16
1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT JAKARTA UTARA Byan Yukadar (Penulis) Sri Susilih (Pembimbing) Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Abstrak Penataan DKI Jakarta memerlukan perhatian, yang serius terutama untuk mengatasi masalah banjir. Normalisasi Waduk Pluit merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk mengatasi daerah banjir tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis bersifat deskriptif. Hasil penelitian mengungkapkan adanya faktor-faktor yang mendukung seperti normalisasi dan gaya kepemimpinan, sementara yang menjadi faktor yang menghambat adalah kurang adanya dukungan publik terhadap implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit tersebut. Kata Kunci : Implementasi; Kebijakan; Faktor; Normalisasi; Waduk. Abstract Setup requires the attention of Jakarta, which is particularly serious to solve the flooding problem. Normalization of reservoir is one of the major effort made by the government of Jakarta to resolve the flooding problem. This research aims to provide and overview regarding the implementation of a policy of normalization of reservoir Pluit in North Jakarta. As for the method used in the research was the qualitative method with the analysis in the descriptive. The research result reveal the existence of factor that support such as normalization and leadership style, while being a factor that hampers is a lack of public support towards the implementataion of the policies of normalization of the major reservoir. Keyword : Implementation; Policies; Factor; Normalization; Reservoir. Pendahuluan Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia memiliki peranan yang sangat penting sebagai pusat administratif, pusat ekonomi dan pusat pemerintahan. Dengan jumlah penduduk mencapai 8,839,247 jiwa dan luas wilayah 664,01 KM² (www.kemendagri.go.id), wilayah Jakarta berada di bawah muka pasang air laut dan dilalui oleh 13 sungai besar antara lain Cisadane, sungai Ciliwung dan lain sebagainya. Berdasarkan kondisi tersebut banjir Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

1

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT JAKARTA UTARA

Byan Yukadar (Penulis) Sri Susilih (Pembimbing)

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Abstrak Penataan DKI Jakarta memerlukan perhatian, yang serius terutama untuk mengatasi masalah banjir. Normalisasi Waduk Pluit merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk mengatasi daerah banjir tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis bersifat deskriptif. Hasil penelitian mengungkapkan adanya faktor-faktor yang mendukung seperti normalisasi dan gaya kepemimpinan, sementara yang menjadi faktor yang menghambat adalah kurang adanya dukungan publik terhadap implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit tersebut. Kata Kunci : Implementasi; Kebijakan; Faktor; Normalisasi; Waduk. Abstract Setup requires the attention of Jakarta, which is particularly serious to solve the flooding problem. Normalization of reservoir is one of the major effort made by the government of Jakarta to resolve the flooding problem. This research aims to provide and overview regarding the implementation of a policy of normalization of reservoir Pluit in North Jakarta. As for the method used in the research was the qualitative method with the analysis in the descriptive. The research result reveal the existence of factor that support such as normalization and leadership style, while being a factor that hampers is a lack of public support towards the implementataion of the policies of normalization of the major reservoir. Keyword : Implementation; Policies; Factor; Normalization; Reservoir. Pendahuluan

Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia memiliki peranan yang sangat penting

sebagai pusat administratif, pusat ekonomi dan pusat pemerintahan. Dengan jumlah

penduduk mencapai 8,839,247 jiwa dan luas wilayah 664,01 KM² (www.kemendagri.go.id),

wilayah Jakarta berada di bawah muka pasang air laut dan dilalui oleh 13 sungai besar antara

lain Cisadane, sungai Ciliwung dan lain sebagainya. Berdasarkan kondisi tersebut banjir

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 2: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

2

selalu menghampiri kota Jakarta setiap tahunnya. Dilihat dari letak kota Jakarta,

kemungkinan banjir tidak terlepas dari kepadatan penduduk, curah hujan yang tinggi,

pembangunan di sekitar Jabodetabek yang sangaat pesat (perubahan tata guna lahan)

sehingga daerah resapan air berkurang. Akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan terjadi

penurunan permukaan tanah (Land Subsidence) dan juga diperburuk dengan rendahnya

disiplin sebagian masyarakat dalam pembuangan sampah seperti di kali serta pembangunan

hunian liar di sekitar bantaran sungai. Sehingga tidak heran bila Jakarta hampir setiap

tahunnya menghadapi Banjir(Mengapa Jakarta Banjir 2010: 1).

Salah satu faktor penting dalam tata kelola air di Jakarta adalah perubahan musim dan

pola curah hujan yang terjadi karena perubahan iklim. Ketika curah hujan di Jakarta tinggi,

terjadilah banjir, tetapi pada musim kering hal sebaliknya terjadi, air menjadi langka dan

tinggi permukaan air di sungai-sungai menurun drastis. Dampak lainnya adalah perubahan

iklim global pada Kota Jakarta adalah kenaikan paras muka air laut.

Faktor lain yang menyebabkan terjadinya banjir yaitu kurangnya daerah resapan air

menjadi permasalahan yang sedang disorot saat ini. Ketua umum asosiasi pengembang

perumahan dan pemukiman seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo mengutarakan 90%

dari daerah resapan di Jakarta tidak lagi menjadi daerah resapan air, tetapi berubah menjadi

perumahan dan perkantoran (www.financedetik.com). Daerah resapan air pada hakikatnya

adalah sebuah daerah yang disediakan untuk masuknya air dari permukaan tanah ke dalam

zona jenuh air sehingga membentuk suatu aliran air di dalam tanah. Fungsi dari daerah

resapan air sendiri adalah untuk menampung debit air hujan yang turun di daerah tersebut.

Secara tidak langsung daerah resapan air memegang peran penting sebagai pengendali banjir

dan kekeringan di musim kemarau. Dampak yang terjadi bila alih fungsi lahan yang terjadi

tidak terkendali diantaranya adalah banjir. Banjir terjadi karena tidak adanya tanah yang

menampung air hujan. Dampak yang lain yakni kekeringan di waktu musim kemarau. Ini

terjadi karena air hujan yang turun di musim hujan tidak tertampung di dalam tanah akibatnya

air tanah sedikit bahkan tidak ada lagi. Daerah resapan air dapat disebut pula Situ atau

Waduk.

Dengan berkembangnya kota Jakarta, demikian pula dengan meningkatnya penduduk

serta pertumbuhan daerah permukiman yang menjadi daerah perkotaan, maka kebanyakan

situ atau waduk pada saat ini sudah berubah fungsi. Banyak situ umumnya menjadi tempat

wisata atau pemeliharaan ikan, namun banyak pula yang sudah hilang karena perubahan

fungsinya menjadi daerah perumahan. Pada bulan Februari 2002, dibuat Rencana Penanganan

Pasca Banjir Jabodetabekjur 2002 atau yang disebut sebagai program 2002, direncanakan

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 3: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

3

untuk merehabilitasi situ-situ dan Waduk. Program tersebut merupakan salah satu upaya

Pemerintah untuk mengoptimalkan keberadaan waduk-waduk sebagai pengendali banjir.

Optimalisasi situ atau waduk tersebut merupakan bagian dari konsep Pengelolaan Aliran

Permukaan (Storm Water Management) dimana air hujan yang turun ditahan selama mungkin

di suatu tempat sebelum masuk ke saluran pembuangan. Aliran air hujan yang menjadi

limpahan dan masuk kedalam saluran pembuangan atau sungai akan berkurang jumlahnya

dan dapat mengurangi volume banjir pada daerah aliran pembuangan atau sungai tersebut

(BPLHD Jakarta).

Pentingnya peran situ atau waduk dalam menanggulangi banjir di kota Jakarta,

Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan untuk menormalisasi kawasan waduk.

Banjir besar yang melanda Jakarta beberapa bulan yang lalu yang melumpuhkan aktivitas

perekonomian dan lainnya di hampir seluruh kota Jakarta. Salah satunya Kawasan Jakarta

Utara, dimana sekitar 4000 orang terendam banjir di Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan

Jakarta Utara. Hal ini disebabkan tidak berfungsinya pompa air di titik-titik rawan banjir.

Niat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Basuki Tjahaja

Purnama membenahi kawasan ini dimulai setelah banjir besar. Dampak terparah dari kondisi

tersebut adalah terjadinya banjir pada akhir Januari 2013. Volume air yang meningkat dari

Kali Opak dan Kali Pakin tak tertampung oleh waduk. Seluruh aliran banjir di pusat kota

mengarah ke sana. Waduk tidak dapat menampung limpahan air tersebut

(www.Detiknews.com). Hal ini disebabkan karena luas waduk dan kedalaman waduk yang

memprihatinkan sangat bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2012 tentang

RTRW DKI Jakarta 2030, dimana kawasan waduk yang merupakan kawasan yang

mempunyai pengaruh dalam mengendalikan banjir serta mengendalikan aliran air, yang

membuat Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Instruksi Gubernur Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor 36 Tahun 2013.

Melihat pentingnya peran waduk dalam mengendalikan banjir serta aliran air

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam

mengembalikan fungsi waduk. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI No 7 tahun 2004

pasal 16 tentang Sumber Daya Air, dimana salah satu isi pasal tersebut menjelaskan tentang

penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan

nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan

memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya. Dalam proses implementasi

kebijakannya Pemerintah DKI Jakarta mendapatkan kesulitan-kesulitan yang dapat

memengaruhi implementasi Kebijakan.

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 4: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

4

Pokok Permasalahan

Berdasarkan permasalahan yang timbul yaitu mengeni faktor-faktor apa saja yang

mendukung dan yang menghambat dalam implementasi kebijakan normalisasi fungsi Waduk

Pluit di Jakarta Utara.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penelitian ini memberikan gambaran tentang

faktor yang mendukung dan faktor yang meghambat dalam implementasi kebijakan

normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara.

Batasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan dan dibatasi hanya untuk mengidentifikasi faktor yang

mendukung dan faktor yang menghambat dalam implementasi kebijakan normalisasi Waduk

Pluit, khususnya di kawasan Waduk Pluit sisi barat, Rumah Susun Sewa Muara baru dan

sekitarnya.

Tinjauan Teoritis

Kebijakan Publik

Definisi dan Ciri Kebijakan Publik

Kebijakan bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama muncul, maka diperlukan suatu

kebijakan untuk mengatur dan menyelesaikan isu tersebut. Masalah yang harus diatasi oleh

pemerintah adalah masalah publik yang menyangkut nilai, kebutuhan atau peluang yang tak

terwujudkan. Meskipun masalah tersebut dapat diidentifikasi tapi hanya mungkin dicapai

melalui tindakan publik yaitu kebijakan publik ( Dunn Dalam Nugroho 2003:58).

Berikut beberapa pengertian dasar kebijakan publik yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

Thomas R. Dye (1976) dalam Parsons (2008: 19) mendefinisikan kebijakan publik sebagai

studi tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil

tindakan tersebut, dan apa efek dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah

(“public policy is whatever governments choose to do or not to do”). Pengertian yang

dikemukakan oleh Dye tersebut menjelaskan bahwa pilihan pemerintah untuk tidak

mengambil tindakan apapun atas suatu masalah publik sama pentingnya dengan pilihan

pemerintah untuk melakukan suatu tindakan. Clark E. Cochran, et al (1999) dalam Thomas

Brikland (2001: 21) mendefinisikan “kebijakan publik selalu mengacu pada tindakan

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 5: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

5

pemerintah dan tindakan yang ditentukan oleh mereka” (“public policy always refers to the

actions of government and the intentions that determine those action”).

Selain itu, James E. Anderson (1984) dalam Leslie (1987:11) mendefinisikan

kebijakan publik sebagai “a purposive course of action followed by an actor or set of actors

in dealing with a problem or matter of concern…public policies are those policies developed

by governmental bodies and officials, dapat diartikan bahwa kebijakan publik adalah

kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.

Tahap-Tahap Pembuatan Kebijakan

Dalam kebijakan publik terdapat suatu siklus yang sering disebut sebagai policy cycle (siklus

kebijakan) yang berkesinambungan antara tahap yang satu dengan yang lain (William N.

Dunn dalam Budi Winarno 2007:34). Tahap-tahap kebijakan meliputi beberapa bagian

kegiatan yaitu:

1. Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak

masalah tidak disentuh sama sekali atau ditunda untuk waktu lama, sementara masalah yang

lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan.

2. Formulasi Kebijakan

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi maslah. Alternatif kebijakan

melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.

Pada tahap ini masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah

terbaik.

3. Adopsi Kebijakan

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus

diantara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.

4. Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan—catatan elite jika program tersebut

tidak diimplementasikan. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit

administrasi yang memobilisasikan sumber daya financial dan manusia. Pada tahap

implementasi kebijakan mendapat dukungan dari para pelaksana, namun beberapa yang lain

mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

5. Evaluasi kebijakan

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 6: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

6

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat

sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik

pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.

Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai

suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome) (Lester dan

Stewart dalam Budi Winarno, 2007:76). Robert Lineberry (1977) dalam Charles L. Chochran

dan Eloise F. Malone (1995) mendefinisikan “ Implementasi berarti melaksanakan kebijakan

atau suatu program atau kelanjuran dari pembuatan kebijakan”. Dampak implementasi

mempunyai makna bahwa telah ada perubahan dalam masalah yang luas yang dikaitkan

dengan program, undang-undang publik, dan keputusan yudisial. Sekalipun implementasi

merupakan fenomena yang kompleks, konsep itu bisa dipahami sebagai suatu proses, suatu

keluaran, dan suatu dampak.

Implementasi juga melibatkan sejumlah aktor, organisasi, dan teknik-teknik

pengendalian. Selanjutnya Charles dan Eloise juga mengatakan bahwa pembuat kebijakan

tidak menjanjikan apa-apa yang tak dapat mereka penuhi, karena implementasi kebijakan

membutuhkan sistem kontrol dan komunikasi top-down serta sumberdaya yang dapat

menjalankan tugas implementasi tersebut. Jika sistem tidak mengijinkan kondisi seperti itu,

maka sebaiknya pembuat kebijakan membatasi janji pada tingkat yang dipenuhi dalam proses

implementasi (Parsons:466).

Grindle (1980) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan

mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan yang

memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan

pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentukanya “a policy delivery

system,” dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai

pada tujuan-tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah

Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme

penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur rutin melalui saluran birokrasi.

1.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Menurut George C. Edward III dalam Implementing Public Policy (Edward dalam

Widodo, 2007:96-111) ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau

kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor Komunikasi, Sumber daya, Disposisi,

Struktur birokrasi.

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 7: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

7

1. Faktor Komunikasi

Implemetasi kebijakan publik agar dapat mencapai keberhasilan, mensyaratkan agar

implementor mengetahui apa yang harus dilakukan secara jelas. Apa yang menjadi tujuan

dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga

akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu

kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan sasaran

kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan

terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran yang bersangkutan. Oleh

karena itu diperlukan adanya tiga hal, yaitu, penyaluran (transmisi) yang baik akan

menghasilkan implementasi yang baik pula (kejelasan), adanya kejelasan yang diterima oleh

pelaksana kebijakan sehingga tidak membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan, dan

adanya konsistensi yang diberikan dalam pelaksanaan kebijakan. Jika yang dikomunikasikan

berubah-ubah akan membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan.

2. Faktor Sumberdaya

Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumberdaya baik sumberdaya manusia,

materi dan metoda. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah dikomunikasikan

secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk

melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien. Tanpa sumberdaya,

kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja tidak diwujudkan untuk memberikan

pemecahan masalah yang ada di masyarakat dan upaya memberikan pelayan pada

masyarakat.

3. Faktor Disposisi

Suatu disposisi dalam implementasi dan karakteristik, sikap yang dimiliki oleh implementor

kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan sifat demokratis.

Implementor baik harus memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan

kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan dan ditetapkan oleh pembuat kebijakan.

4. Faktor Birokrasi

Organisasi, menyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum kegiatan-

kegiatannya dan jarak dari puncak menunjukkan status relatifnya. Garis-garis antara berbagai

posisi-posisi itu dibingkai untuk menunjukkan interaksi formal yang diterapkan. Kebanyakan

peta organisasi bersifat hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan

hubungan secara diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar, yaitu

jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat, pelembagaan berbagai

jenis kegiatan oprasional sehingga nyata, berbagai saluran komunikasi yang terdapat dalam

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 8: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

8

organisasi, jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang

sifatnya institusional maupun individual, hubungan antara satu satuan kerja dengan berbagai

satuan kerja yang lain.

Menurut Van Meter dan Van Horn (1975), ada enam variabel yang mempengaruhi

kinerja implementasi, yakni: standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antar

organisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana, disposisi implementor,

kondisi sosial, ekonomi dan politik.

1) Standar dan sasaran kebijakan

Setiap kebijakan publik harus mempunyai standard dan suatu sasaran kebijakan jelas dan

terukur. Dengan ketentuan tersebut tujuannya dapat terwujudkan. Dalam standard dan

sasaran kebijakan tidak jelas, sehingga tidak bisa terjadi multi-interpretasi dan mudah

menimbulkan kesalah-pahaman dan konflik di antara para agen implementasi.

2) Sumberdaya

Dalam suatu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumberdaya manusia

(human resources) maupun sumberdaya materi (matrial resources) dan sumberdaya metoda

(method resources). Dari ketiga sumberdaya tersebut, yang paling penting adalah sumberdaya

manusia, karena disamping sebagai subjek implementasi kebijakan juga termasuk objek

kebijakan publik.

3) Hubungan antar organisasi

Dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program kebijakan

perlu hubungan yang baik antar instansi yang terkait, yaitu dukungan komunikasi dan

koordinasi. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan

suatu program tersebut. Komunikasi dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi dari

sebuah organisasi agar program-programnya tersebut dapat direalisasikan dengan tujuan serta

sasarannya.

4) Karakteristik agen pelaksana

Dalam suatu implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal harus

diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur

birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, semua itu

akan mempengaruhi implementasi suatu program kebijakan yang telah ditentukan.

5) Disposisi implementor

Dalam implementasi kebijakan sikap atau disposisi implementor ini dibedakan menjadi tiga

hal, yaitu; (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang terkait dengan kemauan

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 9: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

9

implementor untuk melaksanakan kebijakan publik; (b) kondisi, yakni pemahaman terhadap

kebijakan yang telah ditetapkan; dan (c) intens disposisi implementor, yakni preferensi nilai

yang dimiliki tersebut.

6) Kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi

Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan

implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan

dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau

menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik

mendukung implementasi kebijakan.

Menurut Mazmanian dan Sebastier (1983) dalam Subarsono (2005: 75) terdapat

variable yang berpengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan yaitu dukungan publik

terhadap sebuah kebijakan dimana dukungan publik sangat berpengaruh dalam implementasi

kebijakan dan berdampak positif atau negatif, menurut penilian masyarakat.

Open Spaces (Ruang Terbuka) dan Green Open Spaces (Ruang Terbuka Hijau)

Ruang terbuka adalah ruang yang bias diakses oleh masyarakat baik secara langsung

dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu

(www.repository.usu.ac.id). Hakim & Utomo (dalam Mirsa: 2012,70) mengatakan bahwa

ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota,

hutan dan sebagainya. Open Spaces atau ruang terbuka adalah sistem tanah umum (system of

public land) di dalamnya termasuk jalan, sekolah, taman, ruang-ruang untuk bangunan umum

yang tersusun dalam suatu jaringan kota. Ruang terbuka hijau atau disingkat dengan RTH

menurut Joga & Ismaun (2011:92) merupakan suatu lahan/kawasan yang mengandung unsur

dan struktur alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis, seperti pengendali

pencemaran udara, ameliorasi iklim, pengendalian tata air, dan lain sebagainya. Berikut Tabel

Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau.

TABEL 2.2

Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau

Kategori Fisik Berdasarkan Kepemilikan

Berdasarkan Bentuk

Berdasarkan Fungsi

Ruang Terbuka

Hijau (RTH)

Alami

Publik

Area/Kawasan

Ekologi, Sosial, Ekonomi, Budaya, Estetika

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 10: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

10

Binaan Privat Jalur/koridor

Sumber: Joga & Ismaun, RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau, 2011.

Tabel Klasifikasi ruang terbuka hijau memperlihatkan bahwa Ruang Terbuka Hijau

(RTH) dapat diklasifikasikan atas beberapa kategori. Pertama RTH berdasarkan fisik

terdapat dua bagian diantaranya: (a) RTH alami; dan (b) RTH binaan. Kedua RTH

dikategorikan berdasarkan kepemilikan yaitu: (a) publik; dan (b) privat. RTH publik

yaitu RTH yang dimiliki dikelola oleh Pemerintah pusat atau daerah seperti RTH

taman kota, taman lingkungan, taman interaksi, dan taman makam dikelola Dinas

Pertamanan dan Pemakaman; hutan lindung, hutan kota, taman hutan raya dikelola

Dinas Kehutanan; sedangkan jalur hijau di bawah wilayah kelola berbagai instansi

terkait, seperti jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, jalur hijau pantai, dan sebagainya;

RTH privat yakni RTH yang berlokasi pada lahan-lahan pribadi dan merupakan lahan

disekitar bangunan berupa halaman dan perkarangan, baik berupa taman bangunan,

maupun taman-taman rekreasi yang dikembangkan pihak swasta, seperti: halaman

rumah, perkarangan, dan lahan-lahan yang dimiliki swasta.

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian

kualitatif terhadap penelitian Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Normalisasi Waduk Di Waduk Pluit Jakarta Utara. Peneliti menganggap bahwa permasalahan

yang diteliti merupakan permasalahan yang perlu dibahas secara mendalam atau dilakukan

pemahaman mendalam (verstehen) sehingga tidak memungkinkan data terhadap

permasalahan tersebut dijaring dan dikumpulan dengan metode penelitian lainnya.

Jenis penelitian berdasarkan manfaat, penelitian ini merupakan penelitian murni

karena dilakukan dalam kerangka akademis. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif dimana penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran

yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena sosial yang terjadi di masyarakat

dalam hal ini faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan dalam

menormalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara. Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini

merupakan penelitian cross sectional karena hanya dilakukan pada satu waktu tertentu yaitu

di bulan September hingga Januari 2013 dan tidak dibandingkan dengan penelitian lain di

waktu yang berbeda.

Narasumber/ Informan

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 11: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

11

Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara dalam

mendapatkan informasi dan data. Narasumber dalam penelitian ini diantaranya: Kepala

Subdinas Tata Kelola Air Pemerintah Daerah Kota Jakarta Utara Bpk Ir. Wagiman S.T, 2.

Wakil Kecamatan Penjaringan, Bpk Yani Wahyu Purwoko. AP, MSi, 3. Apara Gabungan

dari Satuan Kepolisian Brimob Dan Satuan Polisi PamungPraja, 4. Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia (Ibu Hidayah Bidang Pemantuan, dan Ibu Yulia Bidang mediasi), 5.Warga

Disekitar Waduk Pluit, Pakar Lingkungan (Bapak Shofi Shibghatillah Shulhiddar,ST Dewan

Pembina Ikatan Mahasiswa Perencanaan nasional), Kepala Kelurahan Penjaringan (Bapak

Ali Mudasir), 8.Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Lokasi Penelitian

Wilayah yang dijadikan lokasi penelitian yaitu wilayah Pluit, Jakarta Utara, dan rumah

susun sewa (Rusunawa) Muara Baru, dikarenakan Rusunawa Muara Baru merupakan tempat

relokasi warga di sekitar Waduk Pluit.

Hasil Analisis Implementasi Kebijakan Normalisasi Waduk Pluit Jakarta Utara

Kebijakan normalisasi Waduk Pluit merupakan upaya Pemerintah DKI Jakarta dan

Pemerintah Daerah Kota Jakarta Utara dalam mengembalikan fungsi dari Waduk Pluit

menjadi seperti semula dan dapat dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat umum dan

sesuai dengan misi Kota Jakarta Utara yaitu menciptakan lingkungan kehidupan yang

dinamis dalam mendorong pertumbuhan dalam kesejahteraan.

Program Normalisasi Waduk Pluit termasuk dalam Peraturan Daerah nomor 1

tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030, dimana kawasan waduk yang merupakan

kawasan yang mempunyai pengaruh dalam mengendalikan banjir serta mengendalikan aliran

air. Namun kondisi Waduk Pluit sangat bertentangan dengan peraturan daerah nomor 1 tahun

2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030, Waduk Pluit tidak dapat berfungsi seperti seharusnya

dikarenakan penyalahgunaan lahan oleh masyarakat yang menempati kawasan Waduk Pluit

serta kurangnya pengawasan oleh Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Jakarta utara

membuat Luas Waduk Pluit yang seharusnya 80 hektar menjadi 60 hektar karena adanya

pemukiman dan dan pengusaha yang mendirikan bangunan di Waduk Pluit. Pentingnya peran

waduk dalam mengendalikan banjir serta aliran air di wilayah Pemerintah provinsi DKI

Jakarta memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengembalikan fungsi waduk. Hal

ini sesuai dengan Undang-Undang RI No 7 tahun 2004 pasal 16 tentang Sumber Daya Air,

dimana salah satu isi pasal tersebut menjelaskan tentang penetapan kebijakan pengelolaan

sumber daya air di wilayahnya berdasarkan atas kebijakan nasional, kebijakannya yang

memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya. Implementasi kebijakan yang

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 12: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

12

dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu melakukan Penggerukan, Penertiban,

dan relokasi warga dari Waduk Pluit ke rumah susun yang sudah disediakan oleh Pemerintah

DKI Jakarta

Namun dalam mengimplemetasi kebijakannya, terdapat faktor-faktor yang

memengaruhi normalisasi Waduk Pluit seperti resistensi dari masyarakat yang memiliki

kepentingan lain di Waduk Pluit, ketersediaan rumah susun yang masih kurang bagi warga

Waduk Pluit, dan kurangnya dana untuk melakukan normalisasi Waduk Pluit. Dalam proses

penelitian lebih lanjut, peneliti berusaha mengetahui lebih dalam mengenai faktor-faktor yang

memengaruhi implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit. Melalui hasil observasi dan

wawancara mendalam, peneliti menemukan faktor-faktor yang ada di lapangan dimana

terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan normalisasi

Waduk Pluit.

Faktor Pendukung

Dalam implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit terdapat faktor yang

mendukung. Faktor yang mendukung yaitu Komunikasi, Gaya kepemimpinan, Komitmen

implementor, Koordinasi Antar Instansi, Sumber Daya Manusia

Komunikasi

Komunikasi merupakan salah satu faktor pendukung yang memengaruhi

implementasi kebijakan dalam normalisasi waduk pluit. Komunikasi bertujuan untuk

mengetahui apa yang harus dilakukan dengan jelas dan diinformasikan kepada kelompok

sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. komunikasi

dilakukan berupa pertemuan secara langsung antar pihak kecamatan dengan warga sekitar

oleh Kecamatan Penjaringan. Sosialisasi dilakukan sebelum normalisasi Waduk Pluit

berjalan. Sosialisasi ditunjukkan kepada warga yang tinggal di bantaran Waduk Pluit dan

dilakukan oleh Pihak Kecamatan dan Kelurahan. Sosialisasi tersebuit berupa informasi

tentang program normalisasi Waduk Pluit, teknik dan cara normalisasi Waduk Pluit serta

solusi yang diberikan oleh pemerintah.

Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor pendukung yang ditemukan di

lapangan terkait dengan implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara.

Sumber daya manusia sangat dibutuhkan dalam normalisasi Waduk Pluit. sumber daya

manusia yang dikerahkan oleh Kecamatan dan Kelurahan Penjaringan membuat warga

menjadi dekat dengan instansi pemerintah. Dengan sumber daya manusia yang hanya

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 13: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

13

dikerahkan oleh Kecamatan dan kelurahan maka proses sosialisasi yang dilakukan membuat

warga mendapatkan kejelasan akan kebijakan normalisasi Waduk Pluit.

Aparat gabungan yang dikerahkan untuk normalisasi Waduk pluit sekitar 70 personil

untuk menertibkan dan mengawal warga yang pindah ke rumah susun. Hal ini membuat

keamanan dalam proyek normalisasi Waduk Pluit membuat lancarnya implementasi

Kebijakan. Namun keberadaan aparat gabungan tidak konsisten, hal ini disebabkan karena

disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah warga yang akan direlokasi ke rumah susun.

Selain aparat Gabungan, dalam pembuatan taman Waduk Pluit di sisi barat, PT

JakartaPropertindo sebagai penanggungjawab pembuatan taman dan jalan inspeksi, juga

mengerahkan sumber daya manusia yang cukup banyak. Dalam Pengerukan, Dinas Pekerjaan

Umum DKI Jakarta juga mengerahkan Sumber daya Manusia untuk menggerakan alat berat

dan mengangkut sampah di Waduk Pluit.

Koordinasi Antara Instansi

Dalam implementasi kebijakan perlu koordinasi yang baik antar instansi yang terkait,

yaitu dukungan komunikasi dan kerjasama. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama

antar instansi bagi keberhasilan suatu program tersebut. terdapat instansi pemerintah yang

memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Satpol PP, TNI dan aparat lainnya

melakukan penertiban dan pengawasan dalam menertibkan bangunan dan pengawasan serta

membantu dalam proses relokasi. Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta melakukan

penggerukan dimana pembuatan jalan hutan kota yang merupakan kewenangan Dinas

Pekerjaan Umum DKI Jakarta diserahkan kepada PT. JakartaPropertindo yang merupakan

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan

untuk Komunikasi antara pihak Pemerintah DKI Jakarta dengan warga Waduk Pluit

mengenai normalisasi Waduk Pluit dilakukan oleh pihak Kecamatan Penjaringan dan

Kelurahan Penjaringan.

Komitmen Dari Implementor

Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang

dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki

komitmen dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan

tersebut. Dalam hal ini Aparat gabungan dan implementor-implementor yang ada di dalam

normalisasi Kebijakan Waduk Pluit, memiliki komitmen terhadap kebijakan normalisasi

Waduk Pluit. Karena dengan komitmen dan prioritas tujuan, implmentasi kebijakan

normalisasi Waduk Pluit dapat berjalan dengan baik karena didalam lingkungan Kebijakan

dibutuhkan komitemen antara aparat dan implementor.

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 14: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

14

Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor pendukung yang ditemukan di

lapangan terkait dengan implementasi kebijakan normalisasi Waduk. Gaya kepemimpinan

yang dimaksud adalah Gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Adanya

program dan janji Joko Widodo dalam membuat perubahan membuat mereka melihat bahwa

Bapak Joko Widodo merupakan pemimpin yang dapat dipercaya dan mau bertemu langsung

dengan warga yang lain sebelumnya. Warga juga ingin menanyakan tentang nasib mereka

dan bagimana solusi yang baik bagi warga dan pemerintah. Karena kekuasaan dan

kewenangan yang dimiliki Joko Widodo sebagai Principal dan decision makers membuat

warga lebih mempercayainya dibandingkan dengan instansi pemerintah yang sudah

melakukan pendekatan. Kemudian adanya keyakinan warga dengan sosok Gubernur DKI

Jakarta yang dinilai sangat tegas dan memperhatikan warganya membuat warga sangat

menghargai dan mendukung dalam setiap program. Hal ini membuktikan bahwa gaya

kepemimpinan sangat memengaruhi agar berjalannya suatu program kegiatan Pemerintah

terutam Pemerintah DKI Jakarta yang dipimpin oleh Guberndur DKI Jakarta Joko Widodo.

Faktor penghambat

Dalam penelitian mengenai implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit, terdapat

beberapa faktor penghambat yaitu, faktor sumber daya yaitu sumber daya finansial dan

sumber daya materi, dan faktor dukungan publik terhadap kebijakan. Sumber Daya

Finansial

Sumber daya finansial merupakan salah satu faktor penghambat yang peneliti temukan

di lapangan terkait dengan implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara.

Dalam sub bab ini terdapat berbagai kebutuhan dana untuk proyek normalisasi Waduk Pluit,

yaitu pengerukan, pembuatan rumah susun dan lainnya. Pengerukan atau Dredging

merupakan salah satu program di dalam proyek normalisasi Waduk Pluit, untuk

memaksimalkan kedalaman Waduk Pluit yang mencapai 10 meter dibandingkan kedalaman

Waduk Pluit sebelum di normalisasi yaitu 1-2 meter. Untuk itu diperlukan pengerukan yang

membutuhkan alat berat berupa eskavator untuk mengangkat sampah yang sudah tertimbun

selama berpuluh-puluh tahun di Waduk Pluit. Untuk menormalisasi Waduk Pluit untuk

pengerukan sangat besar, karena luas dari Waduk Pluit yaitu sekitar 80 hektar. Hal ini

membuat Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan dana yang besar dalam anggaran belanja

daerah yang mencapai miliyaran rupiah untuk Waduk Pluit, karena pengembalian lahan

Waduk Pluit yang mencapai 20 hektar lahan dan kondisi Waduk Pluit yang cukup parah,

dimana bertumpuknya sampah di Waduk sehingga membuat proses penggerukan

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 15: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

15

membutuhkan dana yang cukup besar. Selain untuk pengerukan waduk, Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta juga mengalokasikan dana untuk pembangunan rumah susun yang saat ini sangat

dibutuhkan untuk warga, yang belum direlokasi di sisi timur dan sisi utara karena kurangnya

rumah susun di Jakarta Utara dan sekitarnya.

Sumber Daya Materi (Bangunan)

Sumber daya materi merupakan salah satu faktor penghambat yang ditemukan di lapangan

terkait dengan implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara. Bangunan

yang dimaksud adalah Rumah Susun (Rusun) dimana terdapat rumah susun yang telah

dibangun di daerah Jakarta Utara dan sekitarnya sebelum program normalisasi Waduk Pluit

berjalan, yang bertujuan untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi para warga yang

direlokasi dari wilayah sekitar Waduk Pluit, dan sesuai dengan pendataan yang sebelumnya

telah dilakukan, bahwa rumah susun yang ada belum mencukupi untuk warga Waduk Pluit

sisi timur yang nantinya akan direlokasi. Hal ini terjadi karena banyaknya warga yang

menempati Waduk Pluit serta kebutuhan akan tempat tinggal yang layak bagi warga-warga

yang nantinya akan direlokasi ke rumah susun. Sekitar 7000 bangunan akan ditertibkan

secara bertahap dimana hal ini berhubungan dengan ketersediaan rumah susun saat ini yang

masih dalam tahap pembangunan sekitar 6 tower di rumah susun Muara Baru yang

dipioritaskan untuk warga Waduk Pluit di sisi timur, yang dapat menampung hingga 600

kepala keluarga bagi warga yang akan direlokasi nantinya. Namun hingga akhir tahun Dinas

Perumahan dan Gedung Provinsi DKI Jakarta masih memiliki rumah susun yang kosong dan

siap di isi.

Dukungan Publik Terhadap Kebijakan

Dukungan publik terhadap kebijakan merupakan salah satu faktor penghambat dalam

lingkungan kebijakan. Hal ini sangat berkaitan dengan implementasi kebijakan agar

terlaksananya kebijakan tersebut. dukungan publik sangat berpengaruh dalam implementasi

kebijakan. Dukungan publik dapat berdampak positif maupun negatif karena adanya

penilaian dari masyarakat tentang kebijakan. Dalam normalisasi Waduk Pluit terhadap

dukungan publik yang berbeda-beda. dukungan publik terhadap kebijakan sangat diharapkan

bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan instansi lainnya. Hal ini dikarenakan upaya yang

sudah dilakukan oleh pemerintah yang berbentuk sosialisasi, komunikasi yang dibangun

secara baik, dan infrastruktur bagi warga Waduk Pluit berupa Rumah susun yang sudah

disediakan bersama dengan fasilitas-fasilitas yang lebih bagus dan layak untuk warga Waduk

Pluit. Namun dukungan publik, terutama warga Waduk Pluit sendiri yang menilai kebijakan

normalisasi Waduk Pluit, karena warga Waduk Pluit merupakan objek dari kebijakan

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014

Page 16: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT …

16

normalisasi Waduk Pluit. Penilaian tentang kebijakan normalisasi Waduk Pluit mendapatkan

berbagai macam dukungan, baik itu positif maupun negatif.

Simpulan

Dari hasil analisis di bab sebelumnya dalam Implementasi Kebijakan normalisasi Waduk

Pluit terdapat faktor-faktor yang memengaruhi, yaitu faktor pendukung dan faktor

penghambat. Didalam faktor-faktor pendukung dalam implementasi kebijakan normalisasi

Waduk Pluit yaitu Komunikasi, Sumber daya manusia, Gaya kepemimpinan, Koordinasi

antar instansi, dan Komitmen dari implementor. Dari beberapa faktor pendukung, faktor

komunikasi dan gaya kepemimpinan merupakan faktor yang sangat memengaruhi

keberhasilan implementasi kebijakan normalisasi Waduk pluit. Namun, dalam implementasi

kebijakan juga ditemukan adanya faktor penghambat yang memengaruhi implementasi

kebijakan normalisasi Waduk Pluit yaitu sumber daya finansial, sumber daya materi

(Bangunan rumah susun), dan dukungan publik terhadap kebijakan. Dari beberapa faktor

penghambat, faktor dukungan publik terhadap kebijakan merupakan faktor yang menghambat

dalam implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit Jakarta Utara.

Saran

Agar kebijakan normalisasi Waduk Pluit dapat berjalan dengan baik dibutuhkan dukungan

dari sumber daya yang mendukung dalam normalisasi Waduk Pluit seperti sumber daya

finansial dan sumber daya materi (Bangunan rumah susun). Melakukan pengawasan dalam

kerjasama antara pihak Pemerintah DKI Jakarta dengan pihak swasta dalam pembangunan

rumah susun yang sangat dibutuhkan untuk warga Waduk Pluit sisi timur dan utara dan

penggerukan.

Kepustakaan

Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014