Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-454
Tabel 3. 1 Tabel 3. 2 Tabel 3. 3 Tabel 3. 4 Tabel 3. 5
Tabel 3. 6 Tabel 3. 7 Tabel 3. 8 Tabel 3. 9 Tabel 3. 10
Tabel 3. 11 Tabel 3. 12 Tabel 3. 13 Tabel 3. 14 Tabel 3. 15
Tabel 3. 16 Tabel 3. 17 Tabel 3. 18 Tabel 3. 19 Tabel 3. 20
Tabel 3. 21 Tabel 3. 22 Tabel 3. 23 Tabel 3. 24 Tabel 3. 25
Tabel 3. 26 Tabel 3. 27 Tabel 3. 28 Tabel 3. 29 Tabel 3. 30
Tabel 3. 31 Tabel 3. 32 Tabel 3. 33 Tabel 3. 34 Tabel 3. 35
Tabel 3. 36 Tabel 3. 37 Tabel 3. 38 Tabel 3. 39 Tabel 3. 40
Tabel 3. 41 Tabel 3. 42 Tabel 3. 43 Tabel 3. 44 Tabel 3. 45
Tabel 3. 46 Tabel 3. 47 Tabel 3. 48 Tabel 3. 49 Tabel 3. 50
Tabel 3. 51 Tabel 3. 52 Tabel 3. 53 Tabel 3. 54 Tabel 3. 55
Tabel 3. 56 Tabel 3. 57 Tabel 3. 58 Tabel 3. 59 Tabel 3. 60
Tabel 3. 61 Tabel 3. 62 Tabel 3. 63 Tabel 3. 64 Tabel 3. 65
Tabel 3. 66 Tabel 3. 67 Tabel 3. 68 Tabel 3. 69 Tabel 3. 70
Tabel 3. 71 Tabel 3. 72 Tabel 3. 73 Tabel 3. 74 Tabel 3. 75
Tabel 3. 76 Tabel 3. 77 Tabel 3. 78 Tabel 3. 79 Tabel 3. 80
Tabel 3. 81 Tabel 3. 82 Tabel 3. 83 Tabel 3. 84 Tabel 3. 85
Tabel 3. 86 Tabel 3. 87 Tabel 3. 88 Tabel 3. 89 Tabel 3. 90
Tabel 3. 91 Tabel 3. 92 Tabel 3. 93 Tabel 3. 94 Tabel 3. 95
Tabel 3. 96 Tabel 3. 97 Tabel 3. 98 Tabel 3. 99 Tabel 3. 100
Tabel 3. 101 Tabel 3. 102 Tabel 3. 103 Tabel 3. 104 Tabel 3. 105
Tabel 3. 106 Tabel 3. 107 Tabel 3. 108 Tabel 3. 109 Tabel 3. 110
Tabel 3. 111 Tabel 3. 112 Tabel 3. 113 Tabel 3. 114 Tabel 3. 115
Tabel 3. 116 Tabel 3. 117 Tabel 3. 118 Tabel 3. 119 Tabel 3. 120
Tabel 3. 121 Tabel 3. 122 Tabel 3. 123 Tabel 3. 124 Tabel 3. 125
Tabel 3. 126 Tabel 3. 127 Tabel 3. 128 Tabel 3. 129 Tabel 3. 130
Tabel 3. 131 Tabel 3. 132 Tabel 3. 133 Tabel 3. 134 Tabel 3. 135
Tabel 3. 136 Tabel 3. 137 Tabel 3. 138 Tabel 3. 139 Tabel 3. 140
Tabel 3. 141 Tabel 3. 142 Tabel 3. 143 Tabel 3. 144 Tabel 3. 145
Tabel 3. 146 Tabel 3. 147 Tabel 3. 148 Tabel 3. 149 Tabel 3. 150
Tabel 3. 151 Tabel 3. 152 Tabel 3. 153 Tabel 3. 154 Tabel 3. 155
Tabel 3. 156 Tabel 3. 157 Tabel 3. 158 Tabel 3. 159 Tabel 3. 160
Tabel 3. 161 Tabel 3. 162 Tabel 3. 163 Tabel 3. 164 Tabel 3. 165
Tabel 3. 166 Tabel 3. 167 Tabel 3. 168 Tabel 3. 169 Tabel 3. 170
Tabel 3. 171 Tabel 3. 172 Tabel 3. 173 Tabel 3. 174 Tabel 3. 175
Tabel 3. 176 Tabel 3. 177 Tabel 3. 178 Tabel 3. 179 Tabel 3. 180
Tabel 3. 181 Tabel 3. 182 Tabel 3. 183 Tabel 3. 184 Tabel 3. 185 Tabel 3.
186 Tabel 3. 187 Tabel 3. 188 Tabel 3. 189 Tabel 3. 190 Tabel 3. 191 Tabel
3. 192 Tabel 3. 193
Tabel 3. 194 Tabel 3. 195 Tabel 3. 196 Tabel 3. 197 Tabel 3. 198 Tabel 3.
199 Tabel 3. 200 Tabel 3. 201 Tabel 3. 202 Tabel 3. 203 Tabel 3. 204 Tabel
3. 205
Gambar 3. 1 Gambar 3. 2 Gambar 3. 3 Gambar 3. 4 Gambar 3. 5
Gambar 3. 6 Gambar 3. 7 Gambar 3. 8 Gambar 3. 9 Gambar 3. 10
Gambar 3. 11 Gambar 3. 12 Gambar 3. 13 Gambar 3. 14 Gambar 3. 15
Gambar 3. 16 Gambar 3. 17 Gambar 3. 18 Gambar 3. 19 Gambar 3. 20
Gambar 3. 21 Gambar 3. 22 Gambar 3. 23 Gambar 3. 24 Gambar 3. 25
Gambar 3. 26 Gambar 3. 27 Gambar 3. 28 Gambar 3. 29 Gambar 3. 30
Gambar 3. 31 Gambar 3. 32 Gambar 3. 33 Gambar 3. 34 Gambar 3. 35
Gambar 3. 36 Gambar 3. 37 Gambar 3. 38 Gambar 3. 39 Gambar 3. 40
Gambar 3. 41 Gambar 3. 42 Gambar 3. 43 Gambar 3. 44 Gambar 3. 45
Gambar 3. 46 Gambar 3. 47 Gambar 3. 48 Gambar 3. 49 Gambar 3. 50
Gambar 3. 51 Gambar 3. 52 Gambar 3. 53 Gambar 3. 54 Gambar 3. 55
Gambar 3. 56 Gambar 3. 57 Gambar 3. 58 Gambar 3. 59 Gambar 3. 60
Gambar 3. 61 Gambar 3. 62 Gambar 3. 63 Gambar 3. 64 Gambar 3. 65
Gambar 3. 66 Gambar 3. 67 Gambar 3. 68 Gambar 3. 69 Gambar 3. 70
Gambar 3. 71 Gambar 3. 72 Gambar 3. 73 Gambar 3. 74 Gambar 3. 75
Gambar 3. 76 Gambar 3. 77 Gambar 3. 78 Gambar 3. 79 Gambar 3. 80
Gambar 3. 81 Gambar 3. 82 Gambar 3. 83 Gambar 3. 84 Gambar 3. 85
Gambar 3. 86 Gambar 3. 87 Gambar 3. 88 Gambar 3. 89 Gambar 3. 90
Gambar 3. 91 Gambar 3. 92 Gambar 3. 93 Gambar 3. 94 Gambar 3. 95
Gambar 3. 96 Gambar 3. 97 Gambar 3. 98 Gambar 3. 99 Gambar 3. 100
Gambar 3. 101 Gambar 3. 102 Gambar 3. 103 Gambar 3. 104 Gambar 3.
105
Gambar 3. 106 Gambar 3. 107 Gambar 3. 108 Gambar 3. 109 Gambar 3. 110
Gambar 3. 111 Gambar 3. 112 Gambar 3. 113 Gambar 3. 114 Gambar 3. 115
Gambar 3. 116 Gambar 3. 117 Gambar 3. 118 Gambar 3. 119 Gambar 3. 120
Gambar 3. 121 Gambar 3. 122 Gambar 3. 123 Gambar 3. 124 Gambar 3. 125
Gambar 3. 126 Gambar 3. 127 Gambar 3. 128 Gambar 3. 129 Gambar 3. 130
Gambar 3. 131 Gambar 3. 132 Gambar 3. 133 Gambar 3. 134 Gambar 3. 135
Gambar 3. 136 Gambar 3. 137 Gambar 3. 138 Gambar 3. 139 Gambar 3. 140
Gambar 3. 141 Gambar 3. 142 Gambar 3. 143 Gambar 3. 144 Gambar 3. 145
Gambar 3. 146 Gambar 3. 147 Gambar 3. 148 Gambar 3. 149 Gambar 3. 150
Gambar 3. 151 Gambar 3. 152 Gambar 3. 153 Gambar 3. 154 Gambar 3. 155
Gambar 3. 156 Gambar 3. 157 Gambar 3. 158 Gambar 3. 159 Gambar 3. 160
Gambar 3. 161 Gambar 3. 162 Gambar 3. 163 Gambar 3. 164 Gambar 3. 165
Gambar 3. 166 Gambar 3. 167 Gambar 3. 168 Gambar 3. 169 Gambar 3. 170
Gambar 3. 171 Gambar 3. 172 Gambar 3. 173 Gambar 3. 174 Gambar 3. 175
Gambar 3. 176 Gambar 3. 177 Gambar 3. 178 Gambar 3. 179 Gambar 3. 180
Gambar 3. 181 Gambar 3. 182 Gambar 3. 183
Gambar 3. 184 Gambar 3. 185 Gambar 3. 186 Gambar 3. 187 Gambar 3. 188
Gambar 3. 189
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-455
Daftar Isi
9.1 Bentuk dan Pola Tata Kelola Kawasan Danau Toba .....................................................................................460
9.1.1 Lembaga Tata Kelola Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba ......................................................460
9.1.2 Badan Usaha Milik Bersama (BUMB) Danau Toba .............................................................................461
9.2 Dukungan Keterlibatan dan Komitmen Pemangku Kepentingan..............................................................462
9.3 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Danau Toba ...........................................................462
9.3.1 Pengembangan Tata Kelola Kawasan Danau Toba (Penyiapan Awal) ...........................................462
9.3.2 Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Kelembagaan BOPDT ........................................................463
9.3.3 Pembentukan Toba Tourism Watch .....................................................................................................463
9.4 Pengembangan Kelembagaan di Kabupaten dan KWU ..............................................................................463
9.4.1 Pengembangan Kelembagaan Tata Kelola Kawasan Wisata Unggulan .........................................463
9.4.2 Pengembangan Kelembagaan Tata Kelola Pengembangan Potensi Wisata Kabupaten .............463
9.4.3 Peningkatan Partisipasi Desa dan BUMDes ........................................................................................464
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-456
9. Rencana Pengembangan Kelembagaan
Pengembangan Kawasan Danau Toba melalui ITMP merupakan upaya jangka panjang yang menjadi tugas dan
kepentingan bersama, bukan hanya untuk pihak maupun kabupaten tertentu, sehingga perlu dibentuk suatu
sistem kelembagaan terpadu yang dapat mewakili semua pemangku kepentingan dalam menyatukan langkah
untuk mencapai tujuan dan sasaran Bersama. Pengelolaan Kawasan Danau Toba menghadapi konflik otoritas dan
kepentingan di berbagai level dan sektor pemerintahan berkaitan dengan beragamnya kerangka regulasi
pengaturan Kawasan Danau Toba, yaitu sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), Kawasan Strategis Pariwisata
Nasional (KSPN), dan sebagai UNESCO Global Park. Pengelolaan Kawasan Danau Toba juga melibatkan
stakeholder non-pemerintahan seperti badan usaha (bisnis), NGOs, akademisi, tokoh budaya, pemerintahan desa,
komunitas, asosiasi profesi dan usaha, serta lainnya. Pengelolaan Kawasan Danau Toba membutuhkan
pengambilan keputusan yang sifatnya kolektif, berorientasi konsensus dan deliberatif. Oleh karena itu, dibutuhkan
koordinasi antar pihak yang menghasilkan tindakan-tindakan kolaboratif sebagai upaya menginternalisasi
eksternalitas positif dan negatif dari pengembangan Kawasan Danau Toba melalui ITMP.
Pengelolaan Kawasan Danau Toba saat ini belum memenuhi prinsip-prinsip tata kelola kolaboratif. Jika diukur
berdasarkan variabel dalam konsep tata kelola kolaboratif menurut Ansell dan Gash (2008)1 proses kolaborasi
belum terwujud dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba, yang digambarkan melalui:
a. Power-Resources-Knowledge Asymmetries (Ketidakseimbangan Kekuatan-Sumberdaya-Pengetahuan).
Tidak seimbangnya kewenangan, pengetahuan, dan sumber daya (anggaran dan SDM) stakeholders
(pemerintah, swasta, masyarakat) untuk pengembangan pariwisata Kawasan Danau Toba. Sebagai contoh,
instansi yang membidangi pengembangan pariwisata di 8 (delapan) Kabupaten yang termasuk dalam Kawasan
Danau Toba memiliki perbedaan kewenangan dan tipe dinas dan berdampak pada perbedaan prioritas
anggaran, kecukupan SDM, dan tingkat pengambilan keputusan.
b. Hambatan dan belum adanya insentif untuk partisipasi dalam proses kolaborasi.
Ketidakseimbangan power, kewenangan dan sumberdaya antar stakeholder dalam pengelolaan pariwisata di
Kawasan Danau Toba mempengaruhi inisiatif mereka untuk berpartisipasi dalam proses kolaborasi. Perbedaan
power mempengaruhi keinginan (willingness) untuk berpartisipas. Selain itu, belum ada insentif yang diberikan
bagi pemerintah lokal maupun pihak non pemerintah untuk berkolaborasi. Berdasarkan masalah yang
dihadapi dalam pengembangan Pariwisata di Kawasan Danau Toba, stakeholder memiliki interdependensi
yang tinggi untuk semua sektor sehingga level konflik menjadi tinggi dan perlu insentif yang kuat untuk
melakukan pengelolaan yang kolaboratif. Saat ini, belum ada alokasi anggaran untuk melakukan proses
diskusi dan koordinasi yang teratur baik di pemerintahan provinsi maupun pusat, meskipun BOPDT memiliki
kewenangan untuk melakukan koordinasi.
c. Belum adanya pengalaman kerjasama dalam pengelolaan kawasan.
Hingga saat ini belum ada pengalaman kerjasama antar pemerintah maupun stakeholder non-pemerintah
dalam melakukan pengelolaan di Kawasan Danau Toba. Pengalaman kerjasama atau konflik antar stakeholder
di Kawasan Danau Toba akan mempengaruhi tingkat kepercayaan (trust) dan komitmen setiap stakeholder
dalam proses kolaborasi.
d. Tidak adanya rancangan kelembagaan dan kelembagaan fasilitatif untuk mendorong proses kolaborasi.
Meskipun BOPDT (Badan Pelaksana Otorita Danau Toba) memiliki kewenangan dalam melakukan koordinasi
dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba, namun desain kelembagaan ini belum cukup untuk mengakomodasi
kolaborasi antar stakeholder. BOPDT merupakan satuan kerja di bawah Kementerian Pariwisata yang memiliki
tugas koordinasi sinkronisasi dan fasilitasi perencanaan, pengembangan, pembangunan dan pengendalian
hanya di Kawasan Pariwisata seluas 500 Ha. Hingga saat ini peran BOPDT belum cukup dalam memimpin
1 Ansell dan Gash. 2008. Collaborative Governance in Theory. Journal of Public Administration Research and Theory 18 : 543-571.
koordinasi perencanaan dan pembangunan di seluruh area (8 Kabupaten) yang termasuk dalam Kawasan
Danau Toba.
Pengelolaan Kawasan Danau Toba menghadapi berbagai ketidakterpaduan pengelolaan, yaitu: (1)
ketidakterpaduan penataan ruang kawasan; (2) ketidakterpaduan pengelolaan transportas; (3) ketidakterpaduan
pengelolaan lingkungan dan sanitasi; (4) ketidakterpaduan pengelolaan kepariwisataan; dan (5) ketidakterpaduan
pengelolaan kebudayaan antar wilayah. Ketidakterpaduan ini didukung pula dengan tidak terbentuknya
pengelolaan kolaboratif di Kawasan Danau Toba dan memunculkan beberapa persoalan (gap) yang harus dibenahi
untuk perbaikan tata kelola ITMP ke depan, yaitu :
1. Otoritas/kewenangan tata kelola belum jelas dan tepat
2. Komitmen kelembagaan pemegang otoritas masih kurang kuat
3. Kapasitas kelembagaan para stakeholders pembangunan masih lemah
4. Perangkat pendukung organisasi belum tersedia secara efektif efisien
Konsep dasar pengelolaan Kawasan Danau Toba melalui ITMP harus dapat mengelaborasi 5 “Kata Kunci” dalam
Perubahan Mindset Kelembagaan, yaitu :
1. Transformasi dari kelembagaan yang berorientasi profit menuju kelembagaan yang berorientasi tujuan
2. Transformasi dari kelembagaan yang hierarkis/struktural menuju kelembagaan yang berbasis jaringan
(network)
3. Transformasi dari kelembagaan yang bersifat mengendalikan (controlling) menuju kelembagan yang
bersifat memberdayakan (empowering)
4. Transformasi dari kelembagaan yang hanya melakukan perencanaan (planning) menuju kelembagaan
yang melakukan eksperimen (eksperimentation)
5. Transformasi dari kelembagaan yang tertutup menuju kelembagaan yang terbuka/transparan
Transformasi ini ditujukan untuk melakukan pengelolaan tata ruang dan lingkungan hidup di Kawasan Danau ke
dalam Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance) dengan berbagi hak dan kewajiban antar
stakeholders pembangunan (pemerintah, dunia usaha, civil society). Tata kelola kolaboratif untuk pengelolaan
Kawasan Danau Toba melalui ITMP harus dapat menghadapi isu umum dan persoalan bersama (common
problems) dalam pengembangan Kawasan Danau Toba , seperti kerusakan lahan dan lingkungan (deforestasi,
pencemaran udara dan badan air); ketersediaan prasarana wilayah (transportasi, drainase primer dan sekunder,
pengelolaan sampah dan limbah, perumahan layak huni, RTH regional, dan lainnya); pengaturan sarana wilayah
(angkutan umum massal, fasilitas umum dan fasilitas sosial regional); ketersediaan energi, dan lainnya.
Pembentukan kelembagaan pengelolaan Kawasan Danau Toba juga menghadapi beberapa hambatan, yaitu:
1. Big bang effect dari adanya Undang-Undang Pemerintahan Daerah;
2. Euforia demokrasi dan otonomi yang menjadi ruh di Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah masih sangat membekas di level kabupaten/kota meskipun telah dilakukan
beberapa kali revisi hingga diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014;
3. Ego Daerah;
4. Pemerintah daerah, terutama di level kabupaten/kota, pada umumnya mengejar prosperity jangka pendek
di daerah masing-masing, terutama miskonsepsi tentang Pendapatan Asli Daerah yang menjadi pemicu
konflik pembangunan dan penataan ruang;
5. Ego Sektoral;
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-457
6. Pengembangan sektor yang mendorong interest setiap aktor pembangunan menjadi penghambat utama
konsepsi pembangunan terpadu, terlebih untuk kasus lintas daerah;
7. Ketidakjelasan dan ketidakmampuan kelembagaan pembangunan (lokal, propinsi, dan pusat);
8. Pemerintah kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat belum mampu melaksanakan ‘growth management’
wilayah, terutama untuk kawasan fungsional pariwisata seperti Kawasan Danau Toba.
Keberhasilan pembentukan kelembagaan untuk pengelolaan Kawasan Danau Toba dipengaruhi oleh beberapa
faktor utama, yaitu:
1. Kejelasan otoritas/kewenangan dalam pembuatan keputusan mengikat (Gabungan Kewenangan
Atributif, Delegatif, dan Mandat);
2. Adanya komitmen yang jelas (khususnya dalam sistem alokasi pembiayaan/penganggaran
pembangunan);
3. Pengembangan dan pemanfaatan kapasitas lembaga pembangunan yang efektif - khususnya dalam
pengembangan kepariwisataan dan penataan ruang; dan
4. Tersedianya pendukung kelembagaan yang memadai.
Kerjasama antar daerah untuk pengembangan kelembagaan pengelolaan Kawasan Danau Toba memiliki beberapa
dimensi kunci seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut.
Tabel 3. 206 Dimensi Kunci dalam Kerja Sama Antar Daerah
Aspek Dimensi Kunci
Perencanaan • Pembagian manfaat, keuntungan, biaya, dan risiko
• Tipe/jenis pelayanan
• Bentuk penyampaian
• Teknologi
• Pelibatan masyarakat
Pelaksanaan • Perencanaan dan pembuatan keputusan
• Aspek hukum/legal
• Organisasi dan personel
• Pembiayaan
• Pengadaan
Keberlanjutan • Peningkatan kapasitas
• Proses pelaksanaan
Sumber: Dimodifikasi dari Final Report, Improving Interjurisdictional Service Delivery, Perform Project, May 2004
Terdapat beberapa alternatif lembaga tata kelola untuk implementasi skenario pengembangan ITMP, yaitu :
1. Hybrid Institution
Hybrid institution yang dimaksud ialah berbentuk BUMB (Badan Usaha Milik Bersama), yang merupakan kongsi
antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten-Kabupaten terkait dengan Badan Usaha Milik Swasta
(BUMS), dan Koperasi dan Yayasan Milik Masyarakat (PPPP atau Public Private People Partnership), melalui
pembagian saham yang proporsional. Karena bentuk dan sifat Kawasan Danau Toba (baik sebagai KSN
maupun KSPN) lebih merupakan kewenangan Pusat, maka proporsi saham Pemerintah Pusat harus
diupayakan terbesar dibandingkan yang lain.
Pembentukan BUMB mungkin untuk dilakukan berdasar pada UUD 1945 Pasal 33. Sumber daya alam dikuasai
negara untuk ekonomi negara dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat mencerminkan prinsip
‘inklusif’ dan adil. Dalam bentuk lembaga ini, stakeholders dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba menjadi
shareholders sesuai hak dan kewajiban masing-masing. Pemerintah memiliki peran dan hak terkait
penguasaan SDA, fiskal, perizinan, dan penyedian sarana dan prasarana publik. Pihak swasta memiliki keahlian
(profesionalitas) dengan pekerja yang merupakan human capital. Masyarakat/ulayat memiliki hak asset negara
dan akademisi (PTN/PTS) memiliki peran dalam penelitian dan pengembangan (R&D) serta SDM.
Pembentukan BUMB ini dilakukan untuk mengelola seluruh kawasan (8 kabupaten) dengan melakukan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan kontrol/pengawasan. Area pengelolaan kawasan yang
dimiliki oleh BUMN ini berbeda dengan kawasan pengelolaan BOPDT (500 Ha). Pembentukan BUMB ini juga
dibutukan untuk mengembangkan layanan/usaha/bisnis terkait layanan transportasi dan utilitas publik
lainnya.). Jenis layanan yang diusahakan oleh BUMB Danau Toba ini ialah yang sifatnya lintas kabupaten dan
dapat memberikan profit bagi BUMB, seperti misalnya pengelolaan sampah regional, promosi wisata, layanan
air bersih, dll. BUMB harus melaksanakan fungsi penelitian & pengembangan untuk mendukung
pengembangan bisnis dan Kawasan Danau Toba secara menyeluruh. BUMB, karena dimiliki tidak hanya oleh
pemerintah, tetapi juga melakukan pelaporan kepada komisaris dan audit keuangan kepada negara.
Gambar 3. 190 Contoh Organisasi dan Pembagian Saham dalam Badan Usaha Milik Bersama Sebagai
Public-Private-People-Partnership (PPPP)
2. Sekretariat Bersama
Sekretariat bersama merupakan kantor bersama untuk tempat koordinasi terpusat dari sektor publik yang
mewakili kepentingan Kabupaten-Kabupaten, Provinsi, dan Pemerintah Pusat (K/L terkait di dalam BOPDT saat
ini), dengan sistem sharing hak dan kewajiban (yang bisa dinilai dengan uang). Karena konteks status dan
fungsi Kawasan Danau Toba yang lebih ditujukan untuk kawasan wisata skala besar, yang melintas antar-
daerah, maka fungsi Pemerintah Provinsi (dalam hal ini Gubernur) menjadi sangat strategis untuk
mengkoordinasikan keseluruhan kelembagaan yang terkait. Fungsi ini juga memanfaatkan posisi Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah.
3. Restrukturisasi Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba
Restrukturisasi BOPDT dimaksudkan untuk mengefektifkan kembali Dewan Pengarah (instansi-instansi
pemerintah Pusat) dan Badan Pelaksana (Hybrid/Campuran antara instansi-instansi Daerah Provinsi dan
Kabupaten, Badan Usaha dan LSM/Masyarakat). Badan Pelaksana terdiri dari organisasi yang berbentuk
Struktural (terutama para Kepala Daerah terkait) dan Global Geopark Kaldera Toba yang akan mengambil
Keputusan; dan Badan Pelaksana yang berbentuk Fungsional (para Sekretaris Daerah) dan kelompok-
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-458
kelompok kerja (pokja) dari stakeholders pemerintahan, badan usaha milik swasta, dan masyarakat (khususnya
para pemuka/tokoh masyarakat/budaya dan agama). Badan pelaksana fungsional inilah yang akan menjadi
garda terdepan pelaksanaan tugas dan fungsi BOPDT. Dengan BOPDT yang sangat lengkap mewakili semua
stakeholders ini diharapkan semua kendala dan hambatan dalam pembangunan dan pengembangan KSPN
Dana Toba tidak akan terhambat lagi, apalagi dengan diberikan kewenangan atributif yang kuat.
Gambar 3. 191 Alternatif Kelembagaan 3 : Usulan Bentuk Restrukturisasi Lembaga Badan Otorita
Pengelolaan Danau TOBA (BOPDT)
Sumber: ITMP Toba, 2019
4. Transformasi Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba
Transformasi BOPDT dimaksudkan pada perubahan bentuk BOPDT yang saat ini menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan BLU diubah menjadi Badan Usaha Milik Bersama. BUMB (Badan Usaha Milik Bersama)
ini merupakan kongsi antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten2 terkait dengan Badan Usaha Milik
Swasta (BUMS), dan Koperasi dan Yayasan Milik Masyarakat (PPPP atau Public Private People Partnership),
melalui pembagian saham yang proporsional. Namun, proporsi saham Pemerintah Pusat harus diupayakan
terbesar dibandingkan yang lain. Dengan perubahan status BOPDT menjadi BUMB, maka Perpres 49 Tahun
2016 harus dicabut. Status BUMB yang dimiliki oleh BOPDT pada alternatif membuat BOPDT tidak hanya
mengelola kawasan minimum 500 Ha tetapi dapat mengembangkan layanan/usaha/bisnis di kawasan yang
termasuk dalam KDT (8 Kabupaten). Jenis layanan yang diusahakan oleh BUMB Danau Toba ini ialah yang
sifatnya lintas kabupaten dan dapat memberikan profit bagi BUMB, seperti misalnya pengelolaan sampah
regional, promosi wisata, layanan air bersih, dll. BUMB harus melaksanakan fungsi penelitian &
pengembangan untuk mendukung pengembangan bisnis dan kawasan. BOPDT sebagai BUMB, karena dimiliki
oleh pemerintah, tidak hanya melakukan pelaporan kepada komisaris tetapi juga audit keuangan kepada
negara.
Gambar 3. 192 Alternatif Kelembagaan 4 : Usulan Bentuk Transformasi BOPDT (BLU menjadi BUMB)
Sumber: ITMP Toba, 2019
5. Lembaga Tata Kelola Kolaboratif
Lembaga tata kelola kolaboratif merupakan lembaga tata kelola KSN/KSPN Kawasan Danau Toba yang
merupakan gabungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten-Kabupaten,
BUMN/D-BUMN/D, BUMS, BLU, BUMDES, Masyarakat Madani (Asosiasi-Asosiasi Pengusaha, Asosiasi Profesi,
Koperasi Masyarakat, NGOs/LSM, CBOs, dll.).
Kedudukan BOPDT dalam lembaga tata kelola ini menjadi berada pada 2 bentuk alternatif :
a. BOPDT yang telah ada hanya diberi kedudukan khusus sebagai BLU milik Kementerian Pariwisata, yang
mempunyai fungsi pengelolaan khusus di kawasannya sendiri yang telah diberikan Hak Pengelolaannya.
Sementara itu keseluruhan wilayah KSN/KSPN Danau Toba dipimpin langsung tata kelolanya oleh
Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi sekaligus Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-459
Gambar 3. 193 Alternatif Kelembagaan 5a : Usulan Lembaga Kolaboratif ITMP – BOPDT sebagai BLU
Sumber: ITMP Toba, 2019
b. BOPDT berubah menjadi BUMB, yang mempunyai fungsi tidak hanya pengelolaan kawasannya sendiri
tetapi juga dapat mengembangkan layanan usaha di luar kawasan yang sifatnya lintas Kabupaten.
Gubernur akan sekaligus mengatur kerjasama wajib antar 8 Daerah-Daerah Kabupaten dengan Badan
Pengelola Geopark Kaldera Danau Toba maupun BOPDT. Gubernur memimpin berbagai Kelompok Kerja
yang dikembangkan dalam Kepariwisataan: Pokja Atraksi, Pokja Aktivitas, Pokja Aksesibilitas, Pokja
Amenitas, Pokja Akomodasi. Yang masing-masing terdiri dari wakil para stakeholders terkait, baik sektor
pemerintahan maupun pengusaha dan masyarakat. Jaringan kerja Pokja-Pokja ini dimediasikan oleh
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi.
Stakeholder masyarakat di setiap Pokja perlu mengikutkan para tokoh masyarakat/adat/agama sehingga
kekuatan budaya lokal Danau Toba mewarnai ITMP Toba. Selain berkolaborasi dengan Badan Pengelola
Geopark Kaldera Toba, Lembaga Kolaboratif ITMP bertugas menginisiasi pembentukan dan kemudian
membina beberapa unit lembaga berikut ini sebagai bagian inherent di tataran Pokja-Pokja
pelaksanaannya
Gambar 3. 194 Alternatif Kelembagaan 5b : Usulan Lembaga Kolaboratif ITMP – BOPDT sebagai BUMB
Sumber: ITMP Toba, 2019
Secara umum, bentuk kelembagaan Kawasan Danau Toba untuk implementasi ITMP ini harus memenuhi beberapa
hal berikut:
1. Hindari yang hanya bersifat koordinatif, kelembagaan Kawasan Danau Toba harus memiliki kewenangan yang
jelas dan kuat;
2. Hindari yang memiliki bentuk suprakomunalitas dan administratif setingkat provinsi (dengan penggabungan)
karena sangat rawan konflik dan tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
3. Arahkan kelembagaan ke bentuk otoritas khusus ‘interkomunalitas’ dengan modifikasi dari regional
government ke regional governance melalui pembagian hak & kewajiban;
4. Masukkan dimensi kunci dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, dan keberlanjutan bagi model kerja sama
antar daerah yang kewenangannya akan didelegasikan oleh masing-masing daerah ke regional governance
tersebut dalam bentuk perjanjian kontrak para pihak (sesuai PP No. 28 Tahun 2018 Tentang Kerjasama
Daerah).
Masing-masing alternatif kelembagaan yang diusulkan untuk pengelolaan Kawasan Danau Toba memiliki
kelebihan dan kelemahan yang dapat dilihat sebagai berikut.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-460
Tabel 3. 207 Kelebihan & Kelemahan Alternatif Lembaga Tata Kelola Kawasan Danau Toba
No Alternatif Kelebihan Kelemahan
1. Hybrid Institution
(BUMB)
Bentuk badan usaha dapat memangkas
bisnis proses atau jalur koordinasi antar
instansi pemerintah
Badan usaha milik swasta dan unit
usaha milik masyarakat terlibat dengan
ikut dalam penyertaan modal
Layanan yang diusahakan dapat dijaga
kualitasnya dengan sistem SPM
Perencanaan, penyusunan regulasi &
kebijakan, serta beberapa jenis kegiatan
pembangunan masih berada di
kewenangan pemerintah sehingga proses
pengambilan keputusan tetap panjang
Hanya bisa melaksanakan sebagian
urusan yang perlu dikerjasamakan antar
daerah karena sifatnya yang berorientasi
layanan dan harus profitable
2. Sekretariat Bersama Menjadi wadah koordinasi perencanaan
dan pengambilan keputusan kolektif
dan tidak bersifat struktural
Jaringan antar aktor/lembaga
pemerintahan dapat dipertahankan dan
dikembangkan pada bentuk ini
Negosiasi dan koordinasi dapat
dilakukan secara cepat dan transparan
Hanya berupa wadah koordinasi dan
pengambilan keputusan kolektif,
implementasi masih dilakukan oleh
instansi pemerintahan yang memiliki
kewenangan
Hasil keputusan yang dihasilkan dalam
koordinasi pada sekretariat harus
diteruskan kembali ke tingkat kepala
daerah
3. Restrukturisasi BOPDT Hanya berupa perubahan struktur
BOPDT yang ada sehingga hanya
diperlukan perubahan Perpres tidak
perlu mencabut Perpres
Struktur BOPDT menjadi sangat lengkap
dan mencakup semua stakeholder
BOPDT masih berupa BLU dan tidak dapat
berorientasi profit
BOPDT ‘diturunkan’ levelnya karena
berada di bawah Gubernur (Provinsi
Sumatera Utara)
4. Transformasi BOPDT
(BLU menjadi BUMB)
BOPDT ‘dinaikkan’ levelnya menjadi
Badan Usaha Milik Bersama yang
berorientasi profit
Kewenangan BOPDT lebih luas (dapat
mengelola seluruh kawasan)
BOPDT dapat mengembangkan unit
layanan/bisnis selain pengelolaan
kawasan
BOPDT tidak bergantung pada
anggaran K/L, namun tetap dilakukan
audit oleh pemerintah
Perubahan BOPDT secara menyeluruh
menjadi BUMD, tidak ada Dewan
Pengarah memerlukan pencabutan
Perpres
BOPDT tidak dapat melakukan
perencanaan, penyusunan regulasi &
kebijakan, dan pengambilan keputusan
final tetap memerlukan koordinasi dengan
instansi pemerintah dan kolaborasi
dengan masyarakat, universities, dll
5. Lembaga Tata Kelola
Kolaboratif
Lembaga tata kelola mencakupi seluruh
stakeholder
BOPD
Koordinasi, konsultasi, dan kerjasama
dilakukan lintas level dan sektor (vertikal
dan horizontal)
Struktur organisasi menjadi sangat besar
Pelaksanaan usaha/bisnis tetap dilakukan
oleh BOPDT, instansi pemerintah dan/atau
badan usaha (N/D/S) sesuai
kewenangannnya masing-masing
Sumber: ITMP Toba, 2019
9.1 Bentuk dan Pola Tata Kelola Kawasan Danau Toba
Kelembagaan pembangunan KSN Danau Toba pada prinsipnya adalah kerangka kerja untuk menginternalisasi
eksternalitas positif maupun negatif secara bersama-sama antar/lintas kabupaten/kota, yang secara fungsional
membentuk kawasan pariwisata yang ketergantungan antardaerahnya sangat tinggi dalam mengurus isu-isu
pembangunan kepariwisataan bersama. Dalam UUD 1945, Indonesia hanya mengenal pemerintahan daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota sehingga tidak dimungkinkan dibentuk regional government yang berbentuk
suprakomunalitas untuk suatu KSN/KSPN. Meskipun Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah pada prinsipnya menunjuk peran dan fungsi provinsi untuk menangani urusan lintas wilayah
Kabupaten/Kota, tetapi regulasi tersebut menekankan bentuk kerjasama antar kabupaten/kota harus menjadi
prioritas untuk diusahakan terlebih dahulu. Bahkan untuk daerah-daerah yang berbatasan langsung kerjasama
menjadi bersifat wajib dan bukan kerjasama sukarela lagi.
Bentuk yang paling tepat untuk kelembagaan pengelolaan Kawasan Danau Toba adalah Collaborative Governance
bersistem Networked Governance atau yang merupakan masa depan dari sistem pengelolaan antarpemerintahan
yang komprehensif meskipun dengan tujuan khusus untuk pengembangan pariwisata. Bentuk Collaborative
Governance bersistem Networked Governance akan lebih baik jika mewujudkan 2 bentuk kelembagaan, yaitu:
a. Lembaga Tata Kelola Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba (alternatif) sebagai lembaga yang menyusun
rencana, memastikan pelaksanaan program, melakukan koordinasi, dan melakukan pengambilan
keputusan
b. Badan Usaha Milik Bersama sebagai pelaksana pengelola kawasan, melakukan promosi, memberikan
layanan infrastruktur, mengelola transportasi terintegrasi untuk wisatawan, dan litbang untuk
pengembangan pariwisata.
9.1.1 Lembaga Tata Kelola Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba
Lembaga Tata Kelola Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba merupakan bentuk kelembagaan yang mewujudkan
konsep collaborative governance dengan sistem networked governance yang melibatkan seluruh stakeholder
(pemerintah, dunia usaha dan civil society).
Lembaga Tata Kelola Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba memiliki pola pembagian kewenangan yang
melingkupi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten. Pola ini dibuat untuk menghadapi
isu dan persoalan Kawasan Danau Toba yang memiliki nilai strategis secara nasional dan bersifat lintas wilayah
administratif. Bentuk lembaga ini juga melingkupi seluruh sektor pembangunan yang menjadi isu dalam
pengembangan Kawasan Danau Toba. Lembaga Tata Kelola Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba juga
merupakan gabungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten-Kabupaten,
BUMN/D-BUMN/D, BUMS, BLU, BUMDES, Masyarakat Madani (Asosiasi-Asosiasi Pengusaha, Asosiasi Profesi,
Koperasi Masyarakat, NGOs/LSM, CBOs, dll).
Dengan sifatnya yang melingkupi seluruh level pemerintahan, pembentukan Lembaga Tata Kelola Kolaboratif
Pelaksana ITMP Danau Toba harus ditetapkan dalam bentuk Peraturan Presiden. Gubernur Provinsi Sumatera
Utara menjadi facilitative leader dalam Lembaga Tata Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba yang akan mengatur
kerjasama wajib antar 8 (delapan) pemerintah kabupaten, Badan Pengelola Geopark Kaldera Danau Toba maupun
BOPDT. Gubernur melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara akan memimpin berbagai kelompok
kerja (pokja) berdasarkan pengembangan kepariwisataan, yaitu Pokja Atraksi, Pokja Aktivitas, Pokja Aksesibilitas,
Pokja Amenitas, Pokja Akomodasi. Pada masing-masing kelompok kerja ini terdapat wakil-wakil stakeholder yang
mewakili Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten (8 Kabupaten), badan usaha milik pemerintah dan swasta,
serta masyarakat. Lembaga ini juga mengadopsi struktur yang ada pada Badan Otorita Pengelola Kawasan
Pariwisata Danau Toba yang terdiri dari Dewan Pengarah dan Badan Kolaboratif Pelaksana ITMP dengan
pengembangan ke arah jaringan (network). Sebagaimana bentuk yang diusulkan sebelumnya, berikut adalah
gambaran bentuk Lembaga Tata Kelola Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-461
Gambar 3. 195 Bentuk Lembaga Tata Kelola Kolaboratif Pelaksana ITMP Danau Toba
Sumber: ITMP Toba, 2019
Selama tahapan pembentukan lembaga tersebut dan masa transisi, perlu dibuat forum (di bawah Gubernur) untuk
membangun jaringan yang berisi sub-sub jaringan yang merupakan cikal bakal (embrio) BUMB dan lembaga
kolaboratif yang dimaksud. Selain itu, perlu juga dibentuk forum yang sama pada tingkat kabupaten agar menjadi
cikal bakal (embrio) pada level kabupaten yang dapat menjadi anggota forum pada tingkat provinsi. Anggota
forum ini dapat berisi anggota pokja (kelompok kerja) yang telah dibentuk di tingkat pusat, provinsi, maupun
kabupaten. Forum tersebut mewadahi koordinasi dan kolaborasi untuk penyepakatan isu dan tujuan bersama.
Instansi dan aktor-aktor yang ikut berpartisipasi dalam forum ini diupayakan membentuk jaringan (network) yang
dapat dikembangkan menjadi lembaga-lembaga yang dimaksud. Stakeholders dari pemerintahan yang berjejaring
di forum dapat dikembangkan menjadi Lembaga Tata Kelola Kolaboratif. Sedangkan badan usaha (milik negara,
daerah, maupun swasta) dan BOPDT yang berjejaring dalam forum dapat dikembangkan menjadi BUMB.
Sementara itu, stakeholders non pemerintah yang berjejaring dalam forum dapat difasilitasi dan didorong untuk
menjadi lembaga pengawas yang akan melakukan monitoring dan evaluasi pengembangan Kawasan Danau Toba
dalam bentuk Toba Tourism Watch.
Gambar 3. 196 Tahapan Pengembangan Kelembagaan Kawasan Danau Toba
Sumber: ITMP Toba, 2019
9.1.2 Badan Usaha Milik Bersama (BUMB) Danau Toba
Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2016 mengatur pendirian Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau
Toba dengan cakupan kewenangan yang meliputi Kawasan Danau Toba dalam Perpres 81/2014 tentang RTR
Kawasan Danau Toba. BOPDT juga diberikan kewenangan pengelolaan terhadap lahan sebesar 500 Ha. BOPDT
saat ini menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Sebagai BLU, berdasarkan PP No.
23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, BOPDT menjadi instansi yang dibentuk
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas. BOPDT sebagai BLU beroperasi sebagai unit kerja Kementerian Pariwisata untuk tujuan pemberian
layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh Kementerian Pariwisata.
Bentuk BLU yang dimiliki oleh BOPDT dan kewenangan pengelolaan pada kawasan seluas 500 Ha sangat
membatasi ruang gerak BOPDT dalam menghadapi isu dan persoalan pengembangan pariwisata.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan ITMP Danau Toba sangat
beragam dan dengan kewenangan BOPDT saat ini, tidak cukup untuk menjaring kolaborasi dari seluruh
stakeholders. Oleh karena itu, perlu suatu bentuk kelembagaan baru dengan lingkup kewenangan yang lebih luas,
seperti misalnya bentuk hybrid institution yang diusulkan sebelumnya.
Hybrid institution yang dimaksud ialah berbentuk BUMB (Badan Usaha Milik Bersama), yang merupakan kongsi
antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten-Kabupaten terkait dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS),
dan Koperasi dan Yayasan Milik Masyarakat. Pembentukan badan ini sebagai perwujudan pengelolaan kolaboratif
seperti konsep PPPP (Public-Private-People-Partnership). Dalam bentuk ini, pengelolaan beberapa sektor berbasis
layanan kepada masyarakat maupun bisnis dilakukan secara professional, melibatkan pihak swasta dan
masyarakat, tanpa menghilangkan pertanggungjawaban terhadap keuangan negara.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, badan usaha milik pemerintah maupun swasta,
serta masyarakat berpartisipasi sebagai shareholders dengan proporsi saham yang proporsional. Dengan bentuk
ini, pengelolaan kawasan dan pengembangan layanan/usaha/bisnis dapat dilakukan di seluruh Kawasan Danau
Toba dengan sifat lintas kabupaten dan dapat memberikan profit. Berdasarkan isu dan permasalahan yang ada di
Kawasan Danau Toba, BUMB harus mengembangkan layanan dan usaha lainnya seperti promosi kawasan
(investasi dan wisatawan), layanan utilitas publik, layanan transportasi, serta penelitian dan pengembangan.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-462
Pembentukan BUMB ini dapat dilakukan dengan melakukan transformasi BOPDT yang menjadi Badan Usaha Milik
Bersama. Namun, transformasi BOPDT menjadi Badan Usaha Milik Bersama tidak dapat dilakukan secara langsung,
perlu dilakukan kajian pengembangan kelembagaan ini dengan mengevaluasi kewenangan dan kinerja BOPDT
selama melakukan pengelolaan secara BLU pada 5 tahun pertama.
9.2 Dukungan Keterlibatan dan Komitmen Pemangku Kepentingan
Dalam pengelolaan yang bersifat kolaboratif, keterlibatan dan komitmen pemangku kepentingan menjadi
kebutuhan utama. Dukungan keterlibatan stakeholders dapat tercirikan dari kehadiran pada proses diskusi untuk
penjaringan aspirasi maupun pengambilan keputusan. Komitmen pemangku kepentingan terhadap proses
kolaborasi tidak dapat muncul tanpa adanya diskusi yang intensif dan pembangunan kepercayaan (trust-building).
Kedua hal ini akan didapat jiga diskusi dilakukan dalam wadah yang eksklusif dan dapat mempertemukan seluruh
stakeholder. Forum ini akan efektif jika dilakukan pada level provinsi sebagai simpul jaringan yang dapat
mempertemukan banyak aktor, baik di level provinsi maupun 8 kabupaten.
Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa perlu dibuat forum (di bawah Gubernur) untuk membangun
jaringan yang berisi sub-sub jaringan yang merupakan cikal bakal BUMB dan lembaga tata kelola kolaboratif.
Forum tersebut mewadahi koordinasi dan kolaborasi untuk penyepakatan isu dan tujuan bersama. Instansi dan
aktor-aktor yang ikut berpartisipasi dalam forum ini diupayakan membentuk jaringan (network) yang dapat
dikembangkan menjadi lembaga-lembaga yang dimaksud. Forum ini harus dapat menghasilkan isu dan tujuan
bersama pengembangan pariwisata di Kawasan Danau Toba dalam bentuk kesepakatan bersama sebagai
intermediate outcome kolaborasi antar stakeholder.
Setelah terbentuknya Lembaga Tata Kelola Kolaboratif dan BUMB, penguatan keterlibatan dan komitmen untuk
masing-masing stakeholder perlu diwujudkan seperti berikut :
a. Pemerintah Pusat dan Daerah
Keterlibatan dan komitmen kelembagaan pemerintahan pada tahap awal perlu didukung oleh pembentukan
atau penunjukkan tim untuk terlibat dalam forum kolaborasi. Pada tingkat provinsi dan kabupaten telah
dibentuk kelompok kerja untuk koordinasi program pengembangan pariwisata terintegrasi dan berkelanjutan
melalui keputusan gubernur/bupati. Kelompok kerja ini dapat dimanfaatkan sebagai tim yang akan terlibat
dalam forum kolaborasi tersebut.
Keterlibatan dan berkomitmen pihak pemerintah (pusat dan daerah) tidak hanya cukup dengan melaksanakan
kewenangan yang diberikan secara atributif, delegasi, maupun mandatori. Selain itu, diperlukan internalisasi
(penyesuaian) program dan kegiatan dalam ITMP Kawasan Danau Toba ke dalam rencana pembangunan
jangka menengah (RPJMN/D, Renstra K/L/OPD) dan rencana pembangunan jangka pendek (RKP Pusat dan
Daerah, RKA K/L/OPD). Internalisasi program dan kegiatan ITMP Kawasan Danau Toba ke dalam rencana
pembangunan tersebut merupakan tahapan penting untuk menjadikan rencana tersebut sebagai dasar alokasi
anggaran pemerintah (APBN dan APBD).
b. Swasta
Keterlibatan dan komitmen lembaga privat (badan usaha milik swasta) terhadap tata kelola kolaborasi dapat
diperoleh dalam berbagai bentuk. Privat dapat langsung berinvestasi untuk berbagai jenis pembangunan yang
sesuai dengan ITMP. Privat juga dapat berkomitmen dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba dengan terlibat
dalam pokja-pokja pada Lembaga Tata Kelola Kolaboratif sebagai pelaksana proyek atau melakukan KPBU.
Sedangkan dalam hal BUMB, privat dapat berkomitmen dengan menjadi shareholder. Selain itu, privat juga
dapat memberikan komitmen dalam bentuk program CSR (Corporate Social Responsibility) atau Sustainability
Program yang diintegrasikan dengan program dan kegiatan ITMP melalui pemerintah pusat, provinsi atau
kabupaten ataupun secara langsung.
c. Lembaga Semi Pemerintah
Keterlibatan lembaga semi pemerintah dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba diwujudkan melalui
memberikan masukan untuk perencanaan dan kebijakan pengembangan Kawasan Danau Toba, melakukan
kewenangan publik, maupaun sebagai contracting agency. Lembaga semi pemerintah juga dapat terlibat dan
berkomitmen dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba sebagai bagian pokja di Lembaga Tata Kelola
Kolaboratif, shareholder di BUMB, maupun anggota di Toba Tourism Watch.
d. Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba dikuatkan pada tiga bentuk lembaga, yaitu
sebagai bagian pokja di Lembaga Tata Kelola Kolaboratif, shareholder di BUMB, maupun anggota di Toba
Tourism Watch.
9.3 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Danau Toba
Isu pokok kelembagaan di Kawasan danau Toba ialah tata kelola kelembagaan yang ada belum efektif untuk
mengkolaborasikan pemangku kepentingan terutama pemerintah di 8 (delapan) kabupaten untuk
mengembangkan pariwisata Kawasan Danau Toba. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bentuk yang paling
tepat untuk kelembagaan pengelolaan Kawasan Danau Toba adalah Collaborative Governance bersistem
Networked Governance, sehingga program utama untuk pengembangan kelembagaan pengelolaan Kawasan
Danau Toba ialah pembentukan Lembaga Kolaboratif Tata Kelola Danau Toba. Untuk mendukung pelaksanaan
program utama tersebut, perlu dilakukan beberapa sub-program utama, yaitu sebagai berikut.
9.3.1 Pengembangan Kelembagaan Tata Kelola Kawasan Pariwisata Danau Toba
(Penyiapan Awal)
9.3.1.1 Sosialisasi Pengembangan Pariwisata Kawasan Danau Toba
Sosialisasi pengembangan pariwisata Kawasan Danau Toba dilakukan untuk diseminasi hasil perencanaan program
pengembangan pariwisata terintegrasi dan berkelanjutan (ITMP) dan pengembangan Geopark Danau Toba.
Sosialisasi ini perlu diikuti oleh perwakilan pemangku kepentingan di tingkat provinsi dan kabupaen (8
kabupaten). Program sosialisasi ini perlu dilakukan di awal tahun perencanaan (2020).
9.3.1.2 Pembentukan Forum Kolaborasi Pelaksana ITMP
Forum Pelaksana ITMP Danau Toba ialah wadah koordinasi dan kolaborasi untuk pemerataan pemahaman terkait
perencanaan dalam ITMP. Dalam Forum ini akan dibuat sub-sub forum untuk membentuk jaringan yang
dipersiapkan menjadi lembaga kolaboratif pada tahapan berikutnya. Aktor-aktor yang terlibat dalam dialog
langsung (face-to-face dialogue) di forum ini diharapkan dapat membentuk jaringan yang kemudian akan terlibat
dalam kelembagaan kolaboratif setelah Perpres kelembagaan dibentuk.
Forum Kolaborasi Pelaksana ITMP dibentuk melalui Peraturan Gubernur Sumatera Utara setelah disahkannya ITMP
dalam bentuk Peraturan Presiden. Anggota forum ini dapat berisi anggota Kelompok Kerja Koordinasi Program
Pengembangan Pariwisata Terintegrasi dan Berkelanjutan (P3TB) yang dibentuk melalui SK Gubernur Provinsi
Sumatera Utara Nomor 188.44/159/KPTS/2019 yang ditambahkan dengan aktor-aktor lainnya yang berkaitan
dengan pelaksanaan ITMP terutama pada simpul-simpul badan usaha milik negara/daerah/swasta, asosiasi profesi,
LSM/NGO, komunitas, dan lainnya.
Forum kolaborasi ini dilaksanakan dan didanai oleh Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara. Penyelenggaraan
forum dilakukan selama 2 (dua) tahun. Fokus tahun pertama (2020) ialah untuk meningkatkan kesepahaman
bersama terkait ITMP dan merumuskan isu bersama pengelolaan Kawasan Danau Toba. Sedangkan fokus tahun
kedua (2021) ialah untuk transisi kelembagaan menjadi Lembaga Tata Kelola Kolaboratif, BUMB, dan Toba Tourism
Watch serta merumuskan strategi bersama untuk pengelolaan Kawasan Danau Toba.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-463
9.3.1.3 Rapat Koordinasi Forum Kolaborasi Pelaksana ITMP
Forum Kolaborasi Pelaksana ITMP akan menyelenggarakan rapat koordinasi rutin yang melibatkan partisipasi
stakeholder dalam 2 bentuk forum, yaitu rapat besar forum dan rapat subforum dengan frekuensi rapat sekali
sebulan dalam bentuk rapat besar maupun sub-forum. Pada rapat koordinasi besar dilibatkan seluruh stakeholder
yang mewakili instansi-instansi pemerintahan di Provinsi Sumatera Utara dan 8 (delapan) kabupaten sedangkan
forum kolaborasi, badan usaha, komunitas, tokoh masyarakat dan kebudayaan, NGOs, LSM, akademisi, asosiasi
pengusaha dan profesi. Rapat koordinasi sub forum dibagi menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu:
1. Sub Forum – Pemerintah
Rapat koordinasi sub forum pemerintah dihadiri oleh OPD di tingkat provinsi dan 8 kabupaten, BOPDT, dan
BPGKT dan dipimpin oleh Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara, BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara, atau
OPD lainnya bergantung tema dan tingkat urgensi pelaksanaan forum.
2. Sub Forum – Investor dan Badan Usaha
Rapat koordinasi sub forum investor dan badan usaha dihadiri oleh BOPDT, BUMN, BUMD Provinsi Sumatera
Utara, BUMD 8 Kabupaten, dan BUMS (operator dan investor). Rapat sub forum ini dipimpin oleh DPMPTSP
Provinsi Sumatera Utara untuk mendorong peningkatan investasi di Kawasan Danau Toba dan menguatkan
jejaring antar badan usaha untuk mendorong partisipasi dalam penanaman modal BUMB.
3. Sub Forum – Masyarakat
Rapat koordinasi sub forum masyarakat dan dihadiri oleh berbagai stakeholder yang mewakili masyarakat
seperti akademisi, LSM, NGO, tokoh adat, pokdarwis, desa wisata, asosiasi usaha, asosiasi profesi dll. Rapat sub
forum ini dipimpin oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara untuk mendorong partisipasi
lembaga-lembaga tersebut dalam pengembangan pariwisata maupun monitoring dan evaluasi pelaksanaan
ITMP Kawasan Danau Toba.
9.3.1.4 Peningkatan Kapasitas Pemerintah dalam Pengelolaan Kepariwisataan Danau Toba
Peningkatan kapasitas pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kapasitas pemerintah provinsi dan
kabupaten. Peningkatan kapasitas SDM pemerintah ditekankan pada pelatihan untuk pengelolaan kepariwisataan,
peningkatan investasi, pengembangan sistem perizinan dan penanaman modal berbasis elektronik, dana
manajemen data keparwisitaan.
9.3.1.5 Peningkatan Kapasitas dan Pengembangan Kelembagaan Badan Pengelola Geopark Kaldera
Toba (BPGKT)
Peningkatan kapasitas BPGKT lebih ditekankan pada peningkatan kapasitas SDM BPGKT untuk melaksanakan
pengelolaan Geopark. Terkait kelembagaan BPGKT, diperlukan pula pengembangan kelembagaan BPGKT dari
bentuk yang ada saat ini. Kepurusan Gubernur Sumatera Utara No. 188.4/778/KPTS/2017 telah menetapkan
pengangkatan personil BPGKT secara ex-officio yang dirasakan tidak efektif dan memerlukan evaluasi.
Pengembangan kelembagaan juga dibutuhkan untuk meningkatkan kewenangan dan kinerja BPGKT.
9.3.1.6 Penyusunan Naskah Akademik dan Raperpres Lembaga Tata Kelola Kolaboratif
Lembaga Tata Kelola Kolaboratif dibentuk sesuai dengan alternatif 5 yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pembentukan lembaga ini perlu ditetapkan dalam bentuk peraturan presiden agar dapat mencakupi lembaga
pemerintahan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Setelah terbentuk, Lembaga Tata Kelola Kolaboratif
Kawasan Danau Toba akan menyusun rencana strategis yang mengakomodasi upaya-upaya penguatan komitmen
dan jejaring serta perumusan visi, misi, strategi, dan program bersama lembaga tata kelola kolaboratif. Pada setiap
akhir tahapan pengembangan dalam ITMP dilakukan monitoring dan evaluasi kinerja Lembaga Tata Kelola
Kolaboratif dan penyusunan rencana strategis untuk tahapan berikutnya.
9.3.2 Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Kelembagaan BOPDT
Peningkatan kapasitas Badan Pelaksana BOPDT lebih ditekankan pada peningkatan kapasitas SDM dan rekrutmen
tenaga professional. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kapasitas SDM Badan Pelaksana BOPDT dalam
melaksanakan tugas dan fungsi sebagai badan layanan umum. Kewenangan BOPDT sebagai BLU sangat terbatas
sehingga diperlukan evaluasi kelembagaan BOPDT. Namun, evaluasi dapat dilakukan setelah fungsi BOPDT
sebagai Badan Layanan Umum berjalan dan dapat dilakukan penilaian kinerja. Evaluasi ini dibutuhkan untuk
melakukan pengembangan kelembagaan tersebut. Diperlukan pula pelaksanaan kajian pengembangan
kelembagaan BOPDT untuk mengidentifikasi kemungkinan transformasi BOPDT yang memiliki pola pengelolaan
keuangan BLU menjadi Badan Usaha Milik Bersama.
9.3.3 Pembentukan Toba Tourism Watch
Toba Tourism Watch ialah usulan kelembagaan baru yang secara khusus bertugas untuk melakukan pemantauan
secara real time, mendokumentasikan peristiwa penting di Kawasan Danau Toba, serta menangani
pengintegrasian dan manajemen data secara transparan. Lembaga ini berfokus pada monitoring dan evaluasi
untuk memastikan bahwa pembangunan pariwisata berjalan ‘on the right track’ dan memegang prinsip ‘doing the
right things rightly’. Sebelum dibentuk, anggota dari Toba Tourism Watch yang berasal dari akademisi, masyarakat,
asosiasi usaha, asosiasi profesi, komunitas, dan lainnya perlu untuk memiliki kapasitas dalam pelaksanaan
penelitian dan pengembangan kepariwisataan. Peningkatan kapasitas ini ditujukan untuk menyiapkan kompetensi
masyarakat untuk menjalankan fungsi sebagai Toba Tourism Watch. Pelatihan dilakuan untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat, asosiasi usaha, asosiasi profesi, komunitas dll dalam melaksanakan penelitian dan
pengembangan pariwisata serta untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi pembangunan di Kawasan Danau
Toba. Setelah ditingkatkan kapasitasnya, lembaga ini didorong untuk membentuk jejaring pada sub-forum
masyarakat pada Forum Pelaksana ITMP. Pembentukan lembaga ini dilakukan secara fasilitatif dan didorong oleh
Pemerintah Provinsi melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (bukan dibentuk secara atributif).
9.4 Pengembangan Kelembagaan di Kabupaten dan KWU
9.4.1 Pengembangan Kelembagaan Tata Kelola Kawasan Wisata Unggulan
Pada kabupaten-kabupaten yang memiliki kawasan wisata unggulan (Kab. Simalungun, Kab. Samosir, Kab. Toba
Samosir, Kab. Tapanuli Utara, Kab. Karo, dan Kab. Humbang Hasundutan) perlu dibentuk Forum Percepatan
Pengembangan dan Investasi Pariwisata. Forum ini menjadi wadah koordinasi dan kolaborasi pemangku
kepentingan terkait percepatan pengembangan dan investasi pariwisata di kawasan wisata unggulan pada
masing-masing kabupaten. Forum ini berisikan perwakilan-perwakilan dari OPD, swasta, masyarakat, tokoh
adat/budaya, asosiasi, komunitas, dan lainnya. Sama halnya yang dibentuk pada level provinsi (Kawasan Wisata
Danau Toba), forum ini dapat memanfaatkan kelompok kerja yang telah dibentuk untuk Program Pengembangan
Pariwisata Terintegrasi dan Berkelanjutan (P3TB) dengan menambahkan jejaring yang lebih luas dari elemen badan
usaha, masyarakat, komunitas, LSM/NGO, dan lainnya. Forum ini dibentuk melalui Peraturan Bupati. Forum akan
melaksanakan rapat koordinasi yang dilaksanakan dan didanai oleh Sekretariat Daerah masing-masing kabupaten.
Penyelenggaraan forum dilakukan selama 5 (lima) tahun.
9.4.2 Pengembangan Kelembagaan Tata Kelola Pengembangan Potensi Wisata
Kabupaten
Tata kelola pengembangan pariwisata di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat dibutuhkan untuk
mengembangkan potensi wisata yang ada dan mempertahankan potensi yang akan punah. Seperti 6 (enam)
kabupaten lainnya di Kawasan Wisata Danau Toba, di kedua kabupaten ini perlu dibentuk Forum Inisiasi
Pengembangan & Investasi Pariwisata. Forum dibentuk untuk mewadahi koordinasi dan kolaborasi pemangku
kepentingan dalam menginisiasi pengembangan wisata lokal dan mengundang investasi pariwisata di masing-
masing kabupaten. Dengan format yang sama dengan 6 (enam) kabupaten lainnya, forum ini berisikan
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-464
perwakilan-perwakilan dari OPD, swasta, masyarakat, tokoh adat/budaya, asosiasi, komunitas, dan lainnya yang
ditetapkan melalui Peraturan Bupati.
9.4.3 Peningkatan Partisipasi Desa dan BUMDes
Pada masing-masing KWU terdapat desa-desa yang termasuk dalam wilayah perencanaan. Pemerintah dan
masyarakat desa dapat dilibatkan dalam pengembangan pariwisata di masing-masing desa dengan
memanfaatkan adanya dana desa. Untuk beberapa jenis infrastruktur dasar yang menjadi kewenangan pemerintah
desa, penyediaan dan pengelolaannya dapat memanfaatkan adanya dan desa melalui pemrograman dalam
RKPDes dan pengalokasian anggaran dalam APBDes. Untuk meningkatkan partisipasi pemerintah dan masyarakat
desa terlebih dahulu diperlukan peningkatan kapasitas SDM pemerintah desa dan masyarakat desa dalam hal
pengelolaan kepariwisataan.
Desa juga memiliki kewenangan untuk mendirikan BUMDes. Peran BUMDes dalam pengembangan pariwisata di
KWU menjadi penting. BUMDes dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha akomodasi, sarana
transportasi, ataupun pengelolaan atraksi wisata di desa. Peningkatan peran BUMDes ini juga membutuhkan
peningkatan kapasitas SDM terlebih dahulu terutama dalam hal pengembangan dan manajemen bisnis/usaha
pariwisata.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-465
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-466
10. Evaluasi dan Mitigasi Dampak Lingkungan
Berdasarkan program-program utama yang ada di tiap KWU maka potensi dampak lingkungan serta kemungkinan langkah mitigasi yang dapat dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. 208 Dampak dan Mitigasi Aspek Lingkungan KWU Parapat
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
Quick Wins
(2020-2021)
1.1 Restorasi Area Colonial
Heritage Rumah
Pengasingan Bung Karno &
sekitarnya.
Positif: Restorasi ini akan meningkatkan situs warisan yang ada di KWU dan membalikkan degradasi lingkungan untuk mengoptimalkan
apresiasi pengunjung.
Negatif: terdapat risiko lingkungan dari pekerjaan restorasi selama konstruksi berlangsung yang dapat mempengaruhi pekerja dan
masyarakat disekitarnya.
Hal yang perlu diantisipasi dari Risiko tempat kerja dan kesehatan serta keselamatan adalah:
a. Cedera dan jatuh karena tidak menggunakan alat pelindung diri yang layak saat melakukan kegiatan konstruksi.
b. Resiko bagi masyarakat sekitar apabila tidak menyediakan cukup barikade atau tanda bahaya untuk menginformasikan batasan wlayah
proyek yang beresiko selama kegiatan konstruksi berlangsung.
c. Pembuangan limbah konstruksi yang tidak tepat dari kamp pekerja karena beberapa kontraktor tidak menyediakan toilet portable yang
layak dan mempraktikan houskeeping dengan baik.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
1.2 Revitalisasi Pantai Bebas
Perbaikan dari yang lama
Positif: Restorasi ini berfokus pada peningkatan situs warisan yang ada di KWU dan membalikkan degradasi lingkungan untuk apresiasi
pengunjung yang optimal.
Negatif: terdapat risiko lingkungan dari pekerjaan restorasi selama konstruksi berlangsung yang dapat mempengaruhi pekerja dan
masyarakat disekitarnya.
Hal yang perlu diantisipasi dari Risiko tempat kerja, kesehatan serta keselamatan adalah;
a. Cedera dan jatuh karena tidak menggunakan alat pelindung diri yang layak saat melakukan kegiatan konstruksi.
b. Resiko bagi masyarakat sekitar apabila tidak menyediakan cukup barikade atau tanda bahaya untuk menginformasikan batasan wlayah
proyek yang beresiko selama kegiatan konstruksi berlangsung.
c. Pembuangan limbah konstruksi yang tidak tepat dari kamp pekerja karena beberapa kontraktor tidak menyediakan toilet portable yang
layak dan mempraktikan houskeeping dengan baik.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
1.3 Proyek percontohan
dalam mengembangkan
greenhotel dan public beach
(Inna Parapat)
Positif: Proyek ini akan menginisiasikan pengembangan greenhotel yang akan mempertimbangkan keberlanjutan dan rendahnya karbon yang
dihasilkan. Hal ini dapat memberikan model untuk pengembangan hotel lainnya di KWU dan menghindari degradasi lingkungan lebih lanjut.
Negatif:
Dampak negatif akan terjadi selama tahap konstruksi dan operasi. Masalah lingkungan, kesehatan dan keselamatan diekspeKWUsikan selama
konstruksi, sementara selama operasi akan ada generasi makanan dan limbah umum, air limbah, sampah pantai, dan kebisingan. Energi, air,
dan limbah adalah tiga sumber utama dampak lingkungan.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
1.4 Konstruksi waterfront
dan jalur pejalan kaki
koridor utama Parapat
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif:
Risiko umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi seperti jalan dan trotoar, yaitu
• Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
• Erosi tanah dan sedimentasi aliran
• Debu
• Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
• Tumpahan bahan bakar dan pelumas
• Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
• Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
1. Konstruksi ruas jalan Aek
Natolu – Ajibata dan
Ajibata – Parapat
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif:
Risiko umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi seperti jalan dan trotoar, yaitu
• Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Risiko-risiko ini dapat dikurangi dengan :
a) analisis lingkungan alternatif di FSs;
b) persiapan Lingkungan dan Rencana Manajemen Sosial (ESMP) yang
baik;
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-467
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
• Erosi tanah dan sedimentasi aliran
• Debu
• Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
• Tumpahan bahan bakar dan pelumas
• Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
• Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
c) implementasi dari ESMP tersebut dimasukkannya mitigasi tindakan
dalam DED dan kontrak konstruksi menggabungkan Pedoman EHS;
serta
d) menyediakan Environmenta Code of Practice (ECOP) atau Standar
Prosedur Operasi (SOP) untuk kegiatan lain dimana penyaringannya
menunjukkan bahwa RKL dan UKL tidak diperlukan.
1.6 Manajemen lalu lintas
Pusat Kota Parapat
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata.
Negatif: Tidak ada dampak buruk yang diantisipasi.
Tidak Membutuhkan Mitigasi.
1.7 Optimalisasi IPAL
regional (pengolahan air
limbah) Parapat-Ajibata
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif:
Risiko umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi:
• Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
• Erosi tanah dan sedimentasi aliran
• Debu
• Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
• Tumpahan bahan bakar dan pelumas
• Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
• Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Risiko tambahan dari konstruksi atau perluasan / peningkatan dan pengoperasian instalasi pengolahan air limbah
- Eutrofikasi dari nutrisi dalam limbah cair
- Kematian organisme air yang disebabkan oleh oksigen terlarut rendah, atau zat beracun yang dimasukkan ke dalam sistem pengumpulan
- Bau yang disebabkan oleh gangguan tanaman
Risiko-risiko ini dapat dikurangi dengan : a) analisis lingkungan
alternatif di FSs; b)
persiapan
Lingkungan dan
Rencana Manajemen Sosial
(ESMP) yang baik; dan c) penyaringan yang tepat untuk menunjukkan
bahwa RKL dan UKL diperlukan atau tidak.
Key Programs
(2020-2025)
1.8 Revitalisasi Terminal
Sosor Saba Parapat
(dengan food court)
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif: terdapat risiko lingkungan dari pekerjaan restorasi selama konstruksi berlangsung yang dapat mempengaruhi pekerja dan
masyarakat disekitarnya yang perlu diantisipasi dari Risiko tempat kerja dan kesehatan serta keselamatan adalah:
a. Cedera dan jatuh karena tidak menggunakan alat pelindung diri yang layak saat melakukan kegiatan konstruksi.
b. Resiko bagi masyarakat sekit
c. ar apabila tidak disediakannya barikade atau tanda bahaya guna menginformasikan batasan wilayah proyek yang beresiko selama
kegiatan konstruksi berlangsung.
d. Pembuangan limbah konstruksi yang tidak tepat dari kamp pekerja karena beberapa kontraktor tidak menyediakan toilet portable yang
layak dan mempraktikan houskeeping dengan baik.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
1.9 Peningkatan SPAM
(sistem manajemen
pasokan air) di Parapat
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif:
Risiko umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi:
• Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
• Erosi tanah dan sedimentasi aliran
• Debu
• Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
• Tumpahan bahan bakar dan pelumas
• Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
• Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Risiko tambahan dari pengoperasian sistem pengolahan air;
• Pembuangan lumpur dan air limbah yang tidak benar
• Eksposur pekerja dan anggota masyarakat terhadap pengolahan air berbahan kimia selama pengiriman dan penggunaan.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-468
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
1.10 Penyediaan FS dan
DED untuk TPA regional
Parapat – Ajibata
Positif: Studi ini memberikan peluang untuk meningkatkan hasil investasi lingkungan yang disediakan.
Negatif: Studi itu sendiri tidak akan memberikan dampak negatif secara langsung.
Program peningkatan kapasitas dan pelatihan bersama untuk institusi
yang bertanggung jawab.
TOR untuk FS akan membutuhkan analisis alternatif, jika diperlukan,
dan perbandingan alternatif dengan alasan lingkungan. DED akan
memasukkan langkah-langkah mitigasi terkait desain dari UKL, RKL,
ECOPs atau SOP dan akan konsisten dengan Pedoman EHS.
1.11 Pengembangan Desa
Wisata (Geosite Patra
Sibaganding)
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan rural villages dengan geosit atau warisan budaya yang terletak di dalam atau di luar KWU
dengan menggunakan partisipasi masyarakat sebagai fitur inti.
Negatif: Dampak kecil yang diantisipasi untuk restorasi homestay.
Risiko dari pengoperasian toilet umum
- Polusi air tanah dari tangki septik karena lokasi di tanah yang tidak cocok, kerusakan, atau pemeliharaan yang buruk.
- Bau dan bahaya kesehatan yang disebabkan oleh housekeeping yang tidak memadai
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
1.12 Pengembangan
Pariwisata pendidikan di
Aek Nauli
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata dan untuk memasukkan aspek-aspek lingkungan, kesehatan,
keselamatan, dan manajemen sosial dalam pengembangan bisnis di tingkat UKM menuju pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Negatif: Tidak ada yang diantisipasi
Tidak diperlukan mitigasi.
1.13 Konstruksi pusat
pemuda, koperasi SME dan
food court
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata dengan keterlibatan masyarakat dan penyedia layanan.
Negatif:
Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
• Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
• Erosi tanah dan sedimentasi aliran
• Debu
• Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
• Tumpahan bahan bakar dan pelumas
• Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
• Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
Sumber: ITMP Toba, 2019
Tabel 3. 209 Dampak dan Mitigasi Aspek Lingkungan KWU Simanindo
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah-Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
Quick Wins
(2020-2021)
2.1 Revitalisasi kursi batu
Siallagan
- Restorasi rumah, tempat
parkir, kios
Positif : Restorasi ini berfokus pada peningkatan situs warisan yang ada di kawasan wisata utama dan membalikkan degradasi lingkungan
untuk apresiasi pengunjung yang optimal.
Negatif : terdapat risiko lingkungan dari pekerjaan restorasi selama konstruksi berlangsung yang dapat mempengaruhi pekerja dan
masyarakat disekitarnya;
Hal yang perlu diantisipasi dari Risiko tempat kerja dan kesehatan serta keselamatan adalah;
• Cedera dan jatuh karena tidak menggunakan alat pelindung diri yang layak saat melakukan kegiatan konstruksi.
• Resiko bagi masyarakat sekitar apabila tidak disediakannya barikade atau tanda bahaya guna menginformasikan batasan wilayah proyek
yang beresiko selama kegiatan konstruksi berlangsung.
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak tepat dari kamp pekerja karena beberapa kontraktor tidak menyediakan toilet portable yang
layak dan mempraktikan houskeeping dengan baik.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
2.2 Pengembangan Eco-
camp Aek Natonang
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata
2.3 Peningkatan jalur
hiking dan jalur pejalan
kaki di koridor utama
Ambarita-Tuk Tuk-Tomok
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata.
Negatif: Estetika atau polusi visual seperti sampah yang ditinggalkan oleh wisatawan, graffiti pada cabang pohon, penciptaan jalur sekunder,
dan gangguan pada area bersarang burung.
Memantau indikator, ketika pengunjung menyimpang dari jalan
utama atau mengambil jalan pintas. Hal ini dapat menyebabkan erosi
dan kerusakan vegetasi serta berdampak pada burung dan satwa liar
2.4 Manajemen lalu litas
pusat kota Simanindo
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata.
Negatif: Tidak ada dampak buruk yang diantisipasi.
Tidak memerlukan mitigasi.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-469
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah-Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
2.5 FS, DED, dan
konstruksi instalasi
pengolahan air limbah
yang terintegrasi
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif:
a) Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Risiko tambahan dari konstruksi atau perluasan / peningkatan dan pengoperasian instalasi pengolahan air limbah:
Eutrofikasi dari nutrisi dalam limbah cair
Kematian organisme air yang disebabkan oleh oksigen terlarut rendah, atau zat beracun yang dimasukkan ke dalam sistem pengumpulan
Bau yang disebabkan oleh gangguan tanaman
Program peningkatan kapasitas dan pelatihan bersama untuk
institusi yang bertanggung jawab.
Risiko-risiko ini dapat dikurangi dengan (a) analisis lingkungan
terhadap alternatif-alternatif dalam FS; (b) persiapan Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMP) yang baik; dan (c)
penyaringan yang tepat untuk menunjukkan bahwa RKL dan UKL
diperlukan atau tidak.
Key Programs
(2020-2025)
2.6 Revitalisasi Makam
Raja Sidabutar dan
sekitarnya
Positif: Restorasi ini berfokus pada peningkatan situs warisan yang ada di KWU dan membalikkan degradasi lingkungan untuk apresiasi
pengunjung yang optimal.
Negatif: terdapat risiko lingkungan dari pekerjaan restorasi yang diantisipasi selama konstruksi yang dapat mempengaruhi pekerja dan
masyarakat disekitarnya;
Hal yang perlu diantisipasi dari Risiko tempat kerja dan kesehatan serta keselamatan adalah;
• Cedera dan jatuh karena tidak menggunakan alat pelindung diri yang layak saat melakukan kegiatan konstruksi.
• Resiko bagi masyarakat sekitar apabila tidak disediakannya barikade atau tanda bahaya guna menginformasikan batasan wilayah proyek
yang beresiko selama kegiatan konstruksi berlangsung.
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak tepat dari kamp pekerja karena beberapa kontraktor tidak menyediakan toilet portable yang
layak dan mempraktikan houskeeping dengan baik.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
2.7 Pengembangan Desa
Wisata (Geosite Ambarita-
Tuktuk)
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan rural villages dengan geosit atau warisan budaya yang terletak di dalam atau di luar KWU
dengan menggunakan partisipasi masyarakat sebagai fitur inti.
Negatif : Dampak kecil yang diantisipasi untuk restorasi rumah bagi homestay.
Risiko dari pengoperasian toilet umum
- Polusi air tanah dari tangki septik karena lokasi di tanah yang tidak cocok, kerusakan, atau pemeliharaan yang buruk.
- Bau dan bahaya kesehatan yang disebabkan oleh housekeeping yang tidak memadai.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
2.8 DED dan UPL/UKL
untuk pembangunan
Pelabuhan Tomok
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata.
Tidak memerlukan mitigasi.
DED akan memasukkan langkah-langkah mitigasi terkait desain dari
UKL, RKL, ECOPs atau SOP dan akan konsisten dengan Pedoman EHS.
2.9 Penyediaan bus
pariwisata, tempat parkir
dan area pengendara.
Positif: Ini akan menyediakan sistem pergerakan dan parkir kendaraan yang terorganisir di sekitar area pariwisata.
Negatif: Risiko yang diantisipasi yaitu polusi udara, keramaian, kemacetan dan, sampah yang dihasilkan.
Emisi dari bus dan kendaraan dapat memengaruhi wisatawan dan integritas sumber daya fisik budaya yang peka terhadap polutan.
Kendaraan yang diparkir harus mematikan mesin mereka untuk
menghindari emisi karbon monoksida dan nitrogen oksida yang
berbahaya bagi manusia dan warisan budaya.
Tempat sampah yang layak harus disediakan di lokasi yang terlihat.
2.10 Ulasan DED dan
pembangunan distribusi
instalansi pipa air minum
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif:
Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
DED akan memasukkan langkah-langkah mitigasi terkait desain dari
UKL, RKL, ECOPs atau SOP dan akan konsisten dengan Pedoman EHS
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-470
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah-Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya.
2.11 Konstruksi TPS3R
(fasilitas limbah padat
sementara dengan
pemilahan)
Positif: Fasilitas ini akan bertindak sebagai stasiun transfer yang akan memungkinkan pemilahan limbah menuju daur ulang, baik
biodegradable untuk pengomposan maupun limbah nondegradable untuk di daur ulang. Residu dibawa ke sanitasi TPA
Negatif:
Kemungkinan resiko keselamatan yang dapat terjadi pada petugas selama proses pemilahan sampah
Kehadiran vector penyakit, seperti lalat dan nyamuk.
Asap dan kebakaran yang tidak terkendali.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
- Pelatihan bagi para pekerja dalam menghindari paparan terhadap
resiko yangtidak perlu, seperti luka, memar, gigitan serangga, bau,
dll.
Sumber: ITMP Toba, 2019
Tabel 3. 210 Dampak dan Mitigasi Aspek Lingkungan KWU Pangururan
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah-Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
Quick Wins
(2020-2021)
3.1 Beautifikasi kawasan
waterfront Pangururan
Positif: Peluang untuk meningkatkan sektor pariwisata.
Negatif: Tidak ada yang diantisipasi
Tidak memerlukan mitigasi.
3.2 Pembangunan pusat
informasi Geopark baru
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan
Negatif:
Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
3.3 Konstruksi jalur pejalan
kaki di koridor utama
Pangururan
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan
Negatif:
Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
3.4 Manajemen lalulintas
pusat kota Pangururan
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata.
Negatif: Tidak ada dampak buruk yang diantisipasi.
Tidak diperlukan mitigasi.
Key Programs
(2020-2025)
3.5 Revitalisasi Aek Rangat
dan area sekitarnya
Positif: Restorasi ini berfokus pada peningkatan situs warisan yang ada di KWU dan membalikkan degradasi lingkungan untuk apresiasi
pengunjung yang optimal.
Negatif: terdapat risiko lingkungan dari pekerjaan restorasi selama konstruksi berlangsung yang dapat mempengaruhi pekerja dan
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-471
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah-Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
masyarakat disekitarnya;
Hal yang yang perlu diantisipasi dari Risiko tempat kerja dan kesehatan serta keselamatan adalah:
• Cedera dan jatuh karena tidak menggunakan alat pelindung diri yang layak saat melakukan kegiatan konstruksi.
• Resiko bagi masyarakat sekitar apabila tidak disediakannya barikade atau tanda bahaya guna menginformasikan batasan wilayah proyek
yang beresiko selama kegiatan konstruksi berlangsung.
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak tepat dari kamp pekerja karena beberapa kontraktor tidak menyediakan toilet portable yang
layak dan mempraktikan houskeeping dengan baik.
Risiko dari pengoperasian toilet umum ;
- Polusi air tanah dari tangki septik karena lokasi di tanah yang tidak cocok, kerusakan, atau pemeliharaan yang buruk.
- Bau dan bahaya kesehatan yang disebabkan oleh housekeeping yang tidak memadai
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
3.6 Pengembangan Desa
Wisata (Geosite
Hutatinggi-Sidihoni)
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan rural villages dengan geosite atau warisan budaya yang terletak di dalam atau di luar KWU
dengan menggunakan partisipasi masyarakat sebagai fitur inti.
Negatif:
Dampak kecil diantisipasi untuk restorasi rumah untuk homestay.
Risiko dari pengoperasian toilet umum ;
- Polusi air tanah dari tangki septik karena lokasi di tanah yang tidak cocok, kerusakan, atau pemeliharaan yang buruk.
- Bau dan bahaya kesehatan yang disebabkan oleh housekeeping yang tidak memadai.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
3.7 Penyediaan bus
pariwisata, dan ‘park and
ride’ area
Positif: Ini akan menyediakan sistem pergerakan dan parkir kendaraan yang terorganisir di sekitar area pariwisata.
Negatif: Risiko yang diantisipasi yaitu polusi udara, keramaian, kemacetan dan, sampah yang dihasilkan.
Emisi dari bus dan kendaraan dapat memengaruhi wisatawan dan integritas sumber daya fisik budaya yang peka terhadap polutan.
Kendaraan yang diparkir harus mematikan mesin mereka untuk
menghindari emisi karbon monoksida dan nitrogen oksida yang
berbahaya bagi manusia dan warisan budaya.
Tempat sampah yang layak harus disediakan di lokasi yang terlihat.
3.8 Peningkatan SPAM di
Pangururan Parbaba dan
Parjonggi (sistem
manajemen pasokan air)
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif:
Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Risiko tambahan dari pengoperasian sistem pengolahan air
• Pembuangan lumpur dan air limbah yang tidak benar
• Resiko pekerja dan masyarakat terhadap pengolahan air berbahan kimia selama pengiriman dan penggunaan.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
3.9 Konstruksi TPS3R
(fasilitas SW sementara,
dengan penyortiran)
Positif: Fasilitas ini akan bertindak sebagai stasiun transfer yang akan memungkinkan pemilahan limbah menuju daur ulang, baik
biodegradable untuk pengomposan maupun limbah nondegradable untuk di daur ulang. Residu dibawa ke sanitasi TPA.
Negatif:
- Dampak terkait konstruksi
- Kemungkinan resiko keselamatan yang dapat terjadi pada petugas selama proses pemilahan sampah
- Kehadiran vektor penyakit seperti lalat dan nyamuk
- Asap dan kebakaran yang tidak terkendali
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS),
termasuk perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta
penggunaan rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
Pelatihan bagi para pekerja dalam menghindari paparan terhadap
resiko yangtidak perlu, seperti luka, memar, gigitan serangga, bau,
dll.
Sumber: ITMP Toba, 2019
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-472
Tabel 3. 211 Dampak dan Mitigasi Aspek Lingkungan KWU Balige
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah-Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
Quick Wins
(2020-2021)
4.1 Revitalisasi Pasar
Onan Balerong
Positif: Restorasi ini berfokus pada peningkatan situs warisan yang ada di KWU dan membalikkan degradasi lingkungan untuk apresiasi
pengunjung yang optimal.
Negatif: terdapat risiko lingkungan dari pekerjaan restorasi selama konstruksi berlangsung yang dapat mempengaruhi pekerja dan
masyarakat disekitarnya;
Hal yang perlu diantisipasi dari Risiko tempat kerja dan kesehatan serta keselamatan adalah;
• Cedera dan jatuh karena tidak menggunakan alat pelindung diri yang layak saat melakukan kegiatan konstruksi.
• Resiko bagi masyarakat sekitar apabila tidak disediakannya barikade atau tanda bahaya guna menginformasikan batasan wilayah proyek
yang beresiko selama kegiatan konstruksi berlangsung.
• Pembuangan limbah konstruksi yang tidak tepat dari kamp pekerja karena beberapa kontraktor tidak menyediakan toilet portable yang
layak dan mempraktikan houskeeping dengan baik.
Risiko dari pengoperasian toilet umum ;
- Polusi air tanah dari tangki septik karena lokasi di tanah yang tidak cocok, kerusakan, atau pemeliharaan yang buruk.
- Bau dan bahaya kesehatan yang disebabkan oleh housekeeping yang tidak memadai
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
4.2 Pembangunan Rest
Area Lumban Pea yang
Terintegrasi
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan
Negatif:
Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
4.3 Peningkatan jalur
pejalan kaki di koridor
utama Balige
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif:
Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
4.4 Manajemen lalu lintas
pusat kota Balige
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata.
Negatif: Tidak ada dampak buruk yang diantisipasi.
Tidak diperlukan mitigasi.
Key Programs
(2020-2025)
4.5 Pembangunan
Boatyard untuk docking
di Parparean
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif: Risiko yang umum untuk sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-473
Jenis Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan Kemungkinan Langkah-Langkah Mitigasi dan Instrumen EA
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
4.6 Penyediaan ‘park and
ride’ area
Positif: penyediaan sistem pergerakan dan parkir kendaraan yang terorganisir di sekitar area pariwisata.
Negatif: Resiko yang diantisipasi adalah kebisingan dan polusi udara, keramaian, kemacetan dan sampah yang dihasilkan.
Emisi dari bus dan kendaraan dapat memengaruhi wisatawan dan integritas sumber daya budaya fisik yang peka terhadap polutan.
Kendaraan yang diparkir harus mematikan mesin mereka untuk
menghindari emisi karbon monoksida dan nitrogen oksida yang
berbahaya bagi manusia dan warisan budaya.
Tempat sampah yang layak harus disediakan di lokasi yang terlihat.
4.7 Peningkatan SPAM di
Balige
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan kesenjangan layanan dasar yang ada untuk populasi KWU dan membalikkan degradasi
lingkungan.
Negatif: Risiko tambahan dari pengoperasian sistem pengolahan air
• Pembuangan lumpur dan air limbah yang tidak benar
• Resiko pekerja dan masyarakat terhadap pengolahan air berbahan kimia selama pengiriman dan penggunaan.
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
4.8 Konstruksi TPS3R
(fasilitas limbah padat
sementara dengan
penyortiran)
Positif: Fasilitas ini akan bertindak sebagai stasiun transfer yang akan memungkinkan pemilahan limbah menuju daur ulang, baik
biodegradable untuk pengomposan maupun limbah nondegradable untuk di daur ulang. Residu dibawa ke sanitasi TPA.
Negatif:
Kemungkinan resiko keselamatan yang dapat terjadi pada petugas selama proses pemilahan sampah
Kehadiran vektor penyakit seperti lalat dan nyamuk
Asap dan kebakaran yang tidak terkendali
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
Pelatihan bagi karyawan dalam menghindari paparan terhadap
risiko yang tidak perlu seperti luka, memar, gigitan serangga, bau,
dll.
Penggunaan peralatan pelindung pribadi
4.9 FS dan DED untuk
IPLT di Kab. Toba
Samosir
Positif: Studi ini memberikan peluang untuk meningkatkan hasil investasi lingkungan yang disediakan.
Negatif: Studi itu sendiri tidak akan memberikan dampak negatif secara langsung.
Pengembangan kapasitas dan program pelatihan bersama bagi
institusi yang bertanggung jawab.
Tidak diperlukan mitigasi.
4.10 Peningkatan TPA
Laguboti
Positif: meningkatkan praktik pembuangan limbah padat dan menghindari dampak lingkungan dan kesehatan.
Negatif: Risiko tambahan dari konstruksi dan pengoperasian fasilitas pengumpulan dan pembuangan limbah padat.
• Kontaminasi air tanah oleh leachate karena lokasi di tanah yang tidak cocok atau pengumpulan lapisan dan leachate yang tidak efektif.
• Polusi permukaan air dari limpasan yang terkontaminasi atau tidak diolah dengan baik.
• Asap dan api
• Vermin dan vector penyakit
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
4.11 Konstruksi Pusat
Pemuda
Positif: Peluang untuk meningkatkan manajemen dampak di sektor pariwisata.
Negatif:
Risiko yang umum bagi sebagian besar kegiatan konstruksi ;
Hilangnya vegetasi dan humus dari pembukaan lahan
Erosi tanah dan sedimentasi aliran
Debu
Kebisingan dan emisi udara dari alat berat
Pembuangan limbah konstruksi yang tidak benar
Tumpahan bahan bakar dan pelumas
Kerusakan infrastruktur atau sumber daya budaya fisik lainnya
Intrusi visual infrastruktur ke dalam lanskap alam dan budaya
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
4.12 Pengembangan
Desa Wisata (Geosite
Balige-Liang Sipege)
Positif: Komponen ini berfokus pada peningkatan rural villages dengan geosit atau warisan budaya yang terletak di dalam atau di luar KWU
dengan menggunakan partisipasi masyarakat sebagai fitur inti.
Negatif: Dampak kecil yang diantisipasi untuk restorasi homestay.
Risiko dari pengoperasian toilet umum ;
- Polusi air tanah dari tangki septik karena lokasi di tanah yang tidak cocok, kerusakan, atau pemeliharaan yang buruk.
- Bau dan risiko kesehatan yang disebabkan oleh housekeeping yang tidak memadai
Selama implementasi, langkah-langkah mitigasi dapat dipantau
dengan lebih baik melalui pengawasan dan desakan oleh petugas
pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Lingkungan (EHS), termasuk
perhatian pada penyediaan dan penggunaan APD serta penggunaan
rambu-rambu dan barikade di lokasi bahaya.
Sumber: ITMP Toba, 2019
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-474
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-475
11. Evaluasi dan Mitigasi Dampak Sosial
Berdasarkan program-program utama yang ada di tiap KWU maka potensi dampak lingkungan serta kemungkinan langkah mitigasi yang dapat dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. 212 Identifikasi Mitigasi Sosial berdasarkan Isu dan Dampak di KWU Parapat
NO NAMA
PROGRAM
ISU DAMPAK POSITIF DAMPAK NEGATIF RENCANA MITIGASI PEMETAAN STAKEHOLDER
SUMBER LAHAN ISU SOSIAL
1 Restoration
of Bung
Karno Exile
House
Lahan dan bangunan
(objek restorasi) dalam
kepemilikan pemerintah.
Program ini tidak
memerlukan lahan baru
namun secara fisik akan
berdampak pada para
pedagang yang berada
disekitar objek
Tidak ada isu krusial dalam
masalah sosial
a. Peningkatan keindahan
landmark parapat
b. Peningkatan pendapatan
pedagang
souvenir/makanan
disekitar rumah Bung
Karno
c. Adanya alternatif
kunjungan pengunjung di
Parapat
Konflik antar pedagang karena
perebutuan lahan disekitar
rumah bung karno
Adanya kekawatiran para
pemerhati kultural heritage
tentang potensi perubahan
rumah bung karno
Ketidakteraturan parkir akibat
peningkatan kunjungan tourist
Pembentukan kelembagaan pelaku wisata
lokal
Pelibatan pemerhati cultural heritage
dalam proses pra dan pelaksanaan
restorasi
Penjelasan manfaat restorasi rumah bung
karno pada stakeholder sebelum restorasi
dan secara berkala pada saat restorasi
Pemprov sumut dan
pemkab simalungan
Staff pengurus rumah Bung
Karno
Pemerhati cultural heritage
Pedagang souvenir
disekitar rumah Bung
Karno
Pengunjung Wisata
2 Revitalization
of Pantai
Bebas
Lahan secara legalitas
lahan berada dikawasan
sempadan danau dalam
kepemilikan pemerintah.
Di atas lahan sudah ada
bangunan-bangunan
pemerintah (seperti
darmaga kapal)
- Pantai bebas adalah lokasi
strategis Parapat yang
penting bagi pemkab
Simalungun untuk
menunjukkan identitas
kabupaten
- Penataan pada lokasi ini
berpotensi merubah cara
pedagang dan pelaku kapal
dalam kegiatan ekonominya
a. Peningkatan keindahan
pantai Bebas Parapat
b. Peningkatan pendapatan
pedagang
souvenir/makanan
disekitar pantai
c. Peningkatan jumlah dan
lama kunjungan tourist di
parapat
Konflik antar pedagang karena
perebutuan lahan dekat pantai
Kehilangan pendapatan
masyarakat pelaku wisata saat
ini di pantai bebas (pedagang)
Ketidakteraturan parkir akibat
peningkatan kunjungan tourist
Pembentukan kelembagaan pelaku wisata
yang saat ini beroperasi di panatai bebas
Pelibatan para tokoh masyarakat yang
mengetahui sejarah keindahan pantai
bebas dalam program revitalisasi (desain)
Membuat program peningkatan
pengetahuan/keterampilan (misalnya
pelatihan) kepada masyarakat terdampak
Penjelasan manfaat revitalisasi pada
stakeholder sebelum pelaksanaan dan
secara berkala pada saat pelaksanaan
Pemprov sumut dan
pemkab simalungan
Pedagang disekitar pantai
Pemilik “bangunan”
disekitar pantai
Pemilik “lapak tikar”
dipantai bebas
Pemilik dan operator kapal
wisata
Pengunjung Wisata
3 Pilot project
in developing
green hotel
and public
beach (Inna
Parapat)
Lahan proyek adalah milik
BUMN (Hoten Inna)
Tidak ada isu krusial dalam
masalah sosial
Peningkatan citra
parapet sebagai wisata
ramah lingkungan dan
sosial
Peningkatan pendapatan
pedagang
souvenir/makanan
disekitar hotel
Peningkatan jumlah dan
lama kunjungan tourist
di parapat
Kekawatiran pemerhati cultural
heritage adanya perubahan
bentuk dari Hotel Inna
Pelibatan para tokoh masyarakat lokal
dalam pengembangan hotel Inna
Pemkab Simalungun
Manajemen Hotel Inna
Pemerhati cultural heritage
Pedagang souvenir
disekitar Inna
Tourist
4 Construction
of waterfront
and Parapat’s
main corridor
pedestrian
ways
Lahan secara legalitas ada
dalam kepemilikan
pemerintah, tetapi sudah
diusahakan masyarakat
berupa lapak-lapak tikar,
warung, café dan
tambatan kapal. Sebagian
dari lapak tersebut
berupa bangunan yang
sudah dianggap milik
sendiri.
- Penataan akan
menghilangkan kepemilikan
bangunan-bangunan lapak
yang dibuat masyarakat
- Program kontruksi pantai
parapat akan menggeser
lapak-lapak usaha ekonomi
masyarakat lokal saat ini dan
akan mengubah juga pola
ekonomi setelah kontruksi
- Para pelaku usaha di lokasi
Peningkatan keindahan
pantai Parapat
Peningkatan jumlah dan
lama kunjungan tourist
di parapet
Peningkatan pendapatan
pedagang
souvenir/makanan
disekitar pantai
Potensi Konflik antar pedagang
karena perebutan lahan dekat
pantai
Kehilangan pendapatan
masyarakat (sementara) pelaku
wisata saat ini di pantai bebas
Ketidakteraturan parkir akibat
peningkatan kunjungan tourist
Pembentukan kelembagaan pelaku wisata
yang saat ini beroperasi di pantai bebas
parapat
Pelibatan para tokoh masyarakat yang
mengetahui sejarah keindahan pantai
parapat dalam program revitalisasi
(desain)
Membuat program peningkatan
pengetahuan/keterampilan (misalnya
pelatihan) kepada masyarakat terdampak
Penjelasan manfaat program pada
Pemprov sumut dan
pemkab simalungan
Pedagang disekitar pantai
Pemilik “bangunan”
disekitar pantai parapat
Pemilik “lapak tikar”
dipantai parapat
Pengunjung Wisata
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-476
NO NAMA
PROGRAM
ISU DAMPAK POSITIF DAMPAK NEGATIF RENCANA MITIGASI PEMETAAN STAKEHOLDER
SUMBER LAHAN ISU SOSIAL
memiliki kepentingan akan
tetap dapat berusaha setelah
penataan
stakeholder sebelum pelaksanaan dan
secara berkala pada saat pelaksanaan
5 Traffic
management
of Parapat
city center
Prgram ini menggunakan
lahan pemerintah
kabupaten
- Tidak ada isu krusial dalam
masalah sosial
Peningkatan keteraturan
lalulintas dalam dan
keluar kota
Peningkatan jumlah dan
lama kunjungan tourist
di parapat
-
Kehilangan pendapatan
masyarakat di sekitar terminal
pada saat penataan
-
Pembentukan kelembagaan pelaku usaha
transportasi yang saat ini beroperasi di
parapat
Pelibatan Komunitas transportasi dalam
penataan traffic management
Pemprov sumut dan
pemkab simalungan
Pelaku wisata di sekitar
terminal
Komunitas transportasi
(Misalnya organda)
Komunitas juru parkir, supir
lokal
6 Optimalizatio
n of regional
IPAL Parapat-
Ajibata
Prgram ini menggunakan
lahan pemerintah
kabupaten
- Tidak ada isu krusial dalam
masalah sosial
Peningkatan kebersihan
perairan Parapat
Peningkatan jumlah dan
lama kunjungan tourist
di parapet
Peningkatan pendapatan
pedagang
souvenir/makanan
disekitar pantai
- Potensi keresahan
masyarakat/hotel/restoran karena
adanya perubahan prosedur
pengelolaan limbah cair dari
kondisi saat ini
Pelibatan peran dari tokoh
masarakat/lokal dalam penjelasan manfaat
program ningkatan kebersihan perairan
Parapat
- Pelibatan masyarakat, hotel/restoran secara
partisipatif dalam program
Pemkab simalungan
Masyarakat Parapat/
Ajibata
Pemilik dan operator kapal
- Hotel/restoran
Sumber: ITMP Toba, 2019
Tabel 3. 213 Identifikasi Mitigasi Sosial berdasarkan Isu dan Dampak di KWU Simanindo
NO NAMA
PROGRAM SUMBER LAHAN ISU DAMPAK POSITIF DAMPAK NEGATIF RENCANA MITIGASI PEMETAAN STAKEHOLDER
1 Revitalization of
Siallagan Stone
Chair
Lahan bangunan dan tanah
(objek revitalisasi) dalam
kepemilikan keluarga/ripe
ripe dan huta.
Pengembangan juga
membutuhkan lahan
masyarakat lain dan gereja
Tidak ada isu krusial dalam
masalah tanah, perlu
antisapasi agar tetap
mempertahankan sebagai
desa adat
Peningkatan keindahan
Siallagan
Peningkatan pendapatan
pedagang souvenir disekitar
Siallagan Stone Chair
Peningkatan kunjungan
Siallagan Stone Chair
Konflik antar
keluarga/keturunan
Siallagan akibat revitalisasi
Konflik perebutan lahan
usaha disekitar penataan
Ketidakteraturan parkir
akibat peningkatan
kunjungan
Pendekatan pada tokoh keturunan
Siallagan tentang manfaat revitalisasi
Pembentukan/penguatan
kelembagaan pelaku wisata ekonomi
disekitar Siallagan
Pelibatan pemerhati cultural heritage
dalam proses pra dan pelaksanaan
revitalisasi
Penjelasan manfaat revitalisasi pada
stakeholder sebelum revitalisasi dan
secara berkala pada saat revitalisasi
Pemilik/Keturunan
Sialagan
Pemkab Samosir
Pelaku Wisata/Pedagang
souvenir disekitar Lokasi
Masyarakat Lokal/sekitar
Pengunjung
Pegiat Heritage
HKBP Siallagan
2 Development of
Eco-camp Aek
Natonang
Lahan secara legalitas ada
dalam kepemilikan
pemerintah dan sebagaian
kawasan hutan, saat ini
sudah ada pengelolaan
secara terbatas
- Pengembangan dikawasan
hutan agar dihindarkan
- Para pelaku usaha memiliki
kepentingan mereka akan
tetap dapat berusaha
setelah penataan
Peningkatan infrastruktur
wisata
Peningkatan pendapatan
pedagang souvenir disekitar
lokasi
Peningkatan jumlah dan lama
kunjungan
Potensi konflik antar pemrakarsa
dengan Dinas Kehutanan
Pengembangan dikawasan hutan
agar dihindarkan
-
Pemkab Samosir
Dinas Kehutanan
Masyarakat Lokal
3 Improvement of
hiking trail and
pedestrian way
in main corridor
of Ambarita-Tuk
Lahan proyek adalah milik
pemkab Samosir
Tidak ada isu krusial dalam
masalah tanah
Peningkatan pendapatan
pedagang souvenir disekitar
lokasi
Peningkatan jumlah dan lama
kunjungan
- - Pemkab Samosir
Masyarakat Lokal
Pengunjung
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-477
NO NAMA
PROGRAM SUMBER LAHAN ISU DAMPAK POSITIF DAMPAK NEGATIF RENCANA MITIGASI PEMETAAN STAKEHOLDER
Tuk-Tomok
4 Traffic
management of
Simanindo city
center
Lahan secara legalitas ada
dalam kepemilikan
pemerintah kabupaten.
- Tidak ada issu krusial dalam
masalah tanah
Peningkatan keteraturan
lalulintas dalam dan keluar
Simanindo
Peningkatan jumlah dan lama
kunjungan tourist di Balige
- - Pemkab Samosir
Masyarakat Lokal
Pengunjung
5 FS, DED, and
construction of
integrated
wastewater
treatment plant
Membutuhkan lahan baru
untuk kontruksi
- Berpeluang terjadinya
akuisisi lahan masyarakat
Peningkatan kebersihan
perairan Sisi Samosir
Peningkatan jumlah dan lama
kunjungan tourist di Tomok
Peningkatan pendapatan
pedagang souvenir/makanan
disekitar pantai
Potensi keresahan
masyarakat/hotel/restoran
karena adanya perubahan
prosedur pengelolaan
limbah cair dari kondisi saat
ini
Pelibatan peran dari tokoh
masarakat/lokal dalam penjelasan
manfaat program ningkatan
kebersihan perairan Samosir
Pelibatan masyarakat, hotel/restoran
secara partisipatif dalam program
Pemkab Samosir
Masyarakat Tomok
Pemilik dan operator
kapal
Hotel/restoran
6 Revitalization of
Raja Sidabutar
Tomb and its
surrounding area
Lahan berada dalam
kepemilikan komunal
Sidabutar
- Revitalisasi membutuhkan
persetujuan keturunan raja
Sidabutar (Makam)
- Pengkondisian agar inisiatif
revitalisasi berasala dari
internal sidabutar
Peningkatan keindahan Tomok
dengan tema makam Sidabuta
Peningkatan pendapatan
pedagang souvenir disekitar
Tomok
Peningkatan kunjungan ke
Tomok
Konflik antar
keluarga/keturunan
Sidabutar akibat
revitalisasiyang dilakukan
pihak luar
Konflik perebutan lahan
usaha disekitar penataan
Ketidakteraturan parkir
akibat peningkatan
kunjungan
-
Pendekatan pada tokoh keturunan
Sidabutar tentang manfaat revitalisasi
Pembentukan/penguatan
kelembagaan pelaku wisata ekonomi
disekitar Tomok
Pelibatan pemerhati cultural heritage
dalam proses pra dan pelaksanaan
revitalisasi
Penjelasan manfaat revitalisasi pada
stakeholder sebelum revitalisasi dan
secara berkala pada saat revitalisasi
Pemilik/Keturunan
Sidabutar
Pemkab Samosir
Pelaku Wisata/Pedagang
souvenir disekitar Lokasi
Masyarakat Lokal/sekitar
Pengunjung
Pegiat Heritage
Sumber: ITMP Toba, 2019
Tabel 3. 214 Identifikasi Mitigasi Sosial berdasarkan Isu dan Dampak di KWU Pangururan
NO NAMA
PROGRAM SUMBER LAHAN ISU SOSIAL DAMPAK POSITIF DAMPAK NEGATIF RENCANA MITIGASI
PEMETAAN
STAKEHOLDER
1 Beautification of
Pangururan
waterfront area
Lahan dan bangunan objek
penataan dalam kepemilikan
pemerintah daerah sebagai
sempadan danau. Program ini
tidak memerlukan lahan baru
namun secara fisik akan
berdampak pada bangunan
yang sudah ada dalam lokasi
objek
- Kepemilikan lahan
khususnya pada
bangunan dan usaha yang
sudah ada di obejk
penataan
- Dampak penataan pada
pedagang dan penyewa
saat ini serta masyarakat
lokal
Peningkatan keindahan pantai
pangururan
Peningkatan pendapatan
pedagang disekitar proyek
Konflik antar
pedagang/pengusaha karena
perebutan lahan usaha dekat
lokasi penataan
Kecemburan masyarakat yang
tidak mendapat akses usaha
pada lokasi karena modal
ataupun kapasitas
Ketidakteraturan parkir akibat
peningkatan kunjungan
Pembentukan/penguatan
kelembagaan pelaku wisata
ekonomi disekitar waterfront
Mempriritaskan masyarakat
lokal untuk mendapat akses
usaha pada lokasi
Membuat program capacity
building pada masyarakat lokal
Pemkab Samosir
Masyarakat sekitar
proyek
Pedagang/ pelaku
wisata disekitar
proyek
Pengunjung
2 Construction of
new geopark
information center
Bangunan Awal sudah dan
sudah digunakan sebagai
pusat informasi geopark
Saat ini belum ada isu social
yang muncul, namu perlu
diantisipasi dengan
memperjelas kepemilikan
lahan
Peningkatan kapasitas Geopark
Potensi pendapatan pedagang
souvenir disekitar pusat informasi
Peningkatan jumlah dan lama
kunjungan
- Kecemburan masyarakat yang
tidak mendapat akses usaha
pada lokasi karena modal
ataupun kapasitas
Mempriritaskan masyarakat
lokal untuk mendapat akses
usaha pada lokasi
Membuat program capacity
building pada masyarakat lokal
Pemkab Simalungun
Samosir
Badan Geopark Danau
Toba
Pengunjung
3 Construction of
pedestrian way in
Pangururan’s main
corridor
Lahan proyek adalah milik
pemerintah daerah
Tidak ada isu krusial dalam
masalah sosial
Peningkatan keindahan
pedestrian dan main corridor
Pangururan
Peningkatan pendapatan
Konflik antar pedagang karena
adanya penataan lokasi
Ketidakteraturan parkir akibat
peningkatan kunjungan tourist
Pembentukan/penguatan
kelembagaan pelaku wisata
ekonomi disekitar main
corridor/pedestrian
Pemkab Samosir
Pedagang dan
pemukim disekitar
pedestrian
Bagian III: Strategi Pengembangan Kawasan III-478
NO NAMA
PROGRAM SUMBER LAHAN ISU SOSIAL DAMPAK POSITIF DAMPAK NEGATIF RENCANA MITIGASI
PEMETAAN
STAKEHOLDER
pedagang di sekitar pedestrian
Peningkatan pendapatan
pedagang di kios-kios di sekitar
pedestrian
Penjelasan manfaat Proyek
pada stakeholder sebelum
perbaikan dan secara berkala
pada saat proyek
Pemilik usaha
informal di sekitar
pedestrian
4 Traffic
management of
Pangururan city
center
Program ini menggunakan
lahan pemerintah kabupaten
Tidak ada isu krusial dalam
masalah sosial
Peningkatan keteraturan
lalulintas dalam dan keluar kota
Peningkatan jumlah dan lama
kunjungan tourist di Pangururan
Kehilangan pendapatan
masyarakat di sekitar terminal
pada saat penataan
Pembentukan kelembagaan
pelaku usaha transportasi yang
saat ini beroperasi di
pangururan
Pelibatan Komunitas
transportasi dalam penataan
traffic management
Pemkab Samosir
Pedagang di sekitar
terminal bayangan
dan sekitarnya
Komunitas
transportasi (Misalnya
organda)
Komunitas juru parkir,
supir lokal
5 Revitalization of
Aek Rangat and its
surrounding area
Program ini menggunakan
lahan masyarakat lokal
atauupun lahan komunal
Tidak ada isu krusial dalam
masalah social, namun
dengan adanya peningkatan
nilai tanah akan terjadi
potensi saling klaim lahan
antar masyarakat maupun
dengan perantau
Peningkatan keindahan Aek
rangat
Peningkatan pendapatan
pedagang/pengusaha di sekitar
Aek rangat
Potensi Konflik Klaim Lahan
baik sesame masyarakat
ataupun klaim perantau
Pembentukan/penguatan
kelembagaan pelaku wisata
ekonomi disekitar Aek rangat
Mempriritaskan masyarakat
lokal untuk mendapat akses
usaha pada lokasi
Membuat program capacity
building pada masyarakat lokal
Pemkab Samosir
Pelaku Usaha di
sekitar Aek Rangat
Masyarakat lokal
Sumber: ITMP Toba, 2019
Tabel 3. 215 Identifikasi Mitigasi Sosial berdasarkan Isu dan Dampak di KWU Balige
NO NAMA
PROGRAM SUMBER LAHAN ISU SOSIAL DAMPAK POSITIF DAMPAK NEGATIF RENCANA MITIGASI PEMETAAN STAKEHOLDER
1 Revitalization
of Onan
Balerong
Market
Lahan dan bangunan
(objek restorasi) dalam
milik pemerintah.
Program ini tidak
memerlukan lahan baru
namun secara fisik
akan berdampak pada
para pedagang yang
berada di dalam objek
- Kepemilikan lahan karena
sejarah pemekaran
kabupaten dari tapanuli
utara menajdi Toba
samosir
- Dampak penataan pada
pedagang dan penyewa
saat ini
Peningkatan keindahan balerong
Peningkatan pendapatan
pedagang-pedagang di balerong
Peningkatan pendapatan pedagang
di kios-kios
Konflik antar pedagang
karena adanya penataan
lokasi
Ketidakteraturan parkir
akibat peningkatan
kunjungan tourist
Perubahan fisik balerong
sebagai situs budaya
Pembentukan/penguatan
kelembagaan pelaku wisata ekonomi
disekitar balerong
Pelibatan pemerhati cultural heritage
dalam proses pra dan pelaksanaan
revitalisasi
Penjelasan manfaat revitalisasi
Balerong pada stakeholder sebelum
revitalisasi dan secara berkala
Pemprov sumut dan Tobasa
Pedagang-pedagang di
Balerong
Masyarakat di sekitar
balerong
Pengusaha di kios-kios
Tokoh adat/pegiat heritage
balairong)
Pengunjung Onan Balerong
2 Construction of
integrated rest
area Lumban
Pea
Lahan secara legalitas
adalah dalam
kepemilikan
pemerintah berasalah
dari hibah masyarakat
Lumban Pea
- Isu kepemilikan lahan
karena adanya
peningkatan nilai tanah
- Klaim dari pihak pihak
yang tidak setuju
penyerahan tanah
Munculnya pusat pertumbuhan
baru khusus sektor jasa
Peningkatan pendapatan
masyarakat disekitar proyek
Peningkatan jumlah dan lama
kunjungan
Perubahan pola ekonomi
masyarakat lokal dari
pertanian menjadi
pedagang
Konflik/saling klaim pemilik
tanah ripe-ripe (komunal)
Pembentukan kelembagaan
masyarakat lokal pemberi hibah tanah
Membuat sistem untuk
Memprioritaskan kegiatan usaha di
rest area kepada komunitas pemberi
hibah dan masyarakat lokal
Pemkab Tobasa
Komunitas penghibah tanah
Pemilik Tanah
Masyarakat disekitar
kontruksi
3 Improvement
of pedestrian
way in Balige’s
main corridor
Lahan proyek adalah
milik pemerintah
Tidak ada isu krusial dalam
masalah sosial
Peningkatan keindahan pedestrian
dan main corridor Balige
Peningkatan pendapatan pedagang
di balerong
Peningkatan pendapatan pedagang
di kios-kios di sekitar pedestrian
Konflik antar pedagang
karena adanya penataan
lokasi
Ketidakteraturan parkir
akibat peningkatan
kunjungan tourist
Pembentukan/penguatan
kelembagaan pelaku wisata ekonomi
disekitar main corridor/pedestrian
Penjelasan manfaat proyek pada
stakeholder sebelum perbaikan dan
secara berkala pada saat proyek
Pemkab Tobasa
Pedagang dan pemukim
disekitar pedestrian
Pemilik usaha informal di
sekitar pedestrian
Sumber: ITMP Toba, 2019