infrastruktur indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ekonomi regional

Citation preview

6667

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Disparitas regional antar PropinsiNilai indeks Williamson yang menunjukkan ketimpangan pada Propinsi Jawa Barat dan Banten dari tahun 2004-2010 cukup besar, yaitu 0.68 sampai 0.75 untuk Propinsi Jawa Barat dan 0.68 sampai 0.81 untuk Propinsi Banten. Berdasarkan nilai Indeks Williamson tersebut (diatas 0.5) disparitas yang ada tergolong tinggi.

Sumber: Data BPS, 2010 (diolah)Gambar 14 Indeks Williamson antar Propinsi Jawa Barat dan Banten

Berdasarkan gambar 14 nilai indeks Williamson di Provinsi Jawa Barat cenderung naik, yang menunjukkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar. Pada tahun 2010 Kabupaten Bekasi menunjukkan penurunan ketimpangan signifikan, yang berdampak penurunan ketimpangan di Propinsi Jawa Barat.Di Provinsi Banten nilai Indeks Williamson relatif lebih kecil dibandingkan Jawa Barat antara tahun 2004-2008. Akan tetapi pada tahun 2009 nilainya naik secara signifikan dan mendekati nilai satu. Pada tahun 2009 Kabupaten Tangerang dan Kota tangerang menunjukkan kenaikan ketimpangan signifikan, yang berdampak kenaikan ketimpangan di Propinsi Banten menjadi tinggi.

Dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang besar dan struktur pemerintahan yang solid akan lebih cepat berkembang dibandingkan daerah lain yang potensinya kecil. Masing-masing daerah bersaing untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan regional meningkat, hal ini disebabkan oleh perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah.

5.2. Analisis konvergensi sigma ()Estimasi konvergensi sigma () dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan PDRB per kapita dan pengeluaran rumah tangga per kapita. Pendekatan PDRB menunjukkan perbedaan pertumbuhan ekonomi secara makro, yaitu di tingkat wilayah kabupaten/kota dan Pendekatan pengeluaran rumah tangga menunjukkan perbedaan secara mikro. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan PDRB per kapita. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, konvergensi sigma () dihitung dari tingkat dispersi menggunakan standar deviasi (SD) dan koefisien variasi (CV) log PDRB riil per kapita, di mana konvergensi terjadi jika dispersi antar perekonomian semakin menurun seiring berjalannya waktu. Gambar 18 Varians PDRB Gambar 19 Standar Deviasi PDRB

Dari Gambar 18 untuk varians maupun Gambar 19 untuk standar deviasi terlihat bahwa dispersi dalam PDRB riil di Propinsi Jawa Barat dan Banten secara umum terlihat naik di tahun 2004-2009 hal ini menandakan konvergensi semakin menjauhi dari satu titik. Namun pada tahun 2010 nilainya turun hal tersebut menunjukan bahwa perekonomian di Indonesia ke arah konvergen, di mana tingkat pertumbuhan di Jawa Barat dan Banten naik.

5.3. Analisis Konvergensi Beta () Konvergensi Beta () diperoleh dengan mempertimbangkan heterogenitas spasial dan ketergantungan spasial atau dengan kata lain menggunakan persamaan yang menghubungkan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita antara dua titik waktu terhadap level awal pendapatan per kapita. b sebagai koefisien dari pendapatan riil per kapita awal adalah nilai dari koefisien konvergensi. Koefisien konvergensi, b, pada absolute convergence maupun kondisional merupakan besaran kecepatan konvergensi (speed of convergence) yang menunjukkan kecepatan suatu daerah mencapai titik steady state. 5.3.1. Model Konvergensi Beta Absolut ()Pada penelitian ini model konvergensi beta absolut digunakan untuk melihat dampak variabel pertumbuhan ekonomi terhadap time lagged pertumbuhan ekonomi ( ).Tabel 19 Hasil Konvergensi Beta Absolut dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat dan Banten.Variabel bebasVariabel tidak bebas: PDRB ADHK 2000 (Yit)

KoefisienStandar ErrorP Values

PDRB ADHK 2000 (Yit-1) 0,9981 0,001468 0,000

Arellano-Bond test

ZProb > z

Arellano-Bond m1 -1.4821 0.1384

Arellano-Bond m2 0.957410.3384

Sargan Test chi2(28) = 26.9961 Prob > chi2 = 0.5184

Dalam mengukur konvergensi beta dihitung dari hasil pengurangan logaritma natural satu dengan koefisien IPMi,t-1. Jadi diperoleh hasil sebagai berikut: = ln (1- 0.9981) = ln (0.0019) = -6.2659 Hasil sebesar -6.2659 dengan arah yang negatif, menunjukkan pertumbuhan ekonomi konvergen dalam satu tahun sebesar 6.2659%. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dan Banten mengarah ke konvergensi untuk konvergensi beta absolut. The half- life of convergence adalah waktu yang di butuhkan untuk menutup setengah dari ketimpangan awal (H) Yaitu: = = 11.0744 Hasil H sebesar 11.0744 menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dan Banten mengarah ke konvergensi. Waktu yang dibutuhkan untuk menutup setengah dari ketimpangan awal (H) sebesar lebih dari 11 tahun. Pengujian nilai statistik uji Sargan adalah sebesar 26.9961 dengan probabilitas sebesar sebesar 0.5128 menandakan bahwa Lagged PDRB hanya bisa memengaruhi model sebesar 0.5128 sisanya dipengaruhi oleh variabel lain dan Arellano-Bond Test bertujuan menghasilkan estimasi terbaik dan layak diinginkan oleh model panel dinamis. 5.3.2. Model Konvergensi Beta Kondisional ()Pada penelitian ini konvergensi beta kondisional digunakan untuk melihat dampak variabel infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dengan adanya variabel yang sesuai dengan spesifikasi model pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Model A adalah model konvergensi beta kondisional dimana observasi Kota/ Kabupaten Jawa Barat dan Banten disatukan, tanpa dummy Lihat (3.13). Model B adalah model konvergensi beta kondisional dimana observasi Kota/ Kabupaten Jawa Barat dan Banten menggunakan dummy Banten Lihat (3.13). Model C adalah model konvergensi beta kondisional dimana observasi Kota/ Kabupaten Jawa Barat dan Banten menggunakan dummy Jawa Barat Lihat (3.13).

Tabel 20 Hasil Konvergensi Beta Kondisional dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat dan Banten.Variabel BebasVariabel tidak bebas: PDRB ADHK 2000 (Yit) KonvergenThe half- life of convergence

KoefisienStandar ErrorP Values

PDRB ADHK 2000 (Yit-1) Model A0.96440.00550-3.337520.537

PDRB ADHK 2000 (Yit-1) Model B0.95850.01390-3.182121.782

PDRB ADHK 2000 (Yit-1) Model C0.95190.007340-3.032422.858

Dari Tabel 20, model persamaan diatas maka diperoleh konvergensi beta kondisional lebih cepat di Kota/ Kabupaten Banten dibandingkan dengan Kota/ Kabupaten Jawa Barat. Konvergensi beta kondisional PDRB Banten -3.1821 lebih besar dari semasa bergabung dengan Jawa Barat sebesar -3.0324. Waktu yang dibutuhkan untuk menutup setengah ketimpangan awal di Banten sebesar 21 tahun lebih cepat daripada di Jawa Barat sebesar 22 tahun.Tabel 21 Hasil estimasi Konvergensi Beta Kondisional () System GMM terbaik dan layak diinginkan oleh model panel dinamis.Variabel Bebas PDRB ADHK 2000 (Yit-1)ValidTidak BiasKonsisten

Sargan Test Random effectSys GMMPLSArellano-Bond m1Arellano-Bond m2

Model A0.6760. 96060. 96440. 9788-1.703 0.1852

Model B0.66830.95630.95850.9766-1.70470.3165

Model C0.68300.4025*0.95190.9766-1.72260.3753

*Estimasi menggunakan Fixed Effect (FE)Analisis panel dinamis yang sempurna harus memenuhi beberapa kriteria, pada tabel 21. Kriteria validitas instrumen dilihat melalui Sargan test. Model A mampu menjawab variabel dependent (PDRB) sebesar 0.676. Kriteria tidak bias (unbiased). Hal ini dapat dilihat, nilai koefisien estimasi Sys GMM yang berada pada rentang diantara PLS dan Random Effect. Pada hasil estimasi variabel dependen model A menggunakan Sys-GMM (0.9644) berada di antara koefisien lag dari estimasi Random Effect (0. 9606435) dan PLS (0.9788773). Sementara Model C menggunakan Fixed Effect karena penggunaan Random Effect nilainya diatas Sys GMM. Kriteria estimator pada Model A,B dan C akan konsisten bila statistik m1 menunjukkan hipotesis nol ditolak (negatif) dan m2 menunjukkan hipotesis nol tidak ditolak (positif).

5.3.3. Dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/ Kota Jawa Barat dan Banten.Tabel 22 Hasil estimasi persamaan dampak pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat dan BantenVariabel BebasPropinsi Jawa Barat dan BantenPropinsi BantenPropinsi Jawa Barat

Stok modal (Kit)0.018*0.0172*0.0174*

Investasi Asing (PMAit)-0.000039-0.0004-0.0004

Investasi Dalam Negeri (PMDNit)0.0039*0.0036*0.0035*

Human Capital (RLSit)0.054*0.0554*0.0634*

Infrastruktur Jalan per Kapita (JLkit)-0.0112* -0.01031*-0.0081*

Infrastruktur listrik (LSit)0.00340.00670.0103*

Infrastruktur air bersih (AIRit)0.0035*0.0051**0.0057*

* Signifikan pada level 1%** Signifikan pada level 5% Dibandingkan dengan penelitian Sibarani (2002) terdapat perbedaan pada tingkat elastisitas. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan waktu dan cakupan wilayah penelitian, serta penggunaan variabel yang bervariasi, misalnya dengan adanya variabel infrastruktur air bersih dan penggunaan variabel Investasi Asing (PMAit) dan Investasi dalam negeri (PMDNit). Ada dua variabel bebas yang berkorelasi negatif berdasarkan data yang ada yaitu Infrastruktur Jalan dan Investasi Asing (PMAit). Ada dua variabel yang tidak signifikan dilihat dari P-values yang besar yaitu Investasi Asing (PMAit) juga Infrastruktur listrik (LSit) yang menunjukkan hasil yang bias. Variabel stok modal (Kit) yaitu belanja modal pemerintah dalam APBD. Pada model A dengan nilai elastisitas 0.01808 yang mempunyai arti setiap kenaikan 1% stok modal maka akan meningkatkan output sebesar 0.01808% cateris paribus. Jumlah belanja modal menunjukkan elastisitas pertumbuhan yang terbesar karena penggunaan infrastruktur belanja modal APBN pemerintah digunakan untuk kepentingan publik. Yang pengunaannya dapat membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kinerja keuangan pemerintah daerah sangat terkait dengan aspek kinerja pelaksanaan APBD dan aspek kondisi keuangan daerah. Kinerja pelaksanaan APBD tidak terlepas dari struktur dan akurasi belanja (belanja langsung dan belanja tidak langsung) pendapatan daerah yang meliputi pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah. Sementara itu, neraca daerah akan mencerminkan perkembangan dari kondisi asset pemerintah daerah, kondisi kewajiban pemerintah daerah serta kondisi ekuitas dana yang tersedia. Variabel investasi asing (PMAit) Pada model A dengan nilai elastisitas -0.00039 yang mempunyai arti setiap kenaikan 1% investasi asing maka akan menurunkan output sebesar 0.00039%, cateris paribus. Nilai elastisitas yang tidak lebih besar dari investasi dalam negeri disebabkan karena investasi asing nilainya sangat berfluktuatif dan tidak setiap tahun ada pada suatu daerah, Investasi di kota/ kabupaten yang berdekatan dengan ibukota Indonesia (Jakarta) maupun ibukota Jawa Barat (Kota Bandung) dan Banten (Kota Serang) maka nilai investasinya cukup besar. Investasi dunia usaha yang ditanamkan melalui penanaman modal asing (PMA) di Jawa Barat pada periode waktu 20042010 menunjukkan nilai yang berfluktuatif. Jika pada tahun 2009, jumlah investasi mencapai US$ 1.938 miliar dengan jumlah proyek 245 buah, maka pada tahun 2010, jumlah investasi menjadi US$ 1.692 miliar dengan jumlah proyek 592 buah. Namun apabila melihat target yang ditetapkan, realisasi investasi di Jawa Barat masih melebihi target yang ditetapkan. Berdasarkan nilai investasi terbesar yang ditanamkan oleh investor asing adalah Kabupaten Karawang, namun jumlah proyek dan jumlah tenaga kerja yang diserap terbanyak terdapat di Kabupaten Bekasi. Lebih dari 90% investasi yang ditanamkan di Jawa Barat bergerak pada sektor sekunder, yang rentan terhadap pengaruh ekonomi global karena sektor sekunder masih memakai bahan baku masih diimpor. Industri logam, mesin dan elektronika merupakan jenis industri yang mendapat alokasi investasi terbesar melalui PMA. Jepang merupakan negara yang paling banyak menanamkan modalnya di Jawa Barat pada tahun 2010.Variabel investasi dalam negeri (PMDNit) Pada model A dengan nilai elastisitas 0.003564 yang mempunyai arti setiap kenaikan 1% investasi dalam negeri maka akan meningkatkan output sebesar 0.003564%, cateris paribus. Pada tahun 2010, Investasi dunia usaha yang ditanamkan melalui penanaman modal dalam negeri (PMDN) di Jawa Barat pada periode waktu 20042010 menunjukkan nilai yang berfluktuatif. Jika pada tahun 2009, jumlah investasi mencapai 4.799 trilyun rupiah dengan jumlah proyek 58 buah, maka pada tahun 2010, jumlah investasi menjadi 15.799 trilyun rupiah dengan jumlah proyek 103 buah. Jumlah investasi yang ditanamkan melalui penanaman modal dalam negeri (PMDN) terbesar pada jenis industri kertas dan percetakan. Variabel human capital yaitu rata-rata lama sekolah (RLSit) Pada model A dengan tingkat elastisitas 0.05541 yang mempunyai arti setiap kenaikan 1% Indeks Pembangunan Manusia maka akan meningkatkan output sebesar 0.05541%, cateris paribus. Di Indonesia, Jawa Barat merupakan Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dibandingkan dengan Provinsi lain, sehingga merupakan aset penting yang harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan pembangunan secara keseluruhan di Jawa Barat. Apalagi, berdasarkan struktur umur, proporsi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk di bawah usia 15 tahun ke atas dan penduduk usia di atas 64 tahun, yaitu masing-masing sebesar 64.86%. 29.59%. dan 5.55%. Dengan demikian, angka ketergantungan yang menggambarkan jumlah penduduk usia non produktif yang harus ditanggung oleh jumlah penduduk usia produktif, sebesar 54.19 yang berarti setiap 100 penduduk usia produktif di Jawa Barat menanggung sekitar 55 orang penduduk usia belum/ tidak produktif. Di pihak lain, kualitas tenaga kerja masih merupakan permasalahan di Jawa Barat mengingat sebagian besar penduduk usia 10 tahun ke atas hanya memiliki ijasah SD (37.05%) dan tidak lulus SD (21.85%). Sisanya, berpendidikan SMP sederajat sebesar 17.74%, SMA/SMK sebesar 18.16% dan perguruan tinggi sebesar 5.25%.Pada saat ini, peluang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui bidang pendidikan sangat terbuka. Hal ini ditopang oleh dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah melalui APBN-APBD yang akan berupaya menyediakan anggaran untuk pendidikan sebesar 20%. Dalam kaitan ini, pemerintah menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia serta mempunyai andil besar terhadap kemajuan sosial ekonomi satu bangsa. SDM yang berkualitas merupakan salah satu faktor penting bagi kemajuan bangsa. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi kualitas SDM di wilayah tersebut. Peluang untuk mendapatkan lapangan pekerjaan atau menciptakan peluang usaha lebih besar bagi mereka yang berpendidikan tinggi dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Infrastruktur panjang jalan (JLKit) Pada model A yaitu jumlah panjang jalan kota/ kabupaten per kapita dengan tingkat elastisitas sebesar -0.01129 artinya setiap kenaikan panjang jalan sebesar 1% akan menurunkan output sebesar 0.01129%, cateris paribus. Hal ini disebabkan karena sudah habisnya umur rencana jalan pada sebagian besar ruas jalan kota dan kabupaten sehingga kondisi struktur jalan menjadi labil. Rendahnya tingkat kemantapan jalan ini juga disebabkan oleh tingginya frekuensi bencana alam serta beban lalu lintas yang sering melebihi standar muatan sumbu terberat (MST). Selain itu, kurangnya jaringan jalan tol, serta belum terintegrasinya seluruh jaringan jalan di Jawa Barat dengan baik termasuk dengan sistem jaringan jalan tol, menyebabkan rendahnya kualitas dan cakupan pelayanan infrastuktur jaringan jalan di Jawa Barat.Infrastruktur listrik (Lsit) Pada model A yaitu energi listrik jual dari PT. PLN dengan tingkat elastisitas 0.0034 berarti setiap kenaikan energi listrik jual sebesar 1% akan meningkatkan output sebesar 0.0034%, cateris paribus. Di Jawa Barat, langkah-langkah untuk meningkatkan pasokan energi listrik telah diinisiasikan sejak tahun 2004 melalui penyiapan pemanfaatan sumber panas bumi dengan total potensi 9000 MW. Diharapkan dalam lima tahun ke depan, pembangkit tersebut telah terkoneksi dan memberi pasokan ke sistem jaringan Jawa-Bali. Diterapkannya kebijakan konversi bahan bakar dari minyak tanah ke gas pada tahun 2007 telah memunculkan berbagai permasalahan di tingkat masyarakat dan dunia usaha di dalam memenuhi kebutuhan energinya. Di Jawa Barat, implementasi kebijakan tersebut dihadapkan pada ketidaksiapan adaptasi sistem institusi (produsen dan distributor) dan teknologi (mencakup stasiun pengisian, tabung% kompor gas, kendaraan pengangkut) di dalam mengantisipasi perubahan dan ketidakpastian yang dimunculkannya. Di tingkat masyarakat dan dunia usaha, pilihan adaptasi terhadap bahan bakar pengganti di dalam merespon kebijakan konversi bahan bakar minyak juga ditentukan oleh pontensi ketersediaan energi alternatif di tingkat lokal. Jenis-jenis energi alternatif akan menjadi pilihan manakala memiliki tingkat biaya ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar gas. Sumber energi alternatif dan penyediaanya perlu dihadirkan untuk memberikan pilihan bagi masyarakat dan dunia usaha di dalam memenuhi kebutuhan energi sesuai dengan kapasitas adaptasi ekonomi dan budaya yang dimilikinya. Infrastruktur air (AIRit) jumlah air yang terjual PDAM sebesar 1% akan meningkatkan output sebesar 0.00348%, cateris paribus. kondisi infrastruktur air menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap PDRB Konstan. Hasil ini serupa dengan Prasetyo (2008), ia menyatakan hal tersebut diakibatkan oleh jumlah air bersih yang lebih banyak digunakan untuk konsumen jenis rumah tangga tidak menggunakan air yang bersumber dari PDAM. Namun demikian, yang menjadi penyebab hal di atas dapat pula berupa pertumbuhan distribusi air bersih yang lebih kecil pada Tahun 2010 dari pada Tahun 2004. Hal ini bisa disebabkan kebocoran pipa yang menjadi masalah umum pada berbagai menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air.