosi dan
limbah industri. Banyak reaksi biokimia dalam tubuh manusia dipengaruhi oleh
logam Pb. Konsentrasi Pb sebesar 50 ppb dapat menimbulkan bahaya pada
lingkungan laut (Saeni, 1989 dalam Tatang, 2018).
Logam Pb masuk ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang
mengandung Pb yaitu dari hasil pembakaran bensin yang mengandung timbal
tetraetil, erosi dan limbah industri (Saeni, 1989). Clark (1986) mengatakan aerosol
Pb dibawa ke bumi dalam hujan dan salju dan telah disebar secara luas. Lumpur
dasar pembuangan limbah dapat diduga mengandung Pb konsentrasi tinggi.
Sedangkan menurut Saeni (1989), konsentrasi Pb 0,05 mg.l-' dapat menimbulkan
bahaya pada lingkungan laut.
Kadar logam berat di laut meningkat bila limbah yang mengandung banyak
logam berat masuk ke dalam laut. Limbah ini bisa berasal dari aktivitas manusia di
darat dan di laut. Aktivitas di laut berasal dari air balans dari kapal-kapal,
tenggelamnya kapal tanker, penambangan logam di laut dan lain-lain. Sedangkan
101
aktivitas di darat berasal dari limbah perkotaan, pertambangan, pertanian dan
industri (Hutagalung, 1997). Logam berat yang dilimpahkan ke perairan, baik
melalui sungai maupun laut akan mengalami tiga proses, yaitu pengendapan,
adsorpsi dan absorpsi oleh organismeorganisme perairan (Supriharyono, 2002).
Selanjutnya, unsur logam berat yang masuk ke dalam perairan akan mengalami
proses penyebaran oleh gelombang dan arus. Berikut disajikan logam berat timbal
(Pb) selama penelitian pada 3 titik sampling (Gambar 18)
Gambar 18. Konsentrasi timbal (Pb) pada sedimen
Hasil pengukuran konsentrasi Pb pada sedimen di perairan Tulehu
menunjukkan kisaran rata-rata antara 3,6479 – 7,6955 mg/Kg. Rata-rata konsentrasi
timbal di perairan Tulehu adalah 5,4104 mg/Kg. Konsentrasi tertinggi berada pada
titik sampling 1 (Pelabuhan Tulehu) dengan 7,6955 mg/Kg dan terendah pada titik
sampling 3 sebesar 3,6479 mg/Kg. Konsentrasi timbal dalam sedimen yang
diperoleh masih di bawah batas aman toleransi apabila dibandingkan dengan baku
mutu (CCME 2002 = 30,2 mg/kg). Oleh karena itu konsentrasi logam berat dalam
sedimen di perairan Tulehu masih dalam batas toleransi bagi biota laut.
7,696547
4,886725
3,647915
012345678910
S1 S2 S3
Kan
dung
an P
b (m
g/K
g)
Titik Sampling
102
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Pb menunjukkan ada satu perlakuan
yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,000).
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Pb pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey
Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa hanya
pada titik sampling 1 memiliki pengaruh berbeda dengan titik sampling 2 dan 3.
b. Cd di Sedimen
Kadmium (nama latin cadmia) adalah suatu unsur kimia dalam tabel
periodik yang memiliki lambang Cd dan nomor atom 48, berat atom 112,4, titik
leleh 321 31oC, titik didih 7670C dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm3(Widowati
dkk, 2008). Kadmium adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak
larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan Kadmium Oksida bila
dipanaskan. Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd
Klorida) atau belerang (Cd Sulfit). Kadmium membentuk Cd 2+ yang bersifat tidak
stabil. Oleh karena sifat-sifatnya, Cd banyak dipakai sebagai stabilizer dalam
pembuatan (polyvini & clorida). Cd didapat pada limbah berbagai jenis
Source DF SS MS F Psampel 2 25821173 12910586 25,60 0,001Error 6 3026412 504402Total 8 28847585
S = 710,2 R-Sq = 89,51% R-Sq(adj) = 86,01%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 7696,5 AS2 3 4886,7 BS3 3 3647,9 B
Means that do not share a letter are significantlydifferent.
103
pertambangan logam yang tercampur Cd seperti Pb, dan Zn. Logam kadmium (Cd)
biasanya selalu dalam bentuk campuran dengan logam lain terutama dalam
pertambangan timah hitam dan seng (Darmono 1995). Dengan demikian, Cd dapat
ditemukan di dalam perairan baik di dalam sedimen maupun di dalam penyediaan
air minum.
Logam Cd akan mengendap karena senyawa sulfit nya sukar larut,
sedangkan di dalam perairan logam Cd terdapat dalam bentuk CdCI, CdCI"3 (Bryan
dalam Sanusi, 2006). Total masukan logam Cd di lautan dunia diduga mendekati
8.000 ton-tahun', kira-kira setengahnya dihasilkan dari kegiatan manus ia dan
sisanya dari alam. Masukan dari sungai dan atmosfir sama pentingnya. K ira-kira
2.900 ton- tahun logam Cd disimpan dalam endapan dasar laut, tetapi sulit dihitung
untuk sisa yang ada. Logam Cd di dalam laut diketahui tidak seimbang dengan
keperluan dan kandungan logam Cd di laut mungkin meningkat secara perlahan
(Clark, 1986).
Semakin tinggi kandungan logam Cd dalam perairan, umumnya semakin
banyak terakumulasi pada tubuh organisme air. Dengan demikian kemungkinan
terjadinya keracunan terhadap organisme air yang bersangkutan maupun kerusakan
lingkungan adalah semakin besar (Laws, 1981). Faktor konsentrasi logam berat di
air menentukan akumulasi logam berat dalam tubuh organisme. Air yang
mengandung 10 ppm Cd bisa mengandung logam Cd sampai 113 ppm dalam tubuh
organisme. Sedangkan jenis molluska bivalvia dapat mengakumulasi sampai 352
kali lebih tinggi dari kandungan logam Cd yang terdapat dalam medianya
(Sorensen, 1991).
104
Berikut disajikan logam berat timbal (Pb) selama penelitian pada 3 titik
sampling (Gambar 19)
Gambar 19. Konsentrasi kadmium (Cd) pada sedimen
Hasil pengukuran konsentrasi Cd pada sedimen di perairan Tulehu
menunjukkan kisaran rata-rata antara 0,6011 – 1,2520 mg/Kg. Rata-rata konsentrasi
timbal di perairan Tulehu adalah 0,8917 mg/Kg. Konsentrasi tertinggi berada pada
titik sampling 1 (Pelabuhan Tulehu) dengan 1,2520 mg/Kg dan terendah pada titik
sampling 3 sebesar 0,6011 mg/Kg. Konsentrasi kadmium dalam sedimen yang
diperoleh masih di bawah batas aman toleransi apabila dibandingkan dengan baku
mutu (IADC/CEDA (1997)= 30,2 mg/kg). Oleh karena itu konsentrasi logam berat
dalam sedimen di perairan Tulehu masih dalam batas toleransi bagi biota laut.
Namun demikian berdasarkan IADC/CEDA (1997) kandungan Cd pada
sedimen di perairan Tulehu menunjukkan pada level target dimana konsentrasi
kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level
target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi
lingkungan namun jika dibiarkan sedimentasi komposisi logam berat akan
1,252015
0,821901
0,601111
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
S1 S2 S3
Kan
dung
an C
d (m
g/K
g)
Titik Sampling
105
mengalami peningkatan. Pada perairan alami yang bersifat basa, kadmium akan
mengalami hidrolisa dan teradsorbsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk
ikatan kompleks dengan bahan organik. Logam berat Cd terlarut dalam air akan
mengalami proses adsorbsi oleh partikel tersuspensi dan mengendap di sedimen.
Proses adsorbsi akan diikuti oleh proses desorpsi yang mengembalikan Cd dalam
bentuk terlarut dalam badan air. Kadmium dalam air laut berbentuk senyawa
klorida (CdCl2). Kandungan logam berat di sedimen tergantung pada komposisi
kimia dan mineral sedimen.
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Cd menunjukkan ada satu perlakuan
yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,000).
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Cd pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey
Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa hanya
pada titik sampling 1 memiliki pengaruh berbeda dengan titik sampling 2 dan 3.
Source DF SS MS F Psampel 2 657421 328710 25,55 0,001Error 6 77181 12863Total 8 734601
S = 113,4 R-Sq = 89,49% R-Sq(adj) = 85,99%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 1252,0 AS2 3 821,9 BS3 3 601,1 B
Means that do not share a letter are significantlydifferent.
106
D. Kandungan Logam Berat pada Organ (Akar, Batang dan Daun) Mangrove
Mangrove merupakan hyperaccumulator yang baik, mangrove bukan saja
mampu tumbuh di tanah dengan konsentrasi unsur beracun yang tinggi, tetapi juga
mampu mengakumulasi unsur tersebut di dalam akar, batang dan daun.
Kemampuan mangrove untuk mengakumulasi logam berat berbeda untuk tiap
spesies, konsentrasi logam berat antar organ tumbuhan seperti akar, cabang, dan
daun berbeda dalam tiap-tiap spesies. Perbedaan konsentrasi logam berat pada
organ tumbuhan tertentu berkaitan dengan proses fisiologis tumbuhan tersebut
(Sinha, 1999; Tam and Wong, 1996).
Dari hasil penelitian Kartikasari et al., (2002) tentang akumulasi logam
berat pada tumbuhan mangrove di Sungai Babon Semarang diperoleh hasil, terdapat
perbedaan akumulasi logam berat Cr dan Pb antar organ tumbuhan akar, cabang
dan daun mangrove A. Marina. Akumulasi logam Cr akar>cabang>daun.
Sedangkan akumulasi Pb dalam akar, cabang dan daun mengikuti urutan akar
>(cabang < daun). Kumar et al., (2011) menggunakan bagian tanaman mangrove
(akar, batang, daun) dan sedimen yang dianalisis untuk menemukan adanya
akumulasi logam. Dari analisis logam berat dalam Avicennia marina menunjukkan
hasil bahwa akumulasi dari semua logam berat (kecuali Cd) dalam jaringan akar
lebih tinggi dibandingkan dengan batang, daun dan sedimen sekitarnya.
Konversi kawasan mangrove dalam pelebaran kawasan pelabuhan
merupakan penyebab utama menurunnya populasi dan rusaknya ekosistem
mangrove. Penyerapan logam berat oleh akar pohon dipengaruhi sistem perakaran
dan luasan permukaan akarnya, sebagai contoh: dapat menyerap Cadmium (Cd)
107
sebesar 17,933 ppm, memiliki kemampuan menyerap Cd sebesar 17,433 ppm,
tetapi hanya mampu menyerap Cd sebesar 0,5 ppm (Arisandi, 2008). Tegakan
mangrove jenis dapat menyerap polutan logam berat jenis Cu sebesar 43,9 ppm,
Mn sebesar 597,1 ppm, dan Zn sebesar 34,5 ppm (Taryana, 1995 dalam Heriyanto,
2011). Bahan pencemar dari limbah industri dapat mencemarkan air sungai dan
berdampak negatif yaitu terjadinya perubahan ekosistem muara berupa perubahan
temperatur, pH, BOD dan COD serta kandungan logam berat yang sangat
mempengaruhi kehidupan flora dan fauna perairan. Limbah ini biasanya berasal
dari Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, Rhizophora
stylosa Pantai Utara Jawa yang menyebabkan perubahan vegetasi muara secara
nyata. Akumulasi logam oleh tumbuhan bergantung pada banyak faktor yaitu : (1)
Sifat alamiah tumbuhan, seperti: spesies, kecepatan tumbuh, ukuran dan kedalaman
akar, kecepatan penguapan, serta kebutuhan nutrien untuk metabolisme, (2) Faktor
tanah, seperti: pH, kandungan dan sifat alamiah zat organik, status nutrien, jumlah
ion-ion logam dan anion-anion tertentu seperti fosfat, sulfat, kadar mineral
lempung, dan tipe tanah, dan (3) Variabel-variabel lingkungan dan pengelolaan
yaitu temperatur, kelembaban, sinar matahari, curah hujan, pemupukan dan lain-
lain. Hasil analisis Pb dan Cd dalam organ akar, batang dan daun lamun disajikan
pada Lampiran 6.
108
1. Akar
a. Timbal (Pb)
Penyerapan kontaminan berupa polutan seperti Pb oleh akar tumbuhan dan
translokasi atau akumulasi senyawa ke bagian tumbuhan seperti akar, daun atau
batang disebut dengan fitoekstraksi. Sedangkan rizofiltrasi merupakan
pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasi
logam dari aliran limbah. Penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tumbuhan
dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu penyerapan logam oleh
akar, translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain dan lokalisasi logam pada
bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan
tersebut.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di laboratorium konsentrasi
logam Pb dalam akar tanaman mangrove berkisar antara 1,1689 mg/Kg – 2,5096
mg/Kg (Gambar 20 ).
Gambar 20. Konsentrasi timbal (Pb) pada akar
2,509627
1,568149
1,168957
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
S1 S2 S3
Kan
dung
an P
b A
kar
(mg/
Kg)
Titik Sampling
109
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa konsentrasi Pb pada titik
sampling 1 lebih tinggi (2,5096 mg/Kg) dibandingkan dengan titik 2 (1,5681
mg/Kg) dan titik 3 (1,16895 mg/Kg). Nilai baku mutu logam berat timbal yaitu 0,3
mg/kg (SNI 7387:2009) dan 0,4 mg/kg (BPOM). Berdasarkan hasil kandungan
logam berat Timbal pada akar di perairan Tulehu menyatakan bahwa hasil telah
melewati baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
Tingginya kandungan logam berat Pb di akar diduga logam yang larut
bersama limbah pelayaran, tumpahan minyak saat pengisian bahan bakar dan
antropogenik di sekitar perairan Tulehu akan terserap dalam bentuk larutan
disekitar akar (rizosfer) mangrove dengan cara translokasi di dalam tubuh
tumbuhan. Setelah logam dibawa masuk ke sel akar menurut Zhu et al (1999) dalam
Katipana (2015) menyatakan bahwa logam akan diangkut melalui jaringan
pengangkut, yaitu xilem dan floem ke bagian tumbuhan lain. Untuk meningkatkan
efisiensi pengangkutan, logam diikat oleh molekul khelat yang berfungsi mengikat
logam dan dihasilkan oleh tumbuhan, misalnya fitokhelatin-glutation yang terikat
pada Cd.
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Pb menunjukkan ada satu perlakuan
yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,001).
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Pb pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey
Source DF SS MS F Psampel 2 2843131 1421565 24,51 0,001Error 6 348059 58010Total 8 3191190
S = 240,9 R-Sq = 89,09% R-Sq(adj) = 85,46%
110
Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa hanya
pada titik sampling 1 memiliki pengaruh berbeda dengan titik sampling 2 dan 3.
b. Kadmium (Cd)
Logam cadmium(Cd) dan persenyawaannya pada lingkungan banyak
ditemukan dalam banyak lapisan. Secara sederhana dapat diketahui bahwa
kandungan logam Cd akan dapat dijumpai di daerah penimbunan sampah dan aliran
air hujan,selain dalam air buangan. Dalam badan perairan, kelarutan Cd dalam
konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Kadmium (Cd) dan Timbal
(Pb) merupakan logam berat yang sangat berbahaya karena tidak dapat dihancurkan
(non degradable) oleh organisme hidup dan dapat terakumulasi ke lingkungan,
terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama
bahan organik dan anorganik (Darmono,2003)
Organisme perairan yang dapat menerima dampak langsung pencemaran
logam berat adalah diantaranya tanaman mangrove. Mangrove banyak dijumpai di
wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Satu
diantara beberapa spesies mangrove yang memiliki kemampuan menyerap logam
berat adalah Api-api (Avicennia marina) (Lase dkk, 2016).
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 2509,6 AS2 3 1568,1 BS3 3 1169,0 B
Means that do not share a letter are significantly different.
111
Gambar 21. Konsentrasi kadmium (Cd) pada akar
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa konsentrasi Cd pada titik
sampling 1 lebih tinggi (0,3131 mg/Kg) dibandingkan dengan titik 2 (0,1981
mg/Kg) dan titik 3 (0,1472 mg/Kg). Berdasarkan pedoman baku mutu lingkungan
menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-MEN LH
No.51/MenKLH/2004, ambang batas Cd untuk wisata bahari adalah 0,002 ppm dan
untuk biota adalah 0,001 ppm. Nilai akumulasi logam berat Cd pada tumbuhan
mangrove terutama akar di lokasi penelitian jauh lebih tinggi dari ambang batas
yang ditetapkan, sehingga kondisi lingkungan di sekitar lokasi penelitian
mempunyai tingkat pencemaran logam berat yang telah melebihi ambang batas. Hal
ini diduga sumber polutan dari tumpahan minyak saat pengisian BBM di pelabuhan
dan sekitar pelabuhan membuat mengendap di dasar perairan sehingga terserap oleh
akar. Supriyaningrum (2006), menyatakan sumber kadmium bisa berasal dari
minyak yang tumpah di perairan..
0,3131934
0,198181
0,147234
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
S1 S2 S3
Kan
dung
an C
d A
kar
(mg/
Kg)
Titik Sampling
112
Menurut Lase dkk (2016) Limbah industri, pelayaran, dan rumah tangga
yang dibuang kedalam badan perairan akan mengendap pada sedimen dan
kemudian diserap oleh akar, yang seterusnya akan ditransfer ke bagian organ
tumbuhan lainnya. Selain menyerap logam-logam yang terdapat pada sedimen, akar
mangrove juga dapat menyerap logam berat yang terdapat pada kolom air.
Mekanisme ini secara terperinci dijelaskan oleh Hardiani (2009), dimana secara
umum tumbuhan melakukan penyerapan oleh akar, baik yang berasal dari sedimen
maupun air, kemudian terjadi translokasi kebagian tumbuhan yang lain dan
lokalisasi atau penimbunan logam pada jaringan tertentu.
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Pb menunjukkan ada satu perlakuan
yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,001).
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Pb pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey
Source DF SS MS F Psampel 2 43366 21683 25,39 0,001Error 6 5125 854Total 8 48491
S = 29,23 R-Sq = 89,43% R-Sq(adj) = 85,91%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 313,19 AS2 3 198,18 BS3 3 147,23 B
Means that do not share a letter are significantlydifferent.
113
2. Batang
a. Timbal (Pb)
Logam timbal dengan konsentrasi yang tinggi dalam perairan dapat bersifat
racun karena bioakumulatif dalam tubuh organisme air dan akan terus diakumulasi
hingga organisme tersebut tidak mampu lagi mentolerir kandungan logam berat
tersebut dalam tubuhnya (Connel dan Miller, 2006). Ekosistem perairan sangat
berbeda dengan ekosistem terestrial, ekosistem perairan disatukan oleh media air,
di mana fitoplankton menjadi produsen primer. Keberadaan fitoplankton yang
sangat melimpah tidak dapat dihilangkan dari suatu perairan. Media air menjadi
pemersatu antar wilayah, arus yang berperan penting dalam penyebaran segala
sesuatu yang terkandung di dalam. Dengan kondisi yang demikian sangat sulit
untuk memutus jalur penyebaran logam berat di alam sistem perairan.
Lingkungan tercemar logam pada ekosistem perairan dapat diremediasi
dengan fitoekstraksi menggunakan tanaman hiperakumulator. Tanaman
hiperakumulator mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi lebih dari 100
kali melebihi tanaman normal, dimana tanaman normal mengalami keracunan
logam dan penurunan produksi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan
serangkaian proses fisiologis dan biokimiawi serta ekspresi gen-gen yang
mengendalikan penyerapan, akumulasi dan toleransi tanaman terhadap logam .
Terdapat serangkaian proses fisiologis yang berperan dalam akumulasi
logam sepanjang siklus hidup tumbuhan. Proses pertama adalah interaksi rizosferik
pada zona perakaran, dimana terjadi proses pengolahan unsur-unsur di dalam tanah
dari bentuk yang tidak dapat diserap menjadi bentuk yang dapat diserap dengan
114
melibatkan sejumlah eksudat yang diproduksi akar. Tumbuhan hiperakumulator
memiliki kemampuan lebih tinggi dalam merubah logam pada zona perakaran
menjadi bentuk yang tersedia.
Mangrove merupakan salah satu tumbuhan yang mampu beradaptasi pada
lingkungan perairan baik payau maupun asin dan berperan sebagai hiperakumulator
bahan pencemar. Bakau atau mangrove adalah salah satu tanaman yang mampu
beradaptasi dengan baik dalam lingkungan air, bahkan air payau maupun asin.
Endapan yang dihanyutkan oleh air dari daratan merupakan substrat tempat tumbuh
yang sangat cocok bagi tanaman ini. Sebuah studi mengenai efek dari pembuangan
limbah pada komunitas mangrove di Darwin Australia mengatakan bahwa pohon
mangrove memiliki kapasitas tinggi untuk menerima muatan limbah tanpa
menderita kerusakan pada pertumbuhan mereka. Hutan mangrove merupakan
komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis
pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut
pantai berlumpur (Thampanya, et al., 2002).
Gambar 22. Konsentrasi timbal (Pb) pada batang
4,2903456
2,688421
2,00927
0
1
2
3
4
5
6
S1 S2 S3
Kan
dung
an P
b B
atan
g (m
g/K
g)
Titik Sampling
115
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa konsentrasi Pb pada titik
sampling 1 lebih tinggi (4,2903 mg/Kg) dibandingkan dengan titik 2 (2,6884
mg/Kg) dan titik 3 (2,0092 mg/Kg). Berdasarkan pedoman baku mutu lingkungan
menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-MEN LH
No.51/MenKLH/2004, ambang batas Pb untuk untuk biota adalah 0,008 ppm.
Dengan melihat akumulasi logam berat Pb pada tumbuhan mangrove yang tinggi
maka kondisi lingkungan perairan di lokasi penelitian menunjukkan lebih tinggi
dari ambang batas. Sampel batang tumbuhan mangrove yang diambil pada stasiun
1 menunjukkan tertinggi. Beberapa kemungkinan penyebab tingginya kadar Pb di
stasiun 1 adalah pembuangan limbah ikan dari pedagang ikan sekitar perairan,
limbah kapal dari pelabuhan Tulehu, dan antropogenik dari pemukiman warga
sekitar perairan.
Pencemaran Pb di dalam badan perairan dapat menyebabkan jumlah Pb
yang ada melebihi konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian bagi biota
perairan tersebut (Suharto, 2005). Sedangkan pada stasiun 3 mempunyai kadar Pb
batang yang terendah. Hal ini diduga stasiun 3 merupakan wilayah yang jauh dari
pelabuhan Tulehu sehingga sumber pencemar atau polutan tidak terserap di akar
mangrove yang ditranslokasikan ke batang mangrove.
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Pb menunjukkan ada satu perlakuan
yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,001).
Source DF SS MS F Psampel 2 8230714 4115357 27,10 0,001Error 6 911022 151837Total 8 9141736
S = 389,7 R-Sq = 90,03% R-Sq(adj) = 86,71%
116
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Pb pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey.
b. Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang
sangat luas di alam, logam ini bernomor atom 48 berat atom112,40 dengan titik cair
321ºC dan titik didih 765ºC. Di alam kadmium bersenyawa dengan belerang (S)
(ZnS). Kadmium merupakan logam lunak (cuctile) berwarna putih perak dan
mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (Palar, 2008). Logam berat
kadmium dapat hadir pada daerah atau lingkungan yang bermacam-macam dan ini
dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu udara, tanah dan air. Kadmium yang terdapat
dalam airkebanyakan juga berbentuk ion. Kadmiumdalam air laut berbentuk
senyawa klorida(CdCl2), sedangkan dalam air tawar berbentuk karbonat (CdCO3).
Pada air payau, yang biasanya terdapat di muara sungai, kedua senyawa tersebut
jumlahnya berimbang.
Mangrove mempunyai peranan yang sangat penting dalam menopang
kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang
unik, karena berada pada daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Vegetasi
mangrove yang banyak tumbuh di wilayah perairan pesisir merupakan bagian dari
ekosistem pesisir yang memiliki tingkat produktivitas paling tinggi dibandingkan
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 4290,3 AS2 3 2688,4 BS3 3 2009,3 B
Means that do not share a letter are significantly different
117
ekosistem pesisir lainnya. Keberadaan ekosistem mangrove di kawasan perairan
pesisir menjadi sangat penting karena vegetasi mangrove mempunyai kemampuan
mengakumulasi logam berat dan membantu mengurangi tingkat konsentrasi bahan
pencemar di air (Purwiyanto, 2013).
Parversh et al (2010) menyebutkan bahwa selain dapat terakumulasi dalam
sedimen, logam berat juga dapat terakumulasi dalam struktur mangrove. Silva et al
(1990) dalam Ulqodry (2001) juga menjelaskan lebih lanjut bahwa ekosistem
mangrove juga memegang peranan penting sebagai polutant trap untuk berbagai
unsur logam dan nutrien, baik yang berasal dari darat maupun laut.
Gambar 23 Konsentrasi kadmium (Cd) pada batang
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa konsentrasi Cd pada titik
sampling 1 lebih tinggi (0,5970 mg/Kg) dibandingkan dengan titik 2 (0,3862
mg/Kg) dan titik 3 (0,2851 mg/Kg). Berdasarkan pedoman baku mutu lingkungan
menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-MEN LH
No.51/MenKLH/2004, ambang batas Cd untuk untuk biota adalah 0,001 ppm.
0,5970404
0,386274
0,285158
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
S1 S2 S3
Kan
dung
an C
d B
atan
g (m
g/K
g)
Titik Sampling
118
Akumulasi logam berat Cd di semua titik lokasi penelitian menunjukkan
telah melebihi ambang batas. Hal ini diperkirakan kandungan Cd yang terakumulasi
di dalam perairan yang cukup tinggi karena aktivitas pelayaran dan kegiatan
antropogenik di wilayah pesisir Tulehu. Kapal yang tidak beroperasi dan pengisian
bahan bakar di sekitar titik lokasi penelitian menambah kandungan logam yang
berlebih di perairan. Sifat kadmium yang mudah bereaksi akan membentuk
kompleks dengan senyawa organik dan anorganik menyebabkan pencemaran
terutama biota air seperti mangrove.
Laws (1981) dalam Tatang (2018) melaporkan bahwa semakin tinggi
kandungan logam Cd dalam perairan, umumnya semakin banyak terakumulasi pada
tubuh organisme air. Dengan demikian kemungkinan terjadinya keracunan
terhadap organisme air yang bersangkutan maupun kerusakan lingkungan adalah
semakin besar. Lebih lanjut dikatakan Cadmium yang ada di dalam tanah dapat
berasal dari alam dan antropogenik. Cadmium dapat masuk kebdalam tanah karena
adanya proses pelarutan batuan induk seperti batuan glasial dan alluvial. Manusia
juga berkontribusi dalam proses masuknya cadmium ke dalam lingkungan seperti
aktivitas manusia berupa pelayaran oleh kapal penyeberangan di pelabuhan yang
baik secara langsung maupun tidak langsung akan berkontibusi pada melimpahnya
logam berat di perairan. Cadmium yang ada didalam mengendap dalam tanah akan
lebih lama terbawa atau terdistribusi dibandingkan cadmium yang ada pada udara
dan air. Logam Cd kemungkinan dapat dibawa keseluruh bagian tanaman biasanya
akumulasi dapat ditemukan apada bagian akar karena akar merupakan gerbang awal
masuknya zat-zat kimia. Zat- zat yang akan masuk kedalam tubuh tumbuhan akan
119
terseleksi begitu juga dengan logam Cd dan akan ditranslokasikan ke batang dan
bagian tumbuhan yang lain.
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Cd menunjukkan ada satu perlakuan
yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,001).
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Cd pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey.
2. Daun
a. Timbal (Pb)
Daun merupakan struktur pokok tumbuhan yang penting. Daun mempunyai
fungsi antara lain sebagai resopsi (pemecahan), mengolah makanan melalui
fotosintesis, serta sebagai alat transpirasi (penguapan air) dan respirasi. Setiap jenis
tumbuhan pesisir seperti mangrove memiliki kemampuan adaptasi yangberbeda-
beda terhadap kondisi lingkungan termasuk kemampuannya terhadap kondisi yang
tercemar (Kariada, 2014). Tumbuhan mangrove tumbuh di daerah peralihan antara
ekosistem darat dan ekosistem laut yang memiliki tekanan yang tinggi terhadap
berbagai jenis polutan, baik yang berasal dari laut maupun yang berasal dari darat
Source DF SS MS F Psampel 2 151918 75959 23,88 0,001Error 6 19082 3180Total 8 171000
S = 56,40 R-Sq = 88,84% R-Sq(adj) = 85,12%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 597,04 AS2 3 386,27 BS3 3 285,16 B
Means that do not share a letter are significantly different.
120
oleh sungai yang bermuaran di laut. Mangrove yang tumbuh di wilayah pesisir dan
muara suangai merupakan tempat penampungan bagi limbah-limbah yang terbawa
aliran arus. Mangrove memiliki kemampuan menyerap bahan-bahan organik dan
non organik dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel
(Kamaruzzaman et al, 2008).
Pohon mangrove ini memiliki upaya penanggulangan materi toksik lain
diantaranya dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu
dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam
jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Setiawan (2013)
dalam penelitiannya melaporkan bahwa daun mangrove mengakumulasi logam
berat sebesar 5,9 ppm, sedangkan Lase (2016) melaporkan bahwa mangrove
Avicenna marina mengakumulai logam Pb sebesar 2,10 ppm pada jaringan
daunnya.
Gambar 24. Konsentrasi timbal (Pb) pada daun
1,00867910,956192
0,473816
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
S1 S2 S3
Kan
dung
an P
b D
aun
(mg/
Kg)
Titik Sampling
121
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa konsentrasi Pb pada titik
sampling 1 lebih tinggi (1,0086 mg/Kg) dibandingkan dengan titik 2 (0,9561
mg/Kg) dan titik 3 (0,4738 mg/Kg). Berdasarkan pedoman baku mutu lingkungan
menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-MEN LH
No.51/MenKLH/2004, ambang batas Pb untuk untuk biota adalah 0,3 mg/Kg.
Kandungan logam berat timbal pada daun yang diperoleh dari lokasi
penelitian telah melewati batas baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Daun
adalah bagian dari tumbuhan mangrove dimana merupakan jaringan dengan tingkat
akumulasi logam berat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ranting.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena tingkat mobilitasi logam berat yang tinggi
dan jaringan daun sebagai tempat penimbunan logam berat sebelum dilepas ke
lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaney et al (1998) dalam Setiawan
(2013) bahwa logam berat akan terdistribusi ke seluruh jaringan tanaman sampai
daun, melalui proses uptake pada akar, ditahan pada jaringan, dan dilepas ke
lingkungan melalui pelepasan daun.
Pada stasiun 1 menunjukkan kandungan logam Pb pada daun yang tertinggi.
Daun mangrove di stasiun ini dimungkinkan menyimpan translokasi penyerapan
kontaminan seperti logam berat Pb yang telah terserap oleh akar. Penyerapan dan
akumulai logam berat oleh tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga proses, yaitu
penyerapan logam oleh akar, translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain,
dan lokalisasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat
metabolisme tumbuhan tersebut. Dalam penelitian Sunarya, dkk (1991) menunjuk-
kan bahwa tumbuhan dapat mengakumulasi Pb pada daun dan kulit batangnya.
122
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Pb menunjukkan ada satu perlakuan
yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,001).
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Cd pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey.
b. Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang
sangat luas dialam, logam ini bernomor atom 48 beratatom112,40 dengan titik cair
321ºC dan titikdidih 765ºC. Di alam kadmium bersenyawa dengan belerang (S)
(ZnS). Kadmium merupakan logam lunak (cuctile) berwarnaputih perak dan mudah
teroksidasi oleh udarabebas dan gas ammonia (Palar,2008). Secara sederhana dapat
diketahui bahwakandungan logam kadmium (Cd) akandapatdijumpai di daerah-
daerah penimbunansampah dan aliran air hujan, selain dalam air buangan.
Kadmium dan senyawa oksidanyamerupakan bentuk senyawa Cd yang
palingbanyak ditemukan di udara.
Bentuk senyawa kadmium dan oksidanya tersebut merupakansenyawa
kadmium yang paling toksik, begitu juga bentuk kloridanya (CdCl2) yang biasanya
Source DF SS MS F Psampel 2 450662 225331 28,57 0,001Error 6 47324 7887Total 8 497985
S = 88,81 R-Sq = 90,50% R-Sq(adj) = 87,33%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 1008,68 AS2 3 637,46 BS3 3 473,82 B
Means that do not share a letter are significantly different.
123
dibebasakan dari pembakaran sampah. Kadmium yang terdapat dalam air
kebanyakan juga berbentuk ion. Kadmium dalam air laut berbentuk senyawa
klorida (CdCl2), sedangkan dalamair tawar berbentuk karbonat (CdCo3). Pada air
payau, yang biasanya terdapat dimuara sungai, keduasenyawa tersebut jumlahnya
berimbang. Pada suatu daerahyang sudah tercemar Cd, logam tersebutterserap oleh
tanaman dalam bentuk ion dari dalam tanah melalui akarnya dandidistribusikan
dalam bagian tanaman. Jumlahion Cd yang diserap oleh tanaman dipengaruhioleh
faktor pH tanah, kandungan mineral lain,pemupukan. Jika tanaman tersebut
dikonsumsioleh manusia, maka ion kadmium tersebutakan masuk ke dalam tubuh
manusia (Darmono, 2008).
Penyerapan Cd dari tanah oleh tanaman dipengaruhi oleh total pemasukan
Cd dalam tanah, pH tanah, kandungan Zn, jenis tanaman dan kultivar. Penyerapan
Cd akan tinggi pada pH rendah dan menurun pada pH tinggi. Kandungan seng (Zn)
yang tinggi dapatmengurangi penyerapan Cd. Jika Cd telahmemasuki rantai
makanan, maka padaakhirnya akan terakumulasi pada konsumen tingkat tinggi
yaitu hewan dan manusia. Kadmium sangat membahayakan kesehatan karena
pengaruh racun akut dari unsur tersebut sangat buruk (Lin. et al.,2012). Logam
kadmium akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam
organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia).
124
Gambar 25. Konsentrasi kadmium (Cd) pada daun
Berdasarkan gambar di atas menunjukkan bahwa konsentrasi Pb pada titik
sampling 1 lebih tinggi (0,1926 mg/Kg) dibandingkan dengan titik 2 (0,1205
mg/Kg) dan titik 3 (0,0909 mg/Kg). Berdasarkan pedoman baku mutu lingkungan
menurut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: KEP-MEN LH
No.51/MenKLH/2004, ambang batas Pb untuk untuk biota adalah 0,001 mg/Kg.
Kandungan logam berat kadmium (Cd) yang ada di semua lokasi penelitian
telah melebihi ambang batas yang ditetapkan. Dalam tubuh biota perairan jumlah
logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan. Di samping itu,
tingkatan biota dalam sistem rantai makanan turut menentukan jumlah Cd yang
terakumulasi. Di mana pada biota yang lebih tinggi stratanya akan ditemukan
akumulasi Cd yang lebih banyak,sedangkan pada biota top level merupakan tempat
akumulasi paling besar. Bila jumlah Cd yang masuk tersebut melebihi ambang
maka biota dari suatu level atau strata tersebut akan mengalami kematian dan
bahkan kemusnahan (Nowrouzi, et. al., 2012).
0,1926109
0,120596
0,090922
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
S1 S2 S3
Kan
dung
an C
d D
aun
(mg/
Kg)
Ttitik Sampling
125
Tumbuhan menyerap elemenn darilingkungannya. Dalam penyerapan zat
tersebut tumbuhan menunjukkan selektivitas namun kadang tumbuhan menyerap
elemen yang sesungguhnya tidak diperlukan. Masuknya zat ke dalam jaringan
tumbuhan dapat melalui daun (stomata) atau akar. Pada akar, zat masuk ke dalam
sel dengan cara difusi baik difusi aktif maupun difusi pasif (Taiz, 2010).
Penyerapan aktif dilakukan melalui membran yang tidak permeabel dan
memerlukan perantaraan senyawa yang disebut “carrier”(pembawa) yang terdapat
dalam membran. .Membran sel merupakan perintang bagi ion-ion yang akan
melintasinya sehingga untuk keperluan penyerapan ion oleh sel tumbuhan, peranan
pembawa sangat penting. Agar ion dapat masuk ke dalam sel yang konsentrasi
ionnya lebih tinggi diperlukan sejumlah energi atau ATP. Pada penyerapan pasif
berlangsung pertukaran ion, jadi proses penyerapan zat pada penyerapan pasif
merupakan penyerapan yang non metabolik. Ion-ion yang diserap pada permukaan
dinding sel dapat bertukar denganion-ion dari larutan luarnya. Sebagai
contohkation K+ dari larutan luar dapat dipertukarkandengan ion-ion H+ yang
diserap padapermukaan membran dengan cara osmotik tidak aktif (Russell et. al.,
2012).
Berdasarkan uji ANOVA kandungan Cd menunjukkan ada satu perlakuan
yang berbeda di setiap titik sampling (P=0,001).
Source DF SS MS F Psampel 2 16407 8204 29,54 0,001Error 6 1666 278Total 8 18074
S = 16,67 R-Sq = 90,78% R-Sq(adj) = 87,71%
126
Untuk mengetahui perbedaan kandungan Cd pada masing-masing titik
sampling menggunakan uji Tukey.
E. Hubungan Faktor Fisik-Kimia (suhu, salinitas dan pH) denganbioakumulasi logam berat Pb dan Cd pada akar, batang dan daunmangrove
Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan pesisir yang dapat
mengakumulasi logam berat di wilayah perairan. Pengaruh polutan terhadap
tumbuhan berbeda tergantung pada macam polutan, konsentrasinya, dan lamanya
polutan itu berada. Terserapnya dan tertahannya logam berat oleh lapisan rhizosfer
disekitar akar akan menyebabkan terjadinya penurunan tajam konsentrasi logam
berat pada permukaan atas lapisan sedimen dan mencegah perpindahan ke perairan
pantai disekitarnya. Mangrove mampu menanggulangi materi toksik diantaranya
dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan
menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam
jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut.
Logam berat yang ada di lingkungan, tanah, air dan udara dengan suatu
mekanisme tertentu masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Mangrove merupakan
produsen pesisir yang menjadi mediator penyebaran logam berat pada makhluk
hidup yang lain, menyerap logam berat melalui akar dan daun (stomata). Logam
berat terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar, yang selanjutnya akan
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 192,61 AS2 3 120,60 BS3 3 90,92 B
Means that do not share a letter are significantly different.
127
masuk ke dalam siklus rantai makanan (Alloway, 1990 dalam Darmono, 2005).
Bagian tanaman mangrove (akar, batang, daun) dan sedimen yang dianalisis untuk
menemukan adanya akumulasi logam. Dari analisis logam berat dalam Avicennia
marina menunjukkan hasil bahwa akumulasi dari semua logam berat (kecuali Cd)
dalam jaringan akar lebih tinggi dibandingkan dengan batang, daun dan sedimen
sekitarnya (Kumar et al.,2011). Namun demikian kondisi lingkungan sangat
mengakumulasi penyerapan logam berat ke dalam tanaman. Faktor lingkungan
(suhu, intensitas cahaya dan salinitas) mempengaruhi pertumbuhan dan sebaran
mangrove serta proses akumulasi logam berat terkait dengan peran mangrove
sebagai penyerap limbah pesisir.
Hasil penelitian menunjukkan perbandingan rata-rata faktor lingkungan
(suhu, intensitas cahaya dan salinitas) di titik lokasi penelitian menunjukkan
fluktuasi dengan perbedaan yang tidak terlalu jauh (Gambar 26).
Gambar 26. Perbandingan rata-rata suhu udara (0C) di lokasi penelitian
25,52626,52727,52828,52929,530
TS1 TS2 TS3
30
27
30
Suhu
(C
)
128
Gambar 27. Perbandingan rata-rata Dearajat Keasaman (pH) di lokasi penelitian
Gambar 28. Perbandingan rata-rata Salinitas di lokasi penelitian
Pengujian hubungan antara faktor lingkungan terhadap kandungan logam
berat pada organ mangrove (akar, batang dan daun) dilakukan menggunakan
regresi. Uji hipotesis menunjukkan H0 ditolak yang berarti bahwa terdapat
hubungan yang signifikan terhadap kandungan logam berat pada mangrove.
5,4
5,6
5,8
6
6,2
6,4
6,6
6,8
7
TS1 TS2 TS3
7 7
6
Dea
raja
d K
easa
man
(pH
)
27
27,5
28
28,5
29
29,5
30
TS1 TS2 TS3
30 30
28
Salin
itas (
‰)
129
Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Kandungan Logam Berat (Pb danCd) pada Akar Mangrove
a. ( Timbal) Pb
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh
(P<0,05) terhadap kandungan logam berat Pb pada akar mangrove.
Data hasil penelitian di atas menyatakan bahwa faktor lingkungan termasuk
suhu, salinitas dan pH mempengaruhi penyerapan logam berat Pb oleh akar.
Pengujian keterdapatan hubungan faktor lingkungan dengan akumulasi logam berat
Pb di akar dianalisis menggunakan analisis korelasi.
Keterdapatan hubungan keduanya ditunjukkan dengan nilai R- Adjusted R-
Square sebesar 73,1% dalam mempengaruhi penyerapan logam berat Pb oleh akar
mangrove sedangkan sisanya 26,9% dipengaruhi oleh faktor lain. Kemampuan akar
mangrove dalam mengakumulasi dan mengikat logam merupakan salah satu fungsi
ekosistem mangrove. Sejalan dengan hasil penelitian Kr’bek et al, (2011); Kumar
et.al (2011); Gautier et al., (2001) menunjukkan bahwa mangrove mempunyai
peran sebagai bioakumulator logam berat yang baik. Kumar et al., (2011)
menggunakan bagian tanaman mangrove (akar, batang, daun) dan sedimen yang
dianalisis untuk menemukan adanya akumulasi.
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 2.6555 0.8852 8.26 0.022Residual Error 5 0.5357 0.1071Total 8 3.1912
Predictor Coef SE Coef T PConstant -16.106 5.436 -2.96 0.031suhu 0.31743 0.09723 3.26 0.022pH 1.2938 0.4266 3.03 0.029Salinitas -0.0004 0.2004 -0.00 0.999
S = 0.327320 R-Sq = 83.2% R-Sq(adj) = 73.1%
130
Peningkatan ini menunjukkan adanya kemampuan akar dalam
mengakumulasi logam dari sedimen tempat hidupnya. Logam cenderung
terakumulasi dalam akar sama dengan konsentrasi yang ada pada sedimen yang
berdekatan (MacFarlane et al., 2003; 2007 ). MacFarlane et al., (2003; 2007),
menemukan adanya hubungan linier yang kuat terdapat pada semua logam dalam
sedimen dengan logam dalam jaringan tumbuhan mangrove (akar). Hal ini
menunjukkan adanya toleransi dan kapasitas untuk mengakumulasi metaloid dan
logam yang memiliki konsep remediasi pada tanah yang terkontaminasi, yang
merupakan proses fitoremediasi atau lebih tepatnya phytoextraction (Wenzel et al.,
1999; Tu et al., 2002 dalam Kr’bek et al., 2011).
b. Cd (Cadmium)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh
(P<0,05) terhadap kandungan logam berat Cd pada akar mangrove.
Data hasil penelitian di atas menyatakan bahwa faktor lingkungan termasuk
suhu, salinitas dan pH mempengaruhi penyerapan logam berat Cd oleh akar.
Pengujian keterdapatan hubungan faktor lingkungan dengan akumulasi logam berat
Cd di akar dianalisis menggunakan analisis korelasi.
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 0.040629 0.013543 8.61 0.020Residual Error 5 0.007861 0.001572Total 8 0.048491
Predictor Coef SE Coef T PConstant -1.9790 0.6585 -3.01 0.030suhu 0.03885 0.01178 3.30 0.022pH 0.16032 0.05168 3.10 0.027Salinitas -0.00004 0.02428 -0.00 0.999
S = 0.0396522 R-Sq = 83.8% R-Sq(adj) = 74.1%
131
Hubungan antara faktor lingkungan terhadap kandungan logam berat Cd
pada akar menunjukkan korelasi yang tinggi yakni nilai R- Adjusted R-Square
sebesar 83,8 % dalam mempengaruhi penyerapan logam berat oleh akar mangrove
sedangkan sisanya 16,2% dipengaruhi oleh faktor lain. Daerah yang sudah tercemar
Cd, logam tersebut terserap oleh tanaman dalam bentuk ion dari dalam tanah
melalui akarnya dan didistribusikan dalam bagian tanaman (Darmono, 2008).
Masuknya zat ke dalam jaringan tumbuhan dapat melalui daun (stomata) atau akar.
Pada akar, zat masuk ke dalam sel dengan cara difusi baik difusi aktif maupun difusi
pasif (Taiz, 2010). Kandungan logam berat yang tinggi dalam ekosistem mangrove
terutama disebabkan adanya input dari antropogenik, termasuk limbah domestik,
industri dan pertanian, baik dari pembuangan air pasang atau masukkan air tawar
dari darat (sungai) (Tam and Wong, 2000;Obasohan, 2008;Collen et al., 2011).
Kandungan logam berat umumnya semakin menurun jika daerahnya berada
jauh dari sumber pencemar. Jumlah logam berat yang diambil tanaman dari dalam
tanah ditentukan oleh ketersediaan bahan polutan jenis tanamannya. Semakin
banyak kandungan polutan tersebut di dalam tanah semakin mudah diserap oleh
akar tanaman (Greenland dan Hayes,1981 dalam Heriyanto, 2011). Clark et al.,
(1998) dalam Kumar et al (2011); Gautier et al., (2001) mengatakan, ekosistem
mangrove memainkan peran penting sebagai filter dan pengendalian polusi alami
karena kekhasan sistem akarnya yang berhasil mengendalikan kualitas air dan
merupakan perangkap sedimen serta partikel yang diangkut oleh arus ke lautan dari
muara. Hal ini diperkuat oleh pendapat MacFarlane et al., (2007) yang mengatakan,
bahwa ekosistem mangrove yang paling berperan sebagai phytostabilisers,
132
berpotensi membantu dalam retensi logam beracun dan dengandemikian
mengurangi transportasi ke muara yang berdekatan dan sistem ke perairan laut.
Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Kandungan Logam Berat (Pb danCd) pada Batang Mangrove
a. ( Timbal) Pb
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh
(P<0,05) terhadap kandungan logam berat Pb pada batang mangrove.
Data hasil penelitian di atas menyatakan bahwa faktor lingkungan termasuk
suhu, salinitas dan pH mempengaruhi penyerapan logam berat Pb oleh batang.
Pengujian keterdapatan hubungan faktor lingkungan dengan akumulasi logam berat
Pb pada batang dianalisis menggunakan analisis korelasi.
Hubungan antara faktor lingkungan terhadap kandungan logam berat Pb
pada batang menunjukkan korelasi yang tinggi yakni nilai R- Adjusted R-Square
sebesar 83,9 % dalam mempengaruhi penyerapan logam berat oleh batang
mangrove sedangkan sisanya 16,1% dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor
lingkungan suhu dan pH berpengaruh dengan p-value < 0,05 terhadap kandungan
logam berat pada daun namun salinitas tidak berpengaruh secara statistik.
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 7.6716 2.5572 8.70 0.020Residual Error 5 1.4701 0.2940Total 8 9.1417
Predictor Coef SE Coef T PConstant -27.373 9.005 -3.04 0.029suhu 0.5388 0.1611 3.35 0.020pH 2.1960 0.7067 3.11 0.027Salinitas 0.0015 0.3321 0.00 0.997
S = 0.542237 R-Sq = 83.9% R-Sq(adj) = 74.3%
133
Mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tanaman menurut
Priyanto dan Prayitno (2007) dapat dibagi menjadi tiga proses yang
berkesinambungan, yaitu :1. Penyerapan oleh akar. Agar tanaman dapat menyerap
logam, maka logam harus dibawa ke dalam larutan di sekitar akar dengan beberapa
cara bergantung pada spesies tanaman. Senyawa-senyawa yang larut dalam air
biasanya diambil oleh akar bersama air, sedangkan senyawa-senyawa hidrofobik
diserap oleh permukaan akar. 2. Translokasi logam dari akar ke bagian tanaman
lain. Setelah logam menembus endodermis akar, logam atau senyawa asing lain
mengikuti aliran transpirasi ke bagian atas tanaman melalui jaringan pengangkut
(xilem dan floem) ke bagian tanaman lainnya. 3. Lokalisasi logam pada sel dan
jaringan. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar logam tidak menghambat
metabolisme tanaman. Sebagai upaya untuk mencegah peracunan logam terhadap
sel, tanaman mempunyai mekanisme detoksifikasi, misalnya dengan menimbun
logam di dalam organ tertentu seperti akar.
b. Cd (Cadmium)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh
(P<0,05) terhadap kandungan logam berat Cd pada batang mangrove.
Data hasil penelitian di atas menyatakan bahwa faktor lingkungan termasuk
suhu, salinitas dan pH mempengaruhi penyerapan logam berat Cd oleh batang.
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 0.040629 0.013543 8.61 0.020Residual Error 5 0.007861 0.001572Total 8 0.048491
134
Pengujian keterdapatan hubungan faktor lingkungan dengan akumulasi
logam berat Cd pada batang dianalisis menggunakan analisis korelasi.
Hubungan antara faktor lingkungan terhadap kandungan logam berat Cd
pada batang menunjukkan korelasi yang tinggi yakni nilai R- Adjusted R-Square
sebesar 83,0 % dalam mempengaruhi penyerapan logam berat oleh batang
mangrove sedangkan sisanya 17,0% dipengaruhi oleh faktor lain.
Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Kandungan Logam Berat (Pb danCd) pada Daun Mangrove
a. Pb ( Timbal)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh
(P<0,05) terhadap kandungan logam berat Pb pada daun mangrove.
Data hasil penelitian di atas menyatakan bahwa faktor lingkungan termasuk
suhu, salinitas dan pH mempengaruhi penyerapan logam berat Pb oleh daun.
Pengujian keterdapatan hubungan faktor lingkungan dengan akumulasi logam berat
Pb pada daun dianalisis menggunakan analisis korelasi.
Predictor Coef SE Coef T PConstant -3.680 1.268 -2.90 0.034suhu 0.07065 0.02267 3.12 0.026pH 0.29692 0.09949 2.98 0.031Salinitas 0.00227 0.04675 0.05 0.963
S = 0.0763348 R-Sq = 83.0% R-Sq(adj) = 72.7%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 0.42083 0.14028 9.09 0.018Residual Error 5 0.07716 0.01543Total 8 0.49799
Predictor Coef SE Coef T PConstant -6.495 2.063 -3.15 0.025suhu 0.12488 0.03690 3.38 0.020pH 0.5042 0.1619 3.11 0.026Salinitas 0.00695 0.07607 0.09 0.931
S = 0.124225 R-Sq = 84.5% R-Sq(adj) = 75.2%
135
Hubungan antara faktor lingkungan terhadap kandungan logam berat Pb
pada daun menunjukkan korelasi yang tinggi yakni nilai R- Adjusted R-Square
sebesar 84,5 % dalam mempengaruhi penyerapan logam berat oleh batang
mangrove sedangkan sisanya 15,5% dipengaruhi oleh faktor lain. Suhu air
mempunyai peranan penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota
air namun demikian juga kenaikan suhu perairan juga dapat meningkatkan
toksisitas logam berat di perairan (Sarjono, 2009). Kusumastanto (2004)
mengatakan dari sejumlah penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
konsentrasi logam berat terakumulasi dengan bertambahnya atau meningkatnya
suhu lingkungan, yang berakibat partikel logam berat bergerak lebih cepat sehingga
lebih cepat terakumulasi. Demikian juga untuk pH baik air maupun sedimen
berpengaruh terhadap akumulasi logam berat pada akar. Connell dan Miller (1995)
menyatakan bahwa kenaikan pH di perairan akan didikuti dengan kelarutan logam
berat sehingga logam berat cenderung mengendap.
Disamping itu, mangrove memiliki kemampuan penanggulangan toksik,
diantaranya dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu
dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam
jaringan tubuhnya sehingga dapat mengurangi toksisitas logam tersebut. Adanya
pengenceran dengan penyimpanan air di dalam jaringan biasanya terjadi pada daun
dan diikuti dengan terjadinya penebalan daun (sukulensi). Ekskresi juga merupakan
upaya yang mungkin terjadi, yaitu dengan menyimpan materi toksik logam berat di
dalam jaringan yang sudah tua seperti daun yang sudah tua dan kulit batang yang
136
mudah mengelupas, sehingga dapat mengurangi konsentrasi logam berat di dalam
tubuhnya (Mulyadi et al., 2009).
b. Cd ( Kadmium)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan berpengaruh
(P<0,05) terhadap kandungan logam berat Cd pada daun mangrove.
Data hasil penelitian di atas menyatakan bahwa faktor lingkungan termasuk
suhu, salinitas dan pH mempengaruhi penyerapan logam berat Cd oleh daun.
Pengujian keterdapatan hubungan faktor lingkungan dengan akumulasi logam berat
Pb pada daun dianalisis menggunakan analisis korelasi.
Hubungan antara faktor lingkungan terhadap kandungan logam berat Cd
pada daun menunjukkan korelasi yang tinggi yakni nilai R- Adjusted R-Square
sebesar 84,9 % dalam mempengaruhi penyerapan logam berat oleh batang
mangrove sedangkan sisanya 15,1% dipengaruhi oleh faktor lain. Suhu
mempengaruhi proses fotosintensis tanaman, semakin tinggu suhu laju fotosintesis
semakin tinggi. Demikian juga perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk
terhadap kehidupan biota laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada
perairan tertentu biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai
pH sekitar 7-8,5. Palar (2004) menyatakan bahwa toksisitas dari logam berat akan
meningkat bila terjadi penurunan pH.
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 0.0153431 0.0051144 9.37 0.017Residual Error 5 0.0027305 0.0005461Total 8 0.0180736
Predictor Coef SE Coef T PConstant -1.2508 0.3881 -3.22 0.023suhu 0.024334 0.006942 3.51 0.017pH 0.09604 0.03046 3.15 0.025Salinitas 0.00125 0.01431 0.09 0.934
S = 0.0233687 R-Sq = 84.9% R-Sq(adj) = 75.8%
137
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
1. Kandungan rata-rata logam berat timbal (Pb) dalam air 0,005314 mg/L dan
konsentrasi kadmium (Cd) 0,001725 mg/L. Kondisi ini menyatakan telah
melampaui baku mutu sesuai KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Kandungan rata-rata logam berat timbal (Pb)
dalam sedimen 5,410396 mg/kg dan melampaui baku mutu sedangkan
kandungan rata-rata logam berat kadmium (Cd) adalah 0,891676 mg/kg
masih memenuhi baku mutu sesuai standar CCME 2002.
2. Kandungan rata-rata logam berat timbal (Pb) pada akar 1,748911 mg/Kg,
batang 2,996012 mg/kg dan daun 0,812896 mg/Kg. Kandungan rata-rata
logam berat kadmium (Cd) adalah pada akar 0,219536 mg/Kg, batang
0,422824 mg/Kg dan daun 0,13471 mg/Kg
3. Hubungan faktor fisik-kimia dengan logam berat Pb pada akar adalah tinggi
dengan nilai R- Adjusted R-Square sebesar 73,1% dan Cd menunjukkan nilai
R- Adjusted R-Square sebesar 83,8 %. Hubungan faktor fisik-kimia dengan
logam berat Pb pada batang menunjukkan korelasi yang tinggi dengan nilai
R- Adjusted R-Square sebesar 83,9 % dan Cd dengan nilai R- Adjusted R-
Square sebesar 83,0 %. Hubungan faktor fisik-kimia dengan logam berat Pb
pada daun menunjukkan korelasi yang tinggi dengan nilai R- Adjusted R-
138
Square sebesar 84,5 % dan Cd dengan nilai R- Adjusted R-Square sebesar
84,9 %
B. Saran
1. Kandungan logam berat dalam air, sedimen dan organ tanaman akuatik seperti
mangrove sangat berbahaya dan dapat menurunkan kualitas perairan dan
mempengaruhi ekosistem perairan karena sifatnya yang mudah terakumulasi
dalam organisme akuatik dan sangat toksik, serta bersifat karsinogenik,
teratogenik dan mutagenik sehingga disarankan untuk mencegah dan
menghilangkan sumber pencemar dari lingkungan perairan yang
terkontaminasi/tercemar logam berat khususnya timbal (Pb) dan kadmium
(Cd)..
2. Perlu dilakukan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat
dan stakeholder pengambil kebijakan untuk memperhatikan jaminan
kesehatan ekosistem perairan dalam rangka perluasan pelabuhan, kegiatan
antropogenik di sekitar perairan untuk memperhatikan dan menjaga
kebersihan lingkungan pelabuhan.
3. Perlu dilakukan penelitian lain untuk menilai akumulasi logam berat dalam
air, sedimen maupun biota di Perairan Tulehu dengan menggunakan objek
yang lain misalnya biota air seperti ikan dengan menggunakan rentang waktu
misalnya antara musim hujan dan musim kemarau.
139
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, T. 2010. Kontaminasi Logam Berat Pada Makanan dan Dampaknya BagiKesehatan. Teknubuga 2(2) : 53-65
Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. IUCN. Bangkok :IUCN
Alim, D.H. 2014. Konsentrasi Logam Berat Timbal (Pb) pada Air, Sedimen, danRumput Laut Sargassum polycystum di Perairan Pulau Pari, KepulauanSeribu. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan danIlmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Allen, H.E; Garrison, A.W and Luther III G.W. 1998 Industrial discharges ofMetals to Waters, Metals in Surface Waters. Sleeping Bear Press Inc. AnnArbor Press. Michigan USA 262p
AMAP 1998. Assessment report: Arctic pollution issues. Arctic Monitoring andAssessment Programme, Oslo.
Anwar,D. 1996. Kandungan Logam Berat Cu dan Hg dalam Eritrosit WargaKenjeran, Fakultas Pasc Sarjana, Universitas Airlangga
Arsad, M, Said,I, Suherman. 2012. Akumulasi Logam Timbal (Pb) dalam IkanBelanak (Liza melinoptera) yang Hidup di Muara Poboya. Jurnal AkademikaKimia Volume 1, No. 4, 2012: 187-192 November 2012 ISSN 2302-6030.Pendidikan Kimia/FKIP - University of Tadulako, Palu - Indonesia 94118
Arisandi, P. 2008. Bioakumulasi Logam Berat dalam Pohon Bakau ( ) dan PohonApi-Api ( ). http://tech.group. yahoo.com/ burung pemangsa_Indonesia.Diakses tanggal 25Agustus 2019,jam10.30WIT
Arisandy K.R. 2012. Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) dan Gambaran Histologipada Jaringan Avicennia marina (forsk) Vierh di Perairan Pantai JawaTimur. Universitas Brawijaya. Malang
Atifa,N. 2004. Kenakeragaman dan Struktur Komunitas Mangrovedi Pantai DesaTulehu Desa Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. Tesis.Universitas Airlangga Surabaya
Balachandran, K. K., Lalu Raj, C. M., Nair, M., Joseph,T., Sheeba, P. & Venugopal,P. (2005). Heavy metal accumulation in a flow restricted, tropical estuary.Estuarine, Coastal and Shelf Science, 65, 361–370.
140
Barus, B.H. 2017. Analisis Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) dan Merkuri(Hg) pada Air dan Sedimen di Perairan Muara Sungai Banyuasin. MaspariJournal. Januari 2017, 9(1):69-76
Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan EkosistemMangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut PertanianBogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2002. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PusatKajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 58 hal.
Bengen, D.G. 2004. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat KajianSumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.
Bengen, D.G. 2008, Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut SertaPrinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan LautanInstitut Pertanian Bogor
Brass, G. M., & Strauss, W. (1981). Air Pollution Control Part IV. New York: JohnWilley&sons Inc.
Briggs, G.G., Bromilow, R.H., Evans, A.A. 1982. Relationships betweenlipophilicity and root uptake and translocation of non-ionized chemicals bybarley. Pestic. Sci. 13: 405-504.
Bryan, G. W. 1976.Some aspects heavy metal tolerance in aquatic organism.In: A.P. M. LOCKWOOD (ed.) Effects of polltitants on aquatic organism.Combridge.
Bryan GW. 1976. Heavy metal contamination in the sea. In: Johnston R (Editor).Marine pollution. Academic Press. London. p. 185-302.
Chaney RL., Bromilow, RH., Evans, A.A, 1982. Soil-Root Interface:Food ChainContamination and Ecosystem Health. Madison WI: Soil Sci Soc Am 3:9-11
Clark, R.B.2003.Marine Pollution. Oxford University Press. New York
Collen, John D.; Jane E. Atkinson; and John E. Patterson. 2011. Trace MetalPartitioning in a Nearshore Tropical Environment: Geochemistry ofCarbonate Reef Flats Adjacent to Suva Harbor, Fiji Islands. Pacific Science65 (1) :95–107
Connell, D.W., G. J. Miller, 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran(terjemahan Yanti Koestoer), Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),Jakarta,
141
Connell W, Miller G .2006. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. (diterjemahkanoleh Yanti Koestoer dan Sahati). UI Press, Jakarta. p. 366–369.
Cooper, J. A. G., A. E. L, Ramm. and T. D, Harrison. 1995. The Estuarine HealthIndex: A new approach to scientific information transfer. Ocean and CoastalManagement. 25:103-141.
Croteau, M., S.N. Luoma, and R.A. Stewart. 2005. Metal Tropic Transfer on FreshWater Food-web: Biomagnification of Cadmium. Journal of LimnologyOceanography.50 (5): 1511-1519
Csuros,M and Csuros,C.2002. sample Collection for metal Analysis,Environemental Sampling And Anlysis for Metals. Lewis Publisher. A CRCPress Company. Boca Raton. 371p
Darmono. 1995. Logam dalam sistem biologi makhluk hidup. Jakarta: UI Press.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran Hubungannya denganToksikologi Senyawa Logam. Jakarta: UI Press
Davies, C.A, Tomlinson, Stephenson. 1991. Heavy metals in River Tees Estuarysediments. Environmental Technology, (12):961-972.
Ditjen RLPS. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove.Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran : Hubungannya denganToksikologi Senyawa Logam. Penerbit UI. Jakarta
Dunstan, R.H. 2006. Effect Of The Pollutans Lead, Zinc, Hexadecane AndOctocosane On Total Growth And Shell Growth In The Akoya Pearl Oyster.Pinctada Imbricate. Journal of Shellfish Research
Effendi, Hefni. 1995. Abnormal shape and size of scenedesmus armatusl asindicator of cooper and cadmium pollution. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan danPerikanan Indonesia. Vol.. III (2): 51-70.
Effendi H. 2003. Telaahan Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya danLingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius.
Etim, E. E. (2012). Phytoremediation and Its Mechanisms: A Review. InternationalJournal of Environment and Bioenergy, 2012, 2(3): 120-136. ISSN: 2165-8951
Fajri, N. E. (2001). Analisis kandungan logam berat Hg, Cd dan Pb dalam air laut,sedimen dan tiram (Carassostrea cucullata) di perairan pesisir Kecamatan
142
Peder, Kab. Karawang. Jawa Barat. Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB.Bogor.
Fardiaz, S. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Fergusson, J.E. 1990. The Heavy Elements: Chemistry, Environmental Impact andHealth Effects. New Zealand. Pergamon Press
Gautier, D; J Amador and F Newmark. 2001. The use of mangrove wetland as abiofilter to treat shrimp pond effluents: preliminary results of an experimenton the Caribbean coast of Colombia. Aquaculture Research 32 (10): 787–799http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1046/j.1365-2109.2001.00614.x/pdf
Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove Guidebook forSoutheast Asia. RAP Publication 2006/07 Food andAgriculture Organizationof the United Nations Regional Office forAsia and the Pacific, Bangkok.
Hadikusumah. 2008. Karakteristik Parameter Fisika dan Kandungan Klorofil-a diLaut Jawa. Jurnal Ilmu Kelautan. 13 (2): 103-112.
Harahap S. 2001. Tingkat pencemaran air kali cakung ditinjau dari sifat fisikakimiakhususnya logam berat dan keanekaragaman jenis hewan benthos makro[tesis]. Bogor (ID): Bidang Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya
Harahap, Nuddin. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove danAplikasi dalam Perencanaan Pesisir. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hardiani H. 2009. Potensi Tanaman Dalam Mengakumulasi Logam Cu PadaMedia Tanah Terkontaminasi Limbah Padat Industri Kertas. Berita Selulosa44(1) : 27-40.
Heriyanto, N. M.. 2011. Kandungan logam berat padatumbuhan, tanah, air, ikandan udang di hutan Mangrove. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.8 No. ,2011, 4 Oktober 197 - 205
Heyne, K.,1987,Tumbuhan Berguna Indonesia, Volume II, Yayasan Sarana WanaJaya : Diedarkan oleh Koperasi Karyawan, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta
Hidayat, E.B. 1995. Anatomi Tumbuhan. Berbiji.ITB.Bandung.
Hogarth, P.J., 2001. The Biology of Mangroves (Biology of Habitats). OxfordUnivesity Press. Oxford.
Hutabarat, S. dan S.M., Evans. 1986. Pengantar Oseanografi, UI-Press, Jakarta
143
Hutagalung, H.P. 1991. Pencemaran Laut Oleh Logam Berat. DalamStatus.Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya.P30LIPI.Jakarta. Hal 45-59.
............................. 1997. Pencemaran Laut oleh Logam Berat. MakalahDisampaikan pada Kursus Pemantauan Pencemaran dan Metode AnalisisAir Laut. P3O-LIPI Jakarta. 22-23 Juli 1997.
Hutchings P, Saenger P. 1987. Ecology of Mangroves. University ofQueenslandPress, London.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove.www.irwantoshut.com. Diakses tanggal 10 Agustus 2019.
IADC/CEDA Staff. 1997. Environmental Aspects of Dredging: 2a. Convention,Codes, and Conditions: Marine Disposal. Netherlands: InternationalAssociation of Dredging Companies.
Kalangi, P.N.I., K.W.A Masengi, M. Iwata, F.P.T Pangalila dan I.F Mandagi. 2012.Profil Salinitas dan Suhu di Teluk Manado pada Hari-hari Hujan dan TidakHujan. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis VIII (3): 90-93
Kamaruzzaman, B.Y. , Mohd-Lokman H. , Sulong I., and Razanudin I. 2001.Sedimentation Rates on the Mangrove Forests of Pulau Che Wan Dagang,Kemaman Terengganu . The Malaysian Forester 64 (1) : 6 – 13
Kamaruzzaman, B.Y, Ong MC, Jalal KCA, Shahbudin S & Nor OM. 2008.Accumulation of Lead and Copper in Rhizophora apiculata from SetiuMangrove Forest, Trengganu Malaysia. Journal of Environmental Biology:821-824
Kariada, N, A Irsadi. 2014. Role of Mangrove as Water Pollution Biofilter inMilkfish Pond, Tapak, Semarang. J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol.21, No.2, Juli 2014: 188-194
Kartikasari, V; S.D Tandjung dan Sunarto. 2002. Akumulasi Logam Berat Cr danPb Pada Tumbuhan Mangrove Avicennia marina Di Muara Sungai BabonPerbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Demak Jawa Tengah. JurnalManusia dan Lingkungan, Vol. IX No. 3. Hal. 137-147.
Katipana, D. 2015. Uji Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) pada Kangkung Air(Ipomea aqutica f) di Kampus Unpatti Poka. Biopendix, Volume 1, Nomor 2,Maret 2015, hlm. 143-149
144
Kelly, M. G. & B. A. Whitton. 1989. Interspesific differences in Zd, Zn, and Pbaccumulation by fresh water algae and bryophyta. Hydrobiologia.(175): 1–11.
Kennish, M.J. 1996. Practical handbook of estuarine and marine pollution. Florida.CRC Press.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/Men KLH/I/2004 Tentang BakuMutu Air Laut.
Khiatuddin, Maulida. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air dengan TeknologiRawa Buatan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Kunarso, D.H dan Ruyitno.1991. Status Pencemaran laut di Indonesia dan TeknikPemantauannya. LON-LIPI. Jakarta
Kumar N.J.I; P.R. Sajish; Rita N Kumar; Basil George and Shailendra Viyol. 2011.Bioaccumulation of Lead, Zinc and Cadmium in Avicennia marina MangroveEcosystem near Narmada Estuary in Vamleshwar, West Coast of Gujarat,India. J. Int. Environmental Application & Science, 6 (1): 008-013
Knox, A.S., Seaman, J., Andriano, D.C., & Pierzynski, G. (2000).Chemostabilization of metals in contaminated soils. New York: MarcekDekker Inc.
Kr´bek, Bohdan; Martin Mihaljevic;Ondra Sracek ;Ilja Kne´sl ; Vojteˇch Ettler andImasiku Nyambe.2011. The Extent of Arsenic and of Metal Uptake byAboveground Tissues of Pteris vittata and Cyperus involucratus Growing inCopper- and Cobalt-Rich Tailings of the Zambian Copperbelt. Arch EnvironContam Toxicol 61:228–242
Kusmana,C. 1997. Ekologi dan Suberdaya Ekosistem Mangrove. PKSPL IPB danDirektorat Jendral Pembanguan Daerah. Fakultas Perikanan dan Kelautan.IPB. Bogor
Lase, V.A, Yunasfi, Desrita. 2016. Accumulation of Heavy Metals Cadmium (Cd)and Plumbum (Pb) on Mangrove Avicennia marina in Nelayan Village,District of Medan Belawan, North Sumatera. Program studi ManajemenSumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
Laws EA. 1993. Aquatic pollution: an introductory text. 2nd edition. John Wileyand Sons. Inc. United States of America. viii + 611 p.
Libes S. M. 1992. An Introduction To Marine Biogeochemistry. John Willey &Sons, Inc.
145
Lin YF and Aarts MG.2012. The Molecular Mechanism of Zincand Cadmium StressResponsein Plants. Cell Mol Life Sci.vol 69(19):3187-206
Lu,F. 1995. Toksikologi Dasar. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Manahan, S.E. 2001. Water pollution dalam Buku Fundamentals of EnvironmentalChemistry 2th ed. CRC Press Lewis Pub. Boca Raton Florida 1003p
Marganof, 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pribadi Pengantar keFalsafah Sains (PP702) Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.
Maslukah,L. 2006. Konsentrasi Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Pola Sebarannyadi Muara Banjir Kanal Barat, Semarang. Tesis. IPB.Bogor
MacFarlane, G.R; Claudia E. Koller and Simon P. Blomberg. 2007. Accumulationand partitioning of heavy metals in mangroves: A synthesis of field-basedstudies. Chemosphere 69 : 1454–1464
Megawati, C., Yusuf, M., dan Maslukah, L. 2014. Sebaran kualitas perairanditinjau dari zat hara, oksigen terlarut danpH di perairan selatan BaliBagian Selatan. Jurnal Oseanografi, 3(2), 142-150.
MENLH. (2004). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Muchyiddin, Tarzan Purnomo. “Analisis Kandungan Timbal (Pb) pada IkanBandeng (Chanos chanos Forsk.) di Tambak Kecamatan Gresik”. NeptunusNo. 1 (Juli 2007): 68-77.
Mulyadi, Edi; R. Laksmono; D. Aprianti. 2009. Fungsi Mangrove SebagaiPengendali Pencemar Logam Berat. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan; 1(Edisi Khusus) 33-39.
Mulyawan. (2005). Korelasi kandungan logam berat Hg, Pb, Cd dan Cr pada airlaut, sedimen dan kerang hijau (Perna viridis) di perairan Kamal Muara,Teluk Jakarta. Tesis. Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Murtini,J.T.,Yennie,Y.,dan Ariyani,F.2003c.Penelitian pencemaran logam berat diSelat Madura dan Selat Bali. Prosiding Seminar Nasional PerikananIndonesia 2003. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.1 p. 83–93.
Murtini JT, Yusma Y & Rosmawaty P. 2003. Kandungan logam berat pada kerangdarah (Anadara granosa), air laut dan sedimen di Perairan Tanjung Balaidan Bagan Siapi-Api. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 9 (5): 77-80.
146
Neff JM. 2002. Bioaccumulation in Marine Organisms. Effect of Contaminantsfrom Oil Well Produced Water. London: Elsevier
Noakes, D.S.P. 1951. Notes on the silviculture of the mangrove forest of Matang,Perak. Malaysian Forester 14: 183-196.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Nonji,A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.
NOOR, Y. R., M. KHAZALI dan I. N. N. SIJRYADIPURA 1999. Panduanpengenalan mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP, Bogor: 220 hall.
Noor, Y. R., 2006. Paduan Pengenalan Mnagrove di Indonesia. WetlendsInternational–Indonesia Programer. Bogor.
Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra, 2012. Panduan PengenalanMangrove Indonesia. Bogor, Perlindungan hutan konservasi alam WI-IP.
Nordic. 2003. Cadmium Review. Denmark: Prepared by COWI A/S on behalf of theNordic Council of Ministers
Nowrouzi M, Pourkhabbaz A,and Rezaei M.2012. Bioaccumulation andDistributionof Metals in Sediments and AvicennaMarina Tissues in TheHara Biosphere Reserve, Iran. Bull Environ ContamToxicol.vol 89(4):799-804
Nybaken, James W. 1992. Biologi laut. Gramedia.Jakarta.
Oktavianus dan IRS Salami. 2005. Uptake dan Depurasi Logam Timbal (Pb) PadaIkan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Kimia Lingkungan, Vol.6, No.2.hal. 75 81.
Palar, H. 2004. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Palar, H. 2005. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta, Jakarta.
Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta, Jakarta.
Paeravresh HZ, Abedi P, Farchi M, Karami N, Khorasani & Karbassi. 2010. Bioavalability and Concentartion of Heavy Metal in Sediments and Leaves ofGrey Mangrove, Avicennia marina (Forsk) Vierh. In Sirik Azini Creek, Iran,Biol Trace Elem Res DOI 10.1007/s12011-010-8891-y
Patang, 2018. Dampak Logam Berat Kadmium dan Timbal di Perairan. UNMMakassar
147
Patty, I Simon. 2013. distribusi suhu, salinitas dan oksigen terlarut di perairankema, sulawesi utara. Jurnal Ilmiah Platax. Vol. 1:(3), Mei 2013. ISSN:2302-3589.
Peraturan Pemerintah.2001. Pengelolaan Kualitas Aer dan PengendalianPencemaran Air No 82. Jakarta Hal 1-3
Philon-Smith, E. 2005. Phytoremediation Annu Rev.Plant Biol. 56: 15-39. Diakses19 Agustus 2019.
Poernomo, A. 1979. Budidaya Udang di Tambak: Dalam Udang Biologi, potensi,budidaya, produksi dan Udang sebagai Bahan Makanan di Indonesia,Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi. LON LIPI. Jakarta. Hal77-174.
Prahastianto, Fajar. 2011. Karakteristik Ekosistem Perairan Payau; dalamhttp://fajarprahasti anto.blogspot.com /2011/09/karakteristik-ekosistem-perairan-payau.html, diakses tanggal 13 Agustus 2019
Pramudji. 2013. Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya sebagai HabitatBerbagai Fauna Aquatik.. Oseana, Volume XXVI, Nomor 4, 2001:13 - 23ISSN 0216-1877
Priyono, Aris, dkk.,2010. Beragam Produk Olahan Berbahan Dasar Mangrove.Kesemat. Semarang. Jawa Tengah. Indonesia
Priyanto, B. dan J. Pryitno. 2008. Fitoremediasi Sebagai Sebuah Teknologi.Pemulihan Pencemaran, Khususnya Logam Berat.http://ltl.bppt.tripod.com/sublab/1flora 1.h tm. 10 Februari 2010.
Purwiyanto, A.I.S., 2013. Daya Serap Akar dan Daun Mangrove Terhadap LogamTembaga (Cu) di Tanjung Api-Api, Sumatera Selatan, Maspari Journal,5(1):1-5.
Puspasari R., R. Kaswadji, & H. Sanusi. 2000. The capability of phytoplankton inreducing heavy metal pb, concentration in sea water. Proceedings of TheJSPS DGHE International Symposium on Fisheries Science in tropicalArea. Bogor
Rahman,M. 2016. Produktivitas Primer Perairan Pantai Kawasan HutanMangrove Desa Pagatan Besar Kecamatan Takisung Kabupaten Tanah LautProvinsi Kalimantan Selatan. Fish Scientiae, Volume 6 Nomor 11, Juni 2016,hal 11-12
Rand, G.M. and S.R. Petrocelli., 1985. Fundamentals of Aquatic Toxicology.Hemisphere Publishing Corporation, New York. 665p.
148
Razak H. 1980. Pengaruh logam berat terhadap lingkungan. Pewarta Oseana : 2.Jakarta : LON- LIPI.
Riani, E. 2012. Perubahan Iklim dan Kehidupan Biota Akuatik (Dampak padaBioakumulasi dan Beracun & Reproduksi). IPB Press.Bogor.
Rohmawati, 2007. Daya Akumulasi Tumbuhan Avicennia marina Terhadap LogamBerat (Cu, Cd, Hg) di Pantai Kenjeran Surabaya. Jurusan Biologi FakultasSains Dan Biologi. Universitas Islam Negeri Malang. 53 hal.
Rompas, R.M. 1998. Kimia Lingkungan. Tarsito, Bandung.
Romimohtarto, K dan S. Juwana, 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan TentangBiota Laut. Puslitbang Osenologi-LIPI, Jakarta : 527 hal
Rosdiana, Muhiddin, Nur F. 2009. KandunganLogam Berat Kadmium padaTanamanSawi Hijau (Brassica juncea) yang Dipasarkan di Pasar TerongKota Makassar. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UINAlauddin Makassar. Makassar.
Rukminasari, N, Nadiarti & Khaerul Awaluddin. 2014. The Effect of Acidic Levelof Media on Calcium Concentration and Growth of Halimeda sp. Torani(Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan) Vol.24 (1) April 2014: 28-34 ISSN:0853-4489
Rumahlatu,D. 2011. Konsentrasi Logam Berat Kadmium Pada Air, Sedimen danDeadema setosum (Echinodermata, Echinoidea) di Perairan Pulau Ambon.Jurnal Ilmu Kelautan juni 2011. vol. 16 (2) 78-85. ISSN 0853-7291
Russell J,andCohn R.2012.Plant Physiology.Norderstedt: VSD Publishing.
Saeni MS. 1989a. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Ditjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB Bogor.
Salam, A.2010. Analisis Kualitas Air Situ Bungur Ciputat Berdasarkan IndeksKeanekaragaman Fitoplankton. Universitas Negeri Syarif Hidayatullah.Jakarta. 81 Hal
Santoso N, Kusmana C, Sudarmana D, Sukmadi R. 2007. EkologiTumbuhanPidada (Sonneratia caseolaris (L) Engler 1897 padaKawasan Muara AngkePropinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.IPB,Bogor.
Sanusi HS 2006. Kimia Laut. Proses Fisika Kimia Laut dan Interaksinya denganLingkungan. Bogor: Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan danIlmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Sanusi HS, Kaswadji RF, Nurjaya IW, Rafni R. “Kajian Kapasitas BebanPencemaran Organik dan Anorganik di Perairan Teluk Jobokuto
149
Kabupaten Jepara Jawa Tengah”. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan PerikananIndonesia Jilid 12 No.1 (2005): pp 9-16.
Sarjono. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Cd, Pb dan Hg pada Air danSedimen di Perairan Kamal Muara, Jakarta Utara. Fakultas Perikanan danIlmu Kelautan ITB Bogor
Saru, A., dan Amri, K., 2000, Analisis Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd)dalam Sedimen di Perairan Pantai Losari, Torani, 10 (2), 69.
Setiawan, H. 2013. Akumulasi dan Distribusi Logam Berat pada VegetasiMangrove di Perairan Pesisir Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Kehutanan.Vol VII No.1 – Januari-Maret 2013
Setyawan, A. Susilowati, A, Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies danEkosistem Mangrove di Jawa. Petunjuk Praktikum Biodiversitas; StudiKasus Mangrove. Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.
Simanjuntak, M. 2009. Hubungan Fakt or Lingkungan Kimia, Fisika terhadapDistribusi Plankton di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung.JurnalPerikanan (Journal of Fisheries Sciences), XI (1): 41-59.
Sinha S. 1999. Accumulation of Cu, Cd, Cr, Mn and Pb from artificiallycontaminated soil by Bacopa Monnieri. J. Environmental Monitoring andAssessment 57 (3): 253-264
Sitorus, H., (2004), Analisis Beberapa Karakteristik Lingkungan Perairan YangMempengaruhi Akumulasi Logam Berat Timbal Dalam Tubuh KerangDarah Di Perairan Pesisir Timur Sumatera Utara, Jurnal Ilmu-ilmuPerairan dan Perikanan Indonesia, Juni 2004, Jilid 11, Nomor 1: 5360
Smith, T.J. III (1987b) Effects of seed predators and light level on the distributionof Avicennia marina (Forsk.) Vierh. in tropical, tidal forests. Estuarine,Coastal and Shelf Science, 25 : 43–51.
Soerianegara. 1993. Sumberdaya Hutan Mangrove di Indonesia. FakultasKehutanan. IPB. Bogor
Soeroyo. 1993. Pertumbuhan Mangrove dan Permasalahannya. Buletin IlmiahINSTIPER. Yogyakarta. 4(2):206-219
Sorensen, E.M. 1991. Metal Poisoning in Fish Enviromental and Life. SciencesAssosiates. Austin, Texas. Boston
Spalding, M.D., F. Blasco & C.D. Field editor. 1997. World Mangrove Atlas.International Society for Mangrove Ecosystems, Okinawa, Japan.
150
Sudarsono Y, Yoga GP, Suryono T. 2005. Kontaminasi logam berat di sedimen:studi kasus pada Waduk Saguling, Jawa Barat. Manusia dan Lingkungan.12(1):28-42.
Sugiyono, 2013..Bioakumulasi Logam Hg dan Pb di Perairan Teluk Lampung,Propinsi Lampung, Jurnal Sains MIPA, 13 (1), 44 – 48.
Suhaeni, Muhiddin, and Nur F. 2009. Bioakumulasi Logam Berat Kadmium(Cd)pada Tanaman Kangkung Darat (Ipomoea reptans) di Dusun BorongKaramasa Desa Toddotoa Kecamatan Pallangga Kab Gowa.Makassar:Jurusan Biologi Fakultas Sainsdan Teknologi UIN AlauddinMakassar.
Suharto. 2005. Dampak Pencemaran Logam Timbal (Pb) terhadap KesehatanMasyarakat. Majalah Kesehatan Indonesia No 165. Universitas AirlanggaSurabaya.
Sunarya, W.L.R. kusmadji, A. Djalil, E. Nardin, W. Whardana dan I. M. Idil. 1991.Tumbuhan Sebagai Bioindikator Prncemaran udara Oleh Timbal ProsiDari Seminar Hasil Penelitian Perguruan Tinggi. Direktorat PembinaanPenelitian Dan
Pengabdian Pada Masyarakat. Depdikbud Jakarta.
Supriharyono. 2007. Konservasi ekosistem sumberdaya hayati di wilayah pesisirdan laut tropis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Supriyantini, E., S. Sedjati, Z. Nurfadhli. 2016. Akumulasi logam berat Zn (seng)pada lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii di Perairan PantaiKartini Jepara. Buletin Oseanografi Marina, 5(1): 14–20.
Supriyaningrum E. 2006. Fluktuasi Logam Berat Timbal dan Kadmium dalam Airdan Sedimen di Perairan Teluk Jakarta (Tanjung Priuk, Marina, dan SundaKelapa). IPB. Bogor
Supriyono, A, Ety susilowati, and Suci Dwi Suryani 2008. Analisa kadar logamtimbal dan seng di pantai slamaran pekalongan secara spektrofotometerSerapan Atom. Media Farmasi Indonesia Vol 3 No 1.
Syahminan. 1996. Studi Distribusi Pencemaran Logam Berat di Perairan EstuariSungai Siak, Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, InstitutPertanian Bogor.
Taiz L. 2010. Plant Physiology. 5th edition.Sunderland:Sinauer Associates, Inc.
151
Tam NFY and Wong, YS. 1996. Retention and distribution of heavy metals inmangrove soils receiving wastewater. Journal Environmental Pollution 94:283-291
Tam, N.F.Y and Y.S. Wong. 2000. Spatial variation of heavy metals in surfacesediments of Hong Kong mangrove swamps. Environmental Pollution 110 :195-205
Tang, M, Nur, A.I, Ramli, M. 2016. Studi kondisi ekosistem mangrove dan produksidetritus di pesisir Kelurahan Lalowaru Kecamatan Moramo UtaraKabupaten Konawe Selatan. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan,1(4): 439-450
Taryana, A.T. 1995. Akumulasi Logam Berat (Cu, Mn, Zn) pada Jenis Griff. DiHutan Tanaman mangrove Cilacap BKPH Rawa Timur, KPH BanyumasBarat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Jurusan Manajemen
Tatang. 2018. Dampak Logam Berat Kadmium dan Timbal Pada Perairan.Universitas Negeri Makassar
Thampanya, U., Vermaat, J.E., Sinsakul, S. & Panapitukul, N. 2006. Coastalerosion and mangrove progradation of southern Thailand. Estuarine,Coastal and Shelf Science. 66: 75-85.
Tjitrosoepomo, 1989. Morfologi Tumbuhan. Universitas Gadjah Mada Press.Yogyakarta
Ulqodry, T. Z. 2001. Kandungan Logam Berat dalam Jaringan MangroveSonneratia Alba dan Avicennia Marina di Pulau Ajkwa dan Pulau Kamora,Kabupaten Timika, Papua. Program Studi Ilmu Kelautan UniversitasDiponegoro.Semarang.
Vernberg WB, Vernberg FJ. 1972. Environmental physiology of marine animalsspringer Verlag New York 346 p
Waldichuk M. 1974. Some Biological Concern in Heavy Metals Pollution.Pollution and Physiology of Marine Organism. Editor KJ Vernberg dan WBVernberg. New York: Academic Press.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit ANDI.Yogyakarta.
WENZEL, W.W.; REINHARD, U.; SOMMER, P.; SACCO, P. Chelate-assistedphytoextraction using canola (Brassica napus L.) in outdoors pot andlysimeter experiments. Plant Soil, v.249, p.83-96, 2003.
152
Weiner, E.R. 2008. Applications of Environmental Aquatic Chemistry A PraticalGuide, Second Editions. CRC Press Taylor and Franciz Group
WHO. 1992a. Cadmium. Environmental Health Criteria 134. World HealthOrganisation, International Programme on Chemical Safety (IPCS), Geneva,Switzerland.
……… 1992b. Cadmium environmental aspects. Environmental Health Criteria135. World Health Organisation, International Programme on ChemicalSafety (IPCS), Geneva, Switzerland.
Wilson, J. G. 1988. The biology of estuarine management croom helm. Saunderscollege publishing, London. 204 p.
Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai Citanduy,buah simalakama konservasi ekosistem mangrove Segara Anakan.Biodiversitas 4 (1): 63-72.
Yudha P.G, Noli, A.Z, dan Idris M, 2013.. “Pertumbuhan Daun Angsana(Pterocarpus indicus Willd) dan Akumulasi Logam Timbal (Pb)”. JurnalBiologi Universitas Andalas 02 No. 02 (Juni 2013): h.83.
Zamroni, Y., dan Rohyani, I.S., 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove diPerairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas, 9(4):284-287.
Zhu, Y.L., E.A.H. Pilon-Smits, L. Jouanin dan N. Terry. 1999. Overexpression ofglutathione synthetase in Indian mustard enhances cadmium accumulationand tolerance. Plant Physiol. 119:73-79.
153
BIODATA PENULIS
Nur Alim Natsir, lahir di Kalumpang Desa Tritiro KecamatanBontotiro Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan padaTanggal 6 Agustus 1972 anak kedua dari tiga bersaudarapasangan Alm H. Muh.Natsir, BA dan Hj Siti DjanawangMalleleang. Penulis memulai jenjang pendidikan SekolahDasar dan lulus Tahun 1986 di SD Negeri 134 Kalumpang,pada Tahun 1989 lulus di SMP Negeri 1 Bontotiro KabupatenBulukumba. Tahun 1992 lulus di SPP Negeri Rappang.
Selanjutnya penulis melanjutkan studi di Fakultas Peternakan Jurusan Nutrisi danMakanan Ternak Universitas Islam Malang dan menyelesaikan Sarjana Tahun1996. Selama menempuh pendidikan S1 penulis tercatat sebagai penerima beasiswaPPA dan Supersemar. Dengan beasiswa URGE penulis melanjutkan S2 padaProgram Pascasarjana MIPA Biologi Universitas Airlangga Surabaya dan lulusTahun 2000. Selama menempuh pendidikan penulis aktif di Ikatan MahasiswaMIPA Biologi Pascasarjana UNAIR Surabaya. Tahun 2015 penulis melanjutkanstudi pada Program Pascasarjana S3 Ilmu Kelautan Dengan Minat Biologi LautUniversitas Pattimura Ambon dan sementara menyelesaikan tugas akhir disertasi.Saat ini penulis berprofesi sebagai dosen pada Program Studi Pendidikan BiologiFakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Insititut Agama Islam Negeri Ambon.Penulis telah menggeluti banyak penelitian dan karangan modul dan penuntunpraktikum. Karya terbaru dari penulis selama 3 tahun terakhir yang dituangkandalam bentuk tulisan antara lain adalah penelitian dengan judul Uji KandunganLogam Berat Pb dan Hg Pada Air, Sedimen dan Lamun (Enhalus acoroides) diPerairan Teluk Kayeli Kabupaten Buru Provinsi Maluku (Jurnal Biosel Science andEducation (BIOSEL) Volume 8 Nomor 1, Juni 2019. ISSN: 2541-1225 halaman 9-20; Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAINAmbon), Profil Logam Berat B-III dan Hubungannya Dengan Kadar Klorofil PadaEnhalus acoroides di Perairan Teluk Kayeli Kabupaten Buru Provinsi Maluku(Laporan Penelitian LP2M Tahun 2018), Penerapan Teknologi Pengolahan LimbahOrganik dalam Pengolahan Limbah Pasar Mardika (Laporan Penelitian LP2MTahun 2017). Modul terakhir adalah Fisiologi Manusia & Hewan. Penuntunterakhir adalah Struktur dan Perkembangan Hewan II, Biologi Umum dan BiologiLaut.
154
Lampiran 1. Titik Lokasi Penelitian di Perairan Tulehu Maluku
TitikSampling
Lokasi
1 Perairan Tulehu 1 (Pemberhentian Kapal Yang Tidak Beroperasi)2 Perairan Tulehu 2 (Pelabuhan Tulehu)3 Perairan Tulehu 3 (Muara Sungai Sepanjang Perairan Tulehu)
Sebagai Kontrol
155
Lampiran 2. Dokumentasi lokasi penelitian
156
Lampiran 3. Kondisi kualitas air di perairan Teluk Kayeli Provinsi Malukusaat penelitian dilaksanakan
TITIK SAMPLING ULANGAN SUHU(0C)
pH Salinitas(‰ )
1(Pemberhentian Kapal
Yang Tidak Beroperasi)
1 30 7 302 30 7 303 30 7 30
2(Pelabuhan Tulehu)
1 27 7 302 28 7 303 27 7 30
3(Kontrol)/Muara Sungai
Sepanjang Perairan Tulehu
1 30 6 272 30 6 293 30 6 29
Rata-rata 29 b6,7 b29Baku Mutu a28-30℃ a7-8,5 c35‰
aKepMen LH No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut; bDi bawahdan di atas baku mutu
bPal et al (2015)cMc Lusky (1971) dalam Kordi (1996) dalam Ghufron dkk (2007)
Lampiran 4 Kandungan logam berat (Pb danCd), pada air dan sedimen diPerairan Tulehu Provinsi Maluku
TitikSampling Lokasi
Pb CdAir
(mg/L)Sedimen(mg/Kg)
Air(mg/L)
Sedimen(mg/Kg)
1 PemberhentianKapal Yang
TidakBeroperasi
0,008918 7,696547 0,002894 1,252015
2 PelabuhanTulehu
0,005082 4,886725 0,001624 0,821901
3 Kontrol/MuaraSungai
SepanjangPerairan Tulehu
0,001942 3,647915 0,000656 0,601111
Rata-rata 0,005314 5,410396 0,001725 0,891676Baku Mutu 0,008b 30,2c 0,001 30
a Telah melebihi baku mutu; bBaku mutu air laut: KepMen LH No. 51 Tahun 2004; cBakumutu sedimen: IADC/CEDA (1997)
157
Lampiran 5. Kandungan logam berat (Pb dan Cd), pada akar, batang dandaun mangrove Perairan Tulehu Provinsi Maluku
TitikSampling
Lokasi Akar Batang DaunPb
(mg/Kg)Cd
(mg/Kg)Pb
(mg/Kg)Cd
(mg/Kg)Pb
(mg/Kg)Cd
(mg/Kg)1 Pemberhentian
Kapal YangTidak
Beroperasi
2,509627 0,313193 4,290346 0,59704 1,008679 0,192611
2 PelabuhanTulehu
1,568149 0,198181 2,688421 0,386274 0,956192 0,120596
3 Kontrol)/MuaraSungai
SepanjangPerairan Tulehu
1,168957 0,147234 2,00927 0,285158 0,473816 0,090922
Rata-rata b1,748911 0,219536 b2,996012 0,422824 b0,812896 0,13471aBaku mutu a0,3 a0,5 a0,3 a0,5 a0,3 a0,5
aSNI 7387:2009; bMelebihi baku mutu
Lampiran 6. Analisis One-way ANOVA Logam Berat (Pb dan Cd) di Air danSedimen
a. Pb Air
One-way ANOVA: Pb_air versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 73,234 36,617 124,25 0,000Error 6 1,768 0,295Total 8 75,003
S = 0,5429 R-Sq = 97,64% R-Sq(adj) = 96,86%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 8,9177 AS2 3 5,0823 BS3 3 1,9418 C
Means that do not share a letter are significantly different.
158
b. Pb Sedimen
c. Cd Air
One-way ANOVA: Pb_sedimen versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 25821173 12910586 25,60 0,001Error 6 3026412 504402Total 8 28847585
S = 710,2 R-Sq = 89,51% R-Sq(adj) = 86,01%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 7696,5 AS2 3 4886,7 BS3 3 3647,9 B
Means that do not share a letter are significantly different.
One-way ANOVA: Cd_air versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 9,054 4,527 32,52 0,001Error 6 0,835 0,139Total 8 9,889
S = 0,3731 R-Sq = 91,55% R-Sq(adj) = 88,74%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 2,8938 AS2 3 1,6242 BS3 3 0,4375 C
Means that do not share a letter are significantly different.
159
d. Cd Sedimen
Lampiran 7. Analisis One-way ANOVA Logam Berat (Pb dan Cd) padaorgan lamu Akr, Batang dan Daun
a. Pb Akar
b. Pb Batang
One-way ANOVA: Cd_Sedimen versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 657421 328710 25,55 0,001Error 6 77181 12863Total 8 734601
S = 113,4 R-Sq = 89,49% R-Sq(adj) = 85,99%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 1252,0 AS2 3 821,9 BS3 3 601,1 B
Means that do not share a letter are significantly different.
One-way ANOVA: Pb_akar versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 2843131 1421565 24,51 0,001Error 6 348059 58010Total 8 3191190
S = 240,9 R-Sq = 89,09% R-Sq(adj) = 85,46%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 2509,6 AS2 3 1568,1 BS3 3 1169,0 B
Means that do not share a letter are significantly different.
One-way ANOVA: Pb_batang versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 8230714 4115357 27,10 0,001Error 6 911022 151837Total 8 9141736
S = 389,7 R-Sq = 90,03% R-Sq(adj) = 86,71%
160
c. Pb Daun
d. Cd Akar
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 4290,3 AS2 3 2688,4 BS3 3 2009,3 B
Means that do not share a letter are significantly different.
One-way ANOVA: Pb Daun versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 450662 225331 28,57 0,001Error 6 47324 7887Total 8 497985
S = 88,81 R-Sq = 90,50% R-Sq(adj) = 87,33%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 1008,68 AS2 3 637,46 BS3 3 473,82 B
Means that do not share a letter are significantly different
One-way ANOVA: Cd_akar versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 43366 21683 25,39 0,001Error 6 5125 854Total 8 48491
S = 29,23 R-Sq = 89,43% R-Sq(adj) = 85,91%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 313,19 AS2 3 198,18 BS3 3 147,23 B
Means that do not share a letter are significantly different
161
e. Cd Batang
f. Cd Daun
One-way ANOVA: Cd_Batang versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 151918 75959 23,88 0,001Error 6 19082 3180Total 8 171000
S = 56,40 R-Sq = 88,84% R-Sq(adj) = 85,12%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 597,04 AS2 3 386,27 BS3 3 285,16 B
Means that do not share a letter are significantly different.
One-way ANOVA: Cd Daun versus sampel
Source DF SS MS F Psampel 2 16407 8204 29,54 0,001Error 6 1666 278Total 8 18074
S = 16,67 R-Sq = 90,78% R-Sq(adj) = 87,71%
Grouping Information Using Tukey Method
sampel N Mean GroupingS1 3 192,61 AS2 3 120,60 BS3 3 90,92 B
Means that do not share a letter are significantly different
162
Lampiran 8. Analisis Regresi Faktor Fisik-Kimia dengan BioakumulasiLogam Berat Pb dan Cd pada Akar, Batang dan Daunmangrove di Perairan Tulehu
a. Pb Akar
b. Pb Batang
Regression Analysis: Pb_akar versus suhu, pH, Salinitas
The regression equation isPb_akar = - 16.1 + 0.317 suhu + 1.29 pH - 0.000 Salinitas
Predictor Coef SE Coef T PConstant -16.106 5.436 -2.96 0.031suhu 0.31743 0.09723 3.26 0.022pH 1.2938 0.4266 3.03 0.029Salinitas -0.0004 0.2004 -0.00 0.999
S = 0.327320 R-Sq = 83.2% R-Sq(adj) = 73.1%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 2.6555 0.8852 8.26 0.022Residual Error 5 0.5357 0.1071Total 8 3.1912
Regression Analysis: Pb_batang versus suhu, pH, Salinitas
The regression equation isPb_batang = - 27.4 + 0.539 suhu + 2.20 pH + 0.001 Salinitas
Predictor Coef SE Coef T PConstant -27.373 9.005 -3.04 0.029suhu 0.5388 0.1611 3.35 0.020pH 2.1960 0.7067 3.11 0.027Salinitas 0.0015 0.3321 0.00 0.997
S = 0.542237 R-Sq = 83.9% R-Sq(adj) = 74.3%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 7.6716 2.5572 8.70 0.020Residual Error 5 1.4701 0.2940Total 8 9.1417
163
c. Pb Daun
d. Cd Akar
Regression Analysis: Pb_daun versus suhu, pH, Salinitas
The regression equation isPb_daun = - 6.49 + 0.125 suhu + 0.504 pH + 0.0069 Salinitas
Predictor Coef SE Coef T PConstant -6.495 2.063 -3.15 0.025suhu 0.12488 0.03690 3.38 0.020pH 0.5042 0.1619 3.11 0.026Salinitas 0.00695 0.07607 0.09 0.931
S = 0.124225 R-Sq = 84.5% R-Sq(adj) = 75.2%
Regression Analysis: Cd_akar versus suhu, pH, Salinitas
The regression equation isCd_akar = - 1.98 + 0.0388 suhu + 0.160 pH - 0.0000 Salinitas
Predictor Coef SE Coef T PConstant -1.9790 0.6585 -3.01 0.030suhu 0.03885 0.01178 3.30 0.022pH 0.16032 0.05168 3.10 0.027Salinitas -0.00004 0.02428 -0.00 0.999
S = 0.0396522 R-Sq = 83.8% R-Sq(adj) = 74.1%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 0.42083 0.14028 9.09 0.018Residual Error 5 0.07716 0.01543Total 8 0.49799
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 0.040629 0.013543 8.61 0.020Residual Error 5 0.007861 0.001572Total 8 0.048491
164
e. Cd Batang
f. Cd Daun
Regression Analysis: Cd_batang versus suhu, pH, Salinitas
The regression equation isCd_batang = - 3.68 + 0.0706 suhu + 0.297 pH + 0.0023 Salinitas
Predictor Coef SE Coef T PConstant -3.680 1.268 -2.90 0.034suhu 0.07065 0.02267 3.12 0.026pH 0.29692 0.09949 2.98 0.031Salinitas 0.00227 0.04675 0.05 0.963
S = 0.0763348 R-Sq = 83.0% R-Sq(adj) = 72.7%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 0.141865 0.047288 8.12 0.023Residual Error 5 0.029135 0.005827Total 8 0.171000
Regression Analysis: Cd_daun versus suhu, pH, Salinitas
The regression equation isCd_daun = - 1.25 + 0.0243 suhu + 0.0960 pH + 0.0013 Salinitas
Predictor Coef SE Coef T PConstant -1.2508 0.3881 -3.22 0.023suhu 0.024334 0.006942 3.51 0.017pH 0.09604 0.03046 3.15 0.025Salinitas 0.00125 0.01431 0.09 0.934
S = 0.0233687 R-Sq = 84.9% R-Sq(adj) = 75.8%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F PRegression 3 0.0153431 0.0051144 9.37 0.017Residual Error 5 0.0027305 0.0005461Total 8 0.0180736