Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
INTENSITAS WARNA HEPAR TIKUS Sprague dawley DALAM
PENGAWETAN MENGGUNAKAN LARUTAN FIKSATIF
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh :
RADEN MUHAMAD HIDAYAT
11161030000072
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Raden Muhamad Hidayat. Fakultas Kedokteran. Intensitas Warna Hepar Tikus Sprague
dawley dalam Pengawetan Menggunakan Larutan Fiksatif. 2019.
Latar Belakang Pada pembelajaran anatomi, metode belajar dengan pengamatan kadaver yang
diawetkan. Pengawetan pada kadaver biasa dilakukan dengan formalin. Kekurangan pengawetan
formalin adalah sifat formalin yang berbahaya bagi yang berkontak dengan formalin, baik terhirup,
kontak langsung, dan tertelan. Penggunaan formalin juga membuat struktur anatomi menjadi
kering dan berubah warna menjadi kecokelatan karena adanya reaksi oksidasi, hal ini membuat
mahasiswa kesulitan dalam mengidentifikasi dan membedakan struktur anatomi. Pengurangan
konsentrasi formalin dan penambahan gliserin dan alkohol dapat menjadi alternatif larutan
pengawet. Pengawetan bisa dilakukan dalam jangka waktu panjang. Kulit sebagai barrier yang
dapat mempengaruhi penetrasi cairan pengawet untuk masuk ke dalam jaringan. Berdasarkan
waktu normal pembusukan suatu organ juga sangat berpengaruh terhadap hasil pengawetan, pada
penelitian ini digunakan hepar yang merupakan organ awal yang mengalami pembusukan.
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental laboratorium. Sampel yang digunakan
adalah 12 ekor berdasarkan rumus MEAD. Tikus jantan Sprague dawley yang baru saja mati (<2
jam). Enam tikus Sprague dawley yang sudah mati dikuliti kemudian dimasukkan ke dalam toples
kaca yang berisi campuran larutan fiksatif (formalin 5% alkohol 70% gliserin 80%) dan enam
lainnya yang masih memiliki kulit langsung dimasukkan ke dalam toples tersebut. Toples kaca
larutan fiksatif ditutup rapat dan disimpan selama 10 bulan. Setelah itu, organ hepar diambil dan
dinilai intensitas warnanya.
Hasil Pada pengukuran intensitas warna hepar tikus pada kelompok dikuliti didapatkan 2 hepar
tikus berintensitas warna terang dan 4 hepar tikus berintensitas warna gelap. Pada pengukuran
intensitas warna hepar tikus pada kelompok tidak dikuliti didapatkan seluruh data (enam hepar
tikus) berintensitas warna gelap. Hal ini mungkin terjadi karena metode homogenitas larutan yang
kurang memadai.
Kesimpulan Dari hasil penelitan intensitas warna hepar tikus Sprague dawley yang dilakukan
pengawetan menggunakan larutan fiksatif (formalin 5%, alkohol 70% dan gliserin 80%) dengan
perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti diperoleh hasil intensitas warna hepar kedua perlakuan secara
umum berada pada intensitas warna gelap namun terdapat 2 tikus dari 6 tikus dengan perlakuan
dikuliti mendapatkan hasil intensitas warna terang.
Kata kunci : formalin, alkohol, gliserin, hepar, dikuliti, tidak dikuliti
v
ABSTRACT
Raden Muhamad Hidayat. Faculty of Medicine. The intensity of the liver color of Sprague
dawley mice in preservation using fixative solutions. 2019.
Background In anatomy learning, the methods with cadaveric observations are needed.
Preservation in cadaver is usually done with formalin. Weakness of formalin preservation in
mention : formalin is dangerous for those who come into contact with formaldehyde, whether
inhaled, direct contact, and swallowed. The use of formaldehyde also makes the anatomical
structure dry and changes color to brown due to oxidation reactions, this makes it difficult for
students to identify and differentiate anatomical structures. Reducing the concentration of formalin
and the addition of glycerin and alcohol can be an alternative preservative solution. Preservation
can be done in the long term. Skin as a barrier that can affect the penetration of preservative fluid
to enter the tissue. Based on the normal time of decomposition of an organ is also very influential
on the results of preservation, in this study used liver which is the initial organ that experienced
decay.
Methode used is an experimental laboratory method. The sample used was 12 animals based on
the MEAD formula. we used Sprague Dawley male rats that had just died (<2 hours). Six dead
Sprague dawley rats were then put into a glass jar containing a mixture of fixative solution
(formalin 5% alcohol 70% glycerin 80%) and six others who still had skin were directly put into
the jar. Glass jar of fixative solution is tightly closed and stored for 10 months. After that, the liver
is removed and the color intensity assessed.
Result In measuring the intensity of the liver color of rats in the skinned group, there were 2 liver
rats with bright color intensity and 4 liver rats with dark color intensity. In measuring the intensity
of the liver color of rats in the skinless group, all data (six liver rats) had a dark color intensity.
This might occur because the method of homogeneity of the solution is inadequate.
Conclusion From the results of the Sprague dawley rat's liver color intensity testing, the
preservation using fixative solution (formalin 5%, alcohol 70% and glycerin 80%) with hulled and
non-hulled treatments obtained the results of the hepatic color intensity. 2 rats from 6 mice treated
with skinned got the bright color intensity.
Keyword : Formaldehyde, alcohol, glycerin, hepar, skinned, not hulled.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh,
Bismillahirrohmaanirrohim,
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan sehingga
saya dapat menyelesaikan laporan penelitian sesuai dengan jadwal dan waktu yang ditentukan.
shalawat serta salam tercurah kepada pemimpin para nabi dan rosul sayyidina Muhamad saw.
sehingga saya bisa menkmati nikmatnya iman dan Islam.
Alhamdulillahirobbilalamin, selesainya penulisan laporan penelitian ini, penulis menyadari
bahwa laporan ini tidak dapat tersusun dengan baik tanpa dukungan, bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Orang tua tercinta, Raden Abdul Rahim dan Tini Eva Yulia Kartini yang telah membimbing
sedari penulis di dalam rahim sampai detik ini.
2. Ayahanda penulis yaitu Kyai Haji Muhammad Husni Thamrin Padmawija Al-Banjari yang
telah bersusah payah membimbing penulis dalam ilmu agama. Beserta ibunda penulis yaitu
Dr Indah Yulianto, dr., Sp.KK(K),yang telah menginspirasi penulis untuk giat dan semangat
menjalani pendidikan kedokteran.
3. dr. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD selaku Dekan Fakultas Kedokteran UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. dr. Achmad Zaki, M.Epid., Sp.OT selaku ketua Program Studi Kedokteran UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. dr. Lucky Brilliantina, M.Biomed dan Rr Ayu Fitri Hapsari, S.Si., M.Biomed selaku dosen
pembimbing yang selalu memberi bimbingan, ilmu dan arahan selama menjalankan dan
menyusun laporan penelitian ini.
6. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab modul riset Program Studi
Kedokteran angkatan 2016.
7. dr. Devy Ariany, M.Biomed dan dr. Nurmila Sari, M.Kes selaku penguji skripsi.
8. Sahabat dan teman seperjuangan angkatan 2016 yang selalu mendorong diri penulis untuk
lebih baik dan merasa memiliki keluarga.
9. Chaerani Kurniatin dan Muhammad Ilham Indraprasta, teman sepenelitian yang sudah
berjuang bersama menghadapi segala rintangan selama penelitian dan penyusunan laporan
penelitian.
10. Mas Panji, Pak Bacok dan Mba Din sebagai laboran anatomi dan histologi atas bantuannya
selama menjalankan penelitian ini.
11. Sahabat Kehidupan DEMA yaitu Annisa Futihandayani beserta seluruh anggota DEMA
FKUIN 2019 yang telah menginspirasi penulis.
12. Seluruh kabinet kompas DEMA FKUIN Jakarta 2019/2020 terutama Badan Pengurus
Harian yang terdiri dari 16 mahasiswa pilihan.
vii
13. Tempat berbagi suka dan duka perjalanan kehidupan pendidikan kedokteran Raden Tasy
Shafira Alfein.
14. Teman-teman dan keluarga besar kaderisasi Pesantren Al-Ihya yang selalu berdoa untuk
kesuksesan penulis.
15. Teman-teman kontrakan Pak Haji yang selalu suportif dengan apa yang saya kerjakan.
16. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk laporan penelitian ini agar
kedepannya dapat jauh lebih baik. Besar harapan penulis bahwa laporan penelitian ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak. Semoga penelitian yang telah dilakukan bisa menjadi ilmu
yang bermanfaat sehingga menjadi amal jariyah dan diberkahi oleh Allah SWT. Aamiin.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Ciputat, 26 Desember 2019
Raden Muhamad Hidayat
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. xii
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................................2
1.3 Hipotesis ............................................................................................................................3
1.4 Tujuan ...............................................................................................................................3
1.5 Manfaat .............................................................................................................................3
1.5.1 Bagi Peneliti ................................................................................................................3
1.5.2 Bagi Institusi ...............................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................4
2.1 Anatomi Hepar Manusia dan Tikus ....................................................................................4
2.2 Kulit ..................................................................................................................................6
2.3 Formalin ............................................................................................................................8
2.4 Alkohol ............................................................................................................................ 10
2.5 Gliserin ............................................................................................................................ 10
ix
2.6 Proses Pembusukan.......................................................................................................... 11
2.7 Pengawetan Kadaver ........................................................................................................ 13
2.8 Kerangka Teori ................................................................................................................ 15
2.9 Krangka Konsep .............................................................................................................. 16
2.10 Definisi Operasional ...................................................................................................... 17
BAB 3 METODE PENELITIAN ............................................................................................ 18
3.1 Desain Penelitian ............................................................................................................. 18
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................................................... 18
3.2.1 Tempat Penelitian ...................................................................................................... 18
3.2.2 Waktu Penelitian ....................................................................................................... 18
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................................ 18
3.3.1 Kriterian Inklusi ........................................................................................................ 19
3.3.2 Kriteria Eksklusi........................................................................................................ 19
3.3.3 Kelompok perlakuan ................................................................................................. 19
3.4 Variabel Penelitian ........................................................................................................... 19
3.4.1 Variabel Bebas .......................................................................................................... 19
3.4.2 Variabel Terikat ........................................................................................................ 19
3.5 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................................................ 20
3.5.1 Alat Penelitian ........................................................................................................... 20
3.5.2 Bahan Penelitian........................................................................................................ 20
3.6 Objek Penelitian .............................................................................................................. 20
3.7 Cara Kerja Penelitian ....................................................................................................... 21
3.7.1 Pengulitan Tikus ....................................................................................................... 21
3.7.2 Pembuatan larutan pengawet ..................................................................................... 21
3.7.3 Pengawetan tikus ....................................................................................................... 22
3.7.4 Pengambilan organ .................................................................................................... 22
3.8 Pengolahan Data .............................................................................................................. 22
3.9 Alur Penelitian ................................................................................................................. 23
x
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 24
4.1 Kekurangan Penelitian ..................................................................................................... 25
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 26
5.1 SIMPULAN..................................................................................................................... 26
5.2 SARAN ........................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27
LAMPIRAN ............................................................................................................................ 29
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Permukaan dan Alas Hepar ......................................................................4
Gambar 2.2 Letak Hepar Tikus ..................................................................................................5
Gambar 2.3 Anatomi Hepar Tikus ............................................................................................ 5
Gambar 2.4 Histologi Kulit ........................................................................................................6
Gambar 2.5 Histologi Kulit ........................................................................................................7
Gambar 2.6 Mekanisme Zat Masuk ke dalam Kulit....................................................................8
Gambar 2.7 Struktur Kimia Formalin .........................................................................................9
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Hasil Intensitas Warna Hepar .................................................................................... 23
xiii
DAFTAR SINGKATAN
CCE Comified Cell Emvelope
HL Horny Layer
SC Stratum Corneum
BMZ Basal Membrane Zone
OSHA Occupational Safety and Health Administration
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Foto Makroskopik ................................................................................................ 29
Lampiran 2 Surat Keterangan Lolos Kaji Etik ......................................................................... 31
Lampiran 3 Identitas Penulis ................................................................................................... 32
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembelajaran kedokteran tidak dapat dipisahkan dari ilmu anatomi. Salah satu
metode untuk mempelajari anatomi dengan baik adalah dengan menggunakan tubuh
manusia yang diawetkan atau kadaver. Metode ini akan memudahkan mahasiswa untuk
mengenal dan mengetahui bentuk asli organ tubuh manusia.1 Tujuan pengawetan adalah
mengawetkan seluruh preparat dengan seksama dan lengkap, jaringan kenyal seperti
jaringan yang masih hidup, warna organ paling tidak mempertahankan warna seperti saat
masih hidup dan kekenyalan pembuluh darah yang baik.2 Pada laboratorium anatomi
pengawetan bisa dilakukan dalam waktu yang singkat berkisar harian hingga mingguan.
Dapat juga dilakukan pengawetan dalam waktu yang panjang bergantung terhadap
kebutuhan laboratorium berkisar 6 bulan hingga 3 tahun.1,2
Secara umum metode pengawetan mengalami periode kuno yang fokus untuk
tujuan sentimentil, periode anatomis yang fokus dalam proses pembelajaran dokter,
periode modern yang fokus untuk menciptakan larutan yang paling baik pengawetannya
dan paling tidak membahayakan bagi pembelajar anatomi.3 Periode modern terpengaruh
oleh penemuan formalin oleh August Wilhelm von Hoffmann pada tahun 1896, larutan ini
mudah didapat dan murah.2,4 Larutan fenol-formalin dengan formalin konsentrasi 37%
digunakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan memberikan efek negatif.
Konsentrasi formalin yang tinggi tersebut berbahaya bagi yang berkontak dengan formalin
tersebut, baik terhirup, kontak langsung, dan tertelan. Paparan akut zat ini akan
menyebabkan iritasi pada organ yang terkena kontak. Paparan kronik zat ini dapat
menyebabkan terjadinya perubahan susunan genetik pada sel dan menyebabkan mutasi.5,6
Penggunaan formalin ini dapat membuat struktur anatomi kadaver menjadi kering dan
berubah warna menjadi kecoklatan karena adanya reaksi oksidasi, hal ini membuat
mahasiswa kesulitan dalam mengidentifikasi dan membedakan struktur anatomi.
Penggunaan formalin juga dapat menyebabkan penurunan elastisitas jaringan.4,7
Pemakaian formalin kadar rendah (5-7,5%) menurut Viskasari (2012)
memberikan kualitas kadaver yang baik dibandingankan dengan kadar formalin yang lebih
tinggi.7 Untuk menunjang hasil elastisitas yang baik, gliserin 10-15% dapat ditambahkan
2
kedalam campuran larutan. Gliserin secara selular dapat masuk ke membran lipid bilayer
kemudian mempertahankan permeabilitasnya dan mampu mempertahankan air di dalam
sel.1,8 Panzacchi (2019) menggunakan alkohol 70% untuk mengawetkan tikus Sprague
dawley. Untuk menunjang fungsi antibakteri pada formalin yang berkurang karena
pengurangan konsentrasi, dipakai alkohol yang juga berfungsi sebagai antibakteri. Alkohol
memiliki molekul yang dengan mudah berikatan dengan molekul protein membran sel dan
membuat membran sel bakteri mengalami denaturasi.1,8,9
Berbagai hal akan mempengaruhi berbagai macam faktor, salah satunya adalah
kemampuan penetrasi larutan fiksatif. Kemampuan penetrasi larutan fiksatif dipengaruhi
ketebalan jaringan dan ada tidaknya barrier yang menghalangi masuknya zat fiksatif.10
Kulit memiliki ketebalannya masing masing tergantung dimana kulit itu berada. Kulit
mempunyai berbagai fungsi salah satunya adalah fungsi pertahanan tubuh yaitu mencegah
masuknya zat maupun mikroorganisme dari luar tubuh.11
Organ hepar merupakan organ yang membusuk segera setelah individu mati
bersama dengan organ dengan penyusun protein yang sama yaitu otak dan ginjal. Hal ini
juga berkaitan dengan hepar yang berisi enzim proteolitik yang melakukan autolisis
terhadap jaringan sendiri.11
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui hasil pengawetan hepar tikus dengan keadaan ada tidaknya kulit sebagai
barrier. Pada penelitian ini juga digunakan formalin konsentrasi rendah (5%) dengan
campuran alkohol 70% dan gliserin 80% diharapkan mengurangi dampak negatif paparan
formalin konsentrasi tinggi dan tetap menghasilkan pengawetan dengan baik.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana intensitas warna hepar tikus Sprague dawley dengan perlakuan dikuliti
dan tidak dikuliti setelah diawetkan menggunakan larutan fiksatif dengan metode
perendaman?
3
1.3 Hipotesis
Intensitas warna hepar tikus Sprague dawley dengan perlakuan dikuliti menjadi
lebih terang daripada intensitas warna hepar tikus Sprague dawley dengan perlakuan tidak
dikuliti.
1.4 Tujuan
Mengetahui intensitas warna hepar tikus Sprague dawley sesudah diawetkan 10
bulan menggunakan larutan fiksatif dengan perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti.
1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi Peneliti
1. Diketahui pengetahuan tentang penggunaan larutan fiksatif terhadap pengawetan organ
hepar.
2. Menambah ilmu pengetahuan tentang pengawetan kadaver.
3. Memperoleh gelar Sarjana Kedokteran.
1.5.2 Bagi Institusi
1. Menambahkan referensi baru pada institusi terkait pengawetan kadaver.
2. Campuran larutan fiksatif bisa diterapkan di laboratorium anatomi institusi sehingga
menunjang pembelajaran anatomi.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hepar Manusia dan Tikus
Hepar merupakan organ terbesar tubuh, dengan berat sampai 2 atau 3 persen
berat tubuh. Secara umum, lobus hepar ada dua yaitu lobus kanan dan kiri. Organ ini
berada di kuadran kanan atas kavitas abdomen, dibawah diafragma kanan. Terdapat
beberapa ligamen yang mempertahankan posisi hepar pada tempatnya, yaitu left
triangular ligamen, right triangular ligament, falciform ligament, dan round ligament.
Terdapat dua jaringan pembuluh limfe yang melewati hepar, yaitu deep lymphatic
network (drainase lateral) dan superficial lymphatic network (drainase anterior dan
posterior). Suplai darah pada hepar berasal dari dua pembuluh darah yaitu, vena porta
dan arteri hepatika. Sekitar 25% total curah jantung menuju hepar.13,14
Gambar 2.1 Anatomi Permukaan dan Alas Hepar Sumber : Netter FH, 2011
5
Hepar tikus memliki berat 4-5 gram atau diperkirakan 2-3% berat tubuh tikus.
Hepar tikus berada pada seluruh sisi bawah diafragma, berbeda dengan manusia yang
hanya terdapat di sisi bawah kanan diafragma. Warna pada hepar tikus dan hepar manusia
sama, yaitu merah tua. Sama seperti manusia, tikus memiliki 4 lobus yang terdiri dari: left
lobe, right lobe, median lobe and cauda lobe. Lobus terbesar adalah left lobe.14
Gambar 2.3 Anatomi Hepar Tikus Sumber : Treuting, Piper M. 2012
Gambar 2.2 Letak Hepar Tikus Sumber : Treuting, Piper M. 2012
6
Penggunaan tikus Sprague dawley biasa pada penelitian untuk melakukan cek
terhadap toksisitas. Pemakaian hewan coba diatur oleh kode etik, harus menggunakan
hewan dengan kerugian paling kecil. Pada penelitian ini digunakan tikus Sprague dawley
karena organnya lebih besar dibandingkan dengan mencit dan mudah untuk diobservasi.
2.2 Kulit
Kulit merupakan organ yang terlihat secara kasat mata dan organ ini menampakkan
secara langsung kapan mengalami gangguan atau kerusakan melalui warna, bentuk dan
sensasi. Kulit memiliki beberapa turunan yaitu kulit, rambut dan kelenjar. Kulit
merupakan organ terbesar tubuh dengan luas sekitar 2 m2 dan berat 5 kg pada manusia
dengan tinggi 70 kg. Kulit tertebal berada pada telapak tangan dan telapak kaki, tebalnya
bisa 10 kali tebal kulit lain. Kulit menjalankan beberapa fungsi penting dalam tubuh, salah
satunya fungsi perlindungan fisik, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap larutan.
Dalam menjalankan fungsi ini kulit memiliki struktur histologi yang penting yaitu:
stratum basalis, stratum spinosum, stratum granulosum stratum lusidum, dan stratum
corneum epidermis.11,14,16
Secara histologi, stratum basale menempel pada basal zone membrane (BMZ) yang
mematri keratinosit diatasnya dengan protein struktural bernama hemidesmosom. struktur
ini yang menahan pajanan fisis pada kulit sehingga kulit tetap berada pada tempatnya.
Stratum spinosum merupakan lapisan di atas stratum basal. Lapisan ini terdiri atas
Gambar 2.4 Histologi Kulit Sumber : Junqueira LC, Carneiro J. 2007
7
keratinosit berbentuk seperti taji dan desmosom yang kuat mengikat diantara sel tersebut.
Pada lapisan ini juga diproduksi glukosilseramid yang merupakan cikal bakal sawar lipid
kulit. Di atas lapisan tersebut dilanjutkan dengan stratum granulosum yang terdiri atas sel
yang mulai melakukan apoptosis sehingga terbentuk granul. Protein profilgrin dan loricin
yang dipecah akan bergabung dengan keratin intermidiate filamen dan membentuk
Comified Cell Emvelope (CCE) yang kemudian akan menjadi penyusun sawar lipid kulit.
Kemudian pada stratum korneum mulai terbentuk dengan sempurna dan diliputi oleh lipid
yang disekresikan oleh lamellar granule di stratum spinosum. CCE dan lipid yang
meliputinya membentuk sawar lipid kulit yang menahan larutan untuk berpenetrasi
kedalam.11,16
Kulit pada kehidupan sehari-hari sangat rentan terpajan oleh zat-zat di lingkungan.
Sesuai dengan fungsinya, kulit menjalankan fungsi untuk melindungi jaringan di bawahnya
dari pajanan tersebut. Seluruh kulit berperan dalam fungsi ini namun lapisan yang paling
berperan dalam menjalankan fungsi ini adalah stratum corneum (SC) atau yang biasa
Gambar 2.5 Histologi Kulit.
keterangan : stratum korneum (C), stratum
lusidum (L), stratum granulosum (G),
stratum spinosum (S) Sumber : Junqueira LC, Carneiro J. 2007
8
disebut horny layer (HL). Ada tiga cara zat dari lingkungan dapat masuk ke dalam kulit
melalui tiga jalur, yaitu: Intercellular, Transcellular and Transappendegael.16,17
Jalur Intercellular adalah jalur masuk melalui ruang antar sel. Jalur ini adalah ketika
zat masuk ke jaringan kulit melalui ruang antarsel yang ada pada lapisan kulit.. Jalur ini
terbatas pada zat yang ukurannya 5-7 nm. Jalur Transelular adalah ketika zat mampu
masuk ke dalam jaringan kulit melalui sel keratinosit. Karena zat harus masuk dan keluar
membrane selektif sel maka jalur ini adalah jalur yang paling selektif. Jalur
Transapendageal adalah ketika zat masuk melalui derivat kulit seperti kelenjar keringat,
folikel rambut dan lain sebagainya.17
2.3 Formalin
Formalin adalah senyawa dengan struktur CH2O, dihasilkan dari pembakaran tidak
sempurna dari beberapa senyawa organik seperti batubara dan kayu. Zat ini juga dibuat
secara komersial menggunakan oksidasi fase uap katalitik metanol dengan udara sebagai
pengoksidasi. Juga ditambahkan perak, aluminium, tembaga atau arang sebagai
pengkatalis. Formalin dipasaran dijual dengan konsentrasi 37% dengan tambahan metanol
Gambar 2.6 Mekanisme Masuknya Zat ke dalam Kulit Sumber : Dabrowska, AK. 2017.
9
10-15% sebagai pencegahanan terjadinya polimerisasi. Zat ini tersedia dalam bentuk gas
dan cair. Secara fisik cairan formalin berwarna seperti air, sedikit asam, baunya sangat
menyengat dan korosif. Titik beku zat ini pada 117°C dan titik nyala pada 85°C. Jika
tertelan dan terhirup, zat ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Pada orang orang
yang tidak bertanggung jawab, formalin dipakai untuk pengawet makanan pada ikan asin,
ikan segar, ayam basah, mie basah dan tahu. Nama lain senyawa ini yaitu Metanal, Formic
Aldehyde, Formol, Morbicid dan lain lain.5,6
Penggunaan utama zat ini yaitu pada pembersih guna membunuh kuman dengan
cara mengikat menghambat gugus amino dan ikatan peptida. Seperti pada pembersih lantai,
kapal, gudang dan pakaian, Pembasmi lalat dan serangga lain, bahan pada sutra buatan, zat
pewarnaan cermin kaca dan bahan peledak, pelapis pada kertas dan pengeras lapisan
gelatin, penggunaan untuk pupuk, bahan membuat parfum, bahan pengawet produk
kosmetik dan pengeras kuku, pencegah korosi pada sumur minyak, bahan untuk insulasi
busa dan lain lain.6
Menurut OSHA (Occupational Safety and Health Administration) batas paparan
maksimal pada 2 ppm adalah 15 menit. Jika terhirup 0,1 sampai 5 ppm dapat menyebabkan
iritasi pada hidung dan tenggorok, 10 sampai 20 ppm dapat menyebabkan rasa terbakar
pada hidung dan tenggorokan, 25-50 ppm dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan luka
saluran napas, pada konsentrasi sangat tinggi dapat menyebaban kematian. Uap atau
larutan senyawa ini dapat menyebabkan luka bakar derajat satu dengan tanda rasa sakit,
Gambar 2.7 Struktur Kimia Formalin Sumber : Environmental Health and Savety, 2016.
10
perubahan warna kulit, dan mengeras. Pada 4-20 ppm kontak dengan mata bisa
menyebabkan kebutaan. Pada paparan kronik dapat menyebabkan gangguan tidur,
irritabilitas, mengantuk, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat hilang konsentrasi,
dan masalah kesuburan.5,6
Mekanisme paparan formalin masih belum diketahui secara jelas, namun beberapa
dugaan dikemukakan, yaitu kontak dengan protein sel dan mengganggu fungsi sel. Pada
konsentrasi tinggi, formalin dapat membuat sel mati. Sesaat setelah formalin terserap di
darah, dalam jumlah yang besar dapat mengacaukan sistem keseimbangan asam-basa.6
Pada seluruh proses di atas, paparan pada anak berefek lebih parah, mengingat
kemampuan ekspirasi dan metabolisme tidak secepat tubuh orang dewasa.6
2.4 Alkohol
Alkohol adalah unsur organik yang ditandai dengan adanya ikatan hidroksil (-OH)
dalam sebuah cincin hidrokarbon. Kegunaan alkohol dewasa ini sangat beragam. Seperti
pada pembuatan parfum, pembuatan pemanis, pencampur bensin, pembuatan minuman
keras dan lain sebagainya. Jenis alkohol yang saat ini paling sering dipakai adalah
methanol dan etanol.7,18
Sebagai pegawet kadaver, alkohol sudah popular dipakai sejak jaman sebelum
masehi. Larutan ini sebatas dikenal namun tidak dijadikan sebagai larutan terbaik untuk
pengawetan kadaver. Larutan ini adalah larutan anti mikroba sama seperti formalin.
Menurut Panzacchi (2012) penggunaan pengawetan menggunakan alkohol 70%
menghasilkan hasil yang baik dalam pengawetan dalam jangka waktu satu tahun.
Senyawa ini dengan mudah mengikat struktur protein mikroba dan meningkatkan
permaebilitas sel bakteri sehingga membunuh bakteri. Dewasa ini, alkohol
dikombinasikan dengan gliserin menjadi larutan fiksatif alkohol-gliserin.7,8,9,18
2.5 Gliserin
Gliserin atau sering disebut dengan gliserol merupakan senyawa kimia non toksik
berbentuk cairan kental dan manis. Rumus kimia senyawa ini adalah C3H8O3. Gliserin
memliki titik didih dan titik lebur yang lebih tinggi dibandingkan dengan air, hal ini
membuat densitas gliserin lebih tinggi dibandingkan dengan air. Gliserin secara umum
11
dipakai dalam pembuatan pelembab kulit, kondisioner rambut, krim cukur, pasta gigi,
kapsul obat, krim topikal dan lain sebagainya.19
Pada laboratorium anatomi gliserin dipakai untuk pengawetan kadaver. Zat ini
dimanfaatkan karena densitasnya yang tinggi dan memiliki efek melembabkan jaringan
dan mempertahankan kekenyalannya. Menurut Hammer (2012) pengawetan dengan
etanol-gliserin memberikan hasil yang baik. Pada organ hepar didapatkan kekenyalan
jaringan yang baik. Hal ini dikarenakan gliserin akan membuat jaringan terdehidrasi
dengan baik.7,8 Gliserin pada tingkat selular akan masuk ke dalam sel dan menggantikan
air di dalamnya. Begitu pula akan masuk ke celah membran lipid bilayer dan
mempertahankan osmolaritas intrasel.7
2.6 Proses Pembusukan
Proses pembusukan diawali dengan terjadi kematian. Pada makhluk hidup,
kematian akan terjadi menjadi kematian seluler dan kematian somatik. Pada kematian
somatik, seseorang akan kehilangan reflek neuron dan kepribadian. Sedangkan pada
kematian seluler, dipastikan seluruh fungsi tubuh hilang.1,2
Proses pembusukan diawali dari terjadinya post mortem hypostatis, yaitu
terhentinya jantung dan berhentinya aliran darah. Darah akan berkumpul dibawah tubuh,
dan terjadi perubahan warna yang awalnya merah menjadi warna ungu di seluruh tubuh.
Kemudian, sekitar 2 jam setelah itu, akan terjadi rigor mortis yang ditandai dengan
kekakuan otot. Hal ini didasari karena terjadinya breakdown ATP dan tempat perlekatan
aktin dan miosin bertemu. Keadaan ini akan mencapai puncaknya pada 12 jam setelah
kematian dan akan mulai menghilang pada 24 jam setelah kematian. Namun sebelum
Rigor Mortis terjadi, akan terjadi kepayahan seluruh anggota gerak namun masih bisa
berkontraksi. Setelah Rigor Mortis, yaitu tepatnya 36 jam setelah itu maka tubuh jenazah
akan lemas. Kemudian terjadi pendinginan alami dari suhu normal yaitu 37°C.3,4
Kecepatan organ dalam membusuk bervariasi berdasarkan pada letak dan fungsi
organ. Berikut golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya; Early, Organ
dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medulla adrenal, pankreas,
otak, lien, usus, uterus gravid, uterus post partum, hepar, dan darah. Moderate, organ
dalam yang lambat membusuk antara lain paru-paru, jantung, ginjal, diafragma, lambung,
12
otot polos dan otot rangka. Late, uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang
lebih tahan terhadap pembusukan karena memiliki struktur yang berbeda dengan jaringan
yang lain yaitu jaringan fibrosa.1,2,8
Pembusukan organime melalui dua proses penghancuran yaitu, autolisis dan
putrefaksi. Autolisis adalah penghancuran jaringan secara mandiri tanpa aktifitas
mikroorganisme sedangkan putrefaksi adalah penghancuran jaringan yang didominasi
oleh mikroorganisme.4
Autolisis diawali oleh berhentinya aliran darah sehingga suplai oksigen ke sel
berkurang dan menyebabkan penurunan pH. Penurunan pH ini menyebabkan enzim
intrinsik yang bekerja sel sendiri dan menghancurkan nukleoprotein, kromatin, sitoplasma
dan membran sel, sehingga keluar isi sel berupa protein yang mampu mendenaturasi
protein di luar sel dimana enzim ini berasal. Penghancuran jaringan oleh proses ini tidak
dapat terlihat kasat mata namun dapat dilihat secara mikroskopik. Kerusakan sel ini akan
mempermudah proses yang satunya yaitu putrefaksi, hal ini berkaitan dengan kerusakan
struktur sel dan jaringan.2,3
Dalam waktu 24 jam setelah kematian, tubuh manusia tidak dilingkupi oleh
bakteri dari luar tubuh, ini berkaitan dengan masih aktifnya sel imun tubuh hingga 48 jam
setelah kematian. Putrefaksi terjadi saat mikroorganisme di dalam tubuh yaitu organisme
yang berada di saluran pencernaan akan menginvasi seluruh tubuh dengan melakukan
hemolisis dan fermentasi jaringan tubuh. Karena reaksi redoks yang terjadi kemudian
menyebabkan penipisan oksigen dalam tubuh dan menurunkan jumlah bakteri aerob
obligat, sehingga terjadi pertumbuhan drastis bakteri anaerob seperti Micrococci,
Pseudomonas dan Acinetobacter. Proses ini akan tampak pertama kali pada fossa illiaca
dekstra berkaitan dengan caecum yang berada superfisial di daerah tersebut.2,3,8
Pembusukan protein tubuh dilakukan oleh aktifitas enzim, namun setiap individu
mengalami kecepatan yang berbeda bergantung pada kelembapan, aktifitas bakteri dan
suhu lingkungan. Kelembapan yang tinggi membantu terjadinya pembusukan, proses
enzimatik akan meningkat sesuai dengan suhu optimum enzim. Protein tubuh yang
pertama kali mengalami pembusukan adalah protein yang menyusun sistem saraf dan
epitel. Protein yang membentuk otot lebih sulit dihancurkan dibanding protein yang
disebutkan sebelumnya, terlebih protein penyusun kartilago dan jaringan ikat. Bakteri
13
yang sangat berkaitan dengan penguraian protein adalah Pseudomonas, Bacillus dan
Micrococcus spp. Protein yang dipecah akan berubah menjadi banyak molekul salah
satunya adalah hidrogen sulfat, sulfida, ammonia dan gas yang memilki gugus sulfhidril
(-SH), molekul molekul ini bertanggung jawab atas bau busuk yang ditimbulkan saat
terjadinya pembusukan.1,2
2.7 Pengawetan Kadaver
Pengawetan mayat atau dalam bahasa Inggris Embalming adalah perlakuan
terhadap jasad yang telah mati dengan bahan kimia tertentu agar terhindar dari
pembusukan. Sarana pengawetan bisa secara alami seperti pendinginan, pengeringan, dan
lain lain. Sarana pengawetan juga bisa secara artifisial seperti injeksi pada arteri,
pencelupan, pengeringan, pengeluaran isi tubuh dan lain lain. Awalnya budaya dan
metode pengawetan mayat banyak dilakukan oleh peradaban kuno seperti Mesir,
Babilonia, Aztec, Maya, Cina dan lain lain.1
Metode dalam pengawetan jaringan beragam. Metode injeksi arteri dapat
dilakukan dengan menginjeksikan cairan pengawet ke pembuluh darah, pembuluh darah
yang biasa diinjeksikan adalah arteri karotis komunis dan arteri femoralis. Injeksi ini
dibantu dengan pemompa cairan. Metode cavity embalming adalah metode dimana
dilakukan penghisapan seluruh cairan internal kadaver dan digantikan dengan cairan
pengawet. Metode hypodermic embalming adalah metode dengan menginjeksikan cairan
pengawet di bawah kulit yang ingin diawetkan. Metode perendaman adalah metode
merendam seluruh preparat dalam cairan pengawet.3,20
Secara makroskopis penilaian terhadap pengawetan kadaver sebagai berikut:
pengawetan organ dan jaringan dengan minimal distorsi, mencegah pengerasan dan
pengeringan berlebih, mencegah pertumbuhan bakteri atau jamur, mengurangi biohazard
bagi pengguna kadaver, mencegah kerusakan lingkungan kerja karena penguapan
pengawet dan mengurangi efek oksidasi oleh pengawet.2,20
Hammer (2012) menggunakan larutan fiksatif etanol-gliserin dan memberikan
hasil preparat tanpa jamur dan bakteri serta aroma kadaver yang lebih lemah. Viskasari
(2012) menggunakan formalin dengan kadar 5-7,5% ditambah dengan glisern dan bubuk
14
fenol menghasilkan kadaver dengan warna lebih terang serta bebas bakteri dan jamur.
Ahmad (2011) menyatakan larutan formalin 4% baik dalam menjaga keutuhan struktur
jaringan otot dan otak tikus secara makroskopik dan mikroskopik. Thiel (1992) membuat
larutan dengan kandungan formalin konsentrasi rendah dan menghasilkan kualitas
jaringan yang mirip dengan asli.1,4,7,8
15
2.8 Kerangka Teori
menghambat
Bakteri menggunakan jaringan
tubuh untuk dijadikan sumber energi
Bakteri menyebar ke seluruh tubuh
Pertumbuhan bakteri ↑
Inaktifitas sel
imun
Sel hancur Membran sel
hancur
Menurunkan pH intrasel
Enzim intrasel bekerja pada sel
sendiri
Suplai O2 ke
jaringan menurun
Jantung berhenti
bekerja
kematian
makhluk
hidup
pembusukan
autolisis Putrefaksi
Efek fiksatif
Inaktivasi enzim
Larutan
fiksatif
Menggantkan air
di dalam lapisan
lipid bilayer
Ketidakseimbangan
permaebilitas sel bakteri
Mengikat
protein bakteri berikatan dengan
protein
gliserin alkohol Formalin
16
2.9 Krangka Konsep
Formalin 7,5%
Intensitas Warna hepar
Hepar tikus Sprague dawley
Tidak Dikuliti Dikuliti
Tikus yang direndam
dalam pengawet
Efek fiksatif
Gliserin 80% Alkohol 70%
Keterangan :
= variabel terikat
= variabel bebas
17
2.10 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur
Cara
Pengukuran
Skala
Pengukuran
1. Intensitas Warna
Hepar
Warna hepar tikus
Sprague dawley
yang sudah
diawetkan.
Indra
penglihatan
dan
dokumentasi
menggunakan
kamera
Canon EOS
3000D
Membandingkan
warna hepar
tikus Sprague
dawley
menggunakan
skala :
1 : terang
#D0C8B3RGB
code:R: 208
G: 200 B: 179
HSV:43.45°
13.94% 81.57%
2. gelap
#86816E
RGB : R: 134
G: 129 B: 110
110HSV:47.5°
17.91% 52.55%
Ordinal
18
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah desain eksperimental.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Animal House Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembuatan larutan, perendaman sampel dan
pengambilan organ hepar dilakukan di Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bulan Februari 2018 dan berakhir pada Desember 2018.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel tikus Sprague dawley yang telah mendapatkan
perlakuan perendaman dengan larutan fiksatif selama 10 bulan. Tikus yang digunakan
adalah tikus Sprague dawley yang baru saja mati <2 jam dengan berat berkisar antara 150-
300 gram. Hewan uji dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu kelompok dikuliti dan
tidak dikuliti.
Untuk menentukan jumlah sampel yang dipakai, digunakan rumus MEAD.
𝐸 = 𝑁 − 𝐵 − 𝑇
E = derajat kebebasan komponen kesalahan ( 10 – 20 )
N = Jumlah sampel dalam penelitian
B = Blocking component meggambarkan pengaruh lingkungan yang diperbolehkan dalam
penelitian
T = Jumlah Kelompok Perlakuan
𝐸 = 𝑁 − 𝐵 − 𝑇
≥ 10 = (𝑁 − 1) − 𝑂 − (2 − 1)
19
≥ 10 = 𝑁 − 1 − 1
≥ 10 = 𝑁 − 2
≥ 12 = 𝑁
Dengan penghitungan tersebut dan keterbatasan penyediaan sampel, maka kami
menggunakan jumlah sampel minimal yaitu 12 ekor tikus yang sudah mati.
3.3.1 Kriterian Inklusi
1. Tikus jantan strain Sprague dawley
2. Tikus sudah mati <2 jam
3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Tikus sudah berbau busuk
2. Tikus sudah menunjukkan perubahan warna akibat pembusukan
3.3.3 Kelompok perlakuan
• Kelompok Dikuliti
Pada kelompok ini tikus Sprague dawley yang baru saja mati dikuliti seluruh
tubuhnya sehingga terangkat seluruh kulitnya kecuali bagian kepala kemudian
langsung dimasukkan ke dalam campuran formalin 5%, alkohol 70% dan gliserin 80%.
• Kelompok Tidak Dikuliti
Pada kelompok ini tikus Sprague dawley yang baru saja mati langsung
dimasukkan ke dalam campuran formalin 7,5%, alkohol 70% dan gliserin 80%.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti.
3.4.2 Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah intensitas warna pada sediaan anatomi
hepar tikus putih galur Sprague Dawley.
20
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
3.5.1 Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:
• Toples eter
• minor set
• kassa
• masker bedah
• sarung tangan pemeriksaan
• silinder ukur 200 ml
• silinder ukur 1000 ml
• drum plastik 200 L
• pengaduk
• toples kaca preparat
• lemari penyimpanan
• wadah spesimen
3.5.2 Bahan Penelitian
Bahan yang dipakai pada penelitian ini sebagai berikut:
• eter
• formalin 37%,
• formalin 5%,
• gliserin 80%,
• alkohol 70%
3.6 Objek Penelitian
Penggunaan tikus Sprague dawley biasa digunakan pada penelitian untuk
melakukan cek terhadap toksisitas. Pemakaian hewan coba diatur oleh kode etik, harus
menggunakan hewan dengan kerugian paling kecil. Pada penelitian ini digunakan tikus
Sprague dawley karena organnya lebih besar dibandingkan dengan mencit dan mudah
untuk diobservasi. Berat tikus Sprague dawley yang dipakai berkisar antara 150-300g.
21
3.7 Cara Kerja Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan langka langkah ini: pengulitan tikus, pembuatan
larutan pengawet, pengawetan tikus dan pengambilan organ.
3.7.1 Pengulitan Tikus
Tikus yang dipakai adalah tikus jantan galur Sprague Dawley. Tikus dilakukan
adaptasi selama dua minggu di dalam Animal House Fakultas Kedokteran UIN Jakarta.
Tikus ini melalui proses sacrifice yaitu dengan cara cardiac puncture. Tikus dimasukkan
dalam toples eter dan setelah terbius diinjeksikan jarum ke jantung tikus untuk mengambil
darah. Kemudian tikus yang sudah mati dikuliti sebanyak 6 ekor dan segera dimasukkan
ke dalam larutan pengawet.
3.7.2 Pembuatan larutan pengawet
Larutan dibuat dengan cara mengencerkan formalin 37% menjadi formalin 5%.
Pengenceran kami lakukan dengan cara mencampurkan formalin 37% dengan air dalam
drum plastik 200 L.
Pengenceran ini dilakukan dengan dasar rumus pengenceran yaitu:
𝑚1𝑣1 = 𝑚2𝑣2
m1 : Konsentrasi Formalin 37%
m2 : Konsentrasi Formalin yang diinginkan
v1 : Volume Formalin 37%
v2 : Target penambahan volume
Proses pembuatan larutan :
1. Formalin 37% diencerkan menjadi 10% (Formalin 37% 10 liter + 27 liter air kran).
2. Formalin 10% diencerkan menjadi formalin 5% (formalin 10% 7 liter + 7 liter air
kran).
3. Masukkan formalin 5% ke masing-masing toples kaca sebanyak 1125 ml.
4. Masukkan alkohol 70% ke dalam toples sebanyak 37,5 ml kemudian aduk
menggunakan metode konvensional.
5. Masukkan gliserin 80% ke dalam toples sebanyak 37,5 ml kemudian aduk
menggunakan metode konvensional.
22
6. Setelah dimasukkan formalin 5% sebanyak 1125 ml, alkohol 70% 37,5 ml, dan
gliserin 80% 37,5 ml maka dalam satu toples terkumpul cairan fiksatif sebanyak 1200
ml
3.7.3 Pengawetan tikus
Pengawetan dilakukan dengan metode perendaman selama 10 bulan yaitu pada bulan
Februari 2018 dan berakhir pada Desember 2018 di dalam toples kaca preparat.
3.7.4 Pengambilan organ
Organ diambil dengan melakukan insisi pada abdomen. Dilakukan pengambilan
dengan pinset dan pemotongan ligamen hepar dengan scalpel. Setelah seluruhnya terambil
maka dilakukan penilaian intensitas warna secara langsung dan dilakukan pengambilan
gambar.
3.8 Pengolahan Data
Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan penghitungan jumlah tikus
Sprague dawley yang masuk dalam kelompok terang dan kelompok gelap dengan
Microsoft Excel 2016.
23
3.9 Alur Penelitian
Tidak
dikuliti
Pengolahan data
Pengambilan organ
hepar
Pembuatan larutan
fiksatif
Ditunggu selama 10
bulan dalam toples
kaca
direndam dalam toples kaca
Larutan
pengawetan
Dikuliti
12 tikus Sprague
dawley mati
Formalin 5%, Alkohol 70% dan
Gliserin 80%
Pembuatan
laporan penelitian
Dilihat intensitas
warna
Pengambilan
sampel
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut hasil intensitas warna pada pengawetan hepar tikus Sprague Dawley yang
dikuliti dan tidak dikuliti dengan perendaman dalam larutan fiksatif (formalin 5%, alkohol
70% dan gliserin 80%).
Tabel 4.1 : Hasil Pengamatan Intensitas Warna Hepar Tikus Sprague dawley
Kelompok terang gelap
dikuliti 2 4
tidak dikuliti 0 6
Terlihat pada tabel 4.1 keseluruhan data didominasi oleh intensitas gelap. Pada
kelompok tidak dikuliti seluruh hepar tikus berintensitas warna gelap. Pada kelompok
dikuliti terdapat 2 tikus berintensitas terang dan 4 tikus berintensitas gelap.
Pada penelitian Viskasari (2012) didapatkan hasil pengawetan menggunakan
formalin konsentrasi 5-7,5% pada kadaver memberikan warna yang lebih terang
dibandingkan dengan penggunaan formalin konsentrasi tinggi.7 Namun pada penelitian ini
ada dua data yang mendapatkan intensitas warna terang. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan penetrasi larutan ke jaringan hepar membaik karena tidak perlu menembus
kulit via interseluler, transeluler ataupun transapendageal. Hal ini ditunjang dengan ukuran
molekul formalin yaitu 11 nm sehingga dengan mudah masuk melalui celah antar sel.
Pada penelitian Ahmad (2011) menyebutkan penggunaan formalin 4% dapat
mencegah jaringan otot dan otak tikus mempertahankan warna terang pada jaringan. Selain
itu pada penelitian tersebut, juga didapatkan ketidakadaan jamur, konsistensi yang baik dan
jaringan yang utuh.4,15 Berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian ini hampir seluruh
data menunjukan warna yang gelap. Hal ini mungkin terjadi karena dilakukan pembuatan
larutan dilakukan dengan kurang baik yaitu pencampuran hanya dilakukan dengan
pengaduk kayu dan stainless, sehingga homogenitas cairan kurang baik. Hal ini mungkin
25
membuat hanya formalin konsentrasi 37% tidak seutuhnya berubah menjadi formalin
konsentrasi 5% sehingga reaksi oksidasi yang dapat membuat intensitas warna hepar
menjadi gelap.
4.1 Kekurangan Penelitian
1.Air untuk mengencerkan formalin menggunakan air keran biasa.
2.Campuran larutan dihomogenisasi dengan metode sederhana diaduk menggunakan kayu.
3.Hewan coba yang sebelumnya dipakai pada penelitian lain yang dapat mengubah warna
hepar tikus.
4.Tidak ada kelompok kontrol berupa tikus dengan perendaman formalin 37% yang
bersama direndam selama 10 bulan.
5. Tidak ada kelompok berupa masing masing cairan dalam larutan fiksatif berupa larutan
formalin 5% saja, alkohol 70% saja dan gliserin 80% saja.
26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Dari hasil penelitan intensitas warna hepar tikus Sprague dawley yang dilakukan
pengawetan menggunakan larutan fiksatif (formalin 5%, alkohol 70% dan gliserin 80%)
dengan perlakuan dikuliti dan tidak dikuliti diperoleh hasil intensitas warna hepar kedua
perlakuan secara umum berada pada intensitas warna gelap namun terdapat 2 tikus dari 6 tikus
dengan perlakuan dikuliti mendapatkan hasil intensitas warna terang.
5.2 SARAN
1. Perlu digunakan aquades untuk mengencerkan formalin.
2. Homogenasi cairan seharusnya dilakukan dengan alat pengaduk larutan fiksatif
3. Perlu digunakan tikus yang tidak mengalami perlakuan pada penelitian sebelumnya.
4. Perlu diadakan kontrol terhadap kelompok sampel yang merupakan tikus dengan
perlakuan formalin 37%, formalin 5%, alkohol 70% dan gliserin 80% yang direndam
selama 10 bulan.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Balta, Joy Y., Cronin, Michael., Cryan, John F., O’mahony, Siobhain M. Human
Preservation Technique in Anatomy a 21th Century Medical Education Perspective.
Ireland : Wiley Periodicals; 2015.
2. Brenner, Erich. Human Body Preservation – Old and New Techniques. Austria: Division
for Clinial and Functional Anatomy, Department of Anatomy, Histology and Embriology,
Innsbruck Medical University; 2014. p.316-344.
3. Batra, Arvinder P. S., Khurana, Baljit S., Mahajan, A. Embalming anad Other Method of
Dead Body Preservation. India : International Journal of Medical Toxicology & Legal
Medicine Vol 12 No.3. 2010
4. Habibi, Ahmad Azwar. Penggunaan Beberapa Campuran Larutan Formalin pada
Pengawetan Jaringan Otot dan Otak Tikus (Tesis). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2011.
5. Environmental Health and Savety. Formaldehyde Safety Guidlines. Canada : Concordia
University; 2016, p.1-7
6. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Formalin (Larutan Formaldehid).
Jakarta : Direktorat Pengawas Produk dan Bahan Berbahaya; 2008, h.1-8
7. Kalanjati, Viskasari P., Prasetiowati, Lucky., Alimsardjono, Haryanto. The Use of Lower
Formalin-Containing embalming Solution for Anatomy Cadaveer Preparation. Surabaya :
Departemen Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2012.
h.203-207
8. Hammer, Neils., Loffler, Sabine., Feja, Christine., Sandrock, Mara., Schmidt, Wolfgang.
Ethanol-Glycerin Fixation With Thymol Conservation : Potential Alternative to
Formaldehyde and Phenol Embalming. Germany : Faculty of Medicine, Institute of
Anatomy, University of Leipzig ; 2012
9. Panzacchi, Simona., Gnudi, Federica., Mandrioli, Daniele., Montella, Rita. Effects of short
and long-term alcohol-based fixation on Sprague-Dawley rat tissue morphology, protein
and nucleic acid preservation. Italy : Elsevier. 2019
28
10. Musyarifah, Zulda., Agus, Salmiah. Proses Fiksasi pada Pemeriksaan Histopatologis.
Padang : Jurnal Universitas Andalas; 2018. Diunduh dari
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka pada tanggal 14 Januari 2020.
11. Menaldi, Sri Linuwih SW., Bramono, Kusmarinah., Indriatmi, Wresti. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 7. Jakarta : Badan Penerbit FK UI; 2018:3-6.
12. Janawa, RC., Wilson, Andrew S., Percival, Steven L. Decomposition of Human Remains.
University of Bradford. 2009. Diunduh dari : 02-12-2019.
https://www.researchgate.net/publication/225914421.
13. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC, 2014
14. Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of
the Human Body. Elsevier; 2014
15. Treuting, Piper M., Suzanne M. Dintzis, Charles W. Frevert, Denny Liggitt. 2012.
Comparative Anatomy and Histology: A Mouse and Human Atlas.
16. Mescher, Anthony L. Junqueira Basic Histology Text and Atlas 14th Edition. New York :
Mc-Graw Hill Education; 2016, p.281-286
17. Dabrowska, AK., Spano, F., Derler, S., Adlhart, C., Spencer, ND., Rossi, RM. The
Relationship Between Skin Function, Barrier Properties, Body-Dependent Factors.
Switzerland : Wiley. 2017. Diunduh dari : 17-12-2019
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29057509
18. Leroy, Wade G. Alcohol Chemical Compound. Washington : Britannica Encyclopedia.
2019. Diunduh dari : https://www.britannica.com/science/alcohol. 02-12-2019
19. Kara, Rogers. Glycerol Chemical Compound. London : Britannica Encyclopedia. 2015.
Diunduh dari : https://www.britannica.com/science/glycerol#ref26585 02-12-2019
20. Bajracharya S, Magar A. Embalming: An Art of Preserving Human Body. Kathmandu
University Medical Journal (2006), Vol. 4, No. 4, Issue 16, 554-557. India
29
LAMPIRAN
Lampiran 1
Foto Makroskopik
Dikuliti
Gambar 6.1 Sediaan hepar tikus 1 dikuliti Gambar 6.2 Sediaan hepar tikus 2 dikuliti
Gambar 6.3 Sediaan hepar tikus 3 dikuliti
Gambar 6.4 Sediaan hepar tikus 4 dikuliti Gambar 6.5 Sediaan hepar tikus dikuliti
Gambar 6.6 Sediaan hepar tikus 6 dikuliti
30
Tidak Dikuliti
Gambar 6.7 Sediaan hepar tikus 1 tidak dikuliti
Gambar 6.8 Sediaan hepar tikus 2 tidak dikuliti
Gambar 6.9 Sediaan hepar tikus 3 tidak dikuliti
Gambar 6.10 Seiaan hepar tikus 4 tidak dikuliti
Gambar 6.11 Sediaan hepar tikus 5 tidak dikuliti
Gambar 6.12 Sediaan hepar tikus 6 dikuliti
32
Lampiran 3
Identitas Penulis
Identitas Penulis
Nama
NIM
: Raden Muhamad Hidayat
: 11161030000072
Tempat Tanggal Lahir
Agama
Alamat Sekarang
: Bogor, 20 Juli 1998
: Islam
: Jl. Jati Nomer 24, Keceamatan Ciputat Timur, Tangerang
Selatan
Alamat Asal : Perumahan Ciomas Permai Blok E/9 Nomer 3
No.Hp
: 085288878098
Riwayat Pendidikan
2004-2010 : SDN Layungsari 1 Bogor Selatan
2010-2013 : SMP Insan Kamil Bogor
2013-2016 : SMA Insan Kamil Bogor
2016-sekarang : Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta