14
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Teori Pembangunan Manusia Salah satu pelopor pendekatan pembangunan manusia dalam Ilmu Ekonomi Pembangunan adalah Sen (2000) melalui konsep human capabilities approach. Pendekatan ini menekankan pada gagasan kemampuan (capabilities) manusia sebagai tema sentral pembangunan. Haq (1995) juga telah menegaskan, manusia harus menjadi inti dari gagasan pembangunan, dan hal ini berarti bahwa semua sumberdaya yang diperlukan dalam pembangunan harus dikelola untuk meningkatkan kapabilitas manusia. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran UNDP yang diterjemahkan ke dalam beberapa indikator sosial-ekonomi yang menggambarkan kualitas hidup dalam beberapa ukuran kuantitatif, seperti kemampuan ekonomi, kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan untuk hidup lebih panjang dan sehat (Ranis, 2004). Dimensi pembangunan sosial-ekonomi mencakup dan terkait dengan beberapa tema utama, antara lain prestasi perekonomian, kenaikan taraf kesehatan, angka harapan hidup serta perluasan distribusi pendidikan. Secara umum, UNDP mendefinisikan pembangunan manusia (human development) sebagai perluasan pilihan bagi setiap orang untuk hidup lebih panjang, lebih sehat dan hidup lebih bermakna (UNDP, 1990). Memperluas pilihan manusia berarti mengasumsikan suatu kondisi layak hidup yang memungkinkan manusia memperoleh akses untuk mendapatkan pengetahuan dan pendidikan serta akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan untuk hidup secara layak. Konsep pembangunan manusia seutuhnya merupakan konsep yang menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk yang dilakukan dengan menitikberatkan pada pembangunan SDM secara fisik dan mental. Azas pemerataan merupakan salah satu prinsip pembangunan manusia. Melalui strategi jalur pemerataan, kebijakan pembangunan mengarah pada pemihakan terhadap kelompok penduduk yang tertinggal. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas fisik dan mental penduduk perlu dilakukan oleh pemerintah melalui pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan dasar.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Kemdiknas,

  • Upload
    vanminh

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Teori Pembangunan Manusia

Salah satu pelopor pendekatan pembangunan manusia dalam Ilmu

Ekonomi Pembangunan adalah Sen (2000) melalui konsep human capabilities

approach. Pendekatan ini menekankan pada gagasan kemampuan (capabilities)

manusia sebagai tema sentral pembangunan. Haq (1995) juga telah menegaskan,

manusia harus menjadi inti dari gagasan pembangunan, dan hal ini berarti bahwa

semua sumberdaya yang diperlukan dalam pembangunan harus dikelola untuk

meningkatkan kapabilitas manusia. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran UNDP

yang diterjemahkan ke dalam beberapa indikator sosial-ekonomi yang

menggambarkan kualitas hidup dalam beberapa ukuran kuantitatif, seperti

kemampuan ekonomi, kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan serta

kemampuan untuk hidup lebih panjang dan sehat (Ranis, 2004).

Dimensi pembangunan sosial-ekonomi mencakup dan terkait dengan

beberapa tema utama, antara lain prestasi perekonomian, kenaikan taraf kesehatan,

angka harapan hidup serta perluasan distribusi pendidikan. Secara umum, UNDP

mendefinisikan pembangunan manusia (human development) sebagai perluasan

pilihan bagi setiap orang untuk hidup lebih panjang, lebih sehat dan hidup lebih

bermakna (UNDP, 1990). Memperluas pilihan manusia berarti mengasumsikan

suatu kondisi layak hidup yang memungkinkan manusia memperoleh akses untuk

mendapatkan pengetahuan dan pendidikan serta akses terhadap sumberdaya yang

dibutuhkan untuk hidup secara layak.

Konsep pembangunan manusia seutuhnya merupakan konsep yang

menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk yang dilakukan dengan

menitikberatkan pada pembangunan SDM secara fisik dan mental. Azas

pemerataan merupakan salah satu prinsip pembangunan manusia. Melalui strategi

jalur pemerataan, kebijakan pembangunan mengarah pada pemihakan terhadap

kelompok penduduk yang tertinggal. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi,

peningkatan kualitas fisik dan mental penduduk perlu dilakukan oleh pemerintah

melalui pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan dasar.

12

2.2 Pengertian Pendidikan

Menurut UU No.20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional

(SISDIKNAS) pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Kemdiknas, 2010).

Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer,

pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga

kerja tetapi juga dipengaruhi oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan

teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan

pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk

menunjukkan semakin tinggi modal manusia (human capital). Secara umum,

semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal

ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila

dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang tinggi tersebut

dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika

tingkat pendidikan lebih tinggi maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah

dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik (Todaro dan Smith, 2006).

Sementara itu, unit usaha yang diisi dengan mereka yang

memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyerap teknologi akan lebih

produktif. Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti

kesejahteraan rumah tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu

tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan

hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan

life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-

akhir ini (Nurkolis, 2002).

Pendidikan dasar adalah jenjang paling dasar pada pendidikan di

Indonesia. Pendidikan dasar terdiri dari sekolah dasar (atau sederajat) selama 6

tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun. Pendidikan dasar

diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi

daerah pada tahun 2001, pengelolaan pendidikan dasar negeri di Indonesia yang

13

sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, kini menjadi

tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan Kementerian

Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar

nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit

pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun

2001) Pasal 17 mendefinisikan pendidikan dasar sebagai berikut:

1. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi

jenjang pendidikan menengah.

2. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI)

atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan

madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

3. Pendidikan dasar merupakan hak bagi semua orang dan negara wajib menjamin

pemenuhan pendidikan dasar. Lamanya pendidikan dasar suatu negara

tergantung dari kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing negara.

Menurut UNESCO rata-rata negara berkembang menetapkan pendidikan

dasar yang harus ditempuh adalah 6 tahun. Indonesia menetapkan pendidikan

dasar selama 9 tahun. Terbagi atas pendidikan pada sekolah setingkat Sekolah

Dasar dan sederajatnya (SD/MI/sederajat) selama 6 tahun dan sekolah setingkat

Sekolah Menengah Pertama dan sederajat (SMTP/MTs/sederajat) selama 3 tahun.

Target MDGs untuk pendidikan adalah tercapainya pendidikan setingkat SD dan

SMP untuk semua anak.

2.3 Hubungan Pendidikan dengan Pembangunan Ekonomi

Todaro dan Smith (2006) mengatakan pendidikan dan kesehatan

merupakan tujuan pembangunan yang mendasar di suatu wilayah. Kesehatan

merupakan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk

mencapai kehidupan yang layak. Pendidikan memiliki peran utama dalam

membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi

modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta

pembangunan yang berkelanjutan. PBB dalam Report on The World Social

Situation (1997) mengatakan bahwa pendidikan adalah hal yang mendasar untuk

14

meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan

ekonomi.

2.4 Hubungan Pendidikan dengan Kemiskinan

Menurut Bank Dunia (2004), tingkat pendidikan penduduk miskin yang

rendah akan menimbulkan lingkaran setan kemiskinan pada generasi berikutnya.

Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya

rendah, produktivitas yang rendah akan membuat output dan pendapatan yang

diterima rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan

kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga akan melahirkan

generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan

baru.

Gunnar Mirdal dalam Damanhuri (2010) memiliki teori tersendiri

mengenai “lingkaran setan kemiskinan/keterbelakangan”. Kemiskinan bukan

terletak pada persoalan modal semata sebagaimana yang diutarakan oleh kalangan

liberal, akan tetapi lebih karena kurangnya gizi, pendidikan, dan basic needs

lainnya. Menurut Myrdal, keadaan miskin bermula dari pendapatan yang rendah

sehingga kualitas gizi, menjadi kurang. Rendahnya kualitas tersebut menyebabkan

rendahnya kesehatan yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas.

Produktivitas yang rendah menyebabkan pendapatan penduduk rendah dan

menyebabkan kemiskinan pada generasi selanjutnya. Kemiskinan ini akan

menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi sandang, pangan, papan,

pendidikan, dan kesehatan yang kembali akan menyebabkan kemiskinan baru.

2.5 Ekonomi Pendidikan

Studi ekonomi pendidikan memiliki dasar dalam penerapan konsep fungsi

produksi pada proses pendidikan. Namun, beberapa asumsi yang berkaitan dengan

konsep Education Production Function (EPF) Hanusheck (1986) dalam Boissiere

(2004) mengatakan bahwa beberapa asumsi yang berkaitan dengan konsep EPF

harus dipertimbangkan ketika menggunakan konsep ini untuk menganalisis

pendidikan. Konsep Education Production Function (EPF) dikembangkan oleh

ekonom-ekonom yang `menekuni applied economics khususnya education

economics. Sekolah dapat diperlakukan secara analitis sebagai unit produksi di

sisi penawaran dengan beberapa pengecualian, sekolah tidak memaksimalkan

15

keuntungan perusahaan seperti pada fungsi produksi pada umumnya, kebanyakan

dari sekolah menjadi barang publik atau swasta nirlaba (Bossier, 2004). Ide dasar

dari menggunakan input modal, tenaga kerja, dan lainnya untuk menghasilkan

output tertentu dapat dimodifikasi untuk menganalisis input dari pendidikan untuk

menghasilkan output tertentu dari pendidikan. Glewwe (2002) dalam Bossier

(2004) memformulasikan EPF dari fungsi produksi Cobb Douglass yaitu :

H = k * Sx *A

y *Q

z

Dimana

H : human capital dengan pendekatan menggunakan skor nilai tes

S : School, lamanya waktu sekolah

A : Ability, serangkaian kemampuan individu siswa dan kapasitas

belajar, seperti IQ

Q : faktor kualitas sekolah, seperti ukuran kelas, kualifikasi

pengajar, dll

X,y,z : dampak dari input yang memengaruhi output

Para pengambil kebijakan akan tertarik pentingnya ukuran dan statistik

dari koefisien dalam fungsi produksi pendidikan karena itu akan memberikan

beberapa gagasan tentang dampak dari berbagai faktor input yang dianggap

sebagai penentu hasil pendidikan. Outputnya adalah pencapaian dari hasil

pendidikan seperti hasil score suatu tes atau hasil ujian kelulusan suatu wilayah

(Bossier, 2004).

Dalam perkembangannya, banyak faktor yang dapat digunakan untuk

melakukan pendekatan menghitung outcomes dari pendidikan. Input dari model

diatas bisa dimodifikasi sebagai variabel-variabel yang dapat digunakan untuk

menghitung suatu outcomes tertentu yang menjadi target suatu pemerintahan.

Contohnya saja kebijakan dan program yang akan dievaluasi terhadap hasil dari

pendidikan yang ditargetkan (Purwanto, 2010).

Bruns et al. (2003) menggunakan banyaknya yang menyelesaikan

pendidikan dasar sebagai outcomes pendidikan. Faguet (2007) menggunakan

kenaikan partisipasi sekolah sebagai indikator outcomes sedangkan Tanaka et al.

(2007) menggunakan skor dari tes yang diuji kepada murid sekolah setingkat SD

dan SMP.

16

2.6 Hubungan Pendidikan dan Investasi

Kualitas modal manusia yang ditunjukkan melalui tingkat pendidikan dan

angka partisipasi sekolah dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh

perpaduan antara kekuatan permintaan dan penawaran, sama halnya dengan

barang ataupun jasa ekonomi lainnya. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan

bahwa pada sisi penawaran (oleh negara) pendidikan dibatasi oleh tingkat

pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Sedangkan permintaan terhadap

pendidikan merupakan suatu “permintaan tidak langsung” atau permintaan

turunan (derived demand), yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh

pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern. Lebih lanjut Todaro dan Smith

(2006) mengatakan bahwa permintaan itu ditentukan oleh kombinasi pengaruh

dari empat variabel yaitu:

1. Selisih atau perbedaan upah atau pendapatan antara sektor modern dengan

sektor tradisional.

2. Probabilitas untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern dengan adanya

pendidikan.

3. Biaya pendidikan langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya.

4. Biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan

Selain itu, ada beberapa variabel penting lainnya yang bersifat

nonekonomi seperti: pengaruh tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan

orang tua dan besarnya anggota keluarga, yang sangat memengaruhi tingkat

permintaan terhadap pendidikan (Glewwe, 2002).

Dengan kata lain, permintaan terhadap pendidikan akan membandingkan

biaya-biaya pendidikan (butir 3 dan 4) yang harus dikeluarkan dengan keuntungan

yang diperoleh (butir 1 dan 2). Perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan

untuk membiayai pendidikan dengan total manfaat atau pendapatan yang akan

diperoleh dari para lulusannya di masa depan dihitung sebagai tingkat

pengembalian dari investasi pendidikan (rate of return to education). Tingkat

pengembalian dari investasi pendidikan ini dapat bersifat sosial maupun individu.

Dalam perspektif ekonomi, pendidikan merupakan bentuk investasi

sumber daya manusia yang akan memberi keuntungan di masa mendatang, baik

kepada masyarakat atau negara, maupun orang-orang yang mengikuti pendidikan

17

itu sendiri. Sebagai salah satu bentuk investasi sumber daya manusia, investasi

pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu private investment dan

public investment (Todaro dan Smith, 2006).

Private investment merupakan investasi pendidikan pada level mikro atau

tingkat individu. Bentuk dari private investment adalah individu yang mengenyam

bangku pendidikan formal maupun nonformal termasuk orangtua yang

mengajarkan anak pelajaran. Sedangkan public investment merupakan investasi

yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam bentuk penyediaan

gedung sekolah, lembaga pendidikan, guru, dana pendidikan, penyediaan

infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya (Todaro dan Smith, 2006).

2.7 Manfaat dan Biaya Pendidikan

Sesuai dengan pembagian bentuk investasi pendidikan, terdapat dua jenis

biaya dalam investasi pendidikan, yaitu biaya individu (private cost) dan biaya

sosial (social cost). Biaya-biaya pendidikan individual (private cost) merupakan

biaya yang harus ditanggung oleh setiap peserta didik dan keluarganya sendiri.

Menurut Becker (1993) dalam Budiarti (2009), biaya total yang harus ditanggung

rumah tangga untuk melakukan nonworking activity terdiri dari biaya langsung

(cost of purchased inputs) dan biaya tidak langsung berupa opportunity cost dari

waktu yang digunakan untuk mengenyam pendidikan.

Setyonaluri (2002) dalam Budiarti (2009).Pengeluaran pendidikan yang

harus dikeluarkan oleh rumah tangga seperti uang sekolah, biaya seragam, buku-

buku pelajaran, dan sebagainya dikenal sebagai biaya langsung (out of pocket

expenses). Sedangkan biaya tidak langsung atau foregone earnings, adalah

hilangnya penghasilan atau volume produksi yang sebenarnya dapat dihasilkan

seseorang bila ia memilih untuk bekerja dan tidak sekolah. Umumnya foregone

earnings diukur dengan penghasilan seseorang yang memiliki pendidikan di

bawah tingkat pendidikan yang ia tempuh pada saat ini .

Menurut Todaro dan Smith (2006), biaya sosial (social cost) merupakan

opportunity cost yang harus ditanggung oleh masyarakat secara keseluruhan

sebagai akibat dari adanya kebutuhan masyarakat untuk membiayai perluasan

pendidikan yang lebih tinggi dan lebih mahal dengan dana yang mungkin lebih

produktif bila digunakan pada sektor-sektor ekonomi yang lain, yaitu untuk

18

sektor-sektor nonpendidikan. Manfaat individu (private benefit), yang juga

dikenal sebagai manfaat langsung (direct benefit), merupakan keuntungan yang

diterima individu dengan bersekolah, diantaranya berupa lebih tingginya

penghasilan (lifetime earnings) yang diterima oleh individu yang bersekolah

dibandingkan dengan penghasilan yang diterima oleh individu yang tidak

bersekolah. Atau dapat diartikan bahwa manfaat pendidikan bagi individu adalah

besarnya penghasilan yang diterima oleh individu tersebut sepanjang hidupnya,

berdasarkan tingkat pendidikan yang dicapainya setelah dikurangi dengan pajak

penghasilan. Manfaat sosial (social benefit), atau disebut juga manfaat tidak

langsung (indirect benefit), adalah keuntungan yang dinikmati masyarakat karena

bersekolahnya seseorang.

2.8 Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan

Rakyat berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Inilah

kebijakan publik pemerintah di bidang pendidikan (Pasal 31 UUD 1945).

Konsistensi terhadap konstitusi untuk mencerdaskan bangsa sepatutnya

merupakan landasan dari segenap rencana strategis pendidikan yang diwujudkan

dalam merumuskan praksis pendidikan di Indonesia. Menurut Mankiw (2008)

pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas

modal manusia. Modal manusia dapat mengacu pada pendidikan, namun juga

dapat digunakan untuk menjelaskan jenis investasi manusia lainnya seperti

investasi yang mendorong ke arah populasi yang sehat yaitu kesehatan.

Pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan merupakan bagian

dari pengeluaran pemerintah yang memacu kesejahteraan masyarakat dan pada

akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Intervensi pemerintah dalam

bidang pendidikan juga dalam kerangka penanaman nasionalisme serta nilai-nilai

kebangsaan lainnya. Untuk itu pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan

cenderung diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung, misalnya pendirian

sekolah negeri. Harapannya dengan mensuplai pelayanan pendidikan secara

langsung, pemerintah lebih dapat mengkontrol kurikulum dan standar pendidikan.

Pengeluaran pemerintah ini berupa pembangunan sarana dan prasarana

pendidikan, penyediaan tenaga pendidik, akses ke sarana pendidikan, dan lain

sebagainya.

19

2.9 Penelitian Empiris

Boissiere (2004) dalam studi literaturnya tentang penelitian-penelitian

terdahulu yang determinan pendidikan dasar di negara berkembang. Determinan

output pendidikan dapat diestimasi menggunakan pendekatan dianalisis

menggunakan Supply and Demand, EPF, Randomized Evaluation, Natural

experiment dan metode kualitatif.

Faguet dan Sanchez (2006) meneliti tentang efek desentralisasi kepada

hasil pendidikan di Bolivia dan Colombia. Variabel dependen yang dipakai adalah

pertumbuhan angka partisipasi sekolah dengan metode data panel. Hasil penelitian

menemukan bahwa di Kolombia, desentralisasi keuangan membuat angka

enrollment (angka partisipasi) sekolah naik di sekolah-sekolah milik

pemerintah.Variabel desentralisasi seperti variabel pendapatan daerah per total

pengeluaran pendidikan dan total penerimaan pajak berpengaruh positif dan

signifikan, total pengeluaran pendidikan per transfer pemerintah pusat dan total

pengeluaran pendidikan per pengeluaran pemerintah pusat berpengaruh negatif

terhadap kenaikan tingkat partisipasi murid di sekolah pemerintah. Sedangkan

variabel pengeluaran pendidikan perkapita berpengaruh negatif, hal ini

menggambarkan bahwa variabel pengeluaran pendidikan perkapita bukanlah

faktor yang menentukan pertumbuhan partisipasi sekolah. Di Bolivia,

desentralisasi membuat pemerintah lebih responsif dengan kembali mengarahkan

investasi publik ke daerah yang yang memiliki kebutuhan terbesar. PDRB

perkapita, investasi di bidang pendidikan dan faktor daerah (district) berpengaruh

positif kepada pencapaian pendidikan dasar.

Namun Akai et al. (2007) dalam penelitiannya di Amerika tidak

menemukan bahwa dampak desentralisasi fiskal pengaruh yang signifikan pada

pendidikan dasar tetapi signifikan pada pendidikan menengah (SMP). Dengan

menggunakan metode data panel 49 negara bagian Amerika Serikat dengan tahun

penelitian 1996 dan 2000. Variabel dependennya adalah nilai score tes

matematika National Assessment of Educational Progress (NAEP). Variabel input

yang memengaruhi nilai score secara siginifikan adalah rasio murid per guru.

Sekolah swasta pada level sekolah menengah memberi kontribusi outcomes

pendidikan yang lebih besar dibandingkan sekolah negeri, sekolah negeri yang

20

dibiayai oleh pemerintah ternyata belum dapat memberikan kontribusi yang

signifikan kepada pendidikan.

Coleman (1966) dalam Bossier (2004) mengkaji tentang output pendidikan

di Amerika Serikat menggunakan pendekatan education production function

(EPF) menimbulkan kontroversi yang cukup dengan datang ke kesimpulan

mengejutkan bahwa variasi dalam sumber daya sekolah tidak menjelaskan banyak

variasi dalam prestasi siswa. Pentingnya sekolah dan guru untuk pencapaian siswa

tampak jauh kurang penting dibandingkan dengan status sosial ekonomi siswa

(SES) seperti ditunjukkan oleh sejumlah karakteristik latar belakang keluarga,

seperti pendidikan orangtua, profesi, dan pendapatan. Berbeda dengan Hyneman

(1979) dalam Bossier (2004) dalam penelitiannya di Uganda bahwa faktor

ketersediaan guru dan sekolah lebih berpengaruh dibandingkan faktor status sosial

ekonomi (pendidikan kepala keluarga, pekerjaan, pendapatan) terhadap

pencapaian kualitas pendidikan.

Purwanto (2010) dalam kajiannya tentang faktor-faktor yang memengaruhi

pendidikan dasar dalam kerangka desentralisasi fiskal menggunakan dua model

untuk masing-masing level pendidikan dasar yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah

Menengah Pertama (SMP). Data yang digunakan adalah data panel seluruh

kabupaten/kota di Indonesia. Hasil yang diperoleh adalah Dana Alokasi Khusus

Bidang Pendidikan dan Dana Alokasi Umum pengaruhnya signifikan kepada

angka partisipasi SD namun kurang mempengaruhi untuk tingkat SMP.

Pemerintah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi belum tentu memiliki

angka partisipasi sekolah yang juga tinggi. Sedangkan karakteristik daerah jawa

atau bukan jawa, daerah pemekaran dan daerah buka pemekaran berbeda secara

signifikan, hal ini berimplikasi bahwa masih terjadinya gab yang tinggi antar

daerah di Indonesia. Variabel angka melek huruf (proxy pendidikan kepala

keluarga) dan rasio guru murid tidak signifikan.

Sbrana dan Sanchez (2010) menggunakan regresi logistik dalam meneliti

partisipasi sekolah tingkat dasar, menengah dan tinggi di Yemen. Status pekerjaan

orang tua yang berpenghasilan tetap lebih berpeluang menghasilkan anak yang

bersekolah, keputusan bersekolah atau tidak bersekolah dipengaruhi oleh faktor

sosial ekonomi dalam keluarga seperti umur anak, pendapatan rumah tangga,

21

pendidikan kepala rumah tangga. Orangtua yang memiliki anak perempuan yang

berumur 6 tahun lebih banyak yang tidak menyekolahkan anaknya karena faktor

kekhawatiran akan keselamatan anak perempuannya. Makin tinggi pendidikan

kepala keluarga maka makin memperbesar peluang anak di keluarga tersebut

untuk bersekolah.

Philipina dengan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasarnya 86

persen menargetkan pada tahun 2015 semua anak bersekolah untuk mencapai

target MDG‟s. Tullao dan Rivera (2011) meneliti menggunakan regresi berganda

OLS mengenai faktor sosial ekonomi dalam keluarga yang memengaruhi

partisipasi anak usia 6-12 tahun dikeluarga tersebut bersekolah atau tidak. Daerah

yang diambil sebagai daerah penelitian adalah Pasay City dan Eastern Samar.

Hasilnya adalah variabel pendapatan rumah tangga, letak tempat tinggal, status

pekerjaan orang tua yang tidak tetap, jumlah anggota rumah tangga, kemiskinan,

dan ketersediaan listrik memengaruhi tingkat partisipasi sekolah.

Penelitian ini mengaju pada penelitian Glewwe (2002), Faguet dan

Sanchez (2006) dan Purwanto (2010) dalam meneliti determinan pendidikan dasar

secara regional di provinsi Sulawesi Utara. Adapun perbedaannya adalah pada

metode yang digunakan penulis. Glewwe (2002) menggunakan persamaan

simultan dan OLS, Purwanto (2010) menggunakan data panel dengan variabel

DAU, DAK, PAD sebagai proxy dari desentralisasi fiskal. Penelitian ini

menggunakan data panel dengan variabel pengeluaran pemerintah untuk

pendidikan dasar, rasio murid terhadap guru, rasio guru terhadap sekolah,

banyaknya anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan

pendapatan perkapita antar wilayah di Sulawesi Utara.

Pengaruh faktor sosial ekonomi rumah tangga diteliti dengan

menggunakan regresi logistik. Model mengacu pada penelitian yang dilakukan

Sbrana dan Sanchez (2010). Sbrana dan Sanchez menggunakan variabel tempat

tinggal (desa/kota), pendidikan kepala rumah tangga (sekolah atau tidak sekolah),

pendidikan pasangan kepala rumah tangga, kesehatan, jenis kelamin, pendapatan

perkapitan dan ketersediaan infrastruktur. Perbedaan penelitian ini dengan

penelitian tersebut adalah penelitian ini menggunakan 2 model untuk pendidikan

dasar yaitu umur 7-12 tahun dan umur 13-15 tahun. Variabel yang digunakan

22

adalah letak geografis tempat tinggal, jenis kelamin, pendidikan kepala rumah

tangga, pengeluaran perkapita/bulan, jumlah anggota rumah tangga, dan lapangan

usaha kepala rumah tangga.

2.9 Kerangka Pemikiran

Target MDGs pada tahun 2015 adalah mewujudkan pendidikan dasar

untuk semua. Sulawesi Utara sampai tahun 2010 dengan angka APS usia 7-12

tahun sebesar 98,3 dan APS usia 13-15 tahun sebesar 89,06 menunjukkan bahwa

walaupun APS sudah diatas rata-rata nasional namun target MDGs belum

tercapai. Sementara itu, provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi

dengan peringkat IPM nomor dua seluruh Indonesia, namun APS Sulawesi Utara

terendah dari lima provinsi dengan IPM terbesar. Letak Sulawesi Utara yang

strategis diharapkan sebagai gateway Indonesia ke Asia Timur dan Pasifik.

Rencana jangka panjang pemerintah mempercepat pembangunan ekonomi di

kawasan timur Indonesia khususnya Sulawesi Utara melalui MP3EI

membutuhkan tenaga kerja yang mampu masuk dan dianggap mampu bekerja di

lapangan usaha. Disisi lain, sumber daya manusia yang ada masih didominasi oleh

penduduk yang berpendidikan SD/MI dan sederajat. Percepatan pembangunan di

Sulawesi Utara tidak akan bisa dinikmati oleh masyarakat jika pembangunan

sumber daya manusia dibidang pendidikan belum dimaksimalkan. Hal ini menarik

untuk diteliti agar diperoleh informasi apa saja determinan yang memengaruhi

pendidikan khususnya pendidikan dasar di Sulawesi Utara. Berdasarkan

pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran

penelitian (Gambar 5).

23

Gambar 5 Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Belum tercapainya target MDGs di Sulawesi Utara

untuk pendidikan dasar

Provinsi Sulawesi Utara :

IPM kedua, APS terendah dari 5 provinsi IPM terbesar

Gate Way Internasional lewat hubport dan sektor industri

Faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar

Struktural Kultural

Faktor Input Pendidikan

1. Pengeluaran Riil Pendidikan Dasar

2. Dana BOS

3. PDRB Perkapita

4. Jumlah ART

5. Pendidikan KRT

6. Kemiskinan

7. Rasio Murid terhadap Guru

8. Rasio Guru terhadap Sekolah

Faktor Sosial Ekonomi Rumah Tangga

1. Pendidikan Kepala Keluarga

2. Jumlah Anak dalam keluarga

3. Jenis Kelamin

4. Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga

5. Pedesaan/Kota

6. Pengeluaran Perkapita

Dinamika perkembangan

pendidikan dasar di

Sulawesi Utara

Rekomendasi Kebijakan pendidikan dasar 9

tahun

24

2.10 Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP

dipengaruhi oleh:

1. Faktor pengeluaran pemerintah yaitu belanja riil pendidikan dasar, dana BOS

berpengaruh positif terhadap pendidikan dasar.

2. Faktor sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita, persentase kepala rumah tangga

yang pendidikan diatas SD berpengaruh positif, persentase rumah tangga

dengan jumlah anggota rumah tangga lebih dari 5 orang dan kemiskinan

berpengaruh negatif terhadap pendidikan dasar.

3. Faktor ketersediaan sarana pendidikan yaitu rasio murid guru berpengaruh

negatif, rasio murid sekolah berpengaruh positif.

4. Daerah tempat tinggal, jenis kelamin, pendidikan kepala rumah tangga,

lapangan usaha kepala rumah tangga, jumlah anak dalam rumah tangga, dan

pengeluaran rumah tangga sebagai proxy pendapatan rumah tangga.