Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NORMALISASI WADUK PLUIT JAKARTA UTARA
Byan Yukadar (Penulis) Sri Susilih (Pembimbing)
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Abstrak Penataan DKI Jakarta memerlukan perhatian, yang serius terutama untuk mengatasi masalah banjir. Normalisasi Waduk Pluit merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk mengatasi daerah banjir tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis bersifat deskriptif. Hasil penelitian mengungkapkan adanya faktor-faktor yang mendukung seperti normalisasi dan gaya kepemimpinan, sementara yang menjadi faktor yang menghambat adalah kurang adanya dukungan publik terhadap implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit tersebut. Kata Kunci : Implementasi; Kebijakan; Faktor; Normalisasi; Waduk. Abstract Setup requires the attention of Jakarta, which is particularly serious to solve the flooding problem. Normalization of reservoir is one of the major effort made by the government of Jakarta to resolve the flooding problem. This research aims to provide and overview regarding the implementation of a policy of normalization of reservoir Pluit in North Jakarta. As for the method used in the research was the qualitative method with the analysis in the descriptive. The research result reveal the existence of factor that support such as normalization and leadership style, while being a factor that hampers is a lack of public support towards the implementataion of the policies of normalization of the major reservoir. Keyword : Implementation; Policies; Factor; Normalization; Reservoir. Pendahuluan
Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia memiliki peranan yang sangat penting
sebagai pusat administratif, pusat ekonomi dan pusat pemerintahan. Dengan jumlah
penduduk mencapai 8,839,247 jiwa dan luas wilayah 664,01 KM² (www.kemendagri.go.id),
wilayah Jakarta berada di bawah muka pasang air laut dan dilalui oleh 13 sungai besar antara
lain Cisadane, sungai Ciliwung dan lain sebagainya. Berdasarkan kondisi tersebut banjir
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
2
selalu menghampiri kota Jakarta setiap tahunnya. Dilihat dari letak kota Jakarta,
kemungkinan banjir tidak terlepas dari kepadatan penduduk, curah hujan yang tinggi,
pembangunan di sekitar Jabodetabek yang sangaat pesat (perubahan tata guna lahan)
sehingga daerah resapan air berkurang. Akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan terjadi
penurunan permukaan tanah (Land Subsidence) dan juga diperburuk dengan rendahnya
disiplin sebagian masyarakat dalam pembuangan sampah seperti di kali serta pembangunan
hunian liar di sekitar bantaran sungai. Sehingga tidak heran bila Jakarta hampir setiap
tahunnya menghadapi Banjir(Mengapa Jakarta Banjir 2010: 1).
Salah satu faktor penting dalam tata kelola air di Jakarta adalah perubahan musim dan
pola curah hujan yang terjadi karena perubahan iklim. Ketika curah hujan di Jakarta tinggi,
terjadilah banjir, tetapi pada musim kering hal sebaliknya terjadi, air menjadi langka dan
tinggi permukaan air di sungai-sungai menurun drastis. Dampak lainnya adalah perubahan
iklim global pada Kota Jakarta adalah kenaikan paras muka air laut.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya banjir yaitu kurangnya daerah resapan air
menjadi permasalahan yang sedang disorot saat ini. Ketua umum asosiasi pengembang
perumahan dan pemukiman seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo mengutarakan 90%
dari daerah resapan di Jakarta tidak lagi menjadi daerah resapan air, tetapi berubah menjadi
perumahan dan perkantoran (www.financedetik.com). Daerah resapan air pada hakikatnya
adalah sebuah daerah yang disediakan untuk masuknya air dari permukaan tanah ke dalam
zona jenuh air sehingga membentuk suatu aliran air di dalam tanah. Fungsi dari daerah
resapan air sendiri adalah untuk menampung debit air hujan yang turun di daerah tersebut.
Secara tidak langsung daerah resapan air memegang peran penting sebagai pengendali banjir
dan kekeringan di musim kemarau. Dampak yang terjadi bila alih fungsi lahan yang terjadi
tidak terkendali diantaranya adalah banjir. Banjir terjadi karena tidak adanya tanah yang
menampung air hujan. Dampak yang lain yakni kekeringan di waktu musim kemarau. Ini
terjadi karena air hujan yang turun di musim hujan tidak tertampung di dalam tanah akibatnya
air tanah sedikit bahkan tidak ada lagi. Daerah resapan air dapat disebut pula Situ atau
Waduk.
Dengan berkembangnya kota Jakarta, demikian pula dengan meningkatnya penduduk
serta pertumbuhan daerah permukiman yang menjadi daerah perkotaan, maka kebanyakan
situ atau waduk pada saat ini sudah berubah fungsi. Banyak situ umumnya menjadi tempat
wisata atau pemeliharaan ikan, namun banyak pula yang sudah hilang karena perubahan
fungsinya menjadi daerah perumahan. Pada bulan Februari 2002, dibuat Rencana Penanganan
Pasca Banjir Jabodetabekjur 2002 atau yang disebut sebagai program 2002, direncanakan
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
3
untuk merehabilitasi situ-situ dan Waduk. Program tersebut merupakan salah satu upaya
Pemerintah untuk mengoptimalkan keberadaan waduk-waduk sebagai pengendali banjir.
Optimalisasi situ atau waduk tersebut merupakan bagian dari konsep Pengelolaan Aliran
Permukaan (Storm Water Management) dimana air hujan yang turun ditahan selama mungkin
di suatu tempat sebelum masuk ke saluran pembuangan. Aliran air hujan yang menjadi
limpahan dan masuk kedalam saluran pembuangan atau sungai akan berkurang jumlahnya
dan dapat mengurangi volume banjir pada daerah aliran pembuangan atau sungai tersebut
(BPLHD Jakarta).
Pentingnya peran situ atau waduk dalam menanggulangi banjir di kota Jakarta,
Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan untuk menormalisasi kawasan waduk.
Banjir besar yang melanda Jakarta beberapa bulan yang lalu yang melumpuhkan aktivitas
perekonomian dan lainnya di hampir seluruh kota Jakarta. Salah satunya Kawasan Jakarta
Utara, dimana sekitar 4000 orang terendam banjir di Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan
Jakarta Utara. Hal ini disebabkan tidak berfungsinya pompa air di titik-titik rawan banjir.
Niat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Basuki Tjahaja
Purnama membenahi kawasan ini dimulai setelah banjir besar. Dampak terparah dari kondisi
tersebut adalah terjadinya banjir pada akhir Januari 2013. Volume air yang meningkat dari
Kali Opak dan Kali Pakin tak tertampung oleh waduk. Seluruh aliran banjir di pusat kota
mengarah ke sana. Waduk tidak dapat menampung limpahan air tersebut
(www.Detiknews.com). Hal ini disebabkan karena luas waduk dan kedalaman waduk yang
memprihatinkan sangat bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2012 tentang
RTRW DKI Jakarta 2030, dimana kawasan waduk yang merupakan kawasan yang
mempunyai pengaruh dalam mengendalikan banjir serta mengendalikan aliran air, yang
membuat Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Instruksi Gubernur Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 36 Tahun 2013.
Melihat pentingnya peran waduk dalam mengendalikan banjir serta aliran air
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam
mengembalikan fungsi waduk. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI No 7 tahun 2004
pasal 16 tentang Sumber Daya Air, dimana salah satu isi pasal tersebut menjelaskan tentang
penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan
nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan
memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya. Dalam proses implementasi
kebijakannya Pemerintah DKI Jakarta mendapatkan kesulitan-kesulitan yang dapat
memengaruhi implementasi Kebijakan.
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
4
Pokok Permasalahan
Berdasarkan permasalahan yang timbul yaitu mengeni faktor-faktor apa saja yang
mendukung dan yang menghambat dalam implementasi kebijakan normalisasi fungsi Waduk
Pluit di Jakarta Utara.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penelitian ini memberikan gambaran tentang
faktor yang mendukung dan faktor yang meghambat dalam implementasi kebijakan
normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara.
Batasan Penelitian
Penelitian ini difokuskan dan dibatasi hanya untuk mengidentifikasi faktor yang
mendukung dan faktor yang menghambat dalam implementasi kebijakan normalisasi Waduk
Pluit, khususnya di kawasan Waduk Pluit sisi barat, Rumah Susun Sewa Muara baru dan
sekitarnya.
Tinjauan Teoritis
Kebijakan Publik
Definisi dan Ciri Kebijakan Publik
Kebijakan bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama muncul, maka diperlukan suatu
kebijakan untuk mengatur dan menyelesaikan isu tersebut. Masalah yang harus diatasi oleh
pemerintah adalah masalah publik yang menyangkut nilai, kebutuhan atau peluang yang tak
terwujudkan. Meskipun masalah tersebut dapat diidentifikasi tapi hanya mungkin dicapai
melalui tindakan publik yaitu kebijakan publik ( Dunn Dalam Nugroho 2003:58).
Berikut beberapa pengertian dasar kebijakan publik yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Thomas R. Dye (1976) dalam Parsons (2008: 19) mendefinisikan kebijakan publik sebagai
studi tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil
tindakan tersebut, dan apa efek dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah
(“public policy is whatever governments choose to do or not to do”). Pengertian yang
dikemukakan oleh Dye tersebut menjelaskan bahwa pilihan pemerintah untuk tidak
mengambil tindakan apapun atas suatu masalah publik sama pentingnya dengan pilihan
pemerintah untuk melakukan suatu tindakan. Clark E. Cochran, et al (1999) dalam Thomas
Brikland (2001: 21) mendefinisikan “kebijakan publik selalu mengacu pada tindakan
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
5
pemerintah dan tindakan yang ditentukan oleh mereka” (“public policy always refers to the
actions of government and the intentions that determine those action”).
Selain itu, James E. Anderson (1984) dalam Leslie (1987:11) mendefinisikan
kebijakan publik sebagai “a purposive course of action followed by an actor or set of actors
in dealing with a problem or matter of concern…public policies are those policies developed
by governmental bodies and officials, dapat diartikan bahwa kebijakan publik adalah
kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Tahap-Tahap Pembuatan Kebijakan
Dalam kebijakan publik terdapat suatu siklus yang sering disebut sebagai policy cycle (siklus
kebijakan) yang berkesinambungan antara tahap yang satu dengan yang lain (William N.
Dunn dalam Budi Winarno 2007:34). Tahap-tahap kebijakan meliputi beberapa bagian
kegiatan yaitu:
1. Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak
masalah tidak disentuh sama sekali atau ditunda untuk waktu lama, sementara masalah yang
lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan.
2. Formulasi Kebijakan
Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi maslah. Alternatif kebijakan
melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
Pada tahap ini masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah
terbaik.
3. Adopsi Kebijakan
Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus
diantara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.
4. Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan—catatan elite jika program tersebut
tidak diimplementasikan. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumber daya financial dan manusia. Pada tahap
implementasi kebijakan mendapat dukungan dari para pelaksana, namun beberapa yang lain
mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
5. Evaluasi kebijakan
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
6
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat
sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik
pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.
Implementasi Kebijakan
Implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai
suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome) (Lester dan
Stewart dalam Budi Winarno, 2007:76). Robert Lineberry (1977) dalam Charles L. Chochran
dan Eloise F. Malone (1995) mendefinisikan “ Implementasi berarti melaksanakan kebijakan
atau suatu program atau kelanjuran dari pembuatan kebijakan”. Dampak implementasi
mempunyai makna bahwa telah ada perubahan dalam masalah yang luas yang dikaitkan
dengan program, undang-undang publik, dan keputusan yudisial. Sekalipun implementasi
merupakan fenomena yang kompleks, konsep itu bisa dipahami sebagai suatu proses, suatu
keluaran, dan suatu dampak.
Implementasi juga melibatkan sejumlah aktor, organisasi, dan teknik-teknik
pengendalian. Selanjutnya Charles dan Eloise juga mengatakan bahwa pembuat kebijakan
tidak menjanjikan apa-apa yang tak dapat mereka penuhi, karena implementasi kebijakan
membutuhkan sistem kontrol dan komunikasi top-down serta sumberdaya yang dapat
menjalankan tugas implementasi tersebut. Jika sistem tidak mengijinkan kondisi seperti itu,
maka sebaiknya pembuat kebijakan membatasi janji pada tingkat yang dipenuhi dalam proses
implementasi (Parsons:466).
Grindle (1980) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan
mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan yang
memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan
pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentukanya “a policy delivery
system,” dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai
pada tujuan-tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah
Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur rutin melalui saluran birokrasi.
1.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Menurut George C. Edward III dalam Implementing Public Policy (Edward dalam
Widodo, 2007:96-111) ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau
kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor Komunikasi, Sumber daya, Disposisi,
Struktur birokrasi.
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
7
1. Faktor Komunikasi
Implemetasi kebijakan publik agar dapat mencapai keberhasilan, mensyaratkan agar
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan secara jelas. Apa yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga
akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu
kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan sasaran
kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan
terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran yang bersangkutan. Oleh
karena itu diperlukan adanya tiga hal, yaitu, penyaluran (transmisi) yang baik akan
menghasilkan implementasi yang baik pula (kejelasan), adanya kejelasan yang diterima oleh
pelaksana kebijakan sehingga tidak membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan, dan
adanya konsistensi yang diberikan dalam pelaksanaan kebijakan. Jika yang dikomunikasikan
berubah-ubah akan membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan.
2. Faktor Sumberdaya
Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumberdaya baik sumberdaya manusia,
materi dan metoda. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah dikomunikasikan
secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk
melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien. Tanpa sumberdaya,
kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja tidak diwujudkan untuk memberikan
pemecahan masalah yang ada di masyarakat dan upaya memberikan pelayan pada
masyarakat.
3. Faktor Disposisi
Suatu disposisi dalam implementasi dan karakteristik, sikap yang dimiliki oleh implementor
kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan sifat demokratis.
Implementor baik harus memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan dan ditetapkan oleh pembuat kebijakan.
4. Faktor Birokrasi
Organisasi, menyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum kegiatan-
kegiatannya dan jarak dari puncak menunjukkan status relatifnya. Garis-garis antara berbagai
posisi-posisi itu dibingkai untuk menunjukkan interaksi formal yang diterapkan. Kebanyakan
peta organisasi bersifat hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan
hubungan secara diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar, yaitu
jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat, pelembagaan berbagai
jenis kegiatan oprasional sehingga nyata, berbagai saluran komunikasi yang terdapat dalam
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
8
organisasi, jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang
sifatnya institusional maupun individual, hubungan antara satu satuan kerja dengan berbagai
satuan kerja yang lain.
Menurut Van Meter dan Van Horn (1975), ada enam variabel yang mempengaruhi
kinerja implementasi, yakni: standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antar
organisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana, disposisi implementor,
kondisi sosial, ekonomi dan politik.
1) Standar dan sasaran kebijakan
Setiap kebijakan publik harus mempunyai standard dan suatu sasaran kebijakan jelas dan
terukur. Dengan ketentuan tersebut tujuannya dapat terwujudkan. Dalam standard dan
sasaran kebijakan tidak jelas, sehingga tidak bisa terjadi multi-interpretasi dan mudah
menimbulkan kesalah-pahaman dan konflik di antara para agen implementasi.
2) Sumberdaya
Dalam suatu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumberdaya manusia
(human resources) maupun sumberdaya materi (matrial resources) dan sumberdaya metoda
(method resources). Dari ketiga sumberdaya tersebut, yang paling penting adalah sumberdaya
manusia, karena disamping sebagai subjek implementasi kebijakan juga termasuk objek
kebijakan publik.
3) Hubungan antar organisasi
Dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program kebijakan
perlu hubungan yang baik antar instansi yang terkait, yaitu dukungan komunikasi dan
koordinasi. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan
suatu program tersebut. Komunikasi dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi dari
sebuah organisasi agar program-programnya tersebut dapat direalisasikan dengan tujuan serta
sasarannya.
4) Karakteristik agen pelaksana
Dalam suatu implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal harus
diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur
birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, semua itu
akan mempengaruhi implementasi suatu program kebijakan yang telah ditentukan.
5) Disposisi implementor
Dalam implementasi kebijakan sikap atau disposisi implementor ini dibedakan menjadi tiga
hal, yaitu; (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang terkait dengan kemauan
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
9
implementor untuk melaksanakan kebijakan publik; (b) kondisi, yakni pemahaman terhadap
kebijakan yang telah ditetapkan; dan (c) intens disposisi implementor, yakni preferensi nilai
yang dimiliki tersebut.
6) Kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau
menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik
mendukung implementasi kebijakan.
Menurut Mazmanian dan Sebastier (1983) dalam Subarsono (2005: 75) terdapat
variable yang berpengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan yaitu dukungan publik
terhadap sebuah kebijakan dimana dukungan publik sangat berpengaruh dalam implementasi
kebijakan dan berdampak positif atau negatif, menurut penilian masyarakat.
Open Spaces (Ruang Terbuka) dan Green Open Spaces (Ruang Terbuka Hijau)
Ruang terbuka adalah ruang yang bias diakses oleh masyarakat baik secara langsung
dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu
(www.repository.usu.ac.id). Hakim & Utomo (dalam Mirsa: 2012,70) mengatakan bahwa
ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota,
hutan dan sebagainya. Open Spaces atau ruang terbuka adalah sistem tanah umum (system of
public land) di dalamnya termasuk jalan, sekolah, taman, ruang-ruang untuk bangunan umum
yang tersusun dalam suatu jaringan kota. Ruang terbuka hijau atau disingkat dengan RTH
menurut Joga & Ismaun (2011:92) merupakan suatu lahan/kawasan yang mengandung unsur
dan struktur alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis, seperti pengendali
pencemaran udara, ameliorasi iklim, pengendalian tata air, dan lain sebagainya. Berikut Tabel
Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau.
TABEL 2.2
Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau
Kategori Fisik Berdasarkan Kepemilikan
Berdasarkan Bentuk
Berdasarkan Fungsi
Ruang Terbuka
Hijau (RTH)
Alami
Publik
Area/Kawasan
Ekologi, Sosial, Ekonomi, Budaya, Estetika
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
10
Binaan Privat Jalur/koridor
Sumber: Joga & Ismaun, RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau, 2011.
Tabel Klasifikasi ruang terbuka hijau memperlihatkan bahwa Ruang Terbuka Hijau
(RTH) dapat diklasifikasikan atas beberapa kategori. Pertama RTH berdasarkan fisik
terdapat dua bagian diantaranya: (a) RTH alami; dan (b) RTH binaan. Kedua RTH
dikategorikan berdasarkan kepemilikan yaitu: (a) publik; dan (b) privat. RTH publik
yaitu RTH yang dimiliki dikelola oleh Pemerintah pusat atau daerah seperti RTH
taman kota, taman lingkungan, taman interaksi, dan taman makam dikelola Dinas
Pertamanan dan Pemakaman; hutan lindung, hutan kota, taman hutan raya dikelola
Dinas Kehutanan; sedangkan jalur hijau di bawah wilayah kelola berbagai instansi
terkait, seperti jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, jalur hijau pantai, dan sebagainya;
RTH privat yakni RTH yang berlokasi pada lahan-lahan pribadi dan merupakan lahan
disekitar bangunan berupa halaman dan perkarangan, baik berupa taman bangunan,
maupun taman-taman rekreasi yang dikembangkan pihak swasta, seperti: halaman
rumah, perkarangan, dan lahan-lahan yang dimiliki swasta.
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian
kualitatif terhadap penelitian Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Normalisasi Waduk Di Waduk Pluit Jakarta Utara. Peneliti menganggap bahwa permasalahan
yang diteliti merupakan permasalahan yang perlu dibahas secara mendalam atau dilakukan
pemahaman mendalam (verstehen) sehingga tidak memungkinkan data terhadap
permasalahan tersebut dijaring dan dikumpulan dengan metode penelitian lainnya.
Jenis penelitian berdasarkan manfaat, penelitian ini merupakan penelitian murni
karena dilakukan dalam kerangka akademis. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif dimana penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena sosial yang terjadi di masyarakat
dalam hal ini faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan dalam
menormalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara. Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini
merupakan penelitian cross sectional karena hanya dilakukan pada satu waktu tertentu yaitu
di bulan September hingga Januari 2013 dan tidak dibandingkan dengan penelitian lain di
waktu yang berbeda.
Narasumber/ Informan
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
11
Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara dalam
mendapatkan informasi dan data. Narasumber dalam penelitian ini diantaranya: Kepala
Subdinas Tata Kelola Air Pemerintah Daerah Kota Jakarta Utara Bpk Ir. Wagiman S.T, 2.
Wakil Kecamatan Penjaringan, Bpk Yani Wahyu Purwoko. AP, MSi, 3. Apara Gabungan
dari Satuan Kepolisian Brimob Dan Satuan Polisi PamungPraja, 4. Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Ibu Hidayah Bidang Pemantuan, dan Ibu Yulia Bidang mediasi), 5.Warga
Disekitar Waduk Pluit, Pakar Lingkungan (Bapak Shofi Shibghatillah Shulhiddar,ST Dewan
Pembina Ikatan Mahasiswa Perencanaan nasional), Kepala Kelurahan Penjaringan (Bapak
Ali Mudasir), 8.Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Lokasi Penelitian
Wilayah yang dijadikan lokasi penelitian yaitu wilayah Pluit, Jakarta Utara, dan rumah
susun sewa (Rusunawa) Muara Baru, dikarenakan Rusunawa Muara Baru merupakan tempat
relokasi warga di sekitar Waduk Pluit.
Hasil Analisis Implementasi Kebijakan Normalisasi Waduk Pluit Jakarta Utara
Kebijakan normalisasi Waduk Pluit merupakan upaya Pemerintah DKI Jakarta dan
Pemerintah Daerah Kota Jakarta Utara dalam mengembalikan fungsi dari Waduk Pluit
menjadi seperti semula dan dapat dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat umum dan
sesuai dengan misi Kota Jakarta Utara yaitu menciptakan lingkungan kehidupan yang
dinamis dalam mendorong pertumbuhan dalam kesejahteraan.
Program Normalisasi Waduk Pluit termasuk dalam Peraturan Daerah nomor 1
tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030, dimana kawasan waduk yang merupakan
kawasan yang mempunyai pengaruh dalam mengendalikan banjir serta mengendalikan aliran
air. Namun kondisi Waduk Pluit sangat bertentangan dengan peraturan daerah nomor 1 tahun
2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030, Waduk Pluit tidak dapat berfungsi seperti seharusnya
dikarenakan penyalahgunaan lahan oleh masyarakat yang menempati kawasan Waduk Pluit
serta kurangnya pengawasan oleh Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah Jakarta utara
membuat Luas Waduk Pluit yang seharusnya 80 hektar menjadi 60 hektar karena adanya
pemukiman dan dan pengusaha yang mendirikan bangunan di Waduk Pluit. Pentingnya peran
waduk dalam mengendalikan banjir serta aliran air di wilayah Pemerintah provinsi DKI
Jakarta memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam mengembalikan fungsi waduk. Hal
ini sesuai dengan Undang-Undang RI No 7 tahun 2004 pasal 16 tentang Sumber Daya Air,
dimana salah satu isi pasal tersebut menjelaskan tentang penetapan kebijakan pengelolaan
sumber daya air di wilayahnya berdasarkan atas kebijakan nasional, kebijakannya yang
memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya. Implementasi kebijakan yang
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
12
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu melakukan Penggerukan, Penertiban,
dan relokasi warga dari Waduk Pluit ke rumah susun yang sudah disediakan oleh Pemerintah
DKI Jakarta
Namun dalam mengimplemetasi kebijakannya, terdapat faktor-faktor yang
memengaruhi normalisasi Waduk Pluit seperti resistensi dari masyarakat yang memiliki
kepentingan lain di Waduk Pluit, ketersediaan rumah susun yang masih kurang bagi warga
Waduk Pluit, dan kurangnya dana untuk melakukan normalisasi Waduk Pluit. Dalam proses
penelitian lebih lanjut, peneliti berusaha mengetahui lebih dalam mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit. Melalui hasil observasi dan
wawancara mendalam, peneliti menemukan faktor-faktor yang ada di lapangan dimana
terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan normalisasi
Waduk Pluit.
Faktor Pendukung
Dalam implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit terdapat faktor yang
mendukung. Faktor yang mendukung yaitu Komunikasi, Gaya kepemimpinan, Komitmen
implementor, Koordinasi Antar Instansi, Sumber Daya Manusia
Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu faktor pendukung yang memengaruhi
implementasi kebijakan dalam normalisasi waduk pluit. Komunikasi bertujuan untuk
mengetahui apa yang harus dilakukan dengan jelas dan diinformasikan kepada kelompok
sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. komunikasi
dilakukan berupa pertemuan secara langsung antar pihak kecamatan dengan warga sekitar
oleh Kecamatan Penjaringan. Sosialisasi dilakukan sebelum normalisasi Waduk Pluit
berjalan. Sosialisasi ditunjukkan kepada warga yang tinggal di bantaran Waduk Pluit dan
dilakukan oleh Pihak Kecamatan dan Kelurahan. Sosialisasi tersebuit berupa informasi
tentang program normalisasi Waduk Pluit, teknik dan cara normalisasi Waduk Pluit serta
solusi yang diberikan oleh pemerintah.
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor pendukung yang ditemukan di
lapangan terkait dengan implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara.
Sumber daya manusia sangat dibutuhkan dalam normalisasi Waduk Pluit. sumber daya
manusia yang dikerahkan oleh Kecamatan dan Kelurahan Penjaringan membuat warga
menjadi dekat dengan instansi pemerintah. Dengan sumber daya manusia yang hanya
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
13
dikerahkan oleh Kecamatan dan kelurahan maka proses sosialisasi yang dilakukan membuat
warga mendapatkan kejelasan akan kebijakan normalisasi Waduk Pluit.
Aparat gabungan yang dikerahkan untuk normalisasi Waduk pluit sekitar 70 personil
untuk menertibkan dan mengawal warga yang pindah ke rumah susun. Hal ini membuat
keamanan dalam proyek normalisasi Waduk Pluit membuat lancarnya implementasi
Kebijakan. Namun keberadaan aparat gabungan tidak konsisten, hal ini disebabkan karena
disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah warga yang akan direlokasi ke rumah susun.
Selain aparat Gabungan, dalam pembuatan taman Waduk Pluit di sisi barat, PT
JakartaPropertindo sebagai penanggungjawab pembuatan taman dan jalan inspeksi, juga
mengerahkan sumber daya manusia yang cukup banyak. Dalam Pengerukan, Dinas Pekerjaan
Umum DKI Jakarta juga mengerahkan Sumber daya Manusia untuk menggerakan alat berat
dan mengangkut sampah di Waduk Pluit.
Koordinasi Antara Instansi
Dalam implementasi kebijakan perlu koordinasi yang baik antar instansi yang terkait,
yaitu dukungan komunikasi dan kerjasama. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama
antar instansi bagi keberhasilan suatu program tersebut. terdapat instansi pemerintah yang
memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Satpol PP, TNI dan aparat lainnya
melakukan penertiban dan pengawasan dalam menertibkan bangunan dan pengawasan serta
membantu dalam proses relokasi. Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta melakukan
penggerukan dimana pembuatan jalan hutan kota yang merupakan kewenangan Dinas
Pekerjaan Umum DKI Jakarta diserahkan kepada PT. JakartaPropertindo yang merupakan
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan
untuk Komunikasi antara pihak Pemerintah DKI Jakarta dengan warga Waduk Pluit
mengenai normalisasi Waduk Pluit dilakukan oleh pihak Kecamatan Penjaringan dan
Kelurahan Penjaringan.
Komitmen Dari Implementor
Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang
dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial. Aparat badan pelaksana harus memiliki
komitmen dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan
tersebut. Dalam hal ini Aparat gabungan dan implementor-implementor yang ada di dalam
normalisasi Kebijakan Waduk Pluit, memiliki komitmen terhadap kebijakan normalisasi
Waduk Pluit. Karena dengan komitmen dan prioritas tujuan, implmentasi kebijakan
normalisasi Waduk Pluit dapat berjalan dengan baik karena didalam lingkungan Kebijakan
dibutuhkan komitemen antara aparat dan implementor.
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
14
Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor pendukung yang ditemukan di
lapangan terkait dengan implementasi kebijakan normalisasi Waduk. Gaya kepemimpinan
yang dimaksud adalah Gaya kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Adanya
program dan janji Joko Widodo dalam membuat perubahan membuat mereka melihat bahwa
Bapak Joko Widodo merupakan pemimpin yang dapat dipercaya dan mau bertemu langsung
dengan warga yang lain sebelumnya. Warga juga ingin menanyakan tentang nasib mereka
dan bagimana solusi yang baik bagi warga dan pemerintah. Karena kekuasaan dan
kewenangan yang dimiliki Joko Widodo sebagai Principal dan decision makers membuat
warga lebih mempercayainya dibandingkan dengan instansi pemerintah yang sudah
melakukan pendekatan. Kemudian adanya keyakinan warga dengan sosok Gubernur DKI
Jakarta yang dinilai sangat tegas dan memperhatikan warganya membuat warga sangat
menghargai dan mendukung dalam setiap program. Hal ini membuktikan bahwa gaya
kepemimpinan sangat memengaruhi agar berjalannya suatu program kegiatan Pemerintah
terutam Pemerintah DKI Jakarta yang dipimpin oleh Guberndur DKI Jakarta Joko Widodo.
Faktor penghambat
Dalam penelitian mengenai implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit, terdapat
beberapa faktor penghambat yaitu, faktor sumber daya yaitu sumber daya finansial dan
sumber daya materi, dan faktor dukungan publik terhadap kebijakan. Sumber Daya
Finansial
Sumber daya finansial merupakan salah satu faktor penghambat yang peneliti temukan
di lapangan terkait dengan implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara.
Dalam sub bab ini terdapat berbagai kebutuhan dana untuk proyek normalisasi Waduk Pluit,
yaitu pengerukan, pembuatan rumah susun dan lainnya. Pengerukan atau Dredging
merupakan salah satu program di dalam proyek normalisasi Waduk Pluit, untuk
memaksimalkan kedalaman Waduk Pluit yang mencapai 10 meter dibandingkan kedalaman
Waduk Pluit sebelum di normalisasi yaitu 1-2 meter. Untuk itu diperlukan pengerukan yang
membutuhkan alat berat berupa eskavator untuk mengangkat sampah yang sudah tertimbun
selama berpuluh-puluh tahun di Waduk Pluit. Untuk menormalisasi Waduk Pluit untuk
pengerukan sangat besar, karena luas dari Waduk Pluit yaitu sekitar 80 hektar. Hal ini
membuat Pemerintah DKI Jakarta mengalokasikan dana yang besar dalam anggaran belanja
daerah yang mencapai miliyaran rupiah untuk Waduk Pluit, karena pengembalian lahan
Waduk Pluit yang mencapai 20 hektar lahan dan kondisi Waduk Pluit yang cukup parah,
dimana bertumpuknya sampah di Waduk sehingga membuat proses penggerukan
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
15
membutuhkan dana yang cukup besar. Selain untuk pengerukan waduk, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta juga mengalokasikan dana untuk pembangunan rumah susun yang saat ini sangat
dibutuhkan untuk warga, yang belum direlokasi di sisi timur dan sisi utara karena kurangnya
rumah susun di Jakarta Utara dan sekitarnya.
Sumber Daya Materi (Bangunan)
Sumber daya materi merupakan salah satu faktor penghambat yang ditemukan di lapangan
terkait dengan implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara. Bangunan
yang dimaksud adalah Rumah Susun (Rusun) dimana terdapat rumah susun yang telah
dibangun di daerah Jakarta Utara dan sekitarnya sebelum program normalisasi Waduk Pluit
berjalan, yang bertujuan untuk memberikan tempat tinggal yang layak bagi para warga yang
direlokasi dari wilayah sekitar Waduk Pluit, dan sesuai dengan pendataan yang sebelumnya
telah dilakukan, bahwa rumah susun yang ada belum mencukupi untuk warga Waduk Pluit
sisi timur yang nantinya akan direlokasi. Hal ini terjadi karena banyaknya warga yang
menempati Waduk Pluit serta kebutuhan akan tempat tinggal yang layak bagi warga-warga
yang nantinya akan direlokasi ke rumah susun. Sekitar 7000 bangunan akan ditertibkan
secara bertahap dimana hal ini berhubungan dengan ketersediaan rumah susun saat ini yang
masih dalam tahap pembangunan sekitar 6 tower di rumah susun Muara Baru yang
dipioritaskan untuk warga Waduk Pluit di sisi timur, yang dapat menampung hingga 600
kepala keluarga bagi warga yang akan direlokasi nantinya. Namun hingga akhir tahun Dinas
Perumahan dan Gedung Provinsi DKI Jakarta masih memiliki rumah susun yang kosong dan
siap di isi.
Dukungan Publik Terhadap Kebijakan
Dukungan publik terhadap kebijakan merupakan salah satu faktor penghambat dalam
lingkungan kebijakan. Hal ini sangat berkaitan dengan implementasi kebijakan agar
terlaksananya kebijakan tersebut. dukungan publik sangat berpengaruh dalam implementasi
kebijakan. Dukungan publik dapat berdampak positif maupun negatif karena adanya
penilaian dari masyarakat tentang kebijakan. Dalam normalisasi Waduk Pluit terhadap
dukungan publik yang berbeda-beda. dukungan publik terhadap kebijakan sangat diharapkan
bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan instansi lainnya. Hal ini dikarenakan upaya yang
sudah dilakukan oleh pemerintah yang berbentuk sosialisasi, komunikasi yang dibangun
secara baik, dan infrastruktur bagi warga Waduk Pluit berupa Rumah susun yang sudah
disediakan bersama dengan fasilitas-fasilitas yang lebih bagus dan layak untuk warga Waduk
Pluit. Namun dukungan publik, terutama warga Waduk Pluit sendiri yang menilai kebijakan
normalisasi Waduk Pluit, karena warga Waduk Pluit merupakan objek dari kebijakan
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014
16
normalisasi Waduk Pluit. Penilaian tentang kebijakan normalisasi Waduk Pluit mendapatkan
berbagai macam dukungan, baik itu positif maupun negatif.
Simpulan
Dari hasil analisis di bab sebelumnya dalam Implementasi Kebijakan normalisasi Waduk
Pluit terdapat faktor-faktor yang memengaruhi, yaitu faktor pendukung dan faktor
penghambat. Didalam faktor-faktor pendukung dalam implementasi kebijakan normalisasi
Waduk Pluit yaitu Komunikasi, Sumber daya manusia, Gaya kepemimpinan, Koordinasi
antar instansi, dan Komitmen dari implementor. Dari beberapa faktor pendukung, faktor
komunikasi dan gaya kepemimpinan merupakan faktor yang sangat memengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan normalisasi Waduk pluit. Namun, dalam implementasi
kebijakan juga ditemukan adanya faktor penghambat yang memengaruhi implementasi
kebijakan normalisasi Waduk Pluit yaitu sumber daya finansial, sumber daya materi
(Bangunan rumah susun), dan dukungan publik terhadap kebijakan. Dari beberapa faktor
penghambat, faktor dukungan publik terhadap kebijakan merupakan faktor yang menghambat
dalam implementasi kebijakan normalisasi Waduk Pluit Jakarta Utara.
Saran
Agar kebijakan normalisasi Waduk Pluit dapat berjalan dengan baik dibutuhkan dukungan
dari sumber daya yang mendukung dalam normalisasi Waduk Pluit seperti sumber daya
finansial dan sumber daya materi (Bangunan rumah susun). Melakukan pengawasan dalam
kerjasama antara pihak Pemerintah DKI Jakarta dengan pihak swasta dalam pembangunan
rumah susun yang sangat dibutuhkan untuk warga Waduk Pluit sisi timur dan utara dan
penggerukan.
Kepustakaan
Implementasi kebijakan, Byan Yukadar, FISIP UI, 2014