Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN KEBIDANAN DI PUSKESMAS MANDAI KABUPATEN MAROS
IMPLEMENTATION MIDWIFERY SERVICE STANDARDS IN
PUSKESMAS MANDAI OF REGENCY MAROS
AGUS SUKOCO
P0907211712
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN KEBIDANAN
DI PUSKESMAS MANDAI KABUPATEN MAROS
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Hukum Kesehatan
Disusun dan diajukan oleh :
AGUS SUKOCO
Kepada
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii
TESIS
IMPLEMENTASI STANDAR PELAYANAN KEBIDANAN
DI PUSKESMAS MANDAI KABUPATEN MAROS
Disusun dan diajukan oleh :
AGUS SUKOCO Nomor Pokok P0907211712
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 20 Agustus 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. Prof. Dr. Hj. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.H. Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program PascaSarjana
Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Marthen Arie, S.H, M.H Prof. Dr. Ir. Mursalim
iv
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Agus Sukoco
Nomor Induk mahasiswa : P0907211712
Program : S2 Hukum Kesehatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Juli 2013
Yang Menyatakan
Agus Sukoco
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena berkat dan bimbingan-Nya, maka Tesis ini dapat diselesaikan.
Penulis. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
memperoleh gelar Magister di bidang Ilmu Hukum pada Program Studi
Hukum Kesehatan Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Penulis sadari tesis ini belum sempurna, karena itu saran dan masukkan
dari berbagai pihak sangat diharapkan, demi kesempurnaan tesis ini.
Selama dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak
mendapat bimbingan, arahan dan bantuan dari semua pihak. Untuk itu,
penulis dengan tulus ikhlas menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H, Selaku Pembimbing I dan
Prof. Dr. Hj. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H.,M.H. sebagai Pembimbing
II yang banyak membimbing, memberi petunjuk, arahan kepada
penulis dalam penyelesaian tesis ini.
2. Prof. Dr. Marianti Ahma Manggau, dan Dr. Maasba Magassing, S.H,
M.H., serta Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H., masing-masing sebagai
komisi penguji, telah banyak memberikan masukkan, petunjuk dan
saran untuk kesempurnaan tesis ini.
3. Prof. Dr. dr. Idrus Patrusi, Sp.PJK, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin bersama Pembantu dekan dan staf telah memberikan
vi
kesempatan bagi penulis untuk mengikuti pendidikan di Unhas
Makassar
4. Prof. Dr. Ir. Mursalim, selaku Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin bersama staf, yang telah memberikan
kesempatan penulis untuk mengikuti pendidikan di S2 ini.
5. Prof. Dr. Aswanto, S.H, M.Si, DFM, selaku Dekan bersama Pembantu
Dekan dan Prof. Dr. Marthen Arie, S.H.,M.H. selaku ketua Program
Magister hukum bersama seluruh staf pengajar/dosen dan pegawai di
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu,
dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menempuh pendidikan S2 hukum Unhas Makassar.
Pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada :
1. Menteri Kesehatan RI. dan Wakil Menteri bersama Dirjen dan Kepala
BPPSDMK, serta staf kementerian kesehatan RI. yang telah membantu
dalam penyediaan dana tugas belajar penulis selama menempuh
pendidikan di fakultas hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan bersama staf yang
telah membantu penulis untuk tugas belajar di fakultas hukum Unhas
Makassar.
3. Bupati Maros dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Maros, serta
staf yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk tugas
belajar di S2 Hukum Unhas Makassar.
vii
4. Orang Tua penulis yang telah mendoakan, memotivasi dan membantu
penulis dalam mencapai keberhasilan selama pendidikan ini. Demikian
pula, kakak-kakak dan adik-adik, serta saudara-saudaraku yang telah
mendukung penulis selama melanjutkan studi S2 Hukum Unhas ini.
5. Secara khusus ucapan terima kasih dan sambil mempersembahkan
Tesis ini kepada istri tercinta dan kukasihi : Muqtashidah dan Anak-
anak tersayang dan kukasihi : Asy Syifa Aulia, Fauzi Ahmad dan
Fadlan Ahmad yang penuh kesabaran, pengharapan dan kesetiaan
berdoa dan menopang penulis selama mengikuti pendidikan di S2
hukum kesehatan Unhas.
6. Teman-teman kelas Hukum Kesehatan (Reguler dan Non Reguler) dan
Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu – persatu yang telah
membantu penulis baik materil maupun moril, selama penulis
menempuh pendidikan di S2 Unhas.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan llmu pengetahuan
hukum khususnya hukum kesehatan bidang keperawatan demi pelayanan
kesehatan masyarakat yang lebih baik. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa
senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingannya kepada kita semua.
Makassar, 20 Agustus 2013
Penulis
Agus Sukoco
viii
ABSTRAK
AGUS SUKOCO, Implementasi Standar Pelayanan Kebidanan di Puskesmas Mandai Kabupaten Maros (dibimbing oleh : Abrar Saleng dan A. Suriyaman Mustari Pide).
Penelitian ini bertujuan : (1) mengetahui sejauh mana implementasi pelayanan kebidanan terhadap ibu hamil, (2) mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan inkonsistensi pada pelayanan kebidanan, dan (3) mengetahui sejauh mana implikasi hukum akibat ketidakmaksimalan pelayanan kebidanan.
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Mandai Kabupaten Maros dengan sampel sebesar 1 orang klien yang bayinya mengalami kematian ketika bersalin dan 16 orang bidan yang diambil secara Purposive Sampling. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum dengan analisis deskriptif, dengan tipe normatif impiris bersifat sosiolegal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus ini implementasi 24 Standar Pelayanan Kebidanan belum dapat dilaksanakan dengan baik terbukti dengan tidak ditaati/dilanggarnya standar 24 : Penanganan Asfiksia Neonatorum yang menyebabkan kematian pada bayi. Faktor yang menyebabkan inkonsistensi pada kebidanan pada kasus ini adalah faktor kedisiplinan ditandai dengan penundaan dalam melakukan rujukan dengan tepat. Implikasi hukum administrasi pada kasus ini yang menyebabkan kematian bayi adalah telah ditegakkannya tindakan administrasi dalam bentuk teguran lisan.
ix
ABSTRACT
AGUS SUKOCO, The Implementation of Midwifery Service Standard in Mandai Health Center of Maros Regency (supervised by Abrar Saleng and A. Suriyaman Mustari Pide)
The aims of the research are to find out (1) to what extent the implementation of midwifery service on pregnant women, (2) factors affecting the inconsistency of midwifery service, and (3) to what extent legal implication of not maximum midwifery service.
The research was in Mandai Health Center of Maros Regency. The samples consisted of one client whose baby was dead when it was born and 16 midwives selected using purposive sampling method. The research was a descriptive legal research with sociolegal normative empirical type.
The results of the research indicate that the implementation of 24-Midwifery Service Standard is not done well as it is proven by disobedience of standard 24, i.e. the handing of Asphyxia Neonatorum which causes death of infants. The factors affecting inconsistency of midwifery in this case is discipline factor, i.e delay in making appropriate reference. The implication of administrative law in this case is the enforcement of administrative action in the form of oral reprimand.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................i
LEMBAR PENGAJUAN TESIS .........................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN .........................iv
PRAKATA .........................................................................................v
ABSTRAK ........................................................................................viii
ABSTRACT .......................................................................................ix
DAFTAR ISI ......................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................5
C. Tujuan Penelitian .........................................................................5
D. Manfaat Penelitian .......................................................................6
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Puskesmas ..........................................................7
B. Pengertian Tentang Pelayanan Kesehatan .................................12
C. Kualitas dan Jaminan Kepuasan Pasien .....................................29
D. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kedisiplinan
Bidan ...........................................................................................31
E. Kompetensi, Profesi dan Kewenangan ........................................37
xi
F. Rekam Medis ...............................................................................40
G. Implikasi Hukum pada Pelayanan Kebidanan .............................43
H. Efektifitas, Kesadaran dan Ketaatan Hukum ...............................71
I. Penegakan Hukum dan Penerapan Sanksi Dalam
Hukum Administrasi Negara ........................................................72
J. Kerangka Pikir .............................................................................75
K. Definisi Operasional ....................................................................76
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Sifat dan Tipe Penelitian ..............................................................78
B. Lokasi Penelitian .........................................................................78
C. Populasi dan Sampel Penelitian ..................................................78
D. Jenis dan Sumber Data ...............................................................79
E. Teknik Pengumpulan Data ..........................................................79
F. Analisis Data ..............................................................................80
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Standar Pelayanan Kebidanan
Terhadap ibu Hamil .....................................................................81
B. Faktor yang Menyebabkan Inkosistensi pada
pelayanan Kebidanan ..................................................................101
C. Implikasi Hukum Adminitrasi terhadap ketidak-
maksimalan pelayanan kebidanan ..............................................103
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ..................................................................................112
xii
B. Saran ...........................................................................................113
DAFTAR PUSTAKA 115
GLOSARIUM 118
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Disiplin Pegawai Negeri
121
2. Model Pengembangan Standar Profesi
132
3. Surat Keterangan Telah Selesai Melaksanakan Penelitian
Dari Kepala Puskesmas Mandai Kabupaten Maros 139
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha
Pemurah bagi pasangan suami isteri yang telah menikah, sudah
sepantasnya dijaga agar bayi yang dilahirkan selamat. Akhir-
akhir ini ditemukan kasus dimana terjadi penolakan bagi
pelayanan kebidanan oleh beberapa rumah sakit yang
mengakibatkan si bayi meninggal dunia. Rumah sakit yang
kehilangan sifat sosialnya akan merugikan masyarakat dan
rumah sakit itu pada akhirnya.
Pelayanan kebidanan harus didasari oleh rasa sosial yang
tinggi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan, Kode Etik serta 24 Standar Pelayanan
Kebidanan. Sudah sepantasnya menjadi pegangan bidan dalam
memberi pelayanan kebidanan.
Salah satu hal yang juga sangat penting kita ketahui sebagai
pengertian-pengertian dasar hukum, adalah pengertian dan
saling hubungan antara nilai, moral/etika, kaidah dan pola
tingkah laku. (Achmad Ali, 2002).
Merupakan rahasia umum bahwa mutu pelayanan
kebidanan di Indonesia terutama yang dilakukan oleh pegawai
2
pemerintah belum dapat memuaskan pasien, salah satunya
dalam bentuk pelanggaran standar.
Pelanggaran ini merupakan pengingkaran terhadap hak-hak
dasar pasien yang sangat merugikan dalam penyampaian
pelayanan kesehatan secara menyeluruh. Penciptaan
pelayanan kesehatan yang bermutu dapat dirusak oleh
penyampaian yang buruk.
Pada saat ini terdapat pergeseran paradigma dalam
hubungan interpersonal di dalam hukum kesehatan, yang
sebelumnya berdasarkan pola hubungan vertikal paternalistik
menjadi pola hubungan horizontal kontaktual.( Harustiati A.
Moein, 2012 ).
Perubahan pada bidang hukum ini kemungkinan dapat
berimbas pada unsur standar pelayanannya.
Perubahan keadaan ini mungkin dapat mempengaruhi
bentuk dan keadaan pelayanan kebidanan khususnya dalam
bidang standar pelayanan. Perubahan ini menuntut bidan untuk
selalu meningkatkan eksistensinya. Penyesuaian diri harus
dilakukan untuk merespon keadaan yang menghendaki
perubahan.
Respon terhadap perubahan akan menentukan eksistensi
bidan terhadap perubahan. Respon ini biasanya dalam bentuk
3
peningkatan pelayanan kebidanan dan penciptaan hubungan
baik dengan pasien.
Salah satu penentu kesuksesan dalam pelayanan kebidanan
adalah kepuasan klien. Penciptaan pelayanan kebidanan yang
lebih profesional akan meningkatkan kepuasan klien.
Untuk dapat menciptakan pelayanan kebidanan yang
profesional harus terlebih dahulu diketahui kebutuhan klien.
Faktor penentu lain adalah cara penyampaian pelayanan.
Penciptaan pelayanan kebidanan yang maksimal dapat dirusak
oleh penyampaian yang buruk. Oleh karena itu konsistenitas,
efektivitas dan efesienitas harus dilaksanakan dalam
pelaksanaannya.
Untuk dapat memberi pelayanan yang berkualitas terhadap
masyarakat seorang bidan membutuhkan standar pelayanan
sebagai standar untuk berperilaku dalam menjalankan
profesinya sekaligus melindunginya dari akibat hukum yang
mungkin akan terjadi .
24 standar pelayanan kebidanan ini merupakan produk dari
standar profesi yang telah dibakukan, menjadi pegangan bidan
dalam menjalankan profesinya.
Puskesmas Mandai adalah puskesmas di kabupaten Maros yang
merupakan puskesmas perawatan yang berkeinginan untuk menjadi
puskesmas perawatan plus.
4
Salah satu bentuk pelayanan itu dalam bentuk pelayanan kebidanan
profesional dengan cara mengidentifikasi dan berusaha memenuhi
kebutuhan kliennya.
Salah satu kasus yang menonjol dan tetap menjadi perbincangan
sampai saat ini adalah tentang meninggalnya seorang bayi dari ibu S (27
tahun) yang diduga terlambat mendapat pelayanan. Kasus ini terjadi pada
tanggal 6 Desember 2010 ketika pada jam 21.00 klien ini datang dengan
keluhan sakit pada perutnya sebagai tanda akan melahirkan setelah
diperiksa dan ternyata bayi yang akan dilahirkan besar, bidan
menganjurkan agar segera dirujuk ke rumah sakit akan tetapi pasien
menolak karena merasa akan segera melahirkan dan memang ketika di
ruang bersalin ternyata kepala bayi sudah keluar dari pintu kelahiran dan
dapat keluar dengan selamat pada jam 01.00 dengan berat 4,6 kg di
tolong oleh bidan senior yang dipanggil melalui telepon seluler meleset
dari perkiraan bidan senior tersebut yaitu pada pagi hari karena terlalu
lama berada dikandungan dan ketuban sudah pecah sehingga bayi
mengalami asifiksia. Bidan segera melakukan pembersihan jalan napas
dan memberikan oksigen pada bayi akan tetapi bidan tidak segera
merujuk ke rumah sakit seperti yang seharusnya dilakukan sesuai dengan
standar 24 : Penanganan Asifiksia Neonatorum yang salah satu
petunjuknya adalah merujuk dengan tepat. Pada subuh hari menurut ibu
bayi terjadi kejadian yang janggal yaitu selang oksigen dicabut tanpa
5
dipasang kembali oleh bidan jaga dengan alasan tidak bisa memasangnya
kembali.
Pada pagi hari ibu bayi sempat menggendong bayinya dengan
keadaan napas yang tersengal-sengal lalu bayi diambil lagi oleh bidan
jaga untuk ditidurkan kembali. Jam 07.00 bidan senior datang untuk ganti
bertugas dan ketika memeriksa bayi tersebut ternyata telah meninggal
tanpa diketahui walaupun begitu bidan senior ini tetap berusaha
melakukan pernapasan buatan.
Menurut bidan yang menangani persalinan, rekam medis klien hilang
saat dikembalikan oleh IBI untuk dilengkapi.
Pelayanan kebidanan profesional ini menjadi tantangan bagi penulis
untuk menelitinya dengan menggunakan 24 standar pelayanan kebidanan
yang sudah ada dalam hubungannya dengan kepuasan klien.
Namun dalam kenyataannya penerapan kualitas pelayanan kebidanan
belum dapat memuaskan klien, sehingga perlu dilakukan evaluasi atas
kualitas pelayanan yang selama ini di terapkan oleh manajemen
kebidanan di Puskesmas Mandai.
Terkait dengan masalah kualitas pelayanan kebidanan di Puskesmas
Mandai membuat penulis tertarik untuk meneliti dalam bentuk penelitian
dengan mengambil judul :
“Implementasi Standar Pelayanan Kebidanan Di Puskesmas Mandai
Kabupaten Maros”
B. Rumusan Masalah
6
1. Sejauh mana implementasi Standar Pelayanan Kebidanan
terhadap ibu hamil ?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya inkonsistensi pada
pelayanan kebidanan ?
3. Sejauh mana implikasi hukum akibat ketidakmaksimalan pelayanan
kebidanan ?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui implementasi Standar Pelayanan
Kebidanan di bagian kebidanan Puskesmas Mandai Kabupaten
Maros.
1. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pelayanan kebidanan
terhadap ibu hamil.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan inkosistensi pada
pelayanan kebidanan.
3. Untuk mengetahui sejauh mana implikasi hukum akibat
ketidakmaksimalan pelayanan kebidanan .
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktisi
Mengharapkan bagian dari tulisan dan hasil penelitian ini,
menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah yang biasanya
muncul pada aspek pelayanan kebidanan.
2. Manfaat Ilmiah
7
Hasil penelitian ini merupakan informasi ilmiah dan referensi
dilaksanakannya upaya pelayanan berkualitas yang dapat
memberikan kepuasan pada klien.
3. Manfaat pada Institusi Pelayanan
Hasil penelitian ini dapat merupakan bahan perbandingan
dalam upaya melakukan perbaikan bentuk pelayanan pada
semua aspek, khususnya pada pelayanan kebidanan.
4. Manfaat bagi Institusi Pendidikan Kebidanan
Salah satu tolak ukur bidan yang profesional adalah standar
pelayanan kebidanan, hasil penelitian ini merupakan salah satu
referensi bahwa standar pelayanan kebidanan sangat perlu
didalam mendidik calon bidan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Puskesmas
Merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
128/Menkes/Sk/Ii/2004 tanggal 10 Februari 2004 tentang
Puskesmas yaitu :
1. Pengertian
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan
kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
a. Unit Pelaksana Teknis
Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota (UPTD), puskesmas berperan
menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit
pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan
kesehatan di Indonesia.
b. Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya
kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
optimal.
9
c. Penanggungjawab Penyelenggaraan
Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya
pembangunan kesehatan diwilayah kabupaten/kota adalah
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas
bertanggungjawab hanya sebagian upaya pembangunan
kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.
d. Wilayah Kerja Secara nasional
Standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan,
tetapi apabiladi satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu
puskesmas, maka tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar
puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep
wilayah(desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas
tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Visi
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju
terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah
gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin
dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat
yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
10
bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Indikator Kecamatan Sehat
yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama yakni:
a) Lingkungan sehat
b) Perilaku sehat
c) Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu
d) Derajat kesehatan penduduk kecamatan
Rumusan visi untuk masing-masing puskesmas harus
mengacu pada visi pembangunan kesehatan puskesmas di atas
yakni terwujudnya Kecamatan Sehat, yang harus sesuaidengan
situasi dan kondisi masyarakat serta wilayah kecamatan
setempat.
3. Misi
Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan
kesehatan nasional. Misi tersebut adalah:
a. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah
kerjanya. Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor
lain yang diselenggarakan diwilayah kerjanya, agar memperhatikan
aspek kesehatan, yakni pembangunan yang tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-tidaknya terhadap
lingkungan dan perilaku masyarakat.
11
b. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di
wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap
keluarga dan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya
makin berdaya di bidang kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan
dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.
c. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Puskesmas akan selalu
berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan standar dan memuaskan masyarakat, mengupayakan
pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi
pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau olehseluruh anggota
masyarakat.
d. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu berupaya
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat tinggal
di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan
kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dilakukan puskesmas
mencakup pula aspek lingkungan dari yang bersangkutan.
4. Tujuan
12
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarkan oleh
puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan
pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas agar
terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam
rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010.
5. Fungsi
1) Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan. Puskesmas
selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan
pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia
usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung
pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas aktif memantau
dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap
program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk
pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah
mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit
tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
2) Pusat pemberdayaan masyarakat. Puskesmas selalu berupaya agar
perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat
termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan
melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif
dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk
13
pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan
memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan
perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan
memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya
masyarakat setempat.
3) Pusat pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas
bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat
pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab
puskesmas meliputi:
a. Pelayanan kesehatan perorangan Pelayanan kesehatan
perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private goods)
dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan
kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan
kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan
tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah
dengan rawat inap.
b. Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat
publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi
kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan,
14
perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga
berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan
masyarakat lainnya.
(Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
128/Menkes/Sk/Ii/2004 tanggal 10 Februari 2004)
B. Pengertian Tentang Pelayanan Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien
dibanding kepentingan lainnya.
Pelayanan kedokteran adalah pelayanan yang ditandai
dengan cara pengorganisasian yang bersifat sendiri (solo
practice) atau secara bersama-sama dengan tujuan utama
menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan dan
sasarannya terutama perseorangan atau keluarga.(Azrul Azwar,
2003).
Pelayanan Kesehatan Masyarakat adalah pelayanan yang
ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya
bersama-sama dalam satu organisasi dengan tujuan utama
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
15
penyakit yang sasarannya terutama untuk kelompok dan
masyarakat.( Azrul Azwar,2003 ).
Mutu pelayanan adalah pelayanan kesehatan yang menunjukan pada
tingkat kesempurnaan pelayanan yang disatu sisi dapat memberikan
kepuasan pada pasien dan pada sisi lain tatacara penyelenggaraannya
sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah
ditetapkan.
Menurut Kepmenkes 369 tahun 2007 tentang standar profesi bidan,
Pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh bidan yang telah terdaftar (teregister) yang
dapat dilakukan secara mandiri, kolaborasi atau rujukan.
Pelayanan Kebidanan merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan, yang diarahkan untuk mewujudkan
kesehatan keluarga, sesuai dengan kewenangan dalam rangka
tercapainya keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Sasaran pelayanan kebidanan adalah individu, keluarga,
dan masyarakat yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan,
penyembuhan dan pemulihan pelayanan kebidanan dapat
dibedakan menjadi :
1) Layanan Primer ialah layanan bidan yang sepenuhnya menjadi
tanggung jawab bidan.
16
2) Layanan Kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan sebagai
anggota tim yang kegiatannya dilakukan secara bersamaan atau
sebagai salah satu dari sebuah proses kegiatan pelayanan kesehatan.
3) Layanan Rujukan adalah layanan yang dilakukan oleh bidan dalam
rangka rujukan ke sistem layanan yang lebih tinggi atau sebaliknya
yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam menerima rujukan
dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan yang dilakukan
oleh bidan ke tempat/fasilitas pelayanan kesehatan lain secara
horizontal maupun vertikal atau meningkatkan keamanan dan
kesejahteraan ibu serta bayinya.
Ikatan Bidan Indonesia menetapkan 24 standar pelayanan
kebidanan yaitu :
Standar Pelayanan Kebidanan meliputi 24 standar, yang
dikelompokan menjadi 5 bagian besar yaitu :
a. Standar Pelayanan Umum (2 standar)
b. Standar Pelayanan Antenatal (6 standar)
c. Standar Pelayanan Persalinan (4 standar)
d. Standar Pelayanan Nifas (3 standar)
e. Standar Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri-neonatal (9
standar)
17
a. Dua Standar Pelayanan Umum
1) Standar 1 : Persiapan Untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Bidan memberikan penyuluhan dan nasehat kepada
perorangan, keluarga dan masyarakat terhadap segalan hal
yang berkaitan dengan kehamilan, termasuk penyuluhan
kesehatan umum (gizi, KB, kesiapan dalam menghadapai
kehamilan dan menjadi calon orang tua, persalinan dan nifas).
Tujuannya adalah memberikan penyuluhan kesehatan yang
tepat untuk mempersiapkan kehamilan yang sehat dan
terencana serta menjadi orang yang bertanggung jawab. Dan
hasil yang diharapkan dari penerapan standar 1 adalah
masyarakat dan perorangan dapat ikut serta dalam upaya
mencapai kehamilan yang sehat. Ibu,keluarga dan masyarakat
meningkat pengetahuannya tentang fungsi alat-alat reproduksi
dan bahaya kehamilan pada usia muda.Tanda-tanda bahaya
kehamilan diketahui oleh masyarakat dan ibu.
2) Standar 2 : Pencatatan Dan Pelaporan
Bidan melakukan pencatatan dan pelaporan semua kegiatan
yang dilakukannya, yaitu registrasi semua ibu hamil diwilayah
kerja, rincian pelayanan yang diberikan kepada ibu
hamil/bersalin/nifas dan bayi baru lahir, semua kunjungan
rumah dan penyuluhan kepada masyarakat. Disamping itu,
bidan hendaknya mengikut sertakan kader untuk mencatat
18
semua ibu hamil dan meninjau upaya masyarakat yang
berkaitan dengan ibu dan bayi baru lahir . Bidan meninjau
secara teratur catatan tersebut untuk menilai kinerja dan
penyusunan rencana kegiatan untuk meningkatkan
pelayanannya. Tujuan dari standar 2 ini yaitu mengumpulkan,
menggunakan dan mempelajari data untuk pelaksanaan
penyuluhan , kesinambungan pelayanan dan penilaian kerja.
Hal-hal yang dapat dilakukan bidan untuk dapat melakukan
pencatatan dan pelaporan yang maksimal adalah sebagai
berikut :
Bidan harus bekerjasama dengan kader dan pamong setempat
agar semua ibu hamil dapat tercatat
Memberikan ibu hamil KMS atau buku KIA untuk dibawa pulang .
Dan memberitahu ibu agar membawa buku tersebut setiap
pemeriksaan.
Memastikan setiap persalinan , nifas, dan kelahiran bayi tercatat
pada patograf.
Melakukan pemantauan buku pencatatan secara berkala .
Dan lain-lain.
Hasil yang diharapkan dari dilakukannya standar ini yaitu
terlaksananya pencatatan dan pelaporan yang baik. Tersedia
data untuk audit dan pengembangan diri, meningkatkan
19
keterlibatan masyarakat dalam kehamilan , kelahiran bayi dan
pelayanan kebidanan.
b. Enam Standar Pelayanan Antenatal
1) Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Bidan melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan
masyarakat secara berkala untuk memberikan penyuluhan dan
motivasi ibu , suami dan anggota keluarganya agar mendorong
ibu untuk memeriksakan kehamilannya sejak dini dan secara
teratur. Adapun tujuan yang diharapkan dari penerapan standar
ini adalah mengenali dan memotivasi ibu hamil untuk
memeriksakan kehamilannya.
Kegiatan yang dapat dilakukan bidan untuk mengidentifikasi
ibu hamil contohnya sebagai berikut :
Bidan melakukan kunjungan rumah dan penyuluhan secara teratur.
Bersama kader bidan memotivasi ibu hamil.
Lakukan komunikasi dua arah dengan masyarakat untuk
membahas manfaat pemeriksaan kehamilan.
Dan lain-lain.
Hasil yang diharapkan dari standar ini adalah ibu dapat
memahami tanda dan gejala kehamilan. Ibu, suami, anggota
masyarakat menyadari manfaat pemeriksaan kehamilan secara
dini dan teratur.meningkatkan cakupan ibu hamil yang
memeriksakan diri sebelum kehamilan 16 minggu.
20
2) Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Bidan hendaknya paling sedikit memberikan 4 kali pelayanan
Antenatal. Pemeriksaan meliputi anamnesis dan pemantauan
ibu dan janin dengan seksama untuk menilai apakah
perkembangan berlangsung normal.bidan juga harus bisa
mengenali kehamilan dengan risti/kelainan, khususnya anemia,
kurang gizi, hipertensi, PMS/infeksi HIV; memberikan pelayanan
imunisasi, nasehat dan penyuluhan kesehatan serta tugas
terkait lainnya yang diberikan oleh puskesmas. Tujuan yang
diharapkan dari standar ini adalah bidan mampu memberikan
pelayanan Antenatal berkualitas dan deteksi dini komplikasi
kehamilan.
Adapun hasil yang diharapkan yaitu ibu hamil mendapatkan
pelayanan Antenatal minimal 4 kali selama kehamilan.
Meningkatnya pemanfaatan jasa bidan oleh masyarakat.
Deteksi dini dan penanganan komplikasi kehamilan. Ibu hamil,
suami, keluarga dan masyarakat mengenali tanda bahaya
kehamilan dan tahu apa yang harus dilakukan. Mengurus
transportasi rujukan, jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
3) Standar 5 : Palpasi abdominal
Bidan harus melakukan pemeriksaan abdomen secara
seksama dan melakukan palpasi untuk memperkirakan usia
kehamilan. Bila umur kehamilan bertambah, memeriksa posisi,
21
bagian terendah, masuknya kepala janin kedalam rongga
panggul, untuk mencari kelainan dan untuk merujuk tepat waktu.
Tujuan dari dilakukannya standar ini adalah memperkirakan usia
kehamilan, pemantauan pertumbuhan janin, penentuan letak,
posisi dibagian bawah janin.
Hasil yang diharapkan yaitu bidan dapat memperkirakan usia
kehamilan, diagnosis dini kelainan letak, dan merujuk sesuai
kebutuhan. Mendiagnosis dini kehamilan ganda dan kelainan,
serta merujuk sesuai dengan kebutuhan.
4) Standar 6 : Pengelolaan Anemia pada Kehamilan
Bidan melakukan tindakan pencegahan anemia, penemuan,
penanganan dan rujukan semua kasus anemia pada
kehamialan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tujuan dari
standar ini adalah bidan mampu menemukan anemia pada
kehamilan secara dini, melakukan tindak lanjut yang memadai
untuk mengatasi anemia sebelum persalinan berlangsung.
Tindakan yang bisa dilakukan bidan contohnya ,
memeriksakan kadar Hb semua ibu hamil pada kunnjungan
pertama dan minggu ke 28. Memberikan tablet Fe pada semua
ibu hamil sedikitnya 1 tablet selama 90 hari berturut-turut. Beri
penyuluhan gizi dan pentingnya konsumsi makanan yang
mengandung zat besi, dan lain - lain. Hasil yang diharapkan dari
pelaksanaan standar ini yaitu jika ada ibu hamil dengan anemia
22
berat dapat segera dirujuk, penurunan jumlah ibu melahirkan
dengan anemia, penurunan jumlah bayi baru lahir dengan
anemia/BBLR.
5) Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi Pada Kehamilan
Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan
darah pada kehamilan dan mengenali tanda gejala preeklamsia
lainnya, serta mengambil tindakan yang tepat dan merujuknnya.
Tujuan dari dilakukannya standar ini yaitu bidan dapat
mengenali dan menemukan secara dini hipertensi pada
kehamilan dan melakukan tindakan yang diperlukan. Adapun
tindakan yang dapat dilakukan bidan yaitu rutin memeriksa
tekanan darah ibu dan mencatatnya. Jika terdapat tekanan
darah diatas 140/90 mmHg lakukan tindakan yang diperlukan.
Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan standar ini adalah
ibu hamil dengan tanda preeklamsia mendapat perawatan yang
memadai dan tepat waktu. Penurunan angka kesakitan dan
kematian akibat eklamsia.
6) Standar 8 : Persiapan Persalinan
Bidan memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil,
suami atau keluarga pada trimester III memastikan bahwa
persiapan persalinan bersih dan aman dan suasana
menyenangkan akan direncanakan dengan baik, disamping
23
persiapan transportasi dan biaya untuk merujuk, bila tiba-tiba
terjadi keadaan gawat darurat. Bidan mengusahakan untuk
melakukan kunjungan ke setiap rumah ibu hamil untuk hal ini.
Tujuan dari dilakukannya standar ini adalah untuk memastikan
bahwa persalinan direncanakan dalam lingkungan yang aman
dan memadai dengan pertolongan bidan terampil.
Hasil yang diharapkan adalah ibu hamil, suami dan keluarga
tergerak untuk merencanakan persalinan yang bersih dan
aman. Persalinan direncanakan di tempat yang aman dan
memadai dengan pertolongan bidan terampil. Adanya persiapan
sarana transportasi untuk merujuk ibu bersalin,jika perlu.
Rujukan tepat waktu telah dipersiapkan bila diperkirakan .
c. Empat Standar Pelayanan Persalinan
1) Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala Satu
Bidan menilai secara tepat bahwa persalinan sudah mulai,
kemudian memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai,
dengan memperhatikan kebutuhan ibu, selama proses
persalinan berlangsung. Bidan juga melakuakan pertolongan
proses persalinan dan kelahiran yang bersih dan aman, dengan
sikap sopan dan penghargaan terhadap hak pribadi ibu serta
memperhatikan tradisi setempat. Disamping itu ibu diijinkan
memilih orang yang akan mendampinginya selam proses
persalinan dan kelahiran.
24
Tujuan dari dilakukannya standar ini yaitu untuk memberikan
pelayanan kebidanan yang memadai dalam mendukung
pertolongan persalinan yang bersih dan aman untuk ibu bayi.
Hasil yang diharapkan adalah ibu bersalin mendapatkan
pertolongan yang aman dan memadai. Meningkatnya cakupan
persalinan dan komplikassi lain yang ditangani oleh tenaga
kesehatan. Berkurangnya kematian/kesakitan ibu bayi akibat
partus lama.
2) Standar 10 : Persalinan Kala Dua Yang Aman
Bidan melakukan pertolongan persalinan bayi dan plasenta
yang bersih dan aman, dengan sikap sopan dan penghargaann
terhadap hak pribadi ibu serta memperhatikan tradisi setempat.
disamping itu ibu diijinkan untuk memilih siapa yang akan
mendampinginya saat persalinan.
Tujuan dari diterapkannya standar ini yaitu memastikan
persalinan yang bersih dan aman bagi ibu dan bayi.
Hasil yang diharapkan yaitu persalinan dapat berlangsung
bersih dan aman. Meningkatnya kepercayaan masyarakat
kepada bidan. Meningkatnya jumlah persalinan yang ditolong
oleh bidan. Menurunnya angka sepsis puerperalis.
3) Standar 11 : Penatalaksanaan Aktif Persalinan Kala Tiga
Secara aktif bidan melakukan penatalaksanaan aktif
persalinan kala tiga. Tujuan dilaksanakannya standar ini yaitu
25
membantu secara aktif pengeluaran plasenta dan selaput
ketuban secara lengkap untuk mengurangi kejadian perdarahan
pasca persalinan kala tiga, mencegah terjadinya atonia uteri dan
retensio plasenta.
Adapaun hasil yang diharapkan yaitu menurunkan terjadinya
perdarahan yang hilang pada persalinan kala tiga. Menurunkan
terjadinya atonia uteri, menurunkan terjadinya retensio plasenta,
memperpendek waktu persalinan kala tiga, da menurunkan
perdarahan post partum akibat salah penanganan pada kala
tiga.
4) Standar 12 : Penanganan Kala Dua Dengan Gawat Janin Melalui
Episiotomi
Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat janin pada
kala dua, dan segera melakukan episiotomi dengan aman untuk
memperlancar persalinan, diikuti dengan penjahitan perineum.
Tujuan dilakukannya standar ini adalah mempercepat
persalinan dengan melakukan episiotomi jika ada tanda-tanda
gawat janin pada saat kepala janin meregangkan perineum.
Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kejadian asifiksia
neonaturum berat. Penurunan kejadian lahir mati pada kala dua
.
d. Tiga Standar Pelayanan Nifas
1) Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir
26
Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk
memastikan pernafasan spontan, mencegah asifiksia,
menemukan kelainan , dan melakukan tindakan atau merujuk
sesuai kebutuhan. Bidan juga harus mencegah atau menangani
hipotermi dan mencegah hipoglikemia dan infeksi.
Tujuannya adalah menilai kondisi bayi baru lahir dan
membantu dimulainya pernafasan serta mencegah hipotermi,
hipoglikemi dan infeksi.
Dan hasil yang diharapkan adalah bayi baru lahir
menemukan perawatan dengan segera dan tepat. Bayi baru
lahir mendapatkan perawatan yang tepat untuk dapat memulai
pernafasan dengan baik.
2) Standar 14 : Penanganan pada dua jam pertama setelah
persalinan
Bidan melakukan pemantauan ibu dan bayi terhadap
terjadinya komplikasi paling sedikit selama 2 jam setelah
persalinan, serta melakukan tindakan yang diperlukan.
Disamping itu, bidan memberikan penjelasan tentang hal-hal
yang mempercepat pulihnya kesehatan ibu, dan membantu ibu
untuk memulai pemberian ASI.
Tujuannya adalah mempromosikan perawatan ibu dan bayi
yang bersih dan aman selama persalinan kala empat untuk
memulihkan kesehatan ibu dan bayi. Meningkatan asuhan
27
sayang ibu dan sayang bayi. Memulai pemberian ASI dalam
waktu 1 jam pertama setelah persalinan dan mendukung
terjadinya ikatan batin antara ibu dan bayinya.
3) Standar 15 : Pelayanan Bagi Ibu dan Bayi Pada Masa Nifas
Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas di
puskesmas dan rumah sakit atau melakukan kunjungan ke
rumah pada hari ke-tiga, minggu ke dua dan minggu ke enam
setelah persalinan, untuk membantu proses penatalaksanaan
tali pusat yang benar, penemuan dini, penatalaksanaan atau
rujukan komplikasi yang mungkin terjadi pada masa nifas, serta
memberikan penjelasan tentang kesehatan secara umum,
kebersihan perorangan, makanan bergizi, asuhan bayi baru lahir
, pemberian ASI , imunisasi dan KB.
Tujuannya adalah memberikan pelayanan kepada ibu dan
bayi sampai 42 hari setelah persalinan dan memberikan
penyuluhan ASI eksklusif.
e. Sembilan Standar Penanganan Kegawatan Obstetri Dan Neonatal
1) Standar 16 : Penanganan Perdarahan Dalam Kehamilan Pada
Trimester Tiga.
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala perdarahan
pada kehamilan serta melakukan pertolongan pertama dan
merujuknya.
28
Tujuan dari dilakukannya standar ini adalah mengenali dan
melakukan tindakan secara tepat dan cepat perdarahan pada
trimester tiga.
Hasil yang diharapkan dari kemampuan bidan dalam
menerapkan standar ini adalah ibu yang mengalami perdarahan
kehamilan trimester tiga dapat segera mendapatkan
pertolongan, kematian ibu dan janin akibat perdarahan pada
trimester tiga dapat berkurang, dan meningkatnya pemanfaatan
bidan sebagai sarana konsultasi ibu hamil.
2) Standar 17 : Penanganan Kegawatdaruratan pada Eklamsia
Bidan mengenali secara tepat dan gejala eklamsia
mengancam, serta merujuk dan/atau memberikan pertolongan
pertama.
Tujuan dilaksanakan satandar ini adalah mengenali tanda
gejala preeklamsia berat dan memberikan perawatan yang tepat
dan memadai. Mengambil tindakan yang tepat dan segera
dalam penanganan kegawat daruratan bila eklamsia terjadi.
Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kejadian eklamsia.
Ibu hamil yang mengalami preeklamsia berat dan eklamsia
mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Ibu dengan
tanda-tanda preeklamsia ringan mendapatkan perawatan yang
tepat. Penurunan kesakitan dan kematian akibat eklamsia.
29
3) Standar 18 : Penanganan Kegawatdaruratan Pada Partus Lama /
macet
Bidan mengenali secara tepat tanda gejala partus
lama/macet serta melakukan penanganan yang memadai dan
tepat waktu untuk merujuk untuk persalinan yang aman.
Tujuannya adalah untuk mengetahui segera dan
penanganan yang tepat keadaan darurat pada partus
lama/macet.
Hasil yang diharapkan yaitu mengenali secara dini tanda
gejala partus lama/macet serta tindakan yang tepat.
Penggunaan patograf secara tepat dan seksama untuk semua
ibu dalam proses persalinan. Penurunan kematian/kesakitan ibu
dan bayi akibat partus lama/macet.
4) Standar 19 : Persalinan Dengan Menggunakan Vakum Ekstraktor
Bidan hendaknya mengenali kapan waktu diperlukan
menggunakan ekstraksi vakum, melakukan secara benar dalam
memberikan pertolongan persalinan dengan memastikan
keamanan bagi ibu dan janinnya.
Tujuan penggunaan vakum yaitu untuk mempercepat
persalinan dalam keadaan tertentu. Hasil yang diharapkan yaitu
penurunan kesakitan atau kematian akibat persalinan lama. Ibu
mendapatkan penanganan darurat obstetric yang cepat.
30
5) Standar 20 : Penanganan Kegawat daruratan Retensio Plasenta
Bidan mampu mengenali retensio plasenta dan memberikan
pertolongan pertama, termasuk plasenta manual dan
penanganan perdarahan, sesuai dengan kebutuhan. Tujuannya
adalah mengenali dan melakukan tindakan yang tepat ketika
terjadi retensio plasenta .
Hasil yang diharapkan ialah penurunan kejadian retensio
plasenta. Ibu dengan retesio plasenta mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat. Penyelamatan ibu dengan
retensio plasenta meningkat.
6) Standar 21 : Penanganan Perdarahan Post Partum Prime
Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam
24 jam pertama setelah persalinan dan segera melakukan
pertolongan pertama kegawat daruratan untuk mengendalikan
perdarahan. Tujuan nya adalah bidan mampu mengambil
tindakan pertolongan kegawat daruratan yang tepat pada ibu
yang mengambil perdarahan post partum primer/ atonia uteri.
Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kematian dan
kesakitan ibu akibat perdarahan post partum primer.
Meningkatkan pemanfaatan pelayanan bidan. Merujuk secara
dini pada ibu yang mengalami perdarahan post partum primer.
7) Standar 22 : Penanganan Perdarahan Post Partum Sekunder
31
Bidan mampu mengenali secara tepat dan dini gejala
perdarahan post partum sekunder, dan melakukan pertolongan
pertama untuk penyelamatan jiwa ibu, dan/atau merujuk.
Tujuannya adalah mengenali gejala dan tanda perdarahan post
partum sekunder serta melakukan penanganan yang tepat
untuk menyelamatkan jiwa ibu.
Hasil yang diharapkan yaitu kematian dan kesakitan akibat
pendarahan post partum sekunder menurun. Ibu yang
mempunyai resiko mengalami perdarahan post partum
sekunder ditemuka secara dini dan segera diberi penanganan
yang tepat.
8) Standar 23 : Penanganan Sepsis puerperalis
Bidan mampu menangani secara tepat tanda dan gejala
sepsis puerperalis, melakukan perawatan dengan segera
merujuknya. Tujuannya adalah mengenali tanda dan gejala
sepsis puerperalis dan mengambil tindakan yang tepat. hasil
yang diharapkan yaitu ibu dengan sepsis puerperalis
mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Penurunan
angka kesakitan dan kematian akibat sepsis puerperalis.
Meningkatnya pemanfaatan bidan dalam pelayanan nifas.
9) Standar 24 : Penanganan Asifiksia Neonatorum
Bidan mengenali secara tepat bayi baru lahir dengan
asifiksia, serta melakukan tindakan secepatnya, memulai
32
resusitasi, mengusahakan bantuan medis, merujuk bayi baru
lahir dengan tepat dan memberikan perawatan lanjutan yang
tepat.
Tujuan yang diharapkan yaitu mengenal dengan tepat bayi
baru lahir dengan asifiksia, mengambil tindakan yang tepat dan
melakukan pertolongan kegawatdaruratan.(Ikatan Bidan
Indonesia).
C. Kualitas dan Jaminan Kepuasan Pasien
Jasa adalah merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak
kasat mata dari suatu pihak kepada pihak lain. (Freddy Rangkuti,2003).
Sikap adalah merupakan hasil evaluasi yang mencerminkan rasa suka
atau tidak suka terhadap objek. (Freddy Rangkuti,2003).
Crosby (1979) menyatakan bahwa kualitas adalah conformance to
requirement, yaitu sesuai dengan apa yang disyaratkan atau yang
distandarkan. Suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan
standar kualitas yang telah ditentukan.
Feigenbaum (1986) menyatakan bahwa kualitas adalah kepuasan
pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction). Suatu produk
berkualitas apabila dapat memberi kepuasan sepenuhnya kepada
konsumen, yaitu sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen atas
suatu produk.
33
Sedangkan kualitas menurut Garvin dan Davis (1999) adalah suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja,
proses dan tugas serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan
konsumen. kecepatan tanpa kualitas adalah sia-sia. Kualitas merupakan
suatu keharusan dalam pengukuran pelayanan.
Kualitas adalah totalitas dari wujud, ciri suatu barang/ jasa yang
didalamnya terkandung pengertian rasa aman atau pemenuhan
kebutuhan akan penggunanya. Kualitas pelayanan sebuah Rumah Sakit
harus ditempatkan pada urutan paling depan oleh Rumah Sakit.
Pengemasan kualitas pelayanan yang akan diberikan kepada pasien
harus dapat diterima oleh pasien itu sendiri artinya pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan dan tersedia pada
setiap saat dibutuhkan, tidak bertentangan dengan keyakinan dan
kepercayaan masyarakat, karena pelayanan kesehatan yang
bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan
kepercayaan masyarakat serta bersifat tidak wajar bukanlah pelayanan
yang baik. (Asrul Azwar,2003).
Kualitas jasa adalah penyampaian jasa yang melebihi tingkat
kepentingan pelanggan atau pasien. (Freddy Rangkuti,2003).
Kepuasan adalah kesenangan yang diperoleh karena hasrat hati dan
harapannya terpenuhi. (Freddy Rangkuti,2003).
34
Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang seseorang sebagai
hasil dari perbandingan antara persepsi yang dirasakan dan yang
diharapkan. (Freddy Rangkuti,2003).
Kepuasan adalah respon pasien terhadap evaluasi ketidak sesuaian
yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual yang
dirasakan setelah pelayanan. (Fandy Tjiptono, 2000).
Sesungguhnya Visi dan Misi puskesmas bila disimpulkan bertujuan
untuk mencapai kepuasan klien.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kedisiplinan Bidan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun
2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
(1) Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri
Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau
peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar
dijatuhi hukuman disiplin.
35
Menurut Handoko (2010 : 209-211) dalam Jerry
Makawimbang pada umumnya ada tiga tipe pembinaan disiplin
pegawai atau disebut juga jenis disiplin, yaitu :
1. Disiplin Preventif
Kegiatan manajemen yang dilaksanakan untuk mendorong
para pegawai agar mengikuti berbagai standar atau aturan,
sehingga penyelewengan-penyelewengan dapat dicegah.
Sasaran pokok dan disiplin diri diantara para karyawan.
Disiplin preventif adalah tindakan yang mendorong para
karyawan untuk taat kepada berbagai ketentuan yang berlaku
dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Artinya melalui
kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan
dan perilaku yang diinginkan dan setiap anggota organisasi
diusahakan pencegahan jangan sampai para karyawan
berperilaku negatif. Manajemen mempunyai tanggung jawab
untuk menciptakan suatu iklim disiplin preventif dimana berbagai
standar diketahui dan dipahami, sehingga jika karyawan tidak
mengetahui standar apa yang dicapai, mereka cenderung
menjadi salah arah. Disamping itu, manajemen hendaknya
menetapkan standar secara positif bukan secara negatif, seperti
jaga keamanan jangan ceroboh. Mereka biasanya juga perlu
mengetahui alasan yang melatar belakangi suatu standar
agar mereka dapat memahami.
36
2. Disiplin Korektif
Kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran
terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari
pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Sasaran pokok dan
kegiatan ini adalah untuk memperbaiki pelanggaran,
untuk menghalangi para pegawai lain melakukan kegiatan-
kegiatan yang serupa dan untuk menjaga berbagai standar
kelompok yang tetap konsisten dan efektif. Kegiatan disiplin
yang korektif sering berupa hukuman dan disebut
tindakan pendisiplinan. Agar tindakan pendisiplinan tersebut
akan efektif maka penerapannya harus konsisten, karena
konsisten adalah kegiatan dan keadilan. Disiplin korektif
merupakan kegiatan yang diambil untuk
menangani pelanggaran terhadap aturan dan mencoba untuk
menghindari penyimpangan lebih lanjut. Kegiatan korektif sering
berupa suatu bentuk hukuman dan disebut tindakan
pendisiplinan, misalnya tindakan pendisiplinan dapat berupa
peringatan atau skorsing, Sasaran tindakan pendisiplinan
hendaknya positif, bersifat mendidik dan mengoreksi, bukan
tindakan negatif yang menjatuhkan karyawan yang berbuat
salah. Maksud pendisiplinan adalah untuk memperbaiki
kegiatan di waktu mendatang bukan menghukum kegiatan
dimasa lalu. Pendekatan negatif yang bersifat menghukum
37
biasanya mempunyai pengaruh sampingan yang merugikan,
seperti emosional terganggu, absensi meningkat, apatis atau
kelesuan,dan takut pada penyelia yang melakukan bimbingan
dan memberikan nasihat langsung kepada bawahan. Berbagai
sasaran tindakan pendisiplinan, seperti untuk memperbaiki
pelanggar, untuk menghalangi para karyawan yang lain
melakukan kegiatan yang serupa, dan untuk menjaga berbagai
standar kelompok tetap konsisten dan efektif.
3. Disiplin progresif
Disiplin progresif berarti memberikan hukuman yang lebih
berat terhadap pelanggaran yang berulang, dengan tujuan
kepada pegawai untuk mengambil tindakan korektif sebelum
hukuman yang lebih serius dilaksanakan. Disiplin progresif juga
memungkinkan atasan langsung untuk membantu pegawai
memperbaiki kesalahan dengan memberikan teguran secara
lisan, ataupun tertulis dan lebih dari itu memberikan skorsing
dan pekerjaan mulai satu sampai tiga hari atau menurunkan
pangkatnya atau demosi dan jika tidak ada perubahan maka
dilakukan proses pemecatan. Dengan demikian tindakan
pendisiplinan selalu atas dasar tingkat berat atau kerasnya
hukuman dan untuk pelanggaran serius tertentu biasanya
dikecualikan dan disiplin progresif. Disiplin juga harus
diterapkan dengan konsisten, karena merupakan bagian penting
38
keadilan, ini berarti bahwa karyawan yang melakukan kesalahan
yang sama hendaknya diberikan hukuman yang sama pula.
Kurangnya konsistensi akan menyebabkan para pegawai
merasa tidak diperlakukan secara adil. Pendisiplinan harus tidak
bersifat pribadi, sama denghan peringatan terhadap sesuatu
secara darurat yang perlu penanganan segera. Disiplin yang
efektif akan menghindarkan kegiatan pegawai yang
salah, bukan menyalahkan pegawai sebagai orang, karena ada
perbedaan antara penerapan suatu hukuman bagi pekerjaan
yang tidak dilaksanakan dan pemanggilan seorang pegawai
yang bermalas-malasan.
(http://id.scribd.com/doc/78752942/Disiplin-Pegawai-Negeri-Sipil,
diakses jam 11.17 tanggal 12-6-2013)
Perilaku manusia didorong oleh motif tertentu sehingga
manusia berperilaku.
Ada beberapa teori tentang perilaku (Bimo Waigito, 2010)
antara lain :
1. Teori insting
Teori ini dikemukakan oleh McDougall sebagai pelopor dari
psikologi sosial, yang menerbitkan buku psikologi sosial yang
pertama kali, dan mulai saat itu psikologi sosial menjadi
pembicaraan yang cukup menarik (lihat. Baron dan Byrne, 1984;
Crider, 1983). Menurut McDaugall perilaku itu disebabkan
39
karena insting, dan McDougall mengajukan suatu daftar insting.
Insting merupakan perilaku yang innate, perilaku yang bawaan,
dan insting akan mengalami perubahan karena pengalaman.
Pendapat McDougall ini mendapat tanggapan yang cukup tajam
dari F. Allport yang menerbitkan buku Psikologi Sosial pada
tahun 1924, yang berpendapat bahwa perilaku manusia itu
disebabkan karena banyak faktor, termasuk orang-orang yang
ada di sekitarnya dengan perilakunya (Lihat. Baron dan Byrne,
1984).
2. Teori Dorongan (Drive Theory)
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organism itu
mempunyai dorongan-dorongan atau drive tertentu. Dorongan-
dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme
yang mendorong organisme berperilaku. Bila organisme itu
mempunyai kebutuhan, dan organisme ingin memenuhi
kebutuhannya maka akan terjadi ketegangan dalam diri
organisme itu. Bila organisme berperilaku dan dapat memenuhi
kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi
dari dorongan-dorongan tersebut. Karena itu teori ini menurut
Hull (lihat. Crider, 1983; Hergenhahn, 1976) juga disebut teori
drive reduction.
3. Teori Insentif (Incentive Theory)
40
Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa perilaku
organisme itu disebabkan karena adanya insentif. Dengan
insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku.
Insentif atau juga disebut sebagai reinforcement ada yang positif
dan ada yang negatif. Reinforcement yang positif adalah
berkaitan dengan hadiah, sedangkan reinforcement yang
negatif berkaitan dengan hukuman. Reinforcement yang positif
akan mendorong organisme dalam berbuat, sedangkan
reinforcement yang negatif akan dapat menghambat dalam
organisme berperilaku. Ini berarti bahwa perilaku timbul karena
adanya insentif atau reinforcement. Perilaku semacam ini
dikupas secara tajam dalam psikologi belajar.
4. Teori atribusi
Teori ini ingin menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku
orang. Apakah perilaku itu disebabkan oleh disposisi internal
(misal : motif, sikap, dan sebagainya) ataukah oleh keadaan
eksternal. Teori ini dikemukakan oleh Frits Heider (lihat. Baron
dan Byrne, 1984) dan teori ini menyangkut lapangan psikologi
sosial. Pada dasarnya perilaku manusia itu dapat atribusi
internal, tetapi juga dapat atribusi eksternal. Mengenai hal ini
lebih lanjut akan dibicarakan dalam psikologi sosial.
5. Teori kognitif
41
Apabila seseorang harus memilih perilaku mana yang mesti
dilakukan, maka pada umumnya yang bersangkutan akan
memilih alternatif perilaku yang akan membawa manfaat yang
sebesar-besarnya bagi yang bersangkutan. Ini yang disebut
sebagai model subjective expected utility (SEU) (lihat. Fishbein
dan Ajzen, 1075). Dengan kemampuan memilih ini berarti faktor
berpikir berperan dalam menentukan pilihannya. Dengan
kemampuan berpikir seseorang akan dapat melihat apa yang
telah terjadi sebagai bahan pertimbangannya di samping
melihat apa yang dihadapi pada waktu sekarang dan juga dapat
melihat ke depan apa yang akan terjadi dalam seseorang
bertindak. Dalam model SEU kepentingan pribadi yang
menonjol. Tetapi dalam seseorang berperilaku kadang-kadang
kepentingan pribadi dapat disingkirkan.
E. Kompetensi, Profesi dan Kewenangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 ayat (10) Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap
individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan
sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Menurut Winsley (1964), Profesi adalah suatu pekerjaan yang
membutuhkan badan ilmu sebagai dasar untuk pengembangan teori yang
sistematis guna menghadapi banyak tantangan baru, memerlukan
42
pendidikan dan pelatihan yang cukup lama, serta memiliki kode etik
dengan fokus utama pada pelayanan.
(http://cia-worls.blogspot.com/2013/07/model-pengembangan-standar-
profesi.html diakses jam 20.37 tanggal 15-7-2013)
Menurut Prayudi (1986, 78) dalam Jum Anggriani ada
perbedaan antara pengertian kewenangan (Authority, gezag)
dan wewenang (Competence, bevoegheid).
Kewenangan adalah: Apa yang disebut kekuasaan formal,
yaitu kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi
oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan eksekutif
administratif.
Kewenangan biasanya terdiri dari beberapa wewenang. .
Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-
orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang
pemerintahan. Contohnya: kewenangan di bidang kehakiman
atau kekuasaan mengadili yang disebut kompetensi/yurisdiksi.
Sedangkan yang dimaksud wewenang adalah: Kekuasaan
untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. Contoh:
wewenang menandatangani/menerbitkan surat- surat izin dari
seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan
kewenangannya tetap berada di tangan menteri (biasa disebut
delegasi wewenang). (Jum Anggriani , Hukum Administrasi
Negara, Graha Ilmu, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2012).
43
Sumber wewenang dalam Jum Anggraini adalah :
1. Atribusi
Menurut Rosjidi Ranggawidjadja (1998, 18) pengertian
atribusi adalah : Pemberian kewenangan kepada
badan/lembaga /pejabat negara tertentu yang diberikan oleh
pembentuk Undang-Undang Dasar maupun penbentuk Undang-
Undang. Dalam hal ini berupa penciptaan wewenang baru untuk
dan atas nama yang diberi wewenang tersebut. Jadi atribusi
merupakan kewenangan baru yang diberikan oleh peraturan
perundang- undangan. Kewenangan atribusi biasanya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar dalam bentuk pembagian
kekuasaan negara.
2. Delegasi (delegasi kewenangan)
Menurut Indroharto (1999, 91) adalah : pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan TUN yang
telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara
atributif kepada badan atau pejabat TUN lainnya. Jadi suatu
delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.
Jadi dapat kita artikan bahwa delegasi kewenangan adalah :
pelimpahan atau penyerahan kewenangan yang telah ada dari
badan/ lembaga/pejabat negara kepada
badan/lembaga/pejabat negara yang lain. Atau lebih ringkasnya,
delagasi adalah : pemindahan atau pengalihan suatu
44
kewenangan dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih
rendah.
Yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa : kewenangan
itu semula ada pada badan/lembaga/pejabat yang menyerahkan
atau melimpahkan wewenang tersebut (delegans). Dengan
adanya penyerahan tersebut, maka kewenangan dan
tanggungjawab beralih kepada penerima kewenangan
(delegetaris), jadi tidak diciptakan wewenang baru.
3. Sub Delegasi
Jika kewenangan yang diperoleh melalui delegasi
dilimpahkan kepada badan/lembaga/pejabat TUN yang lebih
rendah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab
atas namanya sendiri. Jadi sub delegasi adalah : pelimpahan
atau pengalihan kewenangan dan tanggungjawab kepada
badan pemerintah lain.
4. Mandat atau pemberian kuasa (mandaatsverlening)
Philipus Hadjon (1997, 130) mengatakan bahwa di dalam
mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau
pengalihtangan kewenangan.
Sependapat dengan Philipus Hadjon, Indroharto (1999, 92)
juga berpendapat bahwa dalam mandat tidak ada sama sekali
suatu pemberian wewenang baru atau pelimpahan wewenang
dari badan atau pejabat TUN yang satu kepada yang lain,
45
sehingga tidak terjadi perubahan mengenai distribusi
kewenangan yang telah ada. Yang ada hanya suatu hubungan
intern antara atasan dan bawahan.
Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan, tetapi
tidak sama dengan delegasi, karena mandataris (penerima
Mandat) dalam melaksanakan kekuasaannya tidak bertindak
atas namanya sendiri, tetapi atas nama si pemberi kuasa,
karenanya yang bertanggungjawab adalah si pemberi kuasa.
F. Rekam Medis
Pada tahun 1988 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan
Pernyataan IDI tentang Rekam Medis/Kesehatan (Medical Record) melalui
Lampiran SK PB IDI No. 315/PB/A.4/88 yang antara lain berisi hal-hal
sebagai berikut :
1. Rekam medis/kesehatan adalah rekam dalam bentuk tulisan atau
gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan
medis/kesehatan kepada seorang pasien.
2. Rekam medis/kesehatan meliputi ; identitas lengkap pasien, catatan
tentang penyakit (diagnosis, terapi, pengamatan pejalanan penyakit),
catatan dari pihak ketiga, hasil pemeriksaan laboratorium, foto rontgen,
pemeriksaan USG, dan lain-lain serta resume.
3. Rekam medis/kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi
seluruhnya paling lambat 48 jam setelah pasien pulang atau
meninggal.
46
4. Dalam hal dokter memberikan perintah melalui telepon kepada
perawat, perawat senior yang berhak menerima perintah tersebut
harus membaca ulang catatan tentang perintah tersebut dan bila ada
kesalahan dokter harus melakukan koreksi. Dalam waktu paling
lambat 24 jam, dokter yang memberi perintah harus menandatangani
catatan tersebut.
5. Perubahan tehadap rekam medis harus dilakukan dalam lembar
khusus yang harus dijadikan satu dengan dokumen untuk rekam medis
lainnya.
6. Rekam medis harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayanan
profesional yang tinggi, untuk kepentingan dokter pengganti yang
meneruskan perawatan pasien, untuk referensi masa datang, dan
untuk memenuhi hak pasien.
7. Oleh karena itu, rekam medis wajib ada baik di rumah sakit,
puskesmas atau balai kesehatan maupun praktik dokter
pribadi/perorangan atau praktik berkelompok.
8. Rekam medis hanya boleh disimpan di rumah sakit, fasilitas kesehatan
lainnya dan dokter praktik pribadi/kelompok, karena rekam medis
adalah milik sarana pelayanan kesehatan tersebut di atas.
9. Pemilik isi rekam medis adalah pasien, maka dalam hal pasien
tersebut menginginkannya dokter yang merawat harus
mengutarakannya kepada pasien baik secara lisan ataupun tertulis.
47
10. Pemaparan isi kandungan rekam medis hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang bertanggung jawab dalam perawatan pasien yang
bersangkutan. Dan pemaparan tesebut hanya boleh dilakukan untuk :
Pasien yang bersangkutan;
Kepada konsumen (misalnya asuransi kesehatan);
Kepentingan pengadilan (permintaan pemaparan harus ditujukan
kepada kepala rumah sakit).
11. Lama penyimpanan berkas rekam medis adalah 5 tahun dari tanggal
terakhir pasien berobat atau dirawat dengan catatan selama lima tahun
pasien yang bersangkutan tidak pernah lagi berkunjung untuk berobat.
Dalam hal rekam medis yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
khusus, maka lama penyimpanan berkas dapat ditetapkan lain.
12. Setelah batas waktu 5 tahun sesuai dengan butir 11 tersebut
terlampaui, maka berkas rekam medis boleh dimusnahkan.
13. Rekam medis merupakan berkas yang perlu dirahasiakan. Oleh karena
itu, sifat kerahasiaan harus selalu dijaga oleh setiap petugas yang
menangani rekam medis.
G. Implikasi Hukum pada Pelayanan Kebidanan.
Pada kasus ini selain hukum dan perundang-undangan yang tersebut
diatas juga melibatkan hukum dan perundang-undangan dibawah ini :
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 23
48
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan
wajib memiliki izin dari pemerintah.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya
setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap.
49
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464
/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Pratik Bidan.
Pasal 3 ayat (1) Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan wajib memiliki SIKB.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1796 Tahun 2011 tentang
Registrasi Tenaga Kesehatan
Pasal 2
(1) Setiap tenaga kesehatan yang akan menjalankan pekerjaannya
wajib memiliki STR.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai
dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
a) Mewawancarai pasien;
b) Memeriksa fisik dan mental pasien;
c) Menentukan pemeriksaan penunjang;
d) Menegakkan diagnosis;
e) Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f) Melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g) Menulis resep obat dan alat kesehatan;
h) Menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
50
i) Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j) Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang
praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2052/Menkes/Per/X/2011Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan
Praktik Kedokteran
Pasal 23
(1) Dokter atau dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi kepada perawat, bidan
atau tenaga kesehatan tertentu lainnya secara tertulis dalam
melaksanakan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan di mana
terdapat kebutuhan pelayanan yang melebihi ketersediaan dokter
atau dokter gigi di fasilitas pelayanan tersebut.
(3) Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan ketentuan:
a. Tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan
keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan;
b. Pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah
pengawasan pemberi pelimpahan;
51
c. Pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atas tindakan
yang dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai
dengan pelimpahan yang diberikan;
d. Tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk mengambil
keputusan klinis sebagai dasar pelaksanaan tindakan; dan
tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat terus menerus.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
290/Menkes/Per/Iii/2008
Pasal 2
(2) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran wajib membuat rekam medis.
52
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 269/Menkes/Per/Iii/2008 Tentang Rekam Medis
Pasal 12
(1) Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.
(2) Isi rekam medis merupakan milik pasien.
(3) Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
bentuk ringkasan rekam medis.
(4) Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diberikan. dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang
diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga
pasien yang berhak untuk itu.
Pada kasus ini pelanggaran yang menyebabkan terjadinya
implikasi hukum bermula dari pelanggaran etika yang dilakukan
oleh bidan berupa tidak dilaksanakannya kewajiban bidan
terhadap hak-hak klien.
Etika berasal dari bahasa Yunani “ ethos” dalam bentuk
tunggal, atau “etha“ dalam bentuk jamak atau plural. (Soekidjo
Notoatmojo, 2010).
Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara
mengenai nilai dan norma yang menentukan perilaku manusia
dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat
menekankan pedekatan yang kritisl dalam melihat dan
menggumuli nilai dari norma moral tersebut serta
53
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan
nilai dan norma moral itu. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan
rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan
mewujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik
secara pribadi maupun sebagai kelompok. (Burhannuddin
Salam, 2002).
Tugas Etika: Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai
kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat
dari segi baik dan buruknya tingkah laku tersebut. Etika
bertugas memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut
: Atas dasar hak apa orang menuntut kita untuk tunduk terhadap
norma-norma yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan, dan
sebagainya? Bagaimana kita bisa menilai norma-norma
tersebut? Pertanyaan seperti ini timbul karena hidup kita
seakan-akan terentang dalam suatu jaringan norma – norma.
Jaringan ini seolah-olah membelenggu kita, mencegah kita dari
bertindak sesuai keinginan kita, memaksa kita berbuat apa yang
sebenarnya kita benci. (Juhaya S Praja, 2010).
Kode etik kebidanan merupakan suatu pernyataan
komprehensif profesi yang menuntut bidan melaksanakan pratik
kebidanan baik yang berhubungan dengan kesejahteraan
keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi, dan dirinya.
54
Penerapan kode etik kebidanan harus dilakukan dalam Kongres
Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
Kode Etik Kebidanan Dunia
Kode etik kebidanan internasional menghargai perempuan
berdasarkan HAM, mencari keadilan bagi semua dalam
memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan, dan
didasarakan atas hubungan yang saling menguntungkan
dengan penuh hormat, saling percaya dan bermartabat bagi
seluruh anggota masyarakat. Operasionalisasi kode etik
kebidanan meliputi hubungan dengan perempuan sebagai klien,
praktik kebidanan, kewajiban profesi, peningkatan pengetahuan
dan praktik kebidanan.
1) Hubungan dengan perempuan sebagai klien :
a. Bidan menghormati hak pilih perempuan berdasarkan pada
informasi dan meningkatkan penerimaan tanggung jawab
perempuan atas hasil dan pilihannya.
b. Bidan bekerja dengan perempuan, mendukung hak mereka untuk
berpartisipasi aktif dalam memutuskan pelayanan bagi diri mereka
dan kesehatan perempuan serta keluarganya di masyarakat.
c. Bidan bekerja sama dengan perempuan, pemerintah, dan lembaga
donor untuk menilai kebutuhan perempuan terhadap pelayanan
55
kesehatan serta menjamin pengalokasian sumber daya secara adil
dengan mempertimbangkan prioritas dan ketersediaan.
d. Bidan dalam profesinya, mendukung dan saling membantu dengan
yang lain dan secara aktif menjaga diri dan martabat mereka
sendiri.
e. Bidan bekerja sama dengan profesi kesehatan lain, berkonsultasi,
dan melakukan rujukan bila perempuan memerlukan asuhan di luar
kompentensi bidan.
f. Bidan mengenal adanya saling ketergantungan dalam memberi
pelayanan dan secara aktif memecahkan konflik yang ada.
g. Bidan berkewajiban atas diri mereka sebagai manusia bermoral,
termasuk tugas untuk menghormati diri sendiri dan menjaga nama
baik.
2) Pratik kebidanan :
a. Bidan memberi asuhan kepada ibu dan keluarga yang mengasuh
anak, disertai sikap menghormati keberagaman budaya dan
berupaya untuk menghilangkan praktik yang berbahaya.
b. Bidan memberi harapan nyata suatu persalinan terhadap ibu di
masyarakat, dengan maksud, minimal tidak ada ibu yang menderita
akibat konsepsi atau persalinan.
c. Bidan harus menetapkan pengetahuan profesi untuk menjamin
persalinan yang aman.
56
d. Bidan merespons kebutuhan psikologis, fisik, emosi, dan spiritual
ibu yang mencari pelayanan kesehatan, apa pun kondisinya.
e. Bidan bertindak sebagai role model (panutan) dalam promosi
kesehatan untuk ibu sepanjang siklus hidupnya, keluarga, dan
profesi kesehatan lain.
f. Bidan secara aktif meningkatkan kemampuan intelektual dan
profesi sepanjang karir kebidanan dan memadukan peningkatan
tersebut ke dalam praktik mereka.
3) Kewajiban profesi bidan:
a. Bidan menjamin kerahasiaan informasi klien dan bertindak
bijaksana dalam menyebarkan informasi tersebut.
b. Bidan bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan mereka
berdasarkan hasil asuhan bagi ibu.
c. Bidan diperkenankan untuk menolak berpartisipasi dalam kegiatan
yang bertentangan dengan moral, akan tetapi, bidan perlu
menumbuhkan kesadaran individu untuk tidak mengabaikan
pelayanan kesehatan esensial bagi ibu.
d. Bidan memahami akibat buruk pelanggaran etik dan hak asasi
manusia (HAM) bagi kesehatan ibu dan anak, dan menghindari
pelanggaran ini.
e. Bidan berpartisipasi dalam pembangunan dan pelaksanaan
kesehatan yang mempromosikan kesehatan ibu dan keluarga yang
mengasuh anak.
57
4) Peningkatan pengetahuan dan pratik kebidanan:
a. Bidan menjamin bahwa peningkatan pengetahuan kebidanan
dilandasi oleh aktivitas yang melindungi hak wanita sebagai
manusia.
b. Bidan mengembangkan dan berbagi pengetahuan melalui berbagai
proses, seperti peer review dan penelitian.
c. Bidan berpartisipasi dalam pendidikan formal mahasiswa
kebidanan dan bidan.
Adapun kode etik bidan Indonesia adalah sebagai berikut :
Isi Kode Etik Bidan Indonesia
Mukaddimah
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorong oleh
keinginan luhur demi tercapainya:
a. Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945,
b. Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,
c. Tingkat kesehatan yang optimal bagi warga negara Indonesia
Maka Ikatan Bidan Indonesia sebagai organisasi profesi
kesehatan yang menjadi wadah persatuan dan kesatuan para
bidan di Indonesia menciptakan kode etik Bidan Indonesia yang
disusun atas dasar penekanan keselamatan klien diatas
kepentingan lainnya. Terwujudnya kode etik ini merupakan
bentuk kesadaran dan kesungguhan hati setiap bidan untuk
58
memberi pelayanan kesehatan secara profesional dan sebagai
anggota tim kesehatan secara professional, demi tercapainya
cita-cita pembangunan nasional di bidang kesehatan pada
umumnya, KIA/KB,dan Kesehatan Keluarga pada khususnya.
Selain itu, tugas sentral para bidan adalah mengupayakan
segala sesuatunya agar kaumnya, pada detik-detik yang sangat
menentukan menyambut kelahiran insan generasi secara
selamat, aman dan nyaman. Dengan menelusuri tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang terus
meningkat sesuai dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai
sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat, sudah
sewajarnya kode etik bidan ini berdasarkan Pancasila dan
UUD1945 sebagai landasan ideal dan Garis-Garis Besar Haluan
Negara sebagai landasan operasional.
Sesuai dengan wewenang dan peraturan kebijaksanaan
yang berlaku bagi bidan, kode etik ini merupakan pedoman
dalam tata cara dan keselarasan dalam pelaksanaan pelayanan
profesional.
Bidan senantiasa berupaya memberikan pemeliharaan
kesehatan yang komprehensif terhadap remaja putri, wanita pra
nikah, wanita pra hamil, ibu hamil, ibu melahirkan, ibu menyusui
bayi, dan balita pada khususnya, sehingga mereka tumbuh
berkembang menjadi insan Indonesia yang sehat jasmani dan
59
rohani dengan tetap memerhatikan kebutuhan pemeliharaan
kesehatan bagi keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Bab I
Kewajiban Terhadap Klien Dan Masyarakat
1) Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya.
2) Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra
bidan.
3) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman
pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan
klien, keluarga dan masyarakat.
4) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan
klien,menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat.
5) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan
kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang
sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya.
6) Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam
hubungan pelaksanaan tugasnya, dengan mendorong partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan secara optimal.
60
Bab II
Kewajiban Bidan Terhadap Tugasnya
1) Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap
klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi
yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan
masyarakat.
2) Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai
kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk
keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.
3) Setiap bidan harus menjamin kerahasian keterangan yang dapat dan
atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan
atau diperlukan sehubungan kepentingan klien.
Bab III
Kewajiban Bidan Terhadap Sejawat Dan Tenaga Kesehatan
Lainnya
1) Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya
untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
2) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati
baik terhadap teman sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
Bab IV
Kewajiban Bidan Terhadap Profesinya
61
2) Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra
profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan
memberikan pelayan yang bermutu kepada masyarakat.
3) Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan
kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4) Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan
kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra
profesinya.
Bab V
Kewajiban Bidan Terhadap Diri Sendiri
1) Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat
melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
2) Setiap bidan harus berusaha secara terus-menerus untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bab VI
Kewajiban Bidan Terhadap Pemerintah Nusa, Bangsa Dan Tanah
Air
1) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan
ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya
dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan masyarakat.
62
2) Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan
pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu jangkauan
pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan
keluarga.
Penutup
Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari
senantiasa menghayati dan mengamalkan Kode Etik Bidan
Indonesia.
Penjelasan Kode Etik Kebidanan
Bab I : Kewajiban Bidan Terhadap Klien dan Masyarakat
1) Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya.
a. Bahwa bidan harus melakukan tugasnya berdasarkan tugas dan
fungsi bidan yang telah ditetapkan sesuai dengan prosedur ilmu
dan kebijakan yang berlaku dengan penuh kesungguhan dan
tanggung jawab.
b. Bahwa bidan dalam melakukan tugasnya, harus memberi
pelayanan yang optimal kepada siapa saja, dengan tidak
membedakan pangkat, kedudukan, golongan, bangsa dan agama.
c. Bahwa bidan dalam melakukan tugasnya, tidak akan menceritakan
kepada orang lain dan merahasiakan segala yang berhubungan
dengan tugasnya.
63
d. Bidan hanya boleh membuka rahasia pasien/kliennya apabila
diminta untuk keperluan kesaksian pengadilan.
2) Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra
bidan.
a. Bahwa pada hakikatnya mnusia termasuk klien membutuhkan
penghargaan dan pengakuan hakiki baik dari golongan masyarakat
intelektual, menengah maupun kelompok masyarakat kurang
mampu. Oleh karena itu, bidan harus menunjukkan sikap yang
manusiawi (sabar, lemah lembut dan ikhlas) dalam memberi
pelayanan.
b. Dilandasi sikap menghargai martabat setiap insan, maka bidan
harus memberi pelayanan profesional yang memadai kepada setiap
kliennya.
c. Profesional, artinya memberi pelayanan sesuai dengan bidang ilmu
yang dimiliki dan manusiawi secara penuh, tanpa mementingkan
kepentingan diri sendiri tetapi mendahulukan kepentingan klien
serta menghargai klien sebagaimana bidab menghargai dirinya
sendiri.
d. Bidan dalam memberi pelayanan, harus menjaga citra bidan,
artinya bidan sebagai profesi memiliki nilai-nilai pengabdian yang
sangat esensial, yaitu bahwa jasa yang diberikan kepada kliennya
adalah suatu kebajikan social, karena masyarakat akan merasa
64
sangat dirugikan atas ketidakhadiran bidan. Pengabdian dan
pelayanan bidan adalah dorongan hati nurani yang tidak
mendahulukan balas jasa.
3) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa berpedoman
pada peran, tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan kebutuhan
klien, keluarga dan masyarakat.
a. Bidan dalam melaksanakan pelayanannya, harus sesuai dengan
tugas dan kewajiban yang telah digariskan dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1464 / Menkes /Per /X /2010.
Memberi penerangan dan penyuluhan baik di RS, puskesmas,
RB, posyandu, rumah praktik bidan dan masyarakat.
Melaksanakan bimbingan pada tenaga kesehatan yang lebih
rendah termasuk pembinaan dukun-dukun bersalin.
Melayani kasus ibu mulai dari pengawasan kehamilan,
pertolongan persalinan normal, termasuk persalinan letak
sungsang multipara, melakukan episiotomy, penjahitan luka
perineum tingkat I dan tingkat II.
Perawatan nifas dan menyusui termasuk pemberian uterotonika.
Memberi pelayanan kontrasepsi tertentu sesuai dengan
kebijaksanaan pemerintah / program pemerintah yang sedang
dilaksanakan.
b. Melayani bayi dan anak prasekolah termasuk pengawasan
pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak, pemberian
65
vaksinasi sesuai dengan usia, melaksanakan perawatan bayi dan
memberi petunjuk kepada ibu tentang makanan bayi, termasuk
cara menyusui yang baik dan benar serta makanan tambahan
sesuai dengan usia anak.
c. Memberi obat-obatan tertentu dalam bidang kebidanan sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi pasien.
d. Mengadakan konsultasi dengan profesi kesehatan lainnya dalam
kasus-kasus yang tidak dapat diatasi sendiri.
Kehamilan resiko tinggi, termasuk versi luar dan digital pada
kasus digital.
Pertolongan persalinan sungsang primigravida dan pertolongan
cunam atau ekstraktorvakum pada kepala di dasar panggul.
Pertolongan masa nifas dengan pemberian antibiotik pada
infeksi baik secara oral maupun suntikan.
Memberi pertolongan kedaruratan melalui pemberian infus guna
mencegah syok dan mengatasi pendarahan pascapersalinan
termasuk pengeluaran uri dengan manual.
Mengatasi kedaruratan eklamsi dan mengatasi infeksi bayi baru
lahir.
e. Bidan melaksanakan perannya di tengah kehidupan masyarakat.
Berperan sebagai penggerak peran serta masyarakat dengan
menggali dan membangkitkan peran aktif masyarakat.
66
Berperan sebagai motivator yang dapat memotivasi masyarakat
untuk berubah dan berkembang kea rah per akal, per rasa dan
perilaku yang tidak tahu menjadi tahu. lebih baik.
Berperan sebagai pendidik, yang mampu mengubah
masyarakat dari
Berperan sebagi inovator atau pembaru yang membawa hal-hal
baru yang dapat mengubah keadaan kearah lebih baik. Oleh
karena itu, bidan harus selalu siap menerima pembaruan.
4) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan
klien, menghormati hak klien, dan menghormati nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat.
a. Kepentingan klien berada di atas kepentingan sendiri maupun
kelompok, artinya bidan harus mampu menilai situasi saat ia
menghadapi kliennya. Utamakan pelayanan yang dibutuhkan klien
dan mereka tidak boleh ditinggalkan begitu saja.
b. Bidan harus menghormati hak klien antara lain :
Klien berhak memperoleh kesehatan yang memadai.
Klien berhak memperoleh perawatan dan pengobatan.
Klien berhak untuk dirujuk pada institusi atau bidang ilmu yang
lain sesuai dengan permasalahannya.
Klien mempunyai hak untuk menghadapi kematian dengan
tenang.
c. Bidan menghormati nilai-nilai yang ada di masyarakat. Artinya:
67
Bidan harus mampu menganalisis nilai-nilai yang ada di
masyarakat tempat ia bertugas.
Bidan mampu menghargai nilai-nilai masyarakat setempat.
Bidan mampu beradaptasi dengan nilai-nilai budaya masyarakat
tempat ia berada.
5) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa mendahulukan
kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang
sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya.
a. Ketika bidan sudah siap berangkat ke suatu pertemuan, mendadak
dating klien untuk berkonsultasi atau partus, tentu saja kepentingan
klien yang diutamakan sekalipun pertemuan tersebut sangat
penting dengan catatan, usahakan agar mengutus orang lain
kepertemuan tersebut untuk member kabar.
b. Ketika bidan sudah siap ke kantor/puskesmas/bekerja, mendadak
ada seorang anggota keluarga meminta bantuan untuk menolong
seorang bayi yang kejang. Tentu saja kita mengutamakan
permintaan untuk melihat anak yang kejang tersebut terlebih
dahulu.
c. Bidan sudah merencanakan cuti keluar kota, namun sebelum
berangkat, pamong meminta untuk memberi ceramah mengenai
ASI kepada masyarakat, tentu hal ini akan didahulukan.
68
6) Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam
hubungan pelaksanaan tugasnya, dengan mendorong partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
a. Bidan harus mengadakan kunjungan rumah atau masyarakat untuk
memberi penyuluhan serta motivasi agar masyarakat mau
membentuk posyandu/PKMD atau kepada ibu yang mempunyai
balita/ibu hamil, untuk memeriksakan diri di posyandu.
b. Bidan dimana saja berada, baik di kantor, puskesmas atau rumah,
di tempat praktik BPS, maupun di tengah-tengah masyarakat
lingkungan tempat tinggal, harus selalu memberi motivasi untuk
senantiasa hidup sehat.
Bab II : Kewajiban Bidan Terhadap Tugasnya
1) Setiap bidan senantiasa memberi pelayanan paripurna terhadap klien,
keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang
dimilikinya berdasarkan pada kebutuhan klien, keluarga dan
masyarakat.
a. Melaksanakan pelayanan yang bersifat pencegahan seperti asuhan
Antenatal (ANC), memberi imunisasi, KIE, sesuai dengan
kebutuhan.
b. Memberi pelayanan yang bersifat pengobatan sesuai dengan
wewenang bidan (contoh, memberi suntikan ergometrin,
sintocynon, infuse dan lain-lain).
69
c. Memberi pelayanan yang bersifat promotif/peningkatan kesehatan,
seperti memberi roboransia.
d. Memberi pelayanan yang bersifat rehabilitative (contoh, senam
nifas, penghayatan gizi, bimbingan mental).
2) Setiap bidan berhak memberi pertolongan dan mempunyai
kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya, termasuk
keputusan mengadakan konsultasi dan/atau rujukan.
a. Menolong partus di rumah sendiri, di puskesmas, di rumah sakit,
dan partus luar.
b. Mengadakan pelayanan konsultasi terhadap ibu, bayi, dan KB
sesuai dengan wewenangnya.
c. Merujuk pasien yang tidak dapat ditolong ke RS yang memiliki
fasilitas lebih lengkap.
3) Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan
/atau dipercayakan kepadanya, kecuali jika diminta oleh pengadilan
atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan klien.
a. Ketika bertugas, bidan tidak dibenarkan menceritakan segala
sesuatu yang diketahuinya kepada siapa pun termasuk
keluarganya (contoh, bila menemukan pasien dengan sakit sifilis
atau gonore). Kadang-kadang pasien menceritakan keadaan rumah
tangganya kepada bidan dan bidan tidak boleh menceritakannya
kepada suami, keluarga atau orang lain.
70
Bab III : Kewajiban Bidan Terhadap Sejawat dan Tenaga
Kesehatan Lainnya
1) Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya
untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
a. Dalam melaksanakan tugas kebidanan baik pemerintah/non
pemerintah, jika ada sejawat yang berhalangan (cuti), bidan dapat
saling menggantikan sehingga tugas pelayanan tetap berjalan.
b. Sesama sejawat harus saling mendukung, misalnya dengan
mengadakan arisan, piknik bersama, mengunjungi teman yang
sakit, memenuhi undangan perkawinan keluarga, khitanan.
2) Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati
baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
a. Klien A memeriksakan kehamilan pada bidan B, namun pada waktu
mau bersalin klien dating kepada bidan C. sikap bidan C harus
menjelaskan kepada klien bahwa riwayat kehamilan berada pada
bidab B, sehingga sebaiknya persalinan ditolong oleh bidan B.
Akan tetapi, jika klien tidak menginginkannya, bidan C harus
menolong persalinannya, dengan memberi tahu bidan B dan
sekaligus menanyakan riwayat ANC-nya. Kecuali jika pasien
segera melahirkan dan tidak sempat berkomunikasi lagi dengan
bidan B, bidan C harus menolongnya setelah itu memberi tahu
bidan B.
71
b. Dalam menetapkan lokasi BPS, perlu diperhatikan jarak dengan
BPS yang sudah ada.
c. Jika mengalami kesulitan, bidan dapat saling membantu dengan
mengonsultasikan kesulitan kepada sejawat.
d. Dalam kerjasama antar teman sejawat, konsultasi atau pertolongan
mendadak hendaknya melibatkan imbalan yang sesuai dengan
kesepakatan bersama.
Bab IV : Kewajiban Bidan Terhadap Profesinya
1) Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra
profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberi
pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
a. Menjadi panutan dalam hidupnya.
b. Berpenampilan yang baik.
c. Tidak membeda-bedakan pangkat, jabatan dan golongan.
d. Menjaga mutu pelayanan profesinya sesuai dengan standar yang
telah ditentukan.
e. Dalam menjalankan tugasnya, bidan tidak diperkenankan mencari
keuntungan pribadi dengan menjadi agen promosi suatu produk.
f. Menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya hanya dalam
waktu dinas.
72
2) Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan
kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
a. Mengembangkan kemampuan di lahan praktik.
b. Mengikuti pendidikan formal.
c. Mengikuti pendidikan berkelanjutan melalui penataran, seminar,
lokakarya, simposium, membaca majalah, buku dan lain-lain secara
pribadi.
3) Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan
kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra
profesinya.
a. Membantu pembuatan perencanaan penelitian kelompok.
b. Membantu pelaksanaan proses penelitian dalam kelompok.
c. Membantu pengolahan hasil penelitian kelompok.
d. Membantu pembuatan laporan penelitian kelompok.
e. Membantu perencanaan penelitian mandiri.
f. Melaksanakan penelitian mandiri.
g. Mengolah hasil penelitian.
h. Membuat laporan penelitian.
Bab V : Kewajiban Bidan Terhadap Diri Sendiri
1) Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat
melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
a. Memerhatikan kesehatan perorangan.
73
b. Memerhatikan kesehatan lingkungan.
c. Memeriksakan diri secara berkala setiap tahun sekali.
d. Jika mengalami sakit atau keseimbangan tubuh terganggu, segera
memeriksakan diri ke dokter.
2) Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
a. Membaca buku-buku tentang kesehatan, kebidanan, keperawatan
pada umumnya bahkan pengetahuan umum.
b. Menyempatkan membaca koran.
c. Berlangganan majalah profesi, majalah kesehatan.
d. Mengikuti penataran, seminar, simposium, lokakarya tentang
kesehatan umumnya, kebidanan khususnya.
e. Mengadakan latihan berkala seperti simulasi atau demonstrasi
untuk tindakan yang jarang terjadi, pada kesempatan pertemuan
IBI di tingkat kecamatan, cabang, daerah atau pusat.
f. Mengundang pakar untuk memberi ceramah atau diskusi pada
kesempatan pertemuan rutin, misalnya bulanan.
g. Mengisi rubrik bulletin.
h. Mengadakan kunjungan atau studi perbandingan ke rumah sakit–
rumah sakit yang lebih maju dan ke daerah-daerah terpencil.
i. Membuat tulisan atau makalah secara bergantian yang disajikan
dalam kesempatan pertemuan rutin.
74
Bab VI : Kewajiban Bidan Terhadap Pemerintah, Nusa, Bangsa dan
Tanah Air
1) Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan
ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya
dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga serta masyarakat.
a. Bidan harus mempelajari perundang-undangan kesehatan di
Indonesia dengan cara :
Menyebarluaskan informasi atau perundang-undangan yang
dipelajari kepada anggota.
Mengundang ahli atau penceramah yang dibutuhkan.
b. Mempelajari program pemerintah, khususnya mengenai pelayanan
kesehatan di Indonesia
c. Mengidentifikasi perkembangan kurikulum sekolah tenaga
kesehatan umumnya, keperawatan dan kebidanan khususnya.
2) Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan
pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu jangkauan
pelayan kesehatan, terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan
keluarga.
a. Bidan harus menyampaikan laporan kepada setiap jajaran IBI
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas
bidan di daerah, termasuk faktor penunjang maupun penghambat
pelaksanaan tugas itu.
75
b. Mencoba membuat penelitian tentang masalah yang sering terjadi
di masyarakat yang berhubungan dengan tugas profesi kebidanan,
misalnya penelitian mengenai :
Berapa biaya standar persalinan normal di suatu daerah.
Berapa banyak animo masyarakat di suatu daerah terhadap
fasilitas KIA/KB yang telah disediakan oleh pemerintah.(Ikatan
Bidan Indonesia).
Pengaturan sanksi hukum pada bidan yang berhubungan
dengan standar pelayanan kebidanan dari Ikatan Bidan
Indonesia kabupaten di puskesmas belum diatur sanksi hanya
berupa teguran dalam bentuk lisan maupun tertulis dalam
rangka pembinaan.
Pada tingkat pemerintahan Ikatan Bidan Indonesia
kabupaten maupun kepala puskesmas diwilayah tempat yang
bersangkutan menjalankan pratiknya serta dinas kesehatan
kabupaten berkordinasi dalam rangka melaksanakan
pengawasan seperti diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1464 /Menkes/Per/X/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Pratik Bidan Pasal 23 yaitu :
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota dapat memberikan tindakan administratif
76
kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama1(satu) tahun;
atau
d. Pencabutan SIKB/SIPB selamanya.
H. Efektivitas, Kesadaran dan Ketaatan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah dalam Achmad
Ruslan faktor-faktor yang menjadikan peraturan itu efektif atau
tidak, dapat dikembalikan kepada 4 (empat) faktor efektivitas,
yaitu :
a. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri;
b. Petugas yang menegakkannya;
c. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaidah
hukum ; dan
d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Menurut Garis Besar Rancangan Pembelajaran (GBRP)
Teori Hukum (501B013) Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin 2011. Kesadaran Hukum adalah kesadaran tentang
keberadaan dan berlakunya norma hukum tertentu.
77
Kesadaran hukum positif : kesedaran hukum yang
digunakan dengan maksud baik. Sedangkan kesadaran hukum
yang negatif : kesadaran hukum yang digunakan dengan
maksud buruk.
Ketaatan Hukum adalah Pola pikir dan perilaku yang sejalan
dengan kehendak hukum (tunduk pada hukum) terlepas apakah
setuju atau tidak dengan kehendak hukum tersebut.
Derajat ketaatan menurut H.C Kelman, 1966 maupun L.
Pospisil, 1971:
a. Compliance (takut akan sanksi)
b. Identification (takut terhadap relasi/hubungan sesama)
c. Internalization (kehendak hukum sama dengan nilai intrinsik
warga masyarakat).
I. Penegakan Hukum dan Penerapan Sanksi Dalam Hukum
Administrasi Negara
Menurut P. Nikolai dan kawan-kawan dalam HR Ridwan
sarana penegakan Hukum Administrasi Negara berisi :
(1) Pengawasan bahwa organ pemerintah dapat melaksanakan ketaatan
pada atau berdasarkan undang-undang yang ditetapkan secara tertulis
dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban
terhadap individu.
(2) Penerapan kewenangan sanksi pemerintah.
78
Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan
kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah
represif untuk memaksakan kepatuhan. (Ten Berge dikutip oleh
Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR).
Menurut Paulus E. Lotulung dalam Ridwan HR
mengemukakan beberapa macam pengawasan dalam Hukum
Administrasi Negara, yaitu bahwa ditinjau dari segi kedudukan
dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap
badan/organ yang dikontrol, dapatlah dibedakan antara jenis
kontrol intern dan kontrol ekstern.
Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh
badan yang secara organisatoris/struktural masih termasuk
dalam lingkungan pemerintah sendiri.
Kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh
organ atau lembaga-lembaga yang secara
organisatoris/struktural berada di luar pemerintah.
Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan
perundang-undangan, bahkan J.B.J.M. ten Berge menyebutkan
bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan Hukum
Administrasi Negara (Ridwan HR, 2011).
J.J. Oostrenbrink dalam HR Ridwan mengatakan bahwa
sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan
antara pemerintah-warga negara dan yang dilaksanakan tanpa
79
perantara pihak ketiga, yaitu tanpa perantara kekuasaan
peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh
administrasi sendiri.
A.D. Belinfante dalam Ridwan HR mengatakan ketika warga
negara melalaikan kewajiban yang timbul dalam hubungan
hukum administrasi, maka pihak lawan (yaitu pemerintah) dapat
mengenakan sanksi tanpa perantara hakim.
H.D. van Wijk/Konijnenbelt dalam Ridwan HR mengatakan
alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat
digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan
terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma Hukum
Administrasi Negara.
P. de Haan dalam HR. Ridwan mengatakan dalam Hukum
Administrasi Negara, penggunaan sanksi administrasi
merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, dimana
kewenangan ini berasal dari aturan Hukum Administrasi Negara
tertulis dan tidak tertulis.
Jum Anggriani mengatakan sanksi merupakan bagian
penutup yang penting dalam peraturan hukum administrasi
negara. Sanksi digunakan atau di maksudkan agar kewajiban-
kewajiban dan larangan-larangan bagi masyarakat yang
dituangkan dalam peraturan hukum administrasi dapat di patuhi
oleh masyarakat. Fungsi dari sanksi administrasi adalah
80
sebagai alat pemaksa agar larangan-larangan dan kewajiban-
kewajiban yang telah ditentukan dalam peraturan-peraturan itu
ditaati oleh warga masyarakat.
81
J. Kerangka Pikir
Implementasi Standar Pelayanan
Kebidanan di Puskesmas
Mandai Kabupaten Maros
Standar Pelayanan Kebidanan
Implementasi
Standar Pelayanan
Kebidanan
24 Standar Pelayanan Kebidanan
Faktor yang
Menyebabkan
Inkosistensi
Kedisplinan
Pendapatan/gaji
Implikasi Hukum
Administrasi
Terjadinya Kematian
Kekecewaan Klien
Rekam medis
Pelayanan
Berkualitas Oleh
Bidan di Puskesmas
82
K. Definisi Operasional
1. Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan
yang telah teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif, yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau masyarakat.
3. Surat Tanda Registrasi, selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang
diregistrasi setelah memiliki sertifikat kompetensi.
4. Surat Izin Kerja Bidan, selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis
yang diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan
untuk bekerja difasilitas pelayanan kesehatan.
5. Surat Izin Praktik Bidan, selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti
tertulis yang diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi
persyaratan untuk menjalankan praktik bidan mandiri.
6. Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar
profesi, dan standar operasional prosedur.
7. 24 standar pelayanan kebidanan adalah standar pelayanan kebidanan
yang digunakan untuk menentukan mutu pelayanan kebidanan.
83
8. Rekam medis/kesehatan adalah rekam dalam bentuk tulisan atau
gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan
medis/kesehatan kepada seorang pasien
9. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan.
10. Disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib
dan sebagainya).
11. Mati adalah sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi.
12. Teguran adalah celaan; kritik; ajaran (sentilan, jeweran) peringatan.
13. Lisan adalah berkenaan dengan kata-kata yang diucapkan.
14. Tertulis adalah ditulis; tersurat; termaktub.
84
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Sifat dan Tipe Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum dengan analisis
deskriptif, dengan tipe normative empiris bersifat sosiolegal,
penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang
pelaksanaan standar pelayanan kebidanan di Puskesmas
Mandai kabupaten Maros.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Mandai Kabupaten Maros
dengan dasar pertimbangan sebagai sumbangan pemikiran kepada
tempat dimana penulis mengabdi.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi adalah seluruh klien yang mendapat pelayanan kebidanan di
Puskesmas Mandai Kabupaten Maros.
2. Sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri yang sama
atau keadaan tertentu yang akan diteliti. Karena tidak semua data dan
informasi akan diproses dan tidak semua populasi akan diteliti, maka
cukup dengan sampel yang mewakilinya yakni klien kebidanan yang
bayinya mengalami kematian ketika bersalin di Puskesmas Mandai
Kabupaten Maros sebesar 1 orang klien dan 16 orang bidan.
3. Metode pengambilan sampel adalah Purposive Sampling yaitu sampel
ditentukan secara sengaja berdasarkan pertimbangan memenuhi
85
pertimbangan informasi yang akan diperoleh dalam setiap variabel
penelitian.
4. Besar sampel ditentukan dengan mengambil satu kasus sebesar 1
orang klien yang bayinya mengalami kematian ketika bersalin dan 16
orang bidan.
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah
yaitu data kualitatif yaitu data yang tidak berbentuk angka-
angka yang bersumber dari :
1).Data primer, yaitu data yang diperoleh penulis secara langsung melalui
teknik observasi dan wawancara dengan para responden, berkaitan
dengan penulisan tesis ini.
5) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari buku partus pelayanan
kebidanan puskesmas Mandai kabupaten Maros.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan tanya
jawab langsung dengan responden dan pihak-pihak yang terkait
dengan tesis ini.
2. Dokumentasi
86
Yaitu teknik pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari
buku partus pelayanan kebidanan puskesmas Mandai
kabupaten Maros.
F. Analisis Data
Sejak pertama kali menguraikan latar belakang setiap data
yang diperoleh langsung dianalisis secara kualitatif dan intensif
dengan cara memformulasikan bentuk kalimat-kalimat sesuai
dengan pokok permasalahannya.
87
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Standar Pelayanan Kebidanan
Ikatan Bidan Indonesia menetapkan 24 standar pelayanan kebidanan
yaitu :
Standar Pelayanan Kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokan
menjadi 5 bagian besar yaitu :
1. Standar Pelayanan Umum (2 standar)
2. Standar Pelayanan Antenatal (6 standar)
3. Standar Pelayanan Persalinan (4 standar)
4. Standar Pelayanan Nifas (3 standar)
5. Standar Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri-neonatal (9
standar)
a. Dua Standar Pelayanan Umum
1) Standar 1 : Persiapan Untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Bidan memberikan penyuluhan dan nasehat kepada perorangan,
keluarga dan masyarakat terhadap segalan hal yang berkaitan dengan
kehamilan, termasuk penyuluhan kesehatan umum (gizi, KB, kesiapan
dalam menghadapai kehamilan dan menjadi calon orang tua,
persalinan dan nifas). Tujuannya adalah memberikan penyuluhan
kesehatan yang tepat untuk mempersiapkan kehamilan yang sehat
dan terencana serta menjadi orang yang bertanggungjawab. Dan hasil
yang diharapkan dari penerapan standar 1 adalah masyarakat dan
88
perorangan dapat ikut serta dalam upaya mencapai kehamilan yang
sehat. Ibu,keluarga dan masyarakat meningkat pengetahuannya
tentang fungsi alat-alat reproduksi dan bahaya kehamilan pada usia
muda.Tanda-tanda bahaya kehamilan diketahui oleh masyarakat dan
ibu.
2) Standar 2 : Pencatatan Dan Pelaporan
Bidan melakukan pencatatan dan pelaporan semua kegiatan yang
dilakukannya, yaitu registrasi semua ibu hamil diwilayah kerja, rincian
pelayanan yang diberikan kepada ibu hamil/bersalin/nifas dan bayi
baru lahir, semua kunjungan rumah dan penyuluhan kepada
masyarakat. Disamping itu, bidan hendaknya mengikut sertakan kader
untuk mencatat semua ibu hamil dan meninjau upaya masyarakat yang
berkaitan dengan ibu dan bayi baru lahir . Bidan meninjau secara
teratur catatan tersebut untuk menilai kinerja dan penyusunan rencana
kegiatan untuk meningkatkan pelayanannya. Tujuan dari standar 2 ini
yaitu mengumpulkan, menggunakan dan mempelajari data untuk
pelaksanaan penyuluhan , kesinambungan pelayanan dan penilaian
kerja.
Hal-hal yang dapat dilakukan bidan untuk dapat melakukan
pencatatan dan pelaporan yang maksimal adalah sebagai berikut :
Bidan harus bekerjasama dengan kader dan pamong setempat
agar semua ibu hamil dapat tercatat
89
Memberikan ibu hamil KMS atau buku KIA untuk dibawa pulang,
dan memberitahu ibu agar membawa buku tersebut setiap
pemeriksaan.
Memastikan setiap persalinan , nifas, dan kelahiran bayi tercatat
pada patograf.
Melakukan pemantauan buku pencatatan secara berkala .
Dan lain-lain.
Hasil yang diharapkan dari dilakukannya standar ini yaitu
terlaksananya pencatatan dan pelaporan yang baik. Tersedia data
untuk audit dan pengembangan diri, meningkatkan keterlibatan
masyarakat dalam kehamilan , kelahiran bayi dan pelayanan
kebidanan.
b. Enam Standar Pelayanan Antenatal
1) Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Bidan melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan
masyarakat secara berkala untuk memberikan penyuluhan dan
motivasi ibu , suami dan anggota keluarganya agar mendorong ibu
untuk memeriksakan kehamilannya sejak dini dan secara teratur.
Adapun tujuan yang diharapkan dari penerapan standar ini adalah
mengenali dan memotivasi ibu hamil untuk memeriksakan
kehamilannya.
Kegiatan yang dapat dilakukan bidan untuk mengidentifikasi ibu
hamil contohnya sebagai berikut :
90
Bidan melakukan kunjungan rumah dan penyuluhan secara
teratur
Bersama kader bidan memotivasi ibu hamil
Lakukan komunikasi dua arah dengan masyarakat untuk
membahas manfaat pemeriksaan kehamilan.
Dan lain-lain.
Hasil yang diharapkan dari standar ini adalah ibu dapat memahami
tanda dan gejala kehamilan. Ibu, suami, anggota masyarakat
menyadari manfaat pemeriksaan kehamilan secara dini dan
teratur.meningkatkan cakupan ibu hamil yang memeriksakan diri
sebelum kehamilan 16 minggu.
2) Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Bidan hendaknya paling sedikit memberikan 4 kali pelayanan
Antenatal. Pemeriksaan meliputi anamnesis dan pemantauan ibu dan
janin dengan seksama untuk menilai apakah perkembangan
berlangsung normal.bidan juga harus bisa mengenali kehamilan
dengan risti/kelainan, khususnya anemia, kurang gizi, hipertensi,
PMS/infeksi HIV; memberikan pelayanan imunisasi, nasehat dan
penyuluhan kesehatan serta tugas terkait lainnya yang diberikan oleh
puskesmas. Tujuan yang diharapkan dari standar ini adalah bidan
mampu memberikan pelayanan Antenatal berkualitas dan deteksi dini
komplikasi kehamilan.
91
Adapun hasil yang diharapkan yaitu ibu hamil mendapatkan
pelayanan Antenatal minimal 4 kali selama kehamilan. Meningkatnya
pemanfaatan jasa bidan oleh masyarakat. Deteksi dini dan
penanganan komplikasi kehamilan. Ibu hamil, suami, keluarga dan
masyarakat mengenali tanda bahaya kehamilan dan tahu apa yang
harus dilakukan. Mengurus transportasi rujukan, jika sewaktu-waktu
dibutuhkan.
3) Standar 5 : Palpasi abdominal
Bidan harus melakukan pemeriksaan abdomen secara seksama
dan melakukan palpasi untuk memperkirakan usia kehamilan. Bila
umur kehamilan bertambah , memeriksa posisi, bagian terendah,
masuknya kepala janin kedalam rongga panggul, untuk mencari
kelainan dan untuk merujuk tepat waktu. Tujuan dari dilakukannya
standar ini adalah memperkirakan usia kehamilan, pemantauan
pertumbuhan janin, penentuan letak, posisi dibagian bawah janin.
Hasil yang diharapkan yaitu bidan dapat memperkirakan usia kehamilan,
diagnosis dini kelainan letak, dan merujuk sesuai kebutuhan.
Mendiagnosis dini kehamilan ganda dan kelainan, serta merujuk
sesuai dengan kebutuhan.
4) Standar 6 : Pengelolaan Anemia pada Kehamilan
Bidan melakukan tindakan pencegahan anemia, penemuan,
penanganan dan rujukan semua kasus anemia pada kehamialan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tujuan dari standar ini adalah
92
bidan mampu menemukan anemia pada kehamilan secara dini,
melakukan tindak lanjut yang memadai untuk mengatasi anemia
sebelum persalinan berlangsung.
Tindakan yang bisa dilakukan bidan contohnya , memeriksakan
kadar Hb semua ibu hamil pada kunnjungan pertama dan minggu ke
28. Memberikan tablet Fe pada semua ibu hamil sedikitnya 1 tablet
selama 90 hari berturut-turut. Beri penyuluhan gizi dan pentingnya
konsumsi makanan yang mengandung zat besi, dan lain - lain. Hasil
yang diharapkan dari pelaksanaan standar ini yaitu jika ada ibu hamil
dengan anemia berat dapat segera dirujuk, penurunan jumlah ibu
melahirkan dengan anemia, penurunana jumlah bayi baru lahir dengan
anemia/BBLR.
5) Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi Pada Kehamilan
Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada
kehamilan dan mengenali tanda gejala preeklamsia lainnya, serta
mengambil tindakan yang tepat dan merujuknnya. Tujuan dari
dilakukannya standar ini yaitu bidan dapat mengenali dan menemukan
secara dini hipertensi pada kehamilan dan melakukan tindakan yang
diperlukan. Adapun tindakan yang dapat dilakukan bidan yaitu rutin
memeriksa tekanan darah ibu dan mencatatnya. Jika terdapat tekanan
darah diatas 140/90 mmHg lakukan tindakan yang diperlukan.
Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan standar ini adalah ibu
hamil dengan tanda preeklamsia mendapat perawatan yang memadai
93
dan tepat waktu. Penurunan angka kesakitan dan kematian akibat
eklamsia.
6) Standar 8 : Persiapan Persalinan
Bidan memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil, suami atau
keluarga pada trimester III memastikan bahwa persiapan persalinan
bersih dan aman dan suasana menyenangkan akan direncanakan
dengan baik, disamping persiapan transportasi dan biaya untuk
merujuk, bila tiba-tiba terjadi keadaan gawat darurat. Bidan
mengusahakan untuk melakukan kunjungan ke setiap rumah ibu hamil
untuk hal ini. Tujuan dari dilakukannya standar ini adalah untuk
memastikan bahwa persalinan direncanakan dalam lingkungan yang
aman dan memadai dengan pertolongan bidan terampil.
Hasil yang diharapkan adalah ibu hamil, suami dan keluarga
tergerak untuk merencanakan persalinan yang bersih dan aman.
Persalinan direncanakan di tempat yang aman dan memadai dengan
pertolongan bidan terampil. Adanya persiapan sarana transportasi
untuk merujuk ibu bersalin,jika perlu. Rujukan tepat waktu telah
dipersiapkan bila diperkirakan .
c. Empat Standar Pelayanan Persalinan
1) Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala Satu
Bidan menilai secara tepat bahwa persalinan sudah mulai,
kemudian memberikan asuhan dan pemantauan yang memadai ,
dengan memperhatikan kebutuhan ibu, selama proses persalinan
94
berlangsung. Bidan juga melakuakan pertolongan proses persalinan
dan kelahiran yang bersih dan aman, dengan sikap sopan dan
penghargaan terhadap hak pribadi ibu serta memperhatikan tradisi
setempat. Disamping itu ibu diijinkan memilih orang yang akan
mendampinginya selam proses persalinan dan kelahiran.
Tujuan dari dilakukannya standar ini yaitu untuk memberikan
pelayanan kebidanan yang memadai dalam mendukung pertolongan
persalinan yang bersih dan aman untuk ibu bayi.
Hasil yang diharapkan adalah ibu berssalin mendapatkan
pertolongan yang aman dan memadai. Meningkatnya cakupan
persalinan dan komplikassi lain yang ditangani oleh tenaga kesehatan.
Berkurangnya kematian/kesakitan ibu bayi akibat partus lama.
2) Standar 10 : Persalinan Kala Dua Yang Aman
Bidan melakukan pertolongan persalinan bayi dan plasenta yang
bersih dan aman, dengan sikap sopan dan penghargaann terhadap
hak pribadi ibu serta memperhatikan tradisi setempat . disamping itu
ibu diijinkan untuk memilih siapa yang akan mendampinginya saat
persalinan.
Tujuan dari diterapkannya standar ini yaitu memastikan persalinan
yang bersih dan aman bagi ibu dan bayi.
Hasil yang diharapkan yaitu persalinan dapat berlangsung bersih
dan aman. Meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada bidan.
95
Meningkatnya jumlah persalinan yang ditolong oleh bidan.
Menurunnya angka sepsis puerperalis.
3) Standar 11 : Penatalaksanaan Aktif Persalinan Kala Tiga
Secara aktif bidan melakukan penatalaksanaan aktif persalinan
kala tiga. Tujuan dilaksanakannya standar ini yaitu membantu secara
aktif pengeluaran plasenta dan selaput ketuban secara lengkap untuk
mengurangi kejadian perdarahan pasca persalinan kala tiga,
mencegah terjadinya atonia uteri dan retensio plasenta.
Adapun hasil yang diharapkan yaitu menurunkan terjadinya
perdarahan yang hilang pada persalinan kala tiga. Menurunkan
terjadinya atonia uteri, menurunkan terjadinya retensio plasenta,
memperpendek waktu persalinan kala tiga, da menurunkan
perdarahan post partum akibat salah penanganan pada kala tiga.
4) Standar 12 : Penanganan Kala Dua Dengan Gawat Janin Melalui
Episiotomi
Bidan mengenali secara tepat tanda-tanda gawat janin pada kala
dua, dan segera melakukan episiotomi dengan aman untuk
mmemperlancar persalinan, diikuti dengan penjahitan perineum.
Tujuan dilakukannya standar ini adalah mempercepat persalinan
dengan melakukan episiotomi jika ada tanda-tanda gawat janin pada
saat kepala janin meregangkan perineum.
Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kejadian asifiksia
neonatorum berat. Penurunan kejadian lahir mati pada kala dua .
96
d. Tiga Standar Pelayanan Nifas
1) Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir
Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk memastikan
pernafasan spontan, mencegah asifiksia, menemukan kelainan , dan
melakukan tindakan atau merujuk sesuai kebutuhan. Bidan juga harus
mencegah atau menangani hipotermi dan mencegah hipoglikemia dan
infeksi.
Tujuan nya adalah menilai kondisi bayi baru lahir dan membantu
dimulainya pernafasan serta mencegah hipotermi, hipoglikemi dan
infeksi.
Dan hasil yang diharapkan adalah bayi baru lahir menemukan
perawatan dengan segera dan tepat. Bayi baru lahir mendapatkan
perawatan yang tepat untuk dapat memulai pernafasan dengan baik.
2) Standar 14 : Penanganan pada dua jam pertama setelah
persalinan
Bidan melakukan pemantauan ibu dan bayi terhadap terjadinya
komplikasi paling sedikit selama 2 jam stelah persalinan, serta
melakukan tindakan yang diperlukan. Disamping itu, bidan
memberikan penjelasan tentang hal-hal yang mempercepat pulihnya
kesehatan ibu, dan membantu ibu untuk memulai pemberian ASI.
Tujuannya adalah mempromosikan perawatan ibu dan bayi yang
bersih dan aman selama persalinan kala empat untuk memulihkan
kesehatan ibu dan bayi. Meningkatan asuhan sayang ibu dan sayang
97
bayi. Memulai pemberian ASI dalam waktu 1 jam pertama setelah
persalinan dan mendukung terjadinya ikatan batin antara ibu dan
bayinya.
3) Standar 15 : Pelayanan Bagi Ibu dan Bayi Pada Masa Nifas
Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas di puskesmas
dan rumah sakit atau melakukan kunjungan ke rumah pada hari ke-
tiga, minggu ke dua dan minggu ke enam setelah persalinan, untuk
membantu proses penatalaksanaan tali pusat yang benar, penemuan
dini, penatalaksanaan atau rujukan komplikasi yang mungkin terjadi
pada masa nifas, serta memberikan penjelasan tentang kesehatan
secara umum, kebersihan perorangan, makanan bergizi, asuhan bayi
baru lahir , pemberian ASI , imunisasi dan KB.
Tujuannya adalah memberikan pelayanan kepada ibu dan bayi
sampai 42 hari setelah persalinan dan memberikan penyuluhan ASI
eksklusif.
e. Sembilan Standar Penanganan Kegawatan Obstetri Dan
Neonatal
1) Standar 16 : Penanganan Perdarahan Dalam Kehamilan Pada
Trimester Tiga.
Bidan mengenali secara tepat tanda dan gejala perdarahan pada
kehamilan serta melakukan pertolongan pertama dan merujuknya.
98
Tujuan dari dilakukannya standar ini adalah mengenali dan
melakukan tindakan secara tepat dan cepat perdarahan pada trimester
tiga.
Hasil yang diharapkan dari kemampuan bidan dalam menerapkan
standar ini adalah ibu yang mengalami perdarahan kehamilan trimester
tiga dapat segera mendapatkan pertolongan, kematian ibu dan janin
akibat perdarahan pada trimester tiga dapat berkurang , dan
meningkatnya pemanfaatan bidan sebagai sarana konsultasi ibu hamil.
2) Standar 17 : Penanganan Kegawatdaruratan pada Eklamsia
Bidan mengenali secara tepat dan gejala eklamsia mengancam,
serta merujuk dan/atau memberikan pertolongan pertama.
Tujuan dilaksanakan satandar ini adalah mengenali tanda gejala
preeklamsia berat dan memberikan perawatan yang tepat dan
memadai. Mengambil tindakan yang tepat dan segera dalam
penanganan kegawat daruratan bila eklamsia terjadi.
Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kejadian eklamsia. Ibu
hamil yang mengalami preeklamsia berat dan eklamsia mendapatkan
penanganan yang cepat dan tepat. Ibu dengan tanda-tanda
preeklamsia ringan mendapatkan perawatan yang tepat. Penurunan
kesakitan dan kematian akibat eklamsia.
99
3) Standar 18 : Penanganan Kegawatdaruratan Pada Partus Lama /
macet
Bidan mengenali secara tepat tanda gejala partus lama/macet serta
melakukan penanganan yang memadai dan tepat waktu untuk merujuk
untuk persalinan yang aman.
Tujuannya adalah untuk mengetahui segera dan penanganan yang
tepat keadaan daruratpada partus lama/macet.
Hasil yang diharapkan yaitu mengenali secara dini tanda gejala
partus lama/macet serta tindakan yang tepat. Penggunaan patograf
secara tepat dan seksama untuk semua ibu dalam proses persalinan.
Penurunan kematian/kesakitan ibu dan bayi akibat partus lama/macet.
4) Standar 19 : Persalinan Dengan Menggunakan Vakum Ekstraktor
Bidan hendaknya mengenali kapan waktu diperlukan menggunakan
ekstraksi vakum, melakukan secara benar dalam memberikan
pertolongan persalinan dengan memastikan keamanan bagi ibu dan
janinnya.
Tujuan penggunaan vakum yaitu untuk mempercepat persalinan
dalam keadaan tertentu. Hasil yang diharapkan yaitu penurunan
kesakitan atau kematian akibat persalinan lama. Ibu mendapatkan
penanganan darurat obstetric yang cepat.
5) Standar 20 : Penanganan Kegawat daruratan Retensio Plasenta
Bidan mampu mengenali retensio plasenta dan memberikan
pertolongan pertama, termasuk plasenta manual dan penanganan
100
perdarahan, sesuai dengan kebutuhan. Tujuannya adalah mengenali
dan melakukan tindakan yang tepat ketika terjadi retensio plasenta .
Hasil yang diharapkan ialah penurunan kejadian retensio plasenta.
Ibu dengan retensio plasenta mendapatkan penanganan yang cepat
dan tepat. Penyelamatan ibu dengan retensio plasenta meningkat.
6) Standar 21 : Penanganan Perdarahan Post Partum Prime
Bidan mampu mengenali perdarahan yang berlebihan dalam 24
jam pertama setelah persalinan dan segera melakukan pertolongan
pertama kegawat daruratan untuk mengendalikan perdarahan. Tujuan
nya adalah bidan mampu mengambil tindakan pertolongan kegawat
daruratan yang tepat pada ibu yang mengambil perdarahan post
partum primer/ atonia uteri.
Hasil yang diharapkan yaitu penurunan kematian dan kesakitan ibu
akibat perdarahan post partum primer. Meningkatkan pemanfaatan
pelayanan bidan. Merujuk secara dini pada ibu yang mengalami
perdarahan post partum primer.
7) Standar 22 : Penanganan Perdarahan Post Partum Sekunder
Bidan mampu mengenali secara tepat dan dini gejala perdarahan
post partum sekunder, dan melakukan pertolongan pertama untuk
penyelamatan jiwa ibu, dan/atau merujuk. Tujuan nya adalah
mengenali gejala dan tanda perdarahan post partum sekunder serta
melakukan penanganan yang tepat untuk menyelamatkan jiwa ibu.
101
Hasil yang diharapkan yaitu kematian dan kesakitan akibat
perdarahan post partum sekunder menurun. Ibu yang mempunyai
resiko mengalami perdarahan post partum sekunder ditemuka secara
dini dan segera diberi penanganan yang tepat.
8) Standar 23 : Penanganan Sepsis puerperalis
Bidan mampu menangani secara tepat tanda dan gejala sepsis
puerperalis, melakukan perawatan dengan segera merujuknya.
Tujuannya adalah mengenali tanda dan gejala sepsis puerperalis dan
mengambil tindakan yang tepat . hasil yang diharapkan yaitu ibu
dengan sepsis puerperalis mendapatkan penanganan yang cepat dan
tepat. Penurunan angka kesakitan dan kematian akibat sepsis
puerperalis. Meningkatnya pemanfaatan bidan dalam pelayanan nifas.
9) Standar 24 : Penanganan Asifiksia Neonatorum
Bidan mengenali secara tepat bayi baru lahir dengan asifiksia, serta
melakukan tindakan secepatnya, memulai resusitasi, mengusahakan
bantuan medis, merujuk bayi baru lahir dengan tepat dan memberikan
perawatan lanjutan yang tepat.
Tujuan yang diharapkan yaitu mengenal dengan tepat bayi baru
lahir dengan asifiksia, mengambil tindakan yang tepat dan melakukan
pertolongan kegawatdaruratan.(Ikatan Bidan Indonesia).
102
Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pelaksanaan
Implementasi Standar Pelayanan Kebidanan di Puskesmas
Mandai Kabupaten Maros belum sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Dengan menggunakan kuisioner penelitian ini disahkan
untuk mengevaluasi Implementasi Standar Pelayanan
Kebidanan di Puskesmas Mandai Kabupaten Maros dengan
menggunakan 3 variabel yaitu : Implementasi Standar
Pelayanan Kebidanan pada Ibu Hamil, Faktor-Faktor yang
Menyebabkan Inkonsistensi pada Pelayanan Kebidanan dan
Implikasi Hukum Adminitrasi terhadap ketidakmaksimalan
pelayanan kebidanan.
Untuk lebih jelasnya hasil yang diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Distribusi Menurut Tingkat Pengetahuan Bidan Mengenai Kode Etik Bidan Indonesia dan 24 Standar Pelayanan
Kebidanan Pengetahuan Jumlah
Bidan Persentase
Tahu Tidak Tahu
16 0
100% 0 %
Jumlah 16 100 % Sumber : Data primer
Tabel 1 menunjukkan bahwa seluruh bidan mengetahui
mengenai Kode Etik Bidan Indonesia dan Standar Pelayanan
Kebidanan sebanyak 16 orang (100 %) ini menunjukkan tingkat
103
pengetahuan bidan sangat baik. Hanya saja tidak dapat
menghafalnya secara berurutan sesuai ketentuan yang ada.
Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Pasal 24 ayat (1),(2) yaitu :
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
Telah dapat diketahui dengan sangat baik. Oleh karena itu
timbul pertanyaan mengapa terjadi kasus kematian bayi yang
disebabkan oleh pelanggaran Kode Etik Bidan Indonesia BAB I
Kewajiban Terhadap Klien dan Masyarakat pada nomor (4)
Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan
kepentingan klien,menghormati hak klien dan menghormati nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat dan standar 24 pada 24
Standar Pelayanan Kebidanan mengenai merujuk bayi dengan
tanda-tanda asifiksia neonaturum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penundaan dalam merujuk
menjadi penyebabnya ini memperkuat teori bahwa ketentuan hukum yang
baik tidak ada manfaatnya apabila tidak dilaksanakan dalam pratiknya
dimasyarakat. Aspek kemanfaatannya secara sosiologis hilang sama
104
sekali ditandai dengan kematian seorang bayi dengan asfiksia
neonaturum yang gagal dirujuk.
Di sini penyebabnya adalah faktor moral yang tidak baik
pada saat itu yaitu meninggalkan kewajiban yang
mengakibatkan pelanggaran hak pasien untuk dirujuk.
Tabel 2
Distribusi Menurut Tingkat Pemberian Informasi dan Persetujuan Klien Oleh Bidan Kepada Klien Mengenai Tindakan
Pertolongan Yang Akan Diberikan Informasi/ Persetujuan
Jumlah Bidan Persentasi
Diberikan Tidak Diberikan
0 16
0 % 100 %
Jumlah 16 100 % Sumber : Data primer
Tabel 2 menunjukkan bahwa seluruh bidan tidak
memberikan informasi dan persetujuan klien ketika akan
melakukan tindakan pertolongan sebesar 16 orang (100 %). Ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 56
1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh
tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
290/Menkes/Per/Iii/2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran Pasal 2
105
(1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapat persetujuan.
Tidak dilaksanakan mungkin karena pengaruh pola
hubungan vertikal paternalistik masih sangat kuat dan belum
bergeser menjadi pola hubungan horizontal kontaktual. Dari sisi
perundang-undangan ini merupakan suatu pelanggaran
ketentuan yang ada dan tidak dapat dipidanakan karena
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1996 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 35
Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, barang siapa dengan sengaja :
d). tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) ; dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
Telah dinyatakan tidak berlaku dan belum ada ketentuan
sebagai penggantinya sehingga pelanggaran dari ketentuan ini
tidak dapat dipidanakan berdasarkan keputusan pengadilan
sehingga mengorbankan aspek ketertiban dari hukum ini sangat
disayangkan.
Tidak diberikanya informasi ini diperkuat oleh klien ketika
penulis mewawancarainya.
106
Tabel 3
Distribusi Menurut Pembuatan Rekam Medis Oleh Bidan
Rekam Medis Jumlah bidan Persentasi Dibuat
Tidak Dibuat 16 0
100 % 0 %
Jumlah 16 100 % Sumber : Data primer
Tabel 3 menunjukkan bahwa rekam medis dibuat oleh bidan
yaitu sebanyak 16 orang (100 %) menunjukkan kesadaran dan
ketaatan bidan untuk membuat rekam medis sangat tinggi
berdasarkan Pernyataan IDI tentang Rekam Medis/Kesehatan
(Medical Record) melalui Lampiran SK PB IDI No.
315/PB/A.4/88 yang antara lain berisi hal-hal sebagai berikut :
3. Rekam medis/kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi
seluruhnya paling lambat 48 jam setelah pasien pulang atau
meninggal.
Kesadaran dan ketaatan bidan untuk membuat rekam medis
ini ternyata tidak diikuti oleh kesadaran dan ketaatan untuk
memeliharanya terbukti dengan hilang rekam medis ketika
dipinjamkan ke IBI yang tidak melibatkan klien sama sekali dan
ini merupakan pelanggaran Peraturan Menteri Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 269/Menkes/Per/Iii/2008 Tentang Rekam Medis
Pasal 12
(1) Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.
(2) Isi rekam medis merupakan milik pasien.
107
(3) Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
bentuk ringkasan rekam medis.
(4) Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diberikan. dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang
diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga
pasien yang berhak untuk itu.
Seharusnya ketika IBI ingin mengetahui rekam medis klien
mengikuti ketentuan diatas sehingga tindakan yang tidak sesuai
peraturan dapat dihindari.
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Inkosistensi pada pelayanan
kebidanan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun
2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
(1) Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri
Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan
kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman
disiplin.
Pada kasus ini selain pelanggaran seperti yang tersebut diatas juga
terjadi ketidaktaatan/pelanggaran menyangkut Disiplin Pegawai Negeri
108
Sipil yang dilakukan oleh bidan maupun pengurus IBI menyangkut rekam
medis karena tidak melibatkan klien sebagai pemilik rekam medis.
Pada kasus ini menunjukan adanya hubungan yang erat antara tingkat
kedisiplinan dengan kepuasan klien serta tambahan penghasilan ini
didukung oleh teori Disiplin Korektif Kegiatan yang diambil untuk
menangani pelanggaran terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk
menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Sasaran pokok dan
kegiatan ini adalah untuk memperbaiki pelanggaran, untuk menghalangi
para pegawai lain melakukan kegiatan-kegiatan yang serupa dan untuk
menjaga berbagai standar kelompok yang tetap konsisten dan efektif.
Kegiatan disiplin yang korektif sering berupa hukuman dan disebut
tindakan pendisiplinan. Agar tindakan pendisiplinan tersebut akan efektif
maka penerapannya harus konsisten, karena konsisten adalah kegiatan
dan keadilan. Disiplin korektif merupakan kegiatan yang diambil untuk
menangani pelanggaran terhadap aturan dan mencoba untuk menghindari
penyimpangan lebih lanjut. Kegiatan korektif sering berupa suatu bentuk
hukuman dan disebut tindakan pendisiplinan, misalnya tindakan
pendisiplinan dapat berupa peringatan atau skorsing, Sasaran tindakan
pendisiplinan hendaknya positif, bersifat mendidik dan mengoreksi, bukan
tindakan negatif yang menjatuhkan karyawan yang berbuat salah. Maksud
pendisiplinan adalah untuk memperbaiki kegiatan di waktu mendatang
bukan menghukum kegiatan dimasa lalu. Pendekatan negatif yang
bersifat menghukum biasanya mempunyai pengaruh sampingan yang
109
merugikan, seperti emosional terganggu, absensi meningkat, apatis atau
kelesuan,dan takut pada penyelia yang melakukan bimbingan dan
memberikan nasihat langsung kepada bawahan. Berbagai sasaran
tindakan pendisiplinan, seperti untuk memperbaiki pelanggar, untuk
menghalangi para karyawan yang lain melakukan kegiatan yang serupa,
dan untuk menjaga berbagai standar kelompok tetap konsisten dan efektif.
(Jerry Makawimbang , 2013).
Sedangkan hubungan dengan pendapatan dapat dijelaskan dengan
Teori Insentif (Incentive Theory). Teori ini bertitik tolak pada pendapat
bahwa perilaku organisme itu disebabkan karena adanya insentif.
Dengan insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku.
Insentif atau juga disebut sebagai reinforcement ada yang positif dan ada
yang negatif. Reinforcement yang positif adalah berkaitan dengan hadiah,
sedangkan reinforcement yang negatif berkaitan dengan hukuman.
Reinforcement yang positif akan mendorong organisme dalam berbuat,
sedangkan reinforcement yang negatif akan dapat menghambat dalam
organisme berperilaku. Ini berarti bahwa perilaku timbul karena adanya
insentif atau reinforcement. Perilaku semacam ini dikupas secara tajam
dalam psikologi belajar. (Bimo Waigito, 2010).
Faktor-faktor selain gaji/pendapatan mungkin juga kemalasan dan juga
ketidakcocokan dengan pimpinan.
110
C. Implikasi Hukum Adminitrasi terhadap ketidakmaksimalan
pelayanan kebidanan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464
/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
Pasal 23 yaitu :
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota dapat memberikan tindakan administratif
kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama1(satu) tahun;
atau
d. Pencabutan SIKB/SIPB selamanya.
Pada kasus ini dilakukan tindakan administratif berupa
teguran lisan, dengan dipanggilnya bidan jaga yang lebih senior
didampingi oleh kordinator bidan ke dinas kabupaten, dimana
dinas kabupaten yang didampingi IBI kabupaten memberikan
pembinaan dalam bentuk teguran lisan.
111
Hal ini menimbulkan kekecewaan dari klien karena
menganggap terlalu ringan.
Penegakan Hukum Penerapan Sanksi dalam Hukum Administrasi
Negara sangat perlu untuk melindungi Standar Pelayanan Kebidanan
yang sudah ada sehingga pelayanan kebidanan yang berkualitas dapat
dilaksanakan.
Menurut P. Nikolai dan kawan-kawan dalam Ridwan HR sarana
penegakan Hukum Administarasi Negara berisi :
(1) Pengawasan bahwa organ pemerintah dapat melaksanakan
ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang ditetapkan
secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang
meletakkan kewajiban terhadap individu.
(2) Penerapan kewenangan sanksi pemerintah.
Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan
kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif
untuk memaksakan kepatuhan. (Ten Berge dikutip oleh Philipus M.
Hadjon dalam Ridwan HR).
Menurut Paulus E. Lotulung dalam Ridwan HR mengemukakan
beberapa macam pengawasan dalam Hukum Administrasi Negara, yaitu
bahwa ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan
kontrol itu terhadap badan/organ yang dikontrol, dapatlah dibedakan
antara jenis kontrol intern dan kontrol ekstern.
112
Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh badan
yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam lingkungan
pemerintah sendiri.
Kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau
lembaga-lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di luar
pemerintah.
Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-
undangan, bahkan J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa sanksi
merupakan inti dari penegakan Hukum Administrasi Negara (Ridwan HR,
2011).
J.J. Oostrenbrink dalam Ridwan HR mengatakan bahwa sanksi
administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara
pemerintah-warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak
ketiga, yaitu tanpa perantara kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara
langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri.
A.D. Belinfante dalam Ridwan HR mengatakan ketika warga negara
melalaikan kewajiban yang timbul dalam hubungan hukum administrasi,
maka pihak lawan (yaitu pemerintah) dapat mengenakan sanksi tanpa
perantara hakim.
H.D. van Wijk/Konijnenbelt dalam Ridwan HR mengatakan alat
kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh
pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang
terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara.
113
P. de Haan dalam Ridwan HR mengatakan dalam Hukum Administrasi
Negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan
kewenangan pemerintahan, dimana kewenangan ini berasal dari aturan
Hukum Administrasi Negara tertulis dan tidak tertulis.
Jum Anggriani mengatakan sanksi merupakan bagian penutup yang
penting dalam peraturan hukum administrasi negara. Sanksi digunakan
atau di maksudkan agar kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi
masyarakat yang dituangkan dalam peraturan hukum administrasi dapat di
patuhi oleh masyarakat. Fungsi dari sanksi administrasi adalah sebagai
alat pemaksa agar larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban yang telah
ditentukan dalam peraturan-peraturan itu ditaati oleh warga masyarakat.
Ditegaknya hukum administrasi dalam kasus ini akan melindungi
Standar Pelayanan Kebidanan sebagai Standar Operasional Prosedur
pada tingkat Ikatan Bidan Indonesia akan tetapi klien kecewa akibat
sanksi yang terlampau ringan ditandai dengan tidak mau berkomentar dan
memilih BPS untuk persalinan berikutnya.
Mengenai rekam medis dalam Hukum Acara Perdata dan Hukum
Acara Pidana Hariyani (2005: 73) dalam Anny Isfandyarie, 2011
menjelaskan mengenai Pembuktian menurut hukum perdata sebagai
berikut :
Bila seorang dokter dituntut pasien karena melakukan malpraktek
medik, maka biasanya dasar tuntutan yang diajukan pasien kepada dokter
antara lain :
114
a. Dokter dituduh melakukan wanprestasi (ingkar janji), dituntut
berdasakan Pasal 1239 KUHPerdata;
b. Dokter dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, dituntut
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata;
c. Dokter dituduh melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan
kerugian, dituntut berdasarkan Pasal 1366 KUHPerdata; dan
d. Dokter dituduh melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab,
dituntut berdasarkan Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.
Dalam menghadapi tuntutan atau gugatan dari pasien tersebut, pasien
harus membuktikan dasar tuntutan atau gugatannya yang diatur di dalam
Pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi : Setiap orang yang mendalilkan
bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri
ataupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Dari Pasal 1865 KUHPerdata tentang pembuktian diatas, dapat, diartikan
bahwa bila pasien menggugat atau menuntut dokter, maka ia harus dapat
membuktikan kesalahan maupun kelalaian dokter yang dituntut tersebut.
Dokter yang dituntut, tentunya akan melakukan pembelaan diri dengan
alat bukti yang bisa mendukung terhadap pembenaran tindakan yang
dilakukan. Menurut Pasal 164 HIR (Tresna, 1994; 141), maka yang
disebut bukti ialah :
a. Bukti surat;
b. Bukti saksi;
115
c. Sangka;
d. Pengakuaan; dan
e. Sumpah.
Dalam penjelasan Pasal 46 UU Praktik Kedokteran tentang pengertian
rekam medis, disebutkan bahwa Rekam Medis adalah berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada
pasien. Dari penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa rekam medis
yang berbentuk tertulis ini dapat disamakan dengan surat yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan untuk membantah gugatan
pasien tersebut. (Isfandyarie, Anny, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi
bagi Dokter, 2011).
Anny Isfandyarie mengatakan Hukum Acara Pidana pun menyebutkan
bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila sekurang-kurangnya didapatkan 2 (dua) alat bukti yang sah yang
berdasarkan alat bukti tersebut hakim dapat memperoleh keyakinan
bahwa terdakwa telah benar-benar melakukan tindak pidana
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, Selanjutnya Pasal
184 KUHAP menyebutkan tentang alat bukti yang sah sebagai berikut :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
116
e. Keterangan terdakwa.
Dalam Hukum Acara Pidana, rekam medis dapat dijadikan alat bukti
surat di pengadilan berdasarkan Pasal 187 ayat (4) huruf b KUHAP : Surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana
yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
Rekam medis merupakan surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yaitu UU Praktik Kedokteran Pasal 46
ayat (1) sampai (3) dan Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989
tentang Rekam Medis atau Medical Record yang menurut Pasal 81 UU
Praktik Kedokteran masih berlaku. Surat ini dibuat oleh pejabat (dokter)
yang termasuk dalam tata laksana tanggung jawabnya dan yang
diperuntukan bagi sesuatu hal atau sesuatu keadaan tentang pasien.
Kriteria ini memenuhi Pasal 187 ayat (4) huruf b KUHAP sehingga rekam
medis dapat dijadikan alat bukti surat di pengadilan.
Tentang petunjuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 huruf d
diatas, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 188 ayat (2) dan (3) bahwa
petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa, yang akan diperiksa oleh hakim secara arif dan bijaksana
dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya
sehingga memberikan keyakinan kepada hakim atas kekuatan
117
pembuktian petunjuk tersebut. Pemberian nilai atas petunjuk diserahkan
kepada kebijaksanaan hakim.
Dari isi Pasal 188 di atas, dapat diartikan bahwa bila seorang dokter
dituduh melakukan tindak pidana dan diajukan ke pengadilan sebagai
terdakwa, keterangan dokter dan surat serta keterangan saksi (perawat
yang ikut merawat pasien) dapat memberikan petunjuk kepada hakim
untuk membuktikan dokter bersalah atau tidak. Surat yang dapat dipakai
sebagai alat bukti yang mungkin bisa meringankan dokter, tidak lain
adalah rekam medis.
Rekam medis dapat pula digunakan sebagai alat bukti dalam tuntutan
berdasakan Pasal 79 huruf c dimana dokter dianggap tidak memenuhi
kewajiban memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medis
pasien. Karena dari rekam medis akan dapat dilakukan audit medis untuk
membuktikan bahwa dokter telah menyelenggarakan kendali mutu dan
kendali biaya sebagaimana kewajiban yang tercantum dalam Pasal 49 UU
Praktik Kedokteran. (Isfandyarie, Anny, Tanggung Jawab Hukum dan
Sanksi bagi Dokter, 2011).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun
2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 7 ayat (4) Jenis
hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yaitu
c. pembebasan dari jabatan; merupakan hukuman yang lebih pantas
mengingat pelanggaran yang dilakukan bidan berakibat fatal yaitu
berupa kematian bayi.
118
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Implementasi Standar Pelayanan Kebidanan belum berhasil
dilaksanakan sebagaimana mestinya ditandai dengan dilanggarnya
standar 24 : Penanganan Asifiksia Neonatorum yang menyebabkan
kematian pada bayi. Mulai dari pelanggaran Kode Etik Bidan
Indonesia seperti yang tersebut diatas, beberapa regulasi : Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 56 ayat (1),
Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 269/Menkes/Per/Iii/2008 Tentang Rekam Medis Pasal 12 ayat
(1), (4), Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
290/Menkes/Per/Iii/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
Pasal 2 ayat (1).
Dengan demikian pelayanan kebidanan yang berkualitas belum dapat
tercapai.
2. Dalam pelaksanaannya Standar Pelayanan Kebidanan sebagai
standar agar dapat mencapai pelayanan kebidanan yang berkualitas
dilaksanakan tidak optimal karena adanya faktor-faktor penghambat
antara lain : kedisiplinan dan pendapatan/gaji bidan yang dirasakan
masih kurang ditandai dengan tidak fokusnya dalam bekerja,
mempunyai lebih dari satu pekerjaan yang dikerjakan dalam satu
kesempatan sehingga melanggar ketentuan yang ada terutama
119
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun
2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 1ayat (1).
3. Penegakan hukum pada kasus ini yang menyebabkan kematian bayi
adalah telah ditegakan ditandai dengan tindakan administrasi dalam
bentuk teguran lisan dalam rangka pembinaan merujuk pada
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464
/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Pratik Bidan
Pasal 23 ayat (1) dan (2), akan tetapi dirasakan masih kurang oleh
klien dan hilangnya rekam medis membuat kasus ini tidak optimal
untuk diteliti hanya saja dari sisi Hukum Acara Perdata dan Hukum
Acara Pidana tidak dilakukan karena tidak adanya tuntutan dari klien
walau hal ini sangat memungkinkan.
D. Saran
1. Praktisi Kebidanan melalui organisasi profesinya IBI pada semua
tatanan secara berkala dan kontinyu agar melakukan pembinaan
masalah Standar Pelayanan Kebidanan dalam bekerja sebagai unsur
penting agar Pelayanan Berkualitas Oleh Bidan di Puskesmas dapat
tercapai.
2. Dengan adanya hasil penelitian ini, kiranya para bidan di Puskesmas
Mandai kabupaten Maros dapat lebih memahami pentingnya disiplin
dalam pelayanan kebidanan.
120
3. Penegakan Hukum Administrasi harus menjadi bagian dari Standar
Pelayanan Kebidanan agar semua bidan memiliki kedisiplinan dalam
memberi pelayanan kebidanan kepada masyarakat.
121
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta : PT Toko Gunung Agung Tbk.
Achmad Ali, 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory ) dan Teori
Peradilan (Judicial prudence) Termasuk Interpretasi Undang–Undang (Legisprudence). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Achmad Ali, Musakkir, Arfin Hamid, Irwansyah. 2011. Garis Besar
Rancangan Pembelajaran (GBRP) Teori Hukum (501B013), Semester Awal (Ganjil) 2011/2012. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Ahcmad Ruslan. 2011. Teori dan Panduan Praktik Pembentukan
Peraturan Perundang – Undangan di Indonesia. Yogyakarta : Rangkang Education
Ahmad Ramali, Pamoentjak K. St. 1995. Kamus Kedokteran. cetakan
kedua puluh.
Alimin Maidin. 1999. Perencanaan dan Evaluasi Program Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin.
Anak Agung Gede Maningjaya. 2004. Manajemen Kesehatan, Kedokteran
ECG.
Anny Isfandyarie. 2011. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter
(Buku 1). Prestasi Pustaka, Cetakan Keenam.
Azrul Azwar. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi ketiga,
Binarupa Aksara publisher.
Azrul Azwar. 2003. Pengantar Administrasi Kesehatan, Binarupa Aksara
publisher.
122
Bimo Waigito. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : ANDI.
Burhannuddin Salam. 2002. Etika Sosial Asas moral dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta : P.T , Rineka Cipta, Cet.I April.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Pusat Bahasa.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi – Selatan. 2006. Profil Kesehatan
tahun 2006, Bagian Perencanaan Dinkes Provinsi Sulawesi –
Selatan.
Dudi Zulvadi. 2010. Etika dan Manajemen Kebidanan. Yogyakarta :
Cahaya Ilmu.
Fandi Tjiptono. 2002. Manajemen Jasa. Yogyakarta : ANDI Offset, edisi
kedua, cetakan ketiga.
Freddy Rangkuti. 2003. Measuring Customer Satisfaction gaining
Customer Relation Strategy, Gramedia Pustaka Utama.
H. Indar. 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin (Lephas), Makassar.
Harustiati A. Moein. 2012. Bahan Kuliah Hukum Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin,
123
Johanes Supranto. 2004. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk
Menaikan Pangsa Pasar, Rineka Cipta.
Juhaya S Praja. 2010. Aliran – Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta : Kencana
Ed. 1 Cet 4.
Jum Anggriani. 2012. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : Graha Ilmu, Cetakan Pertama.
Ridwan HR. 2010. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Saifuddin Aswar. 2002. Metode penelitian, Pustaka Pelajar.
Slamet Sampurno Soewondo, Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan Di
Indonesia: Suatu Tinjauan Yuridis. Makassar : Pukap.
Soekidjo Notoatmodjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta, Cet :I Agustus.
Adit. 2013. Model Pengembangan Standar Profesi. (http://cia-worls.blogspot.com/2013/07/model-pengembangan-standar-profesi.html diakses jam 20.37 15-7-2013)
Jerry Makawimbang. 2013. Disiplin Pegawai Negeri sipil. (http://id.scribd.com/doc/78752942/Disiplin-Pegawai-Negeri-Sipil jam 11.17 tanggal 12-6-2013.)
124
GLOSARIUM
Abdominal : Mengenai perut.
Anemia :Berkurangnya jumlah sel darah merah atau kadar
hemoglobin.
Antenatal : Masa sebelum melahirkan.
Asifiksia : Keadaan yang timbul karena kekurangan oksigen dalam
udara pernapasan, sehingga tampak tanda-tanda permulaan
terhentinya atau terhentinya kehidupan.
Atonia : Tidak adanya tegangan atau kekuatan otot.
Eklamsia :Keadaan yang ditandai dengan kejang-kejang dan
penurunan kesadaran pada wanita hamil atau pada masa
nifas karena keracunan kehamilan.
Episiotomi : Penyayatan mulut serambi kemaluan untuk mempermudah
kelahiran bayi.
Hipertensi : Tekanan darah yang abnormal tinggi.
Hipoglikemi : Keadaan kadar glukosa darah yang rendah.
Hipotermi : Keadaan suhu badan yang abnormal rendah.
Infeksi : Kena hama, masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh,
khususnya mikroba, juga ketularan penyakit yang belum
diketahui penyebabnya.
Neonatal :Berhubungan dengan bayi baru lahir sampai usia empat
minggu.
Nifas : Masa setelah melahirkan.
125
Obstetri : Ilmu mengenai kelahiran dan gangguan-gangguannya.
Palpasi : Cara pemeriksaan yang dilakukan dengan meraba.
Partus : Persalinan, kelahiran.
Perineum : Kerampang, daerah bawah batang badan antara dubur dan
alat-alat kelamin luar.
Plasenta : Jaringan yang keluar dari rahim mengikuti janin yang baru
lahir.
Post : Awalan yang berarti sesudah , kemudian dari pada.
Puerperalis : Berhubungan dengan masa nifas.
Resusitasi :1. Pemulihan menjadi hidup atau sadar kembali setelah
jelas kelihatan mati, 2. Khusus : Pemulihan pernapasan
setelah fungsi ini berhenti, sama dengan tenggelam, atau
pemulihan denyut jantung setelah terjadi asistole.
Retensio :Hal tertahannya sesuatu dalam badan.
Sepsis :Reaksi umum disertai deman karena kegiatan bakteri, zat-
zat yang dihasilkan bakteri atau kedua-duanya.
Uterus :Rahim, kandungan ibu.
Vakum :Hampa udara, yaitu keadaan suatu ruang yang di dalamnya
sama sekali tidak ada udara.
1
LAMPIRAN
2
DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bagian dari suatu kemajuan
ilmu, pembangunan, dan teknologi. Oleh karena itu dalam era sekarang ini
dimana teknologi dan peradaban sudah sangat maju, menuntut Sumber
Daya Manusia yang kompeten yang memiliki semangat dan kedisiplinan
yang tinggi dalam menjalankan peran dan fungsinya baik untuk
individual maupun tujuan organisasial. Sumber Daya Manusia yang
disebut disini salah satunya adalah Pegawai Negeri Sipil, yaitu Warga
Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,
diangkat oleh pejabat yang berwenang, diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri atau diserahi tugas lainnya, digaji berdasarkan
peraturan perundang ± undangan yang berlaku dan juga merupakan
unsur pelaksana pemerintah, perekat, pemersatu bangsa dan
negara.Pegawai Negeri Sipil memiliki kedudukan yang sangat penting
dan menentukan, dikarenakan Pegawai Negeri Sipil adalah Aparatur
Negara, Abdi Negara dan Abdi Masyarakat serta pelaksana pemerintah
dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan sebagai
usaha mewujudkan tujuan nasional. Kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan nasional tergantung dari kesempurnaan
Aparatur Negara dan kesempurnaan Pegawai Negeri Sipil.Dalam rangka
usaha mencapai tujuan nasional tersebut diperlukan pembinaan untuk
mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang penuh kesetiaan dan ketaatan
pada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintahan
yang bersatu padu, bersih, berkualitas tinggi dan sadar akan tanggung
jawabnya. Pegawai Negeri Sipil harus dikelola dan diurus dengan baik
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok - Pokok Kepegawaian :
3
1. Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara
berdaya guna dan berhasil guna;
2. Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan
pembangunans ebagaimana dimaksud ayat (1) diperlukan Pegawai
Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil
melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem karir
dan sistem prestasi kerja yang dititik beratkan pada sistem prestasi
kerja.
Usaha penertiban dan pembinaan Aparatur Negara yang meliputi
struktur, prosedur kerja, kepegawaian maupun sarana dan fasilitas kerja
hingga keseluruhan Aparatur Negara baik di tingkat Pusat maupun di
tingkat Daerah, benar - benar merupakan Aparatur Negara yang ampuh,
berwibawa, kuat, berdayaguna, berhasil guna, bersih, penuh kesetiaan.
Pada era otonomi daerah sekarang ini, peran dan keberadaan Pegawai
Negeri Sipil menjadi sorotan masyarakat, masyarakat semakin peka dan
kritis terhadap pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah. Begitu
pula sosok Pegawai Negeri Sipil diharapkan dapat menjadi tauladan dan
contoh yang baik di dalam pergaulan masyarakat sehingga Pegawai
Negeri Sipil selain menyelesaikan tugas-tugas kedinasan juga dituntut
mempunyai kepribadian yang baik di tengah- tengah masyarakat.
Pimpinan SKPD yang melakukan pengawasan atas ditaatinya disiplin di
dalam lingkungan yang dipimpinnya mengenai segala sesuatu yang terjadi
dengan stafnya, belum maksimal. Pegawai Negeri Sipil ditekankan betul-
betul mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan
penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab. Setiap Pegawai
Negeri Sipil baik atasan maupun bawahan harus menegakkan
kehormatan Pegawai Negeri Sipil danselalu menghindari perbuatan atau
ucapan-ucapan yang dapat menodai/merusak nama baik Pegawai Negeri
Sipil baik di lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerjanya. Harus
4
disadari pula bahwa untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang penuh
kedisiplinan ternyata bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini
berhubungan dengan karakteristik, profesionalisme, integritas moral
seseorang, tingkah laku, mentalitas dan produktivitas dari Pegawai Negeri
Sipil.kedisiplinan menjadi salah satu masalah mendasar dan harus segera
diatasi dengan serius. Disiplin pegawai merupakan salah satu gambaran
sikap dan perilaku seorang pegawai terhadap pekerjaanya, akan tetapi
dalam kenyataanya masih terjadi tindakan pegawai yang tidak disiplin
seperti : sering datang terlambat atau sering pulang lebih awal, banyak
waktu kerja tidak efektif, sering bolos, bersikap tidak sopan terhadap
pimpinan, menunjukan ketidakpatuhan atau ketidaktaatan terhadap
peraturan kerja yang berlaku di kantor. Hal ini dipertegas oleh pernyataan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menneg PAN) Taufiq
Effendi, seperti yang dikutip dari http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0701/12/ekonomi/3234696.htm, bahwa 55% dari total pegawai
negeri sipil yang mencapai sekitar 3,6 juta orang produktivitas kerjanya
buruk dan disiplinnya yang rendah. Jika masalah tersebut tidak ditangani
dengan serius maka akan membuat image dari instansi pemerintah
semakin buruk dimata publik. Temuan di lapangan membuktikan secara
jelas bahwa banyak dijumpai Pegawai Negeri Sipil yang melakukan
pelanggaran-pelanggaran terhadap kaidah- kaidah disiplin yang tertuang
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun2010 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil, yang di dalamnya mengatur tentang kewajiban dan
larangan yang harus ditaati oleh setiap Pegawai Negeri Sipil.
B. Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan ini disusun dengan tujuan :
1. Memahami konsep disiplin
2. Memahami betapa pentingnya disiplin bagi seorang PNS
3. Mengetahui Disiplin dan pengaruhnya terhadap seorang
karyawan/PNS
C. Manfaat Penulisan Makalah
5
Penulisan makalah in diharapkan akan memberi manfaat secara teoritis
dan praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penulisan ini dapat memperluas khasanah ilmu pengetahuan
manajemensumber daya manusia khususnya yang mengkaji
tentang disiplin kerja PNS
b. Hasil penelitian dapat dijadikan informasi ilmiah oleh mereka yang
menelitimasalah disiplin pegawai pemerintahan.
c. Bagi institusi pendidikan, sebagai bahan masukan untuk
menambah bahan pustaka serta meningkatkan pengetahuan dan
wawasan mahasiswa serta pembaca pada umumnya tentang
disiplin kerja.
2. Manfaat praktis
Penulisan ini dapat dijadikan masukan kepada mahasiswa yang umumnya
merupakan PNS agar untuk lebih meningkatkan disiplin dalam kerja dan
dalam diri.
6
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian disiplin
Persoalan yang dihadapi dalam memanfaatkan sumber daya manusia
(Kepala Sekolah) pada umumnya berkisar pada bagaimana
mengupayakan kepala sekolah bertindak dan bersikap sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini baik dikalangan pegawai negeri,
swasta maupun masyarakat umumnya mengenal istilah yang sangat
populer, yaitu disiplin.
1. Pengertian disiplin menurut beberapa pendapat
Para ahli memiliki pemahaman dan pendapat yang berbeda ± beda
mengenaiarti disiplin, berikut pendapat mereka :
a. Disiplin yang dikutip Menurut Handoko (2010 : 208) secara singkat
disiplin berarti menjalankan standar-standar organisasional. Dari
pengertian ini nampak bahwa disiplin pegawai pada umumnya
mempunyai makna yang luas yaitu tidak hanya untuk hormat, taat
dan patuh terhadap setiap aturan, standar atau norma yang
berlaku, akan tetapi juga mempunyai makna sebagai suatu
kesanggupan untuk menjalankan aturan tersebut dengan sungguh
– sungguh serta kesediaan menerima sangsi-sangsi bila
melanggar. Oleh karena itu dalam setiap peraturan mengenai
disiplin kerja akan selalu terdapat tiga komponen yaitu: kewajiban
yang harus ditaati, dipatuhi atau dijalankan,larangan-larangan yang
tidak boleh dilanggar dan tindakan pendisiplinan yaitu jenis dan
tindakan hukuman disiplin.
b. Disiplin yang dikutip menurut Sinungan (2005: 145 - 147) Disiplin
adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah
laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kepatuhan
atau ketaatan ( Obidence ) terhadap peraturan dan ketentuan yang
ditetapkan baik oleh pemerintah atauetik, norma dan kaidah yang
berlaku dalam masyarakat untuk tujuan tertentu. Disiplin yang
7
dikutip menurut Sinungan juga adalah pengendalian diri agar tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan falsafah dan
moral pancasila.
c. Disiplin yang dikutip Menurut Siswanto (2009 : 145) bahwa
ketaatan itu mengandung pengertian ketaatan terhadap ketentuan
atau peraturan yang berlaku, mentaati perintah, serta kesanggupan
untuk tidak melanggar larangan yang ditetapkan. Dalam organisasi,
istilah disiplin selalu dihubungkan dengan sikap dan perilaku
seseorang karyawan dalam menghadapi atau melaksanakan
pekerjaan atau melakukan tugas dan kewajiban, sehingga dikenal
istilahdisiplin kerja ( work discipline). Disiplin pegawai yang dikutip
Menurut Siswanto (2009 : 156) dapat didefinisikan sebagai suatu
sikap atau perilaku pegawai menghormati, menghargai dan taat
terhadap peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis, serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk
menerima sangsi-sangsinya bila melanggar tugas dan wewenang
yang dibebankan kepadanya. Disiplin pegawai yang tinggi sangat
diperlukan oleh organisasi atau kantor dalam mencapai tujuannya,
karena itu pembinaan disiplin kerja karyawan perlu dilakukan
secara terus-menerus.
d. Disiplin yang dikutip menurut Widjaja (1995 : 28) menyatakan
bahwa disiplin merupakan unsur ± unsur penting yang
mempengaruhi prestasi kerja seorang pegawai dalam suatu
organisasi.
e. Disiplin mempunyai pengertian yang berbeda dan dari berbagai
pengertian,dapat kemukakan beberapa hal seperti yang dikutip
menurut Sedarmayanti (2009 : 223), yaitu :
1) Kata disiplin (terminologis) berasal dari kata latin : disciplina
yang berarti pengajaran dan pelatihan (berawal dari kata
discipulus yaitu seorang yang belajar). Sehingga secara
etimologis ada hubungan pengertian antara discipline
8
dengan disciple (Inggris) yang berarti murid, pengikut yang
setia,ajaran atau aliran.
2) Latihan yang mengembangkan pengendalian diri, watak atau
ketertiban dan efisiensi.
3) Kepatuhan atau ketaatan terhadap ketentuan dan peraturan
pemerintah atauetik, norma dan kaidah yang berlaku dalam
masyarakat.
4) Penghukuman yang dilakukan melalui koreksi dan latihan
untuk mencapai perilaku yang dikendalikan.
2. Pengertian Disiplin Pegawai Negeri Sipil menurut Peraturan
Pemerintah
Peraturan pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai
negerisipil pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa disiplin pegawai negeri sipil
adalah kesanggupan pegawai negeri sipil untuk menaati kewajiban dan
menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau
dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
Berdasarkan pengertian diatas maka penulis memberikan pendapat
bahwa Disiplin dapat diartikan sebagai sikap menghargai, patuh, taat
terhadap peraturandan tata tertib yang berlaku di tempat kerja yang
dilakukan secara rela dengan penuh tanggung jawab dan siap untuk
menerima sangsi jika melanggar tugas dan wewenang.
B. Jenis Disiplin
Menurut Handoko (2010 : 209-211) pada umumnya ada tiga tipe
pembinaandisiplin pegawai atau disebut juga jenis disiplin, yaitu :
1. Disiplin Preventif
Kegiatan manajemen yang dilaksanakan untuk mendorong para
pegawai agar mengikuti berbagai standar atau aturan, sehingga
penyelewengan-penyelewengan dapat dicegah. Sasaran pokok dan
disiplin diri diantara para karyawan. Disiplin preventif adalah tindakan
yang mendorong para karyawan untuk taat kepada berbagai ketentuan
9
yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Artinya
melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan
dan perilaku yang diinginkan dan setiap anggota organisasi diusahakan
pencegahan jangan sampai para karyawan berperilaku negatif.
Manajemen mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan suatu
iklim disiplin preventif dimana berbagai standar diketahui dan dipahami,
sehingga jika karyawan tidak mengetahui standar apa yang dicapai,
mereka cenderung menjadi salah arah. Disamping itu, manajemen
hendaknya menetapkan standar secara positif bukan secara negatif,
seperti jaga keamanan jangan ceroboh. Mereka biasanya juga perlu
mengetahui alasan yang melatar belakangi suatu standar agar mereka
dapat memahami.
2. Disiplin Korektif
Kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran terhadap
arturan-aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran
lebih lanjut. Sasaran pokok dan kegiatan ini adalah untuk memperbaiki
pelanggaran, untuk menghalangi para pegawai lain melakukan megiatan-
kegiatan yang serupa dan untuk menjaga berbagai standar kelompok
yang tetap konsisten dan efektif. Kegiatan disiplin yang korektif sering
berupa hukuman dan disebut tindakan pendisiplinan. Agar tindakan
pendisiplinan tersebut akan efektif maka penerapannya harus konsisten,
karena konsisten adalah kegiatan dan keadilan.
Disiplin korektif merupakan kegiatan yang diambil untuk
menangani pelanggaran terhadap aturan dan mencoba untuk menghindari
penyimpangan lebih lanjut. Kegiatan korektif sering berupa suatu bentuk
hukuman dan disebut tindakan pendisiplinan, misalnya tindakan
pendisiplinan dapat berupa peringatan atau skorsing, Sasaran tindakan
pendisiplinan hendaknya positif, bersifat mendidik dan mengoreksi, bukan
tindakan negatif yang menjatuhkan karyawan yang berbuat salah. Maksud
pendisiplinan adalah untuk memperbaiki kegiatan diwaktu mendatang
bukan menghukum kegiatan dimasa lalu. Pendekatan negatif yang
10
bersifat menghukum biasanya mempunyai pengaruh sampingan yang
merugikan, seperti emosional terganggu, absensi meningkat, apatis atau
kelesuan, dan takut pada penyelia yang melakukan bimbingan dan
memberikan nasihat langsung kepada bawahan. Berbagai sasaran
tindakan pendisiplinan, seperti untuk memperbaiki pelanggar, untuk
menghalangi para karyawan yang lain melakukan kegiatan yang serupa,
dan untuk menjaga berbagai standar kelompok tetap konsisten dan efektif.
3. Disiplin progresif
Disiplin progresif berarti memberikan hukuman yang lebih berat
terhadap pelanggaran yang berulang, dengan tujuan kepada pegawai
untuk mengambil tindakan korektif sebelum hukuman yang lebih serius
dilaksanakan. Disiplin progresif juga memungkinkan atasan langsung
untuk membantu pegawai memperbaiki kesalahan dengan memberikan
teguran secara lisan, ataupun tertulis dan lebih dari itu memberikan
skorsing dan pekerjaan mulai satu sampai tiga hari atau menurunkan
pangkatnya atau demosi dan jika tidak ada perubahan maka dilakukan
proses pemecatan. Dengan demikian tindakan pendisiplinan selalu atas
dasar tingkat berat atau kerasnya hukuman dan untuk pelanggaran serius
tertentu biasanya dikecualikan dan disiplin progresif. Disiplin juga harus
diterapkan dengan konsisten, karena merupakan bagian penting keadilan,
ini berarti bahwa karyawan yang melakukan kesalahan yang sama
hendaknya diberikan hukuman yang sama pula. Kurangnya konsistensi
akan menyebabkan para pegawai merasa tidak diperlakukan secara adil.
Pendisiplinan harus tidak bersifat pribadi, sama denghan peringatan
terhadap sesuatu secara darurat yang perlu penanganan segera.
Disiplin yang efektif akan menghindarkan kegiatan pegawai yang
salah, bukan menyalahkan pegawai sebagai orang, karena ada
perbedaan antara penerapan suatu hukuman bagi pekerjaan yang tidak
dilaksanakan dan pemanggilan seorang pegawai yang bermalas-malasan.
11
C. Hubungan antara disiplin dengan produktivitas kerja
1. Disiplin sebagai peran sentral manusia produktif
Disiplin merupakan sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau
tingkah laku perorangan, kelompok, atau masyarakat berupa ketaatan
terhadap peraturan-peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah
untuk tujuantertentu.Dari pengertian tersebut adanya suatu pandangan
bahwa disiplin mengacu pada pola tingkah laku dengan ciri-ciri yaitu :
a. Adanya hasrat yang kuat untuk melaksanakan sepenuhnya apa
yang sudahmenjadi norma, kaidah yang berlaku dalam
masyarakat.
b. Adanya perilaku yang dikendalikan untuk pencapaian tujuan.
c. Adanya ketaatan terhadap pemerintah
2. Disiplin merupakan sarana untuk mencapai produktivitas kerja PNS
Dari berbagai pengertian disiplin dan produktivitas kerja dapat
diberi pendapat bahwa disiplin mendorong produktivitas atau disiplin
merupakan sarana penting untuk mencapai produktivitas kerja.
Masalah pokok sekarang, apakah masalah disiplin sudah
diintegrasikankepada setiap warga negara untuk menimbulkan dan
mengembangkan inisiatif-inisiatif dalam diri warga negara guna
menciptakan manusia yang produktif ?
3. Pentingnya disiplin dalam meningkatkan produktivitas kerja PNS
Pembaharuan yang ada dalam pribadi tenaga kerja khususnya sikap
mental untuk ketaatan terhadap disiplin sangatlah diperlukan untuk
peningkatan produktivitas kerja, kesadaran terhadap pentingnya disiplin
dari masyarakat akan membawa pengaruh positif bagi pembangunan dan
pengembangan disiplin nasional.
12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Disiplin merupakan cara hidup atau menjadi bagian penting seorang
PNS
2. Disiplin memberikan banyak pengaruh terhadap prestasi kerja,
produktivitaskerja dan peningkatan mutu seorang PNS
3. PP no 53 2010 sangat jelas mengatur tentang pentingnya Disiplin
seorangPNS dalam segala tugas dan tanggung jawab yang diberikan.
B. Saran
1. Perhatian dan pengawasan yang kurang dari atasan meminimalkan
disiplinyang ada dalam lingkungan kerja, karena hal itu dapat membuat
para pegawaimerasa bebas melakukan apa saja tanpa takut ada
teguran maupun sanksi dariatasan, disarankan pihak yang
bersangkutan lebih mengoptimalkan pengawasan agar disiplin kerja
tetap terjaga.
2. Dilihat dari segi kemajuan Teknologi, disarankan segera ganti dari
absensimanual/tulis menjadi absensi menggunakan mesin yang lebih
canggih. Karenaabsensi manual data begitu mudahnya untuk
dimanipulasi. Dalam kasus inidisiplin dapat semakin berkurang karena
nakalnya pegawai tidak diketahuioleh atasan, hal ini pula yang
menjadikan pegawai seenaknya saja datang dan pergi.
3. Disiplin perlu lebih banyak dikaji akan pengaruhnya terhadap berbagai
faktor.
13
Model Pengembangan Standar Profesi
Posted by CIA at 03.17
Organisasi profesi merupakan organisasi yang anggotanya adalah
para praktisi yang menetapkan diri mereka sebagai profesi dan bergabung
bersama untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat
mereka laksanakan dalam kapasitas mereka sebagai individu.
Menurut Winsley (1964), Profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan badan ilmu sebagai dasar untuk pengembangan teori
yang sistematis guna mengahadapi banyak tantangan baru, memerlukan pendidikan dan pelatihan yang cukup lama, serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada pelayan.
Pembentukan Standar Profesi Teknologi Informasi di Indonesia
Dalam memformulasikan standard untuk Indonesia, suatu workshop
sebaiknya diselenggarakan oleh IPKIN. Partisipan workshop tersebut
adalah orang-orang dari industri, pendidikan, dan pemerintah. Workshop
ini diharapkan bisa memformulasikan deskripsi pekerjaan dari klasifikasi
pekerjaan yang belum dicakup oleh model SRIG-PS, misalnya operator.
Terlebih lagi, workshop tersebut akan menyesuaikan model SRIG-PS
dengan kondisi Indonesia dan menghasilkan model standard untuk
Indonesia. Klasifikasi pekerjaan dan deskripsi pekerjaan ini harus
diperluas dan menjadi standard kompetensi untuk profesioanal dalam
Teknologi Informasi.
Persetujuan dan pengakuan dari pemerintah adalah hal penting dalam
pengimplementasian standard di Indonesia. Dengan demikian, setelah
standard kompetensi diformulasikan, standard tersebut dapat diajukan
kepada kepada Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja. Selain itu
standard tersebut juga sebaiknya harus diajukan kepada Menteri
Pendidikan dengan tujuan membantu pembentukan kurikulum Pendidikan
Teknologi Informasi di Indonesia dan untuk menciptakan pemahaman
dalam pengembangan model sertifikasi.
14
Untuk melengkapi standardisasi, IPKIN sudah perlu menetapkan Kode
Etik untuk Profesi Teknologi Informasi. Kode Etik IPKIN akan
dikembangkan dengan mengacu pada Kode Etik SEARCC dan
menambahkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan kondisi
di Indonesia.
Selanjutnya, mekanisme sertifikasi harus dikembangkan untuk
mengimplementasikan standard kompetensi ini. Beberapa cara
pendekatan dari negara lain harus dipertimbangkan. Dengan demikian,
adalah penting untuk mengumpulkan mekanisme standard dari negara-
negara lain sebelum mengembangkan mekanisme sertifikasi di Indonesia.
Standar Profesi di Indonesia dan Regional
Berdasarkan perkembangan Teknologi Informasi secara umum, serta
kebutuhan di Indonesia serta dalam upaya mempersiapkan diri untuk era
perdagangan global. Beberapa usulan dituangkan dalam bab ini. Usulan-
usulan tersebut disejajarkan dengan kegiatan SRIG-PS (SEARCC), dan
IPKIN selaku perhimpunan masyarakat komputer dan informatika di
Indonesia. Juga tak terlepas dari agenda pemerinta melalui Departemen
terkait. Hal ini terlihat dari gambar Implementasi Standardisasi Profesi
bidang TI di Indonesia seperti di bawah ini :
Langkah-langkah yang diusulan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut :
Penyusunan kode etik profesional Teknologi Informasi
Penyusunan Klasifikasi Pekerjaan (Job) Teknologi Informasi di
Indonesia
Penerapanan mekanisme sertifikasi untuk profesional TI
Penerapan sistem akreditasi untuk Pusat Pelatihan dalam upaya
Pengembangan Profesi
Penerapan mekanisme re-sertifikasi
Promosi Standard Profesi Teknologi Informasi
15
Beberapa rencana kegiatan SRIG-PS pada masa mendatang dalam
upaya memasyarakatkan model standardisasi profesi dalam dunia TI
adalah :
Distribusi dari manual SRIG-PS di SEARCC"96 di Bangkok.pada bulan
Juli 1996
Promosi secara ekstensif oleh para anggota dari 1996-1997
Presentasi tiap negara yang telah benar-benar mengimplementasikan
standard yang berdasarkan model SRIG-PS, pada SEARCC'97 di New
Delhi. Ini merupakan penutupan phase 2 dari SRIG-PS.
Rencana strategis dan operasional untuk mempromosikan
implementasi dari rekomendasi SRIG-PS di negara-negara anggota
SEARCC. Hal ini terlihat pada gambar Promosi model SRIG-PS dibawah
ini :
Publikasi dari Standard Profesional Regional diterbitkan di seluruh
negara anggota
Presentasi secara formal di tiap negara anggota
Membantu implementasi standard di negara-negara anggota
Memonitor pelaksanaan standard melalui Himpunan/Ikatan nasional
Melakukan evaluasi dan pengujian
Melakukan perbaikan secara terus menerus
Penggunaan INTERNET untuk menyebarkan informasi mengenai
standard ini
Untuk mengimplementasi promosi di Phase 2, SRIG-PS memperoleh
dana bantuan yang akan digunakan untuk :
Biaya publikasi : disain, percetakan dan distribusiPresentasi formal di
negara anggota
Membantu implementasi standar di negara anggota
Pertemuan untuk mengkonsolidasi, memonitor, dan bertukar
pengalaman
Model dan standar profesi di Eropa (Inggris, Jerman dan Perancis)
16
Standar Praktek yang dikembangkan oleh COTEC adalah kode
sukarela yang dirancang untuk membantu Asosiasi Nasional untuk
membangun dan mengembangkan kode nasional sesuai dengan standar
Eropa praktek untuk terapis okupasi. Hal ini dimaksudkan untuk
penerapan umum namun dapat dimodifikasi untuk daerah spesialis
misalnya pediatri praktek, kepedulian masyarakat, dan lain-lain.
Standar praktek COTEC adalah pernyataan kebijakan yang membantu
untuk mengatur dan menjaga standar praktek profesional yang baik.
Dalam kasus dimana keputusan harus dibuat tentang perilaku tidak
profesional dari seorang ahli terapi kerja, kode dapat digunakan sebagai
panduan standar perilaku profesional yang benar. Wakil untuk COTEC
diminta untuk memastikan bahwa penutur aslinya yang menterjemahkan
kode kedalam bahasa Eropa lainnya karena terdapat frase dan istilah
yang sulit diterjemahkan. Terdapat dua bagian utama dalam dokumen ini,
yaitu :
Kode Etik Federasi Dunia Kerja Therapist
Standar Praktek COTEC yang dirancang tahun 1991 dan diperbaharui
tahun 1996
1. Pribadi Atribut
Pekerjaan therapist memiliki integritas pribadi, kehandalan,
keterbukaan pikiran dan loyalitas yang berkaitan dengan konsumen dan
bidang professional dan keseluruhan. Pekerjaan terapis merupakan
pendekatan terhadap semua konsumen yaitu menghormati dan
memperhatikan situasi masing-masing konsumen. Pekerjaan ini juga tidak
bertindak diskriminasi terhadap para konsumen.
2. Perilaku dalam tim terapi pekerjaan dan dalam tim multi disiplin
Pekerjaan terapis bekerja sama dan menerima tanggung jawab dalam
satu tim yang mendukung tujuan medis dan psikososial yang telah
ditetapkan. Pekerjaan terapis adalah menyediakan laporan tentang
kemajuan intervensi mereka dan memberikan anggota lain dari tim
dengan informasi yang relevan.
17
3. Promosi profesi
Pekerjaan terapis mempunyai komitmen untuk memperbaiki dan
mengembangkan profesi pada umumnya. Mereka juga prihatin terhadap
promosi terapi okupasi yang lain, masyarakat organisasi professional dan
pengaturan badan-badan nasional seta internasional tingkat regional.
4. Standar praktek konsumen
Untuk tujuan standar COTEC Praktek Konsumen, istilah yang
digunakan untuk menjelaskan pasien, klien dan atau wali. Hal ini juga
termasuk mereka yang merupakan tanggung jawab terapis kerja.
Model dan Standar Profesi Amerika dan Eropa
Organisasi profesi merupakan organisasi yang anggotanya adalah
para praktisi yang menetapkan diri mereka sebagai profesi dan bergabung
bersama untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial yang tidak dapat
mereka laksanakan dalam kapasitas mereka sebagai individu.
Semakin luasnya penerapan Teknologi Informasi di berbagai bidang,
telah membuka peluang yang besar bagi para tenaga profesional Tl untuk
bekerja di perusahaan, instansi pemerintah atau dunia pendidikan di era
globalisasi ini.
Secara global, baik di negara maju maupun negara berkembang, telah
terjadi kekurangan tenaga professionalTl. Menurut hasil studi yang
diluncurkan pada April 2001 oleh ITAA (Information Technology
Association of America) dan European Information Technology
Observatory, di Amerika pada tahun 2001 terbuka kesempatan 900.000
pekerjaan di bidang Tl.
Model dan Standar Profesi di USA vs EROPA
Pustakawan dan Konsep Negara Modern
Satu hal penting mengapa profesi pustakawan dihargai di Amerika
adalah bahwa dari sejarahnya, perkembangan profesi pustakawan di
Amerika Serikat sejalan dengan sejarah pembentukan Amerika Serikat
sebagai negara modern dan juga perkembangan dunia akademik. Pada
masa kolonial, tradisi kepustakawanan di dunia akademik merupakan
18
bagian dari konsep negara modern, utamanya berkaitan dengan fungsi
negara untuk menyediakan dan menyimpan informasi. Oleh karena itu,
profesi purstakawan (bibliographist) dan ahli pengarsipan (archieving
specialist) mulai berkembang pada masa itu. Sejalan dengan itu, posisi
pustakawan mengakar kuat di universitas-universitas dan tuntutan
profesionalitas pustakawan pun meningkat. Untuk menjadi seorang
pustakawan,
Seseorang harus mendapatkan gelar pada jenjang S1 pada area
tertentu terlebih dahulu untuk bisa melanjutkan ke jenjang S2 di bidang
perpustakaan. Khusus untuk pustakawan hukum, beberapa sekolah
perpustakaan memiliki jurusan khusus pustakawan hukum. Umumnya
gelarnya berupa MLS atau MLIS (Master of Library and Information
Science). Pendidikan jenjang S2 ini ditempuh selama dua tahun. Sistem
pendidikan yang seperti ini sangat kondusif untuk menciptakan
spesialisasi dalam profesi pustakawan itu sendiri, yang tidak hanya
mampu membuat dan menyusun katalog namun juga memiliki
pengetahuan khusus di bidang tertentu, misalnya pustakawan yang juga
memiliki pengetahuan di bidang hukum. Untuk memastikan hal ini,
dibentuklah panduan profesi pustakawan yang memastikan seorang
pustakawan harus memiliki gelar profesional pustakawan. Selain harus
memiliki sertifikat, para pustakawan profesional ini pun juga terus
mengembangkan pendidikan profesinya dengan mengikuti pelatihan-
pelatihan di area tertentu yang berkaitan dengan pengolahandokumen.Hal
ini penting untuk menghadapi perkembangan dunia elektronik yang juga
berpengaruh terhadap kebutuhan pengguna dan proses pengolahan.
resources by :
http://oktaprimadona.blogspot.com/2012/11/model-pengembangan-
standar-profesi-usa.html
http://iqbalhabibie.staff.gunadarma.ac.id
19
http://ceritanya-dindaa.blogspot.com/2012/12/model-pengembangan-
standard-profesi.html
http://chronika.wordpress.com/2011/03/02/model-pengembangan-
standar-profesi/
20
SURAT KETERANGAN Nomor :081/PKM-MD/TU/VII/2013
Kepala Puskesmas Mandai Kabupaten Maros, dengan ini menerangkan :
Nama : Agus Sukoco
Nomor Pokok : P0907211712
Jurusan : Ilmu Hukum/Hukum Kesehatan
Program Studi : S2
Judul Tesis : Implementasi Standar Pelayanan Kebidanan Di Puskesmas
Mandai Kabupaten Maros
Bahwa benar yang bersangkutan berdasarkan Surat Dekan Fakultas
Hukum Program Pascasarjana pada Universitas Hasanuddin Nomor :
4120 UN4.6.1/PL.02/2013 Tanggal 20 Mei 2013 Perihal : Permohonan Izin
Penelitian, telah melaksanakan penelitian di Puskesmas Mandai. Sejak
bulan Mei s/d Juni 2013.
Demikian surat keterangan selesai melakukan penelitian ini dibuat dengan
benar, untuk dipergunakan sesuai perlunya.
Dikeluarkan Di : Mandai
Pada Tanggal : 23 Juli 2013
Kepala Puskesmas Mandai
Hj. Hasnah Abbas. SKM., M.Kes NIP : 19590121 198206 2 003