Upload
doannhi
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Konsep dan Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi daerah diartikan sebagai wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah
masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik dan pengaturan perimbangan
keuangan. Menurut Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 1 butir 5, otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hubungan antara pusat dan daerah menurut Undang-
Undang Nomor 34/2004 dinyatakan dalam tiga prinsip, yaitu:
a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem NKRI.
b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintahan kepada
gubenur sebagai wakil pemerintah.
c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan
atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Prinsip otonomi yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata
dan bertanggung jawab. Kewenangan yang luas adalah kewenangan daerah yang
lebih luas dalam menyelengarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang
kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan lain yang diatur dalam peraturan pemerintahan. Otonomi
yang nyata adalah keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di
bidang tertentu secara nyata ada dan diperlukan, berkembang di daerah. Otonomi
yang bertanggung jawab berupa perwujudan pertanggungjawaban daerah sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi, yakni peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat,
pengembangan kehidupan yang demokratis, keadilan, pemerataan, adanya
12
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.1.2 Konsep dan Pengertian Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu
tujuan bernegara, yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan
untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh
rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk
transfer dari pemerintah pusat (Bird 2000).
Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7
dan Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 8, mendefinisikan desentralisasi
sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas
Desentralisasi Politik (Political Decentralization); Desentralisasi Administratif
(Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization);
dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari
desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu
proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada
pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah
dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan
yang dilimpahkan. Hal ini sesuai dengan fungsi pemerintah, yang mempunyai tiga
fungsi utama yaitu distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz 2000). Fungsi
distribusi, pemerintah berperan dalam memengaruhi distribusi pendapatan dan
kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam pengaturan distribusi
pendapatan. Fungsi alokasi, pemerintah berperan mengalokasikan sumber daya
ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu menyediakan barang yang tidak bisa
13
disediakan oleh pasar. Fungsi stabilisasi, pemerintah menggunakan kebijakan
anggaran untuk mengurangi pengangguran, menciptakan kestabilan harga dan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Desentralisasi fiskal memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (1)
mengurangi peran dan tanggung jawab di antara pemerintah pada semua tingkat,
(2) memperhitungkan bantuan atau transfer antarpemerintah, (3) memperkuat
sistem penerimaan daerah atau merumuskan penyediaan jasa-jasa lokal, (4)
memprivatisasi BUMD, dan (5) menyediakan suatu jaringan pengaman bagi
fungsi redistribusi. Oleh karena itu, keberhasilan desentralisasi fiskal dapat dinilai
dari sejauh mana fungsi-fungsi di atas telah terlaksana. Pelaksanaan desentralisasi
fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada
hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
pelaksanaan.
2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
3. Stabilitas politik yang kondusif.
4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, pengambilan
keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak
yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi keputusan-keputusan
tersebut.
5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung
jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas
manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah
6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran
sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat.
2.1.3 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Implikasi pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya penyerahan atau
pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah, yang membawa
konsekuensi pada pelimpahan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan
kewenangan tersebut atau dikenal dengan perimbangan keuangan antara
14
pemerintah pusat dan daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah adalah distribusi sumber daya keuangan (financial sharing) yang bertujuan
untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan otonomi daerah,
mengurangi kesenjangan antardaerah dalam kemampuan membiayai otonominya
dan untuk menciptakan sistem pembayaran yang adil, proporsional, rasional serta
kepastian sumber keuangan yang berasal dari wilayah yang bersangkutan.
Tujuan pokok pengaturan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25/1999, adalah:
1. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah.
2. Menciptakan sistem pembayaran daerah yang adil, proporsional, rasional,
transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti.
3. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
4. Mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan secara
transparan dan memperhatikan partisipasi masyarakat.
5. Menjadi acuan dalam pengalokasian penerimaan negara bagi daerah.
6. Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah.
7. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari: (1)
PAD, (2) transfer dari pemerintah pusat atau dana perimbangan, (3) pinjaman
daerah, dan (4) penerimaan lain-lain yang sah. Kewenangan daerah dalam bidang
penerimaan yang berasal dari PAD, dalam rangka perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah, dilaksanakan sepenuhnya berdasarkan asas desentralisasi.
Dalam hal ini, pemerintah pusat tidak berwenang ikut campur, baik dalam
penetapan besarnya pungutan, tarif dan tata cara perhitungan pajak, maupun
sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang berlaku.
2.1.3.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan asli daerah (PAD) didefinisikan sebagai sumber penerimaan
yang penguasaan dan pengelolaannya diserahkan oleh negara kepada daerah
otonom. Penguasaan dan pengelolaan komponen-komponen penerimaan PAD
tersebut diatur oleh Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor
34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. PAD merupakan sumber keuangan
15
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, yang dapat dijadikan
sebagai barometer bagi potensi perekonomian suatu daerah, yang sekaligus juga
dapat mencerminkan efektifitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam
melaksanakan tanggung jawabnya. Menurut Undang-Undang Nomor 33/2004
komponen-komponen penerimaan PAD terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang sah.
PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang seyogyanya
cukup signifikan besarnya, apalagi dalam era otonomi daerah. Daerah dituntut
lebih kreatif dalam meningkatkan PADnya. Sumber-sumber penerimaan daerah
yang potensial harus digali secara maksimal, namun tetap dalam koridor
perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya adalah pajak daerah
dan retribusi daerah, yang merupakan unsur utama dari PAD.
Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah diatur
dengan Undang-Undang Nomor 34/2000 yang ditindaklanjuti dengan peraturan
pelaksanaannya dengan PP Nomor 65/2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor
66/2001 tentang Retribusi Daerah. Pemberian kewenangan tersebut diharapkan
dapat mendorong pemerintah daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan
PADnya, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah.
Berdasarkan Undang-Undang dan PP tersebut, daerah diberikan kewenangan
untuk memungut 11 pajak dan 28 jenis retribusi. Selain itu, daerah juga diberi
kewenangan untuk memungut jenis pajak dan retribusi lainnya sesuai kriteria-
kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang.
Undang-Undang Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, mendefinisikan pajak daerah sebagai iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah. Berdasarkan wilayahnya pendapatan pajak daerah dibagi
menjadi dua yaitu pendapatan pajak yang berasal dari provinsi dan pendapatan
pajak yang berasal dari kabupaten/kota. Rinciannya dapat dijelaskan sebagai
berikut sebagai berikut:
16
1. Pajak Propinsi
Pajak provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah
tingkat provinsi, pajak yang masih berlaku sampai saat ini adalah :
a. Pajak kendaraan bermotor dan pajak kendaraan di atas air.
b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air.
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Jenis pajak propinsi bersifat limitatif, yang berarti propinsi tidak dapat
memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah
jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-
undang. Pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh propinsi terkait dengan
kewenangan propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas hanya meliputi
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah
kabupaten/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Besarnya tarif
pajak propinsi berlaku definitif, yang ditetapkan secara seragam di seluruh
Indonesia dan diatur dalam PP Nomor 65/2001.
2. Pajak Kabupaten
Pajak kabupaten/kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah
daerah tingkat II yakni pemerintah daerah kabupaten/kota. Jenis-jenis pajak
kabupaten/kota adalah:
a. Pajak hotel
b. Pajak restoran
c. Pajak hiburan
d. Pajak reklame
e. Pajak penerangan jalan
f. Pajak pengambilan bahan galian C
g. Pajak parkir
Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota
diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang
ditetapkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 34/2000.
Kabupaten/kota dapat menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik,
17
dengan tetap memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang
tersebut. Kriteria yang dimaksud disini adalah:
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi daerah.
2. Objek pajak terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan, dan
mempunyai mobilitas yang rendah.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum.
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak propinsi dan/atau objek pajak
pusat.
5. Potensinya memadai.
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
8. Menjaga kelestarian lingkungan.
Besarnya tarif untuk pajak kabupaten/kota berlaku definitif, ditetapkan dengan
peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah
ditentukan dalam undang-undang tersebut.
Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta PP
Nomor 66/2001 tentang Retribusi Daerah. Retribusi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan. Semakin banyak jenis pelayanan publik dan meningkatnya
mutu pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah terhadap
masyarakatnya, maka kecenderungan perolehan dana retribusi akan semakin
besar.
Objek atau jenis retribusi daerah menurut Undang-Undang Nomor 34/2000
serta prinsip atau kriteria penentuan tarifnya adalah sebagai berikut:
1) Retribusi jasa umum dengan kriteria penentuan tarif kebijakan daerah yang
bersangkutan, besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan,
kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan. Retribusi yang termasuk
dalam jasa umum antara lain retribusi pelayanan kesehatan, pelayanan
parkir, pelayanan pasar, penggantian cetak akte.
18
2) Retribusi jasa usaha dengan kriteria penentuan tarifnya, yaitu tujuan untuk
memperoleh keuntungan yang layak. Retribusi jasa usaha antara lain jasa
usaha terminal, jasa usaha tempat rekreasi.
3) Retribusi perizinan tertentu dengan kriteria penentuan tarifnya yaitu tujuan
untuk menutup sebagian/seluruhnya biaya penyelenggaraan pemberian izin
yang bersangkutan. Termasuk dalam retribusi perizinan tertentu antara lain
retribusi izin trayek, izin gangguan.
Dalam rangka pengawasan, perda-perda tentang pajak dan retribusi daerah
yang diterbitkan oleh pemerintah daerah harus disampaikan kepada pemerintah
pusat. Perda-perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah pusat melalui
menteri dalam negeri dengan pertimbangan menteri keuangan dapat membatalkan
perda tersebut.
2.1.3.2 Dana Perimbangan
Konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah adalah dibentuk pula
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor
33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam melaksanakan kewenangan daerah, pemerintah pusat memberikan bantuan
kepada daerah dalam bentuk transfer. Transfer pemerintah pusat didefinisikan
sebagai pengalihan dari pendapatan fiskal antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, yang berperan penting dalam menentukan tingkat disparitas
sosial sehingga dalam jangka panjang dapat mengembangkan perekonomian
negara.
Sebelum masa otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan, secara
umum terdapat tiga jenis transfer pemerintah pusat kepada daerah. Transfer
tersebut diwujudkan dalam bentuk Subsidi Daerah Otonomi (SDO), bantuan
Inpres dan Daftar Isian Proyek (DIP). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran
rutin pemerintah daerah guna menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat
pemerintahan. Sebagian besar SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai
pemerintah di daerah, sebagian kecil lainnya untuk keperluan selain subsidi untuk
19
pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah. SDO dikategorikan sebagai transfer
pusat yang bersifat khusus, karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam
menetapkan penggunaan SDO, namun sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Bantuan inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah,
baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus yang diberikan atas
Instruksi Presiden. Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian
urusan kepada daerah dan terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah daerah
untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Selain itu, tujuannya adalah untuk
mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, partisipasi dalam
pembangunan, distribusi hasil-hasil pembangunan. Sementara, daftar isian proyek
(DIP) merupakan subsidi dan bantuan yang dapat dikategorikan sebagai bantuan
antartingkat pemerintahan, karena menjadi bagian dari anggaran pemerintah
daerah.
Setelah berlaku otonomi daerah dan diberlakukannya desentralisasi fiskal
ketiga transfer di atas dihilangkan, sebagai gantinya pemerintah pusat
memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan,
yang ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan bagi APBD dan
untuk memperkecil kesenjangan kapasitas fiskal antardaerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004, dana perimbangan
didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Apabila APBN besar, maka dana yang
dialokasikan ke daerah juga akan besar, dan sebaliknya. Perolehan dana
perimbangan ini tidak memerlukan usulan dari pemerintah daerah, karena sudah
ada formula yang pasti dengan dasar undang-undang, berapa besar alokasi yang
akan diterima suatu daerah. Begitu juga dengan pengelolaannya sepenuhnya
menjadi urusan daerah dalam APBD. Alasan perlunya transfer dana dari pusat ke
daerah adalah:
1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal
Pemerintah pusat menguasai sebagian besar penerimaan-penerimaan (pajak)
utama, pemerintah daerah hanya berwenang memungut pajak-pajak yang
20
berbasis lokal, mobilitas rendah dengan besaran penerimaan yang relatif
signifikan.
2. Untuk mengatasi ketimpangan fiskal horisontal.
Kemampuan daerah dalam menghimpun pendapatan sangat bervariasi,
tergantung pada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan
sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan
ekonomi yang tinggi atau rendah, yang semuanya berimplikasi pada
besarnya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan.
3. Adanya kewajiban untuk menjaga standar pelayanan publik minimum di
setiap daerah.
Peran distribusi sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan
pemerintah pusat. Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit
memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan publik
minimum.
4. Mengatasi permasalahan yang timbul akibat menyebar atau melimpahnya
efek pelayanan publik (interjurisdictional spill-over effects).
Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah mempunyai “efek
menyebar” ke wilayah-wilayah lainya, manfaatnya tidak dapat dibatasi
hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Seperti jalan penghubung antar
daerah, tanpa adanya imbalan dari pembuatan jalan tersebut pemerintah
daerah enggan untuk berinvestasi di sini, maka pemerintah pusat perlu
memberikan semacam insentif agar pelayanan publik tetap dapat terpenuhi
di daerah.
5. Stabilisasi.
Transfer dilakukan oleh pemerintah jika perekonomian lesu, maka untuk
mencapai stabilisasi diberikan transfer.
Dana perimbangan dari pemerintah pusat ini terdiri dari Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU
dan DBH mempunyai sifat bantuan umum (block grant) dan DAK mempunyai
sifat bantuan khusus (specific grant).
Dana bagi hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari APBN yang
dialokasikan ke daerah, di mana besarnya sesuai dengan kontribusi daerah
21
terhadap penerimaan negara dari sumber daya alam (SDA) yang dimiliki daerah.
Tujuan Penganggaran DBH adalah untuk menjaga keadilan atau keseimbangan
vertikal atas kontribusi yang telah disumbangkan daerah kepada Negara, daerah
akan memperoleh bagian yang sesuai dengan besarnya kontribusi terhadap
penerimaan negara.
Dana Bagi Hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-
daerah yang memiliki sumber‐sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi
penerimaan pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan),
pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas Alam,
Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan). Secara garis besar DBH dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu (1) DBH yang bersumber dari perpajakan, dan (2)
DBH yang bersumber dari SDA. Penerimaan Dana Bagi Hasil ditentukan
pemerintah pusat dalam Undang-Undang Nomor 33/2004, dimana proporsi
pembagiannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Proporsi Pembagian Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak.
Jenis Proporsi Pembagian (%)
Pusat Daerah
Bagi hasil untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 10 90
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB)
Pajak Penghasilan (PPh)
20
80
80
20
Iuran Hak Penguasaan Hutan (IHPP)
Dana Reboisasi
Pertambangan umum
20
60
20
80
40
80
Pertambangan minyak bumi 84.5 15.5
Pertambangan gas bumi
Pertambangan panas bumi
Perikanan
69.5
20
20
30.5
80
80
Sumber: Undang-Undang No.33/2004
22
Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan ke daerah dengan tujuan untuk meminimumkan
ketimpangan fiskal antardaerah, sekaligus memeratakan kemampuan keuangan
antardaerah (equalization grant), untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan
PP Nomor 55/2005 tentang Dana Perimbangan, DAU ditetapkan sekurang-
kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri (PDN) yang ditetapkan dalam
APBN. Besarnya DAU yang akan dibagikan kepada semua provinsi adalah 10%
dari total DAU, sementara untuk semua kabupaten/kota dibagikan sebesar 90%
dari total DAU.
Kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan,
kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan
potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk
menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi
penerimaan daerah yang ada.
Formula DAU yang digunakan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
adalah pendekatan konsep alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (fiscal gap). Celah
fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi
dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah, dan alokasi dasar (AD) berupa
jumlah gaji pegawai negeri sipil (PNS) daerah. Besaran alokasi dasar dihitung
berdasarkan realisasi gaji pegawai negeri sipil daerah tahun sebelumnya (t-1) yang
meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan
peraturan penggajian PNS yang berlaku.
DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)……………..………..(2.1)
keterangan:
AD = Gaji PNS Daerah
CF = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan daerah untuk menjalankan
fungsi pelayanan dasar publik, terutama pelayanan kesehatan, pendidikan dan
infrastruktur. Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan
untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk,
23
luas wilayah (mulai 2007 termasuk wilayah laut), indeks pembangunan manusia
(IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) per kapita. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity)
merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH.
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah
yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-
daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh
DAU yang relatif besar.
DAU dikategorikan sebagai transfer tak bersyarat (unconditional grant),
sehingga penggunaan DAU dan penerimaan umum lainnya dalam APBD
ditetapkan oleh daerah, dengan tetap berada dalam kerangka pencapaian tujuan
pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik. Salah satu tolok ukur keberhasilan DAU adalah
tercapainya pemerataan total penerimaan daerah per kapita yang sebaik-baiknya.
Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah tertentu untuk membantu
membiayai kebutuhan khusus daerah, khususnya untuk mendukung kegiatan yang
menjadi prioritas nasional. Pemberian DAK diharapkan dapat mendorong
percepatan pembangunan daerah. Dana ini digunakan khusus untuk membiayai
investasi pengadaan dan peningkatan, serta perbaikan prasarana dan sarana fisik
dengan umur ekonomis yang panjang. Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan
khusus adalah:
1. Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus
alokasi umum. Misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, pembangunan
jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer dan saluran drainase
primer.
2. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, antara lain
proyek yang dibiayai oleh donor, pembiayaan reboisasi daerah, dan proyek-
proyek kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Konsep DAK mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan
reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan
Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan kepada Daerah penghasil dan
24
60% untuk pemerintah pusat. Pengalokasian DAK-DR tersebut dimaksudkan
untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan
dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah satu kegiatan yang
menjadi prioritas nasional. Namun sejak diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 33/2004, dana reboisasi dikelompokkan menjadi dana bagi hasil. Daerah
penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%
dari alokasi dana khusus yang dianggarkan dalam APBD.
2.1.4 Pengelolaan Keuangan Daerah
Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal terjadi perubahan dalam
prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah
adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah
(Halim 2007). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan
daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah, yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya
segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah
tersebut dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang
berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money)
dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah
suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output)
dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105
tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan
publik dan harus berpihak pada kepentingan publik.
Pengelolaan keuangan daerah pada dasarnya menyangkut tiga aspek
analisis yang saling terkait satu dengan lainya, yang terdiri dari:
1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah
dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya
dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari
25
suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya
tersebut meningkat.
3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan
pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.
Dalam konsep yang lebih luas, menurut Mulyana (2006) sistem pengelolaan
keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut :
1. Pengelolaan (optimalisasi dan atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber
yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang
mungkin dilakukan.
2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan
eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat
daerah.
3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya.
4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas.
APBD adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah, yang disusun
dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode (satu tahun).
Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun
anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Belanja daerah adalah semua
pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban
daerah. Tabel 3 menunjukkan perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan
daerah semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal.
Pada tahun 2001-2002 menggunakan format APBD yang berdasarkan
Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) 1981. Awal tahun
1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual
Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor 020-
595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor
970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Secara struktural,
penerimaan daerah meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah
(PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan
pinjaman. Sedangkan belanja daerah dibagi menjadi belanja rutin dan belanja
pembangunan (Mulyana 2006).
26
Tabel 3 Pemetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan
Jenis Makuda 1981 Pengeluaran
Kepmendagri No. 29/2002 Permendagri No. 13/2006
Rutin Pengeluaran Staff Aparatur-Adm umum
Pengeluaran Staff
Belanja Tidak langsung
Pengeluaran Staff
Publik-Adm umum
Pengeluaran Staff
Rutin Pembayaran Hutang dan Bunga
Pembayaran Hutang
Rutin Pengeluaran yang Tidak termasuk dalam pengeluaran lainnya
Subsidi
Hibah Rutin Pensiun dan
santunan Bantuan Sosial
Rutin Subsisi/Bantuan Dana bagi Hasil
Pembagian pendapatan untuk pemerintah daerah atau desa
Keuangan untuk Pemerintah di Tingkat yang lebih rendah
Bantuan keuangan
Bantuan keuangan untuk pemerintah daerah atau desa
Rutin Pengeluaran tak terduga
Pengeluara tak terduga
Pengeluaran tak terduga
Rutin Barang dan Jasa Operasional
Aparatur-operasional dan Perawatan
Pengeluaran Staf
Belanja Langsung
Belanja Barang dan Jasa
Pemeliharaan Biaya perjalanan Dinas
Publik-Operasonal dan perawatan
Pengeluaran staf
Belanja pembangunan
Aparatur-Operasional dan Perawatan
Barang dan Jasa
Biaya Perjalanan Dinas
Operasional dan perawatan
Lain-lain
Belanja pembangunan
Belanja Pembangunan
Publik-Operasional dan Perawatan
Barang dan Jasa
Biaya Perjalanan Dinas
Operasional dan Perawatan
Lain-lain Aparatur
Publik Belanja modal
Belanja modal
Belanja Modal
Sumber : Mulyana, 2006
27
Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk
menjalankan kegiatan rutin pemerintahan, yang mencakup belanja pegawai,
belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja
pembangunan didefinisikan sebagai belanja yang menghasilkan nilai tambah aset,
baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja
pembangunan merupakan pengeluaran yang berkaitan dengan proyek-proyek yang
meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup
pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan
jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Belanja
penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari
gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya.
Format yang berbasis MAKUDA 1981 (format lama) diganti dengan
format yang berbasis kinerja berdasarkan Kepmendagri Nomor 29/2002.
Perundangan Kemendagri Nomor 29/2002 tersebut tentang Pedoman
Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta
Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Struktur anggaran belanja dalam
APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam
APBD tahun anggaran 2002-2006 (Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002).
Perbedaan disebabkan karena adanya perubahan sistem pencatatan dari Single
Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang
berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana 2006).
Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri Nomor 29/2002
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah
dan pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah
dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis
belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan daerah dirinci
menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan
meliputi PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah, Dana
alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana 2006).
28
Sementara belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.
Belanja menurut organisasi merupakan satu kesatuan pengguna anggaran
seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala
daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah
lainnya. Pengelompokan belanja berdasarkan fungsinya misalnya,
pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Pengelompokan jenis
belanja terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan,
belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan.
Pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber
pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih
perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta
penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan
yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus
anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan
defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja
Daerah (Mulyana 2006).
Kepmendagri Nomor 29/2002 selanjutnya direvisi kembali dengan PP
58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh
Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah sebagai pengganti Kepmendagri Nomor 29/2002. Format baru belanja
tahun 2006, berdasarkan Permendagri Nomor 13/2006, belanja
dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja
langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di
dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah,
bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak
terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas
belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal.
2.1.5 Teori Pajak
Pemerintah memerlukan biaya operasional dalam penyelenggaraan
29
pemerintahan maupun pembangunan daerah. Penghasilan pemerintah dalam
rangka membiayai pengeluaran tersebut diperoleh melalui pungutan pajak dari
masyarakat, atau dari hasil kekayaan alam yang terdapat di daerah tersebut.
Penerimaan dari sektor pajak yang dikenakan kepada masyarakat akan kembali
kepada masyarakat melalui pengeluaran rutin dan kegiatan pembangunan berupa
penyediaan fasilitas publik yang secara tidak langsung akan menunjang
kelancaran pembangunan daerah.
Teori keuangan negara menjelaskan bahwa pajak timbul sebagai implikasi
dari peran pemerintah dalam perekonomian. Latar belakang perlunya campur
tangan pemerintah dalam perekonomian adalah karena adanya eksternalitas,
merupakan barang publik, ketidaksempurnaan informasi, pilihan publik, dan
masalah distribusi penghasilan dan kemiskinan yang tidak dapat ditangani pihak
swasta. Pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap
menempatkan sesuai dengan fungsinya. Adapun dilihat dari pemungutannya pajak
mempunyai dua fungsi (Mardiasmo 2002) yaitu:
1. Fungsi Budgeter, pajak digunakan sebagai alat untuk membiayai seluruh
pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintah pusat/daerah.
2. Fungsi Pengaturan (Regulator), pajak juga berfungsi sebagai alat kontrol
atau mengatur untuk mencapai tujuan. Misal, pajak minuman keras
dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman
keras, pajak ekspor untuk menghindari kelangkaan di dalam negeri.
2.1.5.1Tax Effort
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk
melaksanakan otonomi daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang
Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999, maka pemerintah
mengeluarkan berbagai kebijakan di antaranya pemberian kewenangan pajak
(taxing power) yang lebih luas. Kewenangan dalam pengenaan pajak daerah dan
retribusi daerah diharapkan dapat mendorong pemerintah daerah untuk terus
berupaya mengoptimalkan penerimaan PAD, khususnya yang berasal dari
penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah.
30
Kewenangan pajak tersebut di antaranya pemerintah kabupaten/kota
melakukan kebijaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah yang
bersifat komprehensif, dan tetap berpihak kepada rakyat. Intensifikasi pajak
daerah didefinisikan sebagai suatu usaha yang dilakukan pemerintah
kabupaten/kota untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah yang diaplikasikan
melalui perubahan tarif pajak daerah dan meningkatkan pengelolaan pajak daerah
secara profesional melalui prosedur yang baik dan transparan. Secara umum,
menurut Sidik (2002) ada beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah
daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi
intensifikasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, antara lain dengan cara-cara
sebagai berikut:
1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dapat dilakukan oleh daerah, yang dalam perhitungan
ekonomi dianggap potensial adalah mengidentifikasi pembayar pajak
baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki data objek,
memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis
pungutan.
2. Memperkuat proses pemungutan
Usaha yang dapat dilakukan antara lain mempercepat penyusunan Perda,
mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan SDM.
3. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan
dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap
penunggak pajak.
4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan
Tindakan yang dapat dilakukan adalah memperbaiki prosedur administrasi
pajak, melalui penyederhanaan administrasi pajak, menigkatkan efisiensi
pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi
terkait di daerah.
31
Sementara ekstensifikasi pajak daerah merupakan kebijaksanaan yang
diaplikasikan melalui penciptaan sumber-sumber pajak daerah. Salah satu
kebijaksanaan penciptaan sumber-sumber pajak daerah adalah melalui kegiatan
investasi yang sangat berperan dalam meningkatkan penerimaan pajak daerah.
Investasi yang ditanamkan oleh investor pada suatu kabupaten/kota dapat
menciptakan multiefek dalam sektor perekonomian di antaranya dapat
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan PDRB dan
menciptakan sumber/potensi pajak baru.
Kegiatan investasi memberikan kontribusi yang sangat besar dan baik
terhadap upaya peningkatan penerimaan pajak daerah pada khususnya dan
peneriman PAD pada umumnya. Oleh karena itu kegiatan investasi harus
diusahakan oleh pemerintah kabupaten/kota melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan
berikut:
a. Menciptakan daya tarik dan iklim yang kondusif bagi investor untuk
menginvestasikan modalnya di kabupaten/kota
b. Memberikan jaminan kemudahan bagi investor untuk menginvestasikan
modalnya di daerah dengan menghilangkan birokrasi yang berbelit-belit
Sumber perpajakan daerah yang ideal setidaknya memiliki karakteristik
sebagai berikut: (1) basis pajak relatif tidak berpindah (immobile), (2) penerimaan
pajak harus dapat menutupi kebutuhan lokal dan bersifat dinamis, (3) basis pajak
harus dapat dilihat, sehingga akuntabel, dan (4) pajak dianggap adil oleh wajib
pajak.
Adapun tax effort adalah upaya peningkatan pajak daerah dan retribusi
daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi)
sumber-sumber PAD dengan potensi sumber-sumber PAD (Halim 2001). Tax effort
menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya
dengan mempertimbangkan potensi yang miliki, yang selanjutnya akan digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerah (belanja daerah).
Tax Effort (TE) dapat digunakan untuk menganalisis posisi fiskal suatu
daerah yaitu dengan membandingkan penerimaan pajak terhadap kapasitas pajak
(Halim 2001). Secara matematis dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut:
32
TEj = Trj / (tsj Bj) ………………………………………...…….……..(2.2)
= Trj / Tcj …….……………………………...……………………(2.3)
keterangan:
TEj = Upaya pajak di kabupaten/kota j
Trj = Penerimaan pajak di kabupaten/kota j
Tcj = Kapasitas pajak di masing-masing kabupaten/kota j
tsj = Standar tarif pajak di masing-masing kabupaten/kota j
Bj = Basis pajak di masing-masing kabupaten/kota j
Kapasitas pajak di daerah j (Tcj) didekati dengan nilai PDRB (non migas) konstan
dari daerah j, sehingga formula di atas dapat dituliskan kembali sebagai berikut:
TEj = Trj / PDRB j ……………………………………..………………(2.4)
Dengan pengukuran ini akan diketahui besaran pertumbuhan PDRB non migas
terhadap peningkatan PAD.
2.1.5.2 Model Leviathan
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari
pajak daerah dan retribusi daerah perlu memperhatikan dua hal berikut, yaitu
dasar pengenaan pajak dan tarif pajak. Pemerintah daerah cenderung
menggunakan tarif pajak yang tinggi, supaya memperoleh total penerimaan pajak
daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis
tidak selalu menghasilkan total penerimaan pajak yang maksimum. Hal ini
tergantung pada respon dari wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang
dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Formulasi ini dikenal dengan Model
Leviathan. Dengan mengasumsikan biaya administrasi perpajakan tidak signifikan
dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak,
dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak. Gambar 2
menunjukkan hubungan tarif pajak dengan total penerimaan pajak daerah, yang
dikenal dengan kurva Laffer.
Bentuk kurva parabola menghadap sumbu Y, menghasilkan total
penerimaan pajak maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk
menghindari beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah ”economic
33
Tarif Pajak Daerah
Kurva Laffer
t*
T*Total Penerimaan
Pajak Daerah
behavior” dari wajib pajak. Model leviathan akan mencapai total penerimaan
pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Tarif t* menunjukkan bukanlah tarif pajak
tertinggi, tetapi pada saat tarif t* dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum.
Kondisi ini disebut Revenue Maximizing Tax rate.
Sumber: Sidik, 2002. Gambar 2 Hubungan antara tarif pajak proposional atas basis pajak tertentu.
Oleh karena itu, peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai
dengan mengenakan tarif pajak yang tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak
yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan
penghindaran pajak dan respons harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan
pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai total penerimaan maksimum. Model
Leviatan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara
tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak
Maksimal.
2.1.6 Pertumbuhan Ekonomi
Para ahli ekonomi maupun politik umumnya sepakat menjadikan
pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam
pembangunan. Pemerintah di negara mana pun dapat segera jatuh atau bangun
berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapainya.
Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi atau rendahnya mutu
aparatnya di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan
kecepatan pertumbuhan output nasional (Todaro dan Smith 2006).
34
Berdasarkan teori neoklasik, pertumbuhan output ekonomi regional
dipengaruhi pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan tenaga kerja dan kemajuan
teknologi. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai kenaikan kapasitas dalam
jangka panjang dari negara yang bersangkutan dalam menyediakan berbagai
barang ekonomi bagi penduduknya.
Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan
menghitung persentase Produk Domestik Bruto (PDB). PDB mengukur
pengeluaran total dari suatu perekonomian terhadap berbagai barang dan jasa
yang baru diproduksi pada saat atau tahun serta pendapatan total yang diterima
dari adanya seluruh produksi dan jasa tersebut (Mankiw 2006). Pertumbuhan
biasanya dihitung dalam nilai riil dengan tujuan untuk menghilangkan adanya
pengaruh inflasi pada barang dan jasa yang diproduksi, sehingga PDB riil semata-
mata menggambarkan perubahan kuantitas produksi.
Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu akumulasi
modal, pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi (Todaro dan Smith 2006).
Akumulasi modal terjadi apabila sebagian pendapatan ditabung dan diinvestasikan
dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan. Akumulasi modal dapat
dilakukan secara langsung maupun dengan melakukan investasi terhadap fasilitas-
fasilitas penunjang seperti investasi infrastuktur, ekonomi dan sosial.
Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja secara tradisional dianggap faktor positif
yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang besar
berarti dapat menambah tenaga kerja produktif, sedangkan pertumbuhan
penduduk yang besar berarti ukuran pasar domestik besar. Faktor lainnya adalah
kemajuan teknologi yang merupakan dasar bagi berlangsungnya pertumbuhan
ekonomi secara berkesinambungan.
Pentingnya akumulasi modal (investasi) dalam pertumbuhan ekonomi
dikenal sejak dikembangkannya ”the linear stages theory”, yang menyatakan
bahwa kunci untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan
adalah peningkatan total tabungan nasional dan luar negeri. Semakin banyak total
tabungan dan diinvestasikan, laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat
(Todaro dan Smith 2006). Muncul beberapa kritik terhadap teori ini, yang
menyatakan bahwa ada faktor-faktor lain yang mendukung pertumbuhan
35
ekonomi, yaitu kecakapan managerial, tenaga kerja yang terdidik dan terlatih,
kemampuan perencanaan, adanya transfortasi yang memadai serta birokrasi
pemerintah yang efisien.
Berbagai model pertumbuhan ekonomi muncul mengikuti perubahan
perekonomian dari waktu ke waktu. Teori klasik dimotori Adam Smith,
beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada adanya pertambahan
penduduk. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan pertambahan output.
Yang termasuk dalam teori klasik lainnya Ricardo. Ricardo menyatakan bahwa
faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat
pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah, sehingga dapat
mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk
membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami
kemandegan (stationary state).
Selanjutnya, Teori Klasik berkembang menjadi Teori Neoklasik yang
dimotori Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan bahwa
modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat
dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori dari Harrord Domar
juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja.
Model pertumbuhan Solow menjelaskan bagaimana pertumbuhan stok
kapital, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi di
dalam perekonomian. Ketiganya mempengaruhi produk nasional atau Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) pada skala regional. Hubungan ketiga input
produksi tersebut digambarkan pada Gambar 3. Dalam model pertumbuhan
ekonomi ini, stok kapital merupakan faktor penentu output sebuah perekonomian,
namun stok kapital selalu berubah sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
pada akhirnya. Kegiatan investasi dalam hal ini terkait dengan misalnya
pengeluaran pembangunan gedung atau fasilitas baru dan perlengkapan.
Pengeluaran ini mengakibatkan stok kapital meningkat.
Dari grafik , f(k) adalah fungsi produksi atau dapat dinotasikan y. Investasi
per tenaga kerja dinotasikan dengan i. Jika investasi pertenaga kerja sy, maka
i = sf(k). Bagaimana setiap nilai dari k dapat mempengaruhi output serta
36
bagaimana alokasi output antara konsumsi dan tabungan ditentukan oleh saving
rate s, dengan mempertimbangkan juga faktor depresiasi.
Output per tenaga kerja Output f(k)
Output per c Konsumsi per tenaga kerja tenaga kerja Investasi (sf(k))
y
i Investasi per tenaga kerja
Kapital per tenaga kerja
Sumber: Kharisma, 2006. Gambar 3 Hubungan stok kapital, tenaga kerja dan teknologi menurut
Teori Solow
Dampak investasi dan depresiasi dalam stok kapital dapat dinyatakan dalam
persamaan berikut:
Perubahan dalam stok kapital = Investasi – Depresiasi
Δk = i – δk …………………………………...………………………….(2.5)
dengan mensubstitusi i=sf(k) dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
Δk = sf(k) – δk …………………………………………….……………(2.6)
Persamaan di atas menjelaskan investasi dan depresiasi pada berbagai level stok
kapital k. Semakin tinggi stok kapital, semakin tinggi output yang dihasilkan,
namun semakin tinggi pula depresiasi.
Pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak
negatif. Menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan
sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow merupakan pilar
yang memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Model ini
merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan
37
menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam persamaan
pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal
memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya
dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan
memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith
2006).
Model neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal
maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar.
Pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang
lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar.
Pada proses pembangunan selanjutnya, dengan semakin baiknya prasarana dan
fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan
semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan
telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan
ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai
hipotesis Neoklasik.
2.1.6.1 Kurva Scully
Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor
Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluaran
pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik, porsi
pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi
menjadi variabel dependent. Gambar 4 menunjukkan hubungan tingkat
pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah.
Model ini menunjukkan bahwa peningkatan porsi pengeluaran pemerintah
terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih
tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi
tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih
rendah bahkan dapat mencapai nol bagi petumbuhan ekonomi, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.
38
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi g
t
0 Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB
Sumber : Kharisma, 2006. Gambar 4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio
pengeluaran pemerintah terhadap PDRB menurut Teori Scully.
2.1.6.2 Teori Peacock dan Wiseman
Teori Peacock dan Wiseman, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
(PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak
tidak berubah, dan peningkatan penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran
pemerintah juga semakin meningkat. Pada kondisi normal peningkatan PDB
menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan
pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Apabila kondisi di atas terganggu, misalnya karena adanya perang, maka
pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang, maka
penerimaan pemerintah dari pajak akan meningkat di antaranya melalui cara
menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi
menjadi berkurang. Kondisi ini disebut efek pengalihan (displacement effect)
yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada
aktivitas pemerintah. Biaya perang tidak hanya dipenuhi melalui pajak, dibiayai
juga melalui pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang, pemerintah
sebetulnya dapat menurunkan tarif pajak kembali, tetapi karena harus
mengembalikan pinjaman tersebut maka penurunan tarif pajak tidak dilakukan.
Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat
karena pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Hal ini disebut
efek inspeksi (inspection effect). Gangguan sosial juga dapat menyebabkan
39
terjadinya efek konsentrasi (concentration effect) yaitu terjadi konsentrasi
kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula
dilaksanakan untuk swasta. Setelah perang selesai dan kembali ke keadaan
normal, tingkat pajak akan turun kembali.
Teori ini didasari suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha
memperbesar pengeluarannya sementara masyarakat tidak suka membayar pajak
yang semakin besar dalam rangka membiayai pengeluaran pemerintah tersebut.
Peacock dan Wiseman mendasarkan teorinya pada suatu teori bahwa masyarakat
mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat di mana masyarakat
dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah
untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi ini merupakan
kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-
mena.
2.2 Penelitian Empirik Terdahulu
Kharisma (2006), meneliti tentang pengaruh anggaran pemerintah daerah
dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di 26
provinsi di Indonesia. Dengan menggunakan estimasi model ekonometrik data
panel, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi
(1995-2000), peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan
pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di tingkat nasional,
di Jawa maupun luar Jawa. Peran pemerintah daerah dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi lebih besar melalui dana perimbangan dibanding
pendapatan asli daerah (PAD). Sesudah memasuki era desentralisasi (2001-2004),
peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik
melalui sisi penerimaan maupun pengeluaran mengalami peningkatan. Perannya
jauh lebih besar melalui sisi pengeluaran dibandingkan sisi penerimaan, baik
untuk tingkat nasional, di Jawa maupun luar Jawa. Di era desentralisasi peran
PAD terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, walaupun masih di
bawah dana perimbangan. Selain itu selama era desentralisasi, peran anggaran
pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran
40
pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan
era sebelumnya.
Ronauli (2006), meneliti tentang pengaruh dana perimbangan terhadap
pertumbuhan ekonomi dan disparitas pendapatan daerah pasca penerapan
desentralisasi fiskal di Indonesia. Penelitian menggunakan analisis data panel
dengan model regresi fixed effect dan metode Generalized Least Square (GLS).
Hasil penelitian menunjukkan kebijakan dana bagi hasil pajak maupun sumber
daya alam secara rata-rata nasional tidak memberikan hasil yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, dan variabel Dana Alokasi Umum (DAU) tidak
memberikan hasil positif meminimkan disparitas pendapatan daerah.
Waluyo (2007), meneliti tentang dampak desentralisasi terhadap
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antardaerah di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan model ekonometrika persamaan simultan
dengan menggunakan data panel antarpropinsi. Asumsi yang digunakan adalah
tidak adanya keterkaitan antardaerah, tidak ada migrasi penduduk antardaerah,
tidak ada pergerakan modal dan barang antardaerah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan
ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber
daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam.
Daerah-daerah yang miskin sumber daya alam dan bukan pusat bisnis dan industri
akan mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU dan DAK. Desentralisasi
fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah
terutama antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia
(KTI), hal ini disebabkan oleh mekanisme equalizing transfer melalui dana
perimbangan. Hal ini juga ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi di KTI, sedangkan pulau Jawa dan Bali merupakan daerah yang paling
rendah pertumbuhan ekonominya dengan adanya kebijakan desentralisasi fiskal.
Secara umum kebijakan desentralisasi fiskal belum mampu mengurangi
kesenjangan pendapatan antardaerah.
Brodjonegoro (2001) melakukan penelitian dengan menggunakan model
makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap
perekonomian Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan skema DAU,
41
DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan (DBHPPh) disparitas ekonomi
antardaerah akan semakin meningkat ditunjukkan oleh meningkatnya angka
indeks Williamson. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi daerah, dengan
skema yang sama menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda-beda antar
daerah, daerah yang kaya SDA dan menerima DAU tinggi menunjukkan tingat
petumbuhan yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
Lutfi (2002), dalam penelitiannya tentang pemanfaatan kebijakan
desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-Undang Nomor 34/2000 oleh Pemda
untuk menarik pajak daerah dan retribusi daerah. Implementasi Undang-Undang
Nomor 34/2000 telah memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi daerah untuk
memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini ditunjukkan seluruh daerah
di Indonesia berlomba-lomba untuk menerbitkan perda untuk menggali potensi
pajak daerah dan retribusi daerah yang dimiliki daerahnya.
Landiyanto (2005), meneliti kinerja keuangan daerah kota Surabaya di era
otonomi daerah. Dengan menggunakan metode eksploratif dan diperkuat dengan
melihat tingkat kemandirian keuangan dan derajat desentralisasi, periode tahun
1998-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Surabaya masih memiliki
ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat, yang disebabkan belum
optimalnya penerimaan dari pendapatan Asli daerah Kota Surabaya. Sehingga
perlu di cari alternatif-alternatif untuk meningkatkan PAD.
Adi dan Wulan (2008), melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat
adanya kecenderungan perilaku asimetris pemerintah daerah kota/kabupaten
terhadap pemerintah pusat yang diwujudkan dalan APBD. Hasil penelitian
menunjukkan transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap besarnya
pengeluaran pemerintah daerah kabupaten atau kota. Terbukti adanya perilaku
asimetris daerah dalam merespon transfer pemerintah pusat dengan cara
memanipulasi pengeluaran pemerintah setinggi mungkin dengan tidak
mengupayakan maksimasi pendapatan asli daerah (PAD) supaya dapat bantuan
berupa transfer dari pemerintah pusat.
Idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah
satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi PAD dalam hal pembiayaan
42
belanja daerah (Adi 2007). PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam
perekonomian daerah.
Adi dan Wulan (2008), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa transfer
pemerintah pusat (DAU) justru memberikan pengaruh negatif pada tax effort
daerah (pada taraf signifikansi 10%). Tax effort pemerintah kabupaten/kota justru
semakin rendah. Hal ini menunjukan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap
transfer pemerintah pusat, daerah lebih mengandalkan penerimaan DAU yang
bersifat hibah daripada mengoptimalkan penerimaan PAD.
Stine (1994) menemukan hal yang berbeda, penelitiannya di Pennsylvania
menunjukkan ketika terjadi penurunan transfer menyebabkan turunnya dukungan
pembiayaan kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan pajak, yang kemudian
diantisipasi daerah dengan melakukan peningkatan harga-harga layanan publik di
tingkat lokal. Publik merespon negatif peningkatan harga-harga layanan publik
tersebut, sehingga penerimaan daerah sendiri (own revenue) mengalami
penurunan. Hal ini justru akan menjadi kontraproduktif, dikarenakan tidak
menyebabkan terjadinya kenaikan pendapatan sendiri (PAD).
2.3 Kerangka Pemikiran
Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33/ 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya, termasuk kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangannya
sendiri. Oleh karenanya, pemerintah daerah dituntut untuk dapat meningkatkan
penerimaan daerah guna memenuhi kebutuhan belanja daerah.
Salah satu kendala yang sering dijumpai pada implementasi otonomi daerah
adalah adanya perbedaan potensi dan kondisi dari masing-masing daerah, sehingga
menimbulkan kesenjangan fiskal baik dengan pemerintah pusat maupun
kesenjangan antardaerah. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat
memberikan transfer fiskal berupa dana perimbangan kepada pemerintah daerah.
Dana perimbangan tersebut terdiri dari DAU, DAK dan DBH.
Pemberian dana perimbangan diharapkan dapat dijadikan sebagai stimulus
43
bagi daerah untuk meningkatkan kemandiriannya dan mengurangi kesenjangan
fiskal horisontal, sehingga daerah mempunyai tingkat kesiapan fiskal yang relatif
sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan dapat
mengalokasikan dana perimbangan tersebut pada sektor-sektor produktif, yang
dapat mendorong peningkatan investasi di daerah dan juga pada sektor yang
berdampak pada peningkatan pelayanan publik, yang dapat meningkatkan kontribusi
publik terhadap pajak.
Kemandirian daerah semakin tinggi seiring dengan meningkatnya fiskal
daerah, dan pada akhirnya dapat mengurangi tanggungan pemerintah pusat untuk
memberikan dana perimbangan. Tingkat kemandirian daerah dapat diukur dengan
semakin tingginya kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tersebut.
Hasil penelitian Adi dan Wulan (2008) menunjukkan masih adanya
kecenderungan daerah untuk mempertahankan penerimaan dana perimbangan
(DAU) tanpa mengupayakan peningkatan pendapatannya sendiri (PAD), pemberian
DAU justru menjadi disinsentif bagi peningkatan tax effort daerah. Sementara Stine
(1994) menemukan hal yang berbeda, penurunan transfer pusat tidak hanya
berdampak pada penurunan pengeluaran lokal, tetapi akan menurunkan juga
penerimaan daerah sendiri (own revenue).
Penelitian ini akan melihat sejauh mana pemberian dana perimbangan yang
terdiri dari DAU, DBH, dan DAK dapat menjadi stimulus bagi peningkatan tax
effort daerah untuk periode 2001- 2008. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas
maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran penelitian, yang
ditunjukkan pada Gambar 5.
2.4 Hipotesis Penelitian
Adanya desentralisasi fiskal yang berdampak pada semakin luasnya
kewenangan pemerintah daerah, baik dalam pengelolaan keuangan maupun dalam
pelaksanaan pembangunan daerah, diharapkan dapat meningkatkan kemandirian
fiskal daerah, yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah. Adapun hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :
1. Dana perimbangan dari pemerintah pusat berpengaruh positif terhadap tax
effort daerah.
44
2. Elastistas pertumbuhan ekonomi daerah akibat perubahan PAD dan dana
perimbangan bernilai positif.
Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran.
Pemerintah Daerah
Fiskal Gap
Pelimpahan Wewenang
Pemerintah Pusat
Keuangan daerah
Administrasi
Pemerintahan
Transfer Fiskaldana
perimbangan
Desent-ralisasi Fiskal
Potensi Daerah dan Tax Effort
Kemandirian Fiskal Daerah
Pertumbuhan ekonomi daerah
Otonomi Daerah
PAD
DAU
DBH
DAK