22
HALAMAN PENGESAHAN Karya ini diajukan oleh Nama : Indah Khairunnisah NPM : 1006698805 Program Studi : Arab Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis Karya : Makalah Non Seminar Judul Karya Ilmiah : Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi: Transformasi Sistem Halaqah menjadi Sistem Klasikal (1908-1926) Telah disetujui oleh pembimbing skripsi untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah dan dipublikasikan sebagai karya ilmiah sivitas akademika Universitas Indonesia Pembimbing Skripsi : Siti Rohmah Soekarba, S.S., M.Hum./NIP 196402091990032001 ( ) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 25 Agustus 2014 Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

 

HALAMAN PENGESAHAN

Karya ini diajukan oleh

Nama : Indah Khairunnisah

NPM : 1006698805

Program Studi : Arab

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya

Jenis Karya : Makalah Non Seminar

Judul Karya Ilmiah : Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Sumatera Thawalib Parabek

Bukittinggi: Transformasi Sistem Halaqah menjadi Sistem

Klasikal (1908-1926)

Telah disetujui oleh pembimbing skripsi untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah dan dipublikasikan sebagai karya ilmiah sivitas akademika Universitas Indonesia

Pembimbing Skripsi : Siti Rohmah Soekarba, S.S., M.Hum./NIP 196402091990032001 ( )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 25 Agustus 2014

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 2: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKASI NASKAH RINGKAS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum

NIP/NUP : 196402091990032001

adalah pembimbing dari mahasiswa s1

Nama : Indah Khairunnisah

NPM : 1006698805

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya

Program Studi : Arab

Judul Naskah Ringkas : Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi: Transformasi Sistem Halaqah menjadi Sistem Klasikal (1908-1926)

menyatakan bahwa naskah ringkas ini telah diperiksa dan disetujui untuk:

X Dapat diakses di UIANA (lib.ui.ac.id/unggah) saja.

� Tidak dapat diakses di UIANA karena: � Data yang digunakan berasal dari institusi tertentu yang konfidensial � Akan ditunda publikasinya mengingat akan atau sedang dalam proses pengajuan

Hak Paten/Hak Cipta hingga tahun ………………………………… � Akan dipresentasikan sebagai makalah pada Seminar Nasional yaitu:

…………………………………………………………………………………..

yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….

� Akan ditulis dalam bahasa Inggris dan dipresentasikan sebagai makalah pada Seminar Internasional

yaitu: …..………………………………………………………………………..

yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….

� Akan diterbitkan pada jurnal Program Studi/Departemen/Fakultasi di UI yaitu:

…………………………………………………………………………………..

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 3: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….

� Akan diterbitkan pada jurnal Nasional yaitu:

…………………………………………………………………………………..

yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….

� Akan dituliskan dalam Bahasa Inggris untuk dipersiapkan terbit pada Jurnal Internasional yaitu: ……………………………………………………………...

yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan ..… tahun ….

Depok, 25 Agustus 2014

(Siti Rohmah Soekarba, S.S., S.Pd., M.Hum)

Pembimbing

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 4: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM (LPI) SUMATERA THAWALIB

PARABEK BUKITTINGGI: TRANSFORMASI SISTEM HALAQAH

MENJADI SISTEM KLASIKAL

(1908-1926) Indah Khairunnisah dan Siti Rohmah Soekarba

Program Studi Arab, FIB, UI, Depok, 16424, Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak Penelitian ini menjelaskan tentang perubahan sistem halaqah menjadi sistem klasikal di Lembaga

Pendidikan Islam (LPI) Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat. Metode yang digunakan adalah metode penulisan sejarah yang memiliki tahapan heuristik, kritik sumber sejarah, eksplanasi dan kausalitas, serta historiografi. Penemuan-penemuan dalam skripsi ini membuktikan bahwa perubahan sistem pendidikan yang terjadi di Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi merupakan sebuah upaya untuk menghadapi tuntutan zaman. Perubahan sistem tersebut meliputi perubahan dalam kurikulum dan metode pengajaran yang didorong oleh faktor internal berupa ijtihad Syekh Ibrahim Musa dan faktor eksternal berupa munculnya sekolah modern di Sumatera Barat.

Kata kunci : surau, Sumatera Thawalib, Syekh Ibrahim Musa, halaqah, klasikal.

Abstract

This research explains about the transformation from halaqah system to classical system in Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi, West Sumatera. This thesis uses historical writing method with four steps: heuristic, historical source critics, explanation and causality, and also historiography. The results of this thesis proves that the system transformation happened in Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi is an effort to face the ages. The system transformation cover the changes in curriculum and teaching method which are encouraged by internal factor of Syekh Ibrahim Musa’s ijtihad and external factor of the modern school emerging in West Sumatera.

Keywords : surau, Sumatera Thawalib, Syekh Ibrahim Musa, halaqah, classical.

Pendahuluan

Islam telah masuk ke Minangkabau sejak abad pertama hijriah, sekitar abad ke-7 M

melalui pesisir Minangkabau.1 Surau, sebuah tempat peribadatan sejak zaman

                                                                                                                         1  M.D. Mansoer, Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970, hal. 43.  

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 5: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

Hindu/Budha menjadi sebuah media untuk menyebarkan agama Islam. Surau Islam

pertama yang dikenal adalah Surau Ulakan, didirikan oleh Syekh Burhanuddin, yang

digunakan untuk melakukan aktivitas pengajaran dan penyebaran agama Islam. Syekh

Burhanuddin Ulakan juga mengembangkan ajaran tarekat Syattariah sebagai upaya

untuk memperbaiki perilaku masyarakat Minangakabau yang masih jauh dari ajaran

agama Islam.2 Keadaan yang memprihatinkan di Minangkabau menimbulkan

perpecahan dalam masyarakat Minangkabau, sehingga mereka terbagi menjadi dua,

yaitu golongan adat dan golongan tua. Kedua golongan ini mencapai puncak konflik

dan menyebabkan pecahnya Perang Paderi selama 17 tahun sebelum akhirnya dapat

ditumpaskan.

Pembaruan Islam kedua di Minangkabau dimulai oleh salah seorang tokoh yaitu

Syekh Ibrahim Musa. Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek lahir di nagari Parabek,

Bukittinggi, pada hari Minggu, 12 Syawal 1301 H atau bertepatan dengan 1882 M.3

Setelah menuntut ilmu, ia mendirikan pengajian Al-Quran dan kitab di Surau Parabek.

Di suraunya, ia mengajarkan murid-muridnya dengan sistem halaqah yang tidak

memiliki batasan waktu dalam belajar pada 1908. Kemudian, ia melakukan perubahan

terhadap sistem pendidikan di suraunya, yaitu mengganti sistem halaqah menjadi sistem

klasikal pada 1921. Dalam sistem klasikal, murid-murid dibagi ke dalam tingkat-tingkat

dan waktu belajarnya dibatasi.

Metode pendidikan Sumatera Thawalib Parabek yang dibuat Syekh Ibrahim Musa

membawa perubahan yang signifikan pada suraunya. Dari sebuah surau yang

menggunakan sistem halaqah menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam dengan sistem

kelas. Hal ini dianggap sebagai cara Surau Parabek menghadapi perkembangan zaman

kolonial Hindia Belanda, yaitu dengan mempertahankan misi pendidikan Islam untuk

mempelajari agama namun lulusannya tetap dapat beradaptasi dengan perkembangan

zaman. Dari penjelasan di atas, sistem pendidikan Sumatera Thawalib Parabek,

Bukittinggi sejak tahun 1908-1926 menjadi menarik untuk dibahas.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan empat tahapan yaitu:

a. Heuristik, yaitu menemukan sumber;                                                                                                                          2  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992, hal. 22.  3  Subhan Afifi, Syekh Ibrahim Musa: Inspirator Kebangkitan, Jakarta: NHF Publishing, 2010, hal. 9.  

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 6: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

b. Kritik sumber sejarah, yaitu penyeleksian sumber;

c. Eksplanasi dan kausalitas, yaitu menjelaskan dan merangkai fakta-fakta dalam hubungan sebab-akibat.

d. Historiografi, yaitu penulisan kembali hasil rangkaian fakta.

Teori Masuknya Islam ke Minangkabau

Menurut Mansoer M.D, terdapat dua periode masuknya Islam ke daerah

Minangkabau, pertama, periode pengaruh perkembangan agama Islam Sunni (670-730

M), dan kedua, periode perkembangan pengaruh agama Islam Syi’ah (1000-1350 M).

Islam masuk ke daerah Minangkabau pertama kali pada abad ke-7 Masehi melalui

Minangkabau Timur, yaitu daerah aliran sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri dan

lembah aliran sungai Batanghari dan Sungaidareh yang dibawa oleh pedagang-

pedagang Arab yang juga bertindak sebagai penyebar agama Islam.4

Periode pertama masuknya Islam ke Minangkabau merupakan hasil pengaruh dua

kerajaan yang berkuasa di Asia, yakni (1) negeri Cina di bawah dinasti Tang (607 - 908

M) yang beragama Budha Mahayana yang telah menaklukkan sebagian Asia Tengah;

(2) Kekhalifahan Umayyah (661-750 M) yang beragama Islam yang menguasai

sebagian wilayah Asia Tengah lainnya, juga Timur Tengah hingga Semenanjung

Siberia. Dua kerajaan penguasa Asia tersebut tidak selalu hidup berdampingan secara

harmonis, meskipun keduanya satu sama lain saling bergantung akibat perdagangan

jalur sutera.5

Khalifah pertama Umayyah, Muawiyyah (661-680 M), berusaha menguasai

perdagangan lada, agar kebutuhan bahan dagang yang penting itu tidak harus

bergantung pada dinasti Cina Tang. Bandar-bandar dalam kekuasaan kekhalifahan

Umayyah di Teluk Persia telah melakukan hubungan dagang dengan Minangkabau

Timur. Melalui saudagar-saudagar pelaut dari Teluk Persia, Muawiyyah mengirimkan

surat kepada Raja Sriwijaya, Sri Maharaja Lokitawarman. Isi surat tersebut adalah

ajakan untuk masuk Islam dan mengadakan hubungan dagang secara langsung dengan

Damaskus. Sesudah dia meninggal, politik Muawiyyah dilanjutkan oleh cucunya,

Sulaiman Abdul Madjid (715-717 M). Dia memerintahkan angkatan lautnya di Teluk

                                                                                                                         4  M.D. Mansoer, Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970, hal. 44.  5  Ibid., hal. 45.  

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 7: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

Persia yang terdiri dari 35 buah kapal untuk menduduki Muara Sabak guna memonopoli

perdagangan lada. Pengganti Sri Maharaja Lokitawarman, Sri Maharaja Srindrawarman

akhirnya masuk Islam pada tahun 718 M. Korespondensi antara Raja Sriwijaya Sri

Maharaja Srindrawarman dengan Khalifah Umar Abdul Aziz (717-720 M), masih

tersimpan dan dipelahara baik dalam Museum Spanyol di Madrid.6

Periode kedua proses Islamisasi Minangkabau (1000-1350 M) dimulai kembali

setelah empat abad mengalami vacuum. Pada periode tersebut, kerajaan Sriwijaya

berada di bawah pengaruh Budha Mahayana yang sangat kuat, berkuasa di daerah yang

luas (Jawa bagian barat dan tengah, Kalimantan bagian barat dan timur, Semenanjung

Malaka, dan sebagian daratan Asia Tenggara) sehingga Islam tidak dapat menyebar dan

para pendakwah Islam tidak dapat menanamkan nilai-nilainya. Setelah kekuasaan

maritim Sriwijaya berhasil diruntuhkan pada permulaan abad ke-11, Kampar di

Minangkabau Timur mulai bangkit di bawah pengaruh Islam Syi’ah pimpinan dinasti

Fatimiyyah (976-1168 M).

Islam masuk ke Minangkabau dengan damai, kedatangan utusan-utusan dari Aceh

tidak disambut dengan peperangan. Pada masa Kerajaan Pagaruyung dipimpin oleh

Aditiawarman yang berasal dari keluarga Majapahit dan beragama Budha (Mahayana),

eksistensi Tuhan tidak begitu sulit diterima oleh masyarakat Minangkabau. Susunan

istiadat dalam istana Pagaruyung kemudian diubah, kedudukan raja dibagi menjadi tiga,

yaitu: (1) Raja Alam; (2) Raja Adat; (3) Raja Ibadah. Petinggi-petinggi kerajaan juga

dibagi menjadi empat, yaitu: (1) Indomo Saruaso; (2) Bendahara atau Titah Sungai

Tarab, yang keduanya bertugas untuk menjaga adat-istiadat lama; (3) Makhdul di

Sumanik; (4) Tuan Qadhi di Padang Ganting, yang bertugas untuk mengadakan

hubungan dengan nagari-nagari yang telah menerima Islam, juga sebagai tanda nagari

telah Islam.7

Islam yang masuk ke Minangkabau berbentuk nilai-nilai tasawuf. Islam mengubah

pandangan masyarakat Minangkabau yang memahami konsep Tuhan dengan cara yang

estetis, dibanding filosofis. Mereka tidak sepenuhnya memahami konsep metafisika

Hindu/Budha atau mereka cenderung mengabaikannya dan lebih memilih menerima

konsep weltanschaaung milik mereka sendiri. Agama Hindu/Budha merupakan agama

                                                                                                                         6 Setelah kekuasaan kekhalifahan Umayyah runtuh di Damsyik pada 750 M, pusat kekuasaan dinasti Umayyah pindah ke Andalusia (sekarang Spanyol). 7 Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984, hal. 10.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 8: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

yang diterima kelompok yang berkuasa, sementara masyarakatnya tidak begitu peduli.

Mengutip Van Leur, bahwa masyarakat Melayu di-Hindu-kan oleh dinasti yang

menguasainya, “telah dilegitimasikan secara sakral oleh hirokrasi (hierocracy) India”.

Melalui tasawuf, semangat beragama masyarakat Minangkabau mulai bangkit yang

menuntut adanya unsur intelektual dan rasional di dalam penganut Islam. Konsep-

konsep Tuhan, wujud, eksistensi, waktu, agama, manusia, diri dan iradah yang di bawa

oleh Islam merubah cara pandang mereka terhadap konsep weltanschaaung.8

Kemudian dengan media tarekat, nilai-nilai tasawuf semakin kuat menyentuh

Minangkabau. Dengan cara yang diplomatis, tasawuf mengkompromikan nilai-nilai

Islam tradisional dengan kultur religius lokal. Tidak heran mengapa para muballigh-

muballigh Islam menyebarkan Islam melalui surau-surau yang awalnya adalah tempat

beribadah umat beragama Budha. Kemudian surau memiliki tradisi keilmuan hingga

membentuk karakter sendiri. Karakter yang dimaksud adalah tradisi keilmuan dalam

tarekat Syattariyah.

Tarekat Syattariyah yang berkembang di Minangkabau berasal dari Aceh. Salah

seorang tokohnya yang terkenal adalah Syekh Burhanuddin Ulakan (w. 1692 M). Syekh

Burhanuddin Ulakan sempat beberapa tahun belajar kepada al-Sinkili, dan sepulangnya

dari Mekah, dia mendirikan surau di daerah Ulakan. Di surau ini, dia mengembangkan

ajaran tarekat Syattariyah dan meneruskan gagasan neo-sufisme, terutama dari jalur al-

Sinkili dan ulama-ulama dalam jaringan tarekat tersebut.

Masyarakat Minangkabau saat itu belum sepenuhnya mempraktikkan nilai-nilai

Islam dalam kehidupan sehari-hari. Burhanuddin mengenalkan dasar-dasar keimanan

kepada masyarakat, terutama ajaran tauhid. Ajaran tarekat yang dibawa Burhanuddin

tidak begitu melekat pada masyarakat, mereka justru lebih mengenal ajaran tauhid.

Agaknya, penyesuaian diterapkan dalam penyebaran agama Islam di Minangkabau.9

Hamka sendiri melihat bahwa tasawuf yang dikembangkan cenderung digunakan

sebagal alat penyesuaian diri terhadap tradisi lokal dan ritual-rutial yang telah dilakukan

sebelum Islam datang, seperti memuja kubur, memuja wali, dan sebagainya. Tasawuf

yang berkembang di Minangkabau juga merupakan media politik, yakni untuk

                                                                                                                         8 Muhammad Naquib al-Attas, op.cit., hal. 216-217. 9 Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau: Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tangan Awal Abad XX, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Latihan Kementrian Agama RI, 2011, hal. 59-60.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 9: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

menyuarakan ketidakpuasan di bidang politik agar dapat menjamin kepentingan-

kepentingan ulama-ulama tarekat dalam sebuah jaringan yang lebih luas.10

Hingga tahap ini, Islam yang berkembang di Minangkabau merupakan bentuk

penyesuaian tasawuf, terutama konsep wujud, dengan ajaran tauhid di surau-surau

bertarekat Syattariyah. Tahap berikutnya, adalah tahap pemurnian yang dipelopori kaum

Paderi pada abad ke-19 dan tahap pembaharuan pada abad ke-20 yang menyingkirkan

konsep wujud, dan menggantikannya dengan harmonisasi antara syari’ah dan tasawuf.

Pengetahuan tasawuf tetap ada bersama dengan diajarkannya materi-materi pengetahuan

yang lain di surau-surau Minangkabau.11

“Adat Bersyandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah”

Islam masuk ke Minangkabau, sejak masa raja Adityawarman hingga sebelum masa

perang Paderi, adalah sebuah proses yang demokratis dan damai. Ajaran Islam

beriringan dengan adat-istiadat Minangkabau. Selama 10 abad, masyarakat

Minangkabau memiliki pepatah adat yang berbunyi, “adat bersandi syarak12, syarak

bersandi adat.” Pepatah tersebut menjadikan harmonisasi adat dan agama sehingga

masyarakat hidup dengan saling melindungi, baik secara adat maupun agama. Hal ini

menjadikan Islam sebagai agama yang kultural dalam masyarakat Minangkabau.

Kemudian, ketika Islam di Nusantara terpengaruh gerakan Wahabi di Arab,

terutama setelah kembalinya ulama-ulama Minangkabau dari Mekah, terjadi upaya

kepercayaan dari praktik-praktik yang melanggar hukum Islam seperti menyabung

ayam, meminum tuak, dan sebagainya. Ulama golongan tua Minangkabau yang saat itu

menganut Islam Syi’ah tidak mampu mengatasi problem tersebut, sementara ulama

yang baru tiba dari Mekah dan bergolongan suni yang tergolong dalam kaum Paderi dan

memberantas praktik tersebut mengalami pergesekan.

Kondisi masyarakat Minangkabau ini dirasa sebagai kelemahan dari proses

Islamisasi kultural. Mereka menganut agama Islam, tetapi tetap menjalankan adat

istiadat yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Pertumpahan darah terus terjadi selama

17 tahun akibat gerakan Islamisasi politik yang dipelopori kaum Paderi. Akhirnya,

                                                                                                                         10 Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Panjimas, 1984, hal. 237. 11 Ahmad Taufik Hidayat, op.cit., hal. 63. 12 Syarak adalah peraturan-peraturan yang didasarkan pada hukum Islam. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. Ke-3), Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992, hal. 23.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 10: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

sebuah musyawarah yang diselenggarakan di Bukit Marapalam pada tahun 1837

melahirkan ikrar, prinsip baru Minangkabau, yakni “adat bersandi syarak, syarak

bersandi Kitabullah.”

Islam adalah agama Samawi yang terakhir dan paling sempurna dengan kitab suci

Al-Quran. Kitabullah yang dimaksud dalam ikrar di atas adalah Al-Quran. Oleh karena

itu, orang Minang hanya menganut agama tunggal, yaitu Islam. Dari prinsip baru yang

dianut oleh orang Minangkabau tersebut, tercerminlah bahwa Jika agamanya bukan

Islam, maka orang tersebut tidak mungkin disebut orang Minangkabau.13

Surau – Sebuah Gambaran Umum

Surau merupakan istilah Melayu-Indonesia yang banyak digunakan di wilayah Asia

Tenggara, seperti Minangkabau, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaysia, Sumatera

Tengah, dan Patani (Thailand Selatan).14 Ada beberapa teori mengenai asal kata Surau.

Steenbrink mengatakan bahwa kata surau berasal dari India.15 Ahmad Taufik Hidayat

memperkuat pernyataan Steenbrink. Ia mengatakan bahwa kata “surau” berasal dari

bahasa Sansekerta surawa yang berubah ke dalam varian bahasa Minang menjadi

“surau” yang berarti “tempat” atau “tempat untuk pertapaan”. Hasil identifikasi Sidi

Gazalba, kata “surau” berasal dari kata bahasa Arab shūra atau ‛āshūra yang secara

harfiah berarti musyawarah. Pengertian ini erat sekali dengan fungsi surau sebagai

tempat bermusyawarah dan sebuah tanda bahwa surau berkaitan dengan masyarakat

luas.16 Menurut pengertian asalnya, surau merupakan bangunan kecil yang didirikan

untuk penyembahan arwah nenek moyang. Oleh karena itu, surau masa awal biasanya

dibangun di atas puncak bukit atau tempat yang lebih tinggi dari lingkungan di sekitar

sebagai tempat peribadatan Hindu-Budha.

Surau tidak lepas dari proses Islamisasi. Dengan datangnya Islam, surau Islam

ditemukan di tengah pemukiman masyarakat, tetapi sisa-sisa kesakralan surau tetap

dipertahankan. Arsitektur surau biasanya memiliki beberapa puncak atau gonjong yang                                                                                                                          13 Amir M.S., op.cit., hal. 128-132. 14 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 150. 15 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES, 1994, hal. 21. 16 Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Minangkabau: Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tangah Awal Abad XX, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012, hal. 1. Lihat juga Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 150.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 11: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

melambangkan kepercayaan mistis tertentu, namun belakangan gonjong berubah

menjadi simbol adat Minangkabau. Kini, surau sudah menjadi bangunan keislaman.

Istilah surau mengacu pada masjid kecil atau langgar. Surau bukanlah masjid secara

umum, tetapi surau digunakan untuk berbagai kegiatan agama Islam.17

Surau Parabek

Awal mula Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi adalah surau Parabek.

Surau Parabek didirikan oleh Syekh Ibrahim Musa sepulang ia belajar dari Mekah pada

tahun 1908 M. Selama enam tahun ia membina surau dan pengajiannya ini, suraunya

mulai ramai didatangi orang untuk belajar dan namanya pun mulai populer. Pada tahun

1914, ia pergi meninggalkan nagarinya untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah

sekaligus memperdalam ilmu bersama istrinya, Syarifah, dan anak sulungnya, Thaher

Ibrahim. Surau Parabek tetap berjalan dan ia percayakan kepada murid-muridnya. Dua

tahun lamanya, ia berada di Mekah, akhirnya Syekh Ibrahim Musa memutuskan untuk

kembali ke nagarinya. Saat itu keadaan Mekah memang dalam kacau balau akibat

pertentangan antara Syarif Husein dan pusat pemerintahan Islam di Turki.18

Sepulangnya Syekh Ibrahim Musa ke Parabek, ia langsung melanjutkan pembinaan

terhadap surau dan pengajian yang didirikannya. Di suraunya, ia mengajarkan pengajian

Al-Quran dan pengajian kitab yang dilaksanakan dengan sistem, yakni halaqah.

Halaqah merupakan sering disebut dengan istilah “adu lutut” karena semua muridnya

duduk bersila di surau mengelilingi guru dan sering kali lutut mereka saling beradu satu

sama lainnya namun tetap seksama menyimak penjelasan gurunya. Semua pengajaran

berada langsung di bawah bimbingannya, dan bantuan beberapa guru bantu (Guru

Tuo).19

Adapun metode pengajaran Al-Quran dan kitab di Surau Parabek serupa dengan

metode yang ada di surau-surau Minangkabau. Secara umum, pendidikan surau dibagi

menjadi dua tingkat. Tingkat awal adalah pengajian Al-Quran. Pada pengajian Al-

Quran, terdapat empat pelajaran yang diberikan oleh Syaikh Ibrahim Musa, yakni20:

1. Membaca Al-Quran                                                                                                                          17 Azyumardi Azra, op.cit, hal. 150 18 Subhan Afifi, Syekh Ibrahim Musa: Inspirator Kebangkitan, Jakarta: NHF Publishing, hal. 32. 19 Ibid., hal. 25. 20 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992, hal. 33-41.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 12: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

2. Ibadah

3. Keimanan

4. Akhlak

Asal Nama Sumatera Thawalib

Surau Parabek semakin lama semakin ramai didatangi orang-orang dari berbagai

daerah untuk mempelajari agama Islam. Mereka datang dari berbagai daerah di

Sumatera bagian barat, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Palembang. Pada tahun 1919,

murid-murid di Surau Parabek mendirikan perkumpulan murid yang mereka beri nama

Jami’ah al-Ikhwan atau Tsamarah al-Ikhwan atau Muzakarah al-Ikhwan. Yang terakhir,

Muzakarah al-Ikhwan dirasa lebih kuat.21

Tujuan dibuatnya organisasi ini adalah untuk mengadakan diskusi-diskusi ilmiah

mengenai segala persoalan yang berkaitan dengan agama Islam, untuk berlatih

berdialog dan berdebat, melatih kecepatan berpikir dan menambah ilmu pengetahuan

hingga melahirkan pemikir-pemikir baru.

Terpengaruh dengan perkembangan yang terjadi di Surau Jembatan Besi Padang

Panjang22 yang telah menyempurnakan namanya menjadi Sumatera Thuwailib, Surau

Parabek ini mengubah nama Thuwailibnya menjadi Sumatera Thuwailib. Penggunaan

Sumatera menunjukkan bahwa murid-murid yang tergabung dalam persatuan ini dan

belajar di Surau Parabek berasal dari berbagai daerah di Sumatera. Sementara menurut

Mahmud Yunus, nama Sumatera Thuwailib maksudnya adalah Thuwailib Sumatera,

Pelajar Kecil Sumatera.23 Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara dengan Inyik Khatib

Muzakkir, bahwa penggunaan Thuwailib merupakan bentuk kerendahan hati Syekh

Ibrahim Musa untuk menyebut organisasi murid-muridnya kecil secara diminutif,

padahal memiliki kegiatan yang efektif membangun kualitas pengetahuan murid-

muridnya.24

                                                                                                                         21 Subhan Afifi, op.cit., hal. 32. 22 Surau Jembatan Besi Padang Panjang lebih dulu didirikan jika dibandingkan dengan Surau Parabek Bukittinggi. Dua tokoh sentral dalam pengembangan Surau Jembatan Besi adalah Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul. Keduanya pernah belajar kepada Syekh Khatib al-Minangkabau di Mekah, guru yang sama dengan Syekh Ibrahim Musa. Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, hal.52. 23 Mahmud Yunus, op.cit., hal. 94. 24 Wawancara penulis dengan Syekh Khatib Muzakkir (Alumni dan Pengajar Non Aktif Sumatera Thawalib Parabek) di Kediaman Syekh Khatib Muzakkir, Parabek, Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Maret 2014.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 13: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

Surau Parabek dan Surau Jembatan Besi memiliki kedekatan sejak mula didirikan.

Beberapa faktor yang menyebabkan kedekatan ini, di antaranya adalah adanya cita-cita

yang sama, guru utamanya berasal dari satu perguruan dan bersahabat karib, dan murid-

murid di kedua surau tersebut saling berpindah untuk belajar. Berbagai usaha dilakukan

untuk menyatukan dua lembaga surau ini. Ketika murid-murid semakin banyak dan

persatuan murid dirasa semakin bermanfaat, sebuah ide muncul untuk mendirikan satu

organisasi sebagai bentuk sinergi konkrit antara kedua surau. Ide ini dimunculkan untuk

memberikan dukungan terhadap aktivitas kedua surau agar semakin bermanfaat.

Setelah adanya pertukaran pikiran antara pendiri Sumatera Thuwailib Parabek dan

Sumatera Thuwailib Padang Panjang, Syekh Ibrahim Musa dan Haji Rasul, akhirnya

ada kesepakatan untuk membuat suatu organisasi bersama. Pertemuan itu dihadiri oleh

wakil kedua organisasi, dua guru utama mereka, Syekh Ibrahim Musa dan Haji Rasul,

disertai juga oleh Syekh Jamil Jambek sendiri. Hasil pertemuan tersebut adalah

didirikannya sebuah organisasi bersama antara kedua surau, namun belum jelas

wujudnya. Kelanjutan pertemuan tersebut disambung dengan surat-menyurat antara

Sumatera Thuwailib Surau Padang Panjang dan Sumatera Thuwailib Surau Parabek.

Akhirnya, sebuah organisasi yang umum berdiri dengan meleburkan kedua organisasi

Sumatera Thuwailib Surau Padang Panjang dan Sumatera Thuwailib Surau Parabek

menjadi satu dengan nama baru yaitu Sumatera Thawalib pada tanggal 15 Februari

1920.

Sumatera Thawalib berdiri sebagai suatu organisasi tempat seluruh pelajar surau

Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parabek Bukittinggi bersatu dan saling

mendukung aktivitas mereka yang sebelumnya dikerjakan di organisasi surau masing-

masing. Penggunaan nama Sumatera Thawalib kemudian menjadi nama sekolah bagi

Surau Parabek, namun belum ada perubahan dari metode dan sistem pengajaran di surau

pada umumnya.

Surau Parabek Menjadi LPI Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi

Perubahan surau Parabek menjadi Madrasah Sumatera Thawalib Parabek memiliki

visi dan misi yang tertuang dalam Anggaran Dasar Sumatera Thawalib pasal 2 dan 3

sebagai berikut25:

                                                                                                                         25 Burhanuddin Daya, op.cit., hal. 94-95.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 14: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

“Fasal 2 Maksoed perkoempoelan ini ialah: Mengoesahakan dan memajoekan matjam-matjam pengetahoean dan pekerdjaan yang membawa kepada kebaikan dan kemadjoean doenia dan akhirat menoeroet kedendak agama Islam. Fasal 3 Akan menyampaikan maksoed-maksoed itoe, perkoempoelan ini berusaha sekoeat-koeatnja: a. Mendirikan dan mengatoer ataoe memberi bantoean sekolah-sekolah yang memberi pengadjaran Agama Islam; serta mengoesahakan soepaja fakpeladjaran ditjoekoepkan djoega dengan peladjaran-peladjaran yang bergoena oentoek keselamatan hidoep. b. Menerbitkan dan membantoe terbitnya boekoe-boekoe yang berguna oentoek peladjaran sekolah-sekolah itu. c. Membangoenkan dan menebarkan benih pengetahoean Agama Islam oentoek menghidupkan roh dan semangat Islam dengan roepa-roepa oesaha.”

Berdasarkan misi yang disebutkan di atas, perubahan yang terjadi difokuskan pada

pendidikan. Surau Parabek semakin lama semakin ramai dikunjungi calon-calon murid

untuk belajar. Mesjid yang biasa dijadikan tempat belajar mengajar dirasa tidak lagi

sanggup menampung murid-murid dengan sistem halaqah. Atas inisiatif Syekh Ibrahim

Musa, akhirnya dibangunlah ruang kelas di sebelah selatan Mesjid Parabek. Seiring

dengan berjalannya pembangunan kelas dan perubahan nama menjadi Madrasah

Sumatera Thawalib Parabek, metode dan sistem pengajaran di Surau Parabek berubah

menjadi sistem klasikal. Jika pada sistem halaqah murid-murid yang belajar disamakan

materi pembelajarannya dan tidak dibatasi lama belajarnya, maka pada sistem klasikal

murid-murid dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan sesuai dengan tingkat pemahaman

ilmunya. Jika sebelumnya murid-murid belajar di surau dengan duduk bersila beradu

lutut mengelilingi guru, maka dengan sistem klasikal, murid-murid duduk di dalam

kelas-kelas seperti sistem pendidikan modern yang dapat kita lihat sekarang. Batas

pendidikan kemudian diatur. Dengan transformasi dari sistem halaqah ke sistem

klasikal, waktu belajar di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi dibatasi

menjadi 7 tingkat.26 Perubahan ini terjadi dimulai secara resmi pada tanggal 21

September 1921.27

Dengan perubahan sistem dari halaqah menjadi klasikal, metode dan kurikulum pun

berubah. Meskipun metode pengajaran tetap berada di bawah pengawasan Syekh

Ibrahim Musa, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dibantu oleh majelis guru.

Beberapa nama yang pernah menjadi anggota majelis guru Madrasah Sumatera                                                                                                                          26 Mahmud Yunus, op.cit., hal. 73. 27 Wawancara penulis dengan Buya Deswandi (Alumni dan Staf Pengajar Sumatera Thawalib Parabek) di Sumatera Thawalib Parabek, Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Maret 2014. Lihat juga wawancara penulis dengan Syekh Khatib, Syekh Khatib Muzakkir (Alumni dan Pengajar Non Aktif Sumatera Thawalib Parabek) di Kediaman Syekh Khatib Muzakkir, Parabek, Bukittinggi, Sumatera Barat, 4 Maret 2014..

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 15: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

Thawalib Parabek di antaranya adalah: Ali Imran Jamil, Amir Hamzah, Hayat Pulau

Tello, Labai Sain al-Makki, A. Gafar Ismail, Saleh Barallah, Ilyas Payakumbuh, H.

Salim, dan lain-lain.28

Kurikulum surau disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan yang telah dibagi dari

kelas I hingga kelas VII. Meskipun tingkat kelas dibagi menjadi tujuh, tetapi lama

belajar yang ditempuh di Sumatera Thawalib Parabek adalah 8 tahun. Hal ini

dikarenakan pembagian tingkat VI menjadi dua tahun, yaitu VI-A dan VI-B. Murid-

murid yang lulus tingkat VI-A tidak langsung naik ke tingkat VII, tetapi terlebih dulu

memperdalam ilmu-ilmu yang di tingkat VI-B. Baru setelah lulus ujian di tingkat VI-B,

murid-murid tersebut belajar di tingkat VII.

Tidak hanya ilmu alat dan ilmu agama Islam yang dipelajari murid-murid Madrasah

Sumatera Thawalib Parabek, tapi ilmu umum kemudian dimasukkan ke dalam

kurikulum. Ini menjadi perubahan yang nyata terlihat dari transformasi Surau Parabek.

Ilmu umum dalam kurikulum madrasah yang baru adalah ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu

bumi, bahasa Belanda, bahasa Inggris dan beberapa Perancis.29

Syekh Ibrahim Musa – Sosok Pendiri LPI Sumatera Thawalib Parabek

Syekh Ibrahim Musa lahir pada hari Minggu, 12 Syawal 1301 H, atau bertepatan

pada tanggal 15 Agustus 1884 M.30 Syekh Ibrahim Musa memiliki nama kecil Luthan

Musa. Namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti dengan Ibrahim31.

Musa yang melekat pada nama belakangnya adalah penisbahan dari nama ayahnya.

Sementara, Parabek adalah nama tempat kelahirannya. Penggunaan Syekh merupakan

bentuk penghormatan masyarakat Sumatera Barat terhadap seorang alim seperti Ibrahim

Musa yang memiliki ilmu agama Islam yang luas dan mendalam.

Syekh Ibrahim Musa Parabek tampaknya menurunkan keahlian ayahnya. Ayahnya

bernama Syekh Muhammad Musa bin Abdul Malik al-Qarthawiy merupakan seorang

ulama terkenal di kampung halamannya, Desa Karakatau, yang terletak 1 kilo meter dari

Desa Parabek. Ibunya, Maryam Ureh, berasal dari suku Pisang Nagari Parabek.

                                                                                                                         28 Burhanuddin Daya, op.cit., hal. 128. 29 Ibid., hal. 127. 30 Subhan Afifi, op.cit., hal. 9. 31 Merupakan sebuah kebiasaan pada masa itu, bahwa seseorang yang telah menunaikan ibadah haji namanya diganti dengan nama yang sesuai dengan gelar kehajiannya.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 16: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

Syekh Ibrahim Musa mulai menempuh pendidikan mulai dari rumah tempat ia

dibesarkan di Desa Parabek hingga ke luar negeri, tepatnya ke Mekah, kiblat umat Islam

dalam beribadah juga tempat menuntut ilmu yang didatangi muslim dari seluruh dunia.

Orang tuanya yang merupakan seorang ulama yang terpandang memberikan pendidikan

pertama berupa pelajaran agama, pelajaran membaca dan menulis dalam bahasa Melayu

juga bahasa Arab.32 Keluarga memberi dorongan yang besar agar menjadi seorang ahli

agama. Ibrahim Musa kecil mendapat asuhan dan binaan langsung dari ayahnya yang

seorang alim terpandang di nagarinya. Secara jelas, ayahnya menginginkan Ibrahim

Musa kelak menjadi seorang alim seperti dirinya, bahkan melebihi dirinya dari segi

keilmuan dan pengaruh. Pendidikan awal ini berlangsung hingga ia berumur 13 tahun.

Pendidikannya kemudian dilanjutkan dengan belajar kepada ulama yang berada di

sekitar Sumatera Tengah. Menjadi sebuah hal yang lazim pada masa itu bagi anak

seorang alim, ia akan dilepas untuk berguru pada ulama di ranah Minangkabau. Seorang

santri hendaknya mendatangi seorang guru atau syekh untuk mempelajari satu ilmu

yang dikuasai oleh guru tersebut, jika ingin mempelajari ilmu fikih maka berguru pada

ahli fikih, dan sebagainya.33 Pertama, ia belajar kepada Syekh Mata Air di Pariaman

bersama dengan kakak sepersusuannya, Abdul Malik. Kepada Syekh Mata Air, ia

mempelajari ilmu nahwu dan sharaf selamat satu tahun. Kedua, ia menimba ilmu

kepada Tuanku Angin, seorang alim di Batipuh, Padang Panjang. Di sana, ia

mempelajari ilmu fikih dengan menggunakan kitab Matan Minhaj selama satu tahun.

Ketiga, ia mempelajari Tafsir Al-Qur’an di Batu Tebal, Padang Panjang, pada tahun

1897 M. Keempat, ia melanjutkan pendidikannya dengan belajar pada Syekh Abbas di

Ladang Lawas, Banuhampu, Bukittinggi, selama satu tahun (1898 M). Kelima, ia

memperdalam ilmu tafsirnya kepada Syekh Abdul Shomad.

Di lihat dari penjelasan di atas, Syekh Ibrahim Musa suka menuntut ilmu juga

terbiasa melakukan perjalanan ilmiah (rihlah ilmiah) dari satu kota ke kota lainnya, dari

seorang alim ke alim yang lainnya. Karena keinginannya untuk menuntut ilmu semakin

kuat, ia meneruskan kebiasaan rihlah ilmiah-nya34 dengan belajar kepada Syekh

                                                                                                                         32 Abuddin Nata, op.cit., hal. 41. 33 Subhan Afifi, op.cit., hal. 12. 34 Melakukan perjalanan dari satu kota ke kota yang lain bagi pemuda Minang adalah sebuah tradisi, yang disebut dengan tradisi merantau. Tujuan merantau pada umumnya adalah menuntut ilmu atau mencari nafkah. Tradisi merantau ini disebabkan oleh tradisi matrilineal pada masyarakat Minangkabau, dimana anak laki-laki tidak memiliki kamar di rumah sehingga mendorong mereka untuk merantau.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 17: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

Jalaluddin al-Kasai di Desa Sungai Landai, Sungai Puar. Selama satu tahun ia belajar

ilmu Tafsir Al-Quran pada Syekh Jalaluddin al-Kasai pada tahun 1900 M. Karena

pengetahuannya yang sudah cukup tinggi hingga mampu membaca Kitab Kuning,

Syekh Jalaluddin al-Kasai mengangkatnya menjadi Guru Tua.

Pendidikan berikutnya, ia tempuh di Kota Kecil Talago Suliki, Payakumbuh, dengan

mempelajari Ilmu Tafsir kepada Syekh Abdul Hamid selama dua tahun (1901). Pada

waktu itu, suasana Minangkabau sedang mengalami pergolakan akibat politik devide et

impera yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda. Terjadi perpecahan antara tokoh

adat dan tokoh agama Minangkabau. Ibrahim Musa yang merasa belum memiliki ilmu

yang cukup mengenai politik belum berani untuk terjun membantu menyelesaikan

masalah tersebut.

Ketika permasalahan di Minangkabau semakin pelik, Ibrahim Musa memutuskan

untuk memperdalam ilmunya ke luar negeri. Bersama dengan kakaknya, Abdul Malik,

mereka meninggalkan tanah air untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah

pada Rajab 1320 H./ 1901 M. Tidak hanya menunaikan ibadah haji di Mekah, Ibrahim

Musa memperdalam ilmunya. Di Mekah, ia belajar hukum Islam kepada Syekh Ahmad

Khatib al-Minangkabau yang sudah menjadi seorang syekh dan Imam Masjid al-Haram.

Selain itu ia belajar Ilmu Falak kepada Syekh Muhammad, dan ilmu-ilmu agama Islam

lainnya kepada Syekh Mukhtar al-Jawiy dan Syekh Yusuf al-Hayyat.

Di antara kesibukannya menjalankan sekolah, mengajar, dan berorganisasi, Ibrahim

Musa merupakan seorang penulis yang produktif. Selama hayatnya, ia telah

menghasilkan karya-karya ilmiah dalam bidang keagamaan, di antaranya adalah (1)

Kitab Hidayah al-Shibyan. Buku ini menguraikan tentang tata cara mendidik anak-anak

murid agar pandai berbahasa Arab. Kitab ini tergolong ke dalam Kitab Ilmu Balaghah.

Buku ini pernah diterbitkan oleh percetakan Typ Drukkerij “Baroe” Fort de Kock pada

tahun 1930; (2) Kitab Ijaba al-Sual. Kitab ini merupakan syarah Husnul Ma’mul yang

ditulis dalam bahasa Arab dan berisi tentang penjelasan atas bermacam-macam

pertanyaan yang diajukan oleh muridnya; (3) Kitab al-Hidayah. Buku ini ditulis dalam

bahasa Melayu dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh salah

seorang muridnya. Kitab ini berisi tentang ilmu tauhid bagi kalangan penganut Ahlu al-

Sunnah wa al-Jama’ah. Di dalam buku tersebut dijelaskan tentang akidah yang

berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan yang berjumlah lima puluh sifat, di antaranya sifat

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 18: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah, serta sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi

Rasul. Buku ini dicetak oleh Yayasan Syekh Ibrahim Musa pada tahun 1964, dan

merupakan bagian dari naskah kitab Hidayah al-Ahibah ila Ma’rifah Aqaid Ahl Al-

Sunnah wa al-Jama’ah.

Di samping menulis buku, Ibrahim Musa Parabek juga menerbitkan majalah yang

ditujukan sebagai alat berkomunikasi dengan masyarakat, khususnya dalam

menyosialisasikan gagasan-gagasan pembaruannya. Selanjutnya ia juga banyak

menyumbangkan artikel untuk majalah al-Munir yang diterbitkan di Padang di bawah

pimpinan Abdullah Ahmad. Selain itu, ia juga menjadi pengasuh ruang konsultasi dan

tanya jawab hukum Islam dan pendidikan Islam pada majalah al-Manar yang dipimpin

oleh H. Zainuddin Labai el-Yunusiy. Selanjutnya ia juga merupakan pemimpi redaksi

majalah al-Bayan yang dikelola oleh Perhimpunan Pelajar Sumatera Thawalib Parabek

dengan Dewan Redaksinya Yamin Abdul Murad dan Sain al-Maliki.

Selain menulis buku dan artikel pada majalah-majalah di atas, Ibrahim Musa

Parabek juga pernah menjadi editor untuk buku al-Tarhib fi al-Tarbiyah wa al-Tarsib

yang dikarang oleh Abdul Malik al-Shiddiq. Buku tersebut membahas tentang akhlak

dan budi pekerti dan ditulis dalam bahasa Arab pada tahun 1928 M dan dicetak di Fort

de Cock (Bukittinggi) oleh penerbit Tsamarah al-Ichwan.35

Faktor-faktor Penyebab Transformasi Surau Menjadi Madrasah

Dorongan untuk mengubah sistem halaqah menjadi sistem klasikal bisa disebabkan

dari dalam dan dari luar Sumatera Thawalib itu sendiri. Untuk itu, penulis membagi

faktor penyebab transformasi Surau Parabek dari sistem halaqah menjadi sistem

klasikal, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal yang mempengaruhi perubahan dari sistem halaqah ke sistem

klasikal salah satunya sosok sentral Surau Parabek yaitu Syekh Ibrahim Musa. Syekh

Ibrahim Musa adalah sosok kharismatik, cerdas dan rendah hati. Gagasan dan

pandangannya disampaikan dengan tutur kata yang halus dan lembut.

Pengajian yang ia selenggarakan sejak pertama kali ia tiba dari Mekah mulai

diterima masyarakat karena melihat kepribadiannya yang baik. Sebuah pepatah Minang

dengan tepat menggambarkan hasil kerja keras Syekh Ibrahim Musa yaitu tali halus

                                                                                                                         35 Ibid., hal. 46.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 19: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

buaian lanyuang, maksudnya adalah pekerjaan yang dilakukan dengan hati-hati tapi

pasti akan mendapat sambutan baik masyarakat.36

Sosoknya menjadi daya tarik yang membawa Surau Parabek menjadi terkenal

sehingga berdatangan orang-orang dari berbagai daerah untuk menjadi muridnya.

Semakin banyak murid-murid dirasakan Syekh Ibrahim Musa tidak lagi efektifnya

sistem halaqah yang ia gunakan di suraunya selama ini. Sebuah ijtihad yang

mendorongnya untuk berpikir bagaimana dapat terus membagi ilmunya dengan murid-

murid yang semakin banyak dan membuat suraunya agar dapat eksis di tengah

perkembangan sekolah-sekolah modern yang terjadi saat itu.

Hasil pemikiran modernnya dan keinginannya untuk melepaskan diri dari tradisi

yang lama mengukung masyarakat Parabek dan mencapai cita-citanya untuk melahirkan

generasi yang tafaqquh fi al-Din37 membawanya pada keputusan ijtihad-nya untuk

mengubah sistem halaqah ke sistem klasikal. Perubahan-perubahan yang mengikuti

selanjutnya merupakan adalah hasil semangat dan kegigihan Syekh Ibrahim Musa untuk

menyebarkan pemikiran dan cita-citanya ke masyarakat luas. Hal ini adalah proses

alamiah yang dialami setiap organisasi pembaruan Islam di Indonesia.

Faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan dari sistem halaqah ke klasikal

adalah munculnya sekolah-sekolah modern di Sumatera Tengah, baik yang didirikan

oleh pemerintah Hindia Belanda maupun yang didirikan oleh pihak pribumi.

Perubahan sistem halaqah menjadi klasikal didorong oleh munculnya misionaris

Kristen yang mendirikan sekolah katholik berbentuk sekolah modern dan pembagian

injil kepada masyarakat serta penyebaran artikel-artikel kaum misionaris yang berisi

propoganda Kristiani. Sekolah-sekolah modern Hindia Belanda menggunakan bahasa

Belanda, kecuali sekolah rendah pribumi yang masih menggunakan bahasa Melayu

sebagai pengantar. Fasilitas yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda sangat

terbatas. Perbandingan pengeluaran per-kapita yang disediakan untuk anak-anak Eropa

                                                                                                                         36 Abuddin Nata, op.cit., hal. 45. 37 Tafaqquh fi al-Din (memperdalam ilmu agama) yang menjadi cita-cita Syekh Ibrahim Musa sejalan dengan anjuran Al-Quran dalam surat Al-Taubah, (9) ayat 122 yang menyatakan: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu oergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka menjaga diri.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 20: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

87 kali lebih besar dibanding yang disediakan untuk anak-anak pribumi, yakni hanya

0.55 gulden per tahun.38

Pada seluruh sekolah modern prakarsa pemerintah Hindia Belanda sama sekali tidak

diajarkan pelajaran agama. Sistem dan metode yang digunakan seperti sekolah-sekolah

di Belanda, sistem pendidikan Barat, yang mendapat pengaruh mengenai kesukuan dari

budaya Jerman, individualisme dari Yunani-Romawi, dan agama dari Yahudi-Kristen.

Pemikiran-pemikiran yang diajarkan didasarkan pada rasionalisme dan liberalisme. Hal

ini mengesampingkan kehadiran agama Islam bagi masyarakat Minangkabau, sehingga

cendekiawan lulusan sekolah Hindia Belanda menjauhkan diri dari ulama. Mereka

hidup dan dibesarkan dalam lingkungan adat dan agama Islam, tetapi pemikiran dan

perilakunya meniru Barat, sehingga mereka disebut sebagai kelompok the marginal

men, belut bukan ikan pun bukan dalam masyarakat mereka sendiri, ke atas tidak

berpucuk, ke bawah tidak berakar.39

Sekolah modern yang mempengaruhi transformasi Surau Parabek tidak hanya

sekolah modern prakarsa Hindia Belanda, tetapi juga sekolah modern yang diprakarsai

pribumi, beberapa di antaranya merupakan lembaga pendidikan Islam. Diawali dengan

didirikannya sekolah agama untuk Indonesia di Padang Panjang, bernama Adabiah

School (Sekolah Adabiah) pada tahun 1907 oleh Abdullah Ahmad. Sekolah ini telah

menggunakan sistem klasikal, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di dalam kelas

menggunakan bangku dan meja, papan tulis, serta buku-buku dengan murid awal

berjumlah 20 orang.40 Kurikulum yang digunakan serupa dengan yang terdapat di surau-

surau, yakni pelajaran-pelajaran Agama Islam dilengkapi dengan ilmu baca, ilmu tulis

dan ilmu hitung. Karena Abdullah Ahmad menghadapi kesulitan untuk

mengembangkan sekolah ini, ia menutup Sekolah Adabiah pada tahun 1909. Kemudian

ia mendirikan Sekolah Adabiah keduanya di Padang, sebuah sekolah umum ditambah

dengan pelajaran agama. Abdullah Ahmad bertujuan untuk membentuk manusia yang

cerdas, berkebangsaan dan bertaqwa kepada Allah SWT dengan mendirikan sekolah ini.

Peninjauannya ke Madrasah Al-Iqbal Al-Islamiah (1908) di Singapura yang didirikan

oleh Utsman Efendi Rafat yang berasal dari Mesir, memberikannya inspirasi terhadap

rencana pelajaran di Sekolah Adabiah. Diskusi Abdullah Ahmad dengan Syekh Thaher

                                                                                                                         38 Ibid. 39 Ibid., hal. 112. 40 Deliar Noer, op.cit., hal. 51.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 21: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

Jalaluddin Al-Azhari41 juga memberinya pengarahan terhadap corak pendidikan Islam

yang seharusnya di Sekolah Adabiah, yakni menurut pada acuan yang ada di Mesir.

Pada tahun 1915, Zainuddin Labai Al-Yunusi mendirikan Diniah School (Madrasah

Diniah) di Padang Panjang. Diniah School merupakan sekolah agama Islam ditambah

dengan pendidikan umum, kebalikan dari Adabiah School. Diniah School masih

diselenggarakan di surau atau mesjid, tetapi menggunakan sistem dan metode

pendidikan umum yang berkelas, berbangku dan meja, berpapan tulis dan berbuku.

Sekolah ini dibagi menjadi dua tingkat: yakni tingkat dasar dan menengah atau

ibtidaiyah dan tsanawiyah. Lama belajar kedua tingkat itu masing-masing tiga dan

empat tahun.42

Sosok Syekh Ibrahim Musa dengan pemikirannya yang moderat dan hubungan-

hubungan baiknya dengan penggiat pendidikan baik Islam dan umum di Sumatera

Tengah menghasilkan sebuah ijtihad-nya adalah faktor internal yang mengubah Surau

Parabek menjadi sekolah, sebuah madrasah. Kemunculan sekolah-sekolah modern di

Sumatera Tengah pun menjadi pemicu eksternal Surau Parabek berubah menjadi

madrasah dengan sistem kelas. Pengadopsian sebagian sistem dan kurikulum dengan

sekolah modern namun tetap mempertahankan misi penyiaran Islam tetap dipertahankan

demi dapat bersaing menghadapi tantangan zaman dan menghasilkan lulusan-lulusan

yang bersaing dengan lulusan-lulusan pendidikan umum.

Kesimpulan

Sumatera Thawalib secara umum adalah sebuah organisasi yang didirikan jauh

sebelum kemerdekaan Indonesia. Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi secara khusus

adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang berada di Sumatera Barat. Awalnya,

Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi berbentuk surau, sebuah lembaga pendidikan

Islam awal khas Minangkabau bernama Surau Parabek yang didirikan oleh Syekh

Ibrahim Musa. Perubahan terjadi di Surau Parabek dari penggunaan sistem halaqah

                                                                                                                         41 Syekh Thaher Jalaluddin Al-Azhari (1869-1965) adalah putra Minangkabau, saudara sepupu Ahmad Khatib al-Minangkabauwi yang memiliki pengaruh bagi tokoh-tokoh pembaruan Islam di Sumatera Barat. Ia ikut membantu mendirikan Madrasah Al-Iqbal Al-Islamiah dan menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura. Ia sendiri merasa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha selama belajar di Mekah dan Mesir. Lihat Burhanuddin Daya, op.cit., hal. 12. 42 Ibid., hal. 113.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014

Page 22: indah khairunnisah-skripsi-fakultas ilmu budaya-naskah

menjadi sistem klasikal. Perubahan ini memiliki lebih banyak nilai positif dibandingkan

nilai negatif.

Perubahan sistem yang terjadi memberi banyak perbaikan dalam berbagai aspek,

seperti kurikulum, metode pengajaran, hingga sarana dan prasarana di surau yang

melengkapinya menjadi sebuah perguruan. Usaha untuk mengubah sistem ini

merupakan cerminan prinsip yang dipegang oleh pendirinya Syekh Ibrahim Musa:

“muhaafazatu ‘alaa qadiimi al-shalih wa al-aqdu bi jadiidi al-ahdhoh” yang artinya

“memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”.

Penggunaan kitab-kitab bermazhab Syafi’i dalam pelajaran fikih dan kitab karangan

Imam Asy’ari dalam pelajaran tauhid menunjukkan kesamaan dengan lembaga-lembaga

pendidikan Islam lainnya di Indonesia, seperti pondok pesantren di Jawa.

Perubahan sistem yang terjadi di Sumatera Thawalib Parabek Bukittingi membawa

pengaruh terhadap pandangan surau dan ulama Minangkabau pasti terpengaruh gerakan

Wahabi di Arab Saudi. Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi justru menunjukkan

kemoderatan dalam aktivitas belajar dan mengajarnya. Perubahan lembaga pendidikan

surau menjadi Sumatera Thawalib telah memberi motivasi bagi surau-surau lain untuk

memperbaiki diri agar dapat menjaga eksistensi mereka sebagai lembaga pendidikan

Islam di Sumatera Barat. Perubahan ini juga telah mewarnai keberagaman lembaga

pendidikan Islam di Indonesia, meskipun kehadirannya dianggap seragam dengan

pesantren yang berasal dari Jawa.

Pada perjalanan penyelesaian skripsi ini, penulis melihat tidak hanya Mekah, sebagai

pusat ilmu agama pada abad awal 20 yang mempengaruhi sistem pendidikan di

Sumatera Thawalib Parabek pada khususnya dan Sumatera Thawalib pada umumnya,

tetapi juga pengaruh Mesir yakni Al-Azhar yang dapat diteliti dan dibuktikan lebih

dalam. Skripsi ini juga merupakan titik tolak untuk penelitian-penelitian selanjutnya

yang lebih luas, seperti pengaruh surau terhadap perkembangan pendidikan Islam di

Nusantara.

Lembaga pendidikan islam..., Indah Khairunnisah, FIB UI, 2014