Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
IMPLEMENTASI PROGRAM INOVASI PELAYANAN BERKELANJUTAN
INSEMINSI BUATAN DAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI
DI KABUPATEN PINRANG
Disusun dan diusulkan oleh
BAHARUDDIN
Nomor Stambuk: 1056 1047 9013
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
SKRIPSI
IMPLEMENTASI PROGRAM INOVASI PELAYANAN BERKELANJUTAN
INSEMINSI BUATAN DAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI
DI KABUPATEN PINRANG
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Study Dan Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Administrasi Negara (S.Sos)
Disusun dan diusulkan oleh
BAHARUDDIN
Nomor Stambuk: 1056 1047 9013
Kepada
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Baharuddin
Nomor Stambuk : 1056104790 13
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri dengan
merujuk pada kaidah kepenulisan ilmiah dan telah melakukan uji coba/tes plagiat.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai
aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.
Makassar, 28 Januari 2020
Yang Menyatakan
Baharuddin
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberi berbagai karunia dan nikmat yang tiada terhitung kepada seluruh
makhluknya terutama manusia. Demikian pula salam dan shalawat kepada Nabi
kita Muhammad SAW yang merupakan panutan dan contoh kita di akhir zaman.
Dengan keyakinan ini sehinga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Implementasi Program Inovasi Pelayanan Berkelanjutan Inseminasi Buatan
dan Gangguan Reproduksi Sapi di Kabupaten Pinrang”
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang saya ajukan untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiayah Makassar.
Teristimewa dan terutama penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada
kedua orang tua penulis, Ayahanda Bahri dan Ibunda tercinta Bahria yang
senantiasa memberikan harapan, semangat, kasih sayang, dan do‟a tulus yang
tanpa pamrih serta saudara-saudaraku yang senantiasa mendukung dan
memberikan semangat hingga akhir studi ini. Semoga apa yang telah mereka
berikan kepada penulis menjadi ibadah dan cahaya penerang kehidupan di dunia
dan di akhirat, Amin.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Abd Rahman Rahim, SE, MM selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar.
2. Ibu Dr. Hj. Ihyani Malik, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Bapak Nasrulhaq, S.Sos, MPA selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi
Negara dan Ibu Nurbiah Tahir, S.Sos, M.AP selaku sekretaris Jurusan Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Muhammadiyah Makassar.
4. Bapak Dr. H. Muh. Isa Ansari, M.si selaku Pembimbing I dan Ibu Nurbiah
Tahir, S.sos., M.AP selaku Pembimbing II yang senantiasa meluangkan
waktunya membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
5. Ibu Sitti Rahmawati Arfah, S.Sos., M.Si selaku penasehat akademik.
6. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Pegawai Lingkungan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.
7. Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Pinrang, sebagai tempat meneliti penulis,
yang sudah menerima dan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Seluruh sahabat Administrasi Negara Angakatan 2013.
9. Kepada semua Rekan, Sahabat, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
10. Untuk semua keluarga yang telah mendukung dalam penyelesaian skripsi,
terima kasih atas bantuan serta doanya.
Dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, penulis menyadari
bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang
sifatnya membangun penulis sangat harapkan. Semoga karya skripsi ini
bermanfaat bagi para pembaca, Amin.
Makassar, 28 Januari 2020
Baharuddin
ABSTRAK
BAHARUDDIN. Implementasi Program Inovasi Pelayanan Berkelanjutan
Inseminasi Buatan dan Gangguan Reproduksi Sapi di Kabupaten Pinrang, pembimbing H. Isa Ansari dan Nurbiah Tahir.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui perilaku organisasi dan antar
organisasi dalam menentukan keberhasilan implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di
Kabupaten Pinrang; 2) mengetahui perilaku birokrasi level bawah dalam
memahami implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang; dan 3) mengetahui
perilaku kelompok sasaran terhadap keberhasilan program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten
Pinrang.
Metode penelitian dengan lokasi penelitian ini dilaksanakan di Dinas
Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang. Jenis penelitian kualitatif dengan
sumber data terdiri atas data primer dan data sekunder. Informan penelitian terdiri
atas Kepala Dinas, penyuluh peternakan dan peternak sapi. Teknik pengumpulan
data menggunakan observasi dan pedoman wawancara. Teknik analisis data
meliputi reduksi data, penyajian data dan verifikasi.
Hasil penelitian menemukan bahwa perilaku organisasi dan antar organisasi
menentukan keberhasilan implementasi melalui perbaikan/penguatan struktur
organisasi, melakukan kerjasama antar organisasi, mengembangkan berbagai
kepentingan antar organisasi dan tindakan untuk pencapaian tujuan organisasi
dalam hal ini pemerintah atas pelaksanaan program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten
Pinrang. Perilaku birokrasi level bawah mendukung implementasi program pada
tingkatan penyuluh penternakan untuk menerapkan koordinasi, penyuluhan,
monitoring dan evaluasi atas program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang. Perilaku kelompok
sasaran menentukan keberhasilan program yang ditujukan kepada kelompok
peternak sapi sebagai sasaran penerima manfaat sesuai advokasi, pemeliharaan,
simulasi dan partisipatif dalam penyelenggaraan program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten
Pinrang.
Kata Kunci: Implementasi, Program Inovasi Pelayanan Berkelanjutan,
Inseminasi Buatan dan Gangguan Reproduksi Sapi.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................... i
KATA PENERIMAAN TIM ...................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 6
D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Konsep ................................................................ 9
B. Kerangka Pikir .................................................................... 28
C. Fokus Penelitian .................................................................. 29
D. Deskripsi Fokus Penelitian .................................................. 30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................... 31
B. Jenis dan Tipe Penelitian ............................................ 31
C. Sumber Data .............................................................. 32
D. Informan Penelitian .................................................... 32
E. Teknik Pengumpulan Data .......................................... 33
F. Teknik Analisis Data .................................................. 34
G. Keabsahan Data ......................................................... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Singkat Objek Penelitian ............................. 38
B. Hasil Penelitian .......................................................... 44
C. Pembahasan ............................................................... 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................... 90
B. Saran ......................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. . 92
LAMPIRAN………………………………………………………………. ... 94
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Informan Penelitian ............................................................................ 33
2. Persentase Penyelenggaraan Budidaya dan Reproduksi
Peternakan .......................................................................................... 49
3. Data Populasi Sapi Kabupaten Pinrang Tahun 2014-2018 ................ 61
4. Data Produksi Daging Sapi di Kabupaten Pinrang Tahun
2014-2018 .......................................................................................... 64
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Pikir ................................................................................... 29
2. Struktur Organisasi ............................................................................. 41
3. Alur Pelaporan Kinerja Hasil Monev atas Program Inovasi
Pelayanan Berkelanjutan Inseminasi Buatan dan Gangguan
Reproduksi Sapi ................................................................................. 68
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan pembangunan nasional sangat ditentukan oleh kebijakan
pemerintah di dalam memecahkan permasalahan pembangunan. Termasuk
salah satunya adalah permasalahan yang berkaitan di bidang peternakan, yang
membutuhkan kebijakan pemerintah dalam memformulasikan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi kebijakan di bidang peternakan.
Isu yang saat ini menunjukkan bahwa perkembangan populasi ternak
sapi masih dirasakan belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pemahaman peternak tentang tata laksana pemeliharaan ternak sapi yang baik.
Peternak pada umumnya beternak secara tradisional/dilepas dan masih
menjadikan usaha peternakan sapi sebagai usaha sambilan. Sapi betina induk
hanya mampu beranak antara 2 – 3 ekor dalam waktu 5 tahun, ini sangatlah
rendah apabila ditinjau dari segi budidaya, karena sapi bisa menghasilkan anak
sekali setahun.
Teknologi inseminasi buatan, salah satu teknologi budidaya yang bisa
memacu peningkatan populasi dan kualitas mutu genetik ternak sapi.
Keturunan sapi yang dihasilkan dari teknologi inseminasi buatan merupakan
persilangan dari sapi pejantan unggul. Dari segi ekonomis, anak sapi yang
dihasilkan dari perkawinan alam umur 1 tahun hanya mampu dijual 4 – 5
juta/kor. Sedangkan anak sapi yang dihasilkan melalui teknologi inseminasi
buatan umur satu tahun bisa mencapai harga 9 – 10 juta/ekor. Faktor lain yang
menyebabkan terhambatnya peningkatan populasi adalah penyakit gangguan
reproduksi sapi.
Diperlukan pendekatan program inovasi yaitu PELAN ITU BAGUS
(Pelayanan Berkelanjutan Inseminasi Buatan dan Gangguan Reproduksi Sapi).
Keunikan dan keterbaruan inovasi ini adalah pelayanan 21 hari berturut-turut
dalam satu kelompok ternak disesuaikan dengan 21 hari siklus birahi sapi,
sebagai syarat utama dalam keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan. Ini
menjadi implementasi program yang melibatkan pihak antar organisasi,
kelompok level bawah dan target sasaran untuk mengaktualisasikan program
tersebut sebagai kebijakan Pemerintah Kabupaten Pinrang.
Pelayanan berkelanjutan dilakukan oleh petugas teknis peternakan
yang tergabung dalam satu tim. Personil tim terdiri dari Dokter Hewan,
Asisten Teknis Reproduksi, Pemeriksa Kebuntingan, Inseminator dan Petugas
Peternakan Kesehatan Hewan Kecamatan. Tim Pelayanan bertugas memeriksa
kebuntingan, pengelompokan sapi induk berdasar kepada induk bunting, tidak
bunting, beranak di bawah dua bulan, dan sapi induk yang terindikasi
mengalami gangguan reproduksi. Dalam kondisi normal dengan pelayanan 21
hari secara terus menerus, maka sapi induk yang tidak bunting secara
keseluruhan dapat terinseminasi sesuai dengan 21 hari siklus birahi sapi.
Dampak dengan keberadaan inovasi pelayanan berkelanjutan ini
adalah perubahan perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan sapi.
Peternak yang dulunya memelihara sapi dengan cara tradisional sekarang
sudah beralih ke pemeliharaan semi intensif dan intensif. Kondisi seperti ini
terbukti dengan peningkatan jumlah akseptor inseminasi buatan 49% pertahun,
jumlah anak sapi hasil inseminasi 24% pertahun, dan peningkatan populasi
ternak sapi 7% sampai 8% pertahun, serta kebahagiaan dari para peternak
disebabkan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.
Pemerintah Kabupaten Pinrang mengapresiasi ide inovasi ini dan
selanjutnya dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan dan telah
direplikasi di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Pinrang. Pemerintah
menyadari bahwa pembangunan merupakan proses perubahan yang
direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan msyarakat di
Kabupaten Pinrang. Wujud dari keseriusan Pemerintah Kabupaten Pinrang
dalam bidang pembangunan, yaitu dengan menciptakan program
pemberdayaan masyarakat. Salah satunya dengan program inovasi pelayanan
berkelanjutan, yakni inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di
Kabupaten Pinrang merujuk dari beberapa dasar hukum yaitu Peraturan
Daerah Nomor 18 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Teknis Daerah Pemerintah Kabupaten Pinrang, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 48/Permentan PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan
Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Betina Bunting serta Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 656/Kpts/OT.050/10/2016 tentang Kelompok Kerja
Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting.
Program pemberdayaan ini lebih memprioritaskan pemenuhan
kebutuhan daging yang ada di Kabupaten Pinrang serta mempermudah para
peternak sapi untuk mewujudkan tujuan dari Program SIWAB (Sapi Indukan
Wajib Bunting) yang notabene sangat membantu perekonomian warga di
Kabupaten Pinrang dalam hal ini para peternak sapi.
Program inovasi pelayanan berkelanjutan ini merupakan program
unggulan Pemerintah Kabupaten Pinrang, namun dalam pelaksanaannya
belum seluruhnya berjalan dengan baik. Program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
pelaksanaannya belum menyentuh semua aspek masyarakat, seperti salah satu
kecamatan yaitu Kecamatan Lembang, program ini belum diperkenalkan di
wilayah tersebut. Artinya, implementor diharuskan memahami keinginan dari
suatu kebijakan yakni kebijakan solusi untuk mencapai tujuan program
inovasi pelayanan berkelanjutan, karena keberhasilan program inovasi ini
sangat tergantung dari perilaku organisasi, sumber daya manusia dan
kemampuan membangun jaringan hubungan mata rantai yang saling
berpengaruh.
Implementasi program inovasi ini ditentukan oleh perilaku organisasi
dan antar organisasi yang merupakan sikap dan tindakan yang ditunjukkan
pihak instansi terkait dalam implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi dalam hal ini
diterapkan oleh Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang.
Koordinasi antar instansi atau organisasi yang terkait sangat diperlukan untuk
implementasi program pemerintah dalam mewujudkan pencapaian tujuan
bidang peternakan sapi.
Perilaku level bawah yang merupakan sikap dan tindakan yang
ditunjukkan dalam implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi pada tingkat level bawah
dalam hal ini peternak sapi. Koordinasi yang dilakukan oleh Dinas Peternakan
dan Perkebunan Kabupaten Pinrang kepada level bawah dalam hal ini
penyuluh peternakan untuk mengadopsi berbagai hal yang berkaitan dengan
program inovasi pelayanan berkelanjutan sebagai sebuah kebijakan yang harus
diimplementasikan ke level bawah.
Perilaku dari kelompok sasaran yaitu sikap dan tindakan yang
ditunjukkan dalam implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi yang ditujukan kepada
kelompok sasaran yaitu kelompok peternak sasaran penerima manfaat.
Kelompok sasaran ini merupakan tujuan yang sangat penting dalam
mengimplementasikan program inovasi pelayanan berkelanjutan, di mana
output dari sebuah kebijakan program pemerintah harus mudah
diaktualisasikan dan memberikan efek manfaat dan nilai guna bagi peternak
dalam meningkatkan produksi daging sapi.
Program inovasi pelayanan berkelanjutan ini dilaksanakan mulai dari
pemeriksaan kebuntingan, pelaksanaan inseminasi buatan, penanganan
gangguan reproduksi dan penyuluhan tentang teknologi inseminasi buatan,
serta penyakit gangguan reproduksi dan sistem pemeliharaan yang baik. Atas
dasar ini, maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul: Implementasi
Program Inovasi Pelayanan Berkelanjutan Inseminasi Buatan dan Gangguan
Reproduksi Sapi di Kabupaten Pinrang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang dikemas dalam latar belakang di atas,
maka rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana perilaku organisasi dan antar organisasi dalam implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang?
2. Bagaimana perilaku birokrasi level bawah dalam implementasi program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang?
3. Bagaimana perilaku kelompok sasaran dalam implementasi program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui perilaku organisasi dan antar organisasi dalam implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
2. Mengetahui perilaku birokrasi level bawah dalam implementasi program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
3. Mengetahui perilaku kelompok sasaran dalam implementasi program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini meliputi:
1. Kegunaan Akademik
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi terhadap pengembangan
studi ilmu administrasi negara tentang implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
di Kabupaten Pinrang.
2. Kegunaan Praktis
a. Upaya untuk memperluas pengetahuan bagi penulis di bidang studi
ilmu administrasi negara khususnya implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi
sapi di Kabupaten Pinrang.
b. Sebagai bahan informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pinrang
yang terkait yang melakukan implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di
Kabupaten Pinrang.
c. Bermanfaat bagi peneliti lanjutan menjadi informasi penting di dalam
memahami mengenai penelitian yang berkaitan dengan implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan
gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang untuk dijadikan
sebagai referensi ilmiah sesuai dengan kaidah-kaidah metodologi
penelitian yang digunakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Konsep
1. Konsep Implementasi Kebijakan
Sebuah kebijakan berbeda dengan apa yang telah direncanakan. Hal itu
disebabkan distorsi implementasi kebijakan yang merupakan isu penting bagi
para impelementor untuk mengatasinya dengan harapan agar suatu desain
kebijakan dapat diterapkan dengan sukses (Schnider dan Ingram, 2017).
Secara timologis, implementasi dapat didefinisikan sebagai suatu
aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian pekerjaan dengan penggunaan
sarana untuk memperoleh hasil atau mencapai maksud yang diinginkan.
Implementasi adalah sebuah proses interaksi antara penentuan tujuan dan
tindakan untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi inti dasar suatu implementasi
adalah “membangun hubungan” dan mata rantai sebab akibat agar kebijakan
bisa berdampak (Nawi, 2018).
Pengertian implementasi kebijakan mengandung unsur-unsur: 1)
proses, yaitu serangkaian aktivitas atau aksi nyata yang dilakukan untuk
mewujudkan sasaran/tujuan yang telah ditetapkan, 2) tujuan, yaitu sesuatu
yang hendak dicapai melalui aktivitas yang dilaksanakan, dan 3) hasil dan
dampak yaitu manfaat nyata yang dirasakan oleh kelompok sasaran
(Parawangi, 2018).
Kebijakan mengisyaratkan keinginan untuk berbuat sesuai struktur
implementasi. Suatu desain kebijakan yang berbeda dapat memengaruhi
implementasi dalam skala lebih luas. Nugroho (2016) menyatakan
implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik,
maka ada dua pilihan langkah yaitu langsung mengimplementasikan dalam
bentuk program kebijakan atau melalui langkah memformulasikan kebijakan
turunan dari kebijakan tersebut.
Implementasi kebijakan publik dilaksanakan dalam dua wujud yaitu
wujud program dan kebijakan publik tambahan. Pada prinsipnya implementasi
kebijakan publik dalam bentuk program diimplementasikan ke bawah dalam
bentuk proyek, kegiatan dan pemanfaatan yang sesuai dengan tujuan
pemerintah dan publik.
Implementasi kebijakan publik biasanya diwujudkan dalam bentuk
kebijakan undang-undang atau perda yaitu suatu jenis implementasi kebijakan
yang perlu mendapatkan penjelasan atau sering diistilahkan sebagai peraturan
pelaksana. Implementasi kebijakan tersebut secara operasional antara lain
keputusan presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, keputusan kepala
daerah, keputusan dinas dan lainnya. Implementasi kebijakan ini pada
dasarnya merupakan wujud program yang dijadikan proyek untuk berbagai
kegiatan pelaksanaan (Nugroho, 2016).
Implementasi kebijakan dari suatu organisasi tidak terlepas dari
serangkaian implementasi misi, visi, strategi dan cara, kebijakan, program,
proyek dan kegiatan yang menghasilkan umpan balik. Nugroho (2016)
menyatakan misi adalah yang pertama karena melekat pada organisasi sebagai
wujud dalam menghadirkan atau mengeksiskan sebuah kebijakan. misi yang
menentukan kemana arah dari suatu visi yang melekat dalam suatu organisasi.
Dari visi inilah lahir sebuah strategi yang membawa suatu organisasi
mengembangkan implementasi kebijakannya yang sejalan dengan program
proyek dan kegiatannya. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah suatu
implementasi kebijakan yang diterakan dalam suatu organisasi mulai dari misi
sampai pada pemanfaatan dari suatu proses yang memerlukan adanya umpan
balik.
Pada prinsipnya implementasi merupakan aktivitas yang berdasar pada
rumusan kebijakan yang dilaksanakan untuk pencapaian tujuan kegiatan.
Nugroho (2016) menyatakan nilai esensi kebijakan adalah melakukan
intervensi atau tindakan (action). Intervensi kebijakan yang dimaksud adalah
upaya untuk mengidentifikasikan masalah yang harus diintervensi, yang
diperuntukkan untuk penegasan tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan
desain struktur proses implementasi. Implementasi kebijakan pada dasarnya
bentuk aktualisasi pelaksanaan identifikasi masalah untuk menegaskan sesuai
dengan desain struktur proses implementasi.
Implementasi kebijakan tidak terlepas dari wujud pelaksanaan dalam
mempertanyakan kebijakan yang dilaksanakan dalam mewujudkan adanya
sebuah pembuatan prosedur implementasi kebijakan yang sesuai dengan
alokasi sumber daya untuk dapat dikembalikan pengimplementasiannya sesuai
dengan evaluasi implementasi yang diterapkan (Nugroho, 2016).
Inti permasalahan dalam implementasi kebijakan adalah bagaimana
kebijakan dibuat sesuai dengan ketersediaan sumber daya. Untuk mewujudkan
langkah tersebut diperlukan adanya implementasi kendali yang dievaluasi.
Dalam melaksanakan implementasi kebijakan tidak terlepas dari adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan dapat berjalan
dengan baik atau tidak. George Edward III dalam Sutarmin (2016)
menyatakan bahwa implementasi kebijakan menjadi efektif sangat ditentukan
oleh komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap dan struktur organisasi.
Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada
organisasi atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan
kebijakan, sikap dan tanggap dari pihak yang terlibat dan bagaimana struktur
organisasi melaksanakan kebijakan. sumberdaya berkenaan dengan
ketersediaan sumber daya pendukung khususnya sumber daya manusia.
2. Model Implementasi Kebijakan
Faktor kunci dalam model implementasi kebijakan dalam hal ini
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang, merujuk pada pendapat Winter (2004)
dalam Nugroho (2016) yaitu:
a. Perilaku Organisasi dan Antar Organisasi
Implementasi program pengembangan dapat dilihat dari perilaku
organisasi dan antar organisasi yaitu suatu perilaku yang ditunjukkan
dalam pelaksanaan program dan kegiatan dari kebijakan yang melibatkan
antar organisasi untuk mencapai tujuannya (Quinn, 2015). Wujud perilaku
organisasi dan antar organisasi tergambar pada komposisi struktur
organisasi, kerjasama antar organisasi, kepentingan antar organisasi dan
pencapaian tujuan antar organisasi untuk mewujudkan implementasi
program pengembangan (Apter, 2017).
James (2018) menyatakan identifikasi implementasi program
pengembangan dilihat dari perilaku organisasi dan antar organisasi,
berkaitan dengan struktur lembaga, kerjasama yang terjadi secara
berkesinambungan, kepentingan antar organisasi yang terjalin kuat dan
memiliki pencapaian tujuan yag jelas. Ini berarti, perilaku organisasi dan
antar organisasi berperan penting dalam menjalin suatu hubungan perilaku
organisasi dan antar organisasi.
Robbins (2014) menggambarkan konstruksi implementasi program
pengembangan untuk mencapai keberhasilan implementasi. Terdapat
hubungan yang kuat antara struktur lembaga organisasi, kerjasama antar
organisasi, kepentingan organisasi dan pencapaian tujuan organisasi.
Penguatan tujuan tidak terlepas dari kontribusi implementasi
program pengembangan untuk membantu para pengambil keputusan
membuat pelaksanaan program yang lebih kuat dalam pengelolaannya,
karenanya implementasi program pengembangan di dalamnya terdapat
adanya hubungan perilaku organisasi dan antar organisasi yang saling
mengembangkan tugas berdasarkan struktur organisasi, kerjasama,
kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai.
Memahami pentingnya implementasi program pengembangan untuk
menilai adanya hubungan struktur lembaga, kerjasama, kepentingan dan
pencapaian tujuan lembaga sebagai suatu hubungan untuk memandang
peran serta hubungan yang menjadi determinasi penting dalam
mewujudkan tujuan kebijakan. Aliency (2014) menyatakan program
pengembangan penting untuk mewujudkan tujuan kebijakan sebagai
sebuah eksistensi bagi organisasi dalam menjalankan program dan
kegiatan dalam pencapaian tujuan kebijakan.
Asumsi-asumsi dari upaya mewujudkan program pengembangan
melalui perbaikan implementasi untuk menghasilkan sebuah kesatuan
yang dibuat dengan sengaja, rasional dan mencari tujuan. Pencapaian
tujuan yang berhasil menjadi sebuah ukuran yang tepat tentang
implementasi program pengembangan yang berhasil dalam mendukung
pencapaian tujuan kebijakan menjadi ukuran yang sah. Robbins (2014)
menyatakan bahwa perilaku organisasi dan antar organisasi harus
mempunyai tujuan, harus diidentifikasikan dan ditetapkan dengan baik
agar mudah diterapkan dalam berbagai aktivitas implementasi program
pengembangan sesuai struktur, kegiatan kerjasama, kepentingan yang kuat
dan berorientasi tujuan.
Memahami perilaku organisasi dan antar organisasi dalam kaitannya
dengan penggunaan implementasi program pengembangan yang
diterapkan melalui pendekatan konstituensi strategi (strategy
constituentcies approach). Nelson (2016) menyatakan bahwa organisasi
yang dikatakan kuat apabila memenuhi tuntutan konstituensi yang terdapat
dalam lingkungan organisasi dan kekuatan untuk mencapai tujuan
kebijakan.
Membuat sebuah konstituensi strategi bagi suatu lembaga diperlukan
adanya akses implementasi program pengembangan yang dominan bersifat
koalisi untuk mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan struktur
lembaga, wujud kerjasama, kepentingan yang kuat dan orientasi tujuan.
Quinn (2015) menyatakan yang kuat selalu menjadikan implementasi
program pengembangan sebagai sentral untuk menghubungkan tujuan
kebijakan.
Perilaku organisasi dan antar organisasi sangat ditentukan oleh
keberadaan implementasi program pengembangan sebagai sentral untuk
pencapaian keberhasilan dan tujuan kebijakan. Mengembangkan suatu
organisasi yang kuat membutuhkan adanya dukungan implementasi
program pengembangan yang kuat melalui pembuatan struktur organisasi,
kerjasama yang kuat, kepentingan dan pencapaian tujuan sesuai perilaku
organisasi dan antar organisasi (Quinn, 2015).
Ini berarti semakin luas implementasi program pengembangan
semakin menyokong perilaku organisasi dan antar organisasi untuk
melaksanakan serangkaian kegiatan yang sesuai dengan struktur
organisasi, bekerjasama, memiliki kepentingan dan pencapaian tujuan.
Diharapkan implementasi program pengembangan melalui perilaku antar
organisasi akan mewujudkan tujuan kebijakan yang baik.
b. Perilaku Birokrasi Level Bawah
Implementasi program pengembangan selanjutnya berupa perilaku
birokrasi level bawah. Hendrik (2015) menyatakan implementasi program
pengembangan dari perilaku birokrasi level bawah meliputi kegiatan
koordinasi, konseling, monitoring dan evaluasi. Keempat kegiatan ini
merupakan wujud dari perilaku birokrasi level bawah dalam menjalankan
program dan kegiatan suatu implementasi kebijakan.
Menerapkan perilaku birokrasi level bawah sangat berkaitan dengan
kemampuan dari birokrasi level bawah untuk melaksanakan serangkaian
kegiatan untuk melakukan koordinasi dari perilaku dan tindakan yang
sejalan dengan program dan kegiatan yang ingin diterapkan. Untuk
memperkuat koordinasi dapat dijalankan secara optimal, diperlukan
adanya konseling atau penyuluhan untuk memadukan tugas dan fungsi
kerja. Setelah melakukan konseling diperlukan perilaku monitoring dari
sebuah kegiatan untuk dievaluasi. Pada intinya, menurut Garbin (2017)
menyatakan bahwa perilaku birokrasi level bawah adalah sebuah perilaku
dan tindakan yang melibatkan lebih dari satu orang untuk berkoordinasi
melakukan konseling untuk memonitoring dan mengevaluasi program dan
kegiatan dari kebijakan yang diterapkan.
Implementasi kebijakan dilihat dari perilaku birokrasi level bawah.
Diawali dari adanya sebuah tindakan perilaku birokrasi level bawah
berupa koordinasi kerja secara hirarki, selanjutnya dilakukan konseling
untuk memadukan kegiatan penyusunan untuk dilaksanakan dan
dimonitoring sesuai pelaksanaan dan dievaluasi sesuai dengan hasil yang
dicapai dari program dan kegiatan sebuah kebijakan.
Perilaku birokrasi level bawah dikembangkan berdasarkan
koordinasi, konseling, monitoring dan evaluasi. Penerapan koordinasi dan
konseling yang dilakukan menghasilkan kegiatan, konseling dan
monitoring menghasilkan pelaksanaan tugas dan fungsi, monitoring dan
evaluasi menjalankan program dan kegiatan. Hasil penerapan tugas/fungsi
dan program/ kegiatan menghasilkan kebijakan yang menentukan
implementasi program pengembangan.
Penerapan implementasi program pengembangan dalam suatu
organisasi memerlukan adanya perilaku birokrasi level bawah untuk
mampu mengkoordinasikan berbagai permasalahan yang terkait dengan
program dan kegiatan dari kebijakan, mampu mengembangkan konseling
yang lebih intensif sesuai dengan isu-isu dan permasalahan yang dihadapi,
mampu melakukan monitoring secara seksama atas berbagai tugas dan
fungsi yang dijalankan oleh lembaga level bawah dalam melakukan
sebuah evaluasi berbagai penilaian dan pelaporan yang berkaitan dengan
prestasi dan kinerja yang dicapai. Indriyani (2014) menyatakan perilaku
birokrasi level bawah pada intinya melakukan koordinasi kegiatan, yang
harus dikonsultasikan melalui konseling yang jelas untuk melaksanakan
kegiatan monitoring atas berbatasi tugas dan fungsi untuk dievaluasi
berdasarkan program dan kegiatan yang dilaksanakan sebagai penilaian
atau pelaporan dalam memperkuat implementasi program pengembangan
dari suatu kebijakan.
Mengembangkan perilaku birokrasi level bawah, secara nyata dapat
diwujudkan melalui tindakan-tindakan dan sikap yang dilakukan oleh
orang atau sekelompok orang yang berada pada hirarki level bawah
melakukan koordinasi yang sesuai dengan kegiatan penyuluhan atau
konseling (dengar pendapat) untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi
program dan kegiatan yang telah dicapai sebagai perwujudan pentingnya
implementasi program pengembangan diterapkan. Marrott (2017)
memberikan sebuah gambaran aktualisasi perilaku birokrasi level bawah
dalam implementasi kebijakan bahwa kebijakan adalah sentral dari sebuah
perilaku birokrasi untuk melaksanakan program dan kegiatan yang
berkaitan dengan hirarki tindakan yang dilakukan pada level bawah berupa
koordinasi, monitoring dan evaluasi dari kegiatan organisasi.
Implementasi kebijakan program pengembangan sangat ditentukan
oleh andil organisasi dan kebijakan. Organisasi yang melaksanakan
berbagai kegiatan koordinasi, konseling, monitoring dan evaluasi dari
program dan kegiatan yang berasal dari kebijakan yang dilakukan oleh
perilaku birokrasi level bawah.
c. Perilaku Kelompok Sasaran
Implementasi program pengembangan memerlukan adanya perilaku
kelompok sasaran. Aspek kelompok sasaran yang dimaksud adalah obyek
dari tindakan dan perlakuan dari program dan kegiatan suatu kebijakan
yang diimplementasikan. Implementasi program pengembangan perilaku
birokrasi kelompok sasaran diwujudkan melalui empat tahapan penting.
Menurut Temmar (2018) ada empat perilaku kelompok sasaran: 1)
melakukan advokasi pentingnya organisasi pada kelompok sasaran; 2)
memelihara hubungan keberlanjutan organisasi pada kelompok sasaran; 3)
melakukan simulasi dalam pengenalan kegiatan kelembagaa pada
kelompok sasaran; dan 4) mengikutsertakan kelompok sasaran dalam
mencapai tujuan kegiatan.
Miller (2016) menyatakan perilaku kelompok sasaran adalah
perwujudan dari sebuah tindakan atau perlakuan yang dilakukan dari
kegiatan organisasi yang menghasilkan suatu advokasi, pemeliharaan,
simulasi dan partisipatif untuk melaksanakan program dan kegiatan untuk
mencapai tujuan kebijakan.
Memahami pentingnya perilaku kelompok sasaran, maka menjadi
penting bagi suatu organisasi untuk menjalankan kebijakan sesuai dengan
program dan kegiatannya dalam kelompok sasaran yang memerlukan
adanya sebuah tindakan advokasi dalam rangka mencerahkan wujud
program dan kegiatan yang dilakukan, melakukan pemeliharaan segala
program dan kegiatan yang bermanfaat, melakukan simulasi program dan
kegiatan yang mudah dilaksanakan, melakukan partisipasi dalam
menentukan program dan kegiatan yang sesuai dengan tujuan perilaku
birokrasi dan kebijakan yang terimplementasikan dalam organisasi
(Temmar, 2018).
Inti dari kelompok sasaran yang harus dicapai dari implementasi
program pengembangan atas program dan kegiatan dari kebijakan yang
dilakukan para pengembang perilaku birokrasi adalah integrasi dan tindak
lanjut pada kelompok sasaran yang melaksanakan koordinasi,
pemeliharaan, simulasi dan partisipasi untuk mencapai tujuan suatu
kebijakan (Bantex, 2015).
Hasker (2017) menyatakan implementasi program pengembangan
dilihat dari sudut pandang perilaku kelompok sasaran adalah suatu
tindakan untuk mengembangkan model yang sesuai dengan input, proses
dan output yang ditujukan kepada kelompok sasaran. Semakin terpenuhi
model yang diterapkan, maka semakin tercapai perilaku birokrasi dalam
mewujudkan kepentingan pada kelompok sasaran.
Perilaku kelompok sasaran memainkan peranan penting dalam
mewujudkan implementasi program pengembangan. Perilaku birokrasi
yang diperlukan dalam kelompok sasaran yaitu mensinergikan
kemampuan melakukan advokasi sesuai tingkat pemeliharaan, tindakan
simulasi dan partisipatif.
3. Inovasi Pelayanan Berkelanjutan dalam Pemerintahan
Inovasi dalam pemerintahan menurut Sangkala (2014:66) adalah
strategi yang diterapkan dalam pelayanan berdasarkan:
a. Layanan terintegrasi, dimana sektor publik menawarkan peningkatan
sejumlah layanan, warga memiliki harapan yang tidak sederhana dimana
warga meminta layanan yang disediakan disertai dengan kenyamanan.
b. Desentralisasi, pemberian dan monitoring layanan lebih dekat dengan
masyarakat dan biasanya membentuk kepastian tehadap tingkat
permintaan yang tinggi sehingga meningkatkan kepuasan masyarakat atau
pelaku bisnis.
c. Pemanfaatankerjasama, bermakna sebagai pemerintahan yang inovatif
untuk memenuhi peningkatan pemenuhan agar lebih efisien dalam
pemberian layanan publik, lebih kolaboratif antar organisasi dan juga
terjadi kerjasama antara publik dan swasta.
d. Pelibatan warga negara, kewenangan pemerintah yang inovatif harus
merealisasikan peran peran pentingnya dengan mendorong peran warga
untuk berpartisipasi dalam mendorong perubahan.
Menurut Robbins (2015:84) inovasi pelayanan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Memiliki kekhasan, yaitu inovasi memiliki ciri khas dalam arti ide,
program tatanan, sistem, termasuk hasil yang diinginkan.
b. Memiliki ciri atau unsur kebaruan.
c. Program inovasi dilakukan melalui program yang terencana sesuai proses
yang tidak tergesa-gesa.
d. Inovasi yang dilakukan harus memiliki tujuan yang jelas dan memiliki
arah yang ingin dicapai.
Jenis inovasi di sektor publik dapat juga dilihat menurut Halvorsen
(2017:69), yang membagi tipologi inovasi pelayanan di sektor publik seperti
berikut ini:
a. A new or improved service (pelayanan baru atau pelayanan yang
diperbaiki), misalnya pelayanan kesehatan di rumah.
b. Process innovation (inovasi proses), misalnya perubahan dalam proses
penyediaan pelayanan atau produk.
c. Administrative innovation (inovasi bersifat administratif), misalnya
penggunaan instrumen kebijakan baru sebagai hasil dari perubahan
kebijakan.
d. System innovation (inovasi sistem), adalah sistem baru atau perubahan
mendasar dari sistem yang ada dengan mendirikan organisasi baru atau
bentuk baru kerjasama dan interaksi.
e. Conceptual innovation (inovasi konseptual), adalah perubahan dalam
outlook, seperti misalnya manajemen air terpadu atau mobility leasing.
f. Radical change of rationality (perubahan radikal), yang dimaksud adalah
pergeseran pandangan umum atau mental matriks dari pegawai instansi
pemerintah.
Lebih lanjut Halvorsen (2017:72), menjelaskan proses inovasi yang
diinisiasi telah menyelesaikan permasalahan dalam rangka untuk
meningkatkan efisiensi pelayanan, produk dan prosedur. Mulgan dan Albury
(2018:18), menyatakan bahwa inovasi yang sukses adalah merupakan kreasi
dan implementasi dari proses, produk, layanan, dan metode pelayanan baru
yang merupakan hasil pengembangan nyata dalam efisiensi, efektivitas atau
kualitas hasil. Oleh karena itu inovasi telah berkembang jauh dari pemahaman
awal yang hanya mencakup inovasi dalam produk (products & services) dan
proses semata. Inovasi produk atau layanan berasal dari perubahan bentuk dan
desain produk atau layanan, sementara inovasi proses berasal dari gerakan
pembaruan kualitas yang berkelanjutan dan mengacu pada kombinasi
perubahan organisasi, prosedur, dan kebijakan yang dibutuhkan untuk
berinovasi.
Inovasi tidak terjadi secara mulus atau tanpa resistensi.Banyak dari
kasus inovasi diantaranya justru terkendala oleh berbagai faktor. Dalam hal
ini, Geoff Mulgan dan David Albury (2015:85) mengemukakan adanya
delapan penghambat untuk tumbuhnya inovasi sebagai berikut:
a. Keengganan menutup program yang gagal (reluctance to close down
failing program or organization). Sebuah program atau bahkan unit
organisasi yang sudah jelas menunjukkan kegagalan akan lebih baik
ditutup dan diganti dengan program atau unit baru yang lebih menjanjikan.
Kegagalan memang hal yang lumrah dalam berinovasi, namun keengganan
menghentikan kegagalan sama artinya dengan menutup peluang meraih
perubahan yang lebih baik.
b. Ketergantungan berlebihan pada high performer (over-reliance on high
performers as source of innovation). Ketergantungan terhadap figur
tertentu yang memiliki kinerja tingi, sehingga kecenderungan kebanyakan
pegawai di sektor publik hanya menjadi follower.Ketika figur tersebut
hilang, maka yang terjadi adalah stagnasi dan kemacetan kerja.
c. Teknologi ada, terhambat budaya dan penataan organisasi (technologies
available but constraining cultural or organizational arrangement).
Seringkali inovasi gagal bukan karena tidak adanya dukungan teknologi,
namun lebih karena tradisi atau kebijakan organisasi yang tidak
proinovasi.
d. Tidak ada penghargaan atau insentif (no rewards or incentives to innovate
or adopt innovations). Kemampuan berinovasi tidak dapat dianggap
sebagai sebuah hal yang biasa-biasa saja atau kinerja normal, namun harus
dipandang sebagai sesuatu yang istimewa sehingga layak diberikan
penghargaan.
e. Ketidakmampuan menghadapi resiko dan perubahan (poor skills in active
risk or change management). Bagaimanapun, aspek keterampilan
memegang perang penting untuk keberhasilan inovasi. Sebesar apapun
motivasi pegawai dan lingkungan yang kondusif namun tidak ditunjang
oleh keterampilan yang memadai, maka tetap saja inovasi akan berhenti
sebagai wacana.
f. Anggaran jangka pendek dan perencanaan (short-term budget and
planning horizons). Pengembangan inovasi baik dalam sakala
organisasional maupun nasional haruslah direncanakan dengan baik bukan
hanya dalam perspektif tahunan, namun juga perspektif jangka menengah
dan panjang.
g. Tekanan dan hambatan administratif (delivery pressures and
administrative burdens). Relasi antara negara dengan masyarakat atau
antara pimpinan dengan pegawainya sering didasarkan pada basis
ketidakpercayaan (distrust).Akibatnya, untuk sebuah urusan kecil saja
(misalnya pelayanan perijinan) harus menyertakan persyaratan yang
banyak, prosedur yang panjang, dan melibatkan aktor yang berlapis. Hal
seperti ini menimbulkan tekanan bagi siapa saja yang berkepetingan dan
menghilangkan hasrat untuk berinovasi.
h. Budaya risk aversion (culture of risk aversion). Resiko dipandang sebagai
sesuatu yang harus dihindari bahkan dijauhi, bukan sesuatu yang justru
memberi tantangan baru yang lebih berenergi sehingga harus dihadapi.
4. Program Inovasi Pelayanan Berkelanjutan Inseminasi Buatan dan
Gangguan Reproduksi Sapi
Program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan
gangguan reproduksi sapi merupakan program yang diselenggarakan oleh
Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi
Selatan yang disingkat dengan “PELAN ITU BAGUS”. Perkembangan
populasi sapi yang masih dirasakan belum maksimal, hal ini disebabkan oleh
kurangnya pemahaman peternak tentang tata laksana pemeliharaan sapi yang
baik.
Inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi adalah pelayanan 21 hari yang dilakukan petugas teknis yang
tergabung dalam satu kelompok ternak sasaran penerima manfaat sentra
pengembangan sapi sesuai dengan 21 hari siklus birahi sapi. Pelayanan terdiri
dari Pemeriksaan Kebuntingan (PKB), pelaksana Inseminasi Buatan (IB),
penanganan gangguan reproduksi dan penyuluhan tentang teknologi IB, ,
penyakit gangguan reproduksi sapi dan sistem pemeliharaan yang baik.
Keluaran (output) yang berhasil dicapai dalam pelaksanaan inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
adalah:
a. Peningkatan populasi ternak sapi
Peningkatan populasi sapi merupakan target utama dalam
pelakasnaan program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi. Peningkatan jumlah populasi ternak sapi ini
memang tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek, tetapi harus secara
bertahap dan dalam jangka panjang dengan program yang jelas. Berkaitan
dengan hal tersebut, program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi sejak awal pelaksanaan sukses
memacu peningkatan populasi ternak di Kabupaten Pinrang tahun 2014.
b. Peningkatan populasi ternak sapi hasil IB
Salah satu tujuan dari teknologi inseminasi buatan adalah
meningkatkan kualitas dan mutu genetik ternak. Fokus kegiatan IB yang
terangkum dalam pelaksanaan inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi diharapkan dapat meningkatkan
kualitas dan mutu genetik ternak, mengurangi perkawinan sedarah
(inbreeding) sehingga performa ternak dapat meningkat.
c. Penurunan prevalence penyakit gangguan reproduksi ternak sapi
Keberhasilan usaha ternak sapi, baik penghasil bibit (breeding)
maupun penggemukan (fattening) sangat tergantung dari kesehatan ternak.
Sehingga penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit harus
menjadi prioritas utama. Status kesehatan hewan sangat berpengaruh
langsung terhadap kesehatan reproduksi tenrak. Dengan kata lain,
kesehatan hewan harus baik untuk mencapai kesehatan reproduksi yang
optimum.
d. Meningkatnya jumlah kelompok ternak sasaran penerima manfaat
Tahun 2015, ada 27 kelompok meningkat menjadi 39 kelompok di
tahun 2016. Tahun 2017 menjadi 52 kelomok dan tahun 2018 ada 68
kelompok. Meningkatnya jumlah akseptor IB tahun 2015 sebanyak 4.045
ekor, tahun 2016 menjadi 5.897 ekor, tahun 2017 sebesar 7.993 ekor dan
tahun 2018 ada sebanyak 8.500 ekor.
Melalui inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan
gangguan reproduksi sapi, peternak sekarang dapat mengakses pelayanan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi lebih profesional dan
berkualitas dalam mendapatkan informasi tentang pelayanan berkelanjutan di
bidang peternakan yang mengedepankan sisi edukasi dan pelayanan prima.
B. Kerangka Pikir
Kerangka pikir mengadopsi kepada teori model implementasi dari
Winter (2004) dalam Nugroho (2016) menyatakan implementasi program
pengembangan komoditas meliputi input formulasi kebijakan sesuai isu dan
masalah yang dihadapi. Proses implementasi program pengembangan meliputi
perilaku organisasi dan antar organisasi, level bawah dan kelompok sasaran
untuk mencapai tujuan keberhasilan program, dalam hal ini program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di
Kabupaten Pinrang. Lebih jelasnya digambarkan bagan kerangka pikir sebagai
berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini yaitu implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi dengan melihat
3 (tiga) indikator utama yaitu perilaku antar organisasi (instansi terkait),
perilaku level bawah (penyuluh) dan perilaku target sasaran (kelompok
peternak).
Implementasi Program Inovasi
Pelayanan Berkelanjutan
Perilaku Level Bawah
(Penyuluh)
Perilaku Target Sasaran
(Kelompok Peternak)
Perilaku Antar Organisasi
(Instansi Terkait)
Pelaksanaan Program Inovasi Pelayanan Berkelanjutan
Inseminasi Buatan dan Gangguan Reproduksi Sapi di Kabupaten
Pinrang
D. Deskripsi Fokus Penelitian
Deskripsi fokus penelitian merupakan penjelasan atau uraian masing-
masing dari fokus yang diamati untuk memberikan kemudahan dan kejelasan
tentang pengamatan. Lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut:
1. Perilaku organisasi dan antar organisasi adalah sikap dan tindakan yang
ditunjukkan pihak instansi terkait dalam implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
dalam hal ini diterapkan oleh Dinas Peternakan dan Perkebunan
Kabupaten Pinrang.
2. Perilaku level bawah adalah sikap dan tindakan yang ditunjukkan dalam
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi pada tingkat level bawah dalam hal ini
penyuluh peternakan.
3. Perilaku kelompok sasaran adalah sikap dan tindakan yang ditunjukkan
dalam implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi yang ditujukan kepada kelompok
sasaran yaitu kelompok peternak sasaran penerima manfaat.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan dilakukan selama dua bulan mulai bulan
November 2019 sampai Januari 2020, setelah peneliti melakukan seminar
proposal dan mendapat surat izin penelitian dari Lembaga Pengembangan
Pembelajaran dan Penjaminan mutu (LP3M) Universitas Muhammadiyah
Makassar.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang menjadi tempat meneliti yaitu wilayah sentra
pengembangan sapi di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Alasan peneliti
memiliki lokasi ini dikarenakan di Kabupaten Pinrang diterapkan program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi
sapi sebagai implementasi dari kebijakan pemerintah.
B. Jenis dan Tipe Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
mencakup penggunaan subjek yang dikaji dan kumpulan dari berbagai
data studi kasus, pengalaman pribadi, wawancara, teks hasil pengamatan,
visual yang menggambarkan makna keseharian.
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian adalah studi kasus dengan maksud peneliti mengkaji kasus
yang berkaitan dengan implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di
Kabupaten Pinrang.
C. Sumber Data
Sumber data penelitian ini ada dua yang terdiri atas data primer dan
data sekunder, sebagai berikut:
1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil:
a. Wawancara, melakukan wawancara secara mendalam dan bebas
kepada subyek penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaan serta
dibantu dengan tape recorder.
b. Observasi, dengan melakukan pengamatan langsung untuk
mengumpulkan data tentang pelaksanaan penelitian yang terjadi.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka (library
research) mengambil data dari sejumlah buku, literatur, tulisan karya
ilmiah yang mendukung kelengkapan data sekunder.
D. Informan Penelitian
Informan penelitian yang peneliti wawancarai adalah informan kunci
sesuai dengan teknik pengumpulan informan yaitu melalui observasi
langsung, wawancara mendalam dan dokumentasi. Informan kunci yang
diwawancarai adalah:
Tabel 1
Informan Penelitian
Informan Jumlah
Kepala Dinas Peternakan dan Perkebunan 1 orang
Penyuluh Pengembangan Program PELAN ITU
BAGUS 3 orang
Masyarakat Peternak Sapi/Kelompok Ternak 3 orang
Total 7 orang
Jadi total informan kunci dalam penelitian ini sebanyak 7 orang.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
dengan melakukan observasi langsung, wawancara mendalam dan
dokumentasi. Berikut teknik pengumpulan data:
1. Observasi Langsung
Observasi atau pengamatan langsung merupakan teknik
pengumpulan data dalam mengamati secara langsung sasaran penelitian,
merekam peristiwa dan studi dokumentasi secara cermat. Teknik
pengamatan yang digunakan adalah pengamatan studi yaitu mengkaji
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
2. Wawancara Mendalam
Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam
(in-depth interview). Wawancara mendalam diharapkan mengungkapkan
pengamatan empirik tentang penelitian. Kegiatan pengamatan dan
wawancara, tidak ditentukan waktu secara ketat namun peneliti
menyesuaikan diri dengan kegiatan dan kebiasaan, baik kegiatan
perorangan maupun bersama. Mendukung kedua teknik pengumpulan data
tersebut, peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman observasi,
wawancara dan pencatatan hasil kegiatan. Selain itu digunakan rekaman
peristiwa (camera digital) dan walkman untuk kegiatan wawancara yang
dapat mengabadikan kenyataan yang ada di tempat penelitian.
3. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu penggunaan catatan-catatan atau pengambilan
gambar yang ada di lokasi penelitian untuk dijadikan referensi sumber
yang relevan dengan penelitian ini.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
aktivitas yang difokuskan untuk mengolah data-data yang telah didapatkan
oleh peneliti melalui kegiatan wawancara, observasi dan teknik dokumentasi
dalam hubungannya dengan implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten
Pinrang.
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya yang dilakukan peneliti
dalam penelitian ini adalah melakukan kegiatan proses analisis data. Hal ini
ditujukan untuk memilih data-data yang telah terkumpul pada saat penelitian
dilaksanakan, yang selanjutnya analisis data kualitatif terbagi dalam tiga tahap
yaitu:
1. Reduksi Data
Saat peneliti melakukan pengambilan data di lapangan banyak
kerumitan yang dilalui dengan mewawancarai sumber data utama, peneliti
mencatat, merekam semua jawaban yang dikemukakan oleh sumber data,
beragam data yang penulis peroleh. Ada jawaban yang sama ada juga
jawaban yang berbeda terhadap setiap pertanyaan yang diajukan.
Maka yang harus dilakukan peneliti yaitu melakukan analisis
melalui mereduksi data, mereduksi data berarti merangkum semua hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi, kemudian memilah dan
mengambil hal-hal yang penting, yang difokuskan pada permasalahan
yang ingin dikaji oleh peneliti dengan berdasarkan pada indikator yang
dikembangkan dalam pedoman wawancara yang terkait dengan
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
2. Menyajikan Data
Langkah utama kedua dari kegiatan analisis data ini peneliti
banyak terlibat dalam kegiatan penyajian atau penampilan (display) dari
kata yang dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya. Setelah mereduksi data
sesuai dengan hal-hal pokok yang difokuskan pada permasalahan yang
ingin dikaji, langkah selanjutnya adalah peneliti menyajikan data tersebut
dalam bentuk narasi. Artinya, setiap fakta dan informasi yang didapatkan
yang terjadi ataupun tidak ditemukan peneliti, kemudian dinarasikan dan
diberikan interprestasi terhadap fenomena-fenomena tersebut.
Penyajian data dilakukan agar data hasil reduksi terorganisirkan,
memberikan pemahaman kepada peneliti mengenai fenomena yang terjadi,
setelah itu peneliti merencanakan tindakan selanjutnya yang harus diambil
berdasarkan pemaknaan terhadap fenomena tersebut. Pada langkah ini
peneliti berusaha menyusun/menyajikan data sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya terjadi yang berkenaan dengan implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
di Kabupaten Pinrang.
3. Verifikasi Data dan Penarikan Kesimpulan
Langkah selanjutnya adalah verikasi data, Proses untuk
mendapatkan kebenaran laporan inilah yang disebut verifikasi data.
verifikasi data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian
dilakukan,sejak pertama kali memasuki lapangan dan selama proses
pengumpulan data. Peneliti berusaha untuk menganalisis lebih lanjut dan
mencari makna dari data ulang dikumpulkan, berbobot dan kuat sedang
data lain yang tidak menunjang, Selanjutnya dituangkan dalam bentuk
kesimpulan yang masih bersifat naratif.
Setelah data disajikan dan diverifikasi dalam bentuk naratif
berdasarkan pemaknaan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di
lapangan, langkah peneliti selanjutnya adalah menarik kesimpulan
berdasarkan pemaparan data tersebut. Penyimpulan data sesuai dengan
fokus masalah, kesimpulan yang diajukan sekaligus sebagai temuan
penelitian.
G. Keabsahan Data
Data yang terkumpul dilakukan pengabsahan data melalui pengecekan
dengan triangulasi (buktinya melakukan pengamatan yang melibatkan unsur
peneliti, metode dan obyek yang diamati), sesuai pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data bersangkutan untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding. Teknik triangulasi yang
digunakan adalah triangulasi sumber dan triangulasi metode (Sugiyono, 2006).
Teknik triangulasi digunakan sesuai dengan sumber, teknik dan waktu.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Singkat Obyek Penelitian
1. Gambaran Umum Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten
Pinrang
Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang mempunyai
Rencana Strategis yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama
kurun waktu 5 (lima) tahun, yaitu memperhitungkan potensi, peluang, dan
kendala yang ada atau mungkin timbul. Rencana Strategis Dinas
Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang memiliki visi dan misi.
Selanjutnya, sasaran yang ingin dicapai dan kegiatan yang akan
dilaksanakan dalam tiap tahunnya tertuang dalam Formulir Rencana
Kinerja Tahunan yang merupakan lampiran dari Laporan Akuntabilitas
Kinerja Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang.
Rencana Strategis Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten
Pinrang disusun sebagai alat kendali dan tolok ukur bagi manajemen
dalam penyelenggaraan pembangunan 5 (lima) tahun dan tahunan serta
untuk penilaian keberhasilan. Di samping itu, juga ditujukan untuk
memacu penyelenggaraan pembangunan agar lebih terarah dan menjamin
tercapainya sasaran strategis pembangunan 5 (lima) tahun mendatang.
Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana
instansi pemerintah harus dibawa dan berkarya agar konsisten dan dapat
eksis, antisipatif, inovatif serta produktif. Visi tidak lain adalah suatu
gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan berisikan cita dan
citra yang ingin diwujudkan oleh instansi pemerintah. Dengan mengacu
pada batasan tersebut, visi Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten
Pinrang dijabarkan sebagai berikut: “Mewujudkan Peternakan dan
Perkebunan yang tangguh, berkelanjutan dan berbasis sumber daya lokal
melalui akselerasi produktivitas kawasan dan pemanfaatan teknologi tepat
guna”.
Memenuhi visi tersebut, dicanangkan misi. Misi adalah suatu yang
harus dilaksanakan oleh organisasi (Instansi Pemerintah) agar tujuan
organisasi dapat tercapai dan berhasil dengan baik. Dalam rangka
mewujudkan visi pembangunan pertanian, perkebunan dan hortikultura
tersebut, maka perlu dirumuskan misi yang dapat menggerakkan dan
mewujudkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai melalui berbagai
upaya dalam pelaksanaannya. Disusunlah Misi Dinas Peternakan dan
Perkebunan Kabupaten Pinrang sebagai berikut :
a. Meningkatkan produksi tanaman pangan, hortikultura dan peternakan
unggulan daerah melalui pengembangan kawasan;
b. Meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian dan
peternakan melalui usaha pasca panen dan pengolahan hasil dengan
memberdayakan kelompok tani;
c. Meningkatkan ketersediaan pangan pokok daerah mendukung
ketahanan pangan nasional;
d. meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk
pertanian/peternakan unggulan;
e. Mendorong berkembangnya usaha pertanian/peternakan yang berbasis
pedesaan.
2. Struktur Organisasi Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten
Pinrang
a. Kepala Dinas
b. Sekretaris Dinas
c. Bidang Pengembangan Produksi dan Agribisnis Peternakan
d. Bidang Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan
Penyuluhan Peternakan
e. Bidang Pengembangan Perkebunan
f. Bidang Agribisnis dan Penyuluhan Perkebunan
g. UPTD
Lebih jelasnya struktur organisasi digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2
Struktur Organisasi
Tugas pokok Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten
Pinrang adalah melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan
asas otonomi, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada
bidang peternakan dan kesehatan hewan. Selanjutnya fungsi Dinas
Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang adalah:
a. Perumusan kebijakan teknis Dinas Peternakan dan Perkebunan
b. Pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum lintas
kabupaten/ kota di bidang peternakan dan perkebunan
Kepala Dinas
Sekretaris Dinas
Subbagian
Program
Subbagian
Keuangan
Subbagian
Umum,
Kepegw dan
Hukum
Kelompok Jabatan
Fungsional
Bid. Agribisnis &
Penylhn Perkebn
Seksi Kelembg, Ketenagaan & Penylh
Perkebn
Seksi Penglhan, Pemsran & Promosi Hasil
Perkebn
Seksi Bimbingan Usaha
Perkebn
Bid. Pengembangan
Perkebunan
Seksi Perlindungan
Tanaman Perkebn
Seksi Perbenihan &
Produksi Perkebn
Seksi Prasarana &
Sarana Perkebn
Bid. Kes. Hewan, Kes. Masy Veteriner & Penylhn Peternk
Seksi Kesehatan Hewan
Seksi Kes. Masy. Veteriner
Seksi Kelembagaan,
Ketenagaan dan Penylh
Peternakan
Bid. Pengemb Produksi
& Agribisnis Peternk
Seksi Agribisnis &
Perizinan Usaha Peternk
Seksi Budidaya dan
Reproduksi Peternk
Seksi Pakan, Prasarana
& Sarana Peternk
UPTD
c. Pembinaan teknis bidang peternakan dan kesehatan hewan
d. Pembinaan jabatan fungsional
e. Pelaksanaan urusan ketatausahaan
Berdasarkan deskriptif gambaran umum objek penelitian, maka
ditetapkan beberapa informan penelitian yang memberikan informasi
mengenai implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
Informan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Ir. H. Ilyas, M.Si, selaku Kepala Dinas Peternakan dan Perkebunan
(IL)
b. Penyuluh Pengembangan Program
1) Drh. I Gde Andhika P (GA)
2) Armun, S.Pt (AR)
3) Patang, S.Pt. (PA)
c. Masyarakat Peternak Sapi/Kelompok Ternak
1) Basir (BS)
2) Asdar (AS)
3) Umar (UM)
Berikut peneliti melakukan wawancara dengan informan IL, selaku
Kepala Dinas Peternakan dan Perkebunan untuk menanyakan sejauhmana
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang. Petikan wawancara
dengan informan:
“Selaku kepala dinas dalam mengimplementasikan kebijakan
pemerintah berupa program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi telah dijalankan
sesuai dengan perilaku yang diemban oleh pihak yang terlibat baik
perilaku antar organisasi pemerintah atau masyarakat, perilaku
level bawah dan perilaku kelompok sasaran. Intinya implementasi
ini harus melibatkan pihak pemerintah dari berbagai organisasi,
pihak penyuluh peternakan secara khusus dan masyarakat
peternak” (21 November 2019).
Selanjutnya peneliti mewawancarai GA selaku penyuluh
pengembangan program. Berikut petikan wawancara dengan informan:
“Sebagai penyuluh peternakan, dalam mengimplementasikan
kebijakan program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang
berupaya menjalankannya sebagai fasilitator antara pihak
pemerintah dalam hal ini Dinas Peternakan dengan kelompok
peternak sapi dalam rangka meningkatkan produksi peternakan
dalam setiap tahunnya. Program ini memberi manfaat dalam
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan seluruh pihak yang
terkait” (22 November 2019).
Berdasarkan uraian dan hasil wawancara dengan informan di atas
menunjukkan bahwa pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Peternakan dan
Perkebunan telah mengimplementasikan program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi dengan
berbagai oranisasi yang terkait dalam hal ini Dinas Kesehatan,
Kecamatan/Desa dan lainnya yang berkaitan dengan peternakan sapi,
termasuk pula keterlibatan penyuluh peternakan yang memberikan
bimbingan, pendampingan atau bantuan yang berkaitan dengan program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi kepada peternak sebagai sasaran tujuan.
B. Hasil Penelitian
Implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang. Implementasi
program pengembangan berdasarkan pada model implementasi perilaku
organisasi dan antar organisasi, perilaku birokrasi level bawah dan perilaku
kelompok sasaran.
1. Perilaku Organisasi dan Antar Organisasi
Perilaku organisasi dan antar organisasi adalah sikap dan tindakan
yang ditunjukkan pihak instansi terkait dalam implementasi program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi dalam hal ini diterapkan oleh Dinas Peternakan dan
Perkebunan Kabupaten Pinrang. Terdapat empat aspek yang dibangun di
dalam melihat perilaku organisasi dan antar organisasi dalam melakukan
implementasi program inovasi yaitu perbaikan atau penguatan struktur
organisasi, melakukan kerjasama antar organisasi, mengembangkan
berbagai kepentingan antar organisasi dan tindakan untuk pencapaian
tujuan organisasi.
a. Perbaikan dan Penguatan Struktur Organisasi
Perilaku organisasi dan antar organisasi melalui perbaikan dan
penguatan struktur organisasi dalam implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi,
mengacu kepada Peraturan Bupati Pinrang Nomor 46 Tahun 2016 tentang
Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas
Peternakan dan Perkebunan. Struktur organisasi dinas kedudukannya
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris
Daerah. Susunan dari struktur organisasi secara rinci meliputi:
1) Kepala Dinas
2) Sekretariat, terdiri atas Subbagian Program, Subbagian Umum,
Kepegawaian dan Hukum, serta Subbagian Keuangan.
3) Bidang Pengembangan Produksi dan Agribisnis Peternakan terdiri atas
Seksi Budidaya dan Reproduksi Peternakan, Seksi Pajak, Prasarana
dan Sarana Peternakan, serta Seksi Agribisnis dan Perizinan Usaha
Peternakan.
4) Bidang Pengembangan Perkebunan terdiri atas Seksi Perbenihan dan
Produksi Perkebunan, Seksi Prasarana dan Sarana Perkebunan dan
Seksi Perlindungan Tanaman Perkebunan.
5) Bidang Agribisnis dan Penyuluhan Perkebunan terdiri atas Seksi
Kelembagaan, Ketenagaan dan Penyuluhan Perkebunan, Seksi
Pengolahan, Pemasaran dan Promosi Hasil Perkebunan dan Seksi
Bimbingan Usaha Perkebunan.
6) Unit Pelaksana Teknis Dinas
7) Kelompok Jabatan Fungsional
Berdasarkan penjelasan di atas, dipahami bahwa perilaku
organisasi dan antar organisasi diterapkan sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Untuk lebih jelasnya mengenai hal tersebut kaitannya dengan
implementasi program inovasi, maka peneliti melakukan wawancara
dengan informan IL, selaku Kepala Dinas Peternakan dan Perkebunan
untuk menanyakan perilaku organisasi dan antar organisasi dilihat dari
sikap dan tindakan yang ditunjukkan dalam implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
di Kabupaten Pinrang. Petikan wawancara dengan informan:
“Bagi Dinas Peternakan dan Perkebunan dalam menjalankan implementasi program ini diperlukan perbaikan dan penguatan struktur organisasi dari masing-masing organisasi yang terkait. Ini penting untuk mensinkronisasikan dan mewujudkan koordinasi antar organisasi dalam melakukan implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi yang bertujuan untuk meningkatkan produksi ternak sapi di Kabupaten Pinrang” (21 November 2019). Hasil wawancara dapat dimaknai bahwa perilaku antar organisasi
menjadi penting di dalam mengimplementasikan program ini guna
memberikan perbaikan dan penguatan struktur organisasi. Aktualisasinya
dengan berkoordinasi dalam melakukan inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi guna meningkatkan produksi
ternak sapi.
Selanjutnya peneliti mewawancarai AR selaku penyuluh
pengembangan program untuk menanyakan apa saja perbaikan dan bentuk
penguatan struktur organisasi yang diterapkan dalam implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi. Berikut petikan wawancara dengan informan:
“Bagi kami sebagai penyuluh dalam memperbaiki dan memperkuat
struktur organisasi diperlukan beberapa bentuk penguatan yang
mendukung implementasi program tersebut dengan menjalankan
tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja organisasi, yang
searah dengan visi dan misi yang ingin dicapai dalam
meningkatkan produksi ternak sapi” (22 November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai bahwa
perbaikan dan penguatan struktur organisasi menjadi penting dalam
mendukung keberhasilan program inovasi pelayanan berkelanjutan yang
dilakukan antar organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-
masing unit kerja yang terkait.
b. Kerjasama Antar Organisasi
Kerjasama antar organisasi dalam hal ini kerjasama dalam
melakukan budidaya dan reproduksi peternakan dengan melakukan
inventarisasi, identifikasi, pengembangan dan pembinaan teknis, evaluasi
dan analisis, pengendalian dan pengawasan terhadap budidaya dan
reproduksi peternakan seperti pengembangan bioteknologi, pengembangan
pembibitan dan perkawinan (inseminasi) serta penyebaran ternak dari
tingkat Pusat, Privinsi dan Kabupaten/Kota. Adapaun benrtuk tugas pada
tingakat masing masing kelompok kerja sebagai berikut:
1. Kelomok kerja di tingkat Pusat:
a. Pemantauan pelaksanaan kegiatan supervisi dan pendampingan
UPSUS SIWAB
b. Evaluasi dan pelaporan supervisi dan pendampingan UPSUS
SIWAB di tingkat nasional
c. Memonitor laporan masing–masing penanggungjawab Provinsi
dan Kabupaten/Kota
d. Menyusun dan melaporkan hasil rekapitulasi pelaksanaan
kegiatan supervisi dan pendampingan Provinsi
e. Menyerahkan rekapitulasi laporan tingkat Provinsi kepada
Direktur Jenderal PKH.
2. Kelompok kerja di tingkat Provinsi
a. Melakukan rekapitulasi laporan masing-masing Kabupaten/Kota
b. Menyerahkan rekapitulasi laporan kepada Ketua UPSUS
SIWAB.
3. Kelompok kerja di tingkat Kabupaten/Kota
a. Melakukan rekapitulasi laporan masing–masing Puskeswan
terhadap pencapaian kegiatan SIWAB.
b. Menyerahkan rekapitulasi laporan kepada Sekretariat Dinas
PKH di tingkat Provinsi
Adapun persentase pelaksanaan kerjasama dalam melakukan
budidaya dan reproduksi peternakan ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 2 Persentase Penyelenggaraan Budidaya dan Reproduksi
Peternakan Tahun 2018
No Penyelenggaraan Budidaya
dan Reproduksi %
Pelaksanaan 1 Penyusunan kebijakan teknis penyelenggaraan
program dan kegiatan budidaya dan reproduksi peternakan
65.9
2 Pembinaan, pengoordinasian, pengendalian dan pengawasan program dan kegiatan budidaya dan reproduksi peternakan
70.4
3 Pelaksanaan monitoring, evaluasi serta pelaporan kegiatan tugas budidaya dan reproduksi peternakan
72.6
4 Penyelenggaraan fungsi lain yang diberikan oleh pimpinan sesuai dengan tugas dan fungsinya
75.8
Sumber: Data Sekunder Dinas Peternakan dan Perkebunan Kab. Pinrang, 2019
Tabel data sekunder Dinas Peternakan dan Perkebunan
menunjukkan bahwa penyelenggaraan budidaya dan reproduksi
peternakan tahun 2018 telah dilaksanakan sesuai dengan penyusunan
kebijakan teknis dan penyelenggaraan tugas program dan kegiatan,
melakukan penyusunan standar operasional prosedur, mengatur,
mendistribusikan, mengordinasikan dan mengendalikan tugas budidaya
dan reproduksi, menerapkan standar pembibitan dan plasma nutfah,
mengawasi pelaksanaan inseminasi buatan dan intensifikasi kawin alami.
Peneliti melakukan wawancara dengan informan IL, selaku Kepala
Dinas Peternakan dan Perkebunan untuk menanyakan kerjasama antar
organisasi dilihat dari sikap dan tindakan yang ditunjukkan dalam
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang. Petikan wawancara
dengan informan:
“Upaya dalam melakukan implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan telah dilakukan berbagai kerjasama antar
organisasi yang pelaksanaannya masih perlu ditingkatkan guna
memberikan berbagai koordinasi dan kerjasama terpadu antar
organisasi dalam mengimplementasikan program ini untuk
mewujudkan hasil produksi peternak yang dapat meningkat setiap
tahun” (21 November 2019).
Hasil wawancara memberi makna bahwa perilaku antar organisasi
masih perlu ditingkatkan dalam implementasi program pemerintah di
bidang peternakan. Menjadi perlu dalam melakukan koordinasi dan
kerjasama terpadu antar organisasi untuk mewujudkan peningkatan
produksi ternak sapi.
Selanjutnya peneliti mewawancarai PA selaku penyuluh
pengembangan program untuk menanyakan apa saja kerjasama antar
organisasi yang diterapkan dalam implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi.
Berikut petikan wawancara dengan informan:
“Menurut pandangan saya wujud kerjasama antar organisasi sudah
terwujud dengan bagus dimana pihak dinas dengan organisasi lain
telah melakukan kerjasama yang berkaitan dengan peningkatan
produksi peternakan seperti melibatkan pihak Dinas Kesehatan,
Dinas Perdagangan dan organisasi masyarakat yang terhimpun
dalam pemerhati peternakan telah terimplementasi sesuai tujuan
yang diharapkan” (22 November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai kerjasama antar
organisasi telah diimplementasikan dalam program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi sebagai
upaya untuk meningkatkan produksi hasil peternakan sapi.
c. Mengembangkan Kepentingan Antar Organisasi
Hasil observasi peneliti mengenai pengembangan kepentingan
antar organisasi menunjukkan bahwa implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
tidak terlepas dari kepentingan yang dilihat dari unit kerja setiap bidang.
Bidang Pengembangan Produksi dan Agribisnis Peternakan
berkepentingan melakukan penyusunan, pelaksanaan kebijakan dan
pemberian bimbingan teknis serta pemantauan dan evaluasi di bidang
inventarisasi, identifikasi, pengembangan dan pembinaan teknis, evaluasi
dan analisis, pengendalian dan pengawasan terhadap budidaya dan
reproduksi, pajak, sarana dan prasarana serta agribisnis dan perizinan
usaha peternakan.
Seksi budidaya dan reproduksi peternakan berkepentingan
melakukan inventarisasi, identifikasi, pengembangan dan pembinaan
teknis, evaluasi dan analisis, pengendalian dan pengawasan terhadap
budidaya dan reproduksi peternakan seperti pengembangan bioteknologi,
pengembangan pembibitan dan perkawinan (inseminasi buatan/kawin
alami), serta penyebaran ternak.
Seksi pakan, prasarana dan sarana peternakan berkepentingan
dalam melakukan inventarisasi, identifikasi, pengembangan dan
pembinaan teknis, evaluasi dan analisis, pengendalian dan pengawasan
terhadap pakan, sarana dan prasarana peternakan seperti pengembangan
kawasan peternakan, alat dan mesin peternakan, pemanfaatan lahan danair,
pakan dan pengolahannya serta pemanfaatan teknologi dan pengembanan
sumber daya manusia peternakan.
Seksi agribisnis dan perizinan usaha peternakan berkepentingan
melakukan inventarisasi, identifikasi, pengembangan dan pembinaan
teknis, evaluasi dan analisis, pengendalian dan pengawasan terhadap
agribisnis dan perizinan usaha peternakan seperti pembinaan dan
pemberdayaan usaha, pengembangan dan pemanfaatan sumber
pembiayaan/kredit program, menyusun rencana usaha agribisnis, izin
rekomendasi usaha peternakan dan bimbingan penanganan panen, pasca
panen dan pengelolaan hasil pemasaran/ promosi peternakan dan
pengembanan sistem statistik dan informasi peternakan.
Selanjutnya bidang kesehatan hewan, kesehatan masyarakat
veteriner dan penyuluhan peternakan berkepentingan melaksanakan
penyusunan, pelaksanaan kebijakan dan pemberian bimbingan teknis serta
pemantauan dan evaluasi di bidang kesehatan hewan, kesehatan
masyarakat veteriner dan penyuluhan peternakan. Seksi kesehatan hewan
memiliki kepentingan melakukan penyiapan bahan penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan pemantauan serta
evaluasi di bidang kesehatan hewan.
Termasuk Seksi kesehatan masyarakat veteriner berkepentingan
dalam melakukan penyiapan bahan penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan pemantauan serta evaluasi di
bidang kesehatan masyarakat veteriner. Seksi kelembagaan, ketenagaan
dan penyuluhan peternakan berkepentingan dalam melakukan penyiapan
bahan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan
teknis dan pemantauan serta evaluasi di bidang kelembagaan, ketenagaan
dan penyuluhan peternakan.
Peneliti melakukan wawancara dengan informan IL, selaku Kepala
Dinas Peternakan dan Perkebunan untuk menanyakan sejauhmana
pengembangan kepentingan antar organisasi dilihat dari sikap dan
tindakan yang ditunjukkan dalam implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
di Kabupaten Pinrang. Petikan wawancara dengan informan:
“Dinas Peternakan telah mengembang tugas yang menjadi
kepentingan antar organisasi dalam rangka meningkatkan produksi
peternakan sapi. Pengembangan ini teraktualisasikan dalam
implementasi program yang telah didukung dari masing-masing
unit antar organisasi secara terpadu yaitu mengimplementasikan
kebijakan ini sebagai kebijakan utama di bidang peternakan sapi”
(21 November 2019).
Makna hasil wawancara ini, perilaku antar organisasi perlu terus
diwujudkan sebagai sebuah kepentingan organisasi yang saling terkait
dalam mengaktualisasikan implementasi program ini. Kepentingan antar
organisasi diperlukan secara terpadu dalam mendukung kebijakan program
inovasi pelayanan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi.
Selanjutnya peneliti mewawancarai AR selaku penyuluh
pengembangan program untuk menanyakan hal yang sama. Berikut
petikan wawancara dengan informan:
“Bagi penyuluh di unit kerja Dinas Peternakan telah
mengimplementasikan program ini dengan memberikan
penyuluhan secara terpadu dalam memberikan pencerahan kepada
masyarakat tentang pentingnya inovasi pelayanan berkelanjutan
agar ternak sapi mempunyai bobot daging karkas yang meningkat
dan menghindarkan sapi dari resiko sakit atau penyebab reproduksi
kelahiran sapi yang menurun. Ini telah diupayakan dengan
memperhatikan kepentingan masing-masing antar organisasi” (22
November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai pengembangan
kepentingan antar organisasi telah diimplementasikan dalam program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi guna meningkatkan bobot produksi sapi dan
menghindarkan penurunan reproduksi sapi. Karena itu program dinas yang
disampaikan lewat penyuluhan menjadi penting untuk dikoordinasikan ada
semua pihak dinas terkait.
d. Pencapaian Tujuan Organisasi
Dalam hal pencapaian tujuan organisasi, hasil observasi peneliti
menunjukkan bahwa implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di
Kabupaten Pinrang bertujuan untuk peningkatan populasi ternak sapi,
peningkatan populasi ternak sapi hasil inseminasi buatan dan penurunan
prevalence penyakit gangguan reproduksi ternak sapi.
Peningkatan populasi ternak sapi merupakan target utama dalam
pelaksanaan inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan
gangguan reproduksi sapi. Peningkatan jumlah populasi ternak sapi tidak
dapat dilakukan dalam jangka pendek, harus bertahap dengan program
yang jelas. Inovasi awal sejak pelaksanaannya sukses memacu
peningaktan populasi ternak sapi di Kabupaten Pinrang. Tahun 2014
sebelum inovasi, 22.048 ekor sapi dan setelah inovasi berjalan, jumlah
meningkat pada tahun 2015 menjadi 24.313 ekor. Tahun 2016 sebanyak
25.605 ekor dan tahun 2017 menjadi 26.793, dan tahun 2018 sebanyak
28.634 ekor.
Peningkatan populasi ternak sapi hasil inseminasi buatan bertujuan
untuk meningkatkan kualitas dan mutu genetik ternak. Fokus kegiatan
inseminasi buatan terangkum dalam pelaksanaan inovasi pelayanan
berkelanjutan, mengurangi perkawinan sedarah (inbreeding) sehingga
performa ternak dapat meningkat. Peningkatan populasi ternak hasil
inseminasi buatan di Kabupaten Pinrang tahun 2014 sebelum inovasi
dilaksanakan adalah 663 ekor. Setelah inovasi tahun 2015 ada 875 ekor,
tahun 2016 menjadi 960 ekor dan tahun 2017 ada 1.149 ekor serta tahun
2018 sebanyak 1.780 ekor.
Penurunan prevalence penyakit gangguan reproduksi ternak sapi
dapat terwujud melalui program ini. Keberhasilan usaha ternak sapi, baik
penghasil bibit (breeding) maupun penggemukan (fattening) sangat
tergantung dari kesehatan ternak, sehingga penanganan, pengendalian dan
pencegahan penyakit harus menjadi prioritas utama. Status kesehatan
hewan sangat berpengaruh langsung terhadap kesehatan reproduksi ternak.
Kesehatan hewan harus baik untuk mencapai kesehatan reproduksi
optimum. Terlihat tahun 2014, kasus penyakit gangguan reproduksi di
Kabupaten Pinrang sebelum inovasi sebanyak 375 kasus, setelah
dilaksanakan, tahun 2015 turun menjadi 169 kasus, tahun 2016 menjadi 83
kasus, tahun 2017 sebanyak 24 kasus dan tahun 2018 menjadi 20 kasus.
Peneliti melakukan wawancara dengan informan IL, selaku Kepala
Dinas Peternakan dan Perkebunan untuk menanyakan bagaimana
pencapaian tujuan dalam perilaku antar organisasi dilihat dari sikap dan
tindakan implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
Petikan wawancara dengan informan:
“Bagi Dinas Peternakan dalam melakukan tindakan untuk
pencapaian tujuan organisasi telah diimplementasikan secara
terpadu antar organisasi dengan tujuan untuk peningkatan populasi
ternak sapi, peningkatan populasi ternak sapi hasil inseminasi
buatan dan penurunan prevalence penyakit gangguan reproduksi
ternak sapi. Inilah tunjuan dari perilaku antar organisasi dalam
mengimplementasikan program pemerintah di bidang peternakan” (21 November 2019).
Wawancara ini memberi makna secara gamblang bahwa perilaku
antar organisasi perlu digalakkan dalam menindaklanjuti pencapaian
tujuan organisasi. Keterpaduan ini diperlukan antar instansi guna
mendukung program inseminasi buatan dan gangguan reproduksi, sebagai
andil dalam mendukung program pemerintah di bidang peternakan.
Selanjutnya peneliti mewawancarai GA selaku penyuluh
pengembangan program untuk menanyakan hal yang sama. Berikut
petikan wawancara dengan informan:
“Menjadi tugas pokok dan fungsi yang saya emban untuk
melakukan tindakan pencapaian tujuan organisasi dengan secara
berkelanjutan memberikan bimbingan, pendampingan, dan bantuan
secara teknis berkaitan dengan kesehatan sapi dalam rangka
mempertahankan kestabilan populasi ternak sapi setiap tahun dan
terus berinovasi dengan memperkenalkan inseminasi buatan dan
menurunkan prevalence penyakit gangguan reproduksi ternak sapi”
(22 November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai bahwa tindakan
untuk pencapaian tujuan organisasi yang dilakukan oleh Dinas Peternakan
dengan perilaku antar organisasi di bidang peternakan yaitu mengembang
tujuan untuk meningkatkan populasi ternak sapi, peningkatan populasi
ternak sapi hasil inseminasi buatan dan penurunan prevalence penyakit
gangguan reproduksi ternak sapi di Kabupaten Pinrang.
Uraian hasil penelitian dan wawancara di atas, menunjukkan
bahwa perilaku organisasi dan antar organisasi dari pihak pemerintah telah
diterapkan sesuai dengan sikap dan tindakan yang ditunjukkan dalam
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi melalui perbaikan atau penguatan struktur
organisasi, melakukan kerjasama antar organisasi, mengembangkan
berbagai kepentingan antar organisasi dan tindakan untuk pencapaian
tujuan organisasi. Berdasarkan hal tersebut dipahami bahwa implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan atas inseminasi buatan dan
gangguan reproduksi sapi telah diimplementasikan dengan baik yang
ditunjukkan dengan produksi sapi yang mengalami peningkatan setiap
tahunnya.
2. Perilaku Birokrasi Level Bawah
Perilaku level bawah adalah sikap dan tindakan yang ditunjukkan
dalam implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi pada tingkat level bawah dalam hal
ini penyuluh peternakan. Wujud perilaku birokrasi level bawah ditentukan
oleh aspek perilaku koordinasi, penyuluhan, monitoring dan evaluasi atas
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi.
a. Koordinasi Program
Perilaku koordinasi birokrasi level bawah yang dimaksud adalah
adanya kegiatan yang melibatkan tim penyuluh dalam hal ini petugas
pemeriksa kebuntingan dan petugas inseminasi buatan dalam pelaksanaan
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi.
Koordinasi birokrasi level bawah yang dilakukan oleh penyuluh
pada tingkat level rendah dengan mensosialisasikan kegiatan pembibitan
dan perawatan ternak sapi melalui pemeriksaan kebuntingan dan
melakukan inseminasi buatan. Tidak dapat dihindari diantara populasi
ternak sapi betina yang ada, terdapat segelintir betina yang kurang
beruntung karena dikategorikan mengidap gangguan reproduksi. Sudah
menjadi panggilan profesi bagi para dokter hewan, untuk memberikan
solusi bagi pasiennya, melalui tindakan pembengkelan penanganan
gangguan reproduksi. Untuk itu diperlukan koordinasi birokrasi level
bawah oleh penyuluh dalam hal ini keberadaan dokter hewan melalui
prosedur standar pemeriksaan, segera meneguhkan diagnosa. Apakah
„pasien‟ masuk kategori mengidap gangguan reproduksi permanen yang
tidak mungkin disembuhkan dan berujung pada rekomendasi afkir untuk
menjadi sumber daging di rumah potong. Ataukah masuk kategori
mengidap gangguan reproduksi non permanen yang masih ada harapan
untuk disembuhkan. Gangguan reproduksi ternak betina menjadi salah
satu faktor penyebab belum optimalnya kelahiran ternak di Indonesia.
Keterbatasan tenaga medik veteriner, kurangnya kesadaran peternak untuk
melaporkan kondisi ternaknya, sistem layanan reproduksi yang belum
berjalan prima, merupakan penyebab masih munculnya gangguan
reproduksi.
Penetapan petugas pelaksana penanganan gangguan reproduksi
dilakukan dengan mengoptimalkan Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan)
melalui identifikasi, mobilisasi sumber daya kesehatan hewan dan
peningkatan kompetensi petugas puskeswan. Penerapan Inseminasi Buatan
selain menghasilkan ternak dengan genetik unggul, juga membuka
lapangan kerja baru bagi pemuda di pedesaan. Kebutuhan tenaga
inseminator semakin meningkat meski corp pejuang reproduksi ini telah
berjumlah sekitar 7.839 orang di seluruh Indonesia. Jumlah itu dirasakan
masih sangat kurang dari kebutuhan ideal saat ini sekitar 12 ribuan orang.
Inseminator merupakan salah satu profesi yang cukup menjanjikan
di masyarakat. Dengan keterampilan layanan yang dimiliki, mampu
mengambil hati dan loyalitas peternak, termasuk dengan ikhlas dan ringan
memberikan imbal jasa dengan nominal yang cukup untuk menopang
kebutuhan hidup inseminator bersama keluarganya. Berbeda dengan status
pegawai negeri yang mempunyai batas waktu untuk berkarya. Inseminator
dalam menjalankan tugasnya dapat secara terus menerus tanpa mengenal
pensiun. Inseminator pada awal introduksi IB sekitar tahun 70-an sarat
dengan fasilitasi pemerintah. Bahkan saat itu semuanya berstatus PNS atau
honorer yang besar kemungkinan menjadi PNS. Saat itu peternak yang
ternaknya akan di IB harus dibujuk dengan pemberian insentif, seperti
pemberian pakan tambahan atau pengobatan cuma-cuma. Sumber daya
manusia yang diperlukan dalam mendukung program ini adalah petugas
teknis sesuai keterampilan teknis yang dimiliki:
1) Inseminator adalah petugas yang berhak melakukan inseminasi.
Mereka telah mengikuti pelatihan inseminasi buatan dan memenuhi
kualifikasi serta memiliki SIM-I.
2) Pemeriksa Kebuntingan (PKb) adalah petugas yang berhak melakukan
pemeriksaan kebuntingan, menetapkan apakah ternak sapi betina
tersebut bunting atau kosong. Syarat PKb yakni telah mengikuti
pelatihan Inseminator, pelatihan pemeriksa kebuntingan dan memenuhi
kualifikasi serta memiliki SIM-A2
Selain itu, keberadaan Asisten Teknis Reproduksi (ATR) adalah
petugas yang berhak melakukan pemeriksaan kebuntingan dan kelainan/
gangguan reproduksi, menetapkan apakah ternak sapi betina tersebut steril
atau produktif (sterility control). Syarat menjadi ATR, telah mengikuti
pelatihan Inseminator, pelatihan pemeriksa kebuntingan, pelatihan asisten
teknis reproduksi dan memenuhi kualifikasi serta memiliki SIM-A1.
Dalam pelayanan IB, diperlukan pemetaan petugas teknis IB yang ideal
guna menunjang kegiatan pelayanan secara optimal dan memuaskan bagi
konsumen, khususnya peternak. Adapun pemetaan kebutuhan petugas IB
didasarkan pada beberapa wilayah yaitu wilayah introduksi,
pengembangan dan swadaya.
Berikut ditunjukkan data populasi sapi di Kabupaten Pinrang
dalam kurun waktu lima tahun.
Tabel 3
Data Populasi Sapi Kabupaten Pinrang Tahun 2014-2018
Tahun Sapi Potong
(ekor)
Sapi Perah
(ekor)
2014
2015
2016
2017
2018
24.048
24.913
25.794
26.593
27.116
24
24
27
35
27
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Pinrang, 2019
Tabel di atas menunjukkan peningkatan jumlah populasi sapi
potong di Kabupaten Pinrang dalam lima tahun, yaitu tahun 2014
sebanyak 24.049 ekor terus meningkat sampai tahun 2018 menjadi 27.116
ekor. Sementara sapi perah terlihat naik turun, tahun 2014 sampai tahun
2014 masing-masing 14 ekor meningakt di tahun 2016 menjadi 27 ekor
dan tahun 2017 ada sebanyak 35 ekor, kemudian di tahun 2018 turun
menjadi 27 ekor sapi. Ini berarti koordinasi dari penyuluh atas program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi pada tingkat level bawah telah dilaksanakan dengan baik
dilihat dari jumlah populasi sapi yang terus mengalami peningkatan dalam
lima tahun, sehingga dapat dikatakan program inovasi pelayanan
berkelanjutan ini berhasil diterapkan.
Peneliti melakukan wawancara dengan informan IL, selaku Kepala
Dinas Peternakan dan Perkebunan untuk menanyakan perilaku birokrasi
level bawah dilihat dari koordinasi atas implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
di Kabupaten Pinrang. Petikan wawancara dengan informan:
“Menjadi penting bagi Dinas Peternakan untuk
mengimplementasikan kebijakan pemerintah melalui program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi pada perilaku level bawah sebagai aktualisasi
dalam melakukan koordinasi terpadu antara dinas dengan level
bawah dalam hal ini pihak penyuluh peternakan yang melakukan
pembimbingan, pendampingan dan bantuan dalam kegiatan
program” (21 November 2019).
Wawancara ini bermakna bahwa perilaku level bawah
membutuhkan berbagai masukan secara aktualisasi dari Dinas Peternakan
dalam mengkoordinasikan program ini sebagai program yang harus
teraktualisasikan pada level bawah. Andil pihak penyuluh dalam
menjembatani kebijakan atau program pemerintah sangat penting bagi
kelompok level bawah khususnya aktivitas pembimbingan, pendampingan
dan pemberian kegiatan program untuk mewujudkan produksi ternak sapi.
Selanjutnya peneliti mewawancarai GA selaku penyuluh
pengembangan program untuk menanyakan apa saja bentuk koordinasi
yang diterapkan dalam implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi. Berikut
petikan wawancara dengan informan:
“Bentuk-bentuk koordinasi yang diimplementasikan dalam
kegiatan perilaku level bawah yaitu koordinasi dengan
mensosialisasikan kegiatan pembibitan dan perawatan ternak sapi
melalui pemeriksaan kebuntingan dan melakukan inseminasi
buatan. Ini untuk mempermudah penyuluh dalam mengembangkan
program kebijakan pemerintah di bidang peternakan” (22
November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai bahwa telah
diimplementasikan program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi melalui koordinasi yang dilakukan
pihak penyuluh di bidang peternakan untuk meningkatkan produksi hasil
peternakan.
b. Penyuluhan Program
Penyuluhan program memiliki peranan penting, khususnya untuk
penguatan kelompok tani dan peningkatan proses adopsi teknologi
peternakan kepada peternak. Keberhasilan penyuluhan program sangat
ditentukan model penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan peternak,
yaitu ketepatan materi, metode dan media yang digunakan.
Kegiatan penyuluhan program dalam pengembangan kelompok
tani dilaksanakan dengan nuansa partisipatif. Dengan demikian, prinsip
kesetaraan, transparansi, tanggung jawab, akuntabilitas, serta kerja sama
menjadi muatan-muatan baru dalam pemberdayaan peternak dalam
meningkatkan hasil produksi daging sapi di Kabupaten Pinrang. Berikut
ditunjukkan data produksi dagig sapi dalam lima tahun terakhir.
Tabel 4
Data Produksi Daging Sapi di Kabupaten Pinrang Tahun 2014-2018
Tahun Produksi Daging Sapi
(kg)
2014 2015
2016
2017
2018
212.000 398.456
473.266
803.160
922.150
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Pinrang, 2019
Tabel di atas menunjukkan peningkatan jumlah produksi dagig sapi
di Kabupaten Pinrang dalam lima tahun, yaitu tahun 2014 sebanyak
212.000 kg terus meningkat sampai tahun 2018 menjadi 922.150 kg.
Artinya tim penyuluh telah melakukan tugasnya memberikan penyuluhan
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi dan telah dilaksanakan dengan baik dilihat dari jumlah
produksi daging sapi yang terus mengalami peningkatan dalam lima tahun,
sehingga dapat dikatakan program inovasi pelayanan berkelanjutan ini
berhasil diterapkan.
Peneliti melakukan wawancara dengan informan IL, selaku Kepala
Dinas Peternakan dan Perkebunan untuk menanyakan perilaku birokrasi
level bawah dilihat dari kegiatan penyuluhan dalam implementasi program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang. Petikan wawancara dengan
informan:
“Dinas Peternakan dalam mengimplementasikan program ini
memberikan pengarahan kepada setiap penyuluh peternakan untuk
melakukan kegiatan konseling dengan para peternak dengan
memberikan materi penyuluhan yang berkaitan dengan ketepatan
materi, metode dan media yang digunakan. Ini penting agar
peternak mendapatkan pencerahan pentingnya meningkatkan
produksi peternakan dan meningkatkan pendapatan kesejahteraan
masyarakat peternak sapi” (21 November 2019).
Wawancara ini memberikan makna bahwa untuk meningkatkan
dan mewujudkan produksi ternak sapi, maka pihak penyuluh secara
intensif memberikan berbagai kegiatan konseling kepada level bawah.
Pentingnya konseling ini untuk membimbing, mendampingi dan
membantu level bawah untuk mengimplementasikan program ini dengan
baik dalam peningkatan produksi dan pendapatan peternak sapi.
Selanjutnya peneliti mewawancarai AR selaku penyuluh
pengembangan program untuk menanyakan apa saja bentuk penyuluhan
yang diberikan dalam implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi. Berikut
petikan wawancara dengan informan:
“Sebagai penyuluh kami berupaya memberikan pendidikan,
pencerahan dan upaya peningkatan produksi hasil peternakan sapi
melalui program inovasi penyuluhan berkelanjutan dan inseminasi
buatan serta gangguan reproduksi dengan memberikan
pembelajaran yang tepat dalam penyajian materi, metode dan
media yang memudahkan para peternak menindaklanjuti program
ini” (22 November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai telah
diimplementasikan kebijakan program di bidang peternakan kepada
perilaku level bawah dengan memberikan penyuluhan terpadu mengenai
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi dengan melibatatkan penyuluh peternakan, para kelompok
peternak dalam mengadopsi inovasi program yang telah
diimplementasikan dengan baik kepada peternak.
c. Monitoring dan Evaluasi Program
Cara kerja cepat, tepat dan benar menjadi ciri dan gaya kerja dalam
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi. Mekanisme pelaporan IB yang selama ini
secara reguler memerlukan waktu satu atau dua bulan, namun dilakukan
menjadi harian.
Mekanisme dan pengorganisasian monitoring evaluasi (monev)
sebagai pelaporan kinerja program memungkinkan dapat dipantaunya
semua kegiatan. Bagaimana perkembangan jumlah akseptor yang
dikawinkan, jumlah kebuntingan, dan kelahiran sapi di wilayah tertentu
secara harian oleh petugas di kecamatan secara online.
Pada prinsipnya monev dan pelaporan dalam implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi adalah terpantaunya perkembangan program dan kegiatan
secara realtime di setiap jenjang. Dengan mekanisme laporan harian itu,
diupayakan kendala dan permasalahan dapat diselesaikan di lapangan atau
sesuai jenjang pada saat permasalahan teridentifikasi.
Hasil monev dipastikan diketahui oleh personil dan/atau
penanggung jawab di setiap jenjang sesuai tanggungjawab penugasan dan
wilayah kerja di simpul-simpul operasional kelembagaan secara realtime.
Monev diarahkan untuk memantau perkembangan capaian kinerja program
dan perkembangan kinerja kegiatan di wilayah tertentu (Kecamatan).
Perkembangan capaian program mencakup jumlah akseptor yang telah di
IB, jumlah sapi bunting dan jumlah kelahiran.
Laporan perkembangan kinerja program dilakukan secara harian
langsung oleh petugas lapangan. Sedangkan laporan perkembangan kinerja
kegiatan dilakukan secara bulanan oleh penanggung jawab di
Kabupaten/Kota. Dengan demikian, seluruh perkembangan kinerja, baik
kinerja program maupun kegiatan dilaporkan menggunakan sistem monev.
Laporan hasil pemantauan perkembangan capaian kinerja kegiatan
aspek teknis dan manajemen dilakukan secara bulanan dan
dikoordinasikan penanggung jawab di kabupaten/kota. Pelatihan dan
bimbingan teknis petugas pelaporan kinerja kegiatan dikoordinasikan oleh
masing-masing fungsi teknis. Laporan bulanan yang dikirimkan dari
Kabupaten/Kota menjadi bahan analisis di Kabupaten/Kota, Provinsi, dan
Nasional. Hasilnya nanti menjadi rekomendasi yang mengarah pada
pencapaian sasaran kebuntingan. Berikut ditunjukkan alur pelaporan
kinerja hasil monev atas program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi.
Gambar 3
Alur Pelaporan Kinerja Hasil Monev atas Program Inovasi Pelayanan
Berkelanjutan Inseminasi Buatan dan Gangguan Reproduksi Sapi
Pelaksanaan IB dipisahkan berdasarkan sistem pemeliharaan, yaitu
intensif (ternak dipelihara di dalam kandang dan seluruh kebutuhan ternak
disediakan), semi intensif (ternak dipelihara di dalam kandang tetapi pada
siang hari digembalakan), dan ekstensif (ternak dipelihara tidak di dalam
kandang dan biasanya digembalakan). Sistem intensif dan semi intensif
diberlakukan IB secara normal yaitu dilaksanakan di kandang jepit yang
disiapkan peternak, baik secara individu maupun kelompok. Sementara
introduksi IB, hal ini memungkinkan secara vertikal penanggung jawab
wilayah pada jenjang yang lebih tinggi dapat memantau perkembangan di
wilayah yang menjadi tanggungjawabnya secara bersamaan waktu petugas
memasukkan data kinerja. Data yang dilaporkan yakni, jumlah sapi/kerbau
yang telah di IB, bunting, dan beranak.
SIWAB sebagai solusi cerdas swasembada daging sapi yang
diimplementasikan dalam kegiatan Upaya Khusus (UPSUS). Strategi
dalam UPSUS SIWAB adalah Inseminasi Buatan dan Kawin Alam,
Penanggulangan Gangguan Reproduksi, Penyelamatan Sapi betina
produktif, peningkatan Skor kondisi tubuh (Body Condition Score) Sapi,
Pengawalan dan Pendampingan, Penguatan Sistem Data dan Informasi
serta penguatan kelembagaan. Tidak ada cita-cita besar yang dicapai
dengan mudah, perlu perjuangan dan kegigihan untuk menggapainya.
Untuk meraih kesuksesan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan
program harus diselesaikan secara tepat.
Peneliti melakukan wawancara dengan informan IL, selaku
Kepala Dinas Peternakan dan Perkebunan untuk menanyakan perilaku
birokrasi level bawah dilihat dari kegiatan monitoring dan evaluasi dalam
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang. Petikan wawancara
dengan informan:
“Sebagai penanggungjawab program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi maka
pihak dinas melakukan monitoring dan evaluasi yang berkaitan
dengan perkembangan jumlah akseptor yang dikawinkan, jumlah
kebuntingan, dan kelahiran sapi di wilayah tertentu secara harian
oleh petugas di kecamatan secara online” (21 November 2019).
Makna hasil wawancara ini, setiap implementasi dari program
pemerintah perlu dimonitoring dan dievaluasi berkaitan dengan
keberhasilan dan kegagalan yang dapat dinilai. Keberhasilan yang telah
dicapai menjadi penting untuk dipertahankan dan kegagalan yang dialami
menjadi pelajaran untuk diperbaiki dan terus dikembangkan dalam
mengimplementasikan program sesuai dengan harapan.
Selanjutnya peneliti mewawancarai PA selaku penyuluh
pengembangan program untuk menanyakan apa saja bentuk monitoring
dan evaluasi yang diterapkan dalam implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi.
Berikut petikan wawancara dengan informan:
“Telah diintensifkan hal yang berkaitan dengan peningkatan
produksi peternakan dengan terus memberikan pencerahan dan
penyuluhan kepada peternak tentang pentingnya pengembangan
jumlah akseptor yang dikawinkan, jumlah kebuntingan, dan
kelahiran sapi di wilayah tertentu secara harian oleh petugas di
kecamatan secara online. Program ini menjadi tepat untuk
diterapkn kepada para peternak sapi” (22 November
2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai aktivitas
monitoring dan evaluasi menjadi penting untuk diimplementasikan kepada
para peternak yang dilakukan oleh para pelaku level bawah dalam hal ini
penyuluh peternakan dan kelompok peternak untuk memberikan
pencerahan kepada peternak sapi.
Uraian hasil penelitian dan wawancara di atas, menunjukkan
bahwa perilaku birokrasi level bawah dari hasil pengamatan atas
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi telah ditearpkan melalui koordinasi,
penyuluhan, monitoring dan evaluasi atas program dan kegiatan yang di
tingkat kecamatan, desa/kelurahan, RW dan RT). Perilaku birokrasi level
bawah masih perlu mendapat perhatian dalam hal koordinasi dan kegiatan
penyuluhan berupa penambahan fasilitas, penambahan petugas penyuluh,
penambahan anggaran untuk membiayai program. Selain itu, untuk
penerapan monev (monitoring dan evaluasi) saat ini masih bersifat tindak
lanjut atas pelaksaan tupoksi, belum bersifat penguatan dalam melakukan
inovasi pelayanan yang berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi.
3. Perilaku Kelompok Sasaran
Perilaku kelompok sasaran adalah sikap dan tindakan yang
ditunjukkan dalam implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi yang ditujukan kepada
kelompok sasaran yaitu kelompok peternak sasaran penerima manfaat.
Wujud perilaku kelompok sasaran ditentukn oleh aspek perilaku advokasi,
pemeliharaan, simulasi dan partisipatif atas program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi.
a. Perilaku Advokasi
Perilaku advokasi yang dimaksud adalah sebuah perilaku
kelompok sasaran dalam hal ini peternak. Kementerian Pertanian mencoba
merealisasikan program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi dengan menempatkan masyarakarat
peternak melalui kelompok atau individu. Hal ini sangat mendasar karena
menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan, tapi
sebagai subjek pembangunan. Jadi menitikberatkan pada partisipasi
masyarakat baik melalui kelompok maupun dalam pendekatan individu.
Indikasi partisipasi dalam perilaku advokasi tersebut munculnya gairah
dan kreativitas bersama meningkatkan populasi ternak melalui IB.
Konsep pendekatan partisipatif memberikan kesempatan kepada
masyarakat peternak melalui kelompok (organisasi peternak) untuk terlibat
dalam program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan
gangguan reproduksi sapi.
Partisipasi masyarakat peternak melalui kelompok peternak dalam
setiap tahapan program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi sangat penting, karena:
1) Memperlancar program melalui dukungan moral peternak.
2) Peternak merupakan sumber informasi yang sangat berharga untuk
tujuan program.
3) Menumbuhkan rasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap
keberhasilan program.
4) Kelompok peternak dapat lebih berperan dan berfungsi sehingga
mendorong tercapainya tujuan program.
5) Mengurangi kemungkinan kegagalan program, karena dapat
dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan aspirasi para peternak.
Pendekatan yang dimulai dari peternak melalui kelompok peternak,
berarti melaksanakan konsep pendekatan dari bawah atau dari peternak
yang akan menerima manfaat langsung dari program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi. Dengan
pendekatan dari bawah ini, maka peternak ditempatkan sebagai pusat
perhatian.
Peneliti mewawancarai GA selaku penyuluh pengembangan
program untuk menanyakan perilaku advokasi kelompok sasaran yang
diterapkan dalam implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi. Berikut petikan
wawancara dengan informan:
“Sebagai penyuluh peternak sapi, saya selalu melakukan advokasi
pada peternak sapi dalam rangka untuk menumbuhkan gairah dan
kreativitas bersama untuk meningkatkan populasi ternak melalui
inseminasi buatan dan mengatasi gangguan reproduksi sapi,
sehingga pencerahan ini memberikan motivasi bagi perilaku
kelompok sasaran untuk terus meningkatkan produksi sapi” (22
November 2019).
Hasil wawancara ini bermakna bahwa kelompok sasaran
membutuhkan masukan, pencerahan atau rangsangan dalam menjalankan
program pemerintah dalam meningkatkan produksi sapi. Itulah pentingnya
penyuluhan harus dilakukan secara intensif ke kelompok sasaran peternak
sapi untuk mendapatkan inovasi pelayanan inseminasi buatan dan
gangguan reproduksi sapi.
Peneliti kemudian mewawancarai salah seorang peternak sapi yaitu
informan BS untuk menanyakan bagaimana perilaku advokasi dalam
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang. Berikut petikan
wawancara dengan informan:
“Saya sebagai peternak sapi mendapatkan penyuluhan dari para
penyuluh peternakan berupa implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan di mana produksi ternak sapi saya
mengalami peningkatan setiap tahun dengan tingkat reproduksi
ternak sapi subur dan selalu bunting yang memotivasi saya untuk
terus menggeluti usaha peternakan sapi saya” (24 November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai perilaku
kelompok sasaran telah menerima manfaat dari implementasi program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi dari para penyuluh peternakan, yang menyebabkan
produksi ternak sapi meningkat setiap tahun, demikian pula dengan
produksi daging sapi juga mengalami peningkatan.
b. Perilaku Pemeliharaan
Perilaku pemeliharaan pada kelompok sasaran adalah bentuk
pemberdayaan peternak melalui kelompok peternak agar dapat
meningkatkan kualitas hidupnya dan berperan aktif dalam mensukseskan
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi. Pemberdayaan kelompok atau masyarakat (community
empowerment) adalah suatu proses yang bertujuan mengembangkan dan
memperkuat kemampuan masyarakat untuk terus terlibat dalam proses
pembangunan yang berlangsung secara dinamis. Dengan demikian,
masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, serta dapat
mengambil keputusan secara bebas (independent) dan mandiri.
Pendekatan pemberdayaan kelompok peternak dalam program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi menempatkan manusia pada posisi pelaku dan penerima
manfaat dari program. Dengan demikian, masyarakat (peternak) harus
mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang
dihadapi. Pemberdayaan kelompok atau masyarakat bertujuan untuk:
1) Meningkatkan kemampuan kelompok–kelompok masyarakat dalam
berprakarsa untuk menangkap berbagai peluang ekonomi.
2) Mendorong tumbuhnya masyarakat swadaya yang siap berkembang
sendiri dalam mengatasi berbagai kendala/kelemahan yang
dimilikinya.
3) Memperkuat dan mengoptimalkan lembaga-lembaga formal dan
informal di tingkat perdesaan serta meningkatkan partisipasi
masyarakat.
4) Agar kelompok peternak lebih efektif, berkembang dan berdaya,
melalui kelompok peternak, setiap peternak tidak hanya berhadapan
dengan program. Peternak seharusnya memiliki pengetahuan tentang
sistem pengelolaan usaha peternakan. Untuk itu, peternak diajarkan
cara pengolahan sumber daya lokal (sisa hasil pertanian) sebagai bahan
pakan berkualitas, dan pelatihan pemanfaatan sisa hasil peternakan
menjadi pupuk.
Peneliti mewawancarai AR selaku penyuluh pengembangan
program untuk menanyakan perilaku pemeliharaan dalam implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi. Berikut petikan wawancara dengan informan:
“Dalam upaya mengimplementasikan program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi dengan terus memelihara pengembangan program ini dengan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat peternak dengan memperkuat dan melibatkan secara berkelanjutan untuk terlibat dalam kegaitan program ini secara terpadu” (22 November 2019).
Hasil wawancara ini menegaskan bahwa keberhasilan suatu
program inovasi pelayanan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi
sapi sangat ditentukan oleh andil penyuluh untuk selalu berkoordinasi dan
bekerjasama di bidang peternakan dengan melakukan pemeliharaan
melalui pemberdayaan peternak sapi. Ini penting agar setiap kelompok
sasaran memberikan partisipasinya di dalam menyukseskan program
pemerintah guna meningkatkan produksi dan pendapatan peternak.
Peneliti kemudian mewawancarai salah seorang peternak sapi yaitu
informan AS untuk menanyakan bagaimana perilaku pemeliharaan dalam
implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan
dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang. Berikut petikan
wawancara dengan informan:
“Saya sudah menikmati implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi. Kami dibimbing dan terus dimotivasi untuk berpartisipasi aktif dalam peningkatan produksi peternakan. Upaya dalam memelihara dan meningkatkan partisipasi peternak menjadi penting dan perlu ditindaklanjuti untuk memberikan manfaat dan memberikan
peningkatan pendapatan kepada peternak sapi” (24 November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan telah dilakukan dengan terus
memelihara melalui pemberdayaan masyarakat peternak untuk terlibat
langsung dalam kegiatan kebijakan program pemerintah untuk
meningkatkan produksi peternak sapi.
c. Perilaku Simulasi dan Partisipatif
Perilaku simulasi dan partisipatif dari kelompok sasaran dengan
melihat kondisi peternakan rakyat, di mana ditemukan adanya kelompok
ternak yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Peternak (GKP).
Seperti halnya gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam usaha tani
tanaman pangan. Karena itu, untuk lebih mengembangkan dan
memberdayakan kelompok peternak sangat disarankan agar di setiap desa
sebaiknya dibentuk GKP sebagai bentuk perilaku simulasi dan partisipatif.
Organisasi ini merupakan bentuk pengembangan kelembagaan atau
rekayasa kelembagaan yang keberadaannya dapat mewadahi dan
mengintegrasikan semua kelompok peternak. Pembentukan GKP
bertujuan untuk:
1) Mengorganisir Kelompok Peternak untuk melakukan usaha produktif.
2) Melayani kebutuhan usaha individu anggota atau kebutuhan kelompok.
3) Memediasi dan menyelesaikan konflik antar kelompok.
4) Menciptakan dan menjaga keharmonisan.
5) Menjalin kerja sama dengan bank dan lembaga ekonomi lainnya.
Bila kelompok peternak difungsikan pada kegiatan-kegiatan yang
bersifat teknis, maka GKP difungsikan pada kegiatan-kegiatan yang
bersifat bisnis atau usaha bersama peternak. Karena itu, GKP harus
berbadan hukum agar mudah dalam menjalin kerja sama dengan lembaga
keuangan (bank). GKP nantinya dapat memfasilitasi anggota agar dapat
memperoleh pinjaman untuk mengembangkan ternak. Di samping itu,
peternak juga dapat menikmati harga yang sesuai dengan harga pasar.
Pemasaran ternak melalui GKP, sehingga tidak mudah dipermainkan
pihak pedagang ternak. Melalui GKP yang difungsikan sebagai kelompok
usaha, diharapkan dapat mendorong terwujudnya kelembagaan ekonomi
kerakyatan di pedesaan. Keberadaan GKP dapat mendukung kegiatan
ekonomi peternak/petani dan juga menyediakan kebutuhan sarana usaha
tani dan mendistribusikan produksi.
Dalam melakukan usaha bersama ada beberapa kemampuan yang
harus dimiliki pengurus GKP, yaitu:
1) Membangun jaringan kerja sama dengan lembaga keuangan dan
lembaga usaha.
2) Manajemen usaha yakni kemampuan mengatur dan mencari peluang
usaha baru serta memiliki posisi tawar yang kuat dalam memenuhi
permintaan pasar.
3) Manajemen sumber daya yakni kemampuan mengatur sumber daya
organisasi (sumber daya manusia, modal, dan sarana pendukung
lainnya).
Ada beberapa strategi yang dapat dipilih dalam memberdayakan
GKP dalam melakukan usahanya, yaitu:
1) Mengoptimalisasikan sumber daya yang dimiliki, meraih setiap
peluang, serta melakukan perluasan usaha.
2) Melakukan konsolidasi melalui rapat anggota sekali sebulan agar dapat
mengetahui dan mengatasi setiap persoalan.
3) Menyelenggarakan lebih dari satu bidang usaha.
Pembentukan GKP adalah satu upaya me-reempower Kelompok
Peternak yang tentu bertujuan meningkatkan kesejahteraan peternak. Jika
masyarakat dapat merasakan advantages dari usaha peternakan, maka
secara otomatis upaya menyukseskan program akan mudah diraih. Namun,
agar GKP tidak kesulitan dalam mencapai tujuannya, diperlukan intervensi
dan bantuan pemerintah. Terutama terkait dengan kebijakan impor daging
sapi atau bakalan. Untuk meningkatkan pemberdayaan peternak dalam
bidang peternakan, ada beberapa program pokok pemberdayaan peternak,
yaitu:
1) Bantuan langsung masyarakat dengan pengusahaan ternak sapi. Tujuan
utama kegiatan ini adalah pemberdayaan ekonomi.
2) Penguatan kelembagaan kelompok peternak dan peningkatan kualitas
sumber daya melalui kegiatan penyuluhan,pembinaan, temu usaha,
pelatihan-pelatihan. Harapannya, terjadi perubahan pola fikir pelaku
agribisnis menjadi lebih inovatif, kreatif dan mandiri.
3) Promosi investasi dan penggalian sumber–sumber pembiayaan/
permodalan sebagai salah satu usaha mengatasi ketergantungan
anggaran pemerintah dan kemandirian usaha agribisnis peternakan,
baik skala usaha kecil dan menengah. Substansi peningkatan layanan
pembiayaan oleh Lembaga.
4) Penyederhanaan prosedur perijinan dan memperpendek rantai
pemasaran dan tata niaga komoditi peternakan. Kebijakan ini untuk
efisiensi dan pengurangan biaya tinggi dengan memberikan pelayanan
prima terhadap masyarakat dan insan agribisnis.
5) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung produksi peternakan
melalui pembuatan infrastruktur pengelolaan sumber air pada kawasan
peternakan, khususnya lahan kering.
6) Penguatan kelompok dan peningkatan kualitas sumber daya melalui
kegiatan penyuluhan, pembinaan, temu usaha, dan pelatihan. Kegiatan
ini dimaksudkan agar terjadi perubahan pola pikir, menjadi lebih
inovatif, kreatif dan mandiri.
Ternak sapi merupakan salah satu usaha yang dapat terus dilakukan
GKP. Usaha tersebut masih memberikan kontribusi bagi pendapatan
keluarga, khususnya pada pemeliharaan lima sampai delapan ekor sapi.
Meski sebenarnya dalam pendekatan pencapaian standar minimal
kebutuhan hidup keluarga peternak belum memenuhi harapan. Untuk itu,
GKP dan pemerintah perlu berupaya memperbaiki manajemen dan
efisiensi biaya, serta pemberdayaan peternak.
Perlu ditegaskan bahwa kelembagaan merupakan wadah organisasi
bagi peternak untuk melakukan aktivitas usaha agribisnis peternakan. Dari
mulai hulu sampai hilir dan membangun koordinasi dengan stakeholder
terkait. Peranan kelembagaan sebagai simulasi dan partisipatif sangat
penting dan strategis untuk:
1) Mewujudkan hubungan antara peternak dalam jaringan kerja sama
dengan stakeholder.
2) Membangun dan memperkuat kelembagaan untuk mendorong
tumbuhnya usaha agribisnis peternakan yang lebih efisien, efektif dan
sustainable.
3) Membuka peluang untuk memfasilitasi pelaku agribisnis peternakan
agar mampu meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha yang
lebih optimal.
4) Memudahkan akses informasi, teknologi, sarana dan prasarana,
lembaga keuangan dan promosi untuk mendukung pengembangan
usaha agribisnis peternakan.
Peneliti mewawancarai PA selaku penyuluh pengembangan
program untuk menanyakan perilaku simulasi dan partisipatif kelompok
sasaran yang diterapkan dalam implementasi program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi. Berikut
petikan wawancara dengan informan:
“Dinas Peternakan telah berupaya untuk terus melakukan simulasi
dan partisipasi masyarakat peternak untuk meningkatkan produksi
ternak sapi dengan membentuk gabungan kelompok peternak
sebagai bentuk pengembangan kelembagaan yang mewadahi dan
mengintegrasikan kepentingan perilaku kelompok sasaran untuk
meningkatkan produksi dan reproduksi sapi” (22 November 2019).
Hasil wawancara memberikan makna, penyuluh harus berperan
aktif di dalam melakukan berbagai kegiatan simulasi dan partisipasi dalam
setiap kegiatan yang berkaitan dengan produksi ternak sapi. Simulasi dan
partisipasi dilakukan dengan membentuk gabungan kelompok peternak.
Peneliti kemudian mewawancarai salah seorang peternak sapi yaitu
informan UM untuk menanyakan bagaimana perilaku simulasi dan
partisipatif dalam implementasi program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
Berikut petikan wawancara dengan informan:
“Saya telah bergabung dengan kelompok peternak dengan
mengikuti berbagai kegiatan simulasi dan partisipasi yang
berkaitan dengan program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi. Para peternak
termasuk saya sudah merasakan manfaat dan faedah dari program
ini yang secara langsung dapat meningkatkan pendapatan
peternak” (24 November 2019).
Hasil wawancara dengan informan dapat dimaknai implementasi
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi telah diterapkan dalam pembentukan perilaku kelompok
sasaran yang telah merasakan manfaat dan keuntungan dari program ini
dengan terus meningkatkan jumlah populasi sapi dan menurunkan
prevalensi penyakit sapi.
Berdasarkan uraian dan hasil wawancara dengan informan di atas
menunjukkan bahwa perilaku kelompok sasaran telah memperoleh
manfaat dari implementasi program baik secara advokasi, pemeliharaan,
simulasi dan partisipatif. Advokasi yang diterapkan untuk meningkatkan
gairah dan kreativitas antara penyuluh dan peternak untuk bersama-sama
meningkatkan populasi ternal melalui inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi. Pemeliharaan diterapkan dengan memberdayakan
kelompok peternak yang bertujuan mengembangkan dan memperkuat
kemampuan masyarakat untuk terus terlibat dalam proses pembangunan
yang berlangsung secara dinamis. Demikian pula dengan simulasi dan
partisipatif, para peternak tergabung dalam kelompok peternak sebagai
perilaku simulasi dan partisipatif untuk pengembangan kelembagaan yang
mewadahi para peternak dalam setiap program pemerintah.
C. Pembahasan
Pembahasan penelitian dibahas berdasarkan rumusan penelitian untuk
menemukan jawaban secara ilmiah sebagai berikut:
1. Perilaku Antar Organisasi
Kebijakan pemerintah dalam implementasi program inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
menjadi penting dan perlu di dalam meningaktkan produktivitas ternak
sapi di Kabupaten Pinrang. Ini merupakan kebijakan pemerintah
khususnya pada Dinas Peternakan yang melibatkan perilaku antar
organisasi untuk secara bersama-sama menunjukkan sikap dan tindakan
untuk mendukung dan menindaklanjuti bahwa program ini bertujuan untuk
meningkatkan produksi ternak sapi dan menurunkan prevalensi penyakit
pada sapi.
Mewujudkan perilaku antar organisasi dibutuhkan perbaikan atau
pengautan struktur organisasi dari masing-masing instansi terkait. Pihak-
pihak yang terkait dalam implementasi program ini antara lain Dinas
Peternakan, Dinas Kesehatan, Dinas Perdagangan dan perusahaan BUMN
dari lembaga stakeholder lainnya termasuk kelompok peternak untuk
saling mendukung dalam memperkuat kebijakan secara struktural terhadap
pengimplementasian program ini.
Selain itu juga meningkatkan kegiatan kerjasama antar organisasi,
khususnya kerjasama yang dilakukan secara organisasi, unit kerja
organisasi dan kerjasama pengembangan peternakan sapi. Upaya-upaya
dalam mengembangkan perilaku antar organisasi dapat dilakukan dengan
melakukan tukar informasi dan data tentang perkembangan produksi
ternak sapi, dan hal-hal yang berkaitan dengan prevalensi penyakit sapi
untuk dapat ditangani secara bersama-sama. Kerjasama perilaku antar
organisasi sangat membantu di dalam meningkatkan hasil kerja dan kinerja
untuk produksi ternak sapi yang ada di Kabupaten Pinrang.
Upaya dalam mengimplementasikan program kebijakan
pemerintah di bidang peternakan, maka perilaku antar organisasi yang
ditunjukkan yaitu dengan mengembangkan berbagai kepentingan yang
terkait dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing organisasi yang
secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan produksi dan
prevalensi ternak sapi. Masing-masing pihak antar organisasi memiliki
kepentingan untuk memberikan jaminan tersedianya produksi ternak sapi
sepanjang tahun dan peningkatan produksi yang terus meningkat dan
meminimalkan tingkat prevalensi penyakit sapi yang menurun.
Implementasi perialku antar organisasi di bidang peternakan sapi
juga dilakukan antar organisasi untuk tindakan pencapaian tujuan
organisasi. Salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut yaitu
masing-masing organisasi berupaya mengambil bagian dalam
penyelarasan sesuai tugas pokok dan fungsinya untuk menindaklanjuti
peningkatan produksi ternak sapi dan senantiasa mensinkronisasikan dan
mengintegrasikan kegiatan organisasinya dalam rangka meningkatkan
produksi ternak sapi.
Penerapan implementasi perilaku antar organisasi ini sejalan
dengan teori Winter (2010) implementasi diaktualisasikan melalui
pengembangan perilaku antar organisasi dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsi sesuai pencapaian kinerja yang dihasilkan. Teori ini
mengindikasikan pentingnya perilaku antar organisasi dalam kebijakan
pemerintah termasuk yang berkaitan dengan implementasi program
inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi.
2. Perilaku Birokrasi Level Bawah
Mengimplementasikan kebijakan pemerintah melalui program
pemerintah seperti program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi juga diterapkan oleh birokrasi level
bawah alam hal ini pihak penyuluh peternakan dan kelompok peternak
yang secara langsung maupun tidak langsung menerima program tersebut.
Keterlibatan birokrasi level bawah menjadi sangat penting dalam hal
koordinasi, penyuluhan, monitring dan evaluasi mengenai kegiatan
peternakan sapi yang ada di Kabupaten Pinrang.
Perilaku birokrasi level bawah harus diaktualisasikan melalui
koordinasi antar penyuluh dan kelompok peternak di dalam
mensosialisasikan kegaitan pembibitan dan perawatan ternak sapi melalui
pemeriksaan kebuntingan dan melakukan inseminasi buatan serta
mencegah berkembang biaknya prevalensi penyakit sapi. Koordinasi ini
penting dalam mengaktualisasikan program ini sampai kepada kepentingan
dan tujuan dari pemerintah mengadakan program kebijakan ini.
Wujud lain dari perilaku birokrasi level bawah dalam
mengimplementasikan program ini antara pihak penyuluh dan kelompok
peternak yaitu melakukan penyuluhan secara intensif dengan tujuan
memberikan pencerahan, pendampingan, bimbingan dan bantuan
mengenai peningkatan produksi peternakan sapi. Penyuluhan dilakukan
dalam rangka mengembangkan model penyuluhan sesuai dengan
kebutuhan di bidang peternakan dengan memberikan penyuluhan sesuai
ketepatan materi, metode dan media yang digunakan dalam memberikan
penyuluhan kepada peternak.
Selain itu perilaku level bawah dalam menerapkan implementasi
kebijakan pemerintah di bidang peternakan senantiasa melakukan
monitoring dan evaluasi yang berkaitan dengan perkembangan jumlah
akseptor ternak sapi yang telah dikawinkan, jumlah kebuntingan dari hasil
perkawinan dan tingkat kelahiran sapi yang selamat dalam suatu wilayah
tertentu dalam periode harian yang diamati oleh petugas penyuluh dan
kelompok peternak. Kegiatan monitoring dan evaluasi penting untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dan kebijakan pemerintah dalam
mengimplementasikan program tersebut dalam rangka meningkatkan
produksi ternak sapi dan pendapatan peternak.
Teori Winter (2010) perilaku birokrasi level bawah menjadi
penting dan diperlukan dalam implementasi kebijakan pemerintah
terhadap suatu program untuk diaktualisasikan dan ditindaklanjuti oleh
level bawah. Pada kebijakan pemerintah di bidang peternakan yang
menjadi level bawah adalah pihak penyuluh dan kelompok tani yang
membawa program pemerintah level antar organisasi sebagai penjembatan
untuk kelompok sasaran dalam hal ini peternak sapi.
3. Perilaku Kelompok Sasaran
Mengimplementasikan suatu program pemerintah sellau memiliki
sasaran yang ingin dicapai. Perilaku kelompok sasaran merupakan hal
terpenting dari suatu pengimplementasian kebijakan program pemerintah
di dalam aktualisasinya. Kelompok sasaran yang dimaksud adalah orang
yang melaksanakan dan mendapatkan tindakan atas implementasi
kebijakan yang harus dilakukan pemerintah untuk mewujudkan tujuannya.
Perilaku kelompok sasaran dalam hal ini adalah para peternak yang
diberikan bantuan, pendampingan dan penyuluhan yang berkaitan dengan
sikap dan tindakan di dalam melaksanakan implementasi progran inovasi
pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi
melalui kegiatan advokasi, pemeliharaan, simulasi dan partisipatif dalam
rangka meningkatkan produksi ternak.
Advokasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh
penyuluh kepada kelompok sasaran dalam rangka memunculkan gairah
dan kreativitas bersama di dalam memelihara dan beternak sapi dengan
cara-cara yang inovatif melalui inseminasi buatan dan pencegahan
gangguan reproduksi sapi agar populasi ternak sapi meningkat. Advokasi
ini dilakukan secara intensif dengan berbagai program yang tepat sasaran
agar peternak terus bertahan dan berkelanjutan berkecimpung di bidang
peternakan sapi.
Selain aktivitas advokasi, perilaku kelompok sasaran juga terus
ditingkatkan melalui kegiatan pemeliharaan dengan cara memberdayakan
kelompok atau masyarakat peternak melalui proses yang bertujuan
mengembangkan dan memperkuat potensi dalam memelihara ternak sapi
secara dinamis dan berkelanjutan. Aktivitas yang diperuntukkan bagi
kelompok sasaran ini penting di dalam memberikan stimulus dalam rangka
meningkatkan produksi peternakan sapi.
Termasuk perilaku kelompok sasaran yang perlu dibenahi dan
dikembangkan adalah memberikan simulasi dan partisipasi aktif kepada
setiap peternak untuk bergabung secara bersama-sama pada gabungan
kelompok peternak dalam rangka memperkuat kelembagaan dan
keberadaan yang mewadahi integritas peternak sapi untuk meningkatkan
produksinya. Kegiatan simulasi dan partisipasi ini memberikan manfaat
dan efek yang positif dalam kemandirian peternak untuk mampu
meningkatkan produksi ternak sapinya. Simulasi dan partisipasi ini
dilakukan agar seluruh peternak mampu memelihara dan beternak sapi
yang berorientasi pada peningkatan produksi.
Teori Winter (2010) wujud implementasi kelompok sasaran adalah
kegiatan yang berorientasi pada advokasi, pemberdayaan dan partisipasi.
Itulah sebabnya perilaku kelompok sasaran sangat menentukan tujuan
organisasi pemerintah dalam mengimplementasikan program atau kegiatan
pembangunan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Perilaku organisasi dan antar organisasi menentukan keberhasilan
implementasi melalui perbaikan/penguatan struktur organisasi, melakukan
kerjasama antar organisasi, mengembangkan berbagai kepentingan antar
organisasi dan tindakan untuk pencapaian tujuan organisasi dalam hal ini
pemerintah atas pelaksanaan program inovasi pelayanan berkelanjutan
inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
2. Perilaku birokrasi level bawah mendukung implementasi program pada
tingkatan penyuluh penternakan untuk menerapkan koordinasi,
penyuluhan, monitoring dan evaluasi atas program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi di
Kabupaten Pinrang.
3. Perilaku kelompok sasaran menentukan keberhasilan program yang
ditujukan kepada kelompok peternak sapi sebagai sasaran penerima
manfaat sesuai advokasi, pemeliharaan, simulasi dan partisipatif dalam
penyelenggaraan program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi
buatan dan gangguan reproduksi sapi di Kabupaten Pinrang.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, maka saran yang
diberikan sebagai berikut:
1. Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang terus memberikan
dukungan atas program inovasi inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi secara berkelanjutan dengan memberikan penguatan
kelembagaan organisasi secara struktural dan fungsional sesuai tupoksi
pada masing-masing unit kerja.
2. Perlu upaya yang intensif dan kontinyu pada instansi level bawah dalam
hal ini tim penyuluh untuk mensosialisasikan program inovasi pelayanan
berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan reproduksi sapi sesuai
koordinasi, penyuluhan, serta monitoring dan evaluasi program kegiatan.
3. Para peternak terus mendukung kebijakan pemerintah atas pelaksanaan
program inovasi pelayanan berkelanjutan inseminasi buatan dan gangguan
reproduksi sapi, sehingga terus diterapkan untuk menghasilkan ternak
yang berkualitas dan peningkatan produksi daging setiap tahunnya.
DAFTAR PUSTAKA
Apter, Bresnick, 2017. Public Administration. London: ELBS and MacDonald
and Evans.
Aliency, Milton, 2014. The Element of Administration Development, Ithaca:
Cornell University Press.
Pratomosunu, S, 2015. Kebijakan Program Pemerintah Pemberdayaan
Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Djaenuddin, 2014. Pengembangan Kawasan Strategi yang Produktif. Jakarta:
PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Schnider, Goggin, and Ingram, Malcolm L, 2017. Implementation Theory and
Practice, Toward a Third Generation. USA: Scott, Foresman and
Company.
Bantex, Gareth R, 2015, Organizational Administration Theory: Text and Cases.
Addition Wesley Publishing Company, A & M University, Texas.
Garbin, Briyan, 2017. Autonomy in Concept and Theory of Public Policy.
Published by American Press, USA.
Hendrik, Hermanto, 2015. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. (Penyunting:
Darwin Muhadjir). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hasker, Katz, 2017. Foundation of Behavioral Public Policy. New York: Holt,
Rinehart and Winston.
James, Perchy, 2018. Implementation of Service Administration Public. London:
Sage.
Indriyani, Marzuki, 2014. Identifikasi Tantangan Administrasi Publik. Penerbit
Pustakajaya, Jakarta.
Miller, J, 2016. Bureacracy Public Administration: Theory and Practice.
Published by John Wiley and Sons, California.
Nelson, Crozier, 2016. Public Administration as Practice Policy. Oxford:
Capstone.
Marrott, James. P, 2017. Public Policy: An Evolution Administration Approach.
Belmont: Wadswort.
Nugroho, Riant, 2016. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
------------------, 2016. Public Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan
dan Manajemen Kebijakan. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Parawangi, Anwar dan Mappamiring, 2018. Model Implementasi Program
Pemberdayaan Masyarakat Petani Miskin. Laporan Kemajuan Penelitian
Tim Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Quinn, Robert E, 2015. A Competing Values Approach to Organization
Effectivities. New York: Addison Wesley.
Robbins, Stephen P, 2014. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Alih
Bahasa: Jusuf Udaya, Lic., Ec. Penerbit Arcan, Jakarta.
Temmar, R, 2018. Basic Concept of Policy Sciences. New York: Marcel Dekker
Inc.
Nawi, Rusdin, 2018. Reinventing Government dalam Model Analisis Kebijakan
Pelayanan Birokrasi di Indonesia. Jurnal Universitas Satria Makassar.
Winter, Soren C, 2004. Implementation Perspectives: Statue and Reconsideration.
Dalam Peters, B Guy and Pierre, Jon, 2003. Handbook of Public Administration. London: Sage Publications Ltd.
LAMPIRAN
DOKUMENTASI
RIWAYAT HIDUP
BAHARUDDIN, Lahir pada Tanggal 01 Desember
1992 di Bakaru, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi
Selatan. Penulis merupakan anak ke empat dari enam
bersaudara dari pasangan Bahri dan Bahria. Penulis
lulus di SD 155 BAKARU pada tahun 2006, tamat di
SMP NEGERI 2 PARE PARE pada tahun 2019,
Penulis ini lulus di SMK DDI PARE PARE pada tahun 2012. Kemudian penulis
ini melanjutkan kuliah di UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
angkatan 2013. Dan penulis ini memperoleh gelar sarjana S1 (Strata 1) pada
tahun 2020.