Upload
vanminh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Teori Pembangunan Manusia
Salah satu pelopor pendekatan pembangunan manusia dalam Ilmu
Ekonomi Pembangunan adalah Sen (2000) melalui konsep human capabilities
approach. Pendekatan ini menekankan pada gagasan kemampuan (capabilities)
manusia sebagai tema sentral pembangunan. Haq (1995) juga telah menegaskan,
manusia harus menjadi inti dari gagasan pembangunan, dan hal ini berarti bahwa
semua sumberdaya yang diperlukan dalam pembangunan harus dikelola untuk
meningkatkan kapabilitas manusia. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran UNDP
yang diterjemahkan ke dalam beberapa indikator sosial-ekonomi yang
menggambarkan kualitas hidup dalam beberapa ukuran kuantitatif, seperti
kemampuan ekonomi, kemampuan dalam pengetahuan dan keterampilan serta
kemampuan untuk hidup lebih panjang dan sehat (Ranis, 2004).
Dimensi pembangunan sosial-ekonomi mencakup dan terkait dengan
beberapa tema utama, antara lain prestasi perekonomian, kenaikan taraf kesehatan,
angka harapan hidup serta perluasan distribusi pendidikan. Secara umum, UNDP
mendefinisikan pembangunan manusia (human development) sebagai perluasan
pilihan bagi setiap orang untuk hidup lebih panjang, lebih sehat dan hidup lebih
bermakna (UNDP, 1990). Memperluas pilihan manusia berarti mengasumsikan
suatu kondisi layak hidup yang memungkinkan manusia memperoleh akses untuk
mendapatkan pengetahuan dan pendidikan serta akses terhadap sumberdaya yang
dibutuhkan untuk hidup secara layak.
Konsep pembangunan manusia seutuhnya merupakan konsep yang
menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk yang dilakukan dengan
menitikberatkan pada pembangunan SDM secara fisik dan mental. Azas
pemerataan merupakan salah satu prinsip pembangunan manusia. Melalui strategi
jalur pemerataan, kebijakan pembangunan mengarah pada pemihakan terhadap
kelompok penduduk yang tertinggal. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi,
peningkatan kualitas fisik dan mental penduduk perlu dilakukan oleh pemerintah
melalui pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan dasar.
12
2.2 Pengertian Pendidikan
Menurut UU No.20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS) pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Kemdiknas, 2010).
Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer,
pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga
kerja tetapi juga dipengaruhi oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan
teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan
pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk
menunjukkan semakin tinggi modal manusia (human capital). Secara umum,
semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal
ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila
dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang tinggi tersebut
dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika
tingkat pendidikan lebih tinggi maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah
dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik (Todaro dan Smith, 2006).
Sementara itu, unit usaha yang diisi dengan mereka yang
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyerap teknologi akan lebih
produktif. Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti
kesejahteraan rumah tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu
tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan
hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan
life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-
akhir ini (Nurkolis, 2002).
Pendidikan dasar adalah jenjang paling dasar pada pendidikan di
Indonesia. Pendidikan dasar terdiri dari sekolah dasar (atau sederajat) selama 6
tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun. Pendidikan dasar
diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi
daerah pada tahun 2001, pengelolaan pendidikan dasar negeri di Indonesia yang
13
sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, kini menjadi
tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan Kementerian
Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar
nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit
pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun
2001) Pasal 17 mendefinisikan pendidikan dasar sebagai berikut:
1. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah.
2. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI)
atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan
madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
3. Pendidikan dasar merupakan hak bagi semua orang dan negara wajib menjamin
pemenuhan pendidikan dasar. Lamanya pendidikan dasar suatu negara
tergantung dari kebijakan yang diterapkan oleh masing-masing negara.
Menurut UNESCO rata-rata negara berkembang menetapkan pendidikan
dasar yang harus ditempuh adalah 6 tahun. Indonesia menetapkan pendidikan
dasar selama 9 tahun. Terbagi atas pendidikan pada sekolah setingkat Sekolah
Dasar dan sederajatnya (SD/MI/sederajat) selama 6 tahun dan sekolah setingkat
Sekolah Menengah Pertama dan sederajat (SMTP/MTs/sederajat) selama 3 tahun.
Target MDGs untuk pendidikan adalah tercapainya pendidikan setingkat SD dan
SMP untuk semua anak.
2.3 Hubungan Pendidikan dengan Pembangunan Ekonomi
Todaro dan Smith (2006) mengatakan pendidikan dan kesehatan
merupakan tujuan pembangunan yang mendasar di suatu wilayah. Kesehatan
merupakan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk
mencapai kehidupan yang layak. Pendidikan memiliki peran utama dalam
membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi
modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta
pembangunan yang berkelanjutan. PBB dalam Report on The World Social
Situation (1997) mengatakan bahwa pendidikan adalah hal yang mendasar untuk
14
meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan
ekonomi.
2.4 Hubungan Pendidikan dengan Kemiskinan
Menurut Bank Dunia (2004), tingkat pendidikan penduduk miskin yang
rendah akan menimbulkan lingkaran setan kemiskinan pada generasi berikutnya.
Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya
rendah, produktivitas yang rendah akan membuat output dan pendapatan yang
diterima rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan
kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga akan melahirkan
generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan
baru.
Gunnar Mirdal dalam Damanhuri (2010) memiliki teori tersendiri
mengenai “lingkaran setan kemiskinan/keterbelakangan”. Kemiskinan bukan
terletak pada persoalan modal semata sebagaimana yang diutarakan oleh kalangan
liberal, akan tetapi lebih karena kurangnya gizi, pendidikan, dan basic needs
lainnya. Menurut Myrdal, keadaan miskin bermula dari pendapatan yang rendah
sehingga kualitas gizi, menjadi kurang. Rendahnya kualitas tersebut menyebabkan
rendahnya kesehatan yang kemudian menyebabkan rendahnya produktivitas.
Produktivitas yang rendah menyebabkan pendapatan penduduk rendah dan
menyebabkan kemiskinan pada generasi selanjutnya. Kemiskinan ini akan
menyebabkan manusia tidak dapat memenuhi sandang, pangan, papan,
pendidikan, dan kesehatan yang kembali akan menyebabkan kemiskinan baru.
2.5 Ekonomi Pendidikan
Studi ekonomi pendidikan memiliki dasar dalam penerapan konsep fungsi
produksi pada proses pendidikan. Namun, beberapa asumsi yang berkaitan dengan
konsep Education Production Function (EPF) Hanusheck (1986) dalam Boissiere
(2004) mengatakan bahwa beberapa asumsi yang berkaitan dengan konsep EPF
harus dipertimbangkan ketika menggunakan konsep ini untuk menganalisis
pendidikan. Konsep Education Production Function (EPF) dikembangkan oleh
ekonom-ekonom yang `menekuni applied economics khususnya education
economics. Sekolah dapat diperlakukan secara analitis sebagai unit produksi di
sisi penawaran dengan beberapa pengecualian, sekolah tidak memaksimalkan
15
keuntungan perusahaan seperti pada fungsi produksi pada umumnya, kebanyakan
dari sekolah menjadi barang publik atau swasta nirlaba (Bossier, 2004). Ide dasar
dari menggunakan input modal, tenaga kerja, dan lainnya untuk menghasilkan
output tertentu dapat dimodifikasi untuk menganalisis input dari pendidikan untuk
menghasilkan output tertentu dari pendidikan. Glewwe (2002) dalam Bossier
(2004) memformulasikan EPF dari fungsi produksi Cobb Douglass yaitu :
H = k * Sx *A
y *Q
z
Dimana
H : human capital dengan pendekatan menggunakan skor nilai tes
S : School, lamanya waktu sekolah
A : Ability, serangkaian kemampuan individu siswa dan kapasitas
belajar, seperti IQ
Q : faktor kualitas sekolah, seperti ukuran kelas, kualifikasi
pengajar, dll
X,y,z : dampak dari input yang memengaruhi output
Para pengambil kebijakan akan tertarik pentingnya ukuran dan statistik
dari koefisien dalam fungsi produksi pendidikan karena itu akan memberikan
beberapa gagasan tentang dampak dari berbagai faktor input yang dianggap
sebagai penentu hasil pendidikan. Outputnya adalah pencapaian dari hasil
pendidikan seperti hasil score suatu tes atau hasil ujian kelulusan suatu wilayah
(Bossier, 2004).
Dalam perkembangannya, banyak faktor yang dapat digunakan untuk
melakukan pendekatan menghitung outcomes dari pendidikan. Input dari model
diatas bisa dimodifikasi sebagai variabel-variabel yang dapat digunakan untuk
menghitung suatu outcomes tertentu yang menjadi target suatu pemerintahan.
Contohnya saja kebijakan dan program yang akan dievaluasi terhadap hasil dari
pendidikan yang ditargetkan (Purwanto, 2010).
Bruns et al. (2003) menggunakan banyaknya yang menyelesaikan
pendidikan dasar sebagai outcomes pendidikan. Faguet (2007) menggunakan
kenaikan partisipasi sekolah sebagai indikator outcomes sedangkan Tanaka et al.
(2007) menggunakan skor dari tes yang diuji kepada murid sekolah setingkat SD
dan SMP.
16
2.6 Hubungan Pendidikan dan Investasi
Kualitas modal manusia yang ditunjukkan melalui tingkat pendidikan dan
angka partisipasi sekolah dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh
perpaduan antara kekuatan permintaan dan penawaran, sama halnya dengan
barang ataupun jasa ekonomi lainnya. Todaro dan Smith (2006) menjelaskan
bahwa pada sisi penawaran (oleh negara) pendidikan dibatasi oleh tingkat
pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Sedangkan permintaan terhadap
pendidikan merupakan suatu “permintaan tidak langsung” atau permintaan
turunan (derived demand), yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh
pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern. Lebih lanjut Todaro dan Smith
(2006) mengatakan bahwa permintaan itu ditentukan oleh kombinasi pengaruh
dari empat variabel yaitu:
1. Selisih atau perbedaan upah atau pendapatan antara sektor modern dengan
sektor tradisional.
2. Probabilitas untuk mendapatkan pekerjaan di sektor modern dengan adanya
pendidikan.
3. Biaya pendidikan langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya.
4. Biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan
Selain itu, ada beberapa variabel penting lainnya yang bersifat
nonekonomi seperti: pengaruh tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan
orang tua dan besarnya anggota keluarga, yang sangat memengaruhi tingkat
permintaan terhadap pendidikan (Glewwe, 2002).
Dengan kata lain, permintaan terhadap pendidikan akan membandingkan
biaya-biaya pendidikan (butir 3 dan 4) yang harus dikeluarkan dengan keuntungan
yang diperoleh (butir 1 dan 2). Perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan
untuk membiayai pendidikan dengan total manfaat atau pendapatan yang akan
diperoleh dari para lulusannya di masa depan dihitung sebagai tingkat
pengembalian dari investasi pendidikan (rate of return to education). Tingkat
pengembalian dari investasi pendidikan ini dapat bersifat sosial maupun individu.
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan merupakan bentuk investasi
sumber daya manusia yang akan memberi keuntungan di masa mendatang, baik
kepada masyarakat atau negara, maupun orang-orang yang mengikuti pendidikan
17
itu sendiri. Sebagai salah satu bentuk investasi sumber daya manusia, investasi
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu private investment dan
public investment (Todaro dan Smith, 2006).
Private investment merupakan investasi pendidikan pada level mikro atau
tingkat individu. Bentuk dari private investment adalah individu yang mengenyam
bangku pendidikan formal maupun nonformal termasuk orangtua yang
mengajarkan anak pelajaran. Sedangkan public investment merupakan investasi
yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam bentuk penyediaan
gedung sekolah, lembaga pendidikan, guru, dana pendidikan, penyediaan
infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya (Todaro dan Smith, 2006).
2.7 Manfaat dan Biaya Pendidikan
Sesuai dengan pembagian bentuk investasi pendidikan, terdapat dua jenis
biaya dalam investasi pendidikan, yaitu biaya individu (private cost) dan biaya
sosial (social cost). Biaya-biaya pendidikan individual (private cost) merupakan
biaya yang harus ditanggung oleh setiap peserta didik dan keluarganya sendiri.
Menurut Becker (1993) dalam Budiarti (2009), biaya total yang harus ditanggung
rumah tangga untuk melakukan nonworking activity terdiri dari biaya langsung
(cost of purchased inputs) dan biaya tidak langsung berupa opportunity cost dari
waktu yang digunakan untuk mengenyam pendidikan.
Setyonaluri (2002) dalam Budiarti (2009).Pengeluaran pendidikan yang
harus dikeluarkan oleh rumah tangga seperti uang sekolah, biaya seragam, buku-
buku pelajaran, dan sebagainya dikenal sebagai biaya langsung (out of pocket
expenses). Sedangkan biaya tidak langsung atau foregone earnings, adalah
hilangnya penghasilan atau volume produksi yang sebenarnya dapat dihasilkan
seseorang bila ia memilih untuk bekerja dan tidak sekolah. Umumnya foregone
earnings diukur dengan penghasilan seseorang yang memiliki pendidikan di
bawah tingkat pendidikan yang ia tempuh pada saat ini .
Menurut Todaro dan Smith (2006), biaya sosial (social cost) merupakan
opportunity cost yang harus ditanggung oleh masyarakat secara keseluruhan
sebagai akibat dari adanya kebutuhan masyarakat untuk membiayai perluasan
pendidikan yang lebih tinggi dan lebih mahal dengan dana yang mungkin lebih
produktif bila digunakan pada sektor-sektor ekonomi yang lain, yaitu untuk
18
sektor-sektor nonpendidikan. Manfaat individu (private benefit), yang juga
dikenal sebagai manfaat langsung (direct benefit), merupakan keuntungan yang
diterima individu dengan bersekolah, diantaranya berupa lebih tingginya
penghasilan (lifetime earnings) yang diterima oleh individu yang bersekolah
dibandingkan dengan penghasilan yang diterima oleh individu yang tidak
bersekolah. Atau dapat diartikan bahwa manfaat pendidikan bagi individu adalah
besarnya penghasilan yang diterima oleh individu tersebut sepanjang hidupnya,
berdasarkan tingkat pendidikan yang dicapainya setelah dikurangi dengan pajak
penghasilan. Manfaat sosial (social benefit), atau disebut juga manfaat tidak
langsung (indirect benefit), adalah keuntungan yang dinikmati masyarakat karena
bersekolahnya seseorang.
2.8 Pengeluaran Pemerintah dalam Bidang Pendidikan
Rakyat berhak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Inilah
kebijakan publik pemerintah di bidang pendidikan (Pasal 31 UUD 1945).
Konsistensi terhadap konstitusi untuk mencerdaskan bangsa sepatutnya
merupakan landasan dari segenap rencana strategis pendidikan yang diwujudkan
dalam merumuskan praksis pendidikan di Indonesia. Menurut Mankiw (2008)
pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan perbaikan kualitas
modal manusia. Modal manusia dapat mengacu pada pendidikan, namun juga
dapat digunakan untuk menjelaskan jenis investasi manusia lainnya seperti
investasi yang mendorong ke arah populasi yang sehat yaitu kesehatan.
Pengeluaran pemerintah terhadap sektor pendidikan merupakan bagian
dari pengeluaran pemerintah yang memacu kesejahteraan masyarakat dan pada
akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Intervensi pemerintah dalam
bidang pendidikan juga dalam kerangka penanaman nasionalisme serta nilai-nilai
kebangsaan lainnya. Untuk itu pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan
cenderung diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung, misalnya pendirian
sekolah negeri. Harapannya dengan mensuplai pelayanan pendidikan secara
langsung, pemerintah lebih dapat mengkontrol kurikulum dan standar pendidikan.
Pengeluaran pemerintah ini berupa pembangunan sarana dan prasarana
pendidikan, penyediaan tenaga pendidik, akses ke sarana pendidikan, dan lain
sebagainya.
19
2.9 Penelitian Empiris
Boissiere (2004) dalam studi literaturnya tentang penelitian-penelitian
terdahulu yang determinan pendidikan dasar di negara berkembang. Determinan
output pendidikan dapat diestimasi menggunakan pendekatan dianalisis
menggunakan Supply and Demand, EPF, Randomized Evaluation, Natural
experiment dan metode kualitatif.
Faguet dan Sanchez (2006) meneliti tentang efek desentralisasi kepada
hasil pendidikan di Bolivia dan Colombia. Variabel dependen yang dipakai adalah
pertumbuhan angka partisipasi sekolah dengan metode data panel. Hasil penelitian
menemukan bahwa di Kolombia, desentralisasi keuangan membuat angka
enrollment (angka partisipasi) sekolah naik di sekolah-sekolah milik
pemerintah.Variabel desentralisasi seperti variabel pendapatan daerah per total
pengeluaran pendidikan dan total penerimaan pajak berpengaruh positif dan
signifikan, total pengeluaran pendidikan per transfer pemerintah pusat dan total
pengeluaran pendidikan per pengeluaran pemerintah pusat berpengaruh negatif
terhadap kenaikan tingkat partisipasi murid di sekolah pemerintah. Sedangkan
variabel pengeluaran pendidikan perkapita berpengaruh negatif, hal ini
menggambarkan bahwa variabel pengeluaran pendidikan perkapita bukanlah
faktor yang menentukan pertumbuhan partisipasi sekolah. Di Bolivia,
desentralisasi membuat pemerintah lebih responsif dengan kembali mengarahkan
investasi publik ke daerah yang yang memiliki kebutuhan terbesar. PDRB
perkapita, investasi di bidang pendidikan dan faktor daerah (district) berpengaruh
positif kepada pencapaian pendidikan dasar.
Namun Akai et al. (2007) dalam penelitiannya di Amerika tidak
menemukan bahwa dampak desentralisasi fiskal pengaruh yang signifikan pada
pendidikan dasar tetapi signifikan pada pendidikan menengah (SMP). Dengan
menggunakan metode data panel 49 negara bagian Amerika Serikat dengan tahun
penelitian 1996 dan 2000. Variabel dependennya adalah nilai score tes
matematika National Assessment of Educational Progress (NAEP). Variabel input
yang memengaruhi nilai score secara siginifikan adalah rasio murid per guru.
Sekolah swasta pada level sekolah menengah memberi kontribusi outcomes
pendidikan yang lebih besar dibandingkan sekolah negeri, sekolah negeri yang
20
dibiayai oleh pemerintah ternyata belum dapat memberikan kontribusi yang
signifikan kepada pendidikan.
Coleman (1966) dalam Bossier (2004) mengkaji tentang output pendidikan
di Amerika Serikat menggunakan pendekatan education production function
(EPF) menimbulkan kontroversi yang cukup dengan datang ke kesimpulan
mengejutkan bahwa variasi dalam sumber daya sekolah tidak menjelaskan banyak
variasi dalam prestasi siswa. Pentingnya sekolah dan guru untuk pencapaian siswa
tampak jauh kurang penting dibandingkan dengan status sosial ekonomi siswa
(SES) seperti ditunjukkan oleh sejumlah karakteristik latar belakang keluarga,
seperti pendidikan orangtua, profesi, dan pendapatan. Berbeda dengan Hyneman
(1979) dalam Bossier (2004) dalam penelitiannya di Uganda bahwa faktor
ketersediaan guru dan sekolah lebih berpengaruh dibandingkan faktor status sosial
ekonomi (pendidikan kepala keluarga, pekerjaan, pendapatan) terhadap
pencapaian kualitas pendidikan.
Purwanto (2010) dalam kajiannya tentang faktor-faktor yang memengaruhi
pendidikan dasar dalam kerangka desentralisasi fiskal menggunakan dua model
untuk masing-masing level pendidikan dasar yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Data yang digunakan adalah data panel seluruh
kabupaten/kota di Indonesia. Hasil yang diperoleh adalah Dana Alokasi Khusus
Bidang Pendidikan dan Dana Alokasi Umum pengaruhnya signifikan kepada
angka partisipasi SD namun kurang mempengaruhi untuk tingkat SMP.
Pemerintah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi belum tentu memiliki
angka partisipasi sekolah yang juga tinggi. Sedangkan karakteristik daerah jawa
atau bukan jawa, daerah pemekaran dan daerah buka pemekaran berbeda secara
signifikan, hal ini berimplikasi bahwa masih terjadinya gab yang tinggi antar
daerah di Indonesia. Variabel angka melek huruf (proxy pendidikan kepala
keluarga) dan rasio guru murid tidak signifikan.
Sbrana dan Sanchez (2010) menggunakan regresi logistik dalam meneliti
partisipasi sekolah tingkat dasar, menengah dan tinggi di Yemen. Status pekerjaan
orang tua yang berpenghasilan tetap lebih berpeluang menghasilkan anak yang
bersekolah, keputusan bersekolah atau tidak bersekolah dipengaruhi oleh faktor
sosial ekonomi dalam keluarga seperti umur anak, pendapatan rumah tangga,
21
pendidikan kepala rumah tangga. Orangtua yang memiliki anak perempuan yang
berumur 6 tahun lebih banyak yang tidak menyekolahkan anaknya karena faktor
kekhawatiran akan keselamatan anak perempuannya. Makin tinggi pendidikan
kepala keluarga maka makin memperbesar peluang anak di keluarga tersebut
untuk bersekolah.
Philipina dengan Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasarnya 86
persen menargetkan pada tahun 2015 semua anak bersekolah untuk mencapai
target MDG‟s. Tullao dan Rivera (2011) meneliti menggunakan regresi berganda
OLS mengenai faktor sosial ekonomi dalam keluarga yang memengaruhi
partisipasi anak usia 6-12 tahun dikeluarga tersebut bersekolah atau tidak. Daerah
yang diambil sebagai daerah penelitian adalah Pasay City dan Eastern Samar.
Hasilnya adalah variabel pendapatan rumah tangga, letak tempat tinggal, status
pekerjaan orang tua yang tidak tetap, jumlah anggota rumah tangga, kemiskinan,
dan ketersediaan listrik memengaruhi tingkat partisipasi sekolah.
Penelitian ini mengaju pada penelitian Glewwe (2002), Faguet dan
Sanchez (2006) dan Purwanto (2010) dalam meneliti determinan pendidikan dasar
secara regional di provinsi Sulawesi Utara. Adapun perbedaannya adalah pada
metode yang digunakan penulis. Glewwe (2002) menggunakan persamaan
simultan dan OLS, Purwanto (2010) menggunakan data panel dengan variabel
DAU, DAK, PAD sebagai proxy dari desentralisasi fiskal. Penelitian ini
menggunakan data panel dengan variabel pengeluaran pemerintah untuk
pendidikan dasar, rasio murid terhadap guru, rasio guru terhadap sekolah,
banyaknya anggota rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan
pendapatan perkapita antar wilayah di Sulawesi Utara.
Pengaruh faktor sosial ekonomi rumah tangga diteliti dengan
menggunakan regresi logistik. Model mengacu pada penelitian yang dilakukan
Sbrana dan Sanchez (2010). Sbrana dan Sanchez menggunakan variabel tempat
tinggal (desa/kota), pendidikan kepala rumah tangga (sekolah atau tidak sekolah),
pendidikan pasangan kepala rumah tangga, kesehatan, jenis kelamin, pendapatan
perkapitan dan ketersediaan infrastruktur. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian tersebut adalah penelitian ini menggunakan 2 model untuk pendidikan
dasar yaitu umur 7-12 tahun dan umur 13-15 tahun. Variabel yang digunakan
22
adalah letak geografis tempat tinggal, jenis kelamin, pendidikan kepala rumah
tangga, pengeluaran perkapita/bulan, jumlah anggota rumah tangga, dan lapangan
usaha kepala rumah tangga.
2.9 Kerangka Pemikiran
Target MDGs pada tahun 2015 adalah mewujudkan pendidikan dasar
untuk semua. Sulawesi Utara sampai tahun 2010 dengan angka APS usia 7-12
tahun sebesar 98,3 dan APS usia 13-15 tahun sebesar 89,06 menunjukkan bahwa
walaupun APS sudah diatas rata-rata nasional namun target MDGs belum
tercapai. Sementara itu, provinsi Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi
dengan peringkat IPM nomor dua seluruh Indonesia, namun APS Sulawesi Utara
terendah dari lima provinsi dengan IPM terbesar. Letak Sulawesi Utara yang
strategis diharapkan sebagai gateway Indonesia ke Asia Timur dan Pasifik.
Rencana jangka panjang pemerintah mempercepat pembangunan ekonomi di
kawasan timur Indonesia khususnya Sulawesi Utara melalui MP3EI
membutuhkan tenaga kerja yang mampu masuk dan dianggap mampu bekerja di
lapangan usaha. Disisi lain, sumber daya manusia yang ada masih didominasi oleh
penduduk yang berpendidikan SD/MI dan sederajat. Percepatan pembangunan di
Sulawesi Utara tidak akan bisa dinikmati oleh masyarakat jika pembangunan
sumber daya manusia dibidang pendidikan belum dimaksimalkan. Hal ini menarik
untuk diteliti agar diperoleh informasi apa saja determinan yang memengaruhi
pendidikan khususnya pendidikan dasar di Sulawesi Utara. Berdasarkan
pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran
penelitian (Gambar 5).
23
Gambar 5 Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Belum tercapainya target MDGs di Sulawesi Utara
untuk pendidikan dasar
Provinsi Sulawesi Utara :
IPM kedua, APS terendah dari 5 provinsi IPM terbesar
Gate Way Internasional lewat hubport dan sektor industri
Faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan dasar
Struktural Kultural
Faktor Input Pendidikan
1. Pengeluaran Riil Pendidikan Dasar
2. Dana BOS
3. PDRB Perkapita
4. Jumlah ART
5. Pendidikan KRT
6. Kemiskinan
7. Rasio Murid terhadap Guru
8. Rasio Guru terhadap Sekolah
Faktor Sosial Ekonomi Rumah Tangga
1. Pendidikan Kepala Keluarga
2. Jumlah Anak dalam keluarga
3. Jenis Kelamin
4. Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga
5. Pedesaan/Kota
6. Pengeluaran Perkapita
Dinamika perkembangan
pendidikan dasar di
Sulawesi Utara
Rekomendasi Kebijakan pendidikan dasar 9
tahun
24
2.10 Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah partisipasi sekolah anak usia SD dan SMP
dipengaruhi oleh:
1. Faktor pengeluaran pemerintah yaitu belanja riil pendidikan dasar, dana BOS
berpengaruh positif terhadap pendidikan dasar.
2. Faktor sosial ekonomi yaitu PDRB perkapita, persentase kepala rumah tangga
yang pendidikan diatas SD berpengaruh positif, persentase rumah tangga
dengan jumlah anggota rumah tangga lebih dari 5 orang dan kemiskinan
berpengaruh negatif terhadap pendidikan dasar.
3. Faktor ketersediaan sarana pendidikan yaitu rasio murid guru berpengaruh
negatif, rasio murid sekolah berpengaruh positif.
4. Daerah tempat tinggal, jenis kelamin, pendidikan kepala rumah tangga,
lapangan usaha kepala rumah tangga, jumlah anak dalam rumah tangga, dan
pengeluaran rumah tangga sebagai proxy pendapatan rumah tangga.